BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya sering tejadi pada pasien trauma.
Keterlibatan trauma orofasial diperkirakan sekitar 15 % dari semua pasien emergensi, dan
2% dari kasus tersebut melibatkan trauma dentoalveolar. Cedera yang terjadi dapat hanya
mengenai gigi dan struktur pendukungnya saja seperti pada seorang anak yang terjatuh,
ataupun dapat juga berhubungan dengan cedera multisistim, seperti yang terjadi pada
kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera dentoalveolar biasanya terjadi karena seseorang
terjatuh, kecelakaan di taman bermain, penganiayaan, kecelakaan sepeda, kecelakaan
sepeda motor, dan kecelakaan olahraga.Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan
kelangsungan hidup dan fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang mengalami trauma
adalah gigi-gigi maksiler. Fraktur gigi maksiler tersebut 64% adalah gigi incisivus sentral,
15% incisivus lateral, dan 3% caninus. Fraktur dentoalveolar pada umumnya terjadi pada
kelompok usia anak, remaja, dan dewasa muda dengan rasio laki-laki terhadap perempuan
2-3 : 1. 2 Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar meliputi kemungkinan adanya luka
pada bibir dan umumnya terjadi edema dan echymosis. Pada pemeriksaan gigi dan
alveolus kemungkinan terdapat laserasi, echymosis dari pada gingival dan perubahan
bentuk dari pada alveolus.3 Selain itu pada saat palpasi hati-hati pada saat memeriksa
bibir. Pemeriksaan pada bibir berguna untuk mengetahui apakah ada benda asing atau gigi
di dalam jaringan tersebut. Palpasi pada alveolus berfungsi untuk merasakan perubahan
bentuk tulang-tulang, dan kadang-kadang terdapat krepitasi.
.Trauma dentoalveolar dapat mengakibatkan cedera jaringan keras dan lunak.
Manifestasi trauma pada jaringan keras dapat mengakibatkan fraktur dentoalveolar. Fraktur
dentoalveolar dapat berupa fraktur pada jaringan keras gigi tersebut atau dapat juga pada
tulang pendukungnya. Cedera yang berakibat pada tulang pendukung biasanya disebut
luksasi. Insidensi kasus luksasi lebih banyak terjadi pada anak karena sifat jaringan
pendukung atau tulang yang menopang akar gigi lebih berongga dan rasio antara akar dan
mahkotanya lebih kecil
dibandingkan dengan gigi permanen. Pasien trauma pada anak berbeda dengan orang
dewasa meskipun memiliki luka yang serupa. Pasien anak memiliki kemampuan
penyembuhan cepat dan komplikasi yang minimal karena vaskularisasi yang baik dari
wajah dan kemampuan pertumbuhan yang merupakan sifat pada anak untuk beradaptasi.
Pemulihan jaringan orofasial yang rusak dapat dimaksimalkan dan hilangnya
fungsi dapat diminimalkan . Cedera pada wajah karena trauma berpengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan pasien anak.
Hal ini membuat tindak lanjut penanganan jangka panjang perlu diperhatikan
(Thaller and McDonald, 2004)
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana etiologi terjadinya trauma dento alveolar
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1. Agar pembaca dapat mengetahui pengertian dari trauma dento alveolar
2. Agar pembaca dapat mengetahui penyebab trauma dento alveolar
3. Agar pembaca dapat mengetahui gejala trauma dento alveolar
4. Agar pembaca dapat mengetahui bagaimana pengobatan dari trauma dento alveolar
1.4 Manfaat Penulisan
Dengan disusunnya referat in trauma dento alveolar , kita diharapkan sebagai dokter
dapat mengetahui tentang etiologi, patofisiologi, dan juga dapat lebih tepat dalam
mendiagnosa maupun memberikan terapi pada penderita yang trauma dento alveolar
banyak terjadi disekitar kita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian
terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain menyebutkan
bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer, 2000). Berdasarkan definisi-
definisi tersebut maka fraktur dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas
jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma.
2.2 KLASIFIKASI
2.2 Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar
Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi beberapa kejadian.
Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan yang tepat untuk
setiap kejadiannya sehingga pasien mendapatkan prognosis yang baik selama perawatan.
Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan informasi yang komprehensif dan
universal untuk mengkomunikasikan mengenai tujuan perawatan tersebut. Terdapat banyak
klasifikasi yang mendeskripsikan mengenai fraktur dentoalveolar. Klasifikasi yang banyak
dijadikan pedoman dalam penanganan fraktur dentoalveolar adalah klasifikasi menurut
World Health Organization (WHO). Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health
Organization (WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan
keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut. Pada pembahasan ini
klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang mengakibatkan fraktur
dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal, dan
tulang pendukung (Welbury, 2005) :
1. Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa (gambar 2.1)
a. Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan tanpa
hilangnya substansi gigi.
b. Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.
c. Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan dentin tanpa
melibatkan pulpa gigi.
d. Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email dan dentin
dengan pulpa yang terpapar.
e. Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture): fraktur
email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa.
f. Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture): fraktur email,
dentin,dan sementum dengan pulpa yang terpapar.
g. Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat
disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga koronal (gingiva).
Gambar 2.1 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca, 2005)
2. Cedera pada jaringan periodontal (gambar 2.2)
a. Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi.
b. Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.
c. Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket.
d. Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar.
e. Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket alveolar.
f. Avulsi: gigi lepas dari soketnya.
Gambar 2.2 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).
3. Cedera pada tulang pendukung (gambar 2.3)
a. Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya
soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi.
b. Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas
pada fasial atau lingual/palatal dinding soket.
c. Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus alveolar
yang dapat melibatkan soket gigi.
d. Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket Alveolar.
Gambar 2.3 Cedera pada Tulang Pendukung (Fonseca, 2005)
2.3 ETIOLOGI
Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung. Trauma
langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio anterior. Trauma
tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke rahang atas, gigi patah pada
bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar dan molar, dan juga pada kondilus dan
simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi hasil trauma adalah kombinasi dari energi
impaksi, resiliensi objek yang terkena impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi, dan
sudut arah gaya impaksi. (Welburry, 2005). Penyebab umum trauma adalah terjatuh dengan
perbandingan antara 26% dan 82% dari semua kasus cedera, tergantung pada subpopulasi
yang diteliti. Olahraga merupakan penyebab kedua yang mengakibatkan cedera (Berman,
etal., 2007).
Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas,
serangan hewan, perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga. Gigi yang terkena trauma
biasanya hanya satu, kecuali pada kasus kecelakaan dan olahraga. (Cameron and Widmer,
2008). Maloklusi dapat menjadi faktor pendukung terjadinya trauma dentoalveolar.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma adalah protrusi gigi
anteriorpada maloklusi kelas I tipe 2 atau kelas II divisi 1. Insidensi pada anak
dengankondisi tersebut dua kali dibandingkan anak dengan kondisi oklusi normal. Anak
dengan overjet berlebih juga dapat memiliki faktor resiko lebih tinggi terjadi trauma
dibandingkan dengan anak dengan overjet normal (Holan and McTigue, 2005). Tabel 2.1
menunjukkan probabilitas fraktur gigi incisif sentral maksila dengan perbedaan overjet.
Menurut frekuensi terjadinya antara lain:
1. kekerasan inter personal
2. sporting injuries (olahraga)
3. jatuh
4. kecelakaan lalu lintas
5. industrial trauma
Dentoalveolar injury dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, mulai dari anak-
anak, remaja, hingga dewasa. Pada masa kanak-kanak dan balita, penyebab utamanya
biasanya adalah jatuh, terutama pada usia setahun pertama. Penyebab lainnya dapat berupa
kekerasan yang dilakukan pada anak. Pada masa remaja, penyebabnya umumnya adalah
olahraga. Pada usia dewasa, biasanya penyebabnya adalah karena kecelakaan dalam
berkendara, assaults, jatuh, olahraga, dan kecelakaan pabrik
Prevalensi dan Insidensi
1 dari 5 anak dan 1 dari 4 dewasa memiliki bukti dental injuri pada gigi anteriornya.
Bahkan pada beberapa negara, prevalensi trauma dental lebih banyak daripada dental karies.
Laki-laki lebih sering mengalami trauma ini 2x lebih besar dari perempuan. Insidensi
puncak dari dental injuri yaitu pada usia 2-4 dan 8-10 tahun.
2.4 MENIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda klinis traumadentoalveolar diantaranya adalah
adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen,
laserasi pada gingiva dan vermilion bibir
adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk menegakkan diagnosa diperlukan
pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan Radiografi
adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya
adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar
mungkin terjadi karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau tulang
pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini biasa
terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
Cedera pada gigi-gigi dan struktur pendukungnya harus dipertimbangkan sebagai
suatu keadaan darurat. Agar penatalaksanaannya tepat dan berhasil, dibutuhkan suatu
penegakan diagnosa dan perawatan dalam waktu yang cepat. Riwayat mekanisme dan
kejadian yang lengkap harus didapatkan dan langsung dilakukan pemeriksaan klinis dan
radiografis untuk menjamin diagnosa dan perawatan yang tepat. 1,3 Langkah pertama dalam
proses mendiagnosa yaitu mendapatkan riwayat kecelakaan yang akurat. Riwayat yang
komprehensif harus didapatkan dari pasien, orangtuanya atau orang yang mengetahui
informasi yang berhubungan dengan pasiennya, dimana, kapan, dan bagaimana kejadiannya,
terapi apa yang sudah diberikan sebelumnya.
1. Anamnesis.
Yang dimaksud dengan anamnesis adalah riwayat terjadinya trauma. Anamnesis
dapat dilakukan dengan menanyakan langsung kepada penderita atau pengantar. Dalam
melakukan anamnesis, ada beberapa informasi yang harus diketahui antara lain sebagai
berikut :
a. Kapan Terjadinya Trauma.
Karena jarak antara kecelakaan dan perawatan sangat penting diketahui bukan hanya untuk
menentukan jenis perawatan yang akan dilakukan tetapi berpengaruh juga terhadap
prognosisnya. Seperti pada gigi yang mengalami avulsi, semakin cepat gigi tersebut di
replantasi, maka prognosisnya akan semakin baik. Juga pada fraktur rahang yang proses
penyembuhannya akan berpengaruh jika perawatannya ditunda.
b. Dimana Tempat Trauma Terjadi.
Hal ini penting karena mungkin saja penderita memerlukan suntikan anti tetanus karena luka
akibat trauma tersebut terjadi di daerah yang kotor yang dengan mudah akan terkontaminasi
dengan bakteri. Demikian juga pada kecelakaan mobil perlu diperhitungkan kemungkinan
ada pecahan kaca pada bibir dan daerah muka.
c. Bagaimana Trauma Terjadi.
Informasi ini penting untuk mengetahui apakah trauma tersebut mengenai benda keras atau
tumpul atau lunak. Karena trauma pada benda keras dapat mengakibatkan fraktur ahkota
gigi, sedangkan trauma pada benda yang lunak atau tumpul seperti siku biasanya dapat
mengakibatkan fraktur akar gigi dan luksasi.
d. Perawatan yang Sudah Didapat.
e. Riwayat Trauma pada Gigi
f. Penyakit Sistemik yang Diderita.
g. Keluhan Lain.
h. Gangguan Pengunyahan.
2 . Pemeriksaan Klinis.
3 . Pemeriksaan Fisik,
Pemeriksaan terhadap keadaan umum penderita, meliputi pemeriksaan denyut nadi,
pernafasan, tekanan darah, tingkat kesadaran dan suhu tubuh. Pemeriksaan Ekstra Oral Pada
kasus trauma gigi anterior ini dapat dilakukan dengan cara visual dan palpasi. Palpasi pada
wajah dilakukan untuk melihat diskontinuitas tulang rahang yang menunjukkan adanya
fraktur, gangguan pergerakan rahang, kelainan saraf serta hematoma.
Pemeriksaan Intra Oral, Pemeriksaan ini penting untuk mendapatkan informasi agar
dapat memberikan pertolongan pertama. Tindakan yang sebaiknya dilakukan pada
pemeriksaan intra oral meliputi antara lain :
a) Perkusi gigi
b) Pencatatan kegoyangan abnormal dari gigi atau tulang alveolar.
c) Pencatatan adanya perubahan warna gigi
d) Pencatatan kerusakan jaringan lunak, seperti pada bibir, gusi, langit- langit
dan lidah.
e) Pencatatan perubahan letak gigi
f) Tes vitalitas dari gigi
g) Pencatatan adanya kerusakan prosesus alveolaris, dengan cara palpasi
prosesus alveolaris.
4. Pemeriksaan Radiologis
Kegunaan Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan ini diperlukan untuk membantu
menegakkan diagnosa kelainan akibat trauma gigi anterior yang tepat dan benar. Biasanya
pemeriksaan radiologis dilakukan pada saat sebelum memulai perawatan dan pada saat
kontrol sesudah perawatan sebagai evaluasi terhadap perawatan yang telah dilakukan.
Pemeriksaan ini berguna untuk memberikan informasi, misalnya :
a. Untuk melihat arah garis fraktur
b. Adanya fraktur akar
c. Bagaimana tingkat keparahan dari gigi yang mengalami instrusi atau ekstrusi
d. Adanya kelainan dari jaringan periodontal
e. Tingkat perkembangan akar
f. Ukuran kamar pulpa dan saluran akar
g. Adanya fraktur rahang
h. Melihat keadaan fragmen gigi dan jaringan lunak lain disekitar rongga mulut, seperti
dasar mulut, bibir dan pipi.
Macam-macam foto rontgen yang digunakan Teknik foto rontgen yang biasa
digunakan dalam melakukan pemeriksaan riologis pada kasus trauma gigi anterior adalah
teknik intra oral ( foto periapikal dan foto oklusal), dan kadangkala diperlukan teknik ekstra
oral (foto panoramik, foto lateral dan foto postero-anterior) jika dengan foto intra oral garis
fraktur tidak terlihat.
2.7 PENATALAKSANAAN
Fraktur dentoalveolar pada merupakan kondisi kedaruratan medis yang harus segera
ditangani agar tidak mengakibatkan prognosis yang buruk ke depannya. Prinsip perawatan
fraktur dentoalveolar pada ini adalah mencegah prognosis yang buruk dan mengurangi rasa
sakit akibat fraktur. Semakin cepat cedera ditangani, maka prognosisnya semakin baik.
Banyak komplikasi pasca trauma dentoalveolar yang terjadi disebabkan penanganan yang
lambat (Fonseca, 2005). Perawatan fraktur dentoalveolar terbagi menjadi 2 tahap, yaitu
perawatan segera setelah terjadinya trauma (perawatan darurat) dan perawatan terhadap
bagian dentoalveolar yang terkena trauma (perawatan definitif) (Indrawati, 2011).
2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi selama perawatan:
Infeksi
Kerusakan saraf
Gigi yang berpindah tempat
Komplikasi pada daerah gingival dan periodontal
Reaksi terhadap obat
Maloklusi
2.9 PENCEGAHAN
Pencegahan adalah orientasi utama seorang dokter gigi, terutama dalam perawatan
gigi anak. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian fraktur
dentoalveolar, di antaranya adalah sebagai berikut (Cameron and Widmer, 2008):
1. Perawatan orthodonti;
2. Sabuk pengaman;
3. Pemakaian helm saat bersepeda;
4. Pemakaian mouth protector;
5. Pengawasan terhadap binatang peliharaan; dan
6. Penyuluhan kepada para orang tua
Tindakan pencegahan tersebut dilakukan sesuai dengan kondisi.
2.10 PROGNOSIS
Semakin cepat cedera ditangani, maka prognosisnya semakin baik. Banyak
komplikasi pasca trauma dentoalveolar yang terjadi disebabkan penanganan yang lambat
(Fonseca, 2005). Perawatan trauma dentoalveolar pada ini adalah mencegah prognosis yang
buruk dan mengurangi rasa sakit.
BAB III
RINGKASAN
Angina Ludwig ialah infeksi ruang submandibular berupa selulitis atau flegmon
yang progresif. Karakter spesifik yang membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya
ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis
(sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).Dilaporkan sekitar 90% kasus
angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik melalui infeksi dental primer, postekstraksi
gigi maupun oral hygiene yang kurang.Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari
terinfeksinya molar kedua atau ketiga rahang bawah, dapat pula dari
perikoronitis.Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita melalui isolasi
adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus.Manifestasi klinis dari angina
Ludwig meliputi pembengkakan, nyeri dan terdorongnya lidah ke atas; pembengkakan leher
dan jaringan ruang submandibular yang keras seperti papan; malaise; demam; disfagia.
Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan air liurnya sendiri dan adanya
stridor inspirasi mengindikasikan adanya obstruksi jalan napas.Penatalaksaan angina
Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu: pertama, menjaga patensi jalan napas dengan
intubasi nasal, trakeostomi, krikotiroidotomi atau trakheotomi; kedua, terapi antibiotik IV
secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi; ketiga,
dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental dengan cara insisi atau
drainase abses. Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan
napasuntuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan
radang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Murphy SC. The Person Behind the Eponym: Wilhelm Frederick von Ludwig.Journal of
Oral Pathology & Medicine. August 9 1996.
2. Fachruddin D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan
Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
3. Damayanti. Kumpulan Kuliah Stomatologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara.
4. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret
2008;Vol.21.
5. Hartmann RW. Ludwig's Angina in Children. Journal of American Family Physician.
July 1999;Vol. 60.
6. Winters S. A Review of Ludwig's Angina for Nurse Practitioners. Journal of the
American Academy of Nurse Practitioners. December 2003;Vol. 15(Issue 12).
7. Anonymous. Ludwig's Angina. available at: http://www.mdguidelines.com/ludwigs-
angina.
8. Bailey B. Odontogenic Infection. Head and Neck Surgery. 4th ed. Pennsylvanya: Elsener
Mosby; 2005.
9. Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders; 2002.