PERAN UNI AFRIKA DALAM RESOLUSI KONFLIK DARFUR
TAHUN 2004-2007
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh
Ihsan
107083001706
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
v
ABSTRAK
Nama : Ihsan
NIM : 107083001706
Peran Uni Afrika Dalam Resolusi Konflik Darfur Tahun 2004 – 2007
Skripsi ini mencoba menganalisa sejauh mana upaya dan peran Uni Afrika
dalam menyelesaikan konflik di negara anggotanya. Secara spesifik skripsi ini
menyoroti bagaimana peran Afrika dalam usaha menyelesaikan konflik di Darfur,
Sudan, pada tahun 2004-2007. Penelitian ditujukan untuk melihat bagaimana
organisasi kawasan berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah domestik
anggotanya. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode analisis
kualitatif yang bersifat deskriptis analitis.
Dalam temuan penulis, misi perdamaian Uni Afrika untuk Sudan, AMIS,
tidak berhasil melakukan tugasnya dalam usaha mendamaikan pihak-pihak yang
terlibat dalam perseteruan di Darfur, Sudan. Malahan, pertumpahan darah terus
saja terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal; pertama, keterbatasan mandat
AMIS, kedua tidak diperbolehkannya personil penjaga perdamaian untuk
menggunakan deadly force dan ketiga, peralatan dan logistik yang tidak memadai.
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai peran Uni
Afrika di Darfur tahun 2004-2007, penelitian ini menggunakan beberapa teori
yang dapat menjelaskan berbagai temuan penelitian. Teori yang digunakan adalah
teori Organisasi Internasional dan teori resolusi konflik, serta dibantu dengan
konsep peran dalam Ilmu Hubungan Internasional.
Kata Kunci : Uni Afrika, Darfur, Janjaweed, SLM/A, Peacemaking,
Mediator, African Union Mission in Sudan (AMIS).
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat,
taufiq dan hidayahNYA yang telah dianugerahkan kepada penulis, sehingga
mampu menyelesaikan tugas skripsi dengan judul: “Peran Uni Afrika Dalam
Resolusi Konflik Darfur 2004-2007”
Skripsi ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana pada program studi Hubungan Internasional. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini bukan hanya hasil karya penulis seorang diri,
melainkan juga karena bimbingan, saran, motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-
pihak yang telah setia mendukung dan memberi semangat dalam proses
menyelesaikan skripsi ini. Berbagai pihak diantaranya:
1. Keluarga penulis, khususnya kepada Ayahanda Jakfar Nasruddin Dalimunthe
dan Ibunda tercinta Rosmala Lubis, adik-adik Fadila, Hanief dan Rozana.
Terima Kasih atas dukungan dan doanya.
2. Pak Teguh Santosa selaku dosen pembimbing skrispi saya. Terima kasih atas
bimbingan, motivasi, dan nasihatnya selama ini.
3. Pak Kiky Rizky selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas
waktu luang yang diberikan, juga motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Ketua Prodi Hubungan Internasional sejak Bapak. Nazaruddin Nasution SH,
MA, kemudian Ibu Dina Afriyanti Ph.D, dan selanjutnya Bapak Kiky Rizky,
M.Si. Terima kasih atas support dan kepercayaannya selama di BEM maupun
menjadi mahasiswa.
5. Dosen-dosen Jurusan Hubungan Internasional: Bapak Agus Nilmada M.Si,
Bu Mutiara Pertiwi, Bapak Adian Firnas M.Si, Bapak Amein Daulay M.Si,
Bapak Dr. Abdul Hadi Adnan, Bapak Badrus Sholeh, Bapak Aiyub Mohsin,
Kak Musa, Bapak Faisal Nurdin. Selain itu juga kepada Bapak Dr. Abdul
Rozak dan Bapak Ahmad Abrori.Terima kasih atas ilmu dan dukungan yang
diberikan selama penulis menuntut ilmu di UIN Jakarta.
vii
6. Seluruh staf dan karyawan yang bekerja di gedung FISIP. Untuk Pak Jajang
terima kasih untuk semua bantuannya demi kelancaran skripsi seluruh
mahasiswa HI FISIP.
7. Kepada Duta Besar Sudan, Mr.Ambassador Abd Rahim, Terima kasih atas
kesediaan waktunya untuk diwawancarai sehingga dapat menambah kekayaan
dalam penulisan skripsi ini.
8. Teman-teman HI angkatan 2007, Arlian Buana Chrissandi, Dery Alfikry,
Subhan Jamil Baidlowi, Siska, Nia, Muammar, Tebry dan teman-teman
penulis yang banyak membantu mencarikan buku tentang Darfur dan Uni
Afrika, Faisal Mahyudin, Anwar bin Haydar, Muhammad Reza.
9. Teman-teman redaksi di Rakyat Merdeka Online.
10. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga segala
dukungan dan bantuan kalian mendapat imbalan dari Allah SWT dan menjadi
amal kebaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan,
untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi
perbaikan di masa mendatang.Mudah-mudahan, skripsi ini dapat bermanfaat dan
menambah khazanah keilmuan bagi pembacanya dan studi Hubungan
Internasional.
Ihsan
x
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI v
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR SINGKATAN xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pernyataan Penelitian 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8
D. Kerangka Pemikiran 9
D. 1. Konsep Peran 9
D. 2. Organisasi Internasional 10
D. 3. Resolusi Konflik 12
D.4. Konsep Responsibility to Protect 16
E. Tinjauan Pustaka 20
F. Metode Penelitian 25
G. Sistematika Penulisan 26
BAB II KOMITMEN UNI AFRIKA DALAM RESOLUSI KONFLIK
A. Uni Afrika
A.1. Latar Belakang Uni Afrika 28
A.2. Tujuan dan Prinsip-prinsip Uni Afrika 33
A.3. Dewan Keamanan Uni Afrika 36
B. Pengalaman Uni Afrika dalam Menyelesaikan
Konflik di Kawasan 40
B.1. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Chad 41
B.1. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Rwanda 43
B.2. Misi Uni Afrika di Burundi 44
BAB III KRISIS KEMANUSIAAN DI DARFUR
A. Sejarah dan Akar Konflik Darfur 48
B. Konflik dan Krisis Kemanusiaan Dalam Konflik Darfur
mulai Tahun 2003 55
C. Faktor-faktor yang mendorong keterlibatan Uni Afrika
di Darfur 59
C.1. Faktor internal pendukung keterlibatan Uni Afrika
di Darfur 61
C.2. Faktor-faktor eksternal pendorong keterlibatan
Uni Afrika di Darfur 67
C.2.1 Perserikatan Bangsa-Bangsa 71
C.2.2 Uni Eropa 72
C.2.3 G-8 74
xi
BAB IV PERAN UNI AFRIKA DALAM PENYELASAIAN KONFLIK
DARFUR (2004 – 2007)
A. Uni Afrika sebagai Fasilitator Perundingan Damai 81
B. Uni Afrika sebagai Mediator Perundingan Damai 83
C. Misi Pengawasan Kesepakatan Gencatan Senjata 87
D. Operasi Perdamaian Uni Afrika Di Darfur 90
E. Kendala dan Hambatan AMIS 94
E.1.Keterbatasan Mandat 94
E.2. Rules Of Engagement 97
E.3. Logisitik dan Penempatan Personel AMIS 98
BAB V KESIMPULAN
Kesimpulan 100
DAFTAR PUSTAKA xii
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Sudan. 50
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I.I. Pasal 3 Piagam Uni Afrika 28
Tabel I.II. Pasal 4 Piagam Uni Afrika 35
Tabel I.III. Isu-isu Perundingan Darfur 86
xiv
DAFTAR SINGKATAN
AMIS : African Union Mission in Sudan
APF : African Peace Facility
APP : African Action Plan
ASF : African Standby Force
AU : African Union
DK PBB : Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-bangsa
DLF : Darfur Liberation Front
DPKO : Departement of Peace-Keeping Operation
EDF : European Development Fund
HRW : Human Right Watch
ICISS : The International Commission on Intervention and State
Sovereignty
JEM : Justice and Equality Movement
OAU : Organization of African Unity
OPA : Organisasi Persatuan Afrika
R2P : Responsibility to Protect
SLM/A : Sudan Liberation Movement/Army
SPLA : Sudan People Liberation Army
UNAMID : United Nations-African Union peacekeeping operation in
Darfur
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Wawancara Dengan Duta Besar Sudan untuk Indonesia xxii
Lampiran II Agreement on Humanitarian ceasefire on the conflict in Darfur
Lampiran III Gambar (PETA DARFUR)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Uni Afrika (African Union) merupakan sebuah organisasi internasional di
Afrika yang secara resmi berdiri pada tanggal 9 Juli 2002 di Durban, Afrika
Selatan. Organisasi ini berambisi untuk menyatukan seluruh negara di kawasan
Afrika serta berusaha untuk berperan lebih aktif dalam perekonomian global,
disamping juga berusaha menyelesaikan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan
politik negara-negara anggotanya. Sejak awal pembentukannya Uni Afrika sudah
memiliki 53 negara anggota.1 Kota Addis Ababa di Ethiopia dipilih sebagai kantor
pusat aktifitas organisasi Uni Afrika. (Sonu 2003:32)
Pada dasarnya, Uni Afrika merupakan kelanjutan dari Organisasi
Persatuan Afrika (Organization of African Unity, --selanjutnya disingkat OPA)
yang didirikan pada tanggal 25 Mei 1963 di Addis Ababa, Ethiopia. Pada tahun
2002 OPA merevitalisasi diri dan berubah menjadi African Union (Uni Afrika).
Terdapat perbedaan signifikan antara OPA dan Uni Afrika. OPA tidak memiliki
instrumen intervensi politik dan militer. Sementara Uni Afrika memilikinya dan
dapat digunakan jika terlibat dalam atau untuk melakukan resolusi konflik di
negara anggota, apabila terdapat kejahatan berat kejahatan berat meliputi
genosida, kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Selain itu, beberapa
1 Afrika Selatan, Republik Afrika Tengah, Aljazair, Angola, Republik Arab Sahrawi, Benin,
Bostwana, Burkina Faso, Burundi, Chad, Djibouti, Eriteria, Ethiopia, Gabon, Gambia, Ghana, Guinea, Guinea Bissau, Guinea Khatulistiwa, Kamerun, Kenya, Komoro, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Lesotho, Liberia, Libya, Malawi, Mali, Mauritania, Mauritius, Mesir, Mozambik, Namibia, Niger, Nigeria, Pantai Gading, Rwanda, Sao Tome dan Principe, Senegal, Seychelles, Sierra Leone, Somalia, Sudan, Swaziland, Tanjung Verde, Tanzania, Togo, Tunisia, Uganda, Zambia, Zimbabwe
2
prinsip Uni Afrika juga menyatakan bahwa negara anggota berhak meminta
organisasi ini melakukan intervensi, dalam upaya memulihkan keamanan dan
meciptakan perdamaian. (AU 2012).
Mekanisme intervensi Uni Afrika tersebut diatur melalui Peace and
Security Council, sebuah badan di bawah naungan organisasi. Hal tersebut
tertuang dalam Pasal 3 Protocol Relating to the Establishment of the Peace and
Security Council of the African Union yang ditandatangani oleh negara anggota
Uni Afrika pada tanggal 9 Juli 2002. Dokumen tersebut diantaranya
mempromosikan: (1) perdamaian, keamanan dan stabilitas di Afrika; (2)
memberikan peringatan dini dan diplomasi pencegahan, (3) peace-making
termasuk usaha-usaha mediasi, rekonsiliasi dan penyelidikan, (4) operasi
perdamaian dan intervensi serta peace-building dan rekonstruksi pasca konflik.
(AU, 2012)
Salah satu konflik internal yang telah ditangani melaui intervensi Uni
Afrika adalah konflik internal negara Sudan di Darfur. Selain merupakan konflik
separatisme, konflik ini memiliki nuansa konflik etnis. Dalam hal ini, etnis Arab
yang didukung pemerintahan Omar Al Bashir berseteru dengan etnis Afrika yang
merupakan identitas kelompok pemberontak. (Powell, 2005:80).
Darfur adalah daerah di bagian barat Sudan yang dihuni oleh lebih dari 30
kelompok etnis, dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 6 juta jiwa. Secara
garis besar, penduduk Darfur terbagi dalam dua golongan utama, suku Afrika dan
suku Arab. Masyarakat (suku) Afrika Darfur, merupakan penduduk lokal Darfur
yang menetap. Mereka telah tinggal di daerah ini sejak Darfur masih menjadi
sebuah kesultanan Islam independen pada tahun 1650. Suku-suku tersebut
3
diantaranya meliputi suku asli Fur, Masalit, Zaghwa, Daju dan Berti. Sedangkan,
suku Arab Darfur merupakan suku pendatang menempati wilayah Darfur bagian
utara dan selatan. Meskipun bukan penduduk asli, Arab merupakan etnis yang
dominan di daerah tersebut dan mereka beragama Islam. Mayoritas orang Arab
Darfur berkulit hitam yang merupakan hasil dari perkawinan campuran Arab-
Afrika. (Collins 2006:29)
Konflik etnis berakar setidaknya sejak Pemerintahan Sadiq al Mahdi
(1986-1989), ketika Darfur dibagi menjadi tiga wilayah: Utara, Selatan, dan Barat.
Pemerintah masa itu membentuk milisi sipil yang dipersenjatai dari suku
Messiriya dan Rezeiget, yang merupakan dua suku besar keturunan Arab di Darfur
dan cikal-bakal dari Janjaweed, untuk mengamankan tiga wilayah tersebut dari
kelompok pemberontak. Kelompok pemberontak ini adalah kaum Afrika
terpelajar Darfur yang menggalakkan pergerakan politik sejak tahun 1960-an,
karena Darfur secara politik dan ekonomi termajinalkan oleh pemerintah pusat.
Tuntutan mereka adalah kesetaraan pembangunan untuk Darfur dan yang paling
ektrem, menuntut kemerdekaan bangsa Afrika Darfur. (Collins 2006:30)
Pemerintahan selanjutnya yang masih berkuasa hingga saat skripsi ini
ditulis, tidak melikuidasi milisi Janjaweed dan justru memperkuatnya. Bahkan,
Presiden Omar al Bashir berusaha menerapkan hukum Islam sebagai hukum
nasional dan merendahkan kepercayaan lain yang dianut suku-suku Afrika
pribumi. Pemerintah pusat Sudan di Khartoum pun lebih mementingkan orang-
orang Arab untuk menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan dan pembangunan
daerah Darfur yang dihuni mayoritas Afrika semakin dikesampingkan begitu saja.
Keadaan diperparah akibat ulah Janjaweed yang mulai mengusir warga sipil lokal
4
untuk mengambil akses sumber daya alam seperti minyak dan uranium, terutama
di kota-kota strategis Darfur, Al-fashir, Nyala dan Geneina. Ini mengakibatkan
pemerintah Khartoum kehilangan legitimasi di mata masyarakat etnis Afrika
Darfur. (Collins 2006:33)
Penduduk etnis Afrika Darfur akhirnya membentuk juga milisi-milisi
bersenjata dengan menggunakan ciri etnis non-Arab sebagai tandingan, untuk
menghadapi Janjaweed. Mereka mendeklarasikan Sudan Liberation
Movement/Army (SLM/A) pada tanggal 12 Maret 2003. Milisi ini merupakan hasil
peleburan dari dua kelompok pemberontak Darfur Liberation Front (DLF) dan
Sudan People Liberation Army (SPLA) dua organisasi subversif yang memiliki
jaringan nasional yang luas. SLM/A kemudian melakukan berbagai penyerangan,
diantaranya yang paling terkenal adalah serangan kota Gulu, yang dihuni
mayoritas suku Arab. Mereka terlibat baku tembak dengan polisi setempat
sebelum kemudian melarikan diri. Dalam peristiwa tersebut, 195 tentara militer
Sudan terbunuh. (Collins 2006:39)
Serang-menyerang semakin intens setelah Bandara Al Fashir menjadi
target SLM/A pada 25 April 2003. Serangan tersebut menghancurkan sejumlah
helikopter milik pemerintah, pesawat pembom Antonov, menduduki kantor pusat
militer, dan menangkap Mayor Jendral Ibrahim Bushara, kepala Angkatan Udara
Sudan. (Kastfur 2005:196) Sepuluh hari kemudian, SLM/A menangkap Kolonel
Mubarak Muhammad al-Saraj, Kepala Badan Intelejen Negara Sudan di Aynshiro,
sebelah utara Jabal Marra. Dalam serangan ini, muncul kelompok pemberontak
Darfur baru yang bernama Justice and Equality Movement (JEM) dan bergabung
dengan SLM/A. (Kastfur 2005:196)
5
Pemerintah Sudan kerap merespons serangan kelompok pemberontak
dengan cara-cara represif. Pemerintah juga memberikan kewenangan kepada
milisi Janjaweed untuk melakukan apapun demi mengamankan wilayah Darfur
dari serangan pemberontak. Janjaweed ikut bertanggungjawab atas pembunuhan
terhadap warga Afrika Darfur, memperkosa para perempuan, dan menyiksa anak-
anak kecil. Ini disertai dengan pembakaran perkampungan warga. Menurut
Pruiner, metode yang digunakan oleh Janjaweed menuju ke arah skema yang
sistematis guna menghilangkan populasi Afrika di Darfur, atau genosida. (Pruiner
2005:145)
Sampai awal tahun Januari 2004, korban tewas yang kebanyakan etnis
Afrika ini sudah mencapai 10.000 jiwa. (Pruiner 2005:148) Human Right Watch
melaporkan bahwa sekitar 1,6 juta warga Darfur pada tahun 2003 kehilangan
tempat tinggal dan harus mengungsi. Sekitar 200.000 warga sipil mengungsi ke
negara tetangga terdekat, seperti Chad dan Republik Afrika Tengah, dua negara
yang berbatasan langsung dengan Darfur. Di Chad, diperkirakan sekitar 70.000
pengungsi meninggal sejak tahun 2003 sampai 2005 akibat kekurangan gizi dan
wabah penyakit. (Strauss 2005:30) Selain itu, pengungsi di negara-negara yang
berbatasan langsung dengan Darfur ini juga rawan akan kekerasan karena milisi
Janjaweed kerap melintasi perbatasan Darfur dan menyerang kamp pengungsi.
Angka kematian suku Afrika yang mencapai puluhan ribu orang hanya
dalam periode kurang dari satu tahun, mengindikasikan adanya praktik genosida.
Hal ini mengundang perhatian internasional, khususnya Uni Afrika. Kecaman
dari masyarakat internasional bermunculan. Dewan Keamanan PBB bahkan
mengeluarkan resolusi agar Sudan segera mengakhiri peperangan dengan
6
langkah-langkah kongkrit dan melucuti persenjataan Janjaweed. Uni Afrika pun
tak ketinggalan meminta pemerintah Sudan agar mau terbuka dengan kehadiran
pihak luar untuk mengakhiri konflik. (Human Rights Watch 2003)
Mediasi pertama yang melibatkan pihak luar antara pemerintah Sudan dan
kelompok pemberontak dilakukan pada tanggal 3 September 2003, di kota
Abache, Sudan, yang berbatasan dengan Chad. Mediasi ini terselenggara atas
inisiatif Presiden Chad, Idriss Deby, yang secara tidak langsung merasa dilibatkan
dalam pusaran konflik karena pengungsi Darfur banyak yang mendatangi wilayah
negaranya. Deby berkepentingan agar stabilitas keamanan di wilahnya tetap
terjaga. Kesepakatan yang dihasilkan kedua belah pihak adalah melakukan
gencatan senjata selama 45 hari. Mediasi ini juga dihadiri utusan Uni Afrika. (AU
2004)
Uni Afrika sebagai wadah perhimpunan negara-negara di Afrika merasa
perlu untuk menyelesaikan konflik Darfur. Negara-negara anggota menganggap,
masalah ini bisa mempengaruhi keamanan kawasan dan membuat permasalahan
antar bangsa Afrika menjadi lebih rumit dan pada akhirnya menghambat
pembangunan di Afrika. Chad, sebagai negara yang langsung terkena imbasnya
juga terus menyuarakan agar Uni Afrika turun tangan. (AU 2004)
Uni Afrika berhasil membuat perjanjian kesepakatan damai antara
pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak pada tanggal 8 April 2004 di
N’djamena, ibukota Chad. Perjanjian ini didukung dengan kehadiran kelompok
pemantau dan penjaga perdamaian African Union Mission in Sudan (AMIS) mulai
Mei 2004 dengan penempatan 7000 personil militer. (Adnan 2007:129) AMIS
merupakan badan khusus penjaga perdamaian bentukan Uni Afrika, sebagai
7
langkah menindaklajuti Resolusi PBB No. 1564, yang menunjuk dan memberikan
Uni Afrika mandat untuk melakukan resolusi konflik dan menjalan misi
kemanusiaan di Darfur. Resolusi 1564, juga meminta kepada seluruh anggota
PBB untuk membantu Uni Afrika dengan memberikan bantuan perlengkapan
logistik, keuangan, bahan-bahan pokok, dan kebutuhan-kebutuhan lain. Di Darfur,
AMIS melakukan misi perdamaian untuk menjaga stabilitas keamanan di daerah
yang dilanda konflik tersebut. (Adnan 2007:130)
Misi Uni Afrika dimungkinkan diterima di Darfur karena pemerintah
Sudan menolak PBB dan negara-negara barat campur tangan langsung dalam
masalah internalnya. Pemerintah Sudan hanya bersedia menerima campur tangan
dari Uni Afrika. Maka Resolusi DK PBB 1564 yang memberikan mandat kepada
Uni Afrika diterima oleh Sudan. Pelaksanaan mandat ini berlangsung sampai
tahun 2007. Dalam perjalanannya, misi ini menemui berbagai kesulitan karena
perang dan tindak kekerasan ternyata tidak sepenuhnya dapat dihentikan. Pada
Juli 2007, DK PBB menetapkan resolusi 1769, yang mengakhiri mandat tunggal
Uni Afrika. Resolusi 1976 memberi mandat gabungan untuk PBB dan Uni Afrika.
Untuk melakukan misi perdamaian dibentuklah United Nations-African Union
peacekeeping operation in Darfur (UNAMID) hingga 2013. (AU 20012)
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan membahas peran
Uni Afrika dalam resolusi konflik di Darfur pada periode 2004-2007, ketika
organisasi tersebut mulai mulai mengirimkan pasukan dengan misi perdamaian
dan melakukan berbagai upaya untuk menghentikan konflik berkepanjangan.
Tema ini penting diteliti untuk memahami kontribusi organisasi regional ini dalam
mewujudkan perdamaian di wilayah negara anggotanya. Keterlibatan Uni Afrika
8
untuk melakukan resolusi konflik di Darfur adalah keterlibatan pihak luar pertama
di wilayah ini. Sebelumnya, Sudan selalu berusaha mencegah terjadinya
internasionalisasi konflik dalam negerinya. AMIS adalah pasukan yang pertama
kali boleh masuk untuk menjalankan misi penghentian kekerasan dan
perlindungan warga sipil di Darfur.
B. Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan yang muncul pada penelitian ini adalah :
Bagaimana peran Uni Afrika dalam resolusi konflik internal di Darfur Sudan
pada tahun 2004-2007?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Menjelaskan bagaimana peran organisasi kawasan, Uni Afrika,
menyelesaikan konflik internal negara anggotanya, Sudan, 2004-2007
b. Mengaplikasikan konsep Resolusi konflik dan Responsibility to Protect
dalam sebuah kasus yang bisa dijadikan sebagai karya tulis ilmiah.
Manfaat penelitian ini adalah:
a. Memberikan wawasan kepada penulis terkait strategi konflik
berkepanjangan di Darfur dan berbagai upaya penyelesaiannya.
b. Meningkatkan kemampuan analisis penulis terhadap penyelesaian
sengketa di sebuah wilayah.
c. Menambah bahan pustaka bagi penelitian Ilmu Hubungan Internasional
selanjutnya.
9
D. Kerangka Pemikiran
Sesuai dengan judul penelitian ini, Peran Uni Afrika dalam Upaya
Penyelesaian Konflik di Darfur Tahun 2004-2007, maka penulis menggunakan
beberapa konsep dalam hubungan internasional, diantaranya konsep peran,
organisasi internasional, dan teori resolusi konflik.
D.1. Konsep Peran
Konsep peran didefinisikan sebagai orientasi atau konsepsi dari bagian
yang dimainkan oleh suatu pihak dalam posisi sosialnya. Sang pelaku peran, baik
itu individu maupun organisasi, akan berprilaku sesuai dengan harapan orang atau
lingkungannya. Dalam hal ini peranan menjalankan konsep melayani untuk
menghubungkan harapan-harapan yang terpola, dari orang lain atau lingkungan,
dengan pola yang menyusun struktur sosial. Peran sendiri merupakan seperangkat
perilaku yang dapat terwujud dari perorangan sampai dengan kelompok, baik
kecil maupun besar, yang kesemuanya menjalankan berbagai peran. Baik perilaku
yang bersifat individual maupun jamak dapat dinyatakan sebagai struktur
(Kusumohadimojo,1987:32).
Peran merupakan seperangkat perilaku yang diharapkan dari seseorang
atau dari struktur yang menduduki suatu posisi dalam sistem. Peran dari struktur
tunggal, maupun bersusun, ditentukan oleh harapan orang lain atau perilaku peran
itu sendiri, juga ditentukan oleh pemegang peran terhadap tuntutan dan situasi
yang mendorong dijalankannya peran tadi. Peran merupakan aspek dinamis
kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya, maka ia telah menjalankan suatu peran (Soekanto, 2001:
268). Munculnya suatu harapan, bisa ditelaah dari dua sumber. Pertama, harapan
10
yang dimiliki orang lain terhadap aktor politik; kedua, harapan juga bisa muncul
dari cara pemegang peran menafsirkan peranan yang dipegangnya, yaitu
harapannya sendiri tentang apa yang harus dan yang tidak boleh dilakukan.
Sedangkan kegunaan teori peranan ini, sebagai alat analisis, yang paling penting
adalah untuk menjelaskan dan meramalkan perilaku politik (Mas’oed, 1990: 46-
47).
Jadi, peran dapat dipahami sebagai fungsi yang dimainkan aktor dalam
suatu arena. Dalam skripsi ini, aktor yang dimaksud Uni Afrika sebagai organiasi
Internasional, sedangkan arena yang dimaksud adalah resolusi konflik di Darfur.
D.2. Organisasi Internasional
Sebagaimana yang tercantum pada pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina tentang
Hukum Perjanjian 1969, Organisasi internasional adalah organisasi antar-
pemerintah. Organisasi internasional adalah subjek buatan, subjek hukum yang
diciptakan oleh negara-negara yang mendirikannya. Organisasi internasional
melaksanakan kehendak negara-negara anggota yang dituangkan dalam satu
perjanjian Internasional. Oleh karena itu organisasi-organisasi internasional
memiliki ikatan antara negara-negara yang mendirikannya dan dalam banyak hal
sangat tergantung pada negara-negara tersebut. (Mauna 2005:462-463)
Organisasi internasional adalah wadah yang memiliki tujuan demi
tercapainya satu kesepakatan dan hukum yang dapat dipatuhi publik Internasional.
Organisasi Internasional merupakan asosiasi permanen, yang berdasarakan
perjanjian multirateral, diatas perjanjian bilateral, dengan kriteria dan tujuan yang
sudah disepakati dan ditetapkan bersama. (Bowet 1970:6). Organisasi
internasional menyediakan sarana kerjasama diantara negara-negara dalam
11
berbagai bidang, dimana kerjasama tersebut memberikan keuntungan bagi
sebagian besar ataupun keseluruhan anggotannya. Selain sebagai tempat dimana
keputusan tentang kerjasama dibuat juga menyediakan perangkat administratif
untuk menerjemahkan keputusan tersebut menjadi tindakan. (Bennet 1995:3)
Secara umum Organisasi internasional memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Organisasi permanen yang memiliki beberapa fungsi yang sifatnya
berkelanjutan. 2) Keanggotannya bersifat sukarela dan setiap anggotanya
memiliki kedudukan yang sama. 3) Memiliki alat atau perangkat yang memiliki
dasar tujuan yang sama, memiliki struktur yang jelas dan sistem metode operasi
yang sistematis. 4) Setiap negara memiliki posisi yang terwakilkan dalam setiap
konferensi tingkat organisasi antar negara anggota. 5) Memiliki sekretariat yang
bersifat permanen untuk menyelesaikan berbagai masalah administrasi,
melakukan penelitian berbagai kasus dan wadah informasi bagi anggota-
anggotanya yang berdaulat. (Bennet 1979:30)
Eksplorasi dan analisis aktivitas organisasi internasional akan
menampilkan sejumlah peranannya seperti mediator dan rekonsiliator. Mediator
yakni aktor yang menjadi pihak ketiga, baik itu negara atau organisasi
internasional, yang turut serta dalam sebuah negoisasi yang dilangsungkan oleh
pihak-pihak bersengketa. Rekonsiliator yakni organ atau pihak yang dibentuk atas
kesepakatan pihak yang bersengkata, atau yang sudah ada sebelumnya, dalam
melakukan resolusi konflik. (Situmorang 1999:35)
D.3. Resoulusi Konflik
Resolusi konflik merupakan suatu proses penyelesaian masalah dalam
konflik dengan tidak adanya pemaksaan dan kekerasan dalam mengkontrol
12
konflik. Hal ini berkaitan dengan efisiensi dalam resolusi konflik dalam
mengurangi konflik yang telah mengakar dalam. (Burton 1990:115)
Resolusi konflik mengandung tiga prinsip penting. Pertama, adanya
kesepakatan yang biasanya dituangkan dalam sebuah dokumen resmi yang
ditandatangani dan menjadi pegangan selanjutnya bagi semua pihak. Kedua,
setiap pihak menerima atau mengakui eksistensi dari pihak lain sebagai subjek.
Sikap ini sangat penting karena tanpa pengakuan tersebut, mereka tidak bisa
bekerjasama selanjutnya untuk menyelesaikan konflik secara tuntas. Ketiga,
pihak-pihak yang bertikai juga sepakat untuk menghentikan segala aksi kekerasan
sehingga proses pembangunan rasa saling percaya bisa berjalan sebagai landasan
untuk transformasi sosial, ekonomi dan politik yang didambakan. (Wellensten
2002 :9)
Menurut John Galtung, ada tiga proses yang harus dilalui sebelum
perdamaian dapat dibangun melalui pihak ketiga. Ketiga proses tersebut adalah
peace-making, peacekeeping, peace-building. Peace-making adalah proses yang
tujuannya mempertemukan atau melakukan rekonsiliasi sikap politik dan strategis
dari pihak-pihak yang bertikai melaui mediasi, negoisasi, arbitrasi terutama pada
level elit atau pimpinan. (Ramsbotham 2005:162)
Peace-making adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mengakhiri
konflik Internal dengan menitik beratkan pada penggunaan cara-cara diplomatik
dan membujuk setiap pihak yang bertikai untuk mencapai kesepakatan damai
secara sukarela. Peace-making adalah suatu upaya guna memisahkan kekuatan-
kekuatan dan kelompok bersenjata yang sedang berperang yang seringkali
diasosiasikan dengan tugas-tugas sipil seperti memonitor, mengawasi kesepakatan
13
damai serta mendukung intervensi kemanusiaan. (Miall dan Ramsbotham
2002:32)
Peacekeeping adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi
kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga
perdamaian netral. Menurut PBB, penjagaan perdamaian atau peacekeeping
adalah sebuah instrumen yang unik dan dinamis yang dikembangkan oleh
organisasi sebagai cara untuk membantu negara-negara yang terkoyak oleh
konflik, dan menciptakan kondisi untuk perdamaian abadi. (Miall dan
Ramsbotham 2002:32) Peacekeeper (penjaga perdamaian) akan memberikan
kontribusi untuk memajukan proses perdamaian. Penjaga perdamaian itu tidak
mutlak adalah tentara, karena pasukan ini tidak berkewajiban untuk terlibat dalam
pertempuran. Pasukan ini ditempatkan pada daerah yang berstatus gencatan
senjata yang telah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak yang sedang
bertikai. Pada saat inilah ruang untuk mengatasi konflik lewat upaya diplomatik
dapat dijalankan. Pasukan penjaga perdamaian memantau dan mengamati proses
perdamaian di daerah pasca konflik dan membantu mantan kombatan dalam
melaksanakan kesepakatan damai. Bantuan tersebut datang dalam berbagai
bentuk, termasuk langkah-langkah membangun rasa percaya diri, pengaturan
pembagian kekuasaan, dukungan pemilu, penguatan supremasi hukum, dan
pembangunan ekonomi sosial. (Miall dan Ramsbotham 2002:32)
Peace-building adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi
sosial, politik dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui
proses peace-building, diharapkan negative peace (absennnya kekerasan) berubah
menjadi positive peace dimana masyarakat tidak akan lagi mendapat kekerasan
14
dalam jangka panjang dan merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraaan
ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif. (Ramsbotham 2005:162)
Dalam upaya menyelesaikan sebuah konflik internal, organisasi
internasional atau regional memiliki keuntungan dan kelebihan dalam hal
kedekatan dengan sumber konflik serta mengenal dekat pelaku utama konflik,
nilai budaya mereka serta kondisi lokal wilayah konflik. Kondisi semacam ini
lebih lebih memungkinkan bagi organisasi regional untuk turun tangan lebih
dahulu sebelum keterlibatan PBB secara menyeluruh dalam penyelesaiaan
konflik. Apalagi peran organisasi regional dalam upaya penciptaan perdamaiaan
juga diakui oleh Piagam PBB yang terangkum dalam Bab VIII2. (Miall dan
Ramsbotham 2002:33)
Intervensi pihak ketiga ke dalam sebuah konflik berfungsi untuk
memulihkan komunikasi antara pihak yang berselisih, mendinginkan suasana,
menyelidiki keadaan di wilayah yang berkonflik dan memberikan jasa kepada
pihak yang berkonflik. Pihak ketiga yang dapat diterima bersama dengan tujuan
mencapai penyelesaian akan dirasakan sebagai agen perundingan yang dapat lebih
dipercaya. Intervensi pihak ketiga berperan meneruskan pesan antara kedua belah
pihak yang bertikai untuk terlibat aktif dalam perundingan, dan mencoba
menekankan kepada pihak-pihak yang bermusuhan untuk menerima usul-usul
perdamaian yang telah dirumuskan oleh pihak yang melakukan intervensi atau
yang disebut sebagai mediator. (Holsti 1998:192)
2 Piagam PBB BAB VIII tentang KESEPAKATAN KAWASAN pada Pasal 52 berisi tidak ada
ketentuan dalam Piagam ini yang menghalang-halangi adanya pengaturan-pengaturan ataupun
badan-badan regional untuk menangani masalah-masalah yang bertalian dengan pemeliharaan
perdamaian dan keamanan ditangani menurut cara sesuai bagi kawasan bersangkutan, asalkan
pengaturan-pengaturan ataupun badan-badan beserta tindakan -tindakan mereka sedemikian itu
sesuai dengan Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
15
Ada dua tahap yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk melakukan
intervensi dalam prosedur resolusi konflik menurut John W Burton. Pertama,
menentukan masalah-masalah dan membuat suatu pilihan tentatif terhadap pihak-
pihak yang bertikai. Kedua, mengundang pihak-pihak yang terlibat untuk bertemu
dan berdiskusi, sementara pada saat yang sama pihak ketiga mengambil langkah
untuk memastikan bahwa semua pandangan dan kepentingan pihak-pihak yang
bertikai tidak akan diabaikan dan menjadi bahan pertimbangan pada perjanjian
atau kesepakatan damai yang dihasilkan. (Burton 1986:107)
Dalam menyelesaikan sebuah konflik, pihak ketiga juga dapat menempuh
metode mediasi, arbitrasi dan ajudikasi. Di dalam mediasi, pihak ketiga membawa
pesan namun juga dapat memberi saran dan anjuran bagi penyelesaian konflik. Di
dalam mediasi ada istilah konsiliasi yang mempelajari permasalahan dan membuat
laporan. Dari hasil mediasi dan konsiliasi, akan ada kesepakatan yang mengikat.
Sedangkan arbitrasi adalah penyelesaian oleh pihak ketiga dimana masing-masing
pihak setuju untuk menerima putusan pihak ketiga. Ajudikasi merupakan
penyelesaian perselisihan-persilihan dalam pengadilan atau mahkamah
Internasional. (Ziegler 1984:294)
D.4. Konsep Responsibility To Protect
Masyarakat internasional banyak menaruh harapan pada konsep
Responsibility ti protect (selanjutnya disebut R2P). Sejauh eksistensinya sebagai
sebuah norma yang mengikat negara-negara di dunia, prinsip R2P sering dipahami
sebagai perlindungan terhadap warga dari seluruh ancaman yang mengintai. Tidak
salah jika R2P, oleh banyak kalangan dianggap mengakomodir seluruh isu
kemanusiaan, tidak terbatas pada mass-atrocity. Untuk menghindari mispersepsi
16
terkait konsep R2P yang nantinya akan berpengaruh pada proses
implementasinya, ada 2 hal yang harus diperhatikan, yaitu pemahaman konsep
dan implementasinya.
Konseptualisasi ide R2P diputuskan Dalam World Summit 2005. Pada
pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa konsep R2P tidak
dimaksudkan dalam konteks perlindungan terhadap seluruh ancaman
kemanusiaan. Kurang tepat jika dipahami bahwa R2P mencakup permasalahan
non-mass atrocity, seperti misalnya isu pencegahan global warming, penyebaran
penyakit global (hiv/aids, antrhax, ebola), bencana alam dan perlindungan
terhadap suku-suku terasing. Cakupan R2P, seperti tertulis dalam pilar pertama
R2P yang disepakati dan didukung oleh komunitas internasional dalam
Konferensi Tingkat Tinggi Dunia (KTT) PBB tahun 2005 adalah tanggung jawab
negara untuk melindungi rakyatnya sendiri dari pemusnahan massal (genocide),
kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan dari segala
macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut. (Evans
2008:46)
Dari poin pertama dari tiga pilar tersebut dinyatakan bahwa cakupan R2P
hanya terbatas pada keempat jenis mass atrocities (genocide, war crimes, ethnic
cleansing, crimes against humanity) serta tindakan-tindakan yang mengarah pada
kejahatan tersebut. Diluar tindakan tersebut, bukanlah bidang kajian yang hendak
digarap R2P. Poin yang hendak disampaikan disini adalah bahwa situasi yang
memungkinkan untuk diterapkannya R2P adalah keempat kejahatan yang
mengarah pada tragedi kemanusiaan. Jika yang dimaksudkan adalah situasi lebih
17
luas yang mencakup realisasi dari freedom from fear dan freedom from want,
lebih tepat jika digunakan konsep human security. (Evans 2008:39)
Sebagai sebuah norma, R2P memberikan framework dan asas pijakan
untuk merespons situasi pra konflik (responsibility to prevent), ketika konflik
berlangsung (responsibilty to react), dan pasca konflik (responsibility to building).
R2P berusaha mengambil tindakan tegas dan efektif dalam menangani tragedi
kemanusiaan. (Responsibility to Potect 2009)
Setelah komunitas internasional mengambil alih tanggung jawab yang
gagal diperankan suatu negara, maka mereka harus mulai merumuskan langkah-
langkah yang diperlukan untuk mencegah, menghentikan atau memulihkan
situasi. Perihal kedaulatan negara bersangkutan dapat ditangguhkan karena azas
sovereignty as responsibility yang harus dilaksanakan negara tidak terpenuhi.
(Responsibility to Potect 2009)
Untuk menilai situasi lapangan, komunitas internasional melalui PBB
harus memfokuskan diri menyelidiki kebenaran informasi yang menyebutkan
terjadinya pelanggaran serius terhadap kemanusiaan. Tim pencari fakta yang
diutus PBB kemudian dapat bekerja sama dengan pemerintah bersangkutan,
organisasi regional maupun internasional dan melaporkan situasi yang
berkembang. Dengan adanya kerjasama tersebut maka semua pihak terkait dapat
memberikan peringatan dini (early warning) dan mendiskusikan pembagian
kapasitas (sharing-capacity) yang diemban guna mencegah terjadinya
kemungkinan terburuk. (Responsibility to Potect 2009)
Melihat cakupannya yang luas dalam menangani tragedi kemanusiaan,
meliputi tindakan sebelum, sesudah, ataupun ketika berlangsung, maka R2P
18
menggunakan sejumlah pendekatan untuk mendorong efektifitas pelaksanaannya.
Pendekatan yang digunakan R2P melibatkan pendekatan militer dan non-militer.
Intervensi militer merupakan opsi terakhir yang dipilih dan terbatas pada situasi
ekstrem dan tak terkendali. Mengacu pada 3 pilar R2P, pilihan tersebut mau tidak
mau harus dilaksanakan jika seluruh pendekatan non-militer (sanksi ekonomi,
pengutukan dunia internasional, diplomasi, pembekuan aset, dll) telah diupayakan
namun tidak ada kemajuan signifikan dalam perkembangannya. Selain itu,
penerjunan kekuatan militer harus memepunyai legalitas hukum, yaitu dilakukan
atas dasar mandat DK PBB dan atau legitimasi dunia internasional. (Evans 2008:
129-139) Selain itu ditambah juga dengan kalkulasi cermat bahwa situasi akan
terkendali setelah dilakukan intervensi militer.
R2P merupakan norma yang secara bersama disepakati oleh komunitas
internasional. Ide R2P mengemuka sebagai respon atas banyaknya tragedi
kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. sebagai respons atas tragedi
kemanusiaan, ide R2P dimaksudkan untuk mengatasi masalah genocide, war
crimes, ethnic cleansing, crimes against humanity, dan segala macam tindakan
yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut. (Responsibility to Potect
2009)
Implementasi R2P diterapkan pada saat suatu negara melakukan
pelanggaran kemanusiaan, atau gagal melindungi rakyatnya dari kejahatan
tersebut. Tanggung jawab melindungi rakyat diambil alih komunitas internasional
untuk kemudian merumuskan langkah-langkah strategis, meliputi pendekatan
militer ataupun non-militer. Intervensi militer diletakkan sebagai opsi terakhir
apabila seluruh upaya non-militer yang ditempuh tidak menunjukkan hasil positif.
19
Untuk itu, membedah konflik Darfur juga berarti melihat sejauh mana konsep
R2P diimplementasikan.
E. Tinjauan Pustaka
Permasalahan Darfur memang menggundang banyak perhatian dari
pelbagai penjuru dunia. Banyak ilmuwan yang turut khawatir atas kondisi
kemanusiaan di Darfur sehingga meneliti permasalahan tersebut. Namun
demikian, di Indonesia belum ada guru besar atau penulis kawakan yang menulis
buku utuh mengenai konflik Darfur. Untuk membuat tinjauan pustaka, tidak ada
pakar yang bisa dirujuk karyanya. Berikut ini akan ditinjau beberapa karya yang
menjadikan penyelesaian konflik Darfur sebagai pokok permasalahannya. Satu di
antaranya adalah tesis. Dua lainnya adalah makalah ilmiah di jurnal.
Pertama, ”Peacekeeping Operation PBB Pada Konflik Darfur Tahun
2004-2008.” Studi ini adalah tesis Fierda Milasari Rahmawati di program
Hubungan Internasional FISIP UI. Penelitian ini merupakan salah-satu studi yang
cukup komprehensif mengenai Darfur. Ia membahas mengenai usaha penghentian
konflik etnis di Darfur, Sudan, melalui peacekeeping operation yang dilakukan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama tahun 2004 hingga 2008. Dan
langkah-langkah apa saja yang diambil oleh PBB sebagai pihak ketiga yang
mengintervensi konflik dengan melakukan peacekeeping operation yang
bekerjasama dengan Uni Afrika.
Fokus penelitian Rahmawati, seperti terlihat jelas dari judulnya adalah
peran PBB. Peran Uni Afrika dalam penelitiannya bukan masalah utama, tapi
hanya dibahas sekilas dan sebagai pelengkap saja. Padahal, peran PBB dalam
periode itu terhitung sangat kecil, karena Sudan menolak keterlibatan PBB
20
langsung dan hanya mau menerima organisasi regional, Uni Afrika. PBB benar-
benar berperan langsung dengan porsi yang lebih besar, baru setelah Misi Uni
Afrika untuk Sudan (AMIS) dinyatakan gagal pada akhir tahun 2007. Setelah itu,
PBB mengeluarkan mandat operasi untuk misi gabungan PBB dan Uni Afrika di
Darfur (UNAMID)
Hasil penelitian Rahmawati ini menyarankan agar PBB melakukan
perubahan-perubahan mendasar pada badan organisasi PBB sendiri. Dan menurut
Rahmawati, PBB sebaiknya menyusun mandat peacekeeping operation secara
menyeluruh yang meliputi masa terjadinya konflik serta masa paska-konflik agar
benar-benar dapat menyelesaikan konflik di negara anggota. Tesis ini meski
merupakan studi yang cukup komprehensif mengenai Darfur, namun bukan
penelitian yang lengkap untuk dirujuk mengenai peran Uni Afrika.
Kedua, “Ethnic and International Conflict: Causes and Implications,”
yang ditulis oleh Michael E. Brown dalam buku Turbulent Peace: The Challenges
of Managing International Conflict (Crocker: 2001) (Chester a Crocker, 2001)
Washington DC: United States of Peace Press, 2001). Penelitian ini menjelaskan
penyebab dari terjadinya ethnic conflicts dan internal conflicts dan bagaimana
dampak internal serta eksternalnya. Brown menyebutkan bahwa Sudan termasuk
negara yang mengalami ethnic conflict disuatu negara. Ia membagi ethnic conflict
kedalam empat faktor diantaranya structural factors, political factors,
economic/social factors, dan cultural/perceptual factors.
Structural Factors terdiri dari weak states, intrastate security concerns,
ethnic geography. Weak states dimana situasi politik di Sudan yang mengalami
ketidakstabilan karena sering terjadinya kudeta terhadap pemerintahan,
21
pemerintah tidak mampu membangun ekonomi yang baik, dan kompetisi antar
aktor. Intrastate security concerns merupakan persepsi ancaman yang timbul dari
kelompok-kelompok pemberontak Sudan sehingga digunakannya kekuatan militer
oleh pemerintah yang akhirnya menciptakan security dilemma. Ethnic geography
dalam arti setiap negara yang memiliki berbagai macam etnik sangat rawan, hal
ini yang terjadi di Sudan dengan banyaknya etnik yang ada membuat etnik yang
satu dengan yang lain saling bertikai. Karena setiap etnik suku memiliki adat
budaya, agama dan kehidupan yang berbeda.
Political Factors terdiri dari discriminatory political institutions,
exclusionary national ideologies, intergroup politics, elite politics. Discriminatory
political institutions dimana kelompok pemberontak SPLM/A dan JEM yang
berada di Sudan berasal dari etnis yang tertindas oleh pemerintah. Mereka merasa
tidak puas dengan sikap pemerintah Sudan yang diskriminatif, adanya pembedaan
perlakuan antara Sudan Selatan dan Utara, sehingga mereka melakukan
pemberontakan. Exclusionary national ideologies merupakan nasionalisme etnis
atau agama yang sangat kuat, masyarakat sudan yang berbagai macam etnis dan
agama sangat menjunjung tinggi adat dan keyakinan mereka masing-masing.
Intergroup politics merupakan kompetisi antar kelompok, yang mana kelompok-
kelompok yang ada di Sudan mempunyai ambisi masing-masing terutama didalam
pemerintahan, dan mereka memilik kekuatan identitas. Elite politics yang mana
provokasi dilakukan oleh para elit-elit politik, khususnya saat terjadi kekacauan
dalam situasi politik, ekonomi, untuk menghadapi para lawan-lawan politik
mereka demi mewujudkan ambisinya.
22
Economic/social Factors terdiri dari economic problems, discriminatory
economic systems, economic development and modernization. Economic problems
merupakan situasi negara yang tidak stabil dan ditambah dengan keadaan sosial
masyarakat yang tidak baik. Perekonomian Sudan sangat buruk dengan menjadi
negara termiskin pasca merdeka, dan kondisi sosial masyarakat yang bersengketa
sehingga pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan. Discriminatory economic
systems yakni adanya kesenjangan akses ekonomi antara wilyah Sudan Selatan
dan Sudan Utara, yang mana Sudan Selatan tidak mendapatkan akses ekonomi
yang baik seperti yang didapatkan oleh Sudan Utara. Economic development and
modernization yakni dengan keadaan yang telah dijelaskan diatas membuat
pembangunan ekonomi berjalan lambat, khususnya untuk melakukan modernisasi.
Cultural/ perceptual Factors terdiri dari patterns of cultural
discrimination, problematic group histories. Patterns of cultural discrimination
dimana adanya pembatasan terhadap akses pendidikan, pekerjaan, kesehatan yang
diberikan oleh pemerintah kepada Sudan Selatan. Problematic group histories
yakni sejarah permusuhan antar etnis, dimana permusuhan yang terjadi tidak lepas
dari sejarah masa lalu Sudan saat masih dijajah oleh Inggris. Karena pemerintah
Inggris telah melakukan pembedaan sikap dan kebijakan bagi dua wilayah Sudan
yaitu Utara dan Selatan. Kedua wilayah tersebut sengaja dipisahkan sehingga
masing-masing wilayah berdiri dan berkembang sesuai dengan apa yang mereka
dapatkan selama pemerintahan Inggris. Faktor-faktor tersebutlah yang dinilai
sebagai penyebab terjadinya ethinc conflicts atau internal conflicts.
Brown terlihat sangat fasih dan analitis ketika menjelaskan penyebab
konflik Darfur. Untuk mendapatkan pemahaman yang lengkap mengenai akar
23
konflik Darfur, makalah brown ini sangat penting karena analisanya lengkap.
Namun ia terlihat kurang bisa menjelaskan apa saja implikasi dari berbagai sebab
konflik tersebut. Terlebih lagi, Brown sama sekali tak menyinggung bagaimana
konflik itu diselesaikan. Terutama keterlibatan pihak luar seperti Uni Afrika, luput
dari perhatian Brown.
Dan ketiga, makalah Touko Piiparinen yang berjudul The lessons of
Darfur for the future of humanitarian intervention. Makalah ini dimuat di jurnal
Global Governance edisi Juli-September 2007. Ia membahas tentang operasi
militer dalam konteks intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga multilateral. Piiparinen telah dengan sangat lengkap menganalisis
bagaimana peran organisasi-organisasi internasional dalam usaha menyelesaikan
konflik Darfur. Respons yang lambat dari masyarakat internasional dalam
menghadapi kekejaman yang terjadi di Darfur, telah secara luas dianggap karena
lemahnya norma dan regulasi yang dianut oleh masyarakat internasional dalam
melindungi warga sipil. Piiparinen berpendapat bahwa PBB, Uni Afrika, Uni
Eropa, dan NATO sebenarnya telah merancang dan melaksanakan dua strategi
perdamaian yang inovatif di Darfur, dan telah memberikan preseden yang lebih
optimis untuk intervensi kemanusiaan, yaitu, sebuah divisi kerja baru antara
organisasi-organisasi regional dan internasional dan pada gilirannya nanti akan
sangat berguna dalam penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian.
Namun demikian, Piiparinen juga menyoroti kelemahan inovasi yang baru
dicoba di Darfur ini. Di akhir tulisannya, ke depan, ia menyarankan antar-
organisasi regional dan internasional yang berkomitmen melakukan intervensi
kemanusiaan agar memperkuat dan memperdalam kerjasamanya. Misalnya, antara
24
NATO dan Uni Afrika harus menandatangani Memorandum of Understanding
(MoU) antara kedua organisasi yang lebih konkret, responsif dan permanen,
bukan hanya bersifat ad hok seperti yang terjadi di Darfur. MoU tersebut harus
menetapkan sistem peralatan dan logistik yang siap-sedia kapan saja untuk
digunakan. Piiparinen dengan jeli melihat gagalnya operasi UNAMIS disebabkan
karena sistem peralatan dan logistik yang terbatas dan lamban. Selain juga karena
negara-negara Eropa tidak memenuhi komitmennya untuk memberikan bantuan
finansial bagi AMIS.
Sayangnya, Piiparinen terlalu berat melihat masalah ini dalam kacamata
masyarakat internasional, tanpa mencoba memahami konflik ini dari sudur
pandang pemerintah Sudan. Untuk itu, skripsi ini akan mencoba juga melihat
pandangan pemerintah Sudan mengenai Darfur dan mengelaborasinya lebih
dalam..
F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk
mengetahui peran Uni Afrika sebagai organisasi regional dalam resolusi konflik
internal di Darfur, Sudan. Menurut Cresswell (1998:67) pendekatan kualitatif
adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada fenomena
sosial dan masalah manusia.
Menurut Bogdan dan Taylor, yang dikutip oleh Moleong (2004:3) metode
kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati. Penelitian kualitatif digunakan untuk menjelaskan suatu masalah yang
belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami
25
interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data,
dan untuk meneliti sejarah perkembangan. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan studi terhadap data-data dengan menggunakan berbagai sumber
kepustakaan seperti buku, jurnal, hasil penelitian, dokumen-dokumen, dan
lainnya. Oleh karena itu, penelitian akan menggunakan data sekunder sebagai data
utama. Selain itu, penelitian ini juga akan menggunakan data-data dari situs
internet (website) yang dianggap otoritatif dan relevan dengan permasalahan
dalam penelitian ini, salah satunya informasi keterlibatan Uni Afrika di Darfur
dalam situs resmi Organisasi Uni Afrika di www.africanunion.org
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
B. Pernyataan Penelitian
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Kerangka Pemikiran
D. 1. Konsep Peran
D. 2. Organisasi Internasional
D. 3. Resolusi Konflik
D. 4. Konsep Responsibility to Potect
E. Tinjauan Pustaka
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II KOMITMEN UNI AFRIKA DALAM RESOLUSI KONFLIK
A. Uni Afrika
A.1. Latar Belakang Uni Afrika
A.2. Tujuan dan Prinsip-prinsip Uni Afrika
A.3. Dewan Keamanan Uni Afrika
B. Pengalaman Uni Afrika dalam Menyelesaikan
Konflik di Kawasan
B.1. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Chad
B.2. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Rwanda
B.2. Misi Uni Afrika di Burundi
BAB III KRISIS KEMANUSIAAN DI DARFUR
A. Sejarah dan Akar Konflik Darfur
B. Konflik dan Krisis Kemanusiaan Dalam Konflik Darfur
26
mulai Tahun 2003
C. Faktor-faktor yang mendorong keterlibatan Uni Afrika
di Darfur
C.1. Faktor internal pendukung keterlibatan Uni Afrika
di Darfur
C.2. Faktor-faktor eksternal pendorong keterlibatan
Uni Afrika di Darfur
BAB IV PERAN UNI AFRIKA DALAM PENYELASAIAN KONFLIK
DARFUR (2003 – 2007)
A. Uni Afrika sebagai Fasilitator Perundingan Damai
B. Uni Afrika sebagai Mediator Perundingan Damai
C. Misi Pengawasan Kesepakatan Gencatan Senjata
D. Operasi Perdamaian Uni Afrika Di Darfur
E. Kendala dan Hambatan AMIS
1. Keterbatasan Mandat
2. Rules Of Engagement
3. Logisitik dan Penempatan Personel AMIS
BAB V KESIMPULAN
27
BAB II
Komitmen Uni Afrika dalam Resolusi Konflik
A. Uni Afrika
A.1. Latar Belakang Uni Afrika
Uni Afrika (African Union) didirikan di Durban, Afrika Selatan, pada
tanggal 9 Juli 2002. Sejak awal pembentukannya hingga saat ini Uni Afrika
memiliki 53 negara anggota. Sebagai organisasi regional, organisasi ini bertujuan
untuk menyatukan seluruh negara di kawasan Afrika dalam rangka menyelesaikan
berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggotanya. Di
samping itu, Uni Afrika juga berusaha untuk berperan lebih aktif dalam
perekonomian global. Segala kegiatan organisasi ini berpusat di kantor pusat di
kota Addis Abba, Ethiopia. (AU 2012)
Sebelum Uni Afrika resmi berdiri, adalah Organisasi Persatuan Afrika
(Organization of African Unity –selanjutnya disingkat OPA ) yang merupakan
cikal-bakalnya. OPA didirikan oleh 32 negara Afrika pada tanggal 25 Mei 1963 di
Addis Ababa, Ethiopia. Ide dasar pembentukan OPA bermula dari pandangan
presiden Ghana, Kwame Nkrumah pada akhir tahun 1950-an. Saat itu Kwame
Nkrumah berpendapat bahwa negara-negara di Afrika terlalu kecil dan lemah
dalam bidang ekonomi, maka dari itu dibutuhkan sebuah kerjasama dan solidaritas
tidak hanya dalam bidang politik melainkan juga dalam bidang ekonomi agar
kesejahteraan dapat dirasakan seluruh bangsa Afrika. (Triveldi 2003: 39)
Untuk mewujudkan impian tersebut, menurut Nkrumah, menyatukan
seluruh negara Afrika ke dalam satu wadah organisasi menjadi sangat penting dan
28
merupakan langkah strategis yang harus ditempuh. Ketika pertama kali dibentuk
pada tahun 1963, tujuan utama OPA adalah melindungi kedaulatan dan menjaga
integritas wilayah negara anggotanya, tidak hanya dari pihak barat, tapi juga dari
satu anggota terhadap anggota lainnya melalui prinsip tidak mencampuri urusan
internal (non-intervention) yang termuat dalam pasal 3 Piagam OPA. Selain itu,
OPA juga memiliki lima tugas pokok yaitu; perjuangan melawan kolonialisme
dan rasisme, bekerjasama dengan organisasi-organisasi internasional, penanganan
konflik di dalam dan antar-negara Afrika, kerjasama ekonomi antar negara Afrika
dan membentuk Piagam Afrika untuk Hak Asasi Manusia. (Triveldi 2003: 41)
Selama sepuluh tahun sejak pembentukannya, OPA menganggap dirinya
telah berhasil dalam mengatasi berbagai konflik yang terjadi di Afrika melalui
semangat persatuan dan solidaritas bangsa Afrika tanpa adanya intervensi dari
pihak asing. OPA pernah menamakan dirinya sebagai penjaga perdamaiaan nomor
satu di kawasan. Bahkan PBB sempat memberikan penghargaan bagi OPA atas
perannya dalam membantu memelihara perdamaiaan dan keamanan internasional.
(AU 2012)
Dalam rangka mempromosikan kemerdekaan beberapa negara di Afrika
misalnya, OPA memberikan bantuan-bantuan diplomasi, keuangan, militer dan
logistik kepada gerakan-gerakan kemerdekaan di Guinea Bissau, Angola dan
Mozambique untuk mendapatkan kemerdekaannya secara penuh. OPA juga secara
aktif bersuara di Majelis Umum PBB guna mempromosikan kemerdekaan
beberapa negara baru di Afrika. (AU 2012)
Dalam rangka menyelesaikan sengketa secara damai antar-negara
anggotanya, misalnya antara Algeria dan Maroko pada bulan Oktober 1963, OPA
29
memutuskan untuk mengirim pejabat militer guna mengetuai pengawasan
gencatan senjata, penarikan mundur pasukan dan menciptakan zona demiliterisasi
antar keduanya. Adapun dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara
anggotanya dari luar, misalnya ketika Israel melakukan agresi militer untuk
merebut salah-satu kawasan Mesir pada tahun 1967, OPA secara tegas mengutuk
agresi militer Israel dan menuntut penarikan mundur semua pasukan Israel dari
wilayah-wilayah yang telah diduduki di Mesir. (AU 2012)
Keberadaan OPA sebagai organisasi regional pada dasarnya tidak dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat luas Afrika yang secara ekonomi tidak
hanya lemah, akan tetapi dalam bidang politik pun mereka juga terpecah-belah.
Kondisi ini pada akhirnya melahirkan kesadaran para pemimpin Afrika untuk
melakukan sejumlah perubahan di organisasi termasuk melakukan amandemen
terhadap Piagam OPA. Amandemen ini mulai dibicarakan mulai tahun 1999. (AU
2012)
Setelah pertemuan tahunan OPA di Algeria pada bulan Juli 1999, Presiden
Libya, Moammar Khadafi, yang yang memiliki cita-cita untuk membentuk suatu
organisasi regional guna menyatukan dan meningkatkan kesejahteraan bangsa
Afrika, meminta Majelis Umum OPA untuk mengadakan pertemuan luar biasa di
negaranya pada tanggal 9 September 1999. Pertemuan luar biasa tersebut
bertujuan untuk mengamandemen Piagam OPA guna meningkatkan efesiensi dan
efektifitas OPA . Hal itu tercermin dalam tema pertemuan yang berbunyi
“Strengthening OAU Capacity to Enable it to Meet The Challenges of The New
Millenium”. (AU 2012)
30
Pertemuan tingkat tinggi OPA di Sirte, Libya, ini menghasilkan
penandatanganan Deklarasi Sirte (AU 2012) dengan tujuan-tujuan antara lain:
Pertama, mengatasi permasalahan sosial, ekonomi dan politik di Afrika. Kedua,
memenuhi aspirasi masyarakat Afrika untuk bersatu sesuai dengan tujuan-tujuan
Piagam OPA dan Perjanjian pembentukan Masyarakat Ekonomi Afrika. Ketiga,
merevitalisasi organisasi untuk berperan lebih aktif dalam memenuhi kebutuhan
rakyat Afrika. Keempat, mengurangi dan menghilangkan konflik di Afrika.
Kelima, menjawab dan menghadapi tantangan global. Keenam, memanfaatkan
sumber daya manusia dan sumber daya alam kawasan untuk meningkatkan
kondisi kehidupan bangsa Afrika.
Sejak Deklarasi Sirte di Libya, kepala-kepala negara dan pemerintahan
anggota OPA mengadakan tiga kali pertemuan tingkat tinggi untuk membahas
implementasi pembentukan Uni Afrika. Pertemuan pertama dilaksanakan di
Lome, Togo pada tahun 2000. Pada pertemuan tersebut, 27 kepala-kepala negara
dan pemerintahan OPA menandatangani Constitutive Act of the African Union
(Piagam Uni Afrika) dan menyepakati Piagam tersebut sebagai landasan
organisasi sekaligus merumuskan prinsip-prinsip, tujuan serta badan-badan Uni
Afrika. Piagam Uni Afrika secara resmi berlaku pada tanggal 26 Mei 2001 setelah
Nigeria meratifikasi Piagam Uni Afrika untuk memenuhi kuota 2/3 persetujuan
negara-negara anggota.
Pertemuan selanjutnya diadakan di Lusaka, Naimibia pada tahun 2001.
Pertemuan tersebut membahas mengenai tata cara teknis peresmian Uni Afrika.
Pertemuan di Lusaka, Sekretariat Jendral OPA ini, diberikan mandat untuk
membuat aturan-aturan mengenai peresmian Uni Afrika serta badan-badannya
31
termasuk menyiapkan draf aturan mengenai kewenangan dan tanggung jawab,
serta menjamin efektifitas badan-badan tersebut. Salah satu keputusan penting
yang dihasilkan dalam pertemuan di Lusaka adalah mekanisme untuk mengelola,
mencegah dan menyelesaikan konflik harus masuk sebagai badan tersendiri dalam
Uni Afrika dan Sekretariat Jendral OPA diminta membuat rancangan mengenai
struktur, prosedur dan wewenang termasuk mengganti nama mekanisme tersebut.
(AU 2012)
Pertemuan yang terakhir sejak Deklarasi Sirte adalah pertemuan di
Durban, Afrika Selatan, (2002) guna meresmikan berdirinya Uni Afrika sebagai
organisasi regional yang baru di Afrika dan mengadakan Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Uni Afrika untuk pertama kalinya sejak OPA berubah menjadi Uni
Afrika. Dalam KTT pertama Uni Afrika di Durban, kepala-kepala negara dan
pemerintahan menyepakati beberapa keputusan penting. Keputusan pertama,
menyepakati Piagam Uni Afrika sebagai landasan hukum organisasi. Kedua,
memutuskan program bersama untuk memulihkan ekonomi di Afrika dan
membentuk kerjasama baru untuk pembangunan Afrika (New Partnership for
African Development --NEPAD). Ketiga, menyepakati MOU mengenai
pelaksanaan konferensi dalam bidang keamanan, stabilitas, pembangunan dan
kerjasama di Afrika. Keempat, menyetujui protokol pembentukan Dewan
Keamanan Uni Afrika. (Triveldi 2003: 40)
Pembentukan Uni Afrika sebagai organisasi yang baru di kawasan
disambut baik oleh para pemimpin Afrika. Hal ini tercermin dari pernyataan
presiden Libya, Moammar Khadafi, yang mengatakan pembentukan Uni Afrika
merupakan sebuah impian yang menjadi kenyataan. Sementara itu, presiden
32
Afrika Selatan ketika itu, Thabo Mbeki, pada pembentukan sidang Uni Afrika
untuk pertama kalinya menyatakan:
“Kita telah mencapai suatu saat yang membanggakan, namun juga
merupakan tantangan… dengan ini saya menyatakan sidang puncak pertama Uni
Afrika dibuka”. (Kompas 2006)
A.2. Tujuan dan Prinsip-prinsip Uni Afrika
Dalam merumuskan pembentukan Uni Afrika, para pemimpin Afrika
merumuskan semua tujuan yang termuat dalam piagam OPA ditambah dengan
beberapa tujuan lainnya guna memberikan kemampuan yang lebih besar bagi
organisasi untuk dapat berperan aktif dalam mencapai tujuan-tujuan bangsa
Afrika. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 Piagam Uni Afrika:
Tabel I.I. Pasal Piagam Uni Afrika. Sumber: African Union
2012.
Pasal 3 Piagam Uni Afrika
Mencapai persatuan dan solidaritas
yang lebih basar di antara negara-
negara dan masyarakat Afrika.
Membela kedaulatan, keutuhan
wilayah dan kemerdekaan negara-
negara anggota.
Mencapai integrasi politik, ekonomi
dan sosial kawaan Afrika.
Mempromosikan dan membela
kepentingan bangsa Afrika.
Memajukan kerjasama internasional
dengan memperhatikan Piagam
PBB dan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia.
Mempromosikan perdamaiaan,
keamanan dan stabilitas kawasan.
Mempromosikan prinsip-prinsip
33
dan institusi-institusi demokrasi,
partisipasi rakyat serta
pemerintahan yang baik.
Mempromosikan dan melindungi
hak asasi manusia sesuai dengan
Piagam Hak Asasi Manusia Afrika
dan piagam-piagam yang terkait.
Membentuk badan-badan yang
diperlukan kawasan guna berperan
dalam ekonomi global dan
perundingan internasional.
Membentuk lingkungan yang
kondusif bagi pembangunan
ekonomi, sosial dan budaya serta
integrasi ekonomi di Afrika.
Mempromosikan kerjasama dalam
segala bidang aktifitas kemanusiaan
untuk kehidupan yang lebih baik
rakyat Afrika.
Mengkoordinasikan dan
menyerasikan kebijakan-kebijakan
masyarakat ekonomi Afrika secara
bertahap untuk tujuan organisasi.
Memajukan pembangunan kawasan
dengan mempromosikan penelitian
dalam segala bidang khususnya
dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Bekerjasama dengan dunia
internasional dalam menghilangkan
dan mencegah kelaparan dan
mempromosikan kesehatan di
kawasan. (AU 2012)
Berbeda dengan OPA yang memiliki prinsip tidak mencampuri urusan
dalam negeri negara anggotanya, Uni Afrika justru sebaliknya. Organisasi baru ini
berhak mencampuri urusan internal negara anggotanya jika terjadi peristiwa yang
34
dapat mengancam stabilitas (perdamaian) serta keamanan kawasan secara
keseluruhan. Namun intervensi tersebut tetap diatur melalui prosedur dan
mekanisme yang ada di dalam organisasi. Salah-satu bentuk kongkret ancaman
terhadap stabilitas keamanan kawasan adalah munculnya konflik-konflik internal
yang bernuansa etnis maupun perebutan kekuasaan yang mengakibatkan
terjadinya perang sipil di sebuah negara.
Prinsip-prinsip Uni Afrika secara lengkap termuat dalam pasal 4 Piagam
Uni Afrika sebagai berikut:
Tabel I.II. Pasal Piagam Uni Afrika. Sumber: AU 2012.
Pasal 4 Piagam Uni Afrika
Persamaan Kedaulatan dan saling
ketergantungan semua Negara anggota.
Penghormatan atas betas-batas
kehidupan dalam mencapai
kemerdekaan.
Partisipasi masyarakat Afrika dalam
kegiatan-kegiatan organisasi.
Pembentukan kebijakan pertahanan
bersama bagi kawasan Afrika.
Penyelesaiaan sengketa secara damai di
antara Negara anggota.
Larangan penggunaan kekuatan
bersenjata atau ancaman bersenjata
terhadap negara anggota.
Organisasi berhak untuk
mengintervensi negara anggota dengan
persetujuan Majelis jika terjadi situasi-
situasi tertentu yang memungkinkan
organisasi untuk melakukan intervensi
seperti : kejahatan perang, genosida dan
kejahatan terhadap perang.
Perdamaiaan di antara negara anggota
dan hak untuk hidup dalam keadaan
aman dan damai.
Negara anggota berhak untuk meminta
organisasi melakukan intervensi dalam
upaya memulihkan keamanan dan
perdamaian.
Memajukan kemandirian dalam
kerangka organisasi.
35
Persamaan gender.
Penghormatan terhadap prinsip-prinsip
demokrasi, HAM, hukum dan
pemerintah yang baik.
Keadilan sosial untuk menjamin
pelaksanaan pengembangan ekonomi.
Penghormatan atas kehidupan manusia,
hukuman dan penolakan terhadap
kekebalan politik, pembunuhan,
terorisme dan aktivitas subversif.
Mengutuk dan menolak perubahan
pemerintahan yang tidak konstitusional.
Tidak mencampuri urusan dalam negeri
negara anggota.
A.3. Dewan Keamanan Uni Afrika
Jika dibandingkan dengan OPA yang hanya memiliki lima badan, Uni
Afrika memiliki lebih banyak badan dengan tugas-tugas dan fungsi yang lebih
spesifik. Hal ini mencerminkan keseriusan para pemimpin Afrika untuk
membangun kawasan Afrika ke arah yang lebih baik, terutama dalam hal
pembangunan ekonomi dan stabilitas kawasan. Badan-badan Uni Afrika antara
lain : (1) Majelis (The Assembly the Union); (2) Dewan Eksekutif (The Executive
Council); (3) Parleman Afrika (The Pan-African Parliament); (4) Mahkamah
Peradilan (The Court of Justice); (5) Komisi (The Commission), merupakan
Sekjen Organisasi; (6) Dewan Keamanan (The Security Council); (7) Komite
Perwakilan Tetap (The Parliamint Represenatives Committee); (8) Komisi-komisi
Khusus (The Specialized Technical Committees); (9) Dewan Ekonomi, Sosial dan
Budaya (The Economic, Social and Cultural Council); (9) Badan-badan Keuangan
(The Financial Institutions) yang terdiri dari : Bank Sentral Afrika (The African
Central Bank), Badan Keuangan Afrika (The African Monetary Fund), Bank
Investasi Afrika (The African Invesment Bank).
36
Salah-satu alasan yang mendasari para pemimpin Afrika untuk mengubah
OPA menjadai Uni Afrika selain guna mempercepat proses integrasi kawasan,
adalah untuk memiliki sebuah badan yang bertugas menjaga perdamaian dan
keamanan serta stabilitas kawasan Afrika secara keseluruhan. Para pemimpin
Afrika sadar betul bahwa kawasan Afrika adalah kawasan yang memiliki potensi
konflik sangat tinggi, baik konflik antar-negara maupun konflik yang terjadi
dalam wilayah suatu negara anggotanya. Kesadaran para pemimpin Afrika (OPA)
tersebut tercermin dari pembentukan suatu mekanisme (badan) untuk mengelola
dan menyelesaikan konflik (Mechanism for Conflict Preservation, Mangement,
and Resolution) di Afrika pada tahun 1993. (Powell & Tieku 2006: 10)
Melalui mekanisme tersebut, OPA mulai terlibat dalam setiap konflik
negara-negara anggotanya, akan tetapi keberhasilan serta efektivitasnya masih
sangat kurang. (Powell & Tieku 2006: 10) Alasan inilah yang pada akhirnya
menjadikan landasan bagi Uni Afrika untuk membentuk Dewan Keamanan
(Peace and Security Council), sebuah badan Uni Afrika yang bertugas untuk
mempromosikan perdamaiaan, keamanan dan stabilitas di Afrika, mengatasi dan
mencegah perdamaian, keamanan dan stabilitas di Afrika, mengantisipasi dan
mencegah timbulnya konflik, mempromosikan penerapan pembangunan
perdamaiaan pasca-konflik, memerangi terorisme, mengembangkan kebijakan
pertahanan bersama serta mempromosikan demokrasi sebagaimana yang tertuang
dalam pasal 3 Protocol Relating To The Estabilishment of The Peace and Security
Council of The African Union yang ditandatangani anggota-anggotanya pada
tanggal 9 Juli 2002. (AU 2012)
37
Pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika merupakan hasil dari
keputusan yang dirumuskan para kepala negara dan pemerintah OPA dalam
pertemuan tingakat tinggi OPA ke 37 di Lusaka, Namibia pada tahun 2001.
Dalam pertemuan tersebut Majelis OPA memutuskan untuk menggabungkan
badan OPA, yang memiliki mekanisme untuk mengelola, mencegah dan
menyelesaikan konflik ke dalam badan Uni Afrika sebagai badan yang berdiri
sendiri. (AU 2012)
Dewan Keamanan Uni Afrika terdiri dari 15 anggota dipilih untuk masa
jabatan selama 2 tahun, sedangkan 5 anggota sisanya dipilih untuk periode tiga
tahun guna menjamin kelangsungan Dewan Keamanan Uni Afrika. Setiap anggota
Dewan Keamanan Uni Afrika memiliki satu suara dan tidak ada hak veto bagi
anggotanya sebagaimana Dewan Keamanan PBB. Dewan ini dibantu oleh komisi
Uni Afrika, Penasehat Panel, Sistem Peringatan Dini, Pasukan Afrika dan Badan
Kuangan yang semuanya diatur dalam Protocol Relating to The Establishment of
The Peace And Security Council of The African Union. (AU 2012)
Tujuan pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika sendiri adalah sebagai
berikut: (1) Mempromosikan perdamaian, keamanan dan stabilitas kawasan di
Afrika untuk melindungi kehidupan dan kekayaan masyarakat Afrika serta
menciptakan kondisi yang kondusif guna menopang pembangunan kawasan; (2)
Mengantisipasi dan mencegah konflik yang terjadi, Dewan Keamanan Uni Afrika
bertanggung jawab untuk megeluarkan resolui berupa menciptakan perdamaian
(peace-making) dan membangun perdamaian (peace-building) terhadap konflik
tersebut; (3) Mempromosikan dan menerapkan kegiatan-kegiatan rekonstruksi
pasca-konflik untuk mengkonsolidasi dan mencegah terjadinya kekerasan; (4)
38
Mengkoordinasikan usaha kawasan dalam mencegah dan menerangi terorisme
internasional dalam segala aspek; (5) Mengembangkan kebijakan pertahanan
bersama; (6) Mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi, emerintah yang baik,
aturan dan hukum dan melindungi hak asasi manusia, kebebasan dasar dan
menghormati kesucian hidup manusia dan hukum kamenusiaan inernasional
sebagai usaha untuk mencegah konflik.(AU 2012)
Adapun fungsi-fungsi Dewan Keamanan Uni Afrika adalah sebagai
berikut: (1) mempromosikan perdamaiaan, keamanan dan stabilitas di Afrika; (2)
memberikan peringatan dini dan diplomasi pencegahan; (3) peace-making
termasuk usaha-usaha baik (good offices), mediasi, konsiliasi dan penyelidikan;
(4) operasi perdamaiaan dan intervensi; (5) pembangunan perdamaiaan (pace-
building) dan rekonstruksi pasca konflik.Tindakan dan pengelolaan bencana; (6)
menjalankan fungsi-fungsi lainnya yang ditentukan oleh Majelis Uni Afrika. (AU
2012)
Sebagai sebuah organisasi yang baru berdiri, Uni Afrika mulai dihadapkan
dengan sejumlah masalah yang berkaitan dengan kemampuan organisasi tersebut
dalam mengatasi stabilitas keamanan dan perdamaian di Afrika. Keberadaan
Dewan Keamanan Uni Afrika masih mendapat kritikan dari beberapa pengamat
internasional, salah satu datang dari Parker dan Rukare yang menyatakan bahwa
perubahan organisai regional di Afrika dari OPA ke Uni Afrika tidak lain
hanyalah sekedar perubahan-perbahan simbolis semata. (Parker & Rukare 2002:
379) Secara tidak langsung Parker dan Rukere ingin menyampaian bahwa Uni
Afrika dianggap tidak akan mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi
bangsa Afrika.
39
Adapun pandangan positif mengenai keberadaan Uni Afrika disampaikan
oleh Sonu Trivedi yang menggambarkan perubahan tersebut sebagai peristiwa
besar dalam sejarah bangsa Afrika. Triveldi menyatakan bahwa pembentukan Uni
Afrika tidak lain adalah gambaran komitmen serta kesadaran para pemimpin
Afrika untuk bersama-sama membangun kawasan tersebut. Bahkan Sonu Trivendi
mensejajarkan Uni Afrika dengan Uni Eropa. (Triveldi 2003: 39)
B. Pengalaman Uni Afrika dalam Menyelesaikan Konflik di Kawasan
Ketika Uni Afrika masih bernama OPA, organisasi ini memiliki sejumlah
pengalaman dalam upaya mengatasi konflik-konflik internal yang terjadi di salah
satu negara anggotanya. Meskipun Prinsip OPA yang disebutkan dalam
Piagamnya secara jelas bahwa organisasi tidak diperbolehkan melakukan
intervensi terhadap negara anggotanya, namun secara bersamaan OPA juga
memiliki prinsip untuk menyelesaikan persengketaan antar maupun di dalam
negara anggotanya melalui cara-cara damai. Hal ini diperkuat oleh pasal XIX
Piagam OPA mengenai pembentukan Komisi Pengetahuan, Konsiliasi dan
Arbitasi sebagai salah satu badan OPA. Implementasi dari badan ini adalah
pembentuan panitia ad hoc untuk mengatasi berbagai konflik yang terjadi di
negara-negara anggota.
B.1. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Chad
Pada tahun 1979, Chad, salah satu negara anggota OPA, mengalami
konflik barnuansa etnis. Konflik tersebut bersumber dari konflik Utara-Selatan
dalam upaya memperbutkan kekuasaan setelah jatuhnya pemerintahan Flix
Malloum pada Februari 1979. Akar konflik itu sendiri sebenarnya telah terjadi
sejak tahun 1960-an. (Legum 2002: 1-37).
40
Dalam rangka mengatasi konflik di Chad, OPA membentuk Panitia ad hoc
untuk Chad pada tahun 1977. Panitia ad hoc tersebut bertujuan mandamaikan
pihak-pihak yang bertikai melalui jalur diplomasi. Komposisi panitia terdiri dari
Algeria, Kamerun, Gabon, Mozambique, Nigeria dan Senegal yang ditunjuk oleh
OPA pada pertemuan tingkat tinggi di Libreville, bulan Juli 1977. Pada
pertemuan tahunan OPA selanjutnya di Khartoum, Sudan, tahun 1978, OPA
mengubah keanggotaan panitia ad hoc menjadi hanya 4 negara saja, yaitu
Kamerun, Niger, Nigeria dan Sudan (Legum 2002: 37).
Nigeria sebagai salah satu panitia ad hoc untuk Chad, berusaha
menyelesaikan konflik di Chad dengan cara mengundang pihak-pihak yang
bertikai untuk mengadakan pertemuan di Kano pada bulan Maret 1979. Salah satu
poin kesepakatan yang dihasilkan pada pertemuan tersebut adalah Nigeria
diijinkan untuk mengirim pasukan penjagaan perdamaian ke N’djamena, ibukota
Chad untuk memastikan pengawsan gencatan senjata. (Amoo & Zartman2000:
25)
OPA akhirnya memutuskan untuk mengganti Nigeria dengan mengirim
pasukan Afrika yang terdiri dari Benin, Congo dan Guinea melalui keputusan
pertemuan OPA di Monrovia dan Lagos pada bulan Agustus 1979. Pada
pertemuan di Lagos pihak-pihak yang bertikai di Chad sepakat untuk membentuk
pemerintahan transisi yang diberi nama Government d’Union Nationale
Transitoire (GUNT) dan menunjuk Sekretaris Jendral OPA untuk menggantikan
Nigeria sebagai ketua komisi pengawas gencatan senjata untuk menjamin setiap
pihak yang bertikai memegang teguh dan melaksanakan perjanjian damai.
(Breman & Sams 2000: 25)
41
Keengganan negara-negara anggota OPA untuk mendanai operasi di Chad
membuat operasi tersebut berjalan tidak efektif. Benin dan Guneia, dua negara
yang ditunjukan oleh OPA untuk mengirimkan pasukan ke Chad, mengaku tidak
memiliki dana yang cukup untuk membiayai operasi tersebut. Sedangkan Kongo,
hanya mampu menurunkan pasukan infanteri dengan bantuan Algeria. (Breman &
Sams 2000: 25)
B.2. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Rwanda
Jauh sebelum PBB terlibat dalam mengatasi konflik etis di Rwanda, OPA
telah lebih dahulu berupaya mengatasi konflik tersebut dengan membentuk
Military Observer Team (MOT) yang terdiri dari Burundi, Uganda, dan Zaire
pada tahun 1990 untuk membantu proses rekonsiliasi dan mengakhiri konflik
antara kelompok pemberontak, Rwanda Patriotic Front (RPF) dengan pemerintah
Rwanda.( (Breman & Sams 2000: 73) Operasi PBB di Rwanda, United Nations
Assistance Mission in Rwanda (UNAMIR) juga tidak lepas dari peran OPA yang
meminta PBB untuk terlibat langsung dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Pada saat OPA menyadari bahwa MOT tidak akan efektif setelah melihat
ketidak siapan pasukan militer ketiga negara anggotanya, OPA memutuskan
untuk mengganti misi tersebut dengan membentuk Neutral Miltary Observer
Group (NMOG) yang terdiri dari 50 pengamat militer dari Mesir, Nigeria,
Senegal dan Zimbabwe. Misi NMOG di Rwanda berakhir pada bulan Juli 1992
dan langsung digantikan dengan NMOG II yang dibentuk OPA dan mulai
beroperasi pada bulan Agustus 1992. (Breman & Sams 2000: 74)
42
Berbeda dengan NOMG I, NOMG II memiliki jumlah pasukan penjaga
perdamaian yang lebih besar terdiri dari 70 pejabat militer dengan anggota Cango,
Nigeria, Senegal serta dibantu oleh 62 orang pejabat non-komisi dari Tunisia dan
perwakilan-perwakilan dari pemerintah Rwanda dan kelompok pemberontakan
RPF. Mayor Jendral Ekundayo Opaleye ditunjuk sebagai ketua sekaligus
komandan NMOG II. (Breman & Sams 2000: 75)
Pada saat OPA membentuk NOMG II, OPA juga meminta Dewan
Keamanan PBB untuk mengirimkan pasukan penjaga perdamaiaan ke Rwanda.
Dewan Keamanan PBB merestui permintaan tersebut dan meminta kepada Sekjen
PBB, Boutros-boutros Ghali untuk mengadakan konsultasi dengan OPA mengenai
proses serta tata cara pengiriman pasukan penjaga perdamaian PBB di Rwanda.
Dewan Keamanan PBB akhirnya memutuskan untuk mengirimkan pasukan
penjagaan perdamaian PBB ke Rwanda dan membentuk UNAMIR pada tanggal 5
oktober 1993. NMOG II sendiri yang misinya berakhir pada bulan Oktober
akhirnya melebur ke dalam UNAMIR. (Breman & Sams 2000: 76)
B.3. Misi Uni Afrika Di Burundi
Pada tahun 1993, Melchior Ndadaye, presiden Burudi pertama yang
terpilih secara demokratis dan seorang pemimpin Front Pour la Democratie au
Burundi (FORDEBU) dari suku Hutu dibunuh oleh seorang suku Tutsi, suku yang
mendominasi tentara Burundi. Peristiwa tersebut melahirkan perang terbuka
antara pemberontak Hutu dan militer Burundi. Lebih dari 300.000 orang Burundi
terbunuh dalam pertikaian antar etnis tersebut dan kebanyakan korban adalah
warga sipil yang tidak ada hubungannya dengan konflik. (Trivendi 2001: 25)
43
Sejumlah pemimpin Afrika termasuk mantan presiden Tanzania, Julius
Nyerere, mantan presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela dan mantan wakil
presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma berusaha keras untuk menyelesaikan konflik
etnis di Burundi. Akhirnya pada tahun 2000, 17 partai politik Burundi beserta
pemerintah dan Majelis Burundi (National Assembly) menandatangani perjanjian
Arusha dalam rangka penyelesaian menyeluruh terhadap konflik internal Burudi.
Namun sayangnya, perjanjian tersebut tidak ditandatangani oleh dua kelompok
pemberontak utama Burundi, The Conseil National Pour la Defense de la
Democratie-Forces Pour la Defense de la Democratie (CNDD-FDD) dan Parti
Pour la Liberation du Peuple Hutu-Forces Nationales de Liberation (PALIPU
HUTU-FNL). (Trivendi 2001: 26)
Pada November 2003 kelompok pemberontak CNDD-FDD
menandatangani kesepakatan damai dan bersedia bergabung dalam pemerintahan
transisi Burundi. Namun kelompok pemberontak FNL tidak ingin menandatangani
kesepakatan tersebut dan terus melakkan penyerangan terhadap pemerintah
transisi Burundi. Kondisi ini menggambarkan situasi keamanan Burundi dalam
bahaya dan mendorong Uni Afrika untuk berperan dalam upaya penyelesaian
konflik di Burundi. (Trivendi 2001: 29)
Pada April 2003, Uni Afrika membentuk misi perdamaiaan di Burundi
untuk mendukung proses perdamaiaan. Meskipun dalam perjanjian Arusha tahun
2000 PBB secara jelas diminta untuk melaksanakan operasi penjaga perdamaian
di Burundi, PBB tidak ingin melaksanakan operasi tersebut dengan alasan tingkat
pelanggaran gencatan senjata di Burundi sangat tinggi. Hasilnya, Uni Afrika
44
diminta untuk melaksanakan misi perdamaian di Burundi dengan nama African
Mission in Burundi (AMIB). (Trivendi 2001: 29)
AMIB terdiri dari 3.325 pasukan dari Afrika Selatan, Mozambique dan
Ethiopia serta pengamat militer tambahan dari Burkina Faso, Gabon, Mali, Togo
dan Tunisia. Tujuan utama pembentukan AMIB adalah menciptakan kondisi yang
kondusif bagi penempatan pasukan PBB setelah adanya resolusi Dewan
Keamanan PBB. Hal ini disebabkan karena pembentuan AMIB dilandasi oleh
adanya pemahaman bahwa PBB akan mengambil alih operasi perdamaian di
Burundi setelah 12 bulan AMIB beroperasi. Mandat dan tugas yang diberikan
kepada AMIB antara lain : (1) membentuk dan memelihara hubungan di antara
kelompok-kelompok yang bertikai; (2) mengamati dan memverivikasi
pelaksanaan gencatan senjata; (3) memfasilitasi dan menyediakan bantuan teknis
dalam rangka proses pelucutan gencatan senjata dan pembubuaran milisi; (4)
menatasi gerakan setiap pasukan; (5) memfasiitasi sampainya bantuan
kemanusiaan kepada pengungsi; (6) mengkoordinir aktivitas operasi berama
operasi PBB di Burundi. (Trivendi 2001: 39)
PBB akhirnya secara resmi mengabil tugas AMIB pada bulan Juni 2004,
setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 1545 pada bulan Mei 2004
yang membeli otoritas bagi pelaksana operasi pasukan penjaga perdamaian PBB
di Burundi. (AU 2012)
Operasi-operasi yang dilaksanakan baik oleh OPA maupun Uni Afrika di
atas merupakan sebuah pengalaman berharga bagi organisasi kawasan untuk
melaksanakan peran penjaga perdamaian di kawasan Afrika untuk masa yang
akan datang. Dengan malaksanakan peran tersebut. Uni Afrika diharapkan mampu
45
menyelesaikan setiap konflik yang terjadi di kawasan melalui semangat dan
persatuan bangsa Afrika yang secara langsung termuat dalam piagam
pembentukan Uni Afrika. (Trivendi 2001: 40)
Pengalaman-pengalaman Uni Afrika baik ketika organisasi masih bernama
OPA dalam upaya menyelesaikan berbagai konflik internal negara angotanya,
merupakan pengalaman berharga bagi Uni Afria untuk melaksanakan berbagai
misi penciptaan dan penjaga perdamaian di Afrika di masa mendatang.
Pengalaman tersebut tentunya sangat berguna bagi Uni Afrika dalam upaya
mengatasi konflik etnis yang terjadi di Darfur.. Uni Afrika tidak perlu lagi
membentuk sebuah penitia ad hoc maupun sekadar melaksanakan operasi
pengawasan jalannya kesepakatan gencatan senjata sebagaimana ketika organisasi
masih bernama OPA. Uni Afrika kini memiliki legalitas hukum yang kuat untuk
melaksanakan operasi perdamaian di salah-satu negara anggotanya berdasarkan
piagam pembentukan Uni Afrika.
46
BAB III
KRISIS KEMANUSIAAN DI DARFUR
Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai konflik di Darfur,
dibutuhkan penjelasan sekomprehensif mungkin mengenai sejarah dan akar
berbagai konflik yang terjadi di sana. Menurut Guy Martin, dalam artikel Conflict
Resolution in Africa, untuk menjelaskan dan menganalisa konflik-konflik yang
terjadi di kawasan Afrika, maka dibutuhkan sebuah pandangan dan pendekatan
yang sistematis terhadap sejarah konflik itu sendiri. Di Afrika, sebagaimana di
belahan dunia lainnya, konflik merupakan bagian tak terpisahan dari kehidupan
masyarakat yang dinamis. Perjuangan antara individu, keluarga, suku dan
kelompok etnis serta negara untuk dapat menguasai sumber-sumber ekonomi dan
politik demi kelangsungan hidup kelompoknya masing-masing, seringkali
menimbulkan benturan dengan kelompok-kelompok lain dan menjadi faktor
penyebab terjadinya konflik. (Martin, 2006)
Untuk itu, terlebih dahulu harus dibedah sejarah kawasan tersebut, baik
dari sisi sosial, politik, ekonomi dan budaya. Bab ini akan mencoba memahami
latar belakang konflik yang terjadi di Darfur.
A. Sejarah dan akar konflik Darfur
Menurut Gerard Pruiner, masyarakat Darfur adalah sebuah mosaik yang
kompleks, terdiri dari antara 40 hingga 90 kelompok etnis. Secara garis besar,
mereka terdiri dari dua golongan kebangsaan; sebagian berkebangsaan Afrika,
sebagian lain berkebangsaan Arab. Darfur adalah daerah di bagian barat Sudan
jumlah penduduk mencapai sekitar 6 juta jiwa. Suku-suku asli Afrika Darfur
meliputi suku asli Fur, Masalit, Zaghwa, Daju dan Berti. (Pruiner 2005: 4)
47
Orang-orang Arab mulai tiba di Darfur pada abad ke-14. Pergaulan mereka
dengan suku asli sangat baik. Terjadi koeksistensi damai antara pendatang dan
penduduk pribumi, perselisihan yang tak terelakkan atas sumber daya alam
diselesaikan melalui mediasi para pemimpin lokal. Pada perkembangan
berikutnya hingga kini, Arab Darfur merupakan suku pendatang yang secara
dominan menempati wilayah Darfur bagian utara dan selatan. Meskipun bukan
penduduk asli, Arab merupakan etnis yang dominan di Darfur dan mereka
beragama Islam. Kini, mayoritas orang Arab Darfur berkulit hitam, karena
merupakan hasil dari perkawinan campuran Arab-Afrika. (Collins 2006:29)
Di jantung kawasan Darfur, terdapat sebuah gunung berapi yang disebut
Jebel Marra. Tanah di lereng gunung tersebut sangat subur. Di daerah ini
penduduk awal Darfur hidup – Dinasti Daju. Sangat sedikit yang diketahui
tentang mereka. Sejarah Darfur mencatat, pada abad ke-14, dinasti Daju
digantikan oleh dinasti Tunjur, yang membawa Islam masuk ke wilayah tersebut.
(Pruiner 2005: 8)
Pada pertengahan abad ke-17, Kesultanan Fur didirikan oleh dinasti Keyra,
dan Darfur berkembang menjadi semakin makmur. Di masa kejayaannya pada
abad 17 dan 18, karena lokasi geografisnya yang strategis, Kesultanan Fur
menjadi pusat kegiatan komersial yang maju. Pada masa itu, telah terjadi
perdagangan budak, gading, dan barang-barang perhiasan dengan orang-orang
Mediterania. Kesultanan Fur juga menyerang dan melakukan penaklukkan
terhadap beberapa wilayah di sekitarnya. (Pruiner 2005; 8-15)
Pada pertengahan abad ke-19, kesultanan Fur dikalahkan oleh pedagang
budak terkenal, Zubair Rahma. Runtuhnya dinasti Keyra membuat keadaan Darfur
48
menjadi tak menentu, tak ada penegakkan hukum seperti di masa sebelumnya.
Para bandit dan tentara lokal memangsa masyarakat yang rentan. (Pruiner: 15)
Di lain pihak, pasukan Islam Mahdi ingin melawan kekuasaan kolonial
Inggris di wilayah tersebut dengan berusaha untuk menggabungkan Darfur
menjadi republik Islam jauh lebih besar. Periode ini menimbulkan perang yang
berkepanjangan. Sampai keturunan dari Sultan Keyra, Ali Dinar muncul kembali
sebagai kekuatan yang dominan dan memimpin pasukan Islam untuk memerintah
di Darfur. Hingga tahun 1899 ketika Mesir – yang berada di bawah kekuasaan
Inggris – mengakui kedaulatan Ali Dinar, cucu dari salah satu sultan Keyra,
sebagai Sultan Darfur. Pengakuan ini membuat Darfur secara de facto memiliki
kemerdekaan, dan Darfur hidup dalam damai selama beberapa tahun. (Flint & de
Wall 2005: 11)
Selamanya Ali Dinar menolak untuk tunduk pada keinginan baik Perancis
maupun Inggris, yang sibuk membangun kerajaan mereka di sekitar wilayahnya.
Gesekan diplomatik seringkali mewujud menjadi perang terbuka. Ali Dinar
dengan berani menantang pasukan Inggris berperang. Setelah perang berlangsung
selama enam bulan, Ali disergap dan dibunuh, bersama dengan dua anaknya, pada
bulan November 1916. Pada Januari 1917, Darfur berada di bawah kekuasaan
kolonial Inggris dan memasukkannya menjadi bagian dari Sudan, membuat Sudan
menjadi negara terbesar di Afrika. (Flint & de Wall 2005: 20)
Satu-satunya hasrat penguasa kolonial baru Darfur adalah untuk menjaga
perdamaian. Inggris tidak untuk tertarik membangun dan memajukan kawasan ini,
tidak ada investasi di sana. Sangat berbeda dengan Sudan bagian utara. Menurut
catatan Julie Flint and Alex de Waal dalam buku Darfur: a Short History of a
49
Long War, Pada tahun 1935, Darfur hanya memiliki empat sekolah, tidak ada
klinik bersalin, tidak ada kereta api atau jalan-jalan besar di luar kota terbesar.
Darfur diperlakukan sebagai kawasan terpencil. Selalu begitu oleh penguasa-
penguasa setelah kolonial Inggris, Darfur seperti pion dalam permainan kekuasaan
oleh penguasa-penguasa yang datang dan pergi silih-berganti. (Flint & de Wall
35)
Meskipun dengan sedikit enggan, setelah perang dunia II Inggris memberi
Sudan kemerdekaan secara damai pada 1 Januari 1956. Penjajahan inggris
menyisakan perbedaan yang mencolok antara Sudan Utara dan Sudan Selatan,
mengembangkan tanah yang subur di sekitar Lembah Nil di Utara, sementara
mengabaikan daerah selatan, timur dan Darfur di barat. Mereka menyerahkan
kekuasaan politik langsung ke minoritas elit Arab utara. Hal ini menyebabkan
daerah Selatan melakukan pemberontakan pada tahun 1955, memulai perang
pertama Utara-Selatan. Masyarakat Darfur banyak yang ikut berperang melawan
pemerintah pusat dan sentimen Utara-Selatan mulai menguak. Perang berlangsung
bertahun-tahun hingga tahun 1972 ketika kesepakatan damai ditandatangani di
bawah Presiden Nimeiry. (Pruiner, 2005: 25-34)
Namun demikian, pemerintahan Sudan terus-menerus mencemooh
perjanjian perdamaian tersebut. Hal ini tentu saja membuat masyarakat dan elit
Selatan jengah. Faktor kejengahan, ditambah lagi faktor upaya pemaksakaan
hukum Islam dan penemuan lahan minyak baru, menghidupkan kembali konflik di
Selatan pada tahun 1983. Perjanjian Nimeiry nyaris tak berdampak apa-apa.
Kekerasan tetap sering terjadi. Dalam buku Darfur: the Ambigious Genocide,
Gerard Pruiner menyebut hubungan antara Darfur dan Khartoum pada periode
50
1956-1985 sebagai sebuah hubungan yang tak bahagia, seperti rumah tangga yang
tak bahagia. (Pruiner, 2005: 36)
Selain itu, masyarakat Darfur sendiri juga terpecah menjadi dua kelompok
dalam konflik tersebut. Sebagian memang terlibat dalam perjuangan
pemberontakan melawan pemerintah karena wilayah mereka termarjinalkan,
namun tidak sedikit pula yang berpihak pada pemerintah pusat dan mendaftarkan
diri sebagai tentara nasional. Faktor destabiilisasi di Darfur ditambah dengan
masuknya Kolonel Qadafhi Libya yang menggunakan kawasan Darfur sebagai
pangkalan militer untuk perang Islam di Chad. Perang ini, dikenal sebagai Perang
Arab-Fur (1987-1989), yang bertujuan mempromosikan supremasi Arab,
membuat ketegangan etnis meradang dan membanjiri daerah ini dengan
persenjataan. Akibat perang tersebut, ribuan tewas dan ratusan desa terbakar.
Penderitaan rakyat diperburuk oleh kelaparan dahsyat di penghujung 1980-an, di
mana pemerintah Khartoum tidak memperhatikan nasib warga Darfur. (Pruiner,
2004: 42-47)
Di masa inilah benih-benih pemberontakan terhadap pemerintah pusat
semakin menguat di Darfur. Kelompok pemberontak ini adalah kaum Afrika
terpelajar Darfur yang menggalakkan pergerakan politik sejak tahun 1960-an,
karena Darfur secara politik dan ekonomi termajinalkan oleh pemerintah pusat.
Tuntutan mereka adalah kesetaraan pembangunan untuk Darfur dan yang paling
ektrem, menuntut kemerdekaan bangsa Afrika Darfur. Kemarahan karena
termarjinalkan, diberi kesempatan memegang banyak senjata karena Perang Arab-
Fur, membuat kelompok Afrika Darfur mulai melakukan berbagai perlawanan
lokal kecil-kecilan Setidaknya dari sini konflik etnis di Darfur bermula. Untuk
51
melawan para pemberontak itu, Pemerintahan Sadiq al Mahdi (1986-1989),
membentuk milisi sipil yang dipersenjatai dari suku Messiriya dan Rezeiget, yang
merupakan dua suku besar keturunan Arab di Darfur, untuk mengamankan
Darfur. Milisi Arab bentukan pemerintah inilah asal-muasal dari Janjaweed yang
kemudian membabi-buta melakukan pembantaian terhadap orang-orang Afrika
Darfur. (Johnson, 2006: 23)
Sementara itu, politik di Khartoum juga bergolak. Pada tahun 1989,
National Islamic Front (Front Islam Nasional, NIF), yang dipimpin oleh Jenderal
Omar al-Bashir, merebut kekuasaan di Sudan dari pemerintah yang terpilih secara
demokratis Sadiq al Mahdi, dalam kudeta tak berdarah. NIF mencabut konstitusi,
melarang partai-partai oposisi, dan alih-alih berusaha memantapkan langkah
menuju perdamaian, sebaliknya Bashir menyatakan jihad melawan Afrika non-
Muslim di Selatan. Secara teratur ia menggunakan milisi etnis untuk melakukan
pertempuran. NIF semakin jauh meminggirkan populasi Afrika di Darfur.
(Pruiner, 2004: 42-47)
Bisa ditebak, pemerintahan Al- Bashir juga semakin meningkatkan
sokongan mereka untuk milisi Janjaweed. Milisi yang memiliki filosofi
supremasisme Arab ini tak henti-hentinya memerangi ras Afrika dengan
kekerasan. Janjaweed pertama kali memiliki peran aktif di Darfur di masa perang
Arab-Fur pada tahun 1989. Direkrut terutama dari suku-suku nomaden Arab,
milisi ini dimobilisasi untuk tindakan-tindakan premanisme. Kata janjaweed
berarti 'gerombolan' atau 'bajingan', atau seperti 'setan menunggang kuda' dalam
bahasa Arab. (Pruiner, 2004: 54-58)
52
Pemerintahan Sudan, di bawah Al-Bashir, yang kejam dan opotunis,
pertama kali melatih, mempersenjatai Janjaweed secara massif pada tahun 1996.
Pada periode 1996-1998, Janjaweed memerangi rakyat Massalit yang beretnis
Afrika di Darfur. Al-bashir sengaja menggunakan milisi etnis untuk melawan
resistensi di daerah sebagai kekuatan proksi bagi mereka. Ini memungkinkan
pemerintah memadamkan perang lokal dengan murah, selain untuk menyangkal
keterlibatan mereka di balik konflik, meski banyak bukti menunjukkan
sebaliknya. (Pruiner, 2004: 42-47)
Menurut Alex de Wall, dalam tulisannya di majalah African Affairs,
pemerintah Sudan kemudian secara konsisten menggunakan milisi Arab
Janjaweed untuk menyerang kelompok-kelompok pemberontak Darfur dan
memberikan kekebalan hukum bagi milisi Arab tersebut. Pemerintah Sudan,
menurut Alex, juga menyediakan senjata serta bantuan udara bagi Janjaweed
ketika menyerang kelompok pemberontak dan melakukan pembunuhan terhadap
warga Afrika Darfur. Tindakan seperti ini jelas melanggar hukum humaniter
internasional yang menyatakan bahwa pelanggaran terhadap hak asasi manusia
(pembunuhan warga sipil) merupakan sebuah kejahatan serius dan pelakunya
harus diasdili di Peradilan Pidana Internasional (International Criminal Court).
(De Wall, 2005: 129)
Rezim Al-bashir dikenal memfasilitasi beberapa organisasi fundamentalis
Islam, termasuk menyediakan rumah bagi Osama bin Laden mulai tahun 1991
sampai tahun 1996, ketika AS memaksa pengusiran. Sudan terlibat dalam upaya
pembunuhan Presiden mesir Hosni Mobarak pada Juni 1995. Setelah serangan
rudal AS di pabrik farmasi Sudan pada tahun 1998, menyusul teror bom dari
53
kedutaan besar AS di Nairobi dan Dar el Salam, dukungan Sudan terhadap
kelompok teroris semakin terang dan puncaknya meningkatkan isolasi
internasional. (Pruiner, 2004: 54-58)
B. Konflik dan krisis kemanusiaan Darfur mulai tahun 2003
Penduduk etnis Afrika Darfur akhirnya membentuk juga milisi-milisi
bersenjata dengan menggunakan ciri etnis non-Arab sebagai tandingan, untuk
menghadapi Janjaweed. Mereka mendeklarasikan Sudan Liberation
Movement/Army (SLM/A) pada tanggal 12 Maret 2003. Milisi ini merupakan hasil
peleburan dari dua kelompok pemberontak Darfur Liberation Front (DLF) dan
Sudan People Liberation Army (SPLA) dua organisasi subversif yang memiliki
jaringan nasional yang luas. SLM/A kemudian melakukan berbagai penyerangan,
diantaranya yang paling terkenal adalah serangan kota Gulu, yang dihuni
mayoritas suku Arab. Mereka terlibat baku tembak dengan polisi setempat
sebelum kemudian melarikan diri. Dalam peristiwa tersebut, 195 tentara militer
Sudan terbunuh. (Collins 2006:39)
Serang-menyerang semakin intens setelah Bandara Al Fashir menjadi
target SLM/A pada 25 April 2003. Serangan tersebut menghancurkan sejumlah
helikopter milik pemerintah, pesawat pembom Antonov, menduduki kantor pusat
militer, dan menangkap Mayor Jendral Ibrahim Bushara, kepala Angkatan Udara
Sudan. (Kastfur 2005:196) Sepuluh hari kemudian, SLM/A menangkap Kolonel
Mubarak Muhammad al-Saraj, Kepala Badan Intelejen Negara Sudan di Aynshiro,
sebelah utara Jabal Marra. Dalam serangan ini, muncul pula kelompok
pemberontak Darfur baru yang bernama Justice and Equality Movement (JEM)
dan bergabung dengan SLM/A. (Kastfur 2005:196)
54
Pemerintah Sudan kerap meresponss serangan kelompok pemberontak
dengan cara-cara represif. Pemerintah semakin besar memberikan kewenangan
kepada milisi Janjaweed untuk melakukan apapun demi mengamankan wilayah
Darfur dari serangan pemberontak. Janjaweed ikut bertanggungjawab atas
pembunuhan terhadap warga Afrika Darfur, memperkosa para perempuan, dan
menyiksa anak-anak kecil. Ini disertai dengan pembakaran perkampungan warga.
Menurut Pruiner, metode yang digunakan oleh Janjaweed menuju ke arah sekema
yang sistematis guna menghilangkan populasi Afrika di Darfur, atau genosida.
(Pruiner 2005:145)
Sampai awal tahun Januari 2004, korban tewas yang kebanyakan etnis
Afrika ini sudah mencapai 10.000 jiwa. (Pruiner 2005:148) Human Right Watch
melaporkan bahwa sekitar 1,6 juta warga Darfur pada tahun 2003 kehilangan
tempat tinggal dan harus mengungsi. Sekitar 200.000 warga sipil mengungsi ke
negara tetangga terdekat, seperti Chad dan Republik Afrika Tengah, dua negara
yang berbatasan langsung dengan Darfur. Di Chad, diperkirakan sekitar 70.000
pengungsi meninggal sejak tahun 2003 sampai 2005 akibat kekurangan gizi dan
wabah penyakit. (Strauss 2005:30) Selain itu, pengungsi di negara-negara yang
berbatasan langsung dengan Darfur ini juga rawan akan kekerasan karena milisi
Janjaweed kerap melintasi perbatasan Darfur dan menyerang kamp pengungsi.
Angka kematian suku Afrika yang mencapai puluhan ribu orang hanya
dalam periode kurang dari satu tahun, mengindikasikan adanya praktik genosida.
Hal ini mengundang perhatian internasional, khususnya Uni Afrika. Kecaman
dari masyarakat internasional bermunculan. Dewan Keamanan PBB bahkan
mengeluarkan resolusi agar Sudan segera mengakhiri peperangan dengan
55
langkah-langkah kongkrit dan melucuti persenjataan Janjaweed. Uni Afrika pun
tak ketinggalan meminta pemerintah Sudan agar mau terbuka dengan kehadiran
pihak luar untuk mengakhiri konflik. (Human Rights Watch 2003)
Pada dasarnya, sejak merdeka tanggal 1 Januari 1956, Sudan seringkali
dihadapkan kepada sejumlah masalah yang bersifat internal, baik yang bersumber
dari kemajemukan etnis maupun yang bersumber dari perbedaan antara penduduk
yang masyoritas muslim dengan Kristen dan minoritas pemeluk agama tradisi
Afrika. Menurut Andi Purwono, konflik-konflik internal yang terjadi di Sudan
berpotensi merusak keseimbangan etnis yang ada dan merupakan konflik yang
sangat rumit (multiple interwined conflicts) untuk diselesaikan. (Purwono, 2004)
Dalam kategori konflik-konflik modern, tregedi Darfur seringkali
dikategorikan sebagai bentuk konflik campuran yang disebut complex political
emergency. Menurut Purwono, ada beberapa karakter yang membuat konflik
semacam ini membutuhkan perhatian yang sangat serius. Pertama, secara
geografis ini bukan saja hanya merupakan urusan dalam negeri Sudan, akan tetapi
juga telah melintasi dan menjadi urusan negara-negara lain. Chad, misalnya
merasakan dampak dari konflik tersebut dengan banyaknya pengungsi Darfur
yang lari ke negaranya. Kedua, konflik ini biasanya ditandai dengan karakternya
yang berjangka panjang, karena telah menjadi masalah yang kompleks, maka
tidak jelas masalah pokok yang menjadi akar pertikaian, sehingga juga tidak jelas
kapan konflik tersebut akan berakhir. Yang jelas menurut Purwono, pertikaian ini
selalu berkaitan dengan upaya perebutan kekuasaan politik. (Purwono, 2006)
Akibat dari pertikaian antar etnis tersebut tidak lain adalah jatuhnya
korban dari masing-masing pihak. Warga sipil yang tidak ada kaitannya sama
56
sekali dengan konflik seringkali manjadi korban konflik karena dianggap sebagai
salah satu dari pihak yang bertikai. Dalam hal ini, warga Afrika Darfur menjadi
korban terbesar dari pertikaian etnis yang terjadi di daerahnya sendiri. Baik
pemerintah Sudan maupun milisi Arab Janjaweed seringkali menganggap warga
Afrika Darfur adalah bagian dari kelompok pemberontak SLM/A maupun JEM,
atau mereka dituduh melindungi keberadaan kelompok pemberontak dan
kemudian dijadikan sasaran perang. (Purwono, 2004)
C. Faktor-faktor yang mendorong keterlibatan Uni Afrika di Darfur
Korban sipil yang mencapai ratusan ribu orang serta jumlah pengungsi
yang mencapai lebih dari 1 juta, menjadikan konflik etis Darfur sebagai krisis
kemanusiaan yang harus ditangani secepatnya. Masyarakat internasional pun
banyak yang mulai menyerukan perdamaian bagi kedua belah pihak yang bertikai.
Dan dalam upaya menyelesaikan konflik tersebut, banyak pihak menilai
masuknya pihak asing ke dalam konflik sangat diperlukan untuk melakukan
mediasi. (Williams & Black, 2010 : 1-19)
Pihak ketiga diharapkan mampu membawa setiap pihak yang bertikai
untuk melakukan perundingan dan menghentikan konflik. Pihak ketiga tersebut
juga diharapkan dapat menjadi aktor manajemen konflik yang seharusnya
dilakukan oleh pemerintah Sudan. Dalam hal ini pemerintah Sudan tidak mampu
untuk menjadi agen perdamaian, karena pemerintah Sudan yang seharusnya
menjadi agen perdamaian adalah pelaku atau salah satu pihak konflik itu sendiri.
(Williams & Black, 2010 : 1-19)
Ada beberapa alasan positif masuknya pihak ketiga dalam krisis Darfur
ini. Pertama, masuknya pihak asing memungkinkan penanganan cepat dan
57
menyeluruh agar krisis Darfur tidak berlarut-larut. Respons konvensional tidak
akan cukup mencegah tingginya tingkat kematian sementara milisi Janjaweed
terus melakukan serangan ke desa-desa Darfur. Kedua, pihak ketiga diharapkan
dapat memfasilitasi proses negosiasi politik antara pemerintah dan pemberontak.
Mediasi pihak ketiga diharapkan dapat menjadi penengah dan pihak yang netral di
antara pihak-pihak yang bertikai. Dan ketiga, masuknya pihak ketiga ke dalam
konflik memungkinkan proses penyelidikan dan pengadilan terhadap pelaku
kekerasan di Darfur. (Purwono, 2006)
Sedangkan Paul. D. Williams dan Alex J. Bellamy berpendapat bahwa
pihak ketiga yang masuk ke dalam konflik etnis Darfur, setidaknya harus mampu
untuk melakukan tugas-tugas berikut : (1) menghentikan kematian penduduk sipil
yang disebabkan oleh pembantaian, penyakit dan kelaparan dan menjamin bantan
kemanusiaan sampai ke kamp-kamp pengungsi, baik di dalam maupun di luar
Darfur serta melindungi para pengungsi dari serangan milisi; (2) membantu polisi
setempat dalam mengamati jalannya kesepakatan gencatan senjata antara
kelompok pemberontak dengan pemerinta Sudan; (3) menjamin para pengungsi
untuk dapat kembali ke rumahnya masing-masing; (4) membantu proses transisi
setelah kelompok pemberontak dan pemerintah Sudan menyepakati penghentian
konflik. (Williams & Bellamy, 2006: 36)
Namun demikian, pernyataan resmi pemerintah Sudan, ditambah dengan
penolakan sebagian pemimpin Afrika akan hadirnya pasukan internasional
sebagai pihak ketiga dalam upaya penyelesaian konflik etnis di Darfur, merupakan
salah-satu hambatan tersendiri bagi PBB dan masyarakat internasional untuk
meyelesaikan konflik. Pemerintah Sudan secara tegas menolak resolusi 1556
58
Dewan Keamanan PBB. Pihak asing yang masuk berdasarkan resolusi 1556
Dewan Keamanan PBB, menurut pemerintah Sudan memiliki agenda tersembunyi
di balik intervensi tersebut. Duta Besar Sudan di PBB menyatakan:
“If the Sudan would have been safe from hummer of the Security
Council even if there had been no crisis in Darfur, and wether the
Darfur Humanitarian crisis might not be a Trojan horse? Has this
lofty humanitarian objective been adopted and embraced by other
people who are advocating a hidden agenda? (Bellamy, 2005: 42)
Salah-satu cara terbaik agar pihak ketiga masuk ke dalam konflik etnis
Darfur adalah dengan mendorong Uni Afrika sebagai mediator konflik. Tanpa
dorongan dan paksaan dari luarpun, Uni Afrika –sesuai dengan Piaga Uni Afrika-
sebenarnya memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan konflik etnis Darfur.
Sebagai salah-satu anggota dari Uni Afrika, Sudan memiliki komitmen ketika
menandatangani Piagam Uni Afrika dan tidak akan berani menolak keinginan Uni
Afrika dalam upaya menyelesaikan konflik di negaranya. (Badescu & Bergholm,
2010: 100-119)
Terdapat beberapa faktor yang mendorong Uni Afrika untuk terlibat dalam
upaya menyelesaikan konflik etnis Darfur. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi ke
dalam faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal merupakan
faktor yang secara langsung berasal dari komitmen Uni Afrika sendiri untuk
terlibat dalam penyelesaian konflik di negara-negara anggotanya melalui
mekanisme dan penyelesaian konflik yang dimiliki Uni Afrika. Sedangkan faktor
eksternal berasal dari beberapa organisasi internasional (PBB, Uni Eropa, dan G-
8) yang terus mendorong Uni Afrika untuk dapat mangatasi masalah dihadapi
bangsa Afrika dan untuk mencapai tujuan-tujuannya. (Badescu & Bergholm,
2010: 100-119)
59
C.1. Faktor internal pendukung keterlibatan Uni Afrika di Darfur
Afrika merupakan sebuah kawasan yang seringkali menghadapi konflik-
konflik yang bersifat internal. Konflik-konflik tersebut secara tidak langsung
menggangu stabilitas kawasan dan menjadi kendala tersendiri bagi pembangunan
dan kemajuan negara-negara Afrika. Oleh sebab itu, para pemimpin Afrika dan
Uni Afrika menyadari bahwa penyelesaian konflik di kawasan merupakan salah
satu agenda yang mendapatkan prioritas utama, tidak terkecuali penyelesaian
konflik etnis Darfur yang telah manjadi sorotan dan perhatian masyarakat
internasional. (Baltrop, 2001: 10)
Komitmen para pemimpin Afrika untuk menyelesaikan konflik di kawasan
dapat terlihat ketika mereka merumuskan prinsip-prinsip dan tujuan Uni Afrika.
Prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pigam Uni Afrika dan Protokol Pembentukan
Dewan Keamanan Uni Afrika memiliki kesamaan dengan elemen-elemen konsep
Responsibility to Protect. Piagam Uni Afrika memberikan batasan terhadap
definisi kedaulatan negara anggotanya. Kedaulatan negara bersifat kondisional,
dan didefinisikan sebagai kemampuan negara untuk memberikan perlindungan
dan keamanan bagi warganegaranya. Akan tetapi jika negara tidak mampu
melaksanakan kewajibannya, maka Uni Afrika berhak melindungi warganegara
dengan cara menurunkan pasukan militer ke dalam yuridiksi negara bersangkutan.
(Badescu & Bergholm, 2010: 100-119)
Dalam kasus Darfur, Uni Afrika melihat pemerintah Sudan sudah tidak
sanggup lagi untuk mengatasi konflik internal di negaranya, meskipun pemerintah
Sudan telah berulang kali menyatakan bahwa stabilitas dan keamanan di Darfur
telah sepenuhnya di bawah kendali pemerintah pusat. Akan tetapi pernyataan yang
60
disampaikan pemerintah Sudan tersebut bertentangan dengan situasi dan kondisi
di lapangan. Media-media internasional terus membeberkan bukti-bukti mengenai
kondisi Darfur dan penduduk Afrika yang mengalami berbagai tindakan
kekerasan milisi Janjaweed, bahkan pemerintah Sudan dicurigai berusaha
menghilangkan populasi Afrika di Darfur. (Badescu & Bergholm, 2010: 109)
Uni Afrika akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan krisis Darfur
melalui semangat persatuan dan persaudaraan bangsa Afrika. Pasal 4 Piagam Uni
Afrika ecara tegas menyatakan bahwa Uni Afrika berhak mengintervensi negara
anggotanya berdasarkan keputusan Majelis setelah melihat adanya kejahatan
perang, genosida dan pelanggaran terhadap kemanusian. Uni Afrika juga
menekankan bahwa intervensi militer terhadap kedaulatan negara anggotanya
merupakan langkah terakhir setelah berbagai upaya intervensi non-militer telah
dilakukan. (AU, 2012)
Pada bulan Februari 2003, kepala-kepala negara dan pemerintahan anggota
Uni Afrika mengamandemen pasal 4(h) dengan menambah bahwa :
“Kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan merupakan ancaman yang sangat serius terhadap
perdamaiaan dan keamanan Afrika dan memberikan kekuasaan
Kepala Dewan Keamanan Uni Afrika untuk memulihkan
perdamaian dan keamanan.” (AU 2012)
Mengenai amandeman pasal 4 (h) Piagam Uni Afrika, Ben Kioko,
penasehat resmi Uni Afrika ketika itu menyatakan:
“the addition af article 4 (h) was adopted with sole purpose of
enabling the African Union to resolve conflict more effectively on
the continent, without ever hanging to sit back and do nothing
because of the notion of non-interfence in the internal affairs of
member states, it should be brne in mind that the peace and
security council was intended, and should be abel to
revolutionize the way conflicts are addressed on the continent.”
(Kioko, 2003: 817)
61
Pasal 4 (j) Piagam Uni Afrika juga menyatakan bahwa negara anggota
berhak mengajukan permohonan kepada organisasi untuk melakukan intervensi
guna memulihkan perdamaiaan dan keamanan. Rumusan-rumusan seperti ini
tentunya tidak akan dijumpai dalam Piagam OPA, sehingga dapat dimaklumi
peran OPA dalam menyelesaikan berbagai konflik di kawasan Afrika seringkali
mengalami kegagalan. Perubahan prinsip dari non-intervensi ketika prinsip non-
indifference itu, menurut Kristina Powell, menjadikan Piagam Uni Afrika sebagai
perjanjian internasional pertama yang mengakui adanya hak intervensi terhadap
suatu negara anggota untuk tujuan-tujuan melindungi kemanusiaan. Inilah
komitmen Uni Afrika untuk terlibat secara langsung dalam menyelesaikan
berbagai konflik di negara anggotanya. (Powell, 2005: 1)
Duta Besar Said Dijimmit, komisioner Dewan Keamanan ketika Uni
Afrika ketika itu menyatakan :
“No more, never again, African cannot….watch the tragedies
developing in the continent and say it is the UN’s Responsibility
or somebody else’s Responsibility. We have moved from the
concept of non-interference to non-indifference. We cannot as
Africans remain indifferent to the tragedy of our people.”
(Powell, 2005; 1)
Komitmen inilah yang pada akhirnya secara langsung mendorong Uni
Afrika untuk menyelesaikan konflik etnis Darfur, Sudan. Penyelesaian konflik
tersebut merupakan tantangan pertama Uni Afrika dalam menjaga stabilitas dan
keamanan kawasan Afrika secara keseluruhan. Jika Uni Afrika mampu
melaksanakan tugas tersebut, maka bukan tidak mungkin Uni Afrika menjadi
sebuah organisasi regional yang mendapat pengakuan internasional dalam upaya
menciptakan perdamaian dunia.
62
Pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika oleh Majelis Uni Afrika
sebagai badan utama organisasi merupakan sebuah bukti kongkret komitmen Uni
Afrika dalam upaya menyelesaikan berbagai jenis konflik di kawasan. Untuk
tugas ini, Uni Afrika akan membentuk pasukan Afrika (African Standby Force,
ASF) yang akan diturunkan di wilayah konflik dan akan dikembangkan
sepenuhnya mulai tahun 2010. ASF ditunjuk sebagai badan pelaksana
(implementing mechanism) kebijakan-kebijakan Dewan Keamanan Uni Afrika
yang berhubungan dengan menciptakan perdamaian dan stabilitas kawasan.
(Badescu & Bergholm, 2010: 100-119)
Ide mengenai pembentukan Pasukan Uni Afrika sendiri sebenarnya bukan
konsep baru dalam sejarah Uni Afrika. Ide ini telah muncul pada periode tahun
1960-an ketika Uni Afrika masih bernama OPA. Akan tetapi Piagam OPA tidak
memiliki definisi yang jelas mengenai pasukan Uni Afrika, apakah dibentuk dan
diturunkan untuk melindungi negara anggotanya dari serangan luar atau juga
untuk menyelesaikan konflik-konflik internal yang terjadi di negara anggotanya.
Begitu pula ketika Mekanisme Penyelesaian Konflik OPA yang dibentuk pada
tahun 1993, negara-negara Afrika pada saat itu tidak menyepakati bentuk,
struktur, mandat serta biaya operasi pasukan Afrika. (Badescu & Bergholm, 2010:
100-119)
Meskipun OPA pernah membentuk pasukan penjaga perdamaian Afrika
untuk menyelesaikan konflik-konflik di Chad, di Rwanda dan di Burundi, pasukan
Afrika tersebut dapat dikatakan gagal karena beberapa alasan terentu. Akan tetapi
kegagalan tersebut dijadikan pelajaran tersendiri bagi Uni Afrika untuk
63
membentuk sebuah pasukan Afrika yang permanen, sebagaimana ungkapan
Cederic de Coning, “a useful learning experience”. (Coning, 1997: 20)
Pasukan Afrika (ASF) terdiri dari sebuah kontigen yang berjumlah 3000-
4000 personel militer Afrika, 300-500 pengamat militer, polisi dan masyarakat
sipil profesional yang akan diturunkan ke wilayah konflik dan beroperasi di
bawah komando serta kontrol Uni Afrika dan PBB. Pasukan tersebut diambil dari
5 wilayah sub-regional Afrika serta diberi tugas untuk melakukan tugas-tugas
berikut : (1) misi observasi dan pengamatan; (2) misi-misi yang mendukung
perdamaian; (3) intervensi terhadap negara anggota untuk memulihkan
perdamaiaan dan keamanan sesuai dengan pasal 4 (h) Piagam Uni Afrika; (5) misi
pecegahan dalam rangka: mencegah eskalasi konflik, mencegah penyebaran
konflik ke negara-negara tetangga, dan mencegah kemunculan kembali konflik
setelah pihak-pihak yang bertikai mencapai kesepakatan damai; (6) Pembangunan
perdamaian termasuk perlucutan senjata dan demobilisasi paska konflik; (7)
melakukan bantuan kemanusiaan untuk mengurangi penderitaan masyarakat sipil
di wilayah konflik dan membantu upaya-upaya mengatasi kerusakan lingkungan;
(8) fungsi-fungsi lain yang ditugaskan oleh Dewan Keamanan atau Majelis Uni
Afrika. (AU, 2012)
Meskipun pasukan Afrika ini baru sepenuhnya akan dibentuk dan
dikembangkan pada tahun 2010, akan tetapi pasukan Rwanda dan Nigeria serta
beberapa pasukan dari negara Afrika lainnya yang berada di Darfur menamakan
diri sebagai pasukan penjaga perdamaiaan Afrika yang dibentuk oleh Uni Afrika
dan mandat Dewan Keamanan Uni Afrika. Agar dapat menyelesaikan berbagai
konflik di kawasan bukanlah sekedar teori yang tertuang dalam Piagam Uni
64
Afrika semata, akan tetapi mereka mengimplementasikannya di lapangan ketika
suatu konflik yang mengancam stabilitas dan keamanan terjadi di kawasan
sebagaimana konflik etnis Darfur. (Badescu & Bergholm, 2010: 100-119)
C.2. Faktor-faktor eksternal pendorong keterlibatan Uni Afrika di Darfur
Munculnya konsep Responsibility to Protect (R2P) pada tahun 2001 yang
memungkinkan masuknya pihak asing ke dalam konflik yang terjadi di suatu
negara menjadi pendorong tersendiri bagi masyarakat untuk menyelesaikan
konflik etnis Darfur. Baik pemerintah Sudan maupun kelompok pemberontak
Darfur, dianggap telah sama-sama melakukan melakukan pelanggaran dan
kejahatan terhadap kemanusiaan dengan menjadikan penduduk sipil Darfur
sebagai target utama peperangan. Bahkan, pemerintah Sudan dituduh berupaya
melakukan pembersihan etnis (ethnic cleansing) suku Afrika Darfur dengan
membiarkan milisi Arab Janjaweed membunuh ribuan warga Afrika Darfur,
sebagaimana laporan-laporan yang disampaikan para pengamat dan lembaga-
lembaga non pemerintah internasional. (Strauss 2005:30)
Ketika Piagam Uni Afrika (The Constitutive Act of The African Union)
disepakati sebagai landasan organisasi bagi Uni Afrika untuk menjalankan tugas-
tugasnya, secara tidak langsung para pemimpin Afrika menyepakati setiap
langkah dan kebijakan yang diambil Uni Afrika demi kemajuan dan kebaikan
Afrika secara keseluruhan. Prinsip-prinsip Uni Afrika yang tertuang dalam pasal 4
Piagam Uni Afrika secara jelas menyebutkan bahwa organisasi memiliki hak
untuk mengintervensi negara anggotanya jika terbukti telah tejadi situasi-situasi
yang disebut sebagai genosida, pembersihan etnis dan kejahatan perang di negara
tersebut.
65
Sebagai sebuah organisasi yang baru berdiri pada tahun 2002, Uni Afrika
memiliki sebuah mekanisme yang lebih baik dari organisasi pendahulunya dalam
upaya memelihara perdamaiaan dan keamanan Afrika. Piagam Uni Afrika dan
Protokol Pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika memberikan kekuatan bagi
organisasi serta menjadikannya sebagai suatu rezim keamanan (security regime)
dalam rangka mencegah, mengelola dan mengatasi konflik di kawasan. Prinsip-
prinsip yang mendukung agenda perdamaiaan dan keamanan Uni Afrika memiliki
kesamaan dengan unsur-unsur kerangka perlindungan konsep Responsibility to
Protect yang dikembangkan oleh Komisi Internasional untuk intervensi dan
kedaulatan Negara (The International Commission on Intervention and State
Sovereignty-ICISS). (ICISS, 2011)
ICISS dibentuk pada tahun 2000 atas usul dan inisiatif pemerintah Kanada
untuk menjawab permintaan Sekjen PBB, Kofi Annan di depan Majelis Umum
PBB pada tahun 1999 dan mengulanginya kembali pada tahun 2000. Pada tahun
1999 Kofi Annan meminta masyarakat internasional untuk mengembangkan
sebuah konsep mengenai bagaimana cara agar masyarakat internasional dapat
merespons (intervensi) pelanggaran sistematis suatu negara terhadap hak asasi
manusia. Menurut Kofi Annan, respons internasional untuk mengatasi
pelanggaran tersebut seringkali dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap
kedaulatan negara dan akhirnya menjadi sebuah hambatan bagi masyarakat
internasional (PBB) untuk mengatasi pelanggaran terhadap kemanusiaan yang
terjadi di suatu negara. (ICISS, 2001)
66
Pada saat itu, Kofi Annan menyatakan di depan sidang Majelis Umum
PBB:
“…if humanitarian intervention is, indeed an unacceptable
assault on sovereignty, how should we responsd to Rwanda,
Srebenica –to gross and systematic violation of human rights
that affect every precept of our common humanity?” (ICISS,
2001)
Konsep Responsibility to Protect yang dikeluarkan oleh ICISS tersebut
mengakhiri perdebatan seputar pelanggaran kedaulatan negara ketika intervensi
dilaksanakan. Meskipun konsep ini belumlah final dan tidak semua negara
menyepakatinya, namun konsep ini merupakan langkah terbaik guna mengatasi
bencana kemanusiaan yang terjadi di suatu negara. Responsibility to Protect
mengartikan kedaulatan sebagai tanggung jawab negara untuk memberikan
perlindungan dan keamanan terhadap warganegaranya. Jika negara gagal
melaksanakan tugas tersebut, atau justru negar menjadi aktor penyebab terjadinya
bencana kemanusian di negaranya sendiri, maka tanggung jawab melindungi
berpindah tangan ke masyarakat internasional. (ICISS, 2001)
Menurut konsep ini, masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk
bertindak, jika perlu menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan bencana
kemanusiaan yang terjadi di suatu negara. Penggunaan kekutan militer merupakan
langkah terakhir setelah berbagai opsi non-militer telah dilakukan untuk
mencegah bencana kemanusiaan. Adapun kriteria-kriteria dilaksanakannya
intervensi militer terhadap suatu negara menurut Responsbility to Protect antara
lain: Pertama, adanya kematian dengan sekala besar (large-scale loss of life) yang
disebabkan oleh genosida dan negara tidak mampu mengatasinya. Kedua, adanya
67
pembersihan etnis (ethnic cleansing) baik yang disebabkan oleh pembunuhan,
pengusiran, tindakan terror, maupun pemerkosaan. (ICISS, 2001)
Konsep Responsibility to Protect juga menjelaskan, bahwa kekuasaan
untuk mengambil tindakan intervensi militer perlu juga pertimbangan Dewan
Keaman PBB. ICISS berpendapat :
“(T)here is no better or more appropriate body than the United
Nations Security Council to authorize military intervention for
human right protection purpose”.
Akan tetapi jika Dewan Keaman PBB gagal mengambil kesepakatan untuk
melakukan intervensi militer maka Majelis Umum PBB ditunjuk sebagai badan
yang bertanggungjawab untuk mengatasi bencana kemanusiaan tersebut.
Organisasi regional dan sub-regional yang berada di wilayah terjadinya konflik
juga diberikan kekuasaan untuk bertindak sesuai denan Bab VIII Piagam PBB dan
mekanisme intervensi militer harus dibentuk oleh PBB. (ICISS, 2001)
Konsep di atas akhirnya secara tidak langsung menjadi pendorong bagi
Uni Afrika untuk melaksanakan misi perdamanian di Sudan. Apalagi Dewan
Keaman PBB yang seharusnya melaksanakan misi tersebut mendapat penolakan
dari pemerintah Sudan sendiri.
Selain konsep Responsibility to Protect yang menjadi faktor eksternal
keterlibatan Uni Afrika di Sudan, faktor eksternal juga datang dari negara-negara
donor maupun organisasi internasional sebagai partner Uni Afrika. Baba Gana
Kingibe, koordinator AMIS, mengakui pentingnya peran dari patner-patner Uni
Afrika seperti PBB, Amerika Serikat dan Kanada (G-8) maupun Uni Eropa dalam
mendukung operasi Uni Afrika di Sudan (AMIS). Dukungan tersebut terutama
berupa bantuan finansial, logistik, perencanaan maupun upaya untuk melatih
68
pasukan Afrika guna memiliki keahlian memadai dalam menjalankan operasi
perdamaian di Darfur. (Kingibei, 2006)
C.2.1. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
PBB sebagai institusi internasional yang anggotanya merupakan sejumlah
negara di dunia tentunya memiliki peran yang sangat besar dalam mendorong Uni
Afrika untuk mampu menyelesaikan berbagai masalah di kawasan. Piagam PBB
secara tegas menyatakan bahwa Dewan Keamanan PBB memiliki tanggung jawab
untuk memelihara perdamaian dan keamanan di dunia. Akan tetapi tanggung
jawab tersebut tidaklah bersifat eksklusif. Bab VIII Piagam PBB memberikan
legitimasi kepada organisasi kawasan untuk memberikan konstribusi dalam
memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Pada tahun 1992, Sekjen
PBB Boutros-Boutros Ghali juga pernah meminta organisas-organisasi regional
untuk dapat berperan lebih besar dan memberikan konstribusi terhadap
permasalahan-permasalahan internasional. (Ghali, 1994)
Tragedi genosida di Rwanda pada tahun 1994 menjadi pelajaran tersendiri
bagi PBB untuk mengakui bahwa organisasi regional seperti Uni Afrika harus
mempersiapkan diri mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan jika PBB tidak
ingin atau tidak mampu melakukan intervensi, sebagaimana pernyataan pejabat
senior Komisi Uni Afrika: “Africans Knows that if we have to wait for the UN,
people will die”. (Powell, 2006: 1000)
Protokol pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika juga menekankan
pentingnya kerjasama dengan PBB untuk mendukung agenda-agenda perdamaian
di Afrika. Pasal 17 (1) protocol Dewan Keaman Uni Afrika menyatakan :
“The Peace and Security Council shall cooperate and work closely
with the United Nations Security Council, which has the primary
69
Responsibility for the maintenance of international peace and
security”. (AU, 2012)
Dalam rangka mendorong kemampuan Uni Afrika untuk dapat
menyelesaikan berbagai konflik di kawasan, PBB telah membantu Uni Afrika
untuk membentuk Dewan Keamanan Uni Afrika. Departemen Politik dan Operasi
Penjaga Perdamaian (Departement of Peace-Keeping Operation-DPKO) PBB
juga membantu Uni Afrika dalam rencana pembentukan pasukan Afrika dan
komite Staff Militer Uni Afrika. Dalam misi Uni Afrika di Darfur (AMIS), DPKO
mengirimkan perwira militer untuk membantu Uni Afrika dalam misi tersebut
pada bulan Februari 2005. PBB memberikan arahan kepada AMIS dalam
mengatur penempatan personel pasukan Afrika di Darfur. Di samping itu PBB
juga membantu Uni Afrika untuk mencapai dana bagi pelaksanaan operasi di
Sudan dengan mengadakan berbagai konferensi. (Mackinnon, 2010: 71)
C.2.2. Uni Eropa
Uni Eropa merupakan salah satu aktor kunci yang berperan dalam
mendorong pembantukan rezim keamanan di Afrika. Sebagai contoh Uni Eropa
memberikan dukungan yang signifikan terhadap pembentukan Dewan Keamanan
Uni Afrika beserta agenda-agenda perdamaiaan lainnya di Afrika. Dalam hal ini
Uni Eropa membentuk Fasilitas Perdamaian Afrika -African Peace Facility
(APF)- pada bulan Maret 2004 untuk meresponss permintaan para pemimpin
Afrika pada pertemuan tinggi Uni Afrika di Maputo tahun 2003. (Keane & Wee,
2010: 119)
APF menyediakan dana sebesar 250 juta Euro selama tiga tahun untuk
mendukung operasi-operasi perdamaiaan yang dilakukan Uni Afrika maupun
organisasi sub-regional Afrika atas mandat Uni Afrika maupun PBB. Dari dana
70
sebesar 250 juta Euro tersebut, 35 juta Euro telah dialokasikan untuk
pembangunan Afrika termasuk membantu Uni Afrika untuk dapat
mengembangkan kebijakan keamanannya, membangun kapasitas rencana Dewan
Keamanan Uni Afrika, dan membantu Uni Afrika serta organisasi sub-regional
lainnya untuk merencanakan pembentukan operasi-operasi pasukan penjagaan.
(Keane & Wee, 2010: 121)
Meskipun APF dibentuk oleh Uni Eropa, dana-dana APF tidak akan
dilalokasikan untuk membiayai operasi-operasi pasukan penjagaan perdamaian
Uni Eropa. Dana-dana APF hanya ditunjukan kepada operasi-operasi pasukan
penjagaan perdamaiaan Uni Afrika sendiri. Melalui APF, Uni Eropa telah
mengalokasikan dana sebesar US $ 84 juta untuk mendukung operasi Uni Afrika
di Sudan. (Keane & Wee, 2010: 121)
Pembentukan fasilitas keamanan menunjukan adanya perubahan
pendekatan Uni Eropa untuk menyediakan dana bagi pembangunan dan inisiatif
perdamaian dan keamanan. Dana fasilitas keamanan berasal dari Dana
Pembangunan Eropa (European Development Fund – EDF) yang dialokasikan
untuk pembangunan jangka panjang. (Keane & Wee, 2010: 129)
Uni Eropa beserta anggota-anggotanya juga secara aktif terlibat dalam
upaya membantu Uni Afrika mengatasi krisis Darfur dengan menyediakan
bantuan politik, keuangan dan logistik serta membantu memulihkan kondisi
kemanusian di Darfur dengan turut serta masuk sebagai salah satu anggota
pengamat militer gencatan senjata. (Keane & Wee, 2010: 132)
71
C.2.3. G-8
Peran negara-negara anggota G-8 dalam mendukung pembentukan Dewan
Keamanan Uni Afrika tak kalah besar. Pada pertemuan G-8 di Kananaskis,
Kanada tahun 2002, Negara-negara anggota G-8 menyepakati pembentukan
Rencana Aksi Afrika (African Action Plan-APP) sebagai responss kolektif atas
pembentukan The New Partnership for Africa's Development (NEPAD) oleh para
pemimpin Afrika yang membuka Afrika untuk berbagai kerjasama dengan negara-
negara maju. (Black, 2011: 232)
Dalam rangka meningkatkan kemampuan Uni Afrika, dan organisasi-
organisasi sub-regional lainnya di Afrika, dalam mencegah dan menyelesaikan
konflik di kawasan, G-8 bersedia untuk memberikan bantuan teknis dan finansial.
APP juga meminta G-8 untuk membentuk rencana bersama guna meningkatkan
kemampuan Uni Afrika dalam melaksanakan operasi-operasi perdamaian. (Black,
2011: 232)
Pada pertemuan Evian tahun 2003, negara-negara anggota G-8
menekankan kembali komitmennya untuk mempromosikan perdamaian dan
keamanan di Afrika dengan membahas secara ekslusif bagaimana agar Uni Afrika
mampu melaksanakan operasi-operasi militer guna mencegah dan menyelesaikan
konflik. Akhirnya G-8 menyepakati pembentukan kerjasama Afrika – G-8 untuk
meningkatkan kemampuan negara-negara Afrika dalam melaksanakan dan
mendukung operasi-operasi perdamaiaan. Pelaksanaan operasi tersebut tetap
diserahkan kepada Dewan Keamanan Uni Afrika sebagai badan pelaksana. G-8
juga sepakat untuk menyediakan senjata dan latihan militer bagi pasukan Uni
Afrika. (Black, 2011: 232)
72
Pada pertemuan G-8 di Sea-Island 2004, G-8 menyepakati untuk
meningkatkan kemampuan Uni Afrika dalam mendukung operasi-operasi
perdamaian. Pemerintah Amerika Serikat bersedia menyediakan dana sebesar 660
juta dollar untuk pelaksanaan operasi-operasi tersebut. Pada pertemuan tersebut
Amerika juga mengundang lima pemimpin Afrika untuk ikut serta dalam
beberapa sidang. Hal ini mencerminkan komitmen G-8 untuk membantu dan
mendukung Uni Afrika untuk menyelesaikan berbagai masalah di kawasan Afrika
sangatlah besar. Dalam pertemuan tersebut G-8 juga membahas rencana latihan
bagi pasukan Uni Afrika dan menyediakan senjata, sarana trasnportasi serta
bantuan logistik lainnya. (Black, 2011: 233)
Kanada adalah salah satu negara anggota G-8 memiliki peran yang paling
besar dibanding negara-negara G-8 lainnya dalam mendukung kemampuan Uni
Afrika, dengan menyediakan dana bagi Uni Afrika. Pemerintah Kanada bersedia
menyediakan dana sebesar 6 miliar dollar Kanada selama 5 tahun untuk
mendukung kerjasama Afrika – G-8 dan pembentukan APP. Dana tersebut
termasuk 500 juta dollar Kanada dalam bentuk bantuan Kanada untuk Afrika
(Canada Fund for Africa – CFA -) yang digunakan selama periode 2002-2007.
(Black, 2011: 238-244)
CFA juga kemudian menyediakan dana sebesar 4 juta dollar Kanada
selama 4 tahun (2004-2007) untuk meningkatkan kemampuan Dewan Keamanan
Uni Afrika. Adapun konstribusi CFA bagi Uni Afrika adalah sebagai berikut : (1)
dua juta dollar Kanada untuk membentuk pengembangan mekanisme respons
cepat. Dana tersebut khususnya diperuntukkan bagi peningkatan respons Dewan
Keamanan Uni Afrika secara cepat dan efektif untuk mengatasi krisis dengan
73
mengirim pengamat militer ke wilayah konflik; (2) satu juta dollar Kanada selama
lima tahun untuk mengembangkan mekanisme respons cepat bagi masyarakat sipil
non-militer untuk aktivitas-aktivitas perdamaian dan keamanan. Dana ini pernah
digunakan untuk misi politik dan mediasi Uni Afrika di Burundi, Pantai Gading,
Somalia, dan Darfur; (3) lima ratus ribu dollar Kanada sebagai bagian dari
bantuan Negara multi donor milik UNDP sebesar 6,4 dollar; (4) lima ratus ribu
dollar Kanada yang diberikan kepada Departemen Politik dan Kemanusiaan di
Komisi Uni Afrika untuk membentuk perwakilan khusus guna melindungi warga
sipil dan konflik bersenjata. (Black, 2011: 238-244)
Pemerintah Kanada juga menyediakan dana sebesar 200.000 dollar
Kanada untuk membantu misi Uni Afrika di Sudan (AMIS) pada tahun 2004.
Pada tanggal 12 Mei 2005, pemerintah Kanada mengumumkan akan menydiakan
dana tambahan sebesar 170 juta dollar Kanada selama dua tahun untuk membantu
dan meningkatkan misi Uni Afrika di Sudan (AMIS). (Black, 2011: 238)
Komiten Kanada untuk membantu pembangunan kapasitas kemampuan
Uni Afrika sangatlah signifikan. Meskipun bantuan Kanada kepada Uni Afrika
tidaklah sebesar bantuan yang diberikan kepada misi NATO dan PBB di Bosnia-
Herzaegovia (NATO Stabilisation Force in Bosnia-Herzegovina – SFOR), akan
tetapi bantuan tersebut menunjukan konstribusi pemerintah Kanada dalam
mendukung agenda perdamaian dan keamanan di Afrika. (Black, 2011: 248)
Dorongan pihak luar dalam mendukung agenda-agenda perdamian Uni
Afrika memberikan arti tersendiri bagi para pemimpin Afrika dan Uni Afrika
untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah di kawasan terutama penyelesaian
konflik etnis Darfur. (Black, 2011: 248)
74
BAB IV
PERAN UNI AFRIKA DALAM PENYELASAIAN KONFLIK DARFUR
(2004-2007)
Kondisi kemanusiaan di Darfur sejak meletusnya konflik etnis pada
Februari 2003 semakin hari semakin memprihatinkan. Ribuan orang telah
meninggal dunia dan bahkan jutaan orang lainnya telah kehilangan tempat tinggal
sehingga harus mengungsi ke berbagai wilayah yang lebih aman baik di Darfur
maupun Chad. Kondisi tersebut diperparah dengan banyaknya pengungsi yang
meninggal akibat kelaparan, gizi buruk serta penyakit yang menyerang para
pengungsi. (Human Rights Watch 2003)
Selain itu, serangan terhadap penduduk sipil dan para pengungsi masih
sering terjadi. Penduduk sipil Darfur terus-menerus dilanda ketakutan dan tak ada
jaminan keamanan yang pasti. Sampai awal tahun Januari 2004, korban tewas
yang kebanyakan etnis Afrika ini sudah mencapai 10.000 jiwa. (Pruiner 2005:148)
Human Right Watch melaporkan bahwa sekitar 1,6 juta warga Darfur pada tahun
2003 kehilangan tempat tinggal dan harus mengungsi. Sekitar 200.000 warga sipil
mengungsi ke negara tetangga terdekat, seperti Chad dan Republik Afrika
Tengah, dua negara yang berbatasan langsung dengan Darfur. Di Chad,
diperkirakan sekitar 70.000 pengungsi meninggal sejak tahun 2003 sampai 2005
akibat kekurangan gizi dan wabah penyakit. Pengungsi di negara-negara yang
berbatasan langsung dengan Darfur ini juga rawan akan kekerasan karena milisi
Janjaweed kerap melintasi perbatasan Darfur dan menyerang kamp pengungsi.
(Strauss 2005:30)
75
Angka kematian suku Afrika yang mencapai puluhan ribu orang hanya
dalam periode kurang dari satu tahun, mengindikasikan adanya praktik genosida.
Bila kondisi tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin tragedi genosida di Rwanda
akan terulang kembali di Darfur. Penanganan yang sistematis dan komperhensif
untuk menyelesaikan konflik tersebut sangat diperlukan, terutama menyangkut
pemberian rasa aman bagi penduduk sipil Darfur dan memulangkan pengungsi ke
rumahnya masing-masing. (Human Rights Watch 2003)
Kondisi yang memprihatinkan di Darfur tentu saja mengundang perhatian
internasional, khususnya Uni Afrika. Kecaman dari masyarakat pun internasional
bermunculan. Dewan Keamanan PBB bahkan mengeluarkan resolusi agar Sudan
segera mengakhiri peperangan dengan langkah-langkah kongkrit dan melucuti
persenjataan Janjaweed. Uni Afrika pun tak ketinggalan meminta pemerintah
Sudan agar mau terbuka dengan kehadiran pihak luar untuk mengakhiri konflik.
(Human Rights Watch 2003) Namun di lain pihak, pemerintah Sudan masih
menganggap apa yang terjadi di Darfur bukan persoalan serius. Dalam wawancara
dengan penulis, Duta Besar Sudan untuk Indonesia, Abdullah Al Rahim Rahim Al
Sidiq, menyatakan bahwa media Barat saja yang membesar-besarkan persoalan di
Darfur. “It was just momadic people accrosing border, they used to clash each
other, normal life. No clash rebellion and govemerment. It was western media
made that issues.. They want our resources,” kata Al Sidiq.
Lantaran terus-menerus terdesak, pada akhirnya pemerintah Sudan tak bisa
mengelak dari tekanan internasional. Menghadapi berbagai tekanan, pemerintah
kemudian Sudan menolak keterlibatan pihak asing selain Uni Afrika dalam
penyelesaiaan konflik etnis Darfur. ”We refused UN troops, kami tidak mau
76
peacekeeper dari luar Afrika. Kami hanya mau tentara Afrika di Afrika. African
problem, African solution,” kata Duta Besar Al Sadiqi.
Dengan demikian, peluang bagi Uni Afrika untuk menggelar misi serta
operasi damai di Darfur telah dibuka. Sejak Uni Afrika memiliki sebuah
mekanisme yang jelas dan sistematis dalam penyelesaian (resolusi) konflik yang
terjadi di negara anggotanya, penyelesaian konflik etnis Darfur kemudian menjadi
prioritas utama dalam agenda Uni Afrika. Hal tersebut disampaikan secara
langsung oleh Ketua Komisi Uni Afrika pada tahun 2003, Alpha Omar Konare,
mengenai pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika. Menurutnya, konflik etnis
Darfur merupakan “The first major challenge to the recently established peace
and security council. The AU duty is bouns to play a leading role in resolving the
crisis.” (Powell, 2005: 1-5)
Jean Baptiste Natama, penjabat politik senior Uni Afrika lainnya juga
berjanji bahwa Uni Afrika akan berupaya semaksimal mungkin dalam
menyelesaikan konflik etnis Darfur. Natama menyatakan,
“if the situation is getting worse, we are not going to pack our
luggage and leave Darfur…we are going to have a robust mandate
to make sure we are not here for nothing. We should be abel to
bring peace, or impose peace.” (Powell, 2005: 4)
Selanjutnya, Uni Afrika memainkan sejumlah peran penting dalam upaya
penyelesaian konflik etnis di Darfur, dimulai dengan memfasilitasi perundingan
damai antara pemerintah Sudan dengan dua kelompok pemberontak Darfur,
mediasi (mediator) konflik antara keduanya dalam perundingan, melaksanakan
misi pengamatan (monitoring mission) kesepakatan gencatan senjata sampai
menggelar operasi menciptakan perdamaiaan (peace-making operation) di
lapangan (Darfur) yang semua dilakukan berdasarkan inisiatif Uni Afrika serta
77
kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam setiap perundingan antara pihak-
pihak yang bertikai di Darfur. (Powell, 2005: 10)
A. Uni Afrika sebagai Fasilitator Perundingan Damai
Proses awal keterlibatan Uni Afrika dalam upaya menyelesaikan konflik
etnis Darfur dimulai dengan melakukan konsultasi kepada Presiden Chad, Iddris
Deby serta pendekatan terhadap pemerintah Sudan dengan mengirim utusan
khusus Dewan Keaman Uni Afrika, Duta Besar Baba Gana Kingibe ke Chad dan
Sudan. Bagi Uni Afrika, konsultasi dengan Presiden Iddris Deby sangatlah
penting. Iddris Deby merupakan orang pertama yang melakukan upaya medisai
terhadap pihak-pihak yang bertikai di Darfur untuk menghentikan konflik pada
September 2003. Akan tetapi, karena bebrapa alasan tertentu, terutama adanya
anggapan dan tuduhan bahwa Iddris Deby berasal dari suku Zaghawa –salah satu
suku pemberontak Darfur,- mediasi Iddris Debby tidak menghasilkan
penyelesaian menyeluruh bagi konflik etnis Darfur. (Slim, 2005: 814)
Pada tanggal 5 Maret 2004, Baba Gana Kingibe melakukan pertemuan
dengan sejumlah pejabat pemerintah Chad. Melalui pejabat pemerintah Chad,
Kingibe meminta agar presiden Iddris Deby meneruskan upaya mediasi terhadap
pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak untuk segera mengakhiri konflik
dan meminta dukungan serta masukan dari Iddris Deby mengenai bagaimana agar
Uni Afrika dapat berperan aktif dalam penyelesaian konflik etnis Darfur. (Slim,
2005: 814)
Setelah melakukan kunjungan ke Chad, Baba Gana Kingibe mengunjungi
Sudan pada tanggal 10 Maret 2004 dan mengadakan pertemuan serta konsultasi
dengan sejumlah pejabat pemerintah Sudan, termasuk wakil presiden Ali Osama
78
Taha. Dalam pertemuan tersebut Kingibe menyampaikan kepedulian Uni Afrika
terhadap kondisi kemanusiaan di Darfur. Disampaikan Kingibe, bagi Uni Afrika
Sudan merupakan salah-satu komponen terpenting sekaligus jembatan bagi
keragaman budaya di Afrika. Oleh sebab itu Kingibei meminta pemerintah Sudan
agar dapat mengakhiri konflik Darfur secepatnya sebelum kondisi kemanusiaan di
wilayah tersebut semakin memburuk. (AU 2004)
Dalam pertemuan dengan pejabat pemerintah Sudan, Kingibe menyatakan
kesediaan dan kesiapan Uni Afrika dalam rangka membantu penyelesaian konflik
etnis Darfur secara menyeluruh. Dalam pertemuan tersebut juga ditegaskan,
meskipun pemerintah Sudan berulangkali menyatakan bahwa masalah Darfur
adalah masalah internal negaranya, akan tetapi mereka tidak menolak keterlibatan
Uni Afrika dalam membantu penyelesaian konflik. Pernyataan tersebut
merupakan indikasi bahwa pemerintah Sudan menunjukkan komitmen awalnya
terhadap penyelesaiaan konflik etnis Darfur. (AU 2004)
Berdasarkan hasil kunjungan Kingibei ke Chad dan Sudan, pada tanggal
26 Maret 2004 Dewan Keaman Uni Afirka mengutus sebuah tim yang dipimpin
oleh Sam Ibok -Direktur Dewan Keamana Uni Afrika- ke N’djemena, Chad, guna
membawa pihak-pihak yang bertikai di Darfur ke meja perundingan serta
mempersiapkan rencana untuk kemudian mengadakan perundingan damai antara
pihak-pihak yang bertikai di Darfur. Pertemuan tersebut dikenal dengan sebutan
Inter Sudanese Meetings on Darfur. Perundingan akhirnya dapat terlaksana pada
31 Maret 2004 di N’djamene, Chad, meskipun pemerintah Sudan sendiri tidak
menghadiri putaran pertama pertemuan dengan alasan bahwa masalah Darfur
79
adalah masalah internal Sudan. Hal ini disebabkan kehadiran pihak luar selain Uni
Afrika dan Chad seperti PBB dan Uni Eropa dalam perundingan. (AU 2004)
B. Uni Afrika sebagai Mediator Perundingan Damai
Setelah memfasilitasi jalanan perundingan, Uni Afrika memainkan peran
penting sebagai mediator konflik antara pemerintah Sudan dan dua kelompok
pemberontak Darfur (SLM/Adan JEM) dalam setiap perundingan damai. Uni
Afrika terus mendorong kedua pihak tersebut untuk mengadakan perundingan dan
negosiasi dalam rangka penyelesaian komprehensif terhadap konflik. Hasilnya
memang terlihat nyata, sejumlah perjanjian untuk melindungi warga Sipil Darfur
disepakati berkat mediasi Uni Afrika. Namun efektifitas perundingan tersebut
seringkali dipertanyakan karena konflik masih terus berlangsung antara keduanya
di lapangan. (AU 2004)
Upaya tak kenal lelah Uni Afrika dalam melakukan mediasi terhadap
pihak-pihak yang bertikai di Darfur akhirnya membuahkan suatu hasil yang
menjanjikan bagi terciptanya perdamaian di Darfur. Pada tanggal 8 April 2004,
setelah melakukan sejumlah putaran perundingan di N’djemana sejak 31 Maret
2004, pemerintah Sudan beserta dua kelompok pemberontak Darfur SLM/A dan
JEM menandatangani Humanitarian Ceasefire Agreement (HCFA) beserta
Protokol Pembentukan BADAN Bantuan Kemanusiaan di Darfur (Protocol On
The Establishment Of Humanitarian Assistance In Darfur). (AU 2004)
Kesepakatan dua belah pihak antara Pemerintah Sudan dan kelompok-
kelompok pemberontak Darfur dalam adalah sebagai berikut : (1) menghentikan
perang selama 45 hari; (2) membentuk komisi bersama (Joint Commission) dan
komisi gencatan senjata (Ceasefire Commission) dengan mengajak pertisipasi
80
masyarakat internasional termasuk Uni Afrika; (3) membebaskan semua tawanan
perang dan setiap individu yang ditahan karena konflik bersenjata; (4)
memfasilitasi penyampaian bantuan kemanusiaan dan menciptakan kondisi yang
kondusif bagi penyaluran bantuan kepada pengungsi dan korban perang lainnya.
(AU 2004)
Sedangkan dalam protokol pembentukan Badan Bantuan Kemanusiaan
Darfur kedua belah pihak menyepakati antara lain, pertama, mengupayakan
perdamaiaan menyeluruh di Darfur. Kedua, melakukan pertemuan lanjutan dalam
bentuk konferensi semua perwakilan Darfur untuk menyepakati penyelesaian
seluruh masalah di Darfur terutama manyangkut pembangunan ekonomi-sosial.
Ketiga, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk negosiasi dan menghentikan
perang media (propaganda) antara keduanya. (AU 2004)
Perjanjian oleh pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak
memberikan landasan hukum awal serta jalan bagi Uni Afrika untuk berperan
secara aktif dalam penyelesaiaan konflik etnis Darfur melalui sebuah mekanisme
yang disepakati oleh setiap pihak. Berdasarkan kesepakatan HCFA pula, pada 13
April 2004 Dewan Keamanan Uni Afrika mengirim tim pengamat ke Darfur
dalam rangka membentuk komisi gencatan senjata (CFC) sesegera mungkin
Darfur. CFC inilah yang pada akhirnya nanti, melalui beberapa proses, menjadi
jembatan bagi misi, operasi maupun penempatan pasukan damai di Darfur secara
keseluruhan. (AU 2004)
Meski demikian, dalam setiap perundingan damai, baik pemerintah Sudan
maupun kelompok pemberontak seringkali mengajukan tuntutan-tuntutan berbeda
tanpa ada kesepakatan sehingga perundingan seringkali menemui jalan buntu. Hal
81
ini terlihat dari banyaknya putaran perundingan sejak ditandatanganinya
kesepakatan HCFA 8 April 2004 di N’djamena Chad. Perundingan antara pihak-
pihak yang bertikai di Darfur selanjutnya diselenggarakan di Abuja, Nigeria. (AU
2004)
Di antara isu-isu yang dibahas dalam setiap perundingan damai adalah isu-
isu kemanusiaan, keamanan, politik dan pembangunan ekonomi-sosial wilayah
Darfur. Kelompok pemberontak Darfur seringkali mengajukan tuntutan mengenai
pembagian kekuasaan dan kekayaan, integrasi pasukan pemberontak ke dalam
angkatan bersenjata Sudan, serta netralisasi dan pelucutan senjata milisi
Janjaweed. Dalam beberapa perundingan, netralisai milisi Janjaweed menjadi
tntutan utama kelompok pemberontak.karena dianggap sebagai sumber utama
konflik, apalagi menurut pihak pemberontak, pemerintah Sudan memberikan
bantuan dan dukungan sepenuhnya kepada Janjaweed. (AU 2004)
Uni Afrika melakukan pendekatan persuasif kepada setiap pihak untuk
menjembatani perbedaan pandangan. Bahkan ketua Uni Afrika, Presiden
Olusegun Obbansanjo, ikut turun tangan menjembatani kedua belah pihak. Dalam
isu netralisasi milisi Janjaweed secepatnya, secara bersamaan Uni Afrika juga
meminta kelompok pemberontak Darfur untuk menghentikan serangan terhadap
instalasi-instalasi pemerintah Sudan maupun terhadap konvoi kendaraan Uni
Afrika yang merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan HCFA. (AU 2004)
Perundingan damai antara pihak-pihak bertikai di Darfur menjadi tidak
jelas setelah adanya perpecahan di dalam kelompok pemberontak SLA/M. Minni
Minnawi dan Abdulwahid El-Nour masing-masing mangaku sebagai pemimpin
SLM/Ayang berhak mewakili kelompok tersebut dalam setiap negosiasi. Hal ini
82
melahirkan pekerjaan baru bagi Uni Afrika. Fokus utama Uni Afrika kemudian
adalah penyelesaian konflik antara Minnawi dan Abdulwahid sebelum
melanjutkan perundingan damai. (AU 2004)
Uni Afrika manawarkan dua opsi kepada kedua pemimpin SLM/Atersebut.
Pertama,mengirim satu delegasi dalam perundingan damai dengan satu pandangan
yang sama sebagaimana komitmen SLM/Adalam penyelesaian konflik Darfur.
Kedua, mengirim dua delegasi tapi memiliki pandangan yang sama. Pada awalnya
kedua pemimpian SLM/Atesebut memilih opsi pertama tapi pada perkembangan
selanjutnya kedua pemimpin SLM/Atersebut hadir dalam putaran perundingan
damai ke-7 di Abuja Nigeria pada 26 November 2005. Dalam perundingan
tersebut, Minnawi dan Abdulwahid sepakat untuk tidak berbicara dan
memberikan kepercayaan kepada kelompok JEM berbicara sebagai perwakilan
pemberontak. Isu-isu serta pandangan masing-masing pihak dapat digambarkan
melalui tabel di bawah ini. (AU 2004)
Tabel I.III. Isu-isu Perundingan Darfur. Sumber: The Jakarta Post, 2006.
Posisi Pemberontak Posisi Pemerintah Sudan Pandangan Uni Afrika
Wilayah Darfur
Menginginkan Darfur menjadi
wilayah khusus dengan
pemerintah terpisah
Keputusan pembentukan
pemerintahan Darfur harus
dilaksanakan melalui
referendum
Memasukan perwakilan
kelompok pemberontak
kedalam pemerintahan Sudan
Wakil Presiden
Posisi wakil presiden harus dari
Darfur.
Presiden Sudan berasal dari
Utara, sedangkan wakil presiden
dari Selatan, Darfur adalah
bagian dari Selatan Sudan.
Memasukkan perwakilan
Darfur ke dalam pembantu
senior kepresidenan.
Kompensasi
83
Memberikan kompensasi individu
yang menjadi korban perang.
Kompensasi akan diberikan
sebagai bagian dari program
rekronstruksi Darfur.
Membentuk dana kompensasi
bagi masyarakat Darfur.
Pelucutan Senjata Milisi Janjaweed
Janjaweed merupaan milisi
dukungan pemerintah Sudan,
senjata mereka harus dilucuti
sepenuhnya.
Tidak ingin melucuti senjata
milisi sipil yang tidak terlibat
dalam serangan terhadap
penduduk.
Pemerintah Sudan diwajibkan
melucuti senjata milisi
Janjaweed dan pelaksanaan
harus diawasi oleh tentara
Uni Afrika.
C. Misi Pengawasan Kesepakatan Gencatan Senjata
Dalam salah-satu poin kesepakatan HCFA, pihak-pihak penandatanganan
HCFA sepakat satu sama lain untuk membentuk CFC dan Joint Commission
sebagai badan pengawas atas implementasi serta jalanya HCFA oleh kedua belah
pihak. Sebelum membentuk CFC, Uni Afrika terlebih dahulu mengundang
pemerintah Sudan, SLM/A dan JEM, Chad serta perwakilan masyarakat
internasional ke kantor pusat Uni Afrika di Addis Ababa, Ethiopia pada tanggal
27-28 Mei 2004 guna melakukan pertemuan dalam rangka membahas
pembentukan CFC dan JC. Dalam pertemuan tersebut akhirnya disepakati sebuah
perjanjian mengenai tata cara pembentukan CFC dan penempatan pengawas
militer Uni Afrika di Darfur (Agreement on Modalities For The Estabilishment of
The Ceasefire Commission (CFC) and The Deployment of Observer in Darfur).
(AU 2004)
CFC, sebagaimana yang disebutkan dalam perjajian mengenai tata cara
pembentukannya, dibentuk dan diketuai secara lagsung oleh perwakilan Uni
Afrika, sedangkan wakil ketua CFC diserahkan kepada Uni Eropa sebagai
representasi dari masyarakat internasional. Anggota CFC terdiri dari perwakilan-
perwakilan Uni Afrika, Sudan, serta SLM/Adan JEM (dua kelompok
84
pemberontak). Adapun untuk operasi teknis pelaksanaan, CFC diberi nama
African Union Monitoring Mission yang komposisinya terdiri dari para pengamat-
pengamat militer (military observers-Milobs) Uni Afrika, Sudan, kelompok
pemberontak, Chad dan perwakilan masyarakat internasional yang pada
perkembangan selanjutnya berubah manjadi misi Uni Afrika di Sudan atau sering
dikenal sebagai African Union Missin (AMIS).
Mandat CFC, sebagaimana yang dinyatakan dalam Agreement of The
Modalities of The Eatabilishment of CFC adalah sebagai berikut : (1) melakukan
verifikasi dan implementasi perjajian-perjanjian dan ketetapan gencatan senjata 8
April 2004; (2) mengatur pergerakan pasukan Sudan dan kelompok pemberontak
dalam rangka mengurangi resiko perang, penempatan pasukan selanjutnya akan
ditentukan oleh CFC; (3) meminta bantuan pelaksanaan operasi; (4) menerima,
memverifikasi, menganalisa dan menghukum setiap pelanggaran gencatan senjata;
(5) mengembangkan langkah-langkah hukum untuk mencegah perang di masa
mendatang. (AU 2004)
Untuk meligitimasi penempatan CFC dalam pelaksanaan misi Uni Afrika
di Sudan (AMIS), Dewan Keaman Uni Afrika bersama pemerintah Sudan
kemudian menandatangani Status of Mission Agreement (SOMA) pada 4 Juli
2004. SOMA menjabarkan segala aspek yang berhubungan dengan operasi serta
misi Uni Afrika di Sudan termasuk di dalamnya aspek-aspek komunikasi, travel
dan transportasi, hak-hak dan kekebalan hukum serta berbagai fasilitas lainnya
bagi angora CFC. (AU 2004)
Setelah penandatangan SOMA, Dewan Keamanan Uni Afrika memulai
membetuk kantor pusat CFC di El-Fashir, Darfur Barat, serta 6 sektor komando
85
CFC lainnya,masing-masing di El-Fashir (sektor 1), Nyala (sektor 2), El Genina
(Sektor 3), Kabkabiyah (sektor 4), Tine (sektor 5) dan Kutum (sektor 6) serta satu
sektor di Abeche, Chad. Setiap sektor CFC memiliki 2 tim pengamat militer Uni
Afrika. CFC sendiri secara resmi beroperasi mulai tanggal 19 Juni 2004, ketika
Brigadir Jenderal Festus Okunwo dari Nigeria yang ditunjuk oleh Uni Afrika
sebagai ketua CFC, melaporkan kesiapannya untuk menjalankan tugas-tugas CFC
kepada Dewan Keamanan Uni Afrika. Pada saat itu pula misi Uni Afrika di Sudan
resmi beroperasi. (AU 2004)
Pengamat militer (Milobs) Uni Afrika yang bertugas mengamati
pelaksanakan HFCA kemudian mulai ditempatkan di berbagai wilayah di Darfur
berdasarkan keputusan Majelis Uni Afrika yang bersidang pada 6-8 Juli 2004.
Dalam kesempatan tersebut, majelis Uni Afrika juga memutuskan untuk
menempatkan pasukan Uni Afrika guna melindungi kelancaran tugas CFC dan
pengamat militer Uni Afrika di Darfur. . (AU 2004)
D. Operasi Perdamaian Uni Afrika Di Darfur
Keberadaan CFC beserta pengamat militernya di Darfur (wilayah konflik)
tentu memiliki resiko yang cukup besar, terutama menyangkut keamanan dan
keselamatan mereka dalam menjalankan tugas. Meskipun barlatar belakang
militer, pengamat militer Uni Afrika tidak memiliki wewenang untuk membawa
dan menggunakan senjata di lapangan, apalagi sejak CFC secara resmi beroperasi
di Darfur, baik pemerintah Sudan maupun kelompok pemberontak Darfur kerap
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata 8
april 2004. (AU 2004)
86
Menurut laporan Human Righat Watch, pemerintah Sudan masih
melakukan pengeboman terhadap perkampungan penduduk di Darfur dan
efektifitas CFC di Darfur pun dipertanyakan. Hal ini juga diakui oleh Dewan
Keamanan Uni Afrika sebagaimana dinyatakan dalam laporannya pada 4 juli 2004
mengenai situasi Darfur. Kondisi tersebut menjadi alasan tersendiri bagi Uni
Afrika untuk menempatkan tentara di Darfur. (Human Righat Watch, 2004)
Pada tanggal 27 Juli 2004, Dewan Keaman Uni Afrika akhirnya
memutuskan untuk mengirim pasukan dalam rangka memperkuat peran CFC serta
melindungi pengamat militer Uni Afrika yang bertugas mengamati jalannya
kesepakatan HCFA. Rwanda dan Nigeria merupakan dua Negara pertama yang
bersedia mengirim pasukannya ke Darfur, dan masing-masing mengirim 155
pasukan. Pasukan Uni Afrika tersebut juga diharapkan dapat melucuti senjata
milisi Arab Janjaweed. . (AU 2004)
Selama periode Juli-Oktober 2004, Dewan Keamanan Uni Afrika mencatat
sejumlah pelanggaran terhadap kesepakatan HCFA yang dilakukan oleh kedua
belah pihak. Pelanggaran tersebut termasuk serangan milisi Janjaweed terhadap
penduduk sipil baik berupa pembakaran maupun perusakan properti. Tentara
Sudan juga kerap menghalangi aktivitas investigasi CFC. Sedangkan kelompok
pemberontak masih melakukan penyergapan, penyerangan, perampasan, dan
penculikan pekerja kesehatan di Darfur serta mempersenjatai anak-anak untuk
terlibat dalam aksi mereka yang melanggar hukum. Keberadaan CFC di Darfur
seolah diabaikan begitu saja oleh pihak-pihak yang bertikai sehingga perdamaiaan
di Darfur masih jauh dari harapan. . (AU 2004)
87
Kondisi kemanusiaan di Darfur yang belum juga membaik sejak
keberadaan misi Uni Afrika, serta adanya sejumlah pelanggaran terhadap
kesepakatan HCFA, menjadi landasan bagi Uni Afrika untuk memperluas dan
meningkatkan perannya di Darfur dengan menambah pengamat militer serta
pasukan termasuk memperluas mandat AMIS. Hal ini menemui titik terang ketika
pihak-pihak yang bertikai di Darfur akhirnya mau menandatangani Protocol on
The Improvement of The Situation In Dafur pada tanggal 9 September 2004. (AU
2004)
Berdasarkan Protocol on The Improvement of The Situation In Dafur,
setiap pihak yang bertikai diwajibkan memberi kebebasan bergerak kepada
pekerja kemanusiaan di Darfur, menyepakati bekerjasama dengan badan
internasional dalam rangka memulangkan pengungsi Darfur serta meminta Uni
Afrika untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna memperkuat
misinya di Darfur. Namun sayangnya dalam protokol tersebut lagi-lagi tidak
dijelaskan secara ekspilisit mengenai netralisasi dan pelucutan senjata milisi
Janjaweed, sehingga kemungkinan terjadinya pelanggaran masih sangat besar. .
(AU 2004)
Pada tanggal 20 Oktober 2004, Dewan Keamanan Uni Afrika akhirnya
memutuskan untuk meningkatkan kekuatan AMIS. Keputusan tersebut
melahirkan sejumlah perubahan terhadap struktur, mandat serta jumlah personel
AMIS. AMIS bertransformasi dari kontingen kecil yang terdiri dari pasukan
bersenjata, polisi sipil serta pendukung lainnya. Kekuatan AMIS ditambah
menjadi 3.320 personel. Jumlah tersebut terdiri dari 2.341 komponen militer (450
pengamat militer dan 1703 pasukan Afrika), 815 polisi sipil serta 164 staf
88
pendukung yang ditempatkan di Sudan dan kantor pusat Uni Afrika. Melalui
keputusan baru ini, AMIS akan beroperasi di Darfur selama satu tahun dan
memungkinkan untuk diperpanjang. Adapun mandat baru yang diberikan kepada
AMIS adalah : (1) memantau kesepakatan HCFA 8 April 2004, dan semua
perjanjian yang dibuat di masa mendatang; (2) membantu proses confidence-
building; (3) mengamankan sampainya bantuan kemanusiaan, memulangkan
pengungsi serta menjamin situasi keamanan di Darfur. . (AU 2004)
Dalam rangka mencapai tujuan (mandat) yang diberikan, AMIS
ditugaskan untuk menjalankan tugas-tugas berikut : (1) mengamati dan memeriksa
situasi keamanan Darfur untuk memulangkan pengungsi; (2) mengamati dan
memeriksa gencatan senjata; (3) mengamati dan memeriksa aktivitas milisi sipil;
(4) mengawasi dan memeriksa pemerintah Sudan dalam melucuti senjata milisi
sipil; (5) Menyelidiki dan melaporkan pelanggaran HFCA; (6) melindungi
penduduk sipil yang berbeda dalam bahaya dan membutuhkan pertolongan segera,
hal ini dipahami bahwa perlindungan terhadap penduduk sipil adalah tanggung
jawab pemerintah Sudan; (7) melindungi pengamat militer Uni Afrika; (8)
menyediakan bantuan militer dalam bentuk patrol dan pembentukan pos-pos
militer untuk mencegah serangan milisi sipil kepada penduduk; (9) membantu
proses confidence-building; (10) melakukan komunikasi dengan pejabat
pemerintah Sudan; (11) melakukan komunikasi dengan pemimpin masyarakat
untuk mendapatkan masukan dan nasehat; (12) mengawasi dan melaporkan
efektivitas polisi Darfur; (13) menyelidiki dan melaporkan segala pelanggaran
polisi Darfur terhadap kesepakatan HCFA. (AU 2004)
89
Perubahan juga terjadi dalam struktur misi Uni Afrika di Sudan. Baba
Gana Kingibei ditunjuk sebagai ketua misi serta perwakilan resmi Uni Afrika di
Sudan. Kingibe memiliki wewenang untuk mengarahkan dan mengkoordinir
aktivitas AMIS serta sebagai pihak yang melakukan hubungan langsung dengan
pemerintah Sudan, kelompok pemberontak dan semua aktor yang berada di
Darfur. Adapun Mayor Jenderal Festus Okunwo selain menjabat sebagai ketua
CFC juga ditunjuk menjadi Force Commander dalam struktur misi Uni Afrika di
Darfur, sedangkan wakilnya diserahkan kepada Brigadir Jenderal Jean Bosco dari
Rwanda. Komponen polisi sipil diketuai oleh Afrika Selatan dan Wakilnya dari
Ghana. (Boshoff, 2004: 230)
Meskipun AMIS memiliki mandat dan tugas yang jelas, operasi AMIS
seringkali menemui banyak kendala sehingga pelanggaran-pelanggaran HCFA
masih kerap terjadi. Kendala tersebut diantaranya berasal dari pasukan Uni Afrika
sendiri yang tidak memiliki cukup keahlian serta lemahnya perencanaan dan
hambatan logistik lainnya. Selain itu, pasukan Uni Afrika tidak memiliki
wewenang untuk berperang (rules of engagement) kecuali dalam keadaan terdesak
dan menjaga diri sehingga tak ada kekuatan memaksa. (Boshoff, 2004: 234)
Hambatan-hambatan ini pada akhirnya nanti dapat menggambarkan
kondisi AMIS yang sesungguhnya di Darfur. Efektifitas serta keberhasilan misi
Uni Afrika tersebut juga dapat menjadi bahan perdebatan seputar pelaksanaan
operasi militer di suatu negara.
90
E. Kendala dan Hambatan AMIS
E.1. Keterbatasan Mandat
Dalam melaksanakan operasi militer, para ahli militer biasanya
memberikan tiga konsep yang saling berhubungan satu sama lain, mandat, tugas
misi (task mission), dan aturan perang (rules of engagement) kepada komandan
beserta pasukannya di lapangan. Mandat merupakan tujuan utama misi. Tugas
misi didefinisikan sebagai aktifitas militer dalam usaha mencapai tujuan yang
termuat dalam mandat, sedangkan aturan perang merupakan arahan bagi
komandan pasukan untuk menggunakan senjata (kontak senjata) selama operasi.
(AU 2005)
Pada saat AMIS dituntut untuk memulihkan situasi keamanan di Darfur,
pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak Darfur justru seringkali membuat
kondisi keamanan di Darfur semakin memburuk. Keduanya terus berperang satu
sama lain dan sekali lagi penduduk sipil Darfur yang menjadi korban. Pemerintah
Sudan dinyatakan bersalah ketika menyerang desa Saiyah pada 3 Januari 2005
dengan menggunakan dua helicopter Mi-24 dan satu pesawat pembom Antonov
yang menyebabkan empat orang penduduk sipil meninggal dan dua orang terluka
dan 13 keluarga kehilangan rumah. Pemerintah Sudan juga melakukan pemboman
di desa Askanita dan sekitarnya yang dianggap sebagai basis kelompok
pemberontak Darfur. Milisi Janjaweed dengan bantuan yang diberikan
sepenuhnya dari pemerintah Sudan menyerang desa Solokoya pada 10 Januari
2005 dan pada 1 Januari 2005 menyerang desa Hamada menyebabkan 30
penduduk sipil tewas. (AU 2005)
91
Sementara itu pada periode yang sama, kelompok pemberontak Darfur
menyerang dan menghancurkan desa Um Dasho dan Um Rdimp pada 21 Januari
2005. Kelompok SLM/Amenyerang desa El-Malam dan membakar 8 rumah,
membunuh 20 orang serta mencederai 26 orang lainnya. Tindakan kelompok
pemberontak tersebut dimaksudkan dalam rangka membalas serangan Janjaweed
ke desa Hamada. (Mensah, 2005: 8)
Mengenai berbagai kegagagalan AMIS dalam misinya, sebagian pengamat
internasional berpendapat bahwa mandat yang diberikan kepada AMIS sangatlah
terbatas dan tidak mendukung upaya menyeluruh bagi pemulihan situasi kemanan
di Darfur. Cdr Seth Appiah-Mensah, misalnya, menyatakan bahwa keputusan
Dewan Keamanan Uni Afrika pada 20 Oktober 2004 untuk memperluas mandat
AMIS dibuat berdasarkan asumsi bahwa pemerintah Sudan akan memikul
tanggung jawab utama dalam memberikan perlindungan dan keamanan kepada
penduduk sipil Darfur serta memimpin pelaksanaan perjanjian HCFA. (Mensah,
2005: 8) Namun sayangnya, menurut Mensah, pemerintah Sudan tidak mampu
melaksanakan tanggung jawab tersebut sehingga kekerasan terhadap penduduk
sipil mesaih sering terjadi.
Keterbatasan mandat AMIS tersebut sangat dirasakan oleh pasukan Uni
Afrika yang berada di lapangan. Mandat yang diberikan terbatas pada misi
pengamatan gencatan senjata dan perlindungan keselamatan pengamat militer Uni
Afrika di Darfur. AMIS tidak diberi mandat untuk memaksa perdamaian
(enforcing peace) di Darfur, sehingga peran pasukan Afrika dan kehadiran AMIS
di Darfur seringkali dipertanyakan. Salah-satu perwakilan Human Rights Watch
menyatakan,
92
“there is actually a lot of confusion among not only the Sudanese
civilians but even humanitarian aid organizations about exactly
what the role of the African Union Mission is supposed to be”.
(Human Rights Watch 2005)
Para personel AMIS sebenarnya sangat ingin melindungi penduduk sipil,
akan tetapi dengan mandat terbatas yang diberikan, mereka mustahil
melakukannya. Salah seorang personel AMIS menyatakan “I need a stronger
mandate, like a peace enforcement mandate”. (Human Rights Watch 2005)
Dengan mandat yang diberikan Dewan Keamanan Uni Afrika pada 20 Oktober
2004, AMIS bukanlah pasukan penjaga perdamaiaan (peace-keeping force), oleh
sebab itu harapan masyarakat internasional bahwa AMIS akan menjalankan peran
penjaga perdamaiaan tidak akan pernah terwujud. AMIS seharusnya memiliki dan
melaksanakan mandat-mandat sebagai berikut : (1) membantu pemerintah Sudan
dalam menegakkan hukum di Darfur; (2) melindungi penduduk sipil Darfur ketika
pemerintah Sudan tidak mampu melaksanakan kewajiban perlindungan tersebut;
(3) menentukan wilayah-wilayah bagi Janjaweed dan kelompok pemberontak; (4)
melucuti senjata dan membubarkan kelompok-kelompok milisi serta
mengintegrasikannya ke dalam masyarakat. (Mensah, 2005: 8)
E.2. Rules Of Engagement
Disamping keterbatasan mandat, AMIS tidak memiliki aturan perang yang
jelas. Personel AMIS ditekankan untuk lebih mengutamakan penggunaan non-
deadly force daripada deadly face ketika berhadapan dengan kelompok
pemberontak Darfur maupun milisi Janjaweed. Penggunaan deadly force hanya
diperbolehkan untuk mempertahankan diri. Pasukan AMIS juga hanya
bertanggung jawab untuk melindungi pengamat militer Uni Afrika dalam
93
melaksanakan tugas beserta peralatan-peralatan Uni Afrika di Darfur. Sedangkan
perlindungan terhadap penduduk sipil tidak dimandatkan secara spesifik.
Kendala tersebut di atas akhirnya tidak dapat mencegah berbagai
pelanggaran terhadap kesepakatan HCFA yang semestinya berjalan di bawah
pengawasan CFC dan AMIS. Sejak CFC beroperasi di Darfur, terdapat sebanyak
179 pelanggaran HCFA, 700 penduduk sipil meninggal yang 512 diantaranya
disebabkan oleh Janjaweed. Kelompok pemberontak Darfur beserta masyarakat
Darfur bahkan kemudian menginginkan agar pasukan Uni Afrika diganti dengan
pasukan baret biru (pasukan penjaga perdamaiaan PBB). Dalam beberapa
kesempatan, kelompok pemberontak Darfur menolak kehadiran pengamat militer
Uni Afrika dari Mesir karena dianggap bekerjasama dengah pemerintah Sudan.
E.3. Logistik dan Penempatan Personel AMIS
Operasi Uni Afrika di Darfur semakin menemui kendala karena tidak
didukung dengan peralatan dan logistik yang memadai. Hal ini tentunya tidak
lepas dari terbatasnya dana operasional Uni Afrika di Darfur. Jumlah peralatan-
peralatan yang mendukung operasi militer seperti telepon satelit, kendaraan
maupun perlengkapan kantor yang dimiliki AMIS sangatlah terbatas. Sampai
akhir November 2004 setiap sektor komando CFC hanya diberikan empat
kendaraan oprasional dan dua telepon satelit. Jumlah tersebut tentunya tidak
cukup untuk menjangkau seluruh wilayah Darfur yang sangat luas. Untuk
mengatasi kendala logistik, Uni Afrika akhirya meminta bantuan masyarakat
internasional terutama kepada negara-negara donor seperti Amerika Serikat, Uni
Eropa, Inggris dan Kanada. (Mensah, 2005: 12)
94
Keputusan Dewan Keamanan Uni Afrika meningkatkan kekuatan AMIS
menjadi 3.320 personel ternyata tidak dibarengi kenyataan di lapangan. Ketua
CFC melaporkan pada Januari 2005, hanya 7 orang dari seharusnya 815 polisi
sipil yang ada di Darfur. Uni Afrika sebelumnya menargetkan penempatan 3.320
personel terlaksana sepenuhnya pada pertengahan April 2005, kenyataannya
hanya 2.200 personel yang ditempatkan. Oleh sebab itu pada Januari 2005, CFC
membentuk Darfur Integrated Task Force (DITF) di kantor pusat Uni Afrika di
Addis Ababa. Badan ini bertanggung jawab mengatur jadwal penempatan
personel AMIS di Darfur. (Mensah, 2005: 12)
Pada bulan April 2005, ketua CFC menyatakan bahwa pelaksanaan
kesepakatan gencatan senjata tidak berjalan dan situasi keamanan di Darfur tidak
membaik. Serangan terhadap pengungsi masih sering terjadi. Para perempuan di
daerah pengungsian banyak yang menjadi korban perkosaan ketika mereka pergi
mencari kayu bakar. Sedangkan pelaku serangan dan perkosaan dibiarkan begitu
saja, meskipun bukti-bukti tindakan mereka sudah ada. Padahal satu bulan
sebelumnya Uni Afrika mengirim tim peninjau bersama dengan PBB dan
masyarakat internasional lainnya untuk melihat kondisi Darfur secara langsung.
Tim peninjau ini juga dimaksudkan untuk melihat kinerja AMIS di lapangan serta
berusaha memperkuat keberadan serta efektifitas AMIS. Dewan Keamanan Uni
Afrika lalu memutuskan untuk menambah personel AMIS menjadi 7.731
perseonel yang terdiri dari 6.171 komponen militer dan 1.560 komponen sipil
melalui keputusan Dewan Keamanan Uni Afrika pada 28 April 2005 yang
diharapkan akan terlaksana sepenuhnya pada September 2005. Misi Uni Afrika di
Darfur beserta mandat dan tugas yang diberikan berdasarkan keputusan Dewan
95
Keamanan Uni Afrika 20 Oktober 2004 berakhir pada 19 Oktober 2005.
.(Mensah, 2005: 14)
Meski masih terdapat gangguan kemananan terhadap penduduk sipil, sejak
januari hingga Juli 2005 tidak ada konflik besar yang terjadi., dan jumlah
serangan terhadap desa-desa yang menjatuhkan. Pada rentang waktu ini, ada
sekitar 3.000 tentara AMIS untuk menjaga perdamaian, dan akhirnya mencapai
7.000 tentara pada bulan April. Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh
Dewan Keamanan Uni Afrika, Nigeria mengirim batalion yang beranggotakan
680 tentara pada Rabu, Juli 13 Desember 2005, ditambah dua batalion lagi segera
setelahnya. Begitu pula Rwanda, Senegal, Gambia, Kenya dan Afrika Selatan.
Kanada memberikan 105 kendaraan lapis baja, pelatihan dan pemeliharaan
bantuan, dan alat pelindung diri dalam mendukung upaya AMIS. .(Mensah, 2005:
15)
Pada tanggal 15 September 2005, serangkaian perundingan antara
perwakilan pemerintah Sudan dan dua kelompok pemberontak yang dimediasi
Uni Afrika kembali dimulai di Abuja, Nigeria. Namun, faksi SLM menolak untuk
hadir. Menurut laporan BBC, SLM menyatakan "tidak akan mengakui dan
mematuhi apa pun yang disepakati dalam perundingan tersebut." Lalu pada
tanggal 28 September 2005, milisi Janjaweed kembali menyerang kamp
pengungsi di Aro Sharow, menewaskan sedikitnya 44 orang. Uni Afrika
mengutuk tindakan pemerintah Sudan tersebut, yang menyebabkan kehancuran
dan telah menewaskan sedikitnya 44 orang dan ribuan lebih pengungsi harus
dievakuasi ke tempat lain dalam dua minggu. Pada tanggal 1 Oktober, Uni Afrika
96
menuduh kedua belah pihak, baik pemerintah Sudan dan maupun pemberontak
telah melanggar perjanjian gencatan senjata. (BBC: 2009)
Peta konflik semakin kompleks dan buram ketika dalam tubuh kelompok
pemberontak sendiri terdapat kelompok sempalan. Dalam tubuh JEM, ada
kelompok yang dipimpin oleh Mohamed Saleh yang menyatakan keluar dari JEM
dan menginkan tempat tersendiri dalam perundingan-perundingan berikutnya.
Saleh adalah kepala militer JEM ketika menandatangani perjanjian gencatan
senjata pada bulan April, tetapi kemudian tidak sejalan lagi dengan visi dan para
pemimpin kelompok itu. Ia mengklaim membawahi ribuan pasukan di wilayah
Darfur, karena itu ia pantas diperhitungkan dan mempeloeh tempat tersendir
dalam perundingan perdamaian yang sedang dan akan berlangsung. Ia juga
menuduh Uni Afrika telah berpihak terhadap salah-satu kelompok dan
menyatakan bahwa ia tidak akan lagi menghormati gencatan senjata yang pernah
disepakati. (Mensah, 2005: 16)
Di awal Oktober 2005, 38 personil AMIS disandera. Kelompok sempalan
pimpinan Saleh yang dituduh melakukan penculikan, namun ia membantah
tuduhan tersebut. Namun kepada Reuters ia mengatakan, "Kami ingin Uni Afrika
pergi, dan kami telah memperingatkan mereka untuk tidak melakukan perjalanan
ke daerah yang kami kuasai. Kami tidak tahu dan tidak peduli apa yang terjadi
pada Uni Afrika, mereka adalah bagian dari konflik sekarang." Pasukan dari
kelompok pemberontak JEM kemudian membantu Uni Afrika membebaskan 38
sandera tersebut pada tanggal 9 Oktober. Mereka sepenuhnya bebas keesokan
harinya. (Reuters: 2005)
97
Eskalasi kekerasan di wilayah ini terus meningkat. Reporter BBC Jonah
Fisher mencatat, sikap permusuhan terhadap pasukan penjaga perdamaian AU
semakin menjadi dan tampak di permukaan. Dilaporkan, agen-agen penyalur
bantuan menolak untuk bepergian dengan personil Uni Afrika, karena menurut
mereka kehadiran pasukan perdamaian hanya menundang kontak senjata. Kofi
Annan, pada konferensi pers di Jenewa, meresponss meningkatnya tindak
kekerasan tersebut dengan menyarankan agar bantuan ke wilayah tersebut
mungkin sebaiknya sebagian ditangguhkan. "Kedua belah pihak, baik
pemberontak maupun pemerintah, harus memahami bahwa jika kejadian
(kekerasan) ini terus berlangsung, hanya akan menghambat pengiriman bantuan
kemanusiaan." Pernyataan itu memicu untuk pertama kalinya jatuh korban dari
pihak Uni Afrika. Tiga personel tewas dalam serangan yang diyakini dilakukan
oleh Tentara SLA. (BBC: 2005)
Meskipun kekerasan terus berlangsung, pihak pemerintah Sudan, SLA,
JEM dan Uni Afrika kembali berjanji untuk melanjutkan pembicaraan damai yang
digelar di Abuja. Pada November 2005, sebagai responss atas serangan terhadap
pasukan Uni Afrika, pemerintah Sudan menyetujui penyebaran 105 kendaraan
lapis baja pengangkut personel dari Kanada yang harus tiba pada 17 November.
Lalu pembicaraan damai putaran ketujuh dimulai pada tanggal 21 November
2005. Namun hasilnya tetap mengecewakan. (AU 2005)
Mandat AMIS akan habis pada tanggal 31 Maret 2006, dengan kondisi di
lapangan bahwa sebenarnya telah masuk ke dalam misi penjaga perdamaian PBB.
Namun demikian, pada pertemuan 10 maret 2006, Dewan Keamanan dan
98
Perdamaian Uni Afrika tetap memutuskan untuk memmperpanjang misi selama
enam bulan, sampai dengan 30 September 2006.(AU 2006)
Upaya mediasi Uni Afrika di Abuja, Nigeria mencapai titik kritisnya pada
akhir pada 5 Mei2006 yang lebih dikeanal dengan nama Darfur Peace Agreement.
Draft kesepakatan berjumlah 115 halaman ini, dirancang Uni Afrika masih
mencakup “security, power sharing dan wealth sharing”. Dua pasal krusial
dituntut SLM/A adalah : 1) Pelucutan senjata kelompok Janjaweed 2)
Pengintegrasian sebagian pasukan pemeberontak ke dalam angkatan bersenjata
Sudan.Namun kesepakatan ini hanya ditandatangi oleh Pemerintah Sudan dan
SLM/A kubu Minnawi.Sedangkan JEM dan SLM/A kubu Abdul Wahid Al-Nur
tidak mau sepakat.Akibatnya kesepakatan ini kembali gagal.(Sudan Tribune,
2006)
Pada tanggal 31 Agustus, setelah Dewan Keamanan PBB gagal
mengimplementasikan Resolusi 1706 karena penolakan yang keras dari
pemerintah Sudan, Uni Afrika lagi-lagi memperpanjang misinya lebih lanjut
hingga 31 Desember 2006. Resolusi 1706 itu mengusulkan untuk mengirim
20.000 pasukan penjaga perdamaian PBB. Setelah Desember berakhir, kemudian
misi AMIS diperpanjang lagi sampai 30 Juni 2007. (AU 2007)
Pada bulan Mei 2007, Uni Afrika menyatakan bahwa AMIS telah berada
pada titik keruntuhannya. Dalam bulan-bulan sebelumnya, tujuh personil pasukan
penjaga perdamaian tewas, ditambah lagi kekurangan dana yang menyebabkan
gaji prajurit tak dibayar selama beberapa bulan. Rwanda dan Senegal
memperingatkan bahwa mereka akan menarik pasukan mereka jika negara-negara
anggota PBB tidak memenuhi komitmen mereka mengenai dana dan persediaan
99
logistik. John Predergast dari International Crisis Group mencatat: “masalah uang
menjadi besar karena Amerika dan Eropa berjanji untuk membantu membayar
gaji prajurit dan mengirim perlengkapan selama Afrika dalam situasi semacam ini.
Tapi Amerika dan Eropa tidak menepati janjinya. (Washington Post: 2007)
Pada tanggal 31 Juli 2007, Dewan Keamanan Uni Afrika akhirnya
menyetujui Resolusi DK PBB 1769 yang memberi 1769 mandat kepada African
Union/United Nations Hybrid Operation in Darfur (UNAMID) untuk menciptakan
dan menjaga perdamaian di Darfur. UNAMID mengambil alih operasi dari AMIS
per tanggal 31 Desember 2007. (UN: 2008)
100
BAB V
Kesimpulan
Penelitian ini telah panjang-lebar menjelaskan bagaimana organisasi
kawasan menyelesaikan konflik di negara anggotanya. Dalam hal ini, bagaimana
upaya dan peran Uni Afrika dalam menyelesaikan konflik internal Sudan di
Darfur. Uni Afrika dalam resolusi konflik di Darfur pada periode 2004-2007
mengirimkan pasukan dengan misi perdamaian dan melakukan berbagai upaya
untuk menghentikan konflik berkepanjangan. Keterlibatan Uni Afrika untuk
melakukan resolusi konflik di Darfur adalah keterlibatan pihak luar pertama di
wilayah ini. Sebelumnya, Sudan selalu berusaha mencegah terjadinya
internasionalisasi konflik dalam negerinya. Dan AMIS adalah pasukan yang
pertama kali boleh masuk untuk menjalankan misi penghentian kekerasan dan
perlindungan warga sipil di Darfur.
Pada Bab II, penelitian ini menelusuri sejarah dan latar belakang
pembentukan Uni Afrika. Sebelum bernama resmi Uni Afrika, organisasi ini
dikenal dengan Jika dibandingkan dengan sebutan OPA yang hanya memiliki
lima badan. Uni Afrika memiliki lebih banyak badan dengan tugas-tugas dan
fungsi yang lebih spesifik. Hal ini mencerminkan keseriusan para pemimpin
Afrika untuk membangun kawasan Afrika ke arah yang lebih baik, terutama
dalam hal pembangunan ekonomi dan stabilitas kawasan. Badan-badan Uni
Afrika tersebut adalah sebagai berikut. Perubahan yang paling penting adalah
dibentuknya Dewan Keamanan (The Security Council) yang memungkinkan Uni
Afrika melakukan intervensi terhadap negara anggotanya.
101
Salah-satu alasan yang mendasari para pemimpin Afrika untuk mengubah
OPA menjadai Uni adalah untuk memiliki sebuah badan yang bertugas menjaga
perdamaian dan keamanan serta stabilitas kawasan Afrika secara keseluruhan.
Para pemimpin Afrika sadar betul bahwa kawasan Afrika adalah kawasan yang
memiliki potensi konflik sangat tinggi, baik konflik antar-negara maupun konflik
yang terjadi dalam wilayah suatu negara anggotanya. (Powell & Tieku 2006: 10)
Alasan inilah yang pada akhirnya menjadikan landasan bagi Uni Afrika untuk
membentuk Dewan Keamanan (Peace and Security Council), sebuah badan Uni
Afrika yang bertugas untuk mempromosikan perdamaiaan, keamanan dan
stabilitas di Afrika, mengatasi dan mencegah perdamaian, keamanan dan stabilitas
di Afrika, mengantisipasi dan mencegah timbulnya konflik, mempromosikan
penerapan pembangunan perdamaiaan pasca-konflik, memerangi terorisme,
mengembangkan kebijakan pertahanan bersama serta mempromosikan demokrasi.
(AU 2012)
Terdapat beberapa faktor yang mendorong Uni Afrika untuk terlibat dalam
upaya menyelesaikan konflik etnis Darfur. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi ke
dalam faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal merupakan
faktor yang secara langsung berasal dari komitmen Uni Afrika sendiri untuk
terlibat dalam penyelesaian konflik di Negara-negara anggotanya melelui
mekanisme dan penyelesaian konflik yang dimiliki Uni Afrika. Sedangkan faktor
eksternal berasal dari beberapa organisasi internasional (PBB, Uni Eropa, dan G-
8) yang terus mendorong Uni Afrika untuk dapat mangatasi masalah dihadapi
bangsa Afrika dan untuk mencapai tujuan-tujuannya. (Badescu & Bergholm,
2010: 100-119)
102
Di bab III, sebelum menganalisa peran Uni Afrika di Dafrur, penelitian ini
terlebih dahulu menguraikan bagaimana akar konflik di Darfur. Untuk
mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai konflik di Darfur, dibutuhkan
penjelasan sekomprehensif mungkin mengenai sejarah dan akar berbagai konflik
yang terjadi di sana. Menurut Guy Martin, dalam artikel Conflict Resolution in
Africa, untuk menjelaskan dan menganalisa konflik-konflik yang terjadi di
kawasan Afrika, maka dibutuhkan sebuah pandangan dan pendekatan yang
sistematis terhadap sejarah konflik itu sendiri. (Martin, 2006)
Menurut Gerard Pruiner, masyarakat Darfur adalah sebuah mosaik yang
kompleks, terdiri dari antara 40 hingga 90 kelompok etnis. Secara garis besar,
mereka terdiri dari dua golongan kebangsaan; sebagian berkebangsaan Afrika,
sebagian lain berkebangsaan Arab. Darfur adalah daerah di bagian barat Sudan
jumlah penduduk mencapai sekitar 6 juta jiwa. Suku-suku asli Afrika Darfur
meliputi suku asli Fur, Masalit, Zaghwa, Daju dan Berti. (Pruiner 2005: 4) Kedua
suku ini kelak saling bermusuhan karena tercipta ketidakpuasan penduduk Afrika
asli terhadap pemerintah pusat yang kebanyakan berkebangsaan Arab. Berbagaui
ekspresi dan bentuk pemberontakan dipadamkan oleh pemerintah pusat dengan
membentuk milisi sipil, Janjaweed, yang bertugas membantai penduduk sipil di
selatan.
Dalam kategori konflik-konflik modern, tregedi Darfur seringkali
dikategorikan sebagai bentuk konflik campuran yang disebut complex political
emergency. Menurut Andi Purwono ada beberapa karakter yang membuat konflik
semacam ini membutuhkan perhatian yang sangat serius. Pertama, secara
geografis ini bukan saja hanya merupakan urusan dalam negeri Sudan, akan tetapi
103
juga telah melintasi dan menjadi urusan negara-negara lain. Chad, misalnya
merasakan dampak dari konflik tersebut dengan banyaknya pengungsi Darfur
yang lari ke negaranya. Kedua, konflik ini biasanya ditandai dengan karakternya
yang berjangka panjang, karena telah menjadi masalah yang kompleks, maka
tidak jelas masalah pokok yang menjadi akar pertikaian, sehingga juga tidak jelas
kapan konflik tersebut akan berakhir. Yang jelas menurut Purwono, pertikaian ini
selalu berkaitan dengan upaya perebutan kekuasaan politik.
Akibat dari pertikaian antar etnis tersebut tidak lain adalah jatuhnya
korban dari masing-masing pihak. Warga sipil yang tidak ada kaitannya sama
sekali dengan konflik seringkali manjadi korban konflik karena dianggap sebagai
salah satu dari pihak yang bertikai. Dalam hal ini, warga Afrika Darfur menjadi
korban terbesar dari pertikaian etnis yang terjadi di daerahnya sendiri. Baik
pemerintah Sudan maupun milisi Arab Janjaweed seringkali menganggap warga
Afrika Darfur adalah bagian dari kelompok pemberontak SLM/Amaupun JEM,
atau mereka dituduh melindungi keberadaan kelompok pemberontak dan
kemudian dijadikan sasaran perang. (Purwono, 2006)
Sampai awal tahun Januari 2004, korban tewas yang kebanyakan etnis
Afrika ini sudah mencapai 10.000 jiwa. (Pruiner 2005:148) Human Right Watch
melaporkan bahwa sekitar 1,6 juta warga Darfur pada tahun 2003 kehilangan
tempat tinggal dan harus mengungsi. Sekitar 200.000 warga sipil mengungsi ke
negara tetangga terdekat, seperti Chad dan Republik Afrika Tengah, dua negara
yang berbatasan langsung dengan Darfur. Di Chad, diperkirakan sekitar 70.000
pengungsi meninggal sejak tahun 2003 sampai 2005 akibat kekurangan gizi dan
wabah penyakit. (Strauss 2005:30) Selain itu, pengungsi di negara-negara yang
104
berbatasan langsung dengan Darfur ini juga rawan akan kekerasan karena milisi
Janjaweed kerap melintasi perbatasan Darfur dan menyerang kamp pengungsi.
Angka kematian suku Afrika yang mencapai ratusan ribu orang hanya
dalam periode kurang dari satu tahun, meng. (Human Rights Watch 2003)
Di bab IV, keterlibatan Uni Afrika, melalui AMIS, untuk menghentikan
konflik Darfur dianalisa lebih mendalam. Penelitian ini membatasi pembahasan
hingga tahun 2007 dengan kondisi akhir AMIS tidak berhasil mencapai tujuan
misinya. Peperangan masih terjadi, pembunuhan warga sipil dan pembakaran
desa-desa tak terhenti, serta belum ada kesepakatan final antara pihak-pihak yang
bertikai karena kesepakatan-kesepatan yang pernah dibuat selalu dilanggar.
Mengenai berbagai kegagagalan AMIS dalam misinya, di antaranya
karena mandat yang diberikan kepada AMIS sangatlah terbatas dan tidak
mendukung upaya menyeluruh bagi pemulihan situasi kemanan di Darfur.
Menurut Seth Appiah-Mensah, keputusan Dewan Keamanan Uni Afrika pada 20
Oktober 2004 untuk memperluas mandat AMIS dibuat berdasarkan asumsi bahwa
pemerintah Sudan akan memikul tanggung jawab utama dalam memberikan
perlindungan dan keamanan kepada penduduk sipil Darfur serta memimpin
pelaksanaan perjanjian HCFA. (Mensah, 2005: 8) Namun sayangnya, pemerintah
Sudan tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut sehingga kekerasan
terhadap penduduk sipil mesaih sering terjadi.
Disamping keterbatasan mandat, AMIS tidak memiliki aturan perang yang
jelas. Personel AMIS ditekankan untuk lebih mengutamakan penggunaan non-
deadly force daripada deadly face ketika berhadapan dengan kelompok
pemberontak Darfur maupun milisi Janjaweed. Penggunaan deadly force hanya
105
diperbolehkan untuk mempertahankan diri. Pasukan AMIS juga hanya
bertanggung jawab untuk melindungi pengamat militer Uni Afrika dalam
melaksanakan tugas beserta peralatan-peralatan Uni Afrika di Darfur. Sedangkan
perlindungan terhadap penduduk sipil tidak dimandatkan secara spesifik. Kendala
tersebut akhirnya tidak dapat mencegah berbagai pelanggaran terhadap
kesepakatan yang semestinya berjalan.
Kendala terakhir Operasi Uni Afrika di Darfur, dan yang paling
menentukan hingga akhir 2007, adalah peralatan dan logistik yang tidak memadai.
Hal ini tentunya tidak lepas dari terbatasnya dana operasional Uni Afrika di
Darfur. Jumlah peralatan-peralatan yang mendukung operasi militer seperti
telepon satelit, kendaraan maupun perlengkapan kantor yang dimiliki AMIS
sangatlah terbatas. Bahkan di akhir-akhir misi, para personil tidak mendapatkan
gaji yang menjadi hak mereka. Pada bulan Mei 2007, Uni Afrika menyatakan
bahwa AMIS telah berada pada titik keruntuhannya. Dalam bulan-bulan
sebelumnya, tujuh personil pasukan penjaga perdamaian tewas, ditambah lagi
kekurangan dana yang menyebabkan gaji prajurit tak dibayar selama beberapa
bulan.
xii
Daftar Pustaka
BUKU
Adnan, Abdul Hadi. 2007. Perkembangan Hubungan Internasional di
Afrika. Bandung : Angkasa Bandung.
Alex J. Bellamy. 2005. “Responsibility to Protect of Tojan House? The
Crisis in Darfur and Humanitarian Intervention After Iraq”. Ethnic and
Internastional Relations, vol. 5. United States:Blackwell Pulishing.
Barbara Harff dan Ted Robert Gurr. 2004. Ethnic Conflict in World
Politics. Washington:Westview Press.
Baylis, John and Steve Smith. 2005. The Globalization of World Politics
An Introduction to International Relations. New York: Oxford Unversity Press.
Bennet, A. Lerroy. 1979. International Organization. New Jersey :
Prentice Hall Inc.
Badescu & Bergholm, The African Union, dalam Black, David &
Williams, 2010. The International Politics Of Mass Atrocities:The Case Of
Darfur. New York:Routledge.
Bowet, DW. 1970. The Law of International Institution. 2nd ed ,
London:Butterworth.
Cockett, Richard. 2010. Sudan:Darfur and The Failure Of an African
State. Yale:Yale University Press.
Cresswell, J.W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design.
California:Sage Publications.
D.W. Ziegler. 1984. War Peace and International Politics. Boston:Little
Brown and Company.
Edmon J. Keller, Rethinking African Regional Security dalam David Lake
dan Patrick Morgan, 1997. Regional Order : Building Security In A New World.
Pensylvania:The Pensylvanian State University Press.
Evans, Gareth. “The Responsibility to Protect”, ( Washington, D.C:
Brookings Institution Press, 2008)
Holsti, K.J. 1992. Politik Internasional: Suatu Kerangka Teoritis. Bandung:
Binacipta.
xiii
Holsti, K.J, Theories of Conflict Resolution and Realities of International
Politics, dalam Ramesh Thakur (ed), 1988. International Conflict Resolution.
Boulder : Westview.
Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhous. 2002. Resolusi Damai
Konflik Kontemporer : Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah
Konflik Bersumber Politik, Sosial dan Ras. Jakarta : Rajawali Pers.
John Burton 1990. Conflict: Resolution and Provention. New York : St.
Martin’s Press Inc.
Kusumohamidjojo, Budiono. 1987. Hubungan Internasional : Kerangka
Studi Analisis. Bandung:Binacipta.
Mauna Afrikana, Boer. 2005. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan
dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. PT Alumni:Bandung.
Mamdani, Mahmood. 2009. Saviours And Survivors "Darfur, Politics And
The War On Terror”, Cape Town:HSRC Press.
Mas’oed, Mohtar & Colin Mcandrews. 1978. Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Moleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif (Edisis Revisi).
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Pruiner, Gerard. 2005. Darfur:The Ambigious Genocide. London : C.Hurst
& Co.
Rahman, Agus R. 2000. “Budaya Politik Islam : Studi Khasus Sudan”
dalam Syamsur Dam, Perkembangan Sejarah dan Budaya Politik Afrika, Jakarta:
PPW-LIPI.
Ramsbotham, Oliver, Tom Woodhouse and Hugh Miall. 2005.
Contemporary Conflict Resolution: The Prevention, Management and
Transformation of Deadly Conflict. Second Edition. Cambrige:Polity Press.
Situmorang dalam Andre Pareira (ed). 1999. Perubahan Global dan
Perkembangan Studi Hubungan Internasional. Bandung:Citra Aditya Bakti
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Keempat.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Wallesnten, Peter. 2002. Undestranding Conflict Resolution : War, Peace,
And The Global System. London : SAGE Publication Ltd.
xiv
JURNAL, MAJALAH DAN KORAN
Appiah-Mensah, Seth. African Union Critical Assignment in Darfur :
Challenges and Constraints. Vol. 14 no. 2 2005 African Security Review.
Cilliers, Jakkie and Kathryn Sturman. The Right Intervention ;
Enforcement Challenges for The African Union. Vol. 11 no 3 2002. African
Security Review.
Collins, Robert O. Disaster in Darfur. terdapat pada
http://journals.hil.unb.ca/index.php/JCS/article/view/4511 diakses pada tanggal
20 Oktober 2012.
“Genoside di Jantung Afrika”, Gatra, No. 33, Tahun X, 3 Juli 2004
E. Brow, Michael “Ethnic and International Conflict: Causes and
Implications,” dalam The Challenges of Managing International Conflict
(Chester a Crocker) (Washington DC: United States of Peace Press, 2001)
Human Right Watch. Sudan Darfur in Flames: Atrocities in Western
Sudan. Vol. 16 no. 5 April 2004.
Human Right Watch. Imperative for Immediate Change The African
Union Mission in Sudan. Vol. 18 no. 1 (A) 2006.
Katsfur, Nelson. Sudan’s Darfur : Is It Genoside ?. Current History, Mei
2005.
Lynch, Colum. African Union Force Low on Money, Supplies and
Morale," Washington Post 13 Mei 2007 http://www.washingtonpost.com/wp-
dyn/content/article/2007/05/12/AR2007051201567.html?hpid=moreheadlines
Legum, Collin. “The Crisis Over Chad : Colonel Gaddafy’s Sahelian
Dream”, dalam Colin Legum (ed), Africa Contemporary Record, vol. 13. 2002
Martin, Guy. Conflict Resolution in Africa 2006 Dec Vol. 4 No. 2 - Africa
Peace and Conflict Journal.
Mathew, K. Is Afro-Pessimis on The Wane? Prospect for Africa in The
New Millennium. Vol 40 no. 1 2000. Africa Quartly.
McDoom, Opheera. Darfur Rebels Holding Up to 40 African Union
Monitors. Reuters, 10 Oktober 2005.
http://www.redorbit.com/news/international/265865/darfur_rebels_holding_up_to
_40_Uni Afrika_monitors/
xv
Milasari Rahmawati, Frieda Tesis. 2010. Peacekeeping Operation PBB
Pada Konflik Darfur Tahun 2004-2008. Universitas Indonesia.
Murithi, Tim. The African Union Doctrine of Non-Indifference : The
African Union’s Transition from Non-Intervention to Non-Indifference: An Ad
Hoc Approach to the Responsibility to Protect?. 2009. Dapat diakses melalui
library.fes.de/pdf-files/ipg/ipg-2009-1/08_a_murithi_us.pdf pada tanggal 16
November 2012.
Powell, Kristiana and Thomas Kwasi Tieku. The African Union’s New
Security Council of The Uni Africa Closer to a Pax Pan-Africana?. Volume L.X,
no. 4 2005. International Journal.
Purwono, Andi. Intervensi Asing dalam Krisis Darfur. Suara
Merdeka 5 Agustus 2004. Dapat diakses melalui
http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/05/opi3.htm
Piiparinen, Touko. ”The lessons of Darfur for the future of humanitarian
intervention”. Jurnal Global Governance edisi Juli-September 2007. Vol 13.3.
Lynne Rienner Publisher.
Scott Str. Darfur and the Genocide Debate. Vol. 8 Januari/February 2005.
Foreign Affairs.
Slim, Hugo. The Internasional Responsse. African Affairs. vol. 80 no. 5,
October 2005.
Sudan in Other Wars. ICG Africa Briefing, 25 Juni 2003.
Summary of the Report of the Secretary-General on “Implementing the
Responsibility to Protect” 2009
http://www.responsibilitytoprotect.org/files/ICRtoP%20Summary%20of%20SG%
20report.pdf
Summary Of The Responsibility to Protect. The International Commission
on Intervention and State Sovereignty, 2001. Dapat diakses melalui
http://responsibilitytoprotect.org/ICSS%20report.pdf
Trivedi, Sonu. Uni AFRICA and EU : A Comparative Study in Continental
Integration. Vol. LIX no. 3 & 4 Jul-Des 2003. India Quartely.
Udombana, Nsonggurua J. Unfinished Bussines; Conflict, The African
Union and The New African Partnership for Africa’s Development. Vol no. 35
2003. The George Washington International Law Review.
xvi
U.S., Britain Press Warring in Darfur to Sign Deal. The Jakarta Post,
Wednesday, May 3, 2006.
Young, Tim. Sudan : Conflict in Darfur. Research paper 04/51 23 June
2004 International Affairs and Defense Section, House of Common Library
www.parliament.uk/commons/lib/research/rp2004/rp04-051.pdf
Wall, Alex de Briefing : Darfur, Sudan : Prospects for Peace, African
Affairs, vol. 104, no. 414, 2005.
WEBSITE
African Union. Report of The Chairperson of The Commission on The
Station in the Sudan. 13 April 2004 dalam <http://www.africa-
union.org/DARFUR/> diakses pada 18 Desember 2012.
Afrcan Union. Agreement On Hunamitarian Ceasefire On The Conflict In
Darfur. 8 April 2004 <http://www.africa-union.org/DARFUR/> diakses pada 18
Desember 2012.
African Union. Agreement With The Sudanese Parties On The Modalities
For The Establisment Of The Ceasefire Commission And The Deployment Of
Observer In Darfur. 28 Mei 2004. <http://www.africa-union.org/DARFUR/>
diakses pada 18 Desember 2012.
African Union. Agreement On Humanitarian Ceasefire On The Conflict In
Darfur : Status Of Mission Agreement (SOMA) And Management Of The
Ceasefire Comision In The Darfur Area Of The Sudan (CFC). Khartoum 4 Juni
2004. <http://www.africa-union.org/DARFUR/> diakses pada 18 Desember 2012.
African Union. Peace And Security Council 12th
Meeting, “Report of The
Chairperson of The Commission on The Situation in Darfur (The Sudan).
PSC/MIN/2(XII) Addis Ababa, Ethiopia, 4 Juli 2004, hal. 5-6, dalam
<http://www.africa-union.org/DARIUR/Report%20-%20Sudan%20_Darfur.pdf>
African Union. Protocol Between The Govermment Of The Sudan (GoS),
The Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A) And The Justice And Equality
Movment (JEM) On The Improvement Of The Humanitarian Situation In Darfur.
Abuja, 9 November 2004. <http://www.africa-union.org/DARFUR/> diakses pada
18 Desember 2012.
African Union. Protocol Between The Govermment Of The Sudan (GoS),
The Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A) And The Justice And Equality
Movment (JEM) On The Improvement Of The Humanitarian Situation In Darfur.
Abuja, 9 November 2004. <http://www.africa-union.org/DARFUR/> diakses pada
18 Desember 2012.
xvii
African Union. Communique (PSC/PR/Comm.(XVII)), African Union
Peace And Security Council 17th
Meeting. 20 oktober 2004. Addis Ababa
Ethiopia, hal. 1. <http://www.africa-union.org/DARFUR/> diakses pada 18
Desember 2012.
Article 4 The Constitutive Act of The African Union. 2002. Tersedia di
<http://www.africa-union.org/root/Uni Afrika/aboutUni
Afrika/constitutive_act_en.html> diunduh pada tanggal 20 Oktober 2012.
Darfur Destroyed Ethnic Cleansing By Government And Militia Forces In
Western Sudan. Tersedia di
<http://www.hrw.org/reports/2004/sudan0404/index.html> diunduh 20 Oktober
2012.
Darfur Conflilct Zone Map. 6 Desember 2006. tersedia di
<http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/6213202.htm> diunduh pada tanggal 15
Desember 2012.
Darfur Peace Agreement http://www.sudantribune.com/IMG/pdf/Darfur_Peac_Agreement-2.pdf diunduh pada tanggal 10 Agustus 2013
Darfur talks start despite split. BBC News, 15 September 2005 dalam
<http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/4250384.stm> diakses pada 5 November 2013.
Ghali, Butros-Butros Role of regional organizations in peacekeeping and
security http://www.franceonu.org/france-at-the-united-nations/thematic-
files/peace-and-security/role-of-regional-organisations-in/france-at-the-united-
nations/thematic-files/peace-and-security/role-of-regional-organisations-
in/article/role-of-regional-organizations-in.
Pendapat perwakilan HRW Dalam
<http://www.pbs.org/newshour/bb/africa/july-des/darfur_10-s.html> diakses pada
18 Desember 2012.
Protocol Relating To The Estabilishment of The Peace and Security
Council of The Uni Africa. tersedia di <http://www.Uni
Afrika.int/en/content/protocol-relating-establishment-peace-and-security-council-
african-union> diunduh pada tanggal 20 Oktober 2012.
Report of the Ceasefire Commission on the situation in Darfur conflict at
the Joint Commission Meeting. N’djemena, Chad, 16-17 February 2005.
<http://www.africa-union.org/DARFUR/> diakses pada 18 Desember 2012.
xviii
Report Of The Chairperson Of The Commission On The Situation In The
Sudan. 2004. tersedia di <www.africa-
union.org/Reports/13%20April%20Report%20Chairpers> diunduh pada
tanggal 22 Oktober 2012.
The Establishment of Peacekeeping Operation. 18 Desember 2012.
tersedia di <http://unamid.unmissions.org/DefUni
Afrikalt.aspx?tabid=10998&language=en-US> diakses pada 18 Desember 2012.
UNAMID Background
<http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unamid/background.shtml>
diakses pada 5 November 2013.
xxi
Lampiran I
Narasumber : Abdullah Al Rahim Al Siddiq
Jabatan : Duta Besar Sudan untuk Indonesia
Waktu Wawancara : 30 Oktober 2013
Keterangan : Wawancara dilakukan melalui tatap muka langsung
dengan duta besar Sudan di kantor Kedutaan Besar Sudan
yang beralamat di Jln. Prof. Dr. Satrio Blok C-4 Kav. No
22. Kuningan Timur – Jakarta Selatan
HASIL WAWANCARA
P : Bagaimana pemerintah pusat Sudan melihat konflik yang terjadi di Darfur
sejak awal tahun 2000-an?
J : Kami (pemerintah Sudan) melihat konflik itu hanya pertikaian antara
masyarakat nomaden baik itu dari luar darfur (dalam areal Sudan) maupun
masyarakat luar Sudan seperti Chad, Libya yang masuk ke Sudan. Biasanya
berebutan lahan pertanian atau tanah. Kami menilai itu normal dan terjadi di
negara-negara lain. Darfur itu wilayah terbesar di Sudan bahkan tiga kali lebih
besar dari Perancis. Darfur juga dikelilingi oleh lima negara, kami tidak
menafikkan dibalik adanya arus masyarakat nomaden aliran senjata juga banyak
masuk.
P : Menurut pemerintah Sudan, bagaimana sebenarnya akar masalah dari konflik
Darfur?
J : Akar Permasalahan hanya masalah masyarakat nomaden tadi. Negara Sudan
itu subur, karena ada dua Sungai Nil mengalir didalamnya. Makanya negara kami
disebut Blue Nile. Kami makan dari hasil pertanian kami sendiri, berpakaian dari
hasil pabrik kami sendiri. Negara kami punya Self Sufficient Policy.
xxii
P : Dalam kacamata Khartoum, apa yang menyebabkan konflik Darfur menjadi
sangat berkepanjangan?
J : Itulah provokasi media-media luar, khusunya media barat. Barat, terutama
Amerika Serikat (AS) yang kami sering sebut Dollar Country ingin sumber daya
alam kami, tentunya minyak dan uranium. Kami produksi 500.000 barrel minyak
per hari. Sumber minyak kami ditemukan dan dikelola oleh Cina, itu yang
membuat AS iri. Dalam kasus lain, kadang juga oposisi mengirim berita yang
tidak berimbang terhadap dunia Internasional. Menanggapi oposisi di Sudan, kami
kira oposisi itu wajar di semua negara demokratis. Tapi kami tegaskan semua
diselesaikan lewat pemilu. Ternyata hasilnya lagi-lagi pemerintah Omar Al-Bashir
kembali menang lewat pemilu yang sah. Kami tidak pernah menggunakan
kekerasan apalagi senjata.
P : Sejak tahun 2003, Darfur telah menjadi sorotan besar dunia. Bagaimana
pemerintah Sudan melihat opini masyarakat internasional mengenai konflik
Darfur sejak 2003 hingga 2007? Dan bagaimana sikap Khartoum mengahadapi
gelombang besar intervensi internasional ketika itu?
J : Kami tetap bertahan pada argumen kami bahwa Sudan, termasuk Darfur itu
aman terkendali. Kami tidak butuh pihak luar mengurus negara kami. Sekali lagi,
dunia internasional terprovokasi oleh opini dan pemberitaan media barat. Barat
tidak kami beri minyak makanya mereka buat isu adanya genosida dan
pemberontakan. Padahal Amerika Serikat lah yang salah satu mendorong dan
mendukung pemberontakan di Sudan Utara dan Selatan termasuk Darfur. Mereka
mendesak kami untuk “Put China Out from Sudan”.
P : Mengapa pada awalnya Sudan menolak keterlibatan langsung PBB dalam
konflik Darfur?
J : Pada awal 2003 kami akui memang ada bentrokan dan melebar. Kami tegaskan
masalah kami bisa diselaikan oleh kami sendiri. Kami pun menolak tentara PBB
bukan keterlibatannya untuk kemanusiaan. Kami tau kalau sudah ada tentara PBB
dibelakangnya ada Amerika Serikat. Kami maunya tentara Afrika bukan tentara
xxiii
dari luar Afrika. Kita juga belajar bagaimana kehancuran di Iraq, Afganistan,
Vietnam yang hancur kalau Amerika Serikat terlibat. Dalam United Nation
Charter juga tertulis PBB tidak boleh intervensi kecuali regional (Afrika) yang
meminta.
P : Apa yang mendasari pemerintah Sudan untuk menerima Uni Afrika sebagai
mediator konflik Darfur?
J : African Problem Only Solved by African Solution. Itu yang perlu semua negara
di luar tahu. Uni Afrika merupakan Organisasi Internasional yang didalamnya ada
negara-negara Afrika yang mengerti masalah di Afrika.
P : Sejak Mei 2004, African Union Mission in Sudan (AMIS) mulai beroperasi di
Darfur, bagaimana pemerintah Sudan menyikapi misi tersebut?
J : Kami sangat memberikan apresisasi yang tinggi kepada AMIS. Terbukti
masalah pemberontakan di awal 2003 berhasil diredam. Melalui peace agreement
kami berhasil damai.
P : Bagaimana sikap pemerintah sudan terhadap pemberontak SLM/A? Tawaran
atau skema solusi apa yang ditawarkan Khartoum untuk kelompok SLM/A?
J : Sudah selesai. Tidak ada lagi pemberontakan. Tapi kami damai diprovokasi
lagi oleh Barat terutama AS. Melalui International Criminal Court (ICC)
pemerintah dibilang melalukan kekerasan dan pendekatan represif terhadap
pemberontak. Padahal kami itu negara muslim. Islam itu cinta damai. ICC itu
dibelakangnya ada AS. Makanya pemimpin-pemimpin Afrika mau menarik diri
dari ICC karena tidak ada keadilan lagi. Mereka tidak pernah bilang AS atau
Israel sudah melakukan genosida massal yang jelas-jelas terlihat. Publik
Internasional banyak yang tidak tahu salah satu pemimpin SLM/A bernama
Abdulwahid Nur itu dilindungi di Israel. Pemberontak dapat dukungan besar dari
AS dan Israel. Kami juga kerap menemukan bantuan kemanusiaan oleh negara
barat di Darfur hanya kedok, ternyata kami menemukan mereka melakukan
xxiv
penyediaan senjata untuk pemberontak. Itu yang menyebabkan kami tidak percaya
oleh negara luar.
P : Menurut pemerintah Sudan, apakah misi AMIS 2004-2007 berhasil atau
gagal? Apa saja indikatornya?
J : Jelas berhasil. Mereka (AMIS) melakukan pekerjaan yang bagus di Darfur.
Perdamaian berhasil tercipta. Hanya lagi-lagi kami dihajar lagi oleh media barat
bahwa AMIS gagal dan pembunuhan oleh pemerintah masih terjadi.
P : Pemberitaan media menganggap AMIS gagal, apa saja faktor-faktor penyebab
kegagalannya sehingga United Nation masuk?
J : Uni Afrika Berhasil. 2007 itu bukan berarti Uni Afrika gagal karena tidak ada
dana atau apapun. Itu adalah pasukan hybird antara PBB dan Uni Afrika. Tapi
tetap, tentaranya dari Afrika, sedangkan penjaganya dari PBB. Semua isu yang
bilang Uni Afrika gagal tidak benar. Melaui peranjian perdamaian Doha,
Pemberontak dan Pemerintah sudah aman.
Keterangan : P : Pertanyaan. J : Jawaban
GAMBAR : PETA DARFUR
Top Related