i
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HILANGNYA BARANG DI
BAGASI PESAWAT
(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor
172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST Antara Konsumen dan Maskapai Express
Air/PT. Travel Express Aviation Services)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Nur Khalida Zia
11140480000138
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439H/2018M
v
ABSTRAK
Nur Khalida Zia. NIM 11140480000138. PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP HILANGNYA BARANG DI BAGASI PESAWAT (Analisis
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor
172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST Antara Konsumen dan Maskapai Express Air
/ PT Travel Express Aviation Services). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439
H/2018 M. Isi: ix + 69 halaman + 29 halaman lampiran + 3 halaman daftar
pustaka.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen
angkutan udara apabila terjadi kehilangan barang di bagasi pesawat dan untuk
mengetahui kesesuaian putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor
172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST dengan hukum perlindungan konsumen angkutan
udara atas hilangnya barang-barang di bagasi pesawat.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif. Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan,
pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Adapun sumber data yang
digunakan yaitu, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
non-hukum. dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data
secara library research (studi kepustakaan) dan menganalisis data secara deduktif
yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam putusan majelis hakim pada
Perkara Nomor 172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST dalam pertimbangannya hakim
tidak menerapkan dan tidak sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
dimana berlaku pada setiap pelaku usaha dan konsumen termasuk dalam sengketa
yang dialami Erwin Rengga dan PT Travel Express Aviation Services dan kurang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tanggung
jawab pengangkut udara. Putusan hakim tidak memberikan keadilan dan
keseimbangan hukum bagi konsumen yang dimana kerugian konsumen
merupakan tanggung jawab pelaku usaha.
Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Tanggung Jawab, Kehilangan Barang
Pembimbing : H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H.
Achmad Bahtiar, M.Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1985 Sampai Tahun 2016
vi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta memberi segala petunjuk dan
kemudahan kepada peneliti. Sehingga atas karunia pertolongan-Nya lah peneliti
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam kita panjatkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para umat-Nya.
Skripsi ini saya persembahkan untuk motivator terbesar sepanjang
perjalanan hidup peneliti, terkhusus kedua orang tua tercinta, Ayahanda H. Rusli
Nasution dan Ibunda Hj. Siti Zainab beserta kakakku tersayang dan adik-adikku
terkasih, Rahmat Hidayat, M.Z. Arifin dan Siti Khadijah yang tiada lelah dan
bosan memberi motivasi, bimbingan, kasih sayangnya serta do’a, begitu juga
rahmat dan kasih sayang kepada mereka semua.
Dalam penulisan skripsi ini, sedikit banyaknya hambatan dan kesulitan
yang saya hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-
Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik
langsung maupun tidak langsung segala hambatan yang dapat diatasi, sehingga
pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dengan demikian,
sudah sepatutnya pada kesempatan kali ini peneliti mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH. Dan Drs. Abu Tamrin, SH.,
M.Hum. Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Syafrudin Makmur, S.H., M.H. dan Achmad Bahtiar, M.Hum. Dosen
Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk
mengarahkan dan memotivasi selama membimbing skripsi.
vii
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dengan tulus dan ikhlas.
5. Segenap jajaran Staf dan Karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6. Teman-teman Ilmu Hukum 2014, terutama teman-teman hukum bisnis,
Choirunisa, Maulidiah Maskat, Diana Yurika, Dewi Fatimah, Yuli Noviyarni,
Adella Farah, Siti Julaeha dan tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima
kasih telah sabar menjadi teman terbaik penulis dalam berdiskusi dan banyak
membantu kesulitan Penulis dalam menulis skripsi ini.
7. Keluarga Besar “KKN Berikatan 22”, terima kasih untuk pembelajaran yang
kalian berikan, sehingga penulis termotivasi atas kegigihan kalian atas sifat-
sifat positif yang kalian tularkan kepada penulis.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan nikmat dan kasih sayangnya
untuk membalas kebaikan seluruh pihak yang telah membantu dan menjadi
inspirasi bagi penulis. Besar harapan peneliti, karya tulis ini dapat memberikan
kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang
Hukum Bisnis.
Jakarta, 5 Mei 2018
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ....................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Identifikasi, Batasan dan Perumusan Masalah .................................... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 7
E. Metode Penelitian ................................................................................ 8
F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 11
BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ANGKUTAN UDARA
A. Hukum Perlindungan Konsumen ........................................................... 13
B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ............................ 14
C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ......................................... 21
D. Prinsip Tanggung Jawab Dalam Pengangkutan Udara ...................... 24
E. Penyelesaian Sengketa Konsumen ..................................................... 31
F. Tinjauan Kajian Review Studi Terdahulu ......................................... 38
BAB III KEDUDUKAN PT TRAVEL EXPRESS AVIATION SERVICES
DALAM PENGANGKUTAN UDARA
A. Profil PT Travel Express Aviation Services ....................................... 40
B. Peraturan Pengangkutan Udara di Indonesia ...................................... 41
C. Dokumen Pengangkutan Udara dan Pengangkutan Bagasi ............... 43
BAB IV ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA
PUSAT PERKARA NOMOR 172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST
A. Posisi Kasus ......................................................................................... 48
B. Pertimbangan dan Putusan Hakim ..................................................... 53
C. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
Perkara 172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST ............................................. 54
ix
1. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen ................................................................ 54
2. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang
Penerbangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 ... .60
D. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Angkutan Udara ................... 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 67
B. Rekomendasi ....................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengangkutan dewasa ini mempunyai peranan yang sangat penting
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang jasa pengangkutan.
Seiring berjalannya waktu dan semakin kompleksnya mobilitas orang
maupun barang, maka pengangkutan udara merupakan satu-satunya
alternatif yang cepat, efisien dan ekonomis bagi pengangkutan antar pulau
dan antar daerah terutama antar daerah terpencil di pulau-pulau di luar
jawa.1 Pengangkutan berasal dari kata dasar “angkut” yang berarti angkat
dan bawa, muat dan bawa atau kirimkan.
Mengangkut artinya mengangkat dan membawa, memuat dan
membawa atau mengirimkan. Pengangkutan artinya pengangkatan dan
pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau
orang, barang atau orang yang diangkut. Jadi, dalam pengertian
pengangkutan itu tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan dari satu
tempat ke tempat lain,2 apabila dirumuskan dalam definisi, maka
Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke
dalam alat angkut, membawa barang atau penumpang dari tempat
pemuatan ke tempat tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari
alat pengangkutan ke tempat yang ditentukan.
Di Indonesia sendiri tersedia berbagai macam alat
pengangkutan/alat transportasi, mulai transportasi darat, laut, dan udara.
Dulunya, untuk berpindah dari satu kota ke kota lainnya yang masih
berada satu pulau, maka orang akan menggunakan transportasi darat.
Transportasi darat yang digunakan pada jaman itu berupa kereta apabila
1 E. Saefullah Wiradipraja, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan
Udara Internasional Dan Nasional (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1989) h. 1
2 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1991) h. 19
2
berpergian ke luar kota yang cukup jauh seperti Jakarta ke Bandung, atau
Jakarta ke Ciamis. Sedangkan untuk berpergian dari satu pulau ke pulau
lain yang melintasi laut seperti dari pulau Jawa menuju pulau Sumatera,
masyarakat dapat menggunakan transportasi laut seperti kapal.
Pengangkutan udara biasanya menggunakan alat transportasi yang sering
disebut dengan pesawat. Pesawat bisa mengangkut penumpang dari satu
negara ke negara lainnya.
Pesawat memiliki salah satu fasilitas yang dapat dipergunakan oleh
penumpang untuk menyimpan barang bawaan mereka yaitu bagasi. Bagasi
pesawat dibedakan menjadi dua macam, yaitu bagasi tercatat dan bagasi
kabin. Pada dasarnya semua barang dapat masuk ke dalam bagasi tercatat
pesawat. Namun beberapa maskapai penerbangan memberi batasan
mengenai barang penumpang yang dapat diangkut di bagasi pesawat untuk
kenyamanan dan keamanan para penumpang. Bagasi tercatat biasanya
dibatasi dalam satuan kilogram setiap penumpang untuk menggunakan
fasilitas bagasi tercatat ini. Hampir semua penumpang menggunakan jasa
bagasi tercatat apabila mereka berpergian dengan pesawat. Berarti
penumpang selaku konsumen pesawat telah memberi kepercayaan kepada
pihak maskapai penerbangan untuk mengamankan barang-barangnya
selama perjalanan di pesawat.
Pada dasarnya semua barang dapat masuk ke dalam bagasi tercatat
pesawat udara. Namun ada beberapa maskapai penerbangan memberi
batasan mengenai barang penumpang yang dapat diangkut di bagasi
pesawat untuk kenyanan dan kemanan para penumpang. Barang yang
dilarang untuk dibagasi tercatat adalah barang berharga tersebut dapat
dibawa oleh penumpang ke dalam bagasi tercatat jika dengan persetujuan
pihak maskapai penerbangan.
Bagasi tercatat biasanya dibatasi dalam satuan kilogram setiap
penumpang untuk menggunakan fasilitas bagasi tercatat ini. Hampir semua
penumpang menggunakan jasa bagasi tercatat apabila mereka berpergian
dengan pesawat. Itu artinya, penumpang selaku konsumen pesawat udara
3
telah memberi kepercayaan kepada pihak maskapai penerbangan untuk
mengamankan barang-barangnya selama di pesawat. Untuk bagasi tercatat,
karena barang penumpang diserahkan kepada pihak maskapai penerbangan
maka menjadi tanggung jawab pihak maskapai penerbangan selaku pelaku
usaha. Sedangkan untuk bagasi kabin, karena barang penumpang termasuk
dalam bagasi kabin terletak dibawah pengawasan penumpang itu sendiri,
maka tanggung jawab berada pada penumpang selaku konsumen.
Pada dasarnya hubungan antara pelaku usaha dan konsumen
merupakan hubungan yang bersifat ketergantungan3. Hal ini dikarenakan
pada praktiknya konsumen sebaga penumpang membutuhkan jasa
transportasi udara untuk menunjang aktivitas mereka, sedangkan
penyelenggara jasa angkutan udara membutuhkan konsumen untuk
jalannya usaha mereka. Oleh karenanya penumpang yang menggunakan
jasa penerbangan perlu dilindungi haknya, seperti contohnya hak
memperoleh ganti rugi apabila penumpang mengalami kerusakan atau
kehilangan bagasi.
Pengaturan mengenai hak dan kewajiban pihak pengangkut dan
pihak pengguna jasa atau penumpang dituangkan dalam suatu dokumen
perjanjian pengangkutan, maka untuk dapat melindungi hak dan kewajiban
para pihak perjanjian yang dibuat haruslah memenuhi syarat-syarat seperti
yang tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(untuk selanjutnya disingkat KUHPerdata) yakni untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat :
a. kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu pokok persoalan tertentu;
d. suatu sebab yang tidak terlarang.
Dalam pengangkutan udara, antara pengangkut dan pengguna jasa
penerbangan mengikatkan diri kedalam perjanjian pengangkutan yang
3 Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi (Bandung: Mandar Maju, 2000) h.
81
4
berbentuk tiket pesawat. Jadi, ketika penumpang telah membeli tiket
pesawat yang digunakan untuk menggunakan jasa penerbangan, maka
sejak saat itu penumpang telah mengikatkan diri terhadap ketentuan-
ketentuan dan peraturan yang ada pada tiket pesawat dan mendapatkan
perlindungan dalam pemanfaatan jasa penerbangan. Tiket pesawat
merupakan dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau
bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya
perjanjian angkutan udara antara penumpang jasa penerbangan dengan
pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara
atau diangkut dengan pesawat udara.
Pengaturan mengenai hak dan kewajiban pengangkut dan
penumpang yang membawa bagasi diatur dalam Bagian Ordonasi
Pengangkutan Udara II 1939. Kewajiban pengangkut dapat berupa
membayar ganti rugi apabila terjadi kehilangan atau kerusakan bagasi,
sedangkan hak penumpang adalah menerima pembayaran ganti rugi
apabila terjadi kerusakan atau kehilangan bagasi.
Terjadinya kerusakan dan kehilangan bagasi tidak dengan
sendirinya merupakan tanggung jawab dari pengangkut, tetapi harus
memenuhi persyaratan-persyaratan. Menurut Ordonansi Pengangkutan
Udara bahwasannya dokumen pengangkutan dalam pengangkutan udara
terdiri dari :
a. Tiket penumpang
b. Tiket bagasi
c. Surat muatan udara.
Seiring dengan peningkatan penggunaan jasa angkutan udara,
mucul masalah perihal keamanan, keselamatan, dan kenyamanan
pengguna jasa penerbangan sebagai konsumen yang merupakan akibat dari
kurangnya perhatian perusahaan penyedia jasa penerbangan terhadap
kualitas dari pelayanannya. Hal tersebut menimbulkan resiko-resiko dalam
menggunakan angkutan udara yang mungkin akan diterima oleh
konsumen. Kurangnya kejelasan informasi mengenai tanggung jawab
5
perusahaan penerbangan sebagai pelaku usaha serta perihal ganti rugi
terhadap kerugian barang bawaan penumpang membuat konsumen
dirugikan.
Belakangan ini terdapat kejadian yang meresahkan konsumen
pengguna pesawat salah satunya yaitu kehilangan barang di bagasi yang
dialami oleh Erwin Rengga. Erwin Rengga seorang advokat yang
menggunakan jasa penerbangan yaitu PT Travel Express Aviation
Services pada tanggal 24 Desember 2008 dari Jakarta menuju ke
Manokwari. Pada saat itu Erwin Rengga menitipkan barangnya yang
berisikan pakaian-pakaian, tas pakaian, satu set sarung bantal, satu unit
telepon seluler beserta pengisi baterai telepon selulernya di bagasi
pesawat. Nilai total dari seluruh barang tersebut mencapai 6.799.000.
Setibanya, Erwin Rengga menuju tempat pengambilan bagasi
alangkah terkejutnya Erwin Rengga karena bagasi miliknya sebagaimana
tersebut tidak diketemukan di tempat pengambilan bagasi padahal pada
saat itu dalam tanggung jawab dan pengawasan maskapai. Erwin Rengga
mencoba menanyakan kepada petugas Express Air tentang keberadaan
bagasi barang miliknya dengan menunjukkan “tanda bukti pengenal
bagasi” yang dimilikinya, lalu Erwin Rengga diberitahukan bahwa
bagasinya ada dalam tumpukan bagasi penumpang lain dan sulit untuk
diambil, kemudian Erwin Rengga disarankan oleh petugas untuk
mengambilnya keesokan hari.
Ketika keesokan harinya Erwin kembali menanyakan barang
bagasi miliknya, akan tetapi tetap tidak diketahui keberadaan barang
bagasinya. Lalu pada tanggal 24, 29 Desember 2008 dan tanggal 3 Januari
2009 Erwin telah melaporkan kehilangan bagasi tersebut kepada Express
Air yang seharusnya menyerah terimakan bagasi tersebut kepada Erwin
setibanya di pelabuhan udara Manokwari
Bahwa dari kejadian tersebut Erwin Rengga telah berusaha
menghubungi pihak Express Air untuk meminta pertanggung jawabannya
melalui surat tertanggal 4 Januari 2009 dan tertanggal 13 Januari 2009
6
terhadap hilangnya barang bagasi milik Erwin Rengga tersebut karena
pada saat selama berada dalam tanggung jawab Express Air lagi pula
sebagai pengguna jasa pihak Express Air harus menjamin keamanan milik
dari pengguna jasa sebagaimana juga yang diisyaratkan oleh Undang-
Undang Perlindungan Konsumen 1999 (Undang-Undang No.8 Tahun
1999) dan akibat Express Air tidak menyerahkan barang bagasi milik
Erwin Rengga pada saat tiba di tempat tujuan, maka Erwin Rengga pun
mengajukan sengketanya untuk diselesaikan di pengadilan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk
mengkaji dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Perlindungan Hukum
Terhadap Hilangnya Barang di Bagasi Pesawat (Analisis Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor
172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST Antara Konsumen dan Maskapai
Express Air / PT Travel Express Aviation Services)”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah maka dapat
diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
a. Pengawasan barang di bagasi pesawat masih rendah.
b. Kurangnya (responsibility) tanggung jawab pihak maskapai
terhadap barang di bagasi pesawat.
c. Lambatnya dalam mengambil tindakan ketika ada masukan atau
tanggapan dari pihak konsumen.
d. Diabaikannya klaim konsumen mengenai kehilangan barang di
bagasi pesawat.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat permasalahan mengenai perlindungan konsumen jasa
penerbangan sangat luas maka peneliti membatasi penelitian ini
dengan hanya membahas tentang perlindungan hukum bagi konsumen
maskapai penerbangan apabila kehilangan barang di bagasi pesawat.
7
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diperoleh permasalahan
yakni terjadinya kehilangan barang milik konsumen angkutan udara di
bagasi pesawat ketika setibanya di tujuan. Rumusan masalah tersebut
penulis rinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen angkutan
udara apabila terjadi kehilangan barang di bagasi pesawat?
b. Apakah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor
172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST sudah sesuai dengan hukum
perlindungan konsumen terhadap hilangnya barang di bagasi
pesawat?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen angkutan
udara apabila terjadi kehilangan barang di bagasi pesawat.
2. Untuk mengetahui kesesuaian Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Perkara Nomor 172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST dengan hukum
perlindungan konsumen angkutan udara atas hilangnya barang-barang
di bagasi pesawat.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis, manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk
memberikan masukan atau sumbangan bagi bahan kajian yang
menyangkut hukum perlindungan konsumen atas bagasi dan
bagaimana tanggung jawab dari pihak pengangkut/maskapai atas
kehilangan bagasi milik penumpang.
2. Manfaat praktis, dapat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai masukan
atau sumbangan pemikiran untuk ilmu pengetahuan dan bagi
8
masyarakat atau penumpang pesawat selaku konsumen pada
umumnya.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang menekankan pada
ilmu hukum tetapi disamping itu juga mengacu pada peraturan
perundang-undangan dan menelaah kaidah-kaidah yang berlaku di
masyarakat.4 penelitian yang mempunyai maksud dan tujuan untuk
mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
penerapan hukumnya seperti keputusan pengadilan. Dalam penelitian
hukum memiliki beberapa pendekatan yaitu pendekatan perundang-
undangan (statue approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan konsep (conseptual approach).5
Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) pendekatan yang terkait
dengan penelitian ini, yaitu pertama, Pendekatan perundang-undangan
yang mana dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk mengkaji semua
peraturan yang berkaitan dengan perlindungan hukum konsumen
maskapai penerbangan apabila terjadi kehilangan barang.
Kedua, Pendekatan kasus digunakan peneliti untuk menjadi
referensi saat menganalisis masalah perlindungan hukum konsumen
maskapai penerbangan dengan menelaah kasus yang telah diputus oleh
hakim dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
4 Hanitijo Ronny Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jumetri (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990) h. 106
5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010) h. 132
9
Ketiga, menggunakan pendekatan konseptual dilakukan dengan
beranjak dari pandangan-pandangan doktrin-doktrin yang berkembang
dalam ilmu hukum. Dengan tujuan untuk menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan
asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum.6 Pendekatan konsep
dilakukan untuk memahami konsep perlindungan konsumen agar tidak
menghasilkan kesimpulan yang salah dan peneliti mempunyai dasar
untuk membuat argumentasi hukum.
2. Jenis Penelitian
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak
membutuhkan populasi dan sampel karena jenis penelitian ini
menekankan pada aspek pemahaman suatu norma-norma yang hidup
dan berkembang di masyarakat. Penelitian kualitatif menggunakan
lingkungan yang menjadi penelitiannya sebagai sumber data.7
Maksudnya adalah data dan informasi lapangan ditarik maknanya dan
konsepnya melalui pemaparan deskriptif analitik tanpa harus
menggunakan angka, sebab lebih mengutamakan proses terjadinya
suatu peristiwa dalam situasi alami.
3. Sumber data
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.8 Bahan-bahan hukum
primer meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau
risalah dalam pembuatan perundangan-undangan, dan putusan-
putusan hakim.
6 Soejono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta: Rajawali Pers, 1985) h. 96
7 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h. 105
8 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Pers,
1986) h. 52
10
Sesuai dengan keterangan diatas penelitian ini termasuk
dalam bahan hukum primer karena bahan hukum yang digunakan
untuk penelitian ini adalah peraturan perundangan-undangan yang
terkait dalam judul penelitian ini. Bahan hukum primer yang
diguanakan dalam penelitian ini adalah:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4) Ordonasi Pengangkutan Udara 1939
5) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang
Angkutan Udara
6) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor
172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
diperoleh dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang
berkaitan dengan penelitian ini, yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer9 seperti kamus hukum, jurnal
hukum serta komentar-komentar atas putusan pengadilan.
c. Bahan Non Hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap adanya bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti Kamus Hukum, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode
pengumpulan data melalui studi dokumen/kepustakaan (library
research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber
9 Amiruddin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2004) h. 119
11
bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan perlindungan
konsumen, dan pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga
berita yang peneliti peroleh dari internet. Serta studi dokumen dalam
penelitian ini juga dengan mempelajari berkas yang berbentuk putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor
172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST yang telah berkekuatan hukum tetap.
5. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data
Pengelolaan data baik berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, serta bahan non-hukum dihubungkan sedemikian rupa
sehingga penyajian penulisan menjadi sistematis dan mudah dipahami
agar dapat menjawab setiap permasalahan yang dirumuskan. Penelitian
ini menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu suatu metode analisis
data yang tidak menampilkan angka-angka sebagai hasil penelitiannya
melainkan disajikan dalam bentuk pembahasan dengan uraian kalimat-
kalimat dan dipaparkan dalam bentuk tulisan. Hasil dari analisis data ini
akan disimpulkan secara deduktif yaitu cara berfikir yang menarik suatu
kesimpulan dari suatu pertanyaan yang bersifat umum menjadi suatu
pertanyaan yang bersifat khusus, yang mana dari kesimpulan dapat
diajukan beberapa saran terhadap permasalahan.
6. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan
metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada
Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembuatan dan gambaran umum
skripsi ini, peneliti menyajikan sitematika pembahasan yang dibagi
kedalam beberapa bab sebagai berikut:
BAB I: Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi sekilas
pengantar untuk memahami garis besar dari seluruh
12
pembahasan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar
belakang masalah, dilanjutkan dengan identifikasi,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II: Bab ini akan membahas kerangka teoritis dan konseptual
dalam hukum perlindungan konsumen seperti hukum
perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen dan
pelaku usaha, asas dan tujuan perlindungan konsumen,
prinsip tanggung jawab dalam pengangkutan udara,
penyelesaian sengketa konsumen: non litigasi dan litigasi
dan tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III: Bab ini akan menjelaskan tentang kedudukan PT Travel
Express Aviation Services dalam pengangkutan udara
seperti profil PT Travel Express Aviation Services,
peraturan pengangkutan udara di Indonesia dan dokumen
pengangkutan udara dan pengangkutan bagasi.
BAB IV: Bab ini menguraikan perkara dalam Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor
172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST serta analisis yang
dilakukan peneliti terhadap hak-hak konsumen dan
tanggung jawab pelaku usaha dalam putusan hakim
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1992 tentang Penerbangan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.
BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir dari penelitian skripsi ini,
untuk itu peneliti menarik beberapa kesimpulan dari hasil
penelitian, dan memberikan rekomendasi mengenai
permasalahan yang telah dibahas dalam penelitian ini.
13
BAB II
PERLINDUNGAN KONSUMEN ANGKUTAN UDARA
A. Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum konsumen terdiri dari rangkaian peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang perilaku orang dalam pergaulan hidup
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Orang-orang tersebut terutama
terdiri dari (pengusaha) penyedia barang atau jasa yang merupakan
kebutuhan hidup manusia serta konsumen pengguna barang atau jasa
tersebut.
Batasan (definisi) selalu diperlukan untuk memperjelas ruang
lingkup dan pegangan dalam pembahasan pokok permasalahan. Sekalipun
tidak disadari akan terdapat kekurangan-kekurangan tertentu yang tidak
dihindarkan, maka dengan mengikuti batasan hukum internasional
sebagaimana dikemukakan Prof. Mochtar Kusumaatmadja, batasan hukum
konsumen adalah:
Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan
barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.1 Hukum
Perlindungan Konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang
memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga
mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Kedudukan
konsumen ini, baik yang bergabung dalam suatu organisasi apalagi secara
individu, tidak seimbang dibandingkan dengan kedudukan pengusaha.
Oleh sebab itu, untuk menyeimbangkan kedudukan tersebut dibutuhkan
perlindungan pada konsumen.
Sejalan dengan batasan hukum konsumen, maka hukum
perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalan hubungan dan
1 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Binacipta, 1997)
h. 3
14
masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen. Begitu
juga dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Dari dua batasan tersebut di atas, hendaknya tidak dilupakan bahwa
peran regulasi sendiri di kalangan pengusaha dan profesi, juga mempunyai
pengaruh pada konsumen dan perlindungan konsumen. Hukum
perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang
mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak
seimbang.2
B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
Hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha sendiri sudah
diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun
1999, berikut dijelaskan dalam pasal-pasal berikut:
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4
"Hak konsumen adalah
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
2 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, ekonomi dan hukum pada
perlindungan konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995) h. 67
15
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya”
Penjelasan
Huruf g
“Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya,
miskin, dan status sosial lainnya.”
Selanjutnya masing-masing hak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Hak atas keamanan dan keselamatan.
Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk
menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan
barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat
terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi
suatu produk.
b. Hak untuk memperoleh informasi.
Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya
informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga
merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan
cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak
atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar dapat memenuhi
perannya sebagai pelaku usaha yang bertanggung jawab. Sarananya,
meliputi hak atas informasi tentang diskripsi barang, menyangkut harga
dan kualitas/kandungan suatu produk.3
c. Hak untuk memilih.
Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan
kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan
kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak
untuk memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau
3
Sudaryatmo, Liku-Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia : Jakarta, 2001), h. 8
16
tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih
baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.
d. Hak untuk didengar.
Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar
tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari
kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang
diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa
pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan
suatuproduk, atau yang berupa pernyataan/pendapat tentang suatu
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.
Hak ini dapat disampaikan baik secara perorangan, maupun secara
kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh
suatu lembaga tertentu, misalnya melalui YLKI.
e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.
Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena
menyangkut hak untuk hidup. Dengan demikian, setiap orang
(konsumen) berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang atau
jasa) untuk mempertahankan hidupnya (secara layak). Hak-hak ini
terutama yang berupa hak atas pangan, sandang, papan, serta hak-hak
lainnya yang berupa hak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, dan
lain-lain.
f. Hak untuk memperoleh ganti kerugian.
Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan
yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan
barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini
sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan
konsumen, baik yang berupa kerugian materi, maupun kerugian yang
menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk
merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik
17
yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang
diselesaikan melalui pengadilan.
g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen.
Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan
agar konsumen pilan yang diperoleh pengetahuan maupun
keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat
penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut,
konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih
suatu produk yang dibutuhkan.
h. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting
bagi setiap konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh
lingkungan bersih dan sehat serta hak untuk memperoleh informasi
tentang lingkungan ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997.
i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya.
Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari
kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam
keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang
yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas
barang atau jasa yang diperolehnya.
j. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.
Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan
konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk dengan
melalui jalur hukum. Sepuluh hak konsumen yang merupakan
himpunan dari berbagai pendapat tersebut di atas hampir semuanya
sama dengan hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagimana dikutip
sebelumnya.
18
Pasal 5
"kewajiban konsumen, adalah:
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur demi
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan
keselamatan;
b. beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.”
Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa
demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat
pengaturan. Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha
telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk,
namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan
kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi
pelaku usaha tidak bertanggung jawab, jika konsumen yang bersangkutan
menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.
Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada
transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan
karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen
mulai saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku
usaha kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak
barang dirancang /diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).
Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati dengan pelaku usaha, adalah hal yang sudah biasa dan sudah
semestinya demikian. Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan
lebih lanjut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian
hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Adanya kewajiban
seperti ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak
kosumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
19
Bagian Kedua
Hak dan kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
"Hal pelaku usaha adalah:
a. hak untuk memerima pemihayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beriktikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
sengbeta konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.”
Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa
pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang
dan/atau jasa jika yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang
memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau
jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau
jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka
pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang
dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.
Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf b, c dan d,
sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan
pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen/ pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa.
Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara
berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari.
Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban konsumen atas hak-hak
pelaku usaha yang disebutkan pada huruf b, c dan d tersebut adalah
kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana
diuraikan sebelumnya.
20
Pasal 7
“Kewajiban pelaku usaha adalah:
a. beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar jujur serta
diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai
dengan perjanjian.”
Penjelasan
Huruf c
"Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam
memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan
pelayanan kepada konsumen."
Huruf e
"Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah
barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau
kerugian.”
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha
diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya,
sedangkan bagi konsumen, diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa.4
Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan, penggunaan, perbaikan, dan
4 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007), h. 51
21
pemeliharaan, disebabkan karena informasi disamping merupakan hak
konsumen, juga karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak
memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat
informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen
mengenain satu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran
mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap
konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang
berupa instruksi.
C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Pasal 2 Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan
nasional yaitu5:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah
dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminanatas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
5 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 25
22
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila
diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:
1. asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen,
2. asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
3. asas kepastian hukum.
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang
menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundangan-undangan
maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan
perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan,
mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi
kepentingan masing-masing pihak, konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah. Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha
dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-
hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Dengan prinsip atau asas
kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya
dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban
sosial. Dengan prinsip atau asas kesamaan setiap individu mempunyai
kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan
meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan
yang sama setiap individu. Sedangkan prinsip atau asas solidaritas
sebenarnya merupakan sisi baik dari asas kebebasan.
Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah
hak, maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang menonjol adalah
kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap
mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang merupakan modus
23
survival bagi manusia. Melalui prinsip atau asas solidaritas dikembangkan
kemungkinan negara mencampuri urusan yang sebenarnya bersifat privat
dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan bersama.
Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang
dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan
keselamatan konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat
penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen di
samping kepentingan pelaku uasaha secara keseluruhan.
Asas-asas hukum perlindungan konsumen yang dikelompokkan
dalam 3 (tiga) kelompok di atas yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan
asas keseimbangan, kemanfaatan dijajarkan dengan asa maksimalisasi, dan
kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum
yang disejajarkan asas efisiensi karena menurut Himawan bahwa: “Hukum
yang berwibawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan mana
seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan
melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan.”
Pasal 3
"Perlindungan konsumen bertujuan:
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebegai konsumen.
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi
e. memumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung dalam berusaha
f. meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.”
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di
atas bila hukum secara umum, ke dalam tiga tujuan maka tujuan hukum
24
untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan huruf e.
Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam
rumusan huruf a dan b, termasuk huruf c, dan b serta huruf f. tujuan khusus
yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan
huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang
dapat dilihat dalam rumusan huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan
yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda.
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus
sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah khusus
dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat
tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem
perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan
fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat.
D. Prinsip Tanggung Jawab Dalam Pengangkutan Udara
Dalam hukum udara perdata internasional maupun nasional
terdapat beberapa konsep tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan
terhadap penumpang, pengirim barang maupun pihak ketiga. Menurut
ajaran yang berlaku di Common Law System maupun Continental Law
System, perusahaan penerbangan sebagai pengangkut yang menyediakan
jasa transportasi udara untuk umum bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang. Menurut ajaran hukum
tersebut, terjadi suatu pergeseran tanggung jawab dari korban kepada
pelaku pengangkutan, karena itu perusahaan penerbangan secara yuridis
bertanggung jawab terhadap penumpang dan/atau pengirim barang.
Dalam pengangkutan udara terdapat 3 (tiga) macam konsep dasar
tanggung jawab hukum masing-masing konsep tanggung jawab atau dasar
kesalahan (based on fault liability), konsep tanggung jawab hukum atas
dasar praduga bersalah (presumption based liability), dan konsep tanggung
jawab hukum tanpa bersalah (liability without fault) atau tanggung jawab
25
mutlak (absolute liability atau strict liability) sebagaimana diuraikan di
bawah ini.6
1. Tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability)
Tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault
liability) terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Pasal tersebut yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum
(onrechtsmatigdaad) berlaku umum terhadap siapa pun juga, termasuk
perusahaan penerbangan. Menurut pasal tersebut setiap perbuatan
melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain
mewajibkan orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian
itu mengganti kerugian. Berdasarkan ketentuan tersebut setiap orang
harus bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan sendiri artinya
apabila karena perbuatannya mengakibatkan kerugian kepada orang
lain, maka orang tersebut harus bertanggung jawab untuk membayar
ganti rugi yang diderita oleh orang tersebut.
Pada prinsipnya, tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan
(based on fault liability) berlaku terhadap semua perusahaan
pengangkutan. Tanggung jawab atas dasar kesalahan jumlah ganti rugi
tidak terbatas, korban sebagai pengangkut dengan perusahaan sebagai
tergugat mempunyai kedudukan yang sama dalam arti dapat saling
membuktikan.
a. Ada kesalahan (fault) dan kerugian (damages)
Sebagaimana disebutkan di atas, tanggung jawab
berdasarkan kesalahan harus ada kesalahan dan kerugian. Kerugian
tersebut harus ada hubungannya dengan kesalahan, ada kerugian
tetapi kesalahan, maka perusahaan penerbangan tidak bertanggung
jawab, demikian pula ada kesalahan tetapi tidak menimbulkan
kerugian, maka perusahaan penerbangan juga tidak bertanggung
jawab.
6 Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Nasional Dan Internasional
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016) h. 10
26
b. Beban pembuktian dan besaran ganti rugi
Dalam konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan (based
on fault liability) yang harus membuktikan adalah korban. Apabila
penumpang dan/atau pengirim barang sebagai korban yang
menderita kerugian mampu membuktikan adanya kesalahan
perusahaan penerbangan, ada kerugian dan kerugian tersebut akibat
dari kesalahan, maka perusahaan penerbangan harus membayar
seluruh kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim
barang. Perusahaan penerbangan bertanggung jawab tidak tebatas
(unlimited liability) dalam arti berapa pun kerugian yang diderita
oleh penumpang dan/atau pengirim barang harus dibayar penuh
oleh perusahaan penerbangan yang bersangkutan, kecuali atas dasar
kesepakatan kedua belah pihak.
c. Kedudukan para pihak
Dalam konsep tanggung jawab hukum berdasarkan
kesalahan (based on fault liability) kedudukan para pihak adalah
sama dalam arti mempunyai kemampuan saling membuktikan
kesalahan pihak yang lain. Konsep tanggung jawab hukum atas
dasar kesalahan dirasa adil apabila kedudukan kedua belah pihak
baik penumpang dan/atau pengirim barang dengan perusahaan
penerbangan mempunyai kemampuan yang sama sehingga mereka
dapat saling membuktikan kesalahan mereka. Dalam
perkembangannya, tanggung jawab hukum (legal liability)
berdasarkan kesalahan (based on fault liability) tidak dapat
diterapkan dalam pengangkutan udara mengingat kedudukan
perusahaan penerbangan dengan penumpang dan/atau pengirim
barang tidak seimbang, karena perusahaan penerbangan menguasai
teknologi tinggi, sementara itu penumpang dan/atau pengirim
barang tidak menguasai teknologi tinggi.
27
2. Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumption of Liability)
Sebagaimana disebutkan dimuka, dalam perkembangannya
tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) tidak dapat
diterapkan dalam pengangkutan udara, karena kedudukan antara
penumpang dan/atau pengirim barang dengan perusahaan penerbangan
tidak seimbang. Dalam pengangkutan udara, khususnya perusahaan
penerbangan menguasai teknologi tinggi, sementara itu penumpang
dan/atau pengirim barang tidak menguasai teknologi tinggi penerbangan,
sehingga apabila penumpang dan/atau pengirim barang harus
membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan pasti tidak akan berhasil,
karena itu sejak tahun 1929 dikenalkan konsep tanggung jawab hukum
praduga bersalah (presumption of liability concept).
Konsep tanggung jawab hukum (legal liability concept) atas dasar
praduga bersalah (presumption of liability) mulai diterapkan sejak
Konvensi Warsawa 1929. Menurut konsep tanggung jawab hukum praduga
bersalah (presumption of liability concept), perusahaan penerbangan
dianggap (presumed) bersalah, sehingga perusahaan penerbangan demi
hukum harus membayar ganti rugi yang diderita oleh penumpang dan/atau
pengirim barang tanpa dibuktikan kesalahan lebih dahulu, kecuali
perusahaan penerbangan membuktikan tidak bersalah. Penumpang
dan/atau pengirim barang tidak perlu membuktikan kesalahan perusahaan
penerbangan, cukup memberi tahu adanya kerugian yang terjadi pada saat
kecelakaan, sehingga penumpang dan/atau pengirim barang tidak harus
membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan. Sebagai imbalan,
perusahaan penerbangan berhak menikmati batas maksimum (limited
liability) ganti rugi yang telah diterapkan dalam konvensi atau regulasi
artinya berapa pun juga kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau
pengirim barang, perusahaan penerbangan tidak akan bertanggung jawab
membayar semua kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau
pengirim barang. Unsur-unsur konsep tanggung jawab praduga bersalah
(presumption of liability) adalah beban pembuktian terbalik, tanggung
28
jawabnya terbatas (limited lialibility), perlindungan hukum (exoneration),
ikut bersalah (contributory neglience) kesalahan yang disengaja (wilfull
misconduct).
a. Beban pembuktian terbalik (burden of proof)
Konsep tanggung jawab praduga bersalah (presumption of
liability concept), penumpang dan/atau pengirim barang tidak perlu
membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, sebab perusahaan
penerbangan telah bersalah. Apabila penumpang dan/atau pengirim
barang harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, sudah
pasti tidak akan mungkin berhasil, karena penumpang dan/atau
pengirim barang tidak menguasai teknologi tinggi penerbangan. Dalam
konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of
liability concept) yang harus membuktikan adanya kesalahan adalah
perusahaan penerbangan yang sering disebut beban pembuktian
terbalik atau biasa disebut juga pembuktian negatif. Perusahaan
penerbangan harus membukukan tidak bersalah (pembuktian negatif).
Apabila perusahaan penerbangan, termasuk karyawan, pegawai, agen
atau perwakilannya dapat membuktikan tidak bersalah, maka
perusahaan penerbangan bebas tidak bertanggung jawab dalam arti
tidak akan membayar ganti rugi yang diderita oleh penumpang
dan/atau pengirim barang sedikitpun juga.
b. Tanggung jawab terbatas (limited liability)
Sebagai konsekuensi konsep tanggung jawab bukum praduga
bersalah (presumption of liability concept), maka perusahaan
penerbangan demi hukum bertanggung jawab, tanpa dibuktikan lebih
dahulu secara hukum terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang
dan/atau pengirim barang, namun demikian tanggung jawab
perusahaan penerbangan terbatas sebesar jumlah kerugian yang
ditetapkan dalam konvensi internasional atau peraturan perundang-
undangan nasional yang berlaku, untuk setiap penumpang yang
meninggal dunia atau luka tetap atau sementara atau barang hilang,
29
musnah, atau tidak dapat digunakan sebagian maupun seluruhnya.
Berapa pun juga kerugian yang diderita oleh penumpang tidak akan
memperoleh ganti rugi seluruhnya.
c. Perlindungan hukum (exoneration)
Sebagaimana disebutkan di muka bahwa dalam tanggung jawab
praduga bersalah (presumption of liability) perusahaan penerbangan
dianggap bersalah, tanpa dibuktikan lebih dahulu, namun demikian
perusahaan penerbangan juga mempunyai hak untuk melindungi diri
(exoneration). Apabila perusahaan penerbangan, termasuk pegawai,
karyawan, agen atau perwakilannya dapat membuktikan tidak bersalah,
maka perusahaan penerbangan bebas bertanggung jawab dan tidak
membayar kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim
barang.
d. Ikut bersalah (contributary negligence)
Perusahaan penerbangan tidak hanya dapat melindungi diri
(exoneration), tetapi perusahaan penerbangan juga dapat membuktikan
bahwa penumpang dan/atau pengirim barang juga ikut melakukan
kesalahan (contributory negligence). Apabila perusahaan penerbangan,
termasuk pegawai, karyawan, agen maupun perwakilannya dapat
membuktikan bahwa penumpang dan/atau pengirim barang ikut
bersalah (contribute), maka tanggung jawab tidak sepenuhnya
dibebankan kepada perusahaan penerbangan, melainkan dibebankan
pula kepada penumpang, misalnya sudah diperingatkan agar memasang
sabuk pengaman, tetapi penumpang tidak mematuhi pemasangan sabuk
pengaman.
e. Tanggung jawab tidak terbatas (unlimited liability)
Sebagaimana disebutkan di atas, tanggung jawab perusahaan
penerbangan terbatas sejumlah kerugian yang ditetapkan dalam
konvensi internasional atau peraturan perundang-undangan nasional
yang berlaku terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau
pengirim barang, namun demikian penumpang dan/atau pengirim
30
barang masih terbuka untuk memperoleh ganti rugi yang lebih besar,
apabila penumpang dan/atau pengirim barang dapat membuktikan
bahwa perusahaan penerbangan termasuk pegawai, karyawan, agen
atau perwakilannya melakukan kesalahan yang disengaja (wilful
misconduct). Apabila penumpang dan/atau pengirim barang dapat
membuktikan perusahaan penerbangan termasuk pegawai, karyawan,
agen atau perwakilannya melakukan kesalahan yang disengaja (wilful
misconduct), maka tanggung jawab perusahaan penerbangan terbatas
(unlimited liability) dalam arti berapa pun juga kerugian yang diderita
oleh penumpang dan/atau pengirim barang harus diganti seluruhnya,
misalnya perusahaan tidak menyediakan jaket pelampung (life jacket),
karena jaket pelampung merupakan no go item dalam pengoperasian
pesawat udara.
3. Tanggung jawab hukum tanpa bersalah (liability without fault)
Konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah (legal liability
without fault concept) atau tanggung jawab hukum mutlak (absolute
liability atau strict liability) digunakan dalam Pasal 44 Tahun 1992,
Konvensi Roma 1952, Protokol Guatemala City 1971, the Liability
Convention of 1972 dan Aircraft Product Liability. Menurut konsep
tanggung jawab tanpa bersalah (legal liability without fault concept),
perusahaan penerbangan bertanggung jawab mutlak terhadap kerugian
yang diderita oleh pihak ketiga, yang timbul akibat kecelakaan pesawat
udara atau jatuhnya barang dan/atau orang dari pesawat udara, tanpa
memerlukan adanya pembuktian lebih dahulu.
Konsep strict liability pertama kali diintrodusir dalam hukum
Indonesia antara lain melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang selanjutnya diubah dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UUPPLH”). Konsep tanggung jawab
hukum tanpa bersalah (legal liability without fault) atau tanggung jawab
mutlak (absolute liability) atau strict liability diterapkan terhadap tanggung
31
jawab operator pesawat udara kepada pihak ketiga. Dalam konsep
tanggung jawab tanpa bersalah atau tanggung jawab mutlak operator tidak
dapat membebaskan diri kewajiban membayar ganti rugi. Perkataan
kerusakan atau kerugian dapat ditemui dalam Pasal 18, 19, dan 20
Konvensi Warsawa 1929, Konvensi Roma 1952, the Liability Convention
of 1972.
E. Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen : Non Litigasi dan Litigasi
Sengketa Konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan
pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang
dan/atau jasa konsumen tertentu.7 Penyelesaian Sengketa Konsumen
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999
membagi penyelesaian sengketa konsumen menjadi 2 bagian, yaitu:
a. penyelesaian sengketa di luar pengadilan
1. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud
pada Pasal 43 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara
damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pelaku usaha dan
konsumen, tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian
konsumen, dan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
undang perlindungan konsumen. Bahkan dalam penjelasan pasal
tersebut dikemukakan bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk
menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang
bersengketa. Dari penjelasan Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa Undang-Undang
ini menghendaki agar penyelesaian damai, merupakan upaya
hukum yang justru harus terlebih dahulu diusahakan oleh para
pihak yang bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk
7
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Diadit Media, 2002) h. 221
32
menyelesaiakan sengketa mereka melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen atau badan peradilan.
2. Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Pemerintah membentuk suatu badan baru, yaitu Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen/BPSK, untuk penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan. Dengan adanya Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen maka penyelesaian sengketa
konsumen dapat dilakukan secara cepat mudah, dan murah. Cepat
karena undang-undang menentukan dalam tenggang waktu 21 hari
kerja, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib memberikan
putusannya. Mudah karena prosedur administratif dan proses
pengambilan putusan yang sangat sederhana.8 Murah terletak pada
biaya perkara yang terjangkau.
Setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha
dengan mengadukan masalahnya kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, baik secara kuasanya maupun oleh ahli
warisnya. Pengaduan yang disampaikan oleh kuasanya atau ahli
warisnya hanya dapat dilakukan apabila konsumen yang
bersangkutan dalam keadaan sakit, meninggal dunia, lanjut usia,
belum dewasa atau warga negara asing.
Pengaduan tersebut dapat disampaikan secara lisan atau
tulisan kepada sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
di kota/kabupaten tempat domisili konsumen atau di
kota/kabupaten terdekat dengan domisili konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen di Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen diselenggarakan semata-mata untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang
8 Yusuf Shofie dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai
Persoalan Mendasar BPSK (Jakarta: Piramedia, 2004) h. 17
33
kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Ukuran kerugian
materi yang dialami konsumen ini didasarkan pada besarnya
dampak dari penggunaan produk barang/jasa tersebut terhadap
konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud adalah berupa
pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang
kembali yang menerangkan bahwa tidak akan terulang perbuatan
yang telah merugikan konsumen tersebut.
Pada prinsipnya penyelesaian sengketa konsumen
diusahakan dapat dilakukan secara damai, sehingga dapat
memuaskan para pihak yang bersengketa (win-win solution).
Menurut Leo Kanowitz, penyelesaian sengketa di luar pengadilan
mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang bervariasi,
dari yang paling kaku dalam menjalankan aturan main sampai
kepada yang paling relaks.
Selanjutnya, dikemukakan bahwa tidak semua model
penyelesaian sengketa di luar pengadilan/alternatif baik untuk para
yang bersengketa. Suatu penyelesaian sengketa alternatif yang baik
setidak-tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a. haruslah efisien dari segi waktu;
b. haruslah hemat biaya;
c. haruslah dapat diakses oleh para pihak, misalnya tempatnya
jangan terlalu jauh;
d. haruslah melindungi hak-hak dari para pihak yang bersengketa;
e. haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur;
f. badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah
terpercaya di masyarakat dan para pihak yang bersengketa;
g. putusannya harus final dan mengikat;
h. putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi;
i. putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari
komunitas di mana penyelesaian sengketa yang dilaksanakan.
34
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001
tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen. Proses penyelesaiannya pun diatur sangat
sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana yang formal.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan
apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melampaui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya
memperkenalkan 3 (tiga) macam yaitu; arbitrase, konsiliasi dan
mediasi yang dibebankan menjadi tugas Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen.
Pasal 54 Ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
maupun Pasal 42 Ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa
putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan
putusan yang final dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Terhadap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ini,
dapat dimintakan eksekusi oleh Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen kepada pengadilan negeri ditempat konsumen yang
dirugikan.
Mengacu pada ketentuan Pasal 54 Ayat (3) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen maupun Pasal 42 Ayat (1) Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001, putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen adalah final dan mengikat, dan tidak dimungkinkan lagi
untuk mengajukan banding atau keberatan. Sebaliknya, dalam Pasal
35
56 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, masih
dibuka peluang untuk mengajukan keberatan kepada pengadilan
negeri, dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen diberitahukan. Permasalahan
timbul karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak
menegaskan secara limitatif luas lingkup adanya keberatan
terhadap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
b. Penyelesaian sengketa Konsumen Melalui Proses Litigasi
Manakala upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat,
atau para pihak tidak mau lagi menempuh alternatif perdamaian, maka
para pihak dapat menempuh penyelesaian sengketanya melalui
pengadilan.9
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum. Dengan memerhatikan Pasal 48 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen
mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku. Jadi
dengan demikian, proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan
negeri, dilakukan seperti halnya mengajukan gugatan sengketa perdata
biasa, dengan mengajukan tuntutan ganti kerugian baik berdasarkan
perbuatan melawan hukum, gugatan ingkar janji/wanprestasi atau
kelalaian dari pelaku usaha/produsen yang menimbulkan cidera,
kematian atau kerugian bagi konsumen.
Gugatan perdata ini diajukan melalui pengadilan negeri di
tempat kedudukan konsumen. Dengan berlakunya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, maka konsumen yang akan mengajukan
gugatan kepada pelaku usaha, tidak mengajukan gugatan melalui
pengadilan negeri di tempat kedudukan pelaku usaha yang menjadi
9 Susanti Adi Nugraha, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia Ditinjau
Dari Hukum Acara Serta Kendalanya (Jakarta : Prenada Media Group, 2008) h. 126
36
tergugat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 118 tetapi diajukan
kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan konsumen sebagai
penggugat.
Dengan berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
ketentuan Pasal 23 jo. Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ini merupakan lex specialis terhadap HIR/Rbg. Sesuai
dengan adagium "lex specialis derogat lex generalis", yang berarti
ketentuan khusus menyimpangkan ketentuan umum, maka ketentuan
Pasal 23 jo. Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah
ketentuan acara yang harus diterapkan dalam rangka pengajuan
gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha. Terhadap putusan
pengadilan negeri tersebut, dapat diajukan banding dan kemudian
kasasi, sebagaimana perkara perdata biasa.
Ketentuan mengenai prosedur mediasi dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 berlaku dalam proses
berperkara di pengadilan baik dalam lingkungan peradilan umum
maupun peradilan niaga. Semua sengketa perdata yang diajukan ke
pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek
dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga
(denden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian, kecuali
ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.
Pada umumnya proses penyelesaian sengketa melalui litigasi
kurang disukai oleh konsumen karena:
a) Penyelesaian sengketa melalui litigasi pada umumnya lambat
(waste of time). Proses pemeriksaan bersifat sangat formal
(formalistic) dan teknis (technically). Sifat formal dan teknis pada
lembaga peradilan sering mengakibatkan penyelesaian sengketa
yang berlarut-larut, sehingga membutuhkan waktu lama. Apalagi
dalam sengketa bisnis, di tuntut suatu penyelesaian sengketa yang
cepat dan biaya serta bersifat informal procedure.
37
b) Para pihak menganggap bahwa biaya perkara sangat mahal, apalagi
dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa. Semakin lama
penyelesaian suatu perkara akan semakin besar biaya yang akan
dikeluarkan. Orang berperkara di pengadilan harus mengerahkan
segala sumber daya, waktu dan pikiran.
c) Pengadilan sering dianggap kurang tanggap dan kurang responsif
dalam menyelesaikan perkara. Hal itu disebabkan, karena
pengadilan dianggap kurang tanggap membela dan melindungi
kepentingan serta kebutuhan para pihak yang berperkara dan
masyarakat menganggap pengadilan sering tidak berlaku secara
adil.
d) Sering putusan pengadilan tidak dapat menyelesaikan masalah dan
memuaskan para pihak. Hal itu di sebabkan karena dalam suatu
putusan ada pihak yang merasa menang dan kalah, di mana dengan
perasaan menang dan kalah tersebut tidak akan memberikan
kedamaian pada salah satu pihak, melainkan akan menumbuhkan
bibit dendam, permusuhan dan kebencian. Di samping itu, ada
putusan pengadilan yang membingungkan dan tidak memberi
kepastian hukum serta sulit untuk diprediksikan.
e) Kemampuan hakim yang bersifat generalis. Para hakim dianggap
hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas, hanya
pengetahuan di bidang hukum saja, sehingga sangat mustahil akan
bisa menyelesaikan sengketa atau perkara yang mengandung
kompleksitas di berbagai bidang.
Masuknya sengketa konsumen ke pengadilan negeri
berdasarkan keaktifan salah satu pihak atau para pihak yang
bersengketa, dalam hal ini pelaku usaha atau konsumen. Konsumen
dapat berinisiatif mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigdaad) terhadap pelaku usaha atas
pelanggaran norma-norma Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Sebaliknya, pelaku usaha tidak diperkenankan menggugat atau
38
mengajukan gugatan balik (rekonvensi) dengan merujuk pada
pelanggaran konsumen atas norma-norma Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, kecuali menyangkut pelanggaran hak-hak
pelaku usaha sebagaimana dimaksud Pasal 6 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian ini memiliki tinjauan kajian terdahulu, yakni:
1. Skripsi disusun oleh Novia Andriani Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2016. Berjudul “Perlindungan Konsumen
Atas Kehilangan Barang (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor
3010 K/Pdt/2014 atas Perkara Konsumen D’Batoe Boutique Hotel)”,
Dalam skripsi ini peneliti memiliki kesamaan yaitu sama-sama
membahas mengenai perlidungan konsumen atas hilangnya barang
yang dimilikinya. akan tetapi yang menjadi perbedaan dalam penelitian
ini yaitu terkait kasus yang diteliti, dimana skripsi ini meneliti kasus
terkait putusan Pengadilan Mahkamah Agung Nomor 3010 K/Pdt/2014
yang membahas perlindungan konsumen dalam bisnis pariwisata usaha
perhotelan sedangkan peneliti meneliti kasus yang terkait Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor
172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST yang membahas perlindungan
konsumen dalam bisnis penerbangan terkait kehilangan barang.
2. Skripsi disusun oleh Katherine Ruth Ulibasa Hutasoit dari Fakultas
Hukum Universitas Lampung Tahun 2016. Berjudul “Tanggung Jawab
Maskapai Penerbangan Udara Terhadap Penumpang Yang Mengalami
Kehilangan Barang (Studi Pada PT Sriwijaya Airlines)”. Dalam skripsi
ini menerangkan mengenai bentuk tanggung jawab maskapai
penerbangan udara terhadap penumpang yang mengalami kehilangan
barang dan proses penyelesaian klaim terhadap kehilangan barang pada
PT Sriwijaya Airlines sedangkan penelitian peneliti lebih meneliti
39
perlindungan hukum bagi konsumen angkutan udara apabila terjadi
kehilangan barang di bagasi pesawat dan menganalisis putusan yang
terjadi pada kasus Express Air (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Perkara Nomor 172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST).
3. Buku yang berjudul “Pertumbuhan Tanggung Jawab Hukum
Pengangkut Udara”, Pengarang Prof. DR. H. Priyatna Abdurrasyid,
SH., Ph.D. Penerbit PT. Fikahati Aneska pada tahun 2013. Buku ini
menjelaskan secara umum mengenai tanggung jawab hukum
pengangkut udara dan membahas lebih rinci mengenai peraturan
pengangkut udara yaitu konvensi warsawa tahun 1929 dan
pembaharuannya seperti Protocol Den Haag (1955), Konvensi
Guadalajara (1961), Protokol Gualatema City (1971), Protokol
Montreal (1975), dan juga membahas Perjanjian-perjanjian antara
perusahaan pengangkut dan peraturan nasional antara lain Perjanjian
Montreal (1966), Perjanjian Malta (1974), Pengadilan Konstitusi Italia
dan Undang-Undang No 274 (1988), Initiatif Jepang (1922), Perjajian
IATA Intercarrier (1955 – 1996) dan Peraturan European Union
2027/97.
4. Jurnal mengenai Perlidungan Konsumen Atas Kerusakan Dan
Kehilangan Bagasi Penumpang Pesawat Udara Oleh Maskapai
Penerbangan (Studi Kasus PT. Metro Batavia Cabang Medan) Oleh
Freddy Luth Putra dkk, Tahun 2013. Dalam jurnal ini menjelaskan
bagaimana bentuk perlindungan konsumen pada pengangkutan udara
dan bagaimana kedudukan pengangkut udara dalam pengangkutan
bagasi, kemudian bagaimana pertanggungjawaban PT. Metro Batavia
terhadap kerusakan dan kehilangan bagasi penumpang sedangkan
penelitian peneliti lebih menganalisis putusan yang terjadi pada kasus
Express Air (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor
172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST).
40
BAB III
KEDUDUKAN PT TRAVEL EXPRESS AVIATION SERVICES
DALAM PENGANGKUTAN UDARA
A. Profil PT Travel Express Aviation Services
Maskapai ini didirikan pada tahun 2003, meluncurkan penerbangan
komersil perdananya pada 23 Juni 2003 dengan rute Jakarta-Jayapura.
Tahun 2012 memulai sebuah perjalanan baru untuk Xpress Air dengan
nama merek baru (dari Express Air ke Xpress Air untuk mewakili
maskapai yang lebih modern dan ramah pelanggan), sebuah strategi baru
dan sebuah slogan baru "Terbanglah Indonesia", yang dekat dengan
hatinya memiliki budaya dan tradisi yang sama dengan maskapai ramah
dengan kemajuan dan motivasi modern yang baru.1
Di masa-masa awal operasinya, Express Air hanya menggunakan 2
armada pesawat Boeing 737-200, dan terbang ke kota-kota destinasi di
timur Indonesia, seperti Makassar, Sorong, Ternate, Jayapura dan
Manokwari. Kini, armada Express Air diperkuat dengan Boeing 737-200,
Boeing 737-300, Boeing 737-500, Dornier 328-100 dan Dornier 328-300
yang jumlah keseluruhannya sekitar 14 unit.
Sejak awal mula berdiri, Express Air sudah mempercayakan
perawatan armada pesawatnya kepada PT Aero Nusantara Indonesia
(ANI), yang juga merupakan salah satu pemegang saham dari Express Air.
Saat ini Express Air masuk dalam kategori 2 dalam hal kualitas keamanan
penerbangan oleh Otoritas Penerbangan Sipil Indonesia.
Express Air menjadi maskapai penghubung utama antara pulau
Jawa dengan kota-kota di timur Indonesia melalui Makassar. Kota-kota
utama destinasi Express Air antara lain adalah Sorong, Ternate,
Manokwari dan Jayapura. Walaupun kota-kota tersebut bukan destinasi
populer, namun daerah-daerah tersebut menyimpan kekayaan dan
keindahan yang layak untuk dijelajahi dan dikembangkan oleh para
1 http://www.xpressair.co.id/corporate_profile.php di akses pada Senin, 26 Februari 2018.
41
penanam saham. Dari situlah Express Air menjalankan visi misi
operasionalnya.
Express Air mengutamakan beberapa nilai dalam layanannya.
Selain keramahan seluruh stafnya mulai dari proses check-in hingga
setelah pendaratan, Express Air juga menawarkan kenyamanan di dalam
armada pesawat kecilnya. Berawal dari maskapai rute domestik, Express
Air juga kemudian merambah ke rute internasional seperti dari Pontianak
ke Kuching, Malaysia.
Rencana ekspansi juga sedang dijalankan oleh maskapai berarmada
Boeing 737 dan Dornier 328 ini. Penambahan armada diharapkan dapat
mengoptimalkan perluasan jaringan ke daerah-daerah di Indonesia Timur,
seperti Papua dan Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi,
demikian juga ke wilayah di kepulauan terpencil.
Penumpang Express Air kelas Ekonomi memperoleh hak bagasi
gratis hingga 20 kg dan bawaan kabin seberat hingga 5 kg untuk pesawat
jet Boeing. Untuk pesawat jenis Dornier, penumpang memperoleh hak
bagasi gratis seberat 10 kg dan bawaan kabin hingga 2 kg. Di semua
penerbangan Express Air juga disediakan snacks dan minuman secara
gratis. Khusus penerbangan berdurasi di atas 90 menit, makanan utama
hangat (hot meal) juga disediakan secara gratis.2
B. Peraturan Pengangkutan Udara di Indonesia
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
tanggung jawab hukum diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal 1367 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1365 dan Pasal 1367
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang biasa disebut perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigdaad) setiap perbuatan melawan hukum
yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang
yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti
2 http://bintangmars.web.id/profil-xpress-air/ di akses pada Senin, 26 Februari 2017.
42
kerugian. Berdasarkan ketentuan tersebut setiap orang harus
bertanggung jawab (liable) secara hukum atas perbuatan sendiri
artinya apabila karena perbuatannya mengakibatkan kerugian kepada
orang lain, maka orang tersebut harus bertanggung jawab (liable)
untuk membayar ganti kerugian yang diderita.3
Menurut Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), tanggung jawab hukum (legal liability) kepada orang
yang menderita kerugian tidak hanya terbatas perbuatan sendiri,
melainkan juga perbuatan karyawan, pegawai, agen, perwakilannya
yang bertindak untuk dan atas namanya apabila menimbulkan kerugian
kepada orang lain, sepanjang orang tersebut bertindak sesuai dengan
tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada orang tersebut.
2. Ordonansi Pengangkutan Udara Stb. 1939-100
Stb.1939 Nomor 100 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara
terdiri dari 5 Bab dan 40 Pasal mengatur tanggung jawab hukum
perusahaan penerbangan dalam negeri. Stb.1939 nomor 100 berlaku
sejak konvensi warsawa berlaku 1929 mulai berlaku di Indonesia
tahun 1933 tidak berlaku. Berdasarkan Stb.1939 Nomor 344, Stb.1939
Nomor 100 merupakan pelengkap konvensi Warsawa 1929 untuk
transportasi udara di Indonesia artinya konvensi Warsawa 1929
berlaku untuk penerbangan internasional, sedangkan Stb.1939 Nomor
100 tidak berlaku terhadap transportasi tanpa bayaran, transportasi
yang dimaksudkan untuk Pengangkutan Bagasi percobaan (inaugural
flight), penerbangan luar biasa yang menyimpang dari penerbangan
normal, transportasi pos melalui udara, transportasi dengan pesawat
udara militer, polisi, dan bea cukai.
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 yang mulai berlaku
sejak 25 Mei yang terdiri atas 14 Bab dan 74 pasal tersebut pada
3 Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007) h. 208
43
prinsipnya mengatur ketentuan umum, asas dan tujuan, kedaulatan atas
wilayah udara, pembinaan, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara
serta penggunannya sebagai jaminan, penggunaan pesawat udara,
keamanan dan keselamatan penerbangan, bandar udara, pencarian dan
pertolongan kecelakaan pesawat, angkutan udara, dampak lingkungan,
penyidikan dan ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan
penutup.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1995 tentang Angkutan Udara.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang
Angkutan Udara diundangkan pada tanggal 17 Nopember 1995 dalam
lembaran Negara Nomor 68. Latar belakang dikeluarkannya produk
hukum ini adalah untuk menindaklanjuti ketentuan yang terdapat di
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992, Sebagaimana
dinyatakan dalam konsiderannya bahwa kelahiran Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 adalah untuk melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan. Menurut teori perundang-undangan produk hukum ini
adalah bersifat peraturan teknis. Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1995 terdiri dari 10 Bab 49 Pasal yang pada prinsipnya
mengatur ketentuan umum, penyelenggaraan angkutan udara, angkutan
udara niaga, angkutan udara bukan niaga, tarif, wajib angkut, tanggung
jawab pengangkut, pelayanan untuk penyandang cacat dan orang sakit,
ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
C. Dokumen Pengangkutan Udara dan Pengangkutan Bagasi
Dalam Ordonansi Pengangkut Udara Tahun 1939, dinyatakan
dokumen pengangkutan udara, yaitu sebagai berikut:
1. Tiket Penumpang
Pasal 5 ordonansi penerbangan No 10 Tahun 1939, menyatakan
pengangkut udara untuk penumpang harus memberikan tiket kepada
penumpang, yang harus memuat:
44
a. tempat dan tanggal pemberian;
b. tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;
c. pendaratan-antara yang direncanakan di tempat-tempat di antara
tempat pemberangkatan dan tempat tujuan dengan tidak
mengurangi hak pengangkut udara untuk mengaiukan syarat,
bahwa bila perlu la dapat mengadakan perubahan-perubahan dalam
pendaratan pendaratan itu;
d. nama dan alamat pengangkut atau pengangkut-pengangkut;
e. pemberitahuan bahwa pengangkutan udara tunduk kepada
ketentuan-ketentuan mengenai tanggung-jawab yang diatur oleh
ordonansi ini atau traktat.
Selanjutnya tidak adanya tiket penumpang, kesalahan di
dalamnya atau hilangnya tiket tersebut, tidak mempengaruhi adanya
atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara, yang tetap akan
tunduk kepada ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini. Akan tetapi
bila pengangkut udara menerima seorang penumpang tanpa
memberikan tiket penumpang, pengangkut tidak berhak untuk
menunjuk kepada ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini yang
menghapus atau membatasi tanggungjawabnya.
2. Tiket Bagasi (Baggage Claim Tag)
Dalam Pasal 6 Ordonansi Pengangkutan Udara 1939
dinyatakan pengertian bagasi, yaitu semua barang kepunyaan atau di
bawah kekuasaan seorang penumpang, yang olehnya atau atas
namanya diminta untuk diangkut melalui udara, sebelum ia memulai
perjalanan udaranya. Dari pengertian bagasi dikecualikan benda-
benda kecil untuk penggunaan pribadi yang ada pada penumpang atau
dibawa olehnya sendiri. Selanjutnya ditentukan Tiket bagasi dibuat
dalam rangkap dua, satu untuk penumpang, satu lagi untuk pengangkut
udara. Dalam tiket bagasi harus memuat:
a. tempat dan tanggal pemberian;
b. tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;
45
c. nama dan alamat pengangkut atau pengangkut-pengangkut;
d. nomer tiket penumpang;
e. pemberitahuan, bahwa bagasi akan diserahkan kepada pemegang
tiket bagasi;
f. jumlah dan berat barang-barang;
g. harga yang diberitahukan oleh penumpang sesuai dengan ketentuan
dalam pasal 30 ayat (2);
h. pemberitahuan, bahwa pengangkutan bagasi ini tunduk kepada
ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam
ordonansi ini atau traktat.
Meskipun tiket bagasi merupakan salah satu alat bukti atau
dokumen perjanjian pengangkutan udara akan tetapi tidak adanya tiket
bagasi, suatu kesalahan di dalamnya atau hilangnya tiket bagasi, tidak
akan mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan
udara yang tetap akan tunduk kepada ketentuan-ketentuan dalam
ordonansi ini. Akan tetapi bila pengangkut udara menerima bagasi
untuk diangkut tanpa memberikan tiket bagasi, atau bila tiket ini tidak
memuat keterangan yang dimaksud dalam ayat (4) huruf-huruf d, f dan
h, ia tidak berhak menunjuk kepada ketentuan-ketentuan ordonansi ini
yang menghapus atau membatasi tanggung jawabnya.
3. Surat Muatan Udara.
Selain tiket penumpang dan tiket bagasi, dalam pengangkutan
udara masih ada dokumen pengangkutan yang lain, yaitu surat muatan
udara. Menurut ketentuan Ordonasi Pengangkutan Udara Tahun 1939,
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 yang menyatakan, Setiap
pengangkut barang berhak untuk meminta kepada pengirim untuk
membuat dan memberikan surat yang dinamakan "surat muatan
udara". Sedangkan mengenai isi dari surat muatan udara dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 10 Ordonansi Pengangkut Udara yang
menyatakan surat muatan udara harus berisi:
a. tempat dan tanggal surat muatan udara dibuat;
46
b. tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;
c. pendaratan-pendaratan antara yang direncanakan di tempat-tempat
antara kedua tempat tersebut, dengan tidak mengurangi hak
pengangkut udara untuk mengajukan syarat, bahwa bila perlu ia
dapat mengadakan perubahan dalam pendaratan-pendaratan itu;
d. nama dan alamat pengangkut pertama;
e. nama dan alamat pengirim;
f. nama dan alamat penerima, bila perlu;
g. jenis barang;
h. jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda khusus atau nomor
barang-barang, bila perlu;
i. berat juga jumlah atau besar atau ukuran barang-barang; (Lvervoer
II.)
j. keadaan luar barang-barang dan pembungkusnya;
k. biaya pengangkutan udara, bila ditetapkan dengan perjanjian,
tanggal dan tempat pembayaran dan orang-orang yang harus
membayar;
l. jika pengiriman dilakukan dengan jaminan pembayaran
(rembours), harga barang-barang dan jumlah biaya, bila ada;
m. jumlah nilai barang-barang yang dinyatakan sesuai dengan
ketentuan pasal 30 ayat (2);
n. dalam rangkap berapa surat muatan udara dibuat;
o. surat-surat yang diserahkan kepada pengangkut untuk menyertai
barang-barang;
p. lamanya pengangkutan udara dan petunjuk ringkas tentang jalur
penerbangan yang akan ditempuh, bila tentang hal ini telah
diadakan, perjanjian;
q. pemberitahuan bahwa pengangkutan ini tunduk kepada ketentuan-
ketentuan mengenai tanggung-jawab yang diatur dalam ordonansi
ini atau traktat.
Surat Muatan Udara dikenal juga dengan nama Surat Kargo
Udara (SKU), dokumen ini dalam kegiatan penerbangan komersil
memiliki fungsi sebagai prima facie adanya kontrak, penyerahan
kargo, dan penerimaan persyaratan perjanjian, juga merupakan
instruksi kepada pengangkut dimana dan kepada siapa kargo
diserahkan dan siapa yang akan membayar.4
Ketentuan-ketentuan barang yang tidak diperbolehkan
untuk dibawa oleh penumpang harus ditaati. Pemberitahuan tentang
4 Toto. Thohir Suriaatmadja, Pengangkutan Kargo Udara (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2005) h. 52
47
barang ini bertujuan untuk keamanan bersama dalam setiap
penerbangan pihak penumpang dan awak pesawat dilarang
membawa barang-barang berbahaya dan barang-barang berharga ke
dalam pesawat baik sebagai barang tentengan ke dalam kabin ataupun
di dalam bagasi. Barang-barang berbahaya seperti senjata api, segala
benda runcing yang dapat melukai orang, dan benda yang mudah
terbakar.5 Sedangkan barang-barang berharga seperti uang, perhiasan,
serta dokumen penting. Barang-barang yang dibawa oleh
penumpang dalam perjanjian ada 2 (dua) macam, yaitu:6
a. Barang bawaan, ialah barang-barang kecil, yang dapat dibawa
serta oleh penumpang dalam tempat duduknya, misalnya koper
tangan (handback). Adanya barang-barang ini tidak perlu
dilaporkan kepada pengangkut dan terhadap barang-barang ini
tidak dipungut biaya.
b. Barang-barang bagasi ialah barang-barang yang dilaporkan kepada
pengangkut dan untuk itu penumpang mendapat tanda pengenal
bagasi. Sampai berat tertentu penumpang dapat melaporkan barang
bagasi tanpa biaya.
5 Desmond Hutagaol, Pengantar Penerbangan Perspektif Profesional (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2013) h. 123
6 H. M. N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum
Pengangkutan (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003) h. 96
48
BAB IV
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA
PUSAT PERKARA NOMOR 172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST
A. Posisi Kasus
Perkara dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor
172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST merupakan putusan mengenai sengketa
hilangnya bagasi tercatat di bagasi pesawat, dengan Penggugat yaitu Erwin
Rengga SH, seorang advokat beralamat di Jalan Tanjung Duren Timur No
4A, Jakarta Barat dan Tergugat yaitu PT Travel Express Aviation Services
yang bergerak di bidang jasa transportasi udara beralamat di Palazzo
Office Park, Jalan Benyamin Sueb Blok A No. A11, Kemayoran, Jakarta.
Peristiwa hilanganya bagasi tercatat milik Erwin Rengga yaitu ketika
Erwin Rengga menggunakan jasa penerbangan yaitu PT Travel Aviation
Services pada tanggal 24 Desember 2008 dari Jakarta menuju Manokwari.
Pada saat itu Erwin Rengga menitipkan barangnya yang berisikan pakaian-
pakaian, tas pakaian, satu set sarung bantal, satu unit telepon seluler
beserta pengisi baterai telepon selulernya di bagasi pesawat. Nilai total
dari seluruh barang tersebut mencapai Rp. 6.799.000.,- (enam juta tujuh
ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah).
Begitu sampainya di tujuan, Penggugat menuju tempat
pengambilan bagasi, alangkah terkejutnya Penggugat karena bagasi
miliknya sebagaimana tersebut tidak diketemukan di tempat pengambilan
bagasi milik Tergugat pada hal pada saat itu dalam tanggung jawab dan
pengawasan Tergugat. Penggugat mencoba menanyakan kepada petugas
Tergugat tentang keberadaan bagasi miliknya dengan menunjukkan “tanda
bukti pengenal bagasi” yang dimiliki oleh Penggugat, Bahwa oleh
Tergugat diberitahukan bagasi Penggugat ada dalam tumpukan bagasi
penumpang lain dan sulit untuk diambil, kemudian Penggugat disarankan
oleh petugas Tergugat untuk mengambilnya pada keesokan hari.
49
Ketika kesesokan harinya Penggugat kembali menyanyakan barang
bagasi miliknya, akan tetapi tetap tidak diketahui barang bagasi tersebut
keberadaannya. Atas perbuatan Tergugat yang tidak menyerahkan barang
bagasi milik Penggugat sesampainya di tempat tujuan dengan alasan
dalam tumpukan bagasi penumpang lain dan sulit untuk diambil, maka
selayaknya Tergugat dinyatakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
telah melakukan perbuatan melawan hukum [onrechtmatigedaad], yang
mengakibatkan hilangnya barang bagasi milik Pengugat.
Perbuatan Tergugat tersebut juga melanggar Pasal 4 Undang-
Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang antara
lain berbunyi [1] hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa; [2] hak untuk memilih barang
dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; [3] hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengani kondisi dan jaminan barang
dan/atau jas.
Penggugat pada tanggal 24, 29 Desember 2008 dan tanggal 3
Januari 2009 telah melaporkan kehilangan bagasi tersebut di atas kepada
Tergugat yang seharusnya menyerah terimakan bagasi tersebut kepada
Penggugat setibanya di pelabuhan udara Manokwari, akan tetapi sampai
gugatan ini diajukan barang bagasi milik Penggugat tersebut tidak juga
diketahui keberadaannya. Bahwa dari kejadian tersebut Penggugat telah
berusaha menghubungi pihak Tergugat untuk meminta pertanggung
jawaban Tergugat melalui surat tertanggal 4 Januari 2009 dan tertanggal
13 Januari 2009, terhadap hilangnya barang bagasi milik Penggugat
tersebut karena pada saat selama berada dalam tanggung jawab Tergugat
lagi pula sebagai pangguna jasa pihak Tergugat harus menjamin keamanan
milik dari pengguna jasa sebagaimana juga yang diisyaratkan oleh
Undang-Undang Perlindungan Konsumen 1999 (Undang-Undang No.8
Tahun 1999), dan akibat Tergugat tidak menyerahkan barang bagasi milik
50
Penggugat pada saat Penggugat tiba di tempat tujuan, yang hingga saat
gugatan ini diajukan tidak pernah ditemukan jalan keluarnya.
Sebagaimana yang tertera didalam tiket Syarat-Syarat Peraturan
Dalam Negeri butir 6.c. yang menyebutkan “Semua tuntutan ganti
kerugian harus dapat dibuktikan besarnya yang di derita, tanggung jawab
terbatas untuk kehilangan dan kerusakan bagasi diterapkan sejumlah
maksimum Rp.20.000,- (dua puluh ribu) per kilogram;”. Bahwasannya
aturan tersebut tidak dapat dibenarkan karena bukan merupakan
kesepakatan atau perjanjian yang melibatkan persetujuan dari kedua belah
pihak melainkan hanya sepihak saja yang pada saat itu Penggugat mau
atau tidak mau harus menerimanya akibat keadaan terpaksa serta
dikarenakan kondisi dan keadaan yang ada. Jadi kesepakatan sebagaimana
tersebut diatas tidaklah dapat dibenarkan dan sangat bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata),
sehingga kesepakatan tersebut mengadung cacat hukum sehingga tidak sah
dan akibatnya adalah batal demi hukum.
Dari kejadian tersebut diatas Penggugat sangat dirugikan baik
secara materiil dan imateriil baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun
karena kelalaiannya pihak Tergugat. Di lain hal Penggugat sebagai
seorang penganut agama Kristen dan barang dalam bagasi tersebut
merupakan pendukung dalam kegiatan perayaan Hari Raya Natal Tahun
2008 dan Tahun Baru 2009, yang tidak mungkin akan kembali, maka
kerugian yang dialami oleh Penggugat berupa materiil maupun moriil/
immataeriil sepatutnya dibebankan kepada Tergugat.
Adapun kerugian materiil dari Penggugat adalah berupa :
1. 4 (empat) helai gaun wanita :Rp.1.200.000,
2. 6 (enam) helai kemeja wanita :Rp.1.500.000,
3. 7 (tujuh) helai kaus wanita :Rp.1.050.000,
4. 1 (satu) helai celana panjang jeans wanita :Rp. 189.000,
5. 1 (satu) helai kemeja kerja pria :Rp. 260.000,
6. 1 (satu) helai kaus pria :Rp. 200.000,
51
7. 2 (dua) helai celana panjang jeans pria :Rp. 600.000,
8. 1 (satu) helai celana panjang bahan pria :Rp. 200.000,
9. 1 (satu) unit telepon selular :Rp.1.100.000,
10. 1 (satu) set sarung bantal :Rp. 100.000,
11. 1 (satu) unit pengisi baterai telepon selular :Rp. 100.000,
12. 1 (satu) buah tas pakaian : Rp. 300.000,
Total sebesar :Rp.6.799.000,
(enam juta tujuh ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah)
Adapun kerugian moriil/immateriil, jika diperhitungkan dengan
nilai materi yang harus juga dibayarkan dengan seketika secara tunai dan
kontan oleh Tergugat kepada Penggugat adalah sebesar
Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) yang nilai tersebut berupa
rasa kecemasan dari Penggugat yang hingga saat ini barang bagasi hak
miliknya belum ada kepastian tentang keberadaannya/tidak ditemukan dan
hilangnya kemanfaat dari isi bagasi tersebut yang akan Penggugat gunakan
dalam perayaan Hari Raya Natal 2008 dan Tahun Baru 2009.
Dengan demikian keseluruhan kerugian yang dialami oleh
Penggugat yang harus dibayar oleh Tergugat dengan seketika secara tunai
dan kontan, baik berupa materiil maupun moriil/immateril adalah
Rp.6.799.000,- (enam juta tujuh ratus sembilan puluh sembilan ribu
rupiah) + Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) =
Rp.10.006.799.000,- (sepuluh milyar enam juta tujuh ratus sembilan puluh
sembilan rupiah). Selain itu mohon kiranya Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat di Jakarta untuk menetapkan uang paksa (dwangsom)
sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya yang harus
dibayarkan oleh Tergugat kepada Penggugat secara tunai dan kontan
waktu seketika, manakala Tergugat lalai atau terlambat menjalankan
kewajibannya setelah putusan dalam perkara ini mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan pasti (in kracht van gewijsde).
52
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas Penggugat mohon kepada
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat cq. Majelis Hakim yang mengadili
perkara ini agar memberikan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan secara hukum bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan
melawan hukum sehingga merugikan Penggugat.
3. Menyatakan secara hukum bahwa selama barang bagasi milik
Penggugat dititipan dengan sah didalam penitipan yang dikelola oleh
Tergugat adalah merupakan tanggung jawab Tergugat sepenuhnya atas
telah terjadinya kehilangan.
4. Menyatakan secara hukum bahwa kesepakatan sebagaimana yang
tertera dalam tanda bukti tiket Syarat-Syarat Peraturan Dalam Negeri
butir 6.c. yang menyebutkan: “Semua tuntutan ganti kerugian harus
dapat dibuktikan besarnya yang di derita, tanggung jawab terbatas
untuk kehilangan dan kerusakan bagasi diterapkan sejumlah
maksimum Rp.20.000,- (dua puluh ribu) per kilogram.” adalah cacat
hukum sehingga tidak sah oleh karenanya batal demi hukum.
5. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materiil kepada
Penggugat akibat kelalaian dari Tergugat karena tidak diserah
terimakan barang bagasi Penggugat setibanya di tempat tujuan,
sehingga hilangnya barang bagasi milik Penggugat sebesar (enam juta
tujuh ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah) dengan seketika
secara tunai dan kontan.
6. Menghukum pula Tergugat untuk membayar kerugian
moriil/immaterial kepada Penggugat sebesar Rp.10.000.000.000,-
(sepuluh milyar rupiah) dengan seketika secara tunai dan kontan.
7. Menetapkan dan menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa
(dwangsom) sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) perharinya
kepada Penggugat dengan seketika secara tunai dan kontan menakala
Tergugat lalai atau terlambat menjalankan putusan dalam perkara ini
53
setelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti (inkrach van
gewijsde).
8. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang ditimbulkan dalam
perkara ini, Apabila pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya.
B. Pertimbangan dan Putusan Hakim
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di
samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan
sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan
cermat1. Pada kasus ini Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
telah memberikan pertimbangan sebagai berikut:
1. bahwa setelah Majelis Hakim meneliti dengan seksama materi gugatan
a quo ternyata bahwa peristiwa yang menjadi dasar gugatan a quo
adalah kelalaian Tergugat menyerahkan kembali barang bagasi milik
Penggugat setibanya ditempat tujuan yang mengakibatkan hilangnya
bagasi milik Penggugat setelah mempergunakan jasa penerbangan
dengan rute Jakarta-Manokwari yang dikelola/dioperasionalkan oleh
Tergugat.
2. berdasarkan peristiwa yang menjadi dasar gugatan tersebut, maka dalil
Perbuatan Melawan Hukum dalam gugatan a quo adalah sudah tepat
dan benar, sedangkan pembelian tiket pesawat sebagaimana didalilkan
Tergugat dalam eksepsinya hanyalah merupakan rangkaian dari
Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana didalilkan oleh Penggugat.
3. Terhadap petitum Penggugat No. 3 Majelis Hakim mempertimbangkan
bahwa petitum tersebut secara implisit sudah dipertimbangkan bahwa
bagasi penumpang (Penggugat) yang dititipkan kepada Tergugat (Vide
1 Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004) h. 140
54
bukti P-2) adalah menjadi tanggung jawab Tergugat sepenuhnya,
termasuk hilangnya bagasi tersebut dan oleh karenanya petitum No. 3
juga harus dikabulkan.
4. Terhadap tuntutan ganti rugi materiil sebagaimana tertuang dalam
petitum Penggugat No. 5, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa
oleh karena tidak terdapat alat bukti yang dapat membuktikan rincian
barang yang hilang sebagaimana didalilkan oleh Penggugat, maka
dengan mengacu pada Syarat-syarat Perjanjian Peraturan Dalam
Negeri butir 6.c (bukti surat T-2, T-4a dan T-4b), ganti rugi terhadap
bagasi yang hilang tersebut diperhitungkan sebesar Rp. 20.000,- (Dua
Puluh Ribu Rupiah) per kilogram.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada hari Selasa
tanggal 26 September 2009 oleh NANI INDRAWATI, SH, M.Hum selaku
Ketua Majelis. H. DASNIEL, S.H dan JUPRIYADI, S.H, M.Hum
masing-masing sebagai Hakim Anggota mengadili perkara tersebut dalam
Putusan Nomor 172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST yaitu:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum
yang merugikan Penggugat.
3. Menyatakan secara hukum bahwa selama bagasi milik Penggugat
berada dalam penitipan yang dikelola oleh Tergugat adalah merupakan
tanggungjawab Tergugat sepenuhnya atas telah terjadinya kehilangan.
4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materiil kepada
Penggugat sebesar Rp. 140.000,- (seratus empat puluh ribu rupiah).
5. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi moril/immateriil
kepada Penggugat sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara, yang hingga
kini diperhitungkan sebesar Rp.161.000,- (seratus enam puluh satu
ribu rupiah).
7. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.
55
C. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
Perkara 172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST
1. Menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen
Bahwasannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dapat menjadi payung hukum bagi
masyarakat selaku konsumen. Berdasarkan putusan diatas, dengan
meninjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen, seharusnya
gugatan perdata ini diajukan melalui pengadilan negeri di tempat
konsumen. Dengan berlakunya Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, ketentuan pasal 23 jo. pasal 45 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen ini merupakan lex specialis terhadap
HIR/Rbg. Sesuai dengan adagium “lex specialis derogat lex generalis”
yang berarti ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum,
maka ketentuan pasal 23 jo. pasal 45 Undang-Undang Perlindungan
Kosumen adalah ketentuan acara yang harus diterapkan dalam rangka
pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha.
Bahwasannya hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah
pihak yang berperkara melalui proses mediasi sesuai dengan ketentuan
dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 jo. Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan dengan menunjuk sdr. Bayu Isdiyatmoko, SH. Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Mediator, akan tetapi usaha
itu tidak berhasil, oleh karenanya pemeriksaan perkara ini dilanjutkan
dengan membacakan surat gugatan Penggugat (Erwin Rengga)
tertanggal 07 Mei 2009 tersebut, yang isinya tetap dipertahankan oleh
Penggugat.
Begitu pun seharusnya hakim menerapkan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen pada putusan ini seperti dalam posita
penggugat no.4 karena disini Erwin Rengga berhak mendapatkan ganti
56
rugi selaku konsumen jasa angkutan udara telah dirugikan oleh pelaku
usaha (PT Travel Express Aviation Services) yaitu kehilangan bagasi
tercatatnya ketika tiba di bandara Manokwari. PT Travel Express
Aviation Services telah jelas melanggar Undang-Undang No.8 Tahun
1999 yaitu pada Pasal 4 yang berbunyi:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa.
Dengan tercantumnya pasal di atas maka PT Travel Express
Aviation Services sebagai pelaku usaha telah menghilangkan bagasi
tercatat milik Erwin Rengga sebagai konsumen dan mengganggu
kenyamanan Erwin Rengga dalam berpergian. Atas hilangnya barang
bagasi milik Erwin Rengga tersebut, PT Travel Express Aviation
Services harus bertanggung jawab sesuai Undang-Undang No.8 Tahun
1999 Pasal 19 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dengan begitu seharusnya pelaku usaha dihukum sesuai
dengan pasal di atas yaitu penggantian barang yang sejenis atau setara
nilainya akan tetapi pelaku usaha (PT Travel Express Aviation
Services) tidak menjalankan kewajibannya yaitu bertanggung jawab
atas barang yang dititipkan oleh Erwin Rengga. Padahal di dalam
putusan Erwin telah memenuhi syarat-syarat pembuktian dengan
lengkap dari P-1 sampai dengan P-11 dengan begitu memang sudah
57
menjadi tanggung jawab PT Travel Aviation Services atas hilangnya
barang milik konsumen.
Sesuai dengan ketentuan di atas pula Erwin Rengga menuntut
PT Travel Express Aviation Services agar bertanggung jawab untuk
mengganti kerugian setara dengan nilai yang dirugikan. Dengan
demikian bila dilihat secara logika, seharusnya Erwin Rengga
mendapatkan penggantian sebesar Rp.6.799.000,- (enam juta tujuh
ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah) agar kondisinya sebagai
konsumen menjadi seperti semula.
Seharusnya hakim dalam lembaga peradilan dapat menekankan
kerugian yang dialami konsumen agar dapat memberikan perlindungan
terhadap kepentingan dari setiap individu dengan memaksa pelaku
usaha untuk menjalankan kewajibannya dengan cara menjatuhkan
putusan secara adil dan sesuai fungsi hukum.
Sesuai dengan, teori hukum utilitarianisme yang dipelopori
oleh Jeremy Bentham yang menggunakan prinsip “the greates
happiness to the greatest number of people” yang memberi arti kepada
keadilan sebagai pencapaian kesenangan/ manfaat yang sebesar-
besarnya dengan menekan sekuat mungkin unsur kerugian.2
Demikian pula disebutkan dalam firman Allah SWT dalam ayat
berikut:
1. QS. al-Maidah [5]:1:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
2 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) h. 98
58
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.”
Dengan begitu seharusnya PT Travel Express Aviation
Services memenuhi akad-akad (perjanjian) sebagai pelaku usaha
untuk menjamin dan melindungi hak-hak konsumen seperti hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa (Pasal 4 Undang-Undang No.8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen).
2. QS. al-Isra' [17]: 34:
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa
dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan jawabnya”
Seperti arti ayat yang tercantum di atas yaitu “penuhilah
janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan
jawabnya”. PT Travel Express Aviation Services harus memenuhi
janji atau kewajibannya yaitu mengembalikan bagasi tercatat milik
Erwin Rengga setibanya di bandara Manokwari akan tetapi ketika
Erwin Rengga sampai di tujuan, bagasi miliknya hilang. PT Travel
Express Aviation Services dengan jelas telah menghilangkan
bagasinya dan harus bertanggung jawab apa yang telah dialami
oleh Erwin Rengga.
3. Demikian pula disebutkan dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu
mengenai ganti rugi dengan barang yang serupa:
Dari Anas Radhiyallahu anhu ia berkata, “Salah seorang
istri Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menghadiahkan kepada
59
beliau makanan yang diletakkan di suatu wadah. Kemudian Aisyah
memukul wadah itu dengan tangannya dan menumpahkan isinya.
Maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Makanan
diganti dengan makanan, wadah diganti dengan wadah”.
Dalam Pasal 19 ayat (3) yang berbunyi “Pemberian ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi”, maka seharusnya PT Travel Express Aviation Services
mengganti kerugian yang dialami Erwin Rengga dalam waktu kurang
dari 7 hari akan tetapi yang terjadi lebih dari 7 hari PT Travel Express
Aviation Services belum mengganti kerugiannya sampai Erwin
Rengga menggugat sengketanya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata “tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian” yang dimana ketentuan ini menganut asas hukum bahwa
penggantian kerugian dalam hal yang terjadinya suatu perbuatan
hukum bersifat wajib. Dari bunyi pasal 1365 KUHPerdata tersebut
juga dapat ditarik unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagai
berikut:
1. Adanya perbuatan melawan hukum
Sangat jelas sekali bahwasannya PT Travel Express
Aviation Services telah melakukan perbuatan hukum dengan
melanggar Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 15 Tahun 1992
tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.
2. Adanya kesalahan
Kesalahan yang dilakukan oleh PT Travel Express Aviation
Services adalah menghilangkan barang bagasi tercatat milik Erwin
Rengga sebagai konsumen.
3. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan
60
Kelalaian yang dilakukan PT Travel Express Aviation
Services mengakibatkan hilangnya bagasi tercatat milik Erwin
Rengga.
4. Adanya kerugian
Atas kelalaian PT Travel Express Aviation Services dengan
menghilangkan bagasi tercatat milik konsumen, maka Erwin
Rengga mengalami kerugian sebesar Rp.6.799.000,- (enam juta
tujuh ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah).
Langkah yang diambil oleh Erwin Rengga sebagai konsumen
dalam menuntut PT Travel Express Aviation Services melalui litigasi
(Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) sesuai dengan Pasal 45 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di lingkungan peradilan umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
Penulis tidak setuju dengan putusan hakim karena dalam
pertimbangannya hakim tidak menerapkan dan tidak sesuai dengan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dimana berlaku pada
setiap pelaku usaha dan konsumen termasuk dalam sengketa yang
dialami Erwin Rengga dan PT Travel Express Aviation Services. Di
samping itu, UndangUndang Perlindungan Konsumen merupakan
payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di
bidang perlindungan konsumen.
2. Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995
tentang Angkutan Udara.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Pasal 41
Ayat (2) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Pasal 42 yang
61
berisikan mengenai pengangkut harus mengganti kerugian atas bagasi
atau barang yang hilang atau rusak yang dimiliki oleh penumpang.
Tidak hanya itu saja, di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara 1939
juga mengatur hal tersebut pada pasal 25 yang berbunyi: ”Pengangkut
bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul sebagai akibat dari
kehancuran, kehilangan atau kerusakan bagasi atau barang, bila
kejadian yang menyebabkan kerugian itu terjadi selama pengangkutan
udara.”
Padahal sudah tertera dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1992 Pasal 44 ayat (1) bahwa “Jumlah ganti rugi untuk kerugian
bagasi tercatat, termasuk kerugian karena kelambatan dibatasi setinggi-
tingginya Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilogram.”
Dengan aturan di atas telah jelas bahwasannya hakim seharusnya
memutus perkara mengenai ganti kerugian penumpang dengan
mempertimbangkan jumlah harga ganti barang perkilogramnya dan
Penggugat tidak setuju dalam petitumnya bahwa untuk mengganti
kerugiannya dengan jumlah Rp. 20.000,00 perkilogamnya karena isi
dari bagasi milik Penggugat banyak berisikan pakaian-pakaian, tas
pakaian dan lain-lain. Di satu sisi pihak Tergugat pun merelakan untuk
diselesaikan permasalahan ganti rugi bagasi tercatat dengan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1992 Pasal 44 ayat (1). Akan tetapi Tergugat
keliru dalam menentukan pasal untuk pengganti rugian bagasi tercatat
yang hilang yaitu bukan Pasal 44 ayat (2) tentang bagasi kabin
melainkan seharusnya Pasal 44 ayat (1).
Di dalam aturan baru untungnya telah merubah Undang-
Undang di atas yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun
2011 tentang tanggung jawab pengangkut angkutan udara mengatur
mengenai jumlah ganti kerugian terhadap penumpang kehilangan
bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah
diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu
62
rupiah) per kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah)
per penumpang.
Hak konsumen/penumpang yang tertuang dalam Ordonansi
Penerbangan Udara 1939 adalah seorang penumpang dalam perjanjian
angkutan udara tentunya mempunyai hak untuk diangkut ke tempat
tujuan dengan pesawat udara yang telah ditunjuk atau dimaksudkan
dalam perjanjian angkutan udara yang bersangkutan. Di samping itu
juga penumpang atau ahli warisnya berhak untuk menuntut ganti rugi
atas kerugian yang dideritanya sebagai akibat adanya kecelakaan
penerbangan atas pesawat udara yang bersangkutan.
Selain itu hak-hak penumpang lainnya adalah menerima
dokumen yang menyatakannya sebagai penumpang, mendapatkan
pelayanan yang baik, memperoleh keamanan dan keselamatan selama
dalam proses pengangkutan dan lain-lain. Adapun kewajiban
konsumen/penumpang sebagai salah satu pihak dalam perjanjian
angkutan udara maka penumpang memiliki kewajiban-kewajiban
sebagai berikut:
a. Membayar uang angkutan, kecuali ditentukan sebaliknya
b. Mengindahkan petunjuk-petunjuk dari pengangkut udara atau dari
pegawai-pegawainya yang berwenang untuk itu
c. Menunjukan tiketnya kepada pegawai-pegawai pengakut udara
setiap saat apabila diminta
d. Tunduk kepada peraturan-peraturan pengangkut udara mengenai
syarat-syarat umum perjanjian angkutan muatan udara yang
disetujuinya
e. Memberitahukan kepada pengangkut udara tentang barang-barang
berbahaya atau barang-barang terlarang yang dibawa naik sebagai
bagasi tercatat atau sebagai bagasi tangan, termasuk pula barang-
barang terlarang yang ada pada dirinya.
Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara Nomor 10 Tahun 1939
menyatakan dokumen pengangkutan udara yaitu tiket penumpang,
63
tiket bagasi, dan surat muatan udara. Dikarenakan tiket menjadi salah
satu bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan
pengangkut maka PT Travel Express Aviation Services memiliki
kewajiban dan tanggung jawab kepada Erwin Rengga sebagai
konsumen. Karena ketika pembuktian di persidangan Erwin
menunjukkan tiket pesawat dan tiket bagasi miliknya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Ordonansi
Pengangkutan Udara yang menyebutkan apabila pengangkut udara
menerima bagasi untuk diangkut tanpa memberikan suatu tiket bagasi
maka dia tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-ketentuan
Ordonansi Pengangkut Udara yang meniadakan atau membatasi
tanggung jawabnya, maka dalam pembuktian yang dilakukan Erwin
Rengga dalam menuntut PT Travel Express Aviation Services
(pengangkut udara) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sah karena
memiliki tiket bagasi untuk menunjukkan bahwa bagasi tercatat
miliknya telah hilang.
Tidak hanya dalam Undang-Undang Pelindungan Konsumen
saja yang mengatur tenggang waktu penggantian rugi, dalam Pasal 16
Ayat (3) Ordonansi Pengangkutan Udara juga mengatur hal tersebut
yaitu “Bila hilangnya barang-barang diakui oleh pengangkut, atau bila
barang-barang tidak datang setelah lewat waktu 7 hari setelah barang-
barang seharusnya tiba, maka penerima berhak menuntut pengangkut
atas apa yang menjadi haknya berdasarkan perjanjian pengangkutan
udara. Dengan undang-undang di atas, maka hal yang dilakukan Erwin
Rengga sangat tepat yaitu menuntut PT Travel Express Aviation
Services untuk mendapatkan hak yang seharusnya dimiliki Erwin
Rengga.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 belum mengatur tentang
tenggang waktu penumpang untuk meminta ganti rugi, sedangkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 pasal 174 ayat (3) dan (4) dan
64
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 5 ayat (2) telah
mengatur mengenai tenggang waktu penumpang untuk meminta rugi
yaitu dalam waktu 14 hari kalender sejak tanggal dan kedatangan
penumpang di bandar udara tujuan.
Apabila ditinjau dari segi tanggung jawab, sangatlah jelas
bahwa ini merupakan tanggung jawab mutlak karena pengangkut harus
bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam
pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian
ada tidaknya kesalahan pengangkut. Prinsip ini tidak mengenal beban
pembuktian, unsur kesalahan tidak perlu disoalkan. Pengangkut tidak
mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang
menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini dapat dirumuskan dengan
kalimat: “Pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang
timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan
ini”.
Mengenai tanggung jawab pun telah disebutkan dalam firman
Allah QS. Al-Mudatsir ayat 38:
Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya”
(QS. Al-Mudatstsir: 38)
D. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Angkutan Udara
Dari analisis sengketa yang dialami Erwin Rengga di atas maka
bisa diketahui bentuk dan pelaksanaan perlindungan hukum bagi
konsumen angkutan udara apabila terjadi kehilangan barang di bagasi
pesawat. Pengangkutan barang yang disebut juga sebagai bagasi adalah
suatu bentuk pelayanan perusahaan penerbangan. Hampir semua
penumpang membawa barang atau bagasinya masing-masing baik itu
barang keperluan sehari-hari maupun barang yang akan dijual kembali.
Barang-barang tersebut bermacam-macam jenisnya baik itu pakaian, alat
65
elektronik, perhiasan, furnitur, dan lain-lain. Semuanya bernilai ekonomis.
Barang atau bagasi ini dibedakan menjadi dua, yaitu bagasi kabin dan
bagasi tercatat. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai
bagasi kabin dan bagasi tercatat.
Di dalam pelayanan bagasi ini pada penerbangan tentu saja sering
terjadi sesuatu diluar yang diinginkan maskapai maupun penumpang, yaitu
misalnya terjadi kehilangan bagasi penumpang. Kerugian yang terjadi
pada penumpang tersebut dalam perspektif hukum merupakan salah satu
bentuk pelanggaran hukum dan itu adalah merupakan tanggung jawab
pengangkut dan sudah diatur dalam undang-undang yang berlaku saat ini.
Penumpang berhak menuntut ganti rugi atas kerugian yang di
dapatnya. Semua itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1992 Tentang Penerbangan dan Ordonasi Pengangkutan Udara 1939.
Mulai dari tanggung jawab pelaku usaha atau pengangkut, hak dan
kewajiban pelaku usaha atau pengangkut, ganti rugi kepada konsumen
atau penumpang dan lain-lain.
Apabila terjadi hilang atau rusaknya barang di bagasi pesawat
maka bisa melakukan prosedur untuk melakukan klaim barang bawaan
yang hilang, yaitu3:
1. Buat laporan kehilangan. Penumpang dapat langsung menemui pihak
maskapai dan menyatakan kehilangan. Jangan lupa berikan informasi
selengkap-lengkapnya mengenai waktu keberangkatan, kelas
penumpang dan sebagainya. Bawalah identitas dan boarding pass yang
masih ada sebagai bukti untuk memperkuat laporan.
2. Jangan lupa dengan rincian barang bawaan. Deskripsikan barang
tersebut mulai dari warna, desain, ukuran, fitur dan lain-lain.
3https://www.tiket2.com/blog/apa-yang-harus-dilakukan-saat-barang-bawaan-anda-
hilang-saat-penerbangan/ diakses pada tanggal 2 April 2018 pada pukul 18.00 WIB
66
Deskripsikan secara detil untuk mempermudah pihak maskapai dalam
pencarian.
3. Urus klaim secepatnya. Segera lakukan klaim terhadap koper atau tas
agar maskapai dapat mengganti rugi barang-barang penting yang
hilang.
4. Klaim juga asuransi perjalanan bagi penumpang yang memilikinya dan
jika asuransi perjalanan yang dimiliki penumpang memberikan fitur
asuransi bagasi, segera lakukan klaim.
5. Apabila tidak ada respon positif terhadap laporan yang telah dibuat
maka dapat mengajukan laporan ke pengadilan atau melakukan upaya
hukum diluar pengadilan.
Diatas merupakan beberapa upaya langsung yang dapat dilakukan
oleh penumpang untuk menindak lanjuti bagasinya yang hilang atau rusak.
Penumpang sebagai konsumen maskapai penerbangan yang ingin
melakukan atau mengajukan gugatan atas bagasi yang hilang dapat
melalui proses pengadilan (litigasi) sesuai dengan pasal 48 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen dan di luar pengadilan (non litigasi)
diatur dalam pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang dimana badan
hukum yang menyelesaikan permasalahan konsumen di luar pengadilan
secara murah, cepat dan sederhana.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian bab I sampai bab IV di atas, pada akhirnya
peneliti menyimpulkan bahwa:
1. Bahwa dalam hukum positif di Indonesia sudah terdapat beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengatur dan memberikan
perlindungan hukum terhadap penumpang angkutan udara, peraturan
tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang
Penerbangan, Ordonasi Pengangkutan Udara 1939, Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara, dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
Konsumen. Aturan tersebut telah dibuat untuk memberikan
perlindungan terhadap konsumen atau penumpang. Dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen sudah tertera prosedur penyelesaian
sengketa antara pengangkut dan penumpang yaitu dengan cara
nonlitigasi (mediasi, konsiliasi dan arbitrase) dan litigasi (mengajukan
gugatan ke pengadilan).
2. Dalam putusan majelis hakim pada Perkara Nomor
172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST dalam pertimbangannya hakim tidak
menerapkan dan tidak sesuai Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang dimana berlaku pada setiap pelaku usaha dan
konsumen termasuk dalam sengketa yang dialami Erwin Rengga dan
PT Travel Express Aviation Services dan kurang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tanggung jawab
pengangkut udara. Putusan hakim tidak memberikan keadilan dan
keseimbangan hukum bagi konsumen yang dimana kerugian
konsumen merupakan tanggung jawab pelaku usaha. Apabila dikaitkan
dengan teori tanggung jawab yang terjadi maka hal ini termasuk
tanggung jawab mutlak yang dimana apabila penumpang mengalami
68
kerugian apabila terjadi kecelakaan yang berakibat kematian atau luka-
luka dan tanggung jawab terhadap barang bagasi tanpa adanya
pembuktian lebih dahulu dan pengangkut tidak dapat membebaskan
diri kewajiban membayar ganti rugi.
B. Rekomendasi
1. Sebaiknya pengangkut udara (pelaku usaha) memeriksa barang apa
saja yang ada di dalam koper, tas dan sebagainya milik konsumen
yang akan dimasukkan ke dalam bagasi tercatat pesawat agar bisa
dipertanggungjawabkan oleh pihak pengangkut udara maupun
konsumen apabila terjadi kehilangan barang di bagasi pesawat.
2. Sebaiknya semua sengketa yang terjadi antara pelaku usaha
(pengangkut udara) dan konsumen (penumpang) tidak diselesaikan
dengan penggantian rugi atas hilang barang penumpang di bagasi
pesawat dengan cara menghitung dalam satuan Kilogram (Kg)
karena tidak sebanding dengan kerugian asli yang terdapat dalam
bagasi tercatat penumpang.
3. Pengangkut udara dalam hal menangani kerugian berupa hilangnya
barang penumpang di bagasi pesawat diharapkan tidak mengulur
waktu dan langsung menanggapi keluhan penumpang sebagai
konsumen yang mengalami kerugian yang dideritanya. Penumpang
hendaknya mempunyai rasa kritis apabila mengalami kerugian atas
hilangnya barang dan menuntut haknya tersebut melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atau Pengadilan agar tidak
menganggap remeh penumpang selaku konsumen.
4. Pengangkut udara sebaiknya lebih meningkatkan pegawasan
terhadap barang-barang yang disimpan dalam bagasi mulai dari
penumpang memberikan barang ke pegawai maskapai, barang
disimpan dalam bagasi dan pada saat penumpang mengambil
barang di terminal kedatangan bandar udara yang dituju.
69
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Grafindo Persada,
2004.
Arto, Mukri, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Fuady, Munir, Dinamika Teori Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Hartono, Sri Redjeki, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandung: Mandar Maju,
2000.
Hutagaol, Desmond, Pengantar Penerbangan Perspektif Profesional, Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2013.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Binacipta,
1997.
Martono, Hukum Udara Perdata Nasional Dan Internasional, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2016.
Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010.
Miru, Ahmad, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1991.
Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Diadit Media, 2002.
70
Nasution, Az, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Nugraha, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia
Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendalanya, Jakarta: Prenada Media
Group, 2008.
Purwosutjipto, H. M. N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum
Pengangkutan, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003.
Shofie, Yusuf, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan
Mendasar BPSK, Jakarta: Piramedia, 2004.
Soekanto, Soejono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 1985.
Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
Pers, 1986
Soemitro, Hanitijo Ronny, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jumetri, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990.
Sudaryatmo, Liku-Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 2001.
Suriaatmadja, Toto Thohir, Pengangkutan Kargo Udara, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2005.
Wiradipraja, E. Saefullah, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum
Pengangkutan Udara Internasional Dan Nasional, Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 1989.
Peraturan Perundang-Undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Ordonasi Pengangkutan Udara 1939
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan
71
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
Internet:
http://www.xpressair.co.id/corporate_profile.php di akses pada Senin, 26 Februari
2018.
http://bintangmars.web.id/profil-xpress-air/ di akses pada Senin, 26 Februari
2018.
https://www.tiket2.com/blog/apa-yang-harus-dilakukan-saat-barang-bawaan-
anda-hilang-saat-penerbangan/ diakses pada Senin, 2 April 2018.
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A NNomor : 172/PDT.G/2009/PN.JKT.PST
“ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara-
perkara perdata secara gugatan dalam peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan
sebagai berikut dalam perkara antara :
ERWIN RENGGA SH, Advokat, beralamat di Jalan Tanjung Duren Timur No.4A, Jakarta
Barat, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya: Daniel Kusuma,
S.H, M.M., dan Yohannes Hadi Chandra, S.H. merupakan
Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum “DANIEL
KUSUMA & REKAN”, beralamat di Jl. Kyai Caringin Blok
A/15C, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus, tertanggal
15 April 2009, untuk selanjutnya disebut sebagai :
PENGGUGAT;
M e l a w a n :
PT. TRAVEL EXPRESS AVIATION SERVICES, yang bergerak dibidang jasa
transportasi udara, beralamat di Palazo Office Park, Jalan
Benyamin Sueb Blok A No. A11, Kemayoran, Jakarta, 10120,
untuk selanjutnya disebut sebagai : TERGUGAT;
Pengadilan Negeri tersebut;
Telah mempelajari surat-surat dalam perkara ini;
Telah mendengar kedua belah pihak dan para saksi di persidangan;
Telah memperhatikan kejadian-kejadian di persidangan;
TENTANG DUDUK PERKARA :
Menimbang, bahwa Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 07 Mei 2009
yang telah didaftarkan dalam register Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.172/
Pdt/G/2009/PN.JKT.PST tanggal 13 Mei 2009 sebagaimana telah mengemukakan hal-hal
sebagai berikut :
I. FAKTA HUKUM
1
Halaman 1 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
1 Bahwa Penggugat adalah salah satu pengguna jasa atau konsumen (penumpang)
pesawat yang dioperasionalkan oleh TERGUGAT, rute Jakarta – Manokwari dengan
Nomor Tiket: 626 1100 460 108 6, pada tanggal 24 Desember 2008;
2 Bahwa dalam mengoperasionalkan pesawat, Tergugat juga mengelola/
mengoperasionalkan jasa penitipan barang bagasi bagi penumpang (konsumen),
barang bagasi penumpang (konsumen) yang dititipkan tersebut harus diserahkan/
dikembalikan kepada penumpang setibanya di tempat tujuan
3 Bahwa dalam penerbangan tersebut Penggugat adalah pemilik barang bagasi dengan
tanda bukti pengenal bagasi Manokwari XA 06-72-22, yang dalam bagasi tersebut
berisikan:
1 4 (empat) helai gaun wanita;
2 6 (enam) helai kemeja wanita;
3 7 (tujuh) helai kaus wanita;
4 1 (satu) helai celana panjang jeans wanita;
5 1 (satu) helai kemeja kerja pria;
6 1 (satu) helai kaus pria;
7 2 (dua) helai celana panjang jeans pria;
8 1 (satu) helai celana panjang bahan pria
9 1 (satu) unit telepon selular ;
10 1 (satu) set sarung bantal;
11 1 (satu) unit pengisi baterai telepon selular;
12 1 (satu) buah tas pakaian
4 Bahwa dengan adanya jasa penitipan bagasi yang dikelola/dioperasikan oleh
Tergugat tersebut, maka sejak itu pula segala resiko terhadap barang bagasi
penumpang yang menggunakan jasa Tergugat adalah menjadi tanggung jawab dan
dilimpahkan sepenuhnya kepada yang menyediakan jasa dalam hal ini Tergugat ;
5 Bahwa sesampainya Penggugat tanggal 24 Desember 2008 di pelabuhan udara
Manokwari, dan Penggugat menuju tempat pengambilan bagasi, alangkah
terkejutnya Penggugat karena bagasi miliknya sebagaimana tersebut tidak
diketemukan di tempat pengambilan bagasi milik Tergugat pada hal pada saat itu
dalam tanggung jawab dan pengawasan Tergugat ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.idII. PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERGUGAT
6 Bahwa Penggugat mencoba menanyakan kepada petugas Tergugat tentang
keberadaan barang bagasi miliknya dengan menunjukkan “tanda bukti pengenal
bagasi” yang dimiliki oleh Penggugat, Bahwa oleh Tergugat diberitahukan bagasi
Penggugat ada dalam tumpukan bagasi penumpang lain dan sulit untuk diambil,
kemudian Penggugat disarankan oleh petugas Tergugat untuk mengambilnya pada
keesokan hari;
7 Bahwa kesesokan harinya Penggugat kembali menyanyakan barang bagaasi
miliknya, akan tetapi tetap tidak diketahui barang bagasi tersebut keberadaannya;
8 Bahwa atas perbuatan Tergugat yang tidak menyerahkan barang bagasi milik
Penggugat sesampainya di tempat tujuan dengan alasan dalam tumpukan bagasi
penumpang lain dan sulit untuk diambil, maka selayaknya Tergugat dinyatakan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melakukan perbuatan melawan hukum
[onrechtmatigedaad], yang mengakibatkan hilangnya barang bagasi milik Pengugat;
9 Perbuatan TERGUGAT tersebut juga melanggar Pasal 4 UU No.8/1999, Tentang
Perlindungan Konsumen, yang antara lain berbunyi [1] hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; [2] hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; [3] hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengani kondisi dan jaminan barang dan/atau
jas;.
10 Penggugat pada tanggal 24, 29 Desember 2008 dan tanggal 3 Januari 2009 telah
melaporkan kehilangan bagasi tersebut di atas kepada Tergugat yang seharusnya
menyerah terimakan bagasi tersebut kepada Penggugat setibanya di pelabuhan udara
Manokwari, akan tetapi sampai gugatan ini diajukan barang bagasi milik Penggugat
tersebut tidak juga diketahui keberadaannya;
11 Bahwa dari kejadian tersebut Penggugat telah berusaha menghubungi pihak
Tergugat untuk meminta pertanggung jawaban Tergugat melalui surat tertanggal 4
Januari 2009 dan tertanggal 13 Januari 2009, terhadap hilangnya barang bagasi
milik Penggugat tersebut karena pada saat selama berada dalam tanggung jawab
Tergugat lagi pula sebagai pangguna jasa pihak Tergugat harus menjamin keamanan
milik dari pengguna jasa sebagaimana juga yang diisyaratkan oleh undang-undang
Perlindungan Konsumen 1999 (Undang-Undang No.8 Tahun 1999), dan akibat
Tergugat tidak menyerahkan barang bagasi milik Penggugat pada saat Penggugat
3
Halaman 3 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
tiba di tempat tujuan, yang hingga saat gugatan ini diajukan tidak pernah ditemukan
jalan keluarnya;
12 Bahwa sebagaimana yang tertera didalam tiket Syarat-Syarat Peraturan Dalam
Negeri butir 6.c. yang menyebutkan “Semua tuntutan ganti kerugian harus dapat
dibuktikan besarnya yang di derita, tanggung jawab terbatas untuk kehilangan dan
kerusakan bagasi diterapkan sejumlah maksimum Rp.20.000,- (dua puluh ribu) per
kilogram;
Bahwa aturan tersebut tidak dapat dibenarkan karena bukan merupakan kesepakatan
atau perjanjian yang melibatkan persetujuan dari kedua belah pihak melainkan hanya
sepihak saja yang pada saat itu Penggugat mau atau tidak mau harus menerimanya
akibat keadaan terpaksa serta dikarenakan kondisi dan keadaan yang ada. Jadi
kesepakatan sebagaimana tersebut diatas tidaklah dapat dibenarkan dan sangat
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (kitab Undang-Undang Hukum
Perdata), sehingga kesepakatan tersebut mengadung cacat hukum sehingga tidak sah dan
akibatnya adalah batal demi hukum;
III. KERUGIAN PENGGUGAT
13 Bahwa dari kejadian tersebut diatas Penggugat sangat dirugikan baik secara materiil
dan imateriil baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya
pihak Tergugat. Dilain hal Penggugat sebagai seorang penganut agama Kristen dan
barang dalam bagasi tersebut merupakan pendukung dalam kegiatan perayaan Hari
Raya Natal Tahun 2008 dan Tahun Baru 2009, yang tidak mungkin akan kembali,
maka kerugian yang dialami oleh Penggugat berupa materiil maupun moriil/
immataeriil sepatutnya dibebankan kepada Tergugat;
Adapun kerugian materiil dari Penggugat adalah berupa :
1 4 (empat) helai gaun wanita; Rp.1.200.000,-
2 6 (enam) helai kemeja wanita; Rp.1.500.000,-
3 7 (tujuh) helai kaus wanita; Rp.1.050.000,-
4 1 (satu) helai celana panjang jeans wanita; Rp. 189.000,-
5 1 (satu) helai kemeja kerja pria; Rp. 260.000,-
6 1 (satu) helai kaus pria; Rp. 200.000,-
7 2 (dua) helai celana panjang jeans pria; Rp. 600.000,-
8 1 (satu) helai celana panjang bahan pria Rp. 200.000,-
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
9 1 (satu) unit telepon selular; Rp.1.100.000,-
10 1 (satu) set sarung bantal; Rp. 100.000,-
11 1 (satu) unit pengisi baterai telepon selular; Rp. 100.000,-
12 1 (satu) buah tas pakaian Rp. 300.000,- +
Total sebesar Rp. 6.799.000,-
(enam juta tujuh ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah)
Adapun kerugian moriil/immateriil, jika diperhitungkan dengan nilai materi yang
harus juga dibayarkan dengan seketika secara tunai dan kontan oleh Tergugat kepada
Penggugat adalah sebesar Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) yang nilai
tersebut berupa rasa kecemasan dari Penggugat yang hingga saat ini barang bagasi hak
miliknya belum ada kepastian tentang keberadaannya/tidak ditemukan dan hilangnya
kemanfaat dari isi bagasi tersebut yang akan Penggugat gunakan dalam perayaan Hari
Raya Natal 2008 dan Tahun Baru 2009;
14 Bahwa dengan demikian keseluruhan kerugian yang dialami oleh Penggugat yang
harus dibayar oleh Tergugat dengan seketika secara tunai dan kontan, baik berupa
materiil maupun moriil/immateril adalah Rp.6.799.000,- (enam juta tujuh ratus
sembilan puluh sembilan ribu rupiah) + Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah)
= Rp.10.006.799.000,- (sepuluh milyar enam juta tujuh ratus sembilan puluh
sembilan rupiah);
15 Bahwa selain itu mohon kiranya Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Jakarta
untuk menetapkan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta
rupiah) setiap harinya yang harus dibayarkan oleh Tergugat kepada Penggugat
secara tunai dan kontan waktu seketika, manakala Tergugat lalai atau terlambat
menjalankan kewajibannya setelah putusan dalam perkara ini mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan pasti (in kracht van gewijsde);
16 Bahwa agar gugatan Penggugat tidak sia-sia dan untuk menjamin agar Tergugat
tidak ingkar terhadap apa yang harus menjadi kewajibannya, maka Penggugat
mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Jakarta kiranya dapat
meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap tanah dan bangunan yang
berada diatasnya milik dari Tergugat yang terletak di Palazo Office Park, Jalan
Benyamin Sueb Blok A No. A11, Kemayoran, Jakarta, 10120;
5
Halaman 5 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
17 Bahwa karena gugatan Penggugat telah didukung dengan alat bukti yang tertulis dan
kebenarannya tidak dapat disangkal lagi maka tidaklah terlalu berlebihan jika
Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Jakarta agar
menetapkan bahwa putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu/serta
merta (Uit Voerbaar bij vorraad) walaupun Tergugat mengajukan banding, verzet,
kasasi maupun upaya hukum lainnya;
IV. TUNTUTAN
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat cq. Majelis Hakim yang mengadili perkara ini agar memberikan
putusan sebagai berikut :
1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2 Menyatakan secara hukum bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum sehingga merugikan Penggugat;
3 Menyatakan secara hukum bahwa selama barang bagasi milik Penggugat diititipan
dengan sah didalam penitipan yang dikelola oleh Tergugat adalah merupakan
tanggung jawab Tergugat sepenuhnya atas telah terjadinya kehilangan;
4 Menyatakan secara hukum bahwa kesepakatan sebagaimana yang tertera dalam
tanda bukti tiket Syarat-Syarat Peraturan Dalam Negeri butir 6.c. yang
menyebutkan : “ Semua tuntutan ganti kerugian harus dapat dibuktikan besarnya
yang di derita, tanggung jawab terbatas untuk kehilangan dan kerusakan bagasi
diterapkan sejumlah maksimum Rp.20.000,- (dua puluh ribu) per kilogram.” adalah
cacat hukum sehingga tidak sah oleh karenanya batal demi hukum;
5 Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materiil kepada Penggugat akibat
kelalaian dari Tergugat karena tidak diserah terimakan barang bagasi Penggugat
setibanya di tempat tujuan, sehingga hilangnya barang bagasi milik Penggugat yang
terperinci :
1 4 (empat) helai gaun wanita; Rp.1.200.000,-
2 6 (enam) helai kemeja wanita; Rp.1.500.000,-
3 7 (tujuh) helai kaus wanita; Rp.1.050.000,-
4 1 (satu) helai celana panjang jeans wanita; Rp. 189.000,-
5 1 (satu) helai kemeja kerja pria; Rp. 260.000,-
6 1 (satu) helai kaus pria; Rp. 200.000,-
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
7 2 (dua) helai celana panjang jeans pria; Rp. 600.000,-
8 1 (satu) helai celana panjang bahan pria Rp. 200.000,-
9 1 (satu) unit telepon selular ; Rp.1.100.000,-
10 1 (satu) set sarung bantal; Rp. 100.000,-
11 1 (satu) unit pengisi baterai telepon selular; Rp. 100.000,-
12 1 (satu) buah tas pakaian Rp. 300.000,- +
Sebesar Rp. 6.799.000,-
(enam juta tujuh ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah) dengan seketika secara
tunai dan kontan;
6 Menghukum pula Tergugat untuk membayar kerugian moriil/immaterial kepada
Penggugat sebesar Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dengan seketika
secara tunai dan kontan;
7 Menetapkan dan menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom)
sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) perharinya kepada Penggugat dengan
seketika secara tunai dan kontan menakala Tergugat lalai atau terlambat menjalankan
putusan dalam perkara ini setelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti
(inkrach van gewijsde);
8 Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap tanah dan
bangunan yang berada diatasnya hak milik Tergugat berupa tanah dan bangunan yang
berada di Palazo Office Park, Jalan Benyamin Sueb Blok A No. A11, Kemayoran,
Jakarta, 10120;
9 Menetapkan secara hukum bahwa putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu/
sertamerta (Uit Voerbaar bij vorraad) walaupun Tergugat mengajukan banding, verzet,
kasasi maupun upaya hukum lainnya;
10 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang ditimbulkan dalam perkara ini;
Apabila pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya;
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan pihak pihak Penggugat
datang menghadap kuasanya: Daniel Kusuma, SH.MM dan Yohanes Adi Chandra, SH,
sedangkan untuk pihak Tergugat datang menghadap kuasanya: Peter Kurniawan, SH., Dakili
E. Pattipeilohy, SH dan Llalu Bayu, SH, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 03 Juni
2009;
7
Halaman 7 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak
yang berperkara melalui proses Mediasi sesuai dengan ketentuan dalam PERMA No. 1
Tahun 2008 dengan menunjuk sdr. Bayu Isdiyatmoko, SH. Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat sebagai Mediator, akan tetapi usaha itu tidak berhasil, oleh karenanya
pemeriksaan perkara ini dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan Penggugat
tertanggal 07 Mei 2009 tersebut, yang isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat melalui
kuasanya telah mengajukan jawaban secara tertulis tertanggal 01 Juli 2009 pada pokoknya
sebagai berikut :
Bahwa TERGUGAT menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil PENGGUGAT dalam
Gugatan a quo, kecuali yang diakui secara tegas dalam Jawaban a quo.
Adapun alasan-alasan TERGUGAT dalam Jawaban a quo adalah sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI :
GUGATAN A QUO KABUR (OBSCUUR LIBEL)
1 Bahwa pokok permasalahan dalam Gugatan a quo adalah mengenai hilangnya barang
bagasi milik PENGGUGAT pada saat PENGGUGAT menggunakan jasa angkutan udara
milik TERGUGAT dengan rute penerbangan dari Jakarta menuju Manokwari pada
tanggal 24 Desember 2008, yang mana menurut PENGGUGAT hal tersebut adalah
akibat perbuatan melawan hukum TERGUGAT (quod non), sehingga Gugatan a quo
yang diajukan oleh PENGGUGAT terhadap TERGUGAT adalah gugatan perbuatan
melawan hukum. Hal ini terlihat dari judul Gugatan a quo dan butir 2 Petitum Gugatan
a quo;
Kutipan butir 2 Petitum Gugatan a quo berbunyi :
“Menyatakan secara hukum bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum sehingga merugikan Penggugat”;
2 Bahwa TERGUGAT menolak dengan tegas dalil-dalil PENGGUGAT pada butir 2 dan
butir 4 halaman 1 dan 2 Gugatan a quo yang menyatakan bahwa TERGUGAT
mengelola/mengoperasionalkan jasa penitipan barang bagasi bagi penumpang, karena
hal tersebut tidak benar dan tidak berdasar hukum;
3 Bahwa hubungan hukum antara PENGGUGAT dan TERGUGAT bukan hubungan
perjanjian jasa penitipan barang bagasi, tetapi hubungan perjanjian pengangkutan udara,
dimana TERGUGAT selaku pihak pengangkut dan PENGGUGAT selaku penumpang
atau pengguna jasa angkutan udara milik TERGUGAT. Dengan demikian, hal-hal yang
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
berkaitan dengan penyelenggaraan pengangkutan udara tersebut tunduk pada perjanjian
angkutan udara in casu tiket pesawat. Hal ini sejalan dengan asas pacta sunt servanda
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata, yaitu suatu perjanjian yang ada diantara para pihak berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka;
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, berbunyi:
“ Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu.
Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
4 Bahwa oleh karena hubungan hukum antara PENGGUGAT dan TERGUGAT adalah
berdasarkan suatu perjanjian, maka jika terdapat klausul-klausul yang tidak dipenuhi
oleh salah satu pihak, dalam hal demikian telah terjadi wanprestasi, bukan perbuatan
melawan hukum. Dengan demikian jelas petitum PENGGUGAT pada butir 2 dan 3
tidak berdasar hukum dan patut untuk ditolak;
5 Bahwa dalam Gugatan a quo, PENGGUGAT tidak jelas atau kabur (obscuur) dalam
menguraikan hubungan hukum antara PENGGUGAT dan TERGUGAT, karena di satu
sisi PENGGUGAT mengakui hubungan hukum antara PENGGUGAT dengan
TERGUGAT adalah berdasarkan suatu perjanjian in casu tiket pesawat (vide butir 1 dan
12 Posita Gugatan a quo dan butir 4 petitum Gugatan a quo), namun di sisi lain
PENGGUGAT mendalilkan bahwa TERGUGAT telah melakukan perbuatan melawan
hukum terhadap PENGGUGAT (quod non), seolah-olah tidak pernah terdapat suatu
perjanjian di antara PENGGUGAT dan TERGUGAT (vide butir 8 Posita Gugatan a quo
dan butir 2 petitum Gugatan a quo);
Kutipan butir 1 Posita Gugatan a quo:
“Bahwa Penggugat adalah salah satu pengguna jasa konsumen (penumpang) pesawat
yang dioperasionalkan oleh TERGUGAT, rute Jakarta – Manokwari dengan Nomor
Tiket: 626 1100 460 108 6, pada tanggal 24 Desember 2008”;
Kutipan butir 12 Posita Gugatan a quo:
9
Halaman 9 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
“Bahwa sebagaimana yang tertera didalam tiket pesawat yang antara lain
menyebutkan:
6.c. Semua tuntutan ganti kerugian harus dapat dibuktikan besarnya yang di derita,
tanggung jawab terbatas untuk kehilangan dan kerusakan bagasi diterapkan
sejumlah maksimum Rp. 20.000,- (dua puluh ribu) per kilogram”.
Kutipan butir 4 petitum Gugatan a quo, adalah:
“Menyatakan secara hukum bahwa kesepakatan sebagaimana yang tertera dalam
tanda bukti tiket Syarat-Syarat Peraturan Dalam Negeri butir 6.c. yang menyebutkan :
“Semua tuntutan ganti kerugian harus dapat dibuktikan besarnya yang diderita, tanggung
jawab terbatas untuk kehilangan dan kerusakan bagasi diterapkan sejumlah maksimum
Rp. 20.000,- (dua puluh ribu) per kilogram ” adalah cacat hukum sehingga tidak sah oleh
karenanya batal demi hukum”
Kutipan butir 8 Posita Gugatan a quo, adalah:
“Bahwa atas perbuatan Tergugat yang tidak menyerahkan barang bagasi milik
Penggugat sesampainya ditempat tujuan dengan alasan dalam tumpukan bagasi
penumpang lain dan sulit untuk diambil, maka selayaknya Tergugat dinyatakan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melakukan perbuatan melawan hukum
[onrechtmatigedaad], yang mengakibatkan hilangnya barang bagasi milik Penggugat”
Kutipan butir 2 petitum Gugatan a quo, adalah:
“Menyatakan secara hukum bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum hingga merugikan Penggugat”
6 Bahwa jika PENGGUGAT mendasarkan hubungan hukumnya dengan TERGUGAT
berdasarkan tiket pesawat, maka seharusnya Gugatan a quo adalah gugatan wanprestasi,
bukan gugatan perbuatan melawan hukum. Namun dalam Gugatan a quo,
PENGGUGAT malah merumuskan dalil-dalil perbuatan melawan hukum. Dengan
demikian, gugatan yang mencampuradukkan antara hubungan hukum yang didasari
dengan adanya suatu perjanjian dengan hubungan hukum yang terjadi karena adanya
suatu perbuatan melawan hukum, maka gugatan yang demikian adalah gugatan yang
kabur (obscuur) dan karenanya tidak dapat diterima. Hal ini sejalan dengan pendapat M.
Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Perdata”, pada
halaman 455 dan 456, yang menyatakan bahwa :
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
“... pada dasarnya tidak sama antara wanprestasi dengan PMH ditinjau dari
sumber, bentuk, maupun wujudnya. Oleh karena itu, dalam merumuskan posita
atau dalil gugatan:
• tidak dibenarkan mencampuradukkan wanprestasi dengan PMH
dalam gugatan;
• dianggap keliru merumuskan dalil PMH dalam gugatan jika yang
terjadi, in konkreto secara realistis adalah wanprestasi;”
Hal ini telah diakui sebagai Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI sebagaimana
yang terkandung dalam beberapa Putusan Mahkamah Agung RI, yaitu :
a Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 879 K/Pdt/1997 tanggal
29 Januari 2001, pada intinya menyatakan :
“penggabungan PMH dengan wanprestasi dalam satu gugatan, melanggar tata
tertib beracara, atas alasan keduanya harus diselesaikan sendiri. Dalam posita,
gugatan didasarkan atas perjanjian, namun dalam petitum dituntut agar
tergugat dinyatakan melakukan PMH, konstruksi gugatan seperti itu
mengandung kontradiksi, dan gugatan dikategorikan obscuur libel, sehingga
tidak dapat diterima.”
b Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1875 K/Pdt/1984 tanggal
24 April 1986, pada intinya menyatakan :
“Penggabungan gugatan perbuatan melawan hukum dengan perbuatan ingkar
janji (wanprestasi) tidak dapat dibenarkan dalam tata tertib beracara dan
harus diselesaikan secara tersendiri pula.”
Oleh karena Gugatan a quo adalah gugatan yang kabur (obscuur), maka sangat berdasar
hukum apabila Gugatan a quo dinyatakan TIDAK DAPAT DITERIMA (niet ontvankelijk
verklaard);
DALAM POKOK PERKARA :
7 Bahwa hal-hal yang telah diuraikan TERGUGAT dalam bagian Dalam Eksepsi di atas
mohon dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan bagian Dalam
Pokok Perkara ini;
11
Halaman 11 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id8 Bahwa TERGUGAT menolak dengan tegas dalil-dalil PENGGUGAT dalam Gugatan a
quo kecuali yang dengan tegas diakui kebenarannya oleh TERGUGAT dalam Jawaban
a quo;
UNSUR-UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM GUGATAN A QUO
TIDAK JELAS
9 Bahwa TERGUGAT menolak dengan tegas dalil-dalil PENGGUGAT yang menyatakan
bahwa hilangnya barang bagasi PENGGUGAT tersebut adalah karena perbuatan
melawan hukum TERGUGAT, karena dalil tersebut tidak benar dan tidak berdasar
hukum;
10 Bahwa pada dasarnya, suatu perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang karena
kesalahan, kelalaian atau kurang hati-hati, membawa kerugian bagi orang lain, sehingga
mewajibkan si pelaku mengganti kerugian tersebut (vide Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata). Berdasarkan hal tersebut, unsur-unsur perbuatan melawan
hukum antara lain :
• adanya suatu perbuatan;
• perbuatan tersebut melawan hukum;
• adanya kesalahan atau kelalaian atau kurang hati-hati dari si pelaku;
• adanya kerugian bagi korban;
• adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian;
Kutipan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya
untuk mengganti kerugian tersebut”;
11 Bahwa untuk dapat dikatakan suatu perbuatan melawan hukum, selain perbuatan yang
melawan undang-undang, maka perbuatan tersebut harus dapat dibuktikan :
a bertentangan dengan hak orang lain;
b bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri;
c bertentangan dengan kesusilaan;
d bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan
masyarakat yang baik;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal tersebut sejalan dengan Putusan dalam perkara LINDEN BAUM vs COHEN,
dimana terdapat 4 (empat) kriteria perbuatan melawan hukum yang juga menjadi doktrin
dan dianut di Indonesia dalam praktek penegakan hukum sampai sekarang, yaitu :
• Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
• Melanggar hak subyektif orang lain;
• Melanggar kaidah tata susila;
• Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga
masyarakat atau terhadap harta benda orang lain;
12 Bahwa ternyata dalam Gugatan a quo tidak diuraikan sama sekali unsur-unsur perbuatan
melawan hukum yang didalilkan oleh PENGGUGAT telah dilakukan oleh TERGUGAT
dan tidak jelas tindakan-tindakan apa yang dikategorikan sebagai perbuatan melawan
hukum, bertentangan dengan hak orang lain dan melanggar hak subyektif orang lain
ataupun tindakan-tindakan apa yang dapat dikategorikan sebagai kesalahan/kelalaian/
ketidakhati-hatian apa yang telah dilakukan oleh TERGUGAT. Dengan demikian dalil
PENGGUGAT tentang adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
TERGUGAT adalah dalil yang tidak bedasar hukum;
13 Bahwa selanjutnya TERGUGAT menolak dalil PENGGUGAT pada butir 3 dan 13
Gugatan a quo yang mendalilkan telah menderita kerugian atas hilangnya barang-barang
seperti diuraikan dalam Gugatan a quo, karena tidak ada bukti apakah barang-barang itu
memang benar-benar ada dan berada di dalam tas dan berada dalam pesawat
TERGUGAT, seperti yang didalilkan oleh PENGGUGAT. Dengan demikian, karena
tidak dapat dibuktikan adanya barang yang hilang, maka secara hukum kerugian
materiil PENGGUGAT tidak terbukti;
14 Bahwa untuk perbuatan melawan hukum, unsur kerugian adalah salah satu yang unsur
yang utama, sehingga harus tepat apa yang didalilkan agar unsur perbuatan melawan
hukum dapat terpenuhi;
15 Bahwa oleh karena dalam Gugatan a quo tidak dapat dibuktikan unsur-unsur perbuatan
melawan hukum, bertentangan dengan hak orang lain, melanggar hak subyektif orang
lain, serta PENGGUGAT juga tidak membuktikan adanya kerugian, maka secara hukum
tidak terbukti adanya perbuatan melawan hukum yang dituduhkan. Dengan demikian
jelas Gugatan a quo telah disusun dengan sangat tidak cermat;
13
Halaman 13 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id16 Bahwa tidak pernah diuraikannya asas-asas dan unsur-unsur perbuatan melawan hukum
yang didalilkan oleh PENGGUGAT, hal tersebut menyebabkan Gugatan a quo sangat
tidak layak untuk diperiksa, karena pemeriksaan terhadap suatu gugatan yang kabur
akan mengakibatkan dalil yang mendasari gugatan tersebut tidak jelas, bias serta
intepretatif. Yang mana hal ini jelas akan menyulitkan bagi pihak lain dalam perkara
tersebut dalam memberikan tanggapannya dan pada akhirnya akan menyulitkan Majelis
Hakim Yang Terhormat untuk memeriksa dan memberikan pertimbangan, sehingga
dapat dipastikan hasil dari pemeriksaan atas perkara yang demikian tidak akan
memberikan kepastian hukum dan keadilan. Hal ini jelas telah melanggar asas hukum
dalam praktek beracara di Pengadilan, yaitu asas process doelmatigheid (demi
kepentingan bersama);
Dengan demikian, oleh karena TERGUGAT tidak terbukti telah melakukan perbuatan
melawan hukum terhadap PENGGUGAT, maka sangat berdasar hukum apabila Majelis
Hakim Yang Terhormat menolak Gugatan a quo;
NILAI TUNTUTAN YANG DIAJUKAN PENGGUGAT TIDAK PATUT DAN
TIDAK BERDASAR HUKUM
17 Bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas, PENGGUGAT tidak dapat membuktikan
adanya barang yang hilang, sehingga kerugian yang didalilkan PENGGUGAT dalam
Gugatan a quo jelas tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara hukum;
18 Namun kalaupun dianggap ada barang milik PENGGUGAT yang hilang (quod non),
nilai tuntutan ganti kerugian yang diminta oleh PENGGUGAT dalam Gugatan a quo
sangat TIDAK PATUT dan TIDAK BERDASAR HUKUM, karena hubungan hukum
antara TERGUGAT dengan PENGGUGAT bukan hubungan hukum jasa penitipan
barang, melainkan jasa pengangkutan udara, yang mana dalam Perjanjian Pengangkutan
Udara in casu tiket pesawat, telah diatur dengan jelas bahwa tuntutan ganti kerugian
kehilangan bagasi adalah sejumlah maksimum Rp. 20.000 (dua puluh ribu rupiah)
per kilogram untuk setiap penumpang (vide butir 6 huruf c syarat-syarat perjanjian
peraturan dalam negeri yang terdapat dalam tiket pesawat);
Kutipan butir 6 huruf c syarat-syarat perjanjian peraturan dalam negeri yang terdapat
dalam tiket pesawat, adalah :
“Semua tuntutan ganti kerugian harus dapat dibuktikan besarnya yang diderita.
Tanggung jawab terbatas untuk kehilangan dan kerusakan bagasi diterapkan
sejumlah maksimum Rp. 20.000,- (dua puluh ribu) per kilogram”.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id19 Bahwa kalaupun PENGGUGAT tidak merasa tunduk pada ketentuan dalam perjanjian
pengangkutan udara in casu tiket pesawat, maka PENGGUGAT harus tunduk pada
Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan jo. Peraturan Pemerintah No.
40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara (“Undang-Undang Pengangkutan Udara”),
yang menjadi dasar ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pengangkutan udara in casu
tiket pesawat tersebut, dimana telah dengan jelas diatur bahwa ganti rugi untuk
kerugian bagasi kabin karena kesalahan pengangkut dibatasi setinggi-tingginya
Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap penumpang (vide Pasal 44 ayat (2)
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara);
Kutipan Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995, berbunyi:
“Jumlah ganti rugi untuk kerugian bagasi kabin karena kesalahan pengangkut
dibatasi setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap
penumpang”
20 Bahwa dalil PENGGUGAT yang menyatakan bahwa klausul-klausul dalam tiket
pesawat tersebut cacat hukum karena dibuat secara sepihak oleh TERGUGAT, jelas
adalah dalil yang tidak berdasar hukum, karena pencantuman klausul tersebut telah
sesuai hukum dan dibuat tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan mengedepankan
kesetaraan para pihak dalam menjalin hubungan hukum karena PENGGUGAT tidak
pernah dipaksa untuk membeli tiket pesawat pada maskapai penerbangan milik
TERGUGAT dan PENGGUGAT bebas untuk tidak membeli tiket pesawat
TERGUGAT. Oleh karena itu, dengan PENGGUGAT membeli tiket pesawat ini jelas
PENGGUGAT telah setuju untuk terikat pada klausul-klausul dalam tiket pesawat
tersebut, dan perlu menjadi perhatian bahwa klausul ini juga diakui dan dipergunakan
oleh seluruh maskapai penerbangan di Indonesia. Dengan demikian, sangat tidak
berdasar hukum PENGGUGAT mendalilkan bahwa klausul-klausul dalam tiket pesawat
tersebut cacat hukum;
21 Bahwa dalam Gugatan a quo, PENGGUGAT mendalilkan bahwa PENGGUGAT
mengalami kerugian materiil sebesar Rp. 6.799.000,- (enam juta tujuh ratus sembilan
puluh sembilan ribu rupiah), dengan perincian yang dibuat secara sepihak oleh
PENGGUGAT tanpa dapat dibuktikan kebenaran perincian tersebut. Oleh karena
kerugian materiil PENGGUGAT tersebut tidak dapat dibuktikan sama sekali, maka
tuntutan ganti rugi materiil tersebut sangat berdasar hukum untuk ditolak. Hal ini sejalan
dengan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana
15
Halaman 15 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1171 K/Sip/1971
tanggal 2 Juni 1971, yang pertimbangan hukumnya menyatakan:
“Tuntutan ganti rugi yang tidak dijelaskan secara sempurna, rinci, dan jelas, serta
tidak disertai dengan pembuktian yang meyakinkan mengenai jumlah kerugian
haruslah ditolak.”
22 Bahwa di samping tuntutan ganti rugi materiil yang diajukan oleh PENGGUGAT tidak
dapat dibuktikan sama sekali, PENGGUGAT secara tidak pantas dan tidak berdasar
hukum mengajukan tuntutan ganti kerugian imateriil sebesar Rp. 10.000.000.000,-
(sepuluh milyar rupiah) yang notabene tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Jelas
tuntutan tersebut tidak didasari dengan itikad yang baik dan ini jelas menunjukkan
bahwa PENGGUGAT hanya beritikad buruk untuk mencari-cari cara untuk
mendapatkan keuntungan yang secara tidak pantas. Oleh karena itu, sangat berdasar
hukum apabila Majelis Hakim Yang Terhormat menolak tuntutan ganti rugi yang tidak
pantas dan tidak berdasar hukum tersebut;
Oleh karena nilai tuntutan PENGGUGAT tersebut tidak pantas dan tidak berdasar hukum,
maka sangat berdasar hukum apabila Majelis Hakim Yang Terhormat menolak butir 5 dan 6
petitum PENGGUGAT dalam Gugatan a quo;
TUNTUTAN PEMBAYARAN UANG PAKSA (DWANGSOM) TIDAK BERDASAR
HUKUM UNTUK DIKABULKAN
23 Bahwa selanjutnya TERGUGAT juga menolak dengan tegas tuntutan PENGGUGAT
sebagaimana pada butir 15 posita Gugatan a quo dan butir 7 petitum Gugatan a quo,
yang meminta agar TERGUGAT dihukum membayar uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) per hari kepada PENGGUGAT, karena tuntutan
tersebut tidak berdasarkan hukum;
24 Bahwa Gugatan a quo berupa tuntutan pembayaran sejumlah uang, sehingga secara
hukum atas gugatan mengenai tuntutan pembayaran sejumlah uang tidak diperkenankan
adanya tuntutan pembayaran uang paksa (dwangsom). Hal ini sejalan dengan beberapa
Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana yang
terkandung dalam Putusan-Putusan sebagai berikut :
a Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 791 K/Sip/1972 tanggal
28 September 1965, menyatakan :
“Uang paksa (dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar
uang.”
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
b Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 34 K/Sip/1954 tanggal
28 September 1965, menyatakan :
“Tuntutan pembayaran sejumlah uang paksa/dwangsom tidak dapat diterima
karena tidak dijelaskan dasar hukumnya.”;
Oleh karena itu sangat berdasar hukum apabila Majelis Hakim Yang Terhormat menolak
tuntutan pembayaran uang paksa (dwangsom) yang diajukan oleh PENGGUGAT dan
sekaligus menolak butir 7 Petitum Gugatan a quo;
PERMOHONAN SITA JAMINAN TIDAK BERDASAR HUKUM UNTUK
DIKABULKAN
25 Bahwa TERGUGAT menolak dengan tegas permohonan Sita Jaminan yang dimohonkan
oleh PENGGUGAT sebagaimana pada butir 16 posita Gugatan a quo dan butir 8 petitum
Gugatan a quo, karena permohonan Sita Jaminan tersebut tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 227 ayat (1) HIR, yaitu harus ada sangka
yang beralasan bahwa si tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan mencari
akal akan menggelapkan atau melarikan barang-barangnya;
Pasal 227 ayat (1) HIR, berbunyi :
“Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi
belum dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya
belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa
barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan
menjauhkan barang itu dari penagihan hutang, maka atas surat orang yang
berkepentingan Ketua Pengadilan Negeri dapat memberi perintah, supaya disita
barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan
kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan Pengadilan
Negeri yang pertama sesudah itu memajukan dan menguatkan gugatannya”;
26 Bahwa permintaan PENGGUGAT ini jelas sangat tidak masuk akal, karena bagaimana
mungkin dengan adanya tuntutan PENGGUGAT yang tidak berdasar seperti ini,
TERGUGAT akan mengasingkan barang-barangnya in casu tanah dan/atau bangunan
yang terletak di Palazzo Office Park, Jalan Benyamin Sueb Blok A No. A. 11
Kemayoran, yang mana merupakan kantor operasional TERGUGAT. Oleh karena dalam
Gugatan a quo PENGGUGAT tidak dapat menunjukkan adanya sangka/kekhawatiran
bahwa TERGUGAT akan mengasingkan barang-barangnya, maka Sita Jaminan tersebut
tidak berdasar hukum untuk dikabulkan;
17
Halaman 17 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id27 Oleh karena secara materiil Sita Jaminan yang dimohonkan oleh PENGGUGAT tersebut
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 227 ayat (1)
HIR, maka Sita Jaminan yang dimohonkan oleh PENGGUGAT tidak dapat dilakukan.
Hal ini sejalan dengan beberapa Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI yang
terdapat dalam:
a Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 121 K/Sip/1971 tanggal
15 April 1972, yang menyatakan:
“Apabila Penggugat tidak mempunyai bukti yang kuat bahwa adanya
kekhawatiran tergugat akan mengasingkan barang-barangnya, maka sita
jaminan tidak dapat dilakukan”;
b Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 597 K/Sip/1983 tanggal
8 Mei 1984, yang menyatakan:
“Sita Jaminan yang diadakan bukan atas dasar alasan-alasan yang disyaratkan
dalam Pasal 227 ayat (1) HIR tidak dibenarkan”;
Oleh karena itu sangat berdasar hukum apabila Majelis Hakim Yang Terhormat menolak
permohonan sita jaminan yang diajukan oleh PENGGUGAT dan sekaligus menolak butir 8
Petitum Gugatan a quo;
PERMOHONAN PUTUSAN SERTA MERTA SERTA TIDAK BERDASAR HUKUM
28 Bahwa demikian pula TERGUGAT menolak dengan tegas tuntutan PENGGUGAT
sebagaimana pada butir 17 posita Gugatan a quo dan butir 9 petitum Gugatan a quo,
yang meminta agar Putusan a quo dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij
voorraad), karena dalil-dalil PENGGUGAT tidak didasari atas bukti-bukti otentik yang
diakui kebenarannya, yang mana merupakan syarat utama dikabulkannya Putusan Serta
Merta. Hal ini telah diatur dengan tegas dalam Pasal 180 HIR ayat (1) dan butir 4 Surat
Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta
(uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil;
Pasal 180 HIR ayat (1) berbunyi :
“…maka pengadilan negeri itu boleh memerintahkan supaya putusan hakim itu
dijalankan dahulu, jika ada surat sah, suatu surat tulisan yang menurut peraturan
tentang hal itu boleh diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman
lebih dahulu dengan putusan hakim yang sudah menjadi tetap, demikian pula jika
dikabulkan tuntutan dahulu, lagipula di dalam perselisihan tentang hak milik”;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Butir 4 Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta
Merta (uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil berbunyi sebagai berikut :
“Selanjutnya, Mahkamah Agung memberikan petunjuk, yaitu Ketua Pengadilan Negeri,
Ketua Pengadilan Agama, para Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan Agama
tidak menjatuhkan Putusan Serta Merta, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut :
a Gugatan didasarkan pada bukti autentik atau surat tulisan
tangan (handschrift) yang tidak dibantah kebenarannya
tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut Undang-undang
tidak mempunyai kekuatan bukti;
b Gugatan tentang Hutang Piutang yang jumlahnya sudah pasti dan
tidak dibantah;
c Gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gudang, dan lain-
lain, dimana hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau, atau
Penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai Penyewa yang
beritikad baik;
d Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan
(gono gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai
kekuatan hukum tetap;
e Dikabulkannya gugatan Provisionil, dengan pertimbangan hukum
yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv.;
f Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan
dengan pokok gugatan yang diajukan;
g Pokok sengketa mengenai Bezitsrecht;”
29 Bahwa jelas Gugatan a quo tidak didasari pada bukti-bukti otentik yang diakui
kebenarannya, bahkan isi dari bagasi milik PENGGUGAT yang didalilkan oleh
PENGGUGAT dalam Gugatan a quo hanyalah merupakan dalil PENGGUGAT sepihak
saja dan tidak ada siapapun yang mengetahui kebenaran dari isi bagasi tersebut,
sehingga dalil PENGGUGAT mengenai isi dari bagasi milik PENGGUGAT tersebut
tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Oleh karena itu jelas secara hukum permohonan
PENGGUGAT agar Putusan a quo dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij
voorraad) tidak dapat dikabulkan;
19
Halaman 19 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id30 Bahwa di samping Gugatan a quo tidak didasari oleh bukti-bukti otentik yang diakui
kebenarannya, dalam memohon Putusan Serta Merta PENGGUGAT juga tidak dapat
membuktikan adanya kesanggupan untuk memberikan jaminan yang cukup untuk
menjamin tidak timbulnya kerugian TERGUGAT apabila ternyata Putusan Serta Merta
tersebut dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dengan demikian permohonan
Putusan Serta Merta tersebut tidak memenuhi ketentuan butir 7 Surat Edaran Mahkamah
Agung RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (uitvoerbaar bij voorraad) dan
Provisionil jo. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 4 Tahun 2001 Tentang
Permasalahan Putusan Serta Merta (uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil;
Butir 7 Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta
Merta (uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil berbunyi sebagai berikut:
“Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek
eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata
dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan
Tingkat Pertama.”
Kutipan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 4 Tahun 2001 Tentang Permasalahan
Putusan Serta Merta (uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil, berbunyi sebagai
berikut :
“ …, sekali lagi ditegaskan agar Majelis Hakim yang memutus perkara serta
merta hendaknya berhati-hati dan dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan
berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2000
tentang Putusan Serta Merta (uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil terutama
yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan serta merta (uitvoerbaar bij
voorraad) tersebut;
Setiap kali akan melaksanakan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)
harus disertai penetapan sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA No. 3 Tahun
2000 yang menyebutkan :
“Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek
eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata
dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan
Tingkat Pertama”
Tanpa jaminan tersebut, tidak boleh ada pelaksanaan putusan serta merta.”
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.idOleh karena permohonan Putusan Serta Merta yang dimohonkan PENGGUGAT tersebut
tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam Pasal 180 HIR ayat (1) dan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta
(uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil jo. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 4
Tahun 2001 Tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (uitvoerbaar bij voorraad) dan
Provisionil, maka sangat berdasar hukum apabila permohonan Putusan Serta Merta yang
dimohonkan PENGGUGAT ditolak;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini TERGUGAT mohon kepada Yang
Terhormat Majelis Hakim yang mengadili perkara a quo agar berkenan memberikan Putusan
sebagai berikut :
DALAM EKSEPSI :
1 Mengabulkan Eksepsi TERGUGAT untuk seluruhnya;
2 Menyatakan Gugatan PENGGUGAT tidak dapat diterima;
DALAM POKOK PERKARA :
1 Menolak Gugatan PENGGUGAT untuk
seluruhnya;
2 Menghukum PENGGUGAT untuk
membayar biaya perkara;
Atau
Jika Majelis Hakim Yang Terhormat berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono);
Menimbang, bahwa terhadap Jawaban kuasa Tergugat tersebut, Penggugat telah
mengajukan Replik tertanggal 22 Juli 2009, dan atas Replik Penggugat tersebut, kuasa
Tergugat telah mengajukan Dupliknya tertanggal 05 Agustus;
Menimbang, bahwa Penggugat untuk membuktikan dalil gugatannya telah
mengajukan surat bukti berupa foto copy surat-surat yang telah diberi materai cukup, dan
selanjutnya diberi tanda sebagai berikut :
1. P – 1. : Fotocopy Tiket pesawat rute Jakarta - Manokwari, dengan nomor : 626
1100 460 108 6, tanggal 24 Desember 2008;
2. P – 2. : Fotocopy Tanda bukti pengenal bagasi Manokwari XA 06-72-22;
21
Halaman 21 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id3. P – 3. : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Surat Tanda Penerimaan Laporan No. Pol
: STPL/06/01/2009/SPK III, Tanggal 27 Januari 2009;
4. P – 4. : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Surat Tanda Penerimaan No. Pol :
STP/09/II/2009/Reskrim, tanggal 07 Pebruari 2009;
5. P – 5. : Fotocopy sesuai dengan fotocopy Surat Penggugat kepada Tergugat,
tanggal 13 Januari 2009, Hal : Somasi ;
6. P – 6. : Fotocopy sesuai Fax Surat jawaban Tergugat kepada Penggugat, tanggal 15
Januari 2009, Hal : Jawaban atas somasi;
7. P – 7. : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Kliping koran harian “Cahaya Papua”,
tanggal 29 Januari 2009;
8. P – 8. : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Kliping koran harian “Media Papua”,
tanggal 29 Januari 2009;
9. P – 9. : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Kliping koran harian “Radar Sorong”,
tanggal 4 Maret 2009;
10. P – 10. : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Kliping koran harian “Media Papua”,
tanggal 4 Maret 2009;
11. P – 11. : Fotocopy dari hasil print-out Undang-Undang R.I. No. 8 tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen;
Menimbang, bahwa surat bukti P.3, P.4, P.5, P.7, P.8, P.9, P.10, di depan
persidangan telah dicocokan, ternyata sesuai dengan aslinya, sedangkan bukti P.1, P.2, P.5,
P.6, P.7, P.8, P.9 dan P.11 hanya berupa foto copy dan Penggugat tidak dapat menunjukkan
aslinya di depan persidangan;
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil sangkalannya, kuasa Tergugat telah
mengajukan bukti berupa foto copy surat yang telah diberi materai cukup dan dicocokkan
sesuai dengan aslinya, selanjutnya diberi tanda sebagai berikut :
1. Bukti T – 1a : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Akta Pendirian PT. TRAVEL
EXPRESS AVIATION SERVICES Nomor 1 tanggal 2 Oktober 2002,
dibuat di hadapan Ny. Pudji Redjeki Irawati, SH., Notaris di Jakarta;
Bukti T – 1b : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Keputusan Menteri Kehakiman Dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: C-23065
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
HT.01.01.TH.2002 Tentang Pengesahan Akta Pendirian Perseroan
Terbatas PT. TRAVEL EXPRESS AVIATION SERVICES;
Bukti T – 1c : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Akta Risalah Rapat Umum Luar
Biasa Para Pemegang Saham PT. TRAVEL EXPRESS AVIATION
SERVICES Nomor 111 tanggal 22 Juli 2005, dibuat di hadapan Ny.
Pudji Redjeki Irawati, SH., Notaris di Jakarta;
Bukti T – 1d : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Akta Risalah Rapat Umum Luar
Biasa Para Pemegang Saham PT. TRAVEL EXPRESS AVIATION
SERVICES Nomor 74 tanggal 30 April 2009, dibuat di hadapan Ny.
Pudji Redjeki Irawati, SH., Notaris di Jakarta;
Bukti T – 1e : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Keputusan Menteri Hukum Dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-30332.AH.01.02.
Tahun 2009 Tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar
Perseroan PT. TRAVEL EXPRESS AVIATION SERVICES;
2. Bukti T – 2 : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Tiket Pesawat PT. TRAVEL
EXPRESS AVIATION SERVICES;
3. Bukti T – 3a : Fotocopy Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan;
Bukti T – 3b : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun
1995 Tentang Angkutan Udara;
4. Bukti T – 4a : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Tiket Pesawat Sriwijaya Air;
Bukti T – 4b : Fotocopy sesuai dengan Aslinya Tiket Pesawat Lion Air;
Menimbang, bahwa surat bukti T-1a s/d T.xxx di depan persidangan telah dicocokan,
ternyata sesuai dengan aslinya, sedangkan bukti T-3a hanya berupa foto copy dan Tergugat
tidak dapat menunjukkan aslinya di depan persidangan;
Menimbang, bahwa selanjutnya baik Penggugat maupun Tergugat telah mengajukan
Kesimpulan masing-masing tertanggal 16 September 2009;
Menimbang, bahwa segala sesuatu yang terjadi di persidangan telah tercatat secara
lengkap dalam berita acara sidang, untuk mempersingkat putusan ini segala yang termaktub
dalam berita acara sidang dianggap sebagai bagian dan menjadi dengan putusan ini;
Menimbang, bahwa setelah kedua belah pihak menyatakan sudah tidak akan
mengajukan sesuatu apapun lagi, selanjutnya mohon putusan;
23
Halaman 23 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA :
DALAM EKSEPSI
Menimbang, bahwa atas gugatan a quo, Tergugat telah mengajukan eksepsi yang
pada pokoknya sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi Tergugat tidak menyangkut masalah
kompetensi/kewenangan mengadili, baik relatif maupun absolut, maka berdasarkan Pasal
136 HIR, eksepsi tersebut harus diputus bersama-sama pokok perkaranya;
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim meneliti dengan seksama materi eksepsi
Tergugat, maka dapat diketahui bahwa eksepsi Tergugat tersebut adalah tentang Gugatan
Penggugat kabur (Obscuur Libel);
Menimbang, bahwa Penggugat dalam gugatan a quo telah mendasarkan hubungan
hukumnya dengan Tergugat berdasarkan tiket pesawat, oleh karena itu sudah seharusnya
gugatan a quo adalah gugatan wanprestasi, bukan Perbuatan Melawan Hukum, namun
demikian dalam gugatan a quo Penggugat telah merumuskannya dengan dalil-dalil
Perbuatan Melawan Hukum;
Menimbang, bahwa gugatan yang mencampuradukkan antara hubungan hukum yang
didasari dengan suatu perjanjian dengan hubungan hukum yang terjadi karena adanya
Perbuatan Melawan Hukum adalah merupakan gugatan yang kabur (obscuur) dan oleh
karenanya Tergugat mohon kepada Majelis Hakim agar gugatan a quo dinyatakan tidak
dapat diterima;
Menimbang, bahwa terhadap eksepsi Tergugat tersebut Majelis Hakim akan
mempertimbangkannya sebagai berikut;
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim meneliti dengan seksama materi gugatan
a quo ternyata bahwa peristiwa yang menjadi dasar gugatan a quo adalah kelalaian Tergugat
menyerahkan kembali barang bagasi milik Penggugat setibanya ditempat tujuan yang
mengakibatkan hilangnya bagasi milik Penggugat setelah mempergunakan jasa penerbangan
dengan rute Jakarta-Manokwari yang dikelola/dioperasionalkan oleh Tergugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan peristiwa yang menjadi dasar gugatan tersebut,
maka dalil Perbuatan Melawan Hukum dalam gugatan a quo adalah sudah tepat dan benar,
sedangkan pembelian tiket pesawat sebagaimana didalilkan Tergugat dalam eksepsinya
hanyalah merupakan rangkaian dari Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana didalilkan
oleh Penggugat;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka eksepsi Tergugat
haruslah dinyatakan ditolak;
DALAM POKOK PERKARA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat pada pokoknya adalah
sebagaimana terurai di atas;
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim meneliti dengan seksama materi gugatan
a quo, maka dapat diketahui bahwa materi pokok gugatan a quo adalah berupa permohonon
Penggugat agar Tergugat dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum, karena
kelalaiannya menyerahkan kembali barang bagasi milik Penggugat setibanya ditempat
tujuan yang menyebabkan hilangnya bagasi miliki Penggugat setelah mempergunakan jasa
penerbangan dengan rute Jakarta – Manokwari yang dikelola/dioperasionalkan oleh
Tergugat;
Menimbang, bahwa atas gugatan a quo, Tergugat memberikan jawaban/ sangkalan/
bantahan yang pada pokoknya adalah bahwa hilangnya bagasi milik Penggugat bukan
merupakan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Tergugat;
Menimbang, bahwa oleh karena gugatan a quo dibantah oleh Tergugat, maka
Penggugat dibebani kewajiban pembuktian dan untuk keperluan itu telah diajukan bukti
surat bertanda P-1 sampai dengan P- 11, sedangkan untuk menguatkan dalil jawaban/
sangkalan/bantahannya, Tergugat telah mengajukan bukti surat bertanda T-1 sampai dengan
T-4;
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil gugatan, jawaban, replik dan duplik serta bukti
surat yang diajukan oleh Penggugat maupun Tergugat, Majelis Hakim terlebih dahulu akan
membuktikan, apakah benar Penggugat adalah Penumpang sekaligus pemilik bagasi jasa
penerbangan dengan rute Jakarta-Manokwari yang dikelola/dioperasionalkan oleh
Tergugat ?
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P-1 dan P-2, yang berupa Tiket dengan
Nomor : 626 1100 460 108 6 tanggal 24 Desember 2009 dan tanda bukti pengenal bagasi
Nomor : XA 06-72-22, telah terbukti bahwa Penggugat adalah penumpang sekaligus pemilik
bagasi dalam penerbangan dengan rute Jakarta-Manokwari yang dikelola/dioperasionalkan
oleh Tergugat;
Menimbang, bahwa kemudian akan dipertimbangakan, apakah benar Tergugat tidak
dapat mengembalikan bagasi milik Penggugat setibanya ditempat tujuan hingga
menyebabkan hilangnya bagasi milik penggugat ?
25
Halaman 25 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa oleh karena dalil gugatan a quo tidak dibantah kebenarannya
oleh Tergugat, maka perbuatan Tergugat yang tidak dapat menyerahkan bagasi milik
Penggugat dan menyebabkan hilangnya bagasi milik Penggugat adalah merupakan sebuah
fakta hukum;
Menimbang, bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan, apakah benar Tergugat telah
melakukan Perbuatan Melawan Hukum sehubungan dengan hilangnya bagasi milik
Penggugat ?
Menimbang, bahwa Perbuatan Melawan Hukum pada awalnya didefinisikan sebagai
sebuah perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan saja, akan
tetapi sejak adanya Arrest 1919 dalam kasus Lindebaum VS Cohen, pengertian Perbuatan
Melawan Hukum mengalami pergeseran, yakni suatu perbuatan yang walaupun tidak
bertentangan dengan undang-undang sudah dianggap sebagai Perbuatan Melawan Hukum
apabila ternyata bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat;
Menimbang, bahwa dalam perkembangannya menurut doktrin dan yurisprodensi,
suatu perbuatan dipandang sebagai Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1365 KUH Perdata apabila memenuhi salah satu kriteria atau unsur sebagai
berikut :
1. Perbuatan tersebut melanggar hak subyektif orang lain; atau;
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; atau;
3. Melanggar kesusilaan; atau;
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki
seseorang dalam pergaulan sesama warga;
Menimbang, bahwa oleh karena bersifat alternatif, maka suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum cukup apabila salah satu ktriteria
terpenuhi dalam perbuatan tersebut atau dengan kata lain tidak harus seluruh unsur
terpenuhi;
Menimbang, bahwa bertitik tolak dari doktrin dan yurisprodensi di atas, Majelis
Hakim berpendapat bahwa kelalaian Tergugat mengembalikan bagasi milik Penggugat
setibanya ditempat tujuan yang mengakibatkan hilangnya bagasi milik Penggugat tersebut
dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum karena bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku (Tergugat), yakni sebagai pengelola jasa penerbangan harus
menjamin keberadaan bagasi serta mengembalikan bagasi kepada para penumpang tersebut
sesampainya di tempat tujuan;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat telah dinyatakan terbukti melakukan
Perbuatan Melawan Hukum, maka petitum Penggugat No. 2 dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa terhadap petitum Penggugat No. 3 Majelis Hakim
mempertimbangkan bahwa petitum tersebut secara implisit sudah dipertimbangkan bahwa
bagasi penumpang (Penggugat) yang dititipkan kepada Tergugat (Vide bukti P-2) adalah
menjadi tanggung jawab Tergugat sepenuhnya, termasuk hilangnya bagasi tersebut dan oleh
karenanya petitum No. 3 juga harus dikabulkan;
Menimbang, bahwa terhadap petitum Penggugat No. 4 Majelis Hakim
mempertimbangkan bahwa oleh kesepakatan dimaksud dibuat sesuai dengan ketentuan
peraturan pengangkutan udara serta telah disetujui kedua belah pihak, Tergugat (selaku
pengelola jasa penerbangan) dengan Penggugat (selaku penumpang), maka kesepakatan
sebagaimana tertuang dalam Syarat-syarat Perjanjian Peraturan Dalam Negeri butir 6.c tetap
sah menurut hukum dan oleh karenanya petitum Penggugat No. 4 harus dinyatakan ditolak;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan ganti rugi materiil sebagaimana tertuang
dalam petitum Penggugat No. 5, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa oleh karena
tidak terdapat alat bukti yang dapat membuktikan rincian barang yang hilang sebagaimana
didalilkan oleh Penggugat, maka dengan mengacu pada Syarat-syarat Perjanjian Peraturan
Dalam Negeri butir 6.c (bukti surat T-2, T-4a dan T-4b), ganti rugi terhadap bagasi yang
hilang tersebut diperhitungkan sebesar Rp. 20.000,- (Dua Puluh Ribu Rupiah) per kilogram;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P-2, ternyata bahwa berat bagasi
Penggugat adalah 7 (Tujuh) kilogram, oleh karenanya ganti rugi terhadap bagasi milik
Penggugat yang hilang tersebut adalah 7 x Rp. 20.000,- (Dua Puluh Ribu Rupiah) = Rp.
140.000,- (Seratus Empat Puluh Ribu Rupiah) dan berdasarkan pertimbangan tersebut maka
petityum Penggugat No. 5 dapat dikabulkan sebagian;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan ganti rugi moriil/immaterial sebagaimana
tertuang dalam petitum Penggugat No. 6, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa sesuai
dengan status sosial Penggugat serta kepentingan Penggugat ketika mempergunakan jasa
penerbangan rute Jakarta-Manokwari yang dikelola/dioperasionalkan oleh Tergugat serta
kondisi perusahaan jasa penerbangan yang dikelola/dioperasionalkan oleh Tergugat, maka
adil kiranya ganti rugi tersebut ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah) dan
dengan pertimbangan tersebut maka petitum Penggugat No. 6 dapat dikabulkan sebagian;
Menimbang, bahwa terhadap petitum Penggugat No. 7 yang berupa tuntutan
pembayaran uang paksa (dwangsom) dari Tergugat kepada Penggugat, Majelis Hakim
27
Halaman 27 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.idmempertimbangkan bahwa oleh karena tuntutan tersebut tidak berdasarkan hukum maka
harus dinyatakan ditolak;
Menimbang, bahwa terhadap petitum Penggugat No. 8, Majelis Hakim
mempertimbangkan bahwa oleh karena selama persidangan berlangsung tidak pernah
diletakkan sita jaminan (Conservatoir Beslag) terhadap harta benda milik Tergugat baik
bergerak maupun tidak bergerak, maka petitum tersebut juga harus dinyatakan ditolak;
Menimbang, bahwa terhadap petitum Penggugat No. 9, Majelis Hakim
mempertimbangkan bahwa oleh karena tidak ada alasan hukum untuk melaksanakan
putusan perkara ini dengan serta merta (Uit Voerbaar Bij Voraad), maka petitum tersebut
harus dinyatakan ditolak juga;
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Penggugat berhasil
membuktikan sebagian besar/dalil pokok gugatannya dan berada pada pihak yang
dimenangkan perkaranya dan sebaliknya Tergugat berada pada pihak yang dikalahkan
perkaranya, sehingga Tergugat harus dibebani beaya yang timbul dalam perkara ini;
Menimbang, bahwa terhadap bukti surat yang tidak relevan dengan pembuktian
perkara ini, maka haruslah dikesampingkan;
Memperhatikan Pasal 1365 KUH Perdata serta peraturan lain yang bersangkutan
dengan perkara ini;
M E N G A D I L I :
DALAM EKSEPSI :
- Menolak eksepsi Tergugat ;
DALAM POKOK PERKARA :
1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
1 Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang merugikan
Penggugat;
2 Menyatakan secara hukum bahwa selama bagasi milik Penggugat berada dalam
penitipan yang dikelola oleh Tergugat adalah merupakan tanggungjawab Tergugat
sepenuhnya atas telah terjadinya kehilangan;
3 Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materiil kepada Penggugat
sebesar Rp. 140.000,- (seratus empat puluh ribu rupiah);
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
4 Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi moril/immateriil kepada
Penggugat sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah);
5 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara, yang hingga kini
diperhitungkan sebesar Rp.161.000,- (seratus enam puluh satu ribu rupiah);
6 Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
Demikian diputusan pada hari Senin, tanggal 26 September 2009 dalam Rapat
Permusyawaratan Majelis Hakim yang terdiri dari NANI INDRAWATI, SH, M.Hum
selaku Ketua Majelis. H. DASNIEL, S.H dan JUPRIYADI, S.H, M.Hum masing-
masing selaku Hakim Anggota Majelis. Putusan tersebut pada hari : RABU, Tanggal 30
SEPTEMBER 2009 diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Ketua
Majelis didampingi oleh Kedua Hakim Anggota Majelis tersebut, dengan dibantu oleh :
LUKMAN HAKIM, SH, Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Kuasa Hukum Penggugat
dan Kuasa Hukum Tergugat.-
HAKIM – HAKIM ANGGOTA HAKIM KETUA MAJELIS tsb,
t.t.d t.t.d
H. D A S N I E L, SH NANI INDRAWATI, SH. M.Hum
t.t.d Panitera Pengganti tsb,
JUPRIYADI, SH. M.Hum t.t.d
LUKMAN HAKIM, SH
Biaya-biaya :PNBP……………… Rp. 30.000,-Redaksi…………… Rp. 5.000,-Materai……………. Rp. 6.000,-Panggilan…………. Rp.120.000,-J u m l a h,,,,,,,,,,,,,,. Rp.161.000,-
29
Halaman 29 dari halaman 29 Putusan No.172/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29
Top Related