BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi
yang dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala akibat lepas muatan
listrik neuron-neuron serebral secara eksesif1. Epilepsi sering dihubungkan dengan
disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi
penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa
rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya)2. Penyebabnya adalah
kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun
seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi otak3.
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000,
diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang
di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. WHO
(2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di
antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk2.
Pendataan secara global ditemukan 3,5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40% adalah
anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut1.
Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya bangkitan adalah
ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi, dan gangguan saluran ion di
reseptor yang berperan terhadap kegiatan eksitatorik neurotransmiter. Ikatan eksitatorik
dengan reseptor terkait akan membuka pintu untuk masuknya ion kalsium yang
berlebihan kedalam sel sebagai penyebab dari kematian sel yang berdampak pada kualitas
otak dalam hal ini fungsi hipokampus dan korteks serta mengarah pada gangguan
perilaku termasuk bunuh diri2.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Epilepsi adalah gangguan otak dengan ciri-ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel saraf otak yang ditandai dengan dua atau lebih bangkitan. Tergantung
pada jenis gangguan dan daerah serebral yang secara berkala melepaskan muatan
listriknya maka terdapat berbagai jenis epilepsi3.
B. Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi epilepsi merupakan International League Against Epilepsy (ILAE)
19814,5:
I. Bangkitan Parsial (fokal dan lokal)
a. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran).
Yang dimaksud dengan manifestasi sederhana ialah perasaan pokok, gerakan
otot setempat yang klonik atau gangguan bicara. Gejala-gejala tersebut dapat
timbul sebagai manifestasi epilepsi fokal sendiri atau sebagai aura konvulsi
umum. Adapun gejal-gejala tersebut sebagai berikut1:
Dengan gejala motorik. Adanya gerakan involuntar otot-otot salah satu
anggota gerak, wajah, rahang bawah (mengunyah), pita suara (vokalisasi)
dan kolumna vertebralis (badan berputar, torsi leher/kepala=aversif)1,4.
Dengan gejala sensorik. Adanya merasakan nyeri, panas/dingin,
hipestesia/parestesia nada daerah kulit setempat, skotoma, tinnitus,
mencium bau barang busuk, mengecap perasaan logam, vertigo, mual,
muntah, perut mules atau afasia1,4.
Dengan gejala otonomik. Adanya muntah/mual dan hiperhidrosis
setempat dapat dianggap sebagai manifestasi susunan saraf autonom1,4.
Dengan gejala psikik4.
b. Bangkitan parsial kompleks (bangkitan parsial sederhana yang diikuti
dengan gangguan kesadaran).
2
Gejala-gejala yang dijuluki kompleks ialah sensorik, motorik dan autonom
yang memperlihatkan cirri yang tampaknya bertujuan dan terintegrasi.
Adapun gejala kompleks yang dimaksud ialah halusinasi, ilusi déjà vu,
perasaan curiga dan automatismus1.
Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
c. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik).
Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum.
Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum.
Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi bangkitan umum.
II. Bangkitan Umum (konvulsif atau nonkonvulsif)
a. Absens
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence)
dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan
penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak
yang berusia antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus
otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata
penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan
tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan,
penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru
dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas
yakni spike wave yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara
menyeluruh1,4.
b. Mioklonik
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar
sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya
3
berlangsung sejenak1,4. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi
dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya
cepat4.
c. Klonik
Kejang klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal
berlangsung 1-3 detik, terlokalisasi, tidak disertai gangguan kesadaran dan
biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan
oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan
atau oleh ensepalopati metabolik4.
d. Tonik
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum
dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau
ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi4.
e. Tonik-Klonik/Grand-Mal
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan
terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul
gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yang disertai dengan relaksasi).
Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya
sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar
secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan
tertidur setelahnya4. Pola EEG grand-mal tidak patognomik. Serangan grand-
mal secara elektroensefalografik adanya letupan-letupan spike (multiple
spike) yang gencar bangkit secara difus dan paroksimal atau sekali-kali
letupan-letupan spike atau gelombang tajam bangkit secara difus dan
paroksimal1.
f. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan
kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba4.
III. Bangkitan yang Tidak Terklasifikasi
4
C. Etiologi Epilepsi
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai
simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox
Gastaut syndrome.
Penyebab spesifik
1. Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin contohnya ibu
mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat merusak otak janin, minum-
minuman alkhohol atau mendapatkan terapi penyinaran4.
2. Kelainan yang terjadi saat kelahiran (bayi baru lahir)4 :
a. Brain malformation
b. Gangguan oksigenasi sebelum lahir (Hipoksia-Asfiksia)
c. Gangguan elektrolit
d. Gangguan metabolisme janin
e. Infeksi
3. Saat usia bayi hingga anak-anak4:
a. demam (kejang demam)
b. tumor otak (jarang)
c. infeksi
4. Saat usia anak – dewasa4:
a. Kelainan kongenital sepeti sindrom down, neurofibromatosis, dll.
b. Faktor genetik dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi
idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila
kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi
menjadi 20%-30%.
c. Penyakit otak yang berjalan secara progresif seperti tumor otak
(jarang)
d. Trauma kepala
5. Saat usia tua/lanjut4:
a. Stroke
b. Penyakit Alzeimer
5
c. Trauma
D. Patofisiologi Epilepsi
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron-neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.
Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang
bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal
ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi. Serangan epilepsi akan
muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang
berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan
berulang-ulang.
Cetusan listrik abnormal ini kemudian membawa neuron-neuron yang terkait di
dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari
sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu
badai aktivitas listrik di dalam otak.
1) Patofisiologi Epilepsi Umum
Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal
dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa
penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada
sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal
6
pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga
menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas
ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM. Patofisiologi epilepsi yang
lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian
besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (tabel 1).
Tabel 1. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi
Kanal Gen Sindroma
Voltage-gated
Kanal Natrium SCN1A, SCN1B,
SCN2A, GABRG2
Generalized epilepsies
with febrile seizures
plus
Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial
neonatal
Convulsions
Kanal Kalsium CACNA1A, CACNB4
CACNA1H
Episodic ataxia tipe 2
Childhood absence
epilepsy
Kanal Klorida CLCN2 Juvenile myoclonic
epilepsy
Juvenile absence
epilepsy
Epilepsy with grand
mal
seizure on awakening
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4 Autosomal dominant
frontal
lobe epilepsi
Reseptor GABA GABRA1, GABRD Juvenile myoclonic
epilepsy
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga
7
terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika
terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with
febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan
kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi
yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat
mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan
menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron5.
2) Patofisiologi Epilepsi Parsial
Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah
epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada
sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel
piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks
entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori dari
interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular).
Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan
dapat menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal. Pada
sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke lapisan
molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang aberant
ini menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk sinaps
pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu interneuron
eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara normal
mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas6.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di
hippocampus. Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di
daerah proliferative gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula
dentatus baru dan pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi.
Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi
reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit
yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi neuron
dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy lobus temporal, terjadi
perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula dentatus berubah sehingga
8
menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat dan akhirnya menghambat
mekanisme inhibisi. Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah
terjadinya epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak
maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas NMDA
reseptor dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan dan berujung pada
kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calcium lebih sedikit dibandingkan
pada sel yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi
hipereksitabilitas neuron6.
E. Pendekatan Diagnostik
1) Anamnesa/Aloanamnesa1
a. Fokalitas. Dari penderita atau orang-orang yang pernah menyaksikan serangan
epileptiknya harus didapati lukisan yang lengkap. Setiap aura yang dilaporkan
penderita menunjuk kepada serangan epilepsi fokal. Serangan epileptik yang
mengenai daerah tubuh setempat, baik yang bersifat motorik, sensorik maupun
autonom harus diklasifikasikan sebagai serangan epilepsi fokal.
b. Riwayat keluarga dapat mengungkapkan adanya anggota keluarga yang
epileptik atau penyakit-penyakit yang erat hubungannya dengan epilepsi. Bila
kedua orang tua epileptik, maka anaknya mempunyai 25% kemungkinan untuk
menjadi epileptik juga. Jenis epilepsi yang menunjukkan faktor keturunan yang
kuat ialah petit mal. Risiko seorang anak untuk menjadi epileptik jika ibu atau
ayahnya menderita petit mal ialah ±8%. Risiko untuk mendapat epilepsi grand
mal bagi setiap bagi setiap penduduk ialah 0,5%. Jika salah seorang dalam
keluarga menderita grand mal, presentasi risiko untuk mendapat grand mal
juga bagi saudara kandungnya ialah 1,5-3%. Persentasi risiko ini meningkat ke
2,5-6% bagi anak yang mempunyai ibu atau ayah yang epileptik.
c. Riwayat penyakit dahulu memberikan informasi tentang faktor kausatif yang
relevan. Infeksi cerebral (ensefalitis, meningitis), riwayat “stroke”, ataupun
trauma kapitis dan kontusio serebri dapat dihubungkan dengan terjadinya fokus
epileptogenik.
d. Riwayat kehamilan dan kelahiran mendasari anggapan atau perkiraan tentang
adanya trauma lahir atau gangguan cerebral dalam masa intrauterine, seperti
9
infeksi viral ataupun trauma abdominal dan keadaan hipokalsemia atau
hipoglikemia yang pernah dialami ibu dalam masa kehamilan.
2) Pemeriksaan neurologik umum dan khusus
Dengan pemeriksaan neurologik gejala defisit unilateral atau bilateral dapat
ditemukan. Hemiparesis bahkan adanya hanya spastisitas, hiper-refleksia tendon
atau Babinski yang positif sesisi sudah memberikan pengarahan yang berharga
bagi penilaian epilepsi umum fokal1. Selain itu diperlukan pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan laboratorium, pencitraan seperti CT Scan atau MRI dan
pemeriksaan elektroensefalogram (EEG). Dan terapi yang diselenggarakan harus
didasarkan atas adanya serangan epileptik6.
F. Tatalaksana pada epilepsi
a. Terapi Medikamentosa
10
Gambar Algoritma evaluasi pasien dengan kejang6
Ekstra temporalTemporal
SimtomatikIdiopatikSimtomatikIdiopatik
UmumParsial
Bangkitan tidak diprovokasi. Berulang. epilepsi
Bangkitan tunggal
Bangkitan tidak diprovokasi. Bangkitan pertama ?
Bangkitan simtomatik akut mis. Kejang demam
Kejadian klinis paroksimal. Apakah bangkitan ?
Bangkitan epileptik. Apakah diprovokasi ?
Bangkitan non-epileptik
1) Golongan Hidantoin3
Fenitoin. Merupakan golongan Hidantoin yang paling sering dipakai. Kerja
obat ini antara lain penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian
lain di otak. Indikasi untuk Epilepsi umum khususnya Grand-Mal tipe tidur,
epilepsi fokal dan dapat juga untuk eiplepsi lobus temporalis. Dosis dewasa
300-600 mg/hari. Anak 4-8mg/hari. Maksimal 320mg/hari. Pemberian dapat 1
atau 2 kali per hari. Kadar terapeutik dalam plasma 10-20ug/ml. Perlu
menunggu 7-10 hari sampai kadar plasma tercapai. Efek samping pada SSP
menyebabkan gangguan vestibulosereberal berupa nistagmus dan tremor. Pada
saluran cerna berupa nyeri ulu hati, anoreksia, muntah. Pada kulit terjadi ruam
morbiliform, dan pernah dilaporkan sindrom Steven Johnson atau dermatitis
eksfoliativa. Pada wanita muda terjadi keratosis dan hirsutisme yang diduga
karena obat ini mempengaruhi aktivitas suprarenalis.
2) Golongan Barbiturat3
Fenobarbital. Merupakan golongan Barbiturat yang bekerja lama (long
acting). Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas serangan dengan menaikkan
ambang rangsang. Indikasi untuk epilepsi umum khusus epilepsi Grand-Mal
tipe sadar, epilepsi fokal. Dosis dewasa 200mg/hari. Anak 3-5 mg/kg/ BB/hari.
Kadar terapeutik dalam plasma15-40 ug/ml. Efek samping, efek sedative yang
akan hilang sendiri setelah
3) Golongan Benzodiazepam3
Diazepam. Dikenal sebagai obat penenang tetapi disini merupakan obat pilihan
utama untuk status epileptic. Dosis dewas 2-10mg i.m/i.v, dapat diulang setiap
4jam. Anak > 5 tahun 5-10 mg i.v/i.m. Anak 1 bulan-5 tahun 0,2-2 mg i.m/iv.
Efek samping berupa obstruksi saluran nafas oleh lidah akibat relaksasi otot
dan dapat pula terjadi depresi pernafasan.
Nitrazepam. Indikasi epilepsy spasme infantile dan epilepsy mioklonik. Dosis
0,15-2mg/kg/BB/hari. Efek samping seperti hipersekresi lendir saluran nafas
dan dapat menyebabkan pencetusan epilepsy Grand-Mal dan memperkuat
epikepsi Petit-Mal murni.
Klonazepam. Indikasi untuk epilepsy spasme infantil, epilepsy mioklonik dan
petit mal. Dosis 0,1-0,2 mg/kg BB/hari. Efek samping seprti iritabel, ataksia,
dan kelelahan.
11
4) Golongan Suksinid3
Etosuksimid. Indikasi Petit Mal murni. Dosis 20-30 mg/Kg BB/hari. Efek
samping seperti nyeri kepala, ruam kepala. Gejala yang berat adalah pada
darah berupa agranolusitosis dan pansitopenia.
5) Golongan Anti Epilepsi lainnya3
Sodium Valproat. Indikasi Epilepsi Petit Mal murni dapat pula untuk epilepsi
pada lobus temporalis yang refraketer, sebagai kombinasi dengan obat lain.
Dosis anak: 20-30mg/Kg BB/hari. Dewasa 0,8-1,4 gr/hari dimulai denga
600mg/hari. Efek samping pada saluran cerna berupa mual, iritasi saluran cerna
dan pada susunan saraf pusat menyebabkan ataksia.
Azetazolamid. Dikenal sebagai diuretic tetapi pada pengobatan epilepsy
mempunyai cara kerja menstabilkan keluar masuknya natrium pada sel otak.
Indikasi pada epilepsy Petit Mal dan epilepsy Grand Mal dimana serangannya
sering datang berhubungan dengan siklus menstruasi. Dosis sehari total 8-
30mg/kg BB. Efek samping, pada obat ini cepat refrakter karena terjadi
toleransi.
Karbamazepin. Indikasi untuk epilepsi lobus temporalis dengan epilepsy
Grand Mal. Dosis dewasa 800-1200mg/hari. Dimulai dengan 400mg/hari
dalam dua kali pemberian. Anak sampai usia 1 tahun 100 mg/hari. Anak 1-5
tahun 100-200mg/hari. Anak usia 5-10 tahun 200mg/hari. Anak usia 10-15
tahun 200-300mg/hari. Efek samping pada susunan saraf pusat berupa mual,
muntah, nyeri abdomen dan diare. Pada kulit dapat terjadi reaksi dari ringan
sampai berat. Pada system darah menyebabkan gangguan kardiovaskular,
fungsi hati dan fungsi ginjal.
Hentikan kejang-kejang dengan:
1. Diazepam intravena 10mg/5 menit, maksimal 50-60mg. Setelah kejang berhenti
berikan 10mg diazepam intramuskulus setiap 3 jam. Pasang infuse, berikan
glukosa 10%. Diazepam dapat diberikan dalam infus bila perlu dengan dosis
maksimal 200mg dalam 24 jam.
2. Bila dengan infus diazepam setelah satu jam terdapat serangan kejang, suntikan
intravena fenitoin 10mg/kg/BB perlahan-lahan.
3. Bila masih ada kejang setelah tindakan-tindakan diatas, berikan kloralhidrat
dengan infus per rectum 3,4-4 gram, yang dihentikan setelah serangan-serangan
12
kejang berhenti. Berikan fenobarbital 200-300mg intramuskulus setiap sekali
sehari.
b. Terapi Non-Medikamentosa
Mengingat pentingnya terapi medikamentosa, maka setiap penderita atau
orang tuanya harus diberi penerangan yang jelas dan tegas yaitu1:
1. Obat yang diberikan harus dimakan menurut aturan yang sudah ditetapkan.
Walaupun tidak ada serangan, obat harus terus dimakan sampai saat dimana
dokter akan menetapkan aturan pemakaian yang baru.
2. Berilah penjelasan tentang perawatan epilepsy sebagai berikut:
a. Epilepsi adalah penyakit yang dapat disembuhkan.
b. Sembuhnya dapat berarti bebas dari serangan dengan makan obat
untuk seumur hidup atau dengan makan obat untuk sementara
waktu.
c. Pada umumnya diusahakan agar penderita bebas dari serangan
dengan dosis antikonvulsan yang optimal. Usaha ini tidak
langsung berhasil baik karena jenis dan dosis obat ditetapkan
secara titrasi pada setiap kunjungan follow up.
d. Bila sudah dicapai jenis dan dosis obat yang dapat membebaskan
penderita dari serangan, maka jenis dan dosis obat tersebut
dilanjutkan selama ½ sampai 1 tahun. Follow up berikutnya
menentukan apakah dosis obat tersebut dikurangi atau tetap
dipertahankan untuk sementara waktu1.
BAB III
KESIMPULAN
13
Epilepsi adalah kondisi dimana seseorang mengalami kejang rekuren dikarenakan
proses kronis yang mendasarinya. Insidens epilepsi di seluruh dunia mencapai 0,3-0,5%
pada berbagai populasi, dan prevalensi epilepsi diperkirakan sekitar 5-10 orang per 1000.
Epilepsi ialah gangguan kronik otak dengan cirri-ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal
sel-sel saraf. Klasifikasi epilepsi berdasarkan International League Against Epilepsy
(ILAE) 1981 yaitu Bangkitan Parsial, Bangkitan Umum (konvulsi atau non-konvulsi) dan
Bangkitan Epileptik yang tidak terklasifikasikan
. Penanganan serangan epilepsi dilakukan dengan pemberian terapi obat anti epilepsi
sesuai jenis bangkitan epilepsi dan digunakan sesuai aturan diharapkan serangan epilepsi
ditiadakan. Selain itu aturan pola hidup sehari-hari serta follow up pasien penting
diperhatikan. Hal ini berkaitan dengan kondisi lanjutan yaitu status epileptikus.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidharta, Priguna. 2009. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian
Rakyat.
2. Dewanto, George. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit
Saraf. Jakarta: EGC.
3. Markam, Soemarmo. 2008. Penuntun Neurologi. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher.
4. Fitri Octaviana. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo Jakrta. Epilepsi. Dalam Medicinus: Scientific
Jurnal Of Pharmaceutical Develepmont and medical Aplication. Epilepsi:
Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter. Vol. 21, Nov-Des No 4 2008
ISBN 1979-391.
5. Fauci et al, 2012. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 18th Ed. McGraw-Hill.
6. Ko, and David Y. 2014. Epilepsy and Seizures. Diunduh dari
www.emedicine.medscape.com
15