BAB I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Lamanya kehamilan mulai dari ovulasi sampai persalinan kira-kira
adalah 40 minggu dan tidak lebih dari 43 minggu. Usia kehamilan yang
dianggap cukup bulan adalah 38 – 40 minggu, sementara bila lebih dari 43
minggu maka disebut kehamilan post matur. Bila persalinan terjadi pada
usia kehamilan di bawah 37 minggu maka disebut partus prematurus. Ada
pula yang membagi usia kehamilan kurang bulan menjadi kehamilan
imatur, yaitu usia kehamilan 20 – 27 minggu, dan kehamilan prematur bila
usia kehamilan 28 – 36 minggu.
Persalinan yang terjadi pada kehamilan yang belum cukup bulan dapat
mempengaruhi viabilitas bayi yang dilahirkan karena bayi masih terlalu
muda dan organ-organ nya belum cukup matur untuk dapat bertahan
hidup di luar kandungan.
Persalinan merupakan proses yang terjadi karena koordinasi dari
kontraksi uterus yang secara teratur menyebabkan dilatasi serviks sehingga
bayi dan plasenta dapat keluar dari uterus melalui jalan lahir. Kontraksi
uterus harus teratur dalam suatu interval tertentu, yaitu 4 kali dalam 1 jam,
dan harus cukup adekuat untuk dapat menyebabkan dilatasi serviks.
I.2 Epidemiologi
Persalinan prematur terjadi pada 10 – 15% dari seluruh kehamilan.
Prematuritas adalah penyebab utama terjadinya morbiditas maupun
mortalitas neonatal dan merupakan 75% penyebab kematian neonatal yang
tidak berhubungan dengan anomali kongenital.
8
13% bayi memiliki berat lahir yang rendah, yaitu kurang dari 2500 gram.
3% di antaranya merupakan bayi yang cukup bulan, dan sekitar 10%
merupakan bayi prematur. Bayi prematur dengan berat lahir yang rendah
merupakan 2/3 penyebab kematian bayi, yakni sekitar 25.000 kasus per
tahun.
30% persalinan prematur terjadi akibat kesalahan perhitungan usia
kehamilan atau karena tindakan intervensi medis terhadap ibu maupun
janin.
Penyebab utama terjadinya partus preterm adalah infeksi pada cairan
atau selaput ketuban yang meningkatkan risiko terjadinya ketuban pecah
dini. Sekitar 80% wanita yang mengalami partus preterm memiliki riwayat
korioamnionitis selama kehamilannya.
9
BAB II
Tinjauan Pustaka
II.1 Definisi
Partus prematur adalah proses persalinan yang sudah terjadi pada usia
kehamilan di bawah 37 minggu, namun sudah lebih dari 20 minggu.
II.2 KlasifikasiBerdasarkan usia kehamilannya, persalinan preterm dapat diklasifikasikan menjadi :
Prematuritas Usia kehamilan Frekuensi
Ringan 32 – 36 minggu 85%
Sedang 28 – 31 minggu < 1%
Berat 20 – 27 minggu < 5%
Tabel 1. Klasifikasi prematuritas
Ada pula pembagian yang mengatakan usia kehamilan 20 – 27 minggu
adalah kehamilan imatur dan 28 – 36 minggu termasuk kehamilan
prematur.
II.3 Etiologi
Partus prematur berhubungan dengan masalah penyakit sistemik,
obstetrik, dan anatomi. 50% penyebab partus prematur adalah idiopatik.
Namun demikian ada beberapa faktor risiko yang diduga sebagai penyebab
terjadinya partus prematur :
1. Kondisi ibu
Usia ibu kurang dari 18 tahun atau lebih dari 40 tahun
Multipara
Kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol
10
2. Masalah obstetrik saat ini
Hipertensi dalam kehamilan
Kelainan plasenta : solusio plasenta, plasenta previa
Ketuban pecah dini akibat korioamnionitis
Organisme yang sering ditemukan pada cairan amnion antara lain :
- Ureaplasma urealyticum
- Mycoplasma hominus
- Bacteroides species
- Gardnerella vaginalis.
Polihidramnion atau oligohidramnion
Berat badan kurang atau berlebih selama kehamilan
3. Riwayat kehamilan sebelumnya
Riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
Jarak kehamilan terlalu dekat (kurang dari 3 bulan)
Riwayat abortus
Riwayat laserasi serviks atau uterus
4. Penyakit sistemik
Hipertensi sistemik atau pulmonal
Penyakit jantung dan ginjal
Infeksi
- Saluran kemih : pielonefritis
- Genitalia : gonorrhea, herpes simpleks
- Gastrointestinal : appendiksitis, kolesistitis, divertikulitis
- Sistemik : pneumonia, influenza, malaria
- Infeksi janin : sitomegalovirus, toksoplasmosis, listeriosis
Anemia
Ulkus peptikum
Trauma
5. Komplikasi tindakan medis
11
Tindakan bedah abdomen
Konisasi serviks
Riwayat tindakan bedah pada uterus atau serviks (sectio caesarea)
6. Kelainan anatomi
Uterus bikornu atau unikornu
Uterus subseptal
Inkompetensi serviks kongenital
II.4 Patofisiologi
Persalinan preterm dapat terjadi melalui beberapa mekanisme
tergantung dari penyebabnya.
Bagan 1. Patofisiologi persalinan preterm
12
Aktivasi aksis hipofisis – adrenal janin
Infeksi / inflamasi intrauterin
PerdarahanDistensi uterus
Corticotropin releasing hormone
IL-1, IL-6, IL-8, TNF
TrombinReseptor oksitosin
Korion
Desidua
OksitosinProtease
- Dilatasi ostium interna
- Perlunakan serviksKontraksi uterus
Persalinan
preterm
Korioamnionitis merupakan penyebab utama terjadinya ketuban pecah
dini yang kemudian merangsang kontraksi sehingga terjadi partus preterm.
Bila organisme ditemukan pada cairan amnion dari wanita hamil sebelum
20 minggu, kehamilan biasanya akan berakhir 4 – 8 minggu kemudian.
Neonatus prematur dengan amnionitis memiliki risiko 3 – 4 kali lebih tinggi
untuk mengalami perdarahan intraventrikel.
Bagan 2. Hubungan infeksi dengan persalinan preterm
II.5 Diagnosis
13
Infeksi
Makrofag sel desidua
SitokinCorticotropin releasing hormon
Produksi prostaglandin
m↑
Saluran napas janin
Sirkulasi janin
Infiltasi granulosit
protease
Pelunakan serviks
Akselerasi pematangan paru
bronkopulmonar displasia
Sawar darah otak
Perdarahan intraserebral / periventrikular leukomalasia
Ketuban pecah dini
MATERNAL FETAL
Perhitungan usia kehamilan merupakan hal yang penting dilakukan
untuk menentukan persalinan yang terjadi merupakan partus prematur
atau bukan. Perhitungan dapat berdasarkan dari hari pertama haid terakhir
atau berdasarkan gambaran USG janin.
Bila usia kehamilan antara 20 – 37 minggu, maka tanda-tanda
persalinan harus diperhatikan untuk mengetahui apakah ibu hamil sudah
inpartu atau belum.
Kontraksi uterus merupakan hal yang cukup menentukan apakah
persalinan akan berlangsung atau tidak. Kontraksi harus dihitung interval,
lama, dan dinilai kekuatannya. Perhitungan dapat dinilai dengan tokometer
atau melalui palpasi uterus. Apabila kontraksi uterus sudah lebih dari 2x
dalam 1½ jam, maka pengawasan harus diperketat untuk mempersiapkan
bila ibu sudah inpartu.
Penilaian dilatasi serviks atau pembukaan melalui pemeriksaan dalam
harus dilakukan secara berkala. Apabila terjadi dilatasi serviks bertambah 1
cm dalam 1 – 2 jam, maka harus dipersiapkan untuk proses persalinan.
Adanya bloody show yang merupakan tanda inpartu harus dibedakan
dari terjadinya perdarahan yang mungkin disebabkan oleh solusio plasenta
atau plasenta previa.
II.6 Pemeriksaan penunjang
Seperti pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam setiap
proses persalinan, pemeriksaan hematologi dan urinalisa lengkap harus
dilakukan untuk mengetahui adanya anemia, infeksi, atau proteinuria.
Pemeriksaan USG juga perlu dilakukan untuk mengetahui ukuran dan
posisi janin, serta letak plasenta. Apabila letak janin atau plasenta tidak
memungkinkan untuk dilakukan partus per vaginam, maka perlu dilakukan
persiapan untuk sectio caesarea.
14
Amniosentesis mungkin berguna untuk menilai kematangan paru janin
apabila usia kehamilan tidak dapat ditentukan secara pasti karena
ketidaksesuaian ukuran janin dengan usia kehamilan. Cairan amnion
diperiksa rasio lesitin – sfingomielin, adanya kandungan fosfatidilgliserol,
dan perhitungan lamellar body. Apabila dicurigai adanya korioamnionitis,
maka perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dengan pewarnaan gram,
kultur bakteri, kadar glukosa, hitung sel, dan kadar interleukin 6.
Apabila dicurigai adanya infeksi genitalia, maka perlu dilakukan kultur
terhadap jaringan serviks untuk pemeriksaan terhadap gonorrhea,
chlamydia, dan kemungkinan penyebab vaginosis bakterial lainnya.
Sementara sediaan kultur untuk Streptococcus grup B diambil dari mukosa
vagina dan rektum.
Food and Drug Administration menyarankan pemeriksaan fetal
fibronectin enzyme immunoassay untuk memprediksi persalinan preterm.
Bahan diambil dari sediaan hapus serviks. Hasil negatif menandakan
persalinan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu, sementara hasil positif
kurang memiliki makna untuk memprediksi partus preterm.
II.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kehamilan yang belum mencapai cukup bulan
tergantung pada usia kehamilan, perkiraan berat badan janin, dan ada
tidaknya kontraindikasi untuk mempertahankan kehamilan sampai usia
kehamilan cukup bulan. Kondisi yang mengharuskan terminasi kehamilan
antara lain :
Maternal Fetal
Hipertensi berat
- Preeklampsia berat
- Eklampsia
- Eksaserbasi hipertensi kronis
Kematian janin
Anomali kongenital berat
Korioamnionitis
TBJ > 2500 gram
15
Penyakit paru dan jantung
- Udem pulmonary
- Adult respiratory distress syndrome
- Kelainan katup jantung
- Takiaritmia
Perdarahan
- Solusio plasenta
- Plasenta previa
- DIC
Dilatasi serviks > 4 cm
Erythroblastosis fetalis
IUGR
Tabel 2. Indikasi terminasi kehamilan prematur
Pada usia kehamilan 24 – 34 minggu atau taksiran berat janin 600 –
2500 gram, maka kehamilan diusahakan untuk dipertahankan sampai
keadaan janin lebih memungkinkan untuk hidup di luar kandungan. Tirah
baring sangat dianjurkan pada ibu hamil yang memiliki risiko untuk
mengalami persalinan preterm.
Pemberian kortikosteroid bermanfaat untuk mempercepat proses
pematangan paru janin sehingga dapat mengurangi insiden neonatal
respiratory distress syndrome, perdarahan intraventrikular, dan kematian
neonatal. Ada 2 protokol pemberian kortikosteroid pada ibu hamil dengan
risiko persalinan preterm :
1. Betametason 12 mg/24 jam IM hingga 2x pemberian
2. Deksametason 6 mg/12 jam IM hingga 4x pemberian
Manfaat pemberian kortikosteroid mulai tampak 24 jam setelah
pemberian, kemudian kerja obat mencapai puncak setelah 48 jam dan akan
bertahan selama 7 hari. Apabila setelah pemberian kortikosteroid berhasil
dan kehamilan dapat dipertahankan hingga 1 minggu, maka tidak perlu
16
diberikan kortikosteroid ulang karena pemberian yang berlebihan dapat
menyebabkan kelainan pertumbuhan dan keterlambatan perkembangan
psikomotor pada janin.
Pada kehamilan 34 – 37 minggu atau taksiran berat janin sudah lebih
dari 2500 gram, maka morbiditas janin akan lebih rendah dan pemberian
kortikosteroid untuk membantu pematangan paru janin sudah kurang
efektif.
Bila pasien tetap mengalami kontraksi serta pada pemeriksaan didapati
serviks yang memendek dan mengalami dilatasi, maka dapat diberikan
tokolitik. Tujuan jangka pendek pemberian tokolitik adalah
mempertahankan kehamilan minimal 48 jam sesudah pemberian
kortikosteroid di mana kerja kortikosteroid sudah mencapai puncaknya.
Sementara tujuan jangka panjangnya adalah mempertahankan kehamilan
hingga usia 34 – 36 minggu sehingga risiko morbiditas dan mortalitas janin
dapat dikurangi.
Tokolitik bekerja secara efektif apabila diberikan pada pasien yang
mengalami kontraksi dengan frekuensi 4 – 6 kali dalam 1 jam tanpa adanya
dilatasi serviks. Pilihan jenis tokolitik berdasarkan pertimbangan adanya
kontraindikasi dan efek samping yang mungkin terjadi. Ada beberapa jenis
obat tokolitik, antara lain :
1. Beta mimetik adrenergik
Obat golongan ini berkerja secara langsung pada reseptor β2
sehingga menyebabkan relaksasi uterus. Contoh obat golongan ini yang
sering digunakan adalah ritodrin dan terbutalin.
Kontraindikasi pemberian obat beta mimetik adrenergik pada ibu
adalah adanya penyakit jantung, hepar, dan ginjal, hipertiroid,
hipertensi dan diabetes yang tidak terkontrol, serta adanya riwayat
asma.
17
Pemberian obat ini harus berhati-hati mengingat adanya efek
samping terhadap sistem kardiovaskular termasuk udem pulmonar,
adult respiratory distress syndrome, peningkatan tekanan darah sistolik
dengan penurunan tekanan diastolik, serta kemungkinan takikardi pada
ibu maupun janin. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah
penurunan kadar kalium serum, peningkatan kadar gula darah, dan
asidosis laktat.
Pemberian obat secara intravena dapat meningkatkan risiko terjadinya
efek samping berupa palpitasi, tremor, rasa gugup, dan insomnia. Untuk
mengurangi efek tersebut maka pemberian obat sebaiknya dilakukan melalui
injeksi subktan secara intermiten.
Nama generik Nama dagang Dosis i.v
(ug/menit)
Dosis oral
(mg/hari)
Isoxuprine Duvadilan 50 – 200 4 – 8 x 10
Salbutamol Ventolin 20 – 50 2 – 4 x 4
Terbutalin Brikasma 10 – 20 3 x 5
Hexoprenaline Ipradol 0,075 – 0,3 8 x 0,5
Tabel 3. Contoh obat golongan beta mimetik
2. Magnesium sulfat
Magnesium sulfat bekerja menghambat pengambilan kalsium oleh
sel-sel otot halus sehingga mengurangi kontraktilitas, termasuk
kontraksi uterus.
Obat pada awalnya diberikan sebanyak 4 gram melalui infus, yaitu
sebanyak 40 mL larutan 10%. Dosis lanjutan sebanyak 2 gram/jam
berupa infus 200 mL larutan 10% kalsium glukonas dalam 800 mL
dextrose 5%. Pemberian tokolitik dihentikan bila kontraksi uterus
berkurang hingga kurang dari 4 – 6 kali/jam atau bila dinyatakan gagal,
yaitu dilatasi serviks sudah mencapai 5 cm.
18
Magnesium sulfat memberikan efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat beta mimetik adrenergik. Namun dosis
terapeutiknya sangat sempit dan hanya berbeda sedikit dengan dosis
yang dapat menimbulkan depresi pernapasan dan kardiovaskular.
Pasien yang diberikan magnesium sulfat harus dulakukan observasi
untuk mencegah terjadinya toksisitas melalui pemeriksaan refleks
tendon dalam, pemeriksaan paru, dan perhitungan balans cairan. Bila
pemberian magnesium sulfat telah melewati dosis terapeutik, maka
dapat diberikan antidotum berupa kalsium glukonas 10% sebanyak 10
mL secara intravena untuk mencegah terjadinya efek samping yang
berbahaya.
3. Nifedipin
Nifedipin sebagai calcium channel blockers bekerja menghambat
pengambilan kalsium oleh sel otot halus uterus sehingga mengurangi
kontraktilitas uterus. Beberapa hasil studi menyatakan nifedipin lebih
efektif sebagai tokolitik dibandingkan beta mimetik adrenergik dan
memiliki efek samping yang lebih sedikit.
Efek samping yang dapat terjadi antara lain hipotensi, takikardi,
sakit kepala, mual, dan muntah.
Dosis awal biasanya diberikan sebanyak 20 mg per oral dan
kemudian dilanjutkan 10 – 20 mg setiap 6 jam sampai kontraksi uterus
berkurang secara bermakna.
4. Indometasin
Indometasin bekerja menghambat sintesis prostaglandin yang
merupakan mediator penting untuk kontraksi otot uterus. Indometasin
memiliki efektivitas yang sama seperti ritodrine namun memiliki efek
samping terhadap janin yang jauh lebih besar seperti disfungsi ginjal
19
yang menyebabkan oligohidramnion, hipertensi pulmonal, penutupan
duktus arteriosus sebelum waktunya, perdarahan intraventrikular, dan
enterokolitis nekrotikans.
Untuk mengurangi terjadinya efek samping yang tidak diinginkan,
maka indometasin sebaiknya tidak diberikan pada usia kehamilan di
bawah 32 minggu dan lamanya pemberian tidak lebih dari 48 jam.
Keuntungan indometasin adalah cara pemberian yang mudah, yaitu
per oral maupun per rektal. Awalnya diberikan 50 mg indometasin per
oral atau 100 mg per rektal, kemudian dosis dilanjutkan 25 – 50 mg per
oral maupun rektal setiap 4 – 6 jam. Pemberian indometasin harus
disertai pemantauan USG setiap 48 – 72 jam untuk mendeteksi adanya
oligohidramnion.
Apabila pemberian tokolitik gagal, yaitu setelah pemberian tokolitik
selama 48 jam tetap terjadi dilatasi serviks hingga mencapai 5 cm, maka
kemungkinan adanya efek samping dari obat-obat yang masih tersisa harus
diwaspadai. Beta mimetik adrenergik dapat menyebabkan hipotensi,
hipoglikemi, hipokalemia, dan ileus pada neonatus. Sementara magnesium
sulfat dapat menyebabkan depresi pernapasan dan kardiovaskular pada
janin.
Pemberian antibiotik pada ibu hamil dengan risiko persalinan preterm
tidak bermanfaat untuk memperpanjang masa kehamilan, namun
bermanfaat untuk mencegah infeksi Streptococcus grup B pada neonatus.
Antibiotik yang menjadi pilihan pertama adalah penisilin atau ampisilin.
Sementara apabila ibu alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin,
klindamisin, eritromisin, atau vankomisin. Apabila kehamilan dapat
dipertahankan dengan pemberian tokolitik dan tidak ada tanda-tanda
20
terjadinya partus prematurus, maka pemberian antibiotika dapat
dihentikan.
Apabila usaha mempertahankan kehamilan tidak berhasil, maka harus
dipersiapkan untuk proses persalinan. Bila persalinan terjadi pada usia
kehamilan kurang dari 34 minggu, maka sebaiknya persalinan dilakukan di
rumah sakit yang memiliki fasilitas NICU (Neonatal Intensive Care Unit).
Keputusan untuk dilakukannya sectio caesarea ditentukan berdasarkan
tingkat kematangan janin dan prognosisnya untuk dapat bertahan hidup.
Umumnya sectio caesarea dilakukan bila taksiran berat janin masih kurang
dari 2000 gram. Insisi uterus yang dilakukan harus cukup untuk
mengeluarkan janin tanpa menimbulkan trauma. Biasanya dilakuakn insisi
secara vertikal apabila segmen bawah uterus belum terbentuk secara
sempurna.
II.8 Prognosis
Semakin muda usia kehamilan dan semakin rendah berat badan bayi saat
lahir, maka semakin besar risiko kecacatan dan kematian bayi. Namun melalui
penanganan yang baik terhadap ibu dengan partus prematurus dan bayi prematur
dapat memperbaiki prognosis ibu maupun bayi.
Usia kehamilan
(minggu)
Berat lahir
(gram)
Persentase kemampuan
Bertahan hidup Tidak cacat
24 – 25 500 – 750 60% 35%
25 – 27 751 – 1000 75% 60%
28 – 29 1001 – 1250 90% 80%
30 – 31 1251 – 1500 96% 90%
32 – 33 1501 – 1750 99% 98%
> 34 1751 – 2000 100% 99%
Tabel 4. Prognosis bayi prematur
21
BAB III
Ringkasan
Partus prematur adalah proses persalinan yang sudah terjadi pada usia
kehamilan di bawah 37 minggu, namun sudah lebih dari 20 minggu.
Persalinan yang terjadi pada kehamilan yang belum cukup bulan dapat
mempengaruhi viabilitas bayi yang dilahirkan karena bayi masih terlalu
muda dan organ-organ nya belum cukup matur untuk dapat bertahan
hidup di luar kandungan.
Persalinan preterm dapat terjadi karena faktor dari kondisi ibu, riwayat
kehamilan saat ini maupun sebelumnya, adanya penyakit sistemik dan
kelainan anatomi,serta komplikasi dari tindakan medis.
Untuk memastikan kehamilan sudah cukup bulan atau belum maka
perhitungan usia kehamilan harus dilakukan secara tepat berdasarkan hari
pertama haid terakhir maupun dari gambaran USG. Kemudian untuk
menentukan apakah kehamilan akan segera berakhir dengan persalinan
perlu dipantau tanda-tanda inpartu seperti adanya bloody show, kontraksi
uterus, dan dilatasi serviks.
Pemeriksaan penunjang berupa USG selain berguna memastikan usia
kehamilan, juga bermanfaat untuk menentukan posisi dan letak janin serta
plasenta sehingga terminasi kehamilan dapat ditentukan akan dilakukan
per vaginam atau melalui sectio caesarea.
Cairan amnion yang diambil melalui amniosentesis perlu diperiksa
untuk mengetahui ada tidaknya infeksi korioamnionitis yang merupakan
penyebab tersering ketuban pecah dini dan untuk menentukan tingkat
kematangan paru janin.
22
Terminasi kehamilan harus segera dilakukan apabila ibu memiliki
penyakit jantung atau paru, hipertensi berat, adanya perdarahan, atau bila
dilatasi serviks sudah lebih dari 4 cm.
Apabila kondisi ibu memungkinkan, maka kehamilan diusahakan untuk
dipertahankan agar kondisi janin lebih baik dengan organ yang sudah cukup
matur untuk bertahan hidup di luar kandungan. Pemberian kortikosteroid
bermanfaat untuk merangsang pematangan paru janin agar apabila
kehamilan harus diakhiri, risiko respiratory distress pada bayi dapat
dikurangi.
Selain itu dapat diberikan tokolitik untuk mengurangi kontraksi uterus
sehingga proses persalinan dapat ditunda. Jenis tokolitik yang digunakan
dapat ditentukan berdasarkan kontraindikasi pada ibu dan kemungkinan
efek samping yang dapat terjadi. Pemberian antibiotik bermanfaat untuk
mencegah terjadinya infeksi pada neonatus.
Bila terminasi kehamilan harus dilakukan, maka harus tindakan harus
dilakukan dnegan hati-hati agar tidak menimbulkan trauma pada janin. Bila
harus dilakukan sectio caesarea, maka kemungkinan insisi dilakukan secara
vertikal karena segmen bawah uterus belum terbentuk dengan sempurna.
23
Daftar Pustaka
1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD.
Williams Obstetrics 21st edition. Mc Graw Hill : 2001
2. Sarwono Prawirohardjo. Ilmu Kebidanan Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka.
Jakarta : 2006
3. Alan H DeCherney, Lauren Nathan, Murphy Goodwin, Neri Laufer. Current
Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology 10th Edition. The McGraw-Hill
Companies. United States of America : 2007
4. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine Infection and Preterm
Delivery : 2000
5. Goldenberg RL. The Management of Preterm Labor : 2002
6. Michael G Ross. Preterm Labor. Available from :
http://www.emedicine.medscape.com.260998-overview.htm. 31 Juli 2009
24
Top Related