Download - RINITIS ALERGI

Transcript
Page 1: RINITIS ALERGI

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SEMARANG

REFERAT RINITIS ALERGI

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu

Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Adhyatma, MPH

Diajukan Kepada :

dr. Sukamta Yudi, Sp.THT-KL

Disusun Oleh :

Alaa ‘Ulil Haqiyah H2A009001

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala

dan Leher

FAKULTAS KEDOKTERAN – Muhamadiyah Semarang

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Adhyatma, MPH

PERIODE 14 januari – 8 Februari 2014

1

Page 2: RINITIS ALERGI

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

ILMU PENYAKIT TELNGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN

LEHER

Referat dengan judul :

RINITIS ALERGI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Adhyatma, MPH

Disusun Oleh:

Alaa ‘Ulil Haqiyah H2A009001

Telah Disetujui dan Disahkan oleh Pembimbing:

Nama pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. Sukamta yudi, Sp.THT-KL ........................... 22 Januari 2014

2

Page 3: RINITIS ALERGI

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................. 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 5

1.1 LATAR BELAKANG ............................................................. 5

1.2 RUMUSAN MASALAH.......................................................... 5

1.3 TUJUAN................................................................................... 6

1.4 MANFAAT............................................................................... 6

BAB II. ANATOMI HIDUNG ...................................................................... 7

2.1 ANATOMI ............................................................................... 7

2.2 PENDARAHAN....................................................................... 10

2.3 PERSARAFAN........................................................................ 11

2.4 MUKOSA HIDUNG................................................................ 11

2.5 KOMPLEKS OSTIOMEATAL............................................... 12

BAB III. FISIOLOGI ....................................................................................... 14

3.1 FUNGSI RESPIRASI .............................................................. 14

3.2 FUNGSI PENGHIDU .............................................................. 15

3.3 FUNGSI FONETIK.................................................................. 15

3.4 REFLEKS NASAL................................................................... 16

BAB IV. RHINITIS ALERGI........................................................................... 17

4.1 DEFINISI ................................................................................. 17

4.2 ETIOLOGI................................................................................ 17

4.3 PREVALENSI.......................................................................... 18

4.4 PATOFISIOLOGI.................................................................... 18

4.5 GAMBARAN HISTOPATOLOGIK........................................ 21

4.6 KLASIFIKASI.......................................................................... 22

4.7 DIAGNOSIS............................................................................. 24

4.7.1 Anamnesis................................................................................. 24

4.7.2 Pemeriksaan Fisik..................................................................... 24

4.7.3 Pemeriksaan Penunjang............................................................ 26

4.8 TATALAKSANA..................................................................... 27

3

Page 4: RINITIS ALERGI

4.9 KOMPLIKASI.......................................................................... 31

4.10 TABEL DIAGNOSIS BANDING............................................ 32

BAB V. KESIMPULAN.................................................................................. 35

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 26

4

Page 5: RINITIS ALERGI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau alergen.

Hipersensitivitas pejamu bergantung pada antigen, frekuensi paparan, genetik dari individu

tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu.(2)

Alergi hidung dapat bersifat musiman, atau menetap jika disebabkan oleh debu

rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering dipakai, atau ingestan dalam diet sehari-hari.

Hampir semua materi dalam udara atau yang dapat ditelan terbukti memiliki sifat alergenik.

Seringkali seorang pasien alergi terhadap sejumlah agen daripada hanya satu inhalan saja.(2)

Rinitis alergika terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien telah

mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung, yaitu :

reseptor histamine H1, adrenoreseptor-alfa, adrenoreseptor-beta2, kolinoreseptor, reseptor

histamine H2, dan reseptor iritan. Dari semua ini, yang terpenting adalah reseptor histamine

H1, dimana bila terserang oleh histamine akan meningkatkan tahanan jalan nafas hidung,

menyebabkan bersin-bersin, gatal dan rinore.(2)

Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema atopik.

Suatu penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergika memperlihatkan bahwa

17 hingga 19 persen dari mereka juga menderita asma, namun 56 sampai 74 persen pasien

asmatik ternyata menderita rinitis alergika. Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap

kondisi-kondisi ini.(4)

I.2 Rumusan Masalah

• Apakah definisi dan etiologi dari Rinitis Alergi ?

• Bagaimana patologi terjadinya Rinitis Alergi ?

• Bagaimana gambaran klinis dan diagnosis dari Rinitis Alergi ?

• Apa saja pemeriksaan yang mendukung diagnosis Rinitis Alergi ?

• Bagaimana penatalaksaan dalam menangani Rinitis Alergi ?

I.3 Tujuan

5

Page 6: RINITIS ALERGI

Penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini bertujuan untuk memberikan informasi

mengenai etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan dari

Rinitis Alegi.

I.4 Manfaat

Hasil dari penulisan tinjauan pustaka ini dapat memberikan informasi mengenai

etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan dari Rinitis

Alergi. Selain itu, dapat juga dijadikan sebagai bahan dasar pada penelitian selanjutnya.

BAB II

6

Page 7: RINITIS ALERGI

ANATOMI HIDUNG

2.1. ANATOMI

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1

1. pangkal hidung (bridge),

2. dorsum nasi,

3. puncak hidung,

4. ala nasi,

5. kolumela dan

6. lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan

lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1

1. tulang hidung (os nasalis),

2. prosesus frontalis os maksila dan

3. prosesus nasalis os frontal

7

Page 8: RINITIS ALERGI

Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di

bagian bawah hidung, yaitu: 1

1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),

3. beberapa pasang kartilago alar minor dan

4. tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu

atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang

disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 1

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares

anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak

kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 1

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior

dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis

os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum

(lamina kuadrangularis) dan kolumela. 1

8

Page 9: RINITIS ALERGI

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada

bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding

lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang

mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. 1

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah

ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah

konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga

rudimenter. 1

Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin

etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut

meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan

superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding

lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada

meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum

9

Page 10: RINITIS ALERGI

etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat

muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.1

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka

media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan

dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap

hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga

tengkorak dari rongga hidung. 1

2.2. PENDARAHAN

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior

yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis

interna.1

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna,

di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung

posterior konka media. 1

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada

bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid

anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus

Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi

sumber epistaksis terutama pada anak. 1

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang

berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga

merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 1

10

Page 11: RINITIS ALERGI

2.3. PERSARAFAN

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga

hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion

sfenopalatina. 1

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan

persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabut-

serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan

serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina terletak di belakang

dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 1

Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa

dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor

penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 1

2.4. MUKOSA HIDUNG

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas

mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa

pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel

torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan

diantaranya terdapat sel-sel goblet. 1

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-

kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa

berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)

pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. 1

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan

gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah

nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri

dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. 1

11

Page 12: RINITIS ALERGI

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan

menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh

pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel

terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan

jaringan limfoid. 1

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol

terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan

longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan

subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang

besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya

sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke

pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa

hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan

mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf

otonom.1

2.5. KOMPLEKS OSTIOMEATAL (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa

celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM

terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi

penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus

semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang

keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum

masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah

sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal

drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara

prosesus unsinatus dan konka media.(2)

12

Page 13: RINITIS ALERGI

Kompleks Ostiomeatal

13

Page 14: RINITIS ALERGI

BAB III

FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis

hidung dan sinus paranasal adalah: 2

1. Fungsi respirasi

Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran

tekanan dan mekanisme imunologik local.

2. Fungsi penghidu

Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung

stimulus penghidu.

3. Fungsi fonetik

Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan mencegah

hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.

4. Fungsi static dan mekanik

Untuk meringankan beban kepala.

5. Reflex nasal.

3.1 FUNGSI RESPIRASI

Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares anterior, lalu

naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga

aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. 2

Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim panas,

udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut

lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. 2

14

Page 15: RINITIS ALERGI

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi

pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya

permukaan konka dan septum yang luas. 2

Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring

dihidung oleh: 1

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lender

Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel

yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.

3.2 FUNGSI PENGHIDU

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa

olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.

Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila

menarik napas dengan kuat. 2

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa

manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi,

jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal dari cuka dan asam

jawa. 2

3.3 FUNGSI FONETIK

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar

suara sengau (rinolalia). 2

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar

suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan konsonan nasal (m,n,ng),

rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara. 2

15

Page 16: RINITIS ALERGI

3.4 REFLEKS NASAL

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,

kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas

berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan

pankreas.2

16

Page 17: RINITIS ALERGI

BAB IV

RHINITIS ALERGI

4.1 DEFINISI

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik

tersebut (von Pirquet, 1986). 2

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah

kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah

mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 2

Pasien dengan rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan kualitas hidup. Hal ini

diakibatkan karena gangguan tidur yang ditimbulkan, gangguan dalam belajar maupun

bekerja. Rhinitis alergi juga sering berhubungan dengan komorbiditas lain, seperti asthma,

konjungtivitis dan rhinosinusitis.3

4.2 ETIOLOGI

Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang

secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki

peran penting. Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak semuanya atopi.

Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai

50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh

lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki

kecenderungan alergi.2

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama

udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk

sari, dan lain-lain.2

17

Page 18: RINITIS ALERGI

4.3 PREVALENSI

Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit atopi,

diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.4 Rhinitis alergi telah menjadi problem kesehatan

global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh penduduk dunia. Rhinitis alergi

juga telah menjadi 1 dari 10 alasan utama pasien datang berobat ke dokter. Namun,

prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya pasien yang

mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak terhitung

pada survey resmi.3

4.4 PATOFISILOGI

Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari "non-self"

yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh melibatkan limfosit

T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang bertindak di dalam dan di luar

sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem tersebut dan juga beraneka ragam

mediator. Gell dan Coombs menggambarkan empat jenis reaksi hipersensitivitas: langsung,

sitotoksik, komplek imun, dan tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi

(rangsangan antibodi dan antibodi-dependent, sitotoksisitas dimediasi sel). Namun, rhinitis

alergi melibatkan terutama jenis ,Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena

berbagai terapi modalitas bekerja di berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk

memiliki pemahaman umum tentang hal tersebut.4

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate

phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak

dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi

fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)

setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. 2

18

Page 19: RINITIS ALERGI

Gambar 4. Reaksi Alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit

yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen

yang menempel di permukaan mukosa hidung. 3

Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung

dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major

Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0).

Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan

mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan

berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. 2

IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel

limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah

akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil

(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang

menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar

alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi

degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator

kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga

dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4

19

Page 20: RINITIS ALERGI

(LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai

sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor)

dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 2

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan

kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat

sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.

Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada

mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1). 2

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak

berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah

pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi

seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan

sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-

CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung

adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti

Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic

Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik

(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau

yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 2

MEKANISME HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN ASMA

Meskipun terdapat bukti bahwa rinitis alergi mempengaruhi asma, tetapi mekanisme

yang menghubungkan disfungsi saluran napas atas masih dalam perdebatan. Berbagai teori

diajukan untuk menerangkan hubungan rinitis alergi dan asma antara lain Nasopulmonary

Reflex yaitu refleks sentral yang berasal dari ujung saraf sensorik berjalan menuju susunan

saraf pusat melalui saraf trigeminus, masuk ke serabut eferen lewat saraf vagus dan

menimbulkan kontraksi otot polos bronkus. Lalu meningkatnya inhalasi melalui mulut

terhadap udara dingin, kering atau alergen inhalan akibat dari sumbatan hidung

mengakibatkan mengeringnya sekret dan terjadi spasme bronkus. Drenase post nasal bahan

20

Page 21: RINITIS ALERGI

inflamasi ke saluran napas bawah mengakibatkan penyebaran sel-sel inflamasi melalui

sirkulasi.(4)

4.5 GAMBARAN HISTOPATOLOGIK

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan

pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang

interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada

jaringan mukosa dan submukosa hidung. 2

Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,

mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)

sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi

proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. 2

Gambar 5. Jenis Alergen

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 2

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan

Misalnya: tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan

serta jamur.

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan

21

Page 22: RINITIS ALERGI

Misalnya: susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-

kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan

Misalnya: penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa

Misalnya: bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga

memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma bronchial

dan rhinitis alergi. 2

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar

terdiri dari: 2

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat

non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya

dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan

ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag

berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau

memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi

respon tersier.

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini

dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh

tubuh.

4.6 KLASIFIKASI

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: 2

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

22

Page 23: RINITIS ALERGI

Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara

yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari

(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau

rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan

mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjangt Tahun (perenial)

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,tanpa

variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling

sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.

Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar

rumah (outdoor). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen

ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan

gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan

fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan

musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering

ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO

Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan

sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 2

1. Intermiten (kadang-kadang)

Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap

Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 2

1. Ringan

Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat

Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

23

Page 24: RINITIS ALERGI

4.7 DIAGNOSIS

4.7.1 Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis

alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin

merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak

dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses

membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila

terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC

dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. 2

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung

tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air

mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi.

Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang

keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang

diutarakan oleh pasien.1 Gejala klinis lainnya dapat berupa ‘popping of the ears’,

berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.4

4.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau

livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior

tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.

Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah

mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini

disebut allergic shiner.2

24

Page 25: RINITIS ALERGI

Gambar 6. Allergic Shiner pada pasien Rhinitis Alergi

Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena

gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan

menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di

dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease.2

Gambar 7. (Kiri ke Kanan) Allergic Crease dan Allergic Sallute

Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan

menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior

faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral

faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). 2

Gambar 8. Facies Adenoid

25

Page 26: RINITIS ALERGI

Gambar 9. Geographic Tongue

4.7.3 Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian

pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali

menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu

macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau

urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi

atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih

bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA

(Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test). 2

Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis,

tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam

jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)

mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN

menunjukkan adanya infeksi bakteri.2

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point

26

Page 27: RINITIS ALERGI

Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan

alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan

SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk

desensitisasi dapat diketahui. 2

Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat

diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi

(³Challenge Test´).2

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.

Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien

setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet

eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu

ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 1

4.8 TATALAKSANA

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 2

2. Medikamentosa

a. Antihistamin

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang

bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan

merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini

pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau

tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. 2,4

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin

generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1

bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai

efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk

kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,

27

Page 28: RINITIS ALERGI

siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.

Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar

darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak

mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP

minimal (non-sedatif). 1,4

Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta

efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.

Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut

keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang

mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan

repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel,

henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran).

Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan

levosetirisin. 1

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai

sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan

antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk

beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. 1

Tabel 1. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi

28

Page 29: RINITIS ALERGI

Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin

b. Dekongestan

Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik.

Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat

menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu

lama.4

Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah

pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat

menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk

anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa,

diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering

adalah insomnia dan iritabilitas. 4

c. Antikolinergik

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,

bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor

kolinergik pada permukaan sel efektor. 2

29

Page 30: RINITIS ALERGI

d. Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung

akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering

dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,

flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal

bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah

pengeluaran protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,

mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak

hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan

lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit

(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat.

Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan

menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat

dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. 2

e. Lainnya

Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien

(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 2

Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, membuktikan

bahwa pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek yang serupa dalam

mengatasi gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien.

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),

konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila

konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi

memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.2

4. Imunoterapi

30

Page 31: RINITIS ALERGI

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat

dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan

hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking

antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu

intradermal dan sublingual. 2

4.9 KOMPLIKASI

Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah: 2

1. Polip hidung.

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah

satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip

hidung.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal.

31

Page 32: RINITIS ALERGI

DIAGNOSIS BANDING RINITIS

A. RINITIS NON-INFEKSI

Pembeda Vasomotor Medikamentosa

Penyebab - ketidakseimbangan saraf

simpatis dan parasinpatis

(otonom)

- obat-obatan yang bekerja

menekan kerja simpatis

- faktor fisik : asap rokok, udara

dingin, bau yang merangsang

- faktor endokrin

- faktor psikis

- pemaakaian vasokonstriktor

topikal (tetes hidung/semprot

hidung) dalam waktu lama dan

berlebihan → sumbatan

menetap.

Patologi

Druf abuse → rebound

dilatation → obstruksi berulang

→ dilatasi dan kongesti

jaringan, kerusakan mukosa

Gejala Klinis - hidung tersumbat bergantian

kanan dan kiri

- renorea (mukus/serosa)

- bersin jarang, tidak ada gatal

- gejala memburuk pada pagi hari

waktu bangun tidur

- hidung tersumbat terus menerus

dan berair

Pemeriksaan

Fisik

- edema mukosa hidung

- konka merah tua/gelap/pucat

- konka licin bernbenjol

- sekret mukoid/serous

- sekret hidung berlebihan, konka

hipertrofi,

- kerusakan mukosa

silia rusak

sel goblet berubah ukuran

membran basal menebal

pembuluh darah melebar

stroma edem

hipersekresi keenjar mukus

lapisan mukosa menebal

lapisan periosteum menebal

Terapi - hindari penyebab

- simptomatis 9denkongestan

- hentikan obat

- kortikosteroid

32

Page 33: RINITIS ALERGI

oral, diatermi, kauterisasi

konka, kortikosteroid topikal)

- oprasi (bedah beku,

elektrokauter, konkatomi

inferior)

- Neurektomi N. Vidianus

- dekongestan oral

- operatif

B. RINITIS INFEKSI

Pembeda Simpleks Hipertrofi Atrofi

Sebab - Virus, self limiting

desease

- dapat merupakan

infeksi sekunder

(bakteri)

- infeksi berulang di

hidung/sinus

- lanjutan rinitis

alergi atau

vasomotor

- Klabsiella ozaena

- defisiensi Fe,

vitamin A

- sinusitis kronis

- kelainan hormon

- penyakit kolagen

- autoimun

Gejala - hidung kering,

panas dan gatal

- bersin berulang

- hidung tersumbat

- sekret encer, putih,

jernih ( kental bila

infeksi sekunder

oleh bakteri)

- demam

- nyeri kepala

- nasolalia

- sumbatan hidung

- sekret banyak

mukopurulen

- nyeri kepala

- konka hipertrofi,

berbenjol-benjol

ditutupi mukosa

hipertrofi dan sekret

yang mukopurulen

- nafas berbau (yang

mencium orang lain,

pasien tidak)

- hiposmia atau

anosmia

- sekret kental hijau,

cepat kering

- terdapat krusta hijau

dan busuk

- hidung tersumbat

- nyeri kepala

pemeriksaan

penunjang :

- transluminasi

- Fe serum

- kultur dan uji

33

Page 34: RINITIS ALERGI

kepekaan

- histologik

- Rontgen SPN

Pemeriksaan

Fisik

- sesuai gejala

sistemik

- edema konka

- hiperemis mukosa

- sekret serous-

mukus

- konka hipertrofi

- permukaan konka

tak rata

- sekret mukopurulen

- Rongga hidung

lapang, silia

menghilang

- konka atrofi

- sekret dan krusta

hijau

- lapisan sub mukosa

menjadi lebih tipis

Terapi - istirahat

- analgesik

antipiretik

- dekongestan

- sesuai penyebab

- kauterisasi konka

- konkotomi/reduksi

- antibiotik

- obat cuci hidung

- vitamin A

- preparat Fe

- operatif

C. RINITIS SPESIFIK

Pembeda Difteri Sifilis TB

sebab Corynebacterium difteria T. Pallidum M. Tuberculosis

Gejala - demam

- toksemia

- limfadenitis

- paralisis

- sekret bercampur

darah

- pseudomembran

putih

- krusta coklat di nares

dan kavum nasi

- sama dengan rinitis

akut lain

- bercak pada mukosa

- guma atau ulkus

- sekret mukopurulen

berbau+krusta

- perforasi septum/

hidung pelana

- hidung tersumbat

- sekret

mukopurulen +

krusta

- BTA (+)

Terapi - Isolasi

- Penisilin (lokal/IM)

- penisilin

- obat cuci hidung

- Obat anti TB

- obat cuci hidung

34

Page 35: RINITIS ALERGI

BAB IV

KESIMPULAN

Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang

disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di

udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus

cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata, yaitu : berair, kemerahan dan gatal.

RA merupakan penyakit umum dan sering dijumpai.

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid

disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak

hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya allergic shiner, allergic salute

dan allergic crease.

Pemeriksaan alergi dengan tes kulit (tes cukit) terhadap berbagai allergen mungkin

dapat menunjang penegakan diagnosis RA.Bila hasil belum dapat mengetahui mungkin

diperlukan tes alergi intra dermal. Pemeriksaan kadar lgE di darah meningkat (tidak spesifik).

Pemeriksaan terhadap lgE spesifik terhadap alergen tertentu.

Pengobatan rhinitis alergi bergantung pada tingkat keparahan penyakit. Namun yang

terpenting adalah dengan menghindari alergen pemicu.

35

Page 36: RINITIS ALERGI

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell Richard. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Penerbit: EGC.

Jakarta . 2006.

2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2004.

3. Hall, John E. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Publisher: Saunders

2010.

4. Boies, adams. Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. Jakarta .1997

5. Balenger, John Jacob. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Jilid

Satu. Staf Ahli Bagiat THT FK UI, Binarupa Aksara Publisher.

6. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010. Tersedia di:

http://emedicine.medscape.com/article/134825-diagnosis. Diunduh pada 20 Januari

2014.

36