BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anemia adalah berkurangnya hingga dibawah nilai normal eritrosit, kuantitas hemoglobin,
dan volume packed red blood cell (hematokrit) per 100 ml darah. Jadi, anemia bukan suatu
penyakit tertentu, tetapi cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan
melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium (Baldy,
2006). Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh
dunia, disamping berbagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang, yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi,
serta kesehatan fisik (Bakta, 2006). Masyarakat Indonesia masih belum sepenuhnya
menyadari pentingnya zat gizi, karena itu prevalensi anemia di Indonesia sekarang ini masih
cukup tinggi, terutama anemia defisiensi nutrisi seperti besi, asam folat, atau vitamin B12.
Setelah menentukan diagnosis terjadinya anemia, maka selanjutnya perlu disimpulkan tipe
anemia itu sendiri. Penatalaksanaan anemia yang tepat sesuai dengan etiologi dan
klasifikasinya dapat mempercepat pemulihan kondisi pasien.
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1:
An. Samson, seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa ke dokter dengan keluhan pucat.
Menurut anamnesis dari ibu, anaknya terlihat pucat sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan lain
yang menyertai adalah demam yang tidak terlalu tinggi, perut mual, dan susah makan. Sejak
kecil Samson memang tidak suka makan daging. Kata guru TK-nya, saat mengikuti pelajaran
Samson sering tertidur di kelas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva pucat, bising
jantung, tidak didapatkan hepatomegali ataupun splenomegali. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb 8,0 g/dL. Dokter memberikan tablet tambah darah untuk
Samson.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah fisiologi eritrosit?
2. Bagaimanakah kaitan besi, vitamin B12, dan asam folat dengan fisiologi eritrosit?
3. Bagaimanakah etiologi dan klasifikasi anemia?
4. Bagaimanakah dasar diagnosis tipe anemia yang paling tepat?
5. Bagaimanakah patogenesis dan patofisiologi anemia?
6. Bagaimanakah penatalaksanaan pasien anemia dalam kasus?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui fisiologi eritrosit.
2. Mengetahui kaitan besi, vitamin B12, dan asam folat dengan fisiologi eritrosit.
3. Mengetahui etiologi dan klasifikasi anemia.
4. Mengetahui dasar diagnosis tipe anemia yang paling tepat.
5. Mengetahui patogenesis dan patofisiologi anemia.
6. Mengetahui penatalaksanaan pasien anemia dalam kasus.
D. MANFAAT PENULISAN
Mahasiswa mengetahui dasar teori hematologi dan aplikasinya dalam pemecahan
kasus dalam skenario.
F. HIPOTESIS
Pasien dalam kasus menderita anemia akibat defisiensi besi, padahal tingkat kebutuhan besi
(Fe) meningkat dalam masa pertumbuhan. Akibat kurangnya asupan zat gizi berupa besi yang
penting dalam proses hemopoiesis ini menimbulkan konsekuensi berbagai gejala klinis yang
dialami oleh pasien tersebut. Dalam laporan ini, penulis membahas perbandingan berbagai
jenis anemia, namun lebih fokus difokuskan kepada anemia defisiensi besi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiologi Eritrosit
Eritrosit dibentuk dari stem cell pluripoten di sumsum tulang (PHSC) yang kemudian
berdiferensiasi menjadi CFU-S (unit pembentuk koloni limpa), CFU-B (unit pembentuk
koloni blas), kemudian baru membentuk CFU-E (unit pembentuk koloni eritrosit).
Eritrosit mengandung hemoglobin (Hb) yang mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan.
Jumlah total eritrosit dalam sirkulasi diatur sedemikian rupa agar cukup untuk menyulai O2 ke
seluruh jaringan, namun tidak terlalu banyak, agar tidak menghambat aliran darah.
Produksi eritrosit terutama diatur oleh oksigenasi jaringan. Menurunnya oksigenasi jaringan
menstimulasi hormon eritropoietin, terutama dari ginjal, yang kemudian akan merangsang
produksi proeritroblas dari sel stem hematopoietik di sumsum tulang. Kemudian, eritropoietin
juga akan mempercepat proses diferensiasi pada berbagai tahap eritroblastik dibandingkan
dengan normal.
Proses pematangan eritrosit dipengaruhi oleh vitamin B12 dan asam folat, karena keduanya
berperan penting dalam sintesis DNA─pematangan inti dan pembelahan sel. Sedangkan besi
(Fe++
) penting dalam pembentukan heme. Heme kemudian bergabung dengan rantai
polipeptida panjang globin membentuk hemoglobin.
Proses pembentukan hemoglobin adalah sebagai berikut:
1. asam 2 α-ketoglutarat + glisin à pirol
2. 4 pirol à protoporfirin III
3. protoporfirin III + Fe à hem
4. 4 hem + globin à hemoglobin
(Guyton and Hall, 2007).
B. Metabolisme Besi
Selain pembentukan heme, besi juga berperan dalam pembentukan elemen penting lain
seperti mioglobin, sitokrom, sitokrom oksidase, peroksidase, dan katalase. Setelah diabsorpsi,
besi bergabung dengan beta globulin membentuk transferin, sedangkan dalam sitoplasma
membentuk feritin. Besi cadangan disimpan dalam bentuk feritin di hepatosit dan sedikit di
retikuloendotelial sumsum tulang (Guyton and Hall, 2007).
C. Besi, Vitamin B12, dan Asam Folat
Besi terdapat dalam kadar tinggi (>5 mg/100g) dalam hati, jantung, kuning telur, ragi, kerang,
kacang-kacangan, dan buah-buahan kering tertentu. Kadar sedang (1-5 mg/100g) dalam
daging, unggas, sayuran hijau dan biji-bijian. Sedangkan dalam kadar rendah terdapat dalam
susu atau produknya dan sayuran yang kurang hijau. Vitamin B12 sebenarnya terdapat dalam
satu-satunya sumber asli, yaitu mikroorganisme. Makanan yang kaya akan B12 adalah hati,
ginjal, jantung, dan kerang. Sedangkan B12 dalam jumlah sedang terdapat dalam kuning telur,
susu kering bebas lemak, dan makanan laut (Dewoto dan Wardhini BP, 2007). Asam folat
disintesis pada berbagai macam tanaman dan bakteri. Buah-buahan dan sayur merupakan
sumber diet utama dari vitamin. Keperluan minimal asam folat setiap hari secara normal
kurang lebih 50 µg, tetapi dapat meningkat pada keadaan tertentu seperti kehamilan
(Soenarto, 2006).
D. Etiologi dan Klasifikasi Anemia
Pada dasarnya anemia disebabkan karena 1) gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum
tulang; 2) kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); dan 3) proses penghancuran eritrosit
dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat
berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi,
yang dibagi menjadi 3: 1) anemia hipokromik mikrositer, 2) anemia normokromik
normositer, dan 3) anemia makrositer.
Berdasarkan beratnya anemia, anemia berat biasanya disebabkan oleh anemia 1) defisiensi
besi, 2) aplastik, 3) pada leukimia akut, 4) hemolitik didapat atau kongenital misalnya pada
thalassemia mayor, 5) pasca perdarahan akut, dan 6) pada GGK stadium terminal. Jenis
anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai sedang adalah anemia 1) akibat penyakit
kronik, 2) pada penyakit sistemik, dan 3) thalasemia trait (Bakta, 2006).
E. Pemeriksaan dan Dasar Diagnosis Anemia
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia terdiri dari 1) pemeriksaan penyaring
(terdiri dari pengukuran kadar Hb, indeks eritrosit, dan apusan darah tepi), 2) pemeriksaan
darah seri anemia (meliputi hitung leukosit, trombosit, retikulosit, dan laju endap darah), 3)
pemeriksaan sumsum tulang, dan 4) pemeriksaan khusus sesuai jenis anemia. Selain itu,
diperlukan pulaa pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti pemeriksaan faal hati, faal
ginjal, atau faal tiroid.
Tahap diagnosis anemia terdiri dari 1) menentukan adanya anemia, 2) menentukan jenis
anemia, 3) menentukan etiologi anemia, dan 4) menentukan ada tidaknya penyakit penyerta
yang akan mempengaruhi hasil pengobatan (Bakta, 2006).
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya perti anemia
akibat penyakit kronik, thalassemia, dan anemia sideroblastik. Perbedaan yang ditemukan
diantaranya seperti derajat anemia, MCV, MCH, besi serum, TIBC, dan lainnnya (Bakta et.al,
2006) (tabel dilampirkan)
F. Patogenesis dan Patofisiologi Anemia
Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropiesis semakin terganggu sehingga kadar
hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai
iron deficiency anemia. Kekurangan besi pada epitel serta beberapa enzim kemudian
menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.
Di samping pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen penting dari mioglobin dan
berbagai enzim yang dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transport elektron. Oleh
karena itu, defisiensi besi di samping menimbulkan anemia, juga akan menimbulkan berbagai
dampak negatif, misalnya pada 1) sistem neuromuskular yang mengakibatkan gangguan
kapasitas kerja, 2) gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan, 3) gangguan imunitas
dan ketahanan terhadap infeksi, dan 4) gangguan terhadap ibu hamil dan janin. Gangguan ini
dapat timbul pada anemia ringan atau bahkan sebelum anemia manifes (Bakta et.al, 2006).
G. Penatalaksanaan Anemia
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia
defisiensi besi adalah:
1. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy):
1) Terapi besi oral.
Merupakan pilihan utama karena efektif, murah, dan aman. Preparat yang utama adalah
ferrous sulphat. Diberikan 3 sampai 6 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi
cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan adalah 100-200 mg. Jika tidak diberikan dosis
pemeliharaan, maka anemia sering kambuh kembali. Dianjurkan pemberian diet yang banyak
mengandung hati dan daging.
2) Terapi besi parenteral
Sangat efektif tetapi lebih berisiko dan mahal. Karena itu terapi besi parenteral hanya
diberikan untuk indikasi tertentu seperti 1) intoleransi terhadap besi oral, 2) kepatuhan pada
obat rendah, 3) gangguan pencernaan, 4) penyerapan besi terganggu, 5) kehilangan darah
yang banyak, 6) kebutuhan besi besar dalam waktu pendek, dan 7) defisiensi besi fungsional
relatif akibat pemberian eritropoietin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat
penyakit kronik.
1. Pengobatan Lain
1) Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama protein
hewani.
2) Vitamin C: diberikan 3×1000 mg/hari untuk meningkatkan absorpsi besi.
3) Transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi transfusi pada
anemia defisiensi besi adalah 1) adanya penyakit jantung simptomatik, 2) anemia yang sangat
simptomatik, dan 3) pasien yang memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat seperti pada
kehamilan trimester akhir atau preoperasi (Bakta et.al., 2006).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus diatas, pasien mengalami anemia, namun hasil pemeriksaan lebih lanjut belum
didapatkan, sehingga tipe anemia yang lebih spesifik belum diketahui. Namun berdasarkan
pemeriksaan hemoglobin, Hb 8 gr/dL menunjukkan bahwa pasien memang mengalami
anemia, karena pada anak-anak, Hb dibawah 11 g/dL dikategorikan sebagai anemia. Untuk
menentukan jenis anemia yang spesifik agar penatalaksanaannya berjalan efektif perlu
dilakukan serangkaian tes lain, seperti tes laboratorium.
Hemoglobinisasi yang tidak adekuat menyebabkan central pallor di tengah eritrosit berwarna
pucat berlebihan yang lebih dari sepertiga diameternya, sehingga menimbulkan keadaan
pucat pada pasien. Sementara itu, besi dibutuhkan oleh enzim untuk sintesis DNA dan enzim
mieloperoksidase netrofil sehingga menurunkan imunitas seluler. Akan tetapi, defisiensi besi
juga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi pada bakteri sehingga menghambat
pertumbuhan bakteri yang berakibat pada ketahanan terhadap infeksi. Maka dari itu, timbul
demam yang tidak terlalu tinggi. Defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan enzim aldehid
oksidase sehingga terjadi penumpukan serotonin yang merupakan pengontrol nafsu makan.
Hal ini mengakibatkan reseptor 5 HT meningkat, di usus halus menyebabkan mual dan
muntah. Selain itu, defisiensi besi juga dapat menyebabkan gangguan enzim monoamino
oksidase sehingga terjadi penumpukan katekolamin dalam otak. Hal inilah yang menjadi
sebab terjadinya keadaan mual dan sulit makan. Selanjutnya, pasien sering tidur di kelas
karena oksigen yang tersedia dalam darah tidak cukup untuk menyuplai kebutuhan sel-sel
otak, sehingga pasien mengantuk dan sering tertidur. Sedangkan bising jantung disebabkan
akibat kerja jantung yang lebih kuat karena adanya gangguan oksigenasi jaringan.
Mekanisme peningkatkan kecepatan aliran darah inilah yang menimbulkan bising jantung.
Hepatomegali terjadi pada anemia hemolitik, akibat dari kerja hati yang lebih keras dalam
merombak eritrosit karena hemolisis yang tidak wajar. Sedangkan splenomegali juga terjadi
pada anemia hemolitik, dimana eritrosit yang rapuh melewati kapiler yang sempit dalam
limpa, sehingga pecah dan menyumbat kapiler limpa sehingga terjadi pembesaran limpa.
Tidak adanya hepatomegali dan splenomegali menunjukkan bahwa pasien dalam kasus tidak
mengalami anemia jenis hemolitik.
Seperti yang telah dikemukakan dalam kasus, pasien tidak suka makan daging. Padahal,
daging merupakan sumber zat besi sebagai pembentuk heme yang absorpsinya tidak
dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi. Selain besi,
daging juga mengandung zat gizi lain, misalnya asam folat. Protein daging lebih mudah
diserap karena heme dalam hemoglobin dan mioglobin tidak berubah sebagai hemin (bentuk
feri dari heme). Kompleksnya nutrisi yang terkandung dalam daging inilah yang
menyebabkan pasien mengalami anemia, walaupun yang paling dominan adalah akibat dari
defisiensi besi.
Tablet tambah darah yang diberikan berisi besi dan asam folat, jadi sesuai terapi anemia
defisiensi besi yang dianjurkan. Selain itu, apabila pasien karena hal-hal tertentu tidak dapat
menggunakan terapi besi oral, maka terapi dapat diganti dengan terapi besi parenteral. Terapi
penunjang seperti diet juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan terapi.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pasien dalam kasus mengalami anemia defisiensi besi, karena kurangnya asupan besi dari
nutrisi. Hal ini selanjutnya dapat dipastikan dengan mengetahui hasil pemeriksaan
laboratorium.
B. SARAN
Sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap untuk
memastikan diagnosis anemia defisiensi besi.
Pasien ini harus dikonsulkan kebagian gizi untuk mendapat petunjuk diet yang benar
agar lekas sembuh
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia dalam Sudoyo, Aru W, et.al. 2006.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Bakta, I Made, dkk. Anemia Defisiensi Besi dalam Sudoyo, Aru W, et.al. 2006. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Baldy, Catherine M. Gangguan Sel Darah Merah dalam Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine
M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.
Dewoto, Hedi R. Wardhini BP, S. Antianemia Defisiensi dan Eritropoeitin dalam Gunawan,
Sulistia Gan, et.al. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Soenarto. Anemia Megaloblastik dalam Sudoyo, Aru W, et.al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Lampiran:
Diagnosis Diferensial Anemia Defisiensi Besi
Anemia Defisiensi
Besi
Anemia Akibat
Penyakit Kronik
Thalassemia Anemia
sideroblastik
Derajat anemia Ringan sampai
berat
Ringan Ringan Ringan- berat
MCV Menurun Menurun/N Menurun Menurun/ N
MCH Menurun Menurun/N Menurun Menurun/ N
Besi serum Menurun < 30 Menurun < 50 Meningkat/N Meningkat/N
TIBC Meningkat > 360 Menurun < 300 Menurun/N Menurun/N
Saturasi
Transferin
Menurun < 15% Menurun / N Meningkat > 20% Meningkat >
20%
Besi sumsum
tulang
Negatif Positif Positif kuat Positif dengan
ring sideroblast
Protoporfirin
eritrosit
Meningkat Meningkat N N
Feritin serum Menurun<20μg/dl N 20-200 μg/dl Meningkat>50
μg/dl
Meningkat>50
μg/dl
Elektrofoesis
Hb
N N Hb A2 meningkat N