Acne Vulgaris
Definisi :
Acne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi
pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Acne vulgaris adalah peradangan kronik folikel
pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul, dan kista. Predileksi acne
vulgaris pada daerah-daerah wajah, bahu bagian atas, dada, dan punggung.1
Kelenjar yang meradang dapat membentuk papul kecil berwarna merah muda, yang kadang kala
mengelilingi komedo sehingga tampak hitam pada bagian tengahnya, atau membentuk pustule
atau kista; penyebab tak diketahui, tetapi telah dikemukakan banyak faktor, termasuk stress,
faktor herediter, hormon, obat dan bakteri, khususnya Propionibacterium acnes, Staphylococcus
albus, dan Malassezia furfur, berperan dalam etiologi.
Klasifikasi :
Tidak terdapat sistem grading yang seragam dan terstandarisasi untuk beratnya acne yang
diderita. Acne pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan tipe ( komedoal/papular,
pustular/noduokisitk) dan/atau beratnya penyakit ( ringan/sedang/sedang-berat/ berat). Lesi kulit
dapat digambarkan sebagai inflamasi dan non-inflamasi.2
Klasifikasi sederhana :
Acne ringan ( Mild acne ) : Komedo merupakan lesi utama. Papul dan pusutl mungkin
ada tetapi memiliki ukuran yang kecil serta jumlah yang sedikit ( umumnya < 10 ).2
Acne sedang (Moderate acne ): Jumlah papul dan pustul yang cukup banyak (10-40).
Jumlah komedo yang cukup banyak (10-40) juga ada. Kadang-kadang disertai penyakit
yang ringan pada badan.2
Acne sedang berat (Moderately severe acne ): Jumlah papul dan pustul yang sangat
banyak ( 40-100), biasanya dengan banyak komedo (40-100) dan kadang-kadang
terdapat lesi nodular dalam yang besar dan terinflamasi ( mencapai 5 ). Area yang luas
biasanya melibatkan wajah, dada, dan punggung.2
Acne sangat berat (Very severe acne ) : Acne nodulokistik dan acne konglobata dengan
lesi yang parah; banyak lesi nodular/pustular yan besar dan nyeri bersama dengan banyak
komdeon, papul, pustul, dan komedo yang lebih kecil.2
FDA global grade :
Grade 0 : Kulit yang bersih tanpa lesi inflamasi atau non-inflamasi
Grade 1 : Hampir bersih dengan lesi inflamasi atau non-inflamasi
Grade 2 : Ringan, grade 1 ditambah dengan beberapa lesi non-inflamasi dengan sangat
sedikit lesi inflamasi yang ada ( papul/pustul, tidak ada lesi nodular )
Grade 3 :Sedang, grade 2 ditambah dengan banyak lesi non-inflamasi dan mungkin
terdapat beberapa lesi inflamasi, tetapi tidak lebih dari satu lesi nodular
Grade 4 : Berat, grade 3 ditambah dengan banyak lesi non-inflamasi dan inflamasi,
dengna sedikit lesi nodular.2
Epidemiologi :
Acne vulgaris pertama kali dipublikasikan pada tahun 1931 oleh Bloch. Pada saat itu dinyatakan
bahwa insiden terjadinya acne vulgaris lebih banyak pada anak perempuan dibanding anak laki-
laki dengan usia sekitar 13% pada anak usia 6 tahun dan 32% pada anak usia 7 tahun. Sejak saat
itu tidak ada evolusi yang signifikan mengenai usia timbulnya jerawat. Menurut studi yang
berbeda dari literatur berbagai negara, usia awal rata-rata 11 tahun pada anak perempuan dan 12
tahun pada anak laki-laki.3
Acne pada pada dasarnya merupakan penyakit pada remaja, dengan 85% terjadi pada remaja
dengan beberapa derajat acne. Hal tersebut terjadi dengan frekuensi yang lebih besar pada usia
antara 15-18 tahun pada kedua jenis kelamin. Pada umumnya, involusi penyakit terjadi sebelum
usia 25 tahun. Bagaimanpun, terdapat variabilitas yang besar pada usia saat onset dan resolusi
12% perempuan dan 3% laki-laki akan berlanjut secara klinis sampai usia 44 tahun. Sebagian
kecil akan menjadi papul dan nodul inflamasi sampai usia dewasa akhir.4
Acne vulgaris derajat ringan biasanya terjadi pada bayi yang terjadi oleh karena stimulasi
folikular oleh kelenjar androgen adrenal yang berlanjut pada periode neonatal. Acne juga
biasanya bermanifestasi awal pada pubertas, dengan komedo sebagai lesi predominan pada
pasien yang sangat muda. Jumlah kasus terbanyak terjadi pada periode pertengahan sampai akhir
remaja, setelah itu insidennya akan menurun. Namun pada wanita dapat terus berlanjut sampai
lebih dari dekade ketiga.5
Etiologi :
Acne vulgaris dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab yang pasti belum diketahui
secara jelas, namun terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan, antara lain : genetik,
endokrin (androgen, pituitary sebotropic factor, dsb), faktor makanan, keaktifan dari kelenjar
sebasea, faktor psikis, musim, infeksi bakteri (Propionibacterium acnes), kosmetika, dan bahan
kimia lainnya :6
Sebum : Sebum merupakan faktor utama penyebab timbulnya acne. Pada acne terjadi
peningkatan sebum. Sebum yang meningkat tidak hanya terjadi pada acne, tetapi dapat
juga pada penyakit parkinson dan akromegali.6
Bakteri : Mikroba yang terlibat pada terbentuknya acne adalah Propionibacterium acnes,
Stafilococcus epidermidis, dan Pityrosporum ovale. Dari ketiga mikroba ini yang
terpenting yakni Propionibacterium acnes. Bakteri ini merupakan bakteri komensal pada
kulit. Pada keadaan patologik, bakteri ini membentuk koloni pada duktus pilosebasea
yang menstimulasi trigliserida untuk melepas asam lemak bebas, memproduksi substansi
kemotaktik pada sel-sel inflamasi, dan menginduksi duktus epitel untuk mensekresi
sitokin pro-inflamasi.6
Herediter : Faktor herediter yang sangat berpengaruh pada besar dan aktivitas kelenjar
palit (glandula sebasea). Apabila kedua orang tua mempunyai parut bekas acne,
kemungkinan besar anaknya akan menderita acne.6
Hormon : Hormon androgen berasal dari testis, ovarium, dan kelenjar adrenal. Hormon
ini menyebabkan kelenjar sebasea bertambah besar dan produksi sebum meningkat pada
remaja laki-laki dan perempuan.1 Hormon androgen merupakan stimulus utama pada
sekresi sebum oleh kelenjar sebasea. Pada penderita acne, kelenjar sebasea berespon
sangat cepat pada peningkatan kadar hormon ini di atas normal. Hal ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan aktivitas 5α-reductase yang lebih tinggi pada kelenjar
sebasea dibanding kelenjar lain dalam tubuh.6
Diet : Pada beberapa pasien, acne dapat diperburuk oleh beberapa jenis makanan, seperti
coklat, kacang, kopi, dan minuman ringan.1
Iklim : Di daerah yang mempunyai empat musim, biasanya acne bertambah hebat pada
musim dingin, dan dapat pula meningkat oleh paparan cahaya matahari langsung.1
Faktor iatrogenic : Kortikosteroid baik topikal maupun sistemik dapat meningkatkan
keratinisasi duktus polisebasea. Androgen, gonadotropin, dan kortikotropin dapat
menginduksi acne pada dewasa muda. Kontrasepsi oral dapat pula menginduksi
terjadinya acne.1
Patofisiologi :
Patofisiologi acne vulgaris sangat kompleks, dipengaruhi banyak faktor dan kadang-kadang
masih kontroversial. Ada empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya acne, yakni
peningkatan sekresi sebum, adanya keratinisasi folikel, bakteri, dan peradangan (inflamasi).5
1. Peningkatan sekresi sebum
Faktor pertama yang berperan dalam patogenesis acne ialah peningkatan produksi sebum
oleh glandula sebacea. Pasien dengan acne akan memproduksi lebih banyak sebum
dibanding yang tidak terkena acne meskipun kualitas sebum pada kedua kelompok
tersebut adalah sama. Salah satu komponen dari sebum yaitu trigliserida mungkin
berperan dalam patogenesis acne. Trigliserida dipecah menjadi asam lemak bebas oleh
P.acnes, flora normal yang terdapat pada unit pilosebacea. Asam lemak bebas ini
kemudian menyebabkan kolonisasi P.acnes, mendorong terjadinya inflamasi dan dapat
menjadi komedogenik.1,5
Hormon androgen juga mempengaruhi produksi sebum. Serupa dengan aktifitasnya pada
keratinosit infundibuler follikular, hormon androgen berikatan dan mempengaruhi
aktifitas sebosit. Orang-orang dengan acne memiliki kadar serum androgen yang lebih
tinggi dibanding dengan orang yang tidak terkena acne. 5α-reduktase, enzim yang
bertanggung jawab untuk mengubah testosteron menjadi DHT poten memiliki aktifitas
yang meningkat pada bagian tubuh yang menjadi predileksi timbulnya acne yaitu pada
wajah, dada, dan punggung.1,5
Peranan estrogen dalam produksi sebum belum diketahui secara pasti. Dosis estrogen
yang diperlukan untuk menurunkan produksi sebum jauh lebih besar jika dibandingkan
dengan dosis yang diperlukan untuk menghambat ovulasi. Mekanisme dimana estrogen
mungkin berperan ialah dengan secara langsung melawan efek androgen dalam glandula
sebacea, menghambat produksi androgen dalam jaringan gonad melalui umpan balik
negatif pelepasan hormon gonadotropin, dan meregulasi gen yang yang menekan
pertumbuhan glandula sebacea atau produksi lipid.5
P
a b c d
Gambar. 1. Patogenesis Acne: a) Hiperkeratosis primer b) Komedo c) Inflamasi papul (pustul) d) Nodul
2. Keratinisasi folikel
Hiperproliferasi epidermis follikular menyebabkan pembentukan lesi primer acne yaitu
mikrokomedo. Epitel folikel rambut paling atas, yaitu infundibulum menjadi
hiperkeratosis dengan meningkatnya kohesi dari keratinosit. Kelebihan sel dan kekuatan
kohesinya menyebabkan pembentukan plug pada ostium follikular. Plug ini kemudian
menyebabkan konsentrasi keratin, sebum, dan bakteri terakumulasi di dalam folikel. Hal
tersebut kemudian menyebabkan pelebaran folikel rambut bagian atas, yang kemudian
membentuk mikrokomedo. Stimulus terhadap proliferasi keratinosit dan peningkatan
daya adhesi masih belum diketahui. Namun terdapat beberapa faktor yang diduga
menyebabkan hiperproliferasi keratinosit yaitu stimulasi androgen, penurunan asam
linoleat, dan peningkatan aktifitas interleukin (IL)-1α.5
Hormon androgen dapat berperan dalam keratinosit follikular untuk menyebabkan
hiperproliferasi. Dihidrotestosteron (DHT) merupakan androgen yang poten yang
memegang peranan terhadap timbulnya acne. 17β-hidroksisteroid dehidrogenase dan 5α-
reduktase merupakan enzim yang berperan untuk mengubah dehidroepiandrosteron
(DHEAS) menjadi DHT. Jika dibandingkan dengan keratinosit epidermal, keratinosit
follikular menunjukkan peningkatan aktifitas 17β-hidroksisteroid dehidrogenase dan 5α-
reduktase yang pada akhirnya meningkatkan produksi DHT. DHT dapat menstimulasi
proliferasi keratinosit follikular. Hal lain yang mendukung peranan androgen dalam
patogenesis acne ialah bahwa pada orang dengan insensitivitas androgen komplet tidak
terkena acne.1,5
Proliferasi keratinosit follikular juga diatur dengan adanya asam linoleic. Asam linoleic
merupakan asam lemak esensial pada kulit yang akan menurun pada orang-orang yang
terkena acne. Kuantitas asam linolic akan kembali normal setelah penanganan dengan
isotretinoin. Kadar asam linoleic yang tidak normal dapat menyebabkan hiperproliferasi
keratinosit follikular dan memproduksi sitokin proinflamasi. Terdapat asumsi bahwa
asam linoleic diproduksi dengan kuantitas yang tetap tetapi akan mengalami dilusi seiring
dengan meningkatnya produksi sebum.5
IL-1 juga memiliki peranan dalam hiperproliferasi keratinosit. Keratinosit follikular pada
manusia menunjukkan adanya hiperproliferasi dan pembentukan mikrokomedoe ketika
diberika IL-1. Antagonis reseptor IL-1 dapat menghambat pembentukan mikrokome.5
3. Bakteri
Faktor ketiga yakni bakteri. Propionibacterium acnes juga memiliki peranan aktif dalam
proses inflamasi yang terjadi. P.acnes merupakan bakteri gram-positif, anaerobik, dan
mikroaerobik yang terdapat pada folikel sebacea. Remaja dengan acne memiliki
konsentrasi P.acnes yang lebih tinggi dibanding orang yang normal. Bagaimanapun tidak
terdapat korelasi antara jumlah P.acnes yang terdapat pada glandula sebacea dan beratnya
penyakit yang diderita.5
Dinding sel P.acnes mengandung antigen yang karbohidrat yang menstimulasi
perkembangan antibodi. Pasien dengna acne yang paling berat memiliki titer antibodi
yang paling tinggi pula. Antibodi propionibacterium meningkatkan respon inflamasi
dengan mengaktifkan komplemen, yang pada akhirnya mengawali kaskade proses pro-
inflamasi. P.acnes juga memfalisitasi inflamasi dengan merangsang reaksi
hipersensitifitas tipe lambat dengna memproduksi lipase, protease, hyaluronidase, dan
faktor kemotaktik. Disamping itu, P.acnes tampak menstimulasi regulasi sitokin dengan
berikatan dengan Toll-like receptor 2 pada monosit dan sel polimorfonuklear yang
mengelilingi folikel sebacea. Setelah berikatan dengan Toll-like receptor 2, sitokin
proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan TNF-α dilepaskan.5
4. Inflamasi
Pada awalnya telah diduga bahwa inflamasi mengikuti proses pembentukan komedo,
namun terdapat bukti baru bahwa inflamasi dermal sesungguhnya mendahului
pembentukan komedo. Biopsi yang diambil pada kulit yang tidak memiliki komedo dan
cenderung menjadi acne menunjukkan peningkatan inflamasi dermal dibandingkan
dengan kulit normal. Biopsi kulit dari komedo yang baru terbentuk menunjukkan aktifitas
inflamasi yang jauh lebih hebat.1,5
Mikrokomedo akan meluas menjadi keratin, sebum, dan bakteri yang lebih
terkonsentrasi. Walaupun perluasan ini akan menyebabkan distensi yang mengakibatkan
ruptur dinding follikular. Ekstrusi dari keratin, sebum, dan bakteri ke dalam dermis
mengakibatkan respon inflamasi yang cepat. Tipe sel yang dominan pada 24 jam pertama
ruptur komedo adalah limfosit. CD4+ limfosit ditemukan di sekitar unit pilosebacea
dimana sel CD8+ ditemukan pada daerah perivaskuler. Satu sampai dua hari setelah
ruptur komedo, neutrofil menjadi sel yang predominan yang mengelilingi mikorkomedo.5
Keempat elemen dari patogenesis acne yaitu hiperprofliferasi keratinosit follikular,
seboroik, inflamasi, dan P.acnes merupakan langkah-langkah yang saling berkaitan
dalam pembentukan acne.1,5
Gejala Klinis :
Acne vulgaris ditandai dengan empat tipe dasar lesi : komedo terbuka dan tertutup, papula,
pustula dan lesi nodulokistik. Satu atau lebih tipe lesi dapat mendominasi; bentuk yang paling
ringan yang paling sering terlihat pada awal usia remaja, lesi terbatas pada komedo pada bagian
tengah wajah. Lesi dapatmengenai dada, pungguang atas dan daerah deltoid.
Hal tersebut dapat dilihat sebagai papul yang datar atau sedikit meninggi dengan pembukaan
sentral yang melebar berisi keratin hitam ( komedo terbuka ). Komedo tertutup biasanya berupa
papul kekuningan berukuran 1 mm yang membutuhkan peregangan pada kulit untuk dapat
terlihat. Makrokomedo, yang jarang terjadi, dapat mencapai ukuran 3-4 mm. Papul dan pustul
biasanya berukuran 1-5 mm dan disebabkan oleh inflamasi, oleh sebab itu pasti terdapat eritema
dan edema. Bentuk tersebut dapat membesar dan membentuk nodul dan bergabung membentuk
plak yang terindurasi mengandung traktus sinus dan cairan apakan itu serosaginosa atau pus
kekuningan.7,8,9
Pasien secara umum akan memiliki lesi yang bervariasi. Pada pasien dengan kulit yang lebih
terang, lesi biasanya pecah dengan makula kemerahan sampai keunguan yang memiliki umur
yang lebih pendek. Pada pasien dengan warna kulit yang lebih gelap, makula hiperpigmentasi
akan terlihat dan bertahan sampai beberapa bulan. Skar dari acne memiliki penampakan yang
heterogen. Morofologi yang dibentuk termasuk skar yang dalam, narrow ice-pick yang terlihat
kebanyakan pada dahi dan pipi, lesi canyon-type atrophic pada wajah, skar papular putih
kekuningan pada badan dan dagu, skar tipe anetoderma pada badan, serta skar hipertrofik dan
keloidal yang meninggi pada badan dan leher.7
Predileksi acne umunya pada wajah, leher, badan bagian atas, dan lengan atas. Pada wajah hal
tersebut paling sering terjadi pada pipi, dan sebagian kecil pada hidung, dahi, dan dagu. Telinga
dapat terlibat, dengan komedo yang besar pada concha, kista pada lobus, dan kadang-kadang
komedo dan kista pre dan retro-aurikuler. Pada leher khususnya pada daerah nuchae, lesi kistik
yang besar dapat mendominasi.7
Acne umumnya muncul pada saat pubertas dan seringkali merupakan tanda awal dari produksi
hormon seks yang meningkat. Ketika acne muncul pada usia 8-12 tahun, yang tampak biasanya
berupak komedo yang utamanya muncul pada dahi dan pipi. Hal tersebut dapat tetap menjadi
ringan dalam ekspresinya dengan papul inflamasi yang kadang-kadang terjadi. Bagaiman pun,
sebagaimana kadar hormon meningkat pada usia-usia pertengahan remaja, pustul dan nodul
inflamasi yang lebih berat dapat terjadi yang dapat menyebar pada tempat lainnya. Laki-laki
muda cenderung memiliki kompleks yang lebih berminyak dan penyebaran penyakit yang lebih
berat dibanding perempuan usia muda.
Perempuan dapat mengalami perjalanan penyakit yang berat dari lesi papulopustular seminggu
sebelum mensturasi. Acne juga dapat muncul pada perempuan usia 20-35 tahun yang belum
mendapatkan acne pada saat remaja. Acne ini kebanyakan bermanifestasi sebagai papul, pustul,
dan nodul dalam persisten yang nyeri pada daerah dagu dan leher bagian atas.7
Gradasi yang menunjukkan berat ringannya acne diperlukan untuk pengobatan :
Ringan, bila beberapa lesi tak beradang pada satu predileksi, sedikit lesi takberadang pada beberapa tempat predileksi, sedikit lesi beradang pada satupredileksi.
Sedang, bila banyak lesi tak beradang pada satu predileksi, beberapa lesi takberadang lebih dari satu predileksi, beberapa lesi beradang pada satupredileksi, sedikit lesi beradang pada lebih dari satu predileksi.
Berat, bila banyak lesi tak beradang pada lebih dari satu predileksi, banyaklebih beradang pada satu atau lebih predileksi.
Diagnosis :Diagnosis acne vulgaris dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, dan tes
laboratorium. 1,2,5
Berdasarkan anamnesis, acne vulgaris biasanya terjadi pada saat pubertas, tetapi gejala klinis
yang muncul sangatlah bervariasi. Perempuan mungkin memperhatikan bentuk yang berfluktuasi
berdasarkan siklus mensturasinya. Acne fulminan merupakan subtipe acne yang jarang dan
terjadi pada berbagai manifestasi sistemik, termasuk demam, arthralgia, myalgia,
hepatosplenomegaly, dan lesi tulang osteolitik.2
Pada pemeriksaan fisis acne non-inflamasi tampak sebagai komedo terbuka dan tertutup. Lesi
inflamasi dimulai dengan adanya mikrokomedo tetapi dapat berkembang menjadi papul, pustul,
nodul, atau kista. Kedua tipe lesi ditemukan pada area dengan glandula sebacea yang banyak.2
Tes fungsi endokrin rutin tidak diindikasikan pada sebagian besar pasien dengan acne. Pada
pasien dengan acne dan terdapat bukti hiperandrogenisme, evaluasi hormonal untuk testeteron
bebas, dehidroepiandrostenedion sulfat (DHEA-S), lutenizing hormone (LH), FSH dapat
dilakukan. Tes mikrobiologi rutin tidak perlu pada evaluasi dan dan penanganan pasien dengan
acne. Jika lesi terpusat pada peri oral dan area nasal dan tidak responsif terhadap penanganan
acne konvensional, tes kultur dan sensitivitas bakteri untuk mengevaluasi follikulitis gram-
negatif dapat dilakukan.2
Diagnosis banding :1. Erupsi acneiformis : Erupsi acneiformis merupakan acne yang disebabkan oleh induksi
obat, seperti kortikosteroid, Isoniazid, barbiturat, bromida, iodida, difenilhidantoin,
dan ACTH. Klinis erupsi berupa papul di berbagai tempat tanpa komedo, timbul
mendadak tanpa disertai demam.8
2. Rosasea : Rosasea adalah penyakit kronik yang etiologinya belum diketahui secara
pasti, dengan karakteristik adanya eritema pada sentral wajah dan leher. Penyakit ini
terdiri atas dua komponen klinik, yakni perubahan vaskuler yang terdiri atas eritema
intermiten dan persisten serta erupsi acneiform yang terdiri atas papul, pustul, kista,
dan hiperplasia sebasea. Pada rosasea tidak terdapat hubungan antara eksresi sebum
dengan beratnya gejala rosasea.5,8,10
3. Dermatitis perioral : Perioral dermatitis adalah penyakit kulit dengan karakteristik
papul dan pustul kecil yang terdistribusi pada daerah perioral, dengan predominan di
sekitar mulut. Dermatitis perioral biasanya pada wanita muda, sering ditemukan di
sekitar mulut, namun dapat pula di sekitar hidung dan mata. Etiologinya belum
diketahui secara pasti, namun diduga penyebabnya oleh karena: candida, iritasi pasta
gigi berflouride, dan kontrasepsi oral.2,8,10
Dermatitis perioral erpsi simetris yang terbatas pada area hidung, mult, dan dagu, yang
terdiri atas mikropapul, mikrovesikel, atau papulopustulosa dengan diameter kurang
dari 2 mm. Penyebab pasti belum diketahui, namun terdapat beberapa faktor yang
mungkin menjadi penyebab antara lain faktor hormonal, emosional, sensitif terhadap
kosmetik, pasta gigi berfluoride, agen infektif, dan kortikosteroid topikal.11
Tatalaksana :Terapi acne vulgaris terdiri atas terapi sistemik, topikal, fisik, operasi dan diet.2,5,6
1. Terapi Sistemik
a. Antibiotik oral :Antibiotik oral diindikasikan untuk pasien dengan acne yang
mansih meradang. Antibiotik yang diberikan adalah Tetrasiklin (tetrasiklin,
doksisiklin,minosiklin) eritromisin, kotrimoksasole, dan klindamisin. Antibiotik ini
mengurangi peradangan acne dengan menghambat pertumbuhan dari P.Acnes.3,5
Tetrasiklin generasi pertama (tetrasiklin, oksitetrasiklin, tetrasiklin klorida)
merupakan obat yang sering digunakan unutk acne.Obat ini digunakan sebagai
terapi lini pertama karena manfaat dan harganya yang murah, walaupun angka
kejadian resistensinya cukup tinggi. Dalam 6 minggu pengobatan menurunkan
reaksi peradangan 50% dan biasa diberikan dalam dosis 1 gram/hari (500mg
diberikan dalam 2 kali), setelah beberapa bulan dapat diturunkan 500 mg/hari.
Karena absorbsinya dihambat oleh makanan, maka obat ini diberika 1 jam sebelum
makan dengan air untuk absorbs yang optimal. 3,5
Alternatif lain, tetrasiklin generasi kedua (doksisiklin) diberikan 100mg-200mg/
hari dan 50 mg/hari sebagai maintainance dose, (minosiklin) biasanya diberikan
100mg/hari. Golongan obat ini lebih mahal akan tetapi larut lemak dan diabsorbsi
lebih baik di saluran pencernaan. 3,5
Eritromisin 1g/hari dapat diberikan sebagai regimen alternative. Obat ini sama
efektifnya dengan tetrasiklin, tapi menimbulkan resistensi yang tinggi terhadap
P.acnes dan sering dikaitkan dengan kegagalan terapi. 3,5
Klindamisin merupakan jenis obta yang sangat efektif, akan tetapi tidak baik
digunakan untuk jangka panjang karena dapat menimbulkan perimembranous
colitis. Kotrimoksasole (sulfometoksasol/trimetoprim, 160/800mg, dua kali sehari)
direkomendasikan untuk pasien dengan inadequate respon dengan antibiotik yang
lain dan untuk pasien dengan gram negative folikulitis. 3,5
b. Isotretionoin oral : Isotretinoin oral merupakan obat sebosupressive paling efektif
dan diberikan untuk acne yang berat. Seperti retinoid lainnya, isotretinoin
mngurangi komedogenesis, mengecilkan ukuran glandula sabaseus hingga 90%
dengan menurunkan proliferasi dari basal sebocyte, menekan produksi sebum
invivo dan menghambat diferensiasi termina sebocyte. Walaupun tidak berefek
langsung terhadap P.acnes, ini menghambat efek dari produksi sebum dan
menurunkan jumlah P.Acnes yang mengakibatkan inflamasi.5
Masih terjadi perdebatan untuk dosis pemeberian (1gram/kgBB/hari atau
50mg/kgBB/hari), walaupun hasil yang ditunjukkan kedua dosis untuk pengobatan
jangka panjang adalah sama, tapi angka kejadian kambuh dan memerlukan
pengobatan ulang sering didapatkan pada dosis rendah yang diberikan untuk akn
yang berat.5
Terapi awal yang diberikan 1gram/kgBB/hari untuk 3 bulan pertama, dan
diturunkan 0.5mg/kgBB/hari, jika memungkinkan dapat diberikan 0.2 untuk 3-9
bulan tambahan untuk mngoptimalkan hasil terapi.5
Hasil terapi dari isotretinoin menunjukkan perbaikan yang lebih cepat untuk lesi
inflamasi dibandingkan dnegan komedo.Pustule menghilang lebih cepat daripada
papul atau nodul, dan lesi yang berlokasi di wajah, lengan atas, dan kaki daripada di
punggung dan badan.3,5
c. Hormonal : Terapi hormonal diindikasikan pada wanita yang tidak mempunyai
respon terhadap terapi konvensional. Mekanisme kerja obat-obat hormonal ini
secara sistemik mengurangi kadar testosteron dan dehidroepiandrosterone, yang
pada akhirnya dapat mengurangi produksi sebum dan mengurangi terbentuknya
komedo. Ada tiga jenis terapi hormonal yang tersedia, yaitu: estrogen dengan
prednisolon, estrogen dengan cyproterone acetate(Diane, Dianette) dan
spironolakton. Terapi hormonal harus diberikan selama 6-12 bulan dan penderita
harus melanjutkan terapi topikal. Seperti halnya antibiotik, tingkat respon obat-obat
hormonal juga lambat, dalam bulan pertama terapi tidak didapatkan perubahan dan
perubahan kadang-kadang baru dapat terlihat pada bulan ke enam pemakaian.
Terapi setelah itu akan terlihat perubahan yang nyata. Perubahan yang dihasilkan
pada penggunaan diane hampir mirip dengan tetrasiklin 1 g/hari. Diane merupakan
kombinasi antara 50 µg ethinylestradiol dan 2 mg cyproterone acetate. Pada wanita
usia tua (> 30 tahun) dengan kontraindikasi relatif terhadap pil kontrasepsi yang
mengandung estrogen, salah satu terapi pilihan adalah dengan penggunaan
spironolakton. Dosis efektif yang diberikan antara 100-200 mg. 3,5
Anti androgen hormone dapat diberikan pada pasien perempuan dengan target
pilosabaseus unit dan menghambat produksi serum 12.5-65%. Jika keputusan untuk
hormonal terapi telah dibuat, ada berbagi macam pilihan disekitar androgen
reseptor blocker dan inhibitors of androgen synthesis pada ovarium dan glandula
adrenal.5
2. Topikal :
Penggunaan obat-obatan sebagai terapi topikal merupakan satu cara yang banyak
dipilih dalam mengatasi penyakit acne vulgaris. Tujuan diberikan terapi ini adalah
untuk mengurangi jumlah acne yang telah ada, mencegah terbentuknya spot yang baru
dan mencegah terbentuknya scar (bekas jerawat). Terapi topikal diberikan untuk
beberapa bulan atau tahun, tergantung dari tingkat keparahan acne. Obat-obatan topikal
tidak hanya dioleskan pada daerah yang terkena jerawat, tetapi juga pada daerah
disekitarnya.8
Ada berbagai macam obat-obatan yang dipakai secara topikal, yaitu:
a. Retinoid topical
Mekanisme kerja dari retinoid topical:
- Mengeluarkan komedo yang telah matur.
- Menghambat pembentukan dan jumlah dari mikrokomedo.
- Menghambat reaksi inflamasi.
- Menekan perkembangan mikrokomedo baru yang penting untuk maintenance
terapi.
b. Tretinoin
Tretinoin merupakan retinoid pertama yang diperkenalkan oleh Stuttgen dan
Beer.Mengurangi komedo secara signifikan dan juga lesi peradangan acne.Hal ini
ditunjukkan pada percobaan untuk 12 minggu menurunkan 32-81% untuk non-
inflamnatory lesi dan 17-71% untuk inflammatory lesi. Tretinoin tersedian dalam
galanic formulation: cream 0.025%, 0.1%, gel 0.01%, 0.025%) dan dalam solution
(0.05%). Formula topical gel ini mengandung polyoprepolymer-2, tretinoin
prenetration.11
c. Isotretinoin
Isotretinoin tersedia dalam sediaan gel, mempunyai efikasi yang sama dengan
tretinoin, mereduksi komedo antara 48-78% dan inflammatory lesi antar 24 dan
55% setelah 12 minggu pengobatan.
d. Adapalene
Adapalene adalah generasi ketiga dari retinoid tersedia dalam gel, cream, atau
solution dalam konsentrasi 0.1%.dalam survey yang melibatkan 1000
pasienditunjukkan bahwa adapalen 0.1% gel mempunya efikasi yang sama dengan
tretinoin 0.025%.
e. Tazarotene
Disamping untuk psoriasis, tazarotene juga digunakan sebagai terapi untuk acne, di
US 0.5 dan 0.1% gel atau cream.
f. Antibiotik Topikal
Keguanaan paling penting dan mendasar dari antibiotik topical adalah rendah
iritasi, tapi kerugiannya adalah menambah obat-obat yang resisten terhadap P.acnes
dan S. Aureus.Untuk mengatasi masalah ini, klindamisin dan eritromisin
ditingkatkan konsentrasinya dari 1 menjadi 4% dan formulasi baru dengan zinc atau
kombinasi produk denganBPOs atau retinoid. 3,5
Antibiotika topikal banyak digunakan sebagai terapi acne. Mekanisme kerja
antibiotik topikal yang utama adalah sebagai antimikroba. Hal ini telah terbukti
pada efek klindamisin 1% dalam mengurangi jumlah P.acnes baik dipermukaan
atau dalam saluran kelenjar sebasea.Lebih efektif diberikan pada pustul dan lesi
papulopustular yang kecil. Eritromisin 3% dengan kombinasi benzoil peroksida 5%
tersedia dalam bentuk gel. Thomas dkk melakukan penelitian dengan
membandingkan eritromisin 1,5% dengan klindamisin 1% mendapatkan hasil yang
sama-sama efektif, duapertiga pasien mendapatkan respon yang sangat baik dalam
waktu 12 minggu, tetapi penggunaan eritromisin secara tunggal tidak
direkomendasikan karena dapat menyebabkan resistensi. Penggunaan eritromisin
kombinasi dengan benzoil peroksida lebih direkomendasikan. 3,5
Keefektifan antibiotik topikal pada acne terbatas karena mekanisme kerja dalam
mengeliminasi bakteri membutuhkan jangka waktu yang panjang. Bakteri dapat
timbul di mana-mana dan tidak secara langsung menyebabkan acne. Pada keadaan
di mana kelenjar sebasea memproduksi sebum berlebihan, pori-pori kulit juga akan
lebih mudah terbuka sehingga banyak bakteri yang akan masuk dan berkembang.
Adanya sel kulit mati juga bisa memperburuk keadaan. Bila kelenjar sebasea tidak
memproduksi sebum berlebihan, maka bakteri tidak mudah masuk ke dalam kulit.
Dengan kata lain, jumlah produksi sebum menjadi masalah utama dalam acne.
Antibiotik topikal kerjanya terbatas, karena tidak mengatasi masalah dalam jumlah
produksi sebum. 3,5
g. Asam Salisilat
Asam salisilat efek utamanya adalah keratolitik, meningkatkan konsentrasi dari
substansi lain, selain itu juga mempunyai efek bakteriostatik dan bakteriosidal. 3,5
h. Anti-androgen
Sejak diketahui bahwa acne merupakan salah satu penyakit yang berhubungan
dengan aktivitas hormon androgen, beberapa dermatologis dan industri farmakologi
mengembangkan anti androgen topikal sebagai salah satu terapi acne yang tidak
mempunyai efek sistemik. Studi yang dikembangkan adalah tentang penggunaan
topikal dari 17α-propylmesterolone, akan tetapi preparat ini belum tersedia secara
komersial. 3,5
3. Terapi Fisik
Selain terapi topikal dan terapi oral, terdapat beberapa terapi tambahan dengan
menggunakan alat ataupun agen fisik, diantaranya adalah:
a. Ekstraksi komedo
Pengangkatan komedo dengan menekan daerah sekitar lesi dengan menggunakan
alat ekstraktor dapat berguna dalam mengatasi acne. Secara teori, pengangkatan
closed comedos dapat mencegah pembentukan lesi inflamasi. Dibutuhkan
keterampilan dan kesabaran untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
b. Kortikosteroid Intralesi
Acne cysts dapat diterapi dengan triamsinolon intralesi atau krioterapi. Nodul-nodul
yang mengalami inflamasi menunjukkan perubahan yang baik Dalam kurun waktu
48 jam setelah disuntikkan dengan steroid. Dosis yang biasa digunakan adalah 2,5
mg/ml triamsinolon asetonid dan menggunakan syringe 1ml. Jumlah total obat yang
diinjeksikan pada lesi berkisar antara 0,025 sampai 0,1 ml dan penyuntikan harus
ditengah lesi. Penyuntikan yang terlalu dalam atau terlalu superfisial akan
menyebabkan atrofi.3
Injeksi glukokortikoid dapat menurunkan secara drastic ukuran dari lesi
nodular.Injeksi 0.05-0.25 ml perlesi dari triamcinolone acetat dengan suspense (2.5-
10mg/ml) direkomendasikan sebagai anti inflamasi. Terapi jenis ini sangat
bermanfaat dibandingkan terapi lain untuk acne tipe nodular. Akan tetapi harus
diulang dalam 2-3 minggu.Manfaat utamanya adalah menghilangkan lesi nodular
tanpa insisi sehingga mengurangi pembentukan scar.3
c. Liquid Nitrogen
Cara lain untuk terapi acne cysts adalah dengan mengaplikasikan nitrogen cair
selama 20 detik, aplikasi kedua diberikan 2 menit berikutnya. Terapi ini bekerja
dengan mendinginkan dinding fibrotik dari acne cysts sehingga akan terjadi
kerusakan pada dinding tersebut.
d. Radiasi Ultraviolet
Radiasi UV mempunyai efek untuk menghambat inflamasi dengan menghambat
aksi dari sitokin. Radiasi UVA dn UVB sebaiknya diberikan secara bersama-sama
untuk meningkatkan hasil yang ingin dicapai. Fototerapi dapat diberikan dua kali
seminggu.Radiasi ultraviolet alami (UVR) yang didapat dari paparan matahari, 60%
dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada acne, tetapi sekarang terapi ini tidak
dianjurkan lagi. 3,5
4. Diet : Beberapa artikel menyarankan pengaturan diet untuk penderita acne vulgaris.
Implikasi dari penelitian tentang diet coklat, susu, dan makanan berlemak dan
hubungannya dengan acne masih diteliti. Hingga saat ini belum ada evidence base yang
mendukung bahwa eliminasi makanan akan berdampak pada acne, akan tetapi beberapa
pasien akan m mengalami kemunculan acne setelah mengkonsumsi makanan tersebut.3
Prognosis :
Onset dari acne vulgaris sangat bervariasi, dimulai dari 6 hingga 8 tahun dan kemudian tidak
timbul lagi hingga umur 20 atau lebih.Kejadian acne ini biasanya diikuti oleh remisi yang terjadi
secara spontan. Walaupun rata-rata pasien akan mengalami penyembuhan pada usia awal 20an
tapi ada juga yang masih menderita acne hingga decade ketiga sampai decade keempat.2
Acne pada wanita biasanya berfluktuasi berkaitan dengan siklus haid dan biasanya bermunculan
sesaat sebelum menstruasi.Kemunculan acne ini tidak seharusnya berhubungan dengan
perubahan aktivitas glandula sabaseus, dimana tidak terjadi peningkatan produksi sebum pada
fase luteal dalam siklus menstruasi.5
Pada umumnya prognosis dari acne ini cukup menyenangkan, pengobatan sebaiknya dimulai
pada awal onset munculnya acne dan cukup agresif untuk menghindari sekuele yang bersifat
permanen.
Pada kebanyakan kasus, acne biasanya sembh secara spontan ketika melewati usia remaja dan
memasuki usia 20an. Alasan untuk hal ini masih belum diketahui secara jelas, tidak ada
penurunan secara bersama-sama pada produksi sebm ataupun perubahan komposisi lemak.
Hidradenitis Suppurativa
Definisi :
Hidradenitis suppurativa (HS) adalah penyakit inflamasi kronis yang berasal dari kelenjar
apokrin, yang dapat menjadi kronis dan cenderung menimbulkan sikatriks. Penyakit ini secara
klinis ditandai dengan pembentukan nodul bulat dan abses dengan jaringan parut hipertrofik dan
supurasi yang rekuren, menyakitkan dan dalam yang terjadi terutama pada area lipatan-lipatan
kulit yang memiliki ujung rambut dan kelenjar apokrin. Penyakit ini cenderung menjadi kronis
dengan ekstensi subkutan yang mengarah pada pembentukan jaringan parut hipertrofi, sinus, dan
fistula.12,13
Etiologi :
Etiologi HS masih belum diketahui pasti. Studi histologik pada HS memperlihatkan
hiperkeratosis folikular yang diikuti oleh ruptur epitel folikel dan pelepasan keratin, sebum,
bakteri dan rambut ke lapisan dermis menyebabkan terjadinya suatu oklusi pada kelenjar
apokrin. Terjadinya reaksi inflamasi pada kelenjar apokrin yang dipicu oleh oklusi tersebut
menyebabkan ruptur pada kulit, fibrosis, dan pembentukan sinus. Infeksi sekunder oleh bakteri S.
Aureus, Streptococcus pyogenes, dan berbagai bakteri gram negatif lain dapat terjadi.12,14
Beberapa faktor risiko terjadinya HS antara lain:14
- Faktor genetik
Adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit hidradenitis supurativa diperoleh
pada 26% pasien. Beberapa studi tidak menunjukkan adanya hubungan dengan HLA.
Namun beberapa studi lainnya menunjukkan adanya penurunan autosomal dominan
dengan single gene transmission. Namun, lokus genetik yang terkait tidak ditemukan.
- Hormonal
Kecenderungan terjadinya hidradenitis suppurativa ketika pubertas atau setelah pubertas
menunjukkan adanya pengaruh androgen. Selain itu, adanya peningkatan kejadian yang
dilaporkan pada pasien postpartum yang berhubungan dengan penggunaan pil
kontrasepsi oral dan pada periode premenstrual (sekitar 50% pasien). Terapi
antiandrogen juga memperlihatkan keuntungan terapetik pada beberapa studi.
Namun, tidak ada bukti biokimia dari hiperandrogenisme dapat ditemukan pada 66
wanita dengan hidradenitis suppurativa. Selain itu, tidak seperti kelenjar sebacea,
kelenjar apokrin tidak dipengaruhi oleh androgen. Karenanya, pengaruh androgen
terhadap kejadian hidradenitis suppurativa masih belum jelas.
- Obesitas
Obesitas bukan merupakan faktor kausa terjadinya hidradenitis suppurativa namun
sering dianggap sebagai faktor yang memperberat melalui peningkatan gaya gesek,
oklusi, hidrasi keratinosit, dan maserasi. Obesitas juga memperberat penyakit ini dengan
meningkatkan androgen. Penurunan berat badan dianjurkan bagi pasien dengan berat
badan berlebih dan dapat membantu mengontrol penyakit.
- Infeksi bateri
Peranan infeksi bakteri pada terjadinya hidradenitis suppurativa masih belum jelas.
Diyakini bahwa peran patogenesisnya sama dengan peranan bakteri pada terjadinya
jerawat. Obat antibakteri biasa digunakan sebagai terapi. Keterlibatan bakteri terjadi
secara sekunder. Kultur biasanya menunjukkan hasil yang negatif, namun sejumah
bakteri dapat ditemukan dari lesi. Staphylococcus aureus dan coagulase-negative-
staphylococcus adalah yang peling sering diisolasi. Namun, bakteri lain termasuk
Streptococcus, basil gram negaif, dan anaerob, juga dapat ditemukan.
- Merokok
Perokok paling sering ditemukan pada penderita hidradenitis suppurativa dibandingkan
dengan kontrol yang sehat. Satu studi kohort menunjukkan bahwa 70% dari 43 pasien
dengan hidradenitis suppurativa perineal adalah perokok. Diperkirakan bahwa merokok
dapat mempengaruhi kemotaxis sel polymorphonuclear. Penghentian merokok dapat
memperbaiki manifestasi klinis penyakit ini.
Patofisiologi :
Regio axilla dan inguinoperineal adalah regio yang paling sering terkena HS, regio lain yang
juga biasa terkena HS adalah areola mammae, regio submamary, periumbilicalis, scalp, fasialis,
meatus ekternal auditori, leher dan punggung.15
Kelenjar apokrin tersusun atas kelenjar keringat yang memanjang dari dermis ke jaringan
subkutan. Masing-masing kelenjar terdiri atas komponen sekretori yang dalam dan melingkar
yang mengalir melalui duktus eksketorius yang lurus dan panjang, biasanya menuju folikel
rambut. Sekresi dari kelenjar ini berbau.15
Walaupun penyebab yang jelas dari HS masih belum diketahui dengan jelas, telah disepakati
secara umum bahwa semua berawal dari oklusi apokrin atau duktus folikuler oleh sumbatan
keratin, yang menyebabkan dilatasi duktus dan stasis komponen glandular. Bakteri memasuki
sistem apokrin melalui folikel rambut dan terperangkap di bawah sumbatan keratin yang
kemudian bermultiplikasi dengan cepat dalam lingkungan yang mengandung banyak nutrisi dari
keringat apokrin. Kelenjar dapat ruptur, sehingga menyebabkan penyebaran infeksi ke kelenjar
dan area sekitarnya. Infeksi Strptococcus, Staphylococcus, dan organisme lain menyebabkan
inflamasi lokal yang lebih luas, destruksi jaringan dan kerusakan kulit. Proses penyembuhan
yang kronis menimbulkan fibrosis luas dan sikatrik hipertrofi pada kulit di atasnya.15
Pada hidradenitis yang melibatkan regio perineal, ada peningkatan insiden infeksi oleh
Streptosossus milleri, yang berhubungan dengan aktivitas penyakit. Organisme lain yang juga
dapat diidentifikasi ketika penyakit ini menyerang daerah ini adalah Staphylococcus aureus,
Streptococcus anaerob dan Bacteroides.15
Gejala Klinis :
Manifestasi klinis hidradenitis suppurativa yang paling sering adalah lesi nodular, nyeri, lunak,
dan tegas di ketiak. Keluhan yang sering dikatakan oleh penderita adalah gatal dan nyeri. Mula-
mula gatal, lalu timbul nodus merah dan nyeri. Dapat lebih dari satu kelenjar sehingga tampak
berbenjol-benjol dan saling bertumpuk tidak teratur. Kemudian terjadi pelunakan yang tidak
serentak, disebut abses multipel. Jika abses pecah keluar sekret tanpa mata. Karena perlunakan
tidak serentak dan kelenjar yang bertumpuk-tumpuk, sekret yang keluar sedikit-sedikit
menimbulkan sinus dan fistel.
Hidradenitis suppurativa biasanya diawali dengan nodul dalam (ukuran 0,5-2 cm). Pustul juga
dapat terlihat. Nodul ini dapat sembuh secara lambat atau justru berkembang dan bergabung
dengan nodul disekitarnya serta dapat terinfeksi sehingga menghasilkan abses inflamasi nyeri
yang besar. Abses ini bulat tanpa nekrosis sentral dan dapat sembuh atau fuptur spontan,
menghasilkan discharge purulent. 14,15
Kerusakan progresif pada arsitektur kulit normal terjadi karena inflamasi periductal dan
periglandular dan dermal serta fibrosis subkutan. Proses penyembuhan dapat menghasilkan
sikatrik dengan fibrosis, kontraktur dan peninggian kulit rope-like, dan double-ended comedones.
Sinus juga dapat terbentuk Sinus telah dilaporkan melibatkan jaringan dalam, termasuk otot dan
fascia, uretra dan usus. Proses kemudian terjadi kembali pada area sekitarnya atau pada area lain
yang mengandung kelenjar apokrin.14,15
Perinanal hidradenitis suppurativa dapat disertai nyeri, edema, discharge purulen, pruritus atau
perdarahan dan dapat menyerupai penyakit lain seperti furunculosis, fistula ani, penyakit
pilonidal, abses perianal atau penyakit Crohn. Fistula pada canalis analis dapat terjadi pada
hidradenitis, namun hanya akan terjadi pada bagian terbawah canalis analis, pada kulit yang
mengandung kelenjar apokrin.14
Gambar 2. Bisul besar pada area genitalia wanita yang menderita hidradenitis suppurativa5
Gambar 3. Pustul dan papul inflamasi yang terdapat pada area yang terkena hidradenitis suppurativa pada pasien laki-laki5
Gambar 4. Abses yang ruptur mengeluarkan material purulen pada individu yang menderita hidradenitis suppurativa5
Pemeriksaan penunjang :
Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk hidradenitis suppurativa. Kultur dari eksudat
yang diambil dapat menumbuhkan berbagai bakteri saprofit dan patogen seperti staphylococcus
dan streptococcus. Pada pemeriksaan laboratorium pasien dengan lesi HS akut dapat
memperlihatkan peningkatan laju endap darah atau C-reactive protein. Bila pasien tampak toksik
atau demam, pemeriksaan darah lengkap, kultur darah, kultur eksudat, dan kimia rutin perlu
dilakukan.14
Diagnosis :
Diagnosis HS secara primer dibuat berdasarkan karakteristik klinis dan telah memenuhi
kriteria yang diadopsi oleh 2nd International Conference on Hidradenitis suppurativa.
Kriteria hidradenitis supurativa tersebut antara lain:
1. Lesi tipikal seperti nodul dalam yang nyeri: “blind boils” pada lesi awal; abses, sinus,
bridged scars,dan double-ended pseudo-comedones pada lesi sekunder.
2. Topografi tipikal seperti axillae, paha dan regio perianal, bokong, lipatan infra dan inter
mamary
3. Kronik dan rekuren
Keparahan penyakit dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkat untuk masing-masing area
berdasarkan klasifikasi Hurley, suatu sistem sederhana namun statis dan tidak sesuai untuk
penilaian keparahan secara global. Sementara itu, Sartorius score dan versi modifikasinya
mempertimbangkan sejauh mana penyakit, jumlah, dan tingkat keparahan lesi secara
individual.
Klasifikasi Hurley:
Tingkat KarakteristikI Abses soliter atau multipel tanpa sikatriks atau sinus.
(sejumlah sisi minor dengan inflamasi yang jarang; mungkin keliru untuk jerawat)
II Abses rekuren, lesi soliter atau multipel yang terpisah jauh, dengan sinus (inflamasi yang membatasi pergerakan dan mungkin membutuhkan bedah minor seperti insisi dan drainase)
III Keterlibatan area sekitar yang difus atau luas dengan sinus dan abses yang saling berhubungan. (inflamasi berukuran sebesar bola golf atau terkadang sebesar bola baseball; timbul sikatriks, termasuk infeksi subkutan. Pasien pada tingkat ini mungking tidak dapat berfungsi)
Gambar 5. (A) dan (B) Tingkat I klasifikasi Hurley
Gambar 6. (A) dan (B) Tingkat II klasifikasi Hurley
Gambar 7. (A), (B), dan (C). Tingkat III klasifikasi Hurley
A
B
A
B
A B C
Tatalaksana :
Hidradenitis suppurativa bukanlah penyakit infeksi yang simpel, dan antibiotik sistemik
hanyalah merupakan bagian dari program penatalaksanaannya. Kombinasi dari pengobatan
glukokortikoid intralesi, pembedahan, antibiotik oral, dan isotretinoin perlu digunakan.8
Tujuan penatalaksanaan pasien adalah untuk mencegah perkembangan lesi primer juga
resolusi, ameliorasi, atau regresi penyakit sekunder seperti sikatriks atau pembentukan sinus.
Lesi yang timbul paling awal sering kali sembuh dengan cepat dengan pemberian terpai
steroid intralesi, dan sebaiknya dicoba untuk memulai kombinasi dengan cleocin topikal atau
tetracycline atau minocycline oral.12,14
Pengobatan pada lesi nyeri yang akut seperti nodul dapat digunakan triamcinolone (3-5
mg/mL) intralesi. Pada abses digunakan triamcinolone (3-5 mg/mL) intralesi yang diikuti
insisi dan drainase cairan abses. Antibiotik oral yang dapat digunakan adalah erythromycin
(250-500 mg qid), tetracycline (250-500 mg qid), atau minocycline (100 mg 2 kali sehari)
hingga lesi sembuh, atau kombinasi klindamisin 2 x 300 mg bid dengan rifampin (300 mg 2
kali perhari) selama beberapa minggu. Prednison dapat diberikan bila nyeri dan inflamasi
sangat berat dosisnya 70 mg perhari selama 2-3 hari, diturunkan (tappered) selama 14 hari.
Pemberian isotretinoin oral tidak bermanfaat pada penyakit yang kronis namun bermanfaat
pada awal penyakit untuk mencegah sumbatan folikuler dan saat dikombinasikan dengan
eksisi lesi.
Pencucian teratur tiap hari dengan sabun antibakteri dan pemberian clindamycin topikal
penting untuk pencegahan. Mengurangi gesekan dengan menggunakan pakaian longgar dan
penurunan berat badan bila diperlukan, dan mencegah timbulnya keringat berlebih dengan
menggunakan aluminium klorida topikal. 12,14
Pada kondisi adanya draining sinus, kultur dari pus mungkin akan menunjukkan S. Aureus
atau organisme gram negatif. Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada sensitivitas kultur
organisme. Isotretinoin efektif pada beberapa kasus. Pada suatu studi diberikan isoretinoin
dengan dosis 0,56 mg/kg selama 4 sampai 6 bulan. 12,14
Pembedahan yang dilakukan pada semua jaringan yang terlibat adalah modalitas pengobatan.
Rekurensi postoperatif dapat terjadi. Pembedahan yang dilakukan dapat berupa insisi dan
drainase abses akut, eksisi nodul fibrotik atau sinus. Pada penyakit yang luas dan kronis,
dibutuhkan eksisi komplit pada axilla atau area yang terlibat. Eksisi mungkin mendalam
hingga lapisan fascia sehingga dibutuhkan skin grafting untuk penutupannya. Beberapa
peneliti menyarankan penggunaan laser CO2 untuk ablasi jaringan. Penutupan primer,
grafting, atau flaps telah digunakan secara luas, namun mungin berhubungan dengan hasil
yang tidak begitu baik.14
Radioterapi. Beberapa peneliti melaporkan kesuksesan radioterapi dalam pengobatan HS.
Lebih sering diberikan pada populasi pasien muda. Efek samping jangka panjang perlu
diperhatikan. 14
Prognosis :
Keparahan penyakit ini sangat bervariasi. Banyak pasien hanya mengalami gejala ringan yang
rekuren, dapat sembuh sendiri, sehingga tidak berobat. Penyakit ini biasanya mengalami remisi
spontan pada usia > 35 tahun. Pada beberapa individu, gejalanya dapat menjadi progresif, dengan
morbiditas nyata terkait pada penyakit kronis, pembentukan sinus, dan sikatriks yang
menimbulkan keterbatasan gerak.14
Daftar Pustaka :
1. Boxton PK. ABC of Dermatology 4th ed. London:BMJ Group;2003. p:47-9.
2. Anonim. Acne Vulgaris. Diunduh pada 02 Januari 2015. Available from:
http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/basics/classification.html
3. Dreno B, Poli F. Epidemiology of Acne. Dermatology, Acne Symposium at the World
Congres of Dermatology Paris July 2002. p:7-9. 2003
4. James WD, Berger TG, Elston DM. Acne. In : James W, Berger T, Elston DM, eds.
Andrews’ disease of the skin Clinical Dermatology 10th ed. Canada : El Sevier; 2000. p:
231-44.
5. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne Vulgaris and Acneiform
Eruptions. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell D, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2007.
p: 690-703
6. Hunter John, Savin John, Dahl Mark. Clinical Dermatology 3rd ed. Massachusetts:
Blackwell Science,Inc.;2002. p:148-156
7. James WD, Berger TG, Elston DM. Acne. In : James W, Berger T, Elston DM, eds.
Andrews’ disease of the skin Clinical Dermatology 10th ed. Canada : El Sevier; 2000. p:
231-44. (4)
8. Batra, Sonia. Acne. In: Ardnt KA, Hs JT, eds. Manual of Dermatology Therapeutics 7th
ed. Massachusetts:Lippincot Williams and Wilkins; 2007. P:4-18
9. Sheen, Barbara. Diseases and Disorders Acne. Framington Hills: Lucent Books;2005.
p:10-20.
10. Schalock PC. Rosaceae and perioral (periorificial) dermatitis. In: Manual of Dermatology
Therapeutics 7th ed. Massachusetts:Lippincot Williams and Wilkins; 2007. P:175-180
11. Gupta AK, Swan JE. Perioral dermatitis. In: Wiiliams H, Bigbi Mc, Diepgen T,
Herxheimer H, Nalgi L, Rzany B. Evidence-Based Dermatology. London:BMJ
Books;2003. p:125-131.
12. James WD, Berger TG, and Elston DM. Andrews’ Disease of the Skin Clinical
Dermatology, 10th edition. Philadelphia: saunders Elsevier. 2006
13. Revuz J. Hidradenitis suppurativa. Orphanet Encyclopedia. March 2004. Available from
URL: http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-hidradenitis-suppurativa.pdf. Diunduh
pada 2 Januari 2015
14. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine,
7th edition. US: Mc Graw Hill Medical. 2008.
15. Parks RW and Parks TG. Pathogenesis, Clinical Features and Management of
Hidradenitis Suppurativa (Review). Ann R Coll Surg Engl 1997; 79: 83-89.