REFERAT
Asma Pada Anak
Presentan:
Parmadi Komalajaya 2010-061-168
Pembimbing:
dr. Noor Widiastuti, Sp.A
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya
Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak.
Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara yang sedang
berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran
faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak
berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah
dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.
Asma merupakan penyakit dengan kharakteristik meningkatnya reaksi trakea dan bronkus
oleh berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan luas saluran nafas bagian
bawah yang dapat berubah-ubah derajatnya secara spontan atau dengan pengobatan. Serangan
asma dapat berupa sesak nafas ekspiratoir yang paroksismal, berulang-ulang dengan mengi
(‘wheezing’) dan batuk yang disebabkan oleh konstriksi atau spasme otot bronkus, inflamasi
mukosa bronkus dan produksi lendir kental yang berlebihan. Asma adalah penyakit familier,
diturunkan secara poligenik dan multifaktorial. Telah ditemukan hubungan antara asma dan lokus
histokompatibilitas (HLA) dan tanda genetik pada molekul imunoglobulin G (IgG).6
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengerti kondisi asma, serta cara penatalaksanaannya.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengerti berbagai faktor penyebab asma pada anak
2. Mengerti patofisiologi asma pada anak
3. Mengerti dan dapat mengenali tanda dan gejala asma pada anak
4. Mengerti penatalaksanaan asma pada anak
1.3. Manfaat
1. Menambah bahan referensi bagi dokter dalam mengetahui gejala dan tanda yang
dapat ditemukan pada asma
2. Menambah pengetahuan bagi dokter mengenai asma pada anak
3. Menambah pengetahuan bagi dokter mengenai penatalaksanaan terhadap asma
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi kronik saluran nafas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan
gejala episodik berulang berupa mengi, batuk sesak nafas, dan rasa berat di dada terutama
pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa
pengobatan.1, 4
Asma bersifat fluktuatif yang berarti dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu
aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat
menimbulkan kematian.
2.2.Etiologi dan faktor resiko terjadinya penyakit asma
2.2.1. Etiologi
Penyebab asma masih belum jelas. Diduga yang memegang peranan utama
ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus (hipereaktivitas bronkus).
Hipereaktivitas bronkus itu belum diketahui dengan jelas penyebabnya. Diduga
karena adanya hambatan sebagian sistem adrenergik, kurangnya enzim adenilsiklase
dan meningginya tonus sistem parasimpatik. Keadaan demikian menyebabkan mudah
terjadinya kelebihan tonus parasimpatik kalau ada rangsangan sehingga terjadi
spasme bronkus. Banyak faktor yang turut menentukan derajat reaktivitas atau
iritabilitas tersebut. Faktor genetik, biokimiawi, saraf otonom, imunologis, infeksi,
endokrin, psikologis, dan lingkungan lainnya, dapat turut serta dalam proses
terjadinya manifestasi asma. Karena itu asma disebut penyakit yang multifaktorial.
Asma (hipereaktivitas bronkus) agaknya diturunkan secara poligenik. Alergi (atopi)
salah satu faktor pencetus asma juga diturunkan secara genetik tapi belum pasti
bagaimana caranya.6
2.2.2. Faktor resiko
Meskipun penyebab asma pada anak belum diketahui secara pasti, penelitian
terkini menunjukkan adanya kombinasi dari paparan lingkungan dengan faktor
genetik. 5
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik
dan faktor lingkungan.
1. Faktor genetik
a. Hipereaktivitas
b. Atopi/alergi bronkus
c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
d. Jenis kelamin
e. Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll)
b. Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)
f. Ekpresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktifitas tertentu
j. Perubahan cuaca
2.3. Epidemiologi
Asma sering dijumpai pada anak. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2 – 30%,
di Indonesia sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah
menengah pertama.2 Kebanyakan anak-anak menjadi simptomatik mulai dari umur pra-
sekolah. Diagnosisnya dibuat berdasarkan tanda klinis dari batuk berulang atau mengi, yang
responsif terhadap pengobatan.4
2.4. Patofisiologi, Klasifikasi, dan Manifestasi klinis
2.4.1. Patofisiologi
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus
yang didasari oleh inflamasi kronik dan hipereaktivitas bronkus.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus ini
dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk
menentukan beratnya hipereaktivitas bronkus yang ada pada seseorang pasien. Berbagai cara
digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi
beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.
Faktor risiko Faktor risiko
Inflamasi
Obstruksi BRHipereaktivitas bronkus
Faktor risiko Gejala
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus,
dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini
(early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR).
Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi
inflamasi sub-akut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan se-kitarnya,
berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke
dinding dan lumen bronkus.
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang
kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di
permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal. Berbagai
faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel mast, sel lain yang juga dapat
melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil,
platelet, limfosit dan monosit.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks
bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan
asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel
inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens. Tromboksan, PAF dan
protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang
akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus.
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan dengan
pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma. Apabila
seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka
terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama
atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hipereaktivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger) maka
akan terjadi serangan asma (mengi)
Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok;
pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis; sedangkan pencetus: Semua faktor pemicu
dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:
2.4.1. Klasifikasi
Klasifikasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana lanjutan
(jangka panjang).Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi 4 klasifikasi
yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten
Hipereaktivitas bronkus
obstruksi
Faktor genetik
Sensitisasi Gejala Asmainflamas
i
Faktor lingkungan
Pencetus (trigger)
Pemacu (enhancer)
Pemicu (inducer)
berat. Berbeda dengan GINA, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) membagi asma
menjadi 3 yaitu:
- asma episodik ringan
- asma episodik sedang
- asma persisten.
Klasifikasi derajat asma pada anak
Parameter klinis,
kebutuhan obat
dan faal paru asma
Asma episodik
jarang
Asma episodik
sering
Asma persisten
1 Frekuensi
serangan
< 1 x / bulan >1 x / bulan Sering
2 Lama serangan < 1 minggu > 1 minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
periode bebas
serangan
3 Intensitas
serangan
Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
4 Diantara
serangan
Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
5 Tidur dan
aktifitas
Tidak tergganggu Sering tergganggu Sangat tergganggu
6 Pemeriksaan
fisik diluar
serangan
Normal ( tidak
ditemukan kelainan)
Mungkin tergganggu
(ditemukan kelainan)
Tidak pernah normal
7 Obat
pengendali(anti
inflamasi)
Tidak perlu Perlu, non steroid Perlu, steroid
8 Uji faal paru (di
luar serangan)
PEF atau FEV1>80% PEF atau FEV1<60-
80%
PEF atau FEV<60%,
variabilitas 20-30%
9 Variabilitas faal
paru (bila ada
serangan)
Variabilitas > 15% Variabilitas > 30% Variabilitas > 50%
PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak), FEV1=Forced expiratory
volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik)
Berdasarkan derajat serangannya asma dibagi menjadi 3 juga, yaitu serangan ringan,
serangan sedang, dan serangan berat.
Klasifikasi derajat serangan asma
Parameter
klinis, fungsi
Paru,
Laboratorium
Ringan Sedang Berat Ancaman henti
napas
Aktivitas Berjalan
Bayi: menangis
keras
Berbicara
Bayi:
- tangis pendek
& lemah
- kesulitan
makan
Istirahat
Bayi: berhenti
makan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Posisi Bisa berbaring Lebih suka
duduk
Duduk
bertopang
lengan
Kesadaran Mungkin
teragitasi
Biasanya
teragitasi
Biasanya
teragitasi
Kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Mengi Sedang, sering
hanya pada
akhir ekspirasi
Nyaring,
sepanjang
ekspirasi ±
inspirasi
Sangat nyaring,
terdengar tanpa
stetoskop
Sulit / tidak
terdengar
Sesak napas Minimal Sedang Berat
Otot bantu napas Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
paradok torako-
abdominal
Retraksi Dangkal,
retraksi
interkostal
Sedang,
ditambah
retraksi
suprasternal
Dalam,
ditambah napas
cuping hidung
Dangkal / hilang
Laju napas Meningkat Meningkat Meningkat Menurun
Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar:
Usia laju napas normal
< 2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 / menit
1-5 tahun < 40 / menit
6-8 tahun < 30 / menit
Laju nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku laju nadi pada anak:
Usia laju nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit
Pulsus
paradoksus
(pemeriksaanny
a tidak praktis)
Tidak ada
< 10 mmHg
Ada
10-20 mmHg
Ada
> 20 mmHg
Tidak ada, tanda
kelelahan otot
napas
PEFR atau
FEV1
- Pra
bronkodilator
(% nilai
dugaan /
> 60%
% nilai terbaik)
40-60% < 40 %
- Pasca
bronkodilator >80% 60-80% < 60 %
Respon < 2 jam
SaO2 % > 95% 91-95% ≤ 90 %
PaO2 Normal
(biasanya tidak
perlu diperiksa)
> 60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
Seorang penderita asma persisten sedang atau berat dapat mengalami serangan ringan saja,
sebaliknya seorang penderita tergolong episodik jarang (asma ringan) dapat mengalami
serangan berat, bahkan ancaman henti napas, tetapi umumnya anak dengan asam persisten
sering akan mengalami serangan asma berat atau sebaliknya.
2.5. Diagnosis
Definisi asma bermacam-macam tergantung kriteria mana yang dianut. GINA
mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel
berperan, khususnya sel mast,eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi
tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk,
khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan
penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat
reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga
berhubungan dengan hipereaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. Konsensus
Internasional menggunakan definisi operasional sebagai mengi berulang dan atau batuk
persisten dalam keadaan asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih
jarang telah disingkirkan. Perbedaan di atas sebenarnya hanya pada segi praktisnya saja.
Definisi asma menurut GINA cukup lengkap namun kurang praktis bila digunakan di
lapangan, sehingga untuk lapangan definisi yang sering digunakan adalah definisi Konsensus
Internasional. Pedoman Nasional Asma Anak di dalam batasan operasionalnya
menyepakatinya kecurigaan asma apabila anak menunjukkan gejala batuk dan/atau mengi
yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman,
setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada penderita atau keluarganya.
Baik GINA, Konsensus Internasional, maupun PNAA menekankan diagnosis asma
didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme
kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan atau mengi yang
berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat
atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga
suatu asma. Untuk sampai pada diagnosis asma perlu suatu pemeriksaan tambahan seperti uji
fungsi paru atau pemberian obat bronkodilator yang digunakan sebagai indikator untuk
melihat respons pengobatan, bahkan bila diperlukan dapat dilakukan uji provokasi bronkus
dengan histamin atau metakolin. Akhir-akhir ini banyak yang berpendapat bahwa untuk
menegakkan diagnosis asma pada anak di bawah lima tahun sebaiknya berhati-hati apabila
tidak pernah dijumpai adanya wheezing. Hal itu disebabkan pada usia tersebut kemungkinan
batuk yang berulang hanyalah akibat infeksi respiratorik saja. Demikian pula apabila
dijumpai wheezing pada usia di bawah tiga tahun (batita) hendaknya berhati-hati dalam
mendiagnosis asma. Wheezing yang dijumpai pertama kali belum tentu merupakan gejala
asma. Bila dijumpai keadaan batuk kronis dan/atau berulang dengan/atau tanpa wheezing
dengan karakteristik seperti di atas, tetap perlu dipertimbangkan diagnosis asma.
Alur diagnosis asma anak:3
2.6. Tata Laksana
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).
Tujuan :
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;
Mencegah eksaserbasi akut;
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
Menghindari efek samping obat;
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;
Mencegah kematian karena asma.
Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.
Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan
pasien sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi
yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien, ini
merupakan kunci keberhasilan pengobatan.
Ada 5 (lima) komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu:
KIE dan hubungan dokter-pasien
Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko;
Penilaian, pengobatan dan monitor asma;
Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut, dan
Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes melitus, dll
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1) Penatalaksanaan asma
akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang
2.6.1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh
pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah (lihat bagan 1), dan
apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat
dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat
serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk
selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :
bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)
kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang
sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara
sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.
Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid
oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari.
Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada
dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip).
Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila
diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, β2 agonis kerja
cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip).
Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan.
Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan
nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer). Di
Indonesia bentuk atau kemasan yang ada adalah dry powder inhaler (DPI) yaitu berisi
budesonide-formoterol, dan bentuk metered dose inhaler (MDI) yang berisi fluticasone-
salmeterol. Kombinasi budesonide-formoterol mempunyaionset yang lebih cepat
dibandingkan dengan fluticason-salmeterol, sedangkanflutikasone-salmeterol mempunyai
harga yang lebih murah dan mengurangi perawatan di rumah sakit. Pada anak sangat
dianjurkan menggunakan spacer (alat antara) apabila menggunakan MDI, karena dapat
meningkatkan deposit obat di paru, mengurangi koordinasi saat menyemprot dan menghirup,
serta mengurangi efek samping kandidiasis mulut. Penggunaan DPI harus benar yaitu dengan
menghisapsecara cepat dan dalam, sehingga penggunaannya harus pada anak yang lebih
besar (umumnya di atas 5 tahun).
Penggunaan sodium kromoglikat, nodokromil, dan α2 agonis long-acting sebagai
contoller (pengendali) telahbanyak dilaporkan. Penggunaan obat α2 agonis long-
acting biasanya digunakan bersama-sama dengan kortikosteroid inhalasi sebagai pengendali.
Saat ini penggunaan kromoglikat dan nedokromil untuk tatalaksana jangka panjang tidak
digunakan lagi, karena selain efek anti inflamasinya kurang kuat, juga tidak tersedianya obat
tersebut. Selain pengobatan di atas, ada obat lain yang digunakan pada asma yaitu golongan
antileukotrien seperti montelukas dan zafirlukas. Penggunaan obat antileukotrien jenis
zafirlukas masih terbatas pada anak usia > 6 tahun, sedangkan jenis montelukas sudah
digunakan pada anak di atas 2tahun. Mengenai penggunaan obat ini, masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak, karena perbedaan
kemampuan menggunakan alat inhalasi. Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang
kali. Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan usia:
Umur Alat inhalasi
< 2 tahun Nebuliser MDI (Matered Dose Inhaler) dengan
spacer Aerochamber, Babyhaler
5-8 tahun Nebuliser MDI DPI (Dry Power Inhaler): Diskhaler,
Turbuhaler
> 8 tahun Nebuliser MDI dengan spacer DPI MDI tanpa spacer
Algoritma tatalaksana serangan asma pada anak:7
Dosis:
β2 agonis: 0,05-0,1 mg/ kgBB/ kali
Steroid oral: 0,5-1 mg/ kgBB/ hari – tiap 6 jam
Steroid IV: 0,5-1 mg/ kgBB/ hari – tiap 6-8 jam
Aminofilin IV:
o Dosis awal: 6-8 mg/ kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau NaCl 0,9%
sebanyak 20ml, diberikan dalam 20-30 menit
o Dosis rumatan: 0,5-1 mg/ kgBB/ jam
2.6.2. Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan
mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi
beratnya asma. Tatalaksana jangka panjang (aspek kronis) pada asma anak diberikan pada
asma episodik sering dan persisten, sedangkan pada asma episodik jarang tidak diperlukan.
Proses inflamasi kronis yang terjadi pada asma bersamaan dengan proses remodelling yang
ditandai dengan disfungsi epitel.
Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol
dan pelega); dan Menjaga kebugaran.
1) Edukasi
Edukasi yang diberikan mencakup :
Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan
Mengenali gejala serangan asma secara dini
Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
Mengenali dan menghindari faktor pencetus
Kontrol teratur
2) Obat asma
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan
pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan
serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk
mengontrol asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak,
kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis
diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.
Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :
Inhalasi kortikosteroid
β2 agonis kerja panjang
antileukotrien
teofilin lepas lambat
Pemberian kortikosteroid yang lama pada anak merupakan perdebatan yang
cukup lama. Para ahli sepakat bahwa pemberian kortikosteroid secara sistemik dalam
jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan anak sehingga harus berhati-hati dan
bila memungkinkan dihindari. Berdasarkan hal tersebut, pemberian secara topikal
menjadi pilihan utama. Pemberian kortikosteroid secara topikal (dalam hal ini secara
inhalasi) dalam waktu lama (jangka panjang) dengan dosis dan cara yang tepat tidak
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak. Penggunaan kortikosteroid inhalasi
telah dibuktikan keuntungan dan keamanannya selama digunakan dengan cara yang
benar. Pemberian yang salah, baik dosis maupun cara pemberian, justru akan
berdampak negatif terhadap pertumbuhan anak dan efek samping lainnya seperti
moon face, hipertensi, perawakan pendek, dan sebagainya.2
Pada tahap awal, dosis kortikosteroid yang diberikan dimulai dengan dosis
rendah (pada anak > 12 tahun setara dengan budesonide 200-400 μg, sedangkan pada
anak < 12 tahun 100-200 μg) dan dipertahankan untuk beberapa saat (6-8 minggu)
apabila keadaan asmanya stabil. Pemberian dosis tersebut mempunyai efektivitas
yang baik pada asma yang membutuhkan obat pengendali. Selain itu efek samping
yang dikuatirkan yaitu gangguan pertumbuhan tidak terjadi dengan kortikosteroid
dosis rendah. Bila gejala asma sudah stabil dosis dapat diturunkan secara perlahan
sampai akhirnya tidak menggunakan obat lagi. Dikatakan asma stabil apabila tidak
ditemukan/minimal gejala asmanya. Penderita dapat tidur dengan baik, aktivitas tidak
terganggu, dan kualitas hidup cukup baik.
Apabila dengan pemberian kortikosteroid dosis rendah hasilnya belum
memuaskan, dapat dikombinasi dengan long acting beta-2 agonist (LABA) atau
dengan theophylline slow release (TSR), atau dengan antileukotrien, atau
meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium (setara dengan budesonide
200-400 μg). Pemberian kortikosteroid secara inhalasi tidak mempunyai efek samping
terhadap tumbuh kembang anak selama dosis yang diberikan < 400 μg dan dengan
cara yang benar. Pada anak dianjurkan tidak melebihi 800 μg, karena dengan
penambahan dosis kortikosteroid tersebut tidak akan menambah manfaatnya, tetapi
justru meningkatkan efek sampingnya. Penggunaan LABA cukup menjanjikan,
karena selain efek bronkodilator dengan lama kerja yang lama (long acting), LABA
juga mempunyai efek lain yang masih dalam perdebatan yaitu anti inflamasi.
Pemberian kortikosteroid bersama dengan LABA sangat menguntungkan. Pada saat
ini telah dipasarkan di Indonesia dalam bentuk satu sediaan yaitu fluticason-
salmeterol, dan budesonid-formoterol. Pemberian kombinasi fluticason-salmeterol
maupun budesonid-formoterolmempunyai efek yang lebih baik dibandingkan
pemberian kortikosteroid dosis ganda (double dose) secara sendiri. Kombinasi antara
kortikosteroid dan LABA telah terbukti aman selama dosis dan penggunaannya benar.
Selain edukasi dan obat-obatan diperlukan juga menjaga kebugaran antara
lain dengan melakukan senam asma. Pada dewasa, dengan Senam Asma Indonesia
yang teratur, asma terkontrol akan tetap terjaga, sedangkan pada anak dapat
menggunakan olahraga lain yang menunjang kebugaran.
Dengan melaksanakan ketiga hal diatas diharapkan tercapai tujuan
penanganan asma, yaitu asma terkontrol. Berikut adalah ciri-ciri asma terkontrol,
terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol (tabel 1).
Tabel 1. Ciri-ciri Tingkatan Asma
Tingkatan Asma Terkontrol
Karakteristik Terkontrol Terkonrol
Sebagian
Tidak
Terkonrol
Gejala harian Tidak ada (dua kali
atau kurang
perminggu)
Lebih dari dua
kali seminggu
Tiga atau lebih gejala
dalam kategori Asma
Terkontrol Sebagian,
muncul sewaktu – waktu Pembatasan aktivitas Tidak ada Sewaktu-waktu
dalam seminggu dalam seminggu
Gejala
nokturnal/gangguan
tidur (terbangun)
Tidak ada Sewaktu – waktu
dalam seminggu
Kebutuhan akan
reliever atau terapi
rescue
Tidak ada (dua kali
atau kurang dalam
seminggu)
Lebih dari dua
kali seminggu
Fungsi Paru (PEF
atau
FEV1*)
Normal < 80% (perkiraan
atau dari kondisi
terbaik bila
diukur)
Eksaserbasi Tidak ada Sekali atau lebih
dalm setahun**)
Sekali dalam seminggu***)
Keterangan :
*) Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5 tahun
**) Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apkah benar-
benar adekuat
***) Suatu eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma tak terkontrol
Sumber : GINA 2006
Klasifikasi alur tatalaksana asma anak jangka panjang:7
2.6.3. Terapi Nonmedikamentosa
Terdiri dari tatalaksana komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pada penderita dan
keluarganya, penghindaran terhadap faktor pencetus. Pada KIE perlu ditekankan bahwa
keberhasilan terapi atau tatalaksana sangat bergantung pada kerjasama yang baik antara
keluarga (penderita) dan dokter yang menanganinya. Keluarga penderita asma perlu
dijelaskan mengenai asma secara detail dengan bahasa awam agar keluarga mengetahui apa
yang terjadi pada asma, kapan harus pergi ke dokter, penanganan pertama apabila terjadi
serangan, dan sebagainya.8
Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peranyang cukup.
Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya
rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema
mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi
rangsangan terhadap saluran respiratorik.
Pencegahan asma:
1.Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi atau anak yang
mempunyai resiko untuk terjadinya asma di kemudian hari. Yang dimaksud dengan resiko
adalah bayi atau anak dengan atopi, baik pada salah satu ataupun kedua otangtuanya.
Langkah pertama adalah mengenali adanya faktor resiko untuk terjadinya asma di kemudian
hari, yaitu dengan mengenali orangtua dengan atopik. Oleh karena itu, upaya pencegahan
primer sudah dapat dimulai ketika belum terjadinya potensi genetik bersatu yaitu dengan
rekayasa genetik. Akan tetapi, hal ini belum dapat dilakukan, sehingga upaya pencegahan
primer saat ini masih ditujukan pada janin atau bayi dengan resiko asma. Beberapa upaya
pencegahan primer telah ditelusuri dan masih banyak yang kontroversial. Pencegahan primer
dapat dilakukan pada saat prenatal dan pascanatal. Pada masa prenatal, orang tua dihindari
terhadap lingkungan yang bersifat sebagai faktor resiko. Penghindaran yang dianjurkan
adalah terhadap lingkungan, terutama indoor pollutants. Yang dimaksud dengan indoor
pollutants adalah asap rokok, debu rumah yang mungkin mengandung banyak tungau debu
rumah, dan lain-lain.
Pemberian probiotik untuk menurunkan kejadian asma saat ini masih dibicarakan.
Diperkirakan caranya adalah melalui supresi Th2 yang berperan terhadap inflamasi
dan produksi immunoglobulin A (IgA). Faktor yang meningkatkan prevalensi asma yang
sudah disepakati adalah infeksi Respiratory sincytial virus (RSV). Ada dua kemungkinan
mekanisme terjadinya peningkatan tersebut. Mekanisme pertama, mungkin saja pada anak
tersebut, yang telah mempunyai riwayat atopi, melakukan reaksi yang berlebihan terhadap
infeksi RSV, sehingga kerusakan pada saluran respiratorik menjadi lebih hebat dan
berdampak dikemudian hari. Mekanisme kedua, infeksi RSV akan mengakibatkan kerusakan
hebat pada saluran respiratorik, sehingga kerusakan tersebut berdampak dikemudian hari.
Selain pemberian probiotik pada bayi, yang telah banyak dilakukan adalah pemberian susu
hipoalergenik (susu dengan proteinhidrolisat).
2.Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya asma/inflamasi padaseorang anak
yang sudah tersensitisasi. Secara klinis hal ini telah dibuktikan dengan menggunakan obat
antihistamin. Pada early treatment of the atopicchild (ETAC), pemberian cetirizine selama
18 bulan pada anak dengan dermatitis atopi yang orangtuanya atopi, dapat mecegah
terjadinya asma sebanyak 50% bila anak tersebut hanya alergi terhadap debu rumah dan
serbuk sari. Hanya saja, obat ini secara keseluruhan tetap tidak dapat menurunkan kejadian
asma. Selain pemberian obat-obatan tersebut, faktor resiko lain sepertialergen harus dihindari
juga. Penghindaran pada pencegahan sekunder juga sama seperti pada pencegahan primer,
sebab tanpa penghindaran terhadap alergen maka pencegahan sekunder menjadi tidak
bermakna. Akan tetapi, pencegahan sekunder ini masih memerlukan penelitian yang lebih
lanjut.
3.Pencegahan tersier
Pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya serangan pada seorang anak yang
sudah menderita asma. Kita menyadari bahwa serangan asma dapat terjadi akibat adanya
faktor pencetus. Pencegahan terhadap hal tersebut merupakan salah satu langkah pencegahan
tersier. Faktor lain yang dapat menyebabkan serangan asma adalah gagalnya terapi jangka
panjang. Yang dimaksud terapi jangka panjang adalah pemberian obat pengendali
(controller) berupa kortikosteroid, baik yang diberikan tersendiri ataupun kombinasidengan
β-agonis kerja panjang atau antileukotrien.8
2.7. Dampak asma terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak
Asma mempengaruhi proses tumbuh kembang seorang anak. Secara umum terdapat lima
faktor yang dipengaruhi oleh asma dalam suatu pertumbuhan dan perkembangan seorang
anak, antara lain:
Perkembangan fisik
Pertumbuhan dari tubuh, otak, kemampuan sensoris, motorik, dan kesehatan merupakan
bagian dari perkembangan fisik anak (Papalia, Olds, Feldman, 2002). Tingkat keparahan
asma seorang anak mempengaruhi perkembangan fisik mereka. Penelitian menunjukkan
bahwa asma tidak memiliki efek jangka panjang pada pertumbuhan, tetapi dikaitkan dengan
keterlambatan dalam masa pubertas (Balfour Lynn, 1995). Anak-anak dengan asma akan
tampak lebih pendek dari teman sebaya mereka selama masa remaja (Balfour-Lynn, 1995).
Pengaruh asma pada kehidupan sosial seorang anak adalah pada saat memasuki usia remaja
mereka akan terlihat lebih pendek daripada teman seusianya, atau seorang gadis muda yang
tidak bisa berbicara tentang seperti apa rasanya kram dengan teman-temannya yang
mengalami menstruasi.
Perkembangan Emosional dan Sosial
Perubahan dalam kepribadian, kehidupan emosional, dan hubungan sosial merupakan suatu
proses perkembangan emosi dan sosial atau sosio-emosional (Papalia et al., 2002). Anak-
anak dengan asma dapat memiliki perkembangan sosio-emosional yang normal. Meskipun
begitu, karena adanya ketakutan akan eksaserbasi atau timbunya suatu serangan asma, dan
kecemasan terhadap pengobatan, anak-anak dengan pengalaman asma ringan, sedang dan
berat akan mudah mengalami stres atas penyakit mereka (Ryan-Wenger & Walsh, 1994).
Penelitian menunjukkan asma juga memiliki efek psikososial pada anak, antara lain anak-
anak akan merasa dibatasi secara sosial, malu untuk minum obat, dan merasa dirinya berbeda
dengan orang lain (Kurnat & Moore, 1999). Anak mungkin akan merasa khawatir atau malu
bila mendapatkan serangan asma di depan teman-temannya.
Perkembangan Kognitif
Kemampuan mental, seperti belajar, memori, bahasa, pemikiran, penalaran moral, dan
kreativitas merupakan perkembangan kognitif (Papalia et al., 2002). Asma bukanlah penyakit
yang secara langsung mempengaruhi perkembangan kognitif seperti belajar, penalaran, dan
kreativitas yang bersangkutan. Penyakit asma itu sendiri tidak mempengaruhi kognitif anak
secara langsung, hal ini karena efek dari penyakit ini yang akan menghambat perkembangan
kognitif anak (Price, 1995). Jika seorang anak yang mengalami serangan asma berat dan tidak
menerima perawatan yang memadai untuk waktu tertentu dapat mengalami keadaan anoksik,
yaitu kekurangan oksigen ke otak. Hal itu dapat terjadi karena serangan asma akan
menyempitkan jalan napas. Oleh karena itu seorang anak dapat mengalami keterlambatan
kognitif karena kurangnya oksigen ke otak (Scanlan et al., 1999).
Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa merupakan hubungan antara bahasa, sistem komunikasi berdasarkan
kata-kata dan tata bahasa, dan perkembangan kognitif (Papalia et al., 2000). Usia anak
dengan asma akan menentukan penggunaan bahasa atau kata-katanya. Bayi atau balita tidak
akan mampu memverbalisasi gejala asma. Sebagian besar anak di bawah usia empat
kemungkinan besar tidak akan dapat berkomunikasi menggunakan kata-kata apa yang mereka
rasakan. Asma itu sendiri, tidak menghalangi perkembangan bahasa.
Perkembangan Adaptif
Perkembangan adaptif mengacu pada fungsi kehidupan sehari-hari (Hill-Williams, 2004).
Pendidikan keluarga merupakan cara penting untuk mendapatkan keterampilan dan
kepercayaan diri untuk mengendalikan asma mereka (Scanlan et al., 1999). Kolaborasi
dengan sekolah juga merupakan sumber penting dalam pengembangan adaptif (Kurnat &
Moore, 1999). Para guru, pembantu, perawat sekolah, wakil kepala sekolah, kepala sekolah
dan semua staf perlu mendapat pendidikan tentang asma. Mereka harus tahu mana anak-anak
yang menderita serta harus tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi serangan asma. Asma
telah menjadi penyakit yang semakin meningkat di masyarakat saat ini. Oleh karena itu,
pendidikan tentang penyakit asma wajib diberikan bagi seluruh staf sekolah.
2.8. Perbedaan WHO dan GINA
WHO
Definsi
Asma adalah penyakit kronis yang ditandai dengan serangan berulang dari sesak napas dan
mengi, yang bervariasi dalam tingkat keparahan dan frekuensi dari orang ke orang. Gejala
dapat terjadi beberapa kali dalam sehari atau seminggu pada individu yang terkena, dan bagi
sebagian orang menjadi lebih buruk selama aktivitas fisik atau pada malam hari. Selama
serangan asma, lapisan saluran bronkial membengkak, menyebabkan penyempitan dari
saluran dan mengurangi aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru. Gejala asma berulang
sering menyebabkan kesulitan tidur, kelelahan pada siang hari, dan berkurangnya tingkat
aktivitas di sekolah dan tempat kerja.
Penyebab mendasar dari asma tidak sepenuhnya dipahami. Faktor risiko kuat untuk
mengembangkan asma adalah kombinasi dari predisposisi genetik dengan paparan
lingkungan terhadap zat inhalasi dan partikel yang dapat menimbulkan reaksi alergi atau
iritasi saluran napas, seperti:
Alergen dalam ruangan (misalnya, debu rumah tungau di tempat tidur, karpet dan
furniture polusi, boneka dan bulu hewan peliharaan)
Alergen luar ruangan (seperti serbuk sari dan cetakan)
Asap tembakau
Kimia iritan di tempat kerja dan polusi udara.
Pemicu lainnya dapat mencakup udara dingin, emosional seperti marah atau takut, dan latihan
fisik. Bahkan obat-obat tertentu dapat memicu asma: aspirin dan non-steroid anti-inflamasi,
dan beta-blocker (yang digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, sakit jantung dan
migrain).
Tatalaksana
Meskipun asma tidak bisa disembuhkan, pengelolaan yang tepat dapat mengontrol penyakit
dan memungkinkan orang untuk menikmati kualitas hidup yang baik. Obat jangka pendek
digunakan untuk meringankan gejala. Orang dengan gejala yang menetap harus mendapatkan
obat jangka panjang untuk mengontrol peradangan yang mendasari dan mencegah terjadinya
gejala serta eksaserbasi. Obat bukanlah satu-satunya cara untuk mengendalikan asma. Hal ini
juga penting untuk menghindari pencetus asma - rangsangan yang mengiritasi dan terangsang
saluran udara. Dengan dukungan medis, setiap pasien asma harus belajar untuk menghindari
faktor pencetus dari asma. Meskipun asma tidak mematikan seperti penyakit kronis lainnya,
ketidakpatuhan atau gagalnya pengobatan pada asma dapat mengakibatkan kematian.
Upaya pencegahan dan pengendalian asma dari WHO
Surveilans pada masyarakat miskin dan kurang beruntung
Pencegahan dengan mengurangi paparan terhadap faktor risiko umum, terutama asap
tembakau, sering infeksi saluran pernapasan bawah selama masa kanak-kanak, dan
polusi udara (paparan indoor, outdoor, dan pekerjaan)
Mengidentifikasi intervensi biaya-efektif
Peningkatan standar dan aksesibilitas pelayanan pada berbagai tingkat sistem
pelayanan kesehatan.
GINA
Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronis pada saluran udara. Radang kronis tersebut terjadi
akibat hiperresponsif dari saluran napas yang mengakibatkan obstruksi dari saluran napas
sehingga terjadi hambatan aliran udara (dengan bronkokonstriksi, mucus plugs, dan
meningkatnya peradangan) setelah terpapar berbagai faktor risiko. Faktor risiko umum untuk
asma mencakup paparan alergen (seperti dari tungau debu rumah, hewan dengan bulu, kecoa,
serbuk sari, dan jamur), iritasi pekerjaan, asap tembakau, pernapasan (virus) infeksi,
olahraga, ekspresi emosional yang kuat, kimia iritasi, dan obat (seperti aspirin dan beta
blocker).
Tatalaksana
Serangan asma derajat ringan ditandai dengan penuruna peak flow kurang dari 20%, bangun
pada malam hari, dan memberikan respon setelah pemberian rapid-acting β2-agonis. Dapat
dirawat di rumah bila pasien diberikan edukasi untuk mengobati asmanya
Serangan asma derajat sedang membutuhkan perawatan di klinik atau rumah sakit
Penanganan pada serangan asma:
Inhalasi rapid-acting β2-agonis (dimulai dengan 2-4 puffs tiap 20 menit untuk 1 jam
pertama, serangan ringan mrmbutuhkan 2-4 pffs tiap 3-4 jam dan serangan sedang
membutuhkan 6-10 puffs tiap 1-2 jam)
Glukokortikoid oral (0,5-1 mg prednisolon/ kg/ hari) pada serangan asma sedang dan
berat untuk mengurangi inflamasi dan mempercepat penyembuhan
Oksigen diberikan pada rumah sakit bila pasien mengalami hipoksemia (hingga
saturasi oksigen 95%)
Kombinasi β2 agonis/ antikolinergik mempengaruhi dengan berkurangnya lama
waktu dalam rumah sakit dan meningkatkan PEF dan FEV1
Bila tidak terdapat inhalasi β2 agonis, dapat diberikan theophylline
Pasien yang mengalami serangan asma berat yang tidak merespon dengan
bronkodilator dan glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan 2 gram magnesium
sulfat IV yang dapat menurunkan waktu perawatan dalam rumah sakit
Terapi yang harus dihindari pada penyakit asma oleh GINA adalah:
Sedatif
Obat mukolitik
Fisioterapi
Hidrasi dengan jumlah cairan yang banyak pada dewasa atau anak yang lebih tua
Antibiotik
Epinefrin/ adrenalin
Penggunaan obat-obat tersebut tidak dianjurkan karena terbukti tidak mempunyai efek yang
bermakna dan bahkan dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.
BAB III
PENUTUP
Asma merupakan penyakit kronis dengan karakteristik meningkatnya reaksi
hipereaktivitas bronkus oleh berbagai macam pencetus disertai dengan
timbulnya penyempitan luas saluran nafas bagian bawah yang dapat berkurang secara
spontan atau dengan pengobatan. Sampai saat ini penyebab penyakit asma belum diketahui
secara pasti meski telah banyak penelitian oleh para ahli di dunia kesehatan. Namun demikian
yang dapat disimpulkan adalah bahwa pada penderita asma saluran pernapasannya memiliki
sifat yang khas yaitu sangat peka terhadap berbagai rangsangan (bronchial hyperreactivity =
hipereaktivitas saluran napas) seperti polusi udara (asap, debu, zat kimia), serbuk sari, udara
dingin, makanan, hewan berbulu, tekanan jiwa, bau/aroma menyengat (misalnya; parfum)
dan olahraga.
Asma ditandai 3 kelainan utama pada bronkus yaitu bronkokonstriksi otot bronkus,
inflamasi mukosa dan bertambahnya sekret yang berada di jalan nafas. Pada stadium
permulaan terlihat mukosa jalan nafas pucat, terdapat edema dan sekresi lendir bertambah.
Lumen bronkus dan bronkiolus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti pembuluh darah,
infiltrasi sel eosinofil dalam sekret di dalam lumen saluran nafas. Bila serangan terjadi sering
dan lama atau dalam stadium lanjut, akan terlihat deskuamasi epitel, penebalan membran
hialin basal, hiperplasi serat elastin, hiperplasi dan hipertrofi otot bronkus dan jumlah sel
goblet bertambah. Kadang-kadang pada asma menahun atau pada serangan yang berat
terdapat penyumbatan bronkus oleh mukus yang kental yang mengandung eosinofil.
Penyakit asma dibagai dalam 3 kelompok berdasarkan frekuensi serangan dan
kebutuhan obat, yaitu asma ringan, sedang, dan berat. Selain klasifikasi derajat penyakit asma
di atas, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat serangannya, yaitu serangan ringan,
sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan
derajat serangan asma (aspek akut). Seorang penderita asma berat (persisten) dapat
mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya seorang penderita asma ringan (episodik/jarang)
dapat mengalami serngan asma berat, atau bahkan serangan ancaman henti nafas yang dapat
mengakibatkan kematian.
Terapi yang diberikan bergantung pada beratnya derajat serangan asma. Tatalaksana
serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk meredakan penyempitan jalan nafas secepat
mungkin, mengurangi hipoksemia, mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal
secepatnya, dan merenacanakan tatalaksana mencegah kekambuhan.
Daftar Pustaka
1. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Depkes RI. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular. 2009
2. Supriyatno, H. Bambang. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak.
Maj. Kedok. Indon. , Volum: 55, Nomor: 3, Maret 2005
3. Rahajoe N, dkk. Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi, PP IDAI, 2004
4. Rudolf, Mary, Levene Malcolm. Paediatrics and Child Health. 2006: Blackwell
Publishing Ltd; Oxford
5. Kliegman RM et al. Nelson Textbook of Pediatric 19th Edition. 2011: Saunders
Elsevier; Philadephia
6. Hassan Rusepno, dkk. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Hal 1203-1228. 2007
7. Departemen Kesehatan R.I. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Hal 40-41. 2009
8. Sidhartani, Magdalena. Peran Edukasi Pada Penatalaksanaan Asma Pada Anak.
Documentation. Diponegoro University Press, Semarang. 2007
Top Related