PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI · 2020. 1. 27. · f persetujuan tesis politik identitas...

196
POLITIK IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA DALAM NOVEL BULAN LEBAM DI TEPIAN TOBA KARYA SIHAR RAMSES SIMATUPANG Tesis Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Studi Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Oleh Hendra Sigalingging 116322018 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Transcript of PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI · 2020. 1. 27. · f persetujuan tesis politik identitas...

  • POLITIK IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA DALAM NOVEL BULAN

    LEBAM DI TEPIAN TOBA KARYA SIHAR RAMSES SIMATUPANG

    Tesis

    Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M.Hum) di

    Program Studi Magister Ilmu Religi dan Budaya

    Universitas Sanata Dharma

    Oleh

    Hendra Sigalingging

    116322018

    PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA

    2015

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • POLITIK II}ENTITAS ETI{IS BATAK TOBA DALAM NOYEL BULAN

    LEBAM DI TEPIAN TOBA KARYA SIHAR RAMSES SIMATUPAT{G

    Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar ll{agister Humaniora (M.Hum) di

    Program Studi Magister Ilmu Religi dan Bndaya

    Universitas Sanata Dharma

    Oleh

    Hendra Sigalingging

    11ffi2241&

    PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI I}AN BUDAYA

    TINIVE RSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA

    20ts

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • F

    PERSETUJUAN

    TESIS

    POLITIK IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA DALAM NOVEL BITLANLEBAM DI TEPIAN TOBA KARYA SIHAR RAMSES SIMATUPANG

    Oleh:

    Eendra Sigalingging

    Dr Katrin BandelPembimbing

    i

    I

    I

    I

    I

    Tanggal: 15

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • F

    r

    I

    t

    t

    I

    t

    t

    iI

    I

    i

    PENGESAHAN

    TESIS

    POLITIK IDBNTITAS ETNIS BATAK TOBA DALAM NOYBL BULAN

    LEBAM DI TEPIAN TOBA KARYA SIHAR RAMSES SIMATT'PANG

    Oleh:

    Hendra Sigalingging

    l[IM:116322018

    Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis

    Ketua

    Sekretari s/Ivfoderator

    Anggota

    3. Dr. Y. Tri Subagya

    t /*r7-..1 ... ---//.t/'.' .'

    IYogyakartta, I I November 2015

    lil

    I

    I

    I

    Pada

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • Yang bertanda tangan di bawah ini :

    Nama

    NIM

    Program

    Universitas

    PERNYATAA}I KEASLIA}\{

    : Hendra Sigalingging

    : 116322A18

    : Program Pascasmjana Ilmu Religi dan Budaya

    : Sanata Dharma

    Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis :

    Judul

    Pembimbing

    Tanggal diuji

    Adalah benar-benar

    Di dalam tesis ini ti

    saya ambil dengan cara

    mya gunakar

    penulis aslinya. Apabila

    meniru tulisan orang lain

    sanksi sesuai dengan

    Universitas Sanata Dharma

    (M.Hum.) yang telah saya peroleh.

    : Politik Identitas Ekris Batak Toba dalam Novel Bulan Lebam di

    Tepian Toba Karya Sihar Ramses Simatupang

    orang lain yang

    imat atau simbol yang

    pengakuan kepda

    tindakan menyalin atau

    ri, saya bersedia menerima

    Ilmu Religi dan Budaya

    gelar Magister Humaniora

    Yogyakarta, l5 Januari 2016

    Yang

    tv

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • -

    PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUKKEPENTINGAN AKADEMIS

    Nama : Hendra SigalinggingMM . tt6322}t8Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

    Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaanuniversitas sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul :

    POLTTIK IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA DALAM NOVEL BUL/IN LEBAM DITEPIAN TOBA KARYA SIHAR RAMSES SIMATUPANG

    Beserta prangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepadaPerpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentukmedia lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, danmempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlumeminta izin dan saya atau memberikan royalty kepada saya selama tetap mencanfumkan namasaya sebagai penulis.

    Demikianlah pernyataan ini saya tulis dengan sebenar-benarnya.

    Dibuat di : Yogyakarta

    Pada tanggal : 15 Januari 2A16

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • vi

    KATA PENGANTAR

    Pengerjaan tesis sederhana yang terbilang menelan waktu yang sangat

    panjang secara administrasi kampus ini, sangatlah memakan energi yang cukup

    banyak. Bukan hanya soal pengerjaan tesis ini saja yang memakan energi, akan tetapi

    catatan-catatan kaki yang membingkai proses “terburu-buru”nya penyelesaian tesis

    ini juga menyedot energi yang tidak sedikit. Jika diasosiasikan ini tak ubah seperti

    pemain sepak bola yang hanya berlatih 90 menit tetapi dalam kenyataannya harus

    melakukan 30 menit babak tambahan.

    Terlepas dari itu semua, akhirnya penulis menyelesaikan tesis ini. Tentu

    saja, tesis ini bisa terealisasikan berkat dorongan semangat dari Bu Katrin yang

    sangat membantu penulis. Hal ini dimulai dari pemilihan topik, perumusan masalah,

    teori, hingga pembahasan. Untuk itulah, penulis mandok mauliate godang kepada Bu

    Katrin atas dinamika positifnya yang akhirnya mampu membuka “ruang asyik” telaah

    sastra bagi penulis.

    Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan

    dukungan dari berbagai pihak. Dukungan moril dari amang dan oma, kedua adik

    tercinta dan keluarga yang dengan sabarnya menunggu tanpa pernah bertanya “Kapan

    selesai?” Jujur ini sangat banyak membantu penulis. Dukungan moril dari keluarga

    jujur tak ubahnya menjadi “pelepas dahaga” penulis di tengah teriknya sorot

    “matahari”.

    Selanjutnya, penulis pun menghaturkan terima kasih kepada teman-teman

    kerja di Duta Wacana. Berkat pertanyaan dan tuturan pragmatik yang kerap mendarat

    di telinga penulis menjadikan tamparan berat untuk menyelesaikan tesis ini. Berkat

    hal ini pula penulis menjadi termotivasi untuk segera menyelesaikan tesis ini.

    Himpunan rasa terima kasih pun penulis haturkan kepada segenap dosen-

    dosen yang ada di IRB Sanata Dharma. Cukilan-cukilan kesadaran yang diberikanlah

    yang akhirnya membawa penulis untuk “berhenti” sejenak untuk melihat “kebatakan”

    penulis sendiri. Secara khusus, kepada Rm. Banar yang dengan sabar masih mau

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • vii

    “direpotin” dengan ide dan pertanyaan-pertanyaan penulis. Berkat bantuan Romo

    pula penulis sangat terbantu selama proses perkuliahan di kampus, baik aspek

    administrasi hingga menggores kesadaran penulis untuk melihat kembali identitas

    etnis penulis. Matur Nuwun Romo.

    Tidak ketinggalan juga, penulis menghaturkan terima kasih kepada Mbak

    Desy yang telah banyak membantu penulis. Banyak hal yang telah diupayakan Mbak

    Desy untuk mengingatkan hingga membantu kesulitas penulis dalam kaitannya

    persoalan administrasi di kampus. Nuwun Mbak.

    Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Untuk

    itu, segala saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan segala

    kerendahan hati dan harapan dapat lebih menyempurnakan penelitian ini. Penulis juga

    berharap tesis ini bermanfaat bagi pembaca.

    Salam

    Hendra Sigalingging

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • viii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

    LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………….. ii

    LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………… iii

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………………… iv

    PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI …………………………. v

    KATA PENGANTAR .................................................................................. vi

    DAFTAR ISI ................................................................................................. viii

    ABSTRAK .................................................................................................... xi

    ABSTRACT .................................................................................................. xii

    BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ................................................................ 1

    1.2 Rumusan Masalah ........................................................... 5

    1.3 Tujuan Penelitian ............................................................ 5

    1.4 Manfaat Penelitian .......................................................... 6

    1.5. Tinjauan Pustaka ............................................................ 6

    1.6 Landasan Teori ................................................................ 8

    1.6.1 Representasi ........................................................ 9

    1.2.2 Konsep Identitas Kultural ................................... 13

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • ix

    1.7 Metode Penelitian............................................................ 18

    1.7.1 Metode Deskriptif dan Analisis isi ...................... 18

    1.7.2 Teknik Pengumpulan Data .................................. 19

    1.8 Sumber Data ................................................................... 20

    1.9 Sistematika Penyajian …..……………………………… 20

    BAB II WACANA PUBLIK TENTANG INDORAYON ..................... 21

    2.1 Relasi Masyarakat Batak dan Alam ................................ 23

    2.2 PT.IIU dan Persoalan Tanah di Tanah Batak .................. 27

    2.3 PT.Indorayon: Masalah Kronis di Tanah Batak .............. 51

    2.4 Perlawanan-perlawanan terhadap PT.IIU ...................... 59

    2.5 Rangkuman ..................................................................... 68

    BAB III REPRESENTASI IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA

    DALAM NOVEL BULAN LEBAM DI TEPIAN TOBA .............................. 72

    3.1 Representasi Kearifan Lokal .......................................... 77

    3.2 Pemahaman Terhadap perubahan Budaya dan Modernitas 86

    3.3 Representasi Persepsi Pendidikan ................................... 97

    3.4 Representasi Batak yang Stereotyping ............................ 100

    3.4.1 Stereotipe Batak .................................................. 101

    3.4.2 Pemikiran Tokoh Datu dan Monang: Representasi

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • x

    Identitas Etnis Batak Toba. ................................. 111

    3.4.2.1 Pemikiran Tokoh Datu : Representasi identitas etnis

    Batak Toba Baru ................................................. 111

    3.4.2.2 Pemikiran Tokoh Monang: Representasi Identitas

    etnis Batak Toba Baru ......................................... 113

    3.5 Rangkuman .................................................................... 122

    BAB IV REPRESENTASI PT. INDORAYON DALAM NOVEL BULAN

    LEBAM DI TEPIAN TOBA : KONSTRUKSI IDENTITAS ETNIS BATAK

    TOBA …………………………………………. .................................... 127

    4.1 Representasi PT.IIU dalam novel Bulan Lebam di Tepian

    Toba …………………………………………………………… 128

    4.2 Krtitik Novel Terhadap Indorayon ........................................ 137

    4.3 Bulan Lebam di Tepian Toba: Politisasi identitas etnis

    Batak Toba ………………………………………………………….. . 147

    4.3.1 Konstruksi/Politisasi Identitas Etnis Batak ........................ 147

    4.3.2 Persoalan Tanah: Kritik Perlawanan Terhadap PT.IIU….. 162

    4.4 Rangkuman .......................................................................... 172

    BAB V KESIMPULAN …………………………………………………… 176

    Daftar Pustaka

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xi

    Abstrak

    Kemajuan ekonomi yang ditawarkan oleh wacana industri kerap

    memunculkan masalah dan kritik jika dihubungkan dengan komunitas masyarakat di

    daerah-daerah di Indonesia. Wacana industri inilah yang kerap dikritik dalam

    hubungan dengan masyarakat adat di Indonesia. Beragam hal yang bisa dikaji dari

    hubungan ini, salah satunya adalah identitas etnis. Untuk itulah penulis memilih topik

    politik identitas etnis Batak dalam kaitannya dengan wacana PT.Indorayon Inti

    Utama. Politik identitas yang diteliti pun dikhususkan pada yang terepresentasi dalam

    novel Bulan Lebam di Tepian Toba karya Sihar Ramses Simatupang. Ada tiga

    permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu posisi PT. Indorayon yang telah

    menjadi wacana publik di Tanah Batak, representasi identitas etnis Batak yang ada

    dalam novel, dan kritik yang ditawarkan oleh novel ini terkait identitas etnis Batak

    Toba.

    Dalam menjawab permasalahan penelitian ini, penulis menggunakan konsep

    representasi dan identitas etnis (kultural) Stuart Hall. Representasi adalah citraan atau

    imej yang hadir dari satu entitas atau satu realitas. Dalam konteks kajian budaya,

    representasi digunakan untuk mensubordinasi, menstereotipan, mendialogkan,

    menegosiasikan, atau mengkonstrusi identitas. Konsep identitas yang penulis

    gunakan adalah identitas etnis yang menurut Hall adalah hasil konstruksi dari

    wacana-wacana yang ada. Dalam konsep inilah dimunculkan politik identitas. Politik

    identitas adalah upaya seseorang atau sekelompok manusia untuk mengartikulasikan,

    memperjuangkan, dan menegosiasikan identitas diri atau kelompoknya.

    Dari pembahasan yang dilakukan, ada tiga hasil penelitian ini. Pertama,

    persoalan PT.IIU telah menjadi wacana publik. Hal ini dikarenakan masifnya

    perlawanan masyarakat Batak hingga saat ini terhadap operasional PT.IIU. Di sini

    pula dapat dilihat jika relasi manusia Batak dan tanahnya tidak menjadi fokus dalam

    perlawanan masyarakat Batak berhadapan dengan PT.IIU. Kedua, representasi

    identitas etnis Batak dalam novel ini memiliki sisi esensialis. Tidak berhenti di situ

    saja, novel ini pun mengkonstruksi identitas Batak dengan menawarkan alternatif

    identitas etnis Batak yang lebih positif. Ketiga, persoalan tanah dan konstruksi

    identitas etnis Batak yang dibangun oleh novel atau pengarangnya adalah identitas

    manusia Batak yang “kembali” pada nilai-nilai tradisi Batak yang sudah ada dan

    pengembangan pola pikir kritis yang dapat meningkatkan posisi tawar manusia Batak

    dalam menghadapi wacana PT.IIU.

    Kata kunci: Representasi, identitas, identitas etnis, identitas etnis Batak

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xii

    Abstract

    The economic progress which are offered by the industry discourse often

    bring problems and criticism if it is connected with the communities in the regions in

    Indonesia. The industry discourse are often criticized in relation to indigenous

    peoples in Indonesia. There are many things that can be studied from this

    relationship, one of them is the ethnic identity. For this reason, the author chose the

    topic the politic of Batak ethnic identity in relation to the discourse PT.Indorayon Inti

    Utama. Investigated identity politics are set aside in which is represented in the novel

    Bulan Lebam di tepian Toba written by Sihar Ramses Simatupang. There are three

    issues that were examined in this study: the position of PT. Indorayon who has

    become the public discourse in North Sumatera, Batak ethnic identity representations

    that exist in the novel, and criticism offered by this novel related Batak Toba ethnic

    identity.

    In answer to the problems of this study, the authors use the concept of

    representation and ethnic identity (cultural) by Stuart Hall. Representations are the

    images that appear from an entity or a reality. In the context of cultural studies, it

    could be used to subordinate representations, strereotive, articulate, negotiate , or

    conctruct the identity. The concept of identity which used is ethnic identity, according

    to the Hall it’s the result of the construction of the many discourse. In this concept of

    identity politics raised. Identity politics is a person or group of human effort to

    articulate, fight and negotiate their identity or their group.

    From the discussion that is done, there are three results of this research.

    First, PT.IIU issue has become public discourse. This is because the massive

    resistance of Batak society today against the operational PT.IIU. Here, it can be seen

    if the human relations between Batak and the lands does not become the focus in

    community Batak resistance against PT.IIU. Second, the representations of Batak

    ethnic identity in this novel have essentialist side. The novel is also constructing

    identity by offering an alternative of Batak ethnic identity to be more positive.

    Thirdly, the issue of land and construction of the Batak ethnic identity which are

    build by novel or its author is a "return " to the Batak traditional values of existing

    and the development of critical thinking that can improve the bargaining position in

    the face of the the PT.IIUdiscourse.

    Key Words: representation, identity, ethnic identity, Batak ethnic identity.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 1

    Bab I

    Pendahuluan

    1.1 Latar Belakang

    Siapa Aku? Pertanyaan ini tentu saja merupakan pertanyaan klise

    sekaligus “terbarukan” dalam wacana pengetahuan. Kedirian manusia menjadi

    topik yang cenderung ada dan senantiasa menciptakan ruang analisis untuk

    melihatnya. Pertanyaan ini pula yang menjadi momentum bagi penulis untuk

    melihat kembali “kedirian” penulis. Penulis merasa pertanyaan ini bukanlah

    sesuatu yang tidak penting dan tentunya tidak mudah juga untuk menjawabnya.

    Penulis merasa jika di tengah kompleksitas yang membentuk dan terbentuk di

    tengah diri penulis turut mempengaruhi penulis dalam pencarian jawabannya.

    Pertanyaan perihal kedirian ini pula yang membawa penulis kepada satu

    hal, yaitu identitas. Terma ini menjadi akar dan hasil akhir yang akan penulis coba

    dalam penelitian kali ini. Identitas menjadi suatu problematika yang kembali

    penulis kaji karena selama ini persoalan kedua hal ini seolah-olah “baik-baik”

    saja, setidaknya di wilayah diri penulis sendiri.

    Selama ini penulis merasa persoalan identitas semata hanya menjawab

    pertanyaan”Kamu asli dari mana?” Jawaban pertanyaan ini tidak lagi “cukup” jika

    si penjawab mengarahkan jawabannya pada level kedaerahan. Pertanyaan ini tentu

    menarik untuk dikaji ulang mengingat perubahan dinamika masyarakat yang

    semakin kompleks saat ini. Kompleksitas inilah yang membuat identitas tidak lagi

    bisa terjawab penuh hanya dengan menjawab “asal daerah” atau etnisitas belaka.

    Hall (1990) memaknai identitas sebagai suatu produksi, bukan esensi yang tetap

    dan menetap. Dengan begitu, identitas selalu berproses, selalu membentuk, di dalam bukan di

    luar representasi. Hal ini menandakan jika identitas bukanlah sesuatu yang tetap dan memiliki

    “pakem” utuh yang akan bertahan dalam perkembangan zaman. Identitas bersifat “cair” dan

    akan selalu berproses sesuai dengan dinamika dan wacana yang mengililinginya.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 2

    Dalam kutipan Hall di atas dapat ditarik dua hal. Pertama, identitas akan selalu

    berproses dan bersifat cair. Ini bisa dimaknai jika identitas merupakan entitas yang tidak

    otonom dan bersifat mutlak. Kedua, adalah pembentukan identitas berlangsung dalam

    representasi. Representasi yang dimaksud tentu saja, satu ruang yang tercipta dengan tujuan

    menegosiasikan, mengkaji ulang, ataupun mengkonstruksi identitas itu sendiri. Konstruksi

    identitas inilah yang akan terlihat melalui representasi.

    Dalam kajian budaya sendiri, persoalan identitas akan bermuara pada anti-esensialis.

    Dalam konteks ini, identitas dilihat sebagai hasil “bentukan” wacana yang mengubah

    maknanya menurut waktu, tempat, dan penggunan (Barker, 2000:166). Dengan kata lain,

    dapat ditarik sebuah “benang merah” jika persoalan identitas baik level personal maupun

    sosial akan selalu saling tarik-menarik dengan wacana-wacana yang ada di antara mereka.

    Wacana-wacana ini dapat berupa wacana tradisi, ekonomi, kultural, ataupun globalisasi.

    Persinggungan atau “senggolan” antarwacana inilah yang menentukan atau

    mengklasifikasikan “kecairan” pembentukan suatu identitas.

    Pertemuan antarwacana yang memengaruhi proses pembentukan identitas tentu saja

    menghadirkan satu ruang sebagai medianya. Dalam konteks ini, pertemuan antarwacana bisa

    dilihat atau didapat dari seluruh varian wacana yang ada, termasuk sastra. Sastra bisa

    dikatakan sebagai wacana yang mengupayakan pembentukan identitas, mengidentifikasi

    identitas, atau merepresentasikan pertarungan identitas. Dalam hal ini, sastra bisa dilihat dari

    dua dimensi. Dimensi pertama adalah sastra sebagai teks atau wacana yang ikut ambil bagian

    sebagai pembentuk suatu identitas. Dalam dimensi ini, sastra dianggap sebagai upaya

    pembentukan identitas atau politik identitas. Dimensi kedua adalah sastra yang ditempatkan

    sebagai representasi. Dalam dimensi ini, karya sastra bisa dilihat sebagai representasi identitas

    yang ada dalam suatu komunitas sosial.

    Posisi sastra yang meliputi dua hal di atas, menstimulan penulis untuk melihat

    identitas dengan menggunakan karya sastra. Dengan kata lain, kegelisahan penulis terkait

    identitas bisa bertolak dari karya sastra. Penulis dapat menganalisis kegelisahan penulis terkait

    identitas melalui analisis sebuah karya sastra, khususnya novel. Karya sastra yang penulis

    gunakan adalah satu novel yang berjudul “Bulan Lebam di Tepian Toba”.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 3

    Salah satu novel yang bisa mewakili kegelisahan penulis terkait identitas adalah

    novel “Bulan Lebam di Tepian Danau Toba”. Novel ini sendiri penulis rasa bisa mewakili

    kegelisahan penulis perihal identitas batak. Novel yang berlatarkan budaya batak ini dengan

    cukup dominan membawa identitas batak sebagai entitas utama penceritaan. Dalam novel ini

    pula penulis bisa melihat pertarungan identitas yang direpresentasikan di dalamnya. Untuk

    itulah, penulis melibatkan novel ini sebagai objek kajian penulis untuk menganalisis politik

    identitas, secara khusus identitas Batak Toba.

    Dalam proses analisis politik identitas, penulis pun memfokuskan

    konsentrasi pada identitas etnis Batak toba. Identitas ini sebenarnya hanya

    didasarkan pada “etnisitas” bawaan karena penulis dilahirkan oleh orang tua yang

    beretnis batak. Alhasil, secara tradisi penulis pun “di-batak-kan”. Dalam asumsi

    penulis, identitas Batak toba yang hadir di sini adalah identitas sosial. Tentu saja,

    identitas sosial di sini masih berupa identitas yang dihasilkan karena penulis

    dilahirkan dari kedua orang tua yang beretnis Batak Toba dan dibesarkan dalam

    budaya Batak Toba. Dengan kata lain, identitas batak toba penulis merupakan

    konstruksi dari sistem sosial masyarakat Batak (baca: norma, adat, dan tradisi

    Batak Toba).

    Dalam level personal, konstruksi identitas batak sendiri telah melalui

    perjumpaan dengan wacana-wacana yang bervarian. Hal ini dimulai dengan

    identitas lahiriah penulis, identitas etnis penulis, identitas komunitas sosial

    penulis, dan identitas pekerjaan penulis. Keseluruhan ini hanya menghasilkan

    idealiasasi identitas yang penulis lakukan. Dengan kata lain, penulis bebas

    menggunakan identitas personal penulis. Di sisi lain, kata “bebas” sendiri juga

    bisa diartikan sebagai “keterkaitan” dengan yang lain. Hal yang lain penulis

    maksudkan adalah wacana-wacana yang ada di luar diri penulis.

    Wacana-wacana yang berada di luar penulis tentu saja bisa ditafsirkan

    sebagai wacana-wacana yang ditumbuhkan atau dikonstruksi oleh sesuatu yang

    bersifat dominan. Wacana ini bisa berupa norma, adat, agama, trend kemajuan

    zaman, ataupun wacana industrial. Perjumpaan diri penulis dengan wacana-

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 4

    wacana ini tentu saja memengaruhi proses identifikasi identitas penulis sebagai

    orang Batak Toba.

    Uraian di atas sebenarnya juga dapat dilihat dalam novel. Seperti yang

    penulis jelaskan sebelumnya, novel Bulan Lebam di Tepian Toba bisa mewakili

    kegelisahan identitas penulis. Selain karena novel ini dominan bercerita tentang

    identitas batak, novel ini pun menghadirkan wacana-wacana yang ikut berperan

    dalam dialog identitas di dalamnya. Tokoh utama novel ini dihadirkan sebagai

    wacana pembanding di tengah gempuran wacana kapital yang ada di dalamnya.

    Hal inilah yang cenderung bisa mewakili kegelisahan penulis terkait identitas

    batak yang secara subyektif penulis rasa selalu mengalami perubahan seiring

    gempuran wacana global dan wacana kapital di dalamnya. Tentu saja, semua ini

    berdampak pada perubahan budaya dan perubahan identitas itu sendiri.

    Pertarungan wacana yang ada di dalam novel ini pun sebenarnya bisa

    dilihat dari perspektif poskolonial. Novel ini merepresentasikan dua wacana yang

    sangat berperan dalam pembentukan identitas batak toba, yaitu wacana tradisi

    versus wacana modern; wacana desa versus wacana kota; wacana adat versus

    wacana ekonomi. Wacana tradisi diwakili oleh tokoh-tokoh Batak yang ada di

    dalamnya yang berjuang dengan kelestarian alam dan adat batak, sedangkan

    wacana modern diwakili oleh tokoh-tokoh yang juga merupakan orang batak yang

    cenderung percaya jika modernitas bisa dicapai dengan cara merepresi wacana

    tradisi.

    Salah satu wacana industri yang akan menjadi fokus pembahasan dalam

    penelitian ini adalah PT. Indorayon Inti Utama (IIU). Persoalan Batak yang begitu

    kompleks pada akhirnya penulis fokuskan pada PT.IIU saja. Hal ini didasarkan

    pada korelasi dengan teks novel yang menjadi data utama dalam penelitian ini.

    Dalam novel ini sendiri representasi wacana industri dihadirkan dengan sebutan

    “pabrik kertas”. Merujuk hal inilah, penulis pada akhirnya memfokuskan PT.IIU

    sebagai persoalan batak yang berhubungan dengan identitas etnis Batak

    Toba.Oleh karena itu, hal ini bisa dibaca sebagai masyarakat batak di tanah

    samosir versus PT. Indorayon yang mewakili wacana kapital.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 5

    Pertarungan wacana yang ada di dalam novel inilah yang menarik penulis

    untuk melibatkannya dalam analisis politik identitas. Novel ini bisa penulis

    tafsirkan sebagai representasi wacana kebatakan yang terjadi. Novel ini pula bisa

    penulis posisikan sebagai teks yang sedang menegosiasikan atau memberi

    alternatif terhadap wacana identitas etnis Batak Toba. Dengan kata lain, penulis

    menempatkan teks ini sebagai salah satu wacana pembentuk identitas etnis Batak

    Toba.

    1.2 Rumusan Masalah

    Dari uraian latar belakang di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk melihat

    politik identitas etnis Batak Toba dalam novel “Bulan Lebam di Tepian Toba”.

    Untuk itulah penulis mengambil beberapa rumusan masalah yang terangkum di

    bawah ini :

    1.2.1 Bagaimana posisi PT. Indorayon dalam Persoalan Identitas Etnis Batak

    Toba?

    1.2.2 Bagaimana representasi identitas etnis Batak dalam novel Bulan Lebam di

    Tepian Toba?

    1.2.3 Kritik seperti apa yang ditawarkan oleh novel Bulan Lebam di Tepian

    Toba terkait identitas etnis Batak Toba?

    1.3. Tujuan Penelitian

    1.3.1 Mendeskripsikan posisi PT.Indorayon dan hubungannya dengan identitas

    etnis Batak Toba.

    1.3.2 Menganalisis secara tekstual perihal representasi identitas etnis Batak

    Toba dalam novel Bulan Lebam di Tepian Danau Toba.

    1.3.3 Menganalisis kritik yang ditawarkan oleh novel Bulan Lebam di Tepian

    Toba” terkait identitas etnis Batak Toba .

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 6

    1.4 Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan memiliki dua poin manfaat, yaitu personal dan

    khalayak umum. Dalam level personal, penelitian ini menjadi cara penulis untuk

    melihat kembali identitas dan subyektivitas kebatakan penulis sendiri. Dengan

    penelitian ini, paling tidak, penulis sadar jika identitas batak tidak pernah

    “mapan”. Kedua hal ini bersifat “cair” dan cenderung akan selalu bergeser

    berhadapan dengan perubahan yang ada di dalam dan di luarnya. Hal ini akan

    bermanfaat bagi penulis untuk sadar dengan “kecairan” identitas batak yang

    senantiasa berproses.

    Level kedua adalah, manfaat kepada khalayak umum. Penelitian ini

    diharapkan mampu membantu dalam wacana identitas. Kedua hal ini tentu saja

    berguna untuk melihat kembali kedirian manusia di tengah pertarungan wacana

    yang terjadi dalam masyarakat. Untuk itulah, penelitian ini diharapkan mampu

    menjadi salah satu “cermin” dalam menentukan atau menegosiasikan identitas dan

    subyektivtas masyarakat dalam menghadapi atau berintegrasi dengan wacana-

    wacana yang ada. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu memberi

    manfaat bagi khayalak umum jika identitas Batak Toba yang terbentuk bisa saja

    terjadi atau dialami oleh seluruh etnis di Indonesia, tidak hanya etnis batak.

    1.5 Tinjauan Pustaka

    Topik identitas merupakan satu topik yang cukup sering dibahas dalam ranah

    akademis. Topik ini telah cukup banyak menjadi bahan analisis beberapa disiplin

    ilmu pengetahuan, termasuk kajian budaya. Untuk itulah, penulis akan

    mendeskripsikan beberapa tulisan yang pernah menempatkan topik identitas

    sebagai bahan analisisnya.

    Penelitian pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Yusri Fajar (2010).

    Dengan penelitiannya yang berjudul “Negosiasi Identitas pribumi dan Belanda

    dalam Sastra Poskolonilai Indonesia Kontemporer, Fajar menganalisis perihal

    identitas dalam kaitannya dengan cerita pendek “Bibir” karya Jamal T. Suryanata

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 7

    dan “Kanal” karya Ratna Indraswari Ibrahim. Penelitiannya menyimpulkan jika

    tokoh Ratna dan Jamal di kedua cerpen tersebut tidak menarasikan upaya

    resistensi. Kedua tokoh ini cenderung melegitimasi konstruksi identitas inferior

    yang dilekatkan penjajah. Negosiasi identitas Belanda dan Indonesia dalam

    “Bibir” dan “Kanal” sangat dinamis dan makin menunjukkan bahwa identitas di

    zaman yang secara budaya serba hibrid ini sebagai akibat kolonialisasi dan

    globalisasi adalah identitas yang berubah-ubah dan ambivalen.

    Penelitian lainnya juga telah dilakukan oleh Paramita Ayuningtyas (2009).

    Dalam tesisnya yang berjudul “Identitas Diri yang Dinamis; Analisis Identitas

    Gender dalam Novel Breakfast on Pluto karya Patrick Mccabe”. Tesis ini

    membahas identitas gender. Dengan menggunakan teori identitas Stuart Hall,

    Ayunigtyas (2009) menunjukkan jika identitas gender memiliki potensi untuk

    didekonstruksi. Hal inilah yang ditunjukkan oleh tokoh Patrick Branden.

    Pemosisian yang dilakukan oleh komunitas sosial dan tubuhnya sendiri menjadi

    satu halangannya dalam mentransformasikan identitas. Akan tetapi, Patrick

    memiliki strategi untuk mentransformasikan identitas gender yang diinginkannya,

    yaitu dengan dekonstruksi gender, dekorasi tubuh dan strategi naratif. Pada

    akhirnya, penelitian ini berakhir dengan kesimpulan jika novel ini menawarkan

    identitas yang dinamis atau fleksibel. Identitas adalah proses menjadi yang akan

    terus terjadi dalam kehidupan manusia.

    Topik identitas juga menjadi kajian yang dilakukan oleh Retnowati (2012).

    Dengan penelitian yang berjudul “Pembentukan Identitas Tokoh Ian dalam Novel

    5 CM karya Donny Dhirgantoro: Tinjauan Psikologi Sastra”, Retnowati (2012)

    mendeskripsikan struktur pembentukan identitas tokoh Ian. dalam penelitian ini,

    Retnowati menyimpulkan jika identitas tokoh Ian secara psikologis terbentuk

    karena dua proses, yaitu imitasi dan identifikasi. Dua proses ini tentu saja

    melibatkan pengaruh dari orang tua, lingkungan sosial, media, tokoh idola, dan

    sahabat tokoh Ian.

    Penelitian perihal identitas juga dilakukan oleh R. Myrna Nur Sakinah

    dengan judul “Identitas dan Isu Politik pada Tokoh Perempuan Putri Cina dan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 8

    Giok Tien dalam Novel Putri Cina karya Shindunata”. Dalam penelitian ini,

    Sakinah (2012) menggunakan tinjauan Poskolonial. Penelitian ini

    mendeskripsikan citraan identitas perempuan baik secara fisik, perilaku, psikis,

    dan sosial. Citra fisik Putri Cina adalah seorang wanita Cina yang cantik jelita,

    berperilaku baik dan lemah lembut, taat beragama. Tokoh Giok Tien

    dideskripsikan sebagai seorang wanita yang cantik, berperilaku baik, setia

    terhadap suami, dan mudah bersosialisasi dengan orang-orang pribumi.

    Peran Putri Cina menunjukkan isu politik dalam proses pembauran etnis

    yang ikut menyumbangkan perubahan di tanah air, sedangkan peran Giok Tien

    dalam proses pembauran etnis adalah ikut mengharumkan nama kesenian Jawa,

    yaitu ketoprak.

    Seluruh tinjauan pustaka yang ada dalam subbab ini, menunjukkan jika

    identitas merupakan satu topik kajian yang kerap digunakan untuk analisis teks

    sastra. Identitas yang dianalisis pun mencakup identitas diri, identitas psikis, dan

    identitas sosial. Tinjauan pustaka ini semakin menunjukkan posisi penelitan ini.

    Penelitian ini mencoba melengkapi kajian terkait identitas dengan mengutamakan

    identitas etnis di dalamnya. Tidak hanya mengidentifikasi identitas tokoh yang

    ada dalam novel, penulis mencoba menempatkan novel yang dikaji dalam

    hubungannya dengan operasional PT.Indorayon Inti Utama. Tentu saja, hal ini

    dilihat sebagai kerangka politik identitas.

    1.6. Landasan Teori

    Dalam penelitian ini, tentu saja dituntut kehadiran teori sebagai dasar

    bangunan ketika analisis pada bab selanjutnya. Sesuai dengan uraian pada subbab

    latar belakang, penulis memfokuskan analisis hanya pada satu teks sastra saja,

    yaitu novel Bulan Lebam di Tepian Danau Toba. Untuk itulah, penulis setidaknya

    akan menggunakan dua konsep (teori) dalam menganalisis identitas Batak Toba

    dalam novel ini. Dua konsep ini adalah konsep representasi dan konsep identitas

    budaya (etnis) Stuart Hall.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 9

    Konsep representasi akan penulis aplikasikan ketika akan menganalisis

    novel secara tekstual. Dengan kata lain, analisis naratif penulis lakukan dengan

    bantuan konsep representasi dalam rangka untuk melihat “ruang” pembentukan

    identitas batak di dalamnya.

    Bagian kedua dari konsep yang akan dipakai adalah konsep identitas

    kultural Stuart Hall. Konsep ini dipakai untuk mencari tahu politik identitas batak

    toba yang terbentuk dalam novel ini. Pembahasan kedua konsep ini secara detail

    akan dibahas pada bagian di bawah ini.

    1.6.1 Representasi

    Dalam konteks kehidupan sosial, terkadang manusia dituntut untuk

    memposisikan diri. Pemosisian ini tentu saja dipengauhi oleh lingkungan sosial

    yang ada di sekitarnya. Dalam beberapa dimensi, manusia akan memposisikan diri

    sebagai bagian dari suatu kelompok ataupun bagian dari suatu kelompok yang

    berbeda dengan kelompok lainnya. Pencarian persamaan atau perbedaaan diri

    dengan orang atau kelompok lain tentu saja bisa didasarkan pada identitas.

    Praktek pemosisian diri yang berdasar pada identitas inilah yang disebut dengan

    politik identitas. Dengan kata lain, politik identitas bisa dimaknai sebagai upaya

    manusia atau sekelompok manusia untuk mengartikulasikan atau

    memperjuangkan atau menegosiasikan dirinya atau kelompok sosialnya.

    Dalam proses pemosisian inilah, politik identitas meletakkan representasi

    sebagai konsep yang penting. Representasi menjadi ruang bagi manusia untuk

    menciptakan atau menegaskan identitas diri atau kelompoknya. Hal ini bisa

    dilakukan sebagai respon atas marjinaliasi atau diskriminasi yang dialamai oleh

    seseorang atau kelompok sosial.

    Dalam diskursus kajian budaya sendiri, representasi yang dilakukan oleh

    seseorang atau suatu kelompok kerap direspon dengan representasi juga. Dalam

    representasi pula suatu identitas dapat dimarjinalisasikan, distreotipkan, ataupun

    dinegosiasikan. Dengan kata lain, representasi ditafsirkan tidak hanya sebagai

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 10

    citra diri yang didapat akan tetapi bisa dipahamai sebagai citra diri yang dibentuk.

    Dalam konteks penelitian ini, citra diri inilah yang ditempatkan sebagai identitas.

    Diskursus representasi sendiri menempatkan beberapa entitas yang bisa

    digunakan dala repersentasi. Hal ini dapat berupa gambar, video, berita, seni,

    maupun sastra. Dalam konteks inilah penulis menempatkan novel sebagai

    representasi yang diupayakan dalam mempolitisasi suatu hal, termasuk identitas.

    Dalam kajian budaya sendiri seluruh produk budaya dianggap atau diposisikan

    sebagai teks yang “dimaknai” atau direinterpretasi sesuai dengan perspektif yang

    dibangun. Di poin inilah penulis melihat ada signifkasi novel dalam kajian

    penulis.

    Novel Bulan Lebam di Tepian Toba sebagai representasi yang digunakan

    oleh penulis. Dalam hal ini, reprsentasi ini dilakukan dalam upaya

    mengkonstruksi atau mempolitisasi identitas Batak Toba. Representasi inilah yang

    pada akhirnya “ikut ambil bagian” dalam diskursus identitas etnis Batak Toba,

    secara khusus yang terkait dengan PT.IIU.

    Representasi pada dasarnya adalah citraan yang hadir namun

    menghadirkan sesuatu yang di luar dirinya. Representasi cenderung akan merujuk

    pada hal-hal yang berada di luar objek yang direpresentasikan. Representasi

    merupakan satu konsep yang mencoba menghadirkan gambaran perihal dunia

    dengan segala halnya. Representasi sebenarnya bisa ditilik dari beberapa wacana

    yang ada, misalnya semiotika, analisisi bahasa, ataupun analisis wacana. Hall

    (1997) menjelaskan jika ada dua dimensi dalam konsep representasi. Dimensi

    pertama adalah dimensi mental, artinya representasi berkerja sebagai proses

    penandaan objek yang riil dan konsep mental dari partisipan komunikasinya. Hal

    ini sebenarnya senada dengan konsep Saussure perihal langue (sistem bahasa) dan

    parole (tuturan dengan segala variannya). Akan tetapi, menurut Hall, sistem

    representasi tidak hanya berhenti di sini. Konsep representasi kedua menyentuh

    dimensi wacana yang dikonstruk. Konsep ini menitikberatkan pada pemaknaan

    yang sengaja dibentuk untuk menghadirkan (memaksa) suatu hal kepada

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 11

    interpretannya. Dalam beberapa sisi, pandangan Hall ini bisa dikatakan atau

    diapropriasi dengan mitologi Roland Barthes. Dalam hal ini, proses penandaan

    dalam analisis suatu teks bisa ditafsirkan sebagai investigasi politis yang ada

    dalam suatu teks atau suatu representasi.

    Hall juga menambahkan jika interpretasi terhadap konsep reprsentasi tidak

    akan pernah selesai. Interpretasi akan terus berproses menghadirkan pemaknaan-

    pemaknaan baru sehingga tidak akan bisa dikatakan jika “makna” suatu hal

    merupakan makna akhir atau kebenaran yang absolut. Hal ini menandakan jika

    dalam proses pemaknaan ini, representasi akan terus menghadirkan dimensi-

    dimensi yang dapat dipakai untuk melihat pertarungan wacana yang ada di

    dalamnya.

    Konsep representasi merupakan salah satu konsep yang cukup penting

    dalam ranah kajian budaya. Representasi menghubungkan bahasa dan makna

    dalam budaya. Representasi merupakan bagian dari proses ketika satu makna

    dibentuk atau dipertukarkan di antara anggota suatu kelompok budaya (Hall,

    1997: 17).

    Dalam representasi sendiri ada tiga pendekatan. Pendekatan pertama

    adalah pendekatan reflektif. Pendekatan ini membahas cara bahasa mencerminkan

    suatu makna yang telah ada perihal di dalam objek, masyarakat, ataupun fenomen-

    fenoman yang terjadi. Pendekatan lainnya adalah pendekatan intensional.

    Pendekatan ini memfokuskan analisisnya ucapan, pikiran, atau makna yang

    sengaja ditekankan oleh seseorang. Pendekatan ketiga adalah pendekatan

    konstruksionis (constructionist). Pendekatan ini menitikberatkan pada makna

    suatu wacana yang dikonstruk untuk tujuan tertentu (Hall, 1997: 15).

    Representasi adalah satu ranah yang bertujuan untuk membentuk suatu hal

    atau membentuk suatu pemaknaan. Makna yang dihasilkan dalam proses ini

    adalah makna yang diproduksi dan dibentuk. Hall (1993) dalam Cultural Identity

    and Diaspora menjelaskan:

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 12

    “Practices of representation always implicate the positions from which we

    speak or write- the positions of enunciation. What recent theories of

    enunciation suggest is that, though we speak, so to say in our own name,

    of ourselves and from our own experience, nevertheless who speaks, and

    the subject who is spoken of, are never identical, never exactly in the same

    place. “

    Kutipan di atas sangat jelas menunjukkan jika dalam representasi akan

    terselip satu kepentingan yang sedang dibangun. Hubungan representasi dengan

    apa yang dipresentasikan tentulah berpijak pada posisi subjek yang berbicara atau

    menciptakan representasi dan subjek yang direpresentasikan. Hal ini menandakan

    jika ada jarak atau jalur yang hadir atau dihadirkan dari yang dipresentasikan.

    Hall juga menambahkan penjelasannya dengan menarasikan representasi

    bangsa kulit hitam. Hall menjelaskan "the ways in which black people, black

    experiences, were positioned and subject-ed in the dominant regimes of

    representation were the effects of crtical exercise of cultural power and

    normalization. Not only, in Saids Orientalist sense, were we constructed as

    different and other whitin the categories of knowledge of the West by those

    regimes. They had the power to make us see and experience ourselves as “Other”.

    Every regime of representation is a regime power formed.” Kutipan di atas

    menjelaskan representasi merupakan tindakan politis dari penguasa. Ini

    mengindikasikan jika representasi menjadi ruang untuk mengkonstruk atau

    memposisikan suatu subjek. Upaya ini dilegitimasi oleh jaringan kekuasaan yang

    melibatkan pengetahuan di dalamnya.

    Tentu saja, hal ini berlaku dalam konteks identitas. Representasi yang

    telah dikutip dari Hall di atas mempertegas jika representasi-representasi terkait

    identitas akan selalu memiliki kepentingan. Alhasil, kepentingan yang

    dikonstruksi ini akan bermuara pada gagasan jika representasi itu sendiri bersifat

    politis. Untuk keperluan penelitian ini, konsep representasi dipakai untuk melihat

    ruang identitas yang dibentuk atau ditawarkan dalam novel.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 13

    1.6.2 Konsep Identitas Kultural

    Dalam diskursus yang terkait dengan identitas, pada prinsipnya melibatkan

    dua proses relasi, yaitu relasi dengan dirinya sendiri dan relasi dengan orang lain.

    Dalam relasi dengan dirinya sendiri, identitas akan dilihat sebagai pembentukan

    citra diri yang didasarkan dari internal dirinya sendiri. Di sisi lain, relasi dengan

    orang lainlah proses pembentukan identitas terjadi. Proses ini melibatkan sisi

    eksternal dari identitas orang lain. Dengan kata lain, faktor eksternal inilah yang

    terlibat dalam konstruksi identitas seseorang atau suatu kelompok sosial.

    Hall dalam The Question of Cultural Identity (1996a) menjelaskan jika

    terminologi identitas tidak bisa lagi disamakan dengan terminologi yang lama. Hal

    ini dikarenakan pengaruh perkembangan zaman yang membuka ruang-ruang

    individualisme. Ruang-ruang inilah yang memungkinkan terjadinya pembaharuan

    konsep terkait dengan subyek dan identitas.

    Perkembangan ini tentu saja membawa transformasi pada individu

    manusia. Individualitas yang dihasilkan karena negosiasi dengan zaman inilah

    yang mentransformasikan individu untuk mencoba melepaskan diri dari

    “kungkungan” struktur sosial ataupun tradisi yang sudah ada. Salah satu ciri

    modernitas yang turut mengubah tatanan sosial menurut Hall adalah penemuan

    dan perkembangan mesin. Penemuan inilah yang menggeser paradigma identitas.1

    Perkembangan mesin, secara khusus telah mengubah kehidupan masyarakat

    sehingga memengaruhi identitas. Secara khusus munculnya mesin cetak

    Wittenberg yang pada akhirnya memperkaya wacana-wacana yang ikut bagian

    dalam pembentukan identitas.

    Dalam penjelasannya tentang identitas, Hall melanjutkan dengan

    klasifikasi identitas yang dirurut dari masa pencerahan hingga postmodernitas;

    Subjek atau identitas yang bersifat esensialis, identitas yang stabil dan final,

    1 ibid

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 14

    hingga identitas yang terbuka, kontradiktif, tidak selesai, dan terfragementasi

    (postmodernisme).2

    Dalam Identity, Community, Culture, Difference (1990), Hall

    menambahkan jika “There are two kinds of identity, identity as being (which

    offers a sense of unity and commonality) and identity as becoming (or a process of

    identification, which shows the discontinuity in our identity formation)”. Dalam

    perspektif pertama, identitas dilihat sebagai satu kesatuan yang dimiliki bersama.

    Identitas tidak dapat terlepas dari rasa atau kesadaran terhadap ikatan kolektivitas.

    Tentu saja, ini dapat dilihat dari kesamaan fisik, adat, norma, sejarah, dan leluhur.

    Inilah yang mengikat atau menjadikan identitas seseorang.

    Perspektif kedua terkait identitas bisa dikatakan sebagai pelengkap atau

    anti-tesis dari perspektif pertama. Perspektif kedua memberikan satu argumentasi

    jika subjek atau identitas tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang otonom dan stabil.

    Subjek atau identitas tidak lagi dipahami secara sederhana. Identitas pada

    perkembangannya dilihat sebagai proses identifikasi atau idealisasi terhadap

    realitas yang membentuk subjek atau identitas tersebut. Identitas akhirnya dilihat

    sebagai entitas yang cair, berproses, dan membentuk-terbentuk dengan seluruh

    varian wacana yang mengelilinginya.

    Dalam pandangan persepektif kedua inilah Hall menjabarkan

    perkembangan identitas yang dilihatnya dari teori-teori sosial. Hall (1990)

    mendeskripsikan sketsa perihal subjek dan identitas yang didasarkan pada teori

    sosial; pada akhirnya disebut dengan “the final de-centering of the Cartesian

    subject”. Pertama, diambil dari pemikiran Marx. Hall mencatat “Men make

    history, but only on the basis of conditions which are not of their own making”.

    Individu pada kenyataannya merupakan agen dari sejarah karena dihasilkan oleh

    kondisi historikal yang dikonstruk oleh orang lain. Upaya ini dilakukan dengan

    menggunakan sumber material maupun kultural yang diadopsi dari generasi

    sebelumnya.

    2 ibid

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 15

    Kedua, diambil dari pemikiran Freud yang mengembangkan konsep

    ketaksadaran. Dalam sketsa ini, identitas didasarkan pada proses simbolik dari

    alam bawah sadar yang sangat berbeda bentuknya dari subyek rasional yang

    memiliki identitas tetap. Sketsa ketiga adalah penjelaskan yang didasarkan pada

    konsep lingustik strukturalis Saussure yang mencatat “We are not in any absolute

    sense the authors of the statements we make or the meaning we express in

    language”. Dengan kata lain, bahasa hanya bisa digunakan dalam rangka produksi

    makna dengan memosisikan diri dalam aturan kebahasan (langage). Aturan-aturan

    inilah yang berpadu dengan sistem dari makna itu sendiri yang disesuaikan

    dengan konsesus kultural yang dipahami oleh individu tersebut. Bahasa bukanlah

    merupakan sistem individu, melainkan sistem sosial.

    Sketsa keempat merupakan pembahasan subyek yang merujuk pada teori

    Foucault. Foucault menjelaskan mekanisme kekuasaan yang berasal dari

    penelusuran sejarah di abad ke-20 yang disebutnya sebagai disciplinary power.

    Foucault pun menjelaskan proses regulasi, pengawasan atau panopticon yang

    mengatur atau mendisplinkan kelompok sosial, mapun individu. Hal ini tentu saja

    menyentuh level kebertubuhan. Teori ini sendiri mambantu Hall untuk melihat

    sejarah modernitas yang menunjukkan mekanisme kekuasaan dan kedispilinan

    yang dijaringkan dalam bentuk hukum atau regulasi yang terinstitusi. Mekanisme

    ini melibatkan penerapan kekuasaan dan pengetahuan yang selanjutnya disebut

    individualizes yang terinternalisasi dalam tubuh seseorang. Sketsa terakhir adalah

    pembahasan pusat diri yang didasarkan pada pemikir feminism. Identitas dilihat

    sebagai krtik teori maupun gerakan sosial (gerakan mahasiswa atau gerakan

    persamaan hak) yang marak dilakukan pada 1960-an.

    Masih terkait dengan konstruksi identitas, Hall (1996a: 4-5) menjelaskan

    jika :

    “Identities are constructed within, not outside, discourse, we need to

    understand them as a produced in specific historical and institutional sites

    within specific discursive formations and practices, by specific enunciative

    strategies. Moreover, they emerge within the play of specific modalities of

    power, and thus are more product of the marking of difference and

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 16

    exclusion, than they are the sign of an identical, naturally-constituted

    unity- an identity in its traditional meaning”

    Kutipan di atas menjelaskan jika identitas dibentuk di dalam wacana itu

    sendiri. Mekanise inilah yang tersebar atau disebar oleh rejim penguasa. Strategi

    kekuasaan yang menggunakan wacana ini dalam upaya melanggengkan

    kekuasaan yang ada. Pembentukan identitas ini juga beroperasi dalam

    pengetahuan dan praktik-praktik kekuasaan yang terinstitusi. Untuk menegaskan

    hal ini, Hall juga menambahkan jika :

    “Above all, and directly contrary to the form in which they are constantly

    invoked, identities are constructed through, not outside, difference. This

    entails the radically disturbing recognition that it is only through the

    relation to the Other, the relation to what it is not, to precisely what it

    lacks, to what has been called its constitutive outside and thus its identity

    can be constructed (Derrida, 1981; Laclau, 1990; Butler, 1993).

    Hall dalam Cultural Identity and Diaspora (1993) menjelaskan persoalan

    identitas merupakan mekanisme produksi yang tidak akan pernah selesai. Dalam

    proses inilah, representasi menjadi kunci utama dalam politik identitas. Oleh

    karena itu, identitas akan selalu menyisakan masalah atau ruang dialog, termasuk

    identitas kultural atau identitas etnis. Hall mencatat jika

    “Identity is not as transparent or unproblematic as we think. Perhaps

    instead of thinking of identity as an already accomplished fact, which the

    new cultural practices then represent, we should think, instead, of identity

    as a “production” which is never complete, always in process, and always

    constituted within, not outside, representation. This view problematizes the

    very authority and authencity to which the term, “cultural identity” lays

    claim.

    Terkait dengan identitas kultural, Hall (1996b) kembali menegaskan :

    “There are at least two different ways of thinking about cultural identity.

    The firs position defines “cultural identity in terms of one, shared culture,

    a sort of collective one true self, hideing inside the many other. More

    superficial or artificially imposed “selves”, which people with a shared

    history and ancestry hold in common. Whitin the terms of this definition,

    our cultural identities reflect the common historical experiences and

    shared cultural codes which provide us, as one people”, with stable,

    unchanging and continuous frames of reference and meaning. Beneath the

    sifting divisions and vicissitudes of our actual history.”

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 17

    Kutipan ini menjelaskan jika identitas budya dilihat sebagai suatu kesatuan

    yang dimiliki secara kolektif. Hal ini bisa ditandai dengan persamaan sejarah dan

    leluhur. Identitas budaya merupakan cerminan kesamaan sejarah dan kode-kode

    budaya yang membentuk seseorang menjadi satu kesatauan, walaupun dari "luar"

    mereka terlihat tidak sama sekali pun. Perspektif ini menawarkan pandanagn jika

    identitas budaya dapat terbentuk jika melihat kesamaan sejarah dan kode budaya

    yang menyatukan mereka. Hal inilah yang mengidentifikasikan mereka sebagai

    suatu kelompok.

    Selain itu, Hall (1996b) juga menjelaskan posisi kedua dari identitas etnis

    (budaya). Hall Mencatat jika,

    “Cultural identity, in this second sense, is a matter of becoming as well as

    of being. It belongs to the future as much as to past. It is not something

    which already exist, transcending place, time, history, and culture.

    Cultural identities come from somewhere, have histories. But, like

    everything which is historical, they undergo constant transformation. Far

    from being eternally fixed in some essentialised past, they are subject to

    the continuous play of history, culture and power. Far from being

    grounded in a mere recovery of the past, which is waiting to be found, and

    which , when found, will secure our sense of ourselves into eternity,

    identities are the names we give to the different ways we are positioned by,

    and position ourselves within, the narratives of the past.”

    Dari penjelasan Hall di atas, bisa ditafsirkan jika identitas kultural atau

    identitas etnis merupakan hasil produksi yang dimulai dari masa lalu. Identitas

    kultural atau etnis memiliki sejarahnya sendiri. Pada masa lampau, identitas

    kultural ini memiliki tempat yang suci, transenden dan melingkupi seluruh aspek

    kehidupan satu komunitas sosial. Hall juga mengingatkan jika identitas kultural

    ini pun hasil ketertundukan atau ditransformasikan oleh penguasa. Ini akan selalu

    melibatkan budaya dan kekuasaan. Mekanisme inilah yang senantiasa

    melanggengkan paradigma identitas kultural seseorang. Berbicara perihal

    mekanisme kekuasaan yang menggunakan representasi wacana ini, tentu saja akan

    menegaskan satu hal, yaitu diposisikan. Identitas kultural merupakan hasil

    pemosisian yang diterapkan dan dinarasikan sejak zaman dahulu.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 18

    Pemosisian menjadi kata kunci dalam pemahaman identitas kultural Hall.

    Kata “posisi” telah menghadirkan dua hal. Pertama, hal ini akan terkait dengan

    pihak yang memposisikan dan pihak yang diposisikan. Hal ini tentu saja

    menggunakan media representasi apapun. Dalam kerangka ini, penulis melihat

    jika representasi adalah ruang politis. Oleh karena itu, identitas kultural pun bisa

    ditafsirkan sebagai ruang politis. Kedua, identitas kultural atau identitas etnis

    merupakan ruang identifikasi. Meminjam terma Lacan, identitas kultural dalam

    perkembangannya merupakan hasil idealisasi atau apropriasi dari wacana yang

    mengelilinginya.

    Dengan kata lain, identitas kultural tidak bisa dipahami lagi sebagai

    kesamaan nasib dan kesamaan kode-kode budaya dari suatu komunitas saja.

    Identitas budaya sebaiknya dilihat sebagai entitas yang terus akan selalu

    diproduksi, akan selalu tidak stabil, dan akan selalu teridentifikasi dengan wacana

    yang ada. Untuk itu, perlu dilihat kembali mekanisme representasi atau mekanise

    kekuasaan yang menggunakan wacana untuk melihat identitas budaya suatu

    kelompok sosial. oleh karena itu, identitas budaya adalah terma yang sangat

    politis. Hall menambahkan : “Cultural identities are the points of identification,

    the unstable points of identification or suture, which are made, within the

    discourse of history and culture. Not an essence but a positioning. Hence, there is

    always a politics of identity, a politics of position, which has no absolute

    guarantee in an unproblematic, transcendental “law of origin”

    1.7.Metode Penelitian

    Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini ingin

    menjelaskan dan menggambarkan politik identitas etnis Batak Toba yang

    terangkum dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba. Setidaknya ada dua metode

    penelitian yang digunakan, yaitu metode deskriptif dan metode analisis isi.

    1.7.1 Metode Deskriptif dan Analisis Isi

    Metode dekriptif merupakan metode penelitian yang memfokuskan pada

    penggambaran atau deskripsi. Deskirpsi di sini bisa merupakan hasil klasifikasi,

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 19

    hasil pengamatan, ataupun hasil pembacaan. Metode deskripsi penulis gunakan

    dalam dua level. Level pertama, penulis menggunakannya untuk deskripsi wacana

    public tentang Indorayon. Deskripsi yang dilakukan pun meliputi masalah-

    masalah yang ada di seputar PT.IIU dan korelasinya dengan masyarakat Batak

    Toba. Level kedua adalah deskripsi yang dilakukan untuk mendeskripsikan data-

    data tekstual (novel). Data yang berupa kutipan-kutipan ini penulis deskripsikan

    guna menjadi bahan analisis.

    Setelah itu, secara khusus, metode penelitian yang akan dilakukan adalah

    metode analisis isi (content analysis). Metode analisis ini menjadi metode yang

    dominan penulis pakai. Metode ini dipakai untuk menyisir narasi yang ada dalam

    novel dan menganalisis identitas batak yang ada dalam novel. Neuendorf (2002:

    2) memberikan penjelas perihal analisis isi. Penjelasanya dapat dilihat pada

    kutipan berikut ini:

    “Content analysis may be briefly defined as the systematic, objective analysis of mesaage

    characteristic. It includes the careful examination of human interactions; the analysis of

    character in tv commercials, film, and novel; the computer-driven investigation of word

    usage in newsreleases and political speeches; and so much more”.

    Dalam pembahasannya, Hijmans (dalam Neuendorf, 2002 : 5) ada beberapa

    domain utama dalam analisis ini, yaitu analisis retorik, analisis naratif, analisis

    wacana, analisis struktural, analisis interpretatif, analisis percakapan, analisis

    kritis,dan analisis normatif. Dalam penelitian ini secara khusus yang digunakan

    adalah analisis naratif.

    “This technique involves a description of formal narrative structure; attention focuses on

    characters – their difficulties, choices, conflicts, complications, and developments. The

    analyst is interested not in the text as such but in characters as carriers of the story. The

    analysis involves reconstruction of the composition of narrative (Neuendorf, 2002 : 5).”

    1.7.2 Teknik Pengumpulan Data.

    Data utama dalam penelitian ini adalah novel. Untuk analisis isi, penulis

    mengumpulkan data dengan menganalisis isi novel dengan didasarkan pada

    identitas batak toba yang terpresentasikan di dalam novel. Data-data ini dapat

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 20

    berupa kata, kalimat, dialog, ataupun kejadian yang ada dalam novel. Semua ini

    terkait dalam politik idenitas yang ada dalam novel.

    1.8 Sumber Data

    Penelitian ini adalah penelitian literatur sehingga sumber data yang

    dominan adalah litarutur atau pustaka. Dalam penelitian ini, literatur utama yang

    digunakan adalah novel “Bulan Lebam di Tepian Toba” karya Sihar Ramses

    Simatupang. Lalu dalam analisis selanjutnya literatur yang dominan digunakan

    ada dua buku. Buku pertama berjudul “Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan

    Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak VS PT.Indorayon

    Utama di Sumatera Utara” karya Dimpos Manalu. Buku kedua berjudul “Orang-

    orang yang Dipaksa Kalah: Penguasa dan Aparat Keamanan Milik Siapa?”

    karya Saur Tumiur Situmorang,dkk.

    1.9 Sistematika Penyajian

    Penelitian ini akan disusun dalam lima bab. Bab pertama merupakan

    pendahuluan yang berisi latar balakang masalah, rumusan masalah, tujuan

    penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode

    penelitian, dan sistematika penyajian.

    Bab kedua merupakan deskripsi wacana publik tentang Indorayon. Hal ini

    menjadi salah satu teks bandingan perihal realita yang terjadi dalam

    masyarakat Batak. Bab ketiga merupakan analisis reprsentasi “kebatakan”

    dalam novel “Bulan Lebam di Tepian Toba”. Bab keempat merupakan

    analisis yang berisi kritik yang ditawarkan oleh novel Bulan Lebam di Tepian

    Toba” terkait identitas batak toba yang ada dalam novel Bulan Lebam di

    Tepian Toba. Bagian akhir dari penelitian ini adalah bab lima, yaitu penutup.

    Bab ini berisi kesimpulan.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 21

    BAB II

    Wacana Publik Tentang Indorayon

    “Ini kampung nenek moyang kami, kenapa kami di sini dilarang mengambil kayu untuk memasak

    nasi, padahal PT. Inti Indorayon Utama (selanjutnya disingkat: IIU) boleh menghabiskan hutan

    ini? (Tempo dalam Situmorang, dkk., 2010: viii).

    Satu kutipan di atas menjadi pembuka pembahasan dalam bab ini. Kutipan

    di atas merupakan bagian pembuka Sekapur Sirih dari buku “Orang-Orang yang

    Dipaksa Kalah; Penguasa dan Aparat Keamanan Milik Siapa?” Kutipan di atas

    menjadi dasar pemikiran perihal salah satu problem atau masalah kebatakan yang

    terjadi dalam masyarakat Batak, khususnya Batak Toba.3

    Salah satu persoalan yang terjadi pada masyarakat Batak Toba hingga saat

    ini adalah operasional PT.IIU. Keberadaan pabrik kertas ini memberikan dampak

    yang tidak sedikit dalam kehidupan masyarakat Batak. Hal inilah yang membuat

    penulis memosisikan PT.IIU pada pusat pembahasan bab ini. Keberadaan PT.IIU

    yang sejak dekade 1980‟an masih menunjukkan perannya dalam berelasi dengan

    masyarakat Batak Toba. Isu lingkungan, tanah adat, politik, dan dominasi

    kekuasaan di dalamnya menjadikannya sebagai salah satu wacana yang memiliki

    ekses pada diskursus identitas etnis Batak Toba.

    Penelitian ini sendiri konteksnya adalah melihat politik identitas etnis

    Batak yang ada dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba. Novel ini meletakkan

    persoalan tanah dan relasi PT.IIU di dalamnya. Untuk itulah penulis

    memposisikan PT.IIU dengan dinamika permasalahan yang ada sebagai pokok

    bahasan bab ini. Tentu saja, hal ini difungsikan untuk memperlihatkan PT.IIU

    yang berkolerasi dengan persoalan identitas etnis Batak. Dalam kerangka inilah,

    penulis mencoba akan memperlihatkan persoalan PT.IIU yang telah menjadi

    3 Catatan pembuka yang dilakukan oleh Saur Tumiur Situmorang, dkk. Buku yang berjudul Orang-Orang yang Dipaksa

    Kalah (2010). Buku ini berisi laporan tertulis perihal kerugian yang dirasakan masyarakat Batak Toba terkait wacana PT.IIU

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 22

    wacana publik dalam hubungannya dengan perubahan yang terjadi di Tanah

    Batak.

    Perubahan yang terjadi di Tanah Batak dengan operasional PT.IIU

    menyentuh aspek lingkungan, masyarakat, ekonomi, dan sosial. Dalam uraian

    yang terkait dengan lingkungan, pertama-tama penulis akan mendeskripsikan

    relasi manusia Batak terhadap alam atau lingkungannya. Ini digunakan untuk

    memperlihatkan bahwa alam atau lingkungan menjadi salah satu dimensi sentral

    dalam kehidupan masyarakat Batak.

    Pembahasan terkait lingkungan ini pun akan difokuskan pada aspek tanah.

    Pembahasan ini akan digunakan untuk memperlihatkan operasional PT.IIU dibaca

    sebagai satu “stimulan” persoalan tanah (lahan) yang pada akhirnya akan

    menyentuh persoalan identitas etnis Batak. Dalam hubungannya dengan PT.IIU

    inilah akan diperlihatkan jika tanah yang awalnya memiliki dimensi yang sangat

    penting bagi manusia Batak dikomodifikasi oleh pelaku industri (PT.IIU) menjadi

    objek materil nir-makna. Di sini akan diperlihatkan masuknya kapitalisme

    khususnya dalam hal tanah. Selain itu, subbab ini akan diposisikan sebagai

    penanda jika PT.IIU menjadi “masalah” yang turut “menggores identitas etnis

    Batak.

    Subbab selanjutnya adalah persoalan PT.IIU itu sendiri. Dalam subbab ini

    akan dideskripsikan terkait operasional PT.IIU, masalah yang ditimbulkannya,

    dan dinamika perjuangan masyarakat Batak dalam melawan PT.IIU. Dengan kata

    lain, PT.IIU telah menjadi wacana publik. Pembahasan ini akan difungsikan untuk

    memperlihatkan PT.IIU dominan dibicarakan karena dampak perusakan

    lingkungan dan dampak ekonomi yang akhirnya merugikan masyarakat Batak.

    Walau menyentuh aspek dampak sosial juga, akan tetapi pembahasan ini melihat

    arus utama yang menjadi dasar perlawanan masyarakat Batak adalah perusakan

    lingkungan dan eksesnya pada pendapatan ekonomi masyarakat Batak.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 23

    2.1 Relasi Masyarakat Batak dan Alam

    Lingkungan akan menjadi topik utama yang ada dalam analisis di sini.

    Lingkungan di sini pun sebenarnya mencakup aspek-aspek yang ada di dalamnya,

    baik yang melibatkan unsur tanah, air, maupun udara. Untuk itulah, hal ini

    mendapatkan posisi yang cukup sentra bagi manusia Batak, khususnya mengingat

    relasi masyarakat Batak terkait dengan alamnya.

    Salah satu poin yang bisa dilihat dari relasi masyarakat Batak dengan alam

    lingkungannya dapat dilihat pada letusan gunung api Toba, sekitar 740.000 tahun

    lalu. Ledakan gunung yang dibicarakan dalam ranah meteorologi dan geofisika,

    diklaim sebagai salah satu letusan terbesar di dunia. Akan tetapi, klaim ini tidak

    sesuai dengan masyarakat Toba dalam melihat letusan Gunung Api Toba yang

    berasa dalam lingkungan area Danau Toba. Bagi masyarakat Batak, ini lebih

    merupakan kisah masa lalu yang dibawa secara tiba-tiba dalam bentuk teori

    letusan gunung. Ini sangatlah terasa asing mengingat dalam perspektif

    kebudayaan Batak, Danau Toba merupakan sumber kehidupan dan berkah debata

    (Tuhan) yang memiliki nilai spiritual dan nilai ekonomi di dalamnya. Untuk

    itulah, kelestarian Danau Toba menjadi atensi seluruh masyarakat di Tanah Batak.

    Sebagai contoh, letusan gunung Sinabung pada 2010 juga tidak mampu

    mengubah persepsi masyarakat Batak terkait kealamannya. Tradisi dan upacara

    pemujaan yang dilakukan pun, umumnya tetap dilakukan. Hal ini merupakan

    simbolisasi doa-doa memohon keselamatan dari gagal panen, banjir, longsor, atau

    penyakit, tetapi tidak secara khusus mengaitkannya dengan bahaya aktivitas

    gunung api. Kosmologi pemikiran masyarakat Batak yang tampak di sini adalah

    persepsi gunung api (alam) yang dilihat bukan sebagai sumber masalah.

    Hal ini juga dapat dilihat dalam catatan yang dilansir Litbang Kompas

    (2011), gunung aktif terdekat yang dikenal di Tano Batak adalah Pusuk Buhit di

    dekat Pangururan, Ibu Kota Kabupaten Samosir, yang belum pernah mengirim

    petaka kepada masyarakat. Hubungan masyarakat dengan Gunung Pusuk Buhit

    merupakan hubungan mitologis bernuansa sejarah. Gunung Pusuk Buhit dipercaya

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 24

    masyarakat sekitar Danau Toba sebagai gunung sakral, yang mampu memberikan

    perlindungan dan berkah bagi mereka yang mengunjungi dan melantunkan doa di

    sana.

    Bagi masyarakat Batak Toba, bencana lebih dikaitkan dengan persoalan

    kelestarian alam dan dampak perusakan hutan, serta perubahan sosial, daripada

    bencana yang diakibatkan oleh letusan gunung atau gempa. Persoalan yang

    diakibatkan oleh alam akan ditafsir sebagai siklus lingkungan yang biasa.

    Persoalan bencana alam pun tidak terlalu banyak berdampak pada identitas Batak

    Toba. Hal inilah yang sedikit berbeda jika bencana disebabkan oleh dunia

    “industri” atau dalam bahasan bab ini, adalah bencana yang diakibatkan oleh

    PT.IIU.

    Salah satu unsur lingkungan yang mendapat posisi vital atau penting

    dalam masyarakat Batak Toba adalah tanah. Tanah dalam kehidupan masyarakat

    Batak Toba meliputi beberapa dimensi hidup bagi masyarakat Batak Toba. Hal

    inilah yang akan penulis deskripsikan dalam pembahasan berikut ini.

    Eratnya keterkaitan orang batak dengan tanah, secara implisit tersirat

    dalam alam pikiran dan cita-cita hidup masyarakat Batak Toba yang mendasari

    seluruh aspek kehidupannya. Bagi orang Batak Toba, misalnya cita-cita itu ialah

    mencari hamoraon (kekayaan), hasangapon (kehormatan), dan Hagabeon

    (keturunan) inherent dengan unsur tanah (Simanjutak, dkk. 2015: 3).4 Inherent

    yang dimaksud tentulah keterlibatan tanah dalam menggapai cita-cita manusia

    Batak. Manifestasinya sendiri dapat diwujudkan dengan beragam cara. Cita-cita

    hamoraon terkait tanah sebagai produksi ekonomi keluarga. Hasangapon sendiri

    dapat dicapai dengan tetap mempertahankan tanah leluhur kepada generasi

    berikutnya.

    Selain itu, mitologi kehidupan orang Batak dilukiskan seperti sebuah

    pohon harihara (pohon beringin) yang menjulang tinggi dari benua bawah hingga

    benua atas yang dinamakan juga harihara sundung di langit. Pohon inilah yang

    4 Bungaran. A. Siamanjuntak, dkk. Karakter Batak: Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan (2015). Buku ini berisi ulasan tentang

    perubahan karakter masyarakat Batak dari dulu hingga sekarang.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 25

    diyakini sebagai simbol dari dewata tertinggi dalam menyatukan segala kehidupan

    dan mewakili segala tata tertib. Nasib setiap orang tercatat pada pohon tersebut

    dan semua kehidupan bersumber daripadanya.5 Mitologi harihara selain

    menunjukkan relasi ke atas yang ditujukan kepada penghormatan kepada dewata

    tertinggi, secara implisit, mitologi ini dapat diinterpretasi pada kelekatan pohon

    ini dengan tanah yang di bawahnya.

    Selain mitologi ini, sebenarnya menurut penulis telah menjadi pandangan

    umum jika suatu komunitas adat, termasuk Batak Toba akan dihiasi serangkaian

    kebudayaan yang melibatkan alam di dalamnya, mulai dari mitologi hingga

    simbol-simbol dalam upacara adat. Menurut penulis, hal inilah yang membuat

    relasi manusia adat (Batak Toba) sangat dekat dengan unsur alam atau

    lingkungannya.

    Salah satu yang bisa dilihat dari hubungan manusia Batak dengan alamnya

    (tanah) dapat dilihat dari mitologi Batak lainnnya. Dalam sistem keyakinan

    masyarakat Toba yang tradisional, dikenal adanya konsep Ketuhanan, yakni

    Debata Mulajadi Nabolon. Dalam mitologinya juga terdapat unsur tanah di

    dalamnya. Debata Mulajadi Nabolon sebagai dewa pencipta memerintahkan

    seorang puteri surga bernama Si Boru Deak Parujar turun ke benua tengah

    dengan membawa sekepal tanah. Tanah itulah yang menjadi permulaan dari bumi

    ini.6

    Konsep benua tengah di atas merupakan salah satu kosmologi religi

    masyarakat Batak Toba. Dalam konsep ini dipercaya jika ada tiga banua (benua),

    yaitu banua ginjang (Benua atas), banua tonga (Benua Tengah: Bumi), dan banua

    toru (Benua bawah). Dari mitologi ini dapat diperlihatkan jika asal muasal bumi

    adalah “sekepal” tanah yang dibawa oleh Si Boru Deak Parujar. Oleh karenanya,

    awal penciptaan bumi dan manusia Batak dimulai dari “sekepal” tanah ini.

    Selain mitologi ini, relasi manusia Batak dengan alamnya dapat dilihat

    kembali pada penentuan tempat tinggal atau pendirian pemukiman (huta) manusia

    5 ibid

    6 Bungaran. A. Simanjuntak, dkk. op.cit, hlm. 35.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 26

    Batak Toba. Huta tidak boleh didirikan di tempat yang diapit dua gunung. Hal ini

    akan menyebabkan penghuni huta akan sakit-sakitan karena terpaan angin

    gunung. Huta juga tidak boleh didirikan di sekitar kelokan sungai, karena rumah-

    rumah yang didirikan di sana akan ditelan “nafas” sungai. Huta juga tidak boleh

    didirikan di lembah karena tempat ini disebut “pelangi untuk minum”

    (parsoburan ni halibutongan) atau tanah mati. Dengan kata lain, ini tempat

    pemakaman7.

    Dari konsep lokasi huta ini kembali diperlihatkan dimensi alam terhadap

    kehidupan masyarakat Batak Toba. Hal ini semakin menandakan jika manusia

    Batak telah memiliki konsep, kosmologi, dan relasi dengan alamnya yang telah

    menjadi tradisi. Kesadaran inilah yang pada akhirnya menyebabkan “relasi” kuat

    antara manusia Batak dan alamnya sehingga Bencana alam yang terjadi di

    dalamnya tidak dianggap sebagai bencana yang akan “menganggu” kehidupan

    atau identitas etnis Batak.

    Dari uraian pembahasan yang ada di atas, setidaknya didapat gambaran

    kesulitan mendudukan entitas Batak dengan menyampingkan mitologi dan alam

    yang saling berelasional. Inilah yang banyak mempengaruhi masyarakat Batak

    Toba dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain, relasional

    ini telah menjadi software yang ada dalam masyarakat Batak Toba.

    Dari uraian singkat ini dapat dilihat relasi Batak dan alamnya sangat kuat.

    Bencana yang diakibatkan oleh alam tidak langsung berakibat atau berpengaruh

    terhadap identitas etnis Batak. Bagi manusia Batak, ini bukanlah bencana. Untuk

    itulah, PT.IIU yang memberikan “goncangan” terhadap relasional ini menjadi satu

    fokus masalah yang pada akhirnya juga berkontribusi pada konstruksi identitas

    etnis Batak Toba.

    PT.IIU menjadi salah satu stimulan yang pada akhirnya memberikan jarak

    antara manusia Batak dan alam lingkungannya. Hal ini akan secara khusus

    dibahas pada subbab selanjutnya (subbab 2.3). dalam subbab ini telah

    7 ibid

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 27

    dideskripsikan jika alam memiliki dimensi penting dan salah satu yang paling

    mendasar adalah posisi tanah. Tanah dalam kehidupan manusia Batak memiliki

    dimensi yang penting. Masalah tanah otomatis akan merujuk pada persoalan yang

    akan memengaruhi kehidupan masyarakat Batak, termasuk identitas etnis Batak.

    Untuk itulah penulis akan membahas posisi tanah bagi manusia Batak pada

    subbab selanjutnya.

    2.2 PT.IIU dan Persoalan Tanah di Tanah Batak

    Berbicara perihal alam lingkungan, maka tidak bisa dikesampingkan tiga

    unsur yang meliputi alam itu sendiri, yaitu udara, air, dan tanah. Dalam kaitannya

    dengan inilah, sebagai pembuka awal dalam analisis masalah PT.IIU ini, penulis

    akan membahas aspek tanah dan korelasinya dengan PT.IIU serta masyarakat

    Batak Toba.

    Aspek tanah yang akan penulis uraikan pertama adalah arti dan fungsi

    tanah bagi masyarakat Batak Toba. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan

    pentingnya tanah bagi manusia Batak. Ini tidak sama dengan pembahasan

    sebelumnya karena akan memperlihatkan arti dan fungsi tanah dilihat dari dimensi

    politik dan sosial, bukan alam secara keseluruhan. Lalu pembahasan dilanjutkan

    dengan persoalan tanah di Batak dan hubungannya dengan operasional PT.IIU.

    Arti dan fungsi tanah pertama yang akan penulis bahas dilihat dari sisi

    politik. Pola perkampungan orang Batak Toba adalah berbanjar. Rumah-rumah

    didirikan saling berhadapan dan di tengah terdapat halaman bersama untuk tempat

    menjemur padi dan hasil produksi lainnya. Konsep berbanjar inilah yang

    merepresentasikan konsep nenek moyang Batak yang mendesain agar seluruh

    penghuni rumah di huta akan bisa saling bersosialisasi. Barisan rumah yang

    berbanjar dan saling berhadapan merepresentasikan ketermudahan dalam

    mengorganiasi warga huta jika ada suatu kegiatan sosial di dalamnya.

    Halaman juga berguna sebagai tempat bertenun, bertukang, anak-anak

    bermain, tempat remaja menari, martumba, dan mementaskan tarian adat

    manortor, juga berfungsi sebagai tempat pelaksanaan berbagai upacara adat,

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 28

    ulaon alaman seperti perkawinan, kematian, meminta dan menolak hujan, upacara

    inisisai, misalnya meratakan gigi mangalontik ipon. Selain itu, halaman juga

    berfungsi sebagai tempat menyampaikan pengumuman, pasahat hon tinting dohot

    boa-boa, tempat melaksanakan peradilan huta, tempat ternak, mencari makan dan

    sebagainya. Dengan demikian, halaman berfungsi sebagai proses sosialiasi

    (Simanjuntak, 2015: 30-31)8.

    Konsep rumah berbanjar dan ketersediaan halaman yang luas menjadi

    representasi kesatuan para penghuni huta. Halaman yang ada dalam satu huta

    tidak memiliki pembatas dari satu rumah ke rumah lainnya. Halaman desa atau

    huta adalah “milik bersama”. Karena itu, tidak terdapat pagar yang menandakan

    atau membatasi milik pribadi. Dengan kata lain, sebenarnya halaman dalam huta

    “mirip” dengan fungsi “alun-alun” dalam konsep Kraton. Halaman menjadi ruang

    sosialisasi bagi penghuni huta.

    Arti dan fungsi tanah kedua dilihat dari dimensi sosial. Salah satu satuan

    permukiman pada masyarakat Batak Toba disebut huta, yang terdiri dari tanah

    yang diperuntukkan bagi tapak rumah, pekarangan, jalan, ladang sekitar

    pemukiman, mual, tepian, lumbung, parik, pagar tumbuhan, pekuburan,

    pertukangan, tempat melaksanakan upacara dan aspek kehidupan lainnya. Huta

    atau perkampungan dihuni oleh satu marga raja, marga tano, dengan boru

    (pengambil istri). Perkampungan kecil biasanya dihuni oleh mereka yang berasal

    dari satu nenek moyang dalam arti lima generasi ke atas sehingga dalam satu huta

    jumlah rumah yang ada sekitar 10 – 25 rumah saja (Simanjuntak, 2015: 23).

    Beberapa di antara huta tersebut memiliki dua buah parik, yakni parik

    bulu suraton dan parik bulu duri. Di sekeliling parik sebelah luar, terdapat

    sebidang tanah yang lebarnya lebih kurang 3 meter yang disebut anak bajang atau

    suha. Tanahnya dipergunakan untuk perawatan dari parik-parik itu. Anak bajang

    8 Bungaran. A. Siamanjuntak, dkk. Arti dan Fungsi Tanah bagi Masyarakat Batak Toba, Karo, Simalungun (2015). Buku ini

    berisi tinjauan tradisi terkait arti dan fungsi tanah bagi masyarakat Batak

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 29

    atau suha tersebut boleh ditanami tetapi apabila tanahnya diperlukan untuk huta

    maka tanaman-tanaman harus disingkirkan tanpa ganti rugi.9

    Huta merupakan tempat tinggal bagi mereka yang satu marga, atau paling

    tidak terdiri dari satu nenek (saompu) dengan atau tanpa disertai boru (pengambil

    istri). Marga yang mendirikan huta dinamakan marga tano atau marga raja.

    Marga-marga boru yang datang kemudian tidak memiliki hak golat. Mereka

    hanya berharap memakai tanah setelah disetujui oleh marga raja.

    Dari uraian di atas, tanah menjadi satu pembatas teritori satu keturunan

    nenek moyang atau satu marga. Dalam satu batas teritorial inilah, aspek

    kehidupan manusia Batak diatur dengan pembagian dan fungsi tanah yang ada.

    Satu huta juga menandakan adanya kehidupan atau jaringan politik yang

    mengatur posisi manusia Batak terkait dengan hubungan antarsatu marga. Di sini

    pula yang pada perkembangannya akan memperlihatkan pembagian-pembagian

    kerja ketika satu rumah akan melangsungkan pesta atau “hajatan”.

    Bila suatu huta dianggap sudah padat, maka penduduk setempat

    mengatasinya dengan mendirikan permukiman baru yang dinamakan lumban,

    sosor, dan huta pagaran. Alasan pendirian pemukiman baru selain karena huta

    induk sudah padat, juga adanya pertentangan atau permusuhan terutama karena

    keinginan untuk memeroleh kehidupan yang lebih baik. Bisa pula, satu ompu

    tertentu ingin berdiri sendiri atau memiliki kerajaan sendiri (manjae) bebas dari

    kekuasaan huta induk.

    Untuk mendirikan huta yang baru, seseorang harus memohon kepada Raja

    huta atau raja doli di kampungnya. Permohonan terlebih dahulu menyampaikan

    sulang-sulang (makanan persembahan) dalam suatu acara makan bersama,

    sebagai pengantar dari permohonan tersebut. Jika Raja menyetujui, mereka

    kemudian pergi ke lokasi yang dipilih untuk menyampaikan persembahan (bunti)

    kepada Dewa penguasa tanah. Persembahan diletakkan di tengah lokasi tersebut

    dan kemudian pada keempat titik tersebut calon perkampungan dibuat tanda-tanda

    9 ibid

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 30

    batas (pago-pago). Kepada Raja huta disampaikan sibue oma-oma, yakni suatu

    pemberian yang mengandung maksud agar usaha mereka berhasil (Simanjuntak,

    2015: 24-25).

    Untuk mengetahui keserasian lokasi tersebut untuk dijadikan pemukiman

    (akan memberikan keselamatan, kesejahteraan, dan sebagainya) mereka kemudian

    melakukan upacara magis yang disebut marmanuk diampang. Apabila upacara

    magis tersebut memberi tanda-tanda kebaikan dan keserasian, maka pendiri desa

    melaksanakan upacara pemberian makan adat (mangulangi) kepada Raja huta

    induk dan sauadara-saudaranya yang akan ditinggalkan (Simanjuntak, 2015: 25).

    Pembentukan huta baru juga menjadi representasi bahwa tanah atau

    territorial bersifat politis mengingat, terbukanya satu ruang jika seorang ompu

    ingin mendirikan wilayah kekuasannya sendiri. Hal ini tentu saja diatur dalam

    hukum adat batak yang mengharuskan mereka melaporkan atau mendiskusikan

    pendirian huta baru dengan Raja atau orang yang paling dituakan di situ

    (penguasa). Sekali lagi, dalam hal inilah, dimensi politik melekat pada tanah,

    khususnya pembagian territorial manusia Batak Toba.

    Dalam perkembangan zaman yang semakin modern pun tanah atau lebih

    tepatnya territorial ini pun cenderung sering digunakan dalam ranah politik. Hal

    ini biasanya terjadi dengan menilik keterlibatan teritorial daerah dalam pemilihan

    kepala daerah ataupun pemilihan calon legislatif dan kepala negara. Maka,

    terirorial yang secara langsung mendeskripsikan peta persebaran marga menjadi

    sasaran dalam menggalang suara dalam pemilihan umum. Karena sifatnya yang

    masih memandang huta sebagai ikatan, maka bukan tidak mungkin,

    kecenderungan satu orang yang dianggap tua atau ompu dalam satu huta akan

    turut memengaruhi orang-orang yang ada di huta tersebut.

    Dari pembahasan di atas, telah dideskripsikan jika tanah memiliki peran

    penting dalam kehidupan manusia Batak. Arti dan fungsi tanah yang telah dibahas

    meliputi dimensi sosial dan politik. Bahasan selanjutnya yang akan penulis

    lakukan adalah pada perkembangnya di Tanah Batak terjadi perubahan karena

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 31

    persoalan tanah yang terjadi. Hal ini distimulan dengan kehadiran negara dan

    industri di dalamnya.

    Jika menilik sebentar pada masa lalu, persinggungan dengan negara,

    mengakibatkan masyarakat Batak harus mengakui jika negara memiliki hak untuk

    mengklaim tanah sebagai milik negara. Satu pembaharuan yang sebenarnya

    hingga saat ini tidak mampu menghadirkan kemajuan ekonomi bagi masyarakat.

    Persinggungan dengan wac