PERTUNJUKAN WAYANG KULIT DI DESA TEMBUNG KECAMATAN
PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG: STRUKTUR
MELODI REPERTOAR SAMPAK DAN SREPEG NEM PADA
INSTRUMEN SARON DAN DEMUNG
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA : ROY JUSTIN HUTABARAT
NIM : 130707054
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2018
PERTUNJUKAN WAYANG KULIT DI DESA TEMBUNG KECAMATAN
PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG: STRUKTUR MELODI
REPERTOAR SAMPAK DAN SREPEG NEM PADA INSTRUMEN SARON DAN
DEMUNG
SKRIPSI SARJANA
NAMA : ROY JUSTIN HUTABARAT
NIM : 130707054
Disetujui Oleh :
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dra. Heristina Dewi, MPd. Drs. Kumalo Tarigan, M.A.
NIP. 196605271994032010 NIP. 195812131986011002
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan,
untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin
Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2018
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk
melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana dalm bidang disiplin Etomusikologi
pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU,
Dekan,
Dr. Budi Agustono, M.S.
NIP.19600851987031001
Panitia Ujian:
1. ( )
2. ( )
3. Dra. Heristina Dewi, MPd. ( )
4. Drs. Kumalo Tarigan, M.A. ( )
5. ( )
DISETUJUI OLEH:
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Medan, APRIL 2018
PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI
KETUA PROGRAM STUDI
Arifninetrirosa, SST, M.A.
NIP. 196502191994032002
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka.
Medan, April 2018
Roy Justin Hutabarat
NIM 130707054
i
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul “Pertunjukan Wayang Kulit Di Desa Tembung
Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang: Struktur Melodi Repertoar
Sampak dan Srepeg Nem Pada Instrumen Saron dan Demung”. Dalam penulisan
skripsi ini, penulis akan menganalisis pertunjukan Wayang Kulit di Desa Tembung
Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang. Penelitian ini membahas bagaimana proses
pertunjukan Wayang Kulit serta struktur melodi repertoar sampak dan srepeg yang
dimainkan pada instrumen saron dan demung yang menjadi kajian analisis penulis.
Saron dan demung merupakan instrumen pembawa melodi pokok dalam alat musik
gamelan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan secara
kualitatif yang dalam proses kerjanya data-data diperoleh melalui studi lapangan,
wawancara dengan informan, studi pustaka termasuk pustaka online atau blog
internet, perekaman pertunjukan, transkripsi, serta kerja laboratorium. Untuk
mendeskripsikan pertunjukan, penulis menggunakan beberapa aspek di dalam teori
yang dikemukakan oleh Murgiyanto (1996:156) serta Milton Siger (MSPI, 1996:164-
165). Sedangkan untuk menganalisis musik, yaitu repertoar sampak dan srepeg nem,
penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Willian P. Malm (1977:15).
Penulis juga menggunakan teori semiotika pragmatik yang dikemukakan oleh Charles
Sanders Peirce (Pateda, 2001:44) untuk mengetahui makna gunungan atau kayon
yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Kulit.
Pertunjukan Wayang Kulit terdiri dari tiga pathet, yakni pathet nem, sanga,
dan manyura yang mana dalam pathet nem merupakan babak perkenalan para tokoh
wayang yang mengangkat judul lakon Wahyu Cakraningrat. Dalam pertunjukannya
diiringi oleh seperangkat musik Gamelan, dengan saron dan demung sebagai
instrumen pembawa melodi pokok. Sampak dan srepeg merupakan repertoar yang
digunakan untuk mengiringi adegan perang pada pathet nem.
Kata Kunci : Wayang Kulit, Gamelan, Struktur Melodi, Sampak dan Srepeg Nem.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan karunia yang sangat luar biasa dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
dengan baik skripsi ini yang berjudul Pertunjukan Wayang Kulit Di Desa
Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang: Struktur
Melodi Repertoar Sampak dan Srepeg Nem Pada Instrumen Saron dan Demung.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program
Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Sebelumnya penulis menyadari banyak kesalahan serta segala kekurangan yang
terdapat dalam penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis memohon maaf kepada
pembaca dengan harapan dapat memakluminya.
Dalam proses menyelesaikan skripsi ini, banyak pihak yang telahmembantu
penulis baik dalam bentuk doa maupun motivasi. Untuk itu, penulis memberikan
apresiasi serta ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr.Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
beserta seluruh jajaran di Dekanat Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara Medan.
2. Ibu Arifninetrirosa, SST, M.A. sebagai Ketua Program Studi
Etnomusikologi dan Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si. sebagai Sekretaris
Program Studi Etnomusikologi.
iii
3. Bapak dan Ibu staf pengajar Program Studi Etnomusikologi yang telah
banyak memberikan ilmu pengetahuan melalui bimbingan serta pengajaran
selama penulis mengikuti perkuliahan.
4. Ibu Dra.Heristina Dewi, MPd. selaku dosen pembimbing I dan Bapak Drs.
Kumalo Tarigan, M.A. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan melalui arahan serta motivasi kepada penulis selama penulisan
skripsi ini.
5. Ibu Wawa selaku pegawai di Program Studi Etnomusikologi yang telah
banyak membantu penulis melalui informasi yang diberikan selama
perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi.
6. Kedua orang tua penulis yang sangat penulis cintai dan sayangi, ayahanda
Robert Hutabarat dan ibunda Riana br.Pakpahan. Terima kasih atas doa,
nasehat, pengorbanan, kerja keras, serta segala kebutuhan-kebutuhan yang
telah dipenuhi selama proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga
kepada seluruh keluarga besar yang selalu memotivasi penulis dengan
pertanyaan kapan tamat kuliah.
7. Teman spesial penulis Yohana Chrisnawaty Silitonga, yang selalu setia
menanyakan kabar skripsi penulis serta juga telah memberikan motivasi dan
semangat disaat penulis merasa jenuh dan mengalami kesulitan. Tidak lupa
juga doa yang sudah diberikan kepada penulis sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini dari proses yang sangat panjang.
8. Para informan penulis Bapak Sunardi, Bapak Yono, Bapak Suprapto, dan
Bapak Suripno yang telah bersedia meluangkan waktunya kepada penulis
iv
untuk diwawancarai sehingga penulis mendapatkan pengetahuan serta
informasi untuk kelengkapan skripsi ini.
9. Keluarga besar PSM USU yang selalu memotivasi dan memberikan
dukungan serta semangat kepada penulis.
10. Teman-teman penulis di Etnomusikologi, khususnya stambuk 2013 yang
telah memberikan semangat serta motivasi selama di perkuliahan sampai
dengan penyelesaian skripsi ini.
Medan, April 2018
Penulis,
Roy Justin Hutabarat
NIM. 130707054
v
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
1.2 Pokok Permasalahan ............................................................................. 10
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 10
1.3.1 Tujuan Penelitian ......................................................................... 10
1.3.2 Manfaat Penelitian ....................................................................... 11
1.4 Konsep dan Teori .................................................................................. 11
1.4.1 Konsep ......................................................................................... 11
1.4.2 Teori ............................................................................................. 13
1.5 Metode Penelitian.................................................................................. 17
1.5.1 Observasi ...................................................................................... 18
1.5.2 Kerja Laboratorium ..................................................................... 19
1.5.3 Studi Kepustakaan ........................................................................ 20
1.5.4 Wawancara ................................................................................... 20
1.6 Lokasi Penelitian ................................................................................... 21
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI DESA TEMBUNG
KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG 2.1 Sejarah Singkat Masuknya Suku Jawa di Kabupaten Deli Serdang .... 22
2.2 Letak Geografis Kabupaten Deli Serdang............................................ 24
2.3 Sistem Kekerabatan .............................................................................. 28
2.4 Sistem Kepercayaan ............................................................................. 30
2.5 Sistem Bahasa ...................................................................................... 31
2.6 Sistem Kesenian ................................................................................... 32
2.6.1 Seni Pertunjukan Wayang ........................................................... 32
2.6.2 Seni Musik .................................................................................. 36
2.7 Sistem Mata Pencaharian ..................................................................... 37
2.8 Sanggar Mardi Lestari .......................................................................... 38
vi
BAB III STRUKTUR PERTUNJUKAN WAYANG KULIT
3.1 Asal Usul Wayang Kulit...................................................................... 40
3.2 Jalannya Pertunjukan Wayang Kulit ................................................... 41
3.3 Pertunjukan Wayang Kulit .................................................................. 42
3.3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan ................................................ 42
3.3.2 Pendukung Pertunjukan ............................................................. 43
3.3.2.1 Dalang ............................................................................ 44
3.3.2.2 Niyaga ............................................................................ 48
3.3.2.3 Pesinden ......................................................................... 50
3.3.2.4 Penonton ......................................................................... 51
3.3.3 Alat Musik Gamelan .................................................................. 51
3.3.3.1 Saron .............................................................................. 52
3.3.3.2 Demung .......................................................................... 54
3.3.3.3 Bonang ........................................................................... 55
3.3.3.4 Slenthem ......................................................................... 56
3.3.3.5 Gender ............................................................................ 57
3.3.3.6 Kenong ........................................................................... 58
3.3.3.7 Gambang ........................................................................ 59
3.3.3.8 Kempul ........................................................................... 60
3.3.3.9 Gong ............................................................................... 61
3.3.3.10 Kendang ....................................................................... 62
3.3.3.11 Rebab ........................................................................... 63
3.3.3.12 Kethuk dan Kempyang ................................................. 64
3.3.3.13 Cymbal dan Snare Drum .............................................. 65
3.3.4 Tema dan Alur Cerita Wayang Kulit ......................................... 66
3.3.5 Makna Gunungan atau Kayon .................................................... 75
BAB IV TRANSKRIPSI DAN ANALISIS
4.1 Proses Transkripsi .............................................................................. 79
4.2 Simbol Notasi ..................................................................................... 79
4.3 Sample Repertoar ............................................................................... 83
4.4 Tangga Nada ...................................................................................... 89
4.4.1 Tangga Nada Sampak Pada Instrumen Saron dan Demung ...... 89
4.4.2 Tangga Nada Srepeg Pada Instrumen Saron dan Demung ....... 90
4.5 Nada Dasar ......................................................................................... 91
4.6 Wilayah Nada ..................................................................................... 91
4.6.1 Wilayah Nada Sampak Pada Instrumen Saron dan Demung .... 92
4.6.2 Wilayah Nada Srepeg Pada Instrumen Saron dan Demung ...... 92
4.7 Jumlah Nada ....................................................................................... 93
4.7.1 Jumlah Nada Sampak ................................................................ 93
4.7.2 Jumlah Nada Srepeg .................................................................. 95
4.8 Jumlah Interval ................................................................................... 96
4.8.1 Jumlah Interval Sampak ............................................................ 96
4.8.2 Jumlah Interval Srepeg .............................................................. 97
vii
4.9 Pola Kadensa ...................................................................................... 98
4.10 Formula Melodi ................................................................................ 99
4.11 Kontur .............................................................................................. 100
4.12 Struktur Ritem .................................................................................. 103
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 104
5.2 Saran ................................................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 107
WEBSITE. .............................................................................................................. 108
DAFTAR INFORMAN .......................................................................................... 109
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Kabupaten Deliserdang…………………………………………...26
Gambar 2.2 Pertunjukan Wayang Kulit……………………………………………..33
Gambar 2.3 Wayang Golek………………………………………………………….34
Gambar 2.4 Wayang Wong (Orang)…………………………………………….......35
Gambar 2.5 Wayang Beber………………………………………………………….36
Gambar 2.6 Wayang Klithik………………………………………………………...36
Gambar 2.7 Pemain Snare Drum dan Cymbal Oleh Niyaga………………………...37
Gambar 2.8 Proses Latihan Niyaga Sanggar Mardi Lestari………………………...39
Gambar 3.1 Salah Satu Sudut Panggung Wayang Kulit………………………….....43
Gambar 3.2 Lakon Wayang Kulit……………………………………………...........44
Gambar 3.3 Dalang menggunakan kertas yang berisi inti pokok cerita wayang
yang berjudul Wahyu Cakraningrat…………………………………...45
Gambar 3.4 Tokoh Raden Bratasena Gaya Jogjakarta dan Surakarta………………47
Gambar 3.5 Niyaga atau Penabuh Gamelan………………………………………...49
Gambar 3.6 Pesinden Pertunjukan Wayang Kulit…………………………………..50
Gambar 3.7 Penonton Pertunjukan Wayang Kulit......................................................51
Gambar 3.8 Saron…………………………………………………………………...53
Gambar 3.9 Bilahan Nada Saron................................................................................54
Gambar 3.10 Demung…………………………………………………………….....55
Gambar 3.11 Bonang Barung dan Bonang Penerus………………………………...56
Gambar 3.12 Slenthem……………………………………………………………...57
ix
Gambar 3.13 Gender………………………………………………………………...58
Gambar 3.14 Kenong………………………………………………………………..59
Gambar 3.15 Gambang……………………………………………………………...60
Gambar 3.16 Kempul………………………………………………………………..61
Gambar 3.17 Gong…………………………………………………………………..62
Gambar 3.18 Kendang Ketipung (Depan) dan Kendang Bem (Belakang)……….....63
Gambar 3.19 Rebab………………………………………………………………....64
Gambar 3.20 Kethuk Kempyang……………………………………………………65
Gambar 3.21 Cymbal dan Snare Drum……………………………………………...66
Gambar 3.22 Tokoh Wayang Duryudana…………………………………………...70
Gambar 3.23 Dalang Membedhol Tokoh Wayang Kulit……………………………71
Gambar 3.24 Tokoh Wayang Kulit Cangik dan Limbuk……………………………72
Gambar 3.25 Raja Duryudana Beserta Para Pejabat Bawahannya………………….73
Gambar 3.26 Perang gagal antara Raja Duryudana dengan Kerajaan Seberang……74
Gambar 3.27 Kayon atau Gunungan Wayang Kulit………………………………...75
Gambar 3.28 Posisi Gunungan Wayang Kulit………………………………………76
Gambar 3.29 Dalang mengangkat gunungan Wayang Kulit………..………….…...77
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan…………………………..27
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama......................................................30
Tabel 4.1 Jumlah Nada Sampak Pada Instrumen Saron…………………………….94
Tabel 4.2 Jumlah Nada Sampak Pada Instrumen Demung………………………….94
Tabel 4.3 Jumlah Nada Srepeg Pada Instrumen Saron……………………………...95
Tabel 4.4 Jumlah Nada Srepeg Pada Instrumen Demung…………………………...95
Tabel 4.5 Jumlah Interval Sampak Pada Instrumen Saron……………………….....96
Tabel 4.6 Jumlah Interval Sampak Pada Instrumen Demung………………………..97
Tabel 4.7 Jumlah Interval Srepeg Pada Instrumen Saron…………………………...97
Tabel 4.8 Jumlah Interval Srepeg Pada Instrumen Demung………………………...98
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kesenian merupakan hasil dari ekspresi berbagai macam ide dan pemikiran
estetika manusia dengan latar belakang tradisi atau sistem kebudayaan di daerah
kesenian itu berkembang. Kesenian berasal dari kata seni, yang diciptakan untuk
melahirkan rasa keindahan dan merupakan kreasi bentuk-bentuk simbolis dari
perasaan manusia. Salah satu jenis dari kesenian yaitu seni pertunjukan. Seni
pertunjukan adalah karya seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat
dan waktu yang tertentu. Dalam seni pertunjukan terdapat empat unsur yang menjadi
konsep dari seni pertunjukan tersebut yaitu waktu, ruang, seniman, dan hubungan
seniman dengan penonton.
Di Indonesia berbagai bentuk penyajian seni pertunjukan sangat beragam,
yang pastinya secara kuantitatif berdasarkan kepada keberadaan suku-suku di
Indonesia saat ini. Misalnya suku Jawa, memiliki bermacam-macam seni pertunjukan
yang diselenggarakan dalam berbagai acara. Salah satu jenis pertunjukan tersebut
yaitu wayang. Dalam buku yang berjudul Kebudayaan Indonesia dan Pancasila, ada
terdapat beberapa bentuk wayang, yaitu wayang kulit, wayang wong (orang), wayang
beber, wayang golek, wayang klithik. Secara harfiah, wayang berarti bayangan, tetapi
dalam perjalanan waktu pengertian wayang itu berubah dan kini wayang dapat berarti
pertunjukan panggung atau teater, dimana sutradara ikut bermain. Sutradara dalam
2
pertunjukan wayang itu dikenal sebagai dalang, yang peranannya dapat mendominasi
pertunjukan wayang tersebut (Pandam Guritno 1988:2).
Masyarakat Jawa yang tergabung dalam sebuah komunitas kesenian Jawa di
Sumatera Utara masih menyelenggarakan pertunjukan wayang walaupun dalam
konteks tertentu. Salah satu pertunjukan wayang yang biasa dimainkan yaitu wayang
kulit. Wayang kulit adalah pertunjukan berupa bayangan yang tokoh-tokohnya terbuat
dari bahan kulit binatang (belulang kerbau), berbentuk pipih, di pahat, di warnai, dan
bertangkai. Bayangan yang dihasilkan berasal dari belakang kelir (layar), sehingga
yang terlihat hanya bayangannya saja. Untuk menghasilkan bayangan itu, digunakan
lampu minyak yang disebut blencong. Tetapi seiring dengan berkembangnya zaman,
blencong tersebut dapat digantikan oleh lampu sorot yang diletakkan di sekitar
panggung, yang digantungkan dekat dengan dalang. Sebagai tempat untuk
menancapkan tokoh wayang pada saat pertunjukan berlangsung, digunakan debog
yang terbuat dari batang pisang. Pada bagian samping kiri dan kanan kelir ditancapi
wayang yang kemungkinan besar tidak digunakan dalam pertunjukan. Wayang-
wayang ini disebut wayang simpingan. Di bagian kanan adalah wayang kelompok
pandawa dan para dewa. Hal ini menandakan bahwa sisi baik atau kebenaran ada
dibagian kanan. Sedangkan di sisi kiri adalah wayang kelompok raksasa atau buto
dan para kurawa. Hal ini menunjukan bahwa sisi jahat atau buruk adalah di sebelah
kiri. Sedangkan untuk tokoh wayang yang akan dimainkan, diletakkan di atas kotak
wayang yang berada di dekat dalang.
3
Berdasarkan sejarah wayang kulit, ada dua pendapat yang mengemukakan
asal-usul wayang tersebut. Pertama, wayang kulit berasal dan lahir pertama kali di
Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Tengah yang sudah ada sejak sekitar 700 tahun yang
lalu. Pendapat ini dikemukakan oleh salah seorang niyaga sekaligus budayawan di
wilayah Kabupaten Deli Serdang, yaitu Bapak Suprapto. Beliau mempunyai alasan
yang cukup kuat, bahwa seluruh seni wayang sangat erat kaitannya dengan keadaan
sosiokultural dan kepercayaan masyarakat Indonesia, khususnya orang Jawa.
Pendapat kedua menurut buku yang berjudul “Wayang” yang menduga wayang
berasal dari India, yang dibawa bersama agama Hindu ke Indonesia. Sebagian besar
ahli yang berpendapat bahwa wayang berasal dari India adalah sarjana Inggris, negeri
Eropa yang pernah menjajah India. Alasan yang mengatakan bahwa wayang kulit
berasal dari India adalah karena bahan cerita yang digunakan, yakni Mahabharata
yang konon berasal dari India (Herry Lisbijanto 2013:10).
Sejarah kedatangan wayang kulit ke Sumatera, khususnya ke Kabupaten Deli
Serdang yaitu bersamaan dengan kedatangan orang-orang Jawa pertama kali yakni
pada abad ke-19 dengan tujuan sebagai pekerja kuli kontrak yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Hal ini dilakukan karena faktor dorongan dari pribadi
mereka sendiri untuk tujuan pencarian lahan baru untuk pertanian, atau paksaan yang
dilakukan oleh kolonialisme Belanda. Orang Jawa berpindah dalam jumlah yang
besar ke tanah Sumatera, sehingga lahirlah istilah Pujakesuma yaitu singkatan dari
4
Putra Jawa Kelahiran Sumatera.1 Pujakesuma itu sendiri muncul pada tahun 1980-an
dari perkumpulan suku Jawa.
Seiring berjalannya waktu, wayang kulit semakin berkembang di Sumatera
dan puncaknya terjadi pada zaman pemerintahan orde baru sekitar tahun 1970-an. Hal
itu dapat dilihat dari banyaknya peminat dari masyarakat Sumatera, khususnya
masyarakat Jawa untuk mengadakan pementasan kesenian asli mereka. Namun sejak
tahun 1990, eksistensi wayang kulit di Kabupaten Deli Serdang sudah mulai
berkurang. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pekembangan arus modernisasi yang
masuk dari berbagai daerah yang bukan berasal dari Jawa. Selain itu, pertunjukan
wayang kulit sangat sulit dijangkau oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke
bawah, karena biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang
kulit cukup mahal dan juga pertunjukan tersebut sudah dianggap sebagai hiburan
kuno untuk disajikan bagi masyarakat Jawa yang berada di Kabupaten Deli Serdang.
Perkembangan wayang kulit di Kabupaten Deli Serdang saat ini seperti hidup segan
mati tak mau, hanya dipertunjukan pada acara tertentu saja seperti sunatan,
perkawinan, bersih desa, dan ruwatan. Bahkan pertunjukan wayang kulit di Deli
Serdang hanya ada di lingkungan masyarakat yang memiliki mayoritas suku Jawa,
seperti di Desa Tembung yang merupakan salah satu lokasi penelitian penulis.
Dengan memperhatikan fungsi dan keberadaan wayang kulit saat ini,
khususnya di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang,
penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dengan pendekatan Etnomusikologi.
1 Wawancara dengan Bapak Sunardi pada tanggal 11 Juli 2017
5
Etnomusikologi merupakan suatu lapangan ilmu pengetahuan, yang mempunyai
objek penelitian seni musik, baik itu yang berupa fisik, psikologi, estetika, dan musik
dalam fenomena kebudayaan (Merriam 1964:6). Kesenian wayang kulit merupakan
salah satu hiburan bagi penduduk Deli Serdang yang memiliki nilai tinggi, karena
dalam pertunjukan tersebut mengandung banyak nasehat yang disampaikan oleh
seorang dalang. Lakon yang dibawakan dalam pertunjukan tersebut merupakan
gambaran kehidupan manusia sehari-hari, dimana didalamnya terdapat nila-nilai budi
pekerti yang dapat diambil dan dijadikan pedoman hidup. Cerita yang dipakai dalam
lakon wayang berasal dari mitos-mitos lama, legenda-legenda, cerita-cerita rakyat,
dan juga cerita-cerita dari kitab-kitab sastra yang diolah dan dipadukan dengan
kehidupan zaman sekarang.2
Dalam pertunjukan wayang kulit, diperlukan panggung pertunjukan yaitu
berupa kelir atau layar sebagai tempat bayangan yang muncul akibat cahaya dari
blencong atau lampu sorot. Selain itu, diperlukan juga tempat untuk menancapkan
wayang yang disebut dengan gedebog. Kelir terbuat dari kain berwarna putih yang
berbentuk persegi panjang, sedangkan untuk gedebog harus terbuat dari batang pisang
yang masih baru dan segar, supaya mudah ditusuk atau ditancapkan gagang wayang
tersebut. Dalam satu pertunjukan, jumlah satu set wayang kulit berkisar antara 250-
600 wayang dengan berbagai macam karakter yang sudah diukir dalam proses
pembuatannya. Tidak semua wayang tersebut dimainkan, karena tergantung dengan
kesesuaian tokoh yang digunakan dalam lakonyang dibawakan oleh dalang. Wayang
kulit yang tidak dimainkan dalam pagelaran, dijajarkan/ditancapkan di layar sebelah
2 Hasil wawancara dengan Bapak Suripno 6 Mei 2017
6
kanan dan kiri kelir. Wayang tersebut disebut Simping Kiwo (untuk wayang yang
diletakkan di sebelah kiri layar) dan Simping Tengen (untuk wayang yang diletakkan
di sebelah kanan layar). Sedangkan wayang kulit yang akan dimainkan disiapkan di
atas kotak wayang. Wayang ini disebut wayang dedudah (Herry Lisbijanto 2013:15).
Pertunjukan wayang kulit berlangsung semalam suntuk, yang dimulai pada
jam 21.00 malam sampai jam 05.00 pagi atau menjelang adzan subuh. Pementasan
wayang kulit baru ada bila diminta seseorang yang mempunyai hajat seperti khitanan,
syukuran, perkawinan, atau peringatan hari tertentu oleh perorangan, instansi, atau
organisasi. Pertunjukan wayang kulit bisa dilakukan di dalam gedung, di halaman
rumah atau di tempat terbuka sesuai keadaan pengundang. Tempat untuk penonton
yang perlu menjadi perhatian karena penonton wayang kulit yang datang berasal dari
seluruh lokasi yang berdekatan dengan pagelaran tersebut bahkan ada juga
masyarakat yang berasal dari daerah lainnya ikut menyaksikan pertunjukan tersebut.
Oleh karena itu, tempat untuk penonton harus sangat luas.
Musik pengiring pada pertunjukan wayang kulit merupakan alat musik
tradisional khas Jawa yaitu Gamelan. Seperangkat Gamelan terdiri dari beberapa
instrumen pokok yakni saron, demung, gender, gambang, gong, bonang, kenong,
kendang, rebab, siter, dan slenthem yang dibawakan secara langsung di dalam
pertunjukan tanpa bentuk rekaman audio. Musik dalam pertunjukan ini memiliki
peran dan juga fungsi yaitu sebagai pengatur ritem untuk salah satu adegan dalam
pertunjukan tersebut. Dalam hal ini penulis terfokus pada adegan perang dalam
pertunjukan tersebut yang mana musik yang dimainkan yaitu sampak dan srepeg
pada pathet nem.
7
Gamelan dibagi menjadi dua bagian, berdasarkan perbedaan nada (laras) yang
ada pada masing-masing gamelan tersebut, yaitu gamelan laras slendro dan gamelan
laras pelog. Laras slendro merupakan sistem urutan nada yang terdiri dari lima nada
dalam satu gembyang (oktaf), yaitu: 1 (ji), 2(ro), 3(lu), 5(mo), 6(nem). Istilah ji, ro,
lu, mo, nem tersebut merupakan nama singkatan angka dari bahasa Jawa, ji berarti siji
(satu), ro berarti loro (dua), lu berarti telu (tiga), mo berarti limo (lima), dan nem
berarti enem (enam). Selain laras slendro, dalam karawitan Jawa juga dikenal istilah
laras pelog, yakni tangga nada yang terdiri dari tujuh nada yang berbeda. Tujuh nada
tersebut yaitu 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 4 (pat), 5 (mo), 6 (nem), 7 (pi). Istilah karawitan
sendiri yaitu suatu kesenian yang meliputi segala cabang seni yang mengandung
unsur keindahan, halus, serta rumit atau ngrawit (Soedarsono 1992:14).
Jika dibandingkan dengan tangga nada diatonis, susunan tangga nada pelog
kurang lebih sama dengan susunan tangga nada mayor, namun penyebutan untuk
karawitan tetap menggunakan bahasa Jawa. Dalam pertunjukan wayang kulit, laras
slendro dan laras pelog sering dimainkan pada saat adegan perang, barisan prajurit,
dan adegan lainnya yang memunculkan perasaan gembira, ramai, dan menyenangkan.
Meski demikian, untuk gending-gending tertentu laras slendro dan laras pelog juga
mampu menghasilkan suasana yang dapat menimbulkan kesedihan, kerinduan, rasa
cinta, dan lain-lain. Gending merupakan deretan nada-nada yang sudah tersusun alur
melodi musikalnya atau biasa disebut juga dengan lagu.3
3 Hasil wawancara dengan Bapak Triwahjuono Harijadi 17 Juli 2017
8
Pada zaman dahulu, dalam pewayangan hanya menggunakan gamelan slendro
saja. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh mengingat tempat atau pangkat yang
mempunyai hajat tersebut tidak mengizinkan dipakainya kedua gamelan slendro dan
pelog itu. Namun, seiring dengan kemajuan zaman, hal tersebut tidak berpengaruh
lagi. Pertunjukan wayang kulit sekarang selalu menggunakan gamelan slendro dan
pelog secara bersamaan (Ki Harsono Kodrat 1982: 12). Dalam pembagian gending-
gending karawitan Jawa, khususnya wayang kulit, masing-masing gending laras
dapat dibagi menjadi tiga bagian. Gending laras slendro terdiri atas: (1) gending-
gending laras slendro pathet 6(nem); (2) gending-gending laras slendro pathet 9
(songo); dan (3) gending-gending laras slendro pathetmanyura. Selain itu, dalam
gending laras pelog terdiri dari: (1) gending-gending laras pelog pathet 5 (mo); (2)
gending-gending laraspelog pathet 6 (nem); dan (3) gending-gending laras pelog
pathet barang (7). Pengertian pathet dapat dibedakan berdasarkan dua aspek, yakni
aspek musikal serta aspek pakeliran atau pertunjukannya. Menurut Mantle Hood
dilihat dari aspek musikalnya, pathet merupakan suatu sistem yang mengatur
kedudukan dan fungsi nada (Sumber: http://idjawaid.blogspot.co.id/2016/12/pathet-
dalam-pegelaran-wayang-gaya.html). Sedangkan menurut Sri Mulyono dilihat dari
aspek pakelirannya, pathet adalah pembagian babak dalam pertunjukan wayang kulit
yang terdiri atas pathet nem, sanga, dan manyura (Lihat Buku Ragam Panggung
Dalam Bahasa Jawa 1986). Pathet nem digunakan untuk membuka pertunjukan yang
dimulai pukul 21.00. Pada pathet ini, posisi gunungan miring ke kanan. Pathet nem
mengiringi adegan istana sampai dengan adegan perang pada pukul 24.00. Setelah
adegan perang sampai dengan strat atau adegan spontan yang diimprovisasi yang
9
dilakukan oleh dalang, digunakan pathet songo. Pathet sanga berakhir pada pukul
03.00. Pada pathet ini, posisi gunungan berubah ke arah tengah. Setelah itu,
pertunjukan wayang diakhiri dengan pathet manyura pada pukul 05.00 atau biasanya
sebelum adzan subuh yang mana pada bagian ini merupakan klimaks dari lakon yang
dipentaskan dalam wayang kulit tersebut. Dalam pathet manyura ini, posisi gunungan
berakhir ke arah kiri.
Pada umumnya, pertunjukan wayang kulit dibagi ke dalam tiga pathet dengan
tujuh jejer dan tujuh tindakan perang.Jejer merupakan adegan kedatonan yang
berfungsi untuk mengenalkan suatu kerajaan dalam cerita wayang tersebut (Lihat
Buku Ragam Panggung Dalam Bahasa Jawa 1986). Pathet nem memiliki tiga jejer
dan dua tindakan perang, pathet sanga memiliki dua jejer dan dua tindakan perang,
dan pathet manyura memiliki dua jejer dan tiga tindakan perang. Namun, pada
pertunjukan wayang kulit saat ini tidak terpaku terhadap pembagian jejer dan
tindakan perang tersebut. Hal ini disebabkan supaya mempersingkat waktu
pertunjukan. Namun hal itu kembali juga kepada lakon yang dibawakan oleh dalang.
Adapun hal yang menarik dari pertunjukan wayang kulit ini adalah
pertunjukannya yang berlangsung semalam suntuk namun tidak mengurangi antusias
penonton yang datang untuk menyaksikan, kemudian peran dari seorang dalang yang
bisa memainkan berbagai macam karakter tokoh wayang dalam setiap
pertunjukkannya, serta musik pengiring yang terus memainkan melodi yang selaras
dan harmoni sepanjang jalannya pertunjukan. Dalam hal ini penulis hanya memilih
melodi dua instrumen dari musik gamelan untuk dikaji secara musikal, yakni saron
dan demung.
10
Adapun aspek utama yang akan penulis diskusikan di dalam penulisan ini
adalah bagaimana proses pertunjukan wayang kulit serta bagaimana struktur melodi
sampak dan srepeg oleh musik pengiringnya yakni saron dan demung yang
diselenggarakan di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang. Maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan membuat ke dalam
bentuk karya ilmiah dengan judul “Pertunjukan Wayang Kulit Di Desa Tembung
Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang: Struktur Melodi
Repertoar Sampak dan Srepeg Pada Instrumen Saron dan Demung”.
1.2 Pokok Permasalahan
Sesuai dengan judul skripsi ini dan juga fokus perhatian terhadap masalah
yang akan diteliti, maka penulis menentukan dua pokok masalah yaitu sebagai
berikut:
1. Bagaimana proses pertunjukan wayang kulit ?
2. Bagaimana struktur melodi sampak dan srepeg nem yang dimainkan pada
instrumen saron dan demung dalam pertunjukan wayang kulit tersebut ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan merupakan sasaran atau sesuatu yang ingin dicapai, oleh karena itu
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pertunjukan wayang kulit dan
untuk menganalisis struktur melodi sampak dan srepeg nem pada instrumen saron
dan demung dalam pertunjukan wayang kulit tersebut.
11
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diwujudkan dalam skripsi ini adalah:
1. Sebagai dokumentasi dan bahan literatur dalam displin Etnomusikologi yang
berkaitan tentang kesenian Jawa khususnya wayang kulit.
2. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik
mencakup teori maupun uraian tentang analisis pertunjukan wayang kulit.
3. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama
perkuliahan di Program Studi Etnomusikologi.
4. Bagi generasi muda agar dapat lebih memperhatikan, mendukung, dan
menjaga kelestarian kesenian tradisional Jawa demi kemajuan kebudayaan
Indonesia.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep merupakan ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan
klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah
atau rangkaian kata atau lambang bahasa (Soedjadi 2000:14). Menurut
Koentjaraningrat (2009:85), konsep merupakan penggabungan dan perbandingan
bagian-bagian dari suatu penggambaran dengan bagian-bagian dari berbagai
penggambaran lain yang sejenis, berdasarkan asas-asas tertentu secara konsisten.
Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa definisi konsep yaitu suatu hal umum
yang bertujuan untuk menjelaskan atau menyusun suatu ide atau akal pikiran yang
dinyatakan dalam suatu kata atau simbol bahasa.
12
Maka, berdasarkan pengertian di atas akan menjelaskan beberapa konsep yang
berkaitan dengan tulisan ini yang mencakup: (a) analisis; (b) pertunjukan; (c) wayang
kulit; (d) melodi; (e) sampak dan srepeg.
Analisis berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu “analusis” yang berarti
melepaskan. Analusis terbentuk dari dua suku kata yaitu “ana” yang berarti kembali
dan “luein” yang berarti melepas. Sehingga pengertian analisis yaitu suatu usaha
dalam mengamati secara detail pada suatu hal atau benda dengan cara menguraikan
komponen-komponen pembentuknya atau menyusun komponen tersebut untuk dikaji
lebih lanjut. Dalam hal ini, proses pertunjukan serta struktur musikal saron dan
demung pada pertunjukan wayang kulit akan diamati secara detail dengan cara
menguraikan komponen-komponen yang terdapat di dalam pertunjukan wayang kulit
tersebut.
Pertunjukan adalah suatu proses yang memerlukan ruang dan waktu, yang
memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar pertunjukan terdiri dari
persiapan bagi pemain maupun penonton, pementasan, aftermath, atau yang terjadi
setelah pertujukan selesai (Richard Schechner 1997:161). Dalam hal ini, penulis akan
mendeskripsikan pertunjukan wayang kulit hanya bagian awal untuk membatasi
masalah agar tidak meluas.
Wayang kulit merupakan boneka yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu
yang dimanfaatkan untuk memerankan tokoh pada pertunjukan tradisional dan
merupakan salah satu bentuk teater yang paling tua, yang biasanya dimainkan oleh
seorang dalang (Supriyo, 2008).
13
Melodi yaitu suatu kesatuan frase yang terdiri dari bunyi-bunyi dengan
urutan, interval, dan tinggi rendah yang terstruktur. Diantara unsur-unsur seni musik
yang lain, melodi dinilai sebagai unsur yang menjadi daya tarik musik itu sendiri.
Dalam hal ini melodi dari instrumen saron dan demung menjadi salah satu daya tarik
dari seperangkat musik gamelan yang mengiringi pertunjukan wayang kulit itu
sendiri.
Sampak dan Srepeg adalah salah satu repertoar khusus dengan bentuk dan
struktur tersendiri dalam penyajiannya. Repertoar tersebut dimainkan pada saat
adegan perang dalam pertunjukan wayang kulit. Masyarakat Jawa umumnya
berpendapat bahwa semua jenis musik, yakni diantaranya sampak dan srepeg
termasuk ke dalam gending.4
1.4.2 Teori
Menurut Siswoyo “Dalam Mardalis (2003:42)”, teori diartikan sebagai
seperangkat konsep dan definisi yang salin berhubungan yang mencerminkan suatu
pandangan sistematik mengenai fenomena dengan menerangkan hubungan antar
variabel, dengan tujuan untuk menerangkan dan meramalkan fenomena. Untuk
memudahkan penelitian diperlukan pedoman untuk berfikir yaitu kerangka teori.
Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut seorang peneliti perlu menyusun
suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana
peneliti menyoroti masalah yang dipilih (Suyanto 2005:34). Teori yang digunakan
dalam hal ini tentunya masih relevan dengan ilmu yang digunakan dalam disiplin
4 Hasil wawancara dengan Bapak Triwahjuono Harijadi 7 Desember 2017
14
ilmu etnomusikologi yaitu teori pertunjukan menurut Murgiyanto (1996:156), teori
teori weighted scale menurut William P. Malm (1977:15), dan teori semiotika yang
dikemukan oleh Charles Sanders Peirce (Petada, 2001:44).
1.4.2.1. Teori Pertunjukan
Menurut Murgiyanto (1995), kajian-kajian keilmuwan mengenai seni terbagi
kedalam rumpun-rumpun seni: (a) seni pertunjukan, yang di dalamnya terdiri lagi dari
percabangan seni musik, tari, dan teater. Bidang kajian disiplin ini meluaskan diri
sampai kepada sirkus, cabaret, olahraga, ritual, upacara, prosesi pemakaman dan lain-
lainnya, (b) seni visual atau seni rupa yang terdiri dari seni murni, seni patung,
kerajinan atau kriya, lukis, disain grafis, disain interior, disain eksterior, reklame, dan
lain-lainnya, (c) seni media rekam, yang terdiri dari: televisi, radio, komputer,
internet, dan lain-lainnya. Seni sastra umumnya menjadi bagian kajian dari ilmu
sastra dan linguistik, seni arsitektur atau seni bina menjadi bagian kajian ilmu teknik.
Namun kesemua bidang ini saling memiliki hubungan teoritis, metodologis dan
sejarah dalam ilmu pengetahuan manusia.
Seni pertunjukan berarti “tontonan yang bernilai seni,” yang disajikan sebagai
pertunjukan di depan penonton (Murgiyanto, 1996: 153). Untuk menyajikan sebuah
pertunjukan tersebut dibutuhkan unsur-unsur pendukungnya, antara lain pemain,
penonton, pesan yang disampaikan, dan cara penyampaian yang khas. Selain itu,
unsur ruang dan waktu juga menjadi hal yang sangat penting dari sebuah pertunjukan
(Murgiyanto, 1996: 156). Pada dasarnya, sebuah seni pertunjukan memiliki fungsi
yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Beberapa fungsi dari
15
pertunjukan tersebut antara lain fungsi religius, fungsi sosial, fungsi pendidikan,
fungsi estetik, dan fungsi ekonomi. Fungsi-fungsi yang terdapat dalam sebuah
pertunjukan terkadang tidak hanya satu, tapi bisa lebih. Hal itu tergantung dengan
kebutuhan manusia itu sendiri. Dalam hal ini, pertunjukan wayang kulit memiliki
fungsi lebih sebagai fungsi sosial serta pendidikan.
Dalam mendeskripsikan pertunjukan wayang kulit, selain menggunakan teori
yang dikemukakan oleh Murgiyanto, penulis juga menggunakan teori Milton Siger
(MSPI, 1996:164-165) yang menjelaskan bahwa pertunjukan selalu memiliki: (1)
Waktu pertunjukan yang terbatas, (2) Awal dan akhir, (3) Acara kegiatan yang
terorganisir, (4) Sekelompok pemain, (5) Sekelompok penonton, (6) Tempat
pertunjukan dan, (7) Kesempatan untuk mempertunjukkannya (Lihat Skripsi Flora
Hutagalung 2009:11).
1.4.2.2 Teori Weighted Scale
Untuk mengkaji struktur musikal yang dimainkan pada pertunjukan wayang
kulit, penulis menggunakan teori weighted scale yang dikemukakan oleh William P.
Malm (1977:15). Aspek musikal tersebut terdiri dari: (1) tangga nada (scale), (2)
nada dasar (pitch center), (3) wilayah nada (range), (4) jumlah nada-nada (frequency
of notes), (5) interval yang dipakai (prevalent interval), (6) pola-pola kadensa
(cadence patterns), (7) formula melodi (melodic formula),(8) kontur (contur).
Pendekatan seperti yang ditawarkan Nettl (1964:98), yaitu: (1) menganalisa
dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) menuliskan apa yang kita dengar
itu di atas kertas, dan kemudian mendeskripsikan apa yang kita lihat itu. Untuk
16
mendukung analisis struktur melodi dari instrumen saron dan demung yang
dimainkan pada pertunjukan wayang kulit, penulis menggunakan metode transkripsi.
Transkripsi merupakan proses penotasian bunyi yang didengar dan dilihat. Dalam
mengerjakan transkripsi penulis menggunakan pada notasi musik yang dinyatakan
Seeger yaitu notasi preskriptif dan deskriptif. Notasi preskriptif adalah notasi yang
dimaksudkan sebagai alat pembantu untuk penyaji supaya dapat menyajikan
komposisi musik. Sedangkan notasi deskriptif adalah notasi yang dimaksudkan untuk
menyampaikan kepada pembaca tentang ciri-ciri atau detail-detail komposisi musik
yang belum diketahui oleh pembaca. Dalam hal ini, penulis tidak hanya
mendeskripsikan pertunjukan wayang kulit, tetapi juga menganalisis struktur melodi
gending yang dimainkan instrumen saron dan demung yang digunakan sebagai salah
satu musik pengiring dalam pertunjukan tersebut. Sebelum menganalisis melodi
sampak dan srepeg yang dimainkan instrumen saron dan demung, maka terlebih
dahulu data audio yang telah direkam penulis ditranskripsi ke dalam notasi balok
dengan menggunakan pendekatan etnomusikologis. Setelah dapat diubah ke dalam
bentuk notasi yang bentuknya visual, barulah notasi tersebut dianalisis.
1.4.2.3 Teori Semiotika
Untuk mengetahui dan mendalami makna simbolik yang terdapat pada
pertunjukan wayang kulit, penulis menggunakan teori semiotika. Semiotika adalah
suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana
signs “tanda-tanda” dan berdasarkan pada sign system (code) “sistem tanda” (Segers,
2000:4). Dalam pembagiannya, semiotika dibagi kedalam tiga wilayah kajian, yakni
17
semiotika semantik, semiotika sintatktik, dan semiotika pragmatik. Dalam penulisan
skripsi ini, penulis menggunakan teori semiotika pragmatik. Teori semiotika
pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang penggunaan tanda serta efek yang
dihasilkan oleh tanda tersebut (Charles Sanders Peirce dalam Pateda, 2001:44). Tanda
yang dimaksud disini yaitu penggunaan gunungan atau kayonoleh dalang dalam
pertunjukan wayang kulit.
1.5 Metode Penelitian
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode
penelitian. Metode berasal dari bahasa Yunani, yakni methodos yang berarti jalan
atau cara. Jalan atau cara yang dimaksud disini adalah sebuah upaya atau usaha dalam
meraih sesuatu yang diinginkan (Hidayat 1990:60), sedangkan penelitian adalah
upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta
dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati, dan sistematis untuk mewujudkan
kebenaran (Mardalis 2006:24). Metode penelitian dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan metode penelitian
deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian pertunjukan wayang kulit
ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif,
karena penelitian ini lebih berupa kata-kata secara detail dan bukan dalam bentuk
angka-angka.
Untuk mengetahui segala permasalahan penelitian dan penulisan serta
mengaplikasikan metode penelitian kualitatif, penulis melakukan pengumpulan data
melalui pemahaman kepustakaan, selain itu penulisan juga di lakukan dalam beberapa
18
tahapan disamping pengumpulan data, yaitu pemilihan sampel, kerja laboratorium,
bimbingan serta diskusi. Sebagai hasil akhir dari menganalisis data adalah membuat
laporan yang dalam hal ini adalah penulisan skripsi.
Menurut Curt Sachs (1962:16), penelitian dalam etnomusikologi dapat dibagi
menjadi dua cara, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk
work). Data yang dikumpulkan dari lapangan akan dianalisis di laboratorium dan
hasilnya akan didapat setelah kedua metode kerja tersebut dilakukan. Pada kerja
lapangan meliputi beberapa teknik dalam pengaplikasiannya, yakni: (1) observasi; (2)
wawancara; dan (3) perekaman. Sementara dalam kerja laboratorium, data-data yang
telah dikumpulkan dari lapangan serta studi kepustakaan akan diseleksi untuk
membuang data yang tidak perlu atau menambahkan data yang masih kurang. Semua
data tersebut akan diolah dengan melakukan pendekatan etnomusikologi.
1.5.1 Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data, dimana peneliti melakukan
pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan
yang dilakukan (Ridwan 2004:104). Secara umum observasi adalah aktivitas yang
dilakukan untuk mengetahui sesuatu dari sebuah fenomena yang didasari pada
pengetahuan dan gagasan yang bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi
terkait dengan suatu fenomena atau peristiwa yang sudah atau sedang terjadi di
lingkungan yang mana dalam mendapatkan informasi-informasi tadi harus objektif,
nyata, serta harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, penulis melakukan
pengamatan langsung ke lokasi dimana grup wayang kulit melakukan pertunjukan,
19
yaitu di Jalan Rahayu Pasar VII Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Deli
Serdang. Penulis mengambil video serta gambar melalui kamera DSLR pada saat
persiapan grup wayang kulit sampai dimulainya pertunjukan tersebut. Hal ini
bertujuan untuk kelengkapan dokumentasi serta menambah wawasan pengetahuan
penulis tentang seni pertunjukan wayang kulit.
1.5.2 Kerja Laboratorium
Kerja laboratorium adalah mencari data-data dari berbagai referensi seperti
buku-buku, media cetak, skripsi-skripsi, ataupun segala tulisan yang berhubungan
dengan penelitian ini. Data-data yang telah didapat tersebut kemudian disaring sebaik
mungkin untuk dijadikan sebuah tulisan yang valid. Setelah itu, data-data tersebut
disusun secara sistematis sehingga hasilnya dapat dikembangkan sebagai bahan yang
akurat dalam pembahasan masalah yang dihadapi. Dalam tahapan tersebut, penulis
mengumpulkan data-data yang berasal dari berbagai sumber referensi untuk diolah
dengan data-data yang berasal dari lapangan agar menjadi penulisan sistematis dan
dapat diambil suatu kesimpulan. Setelah itu, data perekaman audio menjadi objek
yang diteliti oleh penulis, yang didengar dan kemudian menuliskannya kedalam
notasi balok melalui teknik transkripsi. Selanjutnya data tersebut diklasifikasi dan
dibentuk sebagai data. Data tersebut di perbaiki dan di perbarui agar tidak rancu dan
sesuai dengan objek penelitian dalam menulis skripsi ini.
20
1.5.3 Studi Kepustakaan
Sebelum melakukan kerja lapangan, penulis terlebih dahulu melakukan studi
kepustakaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang pertunjukan wayang
kulit. Penulis mencari informasi dan referensi berupa buku-buku dan juga dari
beberapa skripsi yang relevan dan sangat berhubungan dengan objek penelitian
tersebut. Selain itu, dalam studi kepustakaan penulis juga melakukan survei terhadap
tulisan-tulisan di jejaring sosial internet. Data-data yang berasal dari blog internet itu
juga membantu penulis memahami latar belakang tentang pertunjukan tersebut.
1.5.4 Wawancara
Wawancara merupakan salah satu cara untuk memperoleh informasi yang
diperlukan dalam suatu penelitian, yang dalam hal ini penulis melakukan wawancara
dengan informan di lokasi pertunjukan wayang kulit yang sedang berlangsung dan
juga wawancara di salah satu rumah dalang yaitu Bapak Sunardi yang terletak di
Jalan Bromo. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara dengan salah seorang
penabuh gamelan yakni Bapak Suprapto dari Sanggar Mardi Lestari yang berada di
Jalan Batang Kuis.
Menurut Koentjaraningrat (1990:190), wawancara dapat dilakukan dengan
tiga cara, yaitu: (1) wawancara berfokus (focused interview); (2) wawancara bebas
(free interview); dan (3) wawancara sambil lalu (casual interview). Wawancara
berfokus mengutarakan pertanyaan tidak mempunyai yang tidak mempunyai struktur
tertentu, tetapi selalu berpusat pada pokok permasalahan. Wawancara bebas yaitu
tidak berpusat pada pokok permasalahan tetapi tidak beralih dari satu hal ke hal lain.
21
Sedangkan wawancara sambil lalu, yaitu dimana wawancara dilakukan tanpa
persiapan sebelumnya, dan orang yang diwawancara itu kebetulan berada di suatu
tempat.
Dalam wawancara, penulis melakukan perekaman dan mencatat hasil
wawancara dengan informan yang bersangkutan. Penulis menggunakan Handphone
Merek Oppo Joy R1001 untuk merekam suara pada saat melakukan wawancara. Hal
ini juga membantu penulis didalam mengerjakan penulisan skripsi ini.
1.6 Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, yang menjadi lokasi penelitian penulis adalah salah satu
tempat yang menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit dalam acara pesta
perkawinan yang berada di Jalan Rahayu Pasar VII Desa Tembung Kecamatan Percut
Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Alasan penulis memilih lokasi tersebut karena
grup wayang kulit yakni Sanggar Mardi Lestari yang menjadi salah satu informan
penulis merupakan salah satu sanggar yang cukup terkenal khususnya di Kabupaten
Deli Serdang sedang melakukan pertunjukan di lokasi tersebut pada saat penulis
melakukan penelitian. Grup sanggar itu di undang ke acara tersebut sebagai hiburan
bagi tamu undangan serta masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertunjukan.
22
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA
DI DESA TEMBUNG KECAMATAN PERCUT SEI TUAN
KABUPATEN DELI SERDANG
2.1 Sejarah Singkat Masuknya Suku Jawa di Kabupaten Deli Serdang
Kabupaten Deli Serdang merupakan Kabupaten yang banyak di huni oleh
berbagai suku dan etnis, baik yang berasal dari Pulau Jawa maupun dari luar Pulau
Jawa. Masyarakat Jawa merupakan salah satu kelompok etnis pendatang yang ada di
Indonesia yang di antaranya berdiam di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang. Pada awal abad ke-20 masyarakat Jawa datang dan
memasuki wilayah Sumatera Utara dengan menjadi kuli kontrak. Pada tahun 1863,
Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda yang telah lama tinggal di Batavia,
datang ke Kabupaten Deli Serdang dan mendapatkan kontrak dari Sultan Deli untuk
menanam tembakau selama 20 tahun di Sumatera Timur. Nienhuys mulai membuka
sebuah ladang di Martubung dengan 88 orang kuli Cina dan 23 kuli Melayu (Sinar
2006:207). Hasil tembakau dari kebun Martubung ini mendapat sambutan yang baik
hal lain yang menjadi faktor utama masyarakat Jawa datang ke Sumatera Utara
adalah tidak terlepas dari perkembangan daerah Sumatera Utara sebagai daerah
perkebunan yang dikelola perusahaan perkebunan Belanda bermodal asing yang
dilengkapi dengan perangkat administrasi nya, yang disebut dengan onderneming-
onderneming yang berdiri sekitar tahun 1864 (Karl J. Pelzer, 1985:12).
23
Kuli kontrak adalah struktur perburuhan yang mengharuskan pekerjanya
terikat perjanjian bekerja pada perusahaan perkebunan pemerintahan kolonial
maupun perusahaan swasta milik asing dengan syarat dan aturan tertentu. Pada masa
onderneming buruh yang dipekerjakan sebagai koeli kontrak adalah orang-orang Jawa
dan Cina yang merupakan populasi terbesar pada masa itu, kemudian orang Batak
dan India. Pada tahun 1866, Janssen dan Clemen memberikan bantuan modal kepada
Neienhuys untuk mendirikan sebuah perusahaan perkebunan tembakau yang diberi
nama Deli Maatschapij. Pada saat itu pasar tembakau di Eropa sedang meningkat
pesat, dan tembakau yang dihasilkan oleh perkebunan Deli mampu menembus
pasaran Eropa karena tembakau Deli memiliki kualitas yang sangat baik. Maka
Nienhuys memperpanjang kontraknya dengan Sultan Deli pada tanggal 8 April 1867
selama 99 tahun. Nienhuys juga membuka perkebunan tembakaunya yang lain di
Sunggal pada tahun 1869, di Sungai Besar dan Kelumpang pada tahun 1875, karena
semakin luas dan semakin bertambahnya kebun sehingga memerlukan semakin
banyak kuli (Lihat Skripsi Dina Sitopu 2003:31-32)
Setelah masa kolonial Belanda berakhir maka kontrak-kontrak mereka pun
berakhir, namun masyarakat Jawa tersebut tidak kembali ke Jawa, mereka tetap
menjadi penduduk setempat sama seperti masyarakat-masyarakat pendatang lainnya.
Kemudian mereka membentuk kelompok yang mendirikan komunitas-komunitas
bagi kelangsungan hidup sosial dan budaya mereka. Walaupun banyak orang-orang
Jawa datang ke Kabupaten Deli Serdang sebagai kuli kontrak, namun para anggota
group kesenian wayang kulit bukan berasal dari keturunan para kuli kontrak bahkan
bukan juga sebagai kuli kontrak. Kebanyakan mereka datang ke Kabupaten Deli
24
Serdang berdasarkan usaha sendiri dengan dana sendiri dan bertujuan untuk mencari
pekerjaan. Semakin banyak orang Jawa menetap di Kabupaten Deli Serdang, semakin
besar pula niat mereka untuk melestarikan budayanya dengan cara memperkenalkan
kesenian tradisional mereka kepada masyarakat yang ada di Kabupaten Deli Serdang.
Selain itu, ada juga beberapa organisasi yang terbentuk untuk mendukung
perkembangan kesenian mereka dan salah satu organisasi tersebut adalah Forum
Masyarakat Jawa Deli. Dalam komunitas barunya tersebut, masyarakat Jawa
mendirikan kelompok-kelompok kesenian. Kesenian yang mereka bawa dari daerah
asalnya tersebut merekajadikan sebagai penghibur dan pengusir rasa lelah setelah
seharian bekerja juga sebagai pengobat rasa rindu pada kampung halaman mereka.
Salah satu kesenian tersebut adalah seni tradisional wayang kulit.5
2.2 Letak Geografis Kabupaten Deli Serdang
Kabupaten Deli Serdang merupakan salah kabupaten yang ada di Sumatera
Utara. Kabupaten ini dibentuk pada tanggal 1 Juli 1946, dengan ibukotanya yaitu
Lubuk Pakam. Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus
1945, Kabupaten Deli Serdang yang dikenal sekarang ini merupakan dua
pemerintahan yang berbentuk kerajaan (Kesultanan) yaitu Kesultanan Deli yang
berpusat di Kota Medan, dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan (± 38 km
dari Kota Medan menuju Kota Tebing Tinggi). Pada tanggal 14 November1956,
barulah Kabupaten Deli dan Serdang ditetapkan menjadi Daerah Otonom dan
namanya berubah menjadi Kabupaten Deli Serdang sesuai dengan Undang-Undang
5 Hasil Wawancara dengan Bapak Sunardi 20 Juli 2017
25
Nomor 22 tahun 1948 yaitu Undang-Undang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
dengan Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1956. Untuk merealisasikannya
dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pertimbangan
Daerah (DPD).
Kabupaten Deli Serdang terletak diantara 2°57”- 3°16” Lintang Utara serta
pada 98°33 - 99°27” Bujur Timur merupakan bagian dari wilayah pada posisi silang
di kawasan Palung Pasifik Barat dengan luas wilayah 2.497,72 Km² (249,772 Ha)
atau merupakan 3,34% dari luas Provinsi Sumatera Utara. Secara administratif,
Kabupaten Deli Serdang terdiri dari 22 Kecamatan dan 394 Desa/Kelurahan (380
desa dan 14 kelurahan), dengan jumlah penduduk 1.021.188 jiwa (Data Statistik Deli
Serdang 2015).
Kabupaten Deli Serdang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Langkat dan Selat Sumatera
Sebelah Selatan : Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun
Sebelah Barat : Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo
Sebelah Timur : Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun
26
Gambar 2.1
Peta Kabupaten Deli Serdang
(Sumber : http://dprd-Deli Serdangkab.go.id/v1/peta-deli-serdang/)
Desa Tembung adalah salah satu desa dari 20 Desa / Kelurahan yang ada di
Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Percut Sei Tuan dipimpin oleh
seorang camat yang bernama TM.Zaki Taufa S.Sos MAP. Desa Tembung yang
memiliki luas 535 Ha, merupakan salah satu desa yang berkembang di pinggiran
Kota Medan. Walaupun letaknya yang berada di pinggiran Kota Medan, Desa
Tembung sudah termasuk daerah Kabupaten Deli Serdang. Bukan merupakan Kota
Madya Medan lagi.
27
Dengan melihat potensi pendukung, seperti letaknya di pinggiran Kota
Medan, Desa Tembung juga dekat dengan pusat pemerintahan, serta pusat-pusat
pendidikan. Perkembangan yang tampak jelas adalah terkait dengan penggunaan
lahan, yang dahulunya adalah lahan pertanian berubah menjadi pemukiman.
Perubahan lahan pertanian menjadi pemukiman tersebut menjadikan lahan pertanian
semakin berkurang, selain itu telah banyak berdiri bangunan perkantoran, mini
market, showroom,dan tempat bimbingan belajar. Berikut merupakan tabel daftar
jumlah penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan:
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan
No. Desa/Kelurahan Laki-Laki
(Jiwa)
Perempuan
(Jiwa)
Jumlah
1. Bandar Klippa 18.621 18.143 36.764
2. Sei Rotan 13.444 12.910 26.354
3. Laut Dendang 8.060 7831 15.891
4. Amplas 4.586 4.348 8.934
5. Sampali 14.325 14.894 29.219
6. Cinta Damai 2.515 2.513 5.028
7. Pematang Lalang 856 828 1.684
8. Kolam 7.784 7.542 15.326
9. Bandar Khalipah 20.622 20.102 40.724
10. Tembung 26.933 26.933 53.868
11. Medan Estate 7.862 8.402 16.264
28
12. Saentis 8.731 8.393 17.124
13. Cinta Rakyat 6.908 6.615 13.523
14. Tanjung Selamat 2.830 2.770 5.600
15. Percut 7.218 6.942 14.160
16. Sambirejo Timur 13.333 12.912 26.245
17. Tanjung Rejo 5.052 4.800 9.852
18. Bandar Setia 11.156 10.512 21.668
19. Kenangan 11.392 11.390 22.782
20. Kenangan Baru 11.700 12.416 24.116
JUMLAH 203.860 201.710 405.570
Sumber : Kantor Kecamatan Percut Sei Tuan
2.3 Sistem Kekerabatan
Penduduk Desa Tembung mayoritas terdiri dari suku Jawa, oleh karena itu
penulis menggunakan sistem kekerabatan masyarakat Jawa pada umumnya. Sistem
kekerabatan adalah hubungan seseorang dengan yang lain berdasarkan pertalian
darah.Sistem kekerabatan yang digunakan oleh masyarakat Jawa adalah kekerabatan
yang dilihat berdasarkan prinsip bilateralyaitu memperhitungkan keanggotaan
kelompok melalui garis keturunan laki-laki maupun garis keturunan perempuan,
maka seseorang dapat menjadi anggota kelompok kekerabatan dari pihak ayah dan
juga menjadi anggota kelompok kekerabatan dari pihak ibu.
29
Orang-orang Jawa memiliki sistem kekerabatan, yang disebut bebrayat.
Menurut informasi Bapak Subanindyo Hadiluwih, seorang tokoh masyarakat Jawa di
Sumatera Utara yang penulis kutip dari Buku Masyarakat Kesenian di Indonesia,
bebrayat berasal dari kata brayat yang berarti keluarga. Dalam budaya Jawa brayat
berarti sistem bekeluargadalam arti luas, yaitu keluarga inti, batih, atau keluarga
budaya.Sistem kekerabatan ini dilandasi oleh sikap bergotong-royong, dengan konsep
sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidak mengharapkan balasan pamrih, dan
mengutamakan kerja bersama-sama. Dalam hal ini bentuk kelompok kekerabatan
yang paling kecil adalah keluarga batih, yang anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan
anak-anaknya yang belum menikah, apabila keluarga batih mempunyai kerabat satu
dengan yang lain maka terbentuklah suatu kelompok kekerabatan yang disebut
dengan paseduluran:(1) sedulur tunggal kringkel merupakan saudara lahir dari ibu
dan ayah yang sama; (2) sedulur kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama,
atau sebaliknya saudara lain ibu nemun ayahnya sama, dan saudara tiri; (3) sedulur
misanan merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung
atau tiri; (4) sedulur mindoan adalah saudara satu buyut (orang tau kakek atau nenek)
berlaku baik untuk saudara kandung atau tiri, (5) sedulur menteluyaitu saudara satu
canggah (buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; (6) bala yaitu yang
menurut anggapan mereka masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak
kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat,
misalnya jenis pekerjaan sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; (7) tanggayang
konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam
30
kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan (Lihat Skripsi Dina Sitopu
2003:39).
2.4 Sistem Kepercayaan
Kepercayaan atau agama yang dianut oleh masyarakat Jawa di Kecamatan
Percut Sei Tuan adalah agamaIslam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan
Budha.Namun Agama Islam yang memiliki kapasitas jumlah umat yang terbesar di
Kecamatan Percut Sei Tuan. Hal ini dapat dilihat dari adanya rumah ibadah yang
mengisi di setiap lokasi dari masing-masing desa/kelurahan tersebut. Berikut akan
diuraikan statistikagama yang dianut oleh masyarakat di Kecamatan Percut Sei Tuan.
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
Agama Jumlah (Jiwa)
Islam 349.184
Kristen Protestan 33.397
Kristen Katholik 11.678
Buddha 2.263
Hindu 6.912
Jumlah 405.570
Sumber : Kantor Kecamatan Percut Sei Tuan
Pada zaman dulu, para wali sembilan (pemimpin terdahulu) di Jawa Tengah
mendirikan wayang agar bisa mengembangkan agama Islam. Oleh karena itu, siapa
saja yang ingin menonton wayang harus membasuh tangan (berwudhu) terlebih
31
dahulu agar bisa masuk ke dalam masjid menonton wayang kulit. Disitu diadakan
pertunjukan wayang kulit yang diperankan oleh Sunan Kalijaga dengan para penabuh
gamelan seperti Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Muria. Sunan merupakan sebutan
bagi orang Jawa yang diagungkan atau dihormati, biasanya karena kedudukan atau
jasanya di masyarakat. Hal ini yang menyebabkan pertunjukan wayang kulit saling
berkaitan dengan tradisi agama Islam.6
Masyarakat di Kecamatan Percut Sei Tuan juga memiliki suku yang beraneka
ragam yang mayoritas merupakan suku Jawa yang diikuti oleh suku Batak, Padang,
Melayu, Sunda dan Tionghoa. Para masyarakat itu umumnya merupakan para
pendatang yang merantau ke Sumatera Utara dan menjadi warga tetap di Kecamatan
Percut Sei Tuan tersebut. Khusus suku Batak dan Melayu merupakan penduduk asli
yang telah lama bertahan dan melahirkan generasi hingga sampai saat ini.
2.5 Sistem bahasa
Pada umumnya bahasa yang dipakai oleh masyarakat Kecamatan Percut Sei
Tuan Kabupaten Deli Serdang adalah bahasa Jawa karena mayoritas penduduk disana
adalah masyarakat Jawa. Namun pada saat ini, masyarakat Jawa yang ada di
Kabupaten Deli Serdang tersebut sudah jarang memakai bahasa Jawa asli. Mereka
lebih sering memakai bahasa Indonesia dengan logat Jawa-nya, karena di daerah
tersebut selain suku Jawa terdapat juga beberapa suku lain diantaranya suku Batak,
Padang, Melayu, dan sebagainya. Hal ini yang menyebabkan bahasa Jawa sudah
mulai terkontaminasi dengan bahasa-bahasa dari suku lain tersebut.
6 Hasil wawancara dengan Bapak Suprapto 9 Januari 2018
32
Ada beberapa jenis gaya bahasa yang biasa digunakan dalam kehidupan
masyarakat Jawa di Kabupaten Deli Serdang, yaitu:
1. Ngoko yaitu bahasa yang pemakaiannya dihindari untuk berbicara dengan
orang yang dihormati atau orang yang lebih tua karena bersifat kasar. Gaya
bahasa ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh
mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan
bicara (mitra wicara).
2. Kromo inggil yaitu suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusan atau
tata kramanya tinggi. Gaya bahasa kromo inggil biasa digunakan untuk
menghormati orang-orang yang lebih tua atau lebih berilmu.
3. Kromo andhap atau kromo tengah yaitu bentuk bahasa yang digunakan
untuk menghormati lawan bicara dengan cara merendahkan diri sendiri.
4. Kawi yaitu bahasa yang pernah berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha dan dipakai dalam penulisan karya-karya sastra. Bahasa
Kawi juga disebut dengan istilah bahasa Jawa Kuno.7
2.6 Sistem Kesenian
2.6.1 Seni Pertunjukan Wayang
Masyarakat Jawa memiliki berbagai macam seni pertunjukan, salah satunya
yang paling terkenal adalah wayang. Ada beberapa jenis wayang yakni wayang kulit,
wayang golek, wayang wong (orang), wayang beber, dan wayang klithik. Dari
beberapa jenis wayang tersebut, wayang kulit merupakan seni pertunjukan yang
7 Hasil wawancara dengan Bapak Suprapto 9 Januari 2018
33
sering dipertunjukan dan digemari oleh masyarakat Kabupaten Deli Serdang. Hal ini
dapat dilihat di setiap acara atau perayaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat
atau Pemerintah Deli Serdang, wayang kulit menjadi sarana hiburan yang paling
sering ditampilkan.
1) Wayang kulit adalah wayang yang tokoh-tokohnya terbuat dari bahan kulit.
Wayang kulit pada umumnya bermakna bayangan, yang mana hal ini
disebabkan penonton menikmati pertunjukan wayang kulit dari belakang kelir
(layar) sehingga hanya melihat bayangannya saja. Namun berdasarkan
penelitian yang penulis lakukan, posisi dalang dalam memainkan wayang
kulit dipanggung yaitu membelakangi penonton, sehingga penonton tidak
menikmati wayang kulit melalui bayangan dari kelir saja, melainkan dapat
juga melihat dengan asli bentuk dan struktur wayang tersebut.
Gambar 2.2
Pertunjukan Wayang Kulit
(Dokumentasi Penulis)
34
2) Wayang golek adalah wayang yang tokoh-tokohnya terbuat dari boneka kayu
tiga dimensi. Wayang golek dipandang lebih realistis dibanding wayang kulit,
sebab selain bentuknya menyerupai badan manusia, wayang golek juga
dilengkapi kostum yang terbuat dari kain sehingga dapat dilihat secara utuh.
Sedangkan wayang kulit hanya terbuat dari kulit yang manusianya diukir dan
dilukis sesuai dengan tokoh-tokoh dalam pewayangan.
Gambar 2.3
Pertunjukan Wayang Golek
(https://goo.gl/images/7SgSG)
3) Wayang wong (orang) adalah wayang yang tokoh-tokohnya diperankan
langsung oleh manusia. Pada dasarnya, wayang orang ini merupakan refleksi
dari wayang kulit. Pada wayang orang, semua tokoh wayang diperankan oleh
manusia sehingga pertunjukan ini bisa bergerak dan berdialog sendiri, seperti
Opera Van Java.
35
Gambar 2.4
Pertunjukan Wayang Wong (Orang)
(https://goo.gl/images/bx829S)
4) Wayang beber adalah wayang yang menggunakan gulungan gambar-gambar
sebagai objek pertunjukan yang dipertunjukan dengan cara membentangkan
gulungan gambar wayang beber tersebut. Gambar-gambar itu dilukiskan pada
selembar kertas atau kain yang dibuat dari satu adegan menyusul adegan lain,
berurutan sesuai dengan narasi cerita. Gambar didalam gulungan tersebut
biasanya terdiri atas empat adegan yang digulung dalam satu gulungan. Satu
cerita wayang beber biasanya terdiri dari lima atau enam gulungan. Apabila
akan dipertunjukkan, gambar-gambar cerita itu dibentangkan dari
gulungannya. Gambar-gambar yang melukiskan cerita itu narasinya
dituturkan satu demi satu oleh seorang dalang.
36
Gambar 2.5
Pertunjukan Wayang Beber
(https://goo.gl/images/x7zRJz)
5) Wayang Klithik adalah wayang yang terbuat dari kayu berbentuk pipih
seperti wayang kulit. Gagang dari wayang klithik tersebut terbuat dari
kayu sehingga jika dimainkan mengeluarkan bunyi “klithik, klithik”.
Gambar 2.6
Pertunjukan Wayang Klithik
(https://goo.gl/images/WFbGKi)
2.6.2 Seni Musik
Masyarakat Jawa memiliki jenis seni musik, baik vokal ataupun instrumen
yang disebut dengan karawitan. Kesenian karawitan ini dikemas dengan alunan
instrumen, yakni berupa Gamelan dan juga vokal yang indah sehingga enak untuk
37
didengar dan juga dinikmati. Kesenian karawitan ini merupakan kesenian klasik yang
sangat terkenal di kalangan masyarakat Jawa dan Indonesia dan merupakan salah satu
warisan seni serta budaya yang kaya akan nilai historis dan juga filosofis. Pada masa
sekarang ini, seni karawitan telah mengalami berbagai perkembangan. Salah satunya
yaitu adanya alat musik modern yang tergabung dalam gamelan yakni snare drum
serta cymbal. Fungsi snare drum dan cymbal ini dapat dilihat pada saat adegan perang
yang mana di setiap dalang memainkan para tokoh wayang saat adegan tersebut,
terdapat bagian-bagian tertentu dimana snare drum dan cymbal akan dipukul. Hal ini
juga untuk menambah suasana pertunjukan agar lebih hidup.
Gambar 2.7
Pemain Snare Drum dan Cymbal Oleh Niyaga
(Dokumentasi Penulis)
2.7 Sistem Mata Pencaharian
Dalam wawancara penulis dengan Bapak Suprapto di kediamannya di jalan
pasar 3 Mabar, selain bertanya tentang pertunjukan wayang kulit penulis juga
bertanya tentang kehidupan masyarakat Jawa, salah satunya tentang mata pencaharian
38
di wilayah Kabupaten Deli Serdang. Secara umum, sistem mata pencaharian
masyarakat Jawa yang melakukan transmigrasi ke Kabupaten Deli Serdang adalah
berdagang. Sebagian juga ada bekerja di bidang pertanian dan perkebunan. Tetapi
seiring berkembangnya zaman, kini masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai
pegawai negeri juga ada di Kabupaten tersebut.
2.8 Sanggar Mardi Lestari
Sanggar Mardi Lestari merupakan salah satu sanggar kesenian Jawa yang
berdiri sejak 14 tahun yang lalu. Sanggar ini terletak di Pasar 10 Batang Kuis
Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang dengan para penggagasnya
mulai dari Alm. Bapak Munar, Alm. Bapak Nasib Solihin serta Bapak Suprapto yang
saat ini menjadi penasehat disanggar tersebut.
Sanggar Mardi Lestari ini bergerak dalam beberapa bidang seni pertunjukan
Jawa seperti wayang kulit, ketoprak dor, angguk, dan lain-lain serta dalam bidang
musiknya selain musik gamelan yakni musik campur sari. Dari semua jenis seni
pertunjukan tersebut, wayang kulit salah satu pertunjukan yang paling sering
ditampilkan oleh sanggar ini. Dalam panggilan permintaan dalam sebuah acara,
wayang kulit ini biasanya ditampilkan oleh sanggar Mardi Lestari untuk hiburan
dalam acara perkawinan, pentas rakyat, bersih desa, dan sebagainya.
Dalam sistem latihannya, sanggar Mardi Lestari melakukan latihan sesuai
kesepakatan bersama anggota. Biasanya latihan dilakukan hanya sekali dalam
seminggu. Akan tetapi, jika ada job atau panggilan permintaan pertunjukan dalam
suatu acara, jadwal latihan akan lebih diperbanyak dari biasanya dan jadwal
39
latihannya di buat tergantung hari apa dan jam berapa yang bisa di berikan anggota
dan disesuaikan bersama. Sistem pelatihan dilakukan dengan menggunakan latihan
bersama dimana para niyaga mengikuti adegan demi adegan yang dibawakan oleh
dalang. Mereka menggunakan buku notasi musik gamelan yang mana masing-masing
instrumen telah memiliki melodi yang telah disesuaikan dengan adegan yang terjadi.
2.8 Proses Latihan
Niyaga Sanggar Mardi Lestari
(Dokumentasi Penulis)
Sanggar Mardi Lestari ini telah banyak melakukan pertunjukan tradisional
di dalam maupun di luar daerah, dengan daerah yang terdekat yaitu wilayah
Kabupaten Deli Serdang sampai daerah yang terjauh yaitu Rantau Prapat. Dalam hal
pembagian honorium jika ada melakukan pertunjukan pada sanggar, mereka
membagi rata pada setiap anggota. Hal ini agar tidak menimbulkan kesenjangan
sosial diantara anggota. Sampai saat ini, sanggar tersebut masih tetap eksis dan aktif
disetiap permintaan pertunjukan oleh berbagai kalangan.
40
BAB III
STRUKTUR PERTUNJUKAN WAYANG KULIT
3.1 Asal Usul Wayang Kulit
Wayang kulit merupakan salah satu pertunjukan tradisional yang ada pada
masyarakat Jawa. Wayang kulit ini cukup dikenal masyarakat Jawa, karena
pertunjukannya yang menggunakan milik budaya asli Jawa, mulai dari bahasa,
pakaian, alat musik, dan sebagainya. Selain masyarakat Jawa, wayang kulit juga
dikenal diseluruh dunia, dimana pada 7 November 2003 UNESCO telah menobatkan
wayang sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau
warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur asli Indonesia
(http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/10/asal-usul-wayang-dan-sejarah.html).
Banyak pendapat tentang asal usul wayang kulit, tetapi menurut hasil kerja
laboratorium serta wawancara yang penulis lakukan, wayang kulit ini telah hadir
semenjak 1500 tahun sebelum Masehi atau tepatnya pada zaman kerajaan-kerajaan
Hindu dan Buddha, sedangkan untuk nama wayang sendiri berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu “Ma Hyang”yang artinya berjalan menuju yang maha tinggi (Dewa).
Ada juga pendapat yang mengatakan wayang berasal dari bahasa Jawa yang berarti
bayangan atau yang dalam bahasa Indonesia baku adalah bayang. Hipotesa bahwa
wayang berasal dari kata-kata bayang ini didapat dari bukti bahwa para penonton
dapat menyaksikan pertunjukkan wayang dengan hanya melihat bayangan yang
digerakkan oleh dalang yang merangkap tugasnya sebagai narator. Sementara dalang
41
merupakan sebuah singkatan dari kata-kata ngudhal piwulang, dimana ngudhal
berarti menyebar luaskan atau membuka dan piwulang berarti pendidikan atau ilmu.
Hal ini menegaskan posisi dalang sebagai orang yang memiliki ilmu lebih dan
membagikannya kepada para penonton pertunjukkan wayang.
Pada masa sekarang ini, pertunjukan wayang kulit sudah sangat jarang
ditampilkan untuk konteks hiburan masyarakat sehari-hari. Seiring berkembangnya
zaman, kebutuhan akan pertunjukan wayang kulit pada saat ini tergantung pada
permintaan pemesanan. Selain kurangnya peminat akibat perkembangan zaman
semakin modern, sudah jarangnya pertunjukan ini juga disebabkan karena biaya
untuk mengadakan pertunjukan tersebut sangat mahal. Oleh sebab itu, pertunjukan
wayang kulit sekarang ini lebih condong ditampilkan dalam konteks acara-acara
besar, yakni pesta rakyat, bersih desa, ruwatan, atau pun pesta pernikahan keluarga
pejabat yang diselenggarakan oleh kalangan menengah ke atas.8
3.2 Jalannya Pertunjukan Wayang Kulit
Pada saat pelaksanaan pertunjukan wayang kulit, para anggota sanggar
melakukan persiapan masing-masing seperti pemakaian kostum, kelengkapan
instrumen gamelan, serta peletakan posisi instrumen diatas panggung. Selain itu,
beberapa alat elektronik seperti microphone wireless sangat dibutuhkan oleh seorang
dalang dan sinden dalam membawakan pertunjukan wayang kulit tersebut. Meskipun
instrumen gamelan berjumlah banyak, microphone wireless tetap diperlukan karena
lokasi pertunjukan yang berada di outdoor. Hal ini supaya suara dapat didengar oleh
8 Hasil wawancara dengan Bapak Suprapto 30 Juli 2017
42
penonton secara seimbang melalui sound system yang telah disediakan. Sebenarnya
tanpa peralatan tersebut pertunjukan tetap dapat berjalan, namun suara yang
dihasilkan sangat terbatas sehingga tidak dapat didengar dengan jelas oleh penonton.
Sebelum lakon wayang kulit dimulai, pertunjukan dibuka dengan ricikan
musik gamelan yang memainkan gending petalon. Gending ini umumnya bermakna
sebagai ungkapan doa. Misalnya gending Ladrang Slamet, yang dimainkan dengan
harapan acara pertunjukan wayang kulit yang digelar saat itu dapat berlangsung
selamat, baik pada saat acara berlangsung maupun sesudahnya.9
3.3 Pertunjukan Wayang Kulit
3.3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Pada umumnya pertunjukan wayang kulit ditampilkan di dalam maupun di
luar lapangan. Namun berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, pertunjukan
tersebut diadakan di luar lapangan dengan menggunakan panggung yang telah
dirancang sesuai dengan kebutuhan wayang kulit. Walaupun panggung tersebut
hanya bersifat sementara, namun konsep yang dibuat untuk panggung wayang kulit
tersebut terlihat megah dengan dekorasi yang beragam, mulai dari tenda serta dinding
yang ditutup dengan kain putih serta peletakan tanaman yang telah dirancang di
sekitar panggung tersebut seperti yang terlihat dalam gambar berikut ini.
9 Petalon berasal dari kata talu(Jawa) yang berarti memulai atau mengawali, sehingga gending petalon
berarti gending untuk mengawali sebuah acara termasuk pertunjukan wayang kulit. Gending Ladrang
Slamet merupakan bentuk lagu dalam karawitan, dimana kata Slamet berasal dari bahasa Jawa ngoko
yang dalam bahasa Indonesia berarti selamat.
43
Gambar 3.1
Salah Satu Sudut Panggung Wayang Kulit
(Dokumentasi Penulis)
Pertunjukan wayang kulit diselenggarakan pada malam hari, waktu dimana
orang-orang sudah berhenti bekerja sehingga semuanya dapat menghadiri
pertunjukan tanpa gangguan pekerjaan. Meski demikian, ada juga pertunjukan
wayang kulit yang diselenggarakan pada siang hari. Namun berdasarkan penelitian
penulis di lapangan, pertunjukan tersebut digelar pada malam hari yakni pada pukul
21.00 dan berakhir pada pukul 05.00 dinihari atau sebelum adzan subuh.
3.3.2 Pendukung Pertunjukan
Dalam pertunjukan wayang kulit harus didukung oleh beberapa unsur agar
pertunjukan itu dapat berjalan dengan lancar dan menarik perhatian masyarakat untuk
ikut menyaksikan. Beberapa unsur pendukung pertunjukan tersebut antara lain
dalang, niyaga, pesinden dan penonton. Unsur-unsur tersebut sangat berkaitan satu
sama lain dalam suatu pelaksanaan pertunjukan wayang kulit.
44
3.3.2.1 Dalang
Menurut Herry Lisbijanto dalam buku yang berjudul “Wayang”, Dalang
berasal dari kata Ngundhal yang berarti menceritakan atau menerangkan seluruh isi
hatinya dan Piwulang yang berarti petuah atau nasehat. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa dalang merupakan seorang pendidik atau pembimbing
masyarakat atau guru masyarakat. Dalang dalam tugasnya pada saat pertunjukan
berlangsung harus merangkap tugas-tugas para aktor, yakni memerankan seluruh
pelaku wayang yang ada dalam lakon. Selain itu, dalang juga mempunyai tugas
sebagai sutradara, yaitu bertanggung jawab atas jalannya lakon dari awal sampai
akhir (Herry Lisbijanto 2013:21).
Gambar 3.2
Lakon Wayang Kulit
(Dokumentasi Penulis)
45
Dalam menjalankan tugasnya dalang selalu menuruti pakem yakni aturan-
aturan yang telah ditetapkan, baik dalam menjalankan, menceritakan maupun dalam
mengucapkan kata-kata dan dialog. Dalam menjalankan, dalang harus greget (dapat
”menghidupkan” wayang), sebet (rapi), cancut (terampil dan teratur), runtut (menurut
pakem), pangguh (serba pantas), saguh (tetap, bersemangat, tidak seenaknya), dan
nalar (logis, dapat mengatasi kesulitan-kesulitan selama pertunjukan). Dalam hal
menceritakan lakon, dalang pada saat penulis melakukan penelitian yakni Bapak
Suripno, menggunakan buku atau kertas pedalangan yang berisi tentang lakon
pertunjukan. Namun, dalang tersebut tidak melulu membawakan lakon pertunjukan
berdasarkan buku tersebut. Beliau juga terkadang melakukan improvisasi, karena
dalam buku pedalangan tersebut hanya berisi tentang inti cerita pokok saja.
Gambar 3.3
Dalang Menggunakan Kertas Berisi Inti Pokok Cerita
Yang Berjudul Wahyu Cakraningrat
(Dokumentasi Penulis)
46
Pada umumnya dalang dalam membawakan suatu pertunjukan wayang harus
tutug (awal, mula, akhir harus satu), tanduk (ucapan harus terampil, benar, menurut
tempat, hidup, lengkap dan enak didengar dan mudah dipahami), nuksma
(mengekspresikan emosi secara benar), sabda (ucapan harus ekonomis dan tegas
tanpa diulang-ulang), lebda (cakap memakai bahasa, tidak mengulur atau menyingkat
waktu), wicara (lancar, tidak bengkak-bengkok), dan weweka (paham cerita dan tahu
bagaimana memainkannya dan tidak ngawur kesana kemari). Dalam hal
mengucapkan kata-kata atau dialog, dalang harus mungguh (patut atau pantas),
lungguh (mapan dan sesuai), langgut (mengekspresikan emosi), cucut (dapat lucu
tidak jorok), laras (tidak menyimpang dari pakem, cocok dengan suara wayang),
tatas (jelas, urut tidak tumpang tindih, tidak ada yang ketinggalan, serba selesai), dan
micara (pandai menyusun kata-kata, terampil dalam dialog) (Riyasudibyaprana 1953:
4-5).
Selain peran dalang yang telah disebutkan diatas, dalang tersebut juga harus
bisa memainkan wayang dengan gaya lincah, mantap, tegas, dan mempunyai greget.
Gerak tersebut disebut sabetan atau gerakan memainkan wayang kulit dengan lincah
dan baik. Semakin lincah sang dalang dalam memainkan maka semakin tinggi
kemampuan dalang tersebut. Sabetan biasanya dapat dilihat dengan jelas pada saat
adegan perang, dimana dalang tersebut memainkan wayang sambil melemparkan ke
udara sampai ditangkapnya kembali dengan baik. Semua keahlian pada seorang
dalang itu didapat dengan adanya sekolah pedalangan atau juga bisa diperoleh dari
proses belajar bersama dalang yang sudah senior dan pastinya dengan waktu yang
tidak singkat (Herry Lisbijanto 2013:22-23).
47
Dalam seni membawakan lakon wayang kulit, ada beberapa gaya pedalangan
yang ditampilkan oleh para dalang yaitu gaya Surakarta, gaya Yogyakarta, gaya
Cirebon, dan lain-lain. Namun pada lakon yang dibawakan oleh Bapak Suripno,
beliau menampilkan gaya wayang kulit Surakarta. Salah satu perbedaan antara
wayang kulit gaya Surakarta dengan gaya Yogyakarta atau dari daerah lainnya yaitu
terletak pada struktur dan warna tokoh wayang kulit. Contohnya seperti gambar
berikut ini:
Gambar 3.4
Tokoh Raden Bratasena
Gaya Jogjakarta dan Surakarta
(Dokumentasi Penulis)
48
3.3.2.2 Niyaga
Niyaga berasal dari kata wiyaga yang berarti semedi atau meditasi. Dalam
menjalankan tugas menabuh gamelan, seorang niyaga menabuh dengan konsentrasi
penuh dengan tujuan untuk memberi roh terhadap gending yang sedang dimainkan.
Keseriusan tersebut seperti seorang yang sedang bersemedi. Hal ini dilakukan karena
mereka menganggap bahwa bila rusak tabuhannya maka gagal pula persembahannya
terhadap Yang Maha Kuasa. Mereka menabuh dengan tujuan untuk memberikan
hormat dan persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Herry Lisbijanto 2013:17).
Sanggar Mardi Lestari umumnya menggunakan 18 orang niyaga yang terdiri
dari 2 orang pemain bonang (1 orang pemain bonang barung dan 1 orang pemain
bonang penerus), 2 orang pemain saron (1 orang pemain saron barung dan 1 orang
pemain saron penerus/peking), 1 orang pemain demung, 1 orang pemain slenthem, 1
orang pemain gender, 1 orang pemain kenong, 1 orang pemain gambang, 1 orang
pemain kempul, 1 orang pemain rebab, 1 orang pemain siter, 1 orang pemain gong, 1
orang pemain kendang, 1 orang pemain suling, 1 orang pemain kethuk, 1 orang
pemain kempyang, serta 1 orang pemain musik tambahan yakni cymbal dan snare
drum. Mereka memainkan irama gamelan dengan sangat kompak dan harmonis
dengan posisi duduk bersila. Mereka mengiringi pertunjukan wayang dari saat
dibukanya acara sampai pertunjukan selesai. Disini peran niyaga atau pemusik sangat
penting, karena disepanjang jalannya pertunjukan alunan musik gamelan terus
dimainkan agar suasana tetap hidup disaat dalang sedang melakukan dialog wayang.
49
Gambar 3.5 Niyaga Atau Penabuh Gamelan
(Dokumentasi Penulis)
Setiap kali menjalankan tugas mengiringi pertunjukan wayang kulit, para
niyaga selalu berpakaian resmi yaitu berpakaian tradisional dengan baju beskap, kain
jarik dan blankon. Beskap merupakan pakaian adat pria dari budaya Jawa yang polos
dan tidak bermotif dengan pola kancing menyamping yang biasa dikenakan pada saat
acara resmi atau penting. Beskap dipadukan dengan jarik, yakni kain panjang yang
memiliki motif batik dengan beragam corak. Selain itu, para niyaga juga memakai
blankon disetiap pertunjukannya. Blankon merupakan penutup kepala dari kain batik
untuk para pria yang menjadi bagian dari pakaian tradisional masyarakat Jawa.
50
3.3.2.3 Pesinden
Pesinden atau juga sering disebut dengan sinden berasal dari kata pasindhian
yang berarti kaya akan lagu atau yang melantunkan lagu. Pada pertunjukan wayang
kulit, sinden tersebut melantunkan tembang sepanjang pertunjukan akan dimulai
sampai pertunjukan selesai (Herry Lisbijanto 2013:20). Berdasarkan penelitian yang
penulis lakukan, terdapat 4 orang pesinden yang mengiringi jalannya pertunjukan
wayang kulit. Mereka terdiri atas 2 orang yang berasal dari anggota sanggar Mardi
Lestari dan 2 orang lainnya berasal dari luar yang diundang bergabung dalam
pertunjukan wayang kulit saat itu. Dalam menjalankan tugasnya, pesinden tersebut
berpakaian resmi dengan memakai busana kebaya serta rambut disanggul. Hal itu
sudah menjadi suatu keharusan bagi pesinden disetiap mengiringi pertunjukan.
Gambar 3.6
Pesinden Pertunjukan Wayang Kulit
(Dokumentasi Penulis)
51
3.3.2.4 Penonton
Penonton yang datang menyaksikan wayang kulit merupakan tamu undangan
serta masyarakat setempat yang berada disekitar lokasi pertunjukan. Tidak hanya para
kaum orang tua saja yang menyaksikan jalannya pertunjukan, ada juga anak-anak dan
kaum remaja yang ikut melihat pertunjukan yang hanya digelar pada saat-saat tertentu
itu.
Gambar 3.7
Penonton Pertunjukan Wayang Kulit
(Dokumentasi Penulis)
3.3.3 Alat Musik Gamelan
Setiap pertunjukan wayang kulit selalu diiringi seperangkat alat musik
gamelan yang mengalunkan irama yang dinamis sesuai dengan suasana adegan yang
terjadi. Misalnya pada saat adegan kerajaan, irama gamelan terdengar lembut dan
juga pada saat adegan peperangan maka irama gamelan terasa menghentak mengikuti
52
gerak kedua tangan dalang yang memainkan wayang. Gamelan berasal dari bahasa
Jawa yaitu “gamel” yang berarti menabuh atau memukul. Istilah gamelan mempunyai
arti sebagai satu kesatuan alat musik yang dimainkan secara bersama-sama hingga
menghasilkan nada yang harmonis. Pada pertunjukan wayang kulit, terdapat beberapa
instrumen gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan tersebut. Adapun
seluruh instrumen pokok dalam musik gamelan tersebut adalah sebagai berikut:
3.3.3.1 Saron
Saron merupakan salah satu instrumen gamelan yang temasuk kedalam
kelompok balungan, yakni berbentuk bilahan yang terdiri dari 6 atau 7 bilahan,
diletakkan diatas kayu yang juga berfungsi sebagai resonator. Alat penabuh saron
terbuat dari kayu yang berbentuk seperti palu. Cara memainkan saron yaitu dengan
tangan kanan mengayunkan pemukulnya dan tangan kiri melakukan pathet. Pathet
merupakan teknik memainkan dengan cara menahan bilahan yang dipukul
sebelumnya untuk menghilangkan dengungan yang tersisa dari pemukulan tersebut.10
10
Hasil wawancara dengan Bapak Suprapto 9 Januari 2018
53
Gambar 3.8
Saron
(Dokumentasi Penulis)
Dalam fungsi musikalnya pada musik gamelan, saron berfungsi sebagai
pengisi melodi pokok dalam suatu gending atau repertoar. Pada umumnya musik
gamelan tidak menggunakan nada fa dan si, karena gamelan slendro yang digunakan
pada pertunjukan wayang kulit khususnya pada bagian pathet nem tersebut memakai
sistem tangga nada pentatonik, yakni 1-2-3-5-6 dengan penyebutan notnya dalam
bahasa Jawa yakni ji-ro-lu-mo-nem. Akan tetapi, ada beberapa gending atau repertoar
yang dipaksakan memakai kedua nada tersebut tersebut. Biasanya ini memiliki arti
tersendiri pada gending tersebut atau bisa juga sebagai improvisasi dari si penabuh
gamelan. Contohnya pada gending sampak dan srepeg yang menjadi sample
transkripsi penulis, terdapat sebagian nada diluar pentatonik tersebut.
54
Gambar 3.9
Bilahan Nada Saron
(Sumber: https://goo.gl/images/LfXZvE)
3.3.3.2 Demung
Sama halnya seperti instrumen saron, demung juga termasuk kedalam
kelompok balungan. Hanya saja ukuran demung lebih besar dan nada yang dihasilkan
lebih rendah satu oktaf dari pada saron. Selain itu, demung dalam pertunjukan
wayang kulit juga memiliki fungsi sama seperti saron, yakni sebagai pembawa
melodi pokok. Namun disini demung juga berperan sebagai ketukan melodi dari
gending yang dimainkan. Artinya demung memberi petunjuk terhadap saron tentang
melodi yang akan dimainkan.
55
Gambar 3.10
Demung
(Dokumentasi Penulis)
3.3.3.3 Bonang
Bonang terdiri dari 2 jenis, yaitu bonang barung dan bonang penerus. Bonang
barung dan penerus memiliki fungsi yang hampir sama dalam pertunjukannya.
Bonang barung umumnya menjadi pembuka sekaligus menghiasi jalannya setiap
penyajian gending. Sedangkan bonang penerus memiki fungsi sebagai pengisi
harmoni bonang barung.
Bentuk bonang penerus dan bonang barung sama, namun ukuran bonang
penerus lebih kecil dari bonang barung. Selain itu, bonang penerus memiliki suara 1
oktaf lebih tinggi dari bonang barung serta teknik memainkannya lebih cepat dari
bonang barung. Kedua instrumen bonang ini dimainkan dengan cara dipukul
menggunakan kayu berbentuk batangan yang salah satu ujungnya dililitkan dengan
kain. Hal ini agar suara bonang terdengar nyaring.
56
Gambar 3.11
Bonang Barung dan Bonang Penerus
(Dokumentasi Penulis)
3.3.3.4 Slenthem
Slenthem merupakan salah satu instrumen gamelan yang terdiri dari lembaran
logam yang tipis yang diuntai dengan tali dan direntangkan di atas tabung-tabung
yang disusun diantara kayu yang berfungsi sebagai penyangga tabung serta logam
tersebut. Fungsi slenthem sama dengan saron dan demung, yakni sebagai pembawa
melodi pokok atau pemangku lagu dalam suatu gending atau repertoar.
57
Gambar 3.12
Slenthem
(Dokumentasi Penulis di kediaman Bapak Sunardi di jalan Bromo Medan)
3.3.3.5 Gender
Bentuk gender hampir mirip dengan slenthem, hanya saja ukuran gender lebih
kecil dibandingkan dengan slenthem. Jumlah bilahan gender juga lebih banyak
dibandingkan dengan slenthem. Jika slenthem menggunakan satu alat pemukul saja,
gender dimainkan dengan menggunakan dua alat pemukul. Sama halnya seperti
bonang, gender juga terbagi dalam dua jenis, yakni gender barung dan gender
penerus. Bentuk gender barung dan penerus hampir mirip, hanya bilahan gender
penerus lebih kecil dan nadanya 1 oktaf lebih tinggi daripada gender barung.
58
Gambar 3.13
Gender
(Dokumentasi Penulis di kediaman Bapak Sunardi di jalan Bromo Medan)
3.3.3.6 Kenong
Kenong merupakan salah satu instrumen gamelan yang dimainkan dengan
satu alat pemukul yang fungsinya sebagai pengisi akord serta penentu batas-batas
gatra. Gatra merupakan istilah birama repertoar atau gending dalam musik Jawa.
Kalau saron, demung, serta slenthem tadi sebagai pemangku lagu atau pembawa
melodi, kenong berfungsi sebagai pemangku irama atau penegas irama. Dalam musik
gamelan, kenong yang mengatur irama gending yang dimainkan. Kenong termasuk
instrumen berpencu seperti bonang, namun ukurannya lebih besar.11
11 Hasil wawancara dengan Bapak Triwahjuono Harijadi 28 November 2017
59
Gambar 3.14
Kenong
(Dokumentasi Penulis)
3.3.3.7 Gambang
Instrumen gambang dibuat dari bilah-bilah kayu yang diletakkan diatas
gerobogan atau kotak yang berfungsi sebagai resonator. Bentuk resonatornya mirip
seperti perahu.
60
Gambar 3.15
Gambang
(Dokumentasi Penulis)
Pada umumnya gambang dimainkan dengan mengambil nada gembyangan
atau oktaf dalam suatu gending. Nada terendah gambang terletak padah bilah yang
panjang, sedangkan bilah terpendek merupakan nada tertinggi. Jadi, semakin panjang
bilahannya maka nada yang dihasilkan semakin rendah.
3.3.3.8 Kempul
Kempul merupakan salah satu instrumen gamelan yang berpencu, yang
terbuat dari logam. Kempul disebut juga gong kecil, yang letak posisinya digantung
dengan tali pada palang sebagai penyangga. Seluruh alat pemukul instrumen
gamelan, termasuk kempul umumnya terbuat dari kayu dan bagian yang dipukulkan
dililitkan dengan kain tebal.Fungsi dari kempul di dalam musik gamelan sebagai
61
pemangku irama atau menegaskan irama melodi. Jika diselaraskan dengan kenong
dan kethuk atau kempyang, ketiga alat ini tidak pernah berbunyi secara bersamaan.
Gambar 3.16
Kempul
(Dokumentasi Penulis di kediaman Bapak Sunardi dijalan Bromo Medan)
3.3.3.9 Gong
Gong merupakan salah satu instrumen gamelan yang memiliki fungsi sebagai
pemberi tanda berakhirnya sebuah gatra dan juga sebagai pemberi tanda dimulainya
serta berakhirnya gending atau repertoar. Bentuk gong hampir sama dengan kempul,
hanya ukuran gong lebih besar daripada kempul. Namun suara yang dihasilkan dapat
lebih rendah daripada suara kempul.
62
Gambar 3.17
Gong
(Dokumentasi Penulis)
3.3.3.10 Kendang
Kendang adalah salah satu instrumen gamelan yang dimainkan dengan cara
dipukul langsung membrannya dengan kedua tangan pada setiap sisinya. Membran
yang terbuat dari kulit pada kedua sisi kendang memiliki diameter yang berbeda,
yang berdiameter lebih besar biasanya disisi kanan pemain, sedangkan yang
diameternya kecil disisi kiri pemain. Fungsi kendang pada pertunjukan wayang kulit
yaitu sebagai pemimpin irama dalam gamelan atau dengan kata lain sebagai pengatur
irama gending. Pada pertunjukan wayang kulit, kendang yang dipakai ada 2 yakni
kendang yang kecil yang disebut kendang ketipung dan kendang yang paling besar
yaitu kendang bem.
63
Gambar 3.18
Kendang Ketipung (depan) dan Kendang Bem (belakang)
(Dokumentasi Penulis)
3.3.3.11 Rebab
Rebab merupakan instrumen gesek berdawai dua pada musik gamelan. Rebab
terbuat dari kayu yang struktur bodynya berbentuk seperti hati dengan dilapisi
membran kulit yang tipis sebagai resonator suaranya. Rebab digesek dengan
penggesek yang dibuat dari kayu dengan rambut dari ekor kuda yang direntangkan
oleh jari si pemain.Rebab berfungsi sebagai pengisi hiasan melodi pada gending
pokok yang dimainkan saron.
64
Gambar 3.19
Rebab
(Dokumentasi Penulis)
3.3.3.12 Kethuk dan Kempyang
Kethuk merupakan salah satu instrumen gamelan yang bentuknya seperti
kenong dan termasuk ke dalam jenis instrumen berpencu. Kethuk memiliki ukuran
lebih kecil dibandingkan kenong, namun lebih tinggi. Sama seperti kethuk, kempyang
juga instrumen berpencu yang bentuknya agak pendek dan melebar. Dalam letak
posisi kethuk dan kempyang, diletakkan diatas tali yang ditegangkan pada bingkai
kayu dengan posisi horizontal. Kethuk disebelah kanan dan kempyang disebelah kiri.
Dalam fungsinya, kedua instrumen ini berfungsi sebagai alat musik ritmis yang
65
membantu kendang dalam menghasilkan ritme lagu yang diinginkan dalam
permainan.
Gambar 3.20
Kethuk dan Kempyang
(Dokumentasi Penulis di kediaman Bapak Sunardi dijalan Bromo Medan)
3.3.3.13 Cymbal dan Snare Drum
Cymbal dan snare drum adalah salah satu instrumen yang digunakan dalam
suatu pertunjukan tradisi Jawa, termasuk wayang kulit. Cymbal dan snare drum
merupakan bagian pada instrumen drum yang pada pertunjukan wayang kulit
digunakan untuk mengiringi adegan perang yang mana di setiap dalang memainkan
para tokoh wayang saat adegan tersebut, terdapat bagian-bagian tertentu dimana
snare drum dan cymbal akan dipukul. Hal ini untuk menambah suasana pertunjukan
agar lebih hidup.
66
Gambar 3.21
Cymbal dan Snare Drum
(Dokumentasi Penulis)
3.3.4 Tema dan Alur Cerita Wayang Kulit
Dalam cerita atau lakon pertunjukan wayang kulit, terdapat unsur yang sangat
penting yang dapat menentukan keberhasilan jalannya pertunjukan tersebut, yakni
tema dan alur cerita. Tema adalah ide sebuah cerita, pengarang dalam menulis
ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi ingin mengatakan sesuatu pada
pembacanya. Sesuatu yang ingin dikatakannya itu bisa suatu masalah kehidupan,
pandangan hidupnya tentang kehidupan ini atau komentar terhadap kehidupan
(Yakob Sumardjo 1994:56). Sedangkan alur merupakan rangkaian atau susunan cerita
atau peristiwa (Willy F. Sembung 1983:63). Tema yang dibawakan pada suatu
pertunjukan wayang kulit biasanya berdasarkan atas kebutuhan apa pertunjukan
tersebut diselenggarakan. Meski demikian sang dalang tetap berpedoman atas pakem
67
yang ada, hanya saja membuat improvisasi pada sebagian alur ceritanya dengan
menghubungkan pada konteks pertunjukan tersebut.
Dalam pertunjukan wayang kulit, terdapat babak permulaan, pertengahan, dan
akhir yang penamaan babak ini disesuaikan dengan musik gamelan yang dominan
dalam babak-babak itu, yakni pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Dalam
setiap babak terbagi lagi atas adegan-adegan atau yang biasa disebut jejer. Pada
penulisan skripsi ini, penulis hanya fokus pada pertunjukan wayang kulit bagian
pathet nem. Semua adegan wayang kulit pada pathet nem akan dijelaskan pada bab
ini. Pemilihan pathet nem ini didasari oleh karena sample kajian musikal yang
dibahas berasal dari pathet tersebut, yakni sampak dan srepeg nem. Pathet merupakan
suatu pembagian babak dalam wayang kulit yang disesuaikan dengan sistem
kedudukan dan fungsi nada. Biasanya dalam setiap pagelarannya memiliki durasi
kurang lebih 9 jam dengan tiap pathetnya masing-masing berdurasi 3 jam dan
biasanya berakhir sebelum waktu subuh tiba. Namun durasi tersebut tergantung pada
situasi dan kondisi dilapangan, termasuk juga bagaimana cara dalang membawakan
lakon pertunjukan itu.
Setiap pertunjukan wayang kulit membawakan tema lakon yang berbeda-
beda. Pada saat penulis melakukan penelitian, tema lakon yang dibawakan oleh
sanggar Mardi Lestari dengan dalang Bapak Suripno berjudul Wahyu Cakraningrat.
Cerita ini mengisahkan tentang upaya tiga orang satria yaitu Raden Lesmono
Mandrakumara (Putra Duryudana), Raden Sombo Putro (Putra Kresna) dan Raden
Abimayu (Putra Arjuna) yang berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Ketiganya
sama-sama berambisi besar menjadi Ratu. Untuk itu, mereka harus bertarung dan
68
mendapat gelar ”Wahyu Cakraningrat”. Bagi siapa yang memperoleh wahyu tersebut,
keturunannya memperoleh kemuliaan dan menguasai kerajaan di tanah Jawa. Namun
mendapatkan Wahyu Cakraningrat tidaklah mudah, karena sejumlah syarat harus
dipenuhi agar Wahyu Cakraningrat bisa sejiwa atau cocok dengan satria yang terpilih.
Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah mampu handayani (membuat contoh yang
baik) kepada rakyat, berpegang pada kejujuran, mampu memberikan keteladanan,
mampu memberikan rasa tenteram kepada rakyat, mampu memberi rasa kasih sayang
pada rakyat, mempunyai perilaku amanah, mampu merekatkan seluruh rakyat tanpa
memandang latar belakang, agama, ras dan budaya, serta harus peduli terhadap
lingkungan. Dalam hal ini, yang berhak mendapat gelar Wahyu Cakraningrat tersebut
adalah Raden Abimayu. Hal ini karena Abimayu mampu memenuhi segala syarat-
syarat tersebut dengan tata cara yang baik, tidak dengan cara yang licik seperti kedua
satria lain, Raden Lesmono Mandrakumara dan Raden Sombo Putro. Dengan
kerendahan hatinya, Raden Abimayu berhasil mendapatkan gelar Wahyu tersebut. Ini
sekaligus juga memberi pesan moral bahwa kejahatan tidak akan bisa mengalahkan
kebaikan.
Lakon-lakon wayang bersumber pada mitos-mitos kuno atau legenda-legenda
yang diambil dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Cerita tersebut berasal dari
bangsa Hindu yang dibawa ke Indonesia dalam berbagai bentuk karya. Lakon Wahyu
Cakraningrat berasal cerita Mahabharata yang diambil dari kitab Pustaka Raja Purwa
yang dianggap sebagai sebagai sumber lakon bagi para dalang. Pada umumnya lakon
yang dibawakan pada setiap pertunjukan wayang kulit diambil dari kitab tersebut.
Walaupun sumber cerita dari kitab tersebut berasal dari India, namun beberapa isi
69
detail lakonnya telah disesuaikan dengan konteks diselenggarakannya pertunjukan
itu.
Setelah dibuka dengan gending petalon, pertunjukan wayang kulit memasuki
pathet nem dengan jejeran yang pertama. Jejer yang pertama selalu jejer yang paling
lama, karena dalam jejeran ini dimasukkan kisah-kisah politik yang terjadi saat ini.
Dalam hal ini, dalang bercerita tentang hal-hal yang berbau politik yang sedang
terjadi di Kabupaten Deli Serdang. Kebetulan pada saat itu pertunjukan wayang kulit
juga dihadiri oleh pejabat daerah. Hal ini juga yang menambah antusias para
penonton dalam mengamati cerita demi cerita yang dibawakan oleh dalang tersebut.
Namun sebelum adegan tersebut, terlebih dahulu diselipkan janturan, yakni sinopsis
atau suatu penjelasan dari dalang tentang apa yang disajikan dalam lakon tersebut.
Dalam janturan dalang tersebut, diucapkan untuk negeri mana pun, baik negeri yang
benar-benar ideal maupun yang rajanya bukanlah seorang raja yang ideal, seperti
kerajaan Astina dibawah pemerintahan Duryudana (putra sulung Prabu Drestarastra,
yaitu Raja negara Astina).
70
Gambar 3.22
Tokoh Wayang Duryudana
(Dokumentasi Penulis)
Tokoh Duryudana memiliki sifat antagonis, dungu dan menyenangi sesuatu
yang serba enak dan bergelimang dengan kemewahan. Menyusul kemudian adegan
kedatonan, yakni adegan sisipan, yang menggambarkan keadaan rumah tangga sang
raja. Pada adegan ini digambarkan bagaimana sang permaisuri yakni Dewi Banowati
telah lama menunggu-nunggu kedatangan sang raja dengan mendengarkan musik
gamelan yang indah atau dengan menikmati tari-tarian yang disajikan oleh para
penari cantik istana. Waktu raja datang diperlihatkan bagaimana sang istri dengan
tergesa-gesa menyambut kedatangan sang raja dan melayani segala keperluan sang
raja dengan taat dan kecintaan. Setelah dialog pada jejeran pertama itu selesai, dalang
membedhol, yakni mencabut tokoh wayang yang dimainkan tadi dari gedebog.
Bubarnya adegan utama diawal cerita dengan menugaskan punggawa atau prajurit
berangkat disebut dengan budhalan.
71
Gambar 3.23
Dalang Membedhol Tokoh Wayang Kulit
(Dokumentasi Penulis)
Pertunjukan wayang kulit kemudian dilanjutkan dengan adegan limbukan,
dimana terdapat dua tokoh wayang dalam adegan ini yakni Limbuk dan Cangik.
Mereka berdua merupakan dua tokoh klasik dalam pewayangan, menggambarkan
orang yang setia kepada junjungannya. Cangik dan Limbuk merupakan orang biasa
atau dayang-dayang dari sang permaisuri. Oleh karena mereka berdua mengabdikan
diri dengan kesetiaan tanpa batas kepada permaisuri, mereka sudah seperti sahabat
para junjungan putri atau permaisuri.
Cangik memiliki gambaran seperti wanita tua renta yang bertubuh jelek dan
buruk rupa, begitu juga dengan limbuk yang digambarkan dengan tubuhnya yang
tambun (gemuk) dan bermuka jelek. Limbuk bersama dengan ibunya yaitu Cangik
72
menjadi tempat bagi sang permaisuri mencurahkan isi hatinya, merenungkan
kehidupannya dan lain-lain.
Gambar 3.24
Tokoh Wayang Kulit Cangik dan Limbuk
(Dokumentasi Penulis)
Sesudah adegan limbukan, pertunjukan dilanjutkan dengan adegan paseban
jawi dimana dalam adegan tersebut digambarkan bagaimana keputusan raja ini
disampaikan kepada pejabat bawahan, dan bagaimana rombongan utusan raja denawa
(raksasa) itu berangkat ke tujuannya, yakni manakala ada raja seberang lain yang juga
jadi penghalang maksud raja yang pertama. Disini jejeran telah memasuki jejer yang
kedua sekaligus iringan musik gamelan memainkan repertoar srepeg nem untuk
mengiringi perjalanan rombongan utusan raja tersebut.
73
Gambar 3.25
Raja Duryudana Beserta Para Pejabat Bawahannya
(Dokumentasi Penulis)
Setelah adegan tersebut, menyusul kemudian adegan perang gagal atau perang
tanpa hasil. Perang ini menggambarkan perang antara bala tentara kerajaan yang
pertama yang sedang melakukan perjalanan dengan bala tentara kerajaan yang kedua
yang menghalangi kerajaan pertama tersebut yang mana biasa disebut sebagai
kerajaan seberang. Adegan perang pada pathet nem ini bukanlah perang yang
sesungguhnya, karena hasilnya tidak konklusif. Masing-masing rombongan dari
kedua kerajaan tersebut meneruskan perjalanan tanpa ada yang menang atau kalah.
Dalam adegan tersebut, musik iringan yang dimainkan yaitu bisa srepeg atau sampak.
Namun berdasarkan repertoar yang dimainkan di lapangan, repertoar musik yang
digunakan yaitu sampak nem.
74
Gambar 3.26
Perang Gagal Antara Raja Duryudana Dengan Kerajaan Seberang
(Dokumentasi Penulis)
Adegan perang gagal tersebut mengakhiri lakon pada pathet nem. Selama pathet
nem berlangsung, para pemeran tokoh utama dari lakon wahyu cakraningrat belum
diperlihatkan pada bagian pathet ini. Setelah pathet nem berakhir, masuk kepada
babak berikutnya yaitu pathet sanga. Pada pathet sanga tokoh utama wahyu
cakraningrat baru ditampilkan oleh dalang. Di pathet sanga juga tokoh punakawan
memainkan perannya, yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun untuk
membatasi objek kajian agar tidak meluas, penulis hanya mendeskripsikan alur cerita
yang terjadi pada pathet nem saja.
75
3.3.4 Makna Kayon atau Gunungan
Dalam pagelaran wayang kulit ada beberapa peralatan yang digunakan dalang
dalam mendukung jalannya pertunjukan, salah satunya yaitu kayon. Kayon atau yang
biasa disebut juga gunungan ini melambangkan kehidupan semua makhluk hidup
yang terdapat di alam semesta. Bentuk ukirannya sangat istimewa, isi gambarnya
yang terpenting ialah gambar sebatang pohon dan gunung atau bukit. Selain itu,
dalam ukiran gunungan tersebut terdapat gambar hewan yang menggambarkan
hewan-hewan yang terdapat di Jawa. Oleh sebab itu, kayon menjadi simbol untuk
melambangkan semua kehidupan di alam ini. Kayon diciptakan oleh Sunan Kalijaga
pada tahun 1443 Saka (Haryanto, 1988).
Gambar 3.27
Kayon Atau Gunungan Wayang Kulit
(Dokumentasi Penulis)
76
Pertunjukan wayang kulit selalu diawali dan diakhiri dengan munculnya
gunungan. Menurut Ciptowardojo (1985:30), gunungan atau kayon ini memiliki tiga
fungsi pokok, yakni: 1) Dipergunakan dalam pembukaan dan penutupan, seperti
halnya layar yang dibuka dan ditutup pada pentas sandiwara; 2) Sebagai tanda untuk
pergantian jejeran (adegan/babak); dan 3) Digunakan untuk menggambarkan
melambangkan kehidupan dan keadaan alam semesta seperti pohon, angin, samudera,
gunung, halilintar, dan sebagainya. Bagi masyarakat Jawa, istilah gunungan sering
dihubungkan dengan tiruan struktur gunung atau gambar yang menyerupai bentuk
gunung. Selain itu juga dimaksudkan untuk menamai suatu rangkaian makanan sesaji
yang menggunung pada suatu upacara budaya Jawa. Gunungan secara fisik adalah
bentuk makro dari sesajian nasi tumpeng yang dibuat dalam bentuk kerucut (Sularto ,
1993:64). Hal ini dapat dikatakan saling berkaitan, karena filosofi asal dan struktur
nasi tumpeng yang berasal dari Jawa, juga sama dengan gunungan tersebut.
Gambar 3.28
Posisi Gunungan Wayang Kulit
(Dokumentasi Penulis)
77
Ada tiga cara gunungan atau kayon ditancapkan, yaitu dengan posisi ke kanan
yang menandakan pertunjukan berada pada pathet nem, posisi ke tengah yang
menandakan bahwa pertunjukan berlanjut ke pathet sanga, dan posisi ke kiri yang
menandakan pertunjukan sudah berada di babak terakhir atau pathet manyura.
Selain itu, gunungan juga merupakan alat komunikasi atau kode kepada
penabuh gamelan dalam hal pergantian pathet. Misalnya ketika gamelan berbunyi
dengan irama sampak, dengan tempo tinggi, dan kemudian dalang mengangkat
gunungan sambil memukul cempala sebanyak lima kali, berarti ia memberi tanda
agar iramanya diubah menjadi ayak-ayakan. Selain itu, saat dalang menancapkan
gunungan dengan posisi miring ke tengah pada akhir musik gamelan pathet nem,
maka penabuh gender langsung siap untuk masuk ke irama pathet sanga.
Gambar 3.29
Dalang Mengangkat Gunungan Wayang Kulit
(Dokumentasi Penulis)
78
BAB IV
TRANSKRIPSI DAN ANALISISIS
Dalam ilmu etnomusikologi, transkripsi adalah proses penulisan mengenai
bunyi-bunyian sebagai hasil dari pengamatan dan pendengaran suatu musik ke dalam
bentuk simbol-simbol yang disebut dengan notasi. Untuk melakukan transkripsi dari
sampak dan srepeg, penulis memakai sistem notasi deskriptif yang dikemukakan oleh
Charles Seeger. Notasi deskriptif adalah notasi yang memiliki tujuan untuk
menyampaikan kepada pembaca tentang ciri-ciri atau detail-detail komposisi musik
yang belum diketahui oleh pembaca.
Pada bab ini penulis membuat transkripsi dan menganalis struktur melodi
yang dimainkan secara langsung pada pertunjukan wayang kulit oleh Grup Sanggar
Mardi Lestari, tanpa menggunakan rekaman seperti melalui kaset CD ataupun tape
recorder.Dalam hal ini, penulis hanya memilih dua sample repertoar, yakni melodi
sampak dan srepeg serta hanya menganalisis melodi dari dua instrumen dari
seperangkat gamelan yakni saron dan demung. Hal ini karena keterbatasan
kemampuan penulis untuk menganalisis seluruh repertoar serta seluruh instrumen
gamelan yang dimainkan dalam satu pertunjukan tersebut. Oleh karena itu, penulis
menjadikan repertoar sampak dan srepeg pada instrumen saron dan demung sebagai
sample untuk dikaji secara musikal.
79
4.1 ProsesTranskripsi
Menurut Nettl (1964:98) ada dua pendekatan dalam menganalisis musik yaitu:
(1) menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) menuliskan apa
yang kita dengar itu di atas kertas, dan kemudian mendeskripsikan apa yang kita lihat
itu. Dari dua hal ini, untuk memvisualisasikan bunyi dari struktur melodi Sampak dan
Srepegpenulis menggunakan metode transkripsi agar lebih mudah menganalisis
berbagai aspek musikal seperti tangga nada, nada dasar, interval, formula melodi, dan
lain-lain. Hal ini lebih mempermudah kita untuk mengkomunikasikan kepada pihak
lain tentang apa yang kita pikirkan dari apa yang kita dengar. Dalam pentranskripsian
ini penulis menggunakan notasi Barat. Hal ini disebabkan karena notasi Barat lebih
efektif dalam penulisan ritem, tinggi rendahnya nada, simbol-simbol nada pada garis
paranada, dan lain-lain. Berdasarkan atas apa yang sudah didengar, penulis
menuliskannya dengan menggunakan bantuan software Sibelius.
4.2 Simbol Notasi
Notasi-notasi yang digunakan dalam mentranskripsi melodi gending sampak
dan srepeg merupakan simbol-simbol notasi Barat. Berikut ini merupakan beberapa
simbol yang digunakan dalam hasil transkripsi dari gending sampak dan srepeg pada
isntrumen saron dan demung.
a. Sampak
Pada gambar berikut ini terlihat garis paranada oleh dua instrumen yakni
saron dan demung dengan masing-masing memiliki lima garis paranada dan
80
empat spasi dan memiliki empat tanda mol yang menunjukkan nada dasar As
= do dan memiliki birama 4/4 dalam tanda kunci G.
b. Srepeg
Pada gambar berikut ini terlihat garis paranada oleh dua instrumen yakni
saron dan demung dengan masing-masing memiliki lima garis paranada dan
empat spasi dan memiliki empat tanda mol yang menunjukkan nada dasar
sama dengan repertoar sampak yakni dari nada dasar As = do dan memiliki
birama 4/4 dalam tanda kunci G.
1. Pada gambar dibawah ini merupakan simbol dari not ½ dan memiliki nilai 2 ketuk.
81
2. Pada gambar dibawah ini merupakan simbol dari not 1/4 dan memiliki nilai
1 ketuk.
3. Pada gambar dibawah ini merupakan simbol dari not 1/8 dan memiliki nilai
1/2 ketuk.
4. Pada gambar dibawah ini merupakan 2 simbol dari not 1/8 yang telah
digabungkan dan memiliki nilai 1 ketuk.
5. Berikut merupakan simbol not 1/4 yang didepannya diberi tanda titik
yang diartikan bahwa tanda titik tersebut memiliki nilai setengah dari not
yang ada dibelakangnya. Artinya jika not dibelakangnya bernilai ¼ maka
tanda titik tersebut bernilai 1/8 dan memiliki nilai 1 + 1/2 ketuk.
82
6. Berikut merupakan simbol dari legato yang memiliki arti dapat menyambungkan
antara not yang satu dengan yang lainnya. Contohnya dapat dilihat seperti
dibawah ini yang mana not 1/8 dengan not 1/4 jika diberikan tanda legato maka
not itu bernilai 1 1/2 ketuk tanpa berhenti.
7. Pada gambar dibawah ini merupakan tanda berhenti yang bernilai 4 ketuk.
8. Pada gambar dibawah ini merupakan tanda berhenti 1/2 ketuk.
83
4.3 Sample Repertoar
Dalam tulisan ini, penulis memilih repertoar sampak dan srepeg sebagai
sample repertoar dalam proses pentranskripsian. Repertoar tersebut akan ditranskripsi
terlebih dahulu ke notasi Barat, kemudian setelah itu penulis akan menganalisis
repertoar tersebut secara detail. Repertoar sampak dan srepeg merupakan repertoar
musik tradisional yang berasal dari Jawa. Repertoar ini biasanya digunakan dalam
pertunjukan wayang kulit. Repertoar ini dipilih oleh penulis dengan alasan sebagai
berikut:
1. Karena kedua repertoar tersebut merupakan repertoar khusus, dimana
selalu dimainkan disetiap pathetnya, mulai dari pathet nem, pathet
sanga, sampai pathet manyura.
2. Karena fungsi kedua repertoar tersebut begitu central, yakni
untuk membangun suasana selama berlangsungnya pertunjukan
serta untuk mengiringi adegan yang bertempo cepat seperti adegan perang.
3. Karena pada repertoar ini melibatkan seluruh instrumen pengiring,
tidak terkecuali instrumen tambahan seperti snare drum dan
cymbal. Namun pada penulisan ini penulis hanya memilih saron
dan demung sebagai instrumen pengiring.
84
85
86
87
Pada umumnya musik Jawa menggunakan sistem notasi angka dalam
penyajian suatu repertoar, bukan notasi balok. Oleh karena itu, penulis juga akan
menyajikan ke dua sample repertoar tersebut ke dalam bentuk notasi angka. Berikut
merupakan penyajian sample sampak dan srepeg nem pada instrumen saron dan
demung dalam bentuk notasi angka :
SAMPAK NEM
Saron : 1 6 1 6│1 6 1 6│1 5 6 1│3 2 1 5│2 1 6 5│6 5 6 5│6 1 2 1│3 2 1 5│
Demung : 0 0 0 0│0 0 0 0│0 0 0 0│0 0 0 0│0 0 01.│5657 1.│6767 1.3│3 21 65 .│
Saron : 1 6 1 6│1 6 1 6│1 5 6 1│3 2 1 5│2 1 6 5│6 5 6 5│6 1 2 1│3 2 1 5│
Demung : 6216 5.│6132 1.3│3 21 21 .│6767 1.3│3 21 65 .│6216 5.│5. 01.│
5657 1.│
Saron : 1 6 1 6│1 6 1 6│1 5 6 1│3 2 1 5│2 1 6 5│6 5 6 5│6 1 2 1│3 2 1 5│
1 6 1 6│
Demung : 6767 1.3│3 21 65.│6216 5.│6132 1.3│3 21 21.│6767 1.3│3 21 65.│
6216 5.│5. 01.│
Saron : 1 6 1 6│1 5 6 1│3 2 1 5│2 1 6 5│6 5 6 5│6 1 2 1│3 2 1 5│1 6 1 6│
1 6 1 6│
Demung : 5657 1.│6767 1.3│3 21 65.│6216 5.│6132 1.3│3 21 21.│6767 1.3│
3 21 65.│6216 5.│
88
Saron : 1 5 6 1│3 2 1 5│2 1 6 5 │6 5 6 5 │6 1 2 1│3 2 1 5│1 6 1 6│1 6 1 6│
1 5 6 1│
Demung : 5. 1.│5657 1.│6767 1.3│3 21 65.│6216 5.│6132 1.3│3 21 21.│
6767 1.3│ 3 21 65.│
Saron : 3 2 1 5│2 1 6 5│6 5 6 5│6 1 2 1│3 2 1 5│1 6 1 6│1 6 1 6│1 5 6 1│
3 2 1 5│
Demung : 6216 5.│5. 01.│5657 1.│6767 1.3│3 21 65.│6216 5.│6132 1.3│
3 2 21│ 6767 1.3│
Saron : 2 1 6 5│6 5 6 5│6 1 2 1│3 2 1 5║
Demung : 3 21 65│6216 5.│6767 1 .3│3 21 21 .║
SREPEG NEM
Saron : 1111 5555│2222 1111│1111 6666│6666 1111│5555 2222│1111 1111│
Demung : 4565 4565│5353 5353│4565 4565│5353 5353│4565 4565│5353 5353│
Saron : 6666 6666│1111 5555│2222 1111│1111 6666│6666 1111│5555 2222│
Demung : 4565 4565│5353 5353│4565 4565│5353 5353│4565 4565│5353 5353│
Saron : 1111 1111│6666 6666│1111 5555│2222 1111│1111 6666│6666 1111│
Demung : 4565 4565│5353 5353│4565 4565│5353 5353│4565 4565│5353 5353│
Saron : 5555 2222│1111 1111│6666 6666║
Demung : 4565 4565│5353 5353│4565 4565║
89
4.4 Tangga Nada
Cara-cara untuk mendeskripsikan tangga nada yaitu dengan menuliskan nada
yang dipakai tanpa melihat fungsi masing-masing nada dalam sebuah repertoar
(Nettl 1964:145). Tangga nada tersebut kemudian digolongkan berdasarkan atas
jumlah nada yang dipakai, yaitu: Tangga nada diatonik (dua nada), tritonik (tiga
nada), tetratonik (empat nada), pentatonik (lima nada), hexatonik (enam nada), dan
heptatonik (tujuh nada). Dua nada yang memiliki jarak satu oktaf pada umumnya
dianggap satu nada saja. Berdasarkan pendapat diatas, tangga nada yang dimaksud
dalam tulisan ini yaitu nada-nada yang terdapat pada repertoar sampak dan srepeg.
4.4.1 Tangga Nada Sampak Pada Instrumen Saron dan Demung
Gambar diatas menunjukan nada dasar dari repertoar sampak tersebut berasal
dari nada dasar empat mol, dengan susunan nadanya As-Bes-C-Des-Es-F-G-As.
Namun, tidak semua nada dari tangga nada dasar itu terdapat pada instrumen saron
dan demung. Adapun nada-nada yang terdapat pada kedua instrumen adalah sebagai
berikut:
90
Pada gambar tersebut, peletakan nada yang pertama tidak sesuai dengan nada
dasarnya. Hal ini dilakukan karena penulisan nada-nada dimulai dari nada yang
terendah sampai yang tertinggi.
4.4.2 Tangga Nada Srepeg Pada Instrumen Saron dan Demung
Sama seperti nada dasar sampak, nada dasar srepeg juga berasal dari nada
dasar empat mol, dengan susunan nadanya As-Bes-C-Des-Es-F-G-As. Namun, juga
tidak semua nada dari tangga nada dasar itu terdapat pada instrumen saron dan
demung. Adapun nada-nada yang terdapat pada kedua instrumen adalah sebagai
berikut:
91
Pada gambar tersebut, peletakan nada yang pertama tidak sesuai dengan nada
dasarnya. Hal ini dilakukan karena penulisan nada-nada dimulai dari nada yang
terendah sampai yang tertinggi.
4.5 Nada Dasar
Dalam menentukan nada dasar dari repertoar sampak dan srepeg, penulis
berpedoman dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bruno Nettl yang mengatakan
bahwa nada dasar merupakan nada yang terdapat dibagian awal atau dibagian akhir
dalam suatu komposisi. Berdasarkan hal tersebut, maka nada dasar yang terdapat
pada repertoar sampak maupun srepeg adalah As.
4.6 Wilayah Nada
Cara untuk menentukan wilayah nada adalah dengan memperhatikan nada
paling rendah sampai nada paling tinggi. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
J.A Ellis dalam Malm (1977:35) mengenai tentang perhitungan frekuensi nada
dengan memakai sistem cent, yaitu nada-nada yang berjarak 1 laras sama dengan 200
cent dan nada-nada berjarak 1/2 laras sama dengan 100 cent. Untuk mempermudah
penulis dalam mendapatkan wilayah nada repertoar sampak dan srepeg, maka melodi
repertoar sampak dan srepeg tersebut akan dimasukkan ke dalam garis paranada.
Wilayah nada repertoar sampak dan srepeg dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
92
4.6.1 Wilayah Nada Sampak Pada Instrumen Saron dan Demung
ES – C = 900 cent
4.6.2 Wilayah Nada Srepeg Pada Instrumen Saron dan Demung
Es – Bes = 700 cent
C – F = 500 cent
93
4.7 Jumlah Nada
Dalam mendeskripsikan jumlah nada dalam suatu repertoar musik paling
tidak menyebutkan nada mana yang berfungsi sebagai nada dasar (tonal center).
seperti nada-nada yang terpenting dalam repertoar tersebut, nada-nada yang hanya
dipakai sebagai nada pendamping nada lain, dan sebagainya (Nettl 1964:146). Jumlah
nada dalam suatu repertoar musik dapat dilihat dari jumlah pemakaian nada pada
repertoar tersebut. Berdasarkan metode tersebut, penulis akan menganalisis jumlah
nada yang terdapat dalam repertoar sampak dan srepeg pada instrumen saron dan
demung.
4.7.1 Jumlah Nada Sampak
Jumlah penggunaan nada-nada repertoar sampak mulai dari nada terendah
sampai nada yang tertinggi adalah sebagai berikut:
94
SARON Tabel 4.1
No. Nama Nada Jumlah Nada
1. Es 42
2. F 62
3. As 77
4. Bes 28
5. C 16
Jumlah 225
DEMUNG Tabel 4.2
No. Nama Nada Jumlah Nada
1. Es 34
2. F 62
3. G 28
4. As 63
5. Bes 36
6. C 37
Jumlah 260
95
4.7.2 Jumlah Nada Srepeg
Jumlah penggunaan nada-nada repertoar srepeg mulai dari nada terendah
sampai nada yang tertinggi adalah sebagai berikut:
SARON Tabel 4.3
No. Nama Nada Jumlah Nada
1. Es 24
2. F 48
3. As 72
4. Bes 24
Jumlah 168
DEMUNG Tabel 4.4
No. Nama Nada Jumlah Nada
1. C 40
2. Des 22
3. Es 84
96
4. F 22
Jumlah 168
4.8 Jumlah Interval
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri dari
interval naik maupun turun (Manoff 1991:50). Sedangkan jumlah interval merupakan
banyaknya interval yang dipakai dalam suatu musik atau nyanyian. Berikut ini
merupakan interval dari melodi saron dan demung pada repertoar sampak dan srepeg.
4.8.1. Jumlah Interval Sampak
SARON Tabel 4.5
Nama Interval Jumlah Interval
2M 34
3m 53
3M 1
5P 26
6M 36
7m 63
4P 4
97
DEMUNG Tabel 4.6
Nama Interval Jumlah Interval
2M 48
2m 16
3M 5
3m 26
1P 20
4P 9
5P 9
6M 29
7m 94
4.8.2 Jumlah Interval Srepeg
SARON Tabel 4.7
Nama Interval Jumlah Interval
6M 6
3m 5
7m 5
1P 138
5P 12
98
DEMUNG Tabel 4.8
Nama Interval Jumlah Interval
2M 42
6M 39
2m 10
3m 28
7m 33
1P 10
4.9 Pola Kadensa
Kadensa adalah suatu kerangka yang terdiri dari elemen-elemen harmonis,
ritmis, dan melodis yang menghasilkan efek kelengkapan yang bersifat sementara
seperti kadens tak sempurna atau kadens gantung serta yang bersifat permanen
(kadens lengkap, sempurna). Dalam pemilihan kedua repertoar tersebut, penulis
hanya memilih pola kadensa sampak untuk dianalisis.
Gambar diatas merupakan salah satu contoh pola kadensa dalam repertoar
sampak pada instrumen demung yang terdapat di bar 14 & 15. Dalam frasa tersebut
99
diakhiri dengan nada tonal (nada dasar) repertoar sampak, yaitu nada As. Oleh karena
itu, kadens tersebut dinamakan kadens sempurna.
4.10 Formula Melodi
Ada beberapa karakter yang perlu diperhatikan untuk menentukan bentuk dari
suatu repertoar, yaitu dengan memperhatikan unsur melodi yang terkandung
berdasarkan pengulangan frasa, tanda diam, pengulangan pola ritem, transposisi serta
kesatuan dari teks yang ada dalam musik (Nettl 1964:150). Formula melodi yang
akan dibahas dalam skripsi ini terdiri atas bentuk, frasa, dan motif. Bentuk merupakan
gabungan dari beberpa frasa yang terjalin menjadi satu pola melodi. Frasa merupakan
bagian-bagian kecil dari melodi. Motif merupakan ide melodi sebagai dasar
pembentukan melodi.
Ada beberapa jenis istilah untuk menganalisis bentuk yang dikemukakan oleh
William P.Malm yaitu:
1. Repetitif yaitu bentuk nyanyian/melodi yang diulang-ulang.
2. Ireratif yaitu bentuk nyanyian/melodi yang memakai formula melodi yang kecil
dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam keseleruhan nyanyian.
3. Strofic yaitu bentuk nyanyian/melodi yang diulang tetapi menggunakan teks
nyanyian yang baru atau berbeda.
4. Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian/melodi terjadi
pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-
penyimpangan melodi.
5. Progresif yaitu bentuk nyanyian/melodi yang terus berubah dengan menggunakan
100
materi melodi yang selalu baru.
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Malm tentang analisis bentuk, maka
penulis menyimpulkan bahwa repertoar sampak dan srepeg merupakan bentuk melodi
repetitif, yaitu bentuk nyanyian/melodi yang diulang-ulang.
4.11 Kontur
Kontur merupakan garis melodi dalam sebuah lagu (Malm dalam Irawan
1997: 85). Malm membedakan beberapa jenis kontur yaitu:
1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada yang
rendah ke nada yang tinggi.
2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada
yang tinggi ke nada yang rendah.
3. Pendulous yaitu garis melodi yang gerakannya berbentuk melengkung dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke
nada yang tinggi.
4. Terraced yaitu garis melodi yang berjenjang baik dari nada yang lebih tinggi ke
nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih rendah ke nada yang
lebih tinggi.
101
5. Static yaitu garis melodi yang bersifat tetap yang jarak intervalnya terbatas.
6. Disjunct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melompat dari satu nada ke
nada yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas seconde baik mayor maupun
minor.
7. Conjunct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada ke
nada yang lain baik naik maupun turun.
Berdasarkan jenis kontur yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis
menyimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis kontur pada repertoar sampak dan
srepeg nem, yaitu:
Kontur repertoar sampak pada instrumen saron yaitu: pendulous dan
conjunct.
Gambar di atas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi pendulous,
kemudian conjunct, lalu pendulous kembali.
102
Kontur repertoar sampak pada instrumen demung yaitu:
Gambar di atas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi ascending dan
static.
Kontur repertoar srepeg pada instrumen saron yaitu:
Gambar di atas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi static, descending,
dan ascending.
Kontur repertoar srepeg pada instrumen demung yaitu:
Gambar di atas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi ascending
dan descending.
103
4.12 Struktur Ritem
Sampak
1. Tempo : ±120
2. Durasi : 2 menit 38 detik
3. Meter : 4/4
Srepeg
1. Tempo : ±150
2. Durasi : 45 detik
3. Meter : 4/4
104
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan atas penelitian yang penulis lakukan terhadap wayang kulit,
maka ada beberapa kesimpulan yang didapat oleh penulis, yaitu sebagai berikut.
Wayang kulit merupakan salah satu pertunjukan tradisional masyarakat Jawa yang
menampilkan sebuah lakon yang dibawakan oleh seorang dalang dengan diiringi
seperangkat alat musik gamelan. Pertunjukan ini diadakan dalam konteks acara
perkawinan dan pesta rakyat yang dimainkan oleh sanggar Mardi Lestari. Pertunjukan
ini berlangsung pada malam hari sampai dengan menjelang subuh. Dalam satu set
wayang kulit yang dimiliki oleh sanggar Mardi Lestari, jumlahnya kurang lebih 500
wayang. Namun di dalam pagelarannya tersebut, wayang kulit yang dimainkan oleh
dalang tidak lebih dari 50 wayang saja.
Dalam pagelarannya, posisi pertunjukan wayang kulit berada di atas
panggung dengan membelakangi penonton. Penonton hanya menyaksikan
pertunjukan tersebut dengan melihat bayangan para tokoh yang berasal lampu sorot
yang dipantulkan ke kelir yang terbentang di hadapan dalang. Berdasarkan alurnya,
wayang kulit terdiri dari 3 pathet yakni pathet nem, sanga, dan manyura. Pathet nem
merupakan babak permulaan dimana adegan yang ditampilkan masih bersifat
pengenalan terhadap tokoh wayang. Selain itu, adegan perang yang terjadi pada
pathet ini belum ada yang menang atau kalah. Oleh karena itu, perang ini disebut
perang gagal atau perang tanpa hasil.
105
Dalam mengiringi adegan perang dalam pathet nem tersebut, repertoar musik
yang dimainkan yaitu sampak dan srepeg. Selain itu, instrumen yang menjadi
pembawa melodi pokok dalam seperangkat musik Gamelan yaitu saron dan demung.
Kedua repertoar tersebut menggunakan tangga nada pentatonik atau tangga nada
berjumlah lima nada yakni 1-2-3-5-6 dengan penyebutan nadanya dalam bahasa Jawa
adalah ji-ro-lu-mo-nem. Struktur melodi yang dihasilkan oleh saron dan demung
dalam repertoar sampak dan srepeg nem dari awal sampai akhir birama tersebut
mengalami pengulangan melodi atau repetitif.
5.2 Saran
Dari pembahasan serta kesimpulan yang telah dijelaskan, penulis menyadari
masih banyak sekali kekurangan di dalam penulisan ini. Oleh karena itu, penulis
menyarankan dan mengharapkan kepada siapa saja yang ingin membahas atau
mengkaji penelitian ini agar dilakukan secara lebih mendalam lagi. sehingga dapat
bermanfaat bagi pengembangan Etnomusikologi dan sebagai dokumentasi data
mengenai kebudayaan musikal yang berkaitan dengan suku Jawa.
Pertunjukan wayang kulit di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang diharapkan dapat bertahan sejauh mungkin kedepannya,
mengingat wilayah tersebut merupakan mayoritas suku Jawa. Dengan semakin
bertambahnya umur para seniman ataupun budayawan yang ada saat ini, wayang kulit
diharapkan mampu dijaga dan dilestarikan oleh generasi masa kini agar salah satu
kesenian tradisional Jawa tersebut tidak semakin terkikis dan hilang di zaman modern
ini.
106
Demikian tulisan ini diselesaikan oleh penulis, semoga tulisan ini bermanfaat
bagi yang membaca agar menjadi ilmu pengetahuan dan sumber informasi baik dalam
lingkup kebudayaan Jawa maupun hal yang lainnya khususnya di bidang ilmu
Etnomusikologi.
107
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis Dalam . Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Aryandini S, Woro. 2002. dan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Banjarnahor, Erni. 2014. “Tangis Beru Si Jahe Di Desa Sukaramai, Kecamatan
Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat: Kontinuitas dan Perubahan Penyajian,
Kajian Tekstual dan Musikal. Skripsi. Medan: Jurusan Etnomusikologi,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Guritno, Pandam. 1988. , Kebudayaan Indonesia, dan Pancasila hal.2. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Hariadi, Slamet. 2015. “Studi Deskriptif Ketoprak Dor Oleh Sanggar Langen Setio
Budi Lestari Pada Upacara Adat Perkawinan Jawa Di Kelurahan Jati
Makmur Kecamatan Binjai Utara Kota Binjai”. Skripsi. Medan: Jurusan
Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Hutagalung, Flora. 2009. “Analisis Pertunjukan Tari Piring Pada Upacara
Perkawinan Adat Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan”. Skripsi.
Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera
Utara.
Jaeni. 2014.Kajian Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi Seni. Bogor:
IPB Press.
Kodrat, Ki Harsono. 1982. Gending-Gending Karawitan Jawa Lengkap Slendro-
Peloghal.12. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka
Indonesia
Krijo Taruno, Suwadi. 2013. Wayang Kulit Purwa (Gaya Surakarta). Jakarta:
Penerbit CV Trias Grafika.
Lisbijanto, Herry. 2013. Wayang.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Marpaung, Yenni. 2014. “Deskipsi Struktur Tatak Nantampuk Mas dan Musik
Iringan yang Dipertunjukkan Oleh Sanggar Nina Nola Di Desa Sukaramai,
Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat. Medan: Jurusan
Etnomusikologi, Fakultas Imu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Moeleng, Lexy J. 1993. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT.
Remaja Rosdya Karya.
Morissan. 2013. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group
Mulyono, Sri. 1982. Asal-Usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: PT.
Gunung Agung.
108
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Metode In Ethnomusicology. Newyork: The Free
Press Of Glencoe.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1986. Ragam Panggung Dalam Bahasa Jawa. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sitopu, Dina. 2008. “Studi Deskriptif Pertunjukan Reog Ponorogo Pada Upacara
Perkawinan Masyarakat Jawa Di Desa Kampung KolamTembung Kecamatan
Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”. Skripsi. Medan: Jurusan
Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Website:
http://dprd-Deli Serdangkab.go.id/v1/peta-deli-serdang/
https://goo.gl/images/7SgSGE
https://goo.gl/images/bx829S
https://goo.gl/images/x7zRJz
https://goo.gl/images/Nv2cE2
https://lastzie.wordpress.com/2009/05/26/gunungan/
http://idjawaid.blogspot.co.id/2016/12/pathet-dalam-pegelaran-wayang-gaya.html
http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/10/asal-usul-wayang-dan-sejarah.html
109
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Triwahjuono Harijadi
Umur : 52 Tahun
Alamat : Jl.Bromo No.26 Medan
Pekerjaan : Budayawan, Relawan Pendamping Kelompok/
Sanggar komunitas budaya Jawa bersama
Komunitas Jede
2. Nama : Suprapto
Umur : 65 Tahun
Alamat : Jl.Pancing Pasar III Mabar
Pekerjaan : Budayawan, Penabuh Gamelan Sanggar Mardi
Lestari
3. Nama : Sunardi
Umur : 68 Tahun
Alamat : Jl. Bromo 26 Medan
Pekerjaan : Pensiunan BMG, Pemimpin Grup Musik
Sanggar Krido Laras
110
4. Nama : Suripno, SH.MH
Umur : 55 Tahun
Alamat : Jl. Pasar X Tembung
Pekerjaan : Kepala Desa Bandar Klippa
Top Related