PERAN IBNU SINA DALAM PENGEMBANGAN SAINS
ISLAM DI PERSIA (980–1037 M)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh:
LAILI SAHLAH
NIM 108022000019
K O N S E N T R A S I T I M U R T E N G A H
PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar S.1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 4 Juni 2014
Laili Sahlah
i
ABSTRAK
Laili Sahlah
Peran Ibnu Sina dalam Pengembangan Sains Islam di Persia (980-1037 M).
Studi ini menjawab satu pertanyaan yaitu bagaimana peran Ibnu Sina
dalam pengembangan sains Islam di Persia (980-1037 M). Untuk menjawab
pertanyaan tersebut digunakan metode historis dengan pendekatan sosiologis.
Dikarenakan dari berbagai sumber tertulis peran Ibnu Sina di Persia (980-1037)
M, begitu besar pengaruhnya baik di dunia Islam maupun di dunia Barat. Akan
tetapi dari berbagai studi ini, penulis belum menemukan keterangan atau
penjelasan yang mendalam, peran dan pengaruh keilmuan Ibnu Sina terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Temuan penulis bahwa Ibnu Sina merupakan
orang yang hebat dan aktif, ia seorang yang ahli di beberapa bidang sains Islam.
Di Persia secara umum Ibnu Sina dikenal sebagai seorang ahli dibidang
kedokteran, ia banyak menemukan temuan-temuan baru yang belum pernah orang
lain dapatkan. Dan Ibnu Sina juga ahli di bidang filsafat dan fisika. Banyak
pemikiran-pemikirannya yang ia tuangkan di karya-karya beliau. Di Barat ia
dikenal dengan nama Avicenna.
ii
KATA PENGANTAR
حيم حمن الره بسم اللّه الره
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas rahmat dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan
salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SWT, yang telah
membawa umatnya kepada pengetahuan serta semangat untuk mencari luasnya
ilmu di dunia ini.
Skripsi yang berjudul “Peran Ibnu Sina dalam Pengembangan Sains
Islam di Persia (980-1037 M)” Alhamdulillah telah penulis selesaikan. Tentunya
tidak terlepas dari kekurangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan penulis, baik
karena lokasi kajian, sumber bacaan ataupun kendala-kendala yang penulis alami
lainnya. Namun halangan dan rintangan tersebut tidak mengurangi semangat dan
kemauan yang diikuti dengan kerja keras dan tindakan serta dorongan dan
bantuan yang datang dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat mengatasi
permasalahan tersebuat secara bertahap, dan terselesainnya skripsi ini merupakan
anugrah yang luar biasa.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidaklah semata
dengan kerja keras penulis sendiri, namun banyak pihak yang telah berpartisipasi
dalam penulisan skripsi ini baik secara moril maupun materil, oleh karena itu
penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih atas kerjasama dan dorongannya.
Dalam hal ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
iii
1. Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda (Alm. H. Syu’aib Hasan) dan
Ibunda (Hj. Hamilah) serta keluargaku yang telah sabar menanti kelulusan
anak dan adik bungsunya ini dan atas doa restunya serta motivasi moril
maupun materil dengan penuh keikhlasan yang sangat berharga bagi
penulis.
2. Prof. Dr. Oman Fathurahman M. Hum. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. H. Nurhasan, MA selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
dan Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Drs. H. M. Ma’aruf Misbah, MA. yang telah banyak membantu dan
memberikan arahan, selama perkuliahan sampai dengan selesainya skripsi
ini.
5. Drs. Azhar Shaleh, MA selaku Dosen Pembimbing yang ditengah
kesibukannya bersedia meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan
memberikan arahan yang sangat berharga kearah terwujudnya skripsi ini.
6. Bapak Drs. Saidun Derani, MA dan H. Nurhasan, MA selaku penguji yang
telah memberikan kritik, saran dan masukan untuk penulis sehingga
selesainya skripsi ini.
7. Bapak Dr. H. Muslih Idris, Lc. MA selaku dosen pembimbing akademik
Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
8. Seluruh dosen program studi Sejarah Kebudayaan Islam yang telah
memberikan banyak ilmu pengetahuan, motivasi serta bimbingan
keilmuannya.
9. Seluruh staf akademik dan pegawai Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Seluruh staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Adab dah Humaniora, dan perpustakaan Iman Jama’ yang telah
menyediakan berbagai sumber yang dibutuhkan untuk menulis skripsi ini.
11. Dan teman-teman seperjuangan Sejarah Kebudayaan Islam angkatan 2008
dan para senior serta adik kelas Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dan memotivasi hingga
terselesainya skripsi ini.
Penulis hanya dapat berdoa semoga amal baik mereka semua mendapatkan
ridho Allah SWT dan dibalas dengan balasan yang berlipat ganda. Amin yaa
Robbal ‘Alamin.
Ciputat, 4 Juni 2014
Laili Sahlah
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1
A. Latar Belakng Masalah........................................................ 1
B. Permasalahan....................................................................... 6
a. Identifikasi Masalah........................................................ 6
b. Pembatasan Masalah....................................................... 6
c. Rumusan Masalah............................................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................ 7
D. Studi Pendahuluan............................................................... 7
E. Metode Penelitian................................................................ 8
1. pendekatan Penelitian...................................................... 8
2. Jenis dan Sumber Data.................................................... 9
a. Jenis Data.................................................................... 9
b. Sumber Data............................................................... 9
3. Metode Pengumpulan Data atau Heuristik..................... 10
4. Analisis Data................................................................... 10
5. Langkah-langkah Penelitian............................................. 11
F. Sistematika Penulisan.......................................................... 13
BAB II PERSIA DI MASA IBNU SINA............................................ 15
A. Kelahiran Ibnu Sina............................................................. 13
B. Pendidikan Ibnu Sina.......................................................... 23
C. Perkembangan Intelektual di Masa Ibnu Sina..................... 22
vi
D. Karya-karyanya Ibnu Sina................................................... 25
BAB III IBNU SINA SEBAGAI ILMUAN.......................................... 30
A. Bidang Filsafat................................................................... . 30
B. Bidang Kedokteran............................................................. 45
C. Bidang Fisika....................................................................... 54
BAB IV PENGARUH KEILMUAN IBNU SINA TERHADAP
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN................... 60
A. Pengaruhnya di Dunia Islam............................................... 60
B. Pengaruhnya di Dunia Barat............................................... 62
C. Perkembangan Ilmu Perngetahuan Pasca Ibnu Sina.......... 64
BAB V Penutup..................................................................................... 67
A. Kesimpulan.......................................................................... 67
B. Saran.................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 69
LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................................................. 73
vii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran I Gambar Tokoh Ibnu Sina........................................................ 73
2. Lampiran II Gambar Ibnu Sina memberikan kuliah tentang anatomi......... 74
3. Lampiran III Gambar Ibnu Sina memberikan kuliah kedokteran................. 75
4. Lampiran IV Karya-karya Ibnu Sina............................................................. 76
5. Lampiran V Gambar cover salah satu buku terjemahan al-Qanun fi Tibb,
yaitu The Canon of Medicine of Avicenna............................ 78
6. Lampiran VI Gambar cover buku autobiografi Ibnu Sina, dalam teks asli
Arab dan terjemahan bahasa Inggris..................................... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persia termasuk salah satu wilayah tempat permulaan pembibitan
peradaban manusia. Dari wilayah ini dikembangkan kebijaksanaan dan wawasan
mengenai berbagai pengalaman hidup bermasyarakat selama ribuan tahun.
Peradaban Persia memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan
peradaban Islam.
Sebelum masuknya Islam, Persia merupakan kerajaan besar dengan
kaisar-kaisarnya yang berkuasa (abad 8 SM - 7 M). Kemudian datang pasukan
Islam untuk menaklukkan daerah kekuasaan Persia. Dan pada akhirnya Persia
jatuh ketangan Islam pada masa khalifah Umar ibn Khattab dalam perang yang
terkenal yaitu perang Qadisiyah.1
Setelah masuknya Islam (8 H/630 M) dan penaklukan Persia oleh orang-
orang Arab, perkembangan kebudayaan terpenting dalam Islam (di bidang sains
dan teknologi)2 adalah konstribusi para pemikir dan cendekiawan Persia yang
1Perang Qadisiyah merupakan perang yang sangat hebat, yang terjadi pada tahun 637 M
di Qadisiyah dengan kisrah Persia waktu itu Rustam-e-Farrokhzad (Yazdagird III), sementara
pihak Arab dipimpin oleh Sa’d ibn Abi Waqqash. Kaum Muslimin menggunakan taktik menyogok
tentara-tentara Persia agar membelot dan mengkhianati negara mereka. Rustam terbunuh, pasukan
besar sasaniyah kocar kacir dalam kondisi panik dan semua dataran rendah Irak yang subur
disebelah barat sungai Tigris (Diljah) terbuka lebar bagi para penakluk. Kemenangan ini
mengakibatkan jatuhnya ibu kota Selucia-Ctesiphon yang menandai berakhirnya perlawanan
Persia. Ini merupakan kemenangan yang besar. Lihat buku : Philip K. Hitti, History of Arabs,
terjemahan R. Cecep Lukman dan Dedi Selamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2002), h. 194. 2Sains di sini adalah kumpulan segala ilmu menjadi tunggal (pluribus unum, plurality in
unicity) mencakup disiplin-disiplin ilmu pasti dan ilmu pengetahuan alam (sciences), juga ilmu
sosial (sosial sciences), serta ilmu rohani-budaya (arts, humanities). Sedangkan teknologi sendiri
dimaksudkan bahwa ilmu pengetahuan (sains) yang diterapkan kepada teknik dan industri secara
2
pada permulaan abad-abad Islam telah menulis dalam bahasa Arab dan atas nama
Islam. Penaklukan-penaklukan oleh Arab selama abad-abad awal Islam
(pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah)3 ini membawa mereka kepada hubungan
yang dekat dengan peradaban-peradaban besar dunia. Dan salah satu wujud dari
peradaban tersebut adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat, dan
ilmu-ilmu lainnya.4
Banyak faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan sains dan
filsafat di masa dinasti Abbasiyah, di antaranya : Pertama, kontak antara Islam
dan Persia menjadi jembatan berkembangnya sains dan filsafat karena secara
kultural Persia banyak berperan dalam pengembangan tradisi keilmuan Yunani.5
Kedua, etos keilmuan para khalifah Abbasiyyah tampak menonjol terutama pada
dua khalifah terkemuka yaitu Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun yang begitu
mencintai ilmu. Ketiga, Peran keluarga Barmak yang sengaja dipanggil khalifah
untuk mendidik keluarga istana dalam hal pengembangan keilmuan. Keempat,
aktivitas penerjemahan literatur-literatur Yunani ke dalam bahasa Arab demikian
besar. Kelima, relatif tidak adanya pembukaan daerah kekuasaan Islam dan
pemberontakan-pemberontakan menyebabkan stabilitas negara terjamin. Keenam,
adanya peradaban dan kebudayaan yang heterogen di Baghdad menimbulkan
produksi massal modern meninggikan tingkat hidup manusia melalui perombakan kembali alam
sekitar, memaksa alam mengabdi kepada manusia. Lihat buku : S.I. Poeradisastra, Sumbangan
Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), Cet.3, h. 3. 3Dinasti Umayyah di Damaskus (660-750 M) dilanjutkan oleh Dinasti Abbasiyah (750-
1258 M) di Baghdad. Lihat buku : S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan
Peradaban Modern, h. 12-15. 4Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam : Rekontruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, (Jakarta: PT Grasindo, 2002), h.147 5Salah satu lembaga yang berperan dalam penyebaran tradisi helenistik (kebudayaan
Yunani) di Persia adalah Akademi Jundishapur, terdapat pusat-pusat ilmiah Persia lainnya yaitu
Salonika, Ctesiphon, dan Nishapur. Lihat juga buku : Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam,
h.147.
3
proses interaksi antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain. Ketujuh, situasi
sosial Baghdad yang kosmopolit di mana berbagai macam suku, ras, dan etnis
serta masing-masing kulturnya yang berinteraksi satu sama lain, mendorong
adanya pemecahan masalah dari pendekatan intelektual.6
Ilmu pengetahuan (sains) Islam juga mengalami kemajuan yang
mengesankan melalui orang-orang kreatif seperti al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi, Ibnu
Sinan, Ibnu Sina (Avicenna), al-Masudi, at-Tabiri, al-Ghazali, Nasir Khuruss,
Omar Khayyam dan lain-lain. Sains Islam ini telah melakukan investigasi dalam
ilmu kedokteran, teknologi, matematika, geografi, dan bahkan sejarah.7 Dan disini
akan dibahas lebih mendalam mengenai peran Ibnu Sina dalam pengembangan
sains Islam di Persia.
Syaikh Abu Ali al-Husain Ibn Sina (Ibnu Sina) yang di Barat dikenal
dengan nama Avicenna dan wafat pada tahun 1037 M adalah kelahiran Persia
yaitu di Afshanah (desa kecil dekat Bukhara “Ibukota Dinasti Samaniyyah”,
wilayah Uzbekistan yang kemudian menjadi Persia).8
Ibnu Sina adalah anak dari seorang Gubernur Khormithan. Dia dikenal
sebagai otodidak yang amat tekun dan brilian. Tidak seorang pun yang
memungkiri kecerdasan otaknya yang luar biasa serta daya ingat yang sangat kuat
sehingga dia menjadi seorang dokter, filsuf dan saintis terbesar Islam.9
6Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, h.147-149.
7Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 17. 8M.Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim Yang Mengubah Dunia, (Yogyakarta:
DIGLOSSIA, 2007), h. 48. 9Muhammad Nur Effendi, Cendekiawan Muslim : Pembina Tamadun dan
Kecemerlangan Umat, (Jakarta: Perniagaan Jahabersa, 1997), Cet.1, h.152-153.
4
Ibnu Sina adalah orang yang pertama kali menunjukkan peranan udara
sebagai penyalur menularnya penyakit. Bukunya Al-Qanun fi Al-Tibb (buku
pedoman kedokteran) merupakan buku yang terluas dipergunakan oleh kalangan
kedokteran baik di daerah Islam, maupun di Eropa, di mana buku tersebut
diterbitkan di dalam terjemahan Latin. Bahkan, buku aslinya dalam bahasa Arab
dicetak di Roma pada tahun 1593 M, tidak lama setelah adanya percetakan bahasa
Arab di sana. Terutama pada abad ke-16 M, buku tersebut mempunyai pengaruh
besar di kalangan kedokteran. Namun, buku ini masih dipergunakan juga sampai
abad ke-19. Buku ini juga menunjukkan pengetahuan anatomi.10
Selain ahli di bidang kedokteran Ibnu Sina juga seorang filsuf. Salah satu
filsafat Ibnu Sina adalah filsafat jiwa. Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang
khusus terhadap pembahasan kejiwaan. Keberhasilannya dalam menjabarkan
metode-metode terapi jiwa secara praktis telah memberikan kontribusi yang besar
bagi kemajuan sains Islam. Namun, nama Ibnu Sina barangkali hanya terdengar
sebagai seorang dokter atau ilmuan muslim, tapi lebih dari itu banyak yang tidak
mengenalnya. Padahal beliau adalah filsuf awal yang menjelaskan konsep jiwa
secara komplit. Sebagaimana Al-Farabi, dalam filsafatnya jiwa Ibnu Sina
menganut paham pancaran. Dari Tuhan memancar Akal Pertama, dan dari Akal
Pertama memancar Akal Kedua dan Langit Pertama; demikian seterusnya
sehingga mencapai Akal Kesepuluh dan bumi. Dari Akal Kesepuluh memancar
10
S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, h. 47.
5
segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal Pertama
adalah malaikat tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril.11
Dan selain ahli di bidang kedokteran dan filsafat, Ibnu Sina juga ahli di
bidang fisika. Fisika berhubungan dengan prinsip-prinsip tertentu dan tentang hal-
hal yang terkait dengan benda-benda alam. Kajian yang dikemukakan Ibnu Sina
dalam masalah ini adalah bersifat teori, dan obyeknya yaitu benda yang wujud,
dimana ia terdapat dalam perubahan, diam dan bergerak.12
Dari paparan di atas penulis berusaha menjelaskan bahwa begitu besar
peran seorang Ibnu Sina terhadap pengembangan sains Islam di Persia. Secara umum
Ibnu Sina sangat dikenal sebagai seorang ahli di bidang kedokteran, namun dari
beberapa sumber yang penulis baca,13
Ibnu Sina juga ahli di bidang ilmu
pengetahuan yang lain seperti filsafat dan fisika. Maka dari itu menurut penulis,
ini menjadi salah satu hal yang penting untuk diangkat, bahwa Ibnu Sina tidak
hanya ahli di bidang kedokteran atau pengobatan.
Atas dasar inilah penulis tertarik untuk menulis peranan beliau dalam
bidang sains Islam di Persia dengan judul Peranan Ibnu Sina Dalam
Pengembangan Sains Islam Di Persia (980 – 1037 M).
11
Harun Nasution, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), Cet. 3,
h.70. 12
H.A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. 1, h. 197. 13
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 237.
6
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas penulis mengidentifikasi ada
beberapa hal yang perlu diungkapkan. Antara lain dalam bab ke-2 tentang Persia
di masa Ibnu Sina, mulai dari kelahirannya, pendidikannya, perkembangan
intelektual di masa Ibnu Sina sampai karya-karya Ibnu Sina.
Mengenai Ibnu Sina sebagai ilmuan, yaitu di bidang filsafat, kedokteran
dan fisika akan dibahas pada bab ke-3. Selanjutnya pada bab ke-4 akan dijelaskan
pengaruh keilmuan Ibnu Sina terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, di sini
penulis menitikberatkan pada pengaruhnya di Dunia Islam, pengaruhnya di Dunia
Barat dan perkembangan ilmu pengetahuan pasca Ibnu Sina.
2. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, permasalahannya dibatasi dalam hal upaya Ibnu
Sina mengembangkan sains Islam di Persia yaitu dalam bidang filsafat,
kedokteran dan fisika. Adapun waktunya yaitu dari lahirnya Ibnu Sina (980 M)
sampai beliau wafat (1037 M), dimana dalam perjalanan hidupnya beliau
mempunyai peranan besar dalam pengembangan sains Islam di Persia.
3. Rumusan masalah
Rumusan penelitian ini adalah bagaimana peran Ibnu Sina dalam
pengembangan sains Islam di Persia. Studi ini ingin menjawab masalah diatas
melalui sumber tertulis atau dokumen. Adapun sub-sub pertanyaannya adalah :
a. Bagaimana Persia di masa Ibnu Sina?
b. Bagaimana Ibnu Sina sebagai ilmuan?
7
c. Bagaimana pengaruh keilmuan Ibnu Sina terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan peran Ibnu Sina dalam
pengembangan sains Islam di Persia. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis, dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam masalah
ini.
2. Bagi komunitas akademik, khususnya fakultas Adab dan Humaniora
dalam bidang kajian Sejarah dan Kebudayaan Islam dapat dijadikan
masukan untuk penulisan karya ilmiah dalam bidang kesejarahan
khususnya mengenai kontribusi tokoh besar di Persia.
3. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan
yang berguna dalam memperkarya koleksi perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah pada umumnya di Fakultas Adab dan Humaniora dan
jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.
D. Studi Pendahuluan
Dari penelusuran penulis lakukan, belum ditemukan adanya studi yang
bersifat komprehensif tentang peran Ibnu Sina dalam pengembangan sains Islam
di Persia yang berdampak terhadap kemajuan dan peningkatan pendidikan pada
generasi-generasi sesudahnya dalam berbagai bidang misalnya filsafat,
kedokteran, dan fisika.
8
Memang ada beberapa studi yang dilakukan terkait dengan subjek
penelitian di atas misalnya kajian Saharawati Mahmouddin14
terkait dengan
persoalan tersebut. Studi Saharawati Mahmouddin untuk menyelesaikan S3 di
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya hanya
menjelaskan tentang siapa Ibnu Sina dan peranannya di bidang kedokteran dan
belum memberikan informasi peranan beliau dibidang filsafat dan fisika.
Dengan demikian studi ini dapat melengkapi penelitian di atas tentang
Ibnu Sina dan peranannya secara lebih komprehensif dalam mengembangan sains
di Persia.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Sartono Kartodirjo seorang sejarawan besar Indonesia mengatakan
bahwa peristiwa sejarah itu tidak hanya terjadi dengan melihat satu aspek,
melainkan harus dilihat dari beberapa aspek, dan supaya peristiwa masa
rekontruksi sejarah masa lampau itu lebih bersifat komfrehensif maka harus
ditekankan dengan berbagai pendekatan, seperti dari mana melihatnya, apa yang
harus dikaji, unsur mana saja yang harus diungkapkan, sosiologi, antropologi,
sosial, budaya, politik, agama, yang terkait dengan interpretasi data untuk menjadi
sebuah peristiwa sejarah.15
14
Saharawati Mahmouddin, Sistem Kedokteran Islam : Studi Konsep Kesehatan Mental
Ibnu Sina, (Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011), h. 172. 15
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Penelitian, (Jakarta:
Gramedia, 1992), h. 4-5, 144-156.
9
Dalam penulisan skripsi ini pendekatan yang paling tepat dengan
penelitian yang penulis lakukan adalah lebih kepada pendekatan sosiologi karena
identik dengan perubahan sosial, peranan dan status sosial dalam mengungkapkan
fakta historis terkait uraian skripsi ini.
2. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan adalah Persia di masa
Ibnu Sina, Ibnu Sina sebagai ilmuan dan pengaruh keilmuan Ibnu Sina terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Sumber data
1). Sumber Data Primer
Beberapa sumber yang penulis anggap sebagai sumber primer, pertama
adalah , Avicenna (980-1037), A Treatise on the Canon of Medicine of Avicenna
(Terj), (New York: AMS PRESS, 1973), buku ini menjadi sumber primer bagi
penelitian ini, karena berisi tentang ikhtisar pengobatan Islam Ibnu Sina yang
ditulis dalam terjemahan bahasa inggris dari kitab al-Qanun fi Al-Tibb.
Dan kedua adalah William E. Gohlman, The Life of Ibn Sina: A Critical
Edition and Annotated Translation (New York: State University of New York
Press, 1974). Alasan penulis menjadikan buku ini sebagai sumber primer karena
buku ini berisi autobiografi Ibnu Sina, dalam teks asli Arab dan terjemahan
bahasa Inggris.
10
2). Sumber Data Sekunder
Adapun sumber data sekunder antara lain: pandangan, tulisan orang yang
memiliki relevansi dengan sumber data primer yang penulis dapatkan dari buku
dan artikel. Di antaranya : pertama, buku Dr. Musthofa Ghalib, Fi Sabil Mausu’ah
Falsafiyyah Ibnu Sina, (Beirut: Daar wa Baktabah al-Hilaal, 1979), buku ini berisi
tentang biografi Ibnu Sina, perjalanan filsafat Ibnu Sina dan juga mengenai ilmu
kedoteran Ibnu Sina yang ditulis dalam teks Arab. Kedua, buku Mehdi Nakosteen,
Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad
Keemasan Islam, (surabaya: Rislah Gusti, 1995), buku ini berisi tentang ruang
lingkup dan tingkat ilmu pengetahuan Muslim antara tahun 750-1350 M, dan
menunjukkan pengaruh serta dampak ilmu pengetahuan ini pada sekolah-sekolah
Kristen Latin di Eropa Barat. Dan ketiga, buku Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), buku ini berisi tentang
beberapa filsuf Muslim dan di antaranya adalah Ibnu Sina. Buku ini menjelaskan
pemikiran filsafat Ibnu Sina.
3). Metode Pengumpulan Data atau Heuristik
Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, yaitu menelusuri sumber
data dari berbagai bacaan baik yang bersifat primer maupun sekunder. Tujuannya
untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan berbagai material yang
terdapat di ruangan, baik perpustakaan publik maupun pribadi (privat library),
misalnya buku-buku, dokumen, koran, majalah, catatan pribadi, monografi,
catatan kisah sejarah, hasil penelitian yang dipandang masih berkaiatan dengan
11
topik masalah.16
Di sini penulis mendapatkan sumber tertulis di perpustakaan
utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora dan perpustakaan Iman Jama’.
4). Analisis Data
Data yang terkumpul di editing dan kemudian diklasifikasikan untuk
dikategorikan. Selanjutnya, data yang terkumpul dipilah berdasarkan kaitannya
dengan subyek kajian. Kemudian dilakukan analisis untuk mengungkapkan
peranan Ibnu Sina dalam pengembangan sains Islam di Persia. Jadi, penelitian ini
bersifat deskriptif-analitis.
5). Langkah-langkah Penelitian
Metode penulisan skripsi yang akan dipakai penulis adalah menggunakan
metode penelitian sejarah menurut pandangan Louis Gotchalk, metode penulisan
ini menggunakan beberapa cara, yaitu (1) Pengumpulan objek data (Heuristik)
yang relevan baik secara tercetak ataupun tertulis (2) Pengolahan dan klasifikasi
data (Verifikasi/Kritik) dengan menyingkirkan bahan-bahan bagian yang dianggap
tidak relevan ; (3) Pengumpulan kesaksian (Interpretasi/Klasifikasi) yang dapat
dipercaya ; (4) Penyusunan kesaksian (Historiografi) yang dapat dipercaya itu
menjadi suatu kisah untuk pengkajian yang berarti.17
Terkait empat kegiatan dalam metode sejarah tersebut, maka penelitian
dalam penulisan skripsi ini akan dilakukan dengan tahap-tahap berikut ini :
1. Heuristik: yaitu pencarian data atau pengumpulan data sumber sejarah
serta beberapa tulisan tentang Persia di masa Ibnu Sina, Ibnu Sina
16
Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”, dalam Koentjaraningrat, (ed.),
Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1979, h. 61-92, 87. 17
Louis Gotschalk, Mengerti Sejarah (Terj), (Jakarta : UI Press, 1989), h. 23-24.
12
sebagai ilmuan khususnya ilmu filsafat, kedokteran, dan fisika, serta
pengaruh keilmuan Ibnu Sina terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan. Dalam pengumpulan data petama penulis akan
melakukan pencarian data baik sumber primer maupun sumber
sekunder. Proses pencarian data baik primer maupun sekunder
dilakukan dengan menggunakan library research, dengan cara
mendatangi beberapa perpustakaan. Diantaranya perpustakaan UIN
Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Adab dan Humaniora, dan
Perpustakaan Iman Jama’.
2. Verifikasi/Kritik: yaitu setelah melakukan pengumpulan sumber-
sumber, maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah kritik
sumber. Kritik sumber adalah sebuah usaha untuk mendapatkan
sumber-sumber yang relevan dengan cerita sejarah yang ingin disusun
sesuai dengan judul. Dalam hal ini yang harus diuji adalah keabsahan
tentang keaslian sumber yang dilakukan melalui kritik dan
keabsahan,18
baik kritik terhadap sumber primer maupun skunder.
3. Interpretasi/Klasifikasi: yaitu penafsiran sejarah atau disebut juga
dengan analisis sejarah, yang bertujuan agar data yang ada mampu
untuk mengungkapkan permasalahan yang ada, sehingga diperoleh
pemecahannya. Dalam hal ini penulis akan menyampaikan fakta yang
satu dengan yang lainnya yang telah di temukan dari hasil heuristik
18
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 54-59.
13
dan verifikasi. Setelah sumber-sumber diklasifikasikan kemudian
sampai kepada tahap penulisan.
4. Historiografi: yaitu kajian tulis yang membahas tentang peristiwa atau
tokoh, tahap ini adalah adalah tahap yang terakhir dalam penulisan
skripsi. Setelah melakukan tahap heuristik, verifikasi dan interprestasi
selanjutnya historiografi dengan menulis dalam satu urutan yang
sistematik yang telah di atur dalam pedoman skripsi. Dalam penulisan
ini penulis berusaha menyusun cerita sejarah yang utuh versi penulis.
F. Sistematika Penulisan
Agar lebih terarah pembahasan pada skripsi ini, penulis membaginya
dalam lima bab dan menyajikannya ke dalam tiga bagian : awal, tengah dan akhir.
Bagian awal terdiri atas halaman sampul, halaman judul, halaman persetujuan
pembimbing, halaman pengesahan, halaman pengesahan, halaman abstrak,
halaman pengisian kata pengantar, halaman daftar isi dan halaman daftar istilah.
Pada bagian pertengahan terdiri dari uraian bab yang dirinci sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, yang terdiri atas uraian Latar Belakang Masalah,
Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Studi Pendahuluan, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Berisi tentang Persia di Masa Ibnu Sina, Dimulai dari Kelahiran
Ibnu Sina, Pendidikan Ibnu Sina, Perkembangan Intelektual di Masa Ibnu Sina,
dan Karya-Karya Ibnu Sina.
14
BAB III : Berisi tentang Ibnu Sina Sebagai Ilmuan, Dimulai dari Bidang
Filsafat, Bidang Kedokteran dan Bidang Fisika.
BAB IV : Pengaruh Keilmuan Ibnu Sina Terhadap Perkembangan Ilmu
Pengetahuan, yaitu Pengaruhnya di Dunia Islam, Pengaruhnya di Dunia Barat,
dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pasca Ibnu Sina..
BAB V : Penutup, terdiri atas Kesimpulan dan Saran.
15
BAB II
PERSIA DI MASA IBNU SINA
A. Kelahiran Ibnu Sina
Abu Ali Husain bin Abdullah bin Sina atau Ibnu Sina (370-429 H/980-
1037 M), dikenal di dunia Barat dengan Avicenna dan juga “Pangeran Para
Dokter”. Dia juga memperoleh gelar Al-Syaikh al-Ra’is (Pemimpin Orang Bijak)
sebutan yang diberikan dari murid-muridnya dan Hujjat al-Haqq (Bukti Sang
Kebenaran/Tuhan), yang masih dikenal di Timur dengan gelar itu.1 Ibnu Sina juga
pernah dijuluki sebagai Medicorum Principal atau Raja Diraja Dokter oleh kaum
Latin Skolastik.2 Ibnu Sina terkenal dalam bidang kedokteran dan juga filsafat.
Pada abad pertengahan Ibnu Sina telah menulis autobiografi, yang kemudian
dituntaskan oleh muridnya yang sekaligus juga sekretaris dan temannya yang
bernama Abu „Ubayd al-Juzjani. Autobiografi/biografi itu kemudian disebarkan
oleh sejumlah penulis biografi, seperti Al-Baihaqi (w. 565 H/1170 M), Al-Qifthi
(w. 646 H/1248 M), Ibn Abi Ushaibi‟ah (w. 669 H/1270 M) dan Ibn Khallikan (w.
680 H/1282 M).3
Ibnu Sina dilahirkan4 pada tahun 370 H (980 M) di Afshanah, desa kecil
dekat Bukhara „Ibukota Dinasti Samaniyyah‟, sekarang wilayah Uzbekistan
1Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, (Jogjakarta: IRCiSoD,
2006), cet. 1, h. 44-45. 2Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Jakarta: Mizan Publika,
2011), Cet. 1, h.198). 3Autobiografi atau biografi Ibnu Sina dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam
bahasa Inggris dapat dilihat dalam William E. Gohlman, The Life of Ibnu Sina: A Critical Edition
and Annotated Translation, (New York: State University of New York Press, 1974), h. 16-113. 4Ibnu Sina hidup di masa pemerintahan Abbasiyah periode II (656-1258 M). Ibnu Sina
dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran, dan
16
(bagian dari Persia).5 Ayahnya bernama „Abdullah yang berasal dari Balkh,
bertemu dan menikah dengan Sitarah. Pasangan ini mempunyai tiga putra, Ali,
Al-Husain (Ibnu Sina), dan Mahmud. Saat Ibnu Sina berumur 5 tahun, keluarga
ini pindah ke Bukhara pada masa pemerintahan Nuh ibn Mansur. Di situlah,
ayahnya diangkat menjadi Gubernur Khormithan, sebuah desa di pinggiran Kota
Bukhara. Dan Ibnu Sina berasal dari keluarga bersekte Ismaili.6
Meskipun pemikiran Ibnu Sina dipengaruhi oleh sekte Ismaili, namun ia
seorang yang independen, dia mempunyai pandangan tersendiri dan mandiri
dalam usaha menemukan hakikat kebenaran, baik di bidang filsafat maupun di
bidang keagamaan. Ibnu Sina memiliki kecerdasan dan ingatan yang luar biasa
sehingga dapat menyusul keilmuan para gurunya pada usia 14 tahun.7
B. Pendidikan Ibnu Sina
Selain belajar secara otodidak, Ibnu Sina juga di didik di bawah tanggung
jawab seorang guru. Sumber sejarah hanya sedikit yang menyebutkan guru-guru
Ibnu Sina, di antaranya yaitu Ismail al-zahid yang mengajarkannya akhlak,
tasawuf, dan fiqih. Kemudian Abu „Abdullah al-Natalie yang mengajarkannya
negeri-negeri yang mula-mula di bawah kekuasaan khalifah tersebut memisahkan diri untuk
berdiri sendiri menjadi negara kecil yang bersifat semi-merdeka, saling bersaing dan mulai
menguasai beberapa bagian dari imperium Islam. Mereka saling berperang satu sama lain.
Sedangkan Baghdad sebagai pusat pemerintahan dan juga merupakan pusat ilmu pengetahuan
jatuh ke tangan Bani Buwaih (334 H). Lihat buku Gazi Saloom, Jiwa dalam Pandangan Para
Filosof Muslim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet. 1, h.140. 5Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 1996), h. 285. 6Ibid.
7Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 67.
17
dalam bidang logika dan matematika.8 Dan Ibnu Sina menguasai ilmu kedokteran
hanya dalam waktu satu setengah tahun pada gurunya Isa bin Yahya.9
Banyak sejarawan yang memuji kecemerlangan prestasi ilmiah yang
dicapai Ibnu Sina, tidak seorang pun yang memungkiri kecerdasan otaknya yang
luar biasa serta daya ingatnya yang amat kuat. Menurut George Sarton, ia adalah
ilmuwan paling terkenal dan filsuf Islam terbaik dari semua ras, tempat dan
waktu.10
Dia mulai belajar pada usia dini, 5 tahun.11
Pada usia 10 tahun ia telah
hafal al-Qur‟an dan sebagian besar sastra Arab, serta menjadi pakar puisi Persia.
Setelah ditinggal wafat oleh gurunya Abdullah Natalie, Ibnu Sina mengkaji dan
mencari ilmu sendiri, seperti dari seorang tukang sayur dia belajar mempelajari
aritmatika, dan mulai belajar ilmu lainnya dari seorang sarjana yang mempunyai
mata pencarian merawat orang sakit dan mengajar anak muda.12
Dia selanjutnya
mempelajari ilmu fisika dan ketuhanan, sehingga namanya menjadi popular
lantaran kepiawaiannya pada bidang tersebut.
Setelah berhasil dalam pelajaran-pelajarannya secara baik, ia
mempelajari ilmu pengetahuan alam, metafisika, yang di dalamnya terdapat
Metafisika-nya Aristoteles (Metaphysics of Aristotle), yang sekalipun ia telah
membacanya beberapa kali dan menghafalnya, tetap saja ia mengalami kesulitan
untuk menghafalnya, sehingga dalam waktu satu setengah tahun Ibnu Sina
8Ibid, h. 67.
9Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, h. 199.
10M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy, (London: The Octagon Press Ltd, 1982), h. 67.
11Muhammad Nur Effendi, Cendekiawan Muslim : Pembina Tamadun dan
Kecemerlangan Umat, Cet. 1, h.152. 12
Saharawati Mahmouddin, Sistem Kedokteran Islam : Studi Konsep Kesehatan Mental
Ibnu Sina, h. 115.
18
berkonsentrasi membaca agar mendapatkan pelajaran dan ilmu pengetahuan.
Akhirnya buku itu dapat difahaminya ketika membaca buku karangan Al-Farabi13
,
yang merupakan komentar atas buku Aristoteles. Dia kembali mengkaji logika
dan seluruh cabang filsafat, sehingga menguasai seluruhnya. Uniknya juga jika
mengalami kesulitan dalam menjawab sebuah masalah atau pertanyaan, maka dia
berwudhu dan pergi ke masjid untuk shalat dan berdoa kepada Allah agar diberi
kemudahan dalam menjawabnya. Dan pada larut malam dia melanjutkan
belajarnya, bila rasa kantuknya datang atau badannya terasa letih, dia minum
secangkir hingga timbul kembali kesegarannya. Tetapi jika kantuk tidak
tertahankan, Ibnu Sina tertidur dan bermimpi tentang soal-soal itu biasanya
menjadi terang masalahnya.14
Ibnu Sina merasa sangat senang ketika mendapat suatu penemuan yang
diperoleh hanya dengan mendapat hidayah Allah SWT. Sebagai tanda syukur
kepada Allah SWT atas keberhasilannya itu dia bersedekah kepada kaum
miskin.15
Pada usia 16 tahun Ibnu Sina mempelajari kedokteran dan mulai
mengobati orang-orang sakit, sehingga namanya semakin terkenal. Ibnu
Khalliqan, seorang penulis biografi terbesar, menyebutkan bahwa Ibnu Sina
13
Abu Nasr Al-Farabi (258-339 H/ 870-950 M) adalah filsuf besar peripatik kedua
setelah Al-Kindi (185-260 H/801-873 M). Lahir di daerah Farab, daerah Transoxania. Dalam
bidang filsafat Al-Farabi merupakan komentator besar Muslim pertama terhadap filsafat
Aristoteles. Dan salah satu karya Al-Farabi yang terkenal adalah Kitab al-Jam’ bain Ra’yay al-
Hakimain Aflathun al-Ilahi wa Aristhu (Buku tentang Penggabungan antara Pendapat Dua Ahli
Hikmah Plato Ilahi dan Aristotelian. Dapat di lihat dalam buku Didin Saifuddin, Zaman Keemasan
Islam : Rekontruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h. 188 dan lihat juga buku Seyyed
Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, h.36-37. 14
Muhammad Nur Effendi, Cendekiawan Muslim : Pembina Tamadun dan
Kecemerlangan Umat, h.153-155. 15
Gazi Saloom, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, h.138.
19
menjadi pusat perhatian seluruh dokter dan hakim terkenal di masanya. Mereka
biasa menemuinya untuk mendiskusikan penemuan obat dan formula terbarunya.
Ia tidak hanya mempelajari ilmu kedokteran, tetapi juga melakukan praktek
mengobati orang-orang sakit.16
Pekerjaan pertamanya menjadi dokter. Suatu ketika pada usia 17 tahun ia
menyembuhkan Nur bin Mansur, penguasa daerah Bukhara yang menderita sakit
keras yang tidak dapat diobati oleh dokter-dokter pada masanya. Akan tetapi
setelah Ibnu Sina mengobatinya, sembuhlah dia. Sejak itu Ibnu Sina mendapat
sambutan yang baik sekali, kemudian beliau di ditunjuk menjadi dokter Istana
Sultan (penguasa). Sejak itu pula Sultan mengizinkannya menggunakan
perpustakaannnya yang terkenal sehingga ia bisa menyerap banyak dari buku-
buku yang jarang didapat. Kemudian karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut
terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja
membakarnya agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari
perpustakaan itu. Dan di umur 21 tahun, dia menulis buku-buku yang abadi dan
tak terlupakan.17
Dalam usia 22 tahun, ayahnya meninggal dunia, Musibah ini telah
menimbulkan beban berat atas kehidupan Ibnu Sina, sehingga ia meninggalkan
Bukhara menuju Jurjan, dimana ia berjumpa dengan Abu „Ubayd al-Juzjani yang
16
M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Yogyakarta:
DIGGLOSSIA, 2007), h. 47. 17
Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1994). h. 144
20
kemudian menjadi seorang muridnya yang menulis sejarah hidupnya.18
Di Jurjan
sampai usia 35 tahun ia mengajar dan mengarang, tetapi tidak lama ia menetap di
kota ini karena kekacauan politik yang melanda, lalu ia pergi ke Hamadan (sampai
usia 44 tahun) di mana penguasa wilayah ini, Raja Syamsuddaulah telah
mengangkatnya sebagai menteri yang merupakan imbalan atas keberhasilan Ibnu
Sina menyembuhkan penyakit yang di deritanya. Akan tetapi pihak militer
menangkap Ibnu Sina dan merampas harta miliknya serta merencanakan untuk
membunuhnya, tapi dilarang oleh Syamsuddaulah, dan kemudian dikeluarkan dari
penjara. Kemudian raja ini mengalami sakit perut (maag) dan Ibnu Sina berhasil
menyembuhkannya kembali, sehingga untuk kedua kalinya, ia diangkat menjadi
Menteri.19
Setelah Syamsuddaulah meninggal dunia, anaknya diangkat sebagai
pengganti, dan Ibnu Sina mengundurkan diri sebagai menteri. Ia ingin pergi ke
Isfanah untuk bekerja pada istana raja „Ala„uddaulah. Lalu ia ditangkap kembali
oleh Tajul muluk, anak Syamsuddaulah, dan dipenjarakan di benteng Fardajan di
mana ia tinggal selama empat bulan. Dari Hamadan, ia lari menyamar ke Isfahan
(sampai usia 58 tahun), dimana ia disambut dengan baik sekali.20
Ibnu Sina juga pekerja yang luar biasa. Meskipun banyak kesibukan
dalam urusan politik, mengajar dan menangani pasien, namun Ibnu Sina juga
berhasil menulis buku yang menjadi mahakarya di dunia pengobatan dan filsafat.
Dialah yang menjadikan dunia ini sebagai tempat penuh aktivitas, melaksanakan
18
Autobiografi atau biografi Ibnu Sina dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam
bahasa Inggris dapat dilihat dalam William E. Gohlman, The Life of Ibnu Sina: A Critical Edition
and Annotated Translation, (New York: State University of New York Press, 1974), h. 16-113. 19
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), Cet.3, h. 67. 20
Ibid. h.68
21
semua rencana dan menikmati hasilnya. Dia percaya bahwa seseorang harus
menikmati dunia ini untuk memenuhi dan memecahkan rahasia-rahasia alam
semesta. Di sisi lain, ia seorang filosof dan negarawan yang luar biasa dan
seorang penutur yang menyenangkan21
Pada bulan-bulan terakhir hayatnya, ia meninggalkan pakaian untuk
diganti dengan pakaian putih, memerdekakan semua budaknya dan
menyedekahkan harta kekayaannya untuk para fakir miskin serta menghabiskan
waktunya untuk beribadah kepada Allah. Dan dalam usia 58 tahun, ketika
menyertai perjalanan Amir Alauddin ke Hamadan, Ibnu Sina meninggal dunia
karena terserang penyakit usus besar yang tidak sanggup ia mengobatinya, di
Hamadan, Persia, pada Ramadhan 1037 M dan dimakamkan di sana, yang
sekarang termasuk negara Iran bagian Barat.22
Ketika memperingati 1000 tahun hari kelahirannya (Fair Millenium) di
Taheran pada 1955, dilangsungkan Konferensi Internasional tentang Prestasi Ilmu
Medis Ibnu Sina. Dalam momen itu, Ibnu Sina dinobatkan sebagai Father of
Doctors untuk selama-lamanya, dan untuk itu telah dibangun sebuah monumen
sejarah. Sedangkan makam Ibnu Sina di Hamadan dikepung oleh berpuluh-puluh
makam para dokter ; agaknya mereka cukup bangga dapat dikuburkan dalam
deretan Bapak Dokter Islam itu. Makam itu hingga kini dikunjungi oleh
wisatawan domestik dan asing dengan penuh rasa hormat.23
21
M. Atiqul Haque, Wajah Peradaban : Menelusuri Jejak Pribadi-pribadi Besar Islam,
h. 65-66. 22
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, hal.68. 23
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, h. 199.
22
B. Perkembangan Intelektual Di Masa Ibnu Sina
Sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka bahwa pesatnya
perkembangan sains dan filsafat ada pada masa dinasti Abbasiyah, hidup di masa
pemerintahan Abbasiyah periode II, yaitu masa-masa kelemahan kekhalifahan
Abbasiyah. Pada saat itu, kekuasaan para khalifah Baghdad mengalami
kelemahan dan para amir penentang muncul di berbagai belahan imperium Islam
yang besar itu. Mereka mendirikan negara-negara kecil yang bersifat semi-
merdeka, saling besaing dan mulai menguasai beberapa bagian dari imperium
Islam. Mereka saling berperang satu sama lain. Bani Buwaih menguasai Baghdad
pada tahun 949 M dan menurunkan khalifah Abbasiyah dari singgasana
kekuasaan pada tahun 1055 M, serta menyebut para penguasa mereka dengan
gelar “sultan”.24
Para filosof dan pemikir Muslim berusaha melindungi para penguasa di
negara-negara yang saling bersaing itu. Situasi carat marut yang penuh persaingan
politik telah mempengaruhi kehidupan Ibnu Sina. Kehidupannya mengalami
keguncangan dan ketidakstabilan. Meskipun demikian, dengan kecerdasan dan
otaknya yang cemerlang, Ibnu Sina dapat mengatur waktu untuk belajar, mengajar
dan menulis buku, begitu juga para pemikir dan ilmuan lainnya baik para
pendahulu Ibnu Sina maupun sezamannya.25
Nama-nama ilmuan dalam masa kejayaan Islam hampir sulit untuk
dikatakan hanya menguasai satu disiplin ilmu, karena pada umumnya mereka
menguasai sains kealaman di satu pihak, dan di pihak lain mereka juga adalah
24
Gazi Saloom, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, h.140. 25
Ibid.
23
filsuf-filsuf yang tekun mengkaji tradisi filsafat Yunani. Pada saat yang sama
mereka juga mengembangkan pemikiran filsafatnya sendiri. Ibnu Sina, seperti
dijelaskan di uraian terdahulu, selain seorang dokter terkemuka ia juga filsuf yang
menyempurnakan teori emanasi Al-Farabi.26
Ia yang menyempurnakan teori
emanasi Al-Farabi. Dia memperdalam dan menambahkan detail pada teori-teori
spekulatif Al-Farabi dalam logika dan metafisika sehingga rumusannya menjadi
lebih jelas dan sistematis.27
Ciri paling menonjol dari kemajuan intelektual kaum Muslim adalah
penemuan teori-teori di bidang sains. Penelitian-penelitian di bidang sains
dilakukan dengan sangat intens oleh para ahli sains kealaman tersebut sehingga
penelitian-penelitian mereka menjadi dasar bagi penelitian-penelitian berikutnya
yang dilakukan oleh orang lain. Disiplin-disiplin ilmu yang menonjol dielaborasi
kaum Muslim adalah astronomi, fisika, kimia, kedokteran, biologi, matematika,
dan aljabar.28
Astronomi dikembangkan oleh Kaum Muslim dengan berbagai tujuan,
terutama yang berkaitan dengan kesempurnaan menjalankan ibadat, seperti
kebutuhan untuk mengetahui arah kiblat, penentuan waktu shalat, penentuan
kalender, dan untuk pengamatan gerak benda labgit. Tokoh paling menonjol di
26
Dengan emanasi, Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul
dari yang satu. Tuhan sebagai akal berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran ini timbul maujud
lain. Tuhan merupakan maujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga
mempunyai sunstansi. Ia disebut akal pertama yang tak bersifat materi.Wujud kedua ini berpikir
tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah muncul wujud ketiga yang disebut akal kedua.
Wujud kedua dan akal pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ muncullah langit
pertama. Lihat buku : Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam : Rekontruksi Sejarah Imperium
Dinasti Abbasiyyah, (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 188. 27
Ibid, h. 189. 28
Ibid, h.180
24
bidang ini adalah Ibn Al-Haitham atau Alhazen (354-430 H/965-1039 M) yang
juga seorang yang ahli alam bidang matematika, fisika dan ilmu medis.29
Dalam bidang kimia nama Jabir Ibn Hayyan dapat disebut sebagai tokoh
pertama. Ia hidup dari tahun 103-200 H/721-815 M). Dan dalam bidang
matematika nama Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi (w. 249 H/863 M)
sangat terkenal dengan penemuan-penemuannya. Ia adalah ahli matematika
Muslim pertama yang mencolok, pemula sejarah matematika yang sbeenarnya di
kalangan Muslim. Tulisannya, Aljabar (Al-Jabr wa Al-Muqabalah) mrupakan
karya pertama Muslim dalam aljabar dan menjadi nama tersendiri dalam cabang
sains ini.30
Kedokteran pertama kali dikenal kaum Muslim setelah penaklukan
kerajaan Sassaniah di Persia. Dokter-dokter terkenal dan paling terkemuka yang
dilahirkan dunia Muslim adalah al-Razi (251-813 H/865-925 M) dan Ibnu Sina
(370-429 H/980-1037 M). Al-Razi pada awalnya menyibukkan diri dalam bidang
kimia. Setelah menggeluti bidang kimia ia menjadi dokter yang terkenal,
kemasyhurannyanya hanya dapat ditandingi oleh Ibnu Sina.31
Sebagaimana pula yang telah dijelaskan dimuka, Ibnu Sina adalah
seorang filsuf dan saintis terbesar Islam dan tokoh paling berpengaruh dalam
bidang umum, kedokteran, seni, dan sains. Dengan kecerdasan dan otaknya yang
cemerlang seta kepanaiannya dalam mengatur waktu dalam belajar, mengajar dan
menulis buku. Dia meninggalkan sejumlah buku penting yang dia tulis pada saat
29
Ibid, h. 181-185. 30
Ibid, h.184-185. 31
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Terj), (Bandung: Pustaka,
1986), h. 26.
25
yang tidak teratur dan tidak stabil. Kadang-kadang dia menulis buku di tengah
perjalanan atau ketika selesai bertugas membantu para penguasa, demikian pula
pada saat bersembunyi dari para penguasa atau pada saat ditahan di dalam
penjara.32
C. Karya-karyanya
Karya tulis yang dihasilkan Ibnu Sina cukup banyak. Kebanyakan
penulis menegaskan bahwa jumlahnya tidak kurang dari 276 buah, dalam bentuk
buku, risalah, dan dalam bentuk karangan ilmiah bias (prosa) atau dalam bentuk
syair.
Dan dalam buku karya Al-Qifti Tarikh al-Hukama’ ada deskripsi
terperinci 21 buku utama Ibnu Sina dan 24 buku yang lebih kecil yang berisi
tentang obat-obatan, filsafat dan sains. Selain itu, ia juga menulis seratus lebih
buklet dengan subjek berbeda-beda seperti geometri, aritmatika, bahasa, musik,
‘ilmu a-kalam dan lain-lain. Dari semua itu, buku terbesar adalah Kitab ash-Shifa
dalam 18 volume, an-Najah dalam 10 volume, al-Hikma dalam 10 volume
(tentang filsafat) dan Qanun fi at-Thibb. Empat buku ini merupakan sumbangan
terbesarnya untuk umat manusia. Kalau bukunya ash-Shifa’ menjadikannya salah
satu dokter terbesar dunia, buku al-Hikma menjadikannya dirinya sebagai salah
satu filsuf terbesar dunia. Abad demi abad berlalu, namun ash-Shifa’ dan al-
Hikma tetap menjadi bukti kebesarannya.33
32
Gazi Saloom, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, h.140. 33
M. Ayiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, h. 47
26
Dari semuanya itu, yang dianggap terpenting oleh para ahli adalah:
1. Kitab Asy-Syifa’ (terdiri dari 18 jilid, ditulis ketika ia bermukim di Hamadan).
Kitab ini merupakan ensiklopedia berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti
filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan alam. Dalam buku ini Ibnu Sina
membahas fenomena alam yang penting seperti terbentuknya gunung, sebab-
sebab terjadinya gempa bumi, terbentuknya awan dan kabut, jatuhnya air
hujan, salju dan dingin, terbentuknya sungai es (gletser), terjadinya
pengembunan, jatuhnya meteor, munculnya pelangi, dan berbagai fenomena
alam dan perbintangan lainnya.34
2. Kitab an-Najah (merupakan ringkasan dari kitab asy-Syifa), kitab ini ditulis
bagi orang-orang khusus yang terpelajar yang ingin mengetahui dengan
lengkap dasar-dasar ilmu hikmah. Untuk pertama kali buku ini dicetak di
Mesir pada tahun 1331 H.
3. Kitab Asbab Huduts Al-Huruf. Kitab ini merupakan kitab yang lucu dan telah
terlebih dahulu ada pada masanya. Dalam buku ini, Ibnu Sina membahas apa
yang saat ini dikenal dengan ilmu fonetis (suara). Dia memadukan antara
studi fonetis pada dua bahasa, yaitu bahasa Arab dan bahasa Persia. Buku ini
terdiri dari beberapa bab, yaitu : Bab pertama, tentang sebab-sebab terjadinya
suara. Bab kedua, tentang sebab-sebab terjadinya huruf. Bab ketiga, tentang
anatomi tenggorokan. Bab keempat, tentang sebab parsial terbentuknya huruf
Arab. Bab kelima, tentang huruf yang serupa dengan huruf-huruf ini dan
bukan dalam bahasa Arab. Bab keenam, tentang huruf-huruf ini, yang mana
34
Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, tt), h.292.
27
yang tidak dapat diucapkan tetapi kadang-kadang dapat terdengar (dalam arti
bahwa huruf-huruf ini keluar secara otomatis dan bukan dilakukan oleh
manusia.35
4. Kitab al-Isyarah wa at-Tanbihat (terdiri dari tiga jilid, yang membicarakan
logika, fisika, dan metafisika, merupakan karya terakhir yang dihasilkan Ibnu
Sina).36
5. Kitab Qanun fi At-Thibb (ensiklopedi kedokteran, yang menjadi pegangan
wajib di universitas-universitas Eropa sampai abad ke-17).
Konstribusi terpenting Ibnu Sina yang diwariskan kepada dunia
kedokteran adalah masterpiece-nya dalam ilmu medis, yaitu al-Qanun fi al-
Tibb.37
Dalam buku Autobiografi atau biografi Ibnu Sina, telah disebutkan
katalog dari semua buku-bukunya, yaitu :38
(1) Kompilasi, 1 volume. (2) Jumlah dan substansi, 20 volume. (3)
Pekerjaan baik dan jahat, 2 volume. (4) Syifa (penyembuhan), 18 volume. (5)
Qanun, 14 volume. (6) Komprehensif / pengamatan, 1 volume. (7) Penghakiman,
20 volume. (8) Najat (pembebasan), 3 volume. (9) Bimbingan, 1 volume. (10)
Petunjuk, 1 volume. (11) Ringkasan tengah, 1 volume. (12) „Ala‟i, 1 volume. (13)
Kolik, 1 volume. (14) Bahasa Arab, 10 volume. (15) Obat jantung, 1 volume. (16)
Perlambangan, 1 volume. (17) Sebagian dari filsafat Timur, 1 volume (18)
35
Ibid, h. 193-194. 36
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, h.
197-198. 37
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, h. 201. 38
Autobiografi atau biografi Ibnu Sina dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam
bahasa Inggris dapat dilihat dalam William E. Gohlman, The Life of Ibnu Sina: A Critical Edition
and Annotated Translation, (New York: State University of New York Press, 1974), h. 47.
28
Penjelasan kata modal, 1 volume. (19) Pengembalian, 1 volume. (20) Asal dan
pengembalian. (21) Percakapan, 1 volume. Di antara risalahnya, yaitu (22) Takdir.
(23) Instrumen astronomi. (24) Objek dari “kategori”. (25) Logika. Dan dalam
bentuk puisi, yaitu (26) Puisi tentang keagungan dan filsafat. (27) Pada konsonan.
(28) Pertimbangan topik dialektis. (29) Ringkasan denyut nadi, Di Persia : (30)
Definisi. (31) Benda angkasa. (32) Instruksi dalam ilmu logika. (33) Cabang
filsafat. (34) Batas dan tak terhingga. (35) Sebuah perjanjian, yang dibuat untuk
dirinya sendiri. (36) Hayy ibn Yaqzan. (37) Dimensi tubuh bukan bagian dari
esensinya. (38) Pada ketidakmungkinan hal yang sama menjadi substansi dan
kecelakaan. (39) Pengetahuan tentang Zaid bukanlah pengetahuan dari „Amr. (40)
Surat untuk teman-teman dan para pejabat. (41) Surat tentang pertanyaan yang
terjadi antara dia dan lainnya. (42) Komentar „Qanun”. (43) Filsafat penting.
Natsir Arsyad menyebutkan bahwa buku Qanun Ibnu Sina sejak zaman
Dinasti Han di Cina telah menjadi buku standard karya-karya medis Cina. Pada
Abad Pertengahan, sejumlah besar karya Ibnu Sina telah diterjemahkan dalam
bahasa Latin dan Ibrani, yang merupakan bahasa-bahasa pengantar ilmu
pengetahuan pada masa itu. Qanun telah dianggap sebagai buku sucinya ilmu
pengetahuan yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa dan
telah menjadi buku yang menguasai dunia pengobatan Eropa selama kurang lebih
500 tahun. Qanun juga digunakan sebagai buku teks kedokteran di berbagai
universitas di Prancis, misalnya Sekolah Tinggi kedokteran Montpellier dan
Louvain pada abad ke-17. Penerbitan Qanun dalam bentuk salinan langsung,
29
terjemahan, komentar ataupun yang lainnya, berlangsung terus menerus sampai
pada abad ke-18.39
Buku Qanun itu sendiri terdiri dari lima bagian pokok, yaitu :40
1. Prinsip-prinsip umum kedokteran yang meliputi filsafat kedokteran,
anatomi, fisiologi, pemeliharaan kesehatan (higienis) dan penanganan
penyakit-penyakit;
2. Obat-obat yang sederhana;
3. Gangguan-gangguan organ dalam dan luar tubuh;
4. Beragam penyakit yang memengaruhi tubuh secara umum, tidak terbatas
pada satu organ tubuh, dan
5. Obat-obat persenyawaan kompleks (dikutip dalam Nasr, 1976 :178-79).
39
Natsir Arsyad, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah, (Bandung: Mizan, 1989), h. 190-
191). 40
Al-Qanun fi Thibb terjemahannya dalam bahasa Inggris dapat dilihat dalam Oskar
Cameron Gruner, The Canon of Medicine of Avicenna, (New York: AMS Press, 1973), bag. I-IV,
h.25-135, 460-534.
30
BAB III
IBNU SINA SEBAGAI ILMUAN
A. Bidang Filsafat
Kelahiran ilmu filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha
penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah
dilakukan sejak masa klasik Islam.1 Usaha ini melahirkan sejumlah filsuf besar
muslim. Usaha penerjemahan naskah-naskah dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan dan filsafat telah dilakukan pada masa klasik Islam, dari berbagai
bahasa, seperti bahasa Siryani, Yunani, Persia, dan India, ke dalam bahasa Arab.
Usaha penerjemahan tersebut berlangsung selama tidak kurang dari satu setengah
abad di zaman klasik Islam (abad ke-1 hingga ke-7 H), dan berlangsung secara
besar-besaran di Baghdad sejak masa pemerintahan al-Mansur (137-159 H/754-
775 M), serta mencapai puncaknya pada masa pemerintahan al-Makmun (198-218
H/813-833 M).2
Filsafat bukanlah ilmu karena ilmu adalah a posteriori (kesimpulan-
kesimpulannya ditarik setelah pengujian berulang-ulang; untuk ilmu tertentu,
melalui percobaan-percobaan), sedangkan filsafat adalah a priori (kesimpulan-
kesimpulannya ditarik tanpa pengujian ilmiah). Bahkan, cabang-cabang filsafat
seperti metafisika, estetika dan etika sukar diuji kebenarannya, sedangkan ilmu
1Pada mulanya, kaum Muslimin menerjemahkan karya-karya filsafat Thales (624-546
SM), pythagoras (530-495 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (4277-327 SM), Aristoteles (384-
322 SM), Theophratos (371-287 SM), Klaudios Ptolemaios (87-168 M), Klaudios Galenos (129-
199 M), serta filsuf-filsuf Yunani lainnya. Lihat buku S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada
Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), Cet.3, h. 80. 2Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban,
(Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve, 2002), h.195.
31
bersifat empirik, filsafat bersifat spekulatif kontemplatif (merenung dan
bersamadi). Dengan demikian, filsafat mempunyai kaitan erat dan saling
berpengaruh dengan ilmu.3
Dalam pemikiran klasik, falsafah atau filsafat merupakan induk segala
ilmu pengetahuan. Darinya segala jenis ilmu itu berasal. Konsep ini berasal dari
pemikiran Yunani, terutama dari Aristoteles. Dari sini kemudian Aristoteles
mempengaruhi para pemikir Islam, termasuk Ibnu Sina.4
Jika dilihat dari sisi zaman, maka ilmu yang beragam jenis itu menurut
Ibnu Sina dapat dibagi 2 bagian : pertama, ilmu yang hanya berlaku pada zaman
tertentu saja karena sering berubah-ubah, dan kedua, ilmu yang tidak terkait
dengan zaman berlaku sepanjang masa. Ilmu inilah yang disebut “ilmu hikmah”.5
Adapun ilmu hikmah itu, ia terdiri dari : ilmu dasar dan ilmu cabang,
seperti: kedokteran, pertanian, ilmu nujum dan lain-lain. Ilmu dasar merupakan
bagian yang terpenting dalam ilmu hikmah, dan Ibnu Sina membaginya kepada
dua bagian: ilmu mantik (ilmu alat dalam berpikir) dan ilmu yang bukan alat yang
digunakan dalam hal-hal yang empiris dan metafisis, dan ini terdiri dari dua
bagian :6
a. Ilmu teoritis yang bertujuan untuk membersihkan jiwa melalui
makrifah.
b. Ilmu praktis yang bertujuan untuk beramal sesuai dengan makrifat.
3S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, h. 79.
4Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, h. 70.
5Ibid.
6Ibid.
32
Yang pertama berupaya untuk mengetahui kebenaran, dan yang kedua
untuk mengetahui kebaikan.
Selanjutnya ilmu teoritis itu dibagi kepada empat bagian : fisika,
matematika, ketuhanan dan ilmu kulli yang membahas hal-hal yang berkaitan
dengan materi, seperti kesatuan, kebanyakan, bagian, seluruh dan sebab-akibat.
Demikian pula ilmu praktis dibagi kepada empat bagian : akhlak, mengatur rumah
tangga, mengatur negara dan kenabian.7
Dengan ilmu hikmah, manusia akan memperoleh kesempurnaan itu akan
diperoleh tidak hanya sekedar mengetahui hal-hal teoritis, tetapi ia juga harus
bekerja dan berusaha agar hidupnya sesuai dengan apa yang diketahuinya.
Adapun pemikiran filsafat Ibnu Sina, diantaranya :
1. Filsafat Jiwa
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang
jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut paham pancaran. Dari Tuhan
memancar Akal Pertama, dan dari Akal pertama memancar Akal Kedua dan
Langit Pertama; demikian seterusnya sehingga tercapai Akal Kesepuluh dan bumi.
Dari Akal Kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di
bawah bulan. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah
Jibril.8
Berlainan dengan Al-Farabi, Ibnu Sina berpendapat bahwa Akal Pertama
mempunyai dua sifat :9
7Ibid, h. 70.
8Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 23.
9Ibid.
33
a. sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran Allah (Neccessary by virtue of
the Necessary Being)
b. dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya (Possible
in essence).
Dengan demikian Ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya
sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran
tentang Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wujudnya
timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya
timbul langit-langit.
Jiwa manusia, sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat
di bawah bulan, memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu
Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :10
I. Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya :
1. makan
2. tumbuh
3. berkembang biak
Jadi, jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makan,
tumbuh, dan berkembang biak.
II. Jiwa binatang dengan daya-daya :
1. gerak
2. menangkap, dengan dua bagian :
a. gerak
10
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 72.
34
b. menangkap, dengan dua bagian : (1) menangkap dari luar dengan
panca indera, dan (2) menangkap dari dalam dengan indera-indera
batin, yang terdiri atas lima indra, yaitu :11
i. Indera bersama, yang menerima segala apa yang ditangkap oleh
indera luar. Contohnya kucing yang disiram air.
ii. Indra khayyal (representasi), yang menyimpan segala apa yang
diterima oleh indera bersama. Contohnya kucing dapat mengetahui
keberadaan tikus karena pengalaman yang direkam di dalam
ingatannya.
iii. Imajinasi, yang menyusun apa yang disimpan dan khayyal.
iv. Estimasi, yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari
materinya umpamanya keharusan lari bagi kambing ketika melihat
serigala.
v. Indera pemeliharaan (rekoleksi), yang menyimpan hal-hal abstrak
yang diterima oleh estimasi.
Dengan demikian, jiwa binatang lebih tinggi fungsinya daripada jiwa
tumbuh-tumbuhan, bukan hanya sekedar makan, tumbuh, dan
berkembang biak, tetapi telah dapat bekerja dan bertindak serta telah
merasakan sakit dan senang seperti manusia.
III. Jiwa Manusia, mempunyai dua daya :
1. Praktis, yang berhubungannya dengan badan.
11
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof & Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), h.
105.
35
2. Teoritis, yang hubungannya dengan hal-hal abstrak. Daya ini
mempunyai tingkat :
i. Akal materiil, yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir
dan belum dilatih walaupun sedikit.
ii. Akal al-malakat, yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang
hal-hal abstrak.
iii. Akal Aktual, yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
iv. Akal Mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-
hal abstrak tanpa perlu pada daya upaya. Akal seperti inilah yang
dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari
Akal Aktif12
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya.
Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya,
maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia
yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat pada
kesempurnaan.
Dalam hal ini daya praktis mempunyai kedudukan penting. Daya inilah
yang berusaha mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat
dalam badan tidak menjadi halangan bagi daya teoritis untuk membawa manusia
kepada tingkatan yang tinggi dalam usaha mencapai kesempurnaan. Menurut
pendapat Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan
12
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, h. 30-31.
36
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali
ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Sungguhpun
jiwa manusia tak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan demikian tak berhajat pada
badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, jiwa masih
bersahajat dengan badan. Karena pada permulaan wujudnya badanlah yang
menolong jiwa manusia untuk dapat berpikir.13
Pancaindera yang lima dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah seperti
indera bersama, estimasi, dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk
memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Apabila jiwa
telah mencapai kesempurnaannya maka badan tidak diperlukan lagi bahkan
menjadi penghalang mewujudkan kesempurnaan. Sejalan dengan terpisahnya
antara badan dengan jiwa tersebut, maka jiwa manusia tidak mesti hancur dengan
dengan hancurnya badan. Tetapi jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang
terdapat dalam diri manusia, maka hanya mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat
fisik yang akan mati dengan matinya badan dan tak kan dihidupkan kembali di
akhirat. Balasannya untuk kedua jiwa ini pun dicukupkan di dunia saja. Berbeda
denga jiwa manusia yang bertujuan pada hal-hal yang abstrak yang akan
dihidupkan kelak di akhirat.14
Pemikirannnya yang intens terhadap jiwa menyebabkan Ibnu Sina
sampai pada kesimpulan bahwa jiwa bersifat kekal (abadi). Menurut Ibnu Sina,
hanya dengan keabadian jiwalh nikmat surga dan siksaat neraka dapat terlaksana,
13
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002),
h. 32. 14
Ibid.
37
seperti dijelaskan oleh ayat al-Qur‟an (QS. Al-Baqarah : 25 dan 39).15
Kelanjutannya ialah bahwa yang berbangkit pada hari kiamat hanya jiwa, tanpa
badan.16
2. Filsafat Kenabian
Dalam teori kenabian, Menurut Ibnu Sina sebagian manusia dianugrahi
Tuhan akal potensial/material yang sedemikian kuat, yang oleh Ibnu Sina diberi
nama al-hads yaitu intuisi (daya luar biasa) atau al-quwwah al-qudsiyyah (daya
suci). Daya yang ada pada akal potensial seperti ini begitu besarnya, sehingga
tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat menerima cahaya kebenaran atau
wahyu Tuhan melalui akal aktif.17
Akal yang seperti ini mempunyai daya suci.
Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, dan terdapat hanya
pada nabi-nabi.18
Dalam buku Hasyimsyah Nasution, sejalan dengan teori kenabian dan
kemukjizatan, Ibnu Sina membagi manusia ke dalam empat kelompok: mereka
yang kecakapan teoritisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang
sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa
15
QS. Al-Baqaroh ayat 25 tersebut artinya : “...Dan sampaikanlah berita gembira
kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga
itu, mereka mengatakan: “inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-
buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnyaada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di
dalamnya”.
Sedangkan, QS Al-Baqaroh ayat 39 tersebut artinya : “...Adapun orang-orang yang kafir
dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. 16
Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. 1,
h.138 17
Akal Aktif diidentifikasi sebagai Jibril, malaikat pembawa wahyu. Lihat : Seyyed
Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama : Filsafat Islam, h. 80. 18
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 115.
38
manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang
demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka
mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa
kini dan akan datang dan berkemampuan untuk menimbulkan gejala-gejala aneh
di atas dunia. Kemudian mereka yang memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi
tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang-orang yang daya teoritisnya
sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang-orang yang mengungguli
sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.19
Dalam tulisannya yang khusus untuk mengukuhkan adanya kenabian,
Risalah fi Isbat an-Nubuwwah, Ibnu Sina berupaya menunjukkan adanya
perbedaan keunggulan atau keutamaan pada segenap wujud, pada akhirnya
menegaskan bahwa para nabi, yang akal teoritis mereka mengaktual dengan
sempurna secara langsung, lebih utama dari mereka (para filsuf), yang akal teoritis
mereka mengaktual dengan sempurna secara tidak laangsung (yakni dengan
perantara, seperti latihan dan belajar keras). Uraian Ibnu Sina mengenai hal ini
adalah sebagai berikut :20
Ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri.
Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang
tidak berada dalam materi dan ada pula yang berada dalam materi, maka yang
pertama lebih unggul daripada yang kedua.21
19
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 75. 20
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, h.
201-202. 21
Ibid.
39
Selanjutnya ada pula bentuk bersama materi (yakni tubuh materi) yang
bersifat tumbuh (organik) dan ada pula yang tidak tumbuh (yakni benda mati),
maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Yang organik ada yang
berupa binatang dan ada pula yang tidak, maka yang pertama lebih unggul
daripada yang kedua. Manusia ada yang memiliki akal bi al-malakah dan ada pula
yang tidak, maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada pula
manusia yang akal bi al-malakah-nya meningkat menjadi akal aktual dan ada pula
yang tidak meningkat, maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua.
Selanjutnya ada manusiayang memiliki akal aktual dengan sempurna secara
langsung (tanpa latihan, tanpa studi keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual
dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan atau studi keras),
maka yang pertama, yakni para nabi, lebih unggul daripada yang kedua, yakni
para filsuf. Para nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam
lingkungan makhluk-makhluk material, karena yang lebih unggul harus
memimpin segenap manusia yang diunggulinya.22
Demikianlah uraian Ibnu Sina dan dengan demikian ia bukan saja
mengakui adanya nabi dan rasul serta kenabian dan kerasulan, melainkan juga
menegaskan bahwa nabi dan rasul lebih unggul dari filsuf.
3. Filsafat Wujud
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai
kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun esensi sendiri. Esensi, dalam paham
22
Ibid.
40
Ibnu Sina, terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat diluar akal. Wujudlah yang
membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa
wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi.
Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu
menimbulkan sifat wujudiyah atau eksistensialisme dari filosof-filosof lain.
Kalau dikombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi
berikut :23
1. Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini
disebut oleh Ibnu Sina, mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud.
2. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai
wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin
berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya ialah alam ini
yang pada awalnya tidak ada, kemuadian ada dan akhirnya akan hancur
menjadi tidak ada.
3. Esensi yang boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak
bisa dipisahkan dari wujud; esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di
sini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud,
sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi
mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini
disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al-wujud inilah
mewujudkan mumkin al-wujud. Hubungan Wajib al-wujud dengan
mumkin al-wujud bersifat emanasionistis.
23
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 39-40.
41
Dengan argumen ini Ibnu Sina ingin membuktikan adanya Tuhan
menurut logika. Dengan demikian, Tuhan adalah unik dalam arti, Dia adalah
kemaujudan yang Mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan
keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang Mesti itu harus satu. Nyatanya, walaupun di
dalam Kemaujudan ini tak boleh terdapat kelipatan sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan
memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan
mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan
identik dengan keberadaan-Nya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi,
maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat didefinisikan.
Ibnu Sina menganut paham emanasi. Teori emanasi Ibnu Sina hampir
tidak berbeda dengan teori emanasi yang telah lebih dahulu dikemukakan al-
Farabi. Dari Tuhan memancarkan 10 akal (akal I sampai dengan akal X), 10 jiwa
(9 jiwa langit dan 1 jiwa bumi), dan 10 raga (9 raga langit dan 1 raga bumi).
Emanasi itu adalah akibat aktivitas mengetahui atau berpikir.24
Ia berpendapat bahwa dari Tuhan berpikir tentang diri-Nya, maka
memancarkan Akal I. Sekalipun Tuhan terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan
Akal Pertama adalah sama-sama azali. Selanjutnya Ibnu Sina berpendapat, bahwa
Akal Pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari
Allah dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya ( واجب الوجود
atau Necerssary by Virtue of the Necssary Being dan واجب الوجود لغىره dan لداته
Possible in Essence). Dengan demikian ini mempunyai tiga obyek pemikiran : (i)
berpikir tentang Tuhan, (ii) berpikir tentang dirinya sebagai wajib wujudnya dan
24
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, h.
198.
42
(iii) dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul
jiwa-jiwa, dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul
langit-langit.25
Akibat aktivitas berpikir akal I, memancar akal II. Sebagai akibat
aktivitas berpikir kedua, memancarkan jiwa, dan langit pertama. dan sebagai
akibat aktivitas ketiga, memancarkan raga langit pertama. Akal II juga memiliki
tiga aktivitas seperti tersebut diatas. Dan akibatnya juga tiga, muncul akal III, jiwa
langit kedua, dan raga langit kedua. Demikian seterusnya hingga Akal X, jiwa
langit kesembilan (bulan), dan raganya (planet). Dari Akal X hanya memancar
jiwa, raga dan bumi. Akal X tidak cukup kuat untuk memancarkan akal
berikutnya. Pada bumi banyak muncul raga-raga tumbuhan, binatang, dan
manusia, yang masing-masing raga itu ditempati oleh satu jiwa individual.26
Akal-akal adalah para malaikat, Akal I adalah malaikat tertinggi dan akal
X adalah Malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya. Akal bersifat
tetap dan terasing dari falak, sedangkan jiwa berhubungan langsung dengan falak
(gerakan alam di langit). Tuhan adalah al-Khair al-Mutlak (Tuhan sendiri)27 dan
Akal hanyalah al-Khair yang menjadi tujuan dari segala gerakan falak untuk
kesempurnaan dirinya. Kerinduan Jiwa falak kepada al-Khair disebut al-Isyq al-
25
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 70. 26
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, h.
198. 27
Tuhan menjadi tujuan tiap-tiap jiwa manusia, sebagaimana juga Dia menjadi tujuan
segala gerakan alam di langit (falak). Falak itu bergerak secara beredar menaati al-Khair al-
Mutlak. Gerakan falak itu merupakan gerakan jiwa (nafs), sebab falak itu menyerupai manusia.
43
Mutlak. Rindu inilah yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam peristiwa
dan berlangsungnya berbagai macam hal.28
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel emanasi Ibnu Sina di bawah ini.29
(Subjek)
Akal
yang ke
Sifat
Allah
sebagai
Wajib al-
Wujud
menghasil
kan
Dirinya
sendiri
sebagai
Wajib
wujud li
ghairihi,
menghasilk
an
Dirinya
sendiri
mumkin
wujud
lizathihi
Keterangan
I
Wajib
al-
Wujud
Akal II
Jiwa I yang
menggerakk
an
Langit
Pertama
Masing-masing
jiwa berfungsi
sebagai
penggerak satu
planet karena
(immateri) tidak
bisa langsung
menggerakkan
jisim (materi),
II
Mumki
n al-
Wujud
Akal III
Jiwa II yang
menggerakk
an
Bintang-
bintang
III Sda Akal IV
Jiwa III
yang
menggerakk
an
Saturnus
IV Sda Akal V
Jiwa IV
yang
menggerakk
an
Yupiter
V Sda Akal VI
Jiwa V yang
menggerakk
an
Mars
VI Sda Akal VII
Jiwa VI
yang
menggerakk
an
Matahari
VII Sda Akal VIII
Jiwa VII
menggerakk
an
Venus
VIII Sda Akal IX
Jiwa VIII
yang
menggerakk
Merkuri
28
Hasyimsyah Nasution, h. 70. 29
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof & Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pres, 2010),
h. 101.
44
an
IX Sda Akal X
Jiwa IX
yang
menggerakk
an
Bulan
X Sda -
Jiwa X yang
menggerakk
an
Bumi,
roh,
materi
pertama
yang
menjadi
dasar
dari
keempat
unsur
(udara,
api, air,
dan
tanah).
Akal X tidak
lagi
memancarkan
akal-akal
berikutnya
karena
kekuatannyasud
ah lemah.
Akal-akal dan planet-planet dalam emanasi di atas dipancarkan
(diciptakan) Allah secara hierarkies. Keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqqul
Allah tentang zat-Nya sebagai sumber energi dan menghasilkan energi yang
mendahsyat. Ta’aqqul Allah tentang zat-Nya adalah ilmu Allah tentang diri-Nya
dan ilmu itu adalah daya (al-qudrat) yang menciptakan segalanya. Agar sesuatu
itu tercipta, cukup sesuatu itu diketahui Allah. Dari hasil ta’aqqul Allah terhadap
zat-Nya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan yang lainnya
memadat menjadi planet-planet.30
Filsuf yang mendukung pemikiran Aristoteles beranggapan bahwa Tuhan
tidak tersibukkan dengan sesuatu yang ada di luar diri-Nya. Tuhan hanya
memikirkan diri-Nya karena Dia adalah „aql. Dengan kata lain, Tuhan adalah
30
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof & Filsafatnya, h. 102.
45
subjek sekaligus objek pemikiran. Karena itu, Tuhan tidak perlu tahu hal-hal yang
bersifat partikular. Hal-hal yang bersifat partikular adalah khusus bagi yang
terbatas yang terpengaruh dengan berbagai kejadian dan objek pengetahuan
setelah terjadi. Pendapat tersebut tidak dapat diterima oleh Ibnu Sina. Baginya,
Tuhan Maha Mengetahui segala yang sudah atau yang akan terjadi dalam
kekuasaan-Nya sejak azali. Jadi, pengetahuan-Nya itu bukanlah karena sesuatu itu
sudah terjadi, bahkan pengetahuan-Nya itulah yang menjadi sebab bagi terjadinya
segala sesuatu.31
B. Bidang Kedokteran
Ilmu kedokteran termasuk ilmu yang telah melesat perkembangannya,
dimana kaum Muslimin telah memberikan sumbangsih luar biasa pada masa
peradaban mereka yang cemerlang. Sumbangan tersebut belum pernah dilakukan
secara menyeluruh, unggul, dan terbukti dalam perjalanan sejarah.
Kedokteran Islam bukan sekedar mendiagnosa mengobati penyakit lalu
selesai, tapi meliputi pada dasar-dasar eksperimen yang membalikkan
pengaruhnya sedemikian tinggi dan menakjubkan pada seluruh sisi-sisi latihan
(praktik) kedokteran sebagai pemeliharaan dan pengobatan, atau meringankan dan
memberikan obat-obatan, atau menjauhkan manusia dan pola hidup buruk dengan
melaksanakan anjuran kedokteran.32
Di antara kehebatan peran umat Islam dalam dunia kedokteran dapat
dilihat dari orang-orang jenius dibidang kedokteran yang sangat jarang. Mereka
31
Hasyimsyah Nasution, h. 71. 32
Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2011), h. 271.
46
dengan izin Allah memberikan konstribusi besar dalam memutar roda perjalanan
kedokteran menuju ke arah lain, mengikuti arah perjalanan pergerakan generasi
kedokteran sampai hari ini.
Ketika Islam datang, orang-orang Arab jahiliyah juga mempunyai
semisal tabib, sehingga Rasulullah menganjurkan untuk berobat. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Usamah bin Syarik, “Berobatlah, karena Allah tidak
menurunkan penyakit kecuali membuat obatnya. Kecuali satu penyakit: tua!”
Rasulullah berobat dengan madu dan kurma serta ilalang alami, dan sebagainya
yang dikenal dengan Tibbun Nabawi (Pengobatan Nabi).33
Kaum Muslimin tidak hanya berhenti pada pengobatan Nabawi. mereka
juga mengerti sejak awal bahwa ilmu-ilmu duniawi, termasuk ilmu kedokteran
mengadakan penelitian dan kajian terus-menerus dengan berpegang pada apa yang
terdapat pada umat-umat lain. Karena itu, sebagai praktik terhadap petunjuk
Islam, mereka terus memompa semangat untuk menambah segala sesuatu yang
membawa manfaat. Mencari segala hikmah di mana saja berada. Demikianlah kita
melihat kaum Muslimin mengambil pengetahuan kedokteran dari Yunani di
samping dari negeri-negeri Islam sendiri yang ditaklukannya.
Para ilmuan kedokteran kaum Muslimin mempunyai keistimewaan.
Merekalah yang pertama kali mengetahui spesialisasi kedokteran. Di antara
mereka adalah dokter spesialis mata, memberinya nama dengan Kahalain (Mata
Hitam). Kemudian ada yang spesialis bedah, hijamah (bekam), spesialis penyakit
33
Ibid.
47
wanita dan seterusnya. Di antara para pakar ilmuan pada masa itu adalah Abu
Bakar Ar-Razi.34
Dan kaum intelektual Muslim mencapai keunggulan pada bidang lain
secara cemerlang, yaitu Ibnu Sina yang telah memberikan konstribusi yang sangat
berharga bagi manusia.
Tokoh yang dijuluki sebagai Syaikh al-Ra’is (Pemimpin para
Cendekiawan) tersebut memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi dunia
kedokteran sehingga para dokter mana pun selayaknya tidak akan melupakan atau
mengabaikannya. Ibnu Sina lebih dikenal sebagai Pangeran Para Dokter di dunia
Barat selama berabad-abad dan di dunia Timur hingga saat ini. Di Barat dia
dikenal dengan Avicenna.35
Di antara karya-karya Ibnu Sina yang paling terkenal adalah al-Qanun fi
al-Tibb (The Canon of Medicine). Selama kurun waktu abad ke-12 sampai abad
ke-14 M, buku ini dijadikan referensi utama bagi fakultas kedokteran di berbagai
perguruan tinggi Eropa, pada abad ke-17. Buku ini dianggap ensiklopedi ilmu
kedokteran. Versi edisi bahasa Arab terbit di Roma pada tahun 1593, dan dalam
bahasa Hebrew terbit di Naples padaa tahun 1491, sejak abad ke-15 M, buku ini
telah dicetak ulang sebanyak 15 kali, bahkan beberapa bagian buku tersebut masih
dicetak pada tahun 1930 di kota London, salah satunya diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris oleh Oskar Cameron Gruner.36
34
Ibid, h. 272. 35
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, h. 198. 36
Al-Qanun fi Thibb terjemahannya dalam bahasa Inggris dapat dilihat dalam Oskar
Cameron Gruner, The Canon of Medicine of Avicenna, (New York: AMS Press, 1973), bag. I-IV,
h.25-135, 460-534.
48
Buku al-Qanun ini merupakan karya ensiklopedi mencakup kombinasi
sistem medis Yunani dan Arab, dengan tambahan pengalaman personal Ibnu Sina.
Buku ini membahas tenang klasifikasi penyakit, penjabara, dan penyebab-
penyababnya, dengan terapi (pengobatan), dan klasifikasi kedokteran secara
sederhana dan secara luas; dengan higenitas, fungsi tubuh, dan berbagai topik
lainnya.37
Secara khusus, Ibnu Sina menegaskan kenyataan bahwa penyakit
tuberkulosis paru (TBC paru) itu adalah penyakit menular dan penyakit TBC paru
itu menular melalui tanah dan air.38
Ibnu Sina adalah orang yang pertama kali menemukan anatomi tubuh
manusia secara rinci. Dalam buku The Canon of Medicine dijelaskan tentang
anggota tubuh dan komponennya bahwa anggota tubuh terutama berasal dari
cairan seperti halnya humor terutama berasal dari percampuran dari aliments, dan
aliments terutama terdiri dari bercampur “elemen”. Ada anggota yang sederhana
dan ada anggota majemuk. Anggota sederhana adalah mereka yang strukturnya
homogen di seluruh, sehingga nama mereka menggambarkan mereka di semua
bagian : misalnya daging, tulang, saraf, dan sejenisnya. Sedangkan anggota
senyawa adalah mereka yang satu dan kata yang sama bukanlah gambaran yang
benar dari semua bagian. Misalnya, dalam kasus tangan dan wajah. Bagian dari
wajah bukan wajah, bagian tangan bukan tangan. Anggota ini disebut
37
Ibid. 38
Aftab Macksood, “How Islam Influenced Science”, dalam
www.ais.org/bsb/Herald/Previous/95/ science.hlml diakses pada tanggal 11 Januari 2015. Dan
lihat Oscar Cameron Gruner, The Canon of Medicine of Avicenna, h. 174-183.
49
Faku
ltas
Atr
akti
f
Faku
ltas
yan
g
men
gusi
r
“instrumental” karena mereka adalah instrumen dimana semangat dan tindakan
pikiran (jiwa) tercapai. 39
Tabel Anggota Tubuh dalam buku The Canon of Medicine, sebagai
berikut :40
Organ tambahan Alat indera Paru-paru Perut Konstituan humor
dan
Intestin
Urat nadi
Orga utama Otak Jantung Hati Reproduk
(nafas hewan) (nafas penting) (nafas alami) kelenjar IV
Eferen organ Urat Arteri Kandung empedu, Saluran dan
tambahan langsung limpa, ginjal adneksa jenital
Organ tubuh Tulang, rawan Daging Saluran inenstinal
(Jaringan dasar) ligamen, otot, lemak
tendon, membran
Anggota sederhana “jaringan dasar” mencakup :41
1. Tulang, ini cukup sulit untuk membentuk dasar dari tubuh secara
keseluruhan.
39
Oskar Cameron Gruner, The Canon of Medicine of Avicenna, (New York: AMS Press,
1973), Bagian I, h.93. 40
Ibid 41
Ibid, h. 94.
Faku
ltas
yan
g
men
gusi
r
50
2. Tulang rawan, lebih lembut dari tulang, ini bisa ditekuk, namun lebih sulit
daripada semua anggota lain. itu dibuat untuk tujuan memberikan bantalan
antara tulang keras dan anggota lembut, sehingga tidak boleh terluka saat
terkena pukulan atau jatuh.
3. Saraf, ini adalah struktur yang timbul dari otak atau sumsum tulang
belakang. Mereka putih, lembut, lentur, sulit untuk merobek, dan
diciptakan untuk mengabdi (a) sensasi, (b) gerakan anggota badan.
4. Tendon (urat daging), ini membentuk termininations otot. Mereka
meneyerupai saraf dalam penampilan. Mereka melekat pada anggota
gerak, ketika kontrak otot dan rileks, bagian-bagian mana tendon melekat
pindah ke sana kemari. Mereka banya kadang-kadang memperluas ketika
otot mengembang, dan memperprndek terpisah dari memanjang dan
pemendekan otot.
5. Ligamen (sendi tulang), struktur ini memiliki penampilan dan nuansa
saraf. Mereka ada dua macam, yang terakhir meluas ke otot, dan yang
terlebih dahulu tidak mencapai sejauh otot, tetapi hanya bergabung
dengan ujung tulang senditegas bersama-sama.
6. Arteri. Struktur ini muncul dari hati. Mereka yang berlubang, beserat, dan
konsistensi ligamen. Gerakan mereka terdiri dari ekspansi dan kontaksi,
yang membedakan mereka dari pembuluh darah. Mereka diciptakan untuk
memungkinkam jantung untuk ventilasi, uap air saja yang akan
dikeluarkan darinya, dan nafas didistribusikam dengan cara mereka ke
seluruh bagian tubuh.
51
7. Pembuluh darah, ini mirip arteri kecuali sejauh mereka muncul dari hati
dan tidak berdenyut. Tujuan mereka adalah untuk membawa darah dari
semua bagian tubuh.
8. Membran. Struktur ini membentuk filamen yang sangat halus.
9. Daging. Daging termasuk otot, tendon, ligamen, ikat-jaringan, dan
sebagainya semua bersama-sama. Daging adalah yang mengisi ruang yang
tersisa dalam anggota, sehingga menyampaikan ketegasan dan soliditas.
Organ utama yang diperlukan untuk kehidupan individu, adalah :42
1. Jantung, sumber atau titik awal dari kekuatan vital atau panas bawaan.
2. Otak, kursi dari kemampuan mental, sensasi dan gerakan.
3. Hati, kursi dari fakultas gizi atau vegetatif, organ yang bersangkutan
dalam pemeliharaan kehidupan
4. Organ generatif, mereka memberikan bentuk maskulin dan feminin,
namun tidak terlibat di dalam esensi kehidupan.
Dari uraian di atas dapt disimpulkan bahwa setiap bagian tubuh manusia,
dari ujung rambut hingga ujung kaki kuku saling berhubungan.
Ibnu Sina juga seorang ahli bedah. Dia melakukan praktik bedah yang
rumit, seperti mengentaskan pembengkakan kanker pada periode permulaan,
membedah kelenjar tenggorokan dan batang tenggorokan, membuang bisul pada
pengkristalan di paru-paru. Ia juga mengobati penyakit wasir dengan cara
mengikat. Temuannya sampai kepada penyakit saraf (neurasthenia) di mana Ibnu
Sina merupakan perintisnya. Ia mengemukakan rincian cara mengeluarkannya dan
42
Ibid, h.98.
52
kewaspadaan yang harus diperhatikan, dan mengajarkan cara-cara pembedahan
dengan melakukan penyuntikan dibawah kulit pasien dengan menggunakan cara
pembiusan untuk mengobati luka (disinfection).43
Ia juga menyebutkan kondisi
dengan menggunakan alat deteksi, begitu pula keadaan yang patut diwaspadai
penggunaannya.44
Selain itu, mengenai konsep pentingnya tidur. Menurut Ibnu Sina tidur
merupakan bentuk istirahat yang paling ideal baik secara fisik maupun secara
mental. Kurang tidur dapat menyebabkan kurangnya energi dan lemahnya
mental.45
Tentang kesehatan mental ini juga berhubungan dengan kerangka
filsafat Ibnu Sina mengenai jiwa-raga, yang menurut Ibnu Sina bahwa atribut-
atribut mental dan fisik merupakan bagian yang secara kualitatif berbeda.46
Ibnu Sina juga seorang yang sangat ahli di bidang gigi. Dia menjelaskan
secara rinci dengan rumusnya yang luar biasa seputar lubang gigi. Dia
mengatakan “Tujuan pengobatan membatasi apa yang dimakan, dengan
memindahkan plak-plak yang rusak, meleraikan komponen yang menyebabkan
kerusakan. Karena itu yang perlu diperhatikan, cara pertama dalam pengobatan
gigi adalah menjaga keseimbangannya, dengan cara mempersiapkan lubang gusi
agar kosong terus-menerus. Caranya menghilangkan komponen lubang gigi. Lalu
dikuatkan dengan penambalan dengan komponen gigi yang sesuai, untuk
43
Bahron Ansori “Ibnu Sina, Ilmuan Muslim Pakar Kedokteran Dunia”, dalam
www.mirajnews.com/id/artikel/tokoh/ibnu-sina-ilmuwan-muslim-pakar-kedokteran-dunia/ diakses
pada tanggal 3 Juni 2014. 44
Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, h. 276. Dapat dilihat
juga dalam Al-Qanun fi Thibb terjemahannya dalam bahasa Inggris dapat dilihat dalam Oskar
Cameron Gruner, The Canon of Medicine, bagian IV, h.530. 45
Oscar, Cameron Gruner, The Canon of Medicine of Avicenna, bagian II, h. 262. 46
M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1985), h. 114.
53
mengembalikan komponen yang hilang yang digunakan dalam gigi. Seterusnya
gigi berfungsi kembali.47
Ibnu Sina juga berpendapat tentang sistem imun (daya tahan / kekebalan
tubuh) dalam teori pengobatan atau penanggulangan terhadap beragam penyakit
pada tubuh manusia. Menurutnya, jika kondisi tubuh dalam keadaan fit, maka
akan kebal terhadap penyakit yang menyerangnya, sebaliknya jika kondisi tubuh
tidak fit / lemah, maka akan mudah terserang penyakit dan tindakan pengobatan
tidak berfungsi dengan baik. Menurutnya juga, kondisi kejiwaan / suasana hati
seseorang juga berpengaruh terhadap daya tahan tubuh terhadap penyakit. Jika
seseorang berada dalam suasana / kondisi hati yang sedang sedih, ketakutan atau
gelisah maka mudah terserang penyakit.48
Dalam pengobatan dengan obat-obatan dijelaskan oleh Ibnu Sina dalam
bukunya The Canon of Medicine bahwa ada tiga aturan dalam memilih obat-
obatan :49
1. Seleksi sesuai dengan kualitas, baik panas, dingin, lembab, kering.
2. Pemilihan jumlah yang akan diberikan (dosis). Dalam hal ini dua sub
divisi : a. pengukuran dalam hal berat badan.
b. pengukuran kualitas derajat panas dan dingin.
3. Aturan relatif terhadap waktu pemberian.
Banyak sejarawan yang memuji kecermelangan prestasi ilmiah yang
dicapai Ibnu Sina. Konstribusi Ibnu Sina terhadap pemikiran dan ilmu
47
Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, h. 276. Dapat dilihat
juga dalam Oskar Camaron Gruner, The Canon of Medicine, bagian II, h. 156. 48
Musthofa Ghalib, Fi Sabil Mausu’ah Falsafiyyah Ibnu Sina, (Beirut: Daar wa
Maktabah al-Hilaal, 1979), h. 61 49
Oskar Cameron Gruner, The Canon of Medicine, bagian IV, h.463.
54
pengetahuan amatlah besar dan diakui berpengaruh signifikan kepada para
ilmuan, pemikir, dan filsuf generasi-generasi sesudahnya. Berkat prestasinya
dalam ilmu medis, Ibnu Sina memperoleh julukan Father of Doctors (Bapak Para
Dokter). Mehdi Nakosteen dalam bukunya Konstribusi Islam atas Dunia
Intelektual Barat (1996), menyebutkan bahwa Dunia Islam dan Eropa berutang
budi kepada Ibnu Sina dalam ilmu kedokteran.50
C. Bidang Fisika
Pengembangan sains dalam sejarah Islam sejalan dengan perintah Al-
Qur‟an untuk mengamati alam dan menggunakan akal, dua hal yang merupakan
dasar metodologis sains. Para ilmuan di bidang sains dan teknologi, seperti Ibnu
Sina, al-Kindi, dan Umar Khayyam, membawa kebesaran peradaban Islam.51
Dalam bidang fisika menurut Ibnu Sina, fisika berhubungan dengan
prinsip-prinsip tertentu dan tentang hal-hal yang terkait dengan benda-benda
alam.52
Kajian yang dikemukakan Ibnu Sina dalam masalah ini adalah bersifat
teori, dan obyeknya yaitu benda yang wujud, di mana ia terdapat dalam
perubahan, diam dan bergerak. Ilmu fisika mempunyai beberapa dasar yang hanya
50
Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam, h. 20. 51
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, h.
237. 52
Sebagai contoh, setiap benda alam dikatakan mempunyai ruang dan bentuk alami.
Semua gerak alam menyebabkan gerak kreatif dan sirkuler (melingkar) yang tidak tunduk pada
siklus penciptaan dan penghancuran. Gerak melingkar ini milik benda-benda langit, yang diikuti
oleh benda-benda yang tunduk pada pengaruh-pengaruh langit. Lihat buku Seyyed Hossein Nasr
dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Cet. 1, h.292.
55
bisa diketahui oleh orang yang mendalami ilmu ketuhanan. Sebagai dasar-dasar
itu adalah :53
1. Benda (maddah), surah (form) dan tiada (adam)
Setiap benda yang tersusun mempunyai tiga unsur, yaitu bendanya surah
dan tiada. Demikian menurut Aristoteles. Sebelum terjadinya surah, meskipun
benda itu satu jumlahnya, namun ia mengandung dua unsur yang berbeda.
Pertama, adalah unsur yang tetap. Kedua, adalah yang terjadi akibat adanya
perubahan. Sebagaimana orang yang bukan ahli musik, kemudian menjadi pemain
musik. Orangnya, yang menjadi subyek perubahan, namun orang itu sendiri tidak
mengalami perubahan, ketika menjadi pemain musik. Artinya, ia tetap sebagai
seorang semula, meskipun sifatnya berubah, sebab sifat bukan ahli musik yang
sebelumnya ada menjadi tidak ada lagi ketika ia menjadi pemain musik.54
Teori ini dari Aristoteles yang ditranfer Ibnu Sina dengan mengatakan
bahwa benda alam terdiri dari amaddah (bendanya). Sebagai tempat, dan dari
surah, sebagai perkara yang bertempat padanya. Hubungan benda dengan surah
sama dengan hubungan perak dengan patung. Jadi benda alam mempunyai
tambahan (perkara yang mengikutinya) yaitu „arah (sifat-sifat), seperti gerak,
diam dan lain-lain. Adapun perbedaan Ardla dengan surah adalah apabila ‘ardl
terdapat sebuah benda, dalam kedudukannya sebagai suatu keharusan bagi
wujudnya ‘ardl, sedang surah terdapat sebelum benda dalam kedudukannya
53
H. A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka setia, 1997), Cet. 1, h. 197. 54
Ibid, h. 198.
56
sebagai illat (sebab) bagi anda, dan surah juga adanya sebelum adanya ‘ardl
sebagai keharusan dan sebagai sebab bagi wujudnya suatu benda.55
Bagi tiada semua itu menjadi sumber bagi yang ada, melainkan hanya
tiada yang disertai wujud dalam potensi atau dengan kata lain hanya tiada yang
mungkin wujud. Sebagai contoh : “tidak adanya pisau pada wapper (selongsong)
dan pada besi tua”. Tetapi tidak ada pada kedua perkara tersebut tidak sama,
sebab tidak adanya pisau tidak bisa menjadi sumber adanya pisau karena wujud
pisau secara potensi (bahan) sudah terdapat pada besi tua, dan kemudian akan
menjadi pisau benar-benar, sebagai aktualitas, tetapi wujud pisau sebagai potensi
tidak terdapat sama sekali pada wapper. Karena tiap-tiap benda yang memuat
tiada yang menjadi sumber bagi wujud terhadap sesuatu tersebut hule bagi
sesuatu itu.56
Apabila surah benar-benar terdapat pada hule maka hule menjadi subyek.
Jika hule dibandingkan dengan surah yang tidak terdapat padanya sebagai
aktualitas, maka hule tersebut juga tetap dinamai hule. Namun bila dibandingkan
dengan surah yang sudah terdapat pada aktualitas, maka hule disebut subyek.
2. Gerak dan diam
Menurut Ibnu Sina, gerak adalah pergantian keadaan yang menetap pada
benda sedikit demi sedikit, dengan menuju kepada suatu arah tertentu. Ia juga
menambahkan bahwa tiap-tiap gerak terdapat pada perkara yang bisa bertambah
atau berkurang, sedang jauhar (benda-benda kecil/atom) tidak demikian
55
H. A. Mustofa, Filsafat Islam, h. 198. 56
Ibid.
57
keadaannya (tidak mengenal gerak). Dengan demikian kejadian jauhar dan
kemusnahannya tidak merupakan gerak, melainkan sesuatu yang terjadi dengan
sekaligus. Atau bisa dikatakan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain adalah
gerak. Begitu pula perpindahan dari putih ke hitam (istihalah) dan bertambah
atau berkurangnya sesuatu bentuk juga dikatakan gerak.57
Tentang diam, maka dikatakan oleh Ibnu Sina, sebagai tidak adanya
gerak dari suatu yang bisa bergerak.58
Jadi perlawanan antara diam dengan gerak
sama dengan perlawanan antara tiada dengan ada dengan nyata.
3. Zaman
Zaman adalah ukuran (kadar) gerak yang bundar, dari segi maju
mundurnya. Apabila zaman itu adalah ukuran gerak, sedang zaman itu bukan baru
(dari segi zaman) maka artinya gerak itu bukan hal yang baru. Definisi Ibnu Sina
ini adalah sama dengan yang dikemukakan Aristoteles.
Zaman itu bukanlah sesuatu yang tidak ada lalu ada, tapi terjadinya
penciptaan tidaklah didahului zaman, tapi didahului oleh dzat. Dan zaman
senantiasa bertalian dengan gerak, karena itu tidak akan terbayang adanya zaman
kecuali juga terbayang adanya gerak, jika gerak tidak dapat dirasakan, maka
zaman juga tidak bisa dirasakan. Oleh karena itu, zaman adalah kadar atau ukuran
gerak, maka zaman tidak didahului oleh keadaan, demikian pula halnya gerak.
Jika demikian, gerak dan zaman adalah kadim.59
57
H. A. Mustofa, Filsafat Islam, h. 198-199. 58
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, h. 75. 59
Ibid, h. 76.
58
Zaman tidak dijadikan dalam proses waktu, melainkan kejadian tersebut
adalah sebagai ibda‟ (ciptaan), di mana penciptaannya tidak mendahuluinya dari
segi tingkatan dan martabat. Kalau sekiranya zaman itu mempunyai sumber (asal),
maka berarti zaman itu terjadi sesudah ada zaman lain yang mendahuluinya.
Sebab pengertian baru dalam zaman adalah bahwa zaman itu asalnya tidak ada
kemudian menjadi ada. Jadi sekali lagi apabila zaman itu ukuran gerak dan zaman
itu bukan baru, maka gerak itupun bukan hal yang baru.60
4. Tempat, kekosongan, terbatas dan tidak terbatas
Tempat adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat suatu benda. Jadi
tempat itu meliputi benda itu, memuatnya, terpisah darinya, terjadi suatu gerakan
dan sama (seimbang) dengan benda tersebut. Sebab tidak mungkin terdapat dua
benda dalam satu tempat dan dalam masa yang satu pula. Tempat itu bukan benda
(mater = hule = materi) bukan pula surah (form), karena kedua-duanya hanya
berada pada suatu yang terdapat dalam tempat.61
Kemudian dalam soal kekosongan, Ibnu Sina tidak membenarkan adanya
kekosongan, sebagaimana ia mengingkari adanya keterbatasan (kadar) yang tak
terhingga, atau adanya bilangan yang tidak berakhir maupun gerak yang tidak
berpangkal.
Sedangkan dalam buku Seyyed Hossein Nasr (2006), dalam bidang
fisika, yang ia diskusikan dalam Al-Syifa’ dan juga karya-karya yang lebih
pendek, konstribusi mendasar Ibnu Sina adalah kritiknya terhadap teori gerak
60
H. A. Mustofa, Filsafat Islam, h. 200. 61
Ibid.
59
proyektil Aristotelian yang merupakan kelemahan fisika Peripatetik. Ibnu Sina
mengambil teori John Philoponos untuk melawan Aristoteles dan menyatakan
bahwa tubuh dalam gerak proyektil memiliki suatu kekuatan dirinya yang
diberikan kepadanya oleh sebab yang pertama kali menggerakkannya untuk
mendorong sesuatau yang menghalanginya dari bergerak dalam arah partikular,
yakni daya tolak perantar. Selanjutnya, menurut pandangan Ibnu Sina, juga
bertentangan dengan pendapat John Philoponos, daya ini, yang disebut mail qasri,
tidak tertata dalam kehampaan tapi dapat berlanjut jika terdapat kehampaan di
mana tubuh dapat bergerak.62
Ibnu Sina juga berusaha memberikan relasi kuantitatif pada bentuk gerak
ini dan menyatakan bahwa tubuh yang digerakkan oleh kekuatan yang diberikan
akan memiliki kecepatan atau bobot yang sesuai dengan kecenderungan
alamiahnya, dan bahwa jarak yang ditempuh oleh gerak tubuh tersebut dengan
kecepatan konstan secara langsung sesuai dengan beratnya.63
Jalan fikiran Ibnu Sina bertolak dari konsepsi makhluk dan
mengembangkan dengan argumentasi ontologia. Secara garis besar, ia membagi
sesuatu yang ada atas dua sisi, yaitu fisika dan metafisika.
62
Di Barat, teori daya dorong Ibnu Sina diadobsi oleh seorang Andalusia, Al-Bitruji,
sebelum ia memasuki dunia Latin dan memiliki hubungan langsung dengan tulisan-tulisan Peter
Olivi, di mana istilah Arab mail qasri diterjemahkan dengan inclinatio violenta. Ekspresi ini
kemudian diganti nama dengan impetus impressus oleh John Buri dan didefinisikan sebagai
produk massa dan kecepatan yang sama dengan momentum pada fisika modern. Lihat Seyyed
Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama : Filsafat Islam. (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), h. 71. 63
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama : Filsafat Islam, h. 70.
60
BAB IV
PENGARUH KEILMUAN IBNU SINA TERHADAP PERKEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN
A. Pengaruhnya Di Dunia Islam
Sebagaimana dijelaskan di awal bab ini, Ibnu Sina mempunyai peran
yang sangat besat dalam sains Islam. Pengaruhnya terlihat di manapun dan
kapanpun filsafat dan sains dikembangkan dalam dunia Islam. Pengaruh
pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang
kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah ke Eropa.
Kontribusi ibnu sina terhadap pemikiran dan ilmu pengetahuan amatlah besar,
diakui berpengaruh signifikan kepada para ilmuwan, pemikir dan filusuf generasi-
generasi sesudahnya.1
Diantara murid-murid langsungnya yang paling terkemuka adalah Abu
„Ubaid al-Juzjani, rekan yang menemaninya sepanjang hidup, yang kepadanya
Ibnu Sina mendiktekan otobiografinya dan dia pula yang menyelesikan karya
gurunya yang belum rampung; Abu al-Hasan Bahbanyar, penulis karya yang
sangat penting tentang filsafat, Kitab al-Tahshil dan Kitab al-Hujjah; Ibnu Zailah,
yang menulis ulasan atas Hayy bin Yaqdzan dan merangkum al-Syifa.2
Sepanjang periode Safawi, dengan kebangkitan intelektual dan seni yang
terjadi, filsafat Ibnu Sina juga mendapat perhatian istimewa dari tokoh-tokoh
1http://ikienovember.blogspot.com/2012/05/pengaruh-ibnu-sina-di-dunia-barat-dan.html
diakses pada 4 Januari 2015. 2Sayyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, h. 86.
61
berpengaruh seperti Mir Damad yang berusaha memberikan interpretasi
iluminasionistik; sayyid Ahmad al-„Alawi yang menulis ulasan luas atas Al-Syifa.3
Konsep-konsep Ibnu Sina mengenai wabah penyakit dibawa lebih lanjut
oleh Ibn Baytar dari Andalusia, seorang ahli botani dan farmokologi Muslim
terbesar, yang banyak mewarikan buku-buku medis Abad Pertengahan yang
paling terkenal tentang Botani. Buku-buku medis tersebut seperti Kitab al-Jami’ li
Mufradat al-Adwiyyah (Buku Lengkap tentang Obat-obatan Sederhana dan Buku
yang Memadai tentang Obat-obatan Sederhana). Dia menuliskan di dalamnya
sebanyak 1.400 macam obat-obatan.4 Dengan kata lain, di dunia Islam konstribusi
Ibnu Sina dalam bidang kedokteran membuka jalan kedokteran secara luas.
Kontribusi Ibnu Sina tidak bisa dipisahkan dari zaman keemasan Islam
yang berlangsung (287-494 H/900-1100 M). Zaman keemasan itu merupakan
sebutan populer unuk zaman perkembangan ilmu pengetahuan sebagai kelanjutan
dari zaman penerjemahan dan penulisan buku-buku kedokteran 131-288 H/750-
900 M). Zaman keemasan itu terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah.
Perkembangan yang paling monumental dari pencapaian Dinasti Abbasiyah ini
adalah kemajuan yang luar biasa di bidang pemikiran-pemikiran rasional.5
Pada tahun 1160 di Baghdad telah berdiri lebih dari 60 buah rumah sakit.
Para dokter dan ahli farmasi harus diuji terlebih dahulu sebelum diizinkan
3Ibid, h. 89.
4Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam, h. 260. 5Omar Amin Hoesin, Kultur Islam : Sejarah Perkembangan Kebudayaan Islam dan
Pengaruhnya dalam Dunia Internasional, terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 74.
62
berpraktik, dan praktik mereka diawasi dengan cermat.6 Konstribusi Ibnu Sina
tampak hingga sekarang terutama dalam bidang kedokteran. Di antaranya tentang
eksperimennya yang besar dan pengajarannya tentang beragam keadaan yang
dapat diatasi dengan keadaan yang baik.
B. Pengaruhnya di Dunia Barat
Di Barat juga pengaruh Ibnu Sina merupakan pengaruh yang lama dan
langgeng. Pada abad ke-12, karya-karya tertentu Ibnu Sina mulai diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin, di antaranya otobiografinya seperti diriwayatkan oleh al-
Juzjani, bagian logika dan fisika dalam Al-Syifa dan sluruh metafisikanya.
Kebanyakan terjemahan itu dibuat di sekolah Toledo, khususnya oleh atau di
bawah pengarahan Dominicus Gundissalvus. Tapi banyak dari karya-karya
tersebut yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Joannes Hispalensis,
atau Avendeuth (Ibnu Dawud), yang terkenal sebagai penerjemah korpus Ibnu
Sina.7
Kontribusi besar Ibnu Sina di dunia Barat terutama tampak pada karya
terbesarnya yang berjudul al-Qanun fi al-Tibb (The Canon of Medicine). Buku ini
merupakan karya ensiklopedi yang mencakup kombinasi sistem medis Arab dan
Yunani, dengan tambahan pengalaman personal Ibnu Sina. Buku ini membahas
tentang penyakit mengenai klasifikasi, penjabaran, dan penyebab-penyebabnya,
dan memberikan terapi dengan higiene, fungsi-fungsi bagian-bagian tubuh,
gangguan psikologi dan berbagai topik lainnya. Al-Qanun diterjemahkan ke dalam
6S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2008), Cet.3, h. 40. 7Sayyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, h. 89-90.
63
bahasa Latin dan diterbitkan pada banyak masa. Buku tersebut sangat
berpengaruh di Eropa selama abad Pertengahan, dan menjadi buku referensi
standar pada universitas-universitas terkemuka hingga abad ke-17 M.8
Pandangan-pandangan Ibnu Sina baik pandangan ilmiah atau filosofis,
mulai mempengaruhi pusat-pusat belajar dari abad ke-12 dan seterusnya. Salerno
dan Montpellier begitu terpengaruh oleh kedokterannya, sedang Paris dan Oxford
oleh filsafatnya. Pengaruh Ibnu Sina juga bisa terlihat jelas dalam tulisan-tulisan
William dari Auvergne dan Roger Bacon, yang memujinya dan Albertus Magnus,
St. Thomas, yang argumen ketiganya atas bukti eksistensi Tuhan secara esensial
adalah argumen Ibnu Sina9
Kaum Muslim bukan hanya meninggalkan karya-karya klasik Yunani,
tetapi juga memperkenalkan teori-teori saintifik baru, yang tanpanya Renaisans
Eropa tidak akan berlangsung. Secara khusus, kontribusi Ibnu Sina terhadap
Eropa/Barat pada Abad Pertengahan dalam bidang filsafat sangat jelas. Tidak ada
satu karya pun dari para pemikir Eropa Abad Pertengahan yang tidak mempelajari
hubungannya dengan filsafat Ibnu Sina. Ibnu Sina merupakan salah seorang yang
langka, pemikir yang mempunyai otoritas tinggi yang menjadi rujukan Barat
setelah St. Augustine dan Aristoteles. Selain itu perhatian saintifik Ibnu Sina
menjadi rujukan orang-orang Inggris, Perancis, Italia, dan Jerman.10
8Salah satunya universitas di Prancis, yaitu Sekolah Tinggi kedokteran Montpellier dan
Louvain. Lihat buku Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, h.202. 9Sayyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, h. 90
10Saharawati Mahmouddin, Sistem Kedokteran Islam : Studi Konsep Kesehatan Mental
Ibnu Sina, h. 178.
64
C. Ilmu Pengetahuan Pasca Ibnu Sina
Di luar kelompok murid-murid langsungnya, pengaruh Ibnu Sina terasa
hampir di setiap tokoh intelektual penting pada abad berikutnya. Di antaranya
adalah Umar Khayyam,11
seorang ilmuan Muslim terkemuka berkebangsaan
Persia dan seorang ilmuan dunia terkemuka dalam bidang matematika, sekalipun
dia kebanyakan dikenal karena popularitasnya sebagai filsuf besar dan sebagai
penyair yang namanya bersanding dengan syair-syair indah yang dikenal dengan
sebutan “ar-ruba’iyyat Al-Khayyam” (syair empat baris Al-Khayyam). Umar
Khayyam memberikan rasa hormat tertinggi kepada Ibnu Sina dan bahkan
menerjemahkan salah satu dari risalahnya ke dalam bahasa Persia.12
Selain itu, Nashir-i Khusraw, filosof Isma‟iliyah terbesar, yang menulis
banyak karya penting dalam filsafat dan agama, semua dalam bahasa Persia,
merasa berada di bawah pengaruh tertentu dari ide-ide Ibnu Sina. Bahkan, ahli
matematika dan optik, Ibnu Haitham (Alhazen dalam bahasa Latin)13
belajar dari
tulisan-tulisan Ibnu Sina. Kejeniusan Ibnu Haitham diakui oleh orang-orang
Barat, seperti George Sarton yang mengatakan bahwa “Ibnu Haitham adalah
ilmuwan terkemuka di Arab dalam ilmu fisika, bahkan dia adalah seorang
11
Dia bernama lengkap Abu Al-Fath Ghiyats Ad-Din Umar bin Ibrahim Al-Khayyam
An-Naisaburi (440 H/1048 M-525 H/1131 M). Nama panggilannya “Al-Khayyam” atau “ Al-
Khayyami”. Lihat buku Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuan terkemuka dalam Sejarah Islam,
h. 301-303. 12
Sayyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, h. 86-87. 13
Dia bernama lengkap Al-Hasan bin Al-Haitham (965-1039 M), seorang ilmuwan yang
mulia, bersih hatinya dan mencintai kebaikan. Hal ini dapat diketahui dari penghormatannya yang
diberikan kepada para ilmuan dan tidak menyelewengkannya. Apabila dalam penelitiannya, dia
menemukan sesuatu yang baru, dia menyebutkannya dalam buku-bukunya dengan sikap tawadhu‟
dan tidak sombong. Lihat buku Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuan terkemuka dalam Sejarah
Islam, h. 237.
65
fisikawan terkemuka pada masa abad pertengahan, dan termasuk salah satu
ilmuwan dalam ilmu optik yang sangat sedikit jumlahnya di dunia”.14
Pada abad-abad berikutnya, salah satu tokoh genius terbesar yang pernah
muncul dalam peradaban Islam, Nashiruddin Ath-Thusi,15
yang mulai
menghidupkan kembali filsafat dan ajaran-ajaran Ibnu Sina.
Ilmu kedokteran, dalam karya-karya Ibnu Sina, al-Razi dan tokoh-tokoh
kuno juga terus berkembang di berbagai daerah Mesir dan Syiria, Maghribi dan
Andalusia. Persia dan negeri-negeri Islam lainnya di Timur.16
Ibn al-Nafis (1210-1288 M) adalah orang pertama yang secara akurat
mendeskripsikan peredaran darah dalam tubuh manusia17
dan penemu sirkulasi
kecil atau sirkulasi pulmoner, yang baru-baru ini dianggap ditemukan oleh
Michael Servetus (1511-1553 M)18
pada abad ke-18. Ia membuat studi kritis
mengenai karya Galen (130-210 SM)19
dan Ibnu Sina, yang diterbitkannya
sebagai Ikhtisar al-Qanun, yang menjadi karya kedokteran populer dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Perkembangan ilmu kedokteran Islam
pasca Ibnu Sina juga muncul di Spanyol. Di spanyol, keluarga Ibnu Zuhr atau
14
Ibid, h. 140-241. 15
Dia bernama lengkap Abu Ja‟far Muhammad bin Hasan Nashiruddin (597 H/1201 M-
672 H/1274 M), biasa dipanggil dengan nama Ath-Thusi. Dia adalah seorang ilmuan Muslim
terkemuka dalam bidang astronomi dan matematika. Dialah penggegas teropong bintang terbesar
dan tercanggih yang pernah dikenal oleh manusia sebelum era modern. Lihat buku Muhammad
Gharib Jaudah, 147 Ilmuan terkemuka dalam Sejarah Islam, h. 383. 16
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Terj), h. 212. 17
http://www.muslimheritage.com/article/contributions-ibn-al-nafis-progress-medicine-
and-urology#sec_2 diakses pada 9 januari 2015. 18
Seorang teolog yang juga belajar kedokteran di Lyons dan Paris. deskripsi tentang transit paru darah melalui paru-paru adalah bagian dari pekerjaan teologisnya.
Dapat dilihat dalam www.sciencemuseum.org.uk/broughttolife/people/michaelservetus.aspx
diakses pada 11 Januari 2015. 19
Seorang dokter, penulis dan filsuf yang menjadi dokter paling terkenal di Kekaisaran
Romawi dan yang mendominasi teori kedokteran Eropa selama 1.500 tahun. Lihat dalam
www.bbc.co.uk/history/historic_figures/galen.shtml diakses pada 11 januari 2015.
66
Avenzoar (464 H/1072 M-557 H/1162 M) telah berjasa besar dalam
pengembangan ilmu medis. Selama dua generasi lahir beberapa dokter termasyur,
bahkan seorang dokter wanita, yang memperoleh nama karena keahliannya dalam
seni pengobatan.20
Dan di antara para dokter Andalusia terdapat beberapa filosof
medis terkenal. Di antaranya Ibnu Thufail (493 H/1100 M-581 H/1185 M), Ibnu
Rusyd (520 H/1126 M-595 H/1198 M), dan Maimonides (1135-1204).21
Ibnu Rusyd dalam bidang medis mengarang beberapa karya medis
termasuk sebuah ensiklopedi medis berjudul buku Hal Umum tentang kedokteran,
serta komentar terhadap karya medis Ibnu Sina. Sedangkan Maimonides menulis
10 karya medis dalam bahasa Arab, yang paling terkenal a dalah buku Aforisma
mengenai Umur Medis, yang diterjemahkan juga ke dalam bahasa Ibrani.22
Sementara Ibnu Thufail, selain sebagai filosof termasyhur juga sebagai dokter ahli
matematika dan penyair, di mana lewat karir dokternya dia menaiki tangga
kesekretariatan Gubernur Ceuta dan Tangier putra Abd al-Mu‟min, penguasa
Muwahhid Spanyol pertama yang merebut Maroko pada tahun 542 H/1147 M,
yang kemudian dia menjabat dokter gigi. Karyanya yang berjudul Hay bin Yaqzan
sangat terkenal di negara-negara Barat dan Timur.23
Uraian diatas menunjukkan
secara jelas bahwa ilmu pengetahuan baik ilmiah maupun filosofis pasca Ibnu
Sina terus berkembang dari masa ke masa hingga sekarang.
20
Saharawati Mahmouddin, Sistem Kedokteran Islam : Studi Konsep Kesehatan Mental
Ibnu Sina, h. 268. 21
Maimonides berarti putera dari Maimun, yaitu Musa bin Maimun. Lihat buku Thawil
Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), h.
91. 22
Saharawati Mahmouddin, Sistem Kedokteran Islam : Studi Konsep Kesehatan Mental
Ibnu Sina, h. 269. 23
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, h. 81.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut yang membahas tentang peranan Ibnu Sina dalam
bidang ilmu pengetahuan di Persia dapat disimpulkan bahwa :
1. Ibnu Sina adalah seorang filsuf dan ilmuan. Ia adalah seorang kelahiran
Persia. Dalam perjalanan hidup Ibnu Sina telah menghabiskan waktunya
dengan belajar, berkarya, dan menolong orang banyak yang selalu
memberikan pengobatan atas penyakit-penyakit tubuh.
2. Di Persia secara umum Ibnu Sina dikenal sebagai seorang ahli di bidang
kedokteran, ia banyak menemukan temuan-temuan baru yang belum
pernah orang lain dapatkan. Ibnu Sina juga ahli di bidang ilmu
pengetahuan yang lain seperti filsafat dan fisika. Ia banyak tuangkan
pemikirannya di karya-karya beliau.
3. Kajian Ibnu Sina dan pengaruh keilmuan Ibnu Sina begitu besar mengenai
pemikiran yang beliau tuangkan kepada kita. Ide-ide cemerlang dari Ibnu
Sina memberikan dampak signifikan dalam ilmu pengetahuan. Kontribusi
di dunia Islam, membuka jalan kedokteran yang lebar dan membangunnya
secara sistematis. Sedangkan kontribusinya di dunia Barat, membuka jalan
bagi Renaisans Eropa dan sumber referensi Barat Eropa dari Abad
Pertengahan hingga abad 17 M. Ia mendapat penghormatan tertinggi, dan
dipuja dari abad ke abad sebagai filosof dan ilmuan terbesar dalam Islam.
68
B. Saran
Kajian sejarah tentang peranan Ibnu Sina dalam bidang sains Islam perlu
diperbanyak lagi karena Ibnu Sina banyak memberikan peranannya dalam bidang
sains khususnya filsafat, kedokteran dan fisika. Begitu besarnya pengaruh dari
sosok Ibnu Sina mengenai pemikiran yang beliau tuangkan, ide-ide cemerlang
dari Ibnu Sina memberikan dampak signifikan dalam ilmu pengetahuan.
Pengembangan konsep kesehatan maupun filosofis Ibnu Sina, penting dilakukan
terutama pada Fakultas Adab dan Humaniora, Fakultas Ushuludin, Fakultas
Tarbiyah, Fakultas Sains dan Teknologi serta Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, khususnya yang berada dalam lingkup Universitas Islam Negeri. Dan
di samping itu juga perlu disebarluaskan agar dapat memanfaatkan konsep-konsep
tersebut dengan baik.
69
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
a) Sumber Primer
Gohlman, William E. The Life of Ibnu Sina: A Critical Edition and Annotated
Translation. New York: State University of New York Press, 1974.
Gruner, Oskar Cameron. The Canon of Medicine. New York: AMS Press, 1973.
b) Sumber Sekunder
Abdullah, Taufik. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban. Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Arsyad, Natsir. Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung: Mizan, 1989.
As-Sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2011.
Dasoeki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang: Dina Utama
Semarang, 1993.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992.
Effendi, Muhammad Nur. Cendekiawan Muslim : Pembina Tamadun dan
Kecemerlangan Umat. Jakarta: Perniagaan Jahabersa, 1997.
Ghalib, Musthofa. Fi Sabil Mausu’ah Falsafiyyah Ibnu Sina. Beirut: Daar wa Maktabah
al-Hilaal, 1979.
Gotschalk, Louis. Mengerti Sejarah (Terj). Jakarta: UI Press, 1989.
Haque, M. Atiqul. Wajah Peradaban : Menelusuri Jejak Pribadi-pribadi Besar
Islam. Bandung: Wacana Mulia, 1995.
70
Haque, M. Atiqul. 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia. Yogyakarta:
DIGLOSSIA, 2007.
Heriyanto, Husain. Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam. Jakarta: Mizan,
2011.
Hoesin, Omar Amin. Kultur Islam : Sejarah Perkembangan Kebudayaan Islam dan
Pengaruhnya dalam Dunia Internasional, terj. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Jaudah, Muhammad Gharib. 147 Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, tt.
Kartodirdjo. “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”, dalam Koentjaraningrat, (ed.),
Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1979.
Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Penelitian.
Jakarta: Gramedia, 1992.
K. Hitti, Philip. History of Arabs, terjemahan R. Cecep Lukman dan Dedi Selamet
Riyadi. Jakarta: Serambi, 2002.
Mustofa, H. A. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1997.
Nakosteen, Mehdi. Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi
Analisi Abad Keemasan Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Nasr, Seyyed Hossein. Tiga Madzhab Utama : Filsafat Islam. Jogjakarta:
IRCiSoD, 2006.
Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam (Terj). Bandung:
Pustaka, 1986.
Nasr, Seyyed Hossein dan Leaman, Oliver. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.
Bandung: Mizan, 1996.
Nasution, Hasan Bakti. Filsafat Umum. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
71
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
2002.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Poeradisastra, S.I. Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern. Cet.
Ke-3. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
Poerwantana, dkk. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1994.
Saefuddin, Didin. Zaman Keemasan Islam : Rekontruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyyah Jakarta: PT Grasindo, 2002.
Saloom, Gazi. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim. Bandung: Pustaka Hidayah,
2002.
Sheikh, M. Saeed. Islamic Philosophy. London: The Octagon Press Ltd, 1982.
Syarif, M.M. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan, 1994.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam : Filosof & Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pres,
2010.
A. Disertasi
Saharawati Mahmouddin. “Sistem Kedokteran Islam : Studi Konsep Kesehatan
Mental Ibnu Sina”. Disertasi S3 di program Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Jakarta, 2011.
B. Internet, Artikel, dll.
Macksood, Aftab, “How Islam Influenced Science”. Artikel diakses pada tanggal
25 Januari 2013 dari www.ais.org/bsb/Herald/Previous/95/ science.hlml.
72
Ansori, Bahron, “Ibnu Sina, Ilmuan Muslim Pakar Kedokteran Dunia”, dalam
www.mirajnews.com/id/artikel/tokoh/ibnu-sina-ilmuwan-muslim-pakar-
kedokteran-dunia/ diakses pada tanggal 3 Juni 2014.
http://ikienovember.blogspot.com/2012/05/pengaruh-ibnu-sina-di-dunia-barat-
dan.html.
http://www.muslimheritage.com/article/contributions-ibn-al-nafis-progress-
medicine-and-urology#sec_2.
http://www.sciencemuseum.org.uk/broughttolife/people/michaelservetus.aspx.
http://www.bbc.co.uk/history/historic_figures/galen.shtml.
73
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I
Tokoh Ibnu Sina
76
Lampiran IV
Karya-karya Ibnu Sina1
1. An-Najah, Kairo: Percetakan Sa’adah, 1331 H. (Buku ini merupakan
ringkasan buku asy-Syifa dan dijelaskan oleh Fakhruddin ar-Razi yang
meninggal dunia pada tahun 600 H).
2. Al-Isyarat wa at-Tanbihat, Kairo: 1325 H. (juga diterbitkan baru-baru ini
oleh Sulaiman Dunya. Al-Juzjati berkomentar bahwa buku ini merupakan
buku terakhir dan terbaik yang ditulis oleh Ibnu Sina, serta dijelaskan oleh
Nasiruddin ath-Thusi yang meninggaal dunia pada tahun 762 H).
3. Al-Qanun fi Tibb, roma, 1653.
4. Risalah fi Ma’rifat an-Nafs an-Nathiqah wa Ahwaliha, diterbitkan oleh
Muhammad Tsabit al-Fandi, Kairo, 1934.
5. Mabhats ‘an al-Quwa an-Nafasaniyah, diterbitkan oleh Fandik, Kairo,
1315 H.
6. Ahwal an-Nafs, ditahkik oleh Fu’ad al-Ahwani, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyah, 1952; bersama tiga buku kecil lainnya, yaitu Mabhats ‘an al-
quwa an-Nafasaniyah, Risalah fi Ma’rifat an-Nafs an-Nathiqah wa
Ahwaliha, dan Risalah fi al-Kalam ‘an an-Nafs an-Nathiqah.
7. Sembilan buku kecil tentang hikmah fisika, Istanbul, 1298 H.
8. Uyun al-Hikmah, ditahkik dan diterbitkan oleh Abdurrahman Badawi,
Cetakan II, Kuwait: Wakalah al-Mathbu’at, 1980.
9. Hayy bin Yaqzhan, Kairo: 1809.
10. At-Ta’liqat ‘ala Hawasyi Kitab an-Nafs li Aristho, ditahkik oleh
Abdurrahman Badawi, Kairo: Lembaga Buku Nasional Mesir, 1973.
11. Al-Qashidah al-‘ainiyah fi an-nafs: Syarh al-Manawi, Kairo 1318 H.
12. Kitab as-Siyasah, diterbitkan dan diberi komentar oleh Bapak Paulus
Ma’luf Jesuit, Beirut, 1911.
1Gazi Saloom, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002), Cet. 1, h.141-142. Lihat juga buku : Thanwil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi
Filsafat Islam, (Semarang: Dina Utama, 1993), h.37-39.
77
13. Kitab al-Mubahatsat, termasuk buku Aristho ‘inda al-‘Arab, Cetakan II,
disusun oleh Abdurrahman al-Badawi, Kuwait: Wakalah al-Mathbu’at,
1978.
14. Sadidiyah, buku ilmu kedokteran.
15. Al-Musiqa, buku tentang musik.
16. Al-Manthiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
17. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.
18. Danesh Nameh, buku filsafat.
19. Mujiz, Kabir wa Shagir, sebuah buku yang menerangkan tentang dasar-
dasar ilmu logika secara lengkap.
20. Al-Inshaf, buku tentang keadilan sejati.
21. Al-Hudud, berisikan istilah-istilah dan pengertian-pengertian yang dipakai
di dalam ilmu filsafat.
22. Hikmah el Masyriqiyyin, Falsafah Timur (Britannica Encyclopedia, vol. II,
hal 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
78
Cover salah satu buku terjemahan al-Qanun fi Tibb, yaitu The Canon of Medicine
of Avicenna
79
80
Lampiran V
Cover buku autobiografi Ibnu Sina, dalam teks asli Arab dan terjemahan
bahasa Inggris.
The Life of Ibn Sina
First Edition
Published by State University of New York Press
99 Washington Avenue, Albany, New York 12210
© 1974 State University of New Yo.rk
All rights reserved
Printed in the United States of America
Library of Congress Catalog in Publication Data
Avicenna, 980-1037.
The life of Ibn Sina,
Arabic text and English translation of the author's autobiography, Sirat al-
Shaykh al-Ra'is, which was completed by al-Juzajani.
Originally presented as the editor's thesis, University of Michigan.
Includes bibliographies.
J. Avicenna, 980-1037. 1. Al-juzajani, 'Abd al-Wahid ibn Muhammad, 11 th
cent. II. Gohlman, WillIam E., ed. III. Title.
B751.A5SS 1974 189'.5 73-6793
ISBN 0-87395-226-X
ISBN 0-87395...227-8 (microfiche)
Top Related