POLITIK IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA DALAM NOVEL BULAN
LEBAM DI TEPIAN TOBA KARYA SIHAR RAMSES SIMATUPANG
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M.Hum) di
Program Studi Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Oleh
Hendra Sigalingging
116322018
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
POLITIK II}ENTITAS ETI{IS BATAK TOBA DALAM NOYEL BULAN
LEBAM DI TEPIAN TOBA KARYA SIHAR RAMSES SIMATUPAT{G
Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar ll{agister Humaniora (M.Hum) di
Program Studi Magister Ilmu Religi dan Bndaya
Universitas Sanata Dharma
Oleh
Hendra Sigalingging
11ffi2241&
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI I}AN BUDAYA
TINIVE RSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
20ts
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
F
PERSETUJUAN
TESIS
POLITIK IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA DALAM NOVEL BITLANLEBAM DI TEPIAN TOBA KARYA SIHAR RAMSES SIMATUPANG
Oleh:
Eendra Sigalingging
Dr Katrin BandelPembimbing
i
I
I
I
I
Tanggal: 15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
F
r
I
t
t
I
t
t
iI
I
i
PENGESAHAN
TESIS
POLITIK IDBNTITAS ETNIS BATAK TOBA DALAM NOYBL BULAN
LEBAM DI TEPIAN TOBA KARYA SIHAR RAMSES SIMATT'PANG
Oleh:
Hendra Sigalingging
l[IM:116322018
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis
Ketua
Sekretari s/Ivfoderator
Anggota
3. Dr. Y. Tri Subagya
t /*r7-..1 ... ---//.t/'.' .'
IYogyakartta, I I November 2015
lil
I
I
I
Pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
NIM
Program
Universitas
PERNYATAA}I KEASLIA}\{
: Hendra Sigalingging
: 116322A18
: Program Pascasmjana Ilmu Religi dan Budaya
: Sanata Dharma
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis :
Judul
Pembimbing
Tanggal diuji
Adalah benar-benar
Di dalam tesis ini ti
saya ambil dengan cara
mya gunakar
penulis aslinya. Apabila
meniru tulisan orang lain
sanksi sesuai dengan
Universitas Sanata Dharma
(M.Hum.) yang telah saya peroleh.
: Politik Identitas Ekris Batak Toba dalam Novel Bulan Lebam di
Tepian Toba Karya Sihar Ramses Simatupang
orang lain yang
imat atau simbol yang
pengakuan kepda
tindakan menyalin atau
ri, saya bersedia menerima
Ilmu Religi dan Budaya
gelar Magister Humaniora
Yogyakarta, l5 Januari 2016
Yang
tv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUKKEPENTINGAN AKADEMIS
Nama : Hendra SigalinggingMM . tt6322}t8Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaanuniversitas sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul :
POLTTIK IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA DALAM NOVEL BUL/IN LEBAM DITEPIAN TOBA KARYA SIHAR RAMSES SIMATUPANG
Beserta prangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepadaPerpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentukmedia lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, danmempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlumeminta izin dan saya atau memberikan royalty kepada saya selama tetap mencanfumkan namasaya sebagai penulis.
Demikianlah pernyataan ini saya tulis dengan sebenar-benarnya.
Dibuat di : Yogyakarta
Pada tanggal : 15 Januari 2A16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
KATA PENGANTAR
Pengerjaan tesis sederhana yang terbilang menelan waktu yang sangat
panjang secara administrasi kampus ini, sangatlah memakan energi yang cukup
banyak. Bukan hanya soal pengerjaan tesis ini saja yang memakan energi, akan tetapi
catatan-catatan kaki yang membingkai proses “terburu-buru”nya penyelesaian tesis
ini juga menyedot energi yang tidak sedikit. Jika diasosiasikan ini tak ubah seperti
pemain sepak bola yang hanya berlatih 90 menit tetapi dalam kenyataannya harus
melakukan 30 menit babak tambahan.
Terlepas dari itu semua, akhirnya penulis menyelesaikan tesis ini. Tentu
saja, tesis ini bisa terealisasikan berkat dorongan semangat dari Bu Katrin yang
sangat membantu penulis. Hal ini dimulai dari pemilihan topik, perumusan masalah,
teori, hingga pembahasan. Untuk itulah, penulis mandok mauliate godang kepada Bu
Katrin atas dinamika positifnya yang akhirnya mampu membuka “ruang asyik” telaah
sastra bagi penulis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Dukungan moril dari amang dan oma, kedua adik
tercinta dan keluarga yang dengan sabarnya menunggu tanpa pernah bertanya “Kapan
selesai?” Jujur ini sangat banyak membantu penulis. Dukungan moril dari keluarga
jujur tak ubahnya menjadi “pelepas dahaga” penulis di tengah teriknya sorot
“matahari”.
Selanjutnya, penulis pun menghaturkan terima kasih kepada teman-teman
kerja di Duta Wacana. Berkat pertanyaan dan tuturan pragmatik yang kerap mendarat
di telinga penulis menjadikan tamparan berat untuk menyelesaikan tesis ini. Berkat
hal ini pula penulis menjadi termotivasi untuk segera menyelesaikan tesis ini.
Himpunan rasa terima kasih pun penulis haturkan kepada segenap dosen-
dosen yang ada di IRB Sanata Dharma. Cukilan-cukilan kesadaran yang diberikanlah
yang akhirnya membawa penulis untuk “berhenti” sejenak untuk melihat “kebatakan”
penulis sendiri. Secara khusus, kepada Rm. Banar yang dengan sabar masih mau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
“direpotin” dengan ide dan pertanyaan-pertanyaan penulis. Berkat bantuan Romo
pula penulis sangat terbantu selama proses perkuliahan di kampus, baik aspek
administrasi hingga menggores kesadaran penulis untuk melihat kembali identitas
etnis penulis. Matur Nuwun Romo.
Tidak ketinggalan juga, penulis menghaturkan terima kasih kepada Mbak
Desy yang telah banyak membantu penulis. Banyak hal yang telah diupayakan Mbak
Desy untuk mengingatkan hingga membantu kesulitas penulis dalam kaitannya
persoalan administrasi di kampus. Nuwun Mbak.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Untuk
itu, segala saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan segala
kerendahan hati dan harapan dapat lebih menyempurnakan penelitian ini. Penulis juga
berharap tesis ini bermanfaat bagi pembaca.
Salam
Hendra Sigalingging
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………….. ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………… iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………………… iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI …………………………. v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
ABSTRAK .................................................................................................... xi
ABSTRACT .................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................... 6
1.5. Tinjauan Pustaka ............................................................ 6
1.6 Landasan Teori ................................................................ 8
1.6.1 Representasi ........................................................ 9
1.2.2 Konsep Identitas Kultural ................................... 13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
1.7 Metode Penelitian............................................................ 18
1.7.1 Metode Deskriptif dan Analisis isi ...................... 18
1.7.2 Teknik Pengumpulan Data .................................. 19
1.8 Sumber Data ................................................................... 20
1.9 Sistematika Penyajian …..……………………………… 20
BAB II WACANA PUBLIK TENTANG INDORAYON ..................... 21
2.1 Relasi Masyarakat Batak dan Alam ................................ 23
2.2 PT.IIU dan Persoalan Tanah di Tanah Batak .................. 27
2.3 PT.Indorayon: Masalah Kronis di Tanah Batak .............. 51
2.4 Perlawanan-perlawanan terhadap PT.IIU ...................... 59
2.5 Rangkuman ..................................................................... 68
BAB III REPRESENTASI IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA
DALAM NOVEL BULAN LEBAM DI TEPIAN TOBA .............................. 72
3.1 Representasi Kearifan Lokal .......................................... 77
3.2 Pemahaman Terhadap perubahan Budaya dan Modernitas 86
3.3 Representasi Persepsi Pendidikan ................................... 97
3.4 Representasi Batak yang Stereotyping ............................ 100
3.4.1 Stereotipe Batak .................................................. 101
3.4.2 Pemikiran Tokoh Datu dan Monang: Representasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
Identitas Etnis Batak Toba. ................................. 111
3.4.2.1 Pemikiran Tokoh Datu : Representasi identitas etnis
Batak Toba Baru ................................................. 111
3.4.2.2 Pemikiran Tokoh Monang: Representasi Identitas
etnis Batak Toba Baru ......................................... 113
3.5 Rangkuman .................................................................... 122
BAB IV REPRESENTASI PT. INDORAYON DALAM NOVEL BULAN
LEBAM DI TEPIAN TOBA : KONSTRUKSI IDENTITAS ETNIS BATAK
TOBA …………………………………………. .................................... 127
4.1 Representasi PT.IIU dalam novel Bulan Lebam di Tepian
Toba …………………………………………………………… 128
4.2 Krtitik Novel Terhadap Indorayon ........................................ 137
4.3 Bulan Lebam di Tepian Toba: Politisasi identitas etnis
Batak Toba ………………………………………………………….. . 147
4.3.1 Konstruksi/Politisasi Identitas Etnis Batak ........................ 147
4.3.2 Persoalan Tanah: Kritik Perlawanan Terhadap PT.IIU….. 162
4.4 Rangkuman .......................................................................... 172
BAB V KESIMPULAN …………………………………………………… 176
Daftar Pustaka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
Abstrak
Kemajuan ekonomi yang ditawarkan oleh wacana industri kerap
memunculkan masalah dan kritik jika dihubungkan dengan komunitas masyarakat di
daerah-daerah di Indonesia. Wacana industri inilah yang kerap dikritik dalam
hubungan dengan masyarakat adat di Indonesia. Beragam hal yang bisa dikaji dari
hubungan ini, salah satunya adalah identitas etnis. Untuk itulah penulis memilih topik
politik identitas etnis Batak dalam kaitannya dengan wacana PT.Indorayon Inti
Utama. Politik identitas yang diteliti pun dikhususkan pada yang terepresentasi dalam
novel Bulan Lebam di Tepian Toba karya Sihar Ramses Simatupang. Ada tiga
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu posisi PT. Indorayon yang telah
menjadi wacana publik di Tanah Batak, representasi identitas etnis Batak yang ada
dalam novel, dan kritik yang ditawarkan oleh novel ini terkait identitas etnis Batak
Toba.
Dalam menjawab permasalahan penelitian ini, penulis menggunakan konsep
representasi dan identitas etnis (kultural) Stuart Hall. Representasi adalah citraan atau
imej yang hadir dari satu entitas atau satu realitas. Dalam konteks kajian budaya,
representasi digunakan untuk mensubordinasi, menstereotipan, mendialogkan,
menegosiasikan, atau mengkonstrusi identitas. Konsep identitas yang penulis
gunakan adalah identitas etnis yang menurut Hall adalah hasil konstruksi dari
wacana-wacana yang ada. Dalam konsep inilah dimunculkan politik identitas. Politik
identitas adalah upaya seseorang atau sekelompok manusia untuk mengartikulasikan,
memperjuangkan, dan menegosiasikan identitas diri atau kelompoknya.
Dari pembahasan yang dilakukan, ada tiga hasil penelitian ini. Pertama,
persoalan PT.IIU telah menjadi wacana publik. Hal ini dikarenakan masifnya
perlawanan masyarakat Batak hingga saat ini terhadap operasional PT.IIU. Di sini
pula dapat dilihat jika relasi manusia Batak dan tanahnya tidak menjadi fokus dalam
perlawanan masyarakat Batak berhadapan dengan PT.IIU. Kedua, representasi
identitas etnis Batak dalam novel ini memiliki sisi esensialis. Tidak berhenti di situ
saja, novel ini pun mengkonstruksi identitas Batak dengan menawarkan alternatif
identitas etnis Batak yang lebih positif. Ketiga, persoalan tanah dan konstruksi
identitas etnis Batak yang dibangun oleh novel atau pengarangnya adalah identitas
manusia Batak yang “kembali” pada nilai-nilai tradisi Batak yang sudah ada dan
pengembangan pola pikir kritis yang dapat meningkatkan posisi tawar manusia Batak
dalam menghadapi wacana PT.IIU.
Kata kunci: Representasi, identitas, identitas etnis, identitas etnis Batak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
Abstract
The economic progress which are offered by the industry discourse often
bring problems and criticism if it is connected with the communities in the regions in
Indonesia. The industry discourse are often criticized in relation to indigenous
peoples in Indonesia. There are many things that can be studied from this
relationship, one of them is the ethnic identity. For this reason, the author chose the
topic the politic of Batak ethnic identity in relation to the discourse PT.Indorayon Inti
Utama. Investigated identity politics are set aside in which is represented in the novel
Bulan Lebam di tepian Toba written by Sihar Ramses Simatupang. There are three
issues that were examined in this study: the position of PT. Indorayon who has
become the public discourse in North Sumatera, Batak ethnic identity representations
that exist in the novel, and criticism offered by this novel related Batak Toba ethnic
identity.
In answer to the problems of this study, the authors use the concept of
representation and ethnic identity (cultural) by Stuart Hall. Representations are the
images that appear from an entity or a reality. In the context of cultural studies, it
could be used to subordinate representations, strereotive, articulate, negotiate , or
conctruct the identity. The concept of identity which used is ethnic identity, according
to the Hall it’s the result of the construction of the many discourse. In this concept of
identity politics raised. Identity politics is a person or group of human effort to
articulate, fight and negotiate their identity or their group.
From the discussion that is done, there are three results of this research.
First, PT.IIU issue has become public discourse. This is because the massive
resistance of Batak society today against the operational PT.IIU. Here, it can be seen
if the human relations between Batak and the lands does not become the focus in
community Batak resistance against PT.IIU. Second, the representations of Batak
ethnic identity in this novel have essentialist side. The novel is also constructing
identity by offering an alternative of Batak ethnic identity to be more positive.
Thirdly, the issue of land and construction of the Batak ethnic identity which are
build by novel or its author is a "return " to the Batak traditional values of existing
and the development of critical thinking that can improve the bargaining position in
the face of the the PT.IIUdiscourse.
Key Words: representation, identity, ethnic identity, Batak ethnic identity.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Siapa Aku? Pertanyaan ini tentu saja merupakan pertanyaan klise
sekaligus “terbarukan” dalam wacana pengetahuan. Kedirian manusia menjadi
topik yang cenderung ada dan senantiasa menciptakan ruang analisis untuk
melihatnya. Pertanyaan ini pula yang menjadi momentum bagi penulis untuk
melihat kembali “kedirian” penulis. Penulis merasa pertanyaan ini bukanlah
sesuatu yang tidak penting dan tentunya tidak mudah juga untuk menjawabnya.
Penulis merasa jika di tengah kompleksitas yang membentuk dan terbentuk di
tengah diri penulis turut mempengaruhi penulis dalam pencarian jawabannya.
Pertanyaan perihal kedirian ini pula yang membawa penulis kepada satu
hal, yaitu identitas. Terma ini menjadi akar dan hasil akhir yang akan penulis coba
dalam penelitian kali ini. Identitas menjadi suatu problematika yang kembali
penulis kaji karena selama ini persoalan kedua hal ini seolah-olah “baik-baik”
saja, setidaknya di wilayah diri penulis sendiri.
Selama ini penulis merasa persoalan identitas semata hanya menjawab
pertanyaan”Kamu asli dari mana?” Jawaban pertanyaan ini tidak lagi “cukup” jika
si penjawab mengarahkan jawabannya pada level kedaerahan. Pertanyaan ini tentu
menarik untuk dikaji ulang mengingat perubahan dinamika masyarakat yang
semakin kompleks saat ini. Kompleksitas inilah yang membuat identitas tidak lagi
bisa terjawab penuh hanya dengan menjawab “asal daerah” atau etnisitas belaka.
Hall (1990) memaknai identitas sebagai suatu produksi, bukan esensi yang tetap
dan menetap. Dengan begitu, identitas selalu berproses, selalu membentuk, di dalam bukan di
luar representasi. Hal ini menandakan jika identitas bukanlah sesuatu yang tetap dan memiliki
“pakem” utuh yang akan bertahan dalam perkembangan zaman. Identitas bersifat “cair” dan
akan selalu berproses sesuai dengan dinamika dan wacana yang mengililinginya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Dalam kutipan Hall di atas dapat ditarik dua hal. Pertama, identitas akan selalu
berproses dan bersifat cair. Ini bisa dimaknai jika identitas merupakan entitas yang tidak
otonom dan bersifat mutlak. Kedua, adalah pembentukan identitas berlangsung dalam
representasi. Representasi yang dimaksud tentu saja, satu ruang yang tercipta dengan tujuan
menegosiasikan, mengkaji ulang, ataupun mengkonstruksi identitas itu sendiri. Konstruksi
identitas inilah yang akan terlihat melalui representasi.
Dalam kajian budaya sendiri, persoalan identitas akan bermuara pada anti-esensialis.
Dalam konteks ini, identitas dilihat sebagai hasil “bentukan” wacana yang mengubah
maknanya menurut waktu, tempat, dan penggunan (Barker, 2000:166). Dengan kata lain,
dapat ditarik sebuah “benang merah” jika persoalan identitas baik level personal maupun
sosial akan selalu saling tarik-menarik dengan wacana-wacana yang ada di antara mereka.
Wacana-wacana ini dapat berupa wacana tradisi, ekonomi, kultural, ataupun globalisasi.
Persinggungan atau “senggolan” antarwacana inilah yang menentukan atau
mengklasifikasikan “kecairan” pembentukan suatu identitas.
Pertemuan antarwacana yang memengaruhi proses pembentukan identitas tentu saja
menghadirkan satu ruang sebagai medianya. Dalam konteks ini, pertemuan antarwacana bisa
dilihat atau didapat dari seluruh varian wacana yang ada, termasuk sastra. Sastra bisa
dikatakan sebagai wacana yang mengupayakan pembentukan identitas, mengidentifikasi
identitas, atau merepresentasikan pertarungan identitas. Dalam hal ini, sastra bisa dilihat dari
dua dimensi. Dimensi pertama adalah sastra sebagai teks atau wacana yang ikut ambil bagian
sebagai pembentuk suatu identitas. Dalam dimensi ini, sastra dianggap sebagai upaya
pembentukan identitas atau politik identitas. Dimensi kedua adalah sastra yang ditempatkan
sebagai representasi. Dalam dimensi ini, karya sastra bisa dilihat sebagai representasi identitas
yang ada dalam suatu komunitas sosial.
Posisi sastra yang meliputi dua hal di atas, menstimulan penulis untuk melihat
identitas dengan menggunakan karya sastra. Dengan kata lain, kegelisahan penulis terkait
identitas bisa bertolak dari karya sastra. Penulis dapat menganalisis kegelisahan penulis terkait
identitas melalui analisis sebuah karya sastra, khususnya novel. Karya sastra yang penulis
gunakan adalah satu novel yang berjudul “Bulan Lebam di Tepian Toba”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Salah satu novel yang bisa mewakili kegelisahan penulis terkait identitas adalah
novel “Bulan Lebam di Tepian Danau Toba”. Novel ini sendiri penulis rasa bisa mewakili
kegelisahan penulis perihal identitas batak. Novel yang berlatarkan budaya batak ini dengan
cukup dominan membawa identitas batak sebagai entitas utama penceritaan. Dalam novel ini
pula penulis bisa melihat pertarungan identitas yang direpresentasikan di dalamnya. Untuk
itulah, penulis melibatkan novel ini sebagai objek kajian penulis untuk menganalisis politik
identitas, secara khusus identitas Batak Toba.
Dalam proses analisis politik identitas, penulis pun memfokuskan
konsentrasi pada identitas etnis Batak toba. Identitas ini sebenarnya hanya
didasarkan pada “etnisitas” bawaan karena penulis dilahirkan oleh orang tua yang
beretnis batak. Alhasil, secara tradisi penulis pun “di-batak-kan”. Dalam asumsi
penulis, identitas Batak toba yang hadir di sini adalah identitas sosial. Tentu saja,
identitas sosial di sini masih berupa identitas yang dihasilkan karena penulis
dilahirkan dari kedua orang tua yang beretnis Batak Toba dan dibesarkan dalam
budaya Batak Toba. Dengan kata lain, identitas batak toba penulis merupakan
konstruksi dari sistem sosial masyarakat Batak (baca: norma, adat, dan tradisi
Batak Toba).
Dalam level personal, konstruksi identitas batak sendiri telah melalui
perjumpaan dengan wacana-wacana yang bervarian. Hal ini dimulai dengan
identitas lahiriah penulis, identitas etnis penulis, identitas komunitas sosial
penulis, dan identitas pekerjaan penulis. Keseluruhan ini hanya menghasilkan
idealiasasi identitas yang penulis lakukan. Dengan kata lain, penulis bebas
menggunakan identitas personal penulis. Di sisi lain, kata “bebas” sendiri juga
bisa diartikan sebagai “keterkaitan” dengan yang lain. Hal yang lain penulis
maksudkan adalah wacana-wacana yang ada di luar diri penulis.
Wacana-wacana yang berada di luar penulis tentu saja bisa ditafsirkan
sebagai wacana-wacana yang ditumbuhkan atau dikonstruksi oleh sesuatu yang
bersifat dominan. Wacana ini bisa berupa norma, adat, agama, trend kemajuan
zaman, ataupun wacana industrial. Perjumpaan diri penulis dengan wacana-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
wacana ini tentu saja memengaruhi proses identifikasi identitas penulis sebagai
orang Batak Toba.
Uraian di atas sebenarnya juga dapat dilihat dalam novel. Seperti yang
penulis jelaskan sebelumnya, novel Bulan Lebam di Tepian Toba bisa mewakili
kegelisahan identitas penulis. Selain karena novel ini dominan bercerita tentang
identitas batak, novel ini pun menghadirkan wacana-wacana yang ikut berperan
dalam dialog identitas di dalamnya. Tokoh utama novel ini dihadirkan sebagai
wacana pembanding di tengah gempuran wacana kapital yang ada di dalamnya.
Hal inilah yang cenderung bisa mewakili kegelisahan penulis terkait identitas
batak yang secara subyektif penulis rasa selalu mengalami perubahan seiring
gempuran wacana global dan wacana kapital di dalamnya. Tentu saja, semua ini
berdampak pada perubahan budaya dan perubahan identitas itu sendiri.
Pertarungan wacana yang ada di dalam novel ini pun sebenarnya bisa
dilihat dari perspektif poskolonial. Novel ini merepresentasikan dua wacana yang
sangat berperan dalam pembentukan identitas batak toba, yaitu wacana tradisi
versus wacana modern; wacana desa versus wacana kota; wacana adat versus
wacana ekonomi. Wacana tradisi diwakili oleh tokoh-tokoh Batak yang ada di
dalamnya yang berjuang dengan kelestarian alam dan adat batak, sedangkan
wacana modern diwakili oleh tokoh-tokoh yang juga merupakan orang batak yang
cenderung percaya jika modernitas bisa dicapai dengan cara merepresi wacana
tradisi.
Salah satu wacana industri yang akan menjadi fokus pembahasan dalam
penelitian ini adalah PT. Indorayon Inti Utama (IIU). Persoalan Batak yang begitu
kompleks pada akhirnya penulis fokuskan pada PT.IIU saja. Hal ini didasarkan
pada korelasi dengan teks novel yang menjadi data utama dalam penelitian ini.
Dalam novel ini sendiri representasi wacana industri dihadirkan dengan sebutan
“pabrik kertas”. Merujuk hal inilah, penulis pada akhirnya memfokuskan PT.IIU
sebagai persoalan batak yang berhubungan dengan identitas etnis Batak
Toba.Oleh karena itu, hal ini bisa dibaca sebagai masyarakat batak di tanah
samosir versus PT. Indorayon yang mewakili wacana kapital.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Pertarungan wacana yang ada di dalam novel inilah yang menarik penulis
untuk melibatkannya dalam analisis politik identitas. Novel ini bisa penulis
tafsirkan sebagai representasi wacana kebatakan yang terjadi. Novel ini pula bisa
penulis posisikan sebagai teks yang sedang menegosiasikan atau memberi
alternatif terhadap wacana identitas etnis Batak Toba. Dengan kata lain, penulis
menempatkan teks ini sebagai salah satu wacana pembentuk identitas etnis Batak
Toba.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk melihat
politik identitas etnis Batak Toba dalam novel “Bulan Lebam di Tepian Toba”.
Untuk itulah penulis mengambil beberapa rumusan masalah yang terangkum di
bawah ini :
1.2.1 Bagaimana posisi PT. Indorayon dalam Persoalan Identitas Etnis Batak
Toba?
1.2.2 Bagaimana representasi identitas etnis Batak dalam novel Bulan Lebam di
Tepian Toba?
1.2.3 Kritik seperti apa yang ditawarkan oleh novel Bulan Lebam di Tepian
Toba terkait identitas etnis Batak Toba?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Mendeskripsikan posisi PT.Indorayon dan hubungannya dengan identitas
etnis Batak Toba.
1.3.2 Menganalisis secara tekstual perihal representasi identitas etnis Batak
Toba dalam novel Bulan Lebam di Tepian Danau Toba.
1.3.3 Menganalisis kritik yang ditawarkan oleh novel Bulan Lebam di Tepian
Toba” terkait identitas etnis Batak Toba .
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki dua poin manfaat, yaitu personal dan
khalayak umum. Dalam level personal, penelitian ini menjadi cara penulis untuk
melihat kembali identitas dan subyektivitas kebatakan penulis sendiri. Dengan
penelitian ini, paling tidak, penulis sadar jika identitas batak tidak pernah
“mapan”. Kedua hal ini bersifat “cair” dan cenderung akan selalu bergeser
berhadapan dengan perubahan yang ada di dalam dan di luarnya. Hal ini akan
bermanfaat bagi penulis untuk sadar dengan “kecairan” identitas batak yang
senantiasa berproses.
Level kedua adalah, manfaat kepada khalayak umum. Penelitian ini
diharapkan mampu membantu dalam wacana identitas. Kedua hal ini tentu saja
berguna untuk melihat kembali kedirian manusia di tengah pertarungan wacana
yang terjadi dalam masyarakat. Untuk itulah, penelitian ini diharapkan mampu
menjadi salah satu “cermin” dalam menentukan atau menegosiasikan identitas dan
subyektivtas masyarakat dalam menghadapi atau berintegrasi dengan wacana-
wacana yang ada. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu memberi
manfaat bagi khayalak umum jika identitas Batak Toba yang terbentuk bisa saja
terjadi atau dialami oleh seluruh etnis di Indonesia, tidak hanya etnis batak.
1.5 Tinjauan Pustaka
Topik identitas merupakan satu topik yang cukup sering dibahas dalam ranah
akademis. Topik ini telah cukup banyak menjadi bahan analisis beberapa disiplin
ilmu pengetahuan, termasuk kajian budaya. Untuk itulah, penulis akan
mendeskripsikan beberapa tulisan yang pernah menempatkan topik identitas
sebagai bahan analisisnya.
Penelitian pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Yusri Fajar (2010).
Dengan penelitiannya yang berjudul “Negosiasi Identitas pribumi dan Belanda
dalam Sastra Poskolonilai Indonesia Kontemporer, Fajar menganalisis perihal
identitas dalam kaitannya dengan cerita pendek “Bibir” karya Jamal T. Suryanata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
dan “Kanal” karya Ratna Indraswari Ibrahim. Penelitiannya menyimpulkan jika
tokoh Ratna dan Jamal di kedua cerpen tersebut tidak menarasikan upaya
resistensi. Kedua tokoh ini cenderung melegitimasi konstruksi identitas inferior
yang dilekatkan penjajah. Negosiasi identitas Belanda dan Indonesia dalam
“Bibir” dan “Kanal” sangat dinamis dan makin menunjukkan bahwa identitas di
zaman yang secara budaya serba hibrid ini sebagai akibat kolonialisasi dan
globalisasi adalah identitas yang berubah-ubah dan ambivalen.
Penelitian lainnya juga telah dilakukan oleh Paramita Ayuningtyas (2009).
Dalam tesisnya yang berjudul “Identitas Diri yang Dinamis; Analisis Identitas
Gender dalam Novel Breakfast on Pluto karya Patrick Mccabe”. Tesis ini
membahas identitas gender. Dengan menggunakan teori identitas Stuart Hall,
Ayunigtyas (2009) menunjukkan jika identitas gender memiliki potensi untuk
didekonstruksi. Hal inilah yang ditunjukkan oleh tokoh Patrick Branden.
Pemosisian yang dilakukan oleh komunitas sosial dan tubuhnya sendiri menjadi
satu halangannya dalam mentransformasikan identitas. Akan tetapi, Patrick
memiliki strategi untuk mentransformasikan identitas gender yang diinginkannya,
yaitu dengan dekonstruksi gender, dekorasi tubuh dan strategi naratif. Pada
akhirnya, penelitian ini berakhir dengan kesimpulan jika novel ini menawarkan
identitas yang dinamis atau fleksibel. Identitas adalah proses menjadi yang akan
terus terjadi dalam kehidupan manusia.
Topik identitas juga menjadi kajian yang dilakukan oleh Retnowati (2012).
Dengan penelitian yang berjudul “Pembentukan Identitas Tokoh Ian dalam Novel
5 CM karya Donny Dhirgantoro: Tinjauan Psikologi Sastra”, Retnowati (2012)
mendeskripsikan struktur pembentukan identitas tokoh Ian. dalam penelitian ini,
Retnowati menyimpulkan jika identitas tokoh Ian secara psikologis terbentuk
karena dua proses, yaitu imitasi dan identifikasi. Dua proses ini tentu saja
melibatkan pengaruh dari orang tua, lingkungan sosial, media, tokoh idola, dan
sahabat tokoh Ian.
Penelitian perihal identitas juga dilakukan oleh R. Myrna Nur Sakinah
dengan judul “Identitas dan Isu Politik pada Tokoh Perempuan Putri Cina dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Giok Tien dalam Novel Putri Cina karya Shindunata”. Dalam penelitian ini,
Sakinah (2012) menggunakan tinjauan Poskolonial. Penelitian ini
mendeskripsikan citraan identitas perempuan baik secara fisik, perilaku, psikis,
dan sosial. Citra fisik Putri Cina adalah seorang wanita Cina yang cantik jelita,
berperilaku baik dan lemah lembut, taat beragama. Tokoh Giok Tien
dideskripsikan sebagai seorang wanita yang cantik, berperilaku baik, setia
terhadap suami, dan mudah bersosialisasi dengan orang-orang pribumi.
Peran Putri Cina menunjukkan isu politik dalam proses pembauran etnis
yang ikut menyumbangkan perubahan di tanah air, sedangkan peran Giok Tien
dalam proses pembauran etnis adalah ikut mengharumkan nama kesenian Jawa,
yaitu ketoprak.
Seluruh tinjauan pustaka yang ada dalam subbab ini, menunjukkan jika
identitas merupakan satu topik kajian yang kerap digunakan untuk analisis teks
sastra. Identitas yang dianalisis pun mencakup identitas diri, identitas psikis, dan
identitas sosial. Tinjauan pustaka ini semakin menunjukkan posisi penelitan ini.
Penelitian ini mencoba melengkapi kajian terkait identitas dengan mengutamakan
identitas etnis di dalamnya. Tidak hanya mengidentifikasi identitas tokoh yang
ada dalam novel, penulis mencoba menempatkan novel yang dikaji dalam
hubungannya dengan operasional PT.Indorayon Inti Utama. Tentu saja, hal ini
dilihat sebagai kerangka politik identitas.
1.6. Landasan Teori
Dalam penelitian ini, tentu saja dituntut kehadiran teori sebagai dasar
bangunan ketika analisis pada bab selanjutnya. Sesuai dengan uraian pada subbab
latar belakang, penulis memfokuskan analisis hanya pada satu teks sastra saja,
yaitu novel Bulan Lebam di Tepian Danau Toba. Untuk itulah, penulis setidaknya
akan menggunakan dua konsep (teori) dalam menganalisis identitas Batak Toba
dalam novel ini. Dua konsep ini adalah konsep representasi dan konsep identitas
budaya (etnis) Stuart Hall.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Konsep representasi akan penulis aplikasikan ketika akan menganalisis
novel secara tekstual. Dengan kata lain, analisis naratif penulis lakukan dengan
bantuan konsep representasi dalam rangka untuk melihat “ruang” pembentukan
identitas batak di dalamnya.
Bagian kedua dari konsep yang akan dipakai adalah konsep identitas
kultural Stuart Hall. Konsep ini dipakai untuk mencari tahu politik identitas batak
toba yang terbentuk dalam novel ini. Pembahasan kedua konsep ini secara detail
akan dibahas pada bagian di bawah ini.
1.6.1 Representasi
Dalam konteks kehidupan sosial, terkadang manusia dituntut untuk
memposisikan diri. Pemosisian ini tentu saja dipengauhi oleh lingkungan sosial
yang ada di sekitarnya. Dalam beberapa dimensi, manusia akan memposisikan diri
sebagai bagian dari suatu kelompok ataupun bagian dari suatu kelompok yang
berbeda dengan kelompok lainnya. Pencarian persamaan atau perbedaaan diri
dengan orang atau kelompok lain tentu saja bisa didasarkan pada identitas.
Praktek pemosisian diri yang berdasar pada identitas inilah yang disebut dengan
politik identitas. Dengan kata lain, politik identitas bisa dimaknai sebagai upaya
manusia atau sekelompok manusia untuk mengartikulasikan atau
memperjuangkan atau menegosiasikan dirinya atau kelompok sosialnya.
Dalam proses pemosisian inilah, politik identitas meletakkan representasi
sebagai konsep yang penting. Representasi menjadi ruang bagi manusia untuk
menciptakan atau menegaskan identitas diri atau kelompoknya. Hal ini bisa
dilakukan sebagai respon atas marjinaliasi atau diskriminasi yang dialamai oleh
seseorang atau kelompok sosial.
Dalam diskursus kajian budaya sendiri, representasi yang dilakukan oleh
seseorang atau suatu kelompok kerap direspon dengan representasi juga. Dalam
representasi pula suatu identitas dapat dimarjinalisasikan, distreotipkan, ataupun
dinegosiasikan. Dengan kata lain, representasi ditafsirkan tidak hanya sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
citra diri yang didapat akan tetapi bisa dipahamai sebagai citra diri yang dibentuk.
Dalam konteks penelitian ini, citra diri inilah yang ditempatkan sebagai identitas.
Diskursus representasi sendiri menempatkan beberapa entitas yang bisa
digunakan dala repersentasi. Hal ini dapat berupa gambar, video, berita, seni,
maupun sastra. Dalam konteks inilah penulis menempatkan novel sebagai
representasi yang diupayakan dalam mempolitisasi suatu hal, termasuk identitas.
Dalam kajian budaya sendiri seluruh produk budaya dianggap atau diposisikan
sebagai teks yang “dimaknai” atau direinterpretasi sesuai dengan perspektif yang
dibangun. Di poin inilah penulis melihat ada signifkasi novel dalam kajian
penulis.
Novel Bulan Lebam di Tepian Toba sebagai representasi yang digunakan
oleh penulis. Dalam hal ini, reprsentasi ini dilakukan dalam upaya
mengkonstruksi atau mempolitisasi identitas Batak Toba. Representasi inilah yang
pada akhirnya “ikut ambil bagian” dalam diskursus identitas etnis Batak Toba,
secara khusus yang terkait dengan PT.IIU.
Representasi pada dasarnya adalah citraan yang hadir namun
menghadirkan sesuatu yang di luar dirinya. Representasi cenderung akan merujuk
pada hal-hal yang berada di luar objek yang direpresentasikan. Representasi
merupakan satu konsep yang mencoba menghadirkan gambaran perihal dunia
dengan segala halnya. Representasi sebenarnya bisa ditilik dari beberapa wacana
yang ada, misalnya semiotika, analisisi bahasa, ataupun analisis wacana. Hall
(1997) menjelaskan jika ada dua dimensi dalam konsep representasi. Dimensi
pertama adalah dimensi mental, artinya representasi berkerja sebagai proses
penandaan objek yang riil dan konsep mental dari partisipan komunikasinya. Hal
ini sebenarnya senada dengan konsep Saussure perihal langue (sistem bahasa) dan
parole (tuturan dengan segala variannya). Akan tetapi, menurut Hall, sistem
representasi tidak hanya berhenti di sini. Konsep representasi kedua menyentuh
dimensi wacana yang dikonstruk. Konsep ini menitikberatkan pada pemaknaan
yang sengaja dibentuk untuk menghadirkan (memaksa) suatu hal kepada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
interpretannya. Dalam beberapa sisi, pandangan Hall ini bisa dikatakan atau
diapropriasi dengan mitologi Roland Barthes. Dalam hal ini, proses penandaan
dalam analisis suatu teks bisa ditafsirkan sebagai investigasi politis yang ada
dalam suatu teks atau suatu representasi.
Hall juga menambahkan jika interpretasi terhadap konsep reprsentasi tidak
akan pernah selesai. Interpretasi akan terus berproses menghadirkan pemaknaan-
pemaknaan baru sehingga tidak akan bisa dikatakan jika “makna” suatu hal
merupakan makna akhir atau kebenaran yang absolut. Hal ini menandakan jika
dalam proses pemaknaan ini, representasi akan terus menghadirkan dimensi-
dimensi yang dapat dipakai untuk melihat pertarungan wacana yang ada di
dalamnya.
Konsep representasi merupakan salah satu konsep yang cukup penting
dalam ranah kajian budaya. Representasi menghubungkan bahasa dan makna
dalam budaya. Representasi merupakan bagian dari proses ketika satu makna
dibentuk atau dipertukarkan di antara anggota suatu kelompok budaya (Hall,
1997: 17).
Dalam representasi sendiri ada tiga pendekatan. Pendekatan pertama
adalah pendekatan reflektif. Pendekatan ini membahas cara bahasa mencerminkan
suatu makna yang telah ada perihal di dalam objek, masyarakat, ataupun fenomen-
fenoman yang terjadi. Pendekatan lainnya adalah pendekatan intensional.
Pendekatan ini memfokuskan analisisnya ucapan, pikiran, atau makna yang
sengaja ditekankan oleh seseorang. Pendekatan ketiga adalah pendekatan
konstruksionis (constructionist). Pendekatan ini menitikberatkan pada makna
suatu wacana yang dikonstruk untuk tujuan tertentu (Hall, 1997: 15).
Representasi adalah satu ranah yang bertujuan untuk membentuk suatu hal
atau membentuk suatu pemaknaan. Makna yang dihasilkan dalam proses ini
adalah makna yang diproduksi dan dibentuk. Hall (1993) dalam Cultural Identity
and Diaspora menjelaskan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
“Practices of representation always implicate the positions from which we
speak or write- the positions of enunciation. What recent theories of
enunciation suggest is that, though we speak, so to say in our own name,
of ourselves and from our own experience, nevertheless who speaks, and
the subject who is spoken of, are never identical, never exactly in the same
place. “
Kutipan di atas sangat jelas menunjukkan jika dalam representasi akan
terselip satu kepentingan yang sedang dibangun. Hubungan representasi dengan
apa yang dipresentasikan tentulah berpijak pada posisi subjek yang berbicara atau
menciptakan representasi dan subjek yang direpresentasikan. Hal ini menandakan
jika ada jarak atau jalur yang hadir atau dihadirkan dari yang dipresentasikan.
Hall juga menambahkan penjelasannya dengan menarasikan representasi
bangsa kulit hitam. Hall menjelaskan "the ways in which black people, black
experiences, were positioned and subject-ed in the dominant regimes of
representation were the effects of crtical exercise of cultural power and
normalization. Not only, in Saids Orientalist sense, were we constructed as
different and other whitin the categories of knowledge of the West by those
regimes. They had the power to make us see and experience ourselves as “Other”.
Every regime of representation is a regime power formed.” Kutipan di atas
menjelaskan representasi merupakan tindakan politis dari penguasa. Ini
mengindikasikan jika representasi menjadi ruang untuk mengkonstruk atau
memposisikan suatu subjek. Upaya ini dilegitimasi oleh jaringan kekuasaan yang
melibatkan pengetahuan di dalamnya.
Tentu saja, hal ini berlaku dalam konteks identitas. Representasi yang
telah dikutip dari Hall di atas mempertegas jika representasi-representasi terkait
identitas akan selalu memiliki kepentingan. Alhasil, kepentingan yang
dikonstruksi ini akan bermuara pada gagasan jika representasi itu sendiri bersifat
politis. Untuk keperluan penelitian ini, konsep representasi dipakai untuk melihat
ruang identitas yang dibentuk atau ditawarkan dalam novel.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
1.6.2 Konsep Identitas Kultural
Dalam diskursus yang terkait dengan identitas, pada prinsipnya melibatkan
dua proses relasi, yaitu relasi dengan dirinya sendiri dan relasi dengan orang lain.
Dalam relasi dengan dirinya sendiri, identitas akan dilihat sebagai pembentukan
citra diri yang didasarkan dari internal dirinya sendiri. Di sisi lain, relasi dengan
orang lainlah proses pembentukan identitas terjadi. Proses ini melibatkan sisi
eksternal dari identitas orang lain. Dengan kata lain, faktor eksternal inilah yang
terlibat dalam konstruksi identitas seseorang atau suatu kelompok sosial.
Hall dalam The Question of Cultural Identity (1996a) menjelaskan jika
terminologi identitas tidak bisa lagi disamakan dengan terminologi yang lama. Hal
ini dikarenakan pengaruh perkembangan zaman yang membuka ruang-ruang
individualisme. Ruang-ruang inilah yang memungkinkan terjadinya pembaharuan
konsep terkait dengan subyek dan identitas.
Perkembangan ini tentu saja membawa transformasi pada individu
manusia. Individualitas yang dihasilkan karena negosiasi dengan zaman inilah
yang mentransformasikan individu untuk mencoba melepaskan diri dari
“kungkungan” struktur sosial ataupun tradisi yang sudah ada. Salah satu ciri
modernitas yang turut mengubah tatanan sosial menurut Hall adalah penemuan
dan perkembangan mesin. Penemuan inilah yang menggeser paradigma identitas.1
Perkembangan mesin, secara khusus telah mengubah kehidupan masyarakat
sehingga memengaruhi identitas. Secara khusus munculnya mesin cetak
Wittenberg yang pada akhirnya memperkaya wacana-wacana yang ikut bagian
dalam pembentukan identitas.
Dalam penjelasannya tentang identitas, Hall melanjutkan dengan
klasifikasi identitas yang dirurut dari masa pencerahan hingga postmodernitas;
Subjek atau identitas yang bersifat esensialis, identitas yang stabil dan final,
1 ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
hingga identitas yang terbuka, kontradiktif, tidak selesai, dan terfragementasi
(postmodernisme).2
Dalam Identity, Community, Culture, Difference (1990), Hall
menambahkan jika “There are two kinds of identity, identity as being (which
offers a sense of unity and commonality) and identity as becoming (or a process of
identification, which shows the discontinuity in our identity formation)”. Dalam
perspektif pertama, identitas dilihat sebagai satu kesatuan yang dimiliki bersama.
Identitas tidak dapat terlepas dari rasa atau kesadaran terhadap ikatan kolektivitas.
Tentu saja, ini dapat dilihat dari kesamaan fisik, adat, norma, sejarah, dan leluhur.
Inilah yang mengikat atau menjadikan identitas seseorang.
Perspektif kedua terkait identitas bisa dikatakan sebagai pelengkap atau
anti-tesis dari perspektif pertama. Perspektif kedua memberikan satu argumentasi
jika subjek atau identitas tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang otonom dan stabil.
Subjek atau identitas tidak lagi dipahami secara sederhana. Identitas pada
perkembangannya dilihat sebagai proses identifikasi atau idealisasi terhadap
realitas yang membentuk subjek atau identitas tersebut. Identitas akhirnya dilihat
sebagai entitas yang cair, berproses, dan membentuk-terbentuk dengan seluruh
varian wacana yang mengelilinginya.
Dalam pandangan persepektif kedua inilah Hall menjabarkan
perkembangan identitas yang dilihatnya dari teori-teori sosial. Hall (1990)
mendeskripsikan sketsa perihal subjek dan identitas yang didasarkan pada teori
sosial; pada akhirnya disebut dengan “the final de-centering of the Cartesian
subject”. Pertama, diambil dari pemikiran Marx. Hall mencatat “Men make
history, but only on the basis of conditions which are not of their own making”.
Individu pada kenyataannya merupakan agen dari sejarah karena dihasilkan oleh
kondisi historikal yang dikonstruk oleh orang lain. Upaya ini dilakukan dengan
menggunakan sumber material maupun kultural yang diadopsi dari generasi
sebelumnya.
2 ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Kedua, diambil dari pemikiran Freud yang mengembangkan konsep
ketaksadaran. Dalam sketsa ini, identitas didasarkan pada proses simbolik dari
alam bawah sadar yang sangat berbeda bentuknya dari subyek rasional yang
memiliki identitas tetap. Sketsa ketiga adalah penjelaskan yang didasarkan pada
konsep lingustik strukturalis Saussure yang mencatat “We are not in any absolute
sense the authors of the statements we make or the meaning we express in
language”. Dengan kata lain, bahasa hanya bisa digunakan dalam rangka produksi
makna dengan memosisikan diri dalam aturan kebahasan (langage). Aturan-aturan
inilah yang berpadu dengan sistem dari makna itu sendiri yang disesuaikan
dengan konsesus kultural yang dipahami oleh individu tersebut. Bahasa bukanlah
merupakan sistem individu, melainkan sistem sosial.
Sketsa keempat merupakan pembahasan subyek yang merujuk pada teori
Foucault. Foucault menjelaskan mekanisme kekuasaan yang berasal dari
penelusuran sejarah di abad ke-20 yang disebutnya sebagai disciplinary power.
Foucault pun menjelaskan proses regulasi, pengawasan atau panopticon yang
mengatur atau mendisplinkan kelompok sosial, mapun individu. Hal ini tentu saja
menyentuh level kebertubuhan. Teori ini sendiri mambantu Hall untuk melihat
sejarah modernitas yang menunjukkan mekanisme kekuasaan dan kedispilinan
yang dijaringkan dalam bentuk hukum atau regulasi yang terinstitusi. Mekanisme
ini melibatkan penerapan kekuasaan dan pengetahuan yang selanjutnya disebut
individualizes yang terinternalisasi dalam tubuh seseorang. Sketsa terakhir adalah
pembahasan pusat diri yang didasarkan pada pemikir feminism. Identitas dilihat
sebagai krtik teori maupun gerakan sosial (gerakan mahasiswa atau gerakan
persamaan hak) yang marak dilakukan pada 1960-an.
Masih terkait dengan konstruksi identitas, Hall (1996a: 4-5) menjelaskan
jika :
“Identities are constructed within, not outside, discourse, we need to
understand them as a produced in specific historical and institutional sites
within specific discursive formations and practices, by specific enunciative
strategies. Moreover, they emerge within the play of specific modalities of
power, and thus are more product of the marking of difference and
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
exclusion, than they are the sign of an identical, naturally-constituted
unity- an identity in its traditional meaning”
Kutipan di atas menjelaskan jika identitas dibentuk di dalam wacana itu
sendiri. Mekanise inilah yang tersebar atau disebar oleh rejim penguasa. Strategi
kekuasaan yang menggunakan wacana ini dalam upaya melanggengkan
kekuasaan yang ada. Pembentukan identitas ini juga beroperasi dalam
pengetahuan dan praktik-praktik kekuasaan yang terinstitusi. Untuk menegaskan
hal ini, Hall juga menambahkan jika :
“Above all, and directly contrary to the form in which they are constantly
invoked, identities are constructed through, not outside, difference. This
entails the radically disturbing recognition that it is only through the
relation to the Other, the relation to what it is not, to precisely what it
lacks, to what has been called its constitutive outside and thus its identity
can be constructed (Derrida, 1981; Laclau, 1990; Butler, 1993).
Hall dalam Cultural Identity and Diaspora (1993) menjelaskan persoalan
identitas merupakan mekanisme produksi yang tidak akan pernah selesai. Dalam
proses inilah, representasi menjadi kunci utama dalam politik identitas. Oleh
karena itu, identitas akan selalu menyisakan masalah atau ruang dialog, termasuk
identitas kultural atau identitas etnis. Hall mencatat jika
“Identity is not as transparent or unproblematic as we think. Perhaps
instead of thinking of identity as an already accomplished fact, which the
new cultural practices then represent, we should think, instead, of identity
as a “production” which is never complete, always in process, and always
constituted within, not outside, representation. This view problematizes the
very authority and authencity to which the term, “cultural identity” lays
claim.
Terkait dengan identitas kultural, Hall (1996b) kembali menegaskan :
“There are at least two different ways of thinking about cultural identity.
The firs position defines “cultural identity in terms of one, shared culture,
a sort of collective one true self, hideing inside the many other. More
superficial or artificially imposed “selves”, which people with a shared
history and ancestry hold in common. Whitin the terms of this definition,
our cultural identities reflect the common historical experiences and
shared cultural codes which provide us, as one people”, with stable,
unchanging and continuous frames of reference and meaning. Beneath the
sifting divisions and vicissitudes of our actual history.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Kutipan ini menjelaskan jika identitas budya dilihat sebagai suatu kesatuan
yang dimiliki secara kolektif. Hal ini bisa ditandai dengan persamaan sejarah dan
leluhur. Identitas budaya merupakan cerminan kesamaan sejarah dan kode-kode
budaya yang membentuk seseorang menjadi satu kesatauan, walaupun dari "luar"
mereka terlihat tidak sama sekali pun. Perspektif ini menawarkan pandanagn jika
identitas budaya dapat terbentuk jika melihat kesamaan sejarah dan kode budaya
yang menyatukan mereka. Hal inilah yang mengidentifikasikan mereka sebagai
suatu kelompok.
Selain itu, Hall (1996b) juga menjelaskan posisi kedua dari identitas etnis
(budaya). Hall Mencatat jika,
“Cultural identity, in this second sense, is a matter of becoming as well as
of being. It belongs to the future as much as to past. It is not something
which already exist, transcending place, time, history, and culture.
Cultural identities come from somewhere, have histories. But, like
everything which is historical, they undergo constant transformation. Far
from being eternally fixed in some essentialised past, they are subject to
the continuous play of history, culture and power. Far from being
grounded in a mere recovery of the past, which is waiting to be found, and
which , when found, will secure our sense of ourselves into eternity,
identities are the names we give to the different ways we are positioned by,
and position ourselves within, the narratives of the past.”
Dari penjelasan Hall di atas, bisa ditafsirkan jika identitas kultural atau
identitas etnis merupakan hasil produksi yang dimulai dari masa lalu. Identitas
kultural atau etnis memiliki sejarahnya sendiri. Pada masa lampau, identitas
kultural ini memiliki tempat yang suci, transenden dan melingkupi seluruh aspek
kehidupan satu komunitas sosial. Hall juga mengingatkan jika identitas kultural
ini pun hasil ketertundukan atau ditransformasikan oleh penguasa. Ini akan selalu
melibatkan budaya dan kekuasaan. Mekanisme inilah yang senantiasa
melanggengkan paradigma identitas kultural seseorang. Berbicara perihal
mekanisme kekuasaan yang menggunakan representasi wacana ini, tentu saja akan
menegaskan satu hal, yaitu diposisikan. Identitas kultural merupakan hasil
pemosisian yang diterapkan dan dinarasikan sejak zaman dahulu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Pemosisian menjadi kata kunci dalam pemahaman identitas kultural Hall.
Kata “posisi” telah menghadirkan dua hal. Pertama, hal ini akan terkait dengan
pihak yang memposisikan dan pihak yang diposisikan. Hal ini tentu saja
menggunakan media representasi apapun. Dalam kerangka ini, penulis melihat
jika representasi adalah ruang politis. Oleh karena itu, identitas kultural pun bisa
ditafsirkan sebagai ruang politis. Kedua, identitas kultural atau identitas etnis
merupakan ruang identifikasi. Meminjam terma Lacan, identitas kultural dalam
perkembangannya merupakan hasil idealisasi atau apropriasi dari wacana yang
mengelilinginya.
Dengan kata lain, identitas kultural tidak bisa dipahami lagi sebagai
kesamaan nasib dan kesamaan kode-kode budaya dari suatu komunitas saja.
Identitas budaya sebaiknya dilihat sebagai entitas yang terus akan selalu
diproduksi, akan selalu tidak stabil, dan akan selalu teridentifikasi dengan wacana
yang ada. Untuk itu, perlu dilihat kembali mekanisme representasi atau mekanise
kekuasaan yang menggunakan wacana untuk melihat identitas budaya suatu
kelompok sosial. oleh karena itu, identitas budaya adalah terma yang sangat
politis. Hall menambahkan : “Cultural identities are the points of identification,
the unstable points of identification or suture, which are made, within the
discourse of history and culture. Not an essence but a positioning. Hence, there is
always a politics of identity, a politics of position, which has no absolute
guarantee in an unproblematic, transcendental “law of origin”
1.7.Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini ingin
menjelaskan dan menggambarkan politik identitas etnis Batak Toba yang
terangkum dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba. Setidaknya ada dua metode
penelitian yang digunakan, yaitu metode deskriptif dan metode analisis isi.
1.7.1 Metode Deskriptif dan Analisis Isi
Metode dekriptif merupakan metode penelitian yang memfokuskan pada
penggambaran atau deskripsi. Deskirpsi di sini bisa merupakan hasil klasifikasi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
hasil pengamatan, ataupun hasil pembacaan. Metode deskripsi penulis gunakan
dalam dua level. Level pertama, penulis menggunakannya untuk deskripsi wacana
public tentang Indorayon. Deskripsi yang dilakukan pun meliputi masalah-
masalah yang ada di seputar PT.IIU dan korelasinya dengan masyarakat Batak
Toba. Level kedua adalah deskripsi yang dilakukan untuk mendeskripsikan data-
data tekstual (novel). Data yang berupa kutipan-kutipan ini penulis deskripsikan
guna menjadi bahan analisis.
Setelah itu, secara khusus, metode penelitian yang akan dilakukan adalah
metode analisis isi (content analysis). Metode analisis ini menjadi metode yang
dominan penulis pakai. Metode ini dipakai untuk menyisir narasi yang ada dalam
novel dan menganalisis identitas batak yang ada dalam novel. Neuendorf (2002:
2) memberikan penjelas perihal analisis isi. Penjelasanya dapat dilihat pada
kutipan berikut ini:
“Content analysis may be briefly defined as the systematic, objective analysis of mesaage
characteristic. It includes the careful examination of human interactions; the analysis of
character in tv commercials, film, and novel; the computer-driven investigation of word
usage in newsreleases and political speeches; and so much more”.
Dalam pembahasannya, Hijmans (dalam Neuendorf, 2002 : 5) ada beberapa
domain utama dalam analisis ini, yaitu analisis retorik, analisis naratif, analisis
wacana, analisis struktural, analisis interpretatif, analisis percakapan, analisis
kritis,dan analisis normatif. Dalam penelitian ini secara khusus yang digunakan
adalah analisis naratif.
“This technique involves a description of formal narrative structure; attention focuses on
characters – their difficulties, choices, conflicts, complications, and developments. The
analyst is interested not in the text as such but in characters as carriers of the story. The
analysis involves reconstruction of the composition of narrative (Neuendorf, 2002 : 5).”
1.7.2 Teknik Pengumpulan Data.
Data utama dalam penelitian ini adalah novel. Untuk analisis isi, penulis
mengumpulkan data dengan menganalisis isi novel dengan didasarkan pada
identitas batak toba yang terpresentasikan di dalam novel. Data-data ini dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
berupa kata, kalimat, dialog, ataupun kejadian yang ada dalam novel. Semua ini
terkait dalam politik idenitas yang ada dalam novel.
1.8 Sumber Data
Penelitian ini adalah penelitian literatur sehingga sumber data yang
dominan adalah litarutur atau pustaka. Dalam penelitian ini, literatur utama yang
digunakan adalah novel “Bulan Lebam di Tepian Toba” karya Sihar Ramses
Simatupang. Lalu dalam analisis selanjutnya literatur yang dominan digunakan
ada dua buku. Buku pertama berjudul “Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan
Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak VS PT.Indorayon
Utama di Sumatera Utara” karya Dimpos Manalu. Buku kedua berjudul “Orang-
orang yang Dipaksa Kalah: Penguasa dan Aparat Keamanan Milik Siapa?”
karya Saur Tumiur Situmorang,dkk.
1.9 Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan disusun dalam lima bab. Bab pertama merupakan
pendahuluan yang berisi latar balakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab kedua merupakan deskripsi wacana publik tentang Indorayon. Hal ini
menjadi salah satu teks bandingan perihal realita yang terjadi dalam
masyarakat Batak. Bab ketiga merupakan analisis reprsentasi “kebatakan”
dalam novel “Bulan Lebam di Tepian Toba”. Bab keempat merupakan
analisis yang berisi kritik yang ditawarkan oleh novel Bulan Lebam di Tepian
Toba” terkait identitas batak toba yang ada dalam novel Bulan Lebam di
Tepian Toba. Bagian akhir dari penelitian ini adalah bab lima, yaitu penutup.
Bab ini berisi kesimpulan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
BAB II
Wacana Publik Tentang Indorayon
“Ini kampung nenek moyang kami, kenapa kami di sini dilarang mengambil kayu untuk memasak
nasi, padahal PT. Inti Indorayon Utama (selanjutnya disingkat: IIU) boleh menghabiskan hutan
ini? (Tempo dalam Situmorang, dkk., 2010: viii).
Satu kutipan di atas menjadi pembuka pembahasan dalam bab ini. Kutipan
di atas merupakan bagian pembuka Sekapur Sirih dari buku “Orang-Orang yang
Dipaksa Kalah; Penguasa dan Aparat Keamanan Milik Siapa?” Kutipan di atas
menjadi dasar pemikiran perihal salah satu problem atau masalah kebatakan yang
terjadi dalam masyarakat Batak, khususnya Batak Toba.3
Salah satu persoalan yang terjadi pada masyarakat Batak Toba hingga saat
ini adalah operasional PT.IIU. Keberadaan pabrik kertas ini memberikan dampak
yang tidak sedikit dalam kehidupan masyarakat Batak. Hal inilah yang membuat
penulis memosisikan PT.IIU pada pusat pembahasan bab ini. Keberadaan PT.IIU
yang sejak dekade 1980‟an masih menunjukkan perannya dalam berelasi dengan
masyarakat Batak Toba. Isu lingkungan, tanah adat, politik, dan dominasi
kekuasaan di dalamnya menjadikannya sebagai salah satu wacana yang memiliki
ekses pada diskursus identitas etnis Batak Toba.
Penelitian ini sendiri konteksnya adalah melihat politik identitas etnis
Batak yang ada dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba. Novel ini meletakkan
persoalan tanah dan relasi PT.IIU di dalamnya. Untuk itulah penulis
memposisikan PT.IIU dengan dinamika permasalahan yang ada sebagai pokok
bahasan bab ini. Tentu saja, hal ini difungsikan untuk memperlihatkan PT.IIU
yang berkolerasi dengan persoalan identitas etnis Batak. Dalam kerangka inilah,
penulis mencoba akan memperlihatkan persoalan PT.IIU yang telah menjadi
3 Catatan pembuka yang dilakukan oleh Saur Tumiur Situmorang, dkk. Buku yang berjudul Orang-Orang yang Dipaksa
Kalah (2010). Buku ini berisi laporan tertulis perihal kerugian yang dirasakan masyarakat Batak Toba terkait wacana PT.IIU
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
wacana publik dalam hubungannya dengan perubahan yang terjadi di Tanah
Batak.
Perubahan yang terjadi di Tanah Batak dengan operasional PT.IIU
menyentuh aspek lingkungan, masyarakat, ekonomi, dan sosial. Dalam uraian
yang terkait dengan lingkungan, pertama-tama penulis akan mendeskripsikan
relasi manusia Batak terhadap alam atau lingkungannya. Ini digunakan untuk
memperlihatkan bahwa alam atau lingkungan menjadi salah satu dimensi sentral
dalam kehidupan masyarakat Batak.
Pembahasan terkait lingkungan ini pun akan difokuskan pada aspek tanah.
Pembahasan ini akan digunakan untuk memperlihatkan operasional PT.IIU dibaca
sebagai satu “stimulan” persoalan tanah (lahan) yang pada akhirnya akan
menyentuh persoalan identitas etnis Batak. Dalam hubungannya dengan PT.IIU
inilah akan diperlihatkan jika tanah yang awalnya memiliki dimensi yang sangat
penting bagi manusia Batak dikomodifikasi oleh pelaku industri (PT.IIU) menjadi
objek materil nir-makna. Di sini akan diperlihatkan masuknya kapitalisme
khususnya dalam hal tanah. Selain itu, subbab ini akan diposisikan sebagai
penanda jika PT.IIU menjadi “masalah” yang turut “menggores identitas etnis
Batak.
Subbab selanjutnya adalah persoalan PT.IIU itu sendiri. Dalam subbab ini
akan dideskripsikan terkait operasional PT.IIU, masalah yang ditimbulkannya,
dan dinamika perjuangan masyarakat Batak dalam melawan PT.IIU. Dengan kata
lain, PT.IIU telah menjadi wacana publik. Pembahasan ini akan difungsikan untuk
memperlihatkan PT.IIU dominan dibicarakan karena dampak perusakan
lingkungan dan dampak ekonomi yang akhirnya merugikan masyarakat Batak.
Walau menyentuh aspek dampak sosial juga, akan tetapi pembahasan ini melihat
arus utama yang menjadi dasar perlawanan masyarakat Batak adalah perusakan
lingkungan dan eksesnya pada pendapatan ekonomi masyarakat Batak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
2.1 Relasi Masyarakat Batak dan Alam
Lingkungan akan menjadi topik utama yang ada dalam analisis di sini.
Lingkungan di sini pun sebenarnya mencakup aspek-aspek yang ada di dalamnya,
baik yang melibatkan unsur tanah, air, maupun udara. Untuk itulah, hal ini
mendapatkan posisi yang cukup sentra bagi manusia Batak, khususnya mengingat
relasi masyarakat Batak terkait dengan alamnya.
Salah satu poin yang bisa dilihat dari relasi masyarakat Batak dengan alam
lingkungannya dapat dilihat pada letusan gunung api Toba, sekitar 740.000 tahun
lalu. Ledakan gunung yang dibicarakan dalam ranah meteorologi dan geofisika,
diklaim sebagai salah satu letusan terbesar di dunia. Akan tetapi, klaim ini tidak
sesuai dengan masyarakat Toba dalam melihat letusan Gunung Api Toba yang
berasa dalam lingkungan area Danau Toba. Bagi masyarakat Batak, ini lebih
merupakan kisah masa lalu yang dibawa secara tiba-tiba dalam bentuk teori
letusan gunung. Ini sangatlah terasa asing mengingat dalam perspektif
kebudayaan Batak, Danau Toba merupakan sumber kehidupan dan berkah debata
(Tuhan) yang memiliki nilai spiritual dan nilai ekonomi di dalamnya. Untuk
itulah, kelestarian Danau Toba menjadi atensi seluruh masyarakat di Tanah Batak.
Sebagai contoh, letusan gunung Sinabung pada 2010 juga tidak mampu
mengubah persepsi masyarakat Batak terkait kealamannya. Tradisi dan upacara
pemujaan yang dilakukan pun, umumnya tetap dilakukan. Hal ini merupakan
simbolisasi doa-doa memohon keselamatan dari gagal panen, banjir, longsor, atau
penyakit, tetapi tidak secara khusus mengaitkannya dengan bahaya aktivitas
gunung api. Kosmologi pemikiran masyarakat Batak yang tampak di sini adalah
persepsi gunung api (alam) yang dilihat bukan sebagai sumber masalah.
Hal ini juga dapat dilihat dalam catatan yang dilansir Litbang Kompas
(2011), gunung aktif terdekat yang dikenal di Tano Batak adalah Pusuk Buhit di
dekat Pangururan, Ibu Kota Kabupaten Samosir, yang belum pernah mengirim
petaka kepada masyarakat. Hubungan masyarakat dengan Gunung Pusuk Buhit
merupakan hubungan mitologis bernuansa sejarah. Gunung Pusuk Buhit dipercaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
masyarakat sekitar Danau Toba sebagai gunung sakral, yang mampu memberikan
perlindungan dan berkah bagi mereka yang mengunjungi dan melantunkan doa di
sana.
Bagi masyarakat Batak Toba, bencana lebih dikaitkan dengan persoalan
kelestarian alam dan dampak perusakan hutan, serta perubahan sosial, daripada
bencana yang diakibatkan oleh letusan gunung atau gempa. Persoalan yang
diakibatkan oleh alam akan ditafsir sebagai siklus lingkungan yang biasa.
Persoalan bencana alam pun tidak terlalu banyak berdampak pada identitas Batak
Toba. Hal inilah yang sedikit berbeda jika bencana disebabkan oleh dunia
“industri” atau dalam bahasan bab ini, adalah bencana yang diakibatkan oleh
PT.IIU.
Salah satu unsur lingkungan yang mendapat posisi vital atau penting
dalam masyarakat Batak Toba adalah tanah. Tanah dalam kehidupan masyarakat
Batak Toba meliputi beberapa dimensi hidup bagi masyarakat Batak Toba. Hal
inilah yang akan penulis deskripsikan dalam pembahasan berikut ini.
Eratnya keterkaitan orang batak dengan tanah, secara implisit tersirat
dalam alam pikiran dan cita-cita hidup masyarakat Batak Toba yang mendasari
seluruh aspek kehidupannya. Bagi orang Batak Toba, misalnya cita-cita itu ialah
mencari hamoraon (kekayaan), hasangapon (kehormatan), dan Hagabeon
(keturunan) inherent dengan unsur tanah (Simanjutak, dkk. 2015: 3).4 Inherent
yang dimaksud tentulah keterlibatan tanah dalam menggapai cita-cita manusia
Batak. Manifestasinya sendiri dapat diwujudkan dengan beragam cara. Cita-cita
hamoraon terkait tanah sebagai produksi ekonomi keluarga. Hasangapon sendiri
dapat dicapai dengan tetap mempertahankan tanah leluhur kepada generasi
berikutnya.
Selain itu, mitologi kehidupan orang Batak dilukiskan seperti sebuah
pohon harihara (pohon beringin) yang menjulang tinggi dari benua bawah hingga
benua atas yang dinamakan juga harihara sundung di langit. Pohon inilah yang
4 Bungaran. A. Siamanjuntak, dkk. Karakter Batak: Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan (2015). Buku ini berisi ulasan tentang
perubahan karakter masyarakat Batak dari dulu hingga sekarang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
diyakini sebagai simbol dari dewata tertinggi dalam menyatukan segala kehidupan
dan mewakili segala tata tertib. Nasib setiap orang tercatat pada pohon tersebut
dan semua kehidupan bersumber daripadanya.5 Mitologi harihara selain
menunjukkan relasi ke atas yang ditujukan kepada penghormatan kepada dewata
tertinggi, secara implisit, mitologi ini dapat diinterpretasi pada kelekatan pohon
ini dengan tanah yang di bawahnya.
Selain mitologi ini, sebenarnya menurut penulis telah menjadi pandangan
umum jika suatu komunitas adat, termasuk Batak Toba akan dihiasi serangkaian
kebudayaan yang melibatkan alam di dalamnya, mulai dari mitologi hingga
simbol-simbol dalam upacara adat. Menurut penulis, hal inilah yang membuat
relasi manusia adat (Batak Toba) sangat dekat dengan unsur alam atau
lingkungannya.
Salah satu yang bisa dilihat dari hubungan manusia Batak dengan alamnya
(tanah) dapat dilihat dari mitologi Batak lainnnya. Dalam sistem keyakinan
masyarakat Toba yang tradisional, dikenal adanya konsep Ketuhanan, yakni
Debata Mulajadi Nabolon. Dalam mitologinya juga terdapat unsur tanah di
dalamnya. Debata Mulajadi Nabolon sebagai dewa pencipta memerintahkan
seorang puteri surga bernama Si Boru Deak Parujar turun ke benua tengah
dengan membawa sekepal tanah. Tanah itulah yang menjadi permulaan dari bumi
ini.6
Konsep benua tengah di atas merupakan salah satu kosmologi religi
masyarakat Batak Toba. Dalam konsep ini dipercaya jika ada tiga banua (benua),
yaitu banua ginjang (Benua atas), banua tonga (Benua Tengah: Bumi), dan banua
toru (Benua bawah). Dari mitologi ini dapat diperlihatkan jika asal muasal bumi
adalah “sekepal” tanah yang dibawa oleh Si Boru Deak Parujar. Oleh karenanya,
awal penciptaan bumi dan manusia Batak dimulai dari “sekepal” tanah ini.
Selain mitologi ini, relasi manusia Batak dengan alamnya dapat dilihat
kembali pada penentuan tempat tinggal atau pendirian pemukiman (huta) manusia
5 ibid
6 Bungaran. A. Simanjuntak, dkk. op.cit, hlm. 35.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Batak Toba. Huta tidak boleh didirikan di tempat yang diapit dua gunung. Hal ini
akan menyebabkan penghuni huta akan sakit-sakitan karena terpaan angin
gunung. Huta juga tidak boleh didirikan di sekitar kelokan sungai, karena rumah-
rumah yang didirikan di sana akan ditelan “nafas” sungai. Huta juga tidak boleh
didirikan di lembah karena tempat ini disebut “pelangi untuk minum”
(parsoburan ni halibutongan) atau tanah mati. Dengan kata lain, ini tempat
pemakaman7.
Dari konsep lokasi huta ini kembali diperlihatkan dimensi alam terhadap
kehidupan masyarakat Batak Toba. Hal ini semakin menandakan jika manusia
Batak telah memiliki konsep, kosmologi, dan relasi dengan alamnya yang telah
menjadi tradisi. Kesadaran inilah yang pada akhirnya menyebabkan “relasi” kuat
antara manusia Batak dan alamnya sehingga Bencana alam yang terjadi di
dalamnya tidak dianggap sebagai bencana yang akan “menganggu” kehidupan
atau identitas etnis Batak.
Dari uraian pembahasan yang ada di atas, setidaknya didapat gambaran
kesulitan mendudukan entitas Batak dengan menyampingkan mitologi dan alam
yang saling berelasional. Inilah yang banyak mempengaruhi masyarakat Batak
Toba dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain, relasional
ini telah menjadi software yang ada dalam masyarakat Batak Toba.
Dari uraian singkat ini dapat dilihat relasi Batak dan alamnya sangat kuat.
Bencana yang diakibatkan oleh alam tidak langsung berakibat atau berpengaruh
terhadap identitas etnis Batak. Bagi manusia Batak, ini bukanlah bencana. Untuk
itulah, PT.IIU yang memberikan “goncangan” terhadap relasional ini menjadi satu
fokus masalah yang pada akhirnya juga berkontribusi pada konstruksi identitas
etnis Batak Toba.
PT.IIU menjadi salah satu stimulan yang pada akhirnya memberikan jarak
antara manusia Batak dan alam lingkungannya. Hal ini akan secara khusus
dibahas pada subbab selanjutnya (subbab 2.3). dalam subbab ini telah
7 ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
dideskripsikan jika alam memiliki dimensi penting dan salah satu yang paling
mendasar adalah posisi tanah. Tanah dalam kehidupan manusia Batak memiliki
dimensi yang penting. Masalah tanah otomatis akan merujuk pada persoalan yang
akan memengaruhi kehidupan masyarakat Batak, termasuk identitas etnis Batak.
Untuk itulah penulis akan membahas posisi tanah bagi manusia Batak pada
subbab selanjutnya.
2.2 PT.IIU dan Persoalan Tanah di Tanah Batak
Berbicara perihal alam lingkungan, maka tidak bisa dikesampingkan tiga
unsur yang meliputi alam itu sendiri, yaitu udara, air, dan tanah. Dalam kaitannya
dengan inilah, sebagai pembuka awal dalam analisis masalah PT.IIU ini, penulis
akan membahas aspek tanah dan korelasinya dengan PT.IIU serta masyarakat
Batak Toba.
Aspek tanah yang akan penulis uraikan pertama adalah arti dan fungsi
tanah bagi masyarakat Batak Toba. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan
pentingnya tanah bagi manusia Batak. Ini tidak sama dengan pembahasan
sebelumnya karena akan memperlihatkan arti dan fungsi tanah dilihat dari dimensi
politik dan sosial, bukan alam secara keseluruhan. Lalu pembahasan dilanjutkan
dengan persoalan tanah di Batak dan hubungannya dengan operasional PT.IIU.
Arti dan fungsi tanah pertama yang akan penulis bahas dilihat dari sisi
politik. Pola perkampungan orang Batak Toba adalah berbanjar. Rumah-rumah
didirikan saling berhadapan dan di tengah terdapat halaman bersama untuk tempat
menjemur padi dan hasil produksi lainnya. Konsep berbanjar inilah yang
merepresentasikan konsep nenek moyang Batak yang mendesain agar seluruh
penghuni rumah di huta akan bisa saling bersosialisasi. Barisan rumah yang
berbanjar dan saling berhadapan merepresentasikan ketermudahan dalam
mengorganiasi warga huta jika ada suatu kegiatan sosial di dalamnya.
Halaman juga berguna sebagai tempat bertenun, bertukang, anak-anak
bermain, tempat remaja menari, martumba, dan mementaskan tarian adat
manortor, juga berfungsi sebagai tempat pelaksanaan berbagai upacara adat,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
ulaon alaman seperti perkawinan, kematian, meminta dan menolak hujan, upacara
inisisai, misalnya meratakan gigi mangalontik ipon. Selain itu, halaman juga
berfungsi sebagai tempat menyampaikan pengumuman, pasahat hon tinting dohot
boa-boa, tempat melaksanakan peradilan huta, tempat ternak, mencari makan dan
sebagainya. Dengan demikian, halaman berfungsi sebagai proses sosialiasi
(Simanjuntak, 2015: 30-31)8.
Konsep rumah berbanjar dan ketersediaan halaman yang luas menjadi
representasi kesatuan para penghuni huta. Halaman yang ada dalam satu huta
tidak memiliki pembatas dari satu rumah ke rumah lainnya. Halaman desa atau
huta adalah “milik bersama”. Karena itu, tidak terdapat pagar yang menandakan
atau membatasi milik pribadi. Dengan kata lain, sebenarnya halaman dalam huta
“mirip” dengan fungsi “alun-alun” dalam konsep Kraton. Halaman menjadi ruang
sosialisasi bagi penghuni huta.
Arti dan fungsi tanah kedua dilihat dari dimensi sosial. Salah satu satuan
permukiman pada masyarakat Batak Toba disebut huta, yang terdiri dari tanah
yang diperuntukkan bagi tapak rumah, pekarangan, jalan, ladang sekitar
pemukiman, mual, tepian, lumbung, parik, pagar tumbuhan, pekuburan,
pertukangan, tempat melaksanakan upacara dan aspek kehidupan lainnya. Huta
atau perkampungan dihuni oleh satu marga raja, marga tano, dengan boru
(pengambil istri). Perkampungan kecil biasanya dihuni oleh mereka yang berasal
dari satu nenek moyang dalam arti lima generasi ke atas sehingga dalam satu huta
jumlah rumah yang ada sekitar 10 – 25 rumah saja (Simanjuntak, 2015: 23).
Beberapa di antara huta tersebut memiliki dua buah parik, yakni parik
bulu suraton dan parik bulu duri. Di sekeliling parik sebelah luar, terdapat
sebidang tanah yang lebarnya lebih kurang 3 meter yang disebut anak bajang atau
suha. Tanahnya dipergunakan untuk perawatan dari parik-parik itu. Anak bajang
8 Bungaran. A. Siamanjuntak, dkk. Arti dan Fungsi Tanah bagi Masyarakat Batak Toba, Karo, Simalungun (2015). Buku ini
berisi tinjauan tradisi terkait arti dan fungsi tanah bagi masyarakat Batak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
atau suha tersebut boleh ditanami tetapi apabila tanahnya diperlukan untuk huta
maka tanaman-tanaman harus disingkirkan tanpa ganti rugi.9
Huta merupakan tempat tinggal bagi mereka yang satu marga, atau paling
tidak terdiri dari satu nenek (saompu) dengan atau tanpa disertai boru (pengambil
istri). Marga yang mendirikan huta dinamakan marga tano atau marga raja.
Marga-marga boru yang datang kemudian tidak memiliki hak golat. Mereka
hanya berharap memakai tanah setelah disetujui oleh marga raja.
Dari uraian di atas, tanah menjadi satu pembatas teritori satu keturunan
nenek moyang atau satu marga. Dalam satu batas teritorial inilah, aspek
kehidupan manusia Batak diatur dengan pembagian dan fungsi tanah yang ada.
Satu huta juga menandakan adanya kehidupan atau jaringan politik yang
mengatur posisi manusia Batak terkait dengan hubungan antarsatu marga. Di sini
pula yang pada perkembangannya akan memperlihatkan pembagian-pembagian
kerja ketika satu rumah akan melangsungkan pesta atau “hajatan”.
Bila suatu huta dianggap sudah padat, maka penduduk setempat
mengatasinya dengan mendirikan permukiman baru yang dinamakan lumban,
sosor, dan huta pagaran. Alasan pendirian pemukiman baru selain karena huta
induk sudah padat, juga adanya pertentangan atau permusuhan terutama karena
keinginan untuk memeroleh kehidupan yang lebih baik. Bisa pula, satu ompu
tertentu ingin berdiri sendiri atau memiliki kerajaan sendiri (manjae) bebas dari
kekuasaan huta induk.
Untuk mendirikan huta yang baru, seseorang harus memohon kepada Raja
huta atau raja doli di kampungnya. Permohonan terlebih dahulu menyampaikan
sulang-sulang (makanan persembahan) dalam suatu acara makan bersama,
sebagai pengantar dari permohonan tersebut. Jika Raja menyetujui, mereka
kemudian pergi ke lokasi yang dipilih untuk menyampaikan persembahan (bunti)
kepada Dewa penguasa tanah. Persembahan diletakkan di tengah lokasi tersebut
dan kemudian pada keempat titik tersebut calon perkampungan dibuat tanda-tanda
9 ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
batas (pago-pago). Kepada Raja huta disampaikan sibue oma-oma, yakni suatu
pemberian yang mengandung maksud agar usaha mereka berhasil (Simanjuntak,
2015: 24-25).
Untuk mengetahui keserasian lokasi tersebut untuk dijadikan pemukiman
(akan memberikan keselamatan, kesejahteraan, dan sebagainya) mereka kemudian
melakukan upacara magis yang disebut marmanuk diampang. Apabila upacara
magis tersebut memberi tanda-tanda kebaikan dan keserasian, maka pendiri desa
melaksanakan upacara pemberian makan adat (mangulangi) kepada Raja huta
induk dan sauadara-saudaranya yang akan ditinggalkan (Simanjuntak, 2015: 25).
Pembentukan huta baru juga menjadi representasi bahwa tanah atau
territorial bersifat politis mengingat, terbukanya satu ruang jika seorang ompu
ingin mendirikan wilayah kekuasannya sendiri. Hal ini tentu saja diatur dalam
hukum adat batak yang mengharuskan mereka melaporkan atau mendiskusikan
pendirian huta baru dengan Raja atau orang yang paling dituakan di situ
(penguasa). Sekali lagi, dalam hal inilah, dimensi politik melekat pada tanah,
khususnya pembagian territorial manusia Batak Toba.
Dalam perkembangan zaman yang semakin modern pun tanah atau lebih
tepatnya territorial ini pun cenderung sering digunakan dalam ranah politik. Hal
ini biasanya terjadi dengan menilik keterlibatan teritorial daerah dalam pemilihan
kepala daerah ataupun pemilihan calon legislatif dan kepala negara. Maka,
terirorial yang secara langsung mendeskripsikan peta persebaran marga menjadi
sasaran dalam menggalang suara dalam pemilihan umum. Karena sifatnya yang
masih memandang huta sebagai ikatan, maka bukan tidak mungkin,
kecenderungan satu orang yang dianggap tua atau ompu dalam satu huta akan
turut memengaruhi orang-orang yang ada di huta tersebut.
Dari pembahasan di atas, telah dideskripsikan jika tanah memiliki peran
penting dalam kehidupan manusia Batak. Arti dan fungsi tanah yang telah dibahas
meliputi dimensi sosial dan politik. Bahasan selanjutnya yang akan penulis
lakukan adalah pada perkembangnya di Tanah Batak terjadi perubahan karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
persoalan tanah yang terjadi. Hal ini distimulan dengan kehadiran negara dan
industri di dalamnya.
Jika menilik sebentar pada masa lalu, persinggungan dengan negara,
mengakibatkan masyarakat Batak harus mengakui jika negara memiliki hak untuk
mengklaim tanah sebagai milik negara. Satu pembaharuan yang sebenarnya
hingga saat ini tidak mampu menghadirkan kemajuan ekonomi bagi masyarakat.
Persinggungan dengan wac
Top Related