PENGERTIAN MODAL DAN STRUKTUR MODAL
Modal adalah hak atau bagian yang dimiliki oleh pemilik perusahaan dalam pos modal
(modal saham), keuntungan atau laba yang ditahan atau kelebihan aktiva yang dimiliki
perusahaan terhadap seluruh utangnya (Munawir,2001). Modal pada dasarnya terbagi atas dua
bagian yaitu modal Aktif (Debet) dan modal Pasif (Kredit).
Struktur Modal adalah perimbangan atau perbandingan antara modal asing dan modal
sendiri. Modal asing diartikan dalam hal ini adalah hutang baik jangka panjang maupun dalam
jangka pendek. Sedangkan modal sendiri bisa terbagi atas laba ditahan dan bisa juga dengan
penyertaan kepemilikan perusahaan.
Menurut J. Fred Weston dan Thomas E Copeland (1996) mengatakan bahwa struktur
modal adalah pembiayaan permanen yang terdiri dari utang jangka panjang, saham preferen, dan
modal pemegang saham.
Menurut Frank J Fabozzi and Pamela Peterson (2000), capital structure is the
combination of debt and equity used to finance a firm’s projects. The capital structure of a firm
is some mix of debt, internally generated equity, and new equity.
Menurut Keown et.al (2000), struktur modal adalah paduan atau kombinasi sumber dana
jangka panjang yang digunakan oleh perusahaan.
Menurut Farah Margaretha (2004), struktur modal menggambarkan pembiayaan
permanen perusahaan yang terdiri atas utang jangka panjang dan modal sendiri.
Menurut Robert C Higgins (2004), capital structure is the composition of the liabilities
side of a company’s balance sheet, the mix of funding sources a company uses to finance its
operations.
Menurut Handono Mardiyanto (2009), struktur modal didefinisikan sebagai komposisi
dan proposi utang jangka panjang dan ekuitas (saham preferen dan saham biasa) yang ditetapkan
perusahaan.
Menurut Ahmad Rodoni dan Herni Ali (2010), struktur modal adalah proporsi dalam
menentukan pemenuhan kebutuhan belanja perusahaan dimana dana yang diperoleh
menggunakan kombinasi atau paduan sumber yang berasal dari dana jangka panjang yang terdiri
dari dua sumber utama yakni yang berasal dari dalam dan luar perusahaan.
Menurut Husnan Suad (2004) struktur modal adalah perimbangan atau perbandingan
antara modal asing dengan modal sendiri.
Menurut Sabar Warsini (2003) struktur modal merupakan sumber pendanaan jangka
panjang terdiri dari obligasi dan saham.
Struktur modal merupakan proporsi atau perbandingan dalam menentukan pemenuhan
kebutuhan belanja perusahaan, apakah dengan cara menggunakan utang, ekuitas, atau dengan
menerbitkan saham (Birgham dan Gapensi : 1996) dalam penelitian Tinjung Desy Nursanti
(2004).
Menurut Bambang Riyanto (2001) dalam penelitian Hasa Nurrohim (2008), struktur
modal adalah pembelanjaan permanen yang mencerminkan pertimbangan atau perbandingan
antara utang jangka panjang dengan modal sendiri.
Memahami Struktur Modal
Komponen struktur modal dapat dilihat di sisi kanan laporan neraca perusahaan, dimana
yang merupakan pembiayaan pembelanjaan permanen bagi perusahaan adalah hutang jangka
panjang, saham preferen dan modal biasa. Berbagai teori struktur modal telah dikembangkan
para pakar untuk menentukan struktur modal yang optimal dengan menganalisis komposisi dari
hutang dan modal.
Struktur Modal merupakan masalah penting dalam pengambilan keputusan mengenai
pembelanjaan perusahaan. Untuk mengukur Struktur Modal tersebut maka dapat digunakan
beberapa Teori yang menjelaskan Struktur Modal dalam suatu Perusahaan.
Tujuan manajemen struktur modal adalah memadukan sumber-sumber dana permanen
yang digunakan perusahaan untuk operasionalnya yang akan memaksimumkan nilai perusahaan
itu sendiri. Pencarian struktur modal yang optimal merupakan pekerjaan yang sangat sulit,
karena adanya konflik yang mengarah kepada biaya agensi. Konflik lama terjadi antara
pemegang saham dan pemegang obligasi dalam penetapan struktur modal optimal suatu
perusahaan. Maka untuk mengurangi kemungkinan manajemen menanggung resiko berlebihan
atas nama pemegang saham, perlu memasukkan beberapa batasan protektif.
A. PENGARUH UTANG TERHADAP RETURN DAN RISIKO
Struktur modal menunjukkan proporsi atas penggunaan hutang untuk membiayai
investasinya, sehingga dengan mengetahui struktur modal, investor dapat mengetahui
keseimbangan antara risiko dan tingkat pengembalian investasinya.
Kebijakan mengenai struktur modal melibatkan trade off antara risiko dan tingkat
pengembalian (return). Penambahan hutang akan memperbesar risiko perusahaan, tapi akan
memperbesar tingkat pengembalian yang diharapkan ( expected return ). Risiko yang makin tinggi
akibat besarnya hutang cenderung akan menurunkan harga saham, tapi meningkatnya expected
return diharapkan akan meningkatkan harga saham pula. Dari sini muncul konsep struktur
modal optimal, yaitu struktur modal yang mengoptimalkan keseimbangan antara risiko dan
pengembalian sehingga memaksimumkan harga saham.
Risiko yang dihadapi oleh perusahaan merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan tentang
struktur modal. Ada dua kategori risiko, yaitu:
a. Risiko Bisnis
Risiko bisnis adalah ketidakpastian yang berkaitan dengan proyeksi tingkat pengembalian
atas aktiva (ROA) atau atas ekuitas (ROE) dengan asumsi perusahaan tidak
menggunakan hutang.
Risiko bisnis ini diukur dengan deviasi standar dari ROE (Return On Equity).
E A T
R O E = --------------------
Modal Sendiri
Risiko bisnis dipengaruhi oleh faktor-faktor :
i. Variabilitas permintaan. Semakin pasti permintaan untuk produk perusahaan,
cateris paribus, semakin rendah risiko bisnis.
ii. Variabilitas Harga. Semakin mudah harga berubah, semakin besar risiko bisnis.
iii. Variabilitas biaya input. Semakin tidak menentukan biaya input, semakin besar
risiko bisnis
iv. Kemampuan menyesuaikan harga jika ada perubahan biaya. Semakin besar
kemampuan ini, semakin kecil risiko bisnis
v. Tingkat penggunaan biaya tetap (Operating Leverage). Semakin tinggi operating
leverage, semakin besar risiko bisnis. Pada umumnya, semakin besar biaya tetap,
biaya variabel cenderung mengecil (misal : investasi pada mesin mahal akan
mengruangi jam kerja karyawan). Sebaliknya biaya tetap yg kecil pada umumnya
membawa konsekuensi biaya variabel yang besar.
BEP
Pendapatan total
Biaya Total
Keuntungan (EBIT)
Keuntungan / Biaya
Biaya tetap
Penjualan
BEP
Pendapatan total
Biaya Total
Keuntungan (EBIT)
Biaya tetap
Penjualan
Perusahaan A : memiliki biaya tetap besar, biaya variabel relatif kecil
Perusahaan B : memiliki biaya tetap kecil dan biaya variabel relatif besar.
Gambar Perusahaan A :
Gambar Perusahaan B
Keuntungan / Biaya
b. Risiko Finansial
Risiko keuangan ini adalah tambahan risiko yang ditanggung oleh pemegang saham
sebagai akibat penggunaan leverage keuangan. Artinya jika makin besar penggunaan
sekuritas yang berbiaya tetap dengan prosentase bunga tertentu (hutang dan saham
preferen), maka pemegang saham biasa akan menanggung seluruh risiko bisnis, sehingga
risiko terhadap turunnya nilai saham ditanggung oleh pemegang saham akan berlipat dua
jika dibandingkan kondisi awal.
Risiko Financial = σ ROE (L)−σ ROE (U )
Dimana :
σ ROE (L)= Risiko perusahaan yg menggunakan hutang (Leverage Firm)
σ ROE (U )= Risiko perusahaan yg tdk menggunakan hutang (Unliverage Firm) atau risiko
bisnis
σ ROE (L) adalah lebih besar dari σ ROE (U ) . Perhatikan ilustrasi berikut :
Modal perusahaan Rp. 1.000.000,00. Perusahaan tidak menggunakan hutang. EBIT = Rp.
400.000,00 dan pajak 20 %.
EBIT Rp 400.000
Bunga Rp 0
--------------------
EBT Rp. 400.000
Pajak (20%) Rp 80.000
---------------------
EAT Rp 320.000
EAT 320.000
ROE = ------ = ---------------= 32 %
MS 1.000.000
Jika perusahaan menggunakan hutang sehingga struktur modal menjadi 50% modal
sendiri dan 50% hutang. Biaya hutang (Kd) = 24 %, maka
EBIT Rp. 400.000 (tdk berubah)
Bunga (24%) Rp. 120.000
--------------------
EBT Rp. 280.000
Pajak (20%) Rp. 56.000
--------------------
EAT Rp. 224.000
EAT 224.000
ROE = ------ = ---------------= 44,8 %
MS 500.000
Penggunaan hutang meningkatkan ROE perusahaan sebesar 12,8 %. Namun demikian
penggunaan hutang juga meningkatkan risiko pada pemegang saham (equity investor).
Seandainya EBIT tidak Rp. 400.000 tapi hanya Rp. 200.000 (ini mungkin saja terjadi
karena ketidakpastian dalam bisnis), maka pengaruh pada perusahaan jika menggunakan hutang
dan tidak adalah :
Tanpa Hutang Hutang Rp. 500.000EBITBunga (24%)
EBTPajak (20%)
EAT
200.000 0 ----------- 200.000 40.000 ----------- 160.000
200.000 120.000 ------------ 80.000 16.000 ------------ 64.000
ROE 16 % ( 160 rb/ 1 juta) 12,8 % (64 rb/ 500 rb)
Nampak jika realisasi EBIT hanya 50% dari yg diharapkan, ROE tanpa hutang hanya
turun 16% (32%-16%), sedangkan ROE dengan hutang turun 32% (44,8% - 12,8%).
Satu hal penting yg perlu diperhatikan dalam penggunaan hutang adalah : penggunaan
hutang akan meningkatkan ROE hanya jika tingkat keuntungan pada aktiva (diukur dg EBIT /
Total aktiva) lebih besar dari biaya modal (biaya hutang).
B. STATIC TRADE OFF
1. Modigliani-Miller (MM) Theory
a. Teori MM tanpa pajak
Teori struktur modal modern yang pertama adalah teori Modigliani dan Miller (teori MM).
Mereka berpendapat bahwa struktur modal tidak relevan atau tidak mempengaruhi nilai
perusahaan. MM mengajukan beberapa asumsi untuk membangun teori mereka (Brigham
dan Houston, 2001, p.31) yaitu:
a. tidak terdapat agency cost.
b. tidak ada pajak.
c. investor dapat berhutang dengan tingkat suku bunga yang sama dengan perusahaan
d. investor mempunyai informasi yang sama seperti manajemen mengenai prospek
perusahaan di masa depan
e. tidak ada biaya kebangkrutan
f. Earning Before Interest and Taxes (EBIT) tidak dipengaruhi oleh penggunaan dari
hutang.
g. para investor adalah price-takers.
h. jika terjadi kebangkrutan maka aset dapat dijual pada harga pasar (market value).
Dengan asumsi-asumsi tersebut, MM mengajukan dua preposisi yang dikenal sebagai
preposisi MM tanpa pajak.
Preposisi I: nilai dari perusahaan yang berhutang sama dengan nilai dari perusahaan yang
tidak berhutang. Implikasi dari preposisi I ini adalah struktur modal dari suatu
perusahaan tidak relevan, perubahan struktur modal tidak mempengaruhi nilai
perusahaan dan weighted average cost of capital (WACC) perusahaan akan
tetap sama tidak dipengaruhi oleh bagaimana perusahaan memadukan hutang
dan modal untuk membiayai perusahaan.
Preposisi II: biaya modal saham akan meningkat apabila perusahaan melakukan atau
mencari pinjaman dari pihak luar. Risk of the equity bergantung pada resiko
dari operasional perusahaan (business risk) dan tingkat hutang perusahaan
(financial risk).
Brealey, Myers dan Marcus (1999) menyimpulkan dari teori MM tanpa pajak ini yaitu tidak
membedakan antara perusahaan berhutang atau pemegang saham berhutang pada saat
kondisi tanpa pajak dan pasar yang sempurna. Nilai perusahaan tidak bergantung pada
struktur modalnya. Dengan kata lain, manajer keuangan tidak dapat meningkatkan nilai
perusahaan dengan merubah proporsi debt dan equity yang digunakan untuk membiayai
perusahaan.
b. Teori MM dengan pajak
Teori MM tanpa pajak dianggap tidak realistis dan kemudian MM memasukkan faktor pajak
ke dalam teorinya. Pajak dibayarkan kepada pemerintah, yang berarti merupakan aliran kas
keluar. Hutang bisa digunakan untuk menghemat pajak, karena bunga bisa dipakai sebagai
pengurang pajak.
Dalam teori MM dengan pajak ini terdapat dua preposisi yaitu:
Preposisi I: nilai dari perusahaan yang berhutang sama dengan nilai dari perusahaan yang
tidak berhutang ditambah dengan penghematan pajak karena bunga hutang.
Implikasi dari preposisi I ini adalah pembiayaan dengan hutang sangat
menguntungkan dan MM menyatakan bahwa struktur modal optimal
perusahaan adalah seratus persen hutang.
Preposisi II: biaya modal saham akan meningkat dengan semakin meningkatnya hutang,
tetapi penghematan pajak akan lebih besar dibandingkan dengan penurunan
nilai karena kenaikan biaya modal saham.
Implikasi dari preposisi II ini adalah penggunaan hutang yang semakin banyak akan
meningkatkan biaya modal saham. Menggunakan hutang yang lebih banyak, berarti
menggunakan modal yang lebih murah (biaya modal hutang lebih kecil dibandingkan
dengan biaya modal saham), sehingga akan menurunkan biaya modal rata-rata
tertimbangnya (meski biaya modal saham meningkat). Teori MM tersebut sangat
kontroversial. Implikasi teori tersebut adalah perusahaan sebaiknya menggunakan hutang
sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya, tidak ada perusahaan yang mempunyai hutang
sebesar itu, karena semakin tinggi tingkat hutang suatu perusahaan, akan semakin tinggi
juga kemungkinan kebangkrutannya. Inilah yang melatarbelakangi teori MM mengatakan
agar perusahaan menggunakan hutang sebanyak-banyaknya, karena MM mengabaikan biaya
kebangkrutan.
2. Trade-off Theory
Menurut trade-off teory yang diungkapkan oleh Myers (2001), “Perusahaan akan berhutang
sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana penghematan pajak (tax shields) dari tambahan
hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress)” (p.81). Biaya kesulitan
keuangan (Financial distress) adalah biaya kebangkrutan (bankruptcy costs) atau
reorganization, dan biaya keagenan (agency costs) yang meningkat akibat dari turunnya
kredibilitas suatu perusahaan.
Trade-off theory dalam menentukan struktur modal yang optimal memasukkan beberapa
faktor antara lain pajak, biaya keagenan (agency costs) dan biaya kesulitan keuangan
(financial distress) tetapi tetap mempertahankan asumsi efisiensi pasar dan symmetric
information sebagai imbangan dan manfaat penggunaan hutang.
Tingkat hutang yang optimal tercapai ketika penghematan pajak (tax shields) mencapai
jumlah yang maksimal terhadap biaya kesulitan keuangan (costs of financial distress). Trade-
off theory mempunyai implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam kerangka trade-off antara
penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan dalam penentuan struktur modal.
Perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi tentu akan berusaha
mengurangi pajaknya dengan cara meningkatkan rasio hutangnya, sehingga tambahan hutang
tersebut akan mengurangi pajak. Dalam kenyataannya jarang manajer keuangan yang berpikir
demikian. Donaldson (1961) melakukan pengamatan terhadap perilaku struktur modal
perusahaan di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perusahaan-
perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi cenderung rasio hutangnya rendah. Hal
ini berlawanan dengan pendapat trade-off theory. Trade-off theory tidak dapat menjelaskan
korelasi negatif antara tingkat profitabilitas dan rasio hutang.
Struktur modal optimal dapat diperoleh dengan adanya keseimbangan antara keuntungan tax
shield dengan financial distress dan agency cost, karena penggunaan leverage, atau terjadi
trade-off antara benefit dengan biaya. Financial distress terjadi jika perusahaan mengalami
kesulitan dalam melunasi kewajiban hutangnya sehingga perusahaan terancam kebangkrutan.
Oleh karena itu financial distress perlu diperhitungkan karena mengurangi nilai perusahaan.
Model ini juga menarik, karena adanya pendapat bahwa perusahaan yang tidak menggunakan
leverage dengan perusahaan yang menggunakan leverage 100% (extrim) adalah buruk,
sedangkan keputusan yang terbaik adalah diantaranya.
Seiring dengan perkembangan waktu, para ahli membuktikan bahwa trade off model bukanlah
semata-mata teori struktur modal yang paling sempurna, karena dalam keputusan struktur
modal perlu juga dipertimbangkan perilaku pembelanjaan perusahaan.
3. Agency Cost Theory
Agency theory menyatakan bahwa dalam menentukan struktur modal perlu pula
dipertimbangkan biaya yang ditimbulkan dengan adanya perbedaan kepentingan antara
pemilik dengan pihak manajemen perusahaan. Berdasarkan teori ini, struktur modal
berpengaruh positif terhadap kemungkinan kebangkrutan, nilai lebih arus kas, nilai likuidasi,
target take over, dan reputasi manager. Struktur modal berpengaruh lebih besar bagi pemberi
hutang, sehingga biaya hutang menjadi lebih besar juga. Biaya hutang yang besar tersebut
merupakan monitoring cost bagi manajemen. Karena biaya bunga sifatnya tetap, biaya yang
tinggi tersebut memuat para manager akan berusaha untuk menggunakan dana tersebut untuk
investasi yang benar.
Teori tersebut menegaskan bahwa struktur keuangan dipengaruhi oleh insentif dan perilaku
dari pembuat keputusan (pihak manajemen). Jensen dan Meckling mengemukakan adanya dua
potensi konflik, yaitu konflik antara pemegang saham dengan kreditur, dan konflik antara
pemegang saham dengan pihak manajemen.
1. Konflik antara Pemegang Saham dengan Kreditur
Kreditur menerima uang dalam jumlah tetap dari perusahaan (bunga hutang), sedangkan
pendapatan pemegang saham bergantung pada besaran laba perusahaan. Dalam situasi
ini, kreditur lebih memperhatikan kemampuan perusahaan untuk membayar kembali
hutangnya, dan pemegang saham lebih memperhatikan kemampuan perusahaan dalam
meraih laba yang banyak. Cara perusahaan untuk memperoleh kembalian yang besar
adalah melakukan investasi pada proyek-proyek yang berisiko. Apabila pelaksanaan
proyek yang berisiko itu berhasil, kreditur tidak dapat menikmati keberhasilan tersebut,
tetapi bila proyek mengalami kegagalan, kreditur mungkin akan menderita kerugian
akibat dari ketidak-mampuan pemegang saham memenuhi kewajibannya. Untuk
mengantisipasi kemungkinan rugi, kreditur mengenakan biaya keagenan hutang ( debt
agency cost ), dalam bentuk pembatasan penggunaan hutang oleh manajer. Salah satu
pembatasan adalah membatasi jumlah penggunaan hutang untuk investasi dalam proyek
baru (seperti capital rationing ).
2. Konflik antara Pemegang Saham dengan Pihak Manajemen
Pihak manajemen tidak selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan pemegang
saham, tetapi agak mengarah kepada kepentingan dirinya sendiri. Akibatnya, pemegang
saham menanggung biaya keagenan ekuitas ( equity agency cost ) untuk memantau
kegiatan pihak manajemen. Salah satu biaya keagenan adalah kompensasi bagi akuntan
publik untuk mengaudit perusahaan.
C. TEORI PECKING ORDER
Perusahaan itu lebih cenderung menggunakan preferensi dana (pecking order) dalam
keputusan investasinya dengan urutan prioritas yaitu penambahan modal internal (laba
ditahan), penambahan hutang dan terakhir penambahan modal dengan menerbitkan saham
baru. Beberapa pengujian membuktikan bahwa harga saham berpengaruh positif terhadap
penambahan hutang dan berpengaruh negatif terhadap penerbitan saham baru.
Teori ini dikembangkan oleh Stewart Myers (1984). Ada 4 asumsi dari teori ini yaitu:
1. Kebijakan dividen adalah kaku . Manajer akan berusaha menjaga tingkat pembayaran
dividen yang konstan, dan tidak akan menaikkan atau menurunkan dividen sebagai
bentuk respon akan fluktuasi laba sekarang yang bersifat sementara.
2. Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal ( laba ditahan dan penyusutan)
dibandingkan pendanaan eksternal seperti hutang dan saham.
3. Jika perusahaan harus memperoleh pendanaan eksternal , maka perusahaan akan
memilih dari pendanaan hutang terlebih dahulu.
4. Jika perusahaan harus menggunakan pendanaan eksternal yang lebih banyak maka
perusahaan akan memilih dengan memakai hutang yang aman, kemudian dengan
hutang yang berisiko , convertible securities, preferred stock , dan terakhir adalah
saham umum.
Model ini lebih fokus pada motivasi manajer perusahaan dibandingkan prinsip valuasi dari
pasar modal. Dalam bentuknya yang paling sederhana, teori Pecking Order ini telah ada
selama beberapa tahun, namun banyak ditolak oleh para ekonomi modern karena
kelihatannya tidak rasional. Teori Pecking Order yang sederhana menganggap ada pengaruh
yang buruk dari ketidaksempurnaan pasar (biaya transaksi tinggi, investor yang tidak
memiliki informasi, dan manajer yang yang sangat tidak sensitif terhadap valuasi pasar atas
saham perusahaan) yang sulit diterima sebagai gambar akurat dari pasar modal yang modern.
Myers memberikan pandangan pembenaran dari teori pecking order ini berdasarkan
informasi asimetris (Myers and Majluf 1984). Myers dan Majluf memberikan dua asumsi
utama tentang manajer perusahaan. Pertama adalah mereka mengasumsikan bahwa manajer
perusahaan lebih mengetahui tentang penghasilan perusahaan sekarang dan kesempatan
investasi dibandingkan investor luar. Kedua adalah bahwa manajer bertindak berdasarkan
kepentingan terbaik dari pemegang saham yang ada.
Kedua asumsi ini sangat penting karena asumsi informasi asimetris mengimplikasi bahwa
manajer yang mengembangkan atau menemukan kesempatan investasi yang bagus dengan
NPV positif tidak mampu untuk menyampaikan informasi tersebut kepada kepada investor
luar karena pernyataan manajer tersebut tidak akan dipercaya. Setelah itu, semua team
manjemen memiliki dorongan untuk mengumumkan proyek baru supaya harga beli saham
naik, sehingga mereka dapat menjual saham pada harga yang lebih tinggi dan karena investor
tidak mampu mem-verifikasi klaim tersebut dalam waktu yang lama terungkapkan, mereka
akan memberi nilai rata – rata rendah terhadap semua saham semua perusahaan dan akan
membeli saham baru yang diterbitkan hanya pada saat diskon besar dari nilai ekuilibrium
tanpa informasi asimetris. Manajer perusahaan memahami masalah ini, dan pada kasus
tertentu akan menolak untuk menerima kesempatan investasi dengan NPV positif jika di
dunia ini melibatkan penerbitan saham baru karena ini akan memberikan nilai proyek yang
telalu banyak kepada pemegang saham baru dengan membebankan kepada pemegang saham
yang lama.
Investor tidak dapat mempercayai manajer, sehingga mereka akan menempatkan nilai kecil
pada saham biasa dan manajer akan dipaksa melepaskan kesempatan investasi yang bernilai
karena tidak dapat menyampaikan informasi pribadi kepada investor lama secara kredibel.
Ditambah lagi , masalah informasi dalam pasar keuangan adalah masalah yang disebabkan
oleh sifat manusia, sehingga tidak dapat diatasi dengan pengurangan biaya transaksi atau
pasar modal lainnya. Solusi dari permasalahan ini menurut Myers dan Majluf adalah
menahan financial slack yang cukup agar dapat mendanai proyek secara internal.
Financial slack merupakan kas perusahaan dan surat berharga yang dipegang perusahaan
seperti kapasitas hutang yang tidak dipakai. Perusahaan yang memiliki financial slack yang
cukup tidak akan pernah menerbitkan hutang berisiko atau sekuritas untuk mendanai
investasi proyeknya dengan begitu perusahaan dapat mengatasi masalah informasi yang
asimetris antara manajer dan investor. Selain itu, menurut aturan investasi optimal dari
Fisherian sekali lagi menekankan, karena manajer dapat menerima semua proyek yang NPV
positif tanpa membahayakan investor lama. Yang terpenting adalah model ini memberikan
penjelasan mengenai pola dari perusahaan yang profitabilitasnya tinggi menahan labanya
sebagai ekuitas dan meningkatkan cadangan kas mereka. Mereka membangun financial slack
dan financial flexibity.
Model Myers dan Majluf juga menjelaskan reaksi pasar saham terhadap peningkatan dan
penurunan hutang, karena perusahaan yang memiliki kesempatan investasi berharga berusaha
mendanai proyeknya secara internal, atau menggunakan sekuritas yang rendah risiko jika
masih harus memperoleh pendanaan eksternal, hanya perusahaan yang akan menerbitkan
sekuitas adalah perusahaan dengan manajer yang menganggap saham perusahaan overvalued.
Investor sangat paham akan insentif ini dan juga sadar bahwa manajer terinformasi dengan
baik tentang prospek perusahaan bila dibandingkan dengan dirinya sendiri, dan oleh sebab itu
investor selalu berusaha menanggapi pengumuman penerbitan saham sebagai ”berita buruk”
( sebagai tanda bahwa manajemen menganggap saham perusahaan akan over-valued).
Namun teori Pecking Order ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu tidak dapat
menjelaskan semua aturan dalam struktur modal yang diamati. Sebagai contoh, jika
dibandingkan dengan trade-off theory adalah ketidakmampuannya untuk menjelaskan
bagaimana pajak, biaya kebangkrutan dan biaya menerbitkan sekuritas dan kesempatan
investasi perusahaan berpengaruh terhadap rasio aktual hutang. Apalagi teori ini
mengindahkan agency problem yang signifikan dapat dengan mudah meningkat ketika
manajer perusahaan mengakumulasi begitu banyak financial slack sehingga mereka menjadi
kebal dari peraturan pasar. Ini dapat terjadi jika perusahaan tidak memiliki kebutuhan untuk
meningkatkan pendanaan eksternal yang baru, dan dengan demikian tidak dapat dihukum
secara langsung melalui harga saham yang rendah. Meskipun begitu, Pecking Order
Hypothesis terlihat lebih baik dalam menjelaskan aspek tertentu dari pola struktur modal
yang diamati dibandingkan model yang lain, dan ini tentunya menjadi pilihan pendanaan
perusahaan (sekuritas apa yang dipilih untuk diterbitkan) dan respon pasar terhadap
penerbitan sekuritas.
Hasil penelitian Singh dan Hamid (1992) dan Singh (1995) menemukan bahwa perusahaan di
negara berkembang cenderung lebih menggunakan ekuitas dibandingkan hutang dalam
pendanaan perusahaan. Hal ini sejalan dengan hasil Huang dan Song (2002) yang meneliti
keputusan leverage pada 799 perusahaan China. Mereka menemukan bahwa tingkat hutang
perusahaan negara berkembang adalah rendah. Menurut Razan dan Zingales (1995) bahwa
ukuran perusahaan merupakan proxy dari informasi asimetris antara perusahaan dan pasar.
Oleh karena itu, semakin besar perusahaan, semakin kompleks organsasinya, maka semakin
tinggi biaya asimetris informasi sehingga semakin sulit perusahaan yang besar untuk
memperoleh pendanaan eksternal. Dengan kata lain bahwa perusahaan yang besar lebih
menggunakan pendanaan internal dibandingkan dengan pendanaan eksternal
D. TEORI SIGNALING
Signalling merupakan kegiatan pendanaan manajer dipercaya merefleksikan nilai dari
saham perusahaan. Pada umumnya pendanaan dengan hutang dianggap sebagai signal positif
sehingga manajer percaya bahwa saham “undervalued” Sebagai contoh anggap manajer
menemukan adanya kesempatan investasi yang menguntungkan memerlukan adanya tambahan
pendanaan. Manajer percaya bahwa prospek perusahaan ke depannya sangat bagus yang
diindikasikan dengan harga saham perusahaan sekarang. Dalam hal ini akan menguntungkan
bagi para stockholder untuk menggunakan hutang dibandingkan dengan menerbitkan saham.
Karena dengan penggunaan hutang ini dianggap sebagai signal positif . Sedangkan adanya
penerbitan saham dianggap sebagai signal negatif sehingga manajemen percaya bahwa saham
“overvalued”. Hal ini mengakibatkan harga saham akan menurun, underwriting cost
(menerbitkan saham) tinggi sehingga pendanaan dengan penerbitan saham baru sangat mahal
dibandingkan dengan penggunaan hutang.
Teori ini dikembangkan oleh Ross (1979). Ross menyarankan perusahaan dengan
leverage yang besar dapat dipakai manajer sebagai signal yang optimis akan masa depan
perusahan. Teori signalling ini muncul karena adanya permasalahan asimetris informasi. Karena
kondisi asimetris informasi ada dari waktu ke waktu, perusahaan harus menjaga kapasitas
cadangan pinjaman dengan menjaga tingkat pinjaman yang rendah. Adanya cadangan ini
memungkinkan manajer untuk mengambil keuntungan dari kesempatan investasi tanpa harus
menjual saham pada harga rendah. Dengan demikian akan mengirimkan signal yang sangat
mempengaruhi harga saham.
Adanya asumsi bahwa pasar keuangan tidak merefleksikan semua informasi khususnya
informasi yang belum tersedia di publik, maka memungkinkan bagi manajer untuk memilih
dalam penggunaan kebijakan pendanaan untuk menyampaikan informasi ke pasar. Manajer
sebagai pihak dalam yang memiliki akses informasi tentang ekspektasi aliran kas perusahaan,
akan memilih signal yang tidak terlalu ambigus tentang masa depan perusahaan jika mereka
memiliki insentif yang tepat. Untuk melihat bagaimana proses bekerja insentif ini, maka kita
asumsikan manajer dilarang untuk memperdagangkan sekuritas dari perusahaan mereka. Hal ini
menjaga mereka dari keuntungan dengan mengeluarkan signal yang salah, seperti
mengumumkan berita buruk dan menjual singkat walaupun mereka tahu perusahaan bagus.
Myers dan Mjluf (1984) juga membuat model signalling yang merupakan kombinasi dari
keputusan investasi dan keputusan pendanaan. Manajer lebih baik dari siapapapun, diasumsikan
mengetahui nilai ”sebenarnya” perusahaan di masa depan. Disamping itu, manajer juga
diasumsikan bertindak sesuai dengan kepentingan dari pemegang saham lama yaitu orang
memiliki saham di perusahaan ketika keputusan diambil. Pemegang saham lama ini juga
diasumsikan pasif atau tidak melakukan apapun untuk mengubah portofolio mereka. Untuk lebih
mudah,maka kita asumsikan tingkat bunga adalah nol, dan tidak ada pajak, biaya transaksi, atau
pasar tidak sempurna.
Untuk memulai analisis, kita anggap 2 kondisi yang sama yaitu (good news atau bad
news). Perusahaan dengan aset likuid Li dan tangible aset Ai. Perusahaan tidak memiliki proyek
NPV yang positif, dan tidak ada hutang. Informasi asimetris tercipta karena pihak dalam
diasumsikan mengetahui keadaan yang sesungguhnya akan perusahaan. Sedangkan pasar tidak
mengetahui apapun akan ekspektasi nilai perusahaan. Jika perusahaan tidak melakukan apapun,
maka pasar sebagai pihak lain akan menghitung ekspektasi nilai perusahaan sebagai berikut :
VO = Σ pi (Li + Ai) = 0.5(250) + 0.5(130) = 190
Nilai ini sama dengan nilai klaim dari pemegang saham lama. Untuk membangun
ekspektasi rasional dari keseimbangan signalling maka kita akan melihat tabel payoff dari
pemegang saham lama dalam 2 kondisi tindakan yaitu 1) tidak melakukan apa – apa; 2)
mengeluarkan 100 saham kepada pemegang saham baru. Kita akan melihat bahwa walaupun
pemegang sama lama memiliki insentif mengeluarkan insentif dalam menerbitkan saham ketika
perusahaan overvalued, mereka tahu akan ada berita buruk datang, mereka mencoba menerbitkan
saham maka memberikan signal ke pasar dan akhirnya mengurangi keuntungan informasi.
(V0⎟good news, do nothing) = L1 + A1 = 250
Sedangkan , ketika menerbitkan 100 saham baru, nilanya adalah :
(V0⎟bad news,isue equity) = Vo (l1 + A1 + E) = 190 (350) 229,31
Tidak melakukan apa - apa Menerbitkan ekuitas
Berita Baik 250* 229.31
Berita Buruk 130 150.69*
Berdasarkan tabel payoff diatas maka tindakan optimal yang dilakukan tidak melakukan
apa – apa ketika kabar baik akan datang dan menerbitkan saham ketika kabar buruk akan terjadi
karena perusahaan dianggap overvalued.
E. MODEL MARKET TIMING
Baker dan Wurgler (2002) mengembangkan teori struktur modal equity market timing
yaitu struktur modal merupakan hasil kumulatif dari upaya perusahaan untuk melakukan market
timing di masa lalu. Equity market timing adalah praktik perusahaan untuk menerbitkan saham
pada saat valuasi harga saham perusahaan di pasar sedang tinggi serta membeli kembali saham
pada saat valuasi pasarnya sedang rendah. Tujuan perusahaan melakukan equity market timing
adalah untuk mengeksploitasi fluktuasi temporer biaya saham terhadap biaya komponen modal
lainnya. Eksploitasi ini dapat dilakukan karena fluktuasi biaya saham bukan disebabkan oleh
fluktuasi risiko perusahan. Komponen-komponen harga pasar saham di pasar efisien terdiri dari
nilai asset in place ditambah nilai growth opportunity (Myers, 1977; Kester, 1984; Reuer dan
Tong, 2007). Pada pasar tidak efisien, variable yang juga turut membentuk harga pasar saham
adalah sentimen investor, yaitu keyakinan investor terhadap arus kas harapan perusahaan di masa
depan yang tidak didukung oleh informasi fundamental (Morck, Shleifer, dan Vishny, 1990 dan
Baker dan Wurgler, 2007). Apabila sentiment investor diikuti oleh perubahan permintaan yang
cukup besar terhadap saham perusahaan maka terjadi mispricing. Oleh karena itu, sebenarnya
terdapat tiga kemungkinan pemicu equity market timing yaitu: (1) growth opportunity, (2)
asimetri informasi, dan (3) sentimen investor.
Teori yang diungkapkan oleh Baker dan Wurgler (2002) ini mengemukakan bahwa
“Perusahaan-perusahaan akan menerbitkan equity pada saat market value tinggi dan akan
membeli kembali equity pada saat market value rendah” (p.1) Praktik inilah yang kemudian
disebut sebagai equity market timing. Tujuan dari melakukan equity market timing ini adalah
untuk mengeksploitasi fluktuasi sementara yang terjadi pada cost of equity terhadap cost of other
forms of capital. Menurut Baker dan Wurgler (2002), ”Struktur modal adalah hasil kumulatif
dari usaha melakukan equity market timing di masa lalu” (p.3). Baker dan Wurgler menemukan
bahwa perusahaan dengan tingkat hutang rendah adalah perusahaan yang menerbitkan equity
pada saat market value tinggi dan perusahaan dengan tingkat hutang tinggi adalah perusahaan
yang menerbitkan equity pada saat market value rendah. Baker dan Wurgler menggunakan
market-to-book ratio, yang umumnya digunakan sebagai proxy untuk mengukur kesempatan
investasi, namun dalam teorinya market-to-book ratio juga digunakan untuk melihat apakah nilai
suatu ekuitas itu overvalued atau undervalued. Baker dan Wurgler membangun suatu model
variabel yaitu external finance weighted-average market-to-book ratio. Variabel ini adalah rata-
rata tertimbang dari market-to-book ratio suatu perusahaan di masa lampau. Variabel ini
digunakan oleh Baker dan Wurgler untuk melihat usaha dari suatu perusahaan dalam melakukan
equity market timing.
Ada dua versi dari equity market timing yang mengikuti hasil penelitian Baker dan
Wurgler. Yang pertama adalah versi dinamis dari Myers dan Majluf (1984) mengenai informasi
asimetris yang mengasumsikan rasional manajer dan investor. Versi yang kedua dari equity
market timing melibatkan para investor atau manajer yang tidak rasional dan persepsi dari
mispricing. Para manajer akan menerbitkan equity saat mereka yakin bahwa cost of equity
rendah dan membeli kembali equity saat cost of equity tinggi. Market-to-book diketahui secara
umum berkorelasi negatif dengan future equity returns, dan nilai ekstrem dari market-to-book
dikaitkan dengan ekpektasi-ekspektasi yang ekstrem dari investor, sesuai dengan penelitian dari
La Porta (1996), La Porta et al. (1997), Frankel dan Lee (1998), dan Schleifer (2000). Apabila
manajer mencoba untuk mengeksploitasi terlalu jauh (ekstrem) ekspektasi-ekspektasi dari
investor, net equity issues akan berkorelasi positif dengan market-to-book. Apabila tidak terdapat
struktur modal yang optimal, manajer tidak perlu mengganti keputusan-keputusan pendanaannya
pada saat perusahaan telah dinilai dengan benar dan cost of equity terlihat normal, hal ini
menunggu fluktuasi-fluktuasi sementara yang terjadi pada market-to-book mempunyai efek yang
tetap pada leverage.
Perilaku investor kuasi rasional dan mekanisme arbitrase yang tidak berjalan sempurna
akan mengakibatkan mispricing dan mengakibatkan pasar menjadi tidak efisien. Bukti empiris
menunjukkan bahwa pasar modal Indonesia berada dalam kondisi yang tidak efisien (Kim dan
Shamsuddin, 2008; Hoque, Kim, dan Pyun, 2007) yang merupakan tanda bahwa investor di
pasar modal Indonesia bersikap kuasi rasional. Pada pasar tidak efisien, manajer dapat memilih
waktu yang tepat untuk menerbitkan saham, yaitu pada saat harga cukup tinggi di atas nilai
wajarnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa teori struktur modal equity market timing
dari Baker dan Wurgler (2002) akan berlaku di pasar tidak efisien.
Pendekatan yang baru dalam penelitian ini adalah faktor sentimen investor dan kendala
keuangan dianggap sebagai penentu sensitivitas struktur modal terhadap harga saham. Jika faktor
sentiment investor telah dijelaskan sebelumnya, penelitian Korajzcyk dan Levy (2003)
menyatakan bahwa perusahaan yang tidak berkendala keuangan melakukan market timing pada
saat keadaan makroekonomi sedang baik, tapi tidak demikian dengan perusahaan yang
mengalami kendala keuangan.
Berbeda dengan pengujian equity market timing Baker dan Wurgler (2002) yang
nonkondisional, dalam penelitian ini sentiment investor dan kendala keuangan dianggap sebagai
faktor utama yang menentukan apakah suatu perusahaan menerapkan equity market timing atau
tidak. Penelitian ini penting karena apabila struktur modal suatu perusahaan yang tercatat di
Bursa Efek Indonesia ternyata mengikuti prediksi teori equity market timing yang kondisional
terhadap sentiment investor dan kendala keuangan, maka terjadi perpindahan kekayaan dari satu
investor kepada investor lainnya dan alokasi modal investor di Bursa Efek Indonesia tersebut
tidak efisien. Jika terdapat sentiment investor, dalam pengertian hasrat investor untuk
bertransaksi tidak berdasarkan informasi fundamental perusahaan, maka dapat terjadi modal
investor mengalir kepada instrumen investasi yang tidak memberikan imbal hasil maksimum
pada tingkat resiko tertentu sehingga terjadi perpindahan kekayaan dari satu investor kepada
investor lainnya. Selanjutnya, jika perusahaan mengalami kendala keuangan maka perusahaan
mungkin akan mengabaikan investasi dalam proyek yang mempunyai net present value positif.
Hal ini terjadi karena perusahaan sulit untuk memperoleh akses terhadap sumber dana eskternal
atau dana eksternal terlalu mahal. Dengan demikian, di pasar dimana terdapat fenomena
sentimen investor dan kendala keuangan, besar kemungkinan terjadi perpindahan kekayaan antar
investor serta perusahaan akan terlalu sedikit melakukan investasi.
Top Related