PERANAN KUNJUNGAN KELUARGA
DALAM UPAYA UNTUK MENINGKATKAN IMAN KELUARGA KATOLIK
DI STASI ST. PAULUS PRINGGOLAYAN
PAROKI ST. YUSUP BINTARAN YOGYAKARTA
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Aloysia Paskela Squera
NIM: 041124030
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA i YOGYAKARTA 2010
ii
iii
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini,saya persembahkan bagi:
Para Suster Puteri Reinha Rosari (PRR) Regio Se-jabatan,
dan kepada keluarga katolik di Stasi St. Paulus Pringgolayan
Paroki St. Yusup Bintaran.
v
vi
vii
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul: ”PERANAN KUNJUNGAN KELUARGA DALAM UPAYA UNTUK MENINGKATKAN IMAN KELUARGA KATOLIK DI STASI ST. PAULUS PRINGGOLAYAN, PAROKI ST. YUSUP BINTARAN, YOGYAKARTA”. Penulisan skripsi ini berawal dari keprihatinan penulis akan situasi para suster PRR komunitas Yogyakarta yang kurang mau terlibat dalam kegiatan kunjungan keluarga, baik di lingkungan tempat tinggal, maupun lingkungan stasi. Para suster cenderung sibuk dengan tugas studi tanpa mau peduli dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Para suster kurang peduli dengan kegiatan-kegiatan hidup menggereja, bahkan sangat jarang meluangkan waktu khusus untuk terlibat didalamnya.
Skripsi ini akan menguraikan upaya untuk melibatkan para suster PRR komunitas Yogyakarta sebagai tenaga pastoral dalam hidup menggereja melalui kegiatan kunjungan keluarga. Kunjungan keluarga adalah salah satu bentuk pastoral yang merupakan sarana yang cocok bagi para suster untuk membantu keluarga dalam meningkatkan kesadaran orang tua dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka dalam keluarga, sehingga anak-anak memperoleh pendidikan yang layak dalam keluarga. Adapun hipotesis penelitian ini adalah, Ho tidak ada perbedaan kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam keluarga sebelum dan sesudah kegiatan kunjungan keluarga, H1 ada perbedaaan kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman sebagai yang pertama dan utama dalam keluarga sebelum dan sesudah kegiatan kunjungan keluarga.
Penulis mengkaji masalah ini dengan menggunakan metode deskripsi analitis dan penelitian yang berbentuk eksperimen prates dan postes satu kelompok tanpa kontrol. Artinya penulis menggambarkan uji lapangan dan menganalisis permasalahan sehingga ditemukan jalan pemecahannya. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga-keluarga katolik di lingkungan Maria Ratu Rosari. Teknik pengambilan sampel bersifat populatif (N) 30 keluarga. Data yang diperoleh dengan menggunakan angket dan wawancara. Pengembangan instrumen terhadap masalah yang dibahas dalam penelitian ini menggunakan uji coba terpakai dengan validitas antara 0,3 sampai 0,7 dan reliabilitas 0,961.
Dari hasil penelitian yang diperoleh sebelum kegiatan kunjungan keluarga (prates) dengan jumlah responden (N) 30 memiliki nilai rata-rata (mean) 88,1333, sedangkan setelah kegiatan kunjungan keluarga (postes) dengan jumlah responden (N) 30 memiliki nilai rata-rata (mean) 131,2667. Ada perbedaaan nilai rata-rata antara prates dan postes sebesar -43,1334, perbedaan ini disebabkan oleh adanya kegiatan kunjungan keluarga. Dari Paired Sample Statistics diperoleh angka signifikansi 0,000 atau lebih besar dari 0,05, maka Ho ditolak dan H1 diterima. Dengan kata lain ada perbedaaan kesadaran yang signifikan antara sebelum dan sesudah kegiatan kunjungan keluarga. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan disarankan agar kunjungan keluarga terus dilaksanakan.
ix
ABSTRACT
This thesis entitles: “THE ROLE OF FAMILY VISITS IN EFFORTS TO
INCREASE THE FAITH OF CATHOLIC FAMILIES IN THE STATION OF SAINT PAUL OF PRINGGOLAYAN OF ST. JOSEPH'S PARISH BINTARAN YOGYAKARTA". The title is chosen based on the concerns of the author of the family atmosphere that is less conscious of the duties and responsibilities as first and foremost faith educators of children in the family. Fundamental problem of this thesis is how to help the parents to raise awareness in carrying out their duties and responsibilities in families, so children get proper education in the family.
The development is a process forward where the development of one's personality can experience changes in psychological or mental in the process of growing up. Faith development of children in families is affected by education. Family visits as a form of pastoral becomes a process of helping families to develop more faith in living his faith to become mature, independent and responsible and creative in the true faith. Activity family visit can affect the awareness, attitudes and knowledge of parents in the faith. The hypothesis of this research is, H0 means there is no difference of parents’ awareness in the education of faith as an first and foremost educator in the family before and after the activities of family visits, while H1 means there will be differences in parents' awareness of the role of faith education as the first and foremost educators in the family before and after activity of family visit.
The author studied this problem by using the method of analytical description and experimental research pre and paschal test without control groups. This means that the author describes the field tests and analyzes the problems to find a way to solve them. Population in this research is the Catholic families in the neighborhood of Mary Queen of the Rosary. Sampling techniques are (N) 30 families. Data is obtained by using questionnaires and interviews. Development of instruments of the problems discussed in this study uses a test used with validity between 0.3 to 0.7 and 0.961 of reliability.
From the research results obtained prior to family visit (pretest) with the number of respondents (N) 30 has an average value (mean) 88.1333, while after the activity of family visit (paschal test) with the number of respondents (N) 30 has an average value ( the mean) 131.2667. There are differences in the average value between paschal test for prates and -43.13333. This difference is caused by the activities of a family visit. Sample Test of the paired figures obtained significance 0.000 or greater than 0.05, then H0 rejected and H1 accepted. In other words there is a significant difference in awareness between before and after activity of family visit. Based on the research that has been conducted, the activity of family visit should be done in order to enhance parents' awareness of the role and responsibilities as first and foremost educators of faith of children in the faith education of their children in the family.
x
KATA PENGANTAR
Syukur dan pujian kepada Allah Bapa yang Maha Baik yang telah berkenan
melimpahkan rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul Peranan Kunjungan Keluarga dalam Upaya Untuk Meningkatkan Iman
Keluarga Katolik di Stasi Santo Paulus Pringgolayan ini.
Penulisan skripsi ini dimaksud sebagai salah satu sumbangan bagi para
keluarga-keluarga Katolik dalam meningkatkan kunjungan keluarga. Di samping itu
skripsi ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Pendidikan Kekhususan
Pendidikan Agama Katolik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, perhatian serta
keterlibatan, baik langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Maka
perkenankanlah penulis menghaturkan terima kasih kepada:
1. Bapak F.X. Dapiyanta, SFK, M. Pd, selaku Dosen Pembimbing Utama yang dengan
setia dan penuh kesabaran hati memberi pengarahan, semangat dan dorongan
sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Rm. Drs. M. Sumarno Ds, S.J, M.A. selaku Dosen Pembimbing Akademik dan
sekaligus Dosen Penguji II, yang dengan caranya sendiri mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Rm. Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J, selaku ketua Program Studi Ilmu Pendidikan
Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, sekaligus Dosen Penguji III yang selalu
mendukung dan menyediakan waktu bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Staf Dosen dan Karyawan Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Katolik
Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik, membimbing dan membekali
pengetahuan dan teladan yang bermanfaat dan yang mendorong penulis untuk
menyusun skripsi ini.
5. Pemimpin Regio Se-jabatan beserta dewannya dan segenap suster PRR, yang telah
memberi kesempatan dan kepercayaan pada penulis untuk menimba Ilmu
Pengetahuan di Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Agama Katolik
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
xi
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………...
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………...
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………
MOTTO………………………………………………………………………...
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………………….
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS…………………………
ABSTRAK………………………………………………………………...…
ABSTRACT....................................................................................................
KATA PENGANTAR………………………………………………...........
DAFTAR ISI……………………………………………………………….
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………..........
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………
A. Latar Belakang Penulisan………………………………………….
B. Identifikasi Masalah……………………………………………….
C. Batasan Masalah……………………………………………………
D. Rumusan Permasalahan………………………………………….....
E. Tujuan Penulisan……………………………………………………
F. Manfaat Penulisan…………………………………………………..
G. Metode Penulisan…………………………………………………..
H. Sistematika Penulisan……………………………………………….
BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS………………………….
A. Kajian Pustaka………………………………………………………
1. Pastoral……………………………………………………………
a. Pengertian Pastoral…………………………………………….
b. Ciri Khas dan Tujuan Pastoral…………………………………
c. Bentuk-bentuk Pastoral………………………………………..
2. Kunjungan Keluarga sebagai salah satu bentuk Pastoral…………
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix
x
xii
xiii
1
1
7
7
8
8
8
9
9
11
11
11
11
24
30
34
xiii
a. Pengertian Kunjungan keluarga………………………………..
b. Maksud dan Tujuan Kunjungan Keluarga……………………..
c. Manfaat Kunjungan Keluarga…………………………………
d. Model-model Kunjungan Keluarga……………………………
e. Metode-metode Kunjungan Keluarga…………………………
f. Sasaran Kunjungan Keluarga………………….........................
g. Proses Kunjungan Keluarga…………………………………..
h. Pelaksanaan Kunjungan Keluarga……………………………..
3. Perkembangan Iman Keluarga……………………………………
a. Pengertian Iman……………………………………………….
b. Perkembangan Iman…………………………………………..
c. Keluarga Yang Berkembang Imannya………………………..
4. Upaya yang Dilakukan Para Suster dalam Pastoral…………..
a. Usaha Melibatkan Suster PRR dalam Pastoral………………..
b. Usaha Mengutamakan Sesama yang Lemah dan tertekan…….
B. Penelitian Yang Relevan……………………………………….. …..
C. Kerangka Pikir………………………………………………………
D. Hipotesis………………………………………………………….....
BAB III. METODE PENELITIAN………………………………………….
A. Jenis Penelitian………………………………………………………
B. Desain Penelitian…………………………………………………….
C. Tempat Dan Waktu Penelitian………………………………………
D. Populasi Penelitian Dan Sampel………………………………….....
E. Metode Pengumpulan Data………………………………….. ……..
1. Variabel…………………………………………………………...
2. Definisi Operasional Variabel………………………………….....
3. Instrumen Penelitian………………………………………………
34
37
43
45
46
47
48
49
50
50
52
55
71
71
73
73
73
77
78
78
78
79
79
80
80
80
81
xiv
4. Kisi- kisi Indikator……………………………………………….
5. Pengembangan Instrumen…………………………….….............
6. Teknik Analisis Data……………………………………………..
BAB IV. LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Laporan Hasil Penelitian…………………………………………….
1. Deskripsi Data Perkembangan Iman Sebelum Kegiatan
Kunjungan keluarga……………………………………………...
2.Deskripsi Data Perkembangan Iman Keluarga Sesudah Sesudah
Kegiatan Kunjungan Keluarga…………………………………….
B. Uji Hipotesis dengan Uji T………………………………………....
C. Pembahasan Hasil Penelitian………………………………………..
D.Keterbatasan Penelitian………………………………………………
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………….
A. Kesimpulan………………………………………………………….
B. Saran…………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...........
LAMPIRAN………………………………………………………………….
Lampiran 1 : Surat Ijin Penelitian…………………………………..........
Lampiran 2: Angket untuk Penelitian…………………………………..
Lampiran 3 : Pedoman Wawancara……………………………..............
Lampiran 4: Usulan Program Kunjungan Keluarga………………….....
Lampiran 5: Hasil Angket Sebelum Kunjungan Keluarga………………
Lampiran 6: Hasil Angket Sesudah Kunjungan Keluarga………............
82
83
85
87
87
88
100
112
113
116
119
119
121
122
124
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
xv
DAFTAR SINGKATAN
A. DAFTAR SINGKATAN KITAB SUCI
Seluruh Singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini diambil dari Alkitab,
Lembaga Alkitab Indonesia, 1987.
KS : Kitab Suci
Mat : Matius
Mark : Markus
Luk : Lukas
Yoh : Yohanes
B. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA
AA : Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang kerasulan
Awam.
UR : Unitatis Redintegratio, Konsili Dogmatis tentang Ekumenisme.
FC : Familiaris Consertio.
KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia.
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex iuris canonici).
DV : Dei Verbum.
KV : Konsili Vatikan
GE : Gravissimum educationis.
KGK : Katekismus Gereja Katolik
C. DAFTAR SINGKATAN YANG LAIN
Art : Artikel
Dll : Dan lain-lain
MAWI : Majelis Agung Wali Gereja Indonesia
xvi
PIA : Pendampingan Iman Anak
KAS : Keuskupan Agung Semarang
HP : Hand Phone
KK : Kepala Keluarga
ST : Santu
HAL : Halaman
D. SINGKATAN DALAM PENELITIAN
H0 : Hipotesis Nol
H1 : Hipotesis Kerja
SPSS : Statistical Product and Service Solution
Std : Standard
Sig : Signifikansi
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini akan diuraikan tentang latar belakang, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penulisan, dan sistematika penulisan.
A. Latar Belakang Penulisan
Penulisan skripsi ini berawal dari keprihatinan penulis terhadap suasana keluarga
yang kurang sadar terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik iman anak
yang pertama dan utama dalam keluarga. Persoalan mendasar dari skripsi ini adalah
bagaimana membantu para suster dan keluarga untuk meningkatkan keterlibatan mereka
dalam kegiatan kunjungan keluarga, baik di lingkungan tempat tinggal maupun di
lingkungan paroki. Para suster cenderung sibuk dengan tugas studi tanpa mau peduli
dengan kegiatan-kegiatan hidup menggereja, bahkan sangat jarang meluangkan waktu
khusus untuk kunjungan keluarga. Pada kenyataannya para suster komunitas kurang
banyak terlibat dalam kegiatan kunjungan keluarga, baik di lingkungan tempat tinggal,
maupun di lingkungan paroki.
Kunjungan keluarga merupakan salah satu bentuk pastoral yang diselenggarakan
oleh Paroki atau Gereja dalam usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan iman
keluarga katolik. Melalui kegiatan kunjungan keluarga yang diselenggarakan oleh para
suster ini, diharapkan agar keluarga tidak hanya mengerti ajaran-ajaran Kristus, tetapi
juga mereka dapat mengikuti dan meneladani ajaran-ajaran Kristus itu sendiri dalam
kehidupan keluarga setiap hari, sehingga iman mereka berkembang menjadi dewasa dan
bertanggungjawab.
2
Budyapranata (1994:11) mengatakan bahwa, dewasa ini banyak keluhan yang
muncul berkaitan dengan kenyataan bahwa para biarawan-biarawati dulu dan sekarang
ada perbedaan. Biarawan-biarawati dulu rajin berkunjung ke rumah umat dan memiliki
jadwal kunjungan yang tetap setiap bulan sehingga mereka mengenal semua umatnya
(Abineno:1967:20). Sedangkan biarawan-biarawati sekarang cara berpastoralnya sudah
lain, mereka tidak lagi mengenal semua umat dan hanya berkunjung ke rumah keluarga
tertentu saja. Hal ini pun juga bisa dipahami, karena umat semakin bertambah, urusan
semakin banyak dan pelayanan pastoral lainnya makin lama makin bertambah pula
karena itu para biarawan-biarawati sibuk dengan tugas belajar dan tugas lainnya,
sehingga kesulitan untuk mengatur jadwal kunjungan ke rumah umat. Namun demikian,
tidak berarti bahwa kunjungan keluarga oleh para suster itu tidak lagi. Bagaimanapun
juga kunjungan tetap perlu, bahkan kunjungan keluarga masih tetap sebagai syarat
utama membangun Gereja sebagai paguyuban beriman.
Berdasarkan pengalaman kunjungan menunjukkan bahwa kebanyakan umat
masih mengharapkan kunjungan dari kaum biarawan-biarawati, dan hanya sedikit yang
mengharapkan dari sesama warga. Hal ini merupakan kenyataan, karena kunjungan
awam kepada awam di dalam Gereja katolik masih sangat asing dan belum
memasyarakat. Kecendrungan umat menantikan kunjungan dari kaum biarawan-
biarawati itu disebabkan oleh banyak alasan, antara lain karena adanya pemahaman
yang kurang benar mengenai peranan kaum biarawan-biarawati, dan adanya gambaran
yang salah mengenai kunjungan itu sendiri. Gereja belum dipandang sebagai suatu
hidup persaudaraan, tetapi masih dianggap sebagai suatu organisasi besar, di mana
kaum biarawan-biarawati sebagai pimpinan yang harus mencari dombanya. Maka
Gereja atau Pastor mempunyai kewajiban untuk mengunjungi umatnya.
3
Dari pengamatan penulis selama ini, para suster kurang terlibat. Hal ini dapat
dilihat dari keaktifan para suster dalam mengikuti berbagai kegiatan di lingkungan
tempat tinggal dan Gereja. Hanya beberapa suster saja yang termasuk aktif serta
semangat dalam mengadakan kunjungan keluarga. Dalam mengadakan kegiatan
kunjungan keluarga baik di lingkungan tempat tinggal maupun di Gereja, ada juga
suster yang jarang mau terlibat dan ikut dalam kegiatan tersebut, misalnya kunjungan
keluarga, pendalaman iman, doa bersama, latihan koor, dan kegiatan lainnya yang di
adakan di dalam lingkungan. Para suster selalu menggunakan kedoknya sebagai suster
student yang selalu sibuk yang tidak mau dilibatkan dalam setiap kegiatan. Pada hal itu
sangat penting guna menambah pengalaman dan ketrampilan dalam mempersiapkan diri
sebagai tenaga pastoral yang dapat diandalkan pada jaman yang semakin maju ini.
Manfaat lain yang bisa dirasakan jika mau terlibat dalam kegiatan kerasulan
dengan siapa saja, serta membuat diri lebih peka terhadap situasi dan kondisi yang ada
di sekitar. Hal ini sungguh merupakan kesempatan untuk melatih diri untuk mengemban
tugas sebagai tenaga pastoral.
Figur seorang biarawan-biarawati yang aktif, bersahabat serta solider akan selalu
dinanti dan diharapkan oleh umat. Keterlibatan para suster di setiap lingkungan dapat
membantu para suster dalam mengaktualisasikan semua ilmu serta pengalaman-
pengalamannya. Melalui kegiatan kunjungan keluarga tersebut para suster bisa
menunjukkan dan menyumbangkan sesuatu yang baru bagi perkembangan iman
keluarga katolik. Melalui sikap yang mau terlibat, para suster bisa merasakan langsung
permasalahan yang dihadapi keluarga sehingga bisa membantu mencari solusinya.
Para suster adalah orang yang menyediakan diri secara khusus dalam pelayanan
umat. Maka para suster mempunyai kewajiban untuk mengunjungi umatnya, karena
dengan kunjungan keluarga mereka merasa disapa langsung oleh gembalanya.
4
Kunjungan keluarga membuat hubungan gembala dan umatnya menjadi lebih akrab,
dekat dan hangat bukan sekadar hubungan formal dan kaku. Memang wajar bila para
suster sebagai gembala mengetahui atau mengenal domba-domba-Nya satu persatu,
seperti Yesus sendiri-Sang Gembala baik menjadi contoh bagi setiap gembala umatnya,
yang mengenal sungguh-sungguh domba-domba-Nya dan mendengar suara-Nya (Yoh
10 :1-20).
Dalam dunia sekarang ini, dirasa kebanyakan keluarga dalam kehidupan sehari-
hari kurang memperhatikan hidup beriman karena mereka terlalu sibuk dengan
pekerjaan demi mencapai kebutuhan hidup mereka. Hal ini penulis dengar sendiri dari
lingkungan di mana penulis tinggal, melalui sharing dalam kegiatan kelompok bahkan
melalui pertemuan secara pribadi dengan keluarga-keluarga yang ada. Keluarga-
keluarga sendiri sulit untuk meningkatkan iman mereka melalui kegiatan bersama dalam
keluarga, misalnya doa bersama sebelum dan sesudah makan, doa sebelum tidur,
membaca dan merenungkan Kitab Suci bersama, dan lain-lain. Dengan kata lain doa
bersama dalam keluarga sulit untuk dilaksanakan apalagi untuk melibatkan anak-anak
dalam kegiatan rohani atau membiasakan keluarga membuka buku-buku rohani,
misalnya membuka Kitab Suci dan lain-lain. Jangankan untuk mengikuti kegiatan
rohani, komunikasi dengan sesama anggota keluarga saja susah sekali. Hal inipun
penulis alami langsung ketika menangani anak-anak calon komuni pertama. Dalam
kegiatan ini pendamping yang harus mencari dan menunggui para orang-tua. Di sini
nampak bahwa kesadaran orang-tua masih sangat kurang dan beranggapan bahwa ini
merupakan tanggungjawab para pendamping.
Orang tua sebagai pemegang peranan yang besar dalam hidup berkeluarga seharusnya
memberi perhatian dan kasih sayang kepada seluruh anggota keluarga. Oleh karena itu,
mulai dari dalam keluarga perlu diketahui tentang berbagai hal oleh orang tua misalnya,
5
mengajarkan tentang nilai-nilai kehidupan seperti: cinta kasih, pengampunan, kejujuran,
dan lain-lain. Dengan demikian semuanya akan lebih mudah mengingat apa yang
diajarkan ditanamkan dalam keluarga tersebut. Karena itu keluarga-keluarga hendaknya
memiliki iman yang baik yang bisa mengarahkan dan mendidik iman sesuai dengan
perkembangannya.
Tugas pendidikan berakar dalam panggilan keluarga untuk mengambil bagian
dalam karya penciptaan Allah. Keluarga menjadi lahan subur bagi perkembangan iman
keluarga. Bila di dalam keluarga dapat menciptakan keluarga menjadi suatu komunitas
antarpribadi yang membuat semua anggota keluarga seperti: saling mencintai, saling
berkomunikasi, terbuka, jujur, saling menerima, saling memperhatikan, saling
memaafkan, saling menolong, saling berkorban, dan saling mendoakan, maka keluarga
dapat berfungsi sungguh-sungguh sebagai Gereja kecil.
Berawal dari masalah yang dihadapi oleh setiap umat, dalam menghayati hidup
berkeluarga, apa yang menjadi keprihatinan, harapan dan cita-cita umat, maka sebagai
warga Gereja penulis mencoba untuk mengadakan kunjungan keluarga untuk
mengetahui situasi umat di stasi Santo Paulus Pringgolayan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Keterlibatan ini dengan maksud untuk memberi perhatian dan
berbagi cinta kasih kepada keluarga-kelurga katolik di stasi Santo Paulus Pringgolayan
dengan berkunjung dari rumah ke rumah.
Untuk menyikapi kenyataan kehidupan keluarga katolik yang ada maka penulis
berusaha mengajak keluarga-keluarga untuk kembali melihat peranan mereka sebagai
warga Gereja. Piet Noordermeer dalam Proyek Media keuskupan Agung Semarang (hal
87) menjelaskan bahwa: “Kunjungan rumah itu merupakan bantuan yang penting
dalam pengembangan masyarakat paroki, karena hendak memutuskan rasa keterasingan
antara agama dan kehidupan yang nyata dalam masyarakat.
6
Kunjungan keluarga dapat dikatakan berhasil apabila kunjungan tersebut bisa menjawab
kebutuhan umat. Misalnya kebutuhan akan pendidikan anak, pekerjaan yang layak, dan
lain-lain. Karena maksud dari kunjungan bukanlah terutama untuk bersikap terbuka dan
memperhatikan keadaan orang lain tetapi untuk merangkul semua keluarga katolik
secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan.
Melihat uraian di atas, tujuan kunjungan keluarga adalah untuk meningkatkan
sikap saling memperhatikan di antara warga paroki. Setiap umat beriman mempunyai
sikap terbuka dan memperhatikan keadaan serta kebutuhan orang lain. Dengan
demikian kunjungan keluarga terlebih untuk membantu keluarga yang mempunyai
persoalan dalam keluarga, misalnya: persoalan pendidikan anak, ekonomi keluarga,
perkawinan, dan lain-lain. Tujuan ini dapat dicapai apabila orang yang berkunjung
bersikap rendah hati dan mau mendengarkan orang yang dikunjunginya. Mendengarkan
di sini bukan hanya terbatas pada kegiatan mendengar saja, melainkan meliputi
rangkaian kegiatan mendengar, mengerti, dan memahami apa yang dikatakan oleh orang
lain, serta apa yang dirasakan oleh orang lain.
Setiap keluarga yang dikunjungi, mempunyai harapan-harapan yang akan
mereka terima dan dapatkan ketika kunjungan. Banyak di antara mereka ingin
dikunjungi, dengan alasan agar bisa didengarkan atau pun diteguhkan. Memang tidak
dipungkiri bahwa untuk bisa menerima dan mendengarkan mereka tidak mudah,
membutuhkan waktu yang cukup.
Penulis berusaha mengajak keluarga-keluarga untuk menghayati peranan dan
tanggungjawab mereka sebagai anggota Gereja yang mengalami kesulitan dan
tantangan dalam hidup berkeluarga melalui kunjungan keluarga. Kunjungan keluarga
diharapkan dapat membantu keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan dan tantangan
dalam hidup berkeluarga. Oleh karena itu penulis terdorong untuk memilih judul:
7
”PERANAN KUNJUNGAN KELUARGA DALAM UPAYA UNTUK
MENINGKATKAN IMAN KELUARGA KATOLIK DI STASI ST. PAULUS
PRINGGOLAYAN, PAROKI ST. YUSUP BINTARAN, YOGYAKARTA”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dalam penulisan Skripsi
ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Dari pengamatan menunjukkan bahwa permasalahan atau kesulitan yang terjadi
karena keluarga-keluarga katolik kurang menyadari akan tugas dan tanggung
jawabnya sebagai pendidik iman anak.
2. Orang tua lebih mementingkan kariernya. Mereka merasa bahwa hal-hal rohani
adalah tanggungjawab Pembina atau pendamping iman di lingkungan.
3. Permasalahan dari segi para suster adalah yang sedang belajar yang selalu sibuk
dengan tugas kampus atau kuliahnya, hal ini menyebabkan para suster tidak mau
terlibat dalam kunjungan keluarga, selain itu juga tidak ada jadwal kunjungan yang
tetap.
C. Batasan Masalah
Setelah melihat permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penulis membatasi pada kunjungan keluarga dan hidup beriman dalam keluarga.
Ruang lingkup penelitian ini adalah keluarga-keluarga katolik di lingkungan Santa
Maria Ratu Rosari, stasi St. Paulus Pringgolayan, paroki Santo Yusup Bintaran.
8
D. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan batasan di atas maka permasalahan yang muncul dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan perkembangan iman keluarga?
2. Apa yang dimaksud dengan kunjungan keluarga?
3. Seberapa besar dampak kunjungan keluarga terhadap perkembangan
iman keluarga!
E. Tujuan Penulisan
Skripsi ini di tulis dengan tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan pengertian pada para suster bahwa kegiatan kunjungan keluarga itu
sangat penting demi perkembangan iman keluarga.
2. Memberikan masukan pada orang tua katolik di lingkungan agar lebih
memperhatikan perkembangan iman keluarga.
3. Untuk mengetahui seberapa besar dampak kunjungan keluarga terhadap
perkembangan iman keluarga.
4. Memenuhi syarat kesarjanaan strata satu (S1) Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
F. Manfaat Penulisan
Penulisan diharapkan bermanfaat:
1. Bagi keluarga-keluarga katolik : menambah pengetahuan dan informasi tentang
tanggungjawab dan usaha mendidik dan mengembangkan iman keluarga, sehingga
iman keluarga dapat bertumbuh dan berkembang menjadi orang yang dewasa.
9
2. Diharapkan dapat memperkaya wawasan pengetahuan dalam usaha meningkatkan
kesadaran bagi para suster dalam mengembangkan iman keluarga melalui kegiatan
kunjungan.
3. Bagi para katekis sebagai landasan langkah berikutnya yaitu menjadi salah satu
bahan acuan bagi para katekis untuk mendampingi orang tua pada khususnya dan
pengembangan iman keluarga pada umumnya.
G. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah deskriptif analitis berdasarkan
penelitian. Data yang dibutuhkan dikumpulkan menggunakan angket dan wawancara.
Selain itu, penulis juga mengembangkan refleksi pribadi dengan bantuan buku-buku
pendukung.
H. Sistematika Penulisan
Judul dari skripsi ini adalah “PERANAN KUNJUNGAN KELUARGA
DALAM UPAYA UNTUK MENINGKATKAN IMAN KELUARGA KATOLIK DI
STASI ST. PAULUS PRINGGOLAYAN, PAROKI ST. YUSUP BINTARAN,
YOGYAKARTA”. Judul ini akan diuraikan menjadi V bab sebagai berikut :
Bab I berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, yaitu kajian pustaka. Pada bagian
ini penulis mencoba untuk menjawab masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam
rumusan masalah dengan menggunakan acuan pustaka atau teori-teori. Bagian kedua
adalah penelitian yang relevan. Bagian ketiga adalah kerangka pikir dan hipotesis yang
10
menjelaskan atau merumuskan bagaimana hubungan antara variabel sehingga
ditemukan hipotesis. Bagian ketiga adalah hipotesis atau jawaban sementara.
Bab III, yaitu metodologi penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, desain
penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi dan sampel penelitian, dan metode
pengumpulan data serta metode analisis.
Bab IV terdiri dari dua bagian. Dalam bagian ini diuraikan mengenai laporan
hasil penelitian dan pembahasan.
Bab V terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan menyajikan isi
keseluruhan skipsi ini dari Bab I sampai Bab IV. Sedangkan saran ditujukan kepada
para suster dalam usaha meningkatkan keterlibatan kunjungan keluarga.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
Pada kajian pustaka ini, penulis akan menguraikan tiga hal yaitu: mengenai
pastoral, kunjungan keluarga, dan perkembangan iman keluarga.
1. Pastoral
a. Pengertian Pastoral
Istilah “pastoral” berasal dari kata “Pastor” yang berarti “gembala.” Pastoral
mempunyai arti esensial dalam kehidupan Gereja. Akulah gembala yang baik” kata
Yesus ((Yoh 10:11). Dalam perikop ini Yesus memberikan gambaran tugas gembala.
Maka pengertian Pastoral meliputi karya yang dilakukan oleh seorang Pastor, pelayan
umat Gereja. Oleh karena itu semua yang beriman dalam Gereja ikut ambil bagian
dalam tugas Kristus sebagai imam. Dengan demikian pelayanan pastoral juga menjadi
tugas seluruh umat dan bukan hanya para imam tertahbis saja. Sebagai pelayanan
Gereja pastoral meliputi berbagai wadah atau lingkup iman yang berbeda-beda,
misalnya: Pastoral sekolah, pastoral paroki dalam bidang kemasyarakatan (Sumarno,
2001:1).
Amalorpavadass (1972:5-7), mengatakan ada tiga tugas yang dipenuhi dalam
pelayanan pastoral yaitu: pelayanan dengan mewartakan, pelayanan ibadat dengan
merayakan dan pelayanan pengarahan dengan mengorganisir dan mendidik umat
Kristus supaya penuh cinta kasih dan matang dalam segi iman untuk memberi kesaksian
dan pengabdian.
Tugas Gereja adalah mewartakan misteri keselamatan kepada seluruh dunia dan
mengajak umat untuk menjawab panggilan Allah dan menyambut keselamatan yang
12
ditawarkan lewat pelayanan sabda. Allah disampaikan dengan berbagai cara dan bentuk
dengan tujuan membina, menggairahkan dan memupuk iman. Pelayanan
mengakibatkan Sabda Allah menjadi aktual dan relevan bagi waktu dan tempat serta
kategori pendengar dengan kata-kata manusiawi.
Pelayanan Sabda mempersiapkan dan membimbing kepada liturgi. Liturgi
sendiri memuat pelayanan sabda dan kebaktian, kedua-duanya membutuhkan dan
menuju kepada pelayanan pengarahan demi tercapainya kesaksian nyata dan
pengabdian cinta kasih.
Nouwen (1986:17-21), mengatakan bahwa dengan berubahnya zaman dan
berkembangnya hidup para pelayan kristiani ke pelbagai arah yang baru, semakin tidak
jelas pula bagaimana olah rohani yang menyita banyak waktu masih berhubungan
dengan kesibukan hidup paroki. Para pelayan kristiani mulai merasa bahwa doa
semakin dialami sebagai pelarian ke dalam hidup batin yang aman untuk
menghindarkan diri dari masalah-masalah yang seharusnya mengusik suara hati
kristiani dan merupakan tantangan untuk melibatkan diri dalam tindakan yang kreatif.
Kebanyakan dari mereka telah memberikan diri dalam kegiatan pastoral sehari-
hari yang kadang-kadang begitu menuntut sehingga mereka merasa kosong, letih, lelah
dan sering kali kecewa. Kelelahan ini begitu terasa mendalam sehingga kemajuan jarang
terlihat jelas dan hasilnya pun hanya kadang-kadang tampak. Melalui hubungan
pelayanan itulah Sabda Allah sampai kepada manusia. Seperti seorang dokter, psikolog,
psikiater atau pekerja sosial membutuhkan ketrampilan khusus agar mereka dapat
menolong sesama mereka, secara bertanggungjawab tanpa melatih diri dalam bidang-
bidang pokok pelayanan mereka seperti berkhotbah, mengajar, pendampingan,
organisasi dan pelayanan.
13
Pada saat ini ada kehausan besar akan spiritualitas baru, yaitu pengalaman baru
akan Allah dalam hidup kita sendiri. Pengalaman ini hakiki bagi setiap pelayanan
kristiani tetapi tidak dapat ditemukan di luar batas-batas pelayanannya. Seharusnya
benih-benih spiritualitas baru ini dapat ditemukan di tengah-tengah pelayanan kristiani
itu sendiri. Doa bukanlah persiapan sebelum bekerja atau syarat yang tidak dapat
diabaikan kalau pelayanan mau berhasil. Doa adalah hidup: Doa dan pelayanan adalah
sama dan tidak dapat dipisahkan. Kalau keduanya dipisahkan, seorang pelayan kristiani
akan menjadi seorang tukang dan imamat tidak lebih dari sebuah cara lain untuk
meringankan penderitaan hidup sehari-hari.
Nouwen (1986:22), mengatakan bahwa setiap orang kristiani adalah pelayan.
Pelayanan yang dihubungkan dengan tahbisan dapat dianggap sebagai pusat karena
seorang pelayan yang ditahbiskan memberi wujud yang paling kentara dari berbagai
bentuk pelayanan kristiani.
Dalam dunia profesionalisasi, bidang-bidang spesialisasi terus berkembang.
Anggapan dulu bahwa pelayan kristiani adalah dokter, psikolog, pekerja sosial, dan
perawat sekaligus. Dalam masyarakat, yang mengerjakan semuanya adalah mereka.
Mereka menjadi pusat pengetahuan dan kebijaksanaan. Namun saat ini banyak pelayan
kristiani merasa bahwa mereka adalah amatir dalam semua bidang dan bukan seorang
profesional dalam bidang tersebut. Mereka merasa tidak mampu, rendah diri, dan ragu-
ragu apakah mereka dapat menolong orang-orang secara efektif.
Nouwen (1986:22) juga merumuskan dua sisi identitas yang minta perhatian di
antaranya adalah sebagai berikut:
14
1) Peneguhan
Tidak ada pelayanan Kristiani yang dapat hidup secara kreatif dan penuh arti
bila perasaan tersebut begitu menguasai. Orang menganggap diri tidak mempunyai
sumbangan khusus yang dapat diberikan kepada sesamanya dan lebih sebagai hiasan
daripada pribadi yang bernilai untuk kehidupan, lebih dibiarkan daripada dibutuhkan
lama kelamaan akan menjadi tertekan, acuh tak acuh, bosan, dan mudah marah. Atau ia
dengan mudah akan memutuskan untuk meninggalkan pelayanan, pindah ke bidang lain
yang dianggapnya sungguh-sungguh sebuah profesi.
Pelayanan pastoral pribadi adalah yang paling dibutuhkan dan kenyataannya
paling diharapkan sekurangnya apabila kita dapat memahami permasalahannya. Maka
dari itu, latihan pastoral barangkali pertama-tama berarti pendidikan para pastor supaya
mereka dapat mendengarkan persoalan-persoalan, dan menjadi sadar bahwa beribu-ribu
orang terus-menerus mempertanyakan apa yang telah ditanyakan oleh Alfie. Apa arti
semua ini? Mengapa kita harus makan dan minum, bekerja dan bermain, mencari uang
dan mempunyai anak, dan terus-menerus bergulat melawan serangkaian frustrasi yang
tak pernah berakhir? Atau bertanya seperti halnya Yogavasistha, “Kebahagiaan macam
apakah yang dapat ada di dunia di mana setiap orang dilahirkan untuk mati?” (Allport,
1960:23).
2) Penyangkalan diri
Pada saat seseorang mulai merasa percaya diri atau berbangga, ia diganggu oleh
kata-kata Kristus yang melintas di benaknya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia
harus menyangkal dirinya-sebab barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia
akan memperolehnya” (Mat 16:24-25). Yang terpenting, orang ingat akan kata-kata
Santo Paulus yang hampir-hampir tak dapat dipercaya, “Aku hidup, tetapi bukan lagi
15
aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:20).
Peristiwa pada saat pelayanan kristiani menemukan bahwa ia tidak hanya mempunyai
sesuatu untuk disumbangkan namun dapat menyentuh inti kehidupan, pada saat ia siap
untuk meneguhkan dirinya sendiri dan merasa bahwa ia dapat memenuhi harapan-
harapannya dan mewujudkan cita-cita yang terdalam dalam hidupnya, ia dihadapkan
dengan panggilan yang mendesak untuk menyangkal diri, memandang diri sebagai
pelayan, seorang pekerja tak berguna yang ada di garis belakang.
Banyak pelayanan kristiani dan imam sangat ingin masuk ke dalam lingkungan
orang-orang ahli dan mempunyai identitas yang jelas. Namun apakah begitu penting
untuk sampai kepada kepenuhan diri profesional ini. Tetapi apakah merupakan
panggilan kita untuk memenuhi diri kita sendiri sampai ke tingkat yang terakhir dan
untuk menciptakan keadaan di mana kita dapat sampai kepada apa yang kita pandang
paling berarti, paling indah, dan pengalaman intensif.
Thomas Merton (1969:76) dalam salah satu karyanya menulis: Menjadi amat
pentinglah bagi kita untuk lepas dari konsep kita sehari-hari mengenai diri kita sendiri
sebagai subjek-subjek potensial untuk pengalaman unik yang istimewa, atau sebagai
calon-calon (yang mengharapkan) realisasi, hasil dan kepenuhan.
Tak seorang pun dapat melayani sesamanya apabila ia tidak mau menyangkal
dirinya agar dapat menciptakan ruang di mana Allah dapat melaksanakan karya-Nya.
Bagaimana kita dapat sungguh-sungguh menolong orang lain apabila kita tetap
memusatkan perhatian pada diri kita sendiri? Selama kita mencoba untuk
memperhatikan banyak hal, kita tidak dapat sungguh-sungguh berkonsentrasi. Hanya
bila orang dapat melupakan dirinya sejenak, ia dapat menjadi sungguh-sungguh
memberi perhatian kepada orang lain yaitu masuk ketengah-tengah keprihatinannya.
16
Formann, seorang imam-psikolog dari Belanda ketika menunggu saat
kematiannya yang segera akan datang menulis: “Persoalan hidup keagamaan di barat
harus dihubungkan dengan inflasi Ego. Kita telah kehilangan kesadaran bahwa ada
pengetahuan yang hanya dapat dicapai melalui sebuah proses penyerahan untuk menjadi
lepas dan kosong” ( Ambo Bilthoven, 1970:6).
Sejak dialog Timur-Barat menjadi bagian dalam hidup banyak orang khususnya
kaum muda, kita menjadi sadar akan kenyataan bahwa ada dua bentuk kesadaran: yang
satu mengatakan jadilah dirimu sendiri supaya engkau menjadi kreatif, dan yang lain
mengatakan lepaskanlah dirimu supaya Allah dapat menjadi kreatif menekankan
penyatuan.
Tidak ada orang yang dapat memberikan dirinya dalam cinta apabila ia tidak
sadar akan dirinya sendiri. Tak seorang pun dapat sampai ke pengalaman kemesraan
sebelum dia menemukan identitasnya. Yesus hidup selama tiga puluh tahun dalam
keluarga sederhana. Di sana Ia menjadi seorang yang tahu siapakah diri-Nya dan ke
mana Ia mau pergi. Baru sesudah itulah Ia siap untuk mengosongkan diri-Nya dan
memberikan hidup-Nya bagi orang lain. Demikianlah jalan dari semua pelayanan.
Melalui pembentukan dan latihan yang lama dan kadang-kadang menyakitkan, pelayan
kristiani harus menemukan dirinya: tidak untuk menggenggamnya kuat-kuat dan
menganggap sebagai miliknya sendiri yang istimewa, akan tetapi untuk keluar,
memberikan pelayanan kepada orang lain, dan mengosongkan diri supaya Allah dapat
berbicara melalui dia dan memanggil orang untuk kehidupan yang baru.
Dengan demikian identitas pastor, seperti dapat kita lihat dalam pelayanan
pastoralnya, lahir dari ketegangan yang sulit ditentukan antara peneguhan diri dan
pengorbanan diri. Ada saat dalam kehidupan di mana tekanan lebih pada yang satu
daripada yang lain, namun pada umumnya nampak kalau seorang manusia berkembang
17
makin dewasa, ia akan semakin tidak sibuk dengan dirinya sendiri dan lebih bersedia
untuk mengulurkan tangannya dan mengikuti Dia yang menemukan hidup-Nya dengan
merelakannya.
Nouwen (1986:22) merumuskan bahwa ada dua konsep yang dapat membantu
kita untuk memahami lebih baik keistimewaan hubungan pastoral konsep kontrak dan
konsep perjanjian:
a) Kontrak
Banyak hubungan antarorang yang sifatnya profesional gagal oleh karena
kontrak yang tidak jelas. Apabila dua orang saling berkencan, ada satu kontrak formal
untuk bertemu. Apabila yang satu meminta bantuan dan yang lain memberikannya,
kontrak informal adalah bahwa persoalan tersebut akan menjadi fokus dari pertemuan.
Namun sering kali ada suatu kontrak rahasia, yang tidak selalu menjadi jelas.
Kadangkala seseorang mencari nasihat tetapi malah diberi khotbah, atau ia ingin
didengarkan tetapi malah dinasihati, atau ia mengharapkan informasi tetapi tidak
mendapatkan apa-apa. Di dalam hubungan pastoral antara dua orang dapat ada
harapan-harapan yang berbeda, yang menjadi sebab frustrasi besar.
Orang dapat ditolong dengan bermacam-macam cara: dengan dorongan, nasihat,
instruksi, koreksi, penjernihan perasaan-perasaan, atau dengan sekadar mendengarkan.
Namun mereka tidak pernah merasa dibantu seandainya mengharapkan suatu hal dan
menerima hal lain. Tanggungjawab utama pastor adalah membantu umatnya agar sadar
akan pertolongan yang diharapkannya, dan memberi tahu dia kalau ia dapat
memberikan hal itu kepadanya.
Nouwen (1986:76), mengatakan: Selama kontrak rahasia itu tetap rahasia,
semakin banyak kemungkinan timbulnya ketidakpuasan yang tidak perlu. Godaan bagi
18
banyak pastor adalah mereka terlalu terpaku hanya pada suatu model hubungan personal
saja: yaitu bimbingan pastoral. Model tersebut dapat menjernihkan perasaannya dan
mengumpulkan kekuatannya untuk menemukan jalan sendiri. Sering kali hal ini
memerlukan banyak pertemuan yang terencana baik, ketrampilan-ketrampilan khusus
dari pihak pastor sendiri, dan sikap tertentu dari pihak umat. Namun kontrak semacam
itu agak jarang dalam paroki biasa. Yang lebih sering adalah hubungan dan
pembicaraan-pembicaraan pendek dan sambil lalu. Dalam keadaan seperti itu banyak
sedikitnya yang dapat terjadi, tergantung pada kepekaan pastor.
Beberapa pastor mengatakan bahwa mereka selalu sibuk, namun merasa tidak
pernah menyelesaikan apa pun. Mungkin hal ini hanya disebabkan oleh perencanaan
yang jelek. Namun apabila seorang pastor sungguh-sungguh menemukan identitasnya
sendiri, pada saat itu pula ia menyadari bahwa berhubungan dengan macam-macam
orang dan dengan macam-macam cara itulah persis tugasnya. Sebetulnya alternatif-
alternatif dalam berhubungan itulah yang memungkinkan dia melaksanakan suatu
pelayanan yang mempunyai banyak bentuk dan banyak kemungkinan yang berbeda-
beda. Banyaknya bentuk pelayanan dapat mengakibatkan frustrasi, namun frustrasi
tersebut dapat termasuk inti sari dari pelayanan dan menunjuk ke suatu cara
berhubungan yang lebih dari sekadar hubungan kontrak yang terjadi dalam profesi-
profesi lain.
b) Perjanjian
Perbedaan antara kontrak formal, informal dan kontrak rahasia sangat banyak
membantu dalam menjelaskan banyaknya kegagalan dalam hubungan profesional
antarorang. Namun seperti halnya peneguhan diri bukan satu-satunya segi identitas dari
pelayanan kristiani, demikian pula banyak pelayan kristiani dan imam mengetuk pintu,
19
membunyikan bel, dan memasuki rumah-rumah meskipun tidak ada seorang pun yang
menantikannya. Namun pastor mengambil inisiatif dan bahkan dapat dipandang sebagai
seorang pekerja lapangan yang agresif, yang ingin “mewartakan kabar, disambut
ataupun tidak disambut, dan mendesaknya” (2 Tim 4:2). Kenyataan bahwa kata
“kontrak” tidak dapat sungguh-sungguh mengungkapkan hubungan pastoral,
menunjukkan bahwa andaikata pastor senang menganggap hubungannya dengan
seseorang sebagai hubungan profesional, profesinya berbeda dengan semua profesi lain
yang sifatnya memberi bantuan pula. Dalam hal ini istilah alkitabiah “perjanjian”
menambah satu catatan kritis bagi hubungan pastoral yang dipandang sebagai kontrak.
Allah tidak mengadakan kontrak dengan umat-Nya, tetapi suatu perjanjian. Suatu
kontrak berakhir seandainya satu pihak tidak setia lagi kepada janji-janjinya.
Namun Allah bersabda, “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya,
sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya,
Aku tidak akan melupakan engkau” (Yes 49:15). Dan siapa yang mengerti perjanjian
ini akan menjawab, “Sekalipun ayah dan ibuku meninggalkan aku, namun Tuhan
menyambut aku” (Mzm 27:10). Akhirnya yang menjadi dasar hubungan pastoral
bukanlah kontrak profesinya, namun perjanjian Ilahi. Dalam perjanjian tidak ada syarat
yang diajukan untuk kesetiaan. Perjanjian itu berarti keterlibatan tanpa syarat untuk
melayani.
Inilah tantangan paling besar bagi siapa pun yang ingin membuat perjanjian
Allah dapat dilihat di dunia ini: sebab siapakah yang tidak mengharapkan imbalan atas
pelayanannya yang baik? Kita tidak meminta uang sesudah pembicaraan pastoral,
bahkan tidak mengharapkan hadiah kecil pada hari Natal atau ucapan terima kasih,
tetapi dapatkah kita melepaskan diri dari keinginan kita untuk memasang tarif imbalan
yang begitu halus? Apabila hubungan saya dengan seseorang diwarnai dengan tekanan
20
yang halus bahwa ia haruss berhenti minum banyak, menjauhkan diri dari obat bius,
mengurang pergi ke pelacuran, memotong rambut panjangnya, pergi ke pengadilan, ke
Gereja, atau ke balai kota, saya belum sungguh-sungguh bersama-sama dengan dia
tetapi masih bersama-sama dengan kekuatiran-kekuatiran saya, sistem nilai dan
harapan-harapan saya sendiri, dan membuat diri saya sendiri seorang pelacur, dan
merendahkan sesama saya dengan menjadikan korban manipulasi rohani saja”.
Banyak pelayan kristiani mengeluh bahwa tak seorang pun berterima kasih
kepada mereka, bahwa waktu berjam-jam yang dihabiskannya bersama orang-orang
tidak membawa perubahan apa pun pada mereka, bahwa sesudah bertahun-tahun
mengajar, berkhotbah, membimbing, mengorganisasi, dan merayakan, orang-orang
tetap acuh tak acuh, Gereja tetap otoriter, dan masyarakat masih korup. Tetapi jika
kepuasan kita harus datang dari perubahan-perubahan yang dapat dilihat, kita
menjadikan Allah seorang penguasa dan diri kita sebagai kepala bagian penjualan.
Demikianlah kita telah melihat bahwa hubungan pastoral tidak dapat sepenuhnya
dimengerti dalam rangka kontrak profesional. Setiap orang menantikan ucapan terima
kasih, mengharapkan keberhasilan dan merindukan adanya perubahan. Ini berlaku bagi
pelayan kristiani seperti halnya bagi setiap orang lain. Akan tetapi Allah tidak
mengadakan kontrak dengan kita, melainkan suatu perjanjian, dan menantang siapa saja
yang mau menampakkan perjanjian-Nya di dunia ini, untuk tidak memakai keberhasilan
manusiawi sebagai ukuran bagi cinta mereka kepada sesama.
Bila identitas pelayan kristiani ditemukan dalam ketegangan kreatif antara
peneguhan diri dan penyangkalan diri dan bila hakikat hubungan pastoral mengandung
unsur kontrak profesional tetapi akhirnya dilandaskan pada perjanjian Allah dengan
umat-Nya, maka masih ada persoalan mengenai pendekatan pastoral. Banyak pelayan
kristiani dan imam pada saat ini mengikuti latihan-latihan khusus persis karena
21
kebutuhan mereka untuk semakin terampil dalam hubungan pastoral pribadi. Banyak
psikolog, sosiolog, pembimbing, dan pelatih kepekaan perasaan saat ini menjadi kaya
dengan mengajarkan cara-cara mereka kepada pelayan kristiani yang berhasrat besar,
yang mengagumi kepandaian mereka dan berharap dapat menemukan pemecahan atas
perasaan-perasaan tidak cakap yang tertanan dalam diri mereka.
Salah satu hal yang paling penting, yang dipelajari para pastor dalam latihan
mereka adalah menuliskan pengalaman-pengalaman mereka. Charles Hall 1936:6)
sekretaris eksekutif Pendidikan pastoral Klinis, berkata, “Apa yang pantas dikatakan
adalah pantas ditulis.” Tetapi apakah yang dapat dipelajari dari sana? Saya akan
mendiskusikannya dengan menggunakan dua istilah, yaitu: Penentuan peranan dan
kontemplasi.
(1) Penentuan peranan
Russel Dicks (1936:256), salah seorang perintis gerakan latihan Klinis,
mengatakan, “Kami yakin selama pelayanan kristiani belum memperkembangkan suatu
cara membuat catatan-catatan pribadi mengenai hubungan dengan pribadi-pribadi, ia
tidak mempunyai hak untuk menempatkan diri diantara para pekerja ahli dalam bidang
kepribadian manusia.”
Dengan mempelajari laporan-laporan tertulis menganai karya pastoralnya
dengan pribadi-pribadi, pelayan kristiani dapat menjernihkan pengalaman-
pengalamannya sendiri. Ia juga mempunyai suatu cara konkret untuk mengenali secara
persis apa yang terjadi dalam karya pastoralnya dan suatu kesempatan istimewa untuk
berpikir secara realistis mengenai cara-cara tindakan pastoral lain. Dengan cara ini ia
dapat merumuskan apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Namun pengalaman
adalah kata yang sangat ambivalen. Banyak imam yang memakai pengalamannya
22
bertahun-tahun sebagai suatu alasan untuk menampilkan kecakapannya, cenderung
melupakan bahwa hanya sedikitlah orang yang belajar dari pengalamannya. Suatu
peristiwa yang dilaporkan secara teliti dan dievaluasi secara kritis sering kali dapat
mengajar seseorang lebih daripada pengalaman bertahun-tahun tanpa pemahaman.
Bagaimanapun juga, jika seseorang dapat menentukan dimana ia berdiri, dapat juga
menggambarkan peta ke mana ia akan pergi. Setiap orang yang profesional
bertanggungjawab atas definisinya sendiri. Apabila seorang imam tidak dapat
menentukan perananya secara teliti, ia tidak akan pernah dapat membuatnya jelas bagi
orang lain.
Akan tetapi jika ia berpikir bahwa penentuan peranan adalah kata akhir dalam
pelayanan pastoral pribadi, kita tidak menangkap inti pelayanan, yang bukan melupakan
praktek kemahiran namun kontemplasi yang dalam. Maka dari itu baiklah kiranya untuk
akhirnya membahas arti kontemplasi.
(2) Kontemplasi
Keprihatinan yang besar dari banyak pembimbing seperti russel Dicks ialah
untuk menolong para pelayan kristiani mempelajari tanggapan yang terbaik terhadap
satu rangsangan tertentu. Seorang pelayan kristiani hendaknya meninggalkan semua
ketrampilan khusus, peralatan, dan teknik khusus dalam hubungan manusiawi kita
bahkan mungkin berharap ia mempunyai lebih banyak-namun tanggapan yang terampil
bukanlah merupakan inti pelayanan. Orang yang menuliskan pengalaman-
pengalamannya tidak hanya mempunyai kesempatan untuk merumuskan peristiwa dan
tanggapan-tanggapan yang paling baik, tetapi juga mempunyai suatu sumber yang tak
terhingga nilainya untuk suatu kontemplasi teologis. Anton Boisen (1963:267) bapak
gerakan latihan klinis, meminta para muridnya untuk menuliskan pengalaman-
23
pengalaman mereka, ia tidak pertama-tama berpikir mengenai “bagaimana mengerjakan
hal itu dengan baik”, tetapi lebih mengenai pertanyaan “Apa yang dapat saya pelajari
dari orang yang saya temui sebagai pastor ini?” baginya sumber teologi yang paling
sering dilupakan adalah apa yang disebutnya “dokumen manusia hidup”. Dalam
Eksploration of the Inner World (1977:135), ia menulis:
Seperti halnya tidak ada ahli sejarah yang layak menyandang julukan itu, puas
dengan menerima atas dasar kuasa, pertanyaan yang disederhanakan dari beberapa ahli
sejarah mengenai soal-soal yang sedang diselidiki, demikian pula saya mencoba untuk
memulai tidak dengan rumusan-rumusan yang siap pakai dari buku, tetapi mulai dengan
dokumen manusia hidup dan dengan keadaan-keadaan sosial yang aktual dengan segala
seluk beluknya yang rumit, (Harper, 1979:135).
Pelayanan pastoral mempunyai arti yang lebih jauh daripada kecemasan-
kecemasan pastoral. Pelayanan pastoral berarti suatu kontemplasi yang teliti dan kritis
mengenai keadaan manusia. Melalui kontemplasi ini pastor dapat membuka selubung
dan memperlihatkan kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, kenyataan bahwa
kebaikan dan kejahatan bukan sekadar kata, melainkan realitas yang dapat dilihat dalam
kehidupan setiap orang. Dalam arti ini, setiap hubungan pastoral merupakan suatu
tantangan untuk memahami dalam suatu cara baru, karya Allah bagi manusia dan untuk
semakin peka membedakan cahaya dan kegelapan dalam hati manusia.
Dalam arti ini, kontemplasi bukan hanya suatu segi yang penting dalam
kehidupan iman atau suatu syarat yang tidak dapat tidak harus dipenuhi untuk
berhasilnya pelayanan. Pelayanan adalah kontemplasi. Pelayanan merupakan
penyingkapan realitas yang terus-menerus terjadi, perwahyuan cahaya Allah dan
sekaligus kegelapan manusia. Dalam perspektif ini, pelayanan pastoral pribadi tidak
pernah dapat dibatasi pada penerapan ketrampilan atau teknik apa pun, karena akhirnya
24
pelayanan adalah pencarian Allah terus-menerus yang berlangsung dalam kehidupan
orang yang ingin kita layani. Paradoks dari pelayanan adalah bahwa kita akan
menemukan Allah yang ingin kita berikan, dalam hidup orang yang mau kita beri.
Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas penulis dapat merumuskan
pengertian pastoral sebagai berikut: pastoral merupakan suatu refleksi iman atas
anugerah Allah kepada manusia dan bagaimana manusia menghayatinya dengan
penyerahan diri secara total dan radikal. Mengingat bahwa pastoral itu adalah salah satu
karya yang dilakukan oleh seorang pastor, pelayan umat Gereja. Maka semua yang
beriman dalam Gereja ikut ambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam. Dengan
demikian pelayanan pastoral juga menjadi tugas seluruh umat dan bukan hanya para
imam terthabis saja.
b. Ciri Khas dan Tujuan Pastoral
Menurut hooijdonk (1980:7-8) dalam buku Seri Pastoral (No.26:6) bahwa:
“Pastoral tidak sama dengan menggurui atau memperlakukan umat sebagai anak atau
bawahan, melainkan justru menghormati sebagai sesama beriman, selanjutnya
mendorong mereka menuju pada perkembangan dan kedewasaan kristiani”.
1) Ciri Khas Pastoral
Semua kegiatan atau ilmu mempunyai ciri-ciri tertentu, sehingga kegiatan atau
ilmu tersebut dapat disebut sesuai dengan namanya. Misalnya kegiatan atau ilmu yang
mempelajari tentang masyarakat. Kegiatan atau ilmu tersebut mempunyai ciri yaitu
selalu berkaitan dengan permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat.
Demikian pula pastoral selalu berkecimpung di dalam permasalahan-permasalahan
masyarakat. Dalam hal ini adalah masyarakat Gereja.
25
Menurut Hooijdonk (1980:17) dalam berpastoral kita tetap menekankan
ketrampilan berkomunikasi, namun kita tidak boleh berperan sebagai guru, orang tua
atau atasan, melainkan kita harus berperan sebagai pendamping yang mendorong umat
untuk lebih mampu memperkembangkan iman menuju pada ke kedewasaan kristiani.
Jadi ciri khas pastoral adalah tidak menggurui dan menghormati orang lain sebagai
sesama.
a) Tidak menggurui atau memperlakukan umat sebagai bawahan atau anak
Dalam karya pastoral petugas pastoral berfungssi sebagai pendamping umat.
Dengan kata lain petugas pastoral menjadi patner umat dalam memperkembangkan
iman dan mengatasi krisis iman. Krisis iman dapat dipengaruhi oleh beberapa hal antara
lain: permasalahan-permasalahan hidup, misalnya ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Oleh sebab itu petugas pastoral mempunyai tuntutan agar selalu menyadari bahwa
dirinya adalah bagian dari kehidupan umat dengan harapan dapat meneguhkan serta
mencari jalan keluar guna mengatasi permasalahan. Maka petugas pastoral perlu
penyangkalan diri, sebab tidak ada seorangpun dapat melayani sesamanya apabila ia
sendiri tidak mau menyangkal dirinya.
b) Menghormati orang lain sebagai sesama iman.
Memandang orang lain sebagai manusia yang mempunyai hak serta derajat yang
sama dihadapan Allah adalah penting.
Berkat sakramen baptis yang kita terima, kita dipersatukan menjadi anggota Gereja.
Dengan kata lain kita menjadi bagian hidup kelompok beriman kristiani. Dengan
demikian kita mempunyai kewajiban dan hak untuk selalu berkomunikasi serta
26
bersekutu dengan anggota umat beriman kristiani lainnya. Sehingga kita menjadi
sesama mereka dalam satu iman (Kis 4:32-35).
Paulus sendiri menasehatkan agar kita umat beriman kristiani berani
menghormati atau bertindak tidak keras kepada siapa pun, baik kepada orang tua, orang
muda maupun kepada para perempuan (1 Tim 5:3-6). Paulus mengajak agar kita hidup
dalam satu iman yang harus berani menghormati, menghargai serta berani menyapa
setiap orang sebagai saudara.
Berkaitan dengan ciri khas pastoral yaitu menghormati orang lain sebagai
sesama umat beriman, maka dalam pelaksanaan karya pastoral, kita harus berani
bergaul, menghormati, menyapa, menegur serta menunjukkan belas kasihan kepada
setiap orang (Mat 13:24–30).
2) Tujuan Pastoral
Tujuan pastoral pada umumnya adalah mengembangkan dan mendewasakan
iman umat. Dengan mengandaikan bahwa benih-benih iman sudah tertanam dan
dimiliki oleh umat. Dengan demikian petugas pastoral hanyalah menyirami, menyusui
serta mendorong agar benih iman yang sudah dimiliki itu dapat berkembang menjadi
lebih dewasa. Jadi peranan petugas pastoral hanyalah sebagai pendamping umat, yang
berusaha dan memperkembangkan imannya, walaupun masih dalam taraf perjuangan.
Ada juga yang mengungkapkan bahwa tujuan formal karya pastoral adalah
menciptakan bentuk dan kondisi untuk kegiatan gerejani dalam situasi khusus dan setiap
saat. Maka dalam pelaksanaan karya pastoral, kita harus memperhitungkan kondisi dan
situasi umat, baik dari segi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Sehingga karya
pastoral tetap memanusiakan manusia dengan berlandaskan kabar gembira.
“Aku datang agar mereka mendapatkan hidup dalam segala kelimpahan” (Yoh
10:10). Tujuan pastoral tidak boleh menyimpang dari tujuan kedatangan Yesus, karena
27
tujuan kedatangan Kristus sebagai sang Gembala merupakan dasar dari pelayanan
pastoral dan sekaligus menjadi tujuan utama pastoral ini.
Pelayanan pastoral ini bersifat universal, artinya bahwa pelayanan ini terbuka
untuk semua tanpa ada batas-batas yang menghalang. Maka dari pelayanan pastoral
tidak boleh berpuas diri dengan kehidupan seperlunya, baik dalam kehidupan kristiani
maupun masyarakat pada umumnya, karena lebih dari itu bahwa kedatangan Yesus
telah menyediakan segala sesuatu untuk disalurkan kepada orang-orang membutuhkan
sehingga tujuan pastoral untuk membimbing manusia menuju kehidupan seutuhnya
tercapai. “Seutuhnya” ini menyangkut pandangan yang tidak membatasi, melainkan
luas dan manusia seperti yang dikonsepkan Tuhan (Go, 1991:1-2). Tujuan pastoral
adalah membawa “Kabar Baik”, karena Yesus sendiri bersabda; bahwa Ia diurapi oleh
Allah dengan Roh Kudus untuk menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang
miskin (Luk 4:18). Pelayanan pastoral juga disebut sebagai salah satu perwujudan
kedatangan kerajaan Allah. Pelayanan pastoral merupakan tanda kasih sayang Allah
bagi manusia yang dengan kehadiran Allah sendiri di dunia ini malalui perjuangan dan
kerja keras (KWI, 1996:456).
Dengan kata lain, bahwa pelayanan pastoral ini adalah tugas mengabdi dan
melayani rencana Allah untuk menyadarkan segenap umat manusia secara integral
dalam diri Yesus Kristus, dengan perantaraan Roh Kudus. Rencana Allah ini adalah
pembebasan dan perkembangan umat manusia secara utuh sehingga kerajaan Allah
dialami oleh segenap umat manusia. Dalam tujuan pastoral ini menghadirkan kerajaan
Allah timbul dari keyakinan Gereja bahwa dirinya memperoleh warisan “misteri” yang
diwahyukan oleh Allah dalam misteri dan tugas perutusan untuk menyinari,
membimbing, menyuburkan dan mendorong segenap umat manusia menjadi wahana
perwujudan Kerajaan Allah (Adisusanto, 2000:16).
28
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pastoral adalah mendampingi
umat yang berada dalam perjuangan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Dengan mengusahakan perkembangan iman umat yang menuju pada ke kedewasaan
kristiani.
Kerinduan untuk menghadirkan kerajaan Allah tersebut terungkap dan
terlaksana dalam lima bidang pastoral Gereja. Lima bidang pastoral Gereja adalah
sebagai berikut:
a) Liturgi
Liturgi yang berarti iman tidak hanya diwartakan, tetapi diungkapkan dan
dirayakan dalam liturgi. Tujuan dari pastoral ini adalah untuk memuji serta merayakan
kedatangan Allah kepada manusia. Lewat upacara tersebut kita mengenang kembali
bahwa Allah berkenan hadir di tengah-tengah kita. Dalam kehadirannya itu Allah selalu
berkenan menyapa manusia lewat Sabda-sabda-Nya. Hal ini dapat kita lihat di dalam
liturgi Sabda. Jadi liturgi dapat kita bedakan menjadi dua, yaitu liturgi Ekaristi dan
liturgi Sabda.
b) Diakonia
Diakonia yang berarti pelayanan, merupakan ciri yang paling menonjol dalam
kehidupan Kristus. Sebagai pelayan yang melayani manusia seutuhnya. Diakonia
adalah bidang karya pastoral Gereja yang menekankan pada pelayanan pada kaum
miskin. Dengan kata lain kegiatan pelayanan ini menitik beratkan pada pengabdian,
pendidikan dan pembebasan. Yang semuanya direalisasikan lewat kesediaan, kemauan
dan usaha Gereja dalam mewujudkan karya keselamatan Allah di tengah-tengah
29
masyarakat. Misalnya dengan mendirikan sebuah sekolah dan asrama untuk anak-anak
paling miskin, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang.
c) Koinonia
Koinonia yang berarti persekutuan, seperti yang dilukiskan dalam jemaat
perdana di Yerusalem, bahwa mereka adalah “Sehati Sejiwa”. Membangun jemaat
lewat persekutuan iman, harapan dan kasih. Berkat iman kepercayaan kepada Kristus,
serta sakramen baptis yang telah diterima, umat kristen dipersatukan menjadi anggota
Gereja. Sebab dengan pembaptisan tersebut kita menjadi saudara dalam satu ikatan,
yaitu dalam Kristus yang selalu diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan
hubungan persaudaraan ini akan mengantar umat beriman kristiani ke dalam kesatuan
yang penuh dan sempurna menurut kehendak Tuhan (UR, art.5). Wujud dan tanda
persaudaraan tersebut dapat berupa sebuah paguyuban, kelompok religius, serta
kegiatan-kegiatan religius dan lain-lain (UR, art.6).
d) Kerygma
Kata “Kerygma” dapat diartikan dengan pewartaan. Dalam melaksanakan
pewartaan, semua umat beriman kristiani dipanggil untuk ambil bagian dalam karya
keselamatan Allah (AA, art.2,3). Jadi semua orang kristiani dipanggil sebagai pewarta.
Pewartaan Sabda dapat berbentuk khotbah, katekese atau evangelisasi. Tujuan
pastoral ini adalah membantu umat untuk tumbuh dan berkembang dalam komunitas
iman. Selain itu untuk menunjukkan makna hidup yang lebih mendalam. Dengan
demikian persekutuan yang dihimpun oleh Sabda Allah ini hidup dalam pewartaan
terang Sabda Allah.
30
e) Martyria
Martyria yang berarti kesaksian. Menjadi saksi Kristus yang hidup merupakan
tugas dan tanggungjawab dalam menyampaikan kabar gembira. Dengan demikian
kehadiran Tuhan Allah semakin tampak jelas dalam hidup setiap orang, agar dunia
percaya bahwa Yesus diutus oleh bapa-Nya.
Pelayanan pastoral pada masa kini, hanya dapat menjawab serta menghadapi
tantangan-tantangan zaman dengan semangat jiwa kristiani. Pelayanan pastoral juga
berusaha agar manusia di abad modern ini tentang mendengarkan suara Allah dalam diri
Yesus lewat saksi-saksi-Nya dalam pelayanan terhadap segenap umat manusia.
c. Bentuk-bentuk Pastoral
Beberapa bentuk pastoral keluarga yang dapat dilaksanakan di lingkungan, stasi,
dan paroki adalah sebagai berikut:
1) Kursus Persiapan Perkawinan
Menurut ajaran Gereja Roma Katolik, perkawinan yang dilaksanakan oleh dua
orang yang sudah dibaptis adalah sakramen, dan perkawinan syah yang sudah
dilengkapi dengan hubungan seksual adalah tak terceraikan oleh apapun juga. Groenem,
(1993:387:8), menjelaskan tentang arti sakramen dalam perkawinan ini sebagai berikut:
“Artinya perkawinan merupakan suatu symbol, dimensi kelihatan tegas bagi relasi peyelamatan yang berdasarkan peristiwa Yesus Kristus terjalin antara Kristus dan jemaah-Nya yang tercermin dalam Gereja-Nya di dunia dan dalam sejarah”
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia
karena dapat menjadi pangkal terbentuknya keluarga, yaitu bapak, ibu, dan anak.
Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup keluarga sangat tergantung pada pemahaman dan
penghargaan pasangan suami-istri terhadap nilai-nilai yang ada dalam perkawinan
gerejani. Maka persiapan hidup berkeluarga sebenarnya perlu diberikan oleh orang tua
31
kepada anak-anaknya sejak anak-anak berusia remaja dengan pendidikan seksualitas
yang baik, pendampingan pacaran, tunangan, dan lain-lain.
Kursus persiapan perkawinan juga mempunyai arti dan fungsi yang penting
dalam persiapan hidup berkeluarga. Yang dimaksud dengan kursus perkawinan di sini
adalah persiapan dalam jangka waktu dekat yang sungguh-sungguh mempersiapkan
calon pengantin untuk memasuki kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Setiap
orang yang akan berumah tangga selalu mempunyai cita-cita untuk membangun sebuah
keluarga yang bahagia dan sejahtera. Cita-cita yang luhur dan mulia ini sangat didukung
oleh ajaran Gereja Roma Katolik. Namun pasangan suami-istri tetap harus berjuang
untuk menata kehidupan rumah tangga mereka.
Kegiatan kursus perkawinan biasanya dipusatkan di paroki dan berlangsung
empat kali pertemuan. Mengingat sedikitnya waktu pertemuan bila dibandingkan
dengan materi-materi yang harus disampaikan seperti: pengetahuan hidup berkeluarga,
moral, teologi perkawinan, pendidikan, ekonomi rumah tangga, kesehatan, dan lain-lain,
maka dibutuhkan kerjasama dari kedua belah pihak, baik mereka yang tergabung dalam
team pembinaan keluarga, maupun para calon pengantin yang bersangkutan. Dengan
demikian calon pengantin diharakan menjadi lebih siap untuk membangun keluarga
kristiani dalam terang iman dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang akan
dihadapi dalam pejalanan hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
Kursus persiapan perkawinan biasanya merupakan prasyarat bagi calon
pengantin untuk pernikahan Gerejani yang dituntut oleh Hukum Gereja Roma Katolik.
Maka selalu ada kemungkinan bahwa para peserta kursus perkawinan mengikuti kursus
hanya karena keharusan dari Gereja dan hanya sebagai formalitas untuk mengejar
sertifikat. Meskipun demikian kursus ini harus tetap ada karena sangat penting dan
berguna dalam memberi bekal hidup berkeluarga bagi calon pengantin. Dengan
32
demikian kegiatan pastoral keluarga dalam bentuk kursus persiapan perkawinan ini
bertujuan untuk mendukung keluarga kristiani dalam membangun keluarga bahagia dan
sejahtera sesuai dengan kehendak Allah di surga.
2) Konseling Pastoral Keluarrga
Konseling pastoral keluarga di paroki merupakan suatu tindak lanjut dari
pembinaan keluarga katolik setelah dilaksanakannya kursus persiapan perkawinan, dan
suami-istri sudah menjalani kehidupan berkeluarga. Konseling pastoral keluarga
merupakan suatu proses pertolongan yang diberikan kepada keluarga-keluarga yang
membutuhkan pertolongan dengan maksud menolongnya secara tulus dari kesulitannya,
dengan mempertimbangkan dimensi-dimensi rohaniah dan suatu perspektif yang
menyeluruh dalam kehidupan keluarga (Beek, 1989:9).
Konseling yang dimaksud di sini mempunyai arti dan fungsi yang penting dalam
bina dan reksa keluarga di paroki. Keberadaan konseling dalam karya pastoral paroki
menunjukkan perhatian Gereja dalam memelihara dan menjaga, serta menggembalakan
keluarga-keluarga katolik, supaya mereka mampu melaksanakan tugas kewajibannya
sebagai pengikut Kristus yang sejati dan ikut ambil bagian dalam tugas perutusannya.
Biasanya yang bertindak sebagai konselor (orang yang mau mendengarkan dan
membantu memecahkan persoalan) adalah para pastor dan biarawan-biarawati. Dalam
melaksanakan tugas penggembalaannya, pastor paroki biasanya membuka diri dan
memberi kesempatan kepada keluarga yang mengalami kesulitan untuk datang
kepadanya, dan berusaha membantu memecahkan persoalan-persoalan yang mereka
hadapi secara bersama-sama. Betapa penting dan bergunanya kegiatan konseling
pastoral keluarga dalam pendampingan dan penggembalaan umat di paroki, kegiatan ini
tetap mempunyai keterbatasan dalam hal waktu dan tenaga. Oleh karena itu para pastor
33
sangat membutuhkan tenaga-tenaga yang mempunyai keahlian khusus untuk membantu
keluarga-keluarga katolik yang mengalami kesulitan dalam kehidupannya.
3) Kursus permandian
Yang dimaksud dengan kursus permandian di sini adalah kursus persiapan bagi
orang tua yang ingin mempermandikan anak mereka yang masih bayi. Gereja
memandang perlu untuk menolong mereka yang ingin masuk ke dalam persekutuan
umat Allah yang Kudus, melalui pembinaan khusus yang berupa kursus permandian.
Kursus ini ditujukan kepada orang tua dan bapa ibu permandian tentang tanggung jawab
yang harus dipikul oleh mereka apabila mempermandikan anaknya.
“Sebab dari persatuan suami-istri itu tumbuhlah keluarga, tempat lahirnya warga-warga baru masyarakat manusia, yang berkat rahmat Roh Kudus karena baptis diangkat menjadi anak-anak Allah, untuk melestarikan umat Allah dari abad ke abad. Dalam Gereja keluarga itu hendaknya orang tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka, orang tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani” (LG, art.11).
Sakramen permandian merupakan tanda keselamatan dari Allah. Setiap orang
yang telah menerima sakramen permandian berhak atas Kerajaan Allah, dan
mempunyai hak serta kewajiban sebagai anak-anak Allah. Dengan menerima sakramen
permandian seseorang melepaskan manusia lama (dosa). Dengan demikian sakramen
permandian telah mempersatukan manusia dengan Kristus yang terwujud dalam
persatuan Umat Allah yang melakukan ibadat dan berkarya di hadapan sesamanya.
Para baptisan baru adalah bagian dari keluarga yang membutuhkan
pendampingan dan pembinaan. Mengingat pentingnya peranan orang tua dalam
mendidik iman anak-anak, Gereja tidak hanya membantu orang tua katolik, tetapi juga
memperhatikan lingkup di mana anak-anak merupakan tumpuan masa depan Gereja.
Lingkup keluarga merupakan tempat di mana iman dapat tumbuh dan berkembang.
Oleh karena itu orang tua khususnya, dan anggota keluarga pada umumnya mempunyai
34
peranan yang berebeda dalam fungsi, namun memiliki kesamaan dalam tujuan, yaitu
untuk membangun keluarga yang harmonis. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan
berbagai usaha dalam meningkatkan pendapatan keluarga, pendidikan keluarga,
memperluas pergaulan, dan lain-lain. Tetapi tujuan tersebut akan dapat mencapai hasil
yang semakin baik apabila diusahakan dengan landasan iman yang cukup mendalam
dari seluruh anggota keluarga (Empat Lingkup Iman, Seri Pastoral No.56, 1981:6-7).
4) Kunjungan Keluarga
Piet Noordermeer (1981:8) mengatakan: Kunjungan keluarga adalah kegiatan
Gerejani yang dilakukan oleh umat beriman untuk memberi perhatian dan berbagi cinta
kasih kepada keluarga-keluarga katolik di lingkungan atau paroki dengan cara
berkunjung dari rumah ke rumah. Kalau pada mulanya suatu kunjungan keluarga hanya
dilakukan oleh seorang pastor sebagai Gembala Gereja yang memperhatikan dan
mendampingi umat katolik, untuk mendekati dan menyapa umat yang mau
meninggalkan imannya. Sekarang ini suatu kunjungan lebih ditekannkan sebagai salah
satu usaha pendampingan dan pelayanan untuk memelihara, membina, dan memimpin
keluarga-keluarga katolik, di mana seluruh umat beriman di paroki ikut terlibat dan
turut bertanggung jawab atas kehidupan keluarga-keluarga katolik dalam masyarakat.
Hal ini akan dibahas secara mendalam pada bagian berikut.
2. Kunjungan keluarga sebagai salah satu bentuk pastoral
a. Pengertian Kunjungan keluarga
Kata “kunjungan” dalam Kamus Bahasa Indonesia (Depertemen Pendidikan
Nasional, 2007:635) berarti, pergi (datang) untuk menengok, mendatangi untuk
menjumpai, hal (perbuatan) mengunjungi atau berkunjung.
35
Budyapranata, dalam buku Menjadi Saudara bagi sesama, Peningkatan Mutu
Kunjungan (1987:8-10), mengatakan bahwa kunjungan Keluarga dapat diartikan
sebagai pertemuan pribadi yang dapat menimbulkan saling pemahaman terhadap
pribadi lain, yang dilandasi oleh kesediaan seseorang untuk memahami dan melibatkan
diri pada situasi orang yang dikunjungi (Rohani, 1988:74). “Pribadi” tidak selalu
menunjuk seolah-olah, baik yang dikunjungi maupun yang mengunjungi, masing-
masing seorang diri. Sebaliknya kata pribadi lebih menunjuk pada situasi.
Dalam kunjungan keluarga, pengunjung bukanlah orang yang mau mencampuri
masalah orang yang dikunjungi, atau mengambil alih perannya, melainkan mau
memberi perhatian, oleh orang yang dikunjungi, sedemikian rupa sehingga orang mau
dikunjungi merasa bahwa kehadiran pengunjung sebagai suatu pertolongan.
Dengan demikian jelaslah, bahwa dalam kunjungan keluarga yang menjadi pusat
perhatian adalah yang dikunjungi, dan bukan sebaliknya. Kunjungan merupakan
peristiwa “Penyelamatan’ atau “Pertolongan” yang lebih-lebih diarahkan bagi orang
yang dikunjungi. Hal tersebut tidak berarti bahwa dalam setiap kunjungan keluarga
tidak terdapat pengalaman di mana si pengunjung mengalami pertolongan.
Sesungguhnya, baik si pengunjung maupun yang dikunjungi, keduanya dapat
mengalami pengalaman pertolongnan yang diberikan oleh kedua belah pihak. Misalnya:
pada saat orang yang dikunjungi mensharingkan pengalamannya bisa jadi orang yang
mengunjungi diteguhkan, dikritik, dipercaya karena pengalaman tersebut.
Selanjutnya Budyapranata (1987:76), mengatakan kunjungan keluarga pada
hakekatnya adalah pertemuan pribadi. Artinya bahwa kunjungan itu bukan hanya
sekadar datang ke rumah orang lain dengan suatu urusan, tetapi menyapa orang lain
sebagai pribadi. Pertemuan ini harus dibedakan antara kepentingan untuk, atau karena
tugas, atau karena keperluan lain.
36
Yang menjadi tujuan kunjungan adalah pertemuan terbuka, artinya ialah bahwa
orang yang harus menjadi perhatian kita. Kita datang sebagai saudara untuk memberi
perhatian dan untuk mendengarkan orang lain, (Budyapranata 1987:1). Dengan
demikian kunjungan bisa menjadi tanda solidaritas atau kesediaan kita untuk menjadi
saudara bagi yang lain.
Tujuan kunjungan keluarga adalah untuk mempersatukan semua orang dari
bermacam-macam kedudukan golongan dan bangsa, tanpa pemisahan ras, kedudukan,
pangkat dan sebagainya.
Budyapranata (1994:34), mengatakan bahwa: Kunjungan keluarga sebagai suatu
usaha untuk membentuk kelompok pengunjung yang tetap atau terorganisir, melainkan
hanyalah suatu tawaran atau ajakan kepada seluruh umat untuk memperhatikan masalah
kunjungan. Kunjungan yang dimaksudkan bukan kunjungan resmi atau kunjungan dari
atas ke bawah (dari utusan atau pejabat paroki kepada umatnya), melainkan sebagai
kunjungan sejajar (kunjungan persaudaraan).
Kunjungan keluarga merupakan sarana yang efektif untuk menciptakan
komunikasi dan menumbuhkan relasi yang akrab antara sesama umat beriman di suatu
paroki. “Kalau Gereja ingin menjadi masyarakat yang hidup dan terdiri dari umat yang
percaya kepada Tuhan, tubuh yang hidup, maka umat itu harus saling berkunjung dan
saling bertemu”.
Piet Noordermeer (1981:8), mengatakan bahwa kunjungan keluarga adalah
kegiatan Gerejani yang dilakukan oleh umat beriman untuk memberi perhatian dan
berbagi cinta kasih kepada keluarga-keluarga katolik di lingkungan atau stasi dengan
cara berkunjung dari rumah ke rumah. Kalau pada mulanya suatu kunjungan keluarga
hanya dilakukan oleh para biarawan atau biarawati sebagai Gembala Gereja yang
memperhatikan dan mendampingi umat katolik, untuk mendekati dan menyapa umat
37
yang mau meninggalkan imannya. Sekarang ini suatu kunjungan lebih ditekankan
sebagai salah satu usaha usaha pendampingan dan pelayanan untuk memelihara,
membina, dan memimpin keluarga-keluarga katolik, di mana seluruh umat beriman di
stasi ikut terlibat dan turut bertanggungjawab atas kehidupan keluarga-keluarga katolik
dalam masyarakat.
Kunjungan keluarga adalah kegiatan Gerejani yang dilakukan oleh umat beriman
untuk memberi perhatian dan berbagi cinta kasih kepada keluarga-keluarga katolik di
lingkungan atau stasi dengan cara berkunjung dari rumah ke rumah. Dulu kunjungan
keluarga hanya dilakukan oleh para biarawan-biarawati sebagai Gembala Gereja yang
memperhatikan dan mendamping umat katolik, untuk mendekati dan menyapa umat
yang mau meninggalkan imannya. Sekarang suatu kunjungan lebih ditekankan sebagai
salah satu usaha pendampingan dan pelayanan untuk memelihara, membina, dan
memimpin keluarga-keluarga katolik, di mana seluruh umat beriman di stasi ikut
terlibat dan turut bertanggungjawab atas kehidupan keluarga-keluarga katolik dalam
masyarakat.
Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas penulis dapat merumuskan
pengertian kunjungan keluarga. Kunjungan keluarga adalah kegiatan gerejani yang
dilakukan oleh umat beriman untuk memberi perhatian dan cinta kepada keluarga-
keluarga katolik di stasi atau paroki dengan cara berkunjung dari rumah ke rumah.
b. Maksud dan Tujuan Kunjungan keluarga
Tujuan dari kunjungan keluarga menurut Piet Noordemeer, bukanlah terutama
untuk mempertobatkan atau membujuk seseorang agar aktif dalam kegiatan-kegiatan
Gerejawi atau membantu keluarga memecahkan masalah mereka, namun maksud dari
kunjungan keluarga adalah mau bersikap terbuka dan memperhatikan keadaan orang
38
lain. Kemungkinan akibat dari kunjungan mempertobatkan mereka untuk aktif di Gereja
lagi atau menemukan masalah hidupnya, tetapi ini bukan tujuan pokok (Hardiwiratno,
1994:203).
Memperhatikan orang atau keluarga adalah suatu usaha untuk menolong atau
membantu mereka berkembang dalam aspeknya dan berkembang menjadi dirinya
sendiri. Perkembangan seseorang atau keluarga juga merupakan kebahagiaan kita
sendiri. Kita tidak boleh memaksakan untuk mengikuti apa yang kita kehendaki namun
berusaha untuk menghargai mereka sebagai orang yang mandiri dengan kebutuhan-
kebutuhan yang harus dihormati.
Hardiwiratno (1994:204-210) mengatakan, hal yang perlu diperhatikan dalam
kunjungan keluarga adalah:
1) Jangan menawarkan apa-apa
Bila bertemu dengan orang lain atau keluarga tertentu, langsung spontan mau
mengajak orang atau keluarga itu untuk ikut kegiatan seperti kita karena dianggap
bermanfaat bagi hidupnya. Apa yang kita anggap baik, mau kita limpahkan kepada
orang lain. Hal tersebut memang tidak salah juga. Namun kalau kita sedang melakukan
kunjungan keluarga, hendaklah hati-hati.
2) Pertemuan Terbuka
Sikap yang perlu diperhatikan dalam kunjungan keluarga adalah sikap terbuka.
Jangan berpikir apa yang akan kita katakan, karena persoalannya bukan terletak pada
apa yang kita anggap penting bagi kita, yang mau diungkapkan kepada mereka, tetapi
apa yang penting bagi mereka atau apa yang mereka kemukakan. Bila menghadapi
keluarga yang belum kita kenal, tidak perlu cemas karena Sabda Yesus memberi
kekuatan kepada kita “Roh Kuduslah yang akan memberikan kata-kata yang harus
39
diucapkan (Mrk 13:11). Hal yang terpenting adalah berkata dengan jujur, sederhana
yang keluar dari hati. Bagi keluarga yang belum kita kenal perlu dijelaskan untuk apa
dan atas nama siapa kita datang berkunjung. Kita juga mengungkapkan alasan
kunjungan dan bertanya apakah kunjungan kita mengganggu atau tidak. Kadang dalam
kunjungan kehadiran kita ditolak namun tidak perlu kecewa karena itu hak mereka.
Tetapi juga sering kunjungan kita diterima dengan gembira, dipersilakan masuk dalam
rumah. Pembicaraan hendaknya berlangsung dua arah. Dalam berbicara hendaknya
jangan terlalu cepat. Kadang-kadang keluarga yang kita kunjungi berbicara tentang
sesuatu hal atau mungkin dia bertanya sesuatu. Maka hendaklah kita menjawab dengan
jelas dan jujur. Seandainya tidak tahu jawabannya maka dengan jujur mengatakan
bahwa tidak tahu. Mereka berbicara tentang rumah, kebun dan peralatan dapurnya atau
berterus terang berbicara tentang keadaan rumah tangga, imannya dan lain-lain. Kalau
sudah terbuka seperti ini maka kita bisa mengarahkan pada tema yang kita anggap
penting untuk mereka namun tetap membiarkan mereka untuk meneruskan cerita dan
yang menjadi titik pusat perhatian adalah keluarga. Maka keluarga sendiri yang akan
menentukan apa yang akan dibicarakan bersama dan apa yang tidak dibicarakan
bersama.
3) Menciptakan Suasana yang Kondusif
Sangat penting dalam menciptakan suasana yang kondusif yang terbuka
memahami atau mengerti situasi orang yang kita ajak bicara (understanding) artinya
sikap positif dari kita yang diekspresikan melalui pemberian kesempatan seluas-luasnya
kepada keluarga yang kita kunjungi untuk mengekspresikan dirinya secara tepat. Oleh
karena itu perlu mengosongkan perspektif atau pandangan-pandangan kita sendiri dan
ikut ambil bagian dalam perspektif mereka. Maka kita perlu menahan diri, mengontrol
40
diri dan menunggu saat yang tepat untuk menyatakan kebenaran-kebenaran yang perlu
atau harus diketahui oleh keluarga tersebut. Sikap understanding bukan sandiwara tetapi
benar-benar muncul dari cinta atau compassion (rasa belaskasih yang mendalam) seperti
sikap Yesus terhadap orang-orang berdosa.
4) Cara Mempraktekkan Understanding
a). Empati
Empati adalah sikap positif yang diekspresikan melalui kesediaan untuk
menempatkan diri pada tempat orang yang sedang diajak bicara. Ikut merasakan apa
yang dirasakan orang tersebut atau mengerti dengan pengertian orang tersebut. Unsur
utama dalam agape adalah sikap hati atau Compassion (sikap penuh belaskasih) yang
diekspresikan dalam kerinduan untuk betul-betul mau menyelami dan mengerti orang
lain.
b) Penerimaan
Penerimaan adalah kesediaan untuk menerima keberadaan orang lain
sebagaimana adanya. Penerimaan apa adanya bukanlah sikap yang membenarkan atau
menetralisir apa yang salah, yang ada pada orang lain, tetapi sikap positif yang perlu
dikembangkan dan dipraktekan karena menyadari bahwa hanya melalui cara ini sebagai
jalan untuk menemukan inti persoalan yang sedang dirasakan mengganggu hidup
mereka. Penerimaan sejati memampukan kita untuk dapat mendorong orang lain untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tetapi kita menunggu sampai inti persoalannya
ditemukan. Penerimaan menciptakan suasana aman dan mendorong orang lain
menemukan kembali kepercayaan akan dirinya sendiri, agar mampu mengenali apa
yang sedang terjadi pada dirinya. Pengalaman tersebut membuka hati untuk menilai
41
sikap dan cara berpikir selama ini. Dengan demikian menumbuhkan pengertian baru
yaitu cara untuk mempraktekan hidup dengan semangat baru.
c) Mendengarkan yang efektif
Mendengarkan adalah unsur utama dari memahami. Tanpa ada kesediaan untuk
mendengarkan dengan baik, maka penerimaan pun tak pernah menghasilkan hal-hal
yang positif. Sikap mendengarkan adalah salah satu syarat utama yang harus ada dalam
pembicaraan dengan orang lain, jika kunjungan keluarga ingin berhasil. Mendengarkan
secara efektif adalah mendengarkan dengan penuh perasaan dan perhatian serta disiplin
yang tinggi, dengan maksud menangkap dengan baik kata-kata yang diucapkan oleh
yang sedang diajak bicara, mengerti perasaannya dan melihat ekspresi wajahnya
sehingga mampu menangkap apa yang dirasakan dibalik kata-kata yang diucapkan.
d) Memberikan tanggapan yang membangun
Memberi tanggapan secara efektif adalah suatu sikap yang sangat penting dalam
menciptakan suasana yang kondusif. Untuk menciptakan suasana yang kondusif maka
dibutuhkan:
(1) Kehangatan
Belajar dari sikap Yesus terhadap wanita yang berdosa di sumur (Yoh 4:1-42),
Sikap yang tidak mengadili dapat dirasakan sebagai kehangatan yang membantu
menciptakan suasana aman dalam diri mereka yang kita ajak bicara.
(2) Dukungan
Kadang dalam percakapan, keluarga yang dikunjungi tidak mampu
mengungkapkan dan mengekspresikan apa yang mau diucapkan, malahan dikuasai oleh
emosinya. Situasi seperti ini mereka sangat membutuhkan dukungan dari kita untuk
42
membantu mereka menjernihkan persoalan atau menemukan kata-kata yang tepat untuk
diucapkan.
(3) Kemurnian sikap
Dalam percakapan, kadang-kadang keluarga yang dikunjungi memperoleh
dorongan dan kekuatan untuk maju atau memperbaiki situasi. Maka kita perlu
mempunyai sikap yang sungguh-sungguh murni untuk menolong mereka. Sikap yang
lahir bukan karena terpaksa namun lahir dari kasih yang memperkembangkan mereka.
(4) Menstimulir
Menstimulir adalah cara yang kita pakai untuk menciptakan suasana yang
kondusif dalam percakapan, di mana kita harus aktif menolong lawan bicara agar
bersemangat dan berpartisipasi secara aktif dalam pembicaraan tersebut. Mungkin
dengan memberikan ide-ide baru yang akan menyempurnakan atau melengkapi apa
yang mereka katakan.
Menurut lembaga Pendidikan kader (1985:1) tujuan atau maksud dari kunjungan
pastoral adalah:
- Pertemuan atau kontak: Manusia membutuhkan manusia untuk dapat
mengungkapkan isi hatinya. Manusia membutuhkan orang lain untuk mengetahui
lebih banyak tentang dirinya, tentang siapakah dia ini. Hanya dengan dan
berhadapan dengan orang lain kita dapat sungguh-sungguh merasa sebagai
manusia. Pertemuan atau perjumpaan dengan orang lain adalah sesuatu yang sangat
penting dalam kehidupan manusia.
- Saling mengingatkan akan Allah, bapa kita, dan Kristus dan Gembala Agung kita.
Yang sudah memilih kita untuk menjadi umat-Nya dan kawanan domba-Nya, dan
43
yang senantiasa membimbing kita menuju kepada kedatangan kerajaan-Nya secara
yang sempurna dan penuh.
Dalam Alkitab Tuhan tiap kali berbicara melalui manusia-para nabi, para rasul
kepada manuisa. Tuhan sendiri juga menjadi manusia di dalam Yesus, Sang Mesias
untuk manusia.
Demikian Tuhan dapat berbicara kepada kita melalui sesama manusia yang
percaya. Melalui orang yang sedang mencari, meragukan, dan melanjutkan mencari
sampai menemukan hal-hal yang paling dalam mengenai Tuhan dan makna kehidupan,
Tuhan dapat berbicara kepada kita. Dalam pertemuan atau perjumpaan dengan sesama
manusia yang percaya, orang dapat dibantu untuk berpikir lebih jauh, untuk mencari dan
menemukan.
- Saling mendampingi atau membantu dalam menghadapi berbagia persoalan dan
kesulitan.
“Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah”. (I Petrus 4:10). “bertolong-tolonglah menanggung bebanmu!” (Galatia 6:2). Seorang juga membutuhkan orang lain untuk dapat menghadapi berbagai persoalan dan mengatasi berbagai kesulitan dalam hidupnya. Sebagai orang-orang yang beriman kita dipanggil untuk saling mendampingi dan saling membantu (Hardiwiratna, 1994:203).
c. Manfaat kunjungan keluarga
(1) Umat dapat saling mengenal manfaat kunjungan keluarga adalah: lebih akrab satu
sama lain, karena sikap orang yang terlibat dalam kunjungan keluarga tersebut
dimungkinkan untuk saling mengenal satu dengan yang lain dalam keterlibatannya
masing-masing. Misalnya: para pengurus lingkungan yang tergabung dalam team
pemandu, dalam tugasnya menghubungi keluarga-keluarga dan mendata keluarga
katolik di lingkungannya, menjadi semakin mengenal lebih dekat kehidupan
44
keluarga yang dikunjunginya, dan semakin akrab dengan kehidupan sesama yang
lain dalam lingkungan.
(2) Kunjungan keluarga dapat memperbesar rasa persaudaraan antar umat katolik, yaitu
sebagai satu saudara berdasarkan iman yang sama akan Yesus Kristus, dan dapat
memperdalam ikatan kekeluargaan dengan warga yang lain. Sebagai contoh para
pengunjung semula tidak mengenal keluarga yang akan dikunjungi, mereka datang
hanya dengan membawa bekal iman yang sama. Para pengunjung tidak merasa
kuatir kalau kunjungannya akan ditolak.
(3) Kunjungan keluarga dapat meningkatkan sikap saling memperhatikan diantara
sesama warga stasi, karena kunjungan datang dengan sikap ramah dan berusaha
memperhatikan keadaan keluarga yang dikunjungi. Pembicaraan dalam pertemuan
biasanya berkisar pada pengalaman hidup dan keprihatinan yang ada dalam
keluarga serta masyarakat, sehingga suasana pertemuan cukup mendukung untuk
menciptakan sikap saling memperhatikan kebutuhan sesama.
(4) Umat dapat saling membantu didalam kesulitan. Oleh karena para pengunjung
memberikan perhatian yang tulus terhadap keluarga-keluarga yang dikunjungi,
terutama keluarga-keluarga yang membutuhkan bantuan, maka keluarga yang
mengalami kesulitan merasa perlu membuka diri dan menceritakan kesulitan-
kesulitan hidupnya dalam pertemuan kunjungan tersebut, sehingga kesulitan dapat
dihadapi secara bersama-sama.
(5) Umat dapat saling mengokohkan iman dan saling meneguhkan dalam penderitaan
serta kesetiaan terhadap Gereja. Dalam kunjungan keluarga, para pengunjung
sering menjumpai keluarga yang sering tertimpa musibah, atau keluarga yang
tempat tinggalnya terpencil dan jauh dari keluarga katolik yang lain. Keluarga yang
dijumpai biasanya merasa senang karena dengan pertemuan tersebut mereka dapat
45
mencurahkan segala kesedihan dan beban batinnya serta merasa dikuatkan dalam
doa bersama.
(6) Kegiatan kunjungan keluarga merupakan kesempatan yang baik bagi keluarga untuk
membangun komunikasi dalam keluarga, karena dengan kunjungan tersebut
biasanya anggota keluarga dapat dikumpulkan di ruang dalam keadaan santai dan
akrab.
d. Model-model Kunjungan keluarga
Secara garis besar, sesuai dengan tujuannya,kita dapat membedakan antara dua
macam kunjungan pastoral. Lembaga Pendidikan Kader (1985:3) membedakan atas
dua macam kunjungan pastoral, yaitu:
1) Kunjungan pastoral biasa
Tujuan dari kunjungan pastoral biasa ialah satu: pertemuan atau kontak. Dua:
saling mengingatkan akan Allah, Bapa kita, dan Kristus, Gembala Agung kita. Kita
berjumpa dengan sesama manusia yang percaya, dan sebagai sesama manusia yang
percaya, dan sebagai sesama manusia yang percaya kita saling mengingatkan akan apa
yang menjadi inti dari Injil yang kita percayai.
2) Kunjungan pastoral khusus
Kunjungan pastoral khusus adalah kunjungan pastoral yang dilakukan terhadap
mereka yang mempunyai masalah, dan yang karenanya membutuhkan pendampingan
dan bantuan khusus seperti misalnya orang yang sedang sakit, orang yang dalam
kedukaan, dan sebagainya.
Tujuan dari pastoral khusus adalah terutama saling mendampingi dan
membantu dalam menghadapi berbagai persoalan dan kesulitan.
46
Menurut Budyapranata. dalam buku Kunjungan membangun Persaudaraan (1994:11),
mengatakan : kunjungan sebenarnya bukan hanya kunjungan pastor terhadap umat,
tetapi kunjungan antar sesama umat.
Kunjungan pastor terhadap umat dalam hal ini hanya akan memupuk hubungan
atas-bawah, yaitu pastor sebagai pimpinan yang berkunjung kepada umat sebagai
bawahan, dan kurang membangun hubungan yang sejajar. Jadi kunjungan pastor saja
belum mampu menciptakan iklim persaudaraan yang didambahkan, sebab iklim
paguyuban itu hanya terjadi kalau antar umat juga saling mengenal dan saling menerima
satu sama lain sebagai saudara.
Seorang pastor dengan kemampuannya yang maksimal atau dengan kemauan
baiknya yang optimal kiranya masih belum mampu untuk mengenal seluruh umatnya
secara pribadi. Itu berarti pembangunan paguyuban tidak mungkin diserahkan hanya
kepada para pastor saja, melainkan perlu melibatkan seluruh umat. Maka adanya
kebiasaan bahwa umat hanya mengharapkan dikunjungi oleh pastor saja dan tidak mau
ganti mengunjungi saudaranya yang lain, itulah yang sekarang ini perlu ditinjau
kembali, karena cara untuk mengenal sesama umat yang paling intensif adalah dengan
saling mengunjungi.
e. Metode-metode Kunjungan Keluarga
Kalau pada mulanya suatu kunjungan keluarga hanya dilakukan oleh seorang
pastor sebagai gembala Gereja memperhatikan dan mendampingi umat katolik, untuk
mendekati dan menyapa umat yang mau meninggalkan imannya. Sekarang ini suatu
kunjungan lebih ditekankan sebagai salah satu usaha pendampingan dan pelayanan
untuk memelihara, membina dan memimpin keluarga-keluarga katolik, di mana seluruh
47
umat beriman di paroki ikut terlibat dan turut bertanggungjawab atas kehidupan
keluarga-keluarga katolik dalam masyarakat.
f. Sasaran Kunjungan Keluarga
Sebagaimana terdapat pada pengertian pastoral, yaitu bahwa pastoral terarah
pada semua manusia, demikian pula halnya dengan kunjungan keluarga. Kunjungan
sudah seharusnya tertuju tidak hanya bagi umat yang mau meninggalkan imannya tapi
untuk keluarga-keluarga katolik di lingkungan atau paroki atau stasi dengan cara
berkunjungan dari rumah ke rumah. Bahkan juga harus menjangkau seluruh anggota
keluarga.
Dalam kunjungan hendaknya kebutuhan, harapan, persoalan seluruh anggota
keluarga yang dikunjungi dapat dilayani oleh si pengunjung, entah dalam waktu yang
berbeda-beda atau secara terencana.
g. Proses Kunjungan Keluarga
1) Bagaimana pengunjung menjadi sejajar dengan yang dikunjungi?
Sikap sejajar dan bahkan “menjadi sesama” bagi saudaranya sangat ditekankan
oleh Tuhan Yesus. Pesan Yesus terhadap murid-murid-Nya yang diutus berdua-dua,
mengatakan secara jelas bahwa para murid harus berani meninggalkan fasilitas yang
dimilikinya serta mau tinggal bersama dengan orang yang didatangi. Sejajar berarti
solider dan senasib dengan orang yang dikunjungi, sehingga yang dikunjungi merasa
mendapatkan teman. Sikap sejajar dalam kunjungan itu sangatlah diperlukan.
2) Bagaimana pengunjung memberi perhatian kepada yang dikunjungi?
48
Memberi perhatian itu bukan hanya secara formal bertemu dengan orang lain,
tetapi ikut merasakan keprihatinan dari orang yang dikunjungi dan mencoba membantu
untuk mengubah situasinya.
Memberi perhatian berarti suatu usaha untuk mengerti dan memahami orang
lain. Dengan dipahami persoalannya, orang itu akan merasa lega dan merasa diperkuat.
Maka keberhasilan kunjungan lebih ditentukan oleh sikap orang yang dikunjungi, yaitu:
si terkunjung merasa dapat membuka keadaannya dan merasa ada yang mendampingi
dalam kesulitannya. Secara positif memberi perhatian berarti berani menerima
kenyataan dari orang yang dikunjungi dan memberi kesempatan bagi orang itu untuk
membeberkan keadaannya.
3) Bagaimana pengunjung menjadi pendengar yang baik?
Mendengar berarti menerima suara dari luar yang masuk ke telinga.
Mendengarkan adalah suatu kegiatan yang disengaja atau dengan perhatian atau minat
dari dalam. Maka mendengarkan itu tidak bisa hanya sepintas lalu, melainkan harus
dengan kesungguhan, sehingga terjadi proses interaksi antara saya dengan lawan bicara.
Untuk bisa mendengar dengan baik, kita harus mengidentifikasikan diri dengan
lawan bicara kita. Artinya selama orang lain berbicara, kita berpihak pada orang lain itu
dan mengikuti jalan pikirannya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa
“mendengarkan” itu tidak mudah, karena membutuhkan kemauan, kesediaan serta
perhatian khusus.
4) Bagaimana pengunjung membangun dialog?
Dialog yang baik akan terjadi bila kedua belah pihak dapat saling memahami.
Maka mutlak perlu adanya sikap mau mendengarkan dan mau mengerti.
49
5) Bagaimana pengunjung melibatkan diri pada yang dikunjungi?
Keterlibatan tidak hanya diartikan sebagai suatu keramah-tamaan belaka.
Keterlibatan berarti merasa ikut prihatin dengan orang yang dikunjungi, mau membela
dan rela berkorban untuk ikut membebaskan orang itu dari keadaannya, tanpa
memperhitungkan kepentingan sendiri. Itulah idealisnya suatu keterlibatan. Namun
bagaimana pelaksanaannya sangat tergantung dari kesadaran si pengunjung sendiri akan
panggilannya.
6) Bagaimana pengunjung ikut mengatasi kesulitan?
Karya kunjungan keluarga termasuk dalam “diakonia” atau pelayanan, sebab
kunjungan keluarga itu juga bermaksud untuk menjaga kesejahteraan orang lain.
Diakonia di sini lebih tepat diartikan sebagai pelayanan sosial, yaitu membantu orang-
orang dalam bidang kesejahteraan hidup, misalnya mencarikan pekerjaan, membantu
keuangan dan lain sebagainya. Disamping memperhatikan soal-soal rohani keluarga
yang dikunjungi, para pengunjung diharapkan juga memperhatikan soal kesejahteraan
jasmani, karena dua hal ini kadang-kadang berhubungan sangat erat.
h. Pelaksanaan Kunjungan Keluarga
Kunjungan keluarga dalam rangka pastoral, hendaknya juga ditempatkan
dalam rangka kunjungan antar warga. Hal itu berarti bahwa kunjungan kepada mereka
pertama-tama merupakan tanggungjawab warga Gereja yang paling dekat (kring atau
lingkungan), karena merekalah yang (seharusnya) mengetahui paling banyak tentang
perjalanan kehidupan berkeluarga (Budyapranata, 1994:85 ).
Tetapi tidak berarti semua warga dapat saja mengunjungi mereka. Sebab
melakukan kunjungan pastoral tidak sama dengan kunjungan secara tradisional
dilakukan oleh masyarakat kita. Kunjungan pastoral dalam bentuk kunjungan keluarga
50
harus menghadirkan kegembalaan Allah sendiri. Kunjungan pastoral hendaknya sampai
pada taraf di mana dalam kunjungan tersebut orang yang dikunjungi, yaitu keluarga-
keluarga yang mengalami kesulitan itu mengalami kehadiran Allah sendiri yang
membimbing, mengarahkan dan menyelamatkan. (Toto, 1990:1-5).
3. Perkembangan iman keluarga
a. Pengertian Iman
Iman pertama-tama bukanlah pengetahuan agama (meskipun itu juga penting)
tetapi lebih pada sikap atau penghayatan agama, yang diwujudkan dalam usaha untuk
menjaga suasana kedamaian, kerjasama kerukunan dalam keluarga. Dengan demikian,
kehadiran Tuhan sendiri yang disadari di tengah-tengah keluarga akan membawa
keselamatan dan rahmat-Nya.
Iman merupakan jawaban pribadi manusia atas wahyu yang diberikan pada
manusia dan firman yang telah Dia nubuatkan kepada pendahulu kita. Dalam
menanggapi wahyu dan firman Allah, orang yang beriman harus menyerahkan diri
sepenuhnya kepada kuasa Tuhan.
Hardiwiratno (1994:84) mengatakan bahwa: Umat beriman kristiani
mengartikan iman adalah penyerahan diri seutuhnya kepada Allah dalam dan melalui
Yesus Kristus berkat penjiwaan Roh Kudus. Dengan penyerahan diri seutuhnya kepada
Allah dalam dan melalui Yesus Kristus manusia menghayati imannya. Lebih lanjut
dirumuskan dalam Konstitusi Dogmatis, tentang wahyu Ilahi berikut:
Kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia menyatakan “ketaatan iman” (Rom 16:26;lih. Rm 1:5; 2 Kor 10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan dengan sukarela menerima sebagai kebenaran, wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka
51
mata budi, dan menimbulkan pada semua orang yang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran. Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya (DV, art.5).
Berdasarkan rumusan di atas ditemukan beberapa aspek yang khas yakni
pertama, iman merupakan tanggapan manusia terhadap Sabda Allah (Hardiwiratno,
1994:84). Sabda Allah adalah tawaran yang menuntut jawaban (Telaumbanua,
1999:43). Sabda Allah tidak hanya memiliki sifat pengajaran, tetapi juga menyatakan
diri sebagai fakta yang menyelamatkan. Oleh karena itu manusia yang disapa oleh Allah
harus mengambil sikap yang menentukan arah hidupnya (Mat 11:27). Dalam arti ini
dapat dikatakan bahwa aspek eksistensial pewahyuan diri Allah dalam sejarah umat
manusia. Karena Sabda Allah adalah suatu tawaran untuk persekutuan pribadi dan suatu
rencana hidup, maka manusia harus menentukan sikap yang tepat dalam keseluruhan
rencana keselamatan Allah. Dengan kata lain salah satu aspek iman adalah bahwa Sabda
Allah adalah Sabda yang selalu menuntut jawaban dari manusia (Ibr 11:1-3) (Madya
Utama, 2006:54). Sejauh merupakan pewahyuan Sabda Allah adalah terang yang harus
diterima. Sejauh merupakan janji Sabda Allah memerlukan penyerahan diri dan
kesetiaan (Telaumbanua, 1999:44). Sejauh merupakan interprestasi pribadi Sabda Allah
merupakan hukum dan kewajiban yang perlu diterima dan dihayati dalam kehidupan
sehari-hari. Sejauh merupakan rencana keselamatan Ilahi Sabda Allah merupakan
keputusan yang menghukum atau menyelamatakan dengan memisahkan umat manusia
sesuai dengan sikap atau penerimaan mereka (Adisusanto, 2000:2).
Kedua, iman merupakan jawaban pribadi dan menyeluruh dari manusia kepada
Tuhan (Telaumbanua, 1999:44). Penyerahan diri secara menyeluruh, tidak hanya
persetujuan akal atau ketaatan moral, sesuai dengan hakekat Sabda Allah yang dinamis,
hidup dan personal. Kepada Allah yang mewahyukan diri dan menyampaikan anugerah
52
manusia beriman memberikan jawaban secara keseluruhan dari budi, perasaan,
kehendak dan perilaku.
Ketiga, iman merupakan anugerah dan rahmat (Telaumbanua, 1999:45). Iman
yang merupakan jawaban manusia terhadap sapaan Allah, terutama merupakan karya
Allah sendiri. Hal ini bukan hanya karena iman merupakan inisiatif Allah, tetapi
terutama karena tindakan manusia menerima Sabda Allah dan hal ini hanya dapat terjadi
karena digerakkan oleh Roh Kudus (Adisusanto, 2000:3).
b. Perkembangan Iman
Perkembangan dalam Kamus Bahasa Indonesia (Depertemen Pendidikan
Nasional, 2007:556): menjadi bertambah-tambah sempurna (pikiran, pengetahuan, dan
lain-lain), membiak menjadi banyak (merata, meluas, dan sebagainya); pikiran dan
perasaan anak mulai berkembang.
Sigmud Freud (1856-1939) mengatakan perkembangan merupakan suatu
proses ke depan, di mana perkembangan kepribadian seseorang dapat mengalami
perubahan-perubahan psikologis atau mental dalam proses menjadi dewasa (Psikologi
Umum, 1985:34-35).
Perkembangan adalah serangkaian perbuatan progresif yang terjadi sebagai
akibat dari proses kematangan dan pengalaman (Hurlock, 1990:2). Ini berarti bahwa
perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan
seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi
dari banyak struktur dan fungsi komplek (Sunarto, 1994:29). Berbagai perubahan dalam
perkembangan bertujuan untuk memungkinkan orang menyesuaikan diri dengan
lingkungan di mana ia hidup. Perkembangan iman ialah Tanda-tanda yang menunjukan
53
bahwa iman keluarga berkembang. Tanda-tanda itu dapat dilihat dari perilaku atau
perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga.
Supratiknya (1995:83) mengatakan bahwa di satu pihak perkembangan
merupakan transformasi struktur-struktur kognitif yang dianggap sebagai hasil seluruh
interaksi yang terjadi antara toleransi struktur organisasi dan di pihak lain ciri-ciri khas
struktural lingkungan atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan dan situasi sosial,
ekonomis dan politik dapat mengembang bagi terjadinya peralihan tahap tersebut.
Dari pernyataan ini dapat dirumuskan bahwa perkembangan ialah proses dan
usaha orang-orang dewasa atau orang-tua secara terus-menerus untuk membantu anak
agar imannya semakin berkembang. Bila seseorang semakin dewasa secara menyeluruh,
maka biasanya juga semakin dewasa dalam iman.
Pada umumnya perkembangan hidup beriman melalui tahap-tahap yang teratur
dan mendalam. Proses itu merupakan dinamika antar pewartaan dan penerimaan wahyu
dalam iman yang sekaligus merupakan perkembangan yang terus-menerus. Sedangkan
iman menurut Amalorpavadas 1982:17) adalah pertemuan pribadi yang mendalam
dengan Allah yang hidup, di mana manusia menyerahkan diri dengan penuh cinta
kepada-Nya, suatu penyerahan tanpa batas untuk hidup bagi Allah dan sesuai dengan
perintah-Nya. Dengan demikian iman pertama-tama merupakan suatu peristiwa
hubungan atau perjumpaan secara pribadi antara manusia dengan Allah. Jadi dapat
dikatakan bahwa iman merupakan pertemuan pribadi dan mendalam dengan Allah yang
hidup di mana terjadi suatu penerimaan akan kehadiran Allah dan penyerahan diri
seutuhnya kepada kehendak Allah atas hidup kita.
Dalam buku Ilmu kateketik dikatakan bahwa seorang yang beriman adalah “Orang yang menerima dan mau tunduk serta berserah kepada Allah, mempercayakan diri sungguh kepada Allah, menerima bahwa Allah adalah kebenaran, menaruh sandaran kepada-Nya dan bukan dirinya sendiri, dan dengan demikian menjadi teguh dan benar oleh karena keteguhan dan kebenaran Allah” (Telaumbanua, 1999:44).
54
Dengan demikian seseorang dapat dikatakan beriman bila percaya dan
menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah. Beriman berarti menyerahkan diri
sepenuhnya kepada kehendak dan kuasa Tuhan. Manusia akan mencapai iman yang
mendalam dan penyerahan diri seutuhnya pada Tuhan, apabila membiasakan diri untuk
menghadirkan bimbingan Roh Kudus dalam setiap peristiwa hidupnya dan membiarkan
hidupnya dipimpin oleh-Nya. Oleh karena itu melalui dan di dalam Dialah hidup
semakin terarah dan akhirnya semakin percaya dan berharap pada Tuhan yang adalah
kebenaran.
Dalam kehidupan sehari-hari tidak ada seorangpun yang dapat berkembang
tanpa ada pengaruh dari luar, mereka saling berpengaruh satu sama lain, bahkan dapat
dikatakan bahwa seseorang akan mati apa bila tidak ada campur tangan dari orang lain
yang mampu mendidiknya sehingga ia berkembang menjadi manusia dewasa, maka
seseorang memerlukan pendidikan bagi perkembangan diri selanjutnya. Perkembangan
seseorang juga meliputi imannya.
Iman seseorang tidak dapat berkembang apabila tidak ada usaha dari dirinya
dan dari luar untuk mengembangkan dan membimbingnya. Seseorang yang beriman
kristiani memerlukan suatu pendidikan yang mampu membina imannya menuju
kedewasaan dirinya sebagai orang yang beriman.
Dari pernyataann ini mau menyatakan bahwa perkembangan iman ialah
hormat dan kasih manusia terhadap Allah. Maka yang dimaksud dengan perkembangan
iman keluarga ialah proses dan usaha-usaha keluarga untuk membantu anak agar
mereka mampu menghormati dan mengasihi Allah, sebagai Pencipta dan Penyelamat.
Hormat dan kasih manusia terhadap Allah itu biasanya berkembang bersamaan dengan
perkembangan seluruh kepribadiannya. Bila seseorang semakin dewasa secara
menyeluruh, maka biasanya ia juga semakin dewasa dalam iman.
55
c. Keluarga Yang Berkembang Imannya
Dalam iman, Keluarga Kudus menaklukan seluruh hidup, pikiran dan kehendak
mereka kepada Allah. Dengan iman Keluarga Kudus menyerahkan diri seluruhnya
kepada Allah dan mengimani secara absolut apa yang Allah sabdakan sebagai tepat dan
benar. Keluarga Kudus, dapat dikatakan sebagai wakil atau lambang dari umat manusia,
yang menanggapi secara bebas tawaran keselamatan yang datang dari Allah yang akan
dilaksanakan oleh Yesus Kristus, PuteraNya (Mat 1:21). Sebagaimana keluarga-
keluarga Yahudi pada zaman itu untuk menguduskan hari dengan berkumpul di
Sinagoga dipagi hari maupun di sore hari. Selain doa bersama, orang Yahudi juga
berdoa dalam keluarga sebelum makan. Maria digambarkan sebagai orang yang
mempunyai kebiasaan merenungkan peristiwa-peristiwa yang dialaminya (Luk 2:19-
51). Peristiwa hidup direnungkan terus dihadapan Tuhan hingga berkat rahmat Tuhan
sedikit demi sedikit peristiwa itu memberi makna. Yusup sebagai seorang yang tulus
hati. Bahwa, Yusuf melakukan kebiasaan-kebiasaan saleh, berdoa baik pribadi maupun
bersama dalam Sinagoga atau dalam keluarganya. Yusup bertanggungjawab melindungi
keluarganya, meski berat, jauh, penuh resiko, ia melakukan apa yang menjadi tugasnya.
Demikianpun Yesus, mempunyai kebiasaan menyendiri untuk berdoa, Ia melakukannya
pada waktu mengalami pertentangan rohani (Luk 22:39-46), di atas kayu salib (Mat
27:46; Luk 23:46). Keluarga Kudus dari Nazareth, merupakan persekutuan cinta antara
Yesus, Maria, dan Yosep, menjadi model dan cita-cita setiap keluarga Kristen (Gal 2:
20).
Di dalam masyarakat umum telah banyak dikenal berbagai macam istilah
tentang keluarga. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan: “Keluarga
diartikan sanak saudara, kaum kerabat, orang seisi rumah. “Dengan kata lain keluarga
adalah siapa saja yang tinggal di dalam lingkungan rumah tangga.
56
Hardiwardoyo (2006:3), membagi pengertian tentang keluarga menjadi dua
bagian yaitu: “Keluarga inti dan keluarga besar”. Keluarga inti merupakan kelompok
orang-orang yang mempunyai hubungannya yang erat sekali dan jumlahnya sedikit
yang meliputi ayah, ibu dan anak-anak mereka. Sedangkan dalam keluarga besar
merupakan kelompok orang-orang yang mempunyai hubungan yang akrab satu sama
lain karena adanya hubungan darah atau ikatan perkawinan yang meliputi semua sanak
saudara: kakek, nenek, suami-istri, anak-anak, cucu, cicit, keponakan, bibi, paman dan
sebagainya. Jadi, yang termasuk keluarga besar meliputi semua orang yang bergantung
pada kelompok sanak saudara di dalam satu keturunan.
Dalam Perjanjian baru, istilah keluarga terdiri dari dua kata yakni: “Patria dan
Oikos”. Patria berarti keluarga dari sudut pandang relasi historis seperti garis keturunan
(Luk 2:4). “Yusuf berasal dari keluarga keturunan Daud”. Sedangkan Oikos dimengerti
sebagai keluarga dalam arti rumah tangga. Perjanjian baru juga mengakui peran penting
keluarga dalam memelihara iman. Gereja yang hidup itu tumbuh dalam keluarga yakni
dalam perjanjian Injil di rumh-rumah (Kis 5:42), dalam baptisan (Kis 2:15), dan dalam
pemecahan roti (Kis 2:46).
Keluarga yang berkembang imannya adalah keluarga kristiani yang dipanggil
untuk turut serta dalam tugas perutusan Gereja, melalui baptisan setiap pribadi
mendapat hak menjadi anak Allah. Warga Gereja ikut terlibat mewujudkan Kerajaan
Allah. Allah mendatangi umatnya dengan menyatakan diri-Nya, dan menyatakan
rencana keselamatan-Nya. Wahyu Allah sampai kepada manusia, dan manusia
menanggapinya. Tanggapan inilah yang menjadi jawaban manusia atas sapaan Allah
sendiri. Manusia bertemu dengan Allah melalui Sabda-sabda, dan di dalam perjumpaan
itu manusia mengimani Allah. Dalam iman, memasuki hidup manusia yang serba
terbatas, menyapa dan memanggilnya (KWI, 1996:129). Yang diimani adalah Yesus
57
yang telah menderita, wafat, dan bangkit dari alam maut. Iman ini membawa manusia
untuk ikut ambil bagian dalam mewartakan kerajaan Allah melalui tugas perutusan
Gereja.
1) Bidang Liturgi
Gereja dipanggil untuk menciptakan tempat dan kesempatan, dalam mana
kehidupan dan sejarah, setelah ditebus dan diselamatkan, dirayakan, diangkat dan
dijadikan proyek serta tempat perwujudan kerajaan Allah (Adisusanto, 200:17). Liturgi
merupakan wahana utama untuk mengantar umat kristen dalam persatuan pribadi
dengan Kristus (SC, art.7). Maka keluarga ikut serta dalam tugas ini dalam
pengembangan imannya dan juga iman Gereja.
Dalam persekutuan umat beriman sebagai anggota Gereja keluarga tidak dapat
dipisahkan dari komunitas karena mempunyai tanggungjawab untuk meningkatkan
melaksanakan tugas-tugas perutusan Gereja. Dalam pembaptisan semua orang diangkat
dan dikuduskan menjadi anak-anak Allah, dan karenanya dipanggil kepada kekudusan.
Dalam tugas pengudusan ini umat beriman kristiani mempunyai peranan sendiri untuk
ambil bagian secara aktif menurut cara masing-masing.
Dalam Ekaristi keluarga diarahkan untuk merenungkan dan menghadirkan
misteri keselamatan. Sebab dalam Ekaristi terletak puncak karya Allah untuk
memuliakan bapa dengan perantaraan Putera-Nya. Dalam mencapai hal tersebut
dibutuhkan partisipasi umat untuk menempatkan bahwa perayaan Ekaristi itu secara
hakiki adalah suatu perayaan umat. Dalam perayaan Ekaristi diperlukan keterlibatan
umat, baik sebagai petugas liturgi yakni: sebagai lektor, anggota koor, pemazmur,
dirigen, pembawa persembahan, penata altar dan lain-lain. Semua ini mendukung
suasana perayaan liturgi sehingga membantu umat untuk merayakan imannya, dan
membantu masuk dalam suasana doa yang tenang dan khidmat.
58
Banyak keluarga telah memahami makna dan simbol-simbol liturgi,
menguasai teknik-teknik membuat persiapan naskah liurgi dengan baik. Kenyataannya
tidak jarang ditemukan di Gereja-gereja ketika perayaan Ekaristi sedang berlangsung
keluarga banyak datang terlambat, umat bercerita atau berbisik-bisik saat kotbah, umat
menerima telepon saat konsekrasi, dan umat pulang sebelum berkat penutup. Keluarga
yang menghayati liturgi secara benar adalah keluarga yang siap penuh iman dan
kepasrahan dalam merayakan liturgi secara hormat, khidmat dan sukacita. Keluarga
demikian akan bersukacita dan merasa damai sebab telah dapat mengikuti perayaan
kudus (Martasudjita, 2002:7-10). Hidup liturgi dan hidup sehari-hari tidak terpisahkan.
Iman merupakan penghubung antara hidup liturgis dan hidup sehari-hari. Iman akan
Tuhan yang hadir dan senantiasa menyertai dan bersama manusia. Martasudjito
(2002:14), menyatakan: “Dalam hidup liturgis, iman akan Tuhan yang hadir dan
menyertai hidup kita diungkapkan secara eksplisit dan sadar. Tetapi pada hidup sehari-
hari, iman tersebut diwujudkan dalam tindakan dan aksi konkrit dan nyata, meskipun
dari pihak kita, belum tentu sungguh-sungguh menyadari iman tersebut”.
Keluarga dikatakan beriman bila tidak memisahkan antara hidup liturgis dan
hidup sehari-hari. Tapi apa yang dipahami dan dihayati dalam perayaan liturgi
diwujudkan dalam hidup sehari-hari. Orang sebelum pergi ke Gereja mempersiapkan
diri sebelumnya baik fisik maupun hati. Keluarga yang berliturgi akan tampak dalam
sikap dan tindakannya. Misalnya orang sebelum pergi ke Gereja mempersiapkan diri
lebih dahulu, baik fisik maupun hati, misalnya; sudah membaca Injil sebelum ke Gereja,
orang akan datang lebih awal ke Gereja, di dalam Gereja tenang dan khidmat
mendengarkan bacaan kitab Suci dan menyambut Tubuh dan darah Kristus. Di dalam
hidup harian semakin memupuk relasi dengan Tuhan melalui doa pribadi atau bersama,
renungan-renungan, bacaan rohani dan bacaan Kitab Suci, doa Rosario dan doa-doa
59
yang lain. Keluarga yang menghayati imannya dengan merayakan Ekaristi dapat hidup
bersaudara dengan siapaun di tengah masyarakat, memiliki rasa belarasa pada
kebutuhan orang lain, peka terhadap situasi orang lain.
2) Bidang Diakonia
Keluarga kristiani bertugas memberikan hidup kepada pribadi-pribadi yang ada
dalam rumah tangga, sebab merupakan berkat dan rencana Allah yang fundamental.
Lebih lanjut ditegaskan dalam Familiaris Consortio sebagai berikut:
Perutusan mendidik meminta orang tua, untuk menyampaikan kepada anak-anak mereka semua pokok yang dibutuhkan, supaya anak-anak tahap demi tahap menjadi dewasa kepribadiannya ditinjau dari sudut Kristen maupun gerejawi. Maka hendaklah mereka menganut pedoman-pedoman yang telah diuraikan, serta berusaha menunjukkan kepada anak-anak mereka, betapa iman dan cintakasih akan Yesus Kristus dapat menyingkapkan maknanya yang mendalam. Selain itu kesadaran, bahwa Tuhan mempercayakan kepada orang tua kristen pertumbuhan anak Allah, saudara atau saudari Kristus, kenisah Roh Kudus, anggota Gereja, akan mendorong mereka menjalankan tugas mengukuhkan kurnia rahmat ilahi dalam jiwa anak-anak mereka (FC, art.39).
Rumusan ini menegaskan bahwa orang tua kristiani, berkewajiban untuk
mengabdi pada kehidupan dengan melahirkan dan mendidik anak agar berkembang
menjadi pribadi yang beriman dewasa. Orang tua mendidik anak-anak untuk beriman
kepada Yesus Kristus tidak hanya dengan kata-kata tetapi terutama melalui kesaksian
hidup yang nyata dalam hidup sehari-hari. Teladan hidup orang tua kristiani harus
memperlihatkan pada anak, arti mendalam tentang kepercayaan dan cinta kepada Tuhan
Yesus Kristus.
Hardiwiratno (1999:66-67) mengatakan orang tua harus berusaha untuk
memperlihatkan kepada anak-anaknya arti yang mendalam tentang kepercayaan dan
cinta kepada Tuhan Yesus Kristus. Orang tua didukung di dalam tugas ini oleh karena
kesadaran bahwa Tuhan telah memberikan kepercayaan kepada mereka untuk mendidik
anak-anak sehingga berkembang sebagai anak-anak Allah, sebagai saudara-saudara
60
Yesus, bait Roh Kudus dan sebagai anggota Gereja. Maksud dari pendidikan iman
antara lain sebagai berikut:
a) Anak dapat memahami misteri keselamatan Allah dalam diri Yesus Kristus secara
bertahap dengan membaca dan merenungkan Sabda Tuhan dalam Kitab Suci
bersama orang tua dalam keluarga
b) Orang tua membantu anak untuk menyembah Allah dan Bapa di dalam Roh dan
kebenaran, khususnya melalui liturgy
c) Melatih anak agar dapat hidup sebagai orang yang berbudi dan suci dalam pergaulan
hidup sehari-hari
3) Bidang Koinonia
Katekismus Gereja Katolik (1983: art. 2205:563) mengatakan: “Keluarga
Kristen adalah persekutuan pribadi-pribadi, satu tanda persekutuan Bapa dan Putra dan
Roh Kudus. Di dalam kelahiran dan pendidikan anak-anak tercerminlah kembali karya
penciptaan Bapa”. Dengan demikian keluarga terbentuk dari persekutuan suami-istri
yang didasarkan atas cinta kasih, persetujuan dari kedua belah pihak secara timbal-
balik. Keluarga yang terdiri dari suami-istri, anak-anak, anggota keluarga yang lain,
merupakan suatu komunitas antar-pribadi.
Tugas utama yang harus dilaksanakan dalam keluarga adalah bekerja sama
untuk membangun komunitas yang lebih autentik atas dasar hidup rukun antar pribadi.
Cinta kasih yang bebas dan tulus ini akan mendukung perkembangan diri antar pribadi
yang mengarahkan pada suatu persekutuan yang mendalam dan intens. Tanpa cinta
kasih yang tulus dan bebas keluarga kristiani tidak dapat berkembang sebagai
persekutuan pribadi-pribadi (Komisi Keluarga KWI, 1996:14).
Koinonia yang berarti persekutuan, seperti yang dilukiskan dalam jemaat
perdana di Yerusalem, bahwa mereka adalah “Sehati Sejiwa”. Membangun jemaat lewat
61
persekutuan iman, harapan dan kasih. Berkat iman kepercayaan kepada Kristus, serta
sakramen baptis yang telah diterima, umat Kristen dipersatukan menjadi anggota
Gereja. Sebab dengan pembaptisan tersebut kita menjadi saudara dalam satu ikatan,
yaitu dalam Kristus yang selalu diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan
hubungan persaudaraan ini akan mengantar umat beriman kristiani ke dalam kesatuan
yang penuh dan sempurna menurut kehendak Tuhan (UR, art.5). Wujud dan tanda
persaudaraan tersebut dapat berupa sebuah paguyuban, kelompok religius, serta
kegiatan-kegiatan religius dan lain-lain (UR, art.6).
4) Bidang Kerygma
Kata “Kerygma” dapat diartikan dengan pewartaan. Dalam melaksanakan
pewartaan, semua umat beriman kristiani dipanggil untuk ambil bagian dalam karya
keselamatan Allah (AA, art.2,3). Jadi semua orang kristiani dipanggil sebagai pewarta.
Pewartaan Sabda dapat berbentuk khotbah, katekese atau evangelisasi. Tujuan
pastoral ini adalah membantu umat untuk tumbuh dan berkembang dalam komunitas
iman. Selain itu untuk menunjukkan makna hidup yang lebih mendalam. Dengan
demikian persekutuan yang dihimpun oleh Sabda Allah ini hidup dalam pewartaan
terang Sabda Allah.
Konsili vatikan II dalam GE, art. 2 menyatakan bahwa: “Pendidikan itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia….,melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah makin mendalami misteri keselamatan, dan hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima: supaya mereka belajar bersujud kepada Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (Yoh 5:23), terutama dalam perayaan liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati (4:22-24); supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan tubuh mistik. Kecuali itu hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka (1 Petr 3:15), serta mendukung perubahan dunia menurut tata nilai Kristen”.
62
Dari pernyataan itu, konsili mau menegaskan tentang arah dari pendidikan
Kristen. Pada hakekatnya, pendidikan Kristen terarah pada pendewasaan pribadi dan
terlebih iman. Dalam hal pendewasaan iman, pendidikan pertama-tama ditujukan pada
pemahaman akan misteri penyelamatan Allah bagi anak-anak yang sudah dibaptis.
Anak di bina dan dibimbing untuk menyadari anugerah iman serta belajar untuk
berbakti kepada Allah, khususnya dalam perayaan-perayaan liturgi Gereja. Kemudian
anak diajar untuk menghayati serta mewujudkan iman dalam kehidupan nyata dalam
masyarakat (Hardiwiratno, 1994:48), karena pada hakekatnya iman itu mencakup
pemahaman dan perwujudan nyata. Dengan kata lain anak-anak dituntun untuk menjadi
dewasa dalam iman; semakin bertambah hikmahnya dan semakin berkenan pada Allah
serta mau terlibat secara aktif dalam pembangunan Gereja dan masyarakat sebagai
“garam dan terang dunia”. Dengan demikian, orientasi dasar dari pendidikan iman
Kristen adalah mendidik anak sejak dini untuk mengenal Allah, mencintai dan berbakti
kepada-Nya serta mencintai sesama sesuai dengan iman yang telah ditanamkan dalam
diri mereka oleh Allah. Dalam konteks itu, keluarga dapat menjadi sekolah iman
(Darmawijaya 1995:58-62).
a) Keluarga sebagai sekolah iman
Keluarga sebagai “Sekolah iman” berarti bahwa keluarga menjadi tempat
pendidikan iman yang pertama dan utama. Dalam keluargalah kehidupan iman
seseorang dididik dan dikembangkan. Tanpa pendidikan, iman anak tidak akan
berkembang. Perkembangan iman anak membutuhkan lahan yang subur. Keluarga
sebagai lahan subur terwujud dalam penciptaan keluarga sebagai komunitas antar
pribadi (Eminyan Maurice, 2001:155). Komunitas antar pribadi itu ditandai oleh
semangat saling mencintai dengan penuh kesetiaan, saling mau berkomunikasi atau
berdialog secara terbuka dan jujur, saling menerima apa adanya, saling memperhatikan,
63
saling memaafkan, saling menolong, saling berkorban, dan saling mendoakan. Dalam
arti itu, keluarga menjadi tempat untuk menemukan kekayaan hidup kristiani. Dalam
keluarga anak dapat belajar banyak hal yang menopang kehidupan. Dengan kata lain,
keluarga memungkinkan benih iman yang telah tertabur oleh Allah sendiri berkembang
dan berbuah.
Keluarga sebagai “Sekolah Iman” merupakan saluran iman dan tempat inisiasi
kristen dimulai (Hardiwiratno, 1994:85). Keluarga merupakan tempat di mana misteri
iman dan keselamatan yang terjadi dalam perayaan liturgi atau perayaan-perayaan
sakramen dan yang terjadi lewat peristiwa-peristiwa hidup sehari-hari diperkenalkan
dan dihidupi. Dengan kata lain, keluarga menjadi sekolah mengikuti Yesus dan menjadi
pusat katekese sakramental bagi anak-anak. Orang tua terpanggil untuk
memperkenalkan Allah dan ambil bagian secara aktif dalam mempersiapkan anak untuk
menerima sakramen inisiasi (baptis, ekaristi dan krisma).
b) Orang tua sebagai model
Peran orang tua sangat besar bagi perkembangan iman anak. Dalam surat
kepada keluarga-keluarga, Yohanes Paulus II menyatakan bahwa dalam bidang
pendidikan agama, peran orang tua tak dapat digantikan. Pendidikan agama dan
katekese anak-anak menjadikan keluarga sebagai suatu subyek dari evangelisasi dan
kerasulan yang sejati dalam Gereja. Dengan demikian keluarga dimungkinkan
berkembang menjadi “Gereja keluarga” (Paus Yohanes Paulus II,Surat kepada
keluarga-keluarga”, art.16).
Dalam pembinaan iman anak, orang tua sering dipandang sebagai “guru” yang
mengajar “ibu” yang mempertumbuhkembangkan serta memelihara iman bagi anak-
anak mereka. Dengan kata lain, orang tua dipandang sebagai pelayan Gereja di mana
iman diteruskan dari generasi ke generasi melalui keluarga. Dalam hal ini, anak-anak
64
dipandang sebagai anak-anak mereka dan lebih-lebih dipandang sebagai anak-anak
Allah. Pendidikan iman anak oleh orang tua dilaksanakan lebih-lebih lewat kesaksian
hidup (FC, art.38-39). Namun sebagai pendukung orang tua perlu juga mengupayakan
pendidikan lewat katekese sebagai pengajaran instruksional. Pendidikan lewat kesaksian
menjadi faktor penting dan metode yang paling efektif. Anak-anak dapat belajar dalam
hal iman dari contoh konkret kehidupan iman orang tua serta anggota keluarga yang lain
dalam keluarga itu.
Dalam konteks itu, orang tua menjadi model atau pemberi teladan bagi iman
anak-anak mereka (Rianto Wibowo, 1994:67-72). Hal itu penting karena seringkali anak
tidak tertarik untuk mendengarkan nasihat-nasihat orang tua yang maksudnya baik bagi
anak, namun lebih tertarik untuk melihat sikap iman dari orang tua dalam hidup
keseharian. Dengan kata lain, anak-anak tidak hanya membutuhkan kata-kata melainkan
terutama membutuhkan keteladanan hidup dari orang tua. Anak-anak akan lebih banyak
belajar dari apa yang dilakukan orang tua.
Pendidikan iman anak sangat erat hubungannya dengan orang tua, sebab
pertama kali anak hadir dalam lingkungan keluarga sekaligus orang tua adalah pendidik
iman anak yang pertama dan utama (Prihartana Agung, 2007:51). Namun, dewasa ini
orang tua disibukkan dengan tugas memenuhi kebutuhan materi bagi anaknya.
Kurangnya kesempatan bersama dalam keluarga antara anak dengan orang tua
berpengaruh kurangnya perhatian orang tua terhadap kebutuhan rohani anak-anaknya.
Menjawab keprihatinan dan sekaligus menjadi alasan saya untuk mendalami topik ini
adalah usaha mengajak orang tua untuk kembali menyadari tugas pokoknya dalam
mendidik iman anak-anak supaya menjadi orang katolik sejati.
Tugas mendidik berakar dalam panggilan utama suami-istri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah. Dengan membangkitkan dalam dan demi cintakasih seorang pribadi yang baru, yang dalam dirinya mengemban panggilan untuk bertumbuh dan mengembangkan diri, orang-tua sekaligus
65
bertugas mendampinginya secara efektif untuk menghayati hidup manusiawi yang sepenuhnya (FC, art.36)
Pernyataan di atas secara jelas menegaskan garis besar pendidikan yang dapat
diperkembangkan menurut ciri-ciri dasarnya. Peranan orang tua sebagai pendidik
memiliki ciri khas yakni: cinta kasih sebagai orang tua, yang terwujud sepenuhnya
dalam tugas mendidik, sebab tugas ini menyempurnakan pengabdian mereka pada
kehidupan. Selain menjadi sumber, cinta kasih orang tua merupakan prinsip yang
dijiwai, serta mengarahkan kegiatan konkret mendidik dengan sikap-sikap seperti:
keramahan, kebaikan hati, pengabdian tanpa pamrih dan pengorbanan diri, yang
merupakan buah hasil cinta kasih yang paling berharga. Orang tualah yang pertama-
tama menjadi pelaku pendampingan bagi anak-anaknya. Betapapun sibuknya bekerja,
orang tua tidak dapat lepas tangan dari tanggungjawabnya sebagai pendidik iman anak.
Pendidikan iman bagi anak tidak hanya terlaksana dengan kata-kata secara instruksional
saja, melainkan terutama melalui kesaksian hidup kegamaan ibu dan ayahnya sendiri
(FC, art.38-39). Oleh karena itu peranan kesaksian kehidupan iman orang tua bagi
perkembangan iman anak-anaknya adalah sangat vital.
Dalam keluarga kristiani orang tua berfungsi menjadi saksi Kristus yang
sungguh-sungguh ada dan nyata dari hidup orang tua sendiri (FC, art.37). Ini berarti
orang tua tidak hanya mengajarkan atau memberi tahu pada anak tentang agama dan
hidup Kristen saja tetapi terutama menjadi saksi, maksudnya mengarahkan seluruh
pribadi melalui teladan hidup yang baik pada anak-anaknya dalam kehidupan sehari-
hari. Dalam konteks membina iman anak, orang tua kristiani berfungsi mengarahkan
dan memberi kesaksian iman yang dihayatinya melalui sikap dan tindakan hidup sehari-
hari. Teladan hidup yang baik dari orang tua perlu didukung dengan lingkungan
keluarga yang harmonis dan dilengkapi penanaman nilai-nilai hakiki pada diri anak
sejak dini.
66
Wignysumarta (2000:159-161) mengatakan bahwa nilai-nilai hakiki yang perlu
ditanamkan sejak dini pada diri anak adalah sebagai berikut :
- Anak hendaknya dibesarkan dengan sikap bebas yang tepat terhadap harta jasmani,
diajak menjalani corak hidup ugahari tanpa kemanjaan, dan insaf sepenuhnya bahwa
manusia lebih bernilai dari pada apa yang dimilikinya. Hal ini penting sebab dalam
masyarakat modern ini, manusia dinilai hanya dari apa yang ia miliki dan ia pakai,
bukan dari kenyataan bahwa ia adalah sesama manusia ciptaan Allah yang sederajat
sebab sama-sama diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26).
- Sikap adil (keadilan). Orang tua perlu menanamkan kesadaran dalam diri anak nilai
keadilan sejati, solider terhadap sesama dan pengabdian yang tanpa pamrih pada
mereka yang miskin dan tersingkir. Selain itu cinta dan pemberian diri orang tua
yang terungkap dalam kemauan saling memperhatikan, saling menolong, saling
bekerja sama, solider menjadi pola norma bagi anak untuk belajar mencintai
saudaranya, temannya, tetangganya dan akhirnya meluas ke seluruh masyarakat
sekitarnya. Jika sejak dini anak telah dibekali sikap belaskasihan adil dan jujur maka
sesuai dengan hukum perkembangan hingga dewasa anak akan mewujudkan nilai-
nilai itu di dalam hidupnya sehari-hari. Karena semuanya telah menjadi miliknya dan
menjadi miliknya bagian dari hidupnya sendiri.
- Nilai kemurnian dalam seksualitas. Orang tua perlu menanamkan kemurnian dalam
seksualitas pada anak-anaknya. Seksualitas perlu dipahami secara keseluruhan
pribadi seutuhnya, jiwa-badan, jasmani-rohaninya (FC, art.37). Dalam keluarga
orang tua perlu memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelaminnya. Dengan
demikian memungkinkan anak untuk menerima dirinya sebagai laki-laki atau
perempuan yang pada gilirannya merekapun akan dapat menerima orang lain apa
adanya. Pendidikan kemurnian mutlak perlu diberikan orang tua pada anaknya.
67
Kemurnian mengembangkan kematangan autentik manusia, yang menjadikannya
mampu menghormati dan memupuk makna badan (tubuh) yang memang diciptakan
Tuhan terarahkan pada perkawinan (FC, art.37). Orang tua juga hendaknya memberi
peluang bagi benih panggilan suci, untuk hidup selibat demi kerajaan Allah pada
anak-anaknya.
5) Bidang Martyria
Martyria berarti kesaksian. Menjadi saksi Kristus yang hidup merupakan tugas
dan tanggungjawab dalam menyampaikan kabar gembira. Dengan demikian kehadiran
Tuhan Allah semakin tampak jelas dalam hidup setiap orang, agar dunia percaya bahwa
Yesus diutus oleh bapa-Nya.
Keluarga sebagai pelaku pembangunan di mana keterlibatan sebagai benih,
garam, terang dan ragi bagi masyarakat diwujudnyatakan dalam kehidupan konkret.
Pelayanan pastoral ini pada masa kini, hanya dapat menjawab serta menghadapi
tantangan-tantangan zaman dengan semangat jiwa kristiani. Pelayanan pastoral juga
berusaha agar manusia di abad modern ini tentang mendengarkan suara Allah dalam diri
Yesus Kristus lewat saksi-saksi-Nya dalam pelayanan terhadap segenap umat manusia.
Bolong (2007:52) mengatakan bahwa keluarga yang beriman Kristen harus
menganggap rumah sebagai tempat berdoa, dan beribadat. Di dalam keluarga
ayah,ibu,anak-anak dan semua anggota keluarga melaksanakan imamat umum karena
pembaptisan.
Dari pernyatan ini mau menyatakan bahwa Keluarga yang beriman katolik
adalah keluarga katolik yang berkat pembaptisan dan di dalamnya oleh rahmat
sakramen perkawinan, (Komisi Keluarga KWI, 2003:18) keluarga menjadi anggota
Tubuh Kristus, dijadikan Umat Allah sebagai Imam,Nabi dan Raja, dan oleh karena itu
sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing dipanggil untuk melaksanakan
68
perutusan yang dipercayakan kepada Gereja untuk dilaksanakan di dunia (Canon,
art.24:1).
Keluarga sangat berperan besar dalam proses pembentukan pribadi seseorang,
karena keluarga itu melanjutkan dan menghidupi tradisi hidup manusia. Iman kristiani
juga merupakan suatu tradisi kehidupan, artinya suatu perjalanan hidup. Lewat keluarga
seseorang dimasukkan kedalam pengalaman iman manusia, apakah kristiani atau bukan
iman kristiani. Bagaimanapun juga manusia didalam keluarga telah dimasukkan
kedalam dimensi hidup religious manusia, apakah itu tipis, kuat, tebal dan lain
sebagainya. Jadi merupakan suatu anugerah bila kita lalui dan didik dalam suatu
keluarga yang memiliki rasa religius yang kuat.
Selain nilai-nilai iman yang ditanamkan dalam keluarga, orang tua juga perlu
menanamkan bentuk pendidikan iman lainnya yang bisa membantu perkembangan dan
pertumbuhan iman anak melalui setiap cara yang nantinya dapat membantu pribadi anak
semakin dewasa, mandiri dan bertanggungjawab. Bentuk pendidikan iman maka yang
dimaksudkan di sini adalah pendidikan sosial, pendidikan ketrampilan dan pendidikan
kedisiplinan. Pendidikan sosial bagaimana orang tua mengajari anak-anak mereka
bersikap seperti sikap melayani dengan penuh cinta, sikap untuk bergaul dengan semua
orang, sikap menerima orang lain apa adanya, sikap menghargai dan sikap berempati
atau tenggang rasa kepada orang lain yang menderita dan yang mengalami kesusahan.
Pendidikan ketrampilan, bagaimana orang tua mengajari anak-anaknya untuk terampil
dalam memasak, menjahit, menata bunga, menata rumah, terampil dalam melukis dan
lain-lain. Pendidikan kedisiplinan, bagaimana orang tua mengajari anak-anaknya untuk
disiplin dalam waktu belajar, makan, bermain, bekerja, berdoa baik dalam keluarga,
lingkungan dan Gereja.
69
Apabila dalam keluarga orang tua sudah menanamkan pendidikan ini dan
memberi kepercayaan penuh kepada anak-anaknya sejak masih kecil dalam keluarga,
maka anak akan semakin bertanggungjawab dengan sikap hidupnya baik di dalam
keluarga, sekolah, Gereja maupun masyarakat yang lebih luas.
Orang tua memiliki tugas dan tanggungjawab pertama dan utama dalam
mendidik anak dalam bidang keagamaan, kesosialan, budaya dan kemasyarakatan.
Pendidikan meliputi aspek kognitif (intelektual), afekktif (emosi dan perasaan), etika
(nilai-nilai moral) dan estetika (nilai-nilai keindahan) (Tim Pusat Pendampingan
Keluarga Brayat Minulyo, 2007:23). Dalam rangkah memenuhi tugas mendidik anak
dalam bidang hidup keimanan, orang tua pertama-tama dituntut memiliki pengalaman
yang baik, menampilkan perilaku hidup yang baik sebab anak akan lebih mudah
mencontoh apa yang diperbuat orang tua. Setiap keluarga katolik membiasakan diri
untuk mengadakan doa bersama, membaca, dan merenungkan Sabda Tuhan bersama.
Dengan demikian keluarga menjadi Gereja mini (Hardiwiratno, 1994:85). Keluarga
menjadi kesatuan yang melambangkan kesatuan dari ketiga pribadi Ilahi : Bapa, Putera
dan Roh Kudus. Keluarga adalah Gereja mini tempat kesatuan bapa, ibu dan anak-anak
menjadi komunitas iman “dimana ada dua tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di
situ aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Dalam keluarga seorang anak
sungguh-sungguh dapat mengenal dan memahami Allah. Oleh karena itu dalam
keluarga kristiani orang tua harus membiasakan diri mengadakan doa bersama, ikut
dalam perayaan Ekaristi, menerima sakramen pengampunan secara teratur.
Keluarga katolik mempunyai tugas untuk berpartisipasi dalam misi pewartaan
Gereja yang diterima dari Yesus Kristus yaitu sebagai imam, nabi, dan raja melalui
penghayatan cinta kasih dalam seluruh perjalanan hidup mereka membangun keluarga
yang dijiwai oleh semangat pelayanan, pengorbanan, kesetiaan, pengabdian,
70
membagikan kekayaan rohani yang telah mereka terima dalam sakramen perkawinan
sebagai cerminan dari cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya (FC, art.50). Dalam
bidang kemasyarakatan, orang tua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada
anak-anak dimensi sosial manusia. Anak di didik untuk memiliki jiwa dan semangat
solider, setia kawan, semangat berkorban, dan sehati-sejiwa dengan mereka yang
berkekurangan. Pendidikan dimulai dalam keluarga. Anak dididik dan dilatih untuk mau
membagi apa yang dimiliki. Keluarga katolik dipanggil untuk terlibat aktif dalam
membangun persaudaraan sejati (koinonia) yang didasari cinta, keadilan dan kebenaran
(Tim Pusat Pendampingan Keluarga Brayat Minulya, 2007:24)
Keluarga kristiani ikut menghayati kehidupan misi Gereja, yang mendengarkan
Sabda Allah dengan khidmat serta mewartakan penuh kepercayaan. Begitulah keluarga
menjalankan peranan kenabiannya dengan menyambut setulus hati serta menyiarkan
Sabda Allah. Keluarga dari hari ke hari makin berkembang sebgai persekutuan yang
beriman dan mewartakan Injil (FC, art.51).Dalam bidang kemasyarakatan, orang-tua
mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada anak-anak dimensi sosial manusia.
Anak dididik untuk memiliki jiwa dan semangat solider, setia kawan, semangat
berkorban, dan sehati-sejiwa dengan mereka yang berkekurangan. Pendidikan dimulai
dalam keluarga. Anak dididik dan dilatih untuk mau membagi apa yang dimiliki.
Keluarga katolik dipanggil untuk terlibat aktif dalam membangun persaudaraan sejati
(koinonia) yang didasari cinta, keadilan dan kebenaran (Tim Pusat Pendampingan
Keluarga Brayat Minulya, 2007:24).
Kitab Hukum Kanonik menguraikan orang-tua kristiani sebagai berikut: melebihi semua yang lain, orang-tua berkewajiban untuk membina anak-anak mereka dalam iman dan dalam praktek kehidupan kristiani, baik lewat kata maupun teladan hidup mereka, demikian pula terikat kewajiban yang sama mereka yang menggantikan orang-tua dan bapa-ibu permandian (KHK. Kan. 774, art.2).
71
Rumusan ini menegaskan bahwa orang-tua, karena telah memberi hidup
kepada anak-anaknya, terikat kewajiban yang berat dan mempunyai hak untuk mendidik
mereka, oleh sebab itu adalah pertama-tama tugas orang-tua kristiani untuk
mengusahakan pendidikan kristiani bagi anak-anak menurut ajaran yang diwariskan
Gereja. Orang-tua wajib mendidik anak-anak dengan pendidikan kristiani dalam
keluarga. Orang-tua dipanggil untuk melaksanakan tugas perutusan yang dipercayakan
Allah kepada mereka dalam keluarga, masyarakat dan Gereja tanpa melupakan tugas
yang pertama dan utama sebagai pendidik iman bagi anak-anaknya.
4. Upaya yang dilakukan Para suster komunitas Yogyakarta dalam kegiatan
kunjungan keluarga
Dalam melihat keprihatinan yang ada dalam komunitas, dan lingkungan, salah
satunya adalah bidang pastoral pelayanan kurang mendapat perhatian. Para suster
komunitas Yogyakarta belum ada usaha yang jelas maka perlu tempat dan fasilitas yang
mendukung karya pastoral pelayanan. Para suster komunitas Yogyakarta perlu terjun
dalam bidang pastoral pelayanan yang mendesak serta membutuhkan para suster PRR
yang mampu dan mau. Upaya yang harus dilakukan oleh para suster komunitas dalam
pastoral pelayanan adalah:
a. Usaha melibatkan suster PRR Yogyakarta dalam pastoral pelayanan keluarga
Dalam Konstitusi Tarekat PRR artikel 104 dikatakan: Adapun kerasulan yang
menjadi kegiatan para suster sebagai perwujudan perutusan adalah keterlibatan dalam
karya pastoral setempat dengan melibatkan diri dalam pelayanan. Hendaklah para suster
bersedia melaksanakan pelayanan kerasulan yang ditentukan oleh Konggregasi. Tetapi
sedapat mungkin setiap suster diberi tugas sesuai dengan bakat dan kemampuannya
masing-masing. Keterlibatan dalam bidang pastoral membutuhkan seorang pelayan
72
yang profesional sesuai tuntutan jaman. Profesional dalam arti seorang pelayan yang
yang bukan hanya menjalani studi khusus dalam bidang pendampingan khususnya
bidang pastoral keluarga, tetapi yang mau dan bersedia.
Pendampingan pastoral harus menjadi pertolongan yang konsisten dan dapat
dipercaya dan membutuhkan kesiapan agar dapat dipertanggungjawabkan. Dengan
demikian dibutuhkan suatu pendekatan yang holistik bagi pelayan yang akan menjalani
pendampingan pastoral. Hal ini meliputi persiapan emosi, sikap, komitmen-komitmen
etis sejauh berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan untuk pendampingan
pastoral.
Maka para suster komunitas Jogyakarta yang terlibat dalam pastoral keluarga
perlu adanya kemauan dan kerelaan dalam pendampingan pastoral agar dapat berjalan
dengan baik dan efektif. Dengan adanya kemauan dan kerelaan dapat memampukan
para suster untuk terlibat dalam karya pastoral keluarga sesuai dengan spiritualitas PRR.
Dalam kenyataan jaman sekarang masalah keluarga sangat kompleks maka
dibutuhkan pendampingan dalam hal ini para suster yang kompeten dalam bidang
pastoral keluarga. Kompeten dalam arti bahwa bisa bekerja sama dengan sesama yang
lain. Mengadakan kunjungan keluarga yang integretet dengan membuat catatan kasus,
melalui langkah yang tepat dan bertahap. Apabila telah menemukan permasalahan
dengan jelas, maka usaha untuk mencari solusi. Penanggulan preventif dengan
mengadakan kegiatan bina iman, mengembangkan ketrampilan, mental, sosial dan lain-
lain. Perlu ada kegiatan-kegiatan khusus menyangkut soal keluarga yang terbuka bagi
umum.
73
b. Usaha mengutamakan sesama yang lemah,miskin dan terlantar
Para suster PRR berusaha untuk mengutamakan sesama yang menderita akibat
ketidakadilan dan berupaya untuk:
1) Meningkatkan kesadaran bahwa di dunia ini ada orang-orang miskin dan tertindas
2) Mewujudkan solidaritas dengan menjalankan apa saja yang mungkin dilakukan
untuk turut serta dalam penderitaan sesama dan meringankannya
3) Menyadari kemiskinan dan keterbatasan diri sehingga berkembanglah rasa solidaritas
dengan sesama yang miskin dan tertindas
4) Menyingkapkan sebab-sebab ketidakadilan serta berusaha menemukan bentuk
ketidakadilan yang menyusup dalam kehidupan
5) Meneliti kemampuan kita untuk dapat turut serta mengubah situasi dan system
ketidakadilan dan masyarakat.
B. Penelitian Yang Relevan
Kunjungan keluarga adalah salah satu bentuk pastoral yang diselenggarakan
oleh para suster dalam usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan iman keluarga
katolik. Melalui kegiatan kunjungan keluarga yang diselenggarakan oleh para suster
tersebut, diharapkan agar keluarga tidak hanya mengerti ajaran-ajaran kristiani, tetapi
juga mereka dapat mengikuti dan meneladani ajaran-ajaran Kristus itu sendiri dalam
kehidupan keluarga setiap hari, sehingga mereka dapat berkembang menjadi iman yang
dewasa dan bertanggungjawab. Di samping itu diantara keluarga-keluarga katolik yang
selama ini yang tidak aktif dalam kegiatan di lingkungan dimintai pendampat
sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan kunjungan keluarga tersebut. Populasi
penelitian ini adalah keluarga-keluarga katolik di lingkungan Maria Ratu Rosari. Jumlah
seluruh keluarga katolik di lingkungan Maria Ratu Rosari sebanyak + 30 kepala
74
keluarga, yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 responden,
cara pengambilan jumlah responden adalah 20 % dari jumlah seluruh keluarga katolik.
Metode yang dipakai adalah penelitian deskriptif yaitu metode penelitian yang
dilakukan dengan tujuan membuat gambaran deskripsi tentang keadaan secara obyektif.
Pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan Angket dan
wawancara, artinya setiap responden di mintai pendapat sesuai pengalaman responden.
Tujuan pengumpulan data ini adalah menggali semua pendapat keinginan yang
berkaitan langsung dengan situasi responden.
Dari penelitian diperoleh hasil sharing bahwa orang tua semakin menyadari
tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik iman yang pertama dan utama dalam
keluarga.
Terselenggaranya kegiatan kunjungan keluarga ini didukung oleh jadwal kegiatan
lingkungan yang tepat, dan tidak membutuhkan biaya. Kegiatan kunjungan keluarga
terhambat oleh kurangnya dukungan dari keluarga dan komunitas. Penulis melihat
bahwa penelitian yang dilakukan oleh penulis ini relevan dengan situasi yang dialami
oleh umat di lingkungan Maria Ratu Rosari.
C. Kerangka Pikir
Kunjungan keluarga adalah salah satu bentuk pastoral yang diselenggarakan
oleh paroki atau Gereja dengan tujuan bukan untuk mempertobatkan atau membujuk
seseorang agar aktif dalam kegiatan-kegiatan gerejawi atau membantu keluarga
memecahkan masalah mereka, namun maksud dari kunjungan keluarga adalah mau
bersikap terbuka dan memperhatikan keadaaan orang lain.
75
Manfaat dari kunjungan keluarga adalah banyak pengalaman yang bisa didapat,
hubungan yang akrab, serta membuat keluarga merasa lebih disapa. Dengan kegiatan
kunjungan keluarga, membantu keluarga untuk mengembangkan iman mereka.
Perkembangan iman bukanlah suatu peristiwa yang hanya terjadi satu kali
seumur hidupnya, tetapi merupakan suatu proses pertumbuhan yang secara terus-
menerus. Pendidikan iman dalam keluarga adalah membantu anak untuk bertumbuh dan
berkembang menjadi seorang pribadi yang dewasa dan bertanggungjawab, maka
pendidikan iman anak merupakan hal yang penting. Menanamkan iman kepada anak-
anak bukanlah sesuatu yang sekali jadi, tetapi melalui dan membutuhkan suatu proses
yang panjang. Dengan demikian iman yang sudah ditanamkan dalam diri anak sejak
mereka masih kecil akan membantu menemukan nilai-nilai kristiani yang lebih baik.
Perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai
akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Perkembangan bukan sekadar
penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan
kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi
komplek.
Sedangkan iman adalah pertemuan pribadi yang mendalam dengan Allah yang
hidup, dimana manusia menyerahkan diri dengan penuh cinta kepada-Nya, suatu
pengalaman tanpa batas untuk hidup bagi Allah dan sesuai dengan perintah-Nya. Iman
pertama-tama merupakan suatu peristiwa hubungan atau perjumpaan secara pribadi
antara manusia dengan Allah. Seseorang dapat dikatakan beriman bila percaya dan
menyerahkan dirinya seutuhnya kepada Allah. Beriman berarti menyerahkan diri
sepenuhnya kepada kehendak dan kuasa Tuhan.
Iman yang dihayati merupakan warisan bukannya yang dihayati dalam
menghadapi persoalan hidup. Iman dalam diri anak dapat bertumbuh dengan baik dan
76
subur melalui kehidupan dalam keluarga. Dengan demikian pelaku utama dan pertama
dalam pendidikan iman anak adalah orang tua. Orang tua perlu menyadari akan
tanggungjawabnya dalam memberikan bimbingan terhadap anak dalam
mengembangkan iman anak. Untuk menjalankan perannya dengan baik, orang tua perlu
memberikan teladan dan bimbingan, sehingga anak-anak sangat terbantu untuk
mengungungkapkan imannya bila mereka melihat teladan dan kesaksian hidup iman
yang konkret dari orang tuanya. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama dalam
keluarga diharapkan dapat memberikan perhatian dan kasih saying dalam diri anak,
maka dengan demikian anak akan merasa kerasan berada di rumah.
Kunjungan keluarga merupakan kegiatan pastoral yang membawa dampak
postif terhadap perkembangan iman dalam keluarga. Keluarga-keluarga katolik di
lingkungan Maria Ratu Rosari sebagian telah memahami bahwa kunjungan keluarga
membawa dampak postif bagi perkembangan iman keluarga. Mereka menyadari bahwa
dengan kunjungan keluarga mereka merasa terbantu dalam menyadari akan tugas orang
tua yang pertama dan utama dalam membimbing anak. Melalui kegiatan yang
dilaksanakan oleh para suster orang tua juga merasa terbantu dalam usaha
meningkatkan penghayatan akan pengaruh dan fungsi mereka sebagai pendidik yang
pertama dan utama dalam mengembangkan iman anak mereka.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada diagram di bawah ini:
X → Y
Keterangan:
X : Kegiatan Kunjungan Keluarga
Y : Perkembangan Iman keluarga katolik
77
D. Hipotesis
Berdasarkan pada latar belakang masalah, rumusan, tujuan dan kajian pustaka
maka dugaan sementara yang perlu dibuktikan dalam penelitian adalah:
H0 = Tidak ada perbedaan iman keluarga sebelum dan sesudah kegiatan kunjungan
keluarga
H1 = Ada perbedaan iman keluarga sebelum dan sesudah kegiatan kunjungan
Keluarga
78
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan metodologi
penelitian, yaitu: jenis penelitian, desain penelitian, tempat dan waktu penelitian,
populasi, metode pengumpulan data, jenis dan instrument pengumpulan data, serta
teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kuasi eksperimen. Dalam kuasi eksperimen ini
peneliti tidak dapat melakukan kontrol penuh tetapi hanya dapat mengontrol salah satu
dari hal-hal: pengamatan atau pengukuran atas variabel terikat yang dilakukan,
perlakuan atau variabel bebas diberikan (Soehartono, 2004:49).
Jenis penelitian dirancang untuk mengetahui sejauhmana pengaruh kegiatan kunjungan
terhadap perkembangan iman keluarga katolik. Pendekatan yang akan digunakan
adalah: Pendekatan kuantitatif yaitu penelitian dengan menggunakan angka baik dari
pengumpulan data sampai pengolahan data.
B. Desain Penelitian
Desain yang ditempuh dalam penelitian ini adalah: Prates-Pascates satu
kelompok. Desain menempuh tiga langkah yaitu survey untuk mengetaui situasi,
memberi perlakuan kepada subyek variabel bebas (Kegiatan kunjungan keluarga),
kemudian memberi tes lagi untuk mengukur variabel terikat setelah perlakuan
(Pascates). Perbedaan-perbedaan yang disebabkan karena penerapan perlakuan
79
eksperimen ditentukan dengan membandingkan skor prates dan pascates yang
dihasilkan dari alat ukur yang sama atau relatif/identik (Nana Sudjana 2004:35).
Desain Prates-Pascates satu kelompok
Prates Variabel bebas Pascates
Y X Y
Prates Variabel bebas Pascates
Iman keluarga Kegiatan Kunjungan
keluarga
Iman keluarga
C. Tempat dan waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Maria Ratu Rosari wilayah Stasi Santo
Paulus Pringgolayan. Kegiatan penelitian dilaksanakan dari minggu pertama bulan
Oktober sampai minggu pertama bulan Nopember 2009.
D. Populasi Penelitian dan Sampel
Populasi penelitian ini bersifat populatif, artinya semua bapak dan ibu (keluarga
katolik), yang ada di lingkungan Maria Ratu Rosari wilayah Stasi Santo Paulus
Pringgolayan menjadi populasi yang berjumlah 30 keluarga. Jumlah populasi ini
sekaligus menjadi sampel penelitian. Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan untuk
meningkatkan kegiatan kunjungan di Stasi Santo Paulus Pringgolayan serta
pengaruhnya terhadap perkembangan iman keluarga katolik di Stasi tersebut.
80
E. Metode Pengumpulan Data
1. Variabel
a. Variabel bebas: Variabel bebas atau variabel predictor (independent variable)
sering diberi notasi X adalah variabel penyebab atau yang diduga memberikan suatu
pengaruh atau efek terhadap peristiwa lain.
b. Variabel terikat: Variabel terikat atau variabel respons (dependent variable) sering
diberi notasi Y, yakni variabel yang ditimbulkan atau efek dari variabel bebas.
Variabel bebas adalah kegiatan kunjungan keluarga. Jika diadakan kegiatan
kunjungan keluarga maka akan dilihat efeknya pada perkembangan iman keluarga,
maka perkembangan iman keluarga disebut variabel terikat.
2. Definisi Operasional Variabel
a. Kunjungan keluarga
Kunjungan keluarga adalah salah satu bentuk pastoral dalam usaha
pendampingan dan pelayanan yang melibatkan seorang imam atau suster melalui
aksi kunjungan dari rumah ke rumah yang dilaksanakan tidak hanya satu kali saja
tetapi ada kelanjutan atau terus-menerus, yang didalamnya ada suasana, doa, dan
sharing pengalaman. Sehingga orang yang dikunjungi merasa senasib: satu dalam
keakraban, satu dalam kegembiraan, satu dalam penderitaan
b. Iman keluarga
Iman keluarga adalah kepercayaan yang terwujud dalam tingkah laku terus-
menerus yang ditandai dengan senang berdoa dan ke Gereja, senang membantu atau
menolong, dan bersaudara dengan siapa saja. Dalam hal ini menciptakan suasana
keluarga yang menyenangkan, menanamkan kedisiplinan, memberi kesaksian atau
teladan, mengasihi dan memberi perhatian yang penuh bagi perkembangan iman
81
keluarga sehingga menjadi manusia yang dewasa dalam iman dan bertanggungjawab
atas dirinya dan sesama.
3. Instrumen Penelitian
Sebelum mengadakan penelitian, penulis mempersiapkan Pertama, angket
yang berupa daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden. Kedua, wawancara
sebagai alat untuk pengumpul data atau fakta informasi dari seseorang.
a. Angket berupa daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden untuk membantu
penulis memperoleh data yang lengkap dan obyektif. Angket ini langsung diberikan
kepada keluarga-keluarga yang ingin dimintai pendapatnya. Responden hanya boleh
memilih satu alternatif yang sudah disediakan (Sutrisno, 1982:160).
b. Wawancara
Wawancara adalah: suatu alat untuk memperoleh data atau fakta informasi dari
seseorang yang terjadi dengan adanya pertemuan empat mata. Dengan tujuan untuk
mendapat data yang lebih diperlukan untuk bimbingan. Wawancara yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah sebagai alat untuk memperoleh data. Wawancara ini
dilakukan dengan mengadakan kunjungan dari rumah ke rumah.
82
4. Kisi-kisi Indikator
No Variabel Sub Variabel Indikator Item
Perkembangan
Iman keluarga
Memahami/menyadari - Menjelaskan tentang
tugas dan tangungjawab
orang-tua dalam
pendidikan iman anak
1
- Liturgi
- Rajin berdoa dan ke
Gereja
- Doa bersama dalam
keluarga
Membaca Kitab Suci
bersama
7
- Diakonia
- Mengajak anak untuk
ikut doa di lingkungan
- Terlibat dalam kegiatan
di lingkungan
Membiasakan membuat
tanda salib sebelum dan
sesudah makan atau
kegiatan lainnya
6
- Kerygma
- Meluangkan waktu
untuk berkumpul
- Mengantar anak untuk
sekolah minggu
12
83
- Mengampuni dan
memaafkan sesame
Koinonia Membangun dialog
yang sehat
Saling memperhatikan
Memahami orang lain
Menasihati dengan
penuh cinta
Pengukuran pengetahuan orangtua menggunakan angket berskala 4 sebanyak 15
butir, nilai maksimal yang dapat diperoleh adalah 60 dan nilai minimal yang dapat
diperoleh adalah 15.
Pengukuran perwujudan atau tindakan menggunakan angket skala 4. Teknik
pengukurannya dinyatakan dalam bentuk skor yaitu dengan memberi skor 4-1 pada
setiap pernyataan. Adapun jumlah pertanyaan seluruhnya ada 15 butir. Jadi nilai
maksimal yang dapat diperoleh tiap item adalah 60, sedangkan nilai minimal yang dapat
diperoleh adalah 15.
5. Pengembangan Instrumen
1) Analisis Instrumen
Penelitian ini dilaksanakan dengan uji coba terpakai artinya tanpa mengadakan
uji coba sebelum penelitian diadakan. Data yang diperoleh dari penelitian digunakan
untuk menganalisis butir. Dalam uji coba terpakai ini digunakan validitas butir.
Validitas ini diperoleh dengan cara mengkorelasikan skor dari setiap butir pernyataan
dengan skor total dari seluruh butir (Sutrisno Hadi, 2004:125-126). Validitas memiliki
84
arti jika bergerak dari 0,00 sampai dengan 1,00. Dalam uji coba ini penentuan validitas
butir menggunakan koefisien korelasi product momen pada taraf signifikansi 0,05
dengan N atau jumlah responden 30 keluarga, maka butir yang memiliki koefisien
korelasi lebih besar atau sama dengan nilai 0,3 dianggap valid dan layak digunakan
dalam penelitian ini, artinya butir tersebut tidak gugur. Teknik yang digunakan untuk
menguji validitas butir pada dua skala dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
jasa komputer Microsoft Office Excel 2007.
Berdasarkan hasil uji coba terpakai validitas butir dengan menggunakan
koefisien korelasi product moment pada taraf signifikan 5% dengan N (30), maka butir
yang memiliki koefisien korelasi lebih besar atau sama dengan nilai 0,56 dianggap valid
dan layak digunakan dalam penelitian ini. Hasil uji coba terpakai dinyatakan valid. Dari
30 butir item yang diuji menunjukkan bahwa 30 item tersebut dinyatakan valid. Hasil
uji validitas menggunakan jasa komputer program Microsoft Office Excel 2007 dapat
dilihat pada lampiran.
1) Reliabilitas Instrumen
Reliabilitasi alat ukur adalah ketetapan atau keajegan alat tersebut dalam
mengukur apa yang diukurnya. Artinya, kapan pun alat ukur tersebut digunakan akan
memberikan hasil ukur yang sama (Nana Sudjana, 2004: 120-125). Pengukuran yang
memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel. Reliabilitas
memiliki berbagai istilah lain seperti: keterpercayaan, keterandalan, keajegan,
kestabilan dan konsistensi. Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu
skala mengukur suatu faktor atau variabel tertentu secara konsisten. Uji reliabilitas
dalam penelitian ini mengukur konsistensi interval, yakni apakah item-item dari skala
yang dipakai berhubungan satu dengan yang lain. Semain tinggi koefisien korelasi
85
berarti menunjukkan tingkat reliabilitas semakin konsisten. Besar koefisien reliabilitas
berkisar antara 0,000 sampai dengan 1,00 dan tidak ada patokan yang pasti. Namun
demikian besar koefisien reliabilitas semakin mendekati nilai 1,00 berarti terdapat
konsistensi hasil ukur yang semakin sempurna atau tinggi. Dalam penelitian ini uji
reliabilitas menggunakan jasa komputer program Microsoft Office Excel 2007 dan
program komputer SPSS 12 For Windows.
Dari hasil Analisis Soal angket dapat diketahui bahwa Reliabilitas dari soal yang
peneliti buat adalah 0,961.
RELIABILITY ANALYSIS – SCALE (ALPAH)
Reliahbility Coefficients
N of Cases = 30.0 N of Items = 2
Alpha = .961
Dari hasil analisis di atas didapat nilai Alfha sebesar 0.961 adalah bagus. Hal ini
berarti bahwa Instrumen sangat reliabel.
6. Teknik Analisis Data
1) Deskripsi data
Deskripsi data meliputi mean dan penggolongan. Kriteria penggolongan
adalah sebagai berikut: Skor maksimal dikurangi skor minimal dibagi 4. Dengan contoh
15 soal adalah sebagai berikut (60-15/4 : 11,25.
Selalu = 48,75-60
Sering = 37,50-48,75
Jarang = 26,25-37,50
Tidak pernah = 15-26,25
86
2) Uji Hipotesis dengan uji T melalui program SPSS
Hipotesis penelitian diuji dengan uji statistik T tes yang diuji adalah
perbedaan pengetahuan dan perwujudan atau tindakan orang tua sebelum dan sesudah
perlakuan T tes dipakai karena pada sampel termasuk kecil, yakni 30
(Santoso,2003:dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS versi 12,0 For
Windows.
Adapun Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
H0 : Tidak ada perbedaan iman keluarga sebelum dan sesudah kegiatan kunjungan
keluarga
H1 : Ada perbedaan iman keluarga sebelum dan sesudah kegiatan kunjungan keluarga
87
BAB IV
LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Laporan Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkungan Maria Ratu Rosari, Stasi Santo Paulus
Pringgolayan, Paroki Santo Yusup Bintaran Yogyakarta. Lingkungan ini merupakan
lingkungan yang cukup jauh letaknya dari Gereja Stasi Santo Paulus Pringgolayan.
Penelitian ini dilaksanakan dengan empat tahap yaitu: Pertama, kunjungan biasa.
Setelah mendapat persetujuan dari ketua Dewan Stasi dan ketua lingkungan Maria Ratu
Rosari, peneliti mengadakan kunjungan kedua yang disertai dengan penyebaran angket
dengan bantuan ketua lingkungan. Setelah itu peneliti mengadakan wawancara yang
pertama. Setelah penyebaran angket dan wawancara pertama, peneliti mengadakan
kunjungan ketiga, setelah itu kunjungan lagi sekaligus disertai dengan penyebaran
angket dan wawancara kepada keluarga-keluarga katolik yang berada di lingkungan
Maria Ratu Rosari. Pelaksanaan penelitian dimulai pada awal bulan Oktober 2009
sampai awal bulan Nopember 2009 setiap hari pukul 16.00 WIB sampai 18.00 WIB.
Dari 30 angket yang disebarkan oleh peneliti kepada keluarga-keluarga katolik yang
berada di lingkungan Maria Ratu Rosari, soal angket yang kembali kepada peneliti ada
30, berarti semua soal yang disebarkan kembali semua kepada peneliti. Dan dari 30 soal
angket tersebut yang bisa dan memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai data adalah
semua.
Jumlah populasi yang terdapat di lingkungan Maria Ratu Rosari ada 30 keluarga. Dalam
penelitian ini peneliti mengambil 30 sampel penelitian dari 30 keluarga. Demikianlah
gambaran umum tentang hasil penelitian.
88
1. Deskripsi Data Perkembangan Iman keluarga sebelum kegiatan kunjungan
keluarga.
a. Data Hasil Angket
Hasil yang diperoleh sebelum kunjungan: -43,13333. Dari segi pengetahuan
rata-rata 88,1333 dan perwujudan atau tindakan 131,26667 (lihat lampiran).
Deskripsi peran orang-tua sebagai pendidik pertama dan utama dalam pendidikan iman
anak:
Dari hasil data yang terkumpul tentang pengetahuan orang-tua sebagai pendidik
iman anak yang pertama dan utama dalam keluarga dari sebagian besar hasil jawaban
kuesionernya adalah guru agama, para pendamping sekolah minggu dan para
pendamping rohani lainnya karena mereka lebih tahu mengarahkan anak-anak kearah
yang lebih baik (berdasarkan data yang diperoleh) dan sebagian kecil menjawab orang-
tua dan lebih ditujukkan kepada pihak ibu dengan alasan karena ibu yang lebih
mengenal psikologi anak anak lebih banyak waktu dengan anak. Dari jawaban dan
alasannya nampak sekali kalau orang-tua kurang menyadari akan tugasnya sebagai
pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam pendidikan iman anak.
Tabel 1: Rajin Berdoa
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 3 10%
Sering 3 16 53,33%
Jarang 2 4 13,33%
Tidak pernah 1 7 23,33%
Jumlah 30 100%
89
Data sebagaimana tercantum pada tabel 1 di atas menunjukkan bahwa orang-
tua yang memiliki kesadaran untuk doa bersama dalam keluarga dengan klasifikasi baik
atau selalu ada 3 (10%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk doa
bersama dalam keluarga dengan klasifikasi sering ada 16 (53,33%) dari 30 keluarga;
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk doa bersama dalam keluarga dengan
klasifikasi jarang ada 4 (13,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran
untuk doa bersama dalam keluarga dengan klasifikasi tidak pernah ada 7 (23,33%) dari
30 keluarga.
Tabel 2: Rajin ke Gereja
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 9 30%
Sering 3 10 33,33%
Jarang 2 4 13,33%
Tidak pernah 1 7 23,33%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 2 di atas menunjukkan bahwa orang-
tua yang memiliki kesadaran ke Gereja dengan klasifikasi baik atau selalu ada 9 (30%)
dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran ke Gereja dengan klasifikasi
sering ada 10 (33,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran ke Gereja
dengan klasifikasi jarang ada 4 (13,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran ke Gereja dengan klasifikasi tidak pernah ada 7 (23,33%) dari 30 keluarga.
Tebel 3: Mengajak anak untuk ikut doa di lingkungan
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 1 3,33%
90
Sering 3 10 33,33%
Jarang 2 12 40%
Tidak pernah 1 7 23,33%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 3 di atas menunjukkan bahwa orang-tua
yang memiliki kesadaran mengajak anak untuk ikut doa di lingkungan dengan
klasifikasi baik atau selalu ada 1 (3,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran mengajak anak untuk ikut doa di lingkungan dengan klasifikasi sering ada 10
(33,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran mengajak anak untuk
ikut doa di lingkungan dengan klasifikasi jarang ada 12 (40 %) dari 30 keluarga; orang-
tua yang memiliki kesadaran mengajak anak untuk ikut doa di lingkungan dengan
klasifikasi tidak pernah ada 7 (23,33%) dari 30 keluarga.
Tabel 4: Membaca Kitab Suci Bersama
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 17 56%
Sering 3 4 13%
Jarang 2 5 16%
Tidak pernah 1 4 13%
jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 4 di atas menunjukkan bahwa orang-tua
yang memiliki kesadaran untuk membaca Kitab Suci bersama dengan klasifikasi baik
atau selalu 17 (56%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran membaca
Kitab Suci dengan klasifikasi sering ada 4 (13%) dari 30 keluarga; orang-tua yang
memiliki kesadaran membaca Kitab Suci dengan klasifikasi jarang ada 5 (16%) dari 30
91
keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran membaca Kitab Suci dengan klasifikasi
tidak pernah ada 4 (13%) dari 30 keluarga.
Tabel 5: Membantu atau menolong sesama
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 22 73%
Sering 3 5 16%
Jarang 2 3 10%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 5 di atas menunjukkan bahwa orang-tua
yang memiliki kesadaran untuk membantu atau menolong sesama dengan klasifikasi
baik atau selalu ada 22 (73%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran
untuk membantu atau menolong sesama dengan klasifikasi sering ada 5 (16%) dari 30
keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk membantu atau menolong sesama
dengan klasifikasi jarang ada 3 (10%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk membantu atau menolong sesama dengan klasifikasi tidak pernah ada 0
(0%) dari 30 keluarga.
Tabel 6: Terlibat dalam kegiatan di lingkungan
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 3 10%
Sering 3 6 20%
Jarang 2 12 40%
Tidak pernah 1 9 30%
Jumlah 30 100%
92
Data sebagaimana tercantum pada tabel 6 di atas menunjukkan bahwa orang-
tua yang memiliki kesadaran untuk terlibat dalam kegiatan di lingkungan dengan
klasifikasi baik atau selalu ada 3 (10%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk terlibat dalam kegiatan di lingkungan dengan klasifikasi sering ada 6
(20%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk terlibat dalan
kegiatan di lingkungan dengan klasifikasi jarang ada 12 (40%) dari 30 keluarga; orang-
tua yang memiliki kesadaran untuk terlibat dalam kegiatan di lingkungan dengan
klasifikasi tidak pernah ada 9 (30%) dari 30 keluarga.
Tabel 7: Membiasakan membuat tanda salib sebelum dan sesudah makan atau
kegiatan lainnya
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 1 3,33%
Sering 3 18 60%
Jarang 2 7 23,33%
Tidak pernah 1 4 13,33%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 7 di atas menunjukkan bahwa orang-
tua yang memiliki kesadaran untuk membiasakan membuat tanda salib sebelum dan
sesudah makan atau kegiatan lainnya dengan klasifikasi baik atau selalu 1 (3,33%) dari
30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk membiasakan membuat tanda
salib sebelum dan sesudah makan atau kegiatan lainnya dengan klasifikasi sering ada 18
(60%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk membuat tanda salib
sebelum dan sesudah makan atau kegiatan lainnya dengan klasifikasi jarang ada 7
(23,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk membuat tanda
93
salib sebelum dan sesudah makan atau kegiatan lainnya dengan klasifikasi tidak pernah
ada 4 (13,33%) dari 30 keluarga.
Tabel 8: Meluangkan waktu untuk berkumpul
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 10 33,33%
Sering 3 9 30%
Jarang 2 4 13,33%
Tidak pernah 1 7 23,33%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 8 di atas menunjukkan bahwa orang-tua
yang memiliki kesadaran untuk meluangkan waktu untuk berkumpul dengan klasifikasi
baik atau selalu ada 10 (33,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran
untuk meluangkan waktu untuk berkumpul dengan klasifikasi sering ada 9 (30%) dari
30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk meluangkan waktu untuk
berkumpul dengan klasifikasi jarang ada 4 (13,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang
memiliki kesadaran untuk meluangkan waktu untuk berkumpul dengan klasifikasi tidak
pernah ada 7 (23,33%) dari 30 keluarga.
Tabel 9: Mengantar anak untuk sekolah minggu
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 1 3,33%
Sering 3 10 33,33%
Jarang 2 12 40%
Tidak pernah 1 7 23,33%
Jumlah 30 100%
94
Data sebagaimana tercantum pada tabel 9 di atas menunjukkan bahwa orang-
tua yang memiliki kesadaran untuk mengantar anak untuk sekolah minggu dengan
klasifikasi baik atau selalu ada 1 (3,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk mengantar anak untuk sekolah minggu dengan klasifikasi sering ada 10
(33,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk mengantar anak
untuk sekolah minggu dengan klasifikasi jarang ada 12 (40%) dari 30 keluarga; orang-
tua yang memiliki kesadaran untuk mengantar anak untuk sekolah minggu dengan
klasifikasi tidak pernah 7 (23,33%) dari 30 keluarga.
Tabel 10: Mengampuni dan memaafkan sesama
Kualifikasi Skor Jumlah %
4 20 66,67%
Sering 3 5 16,67%
Jarang 2 0 0%
Tidak pernah 1 5 16,67%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 10 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk mengampuni dan memaafkan sesama dengan
klasifikasi baik atau selalu 20 (66,67%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk mengampuni dan memaafkan sesama dengan klasifikasi sering ada 5
(16,67%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk mengampuni dan
memaafkan sesama dengan klasifikasi jarang 1 (0%) dari 30 keluarga; orang-tua yang
memiliki kesadaran untuk mengampuni dan memaafkan sesama dengan klasifikasi tidak
pernah 5 (16,67%) dari 30 keluarga.
95
Tabel 11: Membangun dialog yang sehat
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 3 10%
Sering 3 6 20%
Jarang 2 12 40%
Tidak pernah 1 9 30%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 11 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk membangun dialog yang sehat dengan
klasifikasi baik atau selalu ada 3 (10%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk membangun dialog yang sehat dengan klasifikasi sering ada 6 (20%)
dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk membangun dialog yang
sehat dengan klasifikasi jarang 12 (40%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk mengampuni dan memaafkan sesama dengan klasifikasi tidak pernah 9
(30%) dari 30 keluarga.
Tabel 12: Saling memperhatikan
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 2 6,67%
Sering 3 18 60%
Jarang 2 6 20%
Tidak pernah 1 4 13,33%
Jumlah 30 100%
96
Data sebagaimana tercantum pada tabel 12 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk saling memperhatikan dengan klasifikasi baik
atau selalu ada 2 (6,67%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk
memahami orang lain dengan klasifikasi sering ada 18 (60%) dari 30 keluarga; orang-
tua yang memiliki kesadaran untuk memahami orang lain dengan klasifikasi jarang 6
(20%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk memahami orang lain
dengan klasifikasi tidak pernah ada 4 (13,33%) dari 30 keluarga.
Tabel 13: Memahami orang lain
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 10 33,33%
Sering 3 9 30%
Jarang 2 4 13,33%
Tidak pernah 1 7 23,3%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 13 di atas menunjukkan bahwa orang-
tua yang memiliki kesadaran untuk memahami orang lain dengan klasifikasi baik atau
selalu ada 10 (33,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk
saling memperhatikan dengan klasifikasi sering ada 9 (30%) dari 30 keluarga; orang-tua
yang memiliki kesadaran untuk saling memperhatikan dengan klasifikasi jarang 4
(13,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk saling
memperhatikan dengan klasifikasi tidak pernah ada 7 (23,3%) dari 30 keluarga.
97
Tabel 14: Menasihati dengan penuh cinta
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 1 3,33%
Sering 3 10 33,33%
Jarang 2 12 40%
Tidak pernah 1 7 23,33%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 14 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk menasihati dengan penuh cinta dengan
klasifikasi baik atau selalu ada 1 (3,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk menasihati dengan penuh cinta dengan klasifikasi sering ada 10
(33,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk menasihati dengan
penuh cinta dengan klasifikasi jarang 12 (40%) dari 30 keluarga; orang-tua yang
memiliki kesadaran untuk menasihati dengan penuh cinta dengan klasifikasi tidak
pernah 7 (23,33%) dari 30 keluarga.
Deskripsi Perkembangan iman keluarga sesudah kunjungan keluarga
Hasil penelitian yang diperoleh sesudah kunjungan keluarga dari segi pengetahuan rata-
rata (mean) 131,2667, sedangkan simpangan baku (standard Deviasi) sebesar 6,63810
dan standard kesalahan perbedaan sesudah kegiatan kunjungan keluarga sebesar
1.21195 dari 30 keluarga responden dan 30 item yang diolah.
b. Hasil Wawancara Kunjungan Biasa
Dilihat dari hasil sharing pada saat kunjungan biasa juga pada saat wawancara
setelah pelaksanaan kegiatan kunjungan biasa pada umumnya responden mengatakan
hal yang sama tentang tugas dan tanggungjawab orang tua dalam keluarga.
98
1. Menurut responden yang menjadi tugas dan tanggungjawab orang tua dalam
keluarga adalah bahwa kami sebagai orang tua tugas kami hanya membesarkan,
melindungi, merawat, tetapi yang menjadi pendidik utama adalah guru di sekolah,
guru agama di sekolah, dan para pendamping rohani lainnya yang didukung oleh
Gereja atau lingkungan. Kami sebagai orang tua hanya tahu membesarkan dan
memberi teladan hidup yang baik dari kami selaku orang tua. Namun kami tidak
mampu mendidik anak kami lebih dari itu, tetapi iman anak kami bertumbuh dan
berkembang melalui bantuan orang lain yaitu guru, teman-teman di mana mereka
berada dan juga lingkungan sekitar. Namun kami sadar bahwa kami sebagai orang
tua tugas dan tanggungjawab kami tidak terbatas pada membesarkan dan melindungi
anak.
2. Menurut responden, yang kami lakukan dalam keluarga demi perkembangan iman
anak: Kami sebagai orang tua mempersiapkan anak-anak kami untuk menghayati
kehidupan Gereja mulai dari keluarga kami sendiri. Kami mengajak anak-anak kami
untuk selalu berdoa, bersyukur dan mewartakan Injil dalam hal sekecil apapun dalam
kehidupan sehari-hari. Menyiapkan waktu khusus untuk mendengarkan pengalaman
mereka. Tapi kadang-kadang hanya sebatas pada mengajak, tetapi untuk melakukan
atau mewujudkannya mengalami kesulitan, karena jadwal untuk berkumpul untuk
melakukan doa bersama, makan bersama, rekreasi bersama dan ke Gereja di pagi
hari atau kegiatan rohani lainnya dalam keluarga, bahkan waktu untuk mengantar
anak ke kegiatan yang mendukung perkembangan iman anak. Hal ini disebabkan
karena jadwal waktu bertemu dengan anak-anak sulit di cari agar kami bisa
berkumpul dan menanamkan pengertian akan pentingnya berdoa bersama, bahkan
rekreasi bersama dengan anak-anak.
99
Orang tua dan anak-anak mempunyai kesibukannya masing-masing. Misalnya orang
tua mau mengajak anak doa bersama, makan bersama tetapi anak lagi asyik nonton
TV atau lagi asyik mengerjakan PR atau lagi asyik ngobrol dengan teman-temannya.
Dan bagi kami mengalami kesulitan untuk menentukan waktu yang tepat agar kami
bisa berkumpul dan menanamkan pengertian akan pentingnya doa bersama, makan
bersama dan bahkan rekreasi bersama. Namun kami sebagai orang tua selalu
berusaha untuk memberi yang terbaik bagi anak-anak kami melalui kesaksian hidup
kami setiap hari. Meluangkan waktu untuk anak-anak kami sangat sulit untuk kami
temukan tetapi kami percaya orang lain selain bapak dan ibunya pasti selalu memberi
yang terbaik bagi mereka (guru, pembantu, kakek, nenek dan pendamping rohani
lainnya). Jadi kami kurang memberikan waktu sepenuhnya untuk anak, kami lebih
mementingkan hal-hal yang lain, kami memberi kebebasan kepada anak-anak kami
untuk melakukan apa saja asal tidak terlibat dalam hal-hal yang merugikan diri
sendiri, orang tua dan sesama.
3. Dalam kegiatan di lingkungan atau paroki kami kadang terlibat dan sering tidak ikut
karena terbentur dengan tugas yang lain, sehingga kadang-kadang kami kurang
melibatkan diri dan juga anak-anak kami dalam kegiatan di lingkungan atau paroki.
Tetapi kami sebagai orang tua mempunyai kewajiban untuk tetap mengajak anak
kami untuk ikut terlibat dalam kegiatan apapun yang ada di lingkungan atau paroki.
4. Menurut responden, dalam keluarga ada kebiasaan doa bersama, membaca dan
merenungkan Kitab Suci bersama pada malam hari agak sulit untuk menentukan
waktunya. Jadi kegiatan bersama yang berkaitan dengan hidup rohani kurang begitu
kami perhatikan, tetapi kami selalu berusaha untuk mengajak anak-anak agar
sebelum melakukan aktivitas harus berdoa, namun hanya sebatas mengajak,
100
sementara kami sendiri tidak melakukan hal itu. Kami tahu bahwa doa dan membaca
Kitab Suci merupakan sumber kekuatan dalam hidup kami.
5. Sarana-sarana yang dapat mendukung perkembangan iman anak, kami sediakan
hanya ada Madah Bakti, Kidung Adi dan Kitab Suci, namun jarang kami gunakan
kecuali ke Gereja, sedangkan kalau ikut kegiatan di lingkungan sarana seperti ini
sudah di sediakan. Jadi bagi kami sarana ini tidak begitu penting.
2. Deskripsi Data Perkembangan Iman keluarga sesudah kunjungan
a. Hasil Angket
Hasil penelitian yang diperoleh setelah kegiatan kunjungan dari segi
pengetahuan dan dari segi perwujudan.
Deskripsi kesadaran orang-tua akan perannya dalam pendidikan iman anak:
Dilihat dari segi pengetahuan berdasarkan jawaban responden melalui angket para
orang-tua sadar akan peran utama mereka yaitu sebagai pendidik iman anak yang
pertama dan utama dalam pendidikan iman anak adalah orang-tua dan hal ini menjadi
konsekuensi dari janji pernikahan kami (orang-tua) yang telah kami janjikan atau
ucapkan pada saat kami saling menerima sakramen perkawinan. Kami sadar dan tahu
bahwa guru agama, para pendamping iman anak dan pendamping rohani lainnya hanya
membantu dan melengkapi apa yang masih kurang dan apa yang belum diberikan oleh
kami sebagai orang-tua.
Tabel 15: Doa Bersama dalam Keluarga
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 30 100%
Sering 3 0 0%
Jarang 2 0 0%
101
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 15 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran doa bersama dalam keluarga dengan klasifikasi baik
atau selalu 30 (100%) dari 30 keluarga, orang-tua yang memiliki kesadaran melakukan
doa bersama dalam keluarga dengan klasifikasi sering ada 0 (0%) dari 30 keluarga,
orang-tua yang memiliki kesadaran melakukan doa bersama dalam keluarga dengan
klasifikasi jarang 0 (0%) dari 30 keluarga, dan orang-tua melakukan doa bersama dalam
keluarga dengan klasifikasi tidak pernah 0 (0%) dari 30 keluarga.
Tabel 16: Rajin Berdoa
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 5 16,67%
Sering 3 18 60%
Jarang 2 7 23,33%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 16 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memilki kesadaran untuk berdoa dengan klasifikasi baik atau selalu ada
5 (16,57%) dari 30 keluarga, orang-tua yang memiliki kesadaran untuk berdoa dengan
klasifikasi sering ada 18 (60%) dari 30 keluarga, orang-tua yang memiliki kesadaran
untuk berdoa dengan klasifikasi jarang 7 (23,33%) dari 30 keluarga, dan orang-tua yang
memiliki kesadaran untuk berdoa dengan klasifikasi tidak pernah 0 (0%) dari 30
keluarga.
102
Tabel 17: Rajin ke Gereja
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 26 86,67%
Sering 3 3 10%
Jarang 2 1 3,33%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 17 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk ke Gereja dengan klasifikasi baik atau selalu
ada 26 (86,67%) dari 30 keluarga,orang-tua yang memiliki kesadaran untuk ke Gereja
dengan klasifikasi sering ada 3 (10%) dari 30 keluarga, orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk ke Gereja dengan klasifikasi jarang 1 (3,33%) dari 30 keluarga, orang-
tua yang memiliki kesadaran untuk ke Gereja dengan klasifikasi tidak pernah 0 (0%)
dari 30 keluarga.
Tabel 18: Mengajak anak untuk ikut doa di lingkungan
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 29 96,67%
Sering 3 1 3,33%
Jarang 2 0 0%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 18 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran mengajak anak untuk ikut doa di lingkungan dengan
103
klasifikasi baik ata selalu ada 29 (96,67%) dari 30 keluarga, orang-tua yang memiliki
kesadaran mengajak anak untuk ikut doa di lingkungan dengan klasifikasi sering ada 1
(3,33%) dari 30 keluarga, orang-tua yang memiliki kesadaran mengajak anak untuk ikut
doa di lingkungan dengan klasifikasi jarang 0 (0%) dari 30 keluarga, orang-tua yang
memiliki kesadaran mengajak anak untuk ikut doa di lingkungan dengan klasifikasi
tidak pernah 0 (0%) dari 30 keluarga.
Tabel 19: Membaca Kitab Suci Bersama
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 5 16,67%
Sering 3 18 60%
Jarang 2 6 20%
Tidak pernah 1 1 3,33%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 19 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk membaca Kitab Suci dengan klasifikasi baik
ata selalu ada 5 (16,67%) dari 30 keluarga, orang-tua yang memiliki kesadaran
membaca Kitab Suci dengan klasifikasi sering ada 18 (60%) dari 30 keluarga, orang-tua
yang memiliki kesadaran membaca Kitab Suci dengan klasifikasi jarang 6 (20%) dari 30
keluarga, orang-tua yang memiliki kesadaran untuk membaca Kitab Suci dengan
klasifikasi tidak pernah 1 (3,33%) dari 30 keluarga.
Tabel 20: Membantu atau menolong sesama
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 26 86,67%
Sering 3 3 10%
104
Jarang 2 1 3,33%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 20 di atas menunjukkan bahwa orang-
tua yang memiliki kesadaran untuk membantu atau menolong sesama dengan klasifikasi
baik atau selalu ada 26 (86,67%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran
untuk membantu atau menolong sesama dengan klasifikasi sering ada 3 (10%) dari 30
keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk membantu atau menolong sesama
dengan klasifikasi jarang 1 (3,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk membantu atau menolong sesama dengan klasifikasi tidak pernah 0
(0%) dari 30 keluarga.
Tabel 21: Terlibat dalam kegiatan di lingkungan
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 1 3,33%
Sering 3 22 73,33%
Jarang 2 7 23,33%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 21 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk terlibat dalam kegiatan di lingkungan dengan
klasifikasi baik atau selalu ada 1 (3,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk terlibat dalam kegiatan di lingkungan dengan klasifikasi sering ada 22
(73,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk terlibat dalan
105
kegiatan di lingkungan dengan klasifikasi jarang 7 (23,33%) dari 30 keluarga; orang-tua
yang memiliki kesadaran untuk terlibat dalam kegiatan di lingkungan dengan klasifikasi
tidak pernah 0 (0%) dari 30 keluarga.
Tabel 22: Meluangkan waktu untuk berkumpul
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 29 96,67%
Sering 3 1 3,33%
Jarang 2 0 0%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 22 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk meluangkan waktu untuk berkumpul dengan
klasifikasi baik atau selalu ada 29 (96,67%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk meluangkan waktu untuk berkumpul dengan klasifikasi sering ada 1
(3,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk meluangkan waktu
untuk berkumpul dengan klasifikasi jarang 0 (0%) dari 30 keluarga; orang-tua yang
memiliki kesadaran untuk meluangkan waktu untuk berkumpul dengan klasifikasi tidak
pernah 0 (0%) dari 30 keluarga
Tabel 23: Mengantar anak untuk sekolah minggu
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 29 96,67%
Sering 3 1 3,33%
Jarang 2 0 0%
106
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 23 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk mengantar anak untuk sekolah minggu
dengan klasifikasi baik atau selalu ada 29 (96,67%) dari 30 keluarga; orang-tua yang
memiliki kesadaran untuk mengantar anak untuk sekolah minggu dengan klasifikasi
sering ada 1 (3,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk
mengantar anak untuk sekolah minggu dengan klasifikasi jarang 0 (0%) dari 30
keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk mengantar anak untuk sekolah
minggu dengan klasifikasi tidak pernah 0 (0%) dari 30 keluarga.
Tabel 24: Saling memperhatikan
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 29 96,67%
Sering 3 1 3,33%
Jarang 2 0 0%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 24 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk saling memperhatikan dengan klasifikasi baik
atau selalu ada 29 (96,67%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk
saling memperhatikan dengan klasifikasi sering 1 (3,33%) dari 30 keluarga; orang-tua
yang memiliki kesadaran untuk saling memperhatikan dengan klasifikasi jarang 0 (0%)
107
dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk saling memperhatikan
dengan klasifikasi tidak pernah 0 (0%) dari 30 keluarga.
Tabel 25: Mengampuni dan memaafkan sesama
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 30 100%
Sering 3 0 0%
Jarang 2 0 0%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 25 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk mengampuni dan memaafkan sesama dengan
klasifikasi baik atau selalu 30 (100%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk mengampuni dan memaafkan sesama dengan klasifikasi sering 0
(100%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk mengampuni dan
memaafkan sesama dengan klasifikasi jarang 0 (0%) dari 30 keluarga; orang-tua yang
memiliki kesadaran untuk mengampuni dan memaafkan sesama dengan klasifikasi tidak
pernah 0 (0%) dari 30 keluarga.
Tabel 26: Membangun dialog yang sehat
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 26 86,67%
Sering 3 3 10%
Jarang 2 1 3,33%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
108
Data sebagaimana tercantum pada tabel 26 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk membangun dialog yang sehat dengan
klasifikasi baik atau selalu ada 26 (86,67%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk membangun dialog yang sehat dengan klasifikasi sering ada 3 (10%)
dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk membangun dialog yang
sehat dengan klasifikasi jarang 1 (3,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk membangun dialog yang sehat dengan klasifikasi tidak pernah 0 (0%)
dari 30 keluarga.
Tabel 27: Saling memperhatikan
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 26 86,67%
Sering 3 3 10%
Jarang 2 1 3,33%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 27 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk saling memperhatikan dengan klasifikasi baik
atau selalu ada 26 (86,67%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk
saling memperhatikan dengan klasifikasi sering ada 3 (10%) dari 30 keluarga; orang-tua
yang memiliki kesadaran untuk saling memperhatikan dengan klasifikasi jarang 1
(3,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk saling
memperhatikan dengan klasifikasi tidak pernah 0 (0%) dari 30 keluarga.
109
Tabel 28: Memahami orang lain
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 1 3,33%
Sering 3 22 73,33%
Jarang 2 7 23,33%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 28 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk memahami orang lain dengan klasifikasi baik
atau selalu 1 (3,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk
memahami orang lain dengan klasifikasi sering ada 22 (73,33%) dari 30 keluarga;
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk memahami orang lain dengan klasifikasi
jarang ada 7 (23,33%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk
memahami orang lain dengan klasifikasi tidak pernah 0 (0%) dari 30 keluarga.
Tabel 29: Menasihati dengan penuh cinta
Kualifikasi Skor Jumlah %
Baik/Selalu 4 29 96,67%
Sering 3 1 3,33%
Jarang 2 0 0%
Tidak pernah 1 0 0%
Jumlah 30 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 29 di atas menunjukkan bahwa
orang-tua yang memiliki kesadaran untuk menasihati dengan penuh cinta dengan
110
klasifikasi baik atau selalu ada 29 (96,67%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk menasihati dengan penuh cinta dengan klasifikasi sering ada 1 (3,33%)
dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki kesadaran untuk menasihati dengan penuh
cinta dengan klasifikasi jarang 0 (0%) dari 30 keluarga; orang-tua yang memiliki
kesadaran untuk menasihati dengan penuh cinta dengan klasifikasi tidak pernah 0 (0%)
dari 30 keluargas.
b. Hasil Wawancara setelah kegiatan kunjungan keluarga
Di lihat dari hasil sharing pada saat kunjungan biasa juga pada saat wawancara
setelah pelaksanaan kegiatan kunjungan biasa
1. Setelah kami mengikuti kegiatan kunjungan keluarga ini kami merasa sangat
terbantu di mana kami sendiri telah menemukan kembali apa yang menjadi tugas dan
tanggungjawab kami sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam keluarga.
Selama ini kami kurang menyadari apa yang menjadi tugas kami sebagai orang tua
terhadap anak kami, kami kadang hanya mengharapkan dari guru di sekolah, guru
agama, katekis dan para pendamping iman anak dan pendamping rohani lainnya.
Kami sangat bersyukur karena dengan kunjungan ini kami sungguh terbantu dan
kami disadarkan kembali. Dengan demikian kunjungan keluarga telah memberikan
kekuatan dan peneguhan baru dalam diri kami untuk membangun semangat
kesadaran baru dalam diri kami agar kami sungguh-sungguh menjalankan tugas dan
tanggungjawab kami sebagai orang tua terhadap iman anak kami. Sehingga hidup
anak kami tidak terlantar begitu saja, tetapi anak kami bertumbuh dan berkembang
dengan baik sesuai dengan apa yang kami orang tua harapkan.
2. Menurut responden yang kami lakukan dalam keluarga demi perkembangan iman anak
adalah: Sebagai orang tua kami menentukan waktu atau jadwal bersama yang harus
dilaksanakan bersama adalah ada waktu untuk berdoa bersama seluruh anggota
111
keluarga, makan bersama, rekreasi bersama. Kami orang tua tidak hanya mengajak
anak tetapi kami terlibat penuh dalam setiap kegiatan bersama, kecuali kalau ada hal-
hal yang mendesak yang tak dapat mewujudkannya.
Kemudian kami selalu meluangkan waktu khusus untuk anak-anak kami untuk
mendengarkan pengalaman anak-anak, membantu anak dikala anak mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya, kami berusaha untuk masuk dalam dunia
anak.
3. Kami dan anak-anak kami melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang ada di
lingkungan maupun di paroki, sejauh kami dan anak kami mampu melaksanakannya.
Kami selalu mengantar anak kami ke kegiatan sekolah minggu atau kegiatan rohani
lainnya yang mendukung perkembangan iman anak-anak kami, sekalipun kami sibuk
atau capek dengan tugas dan pekerjaan harian kami, karena kami sadar akan tugas
utama kami sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama. Kami memberi
kebebasan kepada anak-anak kami dalam melaksanakan tugasnya tetapi selalu di
bawah kontrol atau pendampingan kami sebagai orang tua.
4. Menurut responden, dalam keluarga kami dan anak-anak membiasakan doa bersama,
membaca dan merenungkan Kitab Suci pada malam hari. Dan kami selalu
memperhatikan hal ini kecuali ada satu dan lain hal yang tidak dapat melaksanakannya
(ada kegiatan yang mendesak yang harus diselesaikan pada waktu yang sama). Kami
sadar dan tahu bahwa doa dan membaca Kitab Suci merupakan sumber kekuatan
dalam hidup sebagai orang kristiani.
5. Sarana-sarana yang dapat mendukung perkembangan iman anak, kami sediakan yang
walaupun hanya pokok-pokok saja, misalnya Kitab Suci, Madah Bakti, Puji Syukur,
Kidung Adi, Salib, Rosario, Patung dan gambar Kudus dan doa-doa yang lain. Sarana
yang ada kami gunakan bersama-sama agar kami dan anak-anak kami lama-kelamaan
112
113
Pada tabel di atas kesadaran orang tua akan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam pendidikan iman anak sebelum dan
sesudah kunjungan terdapat perbedaan nilai rata-rata (mean) sebesar -43.13333, dan
simpangan baku (standard Deviasi) sebesar 15.56462. Sedangkan derajad kebebasan
sebesar 29 dan signifikansi sebesar 0,000. Hal ini berarti terdapat perbedaan kesadaran
orang tua dalam pendidikaniman anak sebelum dan sesudah kunjungan secara berarti
atau signifikan.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Dalam proses pelaksanaan penelitian dilaksanakan dengan empat tahap yaitu
pertama kunjungan biasa, lalu penyebaran angket dan wawancarayang pertama,
kemudian kunjungan kedua, dan kunjungan ketiga setelah itu kunjungan keempat
sekaligus dengan penyebaran angket dan wawancara yang kedua. Dilihat dari hasil
sebelumnya orang tua kurang memiliki kesadaran tentang pendidikan iman anak, karena
orang tua beranggapan bahwa pendidikan iman anak itu merupakan tugas para guru
agama, para pendamping sekolah minggu dan para pendamping rohani lainnya. Orang
tua telah memiliki pengetahuan yang tinggi namun tentang hal iman masih kurang.
Tetapi dilihat dari perwujudan, orang tua mampu memberi teladan hidup yang baik bagi
anak-anaknya. Walaupun kadang orang tua kurang melibatkan anaknya dalam kegiatan
lingkungan namun dalam keluarga ada kebiasaan baik yang ditanamkan dalam diri anak
yaitu membiasakan anak untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci, doa bersama.
Hal ini sangat bagus. Maka orang tua mempunyai tugas dan tanggungjawab sebagai
pendidik iman yang pertama dan utama dalam pendidikan iman anak, guru agama di
sekolah, para pendamping sekolah minggu atau pendamping rohani lainnya hanya
membantu dan melengkapi apa yang masih kurang dan apa yang belum diberikan oleh
114
orang tuanya. Melalui pengalaman hidup sehari-hari dalam keluarga, orang tua
mengatakan bahwa anak dapat memperoleh pembinaan iman secara tidak langsung
sejauhmana pengalaman hidup itu dihayati sebagai pengalaman iman.
Pembinaan iman anak maupun pengalaman iman dalam keluarga akan
menumbuhkan dan mengembangkan serta membimbing anak menjadi manusia dewasa
dalam iman. Pembinaan iman sebagai salah satu bentuk pendidikan iman anak untuk
mencapai tujuan sebagai manusia yang utuh, sebab pembinaan iman anak mnjadi
penting, mengngingat martabat hidup keluarga sebagai Gereja mini keluarga sehingga
orang tua yang mempunyai peranan pertama dan utama dalam pembinaan iman anak
mulai sejak dini.
Kadang orang tua merasa bingung bagaimana cara membina iman anak-
anaknya, walaupun cara membina iman anak dilakukan dalam bentuk-bentuk seperti di
atas, bahwa doa bersama dalam keluarga, makan bersama, rekreasi bersama keluarga itu
sangat penting. Doa bersama merupakan salah satu bentuk pembinaan iman dalam
keluarga itu sendiri dan menjalin relasi dengan Tuhan dan sesama, serta
mengembangkan hidup beriman. Doa bersama hendaknya menjadi pusat hidup keluarga
juga merupakan suatu kebutuhan. Dengan demikian doa mebutuhkan sarana-sarana
yang menunjang dan mendukung terlaksananya pembinaan iman seprerti: Kitab Suci,
madah Bakti, Salib, Patung Kudus dan bacaan rohani lainnya. Selain itu ada hambatan
dalam pembinaan iman anak yang dialami oleh orang tua yakni: kurang ada waktu
untuk mengajak anak untuk doa bersama dan kadang hanya terbatas pada mengajak
tetapi sulit untuk melaksanakannya, karena masing-masing anggota mempunyai
kesibukan yang berbeda sehingga sulit untuk menentukan waktu untuk doa bersama,
dan dalam keluarga kurang terbiasa untuk menentukan waktu untuk berdoa bersama,
dan dalam keluarga kurang terbiasa untuk melakukan doa bersama, juga disebabkan
115
oleh kondisi ekonomi keluarga yang kurang baik, sehingga mendorong orang tua lebih
sibuk bekerja demi memenuhi kebutuhan jasmani daripada kebutuhan rohani anak.
Perbaikan ekonomi dalam keluarga dan kebutuhan jasamani perlu mendapat perhatian
tetapi kebutuhan rohani jangan sampai disepelekan karena pembinaan iman anak juga
perlu mendapat perhatian khusus dari orang lain dalam hal ini orang tua.
Di samping itu anak membutuhkan pembinaan iman untuk mencapai
kedewasaan. Anak perlu mengetahui dan memahami pentingnya pembinaan iman
karena pembinaan iman menjadi tugas dan kewajiban serta tanggungjawab orang tua
untuk pendidikan iman anak sebagai perwujudan buah cinta keluarga. Pembinaan anak
dalam keluarga merupakan salah satu bagian dari pendidikan di bidang kerohanian
yakni anak akan menumbuhkan, menghayati dan mengembangkan imannya yang telah
diperoleh dari orang tua. Dengan demikian doa bersama, makan bersama dalam
keluarga, mengajak ke Gereja bersama merupakan ikut terlibat dalam kegiatan
menggereja dalam kegiatan pembinaan iman anak. Maka dengan kegiatan kunjungan
keluarga yang merupakan usaha yang dilakukan oleh Romo atau suster untuk menolong
dan meperdalam iman umat, dalam hal ini keluarga dalam mengembangkan tugas dan
tanggungjawab sebagai pendidik yang pertama dan utama, semakin memahami,
menghayati dan mewujudkan imannya ditengah keluarga dan masyarakat. Melalui
kegiatan kunjungan keluarga dapat membantu orang tua untuk semakin sadar dan tahu
akan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam
pendidikan iman anak.
Oleh karena itu ada perkembangan iman keluarga setelah kunjungan, orang tua sadar
bahwa selama ini melalaikan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik pertama
dan utama dalam keluarga. mereka merasa bersyukur karena dengan adanya kunjungan,
mereka disadarkan kembali. Mereka menyadari bahwa selama ini mereka kurang
116
memberi perhatian pada perkebangan iman anak mereka, mereka sebagai orang tua
kadang hanya sibuk dengan urusan kantor atau urusan lain, tetapi kurang memberi
perhatian kepada kehidupan rohani anak. Orang tua hanya tahu memberi dan memenuhi
segala kebutuhan anak tetapi soal iman kurang memberi perhatian. Dengan adanya
kunjungan orang tua mau membangun dan menghidupkan semangat kesadaran baru
dalam hidup secara khusus memberi perhatian khusus kepada pertumbuhan dan
perkembangan hidup rohani anak. Jadi untuk meningkatkan kesadaran orang tua akan
tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama
dalam keluarga maka diharapkan agar orang tua menghidupkan kembali semangat
kesadaran dalam diri untuk memperbaharui kehidupan keluarga yang dulunya kurang
terbiasa membaca dan merenungkan Kitab Suci, doa bersama dalam keluarga, terlibat
dalam kegiatan lingkungan, sehingga kebiasaan yang baik dapat dipelajari dan ditiru
oleh anak-anak. Sebagai orang tua harus memberi teladan dan kesaksian hidup yang
baik terhadap anak, karena iman anak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik
karena dipengaruhi oleh teladan dan kesaksian hidup orang tua setiap hari.
Dengan demikian bahwa setelah mengadakan kunjungan ada perubahan besar
dalam diri orang tua di mana orang tua merasa ada sesuatu yang baru lahir kembali
dalam diri mereka. Orang tua merasa ada kehidupan baru dalam diri mereka setelah
diteguhkan dan dikuatkan dalam kunjungan.
C. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan penting berkaitan dengan pengaruh
kunjungan keluarga terhadap perkembangan iman keluarga. Dari kedua variabel
tersebut terdapat hubungan positif antara kunjungan keluarga dengan perkembangan
iman keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa kunjungan keluarga berpengaruh secara
117
signifikan terhadap perkembangan iman keluarga. Penemuan tersebut amatlah penting
dan bermanfaat bagi keluarga-keluarga di lingkungan Maria Ratu Rosari, maupun bagi
peneliti. Meskipun demikian, penulis tetap menyadari adanya beberapa keterbatasan
dari hasil penelitian ini. Akan tetapi penulis sudah berusaha seoptimal mungkin dengan
kemampuan yang dimiliki untuk dapat menghasilkan sebuah penelitian yan ilmiah dan
dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Berikut akan dipaparkan keterbatasan-
keterbatasan dari penelitian ini, yakni:
Peneliti juga mengalami keterbatasan dalam mencari bahan-bahan atau buku-
buku yang dapat mendukung penelitian ini.
Jumlah soal yang telah diujicobakan hanya ada 30 soal, yaitu pengetahuan ada 15 soal
dan perwujudan ada 15 soal. Dengan jumlah soal yang sedikit ini dapat pula
menyebabkan indikator tiap variabel tidak terwakili sepenuhnya.
Penelitian ini bersifat “Ex-post facto”, yaitu dimulai dengan mendeskripsikan
situasi sekarang yang diasumsikan sebagai akibat dari faktor-faktor yang telah terjadi
atau reaksi sebelumnya. Ex Post Facto sebagai metode penelitian menunjuk kepada
perlakuan atau manipulasi variabel bebas yaitu kunjungan keluarga telah terjadi
sebelumnya sehingga peneliti tidak perlu memberikan perlakuan lagi, tinggal melihat
efeknya pada variabel terikat yaitu perkembangan iman keluarga. Karena keterbatasan
sampel dalam penelitian ini yakni terbatas pada keluarga-keluarga katolik di lingkungan
Maria Ratu Rosari, hasil penelitian ini tidak bisa diberikan di luar populasi yang lain.
Dalam hal ini peneliti hanya berlaku untuk keluarga-keluarga katolik di lingkungan
Maria Ratu Rosari.
Penulis menyadari betul akan segala kterbatasan dari penelitian ini seperti
yang telah disebutkan di atas dan mungkin juga masih banyak lagi yang belum disadari
oleh penulis. Maka dari itu dengan rendah hati penulis sangat mengharapkan masukan
118
dan saran yang membangun untuk menyempurnakan hasil penelitian ini, agar dapat
benar-benar bisa dipertanggung jawabkan dan dirasakan manfaatnya bagi
perkembangan mahasiswa Program Studi Ilmu Pendidikan kekhususan Pendidikan
Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
119
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bagian akhir penulisan ini akan disampaikan kesimpulan dan saran yang
diharapkan dapat berguna dalam usaha meningkatkan kesadaran orang tua akan peran
dan tanggungjawabnya sebagai pendidik pertaama dan utama dalam keluarga.
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian pustaka dan hasil penelitian penulis dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut:
Perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai
akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Ini berarti bahwa perkembangan bukan
sekadar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang, melainkan suatu
proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi komplek.
Sedangkan iman adalah pertemuan pribadi yang mendalam dengan Allah
yang hidup, di mana manusia menyerahkan diri dengan penuh cinta kepadaNya. Dengan
demikian iman pertama-tama merupakan suatu peristiwa hubungan atau perjumpaan
secara pribadi antara manusia dengan Allah. Jadi dapat dikatakan bahwa iman
merupakan pertemuan pribadi dan mendalam dengan Allah yang hidup di mana terjadi
suatu penerimaan akan kehadiran Allah dan penyerahan diri seutuhnya kepada
kehendak Allah atas hidup kita. Jadi perkembangan iman keluarga adalah iman yang
mendalam dan bersifat kritis dan terwujud dalam tingkah laku ataupun tindakan terus-
menerus yang ditandai dengan senang berdoa dan ke Gereja, senang membantu atau
menolong, dan bersaudara dengan siapa saja. Dalam hal ini menciptakan suasana
keluarga yang menyenangkan, menanamkan kedisiplinan, memberi kesaksian atau
120
teladan, mengasihi dan member perhatian yang penuh bagi perkembangan iman
keluarga sehingga menjadi manusia yang dewasa dalam iman dan bertanggungjawab
atas dirinya dan sesama.
Kunjungan keluarga adalah salah satu bentuk pastoral dalam usaha
pendampingan dan pelayanan di mana melibatkan seorang imam atau suster melalui
aksi kunjungan dari rumah ke rumah yang dilaksanakan tidak hanya satu kali saja tetapi
ada kelanjutan atau terus-menerus, di mana di dalamnya ada suasana doa dan sharing
pengalaman. Sehingga orang yang dikunjungi merasa senasib: satu dalam keakraban,
satu dalam kegembiraan, satu dalam penderitaan. Dalam kunjungan keluarga,
pengunjung bukanlah orang yang mau mencampuri masalah orang yang dikunjungi,
atau mengambil alih perannya, melainkan mau memberi perhatian kepada orang yang
dikunjungi, sehingga orang yang dikunjungi merasa bahwa kehadiran pengunjung
sebagai suatu pertolongan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mean -
43.1334.Perbedaan tersebut sangat signifikan. Berarti kunjungan berdampak pada
perkembangan iman keluarga. Orang-tua menyadari bahwa hidup anak tidak jauh dari
teladan yang diberikan oleh orang tua. Orang tualah yang menjadi pendidik pertama dan
utama dalam hidup anak. Namun masih ada sebagian orang tua yang belum mengerti
akan pentingnya pendidikan orang tua dalam perkembangan iman anak. Orang-tua
berpikir bahwa pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam pendidikan iman
anak dalam keluarga adalah guru agama, para pendamping sekolah minggu dan
pendamping rohani lainnya, dan bagi mereka sarana-sarana yang dapat mendukung
perkembangan iman anak adalah sudah cukup yang disediakan oleh Gereja, lingkungan,
orang-tua kurang menyediakan waktu untuk mengantar anak ke kegiatan sekolah
minggu, pelajaran komuni pertama atau kegiatan rohani lainnya. Bagi mereka bersapa
121
via telpon atau HP sudah cukup. Mereka lupa bahwa dalam pendampingan iman anak,
keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan
iman anak. Iman pertama kali ditanamkan, dihidupi dan dipelihara serta berkembang.
Dan mereka kurang sadar bahwa mereka adalah saksi iman bagi anak-anak. Jadi apa
yang orang-tua buat dengan sendiri akan ditiru oleh anak-anak. Sering kali orang-tua
menuntut agar sebelum dan sesudah makan berdoa, membaca Kitab Suci dan lain-lain
sementara mereka sendiri jarang melakukannya.
B. Saran
Dalam upaya pengembangan iman keluarga melalui kegiatan kunjungan
keluarga bagi para suster PRR komunitas Magnifikat Yogyakarta, penulis memberikan
saran sebagai berikut:
Orang-tua perlu meningkatkan kesadaran terhadap tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pendidik iman yang pertama dan utama dalam keluarga,
perlu juga disadari bahwa pendidikan iman anak di dalam keluarga tak tergantikan oleh
siapapun siapaun, selain oleh orang-tua itu sendiri, Gereja dan sekolah hanya membantu
dan melengkapi apa yang masih kurang dan apa yang belum diberikan oleh orang-tua.
Lingkungan atau paroki atau stasi dapat membantu orang-tua dalam
meningkatkan kesadaran terhadap tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik yang
pertama dan utama dalam pendidikan iman anak melalui kegiatan kunjungan keluarga.
Dalam aksi sebagai bentuk pertobatan pribadi dan bersama secara terus
menerus demi terwujudnya kerajaan Allah di dunia, para suster PRR komunitas
Magnifikat Yogyakarta dapat memberi perhatian dengan menyediakan waktu dan
kesempatan khusus sesuai dengan situasi dan kondisi untuk meningkatkan kegiatan
kunjungan keluarga agar dapat membantu umat untuk semakin berkembang dalam
iman.
122
123
(1)
(2)
Lampiran 2 : Kuesioner untuk Penelitian
Petunjuk Pengisian 1. Mohon diisi dengan memberi tanda silang (X) pada jawaban yang bapak-ibu anggap
paling benar 2. Bila item jawaban yang disediakan tidak sesuai dengan kenyataan yang bapak-ibu,
bapak-ibu dapat menjawab pada titik yang telah disediakan 3. Untuk pertanyaan terbuka, bapak-ibu dapat menjawab pada tempat yang telah
disediakan.
1. Siapa yang berperan penting dalam pendidikan iman anak: a. Pastor Paroki b. Orang-tua c. Guru Agama d. Pembina
2. Tugas dan tanggungjawab orang-tua dalam keluarga adalah: a. Membesarkan, mendidik dan mendampingi b. Membiarkan anak hidup sendiri c. Tidak menyalahkan anak d. Anak dijadikan pembantu rumah tangga
3. Semangat apa yang diharapkan oleh bapak-ibu dalam keluarga: a. Semangat cinta kasih b. Masa bodoh terhadap lingkungan c. Hidup dalam suasana kecemburuan d. Hidup santai dan bebas dari kegiatan apapun
4. Bapak-ibu mengajak anak ke Gereja setiap hari minggu merupakan: a. Tanggungjawab dan kewajiban orang-tua b. Dalam keadaan terpaksa c. Pendidikan iman anak d. Kebetulan saja
5. Hal-hal apa yang biasanya menjadi bahan pembicaraan antara bapak-ibu : a. Pendidikan iman anak b. Kehidupan sebagai orang beriman c. Mencari pasangan untuk anak d. Membahas tentang kebutuhan anak
6. Apakah dalam keluarga bapak-ibu selalu menyediakan sarana yang menunjang pembinaan iman anak? a. Ya tersedia b. Ada tetapi tidak semua c. Jarang d. Tidak ada
7. Suasana macam apakah yang bapak-ibu ciptakan dalam keluarga: a. Bermusuhan b. Adu domba c. Rukun dan damai d. Biasa-biasa saja
8. Bagaimana tindakan bapak-ibu bila malas ke Gereja pada hari minggu: a. Memarahi dan menyiksa
(3)
b. Membiarkan saja c. Mengajak dengan menjanjikan suatu imbalan d. Menegur secara baik-baik
9. Kegiatan apa yang akan dilaksanakan untuk membina iman anak dalam keluarga: a. Doa bersama b. Bermain c. Bekerja d. Olahraga
10. Apakah sikap bapak-ibu agar dapat mengembangkan hidup beriman anak dalam keluarga: a. Menjalin relasi yang akrab dengan semua orang b. Sombong c. Kurang peka terhadap penderitaan orang lain d. Kurang setia
11. Meningkatkan pengetahuan mengenai iman : a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
12. Pewartaan iman katolik sepenuhnya menjadi tanggungjawab dari para guru agama: a. Sangat setuju, karena hampir semua anak mendapat kesempatan belajar di sekolah b. Setuju c. Tidak setuju d. Sangat tidak setuju karena pendidikan menjadi tanggungjawab bersama
13. Mengapa bapak-ibu melaksanakan pembinaan iman anak dalam keluarga: a. Karena Allah menghendaki orang-tua untuk membina anak b. Mengharapkan anak menjadi pribadi yang beriman dewasa c. Tugas orang-tua d. Anak butuh pembinaan
14. Apakah keluarga selalu membicarakan tentang kehidupan sebagai orang beriman? a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
15. Membiasakan berdoa sebelum dan sesudah makan didalam Keluarga kami a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
16. Terlibat menjadi pengurus lingkungan/wilayah atau menjadi anggota dewan Paroki a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
17. Terlibat turut ambil bagian dalam tatalaksana liturgi menjadi petugas: koor,lektor, doa umat, dan pembawa persembahan a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
(4)
18. Mengajak anak-anak pergi mengikuti perayaan Ekaristi di Gereja pada hari minggu a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
19. Ikut terlibat dalam kegiatan pendalaman Kitab Suci di lingkungan a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
20. Ikut terlibat dalam kegiatan rekoleksi, pendalaman iman, doa bersama, sarasehan bersama umat kristiani a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
21. Kebiasaan mengajak anak membaca dan merenungkan Kitab Suci di dalam keluarga a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
22. Kebiasaan mengajak anak membaca dan merenungkan Kitab Suci di dalam keluarga e. Selalu f. Sering g. Jarang h. Tidak pernah
23. Kebiasaan membaca cerita tentang Santo Santa serta para Kudus di dalam keluarga a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
24. Memberi derma/kolekte sebagai ungkapan syukur dan demi perkembangan Gereja a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
25. Apakah kelurga selalu terlibat dalam kegiatan lingkungan? a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
26. Apakah dalam keluarga bapak-ibu selalu menyediakan sarana yang menunjang pembinaan iman anak? a. Ya tersedia b. Ada tetapi tidak semua c. Jarang d. Tidak ada
(5)
27. Keterlibatan dari para pengurus lingkungan/wilayah untuk mengadakan kegiatan pendampingan keluarga untuk meningkatkan pengetahuan mengenai iman kristiani bagi keluarga-keluarga katolik a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
28. Keterlibatan keluarga dalam masyarakat merupakan perwujudan diri sebagai saksi Kristus? a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Kurang setuju
29. Apakah bapak-ibu setuju, bila di stasi diadakan kegiatan pendampingan/pembinaan iman bagi keluarga katolik? a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Kurang setuju
30. Bentuk pendampingan/pembinaan manakah yang Bapak-ibu pilih? a. Katekese b. Rekoleksi c. Ret-ret d. Kunjungan keluarga
31. Terlibat dalam tatalaksana liturgi di Gereja a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
32. Apakah bapa-ibu setuju, bila di stasi diadakan kegiatan pendampingan atau pembinaan iman bagi keluarga katolik? a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Kurang setuju
33. Bentuk pendampingan atau pembinaan manakah yang bapak-ibu pilih? a. Katekese b. Rekoleksi c. Ret-ret d. Kunjungan keluarga
34. Terlibat dalam tatalaksana liturgi di Gereja? a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Tidak pernah
(6)
Lampiran 3 : Pedoman Wawancara
1. Menurut Bapak/Ibu siapa yang memiliki peran pertama dan utama dalam pendidikan
iman anak? Mengapa?
2. Apa saja yang telah bapa-ibu lakukan dalam rangka mendukung pendidikan iman
anak?
3. Dari pengalaman bapak-ibu, apa saja yang menjadi hambatan sehingga bapak-ibu
tidak terlibat dalam kegiatan di lingkungan?
4. Apakah dalam keluarga ada kebiasaan untuk doa bersama, membaca dan
merenungkan Kitab Suci?
5. Menurut bapak-ibu, sarana-sarana apa saja yang mendukung perkembangan iman
anak?
(7)
Lampiran 4 : Usulam Program Kunjungan keluarga
1. Latar Belakang
Berdasarkan hasil penelitian ini ternyata pelaksanaan kegiatan kunjungan
keluarga sangat membantu dan mempengaruhi perkembangan iman keluarga.
Dalam Familiaris Consortio, art 36 dikatakan bahwa, tugas dan kewajiban
suami-isteri untuk memberikan pendidikan iman kepada anak-anaknya berakar pada
panggilan suami-isteri yang menikah. Tugas ini disebut pertama dan utama, karena
tidak tergantikan dan memperkaya nilai-nilai kasih dari orang tuanya sendiri. Tugas ini
sudah diketahui pada waktu mengucapkan janji perkawinan.
Dalam kenyataan yang ada keluarga-keluarga katolik belum sepenuhnya
menyadari akan pelaksanaan tugasnya sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam
pendidikan iman anak. Anak kurang dilibatkan dalam kegiatan lingkungan maupun
kegiatan Gereja. Sebagian orang tua katolik di lingkungan Maria Ratu Rosari stasi
Santo Paulus Pringgolayan, Paroki Santo Yusup Bintaran menyadari akan pentingnya
perhatian terhadap pendidikan iman anak, namun masih perlu ditingkatkan. Melihat
situasi ini penulis mempunyai suatu keprihatinan dan mencari jalan keluar bagi
permasalahan tersebut dengan mengusulkan pelaksanaan kegiatan kunjungan keluarga
sebagai salah satu usulan program dalam meningkatkan pentingnya pendidikan orang
tua dalam pengembangan iman anak. Adapun pertimbangan penulis memilih
pelaksanaan kegiatan kunjungan keluarga ini karena melalui kegiatan kunjungan orang
tua dapat menyadari akan peran dan tugasnya sebagai pendidik iman yang pertama dan
utama dalam keluarga. Orang tua juga diajak untuk menimbah pengalaman iman dalam
terang Kitab Suci, sehingga mereka mampu mewartakan Kerajaan Allah lewat
pembinaan iman anak dalam kehidupan sehari-hari.
(8)
Program pelaksanaan kegiatan kunjungan keluarga ini, dimaksudkan untuk
membantu orang tua untuk menyadari akan pentingnya pendidikan orang tua terhadap
perkembangan iman anak dalam keluarga. Selain itu program ini diusulkan bagi para
orang tua katolik di lingkungan Maria Ratu Rosari, Paroki St.Yusup Bintaran.
2. Tujuan Program
Program yang diusulkan ini merupakan salah satu bentuk pastoral bagi keluarga-
keluarga katolik di lingkungan Maria Ratu Rosari, stasi St. Paulus Pringgolayan, paroki
St.Yusup Bintaran. Selain itu usulan ini dimaksudkan untuk menyadarkan orang tua
akan peran dan tanggungjawab terhadap perkembangan iman anak dalam keluarga.
Orang tua disadarkan bahwa mereka adalah pendidik yang pertama dan utama dalam
memberikan pendidikan terhadap anak. Dalam membuat suatu program yang baik dan
sistematis, maka memerlukan suatu persiapan yang terencana. Dengan persiapan yang
baik maka, kegiatan kunjungan keluarga yang dilaksanakan juga dapat berjalan dengan
baik, karena sudah ada tujuan yang jelas dan terarah. Penulis berharap dengan
perencanaan yang telah diprogramkan ini, dapat membantu para orang tua katolik di
lingkungan Maria Ratu Rosari, stasi St. Paulus Pringgolayan, Paroki St.Yusup Bintaran
agar semakin berkembang dalam iman dan keluarga, khususnya dalam memberikan
pendidikan iman terhadap anak. Melalui program ini, diharapkan juga para suster dalam
mempersiapkan pelaksanaan kunjungan keluarga secara lebih baik dan efektif.
3. Sasaran Program
Dari segi sasarannya, program pelaksanaan kegiatan kunjungan keluarga dalam
upaya untuk meningkatkan iman keluarga katolik adalah keluarga-keluarga katolik di
lingkungan Maria Ratu Rosari stasi St.Paulus Pringgolayan, Paroki St.Yusup Bintaran.
(9)
4. Metode
Metode yang digunakan dalam program kegiatan kunjungan keluarga ini adalah:
Sharing
a. Informasi mengenai tugas dan tanggungjawab orang tua
b. Dialog menggali pengalaman peserta yang diikuti dengan masukan informatif.
(10)
5. Program
Tema Umum : Peranan kunjungan keluarga dalam upaya untuk meningkatkan iman keluarga
Tujuan : Melalui kunjungan ini peserta diharapkan dapat bahwa terlibat dalam kegiatan kunjungan keluarga itu penting karena
sangat berpengaruh dalam pengembangan iman bagi keluarga-keluarga katolik, sehingga para suster semakin sadar untuk
melakukan kegiatan kunjungan demi perkembangan iman umat keluarga-keluarga katolik di Stasi Santo Paulus
Pringgolayan
No Materi Kunjungan
Tujuan Kunjungan Uraian materi Kunjungan
Model Waktu Pelaksana
1.
Perkenalan
Agar peserta dan para suster saling mengenal sehingga dapat memperlancar proses kegiatan kunjungan keluarga
Apa yang bapa-ibu ketahui tentang kunjungan
Percakapan santai
+ 1 jam
Para suster PRR Jogyakarta
2. Penggalian pengalaman sekilas tentang kegiatan kunjungan keluarga
Menggiatkan partisipasi para suster PRR Yogyakarta dalam kegiatan kunjungan keluarga
Peran dan tanggungjawab orangtua dalam mendidik iman anak
Percakapan santai
+ 1 jam
Para suster PRR Jogyakarta
(11)
6. Acara:
Kegiatan Kunjungan Keluarga
7. Contoh Satuan Pesiapan Kunjungan
I. SATUAN PERSIAPAN PELAKSANAAN KUNJUNGAN KELUARGA
a. Identitas
1) Judul Perkenalan : Kunjungan Keluarga
2) Tujuan Perkenalan : 1. Agar bersama dengan peserta saling mengenal dan
membangun keakraban, komunikasi yang baik demi
kelancaran proses kegiatan kunjungan keluarga di stasi Santo
Paulus Pringgolayan
2. Agar bersama dengan keluarga-keluarga katolik di Stasi
Santo Paulus Pringgolayan semakin menyadari arti panggilan
hidup sebagai orang-tua sehingga semakin meneladani sikap
Maria dan Yosef sebagai pendidik pertama dan utama bagi
anak-anak dalam keluarga melalui sikap dan tindakan hidup
sehari-hari
3) Peserta : Keluarga-keluarga katolik dilingkungan Maria Ratu Rosari,
Stasi St.Paulus Pringgolayan, Paroki St.Yusup Bintaran
sebanyak 30 keluarga
4) Tempat : Lingkungan Maria Ratu Rosari, Stasi Santo Paulus
Pringgolayan, Paroki St.Yusup Bintaran.
5) Pelaksana : Para Suster PRR Yogyakarta
(12)
6) Waktu : 17.00 – 18.00 (+ 1 jam)
7) Model : Percakapan santai
8) Metode : Sharing, Informasi, dialog menggali pengalaman peserta yang
diikuti dengan masukan informatif.
9) Sarana : Alat tulis dan buku tulis
b. Pemikiran Dasar :
Dalam memulai proses kunjungan perlu mengenal keadaan awal keluarga
maupun keadaan awal tempat dan lingkungannya. Mengenal keadaan awal keluarga
dengan tujuan agar pengunjung dan keluarga yang dikunjungi dapat saling mengenal,
membangun motivasi agar dapat berkomunikasi dan membangun suasana keakraban
agar apa yang diharapkan dapat tercapai.
Perkenalan ini juga diharapkan antara pengunjung dan keluarga yang
dikunjunginya. Hal ini akan memberikan dampak yang postitif, misalnya keluarga yang
dikunjungi akan lebih termotivasi untuk mengembangkan imannya. Untuk mengetahui
seberapa jauh perkembangan iman dan kebutuhan keluarga yang dikunjungi, maka pada
pertemuan pertama ini diadakan percakapan santai. Percakapan ini mencakup
pertanyaan-pertanayaan informatif dari materi yang akan diberikan kepada keluarga.
Lewat percakapan ini pengunjung juga akan melihat kelemahan-kelemahan keluarga,
dengan demikian akan membantu mengetahui keadaan awal keluarga, sehingga
pengunjung dapat menentukan arah pendampingan yang dibutuhkan oleh keluarga
sesuai dengan keadaan awal keluarga.
(13)
c. Proses Pelaksanaan
1) Langkah Pertama
1. Pengunjung menyapa dan mengajak peserta untuk saling mengenal
2. Pengantar singkat dari pengunjung:
Selamat sore bapak-ibu dan anak-anak terkasih, kita bersyukur kepada Tuhan
karena kasih-Nya mempersatukan kita di tempat ini. Pada sore hari ini kita akan
bersama-sama saling berbagi pengalaman kita masing-masing. Secara khusus kita akan
mendalami tema “Ada Apa Dengan Kunjungan? Namun sebagai sesama saudara kadang
merasa perlu untuk mengenal lebih akrab dengan saudara-saudara seiman, dan sebagai
sama saudara kita dapat ngobrol-ngobrol dengan santai dan dapat berjalan dengan
lancar dan menyenangkan.
1) Langkah ke-dua
1. Sebagai pengunjung kita hanya mendengar tanpa berkata apa-apa sehingga
keluarga yang kita kunjungi itu dapat mengutarakan kesulitan-kesulitan yang
mereka alami
2. Pengunjung menyampaikan tentang pokok-pokok materi :
a. Peran dan tanggungjawab orang-tua dalam mendidik anak
1) Keluarga katolik
Keluarga katolik diharapkan menjadi komunitas kehidupan dan kasih, yang ditandai
dengan sikap hormat dan syukur terhadap anugerah kehidupan serta kasih timbal-balik
dari semua anggota keluarga (GS 48). Situasi seperti inilah yang menjadi upaya setiap
keluarga katolik, yaitu menjadikan keluarganya sebagai Gereja kecil yang guyub dan
dijiwai iman.
(14)
2) Tanggungjawab keluarga
1) Keluarga menjadi tempat pendidikan pertama dan utama
Keluarga katolik tidak hanya menjadi tempat anak bertumbuh secara fisik, tetapi
bertumbuh secara psikis, moral, sosial, dan spiritual, baik secara konsep maupun dalam
praktek. Keluarga katolik menjadi tempat berkembangnya kepribadian dan iman anak
secara utuh dan menyeluruh, termasuk ketika anak harus mencari dan menemukan
panggilan Allah, baik menjadi imam, biarawan-biarawati, maupun hidup berkeluarga.
Itulah sebabnya keluarga katolik diyakini sebagai tempat pendidikan yang pertama dan
utama.
2) Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama
Sebelum menjalani pendidikan di luar rumah, anak mengalami pendidikan di
rumah bersama dengan orang-tuanya sendiri.
3) Keluarga merupakan tempat pendidikan yang utama
Ketika anak mulai mendapatkan pendidikan formal di luar rumah, keluarga tetap
menjadi tempat pendidikan yang utama. Orang-tua adalah pendidik yang utama dan
pertama, yang tidak tergantikan oleh pendidik formal di luar rumah (FC 36)
4) Keluarga menjadi tempat pembenihan dan pengembangan panggilan hidup
Sebagai tempat pendidikan yang pertama dan utama, keluarga diharapkan mampu
mengembangkan kepribadian dan iman anak-anak, sehingga kelak menjadi pribadi
dewasa.
- Pengembangan keutamaan-keutamaan manusiawi
Semua anggota keluarga memahami dan menghayati hak dan kewajibannya masing-
masing sebagai anggota keluarga. Orang-tua mampu mengasihi anak-anak tanpa syarat
(15)
dan penuh keteladanan, sebaliknya anak-anak mampu mengasihi orang-tua dengan
penuh kesungguhan hati dan ketaatan.
- Pengembangan keutamaan-keutamaan kristiani
Pengembangan iman ini dapat lakukan dengan menumbuh kembangkan aneka
keutamaan kristiani, baik orang-tua maupun anak-anak. Keutamaan-keutamaan kristiani
ini meliputi: berdoa, berdevosi, membaca dan merenungkan sakramen-sakramen dengan
pantas dan setia, khususnya perayaan Ekaristi, dan sebagainya.
3) Cita-cita keluarga
Salah satu cara yang dapat dilakukan keluarga adalah semua anggota keluarga
mau terlibat secara aktif dengan kehidupan Gereja.
a. Keterlibatan dalam hidup menggereja
Keluarga katolik merupakan sel terkecil dari Gereja. Keluarga katolik tidak
hanya peduli dengan kepentingan keluarganya sendiri, tetapi ikut terlibat dalam
kehidupan umat beriman di lingkungan, wilayah, stasi dan parokinya. Keluarga katolik
tidak hanya menjadi tempat anak bertumbuh secara fisik, tetapi bertumbuh secara
psikis, moral, sosial dan spiritual, baik secara konsep maupun dalam praktek. Keluarga
katolik menjadi tempat berkembangnya kepribadian dan iman anak secara utuh dan
menyeluruh, termasuk ketika anak harus mencari dan menemukan panggilan Allah, baik
menjadi imam, biarawan-biarawati, maupun hidup berkeluarga.
1. Kesimpulan dari pertemuan
Salah satu peran serta kita dalam mendukung Gereja untuk melaksanakan
misinya mewartakan kabar gembira adalah dengan ambil bagian dalam karya pastoral.
Kunjungan merupakan sarana untuk semakin menumbuhkan iman umat yang
(16)
merupakan tumpuan harapan masa depan Gereja. Tugas kita sebagai pendamping Iman
anak adalah membantu orang-tua dalam mendampingi dan mendidik anak. Dasar biblis
dari kunungan dapat kita temukan salah satunya dalam Lk 10:25-37. Ciri khas
kunjungan adalah santai-santai mendalam. Membangun motivasi umat sangat penting
untuk membantu keluarga mencintai kegiatan rohani melalui kunjungan demi
perkembangan iman mereka.
2. Penutup
1. Rencana kunjungan yang akan datang
2. Doa bersama
3. Pengunjung menutup pertemuan dengan doa bersama.
17HASIL ANGKET SEBELUM KUNJUNGAN
No. Nama Jml/
Soal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Total
1 A 1 3 1 2 3 5 1 3 1 2 3 5 3 1 2 3 5 1 3 1 2 3 5 1 3 1 2 3 5 3 77
2 B 2 1 3 3 3 3 2 1 3 3 3 3 1 3 3 3 3 2 1 3 3 3 3 2 1 3 3 3 3 1 73
3 C 1 3 5 2 3 5 1 3 5 2 3 5 3 5 2 3 5 1 3 5 2 3 5 1 3 3 2 3 5 3 95
4 D 2 3 2 3 5 5 2 3 2 3 5 5 3 2 3 5 5 2 3 2 3 3 5 2 3 5 3 5 5 3 97
5 E 3 3 4 4 4 5 3 3 4 4 4 5 3 4 4 4 5 3 3 4 4 5 5 3 3 2 4 4 5 3 114
6 F 2 3 2 3 5 4 2 3 2 3 5 4 3 2 3 5 4 2 3 2 3 4 4 2 3 4 3 5 4 3 97
7 G 2 4 3 2 4 5 2 4 3 2 4 5 4 3 2 4 5 2 4 3 2 5 5 2 4 2 2 4 5 4 103
8 H 2 3 3 1 5 5 2 3 3 1 5 5 3 3 1 5 5 2 3 3 1 4 5 2 3 3 1 5 5 3 94
9 I 2 3 4 2 4 3 2 3 4 2 4 3 3 4 2 4 3 2 3 4 2 5 3 2 3 3 2 4 3 3 93
10 J 1 3 3 3 5 5 1 3 3 3 5 5 3 3 3 5 5 1 3 3 3 4 5 1 3 4 3 5 5 3 103
11 K 1 2 3 2 2 1 1 2 3 2 2 1 2 3 2 2 1 1 2 3 2 5 1 1 2 3 2 2 1 2 59
12 L 1 3 5 2 5 5 1 3 5 2 5 5 3 5 2 5 5 1 3 5 2 2 5 1 3 3 2 5 5 3 102
13 M 3 2 1 2 1 5 3 2 1 2 1 5 2 1 2 1 5 3 2 1 2 5 5 3 2 5 2 1 5 2 77
14 N 3 3 5 3 2 3 3 3 5 3 2 3 3 5 3 2 3 3 3 5 3 1 3 3 3 1 3 2 3 3 90
15 O 2 2 3 2 5 5 2 2 3 2 5 5 2 3 2 5 5 2 2 3 2 2 5 2 2 5 2 5 5 2 94
16 P 2 2 3 2 4 4 2 2 3 2 4 4 2 3 2 4 4 2 2 3 2 5 4 2 2 3 2 4 4 2 87
17 Q 2 3 4 3 3 4 2 3 4 3 3 4 3 4 3 3 4 2 3 4 3 4 4 2 3 3 3 3 4 3 96
18 R 3 3 1 3 2 5 3 3 1 3 2 5 3 1 3 2 5 3 3 1 3 3 5 3 3 4 3 2 5 3 89
19 S 3 4 3 2 5 5 3 3 3 2 5 5 4 3 2 5 5 3 4 3 2 2 5 3 4 1 2 5 5 4 106
20 T 3 2 2 3 4 5 3 2 2 3 4 5 2 2 3 4 5 3 2 2 3 5 5 3 2 3 3 4 5 2 97
21 U 2 3 1 1 2 4 2 3 1 1 2 4 3 1 1 2 4 2 3 1 1 4 4 2 3 2 1 2 4 3 69
22 V 2 3 4 1 1 5 2 3 4 1 1 5 3 4 1 1 5 2 3 4 1 2 5 2 3 1 1 1 5 3 79
23 W 1 1 2 3 5 5 1 1 2 3 5 5 1 2 3 5 5 1 1 2 3 1 5 1 1 4 3 5 5 1 83
24 X 1 3 1 2 5 5 1 3 1 2 5 5 3 1 2 5 5 1 3 1 2 5 5 1 3 2 2 5 5 3 88
25 Y 1 2 1 3 1 1 1 2 1 3 1 1 2 1 3 1 1 1 2 1 3 5 1 1 2 1 3 1 1 2 49
26 Z 1 3 4 2 4 5 1 3 4 2 4 5 3 4 2 4 5 1 3 4 2 1 5 1 3 1 2 4 5 3 91
27 AA 2 1 3 1 5 5 2 1 3 1 5 5 1 3 1 5 5 2 1 3 1 4 5 2 1 4 1 5 5 1 79
28 BB 3 3 5 1 2 5 3 3 5 1 2 5 3 5 1 2 5 3 3 5 1 5 5 3 3 3 1 2 5 3 94
29 CC 3 1 5 1 4 4 3 1 5 1 4 4 1 5 1 4 4 3 1 5 1 2 4 3 1 5 1 4 4 1 82
30 DD 3 3 1 1 1 5 3 3 1 1 1 5 3 1 1 1 5 3 3 1 1 4 5 3 3 5 1 1 5 3 87
60 78 87 65 104 131 60 78 87 65 104 131 78 87 65 104 131 60 78 87 65 106 131 60 78 89 65 104 131 78 2644
5 5 5 5L 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5
18HASIL ANGKET SETELAH KUNJUNGAN
No. Nama Jml/
Soal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Total
1 A 5 4 4 3 5 5 5 4 4 3 5 5 5 4 4 3 5 5 5 4 4 3 5 5 5 4 4 3 5 5 130
2 B 5 4 4 4 5 5 5 4 4 4 5 5 5 4 4 4 5 5 5 4 4 4 5 5 5 4 4 4 5 5 135
3 C 5 4 5 3 4 4 5 4 5 3 4 4 5 4 5 3 4 4 5 4 5 3 4 4 5 4 5 3 4 4 125
4 D 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 120
5 E 5 4 5 2 5 5 5 4 5 2 5 5 5 4 5 2 5 5 5 4 5 2 5 5 5 4 5 2 5 5 130
6 F 5 3 3 3 5 5 5 3 3 3 5 5 5 3 3 3 5 5 5 3 3 3 5 5 5 3 3 3 5 5 112
7 G 5 4 4 3 5 5 5 4 4 3 5 5 5 4 4 3 5 5 5 4 4 3 5 5 5 4 4 3 5 5 130
8 H 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 135
9 I 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 135
10 J 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 132
11 K 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 140
1212 L 5 5 5 3 5 5 5 3 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 3 5 5 140140
13 M 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 140
14 N 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 135
15 O 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 135
16 P 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 135
17 Q 5 3 5 3 5 5 5 3 5 3 5 5 5 3 5 3 5 5 5 3 5 3 5 5 5 3 5 3 5 5 130
18 R 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 135
19 S 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 135
20 T 5 4 5 2 5 5 5 4 5 2 5 5 5 4 5 2 5 5 5 4 5 2 5 5 5 4 5 2 5 5 130
21 U 5 3 5 2 5 5 5 3 5 2 5 5 5 3 5 2 5 5 5 3 5 2 5 5 5 3 5 2 5 5 122
22 V 5 3 5 2 5 5 5 3 5 2 5 5 5 3 5 2 5 5 5 3 5 2 5 5 5 3 5 2 5 5 125
23 W 4 3 5 2 5 5 4 3 5 2 5 5 4 3 5 2 5 5 4 3 5 2 5 5 4 3 5 2 5 5 120
24 X 5 5 5 2 5 5 5 5 5 2 5 5 5 5 5 2 5 5 5 5 5 2 5 5 5 5 5 2 5 5 135
25 Y 5 4 5 2 5 5 5 4 5 2 5 5 5 4 5 2 5 5 5 4 5 2 5 5 5 4 5 2 5 5 130
26 Z 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 3 5 5 140
27 AA 5 3 5 3 5 5 5 3 5 3 5 5 5 3 5 3 5 5 5 3 5 3 5 5 5 3 5 3 5 5 130
28 BB 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 135
29 CC 5 3 5 3 5 5 5 3 5 3 5 5 5 3 5 3 5 5 5 3 5 3 5 5 5 3 5 3 5 5 127
30 DD 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 5 4 5 3 5 5 135
149 118 145 84 149 149 149 118 145 84 149 149 149 118 145 84 149 149 149 118 145 84 149 149 149 118 145 84 149 149 3938
Top Related