Presentasi kasus
REGIONAL ANESTESI SCTP EMERGENCY PADA
PRESBO KPD 12 JAM PRIMIGRAVIDA HAMIL ATERM
BELUM DALAM PERSALINAN
OLEH :
Putri Utaminingrum
G0005159
PEMBIMBING :
dr. H. Marthunus Judin, Sp.An.KAP
KEPANITERAAN KLINIK LAB / UPF ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2011
i
BAB I
PENDAHULUAN
Tugas dokter yang utama adalah mempertahankan hidup dan mengurangi
penderitaan pasiennya. Anestesi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran sangat
berperan dalam mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena dapat mengurangi nyeri
dan memberikan bantuan hidup. Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari
berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita
yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun.1
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi lumbal
pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal subarachnoid dicoba
oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh penderita dengan kokain secara
injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai setelah 20 menit, mungkin akibat difusi
pada ruang epidural. Indikasi penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah tindakan
pada bedah obstreti dan ginekologi.2
Dalam persalinan membutuhkan tindakan anestesi karena nyeri sangat mungkin
terjadi saat persalinan berlangsung. Nyeri karena persalinan terjadi karena kontraksi
uterus, dilatasi servik, selain itu, tindakan dalam persalinan seperti ekstraksi cunam,
vakum, versi dalam, versi luar, dan bedah caesar juga menimbulkan nyeri sehingga
membutuhkan anestesi.2
Letak sungsang yaitu janin dengan letak memanjang, dengan kepala di fundus dan
bokong dibawah. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa etiologi penyebabnya seperti
hidramnion, multipara, janin kecil gemeli, dll .2
Ketuban pecah dini (KPD) terjadi bila ketuban pecah sebelum persalinan dimulai.
Sulit untuk memahami etiologi, patogenesis, manajemen dan pencegahannya. KPD sering
dihubungkan dengan komplikasi obstetri yang berefek pada outcome perinatal, misalnya
kehamilan ganda, presentasi bokong, chorioamnionitis dan fetal distress intrapartum.
Sebagai konsequensi dari adanya komplikasi ini maka 40% diakhiri dengan seksio
sesaria.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERSIAPAN PRA ANESTESI
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):1
a. ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b. ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas
16%.
c. ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
d. ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.
e. ASA V pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat .1
B. PREMEDIKASI ANESTESI
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan
dari premedikasi antara lain :1
1. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2
2. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. memberikan analgesia, misal pethidin
5. mencegah muntah, misal : droperidol, metoklopropamid
6. memperlancar induksi, misal : pethidin
7. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin
C. ANESTESI SPINAL
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat
analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari
suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara
vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-L5 (obat
lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Indikasi : anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi abdomen
bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki. Anestesi ini memberi
relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain hanya sekitar 90 menit.
Bila digunakan obat lain misalnya bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama
operasi dapat diperpanjang sampai 2-3 jam.
Kontra indikasi : pasien dengan hipovolemia, anemia berat, penyakit jantung,
kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial yang meninggi.
1. Untuk tujuan klinik, pembagian tingkat anestesi spinal adalah sebagai berikut:
a. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah dan
segmen sakrum.
b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus / Th X
di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral.
3
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks
bawah, lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah
thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih tinggi.
2. Teknik anestesi :
a. Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik dan
berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya sementara.
b. Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi obat
anestesi lokal.
c. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil lumbal
pungsi, tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah untuk pungsi.
Asisten harus membantu memfleksikan posisi penderita.
d. Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titikl tertinggi krista iliaka kanan kiri
akan memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5.
e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis.
f. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.
g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai sarung
tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan jarum lumbal no.
22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada bidang median dengan arah 10-30 derajat
terhadap bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar vertebra lumbalis
yang sudah dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa
ligamen, yang terakhir ditembus adalah duramater subarachnoid.
h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan
larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Cabut jarum, tutup
luka dengan kasa steril.
i. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika terjadi
hipotensi diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5 mg, infus 500-1000 ml
NaCl atau hemacel cukup untuk memperbaiki tekanan darah.
3. Obat yang dipakai untuk kasus ini adalah :
4
Bupivakain
Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali lebih kuat
dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama digunakan untuk anestesi
daerah luas (larutan 0,25%-0,5%) dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000. derajat
relaksasinya terhadap otot tergantung terhadap kadarnya. Presentase pengikatannya
sebesar 82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini dimetabolisasi menjadi
pipekoloksilidin (PPX). Ekskresinya melalui kemih 5% dalam keadaan utuh ,
sebagian kecil sebagai PPX, dan sisanya metabolit-metabolit lain. Plasma t1/2 1,5-
5,5jam. Untuk kehamilan, sama dengan mepivakain dapat digunakan selama
kehamilan dengan kadar 2,5-5 mg/ml. Dari semua anestetika lokal, bupivakain
adalah yang paling sedikit melintasi plasenta.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37oC adalah 1,003-
1,008. Anestesi lokal dengan berat jenis yang sama dengan CSS disebut isobarik
sedangkan yang lebih berat dari CSS adalah hiperbarik. Anestesi lokal yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur anestesi
lokal dengan dekstrosa.
Anestesi Lokal Berat Jenis Sifat Dosis
Bupivakain (decain)
0,5% dalam air 1,005 Isobarik 5-20 mg (1-4 mL)
0,5% dalam dekstrosa 8,25% 1, 027 Hiperbarik 5-15 mg (1-3mL)
Pethidin
Pethidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk premedikasi.
Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi, mengurangi
kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah,
memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan , dan dapat diantagonis
dengan naloxon.
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan
pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat menyebabkan depresi pusat
5
pernapasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan respon turunnya CO2.
mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di
medulla. Posisi tidur dapat mengurangi efek tersebut.
Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc
Dosis : 1 mg/ kgBB
Pemberian : IV, IM, Intradural
4. Keuntungan dan kerugian anestesi spinal :
a. Keuntungan
1). Respirasi spontan
2). Lebih murah
3). Ideal untuk pasien kondisi fit
4). Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru pada pasien
dengan perut penuh
5). Tidak memerlukan intubasi
6). Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal
7). Fungsi usus cepat kembali
8). Tidak ada bahaya ledakan
9). Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan
b. Kerugian
1). Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general sistem
2). Menyebabkan post operatif headache.
5. Komplikasi tindakan anestesi spinal
a. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum
tindakan
b. Bradikardi
6
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
d. Trauma pembuluh darah
e. Trauma saraf
f. Mual-muntah
g. Gangguan pendengaran
h. Blok spinal tinggi atau spinal total
D. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada
ileus obstriktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk
dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 1 0
Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
Ringan= 4 ml/kgBB/jam.
Sedang= 6 ml / kgBB/jam
Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10
% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali
7
volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali
darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
E. PEMULIHAN
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang
disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
F. ANESTESI OBSTERI
Semua pasien yang masuk dalam obstetri sangat besar kemungkinan
membutuhkan anestesi yang baik yang direncanakan atau emergensi, oleh karena itu
seorang ahli anestesi seharusnya menyadari riwayat penyakit sekarang dan dahulu
yang berhubungan dengan pasien obstetri. Pasien yang membutuhkan pelayanan
anestesi untuk persalinan atau SC seharusnya mendapat evaluasi pre anestesi yang
detail. Semua wanita dalam persalinan harus dijaga nutrisi per oral dan diberi cairan
iv biasanyaq menggunakan cairan RL dalam dextrosa untuk mencegah dehidrasi.
Berbagai macam indikasi untuk sectio caesaria antara lain:
1. Kehamilan beresiko tinggi pada maternal dan fetal:
a. Peningkatan resiko ruptur uteri:
1). Riwayat kelahiran dengan seksio caesaria
2). Riwayat miomektomi ekstensif atau rekonstruksi uterin
b. Peningkatan resiko perdarahan maternal
1). Sentral atau parsial plasenta previa.
2). Solutio plasenta
8
3). Riwayat rekonstruksi vagina
2. Distokia
a. Hubungan Fetopelvik yang abnormal
1). Disproporsi kepala panggul.
2). Presentasi fetal yang abnormal : letal transvers atau obliq,
presbo.
b. Aktivitas disfungsional uterin.
3. Keadaan-keadaan gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera.
a. Fetal distress
b. Prolaps umbilikus
c. Perdarahan maternal
d. Amnionitis
e. Herpes genital dengan disertai ruptur membran
f. Kematian impending maternal.
G. LETAK SUNGSANG
Janin yang letaknya memanjang dalam rahim dengan kepala terletak di fundus
uteri dan bokong terletak di bawah. Klasifikasi :
1. letak bokong (frank breech), letak bokong dengan kedua tungkai terangkat ke atas.
2. Letak sungsang sempurna (complete brach), letak bokong dimana kedua kaki
terletak disamping bokong.
3. Letak sungsang tidak sempurna (incomplete brach).
Etiologi :
1. Fiksasi kepala pada pintu atas panggul tidak baik atau tidak ada misalnya panggul
sempit, hidrosephalus, anensephali, plasenta previa, tumor pelvis, dll
2. Janin mudah bergerak seperti hidramnion, multipara, janin kecil (prematur)
3. Gemeli
4. Kelainan uterus seperti arkuatus, bikornis dan mioma uteri
5. Janin yang sudah lama mati
6. Sebab yang tidak diketahui.2
9
H. KETUBAN PECAH DINI
Kriteria diagnosis:
1. umur kehamilan lebih dari 20 minggu
2. keluar cairan jernih dari vagina
3. pada pemeriksaan fisik: suhu normal bila tidak ada infeksi
4. denyut jantung biasanya normal
5. terlihat cairan keluar dari ostium uteri eksternum, nitrasin tes (+).8
10
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. D
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No RM : 01071505
Diagnosis pre operatif : Presbo KPD 12 jam pada primigravida
Macam Operasi : SCTP - Em
Macam Anestesi : Anestesi spinal
Tanggal masuk : 15 Juni 2011
Tanggal Operasi : 15 Juni 2011
B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI
1. Anamnesa
Keluhan utama : ingin melahirkan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Datang seorang G1P0A0, 24 tahun, ukuran kehamilan 38 minggu kiriman
bidan dengan keterangan keluar air kawah sejak 12 jam yang lalu. Pasien
merasa hamil 9 bulan, kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, gerakan
janin masih dirasakan, lendir darah belum keluar.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat asma ( – )
Riwayat Alergi ( – )
Riwayat hipertensi atau penyakit jantung ( – )
2. Pemeriksaan Fisik:
a. Keadaan umum : baik, CM, gizi kesan cukup
b. Vital sign : T : 120/80 mmHg
N : 84 x/menit
Rr : 20 x/menit
11
S : 36,70C
BB : 56 kg
TB : 155 cm
c. Status Generalis :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
Jalan nafas : tersumbat (-), ompong (-), gigi palsu (-), oedem (-), kekakuan
sendi rahang (-), kaku leher (-)
Thorax : retraksi (-)
COR : BJ I – II intensitas normal, reguler bising (-)
Pulmo : Suara dasar vesikuler : kanan/kiri = +/+
Suara tambahan whezing kanan/kiri = -/-
RBK kanan/kiri = -/-
RBH kanan/kiri = -/-
Abdomen : lihat status obstetri
Ekstremitas : Oedem akral dingin
d. Status Obstetri
Abdomen
Inspeksi : tampak membuncit, striae gravidarum (+), linea fuscha (+)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal intra uterin, hidup,
memanjang, presbo, puki, bagian terendah janin belum masuk panggul,
TFU : 32 cm, TBJ : 2900 gr, his (-)
Auskultasi : DJJ 11 – 12 – 11 reguler
Genital/VT : vulva/uretra terang, dinding vagina dbn, portio lunak,
mencucu, kulit ketuban sulit dinilai, presbo, bokong turun di Hodge I, air
ketuban (+), STLD (-)
12
3. Pemeriksaan laboratorium :
Hemoglobin
Hct
Lekosit
Gol darah
CT / BT
Trombosit
Eritrosit
GDS
:
:
:
:
:
:
:
:
12,2 g/dl
36,4 %
6,7.103 ul
A
4’00” / 2’00”
288.103 ul
3,71.106 ul
90 mg/dl
Ureum
Creatinin
Protein total
Albumin
Natrium
Kalium
HbsAg
:
:
:
:
:
:
:
22 mg/dl
0,9 mg/dl
5,6 g/dl
3,7 g/dl
139 mmol/L
4,2 mmol/L
Negatif
4. Kesimpulan :
Kelainan sistemik : ( – )
Kegawatan : ( + )
Status fisik ASA : II E
C. RENCANA ANESTESI
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa > 6 jam
c. Infus Asering 30 tetes / menit ~ 1000cc kristaloid
2. Jenis Anestesi : Regional Anestesi
3. Teknik Anestesi : Spinal Blok Anestesi, Spinal needle no 25 L3-4 medial
4. Premedikasi : Metoklopropamid 10 mg
5. Induksi : Bupivakain (Decain) 10 mg + Pethidin 25 mg intradural
6. Maintenance : 02 = 3 L/menit
7. Monitoring : tanda vital selama operasi tiap 10 menit, cairan, perdarahan,
ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan
13
D. TATA LAKSANA ANESTESI
1. Di ruang Persiapan
a. Cek persetujuan operasi
b. Periksa tanda vital dan keadaan umum
c. Lama puasa > 6 jam
d. Cek obat-obat dan alat anestesi
e. Infus Asering 40 tetes/menit
f. Injeksi Metoklopropamid 10 mg IV
g. Posisi terlentang
h. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
2. Di ruang Operasi
a. Jam 00.00 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang
b. Jam 00.10 mulai dilakukan anestesi spinal dengan prosedur sebagai
berikut :
1). Pasien minta duduk dengan punggung flexi maksimal.
2). Dilakukan tindakan antisepsis pada daerah kulit punggung bawah
pasien dengan menggunakan larutan iodin 1% + Alkohol 70%
3). Menggunakan sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikkan jarum spinal no 25 pada bidang median dengan arah 10-
30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar
vertebra lumbal 3-4.
4). Setelah jarum sampai di ruang subarachnoid yang ditandai dengan
menetesnya cairan LCS, stilet dicabut dan disuntikkan Bupivakain
0,5% 10 mg + Pethidin 25 mg .
5). Lokasi penyuntikan ditutup dengan perban.
6). Pasien dikembalikan pada posisi telentang, dan kepala diekestensikan,
Canul oksigen dipasang pada hidung dengan maintenance O2 3
L/menit.
c. Jam 00.15 tensi 95/45 infus RL dipercepat dan diberikan efedrin 10 μg
d. Jam 00.20 operasi dimulai, selama operasi dimonitor tanda vital dan
saturasi O2 tiap 10 menit.
14
e. Jam 00.25 tensi 97/50 infus RL diganti HAES dipercepat dan diberikan
efedrin 10 μg
f. Jam 00.30 bayi dilahirkan perabdominal, jenis kelamin laki-laki, berat
badan 3700 gram, APGAR 8-9-10, anus (+).Berikan methergin 1 ampul
IV, Sintosinon 1 ampul per drip.
g. Jam 00.35 plasenta dilahirkan per abdominal lengkap dengan insersio
parasentral.
h. Jam 00.35 tensi 97/55 infus HAES 500ml diganti RL dipercepat dan
diberikan efedrin 10 μg
i. Jam 00 .55 Infus RL habis diganti RL 500 ml dan diinjeksi Ketorolac 30
mg.
j. Jam 01.05 Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
Monitoring Selama Anestesi
Jam Tensi Nadi SaO2 RR Keterangan23.55 Infus RL 00.00 118/77 81 100 % 20 Masuk ruang OP00.10 117/78 80 100 % 20 Induksi Decain 20 mg 00.20 105/65 91 99 % 24 O2 3 L/menit. Operasi
dimulai, tanda vital tetap dimonitor
00.30 100/55 90 99 % 2200.40 110/60 84 100% 20 Infus HAES00.50 115/65 78 100 % 20 Infus RL01.00 118/69 77 100 % 20 Infus RL01.05 122/75 72 100 20 Operasi selesai
3. Di ruang pemulihan
a. Jam 00.10 : pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dalam keadaan sadar
penuh, dalam keadaan posisi terlentang, diberikan O2 3 liter/menit
b. Jam 00.20 : Pasien dipindah ke Ruang Perawatan Khusus Obsgin..
15
Monitoring pasca AnestesiJam Tensi Nadi SaO2 RR00.10 120/77 74 99% 2000.20 123/75 75 99% 20
TERAPI CAIRAN
Perhitungan cairan pada kasus ini adalah (BB = 56 kg)
Defisit cairan karena puasa 6 jam = 2 X 56 X 6 = 672 cc
Kebutuhan cairan selama operasi + kebutuhan operasi besar (lama 1jam) :
= (2 X 56 X 1) + (8 X 56 X 1)
= 112 + 448
= 560 cc
Perdarahan selama operasi 500 cc
EBV pada pasien ini = 70 X 56 kg = 3920 cc. Persentase perdarahan =
500/3920 X 100% = 12,35 % dari EBV.
Jadi kebutuhan cairan total = 672 + 560 + 500 = 1732 cc Jumlah cairan
yang telah diberikan :
1. Pra operasi : 500 cc
2. Saat operasi : 2000 cc
Total cairan yang diberikan 2500 cc, sedikit berlebih 768 cc, sehingga
pengawasan terhadap pemberian cairan masih diperlukan saat pasien
berada di bangsal, diperhatikan kemungkinan terjadinya overload dan
produksi urin.
16
BAB IV
PEMBAHASAN
Banyak hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan anestesi pada wanita
hamil yang akan melakukan persalinan. Karena dalam melakukan tindakan anestesi harus
memperhatikan teknik anestesi yang akan dipakai demi menjaga keselamatan ibu, bayi,
serta kehamilan itu sendiri. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat
melakukan tindakan anestesi pada wanita hamil, maka kita harus mengetahui perubahan-
perubahan fisiologis wanita hamil serta efek masing-masing obat anestesi.
Pada pasien ini, dilakukan anestesi secara regional karena memiliki keuntungan yaitu::
1. Bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil karena pasien dalam keadaan
sadar.
2. Relaksasi otot yang lebih baik.
3. Analgesi yang cukup kuat.
A. PERMASALAH DARI SEGI MEDIK
1. Emergensi
2. Menyangkut 2 nyawa yaitu nyawa ibu dan anak
3. Diphragma terdorong keatas, sehingga timbul sesak nafas.
4. Supine hipotensi, oleh karena janin menekan vena cava inferior ibu. Hal ini juga
mempengaruhi sirkulasi fetomaternal.
B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH
1. DIT (Delivery Intake Time) : Kecepatan ahli bedah untuk mengeluarkan
bayi dari kandungan, kurang dari 10 menit setelah induksi.
2. Perdarahan
3. Trauma
C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI
Pemberian Obat-obat anestesi yang sesuai :
1. Premedikasi : Metoklopropamid 10 mg
17
2. Anestesi spinal : Bupivakain 10 mg dan Pethidin 25 mg.
3. Maintenance : Oksigen 3 liter/menit.
Pada kasus ini terjadi overload cairan sebanyak 768 cc, ini diperoleh dari
kebutuhan cairan total ( terdiri dari : defisit cairan karena puasa 6 jam, kebutuhan dasar
selama operasi, kebutuhan operasi besar dan kehilangan darah selama operasi ) yang total
sebanyak 1732 cc. Sedangkan cairan yang masuk sebanyak 2500 cc. Untuk mengatasi
overload cairan ini belum diperlukan tindakan invasif, tetapi diperlukan pengawasan
tanda-tanda overload cairan dan diperhatikan mengenai produksi urin saat pasca operasi
di bangsal.
Pada kasus ini, yang dilakukan anestesi spinal, saat operasi terjadi penurunan
tekanan darah. Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal biasanya sering terjadi.
Hipotensi dapat terjadi pada sepertiga pasien yang menjalani anestesi spinal. Hipotensi
terjadi karena :
1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac out put.
2. Penurunan resistensi perifer.
Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 75 mmHg atau terdapat gejala-gejala
penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi untuk menghindari cedera ginjal,
jantung dan otak, di antaranya dengan memberikan oksigen dan menaikkan kecepatan
tetesan infus dan jika perlu diberikan vasokonstriktor seperti pada pasien ini diberikan
efedrin 10 μg yang telah diencerkan jika tekanan sistolik dibawah 100 mmHg.
Penurunan venous return juga dapat menyebabkan bradikardi. Untuk mengatasi
bradikardi yang terjadi dapat diberikan sulfas atropin 0,25 mg IV.
Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot
pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami kesulitan
bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen yang adekuat dan
pengawasan terhadap depresi pernafasan yang mungkin terjadi.
18
BAB V
KESIMPULAN
Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus diperhatikan agar tindakan
anestesi tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi. Anastesi
umum dalam persalinan harus dilakukan dengan mempertimbangkan keamanan ibu dan
bayi. Dalam hal ini pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap
operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang baik dan teliti memungkinkan kita
mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga
dapat mengantisipasinya serta dapat menentukan teknik anestesi yang akan dipakai.
Selain itu, pemilihan obat dan dosisnya harus benar-benar diperhatikan agar tidak
mendepresi janin, dimana hampir semuanya dapat mendepresi nafas janin.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi regional dengan
menggunakan teknik anestesi spinal pada penderita presbo KPD 24 jam dengan ASA II E
dengan menggunakan induksi Bupivakain 10 mg, Pethidin 25 mg, maintenance O2 2
lt/menit.
Pemeriksaan pre anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi, melalui
pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan
memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga komplikasi anestesi dapat
diantisipasi ataupun ditekan seminimal mungkin. Seperti pada kasus ini kemungkinan
hipotensi yang dapat terjadi sudah diantisipasi. Walaupun terjadi hipotensi penanganan
segera yang dibutuhkan sudah tersedia sehingga akibat dan komplikasi yang dapat
ditimbulkannya ditekan seminimal mungkin.
Penatalaksanaan operasi dan penatalaksanaan anestesi pada kasus ini terdapat
komplikasi hipotensi tetapi secara umum berjalan lancar karena persiapan operasi baik
pre operasi dan selama operasi sudah baik di bangsal.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI, CV Infomedia, Jakarta.
2. Rustam M, (1998). Sinopsis Obstetri, jilid I edisi 2, cetakan I, EGC, Jakarta.
3. Cunningham F.G., et al. (1995). Obstetri Williams, edisi 18, editor Devi H.R.,
EGC, Jakarta.
4. Boulton T.H., Blogg C.E., (1994). Anesthesiology, cetakan I. EGC, Jakarta.
5. Morgan G.E., Mikhail M.S., (1992). Clinical Anesthesiology. 1st ed. A large
medical Book
6. Kumpulan protokol, (1995), Penanganan kasus Obstetri & Ginekologi, Lab/SMF
obsgyn FK UNS / RSUD dr Moewardi Surakarta.
7. Michael B D., (1994),Penuntun Praktis Anestesi. cetakan I. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
8. Ery L., (1998), Belajar Ilmu Anestesi. FK Univ. Diponegoro. Semarang.
20