Referat
Herpes Zoster Otikus
Oleh
Muhammad Falih Akbar/04084811416129
Siti Pradyta Piska Nugrah/04054811416018
Suci Wulandari/04054811416017
Alpasca Firdaus/04054811416041
Pembimbing:
dr. Yuli Doris Memy, SpT.H.T.K.L.
BAGIAN ILMU KESEHATAN HIDUNG TELINGA TENGGOROKAN
KEPALA DAN LEHER RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2015
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan ............................................................................. 1
BAB II Tinjauan Pustaka ...................................................................... 3
2.1 Anatomi Telinga ............................................................. 3
Telinga Luar .................................................................... 3
Telinga Tengah ............................................................... 4
Labirin ............................................................................. 5
Persarafan Telinga Luar .................................................. 6
Persarafan Liang Telinga ................................................ 6
Persarafan Telinga Tengah ............................................. 6
Segmen Saraf Fasialis ..................................................... 7
2.2 Herpes Zoster Otikus ...................................................... 9
Definisi ........................................................................... 9
Epidemiologi ................................................................... 9
Etiologi ........................................................................... 10
Patogenesis ..................................................................... 10
Manifestasi Klinis ........................................................... 12
Diagnosis ........................................................................ 13
Tatalaksana ..................................................................... 15
Prognosis ......................................................................... 17
Komplikasi ...................................................................... 17
Pencegahan ..................................................................... 18
BAB III Kesimpulan............................................................................... 19
Daftar Pustaka ........................................................................................ 21
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Anatomi Telinga ....................................................................... 3
Gambar 2 Anatomi Telinga Luar .............................................................. 4
Gambar 3 Anatomi Telinga Tengah .......................................................... 5
Gambar 4 Segmen Nervus Fasialis ........................................................... 7
Gambar 5 Patogenesis Herpes Zoster Otikus ............................................ 11
Gambar 6 Pasien Herpes Zooster Otikus .................................................. 14
Gambar 7 Manifestasi Klinis Herpes Zooster Otikus ............................... 14
1
BAB I
Pendahuluan
Sistem saraf adalah sistem organ yang terdiri atas serabut saraf yang
tersusun dari sel-sel saraf yang saling terhubung satu sama lain dan berfungsi
untuk persepsi sensoris indrawi, aktivitas motorik, baik volunter ataupun
involunter, pada jaringan-jaringan dan organ-organ tubuh, dan homeostasis
berbagai proses fisiologis yang terjadi di tubuh. Sistem saraf manusia merupakan
sistem yang paling kompleks dan paling penting dalam tubuh seseorang untuk
berfungsi sebagai manusia yang seutuhnya. Oleh karena itu, gangguan pada
sistem saraf dapat berpengaruh signifikan terhadap kualitas hidup seorang
manusia.1,2
Sistem saraf secara umum dibagi menjadi dua yaitu, sistem saraf pusat dan
sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat adalah bagian dari sistem saraf yang terdiri
atas otak dan tulang belakang. Sistem saraf pusat berfungsi untuk
mengintegrasikan informasi yang didapat, mengkoordinasi dan mempengaruhi
seluruh aktivitas yang terjadi dalam tubuh. Sementara sistem saraf perifer adalah
bagian dari sistem saraf yang terdiri atas sel saraf dan ganglia selain otak dan
tulang belakang. Fungsi utama dari sistem saraf perifer adalah untuk
menghubungkan sistem saraf pusat dengan ekstremitas dan organ, bertugas
sebagai jalur komunikasi bolak-balik antara otak dengan ekstremitas dan organ.1,2
Saraf kranial adalah serabut saraf yang berasal langsung dari otak dan
batang otak. Pertukaran informasi yang terjadi antara otak dan beberapa bagain,
terutama bagian kepala dan leher, terjadi melalui saraf kranial. Hal tersebutlah
yang menjadikan gangguan pada saraf kranial salah satu dari deretan masalah
dalam Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan, Bedah Kepala dan
Leher. Salah satu dari gangguan saraf kranial adalah herpes zooster otikus yang
menyerang ganglion geniculi nervi fasialis.1,3
2
Herpes zooster otikus, atau yang disebut juga sebagai Ramsay Hunt
syndrome tipe II, adalah kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik pada
telinga luar (pada meatus akustikus eksternus dan periaurikula) dan palatum
molle, nyeri yang hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, dan di awali dengan
periode prodormal. Postulat pertama James Ramsay Hunt mengatakan bahwa
herpes zooster otikus disebabkan oleh virus varicella zoster golongan herpes
virus, yang mengalami reaktivasi dari infeksi yang sebelumnya merupakan infeksi
laten virus varicella pada ganglion geniculi nervi fasialis.4,5
Herpes zooster otikus menempati urutan kedua kejadian paralisis fasialis
akut setelah Bell’s palsy, atau lebih tepatnya 10-15% dari kasus paralise nervus
fasialis akut.6,7
Di Amerika Serikat terjadi kasus 5 /100.000 populasi penduduk
per tahun. Lebih sering terjadi pada umur diatas 60 tahun dan sangat jarang terjadi
pada anak – anak.7,8
Gejala prodromal yang ditimbulkan adalah munculnya vesikel-vesikel yang
terjadi karena reaktivasi virus pada daerah dermatom tempat virus tersebut
bersembunyi selama masa latennya.9 Selain timbulnya sekelompok vesikel, dapat
pula timbul rasa nyeri yang cukup hebat pada daerah telinga (otalgia) dengan
parasthesia di kulit telinga tersebut. Apabila infeksinya sudah mencapai N VII dan
VIII (Ramsay Hunt syndrome) maka dapat terjadi paralisis fasial dan gangguan
pendengaran serta keseimbangan.6,9
Penegakan diagnosis herpes zooster otikus harus dilakukan dengan cepat
dan dilanjutkan dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Selain pemberian
obat untuk mengurangi keluhannya (symptomatic therapy), pemberian antivirus
sistemik juga sangat dianjurkan pemberiannya sesegera mungkin setelah tegaknya
diagnosis sehingga dapat menghindarkan penderita dari komplikasi yang dapat
terjadi.6,9,10
3
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Anatomi Telinga12,13
Gambar 1 : Anatomi Telinga
2.1.1. Telinga Luar (Daun Telinga)
Daun telinga terdiri dari :
Heliks, Crus heliks
Antheliks,Crura antheliks
Tragus, anti tragus, interragic nocth
Cavum concha, cymbaconcha
Fossa triangularis
Fossa schapoidea
4
Tuberkulum darwin
Lobulus
Gambar 2 : Anatomi Telinga Luar
2.1.2. Telinga Tengah
Telingah tengah terdiri dari :
Lateral : MembranTimpani
Medial : foramen ovale
Anterior : Tuba eusthachius
Posterior : aditus ad antrum
Superior : tegmen timpani
Inferior : vena jugularis
5
2.1.3. Telinga Tengah (Labirin)
Telinga tengah terdiri dari :
Gambar 3 : Anatomi Telinga Tengah
Labirin bagian tulang yaitu :
o Kanalis semisirkularis : kanalis semisirkularis superior,
posterior, dan lateral
o Vestibulum
o Koklea : Koklea berbentuk rumah siput dengan melingkar 2 ½
– 2 ¾ kali putaran.
o Labirin bagian membran : terletak di dalam labirin bagian
tulang terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus, sakulus dan
koklea.
6
2.1.4. Persarafan Telinga Luar
Daun telinga dipersarafi oleh 5 persarafan, yaitu :
Saraf aurikular mayor (C2,3), mempersarafi hampir seluruh
permukaan medial dan bagian belakang dari permukaan lateral.
Saraf oksipital minor (C2), mempersarafi bagian atas dari permukaan
medial.
Saraf aurikulo temporal (N V), mempersarafi tragus, heliks dan daerah
sekitar heliks.
Percabangan aurikular saraf vagus (N X), juga disebut saraf Arnold’s,
mempersarafi konka dan sekitarnya.
Saraf fasialis (N VII), yang distribusi percabangannya bersamaan
dengan percabangan aurikular saraf vagus, mempersarafi konka dan
sulkus retroaurikular.
2.1.5. Persarafan Liang Telinga
Dinding atas dan depan dipersarafi saraf aurikulo temporal (N V).
Dinding bawah dan belakang dipersarafi percabangan aurikular dari
saraf vagus (N X).
Dinding belakang liang telinga juga dipersarafi oleh cabang sensoris
saraf VII melalui percabangan aurikular saraf vagus.
2.1.6. Persarafan Telinga Tengah
Promontorium berisi pleksus timpani (pleksus Jacobson). Cabang saraf
glosofaringeus dari ganglion petrosa di bawah telinga.
Pleksus timpani menerima serabut simpatis dari pleksus karotis
melalui cabang-cabang karotikotimpani superior dan inferior.
Korda timpani memasuki telinga tengah tepat di bawah pinggir
posterosuperior sulkus timpani dan berjalan ke arah depan lateral ke
prosesus longus inkus dan kemudian di bagian bawah leher maleus
7
tepat di atas perlekatan tendon tensor timpani menuju ligamentum
maleus anterior, saraf ini keluar melalui fisura petrotimpani.
2.1.7.Segmen Saraf Fasialis4,12
Gambar 4 : Segmen Saraf Fasialis
Nervus fasialis sebenarnya hanya terdiri dari serabut motorik, tetapi
dalam perjalanannya ke tepi akan bergabung nervus intermedius yang
tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut
sensorik khusus yang menghantarkan impuls pengecapan 2/3 bagian depan
lidah ke nukleus traktus solitarius.
Inti motorik nervus fasialis terletak dibagian ventrolateral tegmentum
pontis bagian kaudal. Inti dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu
kelompok dorsal dan ventral. Kelompok dorsal inti nervus fasialis mensarafi
otot-otot frontalis, zygomatikus, belahan atas orbikularis okuli dan bagian
atas otot wajah. Inti ini mempunyai inervasi kortikal secara bilateral.
8
Kelompok ventral inti nervus fasialis mensarafi otot-otot belahan bawah
orbikularis okuli, otot wajah bagian bawah dan platisma. Inti ini mempunyai
hubungan hanya dengan korteks motorik sisi kontralateral.
Akar nervus fasialis menuju ke dorsomedial dahulu, kemudian
melingkari inti nervus abdusens dan setelah itu baru membelok ke
ventrolateral kembali untuk meninggalkan permukaan lateral pons. Disitu ia
berdampingan dengan nervus oktavus dan nervus intermedius. Bertiga
mereka masuk ke dalam liang os petrosum melalui meatus akustikus
internus. Nervus fasialis keluar dari os petrosum kembali dan tiba di kavum
timpani. Kemudian ia turun, sedikit membelok ke belakang dan keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoideum. Pada saat ia turun ke
bawah dan membelok ke belakang di kavum timpani akan tergabung dengan
ganglion genikulatum yang merupakan sel induk dari serabut penghantar
impuls pengecap yang dinamakan korda timpani. Juluran sel-sel tersebut
yang menuju ke batang otak adalah nervus intermedius. Disamping itu
ganglion tersebut memberikan cabang-cabang kepada ganglion otikum dan
sfenopalatinum yang menghantarkan impuls sekretomotorik untuk kelenjar
lendir. Liang os petrosum yang mengandung nervus fasialis dinamakan
akuaduktus Falopii atau kanalis fasialis. Disitu nervus fasialis memberikan
cabang untuk muskulus stapedius dan lebih jauh sedikit ia menerima
serabut-serabut korda timpani. Berkas saraf ini menuju ke tepi atas gendang
telinga dan membelok ke depan.
Melalui kanalikulus anterior ia keluar dari tengkorak dan tiba di
bawah muskulus pterigoideus eksternus. Di situ korda timpani
menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan cabang dari
nervus mandibularis. Korda timpani menghantarkan impuls pengecap dari
2/3 bagian depan lidah. Sebagian saraf motorik mutlak nervus fasialis keluar
dari foramen stilomastoideum dan memberikan cabang-cabang kepada otot
stilohioid dan venter posterior muskulus digastrikus dan otot oksipitalis.
Pangkal sisanya menuju ke glandula parotis. Di situ ia bercabang-cabang
lagi untuk mensarafi otot wajah dan platisma. Nervus fasialis yang melintasi
9
jaringan glandula parotis bercabang-cabang lagi untuk mensarafi seluruh
otot wajah.
2.2 Herpes Zooster Otikus
2.2.1 Definisi
Menurut Koerner (1904), herpes zooster otikus, yaitu berupa sindroma
yang terdiri dari bulla pada daun telinga, paralise fasial dan gangguan
telinga dalam. Menurut James Ramsay Hunt (1907), yang telah mempelajari
penyakit tersebut secara terperinci, herpes zooster otikus terjadi karena
adanya reaktivasi herpes zooster pada ganglion geniculi nervi fasialis, sejak
saat itu herpes zooster otikus juga dikenal dengan Ramsay Hunt syndrome.
Dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa herpes zooster otikus adalah
kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik pada telinga luar (pada
meatus akustikus eksternus dan periaurikula) dan palatum molle, nyeri yang
hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, yang disebabkan reaktivasi
herpes zooster yang sedang dalam masa dormansi di ganglion genikuli nervi
fasialis.4,5,6
2.2.2 Epidemiologi
Herpes zooster otikus dapat muncul di sepanjang tahun karena tidak
dipengaruhi oleh perubahan musim dan angka kejadiannya tersebar merata
di seluruh dunia.7,8
Menurut penelitian yang dilakukan di Jerman dan
Australia, wanita memiliki tendensi untuk mengalami herpes zooster otikus
dibandingkan pria, dengan persentasi wanita 68,1% dan pria 31,9%, akan
tetapi wanita memiliki manifestasi dan prognosis yang lebih baik ketimbang
pria.13,14
Angka kesakitan akan meningkat seiring dengan bertambahnya
usia dan pada individu defisit sistem imun, dimana faktor reaktivasi dapat
berupa stress fisik maupun emosional.10,14
2/3 pasien herpes zooster otikus
berusia lebih dari 50 tahun, dan kurang dari 10% berusia kurang dari 20
tahun. Herpes zooster otikus merupakan penyebab paralise N VII terbanyak
10
setelah Bell’s palsy (2-10% di seluruh dunia), dan gejala yang ditimbulkan
cenderung lebih parah dari Bell’s palsy sehingga prognosisnya pun lebih
buruk. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6%
setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1%
setahun.8,10
Herpes zooster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela
sebelumnya karena varisela dan herpes zooster disebabkan oleh virus yang
sama yaitu virus varisela zooster. Setelah sembuh dari varisela, virus yang
ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan dorman dan dapat aktif
kembali jika daya tahan tubuh pejamu menurun. Akan tetapi, defisit
neurologis residual jarang ditemukan pada pasien yang telah sembuh dari
herpes zooster otikus. Tergantung dari derajat keparahannya, tuli
sensorineural yang didapat ketika menderita herpes zooster otikus dapat
menetap (6,5%).6,8
2.2.3 Etiologi
Varicella Zooster Virus (VZV) merupakan virus penyebab varicella
(chicken pox) dan herpes zooster. VZV tergolong virus berinti DNA yang
linier, virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili
alphaherpesviridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi,
penjamu, sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan
kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VZV tergolong ke dalam
subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel
epitel yang menimbulkan lesi vesikuler. Selanjutnya setelah infeksi primer,
infeksi oleh virus herpes alfa biasanya dapat menetap dalam bentuk laten
didalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan
menimbulkan kekambuhan secara periodik.8,15
2.2.4 Patogenesis
Saat terinfeksi varicella, VZV melewati lesi masuk ke permukaan
kulit dan mukosa menuju ujung–ujung saraf sensoris dan di transportasikan
11
oleh serat–serat saraf ke ganglion sensoris. Di ganglion, virus menetap dan
menjadi infeksi laten sepanjang hidup. Selama virus laten di gangglion tidak
tampak gejala infeksi.6,15
Gambar 5. Patogenesis Herpes Zooster Otikus
Pada ganglion genikuli, terdapat serabut motorik, sensoris, dan
parasimpatetik N VII yang tersebar menginervasi kelenjar air mata, kelenjar
submandibula, kelenjar sublingual, lidah, palatum, faring, meatus akustikus
eksternus, stapedius, m. digastrikus posterior, m. stylohyoideus, dan otot-
otot ekspresi wajah. Serabut-serabut yang mempersarafi bagian-bagian
12
tersebut menjadi alat transportasi VZV yang telah terreaktivasi. N VIII
dapat terkena karena mayoritas perjalanan serabut saraf yang sejajar atau
melalui segmen labirin dari ganglion tersebut, namun teori-teori tersebut
belum dapat dibuktikan. Bagaimana reaktivasi VZV di ganglion genikuli
dan patofisiologi dari manifestasi yang ditimbulkan masih belum dapat
dijelaskan. Hanya diketahui bahwa enurunnya daya tahan tubuh, stress fisik
atau emosional, keganasan, radioterapi, kemoterapi, dan infeksi HIV adalah
faktor resiko terjadinya reaktivasi VZV.3,6,11
2.2.5 Manifestasi Klinis
Setelah terjadinya reaktivasi, herpes zoster otikus dapat menyerang
telinga luar (khususnya konka aurikula), kulit periaurikular, meatus
akustikus eksternus, telinga tengah, telinga dalam (jika sudah menyerang N
VIII), dinding lateral hidung, palatum molle, anterolateral lidah, dan
percabangan N VII. Sesudah masa inkubasi yang berlangsung 4-20 hari,
muncul gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, dan
terkadang mual dan muntah.8 Selanjutnya dapat muncul erupsi/vesikel di
periaurikular, telinga luar, dan meatus akustikus eksternus. Waktu
munculnya erupsi/vesikel memiliki nilai prognostik yang signifikan. Pada
sebagian besar kasus, erupsi muncul bersamaan dengan paralisis. Pada 25%
kasus, dimana erupsi muncul terlebih dahulu dari paralisis, pasien tersebut
memiliki persentase kesembuhan yang lebih besar. Setelah erupsi/vesikel
dan paralisis terjadi, gejala yang lain mengikuti yaitu hiperakusis, tuli
sensorineural, dan nyeri hebat.6,10
Adapun dari manifestasi klinis yang sering muncul dari herpes zoster
otikus, dapat dikelompokkan menjadi:6,10
Vesikel/Erupsi
13
o Vesikel dapat muncul sebelum, bersamaan, tau setelah adanya
paralisis nervus fasialis. Vesikel yang timbul dapat menyebabkan
sensasi terbakar atau otalgia. Vesikel yang pecah akan membentuk
krusta.
Gejala yang berhubungan dengan N VII
o Paresis ipsilateral
o Paralisis ipsilateral
Gejala yang berhubungan dengan N VIII
o Tinnitus
o Vertigo
o Tuli sensorineural
o Gangguan keseimbangan
Gejala lain
o Nyeri hebat pada mata
o Lakrimasi
o Mata tidak bisa menutup
o Gangguan indera pengecap
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
Anamnesis6,8
Pasien dengan gejala berupa :
o nyeri pada telinga, nyeri pada mata
o rasa tebakar di sekitar telinga, wajah, mulut, dapat juga
terjadi di lidah.
o mual dan muntah dapat terjadi,
o disertai gangguan pendengaran, hiperakusis atau tinnitus.
14
Pemeriksaan fisik6,10
Pada pemeriksaan didapatkan :
o Tampak lesi kulit yang vesikuler pada kulit di daerah muka,
pada liang telinga, konka dan daun telinga.
Gambar 6 : A) Pasien herpes zoster otikus sebelum pengobatan, B)
kembalinya fungsi motorik secara keseluruhan setelah pengobatan, C)
Lesi vesikel pada meatus akustikus eksternus
Gambar 7 : Tanda Klinis penderita Herpes Zoster Otikus
15
o Bintik-bintik merah juga dapat terlihat pada kulit di
belakang telinga, dinding lateral hidung, palatum molle dan
lidah bagian anterolateral.
o Vertigo,
o Tuli sensorineural
o Parese saraf fasialis menyerupai bells palsy juga dapat
ditemukan.
o Gangguan perasa seta ketidakmampuan dalam menutup
mata pada bagian ipsilateral, sehingga pasien akan
mengeluhkan kekeringan pada kornea dan iritasi.
Pemeriksaan penunjang
o Pemeriksaan laboratorium yang meliputi: kadar nitrogen
dalam urin ( BUN), kreatinin, hitung sel darah, serta
elektrolit8
o Tes Serologi. Anti-VZV IgG dan IgM15
o Fluorescent-antibody membrane antigen assay (FAMA)
(gold standard)15
o CT scan8
o Magnetic Ressonance Imaging (MRI) dengan
menggunakan gadolinium diethylene-triamine pentaacetic
acid ( Gd-DTPA).8
2.2.7 Tatalaksana
Berikut adalah pilihan terapi yang dapat digunakan untuk tatalaksana herpes
zoster otikus:
Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri dan
vertigo yang terjadi karena adanya inflamasi pada serabut saraf N VII.
Kortikosteroid tidak dianjurkan pada pasien herpes zoster otikus yang
16
menderita penyakit keganasan atau menjalani kemoterapi, karena dapat
memicu Disseminated Herpes Zoster.19
Kortikosteroid + Antivirus
Pasien yang ditatalaksana dengan menggunakan antivirus dan prednison
memberikan hasil yang lebih baik (dalah hal kecepatan hilangnya
vesikel dan erupsi, berkurangnya nyeri, dan dapat kembalinya pasien
menjalani aktivitas sehari-hari) dibanding dengan yang ditatalaksana
hanya dengan menggunakan prednison dan antivirus sendiri.
Dosis yang diberikan:
o Prednison: 1 mg/kgbb/hari yang dibagi menjadi 3 dosis selama 10-
14 hari.10,18
Dapat dilakukan tapering-off mulai dari minggu
kedua.6
o Antivirus
Acyclovir 5x800 mg/hari selama 5-7 hari atau Acyclovir IV
10 mg/kgbb/8 jam selama 7 hari8
Valacyclovir 3x1000 mg/hari selama 7 hari, atau
Famcyclovir 3x750 mg/hari selama 7 hari10
diketahui memiliki efek yang paling baik untuk mengurangi
postherpetic neuralgia (tetapi harus dipantau karena
meningkatkan enzim hati)
Farmakoterapi tambahan10,18
o Analgesik golongan narkotik untuk mengurangi nyeri
o Antipruritik untuk gatal
Tatalaksana infeksi sekunder oleh bakteri10,18
o Biasanya terjadi karena vesikel yang tereskoriasi akibat garukan
o Gunakan H2O2 untuk membersihkan vesikel/krusta
o Guankan salep bacitracin pada bagian bervesiekel/krusta
o Gunakan antibiotik oral antistreptokokal seperti cefadroxil
17
2.2.8 Komplikasi
Apabila penegakkan diagnosis dan tatalaksana tidak cepat dilakukan,
dapat terjadi paralysis berat akan mengakibatkan tidak lengkap atau
tidak sempurnanya kesembuhan dan berpotensi untuk menjadi paralysis
fasial yang permanen dan synkinesis.8,10
Jika tataksana tidak adekuat, sangat memungkinkan terjadinya
postherpetic neuralgia yang berkepanjangan.4
Adakalanya, virus dapat menyebar ke saraf-saraf lain atau bahkan ke
otak dan jaringan saraf dalam tulang belakang, menyebabkan sakit
kepala, sakit punggung, kebingungan, kelesuan, kelemahan, dan
timbulnya lesi herpes yang mengikuti dermatom.6,17,18
Serangan vertigo bisa muncul sebagai komplikasi Herpes Zoster di
wajah.8
2.2.9 Prognosis
Diagnosa yang ditegakkan lebih cepat dan mendapat terapi sebelum 72
jam setelah onset memberikan hasil yang lebih baik.8,20
Pasien yang datang dengan keluhan erupsi terlebih dahulu sebelum
paralisis memiliki prognosis yang lebih baik.17
Pada infeksi yang lama mungkin dapat terjadi paralisis fasialis yang
permanen. Sejumlah besar pasien akan mengalai penyembuhan
sepenuhnya setelah sebelumnya mengalami paralisis.17,20
Herpes zoster otikus yang mengalami vertigo dan tuli sensorineural
prognosisnya lebih jelek terutama pada pasien dengan umur lebih tua17,20
18
2.2.10 Pencegahan
Pencegahan herpes zoster dapat dilakukan dengan cara yang
sederhana, yaitu dengan menjaga daya tahan dan kesehatan tubuh dan
menjauhkan diri dari stress. Pencegahan dapat pula ditempuh dengan
pemberian vaksin VZV.20
Vaksin VZV menginduksi imunitas seluler
spesifik VZV yang berguna untuk perlindungan jangka panjang terhadap
VZV. Imunisasi VZV menugaskan sel T untuk berproliferasi dan
memproduksi limfokin sebagai respon dari protein IE62 dan glikoprotein
virus dan menginduksi sel T sitotoksik yang dapat melisiskan protein yang
diekspresikan oleh VZV.15
19
BAB III
Kesimpulan
Herpes zoster otikus adalah kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi
herpetik pada telinga luar (pada meatus akustikus eksternus dan
periaurikula) dan palatum molle, nyeri yang hebat, disertai paralise
nervus fasialis akut, yang disebabkan reaktivasi herpes zooster yang
sedang dalam masa dormansi di ganglion genikuli nervi fasialis.
Herpes zoster otikus tidak merupakan penyakit musiman, dan tersebar
merata di seluruh dunia.
Herpes zoster otikus merupakan penyakit paralisis N VII yang terbanyak
kedua di dunia, dan memiliki manifestasi yang lebih berbahaya
dibanding yang lain.
Berdasarkan statistik, herpes zoster otikus lebih cenderung mengenai
wanita ketimbang pria, namun prognosis pria lebih buruk.
Herpes zoster otikus disebabkan oleh varicella zoster virus (VZV) yang
merupakan virus DNA linear dari subfamili alphaherpesviridae.
Herpes zoster otikus bermanifestasi setelah adanya reaktivasi VZV dari
masa dormansi di ganglion genikuli. Adapun mekanisme reaktivasi dan
patofisiologi munculnya manifestasi klinis belum diketahui
Herpes zoster otikus memiliki gejala utama berupa vesikel di telinga dan
sekitarnya, paresis dan parelisis ipsilateral, dan gangguan pada telinga
dalam berupa tinnitus, vertigo, tuli sensorineural, dan nystagmus.
Penegakkan diagnosis herpes zoster berdasar anamnesis mengenai gejala
utama, pemeriksaan fisik yaitu dari inspeksi, otoskopi, dan pemeriksaan
mulut, dan pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan FAMA sebagai
gold standard.
20
Herpes zoster dapat diobati dengan menggunakan kombinasi
kortikosteroid dan antivirus yang dibantu dengan farmakoterapi
simtomatik dan pencegahan infeksis sekunder.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari herpes zoster otikus antaralain
adalah postherpetic neuralgia, paralisis, vertigo, dan tuli sensorineural
yang menetap.
Prognosis dari herpes zoster otikus sangat bergantung pada cepatnya
tatalaksana (tidak lebih dari 72 jam setelah onset), gender, dan gejala
awal yang ditimbulkan.
Pencegahan herpes zooster virus dapat dilakukan dengan vaksinasi VZV
21
Daftar Pustaka
1. Adam, RD, Victor, M. 2005. “Clinical Method of Neurology,” dalam:
Ropper, AH, Brown, RH (Ed.) Principles of Neurology 8th Edition.
McGraw-Hill, New York (hal 2-3)
2. Yogarajah, M. 2013. “Patients present with,” dalam: Horton-Szar, D,
Cikurai, K, Khan, N (Ed.) Crash Course of Neurology 4th Edition.
Mosby Elsevier, London
3. Moller, AR. 2006. “Disorder of the Auditory System and Their
Pathophysiology,” dalam: Menzel, J, Furrow, H, Donahue, J (Ed.)
Hearing: Anatomy, Physiology, and Disorder of the Auditory System
2nd Edition.
4. Adam, RD, Victor, M. 2005. “Disease of Cranial Nerves,” dalam:
Ropper, AH, Brown, RH (Ed.) Principles of Neurology 8th Edition.
McGraw-Hill, New York (hal 1180-1182)
5. Hunt, JR. 1907. “On Herpetic Inflammation of Geniculate Ganglion: A
New Syndrome and Its Complication,” Journal of Nervous and Mental
Disease. Volume 34 Bagian 2 (hal 78) (diakses dari http://journals.lww.
com/jonmd/citation/1907/02000 tanggal 11 Februari 2015)
6. Lustig, LR, Niparko, JK. 2012. “Disorder of Facial Nerve,” dalam:
Lalwani, A (Ed.) Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology,
Head and Neck Surgery 3rd Edition. McGraw-Hill, San Francisco (hal
889-899)
7. Mansjoer, A, Wuprohita, Wardhani, WI et al. 2000. “Penyakit Virus,”
dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3 Jilid 2. Media Aeaculpius,
Jakarta (hal 128-129)
8. Sunita, B, Sepahdari, A, Sidell, D. 2013. “Paralysis of Cranial Nerve,”
dalam Gopen, Q (Ed.) Fundamental Otology: Pediatric & Adult
Practice 1st Edition. Jaypee Brothers, New Delhi (hal 238-239)
22
9. Adam, GL, Boeis, LR, Higler, PA. 2013. Buku Ajar Penyakit THT Boeis
Edisi ke-6. EGC, Jakarta (hal 46-49)
10. Scott, K. 2014. “Facial Nerve Condition,” dalam: Debo, RF, Keyes, AS,
Leonard, DW (Ed.) Quick Refernce for Otolaryngology. Springer, New
York (hal 94-98)
11. Ellis, H. 2006. Clinical Anatomy: A Revision and Applied Anatomy for
Clinical Student. Blackwell Publishing, Victoria (hal 261-263, 270, 383-
384)
12. Snell, RS. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. EGC,
Jakarta (hal 700-722)
13. Walther, LE, Prosowsky, K, Walther, A et al. 2005. “Herpes Zoster
Oticus: Symptom constellation and serological diagnosis,” (diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15197674 tanggal 11 Februari
2015)
14. Coulson, S, Croxson, GR, Adams, R et al. 2011. “Prognostic Factors in
Herpes Zoster Oticus,” Journal of Sydney University. Otolaryngology &
Neurotology Inc., Sydney. Volume 3 Bagian 6 (hal 1025-1027) (diakses
dari http://www.researchgate.net/...herpes_zoster_oticus.../54478f0c0f2f
1b8120 tanggal 11 Februari 2015)
15. Arvin, AM, Gilden, D. 2013. “Varicella Zoster Virus,” dalam: Knipe,
DM, Howley, PM (Ed.) Fields Virology 6th Edition. Lippincott
Williamz & Wilkins, Philadelphia (hal 2038-2052)
16. Sjarifuddin, Bashrudin, J, Bramantyo, B. 2010. “Kelumpuhan Nervus
Fasialis Perifer,” dalam: Soepardi, EA, Iskandar, N, Bashirudin, J et al
(Ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala,
dan Leher Edisi Ke-6. FKUI, Jakarta (hal 114-117)
17. Baskin, JZ, Cruz, OL. 2005. “Special Case of Face Paralysis,” dalam:
Cummings, CW, Harker, L (Ed.) Cummings Otolaryngology Head &
Neck Surgery. Mosby Elsevier, New York
18. Ahsan, SF, Bojrab, DI, Sidell, DL et al.2014. “Herpes Zoster Oticus,”
dalam: Pasha, R, Golub, JS (Ed.) Otolaryngology Head & Neck Surgery
23
Clinical Reference Guide 4th Edition. Plural Publishing, San Diego (hal
428-429)
19. Yoon, K, Kim, S, Lee, E, et al. 2013. “Disseminated herpes zoster in an
immunocompetent elderly,” Korean Journal of Pain. Volum 26 Bagian 2
(hal 195-198) (diakses dari http:/www.koreamed.org/ diakses tanggal 11
Februari 2015)
20. Pau, HW. 2006. “Herpes Zoster Oticus,” dalam: Gross, G, Doerr, HW
(Ed.) Herpes Zoster: Recentaspect of diagnosis and control patient.
Karger, Basel (hal 47-55)