PENILAIAN KUALITAS SUSU SAPI BERDASARKAN
JUMLAH TOTAL MIKROORGANISME, Escherichia coli DAN
Staphylococcus aureus DI KABUPATEN BOGOR, CIANJUR,
BANDUNG, SUMEDANG, DAN TASIKMALAYA,
PROVINSI JAWA BARAT
INDA DARMANSAH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ABSTRAK
INDA DARMANSAH. Penilaian Kualitas Susu Sapi Berdasarkan Jumlah Total
Bakteri, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus di Kabupaten Bogor,
Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Dibawah
bimbingan MIRNAWATI B. SUDARWANTO dan HERWIN PISESTYANI.
Susu segar merupakan makanan yang hampir sempurna karena kandungan
gizinya yang lengkap. Susu selain bermanfaat untuk kesehatan manusia juga
disukai oleh mikroorganisme. Mikroorganisme penting yang dapat mencemari
susu dan produknya, antara lain Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
Keberadaan kedua bakteri patogen dalam susu tersebut muncul sebagai masalah
kesehatan masyarakat. Penelitian ini bertujuan memberikan penilaian terhadap
kualitas susu sapi pada susu segar yang berasal dari lima kabupaten di Provinsi
Jawa Barat.
Penilaian kualitas susu sapi dilakukan dengan menguji 25 sampel susu
kandang dari peternakan sapi perah di lima kabupaten di Jawa Barat, diantaranya
Bogor, Bandung, Cianjur, Tasikmalaya dan Sumedang. Kualitas dari setiap
sampel diuji dengan menghitung jumlah total mikroorganisme (TPC), jumlah
Escherichia coli, dan jumlah Staphylococcus aureus. Pengujian TPC dan
S. aureus dilakukan dengan metode hitungan cawan (plate count method) dengan
cara tuang (pour plate method) sedangkan jumlah E. coli diuji menggunakan
metode most probable number (MPN) dengan tiga tabung.
Hasil uji menunjukkan bahwa jumlah total mikroorganisme 2 dari 25 (8%)
sampel melebihi ketetapan SNI no.3141.1 2011 tentang Susu Segar, yaitu sampel
yang berasal dari Kabupaten Bogor (1.9 x 106 cfu/ml) dan Cianjur
(1.3 x 107 cfu/ml). Hasil penghitungan jumlah MPN E. coli didapatkan seluruh
sampel 100% (25/25) melebihi ketetapan SNI no.3788:2009 tentang Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. Rataan jumlah MPN E. coli adalah
30 MPN/ml. Cemaran S. aureus pada seluruh sampel 100% (25/25) sangat tinggi
melebihi batas yang diperbolehkan dalam SNI. Rataan jumlah S. aureus adalah
1.2 x 105 cfu/ml. Tingginya rataan jumlah total mikroorganisme, jumlah E. coli
dan S. aureus pada susu segar merupakan indikator praktik higiene dan sanitasi
yang buruk di peternakan.
Secara keseluruhan, susu segar di Jawa Barat belum memenuhi standar.
Cemaran mikroorganisme dalam susu terjadi karena penanganan dan pengolahan
susu yang tidak tepat. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan
praktik higiene dan sanitasi pada peternakan di beberapa kabupaten di Jawa Barat
untuk meningkatkan kualitas susu.
Kata Kunci: kualitas susu, jumlah total mikroorganisme, jumlah Escherichia coli,
dan jumlah Staphylococcus aureus.
ABSTRACT
INDA DARMANSAH. The Observation of Cow Milk Quality in Bogor, Cianjur,
Bandung, Sumedang, and Tasikmalaya, West Java Province based on Total Plate
Count, Escherichia coli and Staphylococcus aureus. Under direction of
MIRNAWATI B. SUDARWANTO and HERWIN PISESTYANI.
The microbial quality of milk was done by evaluating 25 bulk milk samples
from dairy farm in five districts in West Java, including Bogor, Bandung, Cianjur,
Tasikmalaya and Sumedang. The quality of each samples were evaluated by
estimating the Total Plate Count (TPC), Escherichia coli Count, and
Staphylococcus aureus Count. The result showed that 2 from 25 (8%) samples of
TPC, 25 samples (100%) of S. aureus, and the number of E. coli contamination
(100%) were not meet requirements of the standards (SNI). Overall, milk in
West Java has not met the standards. These contamination bacteria may cause
problems due to improper handling and processing of milk. Therefore there is
need efforts to improve hygiene and sanitation practices on the farm in several
districts in West Java for improving the quality of milk.
Keywords: milk quality, total plate count, Escherichia coli count, and
Staphylococcus aureus count.
PENILAIAN KUALITAS SUSU SAPI BERDASARKAN
JUMLAH TOTAL MIKROORGANISME, Escherichia coli DAN
Staphylococcus aureus DI KABUPATEN BOGOR, CIANJUR,
BANDUNG, SUMEDANG, DAN TASIKMALAYA,
PROVINSI JAWA BARAT
INDA DARMANSAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Penilaian Kualitas Susu
Sapi Berdasarkan Jumlah Total Mikroorganisme, Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus di Kabupaten Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dan
Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2011
Inda Darmansah
B04070130
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Judul Skripsi : Penilaian Kualitas Susu Sapi Berdasarkan Jumlah Total
Mikroorganisme, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus
di Kabupaten Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dan
Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat
Nama : Inda Darmansah
NIM : B04070130
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto drh. Herwin Pisestyani, MSi
Ketua Anggota
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Penilaian Kualitas Susu Sapi
Berdasarkan Jumlah Total Mikroorganisme, Escherichia coli dan Staphylococcus
aureus di Kabupaten Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat” berhasil diselesaikan. Penulis menyadari bahwa
keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto selaku ketua komisi
pembimbing atas bimbingan, pengarahan, saran serta dukungan yang berarti
kepada penulis selama penyusunan skripsi.
2. Ibu drh. Herwin Pisestyani, MSi selaku anggota komisi pembimbing atas
bimbingan, pengarahan, saran serta dukungan yang berarti kepada penulis
selama penyusunan skripsi.
3. Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi selaku dosen pembimbing
akademik atas nasehat dan dukungan yang berarti kepada penulis.
4. Ibu dan Ayah tercinta atas semua kasih sayang, dukungan moril maupun
materil serta doa yang selalu menyertai penulis.
5. Teman-teman Gianuzzi serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu yang telah memberikan doa, dukungan dan masukkan yang
berguna untuk skripsi ini.
Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah
dari Allah SWT. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak
kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, September 2011
Inda Darmansah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kuningan-Jawa Barat pada tanggal 1 September 1989
dari ayah, Nanan Juandi dan ibu, Euis Juarsah. Penulis merupakan putra keempat
dari enam bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SDN 1 Kaduagung dan lulus pada
tahun 2002, yang kemudian dilanjutkan ke SLTPN 1 Kuningan dan lulus pada
tahun 2005. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA dalam dua tahun di kelas
akselerasi, SMAN 2 Kuningan dan lulus pada tahun 2007 dan melanjutkan ke IPB
pada tahun yang sama melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kuningan.
Mayor yang dipilih penulis adalah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran
Hewan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis menjadi aktivis yang prestatif, terbukti
penulis pernah mendapat penghargaan sebagai Mahasiswa Berprestasi TPB Peraih
IPK 4,00 dan Mahasiswa Berprestasi Fakultas Kedokteran Hewan peringkat
kedua, sementara juga aktif di organisasi Ikatan Keluarga Muslim TPB (IKMT)
dan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al-Hurriyyah, DKM An-Nahl, serta Ikatan
Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI). Penulis pernah menjabat
sebagai Ketua Umum Organisasi Mahasiswa Daerah Kuningan (HIMARIKA)
pada tahun 2008 dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Hewan pada tahun 2010.
Prestasi yang pernah diraih penulis antara lain sebagai salah satu delegasi
Institut Pertanian Bogor dalam Aceh Development International Conference 2010
(ADIC 2010) di Universiti Putra Malaysia pada Maret 2010 dan penerima
beasiswa mahasiswa berprestasi Program Pembinaan Sumber Daya Manusia
Strategis (PPSDMS) Nurul Fikri Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang .......................................................................................... 1
Tujuan ....................................................................................................... 2
Manfaat ..................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Kualitas dan Keamanan Susu ................................................................... 4
Bakteri dalam Susu ................................................................................... 6
Karakteristik Escherichia coli .................................................................. 7
Karakteristik Staphylococcus aureus ........................................................ 9
Isolasi dan Identifikasi Escherichia coli dan Staphylococcus aureus ...... 11
Prinsip Pengujian Jumlah Bakteri ............................................................. 15
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat .................................................................................... 18
Pengambilan dan Jumlah Sampel ............................................................. 18
Bahan dan Alat ........................................................................................ 18
Pengujian Jumlah Mikroorganisme .......................................................... 19
Pengujian Jumlah Escherichia coli ........................................................... 20
Pengujian Jumlah Staphylococcus aureus ................................................ 23
Analisis Data ............................................................................................. 24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Total Mikroorganisme .................................................................. 27
Jumlah MPN Escherichia coli .................................................................. 29
Jumlah Staphylococcus aureus ................................................................. 30
Tindakan Pencegahan ............................................................................... 32
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ................................................................................................... 34
Saran ......................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Koloni E. coli pada media LEMB Agar ............................................................ 12
2. Koloni S. aureus pada media BPA .................................................................... 12
3. Prosedur pengujian sampel susu dengan metode hitungan cawan .................... 20
4. Prosedur pengujian jumlah E. coli dengan metode MPN 3 tabung .................. 22
5. Prosedur pengujian jumlah S. aureus dengan metode hitungan cawan ............ 24
6. Sebaran jumlah total mikroorganisme (TPC) pada susu segar di lima
kabupaten, Provinsi Jawa Barat ........................................................................ 27
7. Rataan jumlah E. coli pada susu segar di lima kabupaten,
Provinsi Jawa Barat ........................................................................................... 29
8. Sebaran jumlah S. aureus pada susu segar di lima kabupaten,
Provinsi Jawa Barat ........................................................................................... 31
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Komposisi susu sapi per 100 ml (Astawan 2008) ............................................ 1
2. Jumlah rata-rata koliform, E. coli dan S. aureus dalam susu di Peninsular,
Malaysia (Chye et al. 2004) ............................................................................. 6
3. Perbedaan berbagai jenis Staphylococcus (Bennet & Monday 2003) ............. 10
4. Staphylococcus aureus yang diisolasi dari pekerja, susu mentah, dan
keju Minas Frescal di industri susu, Brazil (Andre et al.2008) ........................ 10
5. Sistem selektif dan diagnostik yang digunakan pada media
Enrichment untuk Staphylococcus aureus (Baird & Lee 1995) ....................... 13
6. Penampilan Staphylococcus aureus pada beberapa macam media
isolasi (Baird & Lee 1995) ............................................................................... 14
7. Lokasi dan jumlah sampel susu sapi yang diambil di Provinsi Jawa Barat ..... 18
8. Hasil uji IMViC untuk identifikasi Escherichia coli ....................................... 23
9. Rataan jumlah total mikroorganisme, Escherichia coli, dan
Staphylococcus aureus pada susu segar di lima kabupaten, Provinsi
Jawa Barat ........................................................................................................ 26
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu segar sebagai hasil sekresi biologis mammalia, disebut sebagai
makanan yang hampir sempurna karena kandungan gizinya yang lengkap. Para
Vpeneliti telah menemukan lebih dari 100 000 jenis molekul zat makanan yang
terkandung dalam susu. Susu mengandung air, lemak, protein, karbohidrat,
mineral, enzim, dan vitamin, diantaranya vitamin A, B, C, dan D. Susu
dibutuhkan oleh manusia untuk membangun dan memelihara sel-sel tubuh,
regenerasi serta memperbaiki jaringan yang rusak, memelihara metabolisme
tubuh, sumber prebiotik, dan sumber kalsium (Astawan 2008). Kandungan susu
sapi per 100 ml ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi susu sapi per 100 ml (Astawan 2008)
Nutrisi Jumlah
Protein (g) 3.2
Lemak (g) 4.1
Karbohidrat (g) 4.4
Energi (kkal) 67
Kalsium (mg) 250
Fosfor (mg) 90
Zat besi (mg) 0.2
Tiamin (mg) 0.05
Riboflavin (mg) 0.19
Vitamin C (mg) 2
Vitamin B12 (μg) 0.14
Berdasarkan data statistik dari Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan (2009), jumlah produksi susu di Jawa Barat terus meningkat.
Produksi susu lima tahun terakhir tercatat dari tahun 2005 hingga 2009 sebanyak
201 885 ton, 211 889 ton, 225 212 ton, 225 212 ton, dan 236 473 ton. Dilaporkan
konsumsi susu di Indonesia per kapita per tahun pada tahun 2007 sebanyak 7.12
kg dan menurun pada tahun 2008 sebanyak 6.92 kg, sedangkan konsumsi per
kapita per minggu pada tahun 2007 dan 2008 sebanyak 4 ml (Ditjennak 2009).
2
Susu penting untuk kesehatan manusia, namun susu juga disukai oleh
mikroorganisme. Susu merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri,
baik bakteri pembusuk maupun bakteri patogen karena mengandung sejumlah zat
gizi. Umumnya bakteri dalam susu dapat berasal dari saluran puting (teat canal),
jaringan ambing yang terinfeksi atau kontaminasi dari hewan, pemerah, kotoran
dan air yang tercemar (Altalhi & Hassan 2009).
Menurut Chye et al. (2004) susu yang baru dikeluarkan dari ambing sapi
yang sehat biasanya mengandung jumlah mikroorganisme yang rendah (kurang
dari 1000 per ml), namun jumlahnya dapat meningkat mencapai 100 kali lipat atau
lebih saat disimpan lama pada suhu kamar (25 oC). Mikroorganisme patogen
penyebab foodborne diseases yang terkait dengan konsumsi susu antara lain
Listeria monocytogenes, Salmonella spp., Campylobacter spp., Staphylococcus
aureus, Bacillus cereus dan Clostridium botulinum.
Beberapa mikroorganisme penting yang dapat mencemari susu dan
produknya, antara lain Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. E. coli
digunakan sebagai indikator yang dapat dipercaya terhadap kontaminasi feses dan
kemungkinan adanya mikroorganisme enteropatogenik dan/atau toksigenik
sehingga E. coli dikenal sebagai agen penyebab diare dan penyakit-penyakit yang
ditularkan melalui makanan (foodborne illness) (Altalhi & Hassan 2009).
Menurut André et al. (2008) S. aureus dikenal di seluruh dunia sebagai agen
patogen sangat penting yang menyebabkan infeksi pada kelenjar ambing sapi
perah. Keberadaan S. aureus dalam makanan sering dikaitkan dengan
penanganan yang tidak tepat oleh pekerja.
Beberapa kondisi seperti pH, populasi awal S. aureus, suhu penyimpanan
memegang peranan penting dalam produksi enterotoksin pada pembuatan keju
dan produk susu skala industri yang dapat menjadi sumber pemicu foodborne
disease. Keberadaan kedua bakteri patogen pada susu tersebut muncul sebagai
masalah kesehatan masyarakat.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan memberikan penilaian terhadap kualitas susu sapi
berdasarkan jumlah total mikroorganisme (total plate count), E. coli dan S. aureus
3
pada susu sapi di Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung,
Kabupaten Sumedang, dan KabupatenTasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.
Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penulisan skripsi ini ditujukan kepada
pemerintah, peternak, dan masyarakat yang memiliki peran besar dalam
mewujudkan kualitas susu yang baik.
1. Bagi pemangku kepentingan dan penentu kebijakan tulisan ini diharapkan
dapat menjadi masukan dalam menentukan kebijakan yang berhubungan
dengan peningkatan kualitas susu di Indonesia.
2. Bagi peternak tulisan ini dapat menumbuhkan motivasi untuk meningkatkan
usaha produksi susu dengan kualitas yang baik.
3. Bagi masyarakat tulisan ini dapat menjadi informasi yang edukatif tentang
kualitas susu di Indonesia.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Kualitas dan Keamanan Susu
Susu merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri dan
dapat menjadi sarana bagi penyebaran bakteri yang membahayakan kesehatan
manusia. Susu mudah tercemar mikroorganisme bila penanganannya tidak
memperhatikan aspek kebersihan (Balia et al. 2008, diacu dalam Gustiani 2009).
Upaya memenuhi ketersediaan susu harus disertai dengan peningkatan kualitas
dan keamanan produk susu karena seberapa pun tinggi nilai gizi suatu bahan
pangan akan menjadi tidak berarti bila bahan pangan tersebut berbahaya bagi
kesehatan (Murdiati et al. 2004, diacu dalam Gustiani 2009). Pada umumnya,
bakteri merupakan penyebab utama penyakit yang ditularkan dari ternak ke
manusia melalui pangan. Bakteri yang menyerang ternak saat di kandang dapat
menular ke manusia karena pemeliharaan dan proses panen yang tidak higienis.
Pemerahan susu yang tidak sesuai anjuran dapat menyebabkan susu tercemar
mikroorganisme dari lingkungan sehingga kualitas susu menurun (Gustiani 2009).
Proses pencemaran mikroba pada susu dimulai saat susu diperah, bakteri
yang berada di sekitar ambing juga terbawa dalam susu saat pemerahan. Menurut
Rombaut (2005), diacu dalam Gustiani (2009), pencemaran susu terjadi sejak
proses pemerahan, dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah,
debu, manusia, peralatan, dan udara.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 3141.1 2011 tentang
Susu segar-bagian 1: Sapi, syarat susu segar antara lain adalah: (1) tidak ada
penyimpangan pada uji organoleptik seperti warna putih kekuningan, bau dan rasa
khas susu serta konsistensi normal, (2) kandungan protein minimal 2.8% dan
lemak minimal 3%, (3) cemaran mikroba maksimum 1 juta cfu/ml (BSN 2011).
Susu segar yang halal, aman, sehat dan utuh (HASU) dapat dihasilkan dari sapi
perah yang sehat serta pemerahannya baik dan benar (Gustiani 2009).
Susu yang akan dikonsumsi sebaiknya diperhatikan terlebih dahulu
kondisinya. Susu segar yang baik adalah yang memenuhi kriteria halal, aman,
sehat, utuh (HASU), yaitu: (1) tidak mengandung atau tidak bersentuhan dengan
barang atau zat yang diharamkan, (2) tidak mengandung agen penyebab penyakit,
5
misalnya mikroba patogen (Salmonella sp., Mycobacterium sp.) dan residu bahan
berbahaya (antibiotik, logam berat, pestisida, hormon), (3) mengandung zat gizi
dalam jumlah yang cukup dan seimbang, dan (4) tidak dikurangi atau ditambah
sesuatu apa pun (Gustiani 2009).
Mikroorganisme yang berkembang dalam susu dapat menurunkan kualitas
dan mempengaruhi keamanan produk tersebut apabila dikonsumsi oleh manusia.
Beberapa kerusakan pada susu yang disebabkan oleh cemaran mikroorganisme
antara lain: (1) pengasaman dan penggumpalan, yang disebabkan oleh fermentasi
laktosa menjadi asam laktat sehingga pH susu turun dan kasein menggumpal, (2)
susu berlendir karena terjadinya pengentalan dan pembentukan lendir oleh
beberapa jenis bakteri, (3) penggumpalan susu tanpa penurunan pH yang
disebabkan oleh bakteri Bacillus cereus (Gustiani 2009).
Bakteri yang dapat mencemari susu terdiri atas dua golongan, yaitu bakteri
patogen dan bakteri apatogen (bakteri pembusuk). Bakteri patogen dapat
menyebabkan penyakit yang ditimbulkan oleh susu (milkborne disease), seperti
tuberkulosis, bruselosis, dan demam tifoid. Mikroorganisme lain yang terdapat di
dalam susu yang dapat menyebabkan penyakit adalah Salmonella, Shigella,
B.cereus, dan S. aureus (Buckle et al. 1987). Mikroorganisme tersebut dapat
masuk ke dalam susu melalui udara, debu, alat pemerahan, dan manusia. Bakteri
apatogen merupakan bakteri yang berkembang dalam susu dan menyebabkan
terjadinya perubahan dan penyingkiran susu sehingga kualitas susu menurun.
Beberapa kerusakan pada susu yang disebabkan oleh bakteri tersebut antara lain
pengasaman dan penggumpalan susu yang disebabkan oleh Bakteri Asam Laktat
(BAL). BAL memfermentasi laktosa menjadi asam laktat sehingga pH susu
menurun dan kasein menggumpal. Bakteri yang termasuk BAL diantaranya
Lactococcus sp., Lactobacillus sp., Streptococcus sp., dan Staphylococcus sp.
Menurut data the Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
Amerika Serikat pada tahun 1998-2005 yang dikutip oleh Omiccioli et al. (2009),
sebanyak 45 wabah foodborne illness disebabkan oleh susu yang tidak
dipasteurisasi atau keju yang dibuat dari susu yang tidak dipasteurisasi,
menyebabkan 1007 orang sakit, 104 orang dirawat di rumah sakit dan 2 orang
meninggal. Susu mentah atau yang tidak dipasteurisasi (raw/unpasteurized milk)
6
merupakan wahana pemindah (vehicle of transmission) dari mikroorganisme
seperti Salmonella spp., E. coli O157 dan Listeria monocytogenes. Beberapa
wabah foodborne illness terjadi setelah mengkonsumsi susu mentah yang
tercemar dan produk-produk susu, seperti yang disebabkan oleh Shiga-toxin yang
dihasilkan E. coli.
Bakteri dalam Susu
Umumnya bakteri dalam susu dapat berasal dari saluran puting (teat canal),
jaringan ambing yang terinfeksi (mastitis subklinis) atau melalui kontaminasi dari
hewan, pemerah, kotoran dan air yang tercemar (Altalhi & Hassan 2009).
Elmoslemany et al. (2010) menambahkan bahwa kontaminasi mikroorganisme
pada susu bisa terjadi di tangki penampungan (bulk tank milk) melalui tiga sumber
utama, yaitu kontaminasi bakteri dari permukaan luar ambing dan puting,
permukaan peralatan susu, dan dari mikroorganisme penyebab mastitis di dalam
ambing. Artinya bahwa jumlah bakteri pada susu dimulai dari peternakan dan
dipengaruhi oleh banyak prosedur yang berkaitan dengan praktik manajemen di
peternakan.
Chye et al. (2004) melaksanakan studi tentang keamanan mikrobiologik
susu mentah yang berasal dari 360 peternakan sapi perah di Peninsular, Malaysia.
Sampel susu dianalisis terhadap total plate count (TPC), S. aureus, koliform dan
E. coli, serta prevalensi L. monocytogenes, E. coli O157:H7 dan Salmonella.
Jumlah rata-rata koliform, E. coli dan S. aureus yang ditemukan dalam penelitian
tersebut adalah berturut-turut 1.7 x 105, 6.8 x 10
3 dan 1.2 x 10
4 cfu/ml (Tabel 2).
Tabel 2 Jumlah rata-rata koliform, E. coli dan S. aureus dalam susu di
Peninsular, Malaysia (Chye et al. 2004)
Zona/Wilayah Jumlah bakteri (cfu/ml)
Koliform (x104) E. coli (x10
3) S. aureus (x10
3)
Selatan (n=381) 28.0a
15.0a
8.4b
Pusat (n=201) 23.0a
5.4b
18.0a
Timur (n=126) 11.0b
4.8b
17.0a
Utara (n=222) 7.5b
1.9c
6.3b
Jumlah rata-rata 17.0 6.8 12.0 abc
perbedaan huruf pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0.05).
7
Susu mentah atau yang tidak dipasteurisasi (raw/unpasteurized milk)
merupakan wahana pemindah (vehicle of transmission) dari mikroorganisme
seperti Salmonella spp., E. coli O157 dan L monocytogenes (Omiccioli et al.
2009). Susu yang baru dikeluarkan dari ambing sapi yang sehat biasanya
mengandung jumlah mikroorganisme yang rendah (< 1000/ml), namun jumlahnya
dapat meningkat mencapai 100 kali lipat atau lebih saat disimpan lama pada suhu
normal. Penyimpanan susu dalam wadah yang bersih pada suhu dingin segera
setelah pemerahan dapat menunda perkembangan mikroorganisme. Cemaran susu
mastitis pada susu segar sehat adalah salah satu penyebab tingginya jumlah
mikroorganisme dalam susu secara keseluruhan (bulk milk). Keberadaan bakteri
koliform dalam susu merupakan indikator praktik higiene dan sanitasi yang buruk
selama pemerahan dan penanganan serta mengindikasikan kemungkinan
pencemaran dari manur, tanah, air yang tercemar (Chye et al. 2004).
Karakteristik Escherichia coli
E. coli termasuk famili Enterobacteriaceae, Gram negatif, tidak membentuk
spora, dan biasanya memiliki flagela yang bertipe peritrichous, serta berbentuk
batang yang memiliki fimbria. Sering pula dilengkapi dengan kapsul atau
mikrokapsul. E. coli merupakan bakteri yang terdapat pada usus dan merupakan
bagian dari flora intestinal yang juga berfungsi sebagai sumber penghasil vitamin.
Beberapa jenis E. coli mempunyai kemampuan untuk menimbulkan penyakit pada
manusia. Kebanyakan penyakit yang disebabkan E.coli berhubungan dengan
mukosa usus.
Penyakit yang biasa disebabkan oleh E. coli adalah diare. E. coli dibedakan
menjadi lima golongan berdasarkan mekanisme virulensinya, yaitu
enteropathogenic (EPEC), enterotoxigenic (ETEC), enteroinvasive (EIEC),
enterohemorrhagic (EHEC), dan enteroaggregate (EAggEC). Strain E. coli
dibedakan serotipenya berdasarkan tiga permukaan antigen, yaitu O (somatik), H
(flagela), dan K (kapsula). Masing-masing memiliki 175 antigen yang berbeda
untuk mengenalinya. Kombinasi yang spesifik dari O (175) dan H (56)
menentukan jenis serotipe E. coli (Eslava et al. 2003).
8
Menurut Baylis (2009) telah dikenal dua kelompok E. coli patogenik, yaitu
extraintestinal pathogenic E. coli (ExPEC) dan intestinal pathogenic E. coli
(IPEC). ExPEC mewakili E. coli yang berkaitan dengan infeksi saluran kemih
dan meningitis pada bayi yang baru dilahirkan, sedangkan IPEC bertanggung
jawab pada sejumlah penyakit diare. Dalam kelompok IPEC saat ini terdapat 6
kelompok E. coli yang berbeda dikaitkan dengan foodborne disease, yaitu
verotoxigenic E. coli (VTEC), enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E.
coli (EIEC), enteropathogenic E. coli (EPEC), enteroaggregative E. coli
(EAggEC) dan diffusely adherent E. coli (DAEC).
Bakteri E. coli termasuk dalam grup koliform. Istilah koliform tidak
termasuk dalam taksonomi, tetapi ia merupakan grup spesies dari beberapa genera
diantaranya, Escherichia, Enterobacter, Klebsiella, Citrobacter, dan mungkin
Aeromonas, dan Serratia. Alasan utama penggolongan ini dikarenakan kemiripan
karakteristik dari beberapa genera tersebut. Semua genera merupakan bakteri
Gram negatif, tidak membentuk spora, hampir semuanya motil, anaerob fakultatif
yang resisten terhadap berbagai macam bahan penurun tegangan permukaan
(surface active agent) dan mampu memfermentasi laktosa menjadi asam dan gas
dalam 48 jam pada suhu 32 atau 35 °C. Beberapa spesies bisa tumbuh pada suhu
tinggi (44.5 °C), sedangkan spesies lainnya pada suhu 4 sampai 5 °C. Semua
bakteri koliform bisa tumbuh pada makanan, kecuali pada pH < 4.0 dan pada
aktivitas air (aw) < 0.92. Semua koliform sensitif terhadap suhu rendah dan mati
dengan pasteurisasi.
Koliform dapat ditemukan pada feses manusia, hewan berdarah panas dan
burung, beberapa bakteri dapat ditemukan di lingkungan. Bakteri Klebsiella spp.
dan Enterobacter spp. ditemukan di tanah dan dapat memperbanyak diri sampai
jumlah yang banyak. Beberapa koliform ditemukan di air dan tanaman. Dikenal
pula bakteri koliform fekal selain bakteri koliform, yang mencakup bakteri
koliform yang memiliki spesifisitas lebih tinggi sebagai pencemar fekal. Grup ini
meliputi E. coli, Klebsiella dan Enterobacter spp. (Ray 2001).
Chye et al. (2004) melaporkan jumlah rata-rata E. coli yang ditemukan pada
susu dalam penelitiannya 6.8 x 103 cfu/ml dan E. coli O157:H7 dideteksi dalam
312 (33.5%) sampel. Keberadaan E. coli pada susu yang pernah dilaporkan
9
adalah 72.7% (8/11) di Peternakan Taif, Arab Saudi (Altalhi dan Hassan 2009)
dan 64.5% (600/930) di Pusat Penampungan Susu, Malaysia (Chye et al. 2004)
Karakteristik Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan bakteri spherical yang bersifat Gram positif, aerob
atau anaerob fakultatif dan memiliki sifat katalase positif. Beberapa strain bakteri
S. aureus berkemampuan menghasilkan toksin protein yang tahan panas dan bisa
menyebabkan penyakit pada manusia. S. aureus bersifat aerob atau anaerob
fakultatif dan memiliki metabolisme melalui respirasi atau fermentasi (Bennet &
Monday 2003).
Bakteri S. aureus memerlukan asam amino sebagai sumber nitrogen, serta
tiamin dan asam nikotinat. S. aureus yang tumbuh secara anaerob membutuhkan
urasil. Pada umumnya S. aureus bersifat mesofilik, namun beberapa strain
tumbuh pada suhu paling rendah 6-7 °C. Secara umum, suhu untuk pertumbuhan
S. aureus antara 7 sampai dengan 47.8 °C dengan suhu optimum 35 °C. Derajat
keasaman (pH) yang memungkinkan bakteri ini tumbuh antara 4.5 sampai dengan
9.3 dengan pH optimum 7.0-7.5. S. aureus tumbuh pada aktivitas air lebih dari
0.83 (tumbuh baik pada aw > 0.99). Hampir semua strain S. aureus memiliki
toleransi tinggi terhadap keberadaan garam dan gula (Bennet & Monday 2003).
S. aureus mampu memproduksi enzim ekstraselular, toksin, dan komponen
kimia lainnya. Bakteri ini mampu memproduksi sekurang-kurangnya 34 jenis
protein ekstraseluler. Beberapa metabolit ekstraseluler digunakan sebagai
identifikasi dan diferensiasi dari jenis Staphylococcus lainnya. Dua metabolit
penting yang digunakan untuk kunci identifikasi adalah koagulase, yang
merupakan enzim terlarut yang mengkoagulasi plasma, dan termonuklease
(TNase), yang merupakan enzim fosfodiesterase yang tahan panas yang dapat
memecah DNA dan RNA untuk memproduksi 3´fosfomononukleosida (Bennet &
Monday 2003).
Enterotoksin S. aureus berbentuk protein rantai tunggal dengan berat
molekul 260 000-290 000. Toksin S. aureus bersifat neutral-base protein dengan
titik isoelektrik 7.0-8.6. Toksin S. aureus sangat resisten terhadap enzim
proteolitik seperti tripsin dan pepsin, sehingga dimungkinkan toksin untuk
10
menyebar melalui perut mencapai akseptornya (site of action). Sifat dari
enterotoksin S. aureus yang tahan panas berpotensi menimbulkan bahaya bagi
kesehatan jika terdapat dalam makanan (Bennet & Monday 2003). Perbedaan
antara beberapa jenis Staphylococcus terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3 Perbedaan berbagai jenis Staphylococcus (Bennet & Monday 2003)
Sifat S. aureus S. intermedius S. hyicus S. epidermidis
Pigmen + - - -
Koagulase + + ± -
DNase + + ± -
Hemolisis + + - ±
Manitol + - - -
Aseton + - - +
Clumping + + ± -
Hialuronidase + - + -
Lisostafin ST ST ST SR
ST = sensitivitas tinggi
SR = sensitivitas rendah
Bakteri S. aureus dapat ditemukan dalam susu. Dari penelitian André et al.
(2008) diperoleh 16 positif S. aureus dari 24 sampel susu mentah (66.7%) yang
diambil di industri pengolah susu skala kecil di Goiá State, Brazil dari Maret 2004
sampai Februari 2005. Jumlah rata-rata S. aureus di dalam susu mentah adalah
1.1 x 105 cfu/ml. S. aureus juga ditemukan pada saluran hidung dan tangan
pekerja, masing-masing 32.6% (15/46) dan 30.4% (14/46) (Tabel 4).
Tabel 4 Staphylococcus aureus yang diisolasi dari pekerja, susu mentah, dan
keju Minas Frescal di industri susu, Brazil (André et al. 2008)
Sumber Jumlah
sampel
Jumlah
sampel
positif
% Jumlah
isolat
Jumlah rata-rata (kisaran) cfu/ml
atau cfu/g
Hidung pekerja 46 15 32.6 15 TD
Tangan pekerja 46 14 30.4 14 TD
Susu 24 16 66.7 24 1.1 x 105 (<1.0 x 10
1 – 7.5 x 10
5)
Keju 24 17 70.8 20 3.8 x 104 (<1.0 x 10
1 – 3.4 x 10
5)
Total 140 62 44.3 73
TD = tidak dapat ditentukan
11
Prevalensi S. aureus pada susu yang pernah dilaporkan adalah 60.7%
(565/930) di Pusat Penampungan Susu, Malaysia (Chye et al. 2004) dan 66.7%
(16/24) di industri pengolah susu, Goias State, Brazil (Andre et al. 2008).
Isolasi dan Identifikasi Escherichia coli dan Staphylococcus aureus
Media selektif dan diferensial yang pertama kali digunakan untuk
mengisolasi E. coli adalah MacConkey agar. MacConkey agar mengandung
garam empedu yang berfungsi sebagai inhibitor bakteri Gram positif dan beberapa
bakteri Gram negatif. Bakteri penghasil asam kuat seperti Escherichia,
Klebsiella, dan Enterobacter memperlihatkan koloni berwarna merah, sedangkan
bakteri yang tidak memfermentasi laktosa seperti Salmonella, Proteus, dan
Edwardsiella memperlihatkan koloni yang tidak berwarna (Adams & Moss 2008).
MacConkey agar tidak begitu selektif karena ternyata memungkinkan
pertumbuhan non-Enterobacteriaceae, meliputi bakteri Gram positif seperti
Enterococcus dan Staphylococcus. Agar eosin methylene blue (EMB) adalah
media selektif yang biasa digunakan sebagai pengganti agar MacConkey, karena
mengandung aniline dyes eosin dan methylene blue yang merupakan agen selektif
dan mampu bekerja sebagai indikator pada fermentasi laktosa dengan membentuk
endapan pada pH rendah. Pada agar EMB, bakteri yang memfermentasi laktosa
dengan kuat akan memperlihatkan koloni berwarna hitam dengan kilauan hijau
metalik (Adams & Moss 2008).
Reaksi biokimiawi dari E. coli meningkat selama digunakan dalam media
diagnostik berupa aktivitas b-glucuronidase yang dimiliki oleh 95% galur E. coli,
tetapi pada bakteri lain jumlahnya terbatas. Glukoronida fluorogenik atau
khromogenik merupakan media yang termasuk media konvensional yang
mendeteksi aktivitas enzim melalui produksi warna fluoresen. Bahan yang biasa
digunakan adalah fluorogen 4-methylumbelliferyl-b-D-glucuronide (MUG) yang
dihidrolisis untuk menghasilkan fluorescent 4-methylumbelliferone. Koloni yang
dicurigai dari media selektif dan diferensial sebagai E. coli bisa dikonfirmasi lebih
lanjut dengan uji biokimia. Deteksi dari E. coli O157:H7 didasarkan oleh
perbedaan fenotipe dari serotipe lainnya yaitu ketidakmampuan untuk
memfermentasi sorbitol pada agar MacConkey dan tidak adanya aktivitas b-
12
glucuronidase pada beberapa galur E. coli. Hasil presumtif E. coli O157:H7 dari
uji ini harus dikonfirmasi secara serologi dengan menggunakan latex
agglutination kit yang beredar secara komersial (Adams & Moss 2008).
Gambar 1 Koloni E. coli pada media LEMB agar.
Media selektif yang terbaik dan biasa digunakan untuk menghitung S.
aureus dibuat oleh Baird Parker pada awal tahun 1960-an, yang
mengkombinasikan media selektif terbaik dengan karakteristik reaksi diagnostik
dan kemampuan untuk memperbaiki sel yang rusak, yang dikenal sebagai baird
parker agar (BPA). BPA mengandung litium klorida dan telurit yang berperan
sebagai agen selektif serta mengandung kuning telur dan piruvat yang membantu
perbaikan sel bakteri yang rusak (injured). Reduksi telurit oleh S. aureus
memberikan karakteristik berkilau, koloni berwarna hitam dan dikelilingi oleh
zona yang jelas/terang (clear) yang dihasilkan oleh protein kuning telur
lipovitellenin. Koloni tersebut juga sering memperlihatkan tepi dalam berwarna
putih yang diakibatkan oleh presipitasi dari asam lemak (Adams & Moss 2008).
Gambar 2 Koloni S. aureus pada media BPA.
13
Penampilan koloni pada BPA memberikan identifikasi presumtif S. aureus
yang sering dikonfirmasi oleh uji koagulasi dan thermostable nuclease.
Koagulase adalah substansi ekstraseluler yang mengkoagulasi plasma darah
hewan atau manusia yang tidak mengandung kalsium, memang tidak spesifik
untuk mendeteksi S. aures, karena S. intermedius dan S. hyicus juga memiliki
koagulase. S. intermedius tidak bisa memproduksi telurit sehingga menghasilkan
warna koloni putih pada BPA. S. hyicus yang sering ditemukan pada kulit babi
dan unggas, memerlukan beberapa tahapan lebih lanjut berupa uji biokimia untuk
membedakannya dengan S.aureus (Adams & Moss 2008).
Selektivitas bisa dicapai dengan memasukan bermacam-macam substansi
seperti pada Tabel 5. Potasium telurite dan litium klorida bekerja sebagai selektif
agen pada isolasi media padat (Vogel & Johnson 1960).
Tabel 5 Sistem selektif dan diagnostik yang digunakan pada media enrichment
untuk Staphylococcus aureus (Baird & Lee 1995)
Enrichment broth Sistem selektif Sistem diagnostik Referensi
Tryptone soya broth (TSB)
dengan sodium klorida
(TSBS)
Sodium klorida Buttiaux dan Brogniart
(1947)
Baer (1966)
Gliden et al. (1966)
TSB dengan sodium klorida
dan sodium piruvat (PTSBS)
Sodium klorida Lancette et al. (1986)
Giolitti dan Cantoni broth
(GCB)
Potasium tellurite
Litium klorida
Glisin
Inkubasi
anaerobik
Potasium tellurite
Giolitti dan Cantoni
(1966)
Liquid Baird-Parker (LBP) Potasium tellurite
Litium klorida
Glisin
Inkubasi
anaerobik
Potasium tellurite
Baird dan van Doorne
(1982)
Media agar selain mengandung agen selektif, juga ditambahkan substansi
lain untuk meningkatkan produktivitas. Piruvat dan katalase ditambahkan untuk
memperbaiki sel bakteri yang rusak pada kedua media isolasi baik padat maupun
cair. Piruvat dan katalase mencegah kematian sel dari akumulasi H2O2 selama
pertumbuhan aerobik dan perbaikan diri (Baird 1962). Beberapa substansi untuk
penggunaan diagnostik di antaranya manitol, egg yolk, DNA dan plasma babi
14
serta fibrinogen digunakan untuk melapisi media (Baird & Lee 1995).
Penampilan dari koloni S. aureus yang bervariasi pada beberapa media
ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Penampilan Staphylococcus aureus pada beberapa macam media
isolasi (Baird & Lee 1995)
Media plating Penampakan koloni Referensi
Agar Baird Parker (BP) Hitam, berkilau, konveks berukuran 1.0-1.5 mm
dengan tepi putih dan dikelilingi zona luar yang
jelas dengan luas 2-5 mm ke media opaque.
Baird Parker
(1962)
Agar Vogel Johnson
(VJ)
Hitam, konveks, berkilau dan dikelilingi zona
berwarna kuning
Vogel Johnson
(1960)
Modified Vogel
Johnson dengan
posfatidil kolin (PCVJ)
Hitam, konveks, berkilau dengan zona berwarna
kuning yang jelas
Andrew dan
Martin (1975)
Agar Manitol Salt
(MSA)
Koloni dikelilingi zona kuning cerah Chapman
(1945)
Telah banyak studi komparatif mengenai penggunaan jenis media untuk
isolasi dan perhitungan S. aureus (Terplan et al. 1982). Hasil perbandingan
tingkat perbaikan (recovery) dari sel bakteri yang stres pada empat media selektif
yaitu agar BP dan agar BP plasma (pig plasma) ternyata lebih baik dibandingkan
potassium thyocianate actidione sodium azide egg yolk pyruvate agar dan
modified Vogel Johnson agar (PCVJ). Baird dan van Doorne (1982)
membandingkan tingkat perbaikan sel bakteri dari sampel makanan yang
terkontaminasi secara alami dengan menggunakan teknik pelapisan langsung ke
dalam BPA dan VJA serta teknik enrichment yaitu Triptone Soya Broth (TSB)
dan Liquid Baird Parker (LBP) diikuti dengan pelapisan ke dalam agar BP. Hasil
terbaik diperlihatkan oleh kombinasi LBP (liquid Baird Parker) untuk enrichment
dan BPA untuk plating. LBP digunakan untuk perbaikan sel yang rusak (stress
cell) dalam jumlah yang sedikit (Baird & van Doorne 1982). Hasil percobaan
dengan menggunakan media isolasi yang berbeda, menunjukkan bahwa
enrichment selektif di LBP diikuti subkultur ke dalam BP memberikan tingkat
perbaikan sel (cell recovery) yang sangat tinggi.
15
Prinsip Pengujian Jumlah Bakteri
Metode kultur merupakan sebuah metode untuk menumbuhkan bakteri di
dalam media yang berisi kebutuhan nutrisi bakteri tersebut. Metode kultur dibagi
menjadi dua jenis yaitu analisis kuantitatif (perhitungan) dan analisis kualitatif
(ada atau tidaknya bakteri). Metode kuantitatif merupakan metode untuk
menghitung jumlah bakteri pada sampel dengan menggunakan metode sebar
(spread-plate), metode tuang (pour-plate) dan most probable number (MPN)
(Stephens 2003).
Metode sebar dilakukan dengan menggunakan inokulum yang kecil yang
bertipe 100 µ1 pada cawan petri standar yang berukuran 90 mm. Metode ini
memungkinkan hasil pengenceran sampai empat desimal yang dapat dihitung dari
satu cawan. Metode sebar bertujuan untuk menghindari terpaparnya media
dengan inokulum besar yang bisa menimbulkan sedikit panas seperti pada metode
tuang (Stephens 2003).
Berbeda dengan metode sebar, metode tuang (pour plate) menggunakan
inokulum yang volumenya besar biasanya berukuran 1 ml. Sampel yang akan
diuji langsung dituang ke dalam cawan petri kosong kemudian media agar yang
sudah distandarisasi suhunya dituang ke dalam cawan sehingga keduanya
bercampur kemudian akan memadat (Stephens 2003).
Metode most probable number (MPN) digunakan jika menginginkan
perhitungan bakteri yang jumlahnya sedikit atau terbatas. Hal ini dikarenakan
jumlah media yang terlalu banyak (pada metode sebar dan tuang), sedangkan
banyak sel yang rusak pada sampel sehingga kemungkinan sel dapat hidup sangat
kecil. Metode MPN menggunakan perhitungan estimasi jumlah bakteri dengan
pemeriksaan kultur lebih dari satu kali dan pengenceran bertahap untuk
menentukan proporsi beberapa kultur yang menunjukan pertumbuhan.
Enrichment cair digunakan untuk mendukung perbaikan (recovery) dan
pertumbuhan bakteri. Indikator tumbuhnya bakteri diperlihatkan oleh produksi
reaksi yang sesuai pada medium misalnya perubahan pH, produksi indol, produksi
gas dan lain lain. Prosedur MPN bisa juga termasuk proses uji kualitatif lengkap
meliputi enrichment primer, selektif enrichment, dan plating. Penentuan jumlah
pengenceran didasarkan atas perhitungan jumlah bakteri yang diinginkan sesuai
16
level kontaminasi pada tabung. Kekurangan dari metode MPN adalah perlu
bekerja intensif dan bila jumlah penggandaan per pengenceran sedikit maka
akurasinya lemah (Stephens 2003).
Metode kualitatif digunakan untuk menentukan ada tidaknya bakteri.
Berdasarkan tingkat sensitivitasnya, terdapat empat tahapan pada metode
kualitatif dalam metode kultur, yaitu: pre-enrichment, selective enrichment,
plating, dan konfirmasi. Inokulasi langsung dari sel yang rusak (injury cell) pada
media selektif bisa menyebabkan matinya beberapa atau bahkan semua bakteri
sehingga hasilnya negatif sehingga perlu dilakukan pre-enrichment dengan media
non selektif untuk memungkinkan perbaikan sel dan pertumbuhan bakteri yang
rusak. Hal yang perlu diperhatikan pada pre-enrichment adalah waktu (inkubasi)
yang dibutuhkan pada media non selektif dan media yang memungkinkan
perbaikan atau pertumbuhan berbagai bakteri yang rusak (injury cell). Jumlah
target sel yang mencukupi untuk tumbuh akan tercapai bila pemindahan ke media
selektif memungkinkan kemampuan bertahan hidup (survival) bakteri pada media
selektif untuk tumbuh (Van Leusden et al. 1982). Penggunaan waktu yang
singkat pada masa inkubasi dalam enrichment (misalnya 6 jam) ternyata tidak
cukup untuk memungkinkan terjadinya perbaikan sel (recovery) sel dan
multiplikasi dari sel (Stephens et al. 1997). Masa inkubasi yang biasa dilakukan
adalah 16 jam sampai 20 jam.
Tahapan kedua setelah pre-enrichment adalah selective enrichment. Tujuan
dari enrichment selektif untuk melakukan perbandingan antara bakteri target yang
berkompetisi dengan mikroba lainnya yang memungkinkan untuk hasil positif.
Agen selektif dan kondisi inkubasi digunakan untuk menekan pertumbuhan
mikroba kompetitif sehingga yang tumbuh hanya bakteri target. Selective
enrichment dilakukan dengan pengenceran 1:10 atau 1:100 dari pre-enrichment
diikuti dengan inkubasi selama 24-48 jam (Stephens 2003).
Secara teori, plating (pemupukan bakteri pada media dengan teknik
penggoresan) merupakan salah satu cara yang paling sensitif untuk mendeteksi
bakteri dan rutin digunakan, namun dengan ukuran 10 µl yang ditransfer ke media
memungkinkan adanya satu jenis koloni yang mampu untuk merangsang
kontaminasi sampel yang sedang dianalisis. Plating dengan asumsi tidak
17
hilangnya kemampuan untuk tumbuh dan cukupnya inhibisi untuk bakteri
kompetitif lain bisa mendeteksi sebanyak 100 sel/ml dari enrichment broth.
Teknik menggores yang baik dibutuhkan untuk memaksimalkan isolasi mikroba
target dari enrichment ke dalam media agar. Media semisolid harus ada meskipun
jumlah koloni yang terpisah dengan tampilan diagnostik khas bakteri target karena
digunakan untuk melihat migrasi bakteri yang motil (De Smedt et al. 1986).
Tahapan terakhir yang digunakan baik pada metode kualitatif maupun
kuantitatif adalah tahap konfirmasi. Koloni yang dilihat dengan tampilan khas
bakteri target masih harus dikonfirmasi sebelum analisis dikatakan sempurna.
Konfirmasi bisa dilakukan dengan uji biokimia, uji antigenik, atau analisis asam
nukleat (Stephens 2003).
18
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan mulai bulan September sampai dengan Oktober 2009.
Sampel susu sapi berasal dari 5 kabupaten di Provinsi Jawa Barat (Tabel 7).
Pengujian jumlah total mikroorganisme, E. coli dan S. aureus dilakukan di
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit
Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
(FKH IPB).
Tabel 7 Lokasi dan jumlah sampel susu sapi yang diambil di Provinsi Jawa
Barat
No Lokasi Jumlah sampel susu sapi
1. Kabupaten Bogor 5
2. Kabupaten Bandung 5
3. Kabupaten Cianjur 5
4. Kabupaten Sumedang 5
5. Kabupaten Tasikmalaya 5
Total 25
Pengambilan dan Jumlah Sampel
Jumlah sampel ditentukan secara acak, yaitu masing-masing lima sampel
kandang dari setiap kabupaten. Jumlah keseluruhan sampel yang diperiksa
sebanyak 25 sampel (Tabel 7). Volume sampel susu minimal 500 ml. Setiap
sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, kemudian kantong plastik
diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es. Sampel diuji maksimum 24
jam setelah pengambilan.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian diantaranya buffered peptone water
(BPW) 0.1% (Pronadisa 1402.00), lauryl sulfate tryptose broth (LST broth)
(Oxoid CM 0967B), E. coli broth (EC broth) (Oxoid CM 0853B), Levine’s eosin-
19
methylene blue agar (LEMB agar) (Oxoid CM 0069B), methyl red voges
proskauer (MRVP broth) (Oxoid CM 0043B), Koser’s citrate medium, tryptone
broth (Oxoid CM 0087B), plate count agar (PCA) (Acumedia Standard Methods
Agar 7157A), baird parker agar (BPA) (Oxoid CM 0961B), egg yolk tellurite dan
nutrient agar (NA) (Oxoid CM 0003B).
Reagen yang digunakan di antaranya Kovac’s indole reagent, α-naphthol,
40% KOH, methyl red, pewarnaan Gram. Alat yang digunakan adalah pipet steril,
tabung reaksi, tube shaker, tabung Durham, rak tabung reaksi, pembakar bunsen,
cawan Petri, batang ose, penangas air, inkubator, dan autoklaf.
Pengujian Jumlah Mikroorganisme (Lukman 2009)
Pengujian jumlah total mikroorganisme (total plate count) dilakukan dengan
metode hitungan cawan (plate count method) dengan cara tuang (pour plate
method). Sejumlah 1 ml sampel dimasukkan ke dalam 9 ml larutan buffered
peptone water (BPW) 0.1% (pengenceran 10-1
), selanjutnya dilakukan
pengenceran hingga 10-5
. Pengenceran 10-3
, 10-4
, 10-5
masing-masing dipupuk
sebanyak 1 ml pada cawan Petri. Media plate count agar (PCA) yang memiliki
suhu 44-46 °C dituangkan sebanyak 12-15 ml untuk setiap cawan Petri lalu
dihomogenkan dengan cara menggoyang cawan Petri membentuk angka delapan
pada permukaan yang rata secara hati-hati kemudian dibiarkan sampai memadat.
Cawan Petri kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dan diletakkan dengan
posisi terbalik (untuk mencegah koloni yang menyebar) serta diinkubasikan pada
suhu 35 °C selama 24 jam. Prosedur pengujian TPC diperlihatkan pada Gambar
3. Koloni yang tumbuh pada setiap cawan Petri kemudian dihitung. Rumus
perhitungan jumlah mikroba:
Jumlah mikroba (cfu/ml) = Jumlah koloni x Faktor pengenceran*
* Faktor pengenceran = 1
Tingkat pengenceran
20
Gambar 3 Prosedur pengujian sampel susu sapi dengan metode hitungan cawan.
Pengujian Jumlah Escherichia coli (Lukman & Latif 2009)
Jumlah E. coli diuji menggunakan metode MPN dengan tiga tabung.
Pengenceran desimal dilakukan terhadap sampel susu sapi, kemudian dari larutan
sampel tersebut setiap tingkat pengenceran (10-2
, 10-3
, dan 10-4
) dimasukkan
masing-masing 1 ml contoh ke dalam tiga tabung berisi 10 ml lauryl sulfate
tryptose broth steril dilengkapi tabung Durham (untuk MPN 3 tabung). Tabung
diinkubasikan pada suhu 35 °C selama 48 jam. Hasil positif ditandai dengan
kekeruhan media (pertumbuhan bakteri) dan pembentukan gas (terlihat pada
tabung Durham). Tabung yang memberikan hasil positif diamati dan dihitung
Pengenceran 10-4
(1ml)
+
BPW 0.1% (9ml)
Pengenceran 10-5
Pupukan ke dalam Cawan Petri
(1ml)
+
PCA (12-15ml)
Pupukan ke dalam Cawan Petri
(1ml)
+
PCA (12-15ml)
Pengenceran 10-3
(1ml)
+
BPW 0.1% (9ml)
Pengenceran 10-4
Pupukan ke dalam Cawan Petri
(1ml)
+
PCA (12-15ml)
Pengenceran 10-2
(1ml)
+
BPW 0.1% (9ml)
Pengenceran 10-3
Pengenceran 10-1
(1ml)
+
BPW 0.1% (9ml)
Pengenceran 10-2
Sampel susu sapi (1ml)
+
BPW 0.1% (9ml)
Pengenceran 10-1
21
nilai MPN presumtif koliform selanjutnya diperoleh nilai MPN presumtif
koliform per ml sampel.
Setiap tabung positif dihomogenkan secara perlahan dan hati-hati, lalu
dipindahkan satu ose penuh (diameter 3.0 mm) suspensi dari setiap tabung positif
masing-masing ke dalam tabung berisi 10 ml E. coli broth steril (EC broth)
(dilengkapi tabung Durham), selanjutnya diinkubasikan pada suhu 45.5 ± 0.2 °C
selama 48 jam. Tabung EC broth yang positif diambil satu ose penuh suspensi
dan masing-masing digoreskan pada agar Levine’s eosine methylen blue (L-EMB
agar) untuk kemudian cawan Petri tersebut diinkubasikan pada suhu 35 °C selama
48 jam. Semua cawan Petri diperiksa dengan kriteria mengandung koloni
spesifik, yaitu bulat, berwarna gelap di bagian tengahnya, dengan atau tanpa
kilauan hijau kemudian dari koloni di atas, diambil dua koloni dari setiap cawan
Petri, dengan cara ujung ose disentuhkan ke bagian tengah koloni, kemudian
digoreskan pada agar miring nutrient agar (NA). Agar miring tersebut
diinkubasikan pada suhu 35 °C selama 24 jam. Pengujian dilanjutkan ke uji
biokimia di bawah ini:
(1) uji Indol: koloni dari agar miring NA diinokulasikan pada tryptone broth
dan kemudian diiinkubasikan pada suhu 35 °C selama 24 jam. Uji indol
dilakukan dengan menambahkan 0.2 ml Kovac’s indole reagent ke dalam
tryptone broth yang telah diinkubasi. Reaksi positif ditandai oleh terbentuk
warna merah di bagian atas larutan.
(2) Voges-Proskauer: koloni dari agar miring NA diinokulasikan pada pupukan
MR-VP broth dan diinkubasikan pada suhu 35 oC selama 48 jam. Uji VP
dilakukan dengan cara 1 ml suspensi dari MR-VP broth yang telah
diinkubasi 48 jam diambil secara aseptis, kemudian dimasukkan ke dalam
tabung reaksi steril dan dilakukan penambahan 0.6 ml α-naphthol dan 0.2 ml
KOH 40% selanjutnya dihomogenkan dan dibiarkan selama 4 jam. Reaksi
positif ditandai dengan terbentuknya warna merah muda eosin (eosin pink).
(3) Methyl red: tabung MR-VP diinkubasikan kembali pada suhu 35 °C selama
48 jam. Setelah diinkubasi, kemudian ditambahkan 0.3 ml methyl red ke
dalam tabung MR-VP. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya warna
merah.
22
(4) Penggunaan sitrat: dari agar miring NA diinokulasikan koloni (sedikit saja)
ke dalam koser’s citrate broth kemudian diinkubasikan pada suhu 35 °C
selama 96 jam. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya kekeruhan.
(5) Pembentukan gas: dari agar miring NA diinokulasikan koloni pada tabung
berisi lauryl sulfate tryptose broth (dilengkapi tabung Durham) kemudian
diinkubasikan pada suhu 35 °C selama 48 jam dan selanjutnya diamati
terbentuknya gas dalam tabung durham.
(6) Sifat gram: dilakukan pewarnaan gram dari koloni yang tumbuh pada agar
miring NA yang telah diinkubasi selama 18-24 jam. Koliform berbentuk
batang pendek (kokoid) berwarna merah (Gram negatif).
Hasil yang menunjukkan bentuk batang pendek atau kokoid, Gram negatif, dan
mempunyai pola (+, +, -, -) atau (-, +, -, -) pada uji IMViC dinyatakan sebagai E.
coli (Tabel 8). MPN E. coli per ml sampel kemudian dihitung. Prosedur
pengujian MPN E. coli diperlihatkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Prosedur pengujian jumlah E. coli dengan metode MPN 3 tabung.
Pengenceran 10-1 (1ml)
+
BPW 0.1% (9ml)
Sampel susu sapi (1ml)
+ BPW 0.1% (9ml)
Pengenceran 10-1
Pengenceran 10-3 (1ml)
+ BPW 0.1% (9ml)
Pengenceran 10-4
Pengenceran 10-2 (1ml)
+
BPW 0.1% (9ml)
Pengenceran 10-3
Tabung MPN (1ml)
Tabung MPN (1ml)
Tabung MPN (1ml) Pengenceran 10-2
Inokulasi ke
L-EMB
Inokulasi ke NA
Pengujian IMViC
(+) (+) (+)
Tabung MPN (1ml)
Tabung MPN (1ml)
Tabung MPN (1ml)
Tabung MPN (1ml)
Tabung MPN(1ml)
Tabung MPN (1ml)
Inokulasi
ke EC broth
23
Tabel 8 Hasil uji IMViC untuk identifikasi Escherichia coli
Pengujian Jumlah Staphylococcus aureus (Lukman 2009)
Pengujian jumlah S. aureus dilakukan menggunakan metode hitungan
cawan (plate count method) dengan cara tuang (pour plate method). Sejumlah 1
ml sampel dimasukkan ke dalam 9 ml larutan BPW 0.1% (pengenceran 10-1
),
selanjutnya dilakukan pengenceran hingga 10-4
. Pengenceran 10-2
, 10-3
, 10-4
dipupuk sebanyak 1 ml pada cawan Petri. Media BPA yang memiliki suhu
44 - 46 °C dan telah ditambahkan egg yolk tellurite, dituangkan sebanyak 12-15
ml untuk setiap cawan Petri lalu dihomogenkan dengan cara menggoyang cawan
Petri membentuk angka delapan pada permukaan yang rata secara hati-hati
kemudian dibiarkan sampai memadat. Cawan Petri dibalik dan diinkubasikan
pada suhu 35-37 °C selama 45-48 jam.
Cawan Petri dipilih yang mengandung koloni 20-200 atau cawan Petri yang
mengandung koloni khas S. aureus lebih dari 200. Koloni khas S. aureus terlihat
bulat, licin, halus, konveks, basah, berdiameter 2-3 cm jika koloni tidak padat,
berwarna abu-abu sampai hitam pekat, dikelilingi oleh zona opak (opaque zone),
dengan atau tanpa zona luar yang jelas/terang (clear zone). Masing-masing jenis
koloni S. aureus (jumlah presumtif S. aureus) kemudian dihitung dan dicatat.
Satu atau lebih koloni yang tumbuh diambil dan dilakukan pewarnaan Gram.
Prosedur pengujian S. aureus diperlihatkan pada Gambar 5.
Indol MR VP Sitrat Jenis
+ + - - Escherichia coli tipe I
- + - - Escherichia coli tipe II
- + - ± Escherichia freundii tipe I
+ + - + Escherichia freundii tipe II
- - + ± Enterobacter aerogenes tipe I
- - + + Enterobacter aerogenes tipe II
24
Gambar 5 Prosedur pengujian jumlah S. aureus dengan metode hitungan cawan.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengujian laboratorium dianalisis secara
deskriptif, meliputi jumlah total mikroorganisme (TPC), E. coli dan S. aureus
kaitannya dengan kualitas susu sapi.
Pupukan ke dalam Cawan Petri
(1ml)
+
BPA (12-15ml)
Pengenceran 10-3
(1ml)
+
BPW 0.1% (9ml)
Pengenceran 10-4
Pupukan ke dalam Cawan Petri
(1ml)
+
BPA (12-15ml)
Pengenceran 10-2
(1ml)
+
BPW 0.1% (9ml)
Pengenceran 10-3
Pupukan ke dalam Cawan Petri
(1ml)
+
BPA (12-15ml)
Pengenceran 10-1
(1ml)
+
BPW 0.1% (9ml)
Pengenceran 10-2
Sampel susu sapi (1ml)
+
BPW 0.1% (9ml)
Pengenceran 10-1
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel susu berasal dari 5 kabupaten yaitu Bogor, Bandung, Cianjur,
Sumedang dan Tasikmalaya. Lima sampel kandang diambil dari setiap kabupaten
sehingga jumlah keseluruhan sampel yang diperiksa sebanyak 25 sampel kandang.
Volume sampel susu yang diambil minimal 500 ml. Setiap sampel susu
dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, kemudian kantong plastik diberi label
dan disimpan dalam cool box berisi es. Sampel diuji di laboratorium maksimum
24 jam setelah pengambilan.
Rataan jumlah total mikroorganisme dari 25 sampel susu segar yang berasal
dari lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat berdasarkan hasil pengujian kurang
dari 1.0 x 106 cfu/ml (7.4 x 10
5 cfu/ml) kecuali sampel dari Bogor
(1.9 x 106 cfu/ml) dan Cianjur (1.3 x 10
7 cfu/ml). Berdasarkan SNI no.3141.1
2011 tentang Susu Segar, batas maksimum cemaran mikroorganisme pada susu
adalah 1.0 x 106 cfu/ml. Rataan jumlah total mikroorganisme yang paling tinggi
berasal dari Bogor (6.2 x 105 cfu/ml) sedangkan yang paling rendah berasal dari
Sumedang (1.3 x 105 cfu/ml).
Batas maksimum cemaran E. coli menurut SNI 3788:2009 sebesar 3
MPN/ml (BSN 2009). Seluruh sampel (100%) melebihi ketetapan SNI karena
jumlah E. coli lebih dari 3 MPN/ml. Cemaran S. aureus pada susu di lima
kabupaten sangat tinggi (100%) melebihi batas yang diperbolehkan dalam SNI
no 3141.1 2011 yang menetapkan batas maksimum cemaran S. aureus pada susu
adalah 1.0 x 102 cfu/ml. Seperti halnya jumlah total mikroorganisme, rataan
jumlah S. aureus yang paling tinggi berasal dari Bogor (4.9 x 105 cfu/ml)
sedangkan yang paling rendah berasal dari Sumedang (1.2 x 103 cfu/ml). Hasil
pengujian jumlah mikroorganisme pada susu di lima kabupaten di Provinsi Jawa
Barat terdapat pada Tabel 9.
Susu segar di Indonesia harus memenuhi persyaratan yang didasarkan pada
SNI 3141.1 2011 tentang Susu Segar-bagian 1: Sapi, diantaranya persyaratan
mengenai jumlah maksimum cemaran mikroba yang diperbolehkan. Berdasarkan
SNI total cemaran mikroba pada susu maksimum 1.0 x 106 cfu/ml dan jumlah
maksimum cemaran S. aureus harus di bawah 1.0 x 102
cfu/ml (BSN 2011).
26
Berdasarkan SNI 3788:2009, batas cemaran mikroba pada susu segar adalah
jumlah total mikroorganisme 1.0 x 106
cfu/ml, MPN E. coli < 3/ml, dan jumlah S.
aureus 1.0 x 102 cfu/ml (BSN 2009).
Tabel 9 Rataan jumlah total mikroorganisme, Escherichia coli, dan
Staphylococcus aureus pada susu segar di lima kabupaten, Provinsi
Jawa Barat
No Lokasi Sampel TPC
(cfu/ml)
E. coli
(MPN/ml)
S. aureus
(cfu/ml)
1. Kabupaten Bogor 1 110 000 30 180 000
2 270 000 30 19 000
3 480 000 30 2 100 000
4 310 000 30 10 000
5 1 900 000 30 160 000
Rata-rata 614 000 ± 730 842 30 ± 0 493 800 ± 901 286
2. Kabupaten Bandung 1 190 000 30 13 000
2 81 000 30 9 900
3 970 000 30 25 000
4 100 000 30 9 000
5 76 000 30 16 000
Rata-rata 283 400 ± 386 574 30 ± 0 14 580 ± 6 445
3. Kabupaten Cianjur 1 5 600 30 21 000
2 320 000 30 23 000
3 130 000 30 12 000
4 13 000 000 30 250 000
5 13 000 30 24 000
Rata-rata 2 693 720 ± 5 762 787 30 ± 0 66 000 ± 102 968
4. Kabupaten Sumedang 1 2 700 30 280
2 500 30 560
3 3 800 30 120
4 7 400 30 3 500
5 14 000 30 1 600
Rata-rata 124 800 ± 131 623 30 ± 0 1 212 ± 1 402
5. Kabupaten Tasikmalaya 1 18 000 30 260
2 210 000 30 560
3 160 000 30 13 000
4 57 000 30 8 400
5 49 000 30 3 600
Rata-rata 98 800 ± 81 956 30 ± 0 5 164 ± 5 467
Rata-rata Total 739 120 ± 1 117 110 30 ± 0 116 942 ± 212 181
27
Jumlah Total Mikroorganisme
Rataan jumlah total mikroorganisme susu segar pada lima kabupaten di
Provinsi Jawa Barat adalah 7.4 x 105 cfu/ml. Berdasarkan hasil pengujian rataan
jumlah total mikroorganisme susu segar dari 25 sampel didapatkan dua sampel
(8%) melebihi ketetapan SNI no.3141.1, yaitu sampel dari Bogor
(1.9 x 106 cfu/ml) dan Cianjur (1.3 x 10
7 cfu/ml) (Gambar 6). Berdasarkan SNI
no.3141.1 2011 tentang Susu Segar batas maksimum cemaran mikroorganisme
pada susu adalah 1.0 x 106 cfu/ml. Hal ini terjadi dimungkinkan karena higiene
pemerahan di peternakan tempat pengambilan sampel buruk. Rataan jumlah total
mikroorganisme yang paling tinggi berasal dari Bogor (6.2 x 105 cfu/ml)
sedangkan yang paling rendah berasal dari Sumedang (1.3 x 105 cfu/ml).
Gambar 6 Sebaran jumlah total mikroorganisme (TPC) pada susu segar di lima
kabupaten, Provinsi Jawa Barat.
Mikroorganisme pencemar pada susu bisa bersumber dari lingkungan,
pemerah, dan hewan itu sendiri. Tinggi rendahnya tingkat pencemaran pada susu
erat kaitannya dengan higiene dan sanitasi selama produksi susu segar di tingkat
peternakan. Kehadiran mikrooorganisme yang tinggi pada sampel lingkungan (air
SNI
1,900.00 13,000.00
3
28
dan udara), alat perah, pemerah, dan ambing berefek pada tingginya pencemaran
mikroorganisme pada susu. Peternak menggunakan alat yang berbahan
alumunium atau stainless untuk menampung susu, misalnya ember atau wadah
penampung. Ember yang tidak bersih memungkinkan kontaminasi bakteri pada
susu, sehingga ember menjadi peralatan yang tidak aman untuk membawa susu.
Air yang digunakan untuk membersihkan peralatan, tangan pemerah, dan
ambing juga mempengaruhi tingkat pencemaran pada susu, sehingga perlu dijaga
dari kontaminasi feses (Nanu et al. 2007). Perkins et al. (2009) menambahkan
bahwa kualitas air yang digunakan untuk membersihkan peralatan merupakan hal
kecil, tetapi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas susu segar yang
dihasilkan. Kemungkinan tingginya cemaran pada susu yang dihasilkan oleh
suatu peternakan disebabkan sanitasi kandang dan higiene pemerahan yang buruk.
Chye et al. (2004) menambahkan bahwa cemaran susu mastitis ke dalam susu
segar sehat adalah penyebab tingginya jumlah mikroorganisme pada susu
keseluruhan (bulk milk).
Susu segar dapat menjadi sumber signifikan foodborne pathogen, dan
banyak wabah foodborne disease yang terkait dengan konsumsi susu mentah, susu
yang tidak dipanaskan dengan baik, atau susu yang tercemar kembali setelah
pemanasan (Baylis 2009). Susu mentah dapat mengandung beragam
mikroorganisme patogen, termasuk Salmonella spp (khususnya Salmonella
Typhimurium dan Salmonella Dublin, serotipe yang virulen untuk manusia),
Escherichia coli O157, Listeria monocytogenes, dan Campylobacter spp. yang
berasal dari hewan perah, lingkungan, pekerja, dan peralatan susu (Fernandez
2009).
Susu mentah atau yang tidak dipasteurisasi (raw/unpasteurized milk)
merupakan wahana pemindah (vehicle of transmission) dari mikroorgisme seperti
Salmonella spp, E. coli O157 dan Listeria monocytogenes (Omiccioli et al. 2009).
Lactococcus, Lactobacillus, Streptococcus, Staphylococcus dan Micrococcus spp
merupakan flora bacterial yang biasa ditemukan dalam susu segar (Chye et al.
2004).
Kualitas susu mentah yang baik penting bagi Industri Pengolah Susu (IPS)
sehingga dapat menghasilkan produk olahan susu yang berkualitas tinggi.
29
Produksi susu dengan jumlah bakteri yang rendah dimulai dari peternakan dan
dipengaruhi oleh banyak prosedur yang berkaitan dengan praktik manajemen di
peternakan (Elmoslemany et al. 2010).
Jumlah MPN Escherichia coli
Batas maksimum cemaran E. coli pada susu segar menurut SNI 3788:2009
sebesar 3 MPN/ml (BSN 2009). Seluruh sampel (100%) melebihi ketetapan SNI
karena jumlah MPN E. coli lebih dari 3 MPN/ml (Gambar 7). Rataan Jumlah
MPN E. coli dari lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat adalah 30 MPN/ml.
Tingginya jumlah MPN E.coli menunjukkan tingginya tingkat pencemaran fekal
pada peternakan di lima kabupaten, Provinsi Jawa Barat. Keberadaan E. coli di
dalam susu menunjukkan adanya kemungkinan pencemaran dari manur, tanah, air
yang tercemar, kontaminasi feses dan penanganan susu yang tidak baik sehingga
susu akan menjadi sumber penyebab diare.
0
5
10
15
20
25
30
35
Kab. Bogor Kabupaten
Bandung
Kabupaten
Cianjur
Kabupaten
Sumedang
Kabupaten
Tasikmalaya
Gambar 7 Rataan jumlah E. coli pada susu segar di lima kabupaten, Provinsi
Jawa Barat.
Altalhi dan Hassan (2009) menjelaskan koliform dan E. coli sering
digunakan sebagai mikroorganisme indikator (marker organism). Perolehan dan
penghitungan E. coli digunakan sebagai indikator yang dapat dipercaya terhadap
kontaminasi feses dan menandakan kemungkinan adanya mikroorganisme
enteropatogenik dan/atau toksigenik, yang merupakan ancaman kesehatan
masyarakat. Faktor yang berpengaruh pada susu segar yang tercemar koliform
bukan hanya dari feses sapi akan tetapi ada faktor lain. Kesalahan dalam
SNI
Jum
lah
E.
coli
( M
PN
/ml)
30
pemerahan dan penyimpanan susu yang tidak menggunakan rantai dingin akan
menyebabkan peningkatan jumlah bakteri selama dalam kendaraan penampung
susu.
Chye et al. (2004) menambahkan bahwa adanya bakteri koliform dan
patogen dalam susu mengindikasikan kemungkinan cemaran dari ambing,
peralatan atau air. Keberadaan bakteri koliform dalam susu merupakan indikator
higiene dan sanitasi yang buruk selama pemerahan dan penanganan selanjutnya.
Susu mentah atau yang tidak dipasteurisasi (raw/unpasteurized milk)
merupakan wahana pemindah (vehicle of transmission) dari mikroorgisme seperti
Salmonella spp, E. coli O157 dan Listeria monocytogenes. Beberapa wabah
foodborne illness terjadi setelah konsumsi susu mentah yang tercemar dan
produk-produk susu, seperti yang disebabkan oleh Shiga toxin yang dihasilkan E.
coli O157:H7 (Omiccioli et al. 2009). E. coli O157:H7 menjadi ancaman serius
bagi industri susu dengan munculnya beberapa wabah bakteri tersebut di negara-
negara maju, mulai dari diare sedang sampai hemolytic uremic syndrome (HUS),
hemorrhagic colitis dan thrombotic thrombocytopaenic purpura (Chye et al.
2004).
Jumlah Staphylococcus aureus
Cemaran S. aureus pada susu di lima kabupaten (100%) sangat tinggi
melebihi batas yang diperbolehkan dalam SNI no 3141.1 2011 yang menetapkan
batas maksimum cemaran S. aureus pada susu adalah 1.0 x 102 cfu/ml
(Gambar 8). Rataan jumlah total S. aureus dari lima kabupaten di Provinsi Jawa
Barat adalah 1.2 x 105 cfu/ml. Seperti halnya jumlah total mikroorganisme, rataan
jumlah S. aureus yang paling tinggi berasal dari Bogor (4.9 x 105 cfu/ml)
sedangkan yang paling rendah berasal dari Sumedang (1.2 x 103 cfu/ml). Hal ini
menunjukkan buruknya higiene personal pada beberapa peternakan di Provinsi
Jawa Barat.
Praktik higiene personal dari pekerja saat pemerahan serta lingkungan di
sekitar kandang sangat berpengaruh terhadap terjadinya cemaran S. aureus. Chye
et al. (2004) dan André et al. (2008) sepakat bahwa S. aureus merupakan agen
patogen sangat penting yang menyebabkan infeksi intramamari pada sapi perah.
31
S. aureus secara luas dikenal sebagai agen penyebab utama mastitis klinis dan
subklinis pada sapi perah. Keberadaan S. aureus dalam makanan sering dikaitkan
dengan penanganan yang tidak tepat oleh pekerja. Oleh sebab itu, keberadaan
bakteri ini dalam susu segar adalah hal biasa jika tindakan-tindakan pencegahan
tidak dilakukan.
Gambar 8 Sebaran jumlah Staphylococcus aureus pada susu segar di lima
kabupaten, Provinsi Jawa Barat.
André et al. (2008) menambahkan bahwa sumber pencemaran susu antara
lain manusia, peralatan susu, lingkungan, ambing dan kulit puting sapi perah.
Dari studi André et al. (2008) diperoleh 16 positif S. aureus dari 24 sampel susu
mentah (66.7%) yang diambil di industri pengolah susu skala kecil di Goiá State,
Brazil dari Maret 2004 sampai Februari 2005. Jumlah rata-rata S. aureus di dalam
susu mentah adalah 1.1 x 105 cfu/ml
dengan kisaran dari tidak ditemukan sampai
7.5 x 105 cfu/ml. S. aureus juga ditemukan pada saluran hidung dan tangan
pekerja, masing-masing 32.6% (15/46) dan 30.4% (14/46).
S. aureus merupakan foodborne pathogen yang menyebar di seluruh dunia
dan kontaminan yang sering ditemukan pada bahan makanan. Beberapa strain
mampu menghasilkan enterotoksin staphylococcal (SE). Konsumsi terhadap
SNI
21,000.00 2,500.00
2
32
makanan yang tercemar SE akan menyebabkan terjadinya kejadian staphylococcal
food poisoning (SFP). Susu dan susu olahan merupakan bahan makanan yang
sering menjadi penyebab SFP. Gejala dari SFP adalah muntah dengan atau tanpa
diare dan kram abdominal yang berkurang setelah 12 sampai 72 jam (Cretenet et
al. 2011). Pada strain S. aureus yang diisolasi dari manusia dan makanan, sekitar
lebih dari 50% strain yang bersifat enterotoksigenik dan menyebabkan 95% dari
wabah keracunan makanan akibat staphylococcal. Jumlah strain enterotoksigenik
S. aureus yang mencapai 106 atau lebih sel per gram makanan bisa menghasilkan
sejumlah enterotoksin yang cukup untuk menyebabkan intoksikasi jika makanan
yang tercemar tersebut dikonsumsi (Bendahou et al. 2009).
Tindakan Pencegahan
Produk susu yang tercemar E. coli dan S. aureus akan menyebabkan
keracunan makanan dan gangguan kesehatan manusia sehingga perlunya higiene
yang ketat, sterilisasi alat yang teratur, pembersihan peralatan, cuci tangan,
pembersihan ambing, pemusnahan penyakit hewan dan pasteurisasi susu sebelum
pengumpulan dan pendistribusian untuk konsumsi dan pembuatan produk susu
selanjutnya (Kumar & Prasad 2010). Perlu adanya pemeliharaan higiene yang
baik selama pemerahan, perjalanan, dan distribusi. Pendinginan yang dilakukan
pada susu setelah produksi, penerapan prosedur standar higienis personal yang
tinggi dan penggunaan air bersih berperan penting dalam menjaga kualitas susu
segar (Shekhar et al. 2010).
Menurut Baylis (2009) pencegahan pencemaran dari feses merupakan
tahapan terpenting untuk mengurangi keberadaan patogen yang mencemari susu.
Banyak patogen enterik umum seperti Salmonella, Escherichia coli O157:H7 dan
Campylobacter pada saluran intestinal ruminansia, termasuk hewan yang
digunakan untuk produksi susu, seperti sapi, domba dan kambing. Prosedur
pembersihan yang efektif, termasuk pembersihan kotoran dari ambing sebelum
pemerahan, dapat mengurangi pencemaran bakteri patogen dan menyediakan
produk yang aman.
Susu yang terdapat di dalam alveol-alveol ambing bebas mikroorganisme,
namun kontaminasi terjadi saat melewati saluran (duktus) dan bagian luar ambing
33
serta kontaminasi dari pemerah, peralatan atau lingkungan. Critical Point (CP)
kontaminasi bakteri terjadi selama produksi susu segar di peternakan. Pemerah
harus melakukan cuci tangan dengan sabun dan air sebelum memerah ambing.
Prosedur yang tidak higienis pada pemerah diantaranya tidak memotong kuku,
batuk, meludah, dan bersin saat memerah dan menggunakan pakaian yang tidak
bersih. Kontaminasi dari lingkungan (air dan udara) juga terjadi pada susu. Oleh
karena itu perlu diperhatikan sanitasi yang baik di peternakan (Nanu et al. 2007).
Gustiani (2009) menambahkan penerapan sistem keamanan pangan pada
setiap proses produksi melalui good farming practices (GFP), good handling
practices (GHP), dan good manufacturing practices (GMP). Perlu adanya upaya
untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat terhadap
penyakit yang disebabkan oleh cemaran mikroba sehingga dapat mengeliminasi
dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran mikroba pada susu.
34
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, secara keseluruhan susu segar
yang berasal dari lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat melebihi ketetapan SNI
no.3141.1 2011 tentang Susu Segar dan SNI no.3788:2009 tentang Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. Rataan jumlah total
mikroorganisme dalam susu segar dari lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat
adalah 7.4 x 105 cfu/ml dan didapatkan dua sampel 8% (2/25) melebihi ketetapan
SNI, yaitu sampel yang berasal dari Bogor (1.9 x 106 cfu/ml) dan Cianjur
(1.3 x 107 cfu/ml). Rataan jumlah MPN E. coli adalah 30 MPN/ml dan seluruh
sampel 100% (25/25) melebihi ketetapan SNI. Cemaran S. aureus pada susu di
lima kabupaten 100% (25/25) sangat tinggi melebihi batas yang diperbolehkan
dalam SNI. Rataan jumlah S. aureus adalah 1.2 x 105 cfu/ml. Tingginya rataan
jumlah total mikroorganisme, jumlah E. coli dan S. aureus pada susu segar
merupakan indikator praktik higiene dan sanitasi yang buruk di peternakan.
Saran
Pemerintah disarankan untuk menggalakkan program penyuluhan mengenai
praktik higiene yang baik di tingkat peternakan sehingga diperoleh kualitas susu
segar yang baik. Pemerintah, KUD, maupun swasta perlu berperan aktif dalam
mewujudkan penerapan prosedur tentang higiene dan sanitasi yang baik di
peternakan melalui program pendampingan dan kemitraan dengan para peternak
sapi perah. Para peternak diharapkan dapat menerapkan higiene yang baik selama
pemerahan dan menggunakan rantai dingin selama distribusi serta memperhatikan
kesehatan hewan ternaknya untuk memperoleh kualitas susu segar yang baik.
Mahasiswa juga diharapkan dapat melakukan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan
yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas susu segar melalui program
pengabdian masyarakat di peternakan sapi perah sebagai salah satu bentuk
perwujudan Tri Dharma perguruan tinggi.
35
DAFTAR PUSTAKA
Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiology. Cambridge: The Royal
Society of Chemistry. hlm 222-255.
Altalhi AD, Hassan SA. 2009. Bacterial quality of raw milk investigated by
Escherichia coli and isolates analysis for specific virulence-gene markers.
Food Control 20:913–917.
André et al. 2008. Comparison of Staphylococcus aureus isolates from food
handlers, raw bovine milk and Minas Frescal cheese by antibiogram and
pulsed-field gel electrophoresis following small digestion. Food Control
19:200–207.
Astawan M. 2008. Sehat dengan Hidangan Hewani. Jakarta: Penebar Swadaya.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba
dalam Pangan. SNI 3788:2009.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. Susu Segar-Bagian1: Sapi. SNI
3141.1 2011.
Baird PAC. 1962. An improved diagnostic and selective medium for isolating
coagulase-positive Staphylococci. J Appl Bacteriol 25:12-19.
Baird RM, Lee WH. 1995. Media used in the detection and enumeration of
Staphylococcus aureus. Di dalam Corry JEL, Curtis GDW, Baird RM,
editor. Culture Media for Food Microbiology. Amsterdam: Elsevier. hlm
77-87.
Baird RM, van Doorne H. 1982. Enrichment techniques for Staphylococcus
aureus. Arch Lebensmittelhyg 33:146-150.
Baylis CL. 2009. Raw milk and raw milk cheeses as vehicles for infection by
Verocytotoxin-producing Escherichia coli. Int J Dairy Technol 62:293-307.
Bendahou A, Abid M, Bouteldoun N, Catelejine D, Lebbadi M. 2009.
Enterotoxigenic coagulase positive Staphylococcus in milk and milk
products, lben and jben, in northern Morocco. J Infect Develop Countries
3(3):169-176.
Bennet RW, Monday SR. 2003. Staphylococcus aureus. Di dalam Miliotis MD,
Bier JW, editor. International Handbook of Foodborne Pathogens. New
York: Marcel Dekker. hlm 41-60.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo
H, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Food Science.
36
Chye FY, Abdullah A, Ayob MK. 2004. Bacteriological quality and safety of
raw milk in Malaysia. Food Microbiol 21:535–541.
Cretenet M, Even S, Loir YL. 2011. Unveiling Staphylococcus aureus
enterotoxin production in dairy products: a review of recent advances to
face new challenges. Dairy Sci & Technol 91:127–150
De Smedt JM, Bolderdijk R, Rappold H, Lautenschlaeger D. 1986. Rapid
Salmonella detection in foods by motility enrichment on modified semi-
solid Rappaport-Vassiliadis medium. J Food Prot 49:510–514.
[DITJENNAK] Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Statistik Peternakan 2009.
[terhubung berkala]. http://www. Ditjennak.go.id [04 September 2010]
Elmoslemany et al. 2010. The association between bulk tank milk analysis for
raw milk quality and on-farm management practices. Prev Vet Med 95:32–
40.
Eslava C, Villaseca J, Hernandez U, Cravioto A. 2003. Escherichia coli. Di
dalam: Miliotis MD, Bier JW, editor. International Handbook of Foodborne
Pathogens. New York: Marcel Dekker. hlm 123-136.
Fernandez R. 2009. Microbiology Handbook: Dairy Products. Cambridge:
Leatherhead and RSC.
Gustiani E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak
(daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. Litbang Per
28:96-100.
Kagkli DM, Vancanneyt M, Vandamme P, Hill C, CoganTM. 2007.
Contamination of milk by enterococci and coliforms from bovine faeces. J
of Applied Microbiol 103: 1393–1405.
Kumar R, Prasad A. 2010. Detection of E. coli and Staphylococcus in milk and
milk products in and around Partnagar. Vet World 3(11):495-496
Lukman DW. 2009. Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan metode
hitungan cawan. Di dalam: Lukman DW, Purnawarman T, editor.
Penuntun Praktikum Higine Pangan Asal Hewan. Bogor: Kesmavet FKH
IPB. hlm 10-17.
Lukman DW, Latif H. 2009. Metode most probable number (MPN). Di dalam:
Lukman DW, Purnawarman T, editor. Penuntun Praktikum Higiene Pangan
Asal Hewan. Bogor: Kesmavet FKH IPB. hlm 20-30.
Nanu et al. 2007. Quality assurance and public health safety of raw mik at the
production point. Am J of Food Technol 2(3): 145-152.
37
Omiccioli E, Amagliani G, Brandi G, Magnani M. 2009. A new platform for
Real-Time PCR detection of Salmonella spp., Listeria monocytogenes and
Escherichia coli O157 in milk. Food Microbiol 26:615–622.
Perkins et al. 2009. An analysis of the relationship between bulk tank milk
quality and wash water quality on dairy farms in Ontario, Canada. J Dairy
Sci 92:3714–3722
Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology. Washington: CRC Pr.
Shekhar C, Motina E, Kumar S. 2010. Microbiological quality of raw milk and
its public health significance. J Dairy, Foods & Home Sci 29 (1): 15-18
Stephens P. 2003. Culture methods. Di dalam: McMeekin TA, editor. Detecting
Pathogens In Food. Cambridge: Woodhead. hlm 123-146.
Stephens et al. 1997. The use of an automated growth analyser to measure
recovery times of single heat-injured Salmonella cells. J Appl Microbiol 83:
445–455.
Terplan G, Zaadhof KJ, Beckers H. 1982. Quality assurance of newer media for
the enumeration of Staphylococcus aureus in foods. Arch Lebensmitelhyg
33:142-145.
Van Leusden F, Van Schothorst M, Beckers H. 1982. The standard Salmonella
isolation method. Di dalam: Corry JEL, Roberts D, Skinner FA, editor.
Isolation and Identification Methods for Food Poisoning Organisms.
London: Academic Pr. hlm 35–49.
Vogel RA, Johnson M. 1960. A modification of the tellurite-glycine medium for
use in the identification of Staphylococcus aureus. Public Health Lab
18:131-133.
Top Related