MAKALAH PRAKTIKUM
FARMAKOGNOSI FITOKIMIA
Curcumae domesticae Rhizoma ( rimpang kunyit)
Disusun oleh :
Ni Putu Ratna P (118114176)
Me Li (118114177)
Megasari Delfia (118114178)
Baptissa Della Miranti (118114179)
I Gusti Ngurah Teguh P (118114180)
Setio Agustin (118114181)
I Made Mudiarcana (118114182)
Wirna Niki Suprobo (118114183)
Paramita Liong (118114184)
LABORATORIUM FARMAKOGNOSI FITOKIMIA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Tumbuhan memiliki banyak kandungan senyawa kimia yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan obat. Terkadang, banyak penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan obat
kimia melainkan dapat disembuhkan dengan obat alami dari tumbuhan.
Curcumae domesticae Rhizoma ( rimpang kunyit) adalah salah satu simplisia yang
banyak digunakan sebagai bahan alami dalam pembuatan obat. Curcumae domesticae
Rhizoma (rimpang kunyit) digunakan sebagai obat analgesik dan penambah nafsu makan.
Sebelum diolah menjadi bahan obat simplisia yang digunakan harus memenuhi standar dan
persyaratan yang sudah ditetapkan, khususnya persyaratan kadar senyawa yang terkandung
dalam simplisia.
Untuk mengetahui mutu dari simplisia yang akan kita gunakan, dapat dilakukan
pemeriksaan yaitu secara organoleptik, makroskopik, mikroskopik, serta secara kimia.
Mengetahui kandungan senyawa apa saja yang terkandung dalam simplisia yang akan kita
gunakan juga penting dalam pemanfaatan simplisia tersebut untuk pengobatan.
Dari uraian tersebut maka praktikan melakukan identifikasi simplisia, uji kemurnian,
dan skrining fitokimia sehingga dapat diketahui kemurnian dan senyawa apa saja yang
terkandung dalam simplisia tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
a. Dari identifikasi simplisia, bagaimana organoleptis dan mikroskopis dari Curcumae
domesticae Rhizoma ( rimpang kunyit) ?
b. Dari uji kemurnian, bagaimana kadar murni dari Curcumae domesticae Rhizoma
( rimpang kunyit) ?
c. Dari skrining fitokimia, golongan senyawa apa saja yang terdapat pada Curcumae
domesticae Rhizoma ( rimpang kunyit) ?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui identifikasi simplisia Curcumae domesticae Rhizoma (rimpang
kunyit) secara makroskopik dan mikroskopik.
b. Untuk mengetahui kemurnian dari simplisia Curcumae domesticae Rhizoma
(rimpang kunyit).
c. Untuk mengetahui golongan senyawa yang terdapat pada simplisia Curcumae
domesticae Rhizoma (rimpang kunyit).
1.4 Manfaat
a. Sebagai bahan informasi tentang fragmen mikroskopis khas yang terdapat dalam
Curcumae domesticae Rhizoma (rimpang kunyit).
b. Sebagai bahan informasi tentang kemurnian dari simplisia Curcumae domesticae
Rhizoma (rimpang kunyit).
c. Sebagai bahan informasi tentang golongan senyawa yang terdapat pada simplisia
Curcumae domesticae Rhizoma (rimpang kunyit).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Curcumae domesticae Rhizoma ( rimpang kunyit)
Kunyit (Curcuma domestic) termasuk salah satu tanaman rempah dan obat, habitat asli
tanaman ini meliputi wilayah Asia khususnya Asia Tenggara. Kunyit ini sering digunakan
sebagai obat radang umbai usus buntu, radang rahim, radang tenggorokan,penyakit weil,
asma, borok, gatal bengkak, perut nyeri, hipertensi, pusing,demam kuning
(Djokomoelyanto,1986).
2.1.1 Kandungan dan Kemurnian
Rimpang kunyit adalah rimpang Curcuma domestica Val. Kadar abu tidak lebih dari 9
%, kadar abu yang tidak larut asam tidak lebih dari 1,6%, kadar sari yang larut dalam air tidak
kurang dari 15%, kadar sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 10%, bahan organik
asing tidak lebih dari 2%. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik, isi dari Curcuma
domestica Val adalah minyak atsiri 3-5 %, kurkumin, pati, tanin, damar (Depkes RI, 1977).
Rimpang kunyit mengandung minyak atsiri dengan senyawanya antara lain
fellandrene,sabinene,sineol,borneol,zingiberene,curcumene,turmeron,kamfene,kamfor,asam
kaflirak,asam metoksisinamat, tolilmetil karbinol, selain itu mengandung tepung dan zat
warna curcumin (Djokomoelyanto,1986).
2.2 Simplisia
Simplisia merupakan bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia terbagi 2 jenis, yaitu simplisia nabati dan simplisia hewani. Simplisia
nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian dari tanaman atau isi sel dengan
cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni. Sedangkan
simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan, atau zat-zat
berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Selain itu juga
terdapat simplisia pelican (mineral), yaitu simplisia yang berupa bahan-bahan pelikan/mineral
yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni
(Depkes RI, 1978).
2.2.1 Pemeriksaan Simplisia
Jika simplisia tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan maka
simplisia dianggap bermutu rendah, terutama persyaratan kadarnya. Hal yang menyebabkan
simplisia bermutu rendah yaitu tanaman asal, cara panen, dan pengeringan yang salah,
pemyimpanan terlalu lama, kelembaban atau panas, atau isinya telah disari dengan cara
pelarutan dan penyulingan. Secara garis besar ada beberapa macam cara pemeriksaan dalam
menilai simplisia yaitu :
- Secara organoleptik
- Secara mikroskopik
- Secara fisika
- Secara hayati
- Secara makroskopik(Depkes RI, 1995).
Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan atau pembelian dari
pengumpul / pedagang simplisia. Pemeriksaan organolpetik dan makroskopik dilakukan
dengan mengguankan indra manusia. Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan
menggunakan mikroskop dengan mengamati ciri-ciri anatomi histologi terutama untuk
menegaskan keaslian simplisia dan pemeriksaan untuk menetapkan mutu berdasarkan
senyawa aktifnya, umumnya meliputi pengamatan terhadap serbuk (Depkes RI, 1997).
Untuk mendapatkan bahan baku obat tradisonal yang mempunyai identitas yang jelas
diperlukan pencatatan dan pengujian dari setiap bahan baku, yaitu :
1. Nama simplisia ditulis dalam bahasa latin, diikuti dengan nama nasional (dagang)
2. Uraian
3. Nama daerah
4. Pengertian
5. Buku pembanding
6. Identifikasi
7. Uji kemurnian :
-Kadar abu
-Kadar zat terekstraksi air
-Kadar zat terekstraksi etanol
-Bahan organik asing
-Cemaran
-Cemaran mikroba
-Cemaran logam berat
-Susut penyaringan
-Kadar air
-Zat identitas
-Penetapan kadar
-Peralatan
-Wadah dan penyimpanan
(Depkes RI, 1989).
2.2.2 Kemurnian Simplisia
Benda-benda asing simplisia nabati dan hewani tidak boleh mengandung organisme,
pathogen ,dan harus bebas dari cemaran mikroba, serangga, binatang lain maupun kotoran
hewan. Simplisia tidak berbau dan berwarna, tidak mengandung lendir atau menunjukkan
adanya kerusakan. Jumlah benda anorganik asing dalam simplisia nabati atau hewani yang
dinyatakan sebagai kadar abu tidak larut asam tidak boleh lebih dari 2 %, kecuali dinyatakan
lain (Dirjen POM, 1995).
2.3 Skrining Fitokimia
Pendekatan skrining fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan kimia
dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah, biji)
terutama kandungan metabolit sekunder yang bioaktif, yaitu alkaloida, antrakinon,
flavonoida, glikosida jantung, kumarin, saponin, tanin, minyak atsiri, dan sebagainya).
Adapun tujuan utama dari pendekatan skrining fitokimia adalah untuk mensurvei
tumbuhan untuk mendapatkan kandungan bioaktif atau kandungan yang berguna
untuk pengobatan (Depkes RI, 1978).
Metode yang digunakan atau yang dipilih untuk melakukan skrining fitokimia
harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu sederhana dan cepat, dapat dilakukan
dengan peralatan yang minimal, selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari,
bersifat permikuantitatif, yaitu memiliki batas kepekaan untuk senyawa yang
bersangkutan, dapat memberikan keterangan tambahan ada atau tidaknya senyawa
tertentu dari golongan senyawa yang dipelajari (Depkes RI, 1978).
2.4 Kromatografi
Pemisahan dan permurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan
menggunakan salah satu dari 4 teknik kromatografi atau gabungan teknik tersebut.
Keempat teknik tersebut adalah Kromatografi Kertas (KKt), Kromatografi Lapis Tipis
(KLT), Kromatografi Gas Cair (KGC), dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT). Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar tergantung pada sifat
kelarutan dan keatsirian senyawa yang akan dipisah (Harborne, 1987).
Kromatografi lapisan tipis digunakan pada pemisahan zat secara cepat, dengan
menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada
lempeng kaca. Lempeng yang dilapis, dapat dianggap sebagai “kolom kromatografi
terbuka” dan pemisahan didasarkan pada penyerapan, pembagian, dan gabungannya
tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis
pelarut. Kromatografi lapisan tipis dengan penyerap penukar ion dapat digunakan
untuk pemisahan senyawa polar (Depkes RI, 1997).
Kromatografi lapis tipis adalah cara pemisahan dengan absorbs pada lapisan
tipis adsorben. Metode ini digunakan untuk memisahkan senyawa organic, anorganik,
dan sintetik. Metode ini dibedakan menjadi 2 fase, fase diam dan fase gerak
(Robinson, 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan dalam KLT yang mempengaruhi
harga Rf antara lain :
1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
2. Sifat dari penyerap dan derivat aktivitasnya
3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap
4. Pelarut dan derajat kemurnian fase gerak
5. Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana penguapan yang digunakan
6. Teknik percobaan
7. Jumlah cuplikan yang digunakan
8. Suhu
9. Kesetimbangan (Robinson, 1995).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan meliputi identifikasi simplisia, uji kemurnian, dan skrining
fitokimia secara kualitatif secara kimiawi dan dengan metode kromatografi lapis tipis pada
Curcumae domesticae Rhizoma ( rimpang kunyit). Metodologi penelitian yang digunakan
metode naturalistik. Parameter yang dilihat adalah warna dari hasil reaksi sampel dengan
reagen tertentu, perhitungan kadar abu, bentuk fragmen, organoleptis, dan tinggi bercak yang
dihasilkan pada metode kromatografi lapis tipis.
3.1 Alat-Alat yang Digunakan
Mikroskop
Lampu spiritus
Gelas penutup
Gelas objek
Silet
Waterbath
Pipet tetes
Spektrofotometer UV-VIS
Timbangan
Kurs platina
Kertas saring
Tabung reaksi
Corong pisah
Pipa kapiler
Gelas ukur
Pengaduk
Beaker glass
Lempeng KLT
Cawan porselin
Pipet pasteur
Bejana KLT
3.2 Bahan-Bahan yang Digunakan
Curcumae domesticae Rhizoma
( rimpang kunyit)
Air/ aquadest
Larutan HCL encer
Etanol 95%
Larutan kloralhidrat
Larutan iodium
Air kloroform P
Toluene
Larutan hidroksida
Pereaksi dragendorff
Pereaksi mayer
Asam 3,5-dinitro benzoate
Larutan gelatin
Kalium hidroksida 1N dalam
methanol
Eter
Petroleum eter
Serbuk natrium karbonat
Benzena
Asam formiat
Silica gel
Silica gel GF
Larutan hidrogen peroksida
Etil asetat
KOH etanolis
Pereaksi besi (III) klorida
FeCl3
Kalium hidroksida 0,5 N
Garam fast blue B
Asam asetat glacial
Vanilin asam sulfat
Larutan natrium klorida
N butanon
Asam cuka
Sitroborat
Selulosa
Larutan alkaloida
Aluminium klorida
NaHCO3
Etanol 75%
Dietilamina
Larutan rutin
Sikloheksana
Sapindus rarak
Tertier butanol
Butanol
Ff KLT LP
Larutan asam tanat
Methanol
Larutan digoksin lanatosida
Rhei radix
Rutae herba
3.3 Identifikasi Simplisia
a. Pembuatan sediaan
Serbuk simplisia diletakkan di kaca preparat
Diteteskan kloralhidrat
Dipijarkan, diamati di bawah mikroskop
b. Pengenalan simplisia nabati
Simplisia digambar, ditulis nama simplisia yang diamati,tanaman asal, dan famili
Dideskripsikan wujudnya secara umum
Disebutkan ciri khas, dilakukan uji secara organoleptik
3.4 Uji Kemurnian Simplisia
a. Penetapan kadar abu
Lebih kurang 2-3 gram zat yang telah digerus dan ditimbang seksama, dimasukkan ke
dalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, diratakan
Dipijarkan perlahan-lahan hinga arang habis, didinginkan, ditimbang. Jika dengan cara
ini arang tidak dapat dihilangkan dengan air panas, disaring melalui kertas saring
bebas abu.
Dipijarkan sisa dan kertas saring dalam kurs yang sama
Filtrat dimasukkan ke dalam krus, diuapkan, dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang
Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara
b. Penetapan kadar abu yang tidak larut asam
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu dididihkan dengan 25 ml asam klorida
encer P selama 5 menit
Bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui krus masir atau
kertas saring bebas abu
Dicuci dengan air panas, dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang
Kadar abu yang tidak larut asam dihitung terhadap bahan yang dikeringkan di udara
c. Penetapan kadar abu yang larut dalam air
Abu yang diperoleh pada penetepan kadar abu dididihkan dengan 25 ml air selama 5
menit
Dikumpulkan bagian yang tidak larut, disaring melalui krus kaca masit atau kertas
saring bebas abu
Dicuci dengan air panas dan dipijarkan selama 15 menit pada suhu tidak lebih dari
450º C, hingga bobot tetap, dtimbang. Perbedaan bobot sesuai dengna jumlah abu
yang larut dalam air
Kadar abu yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang dikeringkan di udara
d. Penetapan kadar sari yang larut dalam air
Sebuk (4/18) dikeringkan di udara
5,0 gram serbuk dimaserasi dengan 100 ml air kloroform P dalam labu bersumbat
Selama 6 jam pertama sekali-kali dikocok selama agar homogeny, selanjutnya
dibiarkan selama 18 jam
Disaring, 20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata
yang telah ditara, dipanaskan pada suhu 105º C hingga bobot tetap
Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara
e. Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol
Sebuk (4/18) dikeringkan di udara
5,0 gram serbuk dimaserasi dengan 100 ml etanol (95 %) dalam labu bersumbat
Selama 6 jam pertama sekali-kali dikocok selama agar homogeny, selanjutnya
dibiarkan selama 18 jam
Disaring cepat dengan menghindarkan penguapan etanol (95 %)
20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah
ditara, dipanaskan pada suhu 105º C hingga bobot tetap
Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol (95 %) dihitung terhadap bahan yang
telah dikeringkan di udara
f. Penetapan bahan organik asing
25-500 gram simplisia ditimbang, diratakan
Bahan organik asing dipisahkan sesempurna mungkin
Dtimbang dan ditetapkan jumlahnya dalam persen terhadap simplisia yang digunakan
g. Penetapan kadar air dengan distilasi toluene
Sejumlah simplisia (10 gram serbuk) yang setara dengan kandungan air 2 sampai 4 ml
dimasukkan ke dalam labu alas bulat 500 ml
200 ml toluen dimasukkan ke dalam labu alas bulat dan dihubungkan dengan
destilator dan pendingin tegak
Sejumlah toluen dituang dalam tabung penerima melalui pendingin
Pemanas (heating mentle) dihidupkan, panas diatur hingga toluen mendidih dan mulai
ada tetesan toluen dan air
Kecepatan tetes destilasi diatur 4 tetes per detik, dilanjutkan destilasi sampai tidak ada
lagi tetesan air (kira-kira 3 jam)
Kadar air dihitung dalam % v/b
3.5 Skrining Fitokimia
3.5.1 Uji Kualitatif Secara Kimiawi
a. Pembuatan serbuk simpleks
Pengumpulan bahan simpleks (seluruh tumbuhan atau bagian tumbuhan)
dilakukan dari daerah tertentu, pada bulan tertentu, berasal dari tumbuhan tertentu
yang berada pada masa tertentu.
Dilakukan sortasi basah, selanjutnya dicuci dengan air mengalir, dikeringkan
dengan cepat (diangin-anginkan, dipanaskan dalam almari pemanas yang
dilengkapi dengan kipas angin, dijemur dibawah sinar matahari langsung atau
ditutupi dengan kain hitam).
Setelah simpleks cukup kering (mudah dihancurkan) kemudian digiling atau
dihaluskan dengan cara tertentu, lalu diayak sehingga diperoleh serbuk simpleks
yang kering dan siap untuk diteliti.
b. Uji pendahuluan
Serbuk simpleks (2g) ditambah air (10 ml), dipanaskan selama 30 menit diatas air
mendidih.
Larutan disaring melalui kapas. Senyawa yang mengandung kromoform
(flavonoida, antrakinon, dsb), dengan gugus hidrolofilik (gula, asam, fenolat, dsb)
ditunjukkan dengan suatu larutan berwarna kuning sampai merah .
Pada penambahan larutan kalium hidroksida (beberapa tetes), warna larutan
menjadi lebih intensif.
c. Uji alkaloida
Serbuk simpleks 2 g ditambahkan air (10 ml), dipanaskan dalam tabung reaksi
besar dengan asam klorida 1% (10 ml) selama 30 menit dalam penangas air
mendidih.
Suspensi disaring dengan kapas kedalam tabung reaksi A dan tabung reaksi B
sama banyak.
Larutan A dibagi 2 sama banyak, lalu kedalam larutan A-1 ditambah pereaksi
Dragendorff (3 tetes) dan larutan A-2 ditambah peraksi mayer (3 tetes)
Adanya alkaloida ditunjukkan dengan terbentuknya dengan dua pereaksi tersebut
Keberadaan alkaloida dari basa tertier atau kuartener dapat ditunjukan dengan
penambahan serbuk natrium karbonat sampai pH 8-9, kemudian dicampurkan
dengan kloroform (4 ml), diaduk pelan-pelan
Setelah kloroform memisah, diambil dengan pipet Pastuer dan ditambahkan asam
cuka 5% sampai pH 5, diaduk lalu dipisahkan lapisan atas dengan pipet.
Kemudian ditambahkan pereaksi Dragendorff (5 tetes) untuk lapisan atas.
Adanya alkaloida dari basa kuartener ditunjukkan dengan terbentuknya endapan.
Kemudian lapisan bawah ditambah asam klorida % (10 tetes) diaduk, akan
terbentuk 2 lapisan.
Diambil lapisan atas serta tambahkan pereaksi Dragendrorff (2 tetes), alkaloida
dari basa tertier ditunjukkan dengan terbentuknya endapan.
d. Uji antrakinon
Serbuk simpleks (300 mg) dididihkan selama 2 menit dengan kalium hidroksida
0,5 N (10 ml) dan larutan hidrogen peroksida (1 ml)
Setelah dingin suspensi disaring melalui kapas.
Filtrat (5 ml) ditambah asam asetat glasial (10 tetes) sampai pH 5, lalu
ditambahkan toluena (10 ml).
Lapisan atas (5 ml) dipisahkan dengan dipipet dan dimasukan kedalam tabung
reaksi.
Kemudian ditambah 0,5-1 ml kalium hidroksida 0,5 N.
Adanya senyawa antrakinon ditunjukkan dengan warna merah yang terjadi pada
lapisan air (basa).
e. Uji polifenol
Serbuk simpleks (2 g) dipanaskan dengan air (10 ml) selama 10 menit dalam
penangas air mendidih.
Disaring panas-panas, setelah dingin ditambahan 3 tetes pereaksi besi (III)
klorida.
Adanya polifenolat ditunjukkan dengan adanya warna hijau-biru.
Uji diulang dengan filtrat hasil pendidihan serbuk tumbuhan (2 g) dengan etanol
80% 9-10 ml selama 10 menit dalam penangas air.
f. Uji tanin (zat samak)
Serbuk simpleks (2 g) dipanaskan dengan air (10 ml) selama 30 menit diatas
penangas air mendidih.
Disaring, filtrate (5 ml) ditambah larutan natrium klorida 2% (1 ml), bila terjadi
suspense atau endapan disaring melalui kertas saring, kemudian filtrate ditambah
larutan gelatin 1% (5ml).
Adanya tanin ditunjukkan dengan terbentuknya endapan
g. Uji kardenolida
Filtrat 2 ml dari hasil pemanasan serbuk tumbuhan (2 g) dengan air (10 ml)
selama 30 menit diatas penangas air tadi (point 6), ditambah asam 3,5-dinitro benzoate
(0,4 ml) dan kalium hidroksida 1 N (0,6 ml) dalam metanol.
Adanya kardenolida (glikosida jantung) ditunjukkan dengan terjadinya warna
biru-ungu.
Untuk penegasan lebih lanjut, filtrate yang lain (2ml) dicampur dengan kloroform
(2 ml)
Lapisan atas diambil dengan pipet, lapisan bawah ditambah asam 3,5-dinitro
benzoate (0,5 ml).
Adanya kardenolida ditunjukkan dengan terjadinya warna biru-ungu.
h. Uji saponin
Dimasukkan 100 mg serbuk simpleks ke dalam tabung reaksi, ditambah 10 ml air,
ditutup dan dikocok kuat-kuat selama 30 detik.
Tabung dibiarkan dalam posisi tegak selama 30 menit.
Apabila terbentuk buih setinggi (3 cm dari permukaan cairan, maka menunjukan
adanya saponin).
Uji lain dilakukan dengan menggunakan pipa kapiler
(diameter 1 mm, panjang 12,5 cm).
Larutan hasil pemanasan serbuk tumbuhan (2 g) dengan air (10 l) selama 30
menit di atas tangas air, setelah disaring, filtrate dimasukan ke dalam pipa kapiler
penuh-penuh.
Kapiler diletakan dalam posisi tegak (vertikal), kemudian cairan dibiarkan
mengalir bebas. Sebagai pembanding, dikerjakan hal serupa untuk air suling.
Tinggi cairan tertinggal dibandingkan dengan tinggi air suling (pembanding).
Bila tinggi cairan yang diuji setengan atau kurang dari tinggi air suling, maka
adanya saponin akan diperhitungkan.
i. Uji minyak atsiri
Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambah 20 ml eter, dikocok, disaring.
Filtrat dikering uapkan
Bila sedikit berbau aromatik, residu dilarutkan dengan sedikit etanol, diuapkan
lagi sampai kering. Bila terjadi bau aromatik spesifik, menunjukkan adanya
minyak atsiri.
3.5.2 Uji Kualitatif Secara KLT
Serbuk simpleks 2-3 gram
Disari dengan petroleum eter 10
ml, 50°C selama 5 menit
Sisa Fraksi petroleum eter (disingkirkan)
Disari dengan kloroform-asam asetat
(99:1), 10 ml, 50°C selama 5 menit
Sisa Fraksi CHCl3-HAc (larutan I)
Disari dengan metanol-kloroform-asam asetat
(49,5:49,5:1), 10 ml, 50°C selama 5 menit
Sisa Fraksi CHCl3-MeOH-HAc (larutan II)
Disari dengan metanol-air (1:1), 10 ml, 50°C selama 5 menit
Sisa (dibuang) fraksi methanol-air (larutan III)
Larutan I : antrakinon, fenolat,flavonoida, kumarin, steroida
Larutan II : glikosida antrakinon, glikosida kumarin, saponin, tannin
Larutan III : kardenolida, saponin, glikosida antrakinon, glikosidaflavonoid
Sistem KLT yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Larutan I
Fase diam : silika gel GF 24
Fase gerak : etil asetat-benzene (9:1), atau etil asetat-toluena (9:1)
Destilat : FeCl3, garam fast blue B atau vanilin asam sulfat
2. Larutan II
Fase diam : a. Silika gel G
b. Silika gel GF 254
c. Silika gel GF 254
Fase gerak : a. N butanon-asam asetat-air (5:1:4) v/v fase atas
b. etil asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) v/v
c. etil asetat-metanol-air (100:13,5:10) v/v
Reaksi : a. Besi (III) klorida, alumunium klorida
b. sitroborat
c. KOH etanolis
3. Larutan III
Fase diam : a. Silika gel GF 254
b. Silika gel GF 254
c. selulosa
Fase gerak : a. butanol-asam asetat-air (5:1:4) v/v fase atas
b. kloroform-metanol-air (64:50:10) v/v
c. t butanol-asam asetat-air (4:1:5) v/v fase atas
Pembanding : a. Saponin, kardenolida
b. saponin, kardenolida, antrakinon
c. glikosida flavonoid
Deteksi : a. Liebermann-Burchard
b. Vanilin asam sulfat
c. Uap ammonia, UV 365 nm, aluminium klorida
Larutan pembanding yang digunakan :
a. glikosida flavonoida : larutan rutin 0,1 % dalam metanol
b. flavonoida : larutan kuersetin 0,1 % dalam metanol
c. antrakinon : larutan Rhei Radix (0,5 g) dipanaskan 5 menit dalam metanol (5
ml) , saring, filtrat diuapkan sampai 0,5 ml. Totolkan 20 uL
d. saponin : larutan daging buah Sapindi rarak pulpa Fructus (2 g), direfluks
dengan etanol 75 % ( 10 ml) selama 10 menit.
e. kumarin : larutan Rutae Herba (0,5 g) dipanaskan dalam metanol (5 ml) sambil
diaduk selama 30 menit, saring, filtrat diuapkan sampai 0,5 ml; totolkan 20 uL.
f. tanin : larutan asam tanat 0,05 % dalam etanol 70 % (10 (l)
g. kardenolida : larutan digoksin lanatosida C 5 mg dalam 2 ml metanol pada 60
OC.
h. alkaloida : larutan alkaloida 1 % dalam etanol. Alkaloida yang digunakan
tergantung dari suku tumbuhan tersebut. Totolkan 10 uL.
3.5.3 Uji Kualitatif Secara KLT Untuk Alkaloida
Serbuk simpleks 2-3 gram
Disari dengan petroleum eter 10 ml, 50°C
selama 5 menit
Sisa Fraksi petroleum eter (disingkirkan)
Disari dengan HCl 1% 10 ml, 50°C selama 5 menit
Sisa (dibuang) Fraksi asam klorida
Diuji dengan dragendoff, bila positif + NaHCO3 1 M sampai pH 8-9,
disari dengan kloroform 10 ml
Lapisan atas Lapisan bawah
disari dengan HCl 1 %
Larutan I
Lapisan bawah (dibuang) Lapisan Atas (Larutan II)
Larutan I : untuk uji alkaloida tertier
Larutan II : untuk uji alkaloida kuarterner
Sistem KLT yang digunakan :
Fase diam : silika gel GF 254
Fase gerak : sikloheksana-dietilamina (9 : 1) v/v atau tertier butanol-kloroform-dietil
amina (2: 7 : 1) v/v
Dinetralkan dengan asam asetat
Deteksi : pereaksi Dragendorff KLT LP, untuk memperjelas bercak, setelah kering
dapat disemprot dengan larutan NaNO2 5 %
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Simplisia
Identifikasi awal dilakukan dengan memperhatikan bagian organoleptisnya, baik itu
bau, warna, rasa, dan bentuk. Untuk pengamatan mikroskopik, digunakan bahan yang sudah
kering yaitu berupa serbuk. Identifikasi secara mikroskopik dilakukan dengan mengamati
serbuk yang telah diberi kloralhidrat untuk memperjelas pengamatan, karena kloralhidrat
mampu melisiskan isi sel sehingga anatomi sel tampak lebih jelas. Lalu dilakukan fiksasi
dengan melewatkan preparat yang sudah jadi di atas nyala api Bunsen dengan tujuan untuk
melisiskan sel. Proses fiksasi jangan terlalu lama atau jangan sampai gosong karena akan
menyebabkan sel-sel yang akan diamati rusak atau malah tidak terlihat.
Fragmen pengenal yang ditemukan pada simplisia Curcumae domesticae Rhizoma
(rimpang kunyit) adalah butir pati, gumpalan tidak beraturan zat warna kuning sampai kuning
coklat, parenkim dengan sel sekresi, fragmen pembuluh tangga dan pembuluh jala, fragmen
rambut penutup warna kuning, tidak terdapat serabut. Pengamatan secara organoleptis, warna
kuning, bau khas aromatik, rasa pahit, agak pedas, lama kelamaan menimbulkan rasa tebal.
Identifikasi selanjutnya adalah pengenalan simplisia nabati. Simplisia nabati adalah
simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman / eksudat tanaman. Eksudat tanaman
adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman / isi sel yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni. Dideskripsikan ciri-ciri
makroskopik dan melakukan pengamatan organoleptis serta menyebutkan nama tanaman asal
dan familinya.
Nama simplisia adalah Curcumae domesticae Rhizoma (rimpang kunyit), berasal dari
tanaman Curcumae domesticae Val , dengan famili zingiberaceae. Kepingan dari rimpang
kunyit ini ringan, rapuh, warna kuning jingga kemerahan sampai kuning jingga kecoklatan,
bentuk hampir bundar sampai bulat panjang. Bekas patahannya agak rata, berdebu, warna
kuning jingga sampai coklat kemerahan.
4.2 Uji Kemurnian
Uji kemurnian merupakan salah satu parameter mutu umum suatu simplisia sebagai
bahan kefarmasian. Uji kemurnian berarti uji bebas dari kontaminasi kimia dan biologis.
Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi
Materia Medika Indonesia (terbitan resmi DepKes RI). Jika tidak memenuhi persyaratan,
terutama persyaratan kadar, simplisia dianggap bermutu rendah. Hal ini dapat dipengaruhi
oleh tanaman asal, cara panen dan pengeringan yang salah, kelembaban/panas, penyimpanan
yang salah atau isinya telah disari dengan cara penyulingan. Beberapa penetapan kadar yang
dilakukan yaitu :
1. Penetapan kadar abu
Tujuan dari penetapan kadar ini adalah untuk mengetahui tingkat pengotoran oleh logam-
logam dan silikat pada simplisia. Kadar abu di dapatkan dari simplisia yang di masukkan ke
dalam krus platina dan dipijarkan hingga bobot tetap. Maksud dari bobot tetap ini adalah jika
dalam dua kali penimbangan berturut-turut berbeda di mana perbedaannnya tidak lebih dari
0,5 tiap gram. Tujuan pemijaran ialah untuk memaksimalkan pembentukan abu. Serbuk
simplisia diabukan karena logam dan silikat belum hancur dengan dibakar atau diarang saja.
Abu adalah sisa pembakaran sempurna bahan organik (residu yang tidak menguap bila
suatu bahan dibakar dengan cara tertentu). Secara kimia abu dapat didefinisikan sebagai
oksida logam dan bahan-bahan lain yang tidak dapat dibakar. Dalam kaitan dengan simplisia,
abu merupakan indikator derajat kebersihan penanganan simplisia.Secara alami didalam
simplisia terdapat logam. Logam-logam ini merupakan komponen hara tumbuhan yang dapat
merupakan komponen molekul penting dalam reaksi biokimiawi tumbuhan. Logam-logam
tersebut merupakan abu fisiologis. Sebagian besar abu fisiologis ini larut air. Pada saat
penyiapan, simplisia dapat terkotaminasi oleh tanah, pasir, dsb. Pasir merupakan senyawa
silikat yang tidak terbakar. Senyawa silikat ini tidak larut asam, sehingga merupakan
komponen penyusun abu tidak larut asam.Oleh karena itu, kadar abu dalam simplisia harus
ditentukan untuk melihat kadar senyawa pengotor yang terkandung di dalamnya. Bila kadar
abu simplisia melebihi persyaratan yang ditentu maka simplisia tersebut tidak boleh
digunakan untuk bahan baku pembuatan jamu. Kadar abu untuk Curcumae Domesticae
Rhizoma (rimpang kunyit) adalah tidak lebih dari 9%.
2. Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam
Tujuan dari penetapan kadar ini adalah untuk mengetahui jumlah cemaran oleh tanah dan
pasir yang diperlukan untuk penetapan kadar abu terendah yang tidak larut dalam asam, yaitu
asam klorida P. Abu yang diperoleh pada percobaan dibagi 2 untuk percobaan 2 dan 3, maka
perhitungan jumlah akhir dikali dengan 2. Abu yang tidak larut dalam asam dicuci dengan air
panas dengan tujuan untuk melarutkan sisa-sisa HCl dan untuk mengantisipasi agar tidak
terjadi perubahan suhu yang drastis karena dapat mempengaruhi hasil akhir. Kadar abu yang
tidak larut asam untuk Curcumae Domesticae Rhizoma (rimpang kunyit) adalah tidak lebih
dari 1,6%.
3. Penetapan kadar abu yang larut dalam air
Tujuan dari penetapan kadar ini adalah untuk mengetahui kadar terendah zat yang larut
dalam air. Abu yang didapat dicampur dengan air dan dididihkan dengan tujuan mempercepat
kelarutan. Percobaan hampir sama dengan penentuan kadar abu yang tidak larut dalam asam,
tetapi menggunakan pelarut air.
4. Penetapan kadar sari yang larut dalam air
Tujuan dari penetapan kadar ini adalah untuk mengetahui kadar sari terendah yang larut
dalam air. Serbuk di maserasi ± 24 jam dengan pelarut kloroform. Maserasi bertujuan untuk
mendapatkan campuran homogen dari kloroform dan simplisia, serta untuk melarutkan
serbuk.
Kloroform digunakan sebagai pelarut karena stabilitasnya lebih tinggi daripada air
(mikroba lebih cepat tumbuh di air daripada di kloroform). Prinsip dari maserasi adalah
penggojogan serbuk yang telah dikeringkan dalam pelarut tertentu hingga diperoleh sari dan
serbuk. Larutan kemudian disaring, difiltrat, diuapkan sampai kering hingga diperoleh bobot
tetap. Kadar sari yang larut dalam air untuk Curcumae Domesticae Rhizoma (rimpang kunyit)
adalah tidak kurang dari 15%.
5. Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol 95%
Tujuan dari penetapan kadar ini adalah untuk mengetahui kandungan terendah zat yang
larut dalam etanol, tetapi mungkin tidak larut dalam air. Kadar sari yang larut dalam etanol
untuk Curcumae Domesticae Rhizoma (rimpang kunyit) adalah tidak kurang dari 10%.
6. Penetapan bahan organik asing
Tujuan dari penetapan kadar ini adalah untuk mengetahui banyaknya cemaran bahan
organik asing yang biasa/sering ditambahkan atau penggantian (pemalsuan simplisia). Bahan
organik asing dapat berupa tanaman asal simplisia, tetapi bukan simplisia, seperti fragmen
batang dan ranting pada simplisia. Bahan organik asing untuk Curcumae Domesticae
Rhizoma (rimpang kunyit) adalah tidak lebih dari 2%.
7. Penetapan kadar air dengan destilasi toluen
Tujuan dari penetapan kadar ini adalah untuk mengetahui kadar air yang larut dlaam
pelarut yaitu toluen. Prinsip destilasi adalah pemisahan cairan berdasarkan titik didih.
Penetapan kadar air dengan destilasi toluen merupakan analisis volumetrik. Destilasi toluene
bertujuan untuk menjaga kualitas simplisia karena adanya kemungkinan pertumbuhan jamur
atau kapang. Digunakan toluen karena toluen merupakan pelarut aromatik dengan kompleks
benzena yang memiliki bau khas pengencer cat, dimana titik didihnya 110,6oC, sedangkan
titik didih air 100oC.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil penetapan kadar zat dan bahan organik asing
menyimpang antara lain :
Keaslian simplisia yang diinginkan
Ketidakmurnian simplisia karena cemaran organik asing dan bahan anorganik asing.
Manfaat dari standarisasi antara lain :
Mencegah penyebaran penyakit lewat produk.
Mempengaruhi pemasaran produk
Membatasi penyebaran/peredaran produk yang bermutu rendah.
4.3 Skrining Fitokimia
4.3.1 Uji Kualitatif Secara Kimiawi
Kunyit yang praktikan gunakan hanya didapatkan di pasar sehingga asal usulnya
tidak diketahui, seperti; diambil dari daerah mana, pada bulan apa diambil, dan dari
tumbuhan yang sedang mengalami masa bagaimana saat diambil.
Awalnya, kunyit yang praktikan dapat dikupas terlebih dahulu dari kulitnya yang
masih kotor karena adanya tanah. Jika sudah dipisahkan dari kulitnya, kunyit dicuci dengan
air mengalir sampai bersih. Setelah dicuci, kunyit diiris melintang tipis-tipis kemudian
dijemur dibawah sinar matahari 3-5 hari. Jika kunyit sudah kering dan dirasa sudah dapat
dihancurkan, kunyit diblander sehingga didapatkan bentuk serbuk. Setelah diblander,
serbuk di saring dan jika masih terdapat serbuk yang berukuran besar, serbuk di blander
kembali. Setelah sudah didapatkan bentuk serbuk yang diinginkan, serbuk dibungkus.
Seharusnya, sebelum dibungkus serbuk diangin-anginkan terlebih dahulu agar kandungan
air pada serbuk kunyit minimal yaitu kurang dari 8%. Kadar air yang tinggi dapat
mempengaruhi hasil pada saat penelitian simplisia.
a. Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui adanya senyawa yang mengandung
kromofor dengan gugus hidrofilik. Serbuk simpleks dipanaskan selama 30 menit dengan
tujuan mempercepat reaksi. Tetapi saat pemanasan serbuk simpleks menjadi seperti
gumpalan dikarenakan serbuk simpleks yang digunakan masih belum benar-benar kering
sehingga serbuk simpleksnya menyerap air. Untuk mengantisipasi larutan yang
menggumpal dan susah disaring melalui kertas saring, maka larutan ditambah 5 ml air lagi.
Setelah pemanasan didapat warna kuning. Lalu disaring menggunakan kapas karena hasil
dari pemanasan bentuknya serbuk dan aquadest menjadi kental seperti gumpalan yang
tidak bisa disaring menggunakan kertas saring, karena kandungan airnya terlalu sedikit.
Akan tetapi, karena laboran tidak menyediakan kapas maka praktikan tetap menyaring
menggunakan kertas saring sehingga prosesnya lama dan hasil penyaringan sedikit.
Kemudian ditambah larutan KOH LP untuk membuat warna larutan jadi lebih intensif.
Warna larutan yang didapat ialah warna merah. Ini menunjukkan hasil positif yang berarti
rimpang kunyit (Curcumae domestica Rhizoma) mengandung kromofor (flavonoida,
antrakinon, dsb) dengan gugus hidrofilik (gula, asam, fenolat, dsb).
b. Uji Alkaloida
Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui adanya alkaloida pada serbuk simpleks.
Pada pengujian alkaloida, serbuk simpleks yang digunakan sebanyak 2 gram yang
dilarutkan terlebih dahulu dengan HCl 1% sebanyak 10 ml. Alkaloid, merupakan suatu
senyawa yang mempunyai gugus N sehingga senyawa tersebut bersifat basa. Oleh karena
itu, tujuan penambahan HCl 1 % adalah untuk mengubah atau membentuk garam dari
alkaloid yang bersifat basa yang dipercepat dengan pemanasan. Dipanaskan sampai
diperoleh ekstrak yang kental dan berbentuk seperti suspensi. Tetapi yang terjadi saat
pemanasan serbuk simpleksnya mengering karena serbuk simpleks yang digunakan masih
belum benar-benar kering sehingga menyerap air. Untuk mengantisipasi hal tersebut
larutan ditambah 5 ml air. Lalu disaring menggunakan kertas saring. Seharusnya, suspensi
disaring menggunakan kapas agar proses penyaringan cepat. Ekstrak yang didapat dibagi
dalam 2 tabung reaksi karena akan diberi 2 perlakuan yang berbeda.
Tabung A dibagi dua lagi sama banyak yang akan dicampurakan dengan pereaksi
Dragendrof LP dan Mayer LP yang berfungsi sebagai sebagai pelarut alkaloid untuk
mengendapkan alkaloid. Pereaksi Mayer yang digunakan dalam uji ini mengandung logam
Hg dan KI yang akan membentuk kompleks endapan kuning muda dengan senyawa
alkaloid, sedangkan pereaksi Dragendorff yang mengandung Bismut dan KI akan
membentuk kompleks endapan jingga dengan senyawa alkaloid.
Hasil positif dari pengujian ini adalah terbentuknya endapan. Pada tabung yang
ditambahkan dengan pereaksi Dragendrof LP seperti terbentuk endapan tapi ternyata itu
bukanlah endapan melainkan warna pereaksi yang terlalu pekat sehingga larutan berwarna
hitam pekat. Pada uji dengan pereaksi Mayer juga tidak terdapat endapan dan campuran
berwarna kuning. Hal tersebut membuktikan bahwa pada rimpang kunyit tidak
mengandung alkaloida. Hal tersebut juga sesuai teori karena pada kunyit tidak terdapat
senyawa alkaloida. Tetapi, praktikan tetap melakukan percobaan pada tabung B untuk
mengetahui adanya alkaloid dari basa kuartener dan dari basa tertier. Dan dari percobaan
yang telah dilakukan memang tidak terjadi endapan yang menunjukan hasil positif dari
alkaloida.
c. Uji Antrakinon
Tujuan dilakukan uji ini adalah untuk mengetahui adanya senyawa antrakinon pada
serbuk simpleks. Serbuk simpleks ditambah dengan kalium hidroksida dan larutan
hidrogen peroksida, kemudian didihkan selama 2 menit. Setelah dingin hasil ekstraksi
disaring dengan menggunakan kapas karena hasil pemanasan hanya diperoleh sedikit
sekali, sehingga jika disaring dengan menggunakan kertas saring, hasil ekstraksi yang
diperoleh akan lebih sedikit. Tetapi, karena yang disediakan laboratorium hanya kertas
saring, praktikan melakukan penyaringan dengan kertas saring. Kemudian hasil ektraksi
ditambah asam asetat glasial dan ditambah toluene. Penambahan toluene berfungsi untuk
menghilangkan senyawa pengotor yang mungkin bisa mempengaruhi hasil dari reaksi
yang akan dilakukan.
Akan terbentuk 2 lapisan, dimana lapisan atas diambil dan ditambahkan kalium
hidroksida. Dari uji ini terbentuk 2 lapisan, lapisan atas berwarna bening dan lapisan
bawah berwarna kuning bening. Hasil positif dari uji ini adalah adanya warna merah pada
lapisan air (basa). Dari hasil yang didapat menunjukkan hasil negatif, yang berarti rimpang
kunyit tidak mengandung antrakinon.
d. Uji polifenol
Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui adanya senyawa polifenol pada serbuk
simpleks. Pemanasan bertujuan membantu melarutkan polifenol. Penambahan besi (III)
klorida dilakukan setelah ektraksi dingin dikarenakan besi (III) klorida dapat teroksidasi
dan menjadi zat yang bersifat toksik. Hasil positif dari uji ini adalah terbentuknya warna
hijau-biru. Hasil yang didapat ialah warna coklat kemerahan yang menunjukkan hasil
negatif, yang berarti kunyit tidak mengandung polifenol.
e. Uji tannin
Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui adanya tannin pada serbuk simpleks.
Dalam percobaan dilakukan pemanasan simplisia agar diperoleh hasil ekstraksi yang
maksimal. Filtrat disaring dengan kertas saring karena dihasilkan filtrat yang banyak
sehingga tidak susah disaring menggunakan kapas. Lalu filtrate ditambah NaCl yang
bertujuan untuk membentuk endapan apabila bereaksi dengan zat yang terkandung di
dalam simplisia. Ditambah larutan gelatin untuk memperjelas endapan yang ada. Hasil
positif dari uji ini adalah terbentuknya endapan. Hasil yang didapat ialah terbentuknya
warna merah tanpa endapan menunjukkan hasil negatif, yang berarti kunyit tidak
mengandung tanin.
f. Uji kardenolida
Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui adanya senyawa kardenolida pada serbuk
simpleks. Pada percobaan ini diambil 2 ml filtrat yang sudah terbentuk karena untuk filtrat
yang lainnya dilakukan untuk uji penegasan. Hasil positif dari uji ini adalah terbentuknya
warna biru-ungu. Dari data pengamatan didapatkan hasil negatif dengan terbentuknya
warna merah kehitaman. Lalu dilakukan uji penegasan dengan mencampur 2 ml filtrate
yang lain dengan kloroform dan lapisan bawah yang terbentuk dicampur dengan asam 3,5-
dinitro benzoate, sehingga terbentuk warna kuning. Ini menunjukkan hasil negatif yang
berarti rimpang kunyit tidak mengandung kardenolida. Prinsip dari uji penegasan itu
sendiri ialah untuk menegaskan bahwa reaksi yang terjadi atau terbentuk adalah benar
adanya.
g. Uji Saponin
Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui adanya senyawa saponin pada serbuk
simpleks. Sedangkan, tujuan dari pendiaman selama 30 menit adalah agar terbentuk reaksi
yang maksimal sehingga hasil yang diperoleh valid. Apabila terbentuk buih setinggi ≥ 3
cm dari permukaan cairan menunjukkan adanya saponin.
Untuk uji lain dilakukan dengan menggunakan pipa kapiler. Digunakan air sebagai
pembanding karena air sudah diketahui komposisi yang terdapat di dalamnya, sehingga
sudah merupakan senyawa pembanding yang pasti. Hasil positif dari uji ini adalah bila
tinggi cairan yang diuji setengah atau kurang dari tinggi air suling. Hasil yang didapat ialah
terbentuk warna kuning dan ada endapan tanpa busa. Ini menunjukkan hasil negative yang
berarti rimpang kunyit tidak mengandung saponin.
h. Uji minyak atsiri
Tujuan dari uji ini untuk mengetahui adanya minyak atsiri pada simplisia. Serbuk
simpleks ditambah dengan eter, lalu dikocok dan disaring kemudian filtrat dikeringuapkan.
Ternyata muncul bau aromatik. Kemudian residu dilarutkan dengan etanol dan dikering
uapkan lagi. Adanya bau aromatik menunjukkan bahwa kunyit mengandung minyak atsiri.
4.3.2 Uji Kualitatif secara KLT
Tujuan percobaan ini untuk mengidentifikasi kandungan kimia dalam simplisia
rimpang kunyit secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Kromatografi terbentuk apabila
terdapat satu fase diam dan satu fase gerak. Fase diam dapat berupa padatan atau kombinasi
cairan-padatan, sedangkan fase gerak berupa cairan/gas.
Fase diam merupakan fase yang menyerap senyawa yang akan diidentifikasi dimana
fase ini digunakan untuk menahan senyawa sekaligus digunakan untuk tempat jalannya
senyawa. Fase diam yang digunakan kebanyakan silica GF 254 yang artinya gel silica yang
dapat berflouroresensi pada 254 nm pada sianr UV. Saat disinari dengna sinar UV, silica ini
akan berwarna hijau. Selain silica GF 254, juga digunakan selulosa karena terdapat senyawa-
senyawa yang bersifat basa dimana jika digunakan silica GF 254 nm yang bersifat asam,
ditakutkan keduanya malah akan bereaksi dan elusinya malah tidak akan terlihat sehingga
digunakan selulosa dimana selulosa tidak akan berikatan dengan senyawa pada simplisia
tersebut.
Fase gerak merupakan fase yang diguanakan untuk melarutkan zat uji. Fase bergerak
mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam
campuran. Komponen-komponen yang berbeda, bergerak pada laju yang berbeda. Prinsip
kerja KLT adalah memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel
dengan pelarut yang digunakan. Fase gerak merupakan pelarut atau campuran pelarut yang
sesuai, disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Semakin dekat kepolaran
antara sampel dengan campuran larutan, maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak.
Campuran senyawa pada fase gerak harus memiliki perbandingan yang sesuai. Hal ini
bertujuan agar senyawa tidak terelusi terus-menerus dan terbawa oleh fase gerak tetapi dapat
berhenti ditengah sehingga diperoleh nilai Rf antara 0,2-0,8. Jumlah fase gerak yang
digunakan sangat bergantung pada besarnya wadah (chamber), banyaknya fase gerak yang
digunakan adalah ± 20 mL.
Di dalam KLT, digunakan standar yang digunakan untuk pembanding dengan senyawa
uji. Apabila simplisia yang kita gunakan memiliki kandungan metabolit sekunder bioaktif,
maka antara sampel dan standar akan memiliki warna yang sama jika dilihat dalam sinar UV
dan memiliki nilai Rf yang sama. Pada saat penotolan dilakukan setidaknya 3 kali agar dapat
terlihat jelas di bawah sinar UV dan pergerakan atau jarak elusi dapat lebih terlihat. Antara
penotolan satu dengan yang lainnya harus ditunggu kering dahulu agar warna cairan pada
silica gel terlihat tebal sehingga mempermudah dalam melihat elusi, jika tidak ditunggu
kering, cairan akan terserap lagi ke pipa kapiler atau kuantitas cairan pada silica tidak
bertambah karena silica gel belum kering. Jarak penotolan antara senyawa satu dengan yang
lain harus agak berjauhan, agar pergerakan tidak saling bertabrakan. Penotolan juga jangan
terlalu banyak karena akan melebar dan akan mempersempit ruang gerak senyawa untuk
berelusi sehingga akan bertabrakan satu sama lain.
Alasan perlunya dilakukan identifikasi secara KLT karena pada proses KLT ini, terjadi
pemisahan dari ekstrak yang memiliki banyak kandungan yang bermacam-macam dan
kandungan ini dapat terpisah-pisah sehingga dapat menggunakan kandungan tertentu sesuai
yang diinginkan. Proses pemisahan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan afinitas antara
senyawa dengan fase gerak dan fase diamnya. Dalam percobaan dilakukan Uji Kualitatif
Secara KLT dan Uji Kulaitatif Secara KLT untuk Alkaloid. Pada uji kualitatif secara KLT
dibuat tiga larutan percobaan, sebagai berikut :
a. Larutan I
Larutan ini didapat dari serbuk rimpang kunyit yang telah halus dengan proteleum eter
pada suhu 500C selama 5 menit. Kemudian, mengunakan sisa serbuk tadi untuk disari dengan
Kloroform-asam asetat (99:1) pada suhu 500C selama 5 menit sehingga terbentuk sisa dan
fraksi CHCl3-HAc, dimana fraksi CHCl3-HAc diambil sebagai larutan 1. Proses penyaringan
berfungsi untuk memisahkan kandungan yang akan kita identifikasi yaitu glikosida antrakinon
dari kandungan lainnya di dalam ekstrak. Di sini, digunakan standar berupa antrakinon,
sebagai fase gerak etil asetat-toluena (9:1) dan fase diam yaitu silika gel GF 254. Kejenuhan
fase gerak dapat dijaga dengan menutup bejana dinding dan sebelah dalam bejana dilapisi
dengan kertas saring yang telah dibasahi dengan sistem pelarut sehingga udara di dalam bejana
tersebut tetap jenuh pelarut dan cepat memasukan lempeng KLT sehingga kejenuhan tetap.
Penjenuhan ini berfungsi untuk mempercepat dalam proses perambatan sehingga perambatan
dapat berjalan secara optimal. Kejenuhan fase gerak dapat dilihat dari kertas saring yang telah
basah dalam Chamber dan proses pembahasan itu akan mengalir ke atas secara otomatis.
Larutan pembanding dibuat dari larutan Rhei Radix sebanyak 0,5 gram dipanaskan dalam
methanol 5 ml selama 5 menit, disaring dan filtratnya diuapkan sampai volume 0,5 ml
kemudian ditotolkan. Untuk deteksi digunakan FeCl3. Sampel tidak menunjukan bercak nyata
secara visual. Oleh karena itu, dilakukan pengamatan di bawah sinar UV 254 nm yang
menunjukan warna ungu.sedangkan pada UV 365 nm, pada pengamatannya akan tampak
oranye pada bercak bagian atas dan ungu pada bagian bawah. Apabila sampel tidak
berflourosensi pada UV (baik pada 254 nm dan 365 nm), maka dapat dilakukan
penyemprotan dengan pereaksi khusus untuk memperjelas bercak, misalnya dengan pereaksi
Dragendorff.
Pada percobaan yang dilakukan, didapat nilai Rf sebesar 0,63. Dalam percobaan larutan
standar tidak mengalami elusi dikarenakan kelarutan antara standar dan fase gerak tidak
sesuai. Rf merupakan jarak yangditempuh substansi/pelarut yang digunakan. Selain itu dapat
berarti juga faktor retensi suatu komponen dalam fase diam. Semakin besar nilai Rf maka
semakin besar pula jarak bergerak senyawa pada KLT. Nilai Rf yang besar menunjukan
senyawa kurang polar dan berinteraksi dengan bagian polar dari plat. Apabila nilai Rf
sama/hampir mendekati standa, maka dapat disipulkan mengandung senyawa yang
diidentifikasi. Rf didapat dengan membagi jarak rambat sampel dengan jarak rambat fase
gerak dari titik penotolan awal. Dihitung juga nilai HRf, yaitu mengalian harga Rf dengan
100. Dari data percobaan tidak dapat dipastikan apakah sampel mengandung glikosida
antrakinon ataukah tidak karena pembanding/standar tidak menunjukan pergerakan.
b. Larutan II
Larutan ini dibentuk dari sisa yang didapat dari larutan 1 yang kemudian disari dengan
metanol-kloroform-asam asetat (49,5:49,5:1) pada suhu 500C selama 5 menit. Proses
penyarian tersebut dipisahkan antara sisa dan fraksi CHCl3-MeOH-HAc yang terbentuk
dimana fraksi CHCl3-MeOH-Hac digunakan sebagai Larutan 2 ini diidentifikasi apakah
terdapat kandungan tanin atau tidak. Larutan 2 ini dilakukan tiga kali percobaan, yang
pertama digunakan standar saponin dengan fase gerak n-butanol-asam asetat-air (5:1:4) v/v
dan fase diamnya silika gel GF 254. Larutan standar saponin dibuat dengan larutan rimpang
kunyit 2 gram direfluks dengan etanol 75% sebanyak 10 ml selama 10 menit. Untuk deteksi
digunakan FeCl3. Sampel dapat dilihat bercaknya dengan UV 365 nm dan berflouroresensi
putih. Standar tidak menunjukan adanya elusi dikarenakan larutan standar tidak memiliki
kelarutan yang sesuai dengan fase gerak. Sementara untuk larutan II mengalami pergerakan
dan memiliki nilai Rf=0,83. Setelah didiamkan pada larutan fase gerak, elusi dari sampel
berwarna kuning namun seterlah penyemprotan dengan FeCl3 warna dari bayangan elusi
sampel berubah menjadi coklat.
Pada percobaan ini didapatkan nilai Rf sampel yang tidak bisa dibandingkan dengan
standar karena tidak didapatkan nilai Rf dari standar itu sendiri. Dan harga HRf terhitung
adalah 83. Proses penyarian juga berpengaruh terhadap nilai Rf yang didapatkan. Apabila
proses penyarian yang tidak sesuai dengan prosedur dalam hal ini suhu yang tidak dapat
dikontrol maka dapat memungkinkan terjadi penguapan yang berlebihan terhadap senyawa
yang kita inginkan. Nilai Rf yang tidak sesuai juga bisa disebabkan alat-alat yang kurang
bersih sehingga masih ada bekas-bekas kandungan lain yang menempel pada alat. Untuk
percobaan ke-3, digunakan standar kardenilida, fase geraknya t butanol-asam asetat-air (4:1:5)
v/v fase diamnya selulosa.
c. Larutan III
Larutan ini diperoleh dari larutan 2 yang kemudian disari dengan methanol –air (1:1)
pada suhu 50oC selama 5 menit sehingga diperoleh sisa dan fraksi methanol-air dimana
sisanya dibuang dan fraksi methanol-air digunakan sebagai larutan 3. Larutan 3 ini digunakan
fase diam berupa selulosa dengan fase gerak berupa t-butanol – asam asetat-air (4:1:5) v/v.
dan standarnya berupa kardenolida.
Dari data pengamatan setelah dilakukan perendaman, didapatkan larutan 3 menghasilkan
elusi dengan jarak 10 cm dengan warna kuning, setelah deteksi dengan uap ammonia
didapatkan warna orange kecoklatan, dan dibawah sinar UV terlihat warna kuning menyala.
Sedangkan standar (kardenolida) tidak mengalami elusi.
Didapatkan nilai Rf sampel sebesar 0,46 dan HRf sampel sebesar 46. Sedangkan nilai Rf
dan HRf standar tak dapat dihitung karena standar tidak mengalami pergerakan. Sehingga
harga Rf sampel dengan nilai Rf standar tidak dapat dibandingkan.
Larutan standar tidak mengalami elusi mungkin dikarenakan fase gerak tidak spesifik
dengan larutan standar. Sehingga tidak terjadi pergerakan standar.
4.3.3 Uji Kualitatif Secara KLT untuk Alkaloida
Serbuk simplisia sekitar 2-3 gram disari dengan petolium eter 10 ml selama 5 menit
sehingga didapat campuran dimana campuran tersebut dipisahkan dengan cara disaring
sehingga didapatkan sisa dan fraksi petroleum eter dimana fraksi tadi dibuang dan sisanya
yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya alkaloid. Sisa tadi disari lagi dengan HCl 1%
sebanyak 10 ml, lalu dipanaskan pada suhu 50oC selama 5 menit. Kemudian disaring kembali,
sisa yang berupa serbuk dibuang dan yang diambil adalah fraksi cairan dari asam klorida,
dimana fraksi ini yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya alkaloida. Fraksi tadi
diteteskan dengan pereaksi Dragendorff, akan menimbulkan hasil yang positif berupa larutan
simplisia yang awalnya berwarna kuning berubah menjadi kehitaman dan terbentuk endapan,
setelah itu ditambah NaHCO3 hingga pH nya mencapai 8-9. Ketika ditambahkan NaHCO3
terbentuk buih-buih karena NaHCO3 ini merupakan basa. kemudian disari dengan kloroform
sehingga akan terbentuk dua lapisan yaitu lapisan atas dan laipsan bawah.
Proses penyarian dilakukan di dalam corong pisah untuk menghilangkan gas yang
terbentuk yaitu CO2 ketika ditambahkan NaHCO3. Lapisan atas dinetralkan dengan asam
asetat dimana larutan ini menjadi larutan I dan lapisan bawah yang disari dengan HCl 1%
akan membentuk 2 lapisan juga di mana lapisan bawah dibuang dan lapisan atas digunakan
sebagai larutan II untuk mengidentifikasi adanya alkaloida pada ekstrak. Larutan I untuk
menguji alkaloid tersier sedangkan larutan II untuk menguji alkaloid kuartener.
Dari data pengamatan didapatkan setelah perendaman dalam fase gerak yang terdiri
dari tertier butanol – kloroform – dietil amina (2:7:1) v/v dan fase diam berupa silica gel 254,
didapatkan larutan I meninggalkan bercak sedangkan larutan II tidak meninggalkan bercak.
Namun setelah disemprot dengan pereaksi Dragendorf yang berfungsi untuk memperjelas
bercak, bercak pada larutan I tersebut tidak terlihat. Sehingga hal ini menunjukkan kunyit
tidak memiliki senyawa alkaloid tertier maupun alkaloid kuartener.
Tidak adanya elusi pada percobaan ini dapat disebabkan oleh sampel tidak memiliki
alkaloida tertier dan alkaloida kuartener, pelarutnya tidak sempurna atau dikarenakan senyawa
tidak larut dalam fase gerak.
Kelebihan metode KLT adalah relatif mudah dilakukan, murah, dan spesifik untuk
senyawa yang akan dipisahkan. Kekurangannya adalah pemilihan fase diam yang harus sesuai
dengan kepolaran fase gerak, dan juga jarak dan warna yang sama antara satu dengan yang
lainnya belum tentu mengandung senyawa yang sama, serta waktu yang diperlukan cukup
lama. Manfaat dari KLT adalah dapat memisahkan senyawa yang diinginkan dari campuran.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengamatan mikroskopis, fragmen pengenal yang ditemukan pada
simplisia Curcumae domesticae Rhizoma (rimpang kunyit) adalah butir pati,
gumpalan tidak beraturan zat warna kuning sampai kuning coklat, parenkim
dengan sel sekresi, fragmen pembuluh tangga dan pembuluh jala, fragmen
rambut penutup warna kuning, tidak terdapat serabut.
Dari hasil pengamatan secara organoleptis, warna kuning, bau khas aromatik,
rasa pahit, agak pedas, lama kelamaan menimbulkan rasa tebal.
5.2 Saran
Pada rimpang kunyit yang diuji lebih baik tidak digunakkan dalam bidang
kefarmasian karena asal usul dan umur yang tidak diketahui dengan pasti.
Walaupun telah mengandung minyak atsiri yang seharusnya dimiliki oleh
rimpang kunyit.
Sebaiknya, pada percobaan unit II bahan uji yang digunakkan juga dari
rimpang kunyit supaya dapat mengetahui apakah rimpang kunyit yang diuji
memenuhi standart atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI., 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I, Depkes RI, Jakarta, pp. xiii-xiv, 40, 45,
54, 80, 83.
Depkes RI., 1978, Materia Medika Indonesia, Jilid II, Depkes RI, Jakarta, pp. xi – xiv, 137-
140.
Depkes RI., 1989, Materia Medika Indonesia, Jilid V, Depkes RI, Jakarta, pp. 366-367.
Depkes RI., 1995, Materia Medika Indonesia, Jilid VI, Depkes RI, Jakarta, pp. 55-59.
Dirjen POM., 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Depkes RI, Jakarta, pp. Ii, Iii.
Djokomoeljanto, 1986, Indeks Tumbuh-Tumbuhan Obat di Indonesia, PT Eisai Indonesia,
Semarang, pp. 343.
Harborne, J.B., 1987, Metode Fitokimia, ITB Press, Bandung, pp. 245.
Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, ITB Press Bandung, pp.
95-101.
Top Related