BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Bantuan Hukum dan Advokasi
1. Pengertian Bantuan Hukum
Istilah bantuan hukum masih merupakan hal yang baru bagi
bangsa Indonesia. Bantuan hukum yang berkembang di Indonesia
pada hakikatnya tidak luput dari perkembangan bantuan hukum yang
terdapat pada negara-negara yang telah maju. Pengertian bantuan
hukum mempunyai ciri dan istilah yang berbeda, antara lain:
Menurut Adnan Buyung Nasution (2007:13) bantuan hukum adalah:
Legal aid, yang berarti pemberian jasa dibidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara:1) Pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan cuma-cuma,2) Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikususkan bagi yang
tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin,3) Dengan demikian motifasi utama konsep legal aid adalah
menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan hak asasi rakyat kecil yang tak punya dan buta hukum.
Taufik Makarao dan Suhasril (2002:21)
Legal assistance. Mengandung pengertian yang lebih luas dari legal aid. Disamping mengandung makna dan tujuan memberi jasa bantuan hukum. Lebih dekat dengan pengertian profesi advokat yang memberi bantuan :1) Baik mereka yang mampu membayar prestasi,2) Maupun pemberian bantuan kepada rakyat miskin secara cuma-
cuma.
12
Yahya Harahap (2006:344) Legal service atau pelayanan hukum
yang terkandung makna atau tujuan :
1) Memberi bantuan kepada anggota masyarakat yang opersionalnya menghapuskan kenyataan-kenyataan deskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan.
2) Dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang diberikan hukum kepada setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan miskin.
3) Legal service dalam operasionalnya lebih cendrung menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian.
Dalam keputusan menteri kehakiman No.M.01.U.M.08.10. tahun
1981 tanggal 13 oktober 1981 tentang petunjuk pelaksanaan proyek
konsultasi dan bantuan hukum melalui fakultas hukum negeri. Pada
Pasal 2 dijelaskan bahwa:
Bantuan hukum diberikan kepada klien terhadap perkara pidana maupun perkara perdata yang diajukan pada badan peradilan atau badan-badan lain yang memberikan peradilan, sejak awal sampai diperolehnya keputusan yang telah mendapatkan kekuatan hukum yang pasti dan melalui kegiatan-kegiatan mewakili klien sebagai kuasa khusus dimuka badan peradilan.
Kuffal, (2004:158) menyatakan bahwa:
Bantuan hukum adalah pelayanan hukum (legal sevice) yang diberikan oleh penasehat hukum dalam upaya memberikan perlindungan hukum dan pembelaan terhadap hak-hak asasi tersangka/terdakwa sejak ia ditahan sampai dengan diperolehnya putusan pengadilan sejak ia ditangkap/ditahan sampai diperolehnya putusan pengadilan yang tetap. Yang dibela dan diberi perlindugan hukum bukan kesalahan tersangka/terdakwa melainkan hak asasi
13
tersangka/terdakwa agar terhindar dari perlakuan dan tindakan tidak terpuji atau tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum.
Menurut UU No 18 tahun 2003 tentang advokat pasal 1 butir 9 di
jelaskan bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan
oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu.
Menurut Adnan Buyung Nasution (Soerjono Soekanto, 1983 : 14
& 17) disamping memberikan pelayanan bantuan hukum kepada
masyarakat yang membutuhkannya, bantuan hukum berperan juga
untuk mendidik masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dengan
tujuan menumbuhkan dan membina kesadaran akan hak-hak sebagai
subyek hukum dan juga juga turut serta mengadakan pembaharuan
hukum dan perbaikan pelaksanaan hukum disegala bidang.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ruang lingkup bantuan
hukum mencakup pemberian pelayanan hukum, mengadakan
pendidikan hukum serta mengadakan pembaharuan dan perbaikan
pelaksanaan hukum yang akhirnya bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran hukum warga masyarakat agar mereka menyadarai hak-
haknya sebagai manusia maupun sebagai warga negara.
Oleh karena itu, mengutip pendapat K. Smith dan DJ Keenan,
Santoso Poedjosoebroto berpendapat bahwa bantuan hukum atau
legal aid diartikan sebagai bantuan hukum (baik yang berbentuk
pemberian nasehat hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa dari
14
pada seseorang yang berperkara) yang diberikan kepada orang yang
tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar biaya
(honorarium) kepada seorang pembela atau pengacara. (Soerjono
Soekanto, 1983 : 21)
S. Tasrif (pengacara/advokat) menyatakan, bahwa orang-orang
yang dapat diberi bantuan/nasihat hukum hanyalah orang-orang miskin
(yang harus memiliki surat keterangan miskin/tidak mampu dari lurah
atau pejabat lainnya yang berwenang) dan tidak diperkenankan untuk
memberi bantuan/nasihat hukum kepada orang yang mampu
membayar honorarium atau nasihat hukum kepada orang yang mampu
membayar honorarium kepada seorang advokat/pengacara biasa
(Soerjono Soekanto, 1983 : 25)
2. Pengertian Advokasi
Makna advokasi secara umum mempunyai arti yang luas dan
masing-masing pakar mempunyai pandangan yang berbeda.
Advokasi (LBH Malang, 2008:7) adalah :
Usaha sistimatis secara bertahap (inkremental) dan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi profesi untuk menyuarakan aspirasi anggota, serta usaha mempengaruhi pembuat kebijakan publik untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada kelompok tersebut, sekaligus mengawal penerapan kebijakan agar berjalan efektif.
Sedangkan advokasi menurut Mansour Faqih (Satrio Aris Munandar
2007: 2) adalah:
15
Media atau cara yang digunakan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju.
Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian
tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk
mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk merubah
kebijakan public. Selanjutnya Sheila Espine-Villaluz, advokasi
diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan
perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu)
kedalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk
menyelesaikan masalah tersebut, dan membangun basis dukungan
atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan masalah
tersebut. (Valeri Miller dan Jane Covey , 2005 : 8)
Advokasi juga merupakan langkah untuk merekomendasikan
gagasan kepada orang lain atau menyampaikan suatu issu penting
untuk dapat diperhatikan masyarakat serta mengarahkan perhatian
para pembuat kebijakan untuk mencari penyelesaiannya serta
membangun dukungan terhadap permasalahan yang diperkenalkan
dan mengusulkan bagaimana cara penyelesaian masalah tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir
untuk mempengaruhi dan mendesakkan perubahan, dengan
16
memberikan sokongan dan pembelaan terhadap kaum lemah (miskin,
terbelakang, dan tertindas) atau terhadap mereka yang menjadi korban
sebuah kebijakan dan ketidak adilan.
Advokasi ketika dikaitkan dengan skala masalah yang dihadapi
dikategorikan kepada tiga jenis (Satrio Aris Munandar 2007: 2) adalah:
1) avokasi diri yaitu advokasi yang dilakukan pada skala lokal dan bagkan sangat pribadi misalnya saja ketika seoarang mahasiswa tiba-tiba diskorsing oleh pihak universitas tanpa ada kejelasan maka advokasi yang dilakukan adalah dengan cara mencari kejelasan atau klarifikasi pada pihak universitas.
2) advokasi kasus yaitu advokasi yang dilakukan sebagai proses pendampingan terhadap orang atau kelompok tertentu yang belum memiliki kemempuan membela diri dan kelompoknya.
3) Advokasi hukum adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh ahli hukum dan atau lembaga bantuan hukum dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, serta pendampingan baik di dalam dan di luar pengadilan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang berdimensi hukum.
Secara sempit advokasi merupakan kegiatan pembelaan hukum
(litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan
pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan.
Pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat
dari padanan kata advokasi dalam bahasa Belanda, yakni advocaat
yang tak lain berarti pengacara hukum atau pembela. Pengaruh
bahasa belanda ini kemudian disadur oleh bahasa Indonesia yang
memasukan kata avokat dalam tatanan kata dalam bahasa Indonesia.
17
Advokat adalah ahli hukum, yang berperan, bertindak sebagai
penasehat atau pembela perkara didalam pengadilan (Tim penyususn
Bahasa, 1989:8)
Berdasarkan pengertian di atas akhiran si pada kata advokasi
dapat diartikan proses atau hasil. Sehinga dapat disimpulkan bahwa
kata advokasi secara sempit adalah cara ataupun tindakan yang
dilakukan penasehat atupun pembela perkara di dalam pengadilan.
B. Kriteria Melakukan Advokasi
Pada dasarnya setiap orang bisa melakukan advokasi yang
terpenting adalah bahwa orang tersebut memiliki keperdulian untuk
memperjuangkan keadilan bersama dan berjuang untuk mereka yang
lemah (masyarakat miskin/tidak mampu), selain itu ia punya kemampuan
untuk melakukan pendampingan kasus secara sederhana.
Berikut ini merupakan beberapa kriteria untuk melakukan advokasi,
antara lain :
1. Memiliki pengetahuan dasar hukum, baik secara formal maupun
materiil.
2. Memiliki kemampuan untuk memotifasi masyarakat.
3. Memiliki kemampuan menganalisa permasalahan dan meletakannya
dalam kerangka kerja proses pembelaan.
18
4. Komunikatif, sehingga seluruh informasi yang dibutuhkan dapat di
peroleh secara optimal.
5. Mampu membangun relasi kerja yang partisipatif sehingga klien dapat
terlibat aktif dalam seluruh rangkayan pembelaan. (Mulyana W.
Kusuma, Benny K. Harman, dan Mas Achmad, (ed), 1991: 45)
Disamping itu orang yang melakukan advokasi harus dapat
menguasai dasar-dasar hukum formal dan materil, serta beberapa
tahapan analisa hukum pada penanganan suatu kasus hukum yaitu :
1. Eksplorasi kronologis kasus.
2. Inventaris aspek-aspek hukumnya.
3. Klarifikasi hal-hal yang harus di perjelas.
4. Indentifikasi jenis kasus.
5. Menghubungkan kasus dengan peraturan perundangan yang relavan
serta referensi lain yang mendukung.
6. Menyusun rangkuman kasus beserta dasar hukum yang dapat
dipergunakan untuk pembelaan terhadap kasus yang ditangani.
7. Menyempurnakan secara redaksional dengan urutan :
a. Duduk perkara (kronologis).
b. Dasar hukum yang dilanggar.
c. Tuntutan/gugatan yang diajukan (Panahan, 2004 : 25)
Dalam melaksanakan advokasi hukum dalam bentuk litigasi (jalur
pengadilan) dibutuhkan keahlian dan ketrampilan serta pengetahuan
19
tentang prosedur hukum beracara mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan,
hingga tingkat pengadilan. Proses advokasi hukum yang demikian ini
dilakukan oleh kelompok professional yang memiliki izin. Profesi ini
biasanya dikenal dengan sebutan advokat atau penasehat hukum.
Di dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No 18 Tahun 2003
Tentang Advokat dinyatakan kriteria menjadi advokat harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. Warga Negara Republik Indonesia.b. Bertempat tinggal di Indonesia.c. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri sipil atau pejabat Negara.d. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun.e. Berijasah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum.f. Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi Advokat.g. Magang sekurang-kurangnya 2 tahun terus menerus pada kantor
Advokat.h. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih tinggi.
i. Berprilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
C. Fungsi dan Tugas melakukan advokasi
Dalam Kegiatan Forum Publik “Meningkatkan Kesadaran dan Akses
Masyarakat Terhadap Sistem Peradilan dan Keadilan” yang dilaksanakan
oleh Mahkamah Agung bekerja sama dengan European Union (UE),
Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) dan LBH Makassar, fungsi advokasi
dalam bantuan hukum antara lain:
1. Mendorong terbentuknya organisasi masyarakat.
20
2. Mendidik dan melakukan penyadaran hukum.
3. Melakukan advokasi (termasuk pengawasan peradilan).
4. Pendampingan dan mediator.
5. Memberikan bantuan hukum (mendorong masyarakat mengajukan
tuntutannya).
6. Mendokumentasikan kasus-kasus.
7. Membantu menerjemahkan atau menjelaskan masalah hukum. (Hasbi
Abdulah, 2005:4)
Dari fungsi advokasi mengarah pada dua sisi yaitu bantuan hukum
secara litigasi dan bantuan hukum secara non litigasi. Dalam konteks non
litigasi, melakukan fungsi sebagai pendamping masyarakat, memberikan
pertolongan pertama apabila terjadi pelanggaran hukum seperti
melakukan pendampingan, mendidik dan melakukan penyadaran hukum,
mendorong masyarakat mengajukan tuntutannya. Sedangkan secara
litigasi fungsi advokasi memecahkan penanganan suatu kasus. Dalam hal
ini melalui penasehat hukum beracara di persidangan, dan melakukan
penanganan kasus seperti mendokumentasikan kasus-kasus, membantu
menerjemahkan atau menjelaskan masalah hukum.
Tugas melakukan advokasi (www.hukumonline.com) antara lain:
1. Melakukan interview klien dan memelihara kontak umum dengan klien.
2. Melokasi dan melakukan interview pada saksi.
3. Melakukan penelitian hukum.
21
4. Mengerjakan draf dokumen hukum, melakukan korespoden dan
pembelaan.
5. Menyimpulkan peryataan, pemeriksaan dan kesaksian.
D. Penyidik dan Penyidikan
Polri menduduki posisi sebagai aparat penegak hukum yang diberi
peran berupa kekuasaan umum menangani kriminal diseluruh wilayah
negara. Di dalam melaksanakan kewenangan tersebut, Polri berperan
melakukan kontrol kriminal dalam bentuk ivestigasi, penangkapan,
penahanan, pengeledahan dan penyitaan. Pola kerja tersebut adalah
bagian dari fungsi penyelidikan dan penyidikan.
Istilah pengusutan dalam KUHAP mengatur tindakan pengusutan
menjadi 2 tahap yaitu tahap penyelidikan dan tahap penyidikan dengan
maksud dan tujuan untuk mencegah penegakan hukum secara tergesa-
gesa, kurang hati-hati atau kurang cermat yang sering menyebabkan
petugas penegak hukum tergelincir dalam tindakan yang kurang
menghargai harkat dan martabat manusia. Adanya tahapan tindakan
penyelidikan sebelum dilakukan tindakan penyidikan seperti yang diatur di
dalam KUHAP yang berlaku sekarang ini terkandung maksud agar upaya
penyidik dalam mengunakan wewenang upaya paksa lebih berhati-hati
dan menghindarkan cara-cara yang menjurus tindakan pemerasan
pengakuan tersangka dari pada menemukan alat bukti yang sah.
22
Pada tindakan penyelidikan menekankan pada tindakan mencari dan
menemukan sesuatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagi tindak
pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 butir 4 KUHAP). Pada
penyidikan menekankan pada tindakan mencari serta mengumpulkan
bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta
dapat menemukan dan menentukan pelakunya (Pasal 1 butir 2 KUHAP) .
Penyelidikan bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri melainkan
merupakan sub fungsi dan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi
penyidikan (yang di lingkungan polri dikenal sebagi kegiatan reserse).
Antara keduanya saling berkaitan dan saling mengisi guna dapat
diselesaikannya pemeriksaan dalam peristiwa pidana.
Ditinjau dari beberapa segi terdapat perbedaan antara kedua
tindakan tersebut :
1. Dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari semua
anggota Polri dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada
dibawah pengawasan penyidik.
2. Wewenangnya sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau
mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga
merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat
perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan
23
yang disebut Pasal 5 ayat 1 huruf b (penangkapan, larangan
meninggalkan tempat, pengeledahan, penyitaan dan sebagainya).
Dengan demikian wewenang penyelidik merupakan bagian yang
tidak terpisakan dari wewenang penyidik. Berdasarkan pasal 1 (5) KUHAP
penyelidikan adalah: serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyelidik polisi diberi
wewenang pada pada pasal 5 KUHAP sebagai berikut :
1. Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
2) Mencari keterangan dan barang bukti;
3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri;
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan
dan penyitaan;
24
2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
2. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan
tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b
kepada penyidik.
Terhadap suatu peristiwa yang telah dinyatakan sebagai suatu
tindak pidana oleh penyelidik maka tindakan selanjutnya melakukan
penyidikan untuk mencari tahu siapa pelaku tindak pidana tersebut.
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 KUHAP pejabat yang berwenang melakukan
penyidikan adalah bejabat Polisi Negara atau Pegawai Negeri Sipil yang
berwenang melakukan penyidikan berdasarkan KUHAP. Selanjutnya
dalam pasal 6 KUHAP dinyatakan penyidik adalah:
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang.
Akan tetapi, meskipun telah diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6
KUHAP terdapat pasal 10 KUHAP yang mengatur tentang adanya
penyidik pembantu yang sarat kepangkatanya diatur dalam peraturan
pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan pejabat
penyidik sebagaimana dikehendaki ketentuan Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 10
25
ayat 2 KUHAP telah ditetapkan pada tanggal 8 Agustus 1983 melalui PP
No 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan dan pengangkatan penyidik
kepolisian sebagai berikut:
a. Pejabat Penyidik penuh.
Pejabat polisi yang diangkat sebagai pejabat penyidik penuh
harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan sekurang-
kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi atau yang
berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam
suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat
pembantu Letnan Dua namun harus ditunjuk dan diangkat oleh Kepala
Kepolisian RI (Pasal 2 ayat 2).
Dari ketentuan Pasal 2 ayat 2 PP No 27 Tahun 1983 pada
prinsipnya sarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-kurangnya
berpangkat Pembantu Letnan Dua, namun mengingat kurangnya
tenaga personil yang kurang memadai terutama di darah-daerah atau
kantor kepolisian, Peraturan pemerintah memperbolehkan jabatan
penyidik dilaksanakan oleh seorang anggota kepolisian yang
berpangkat bintara.
Kepangkatan yang serupa memang tidak serasi jika ditinjau dari
sudut keseimbangan kepangkatan penuntut umum maupun hakim
yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan
pengetahuan hukum seorang bintara kurang dapat
26
dipertanggungjawabkan segi kemampuan dan pengalamannya
sehinga sering dijumpai penyidikan yang tidak memadai dan tidak
terarah.
b. Penyidik pembantu
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai penyidik pembantu
diatur dalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1983. Menurut ketentuan ini,
syarat kepangkatan untuk diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu
sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi atau Pegawai
Negeri Sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat
sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a) yang
diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan
kesatuan masing-masing.
Khusus pengangkatan pegawai negeri sipil di lingkungan
kepolisian menjadi pejabat penyidik pembantu, yang bersangkutan
harus mempunyai keahlian atau kehususan dalam bidang tertentu.
Tanpa syarat tersebut, tidaka ada alasan untuk mengangkat mereka
menjadi pejabat penyidik pembantu. Berdasarkan hierarki dan
organisatoris penyidik pembantu diperbantukan kepada pejabat
penyidik ,oleh sebap itu, kepangkatan mereka harus lebih rendah dari
penyidik.
Yahya Harahap (2006:112) menyimpulkan berdasarkan buku
Pedoman Pelaksanaan KUHAP bahwa adanya penyidik pembantu
27
disebapkan terbatasnya tenaga Polri yang berpangkat tertentu sebagai
pejabat penyidik. Terutama daerah-daerah sektor kepolisian di daerah
terpencil, masih banyak dilaksanakan oleh pejabat yang berpangkat
Bintara, oleh karena itu seandainya sarat kepangkatan pejabat
penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polri,
sedangkan yang berpangkat demikian belum mencukupi kebutuhan
yang diperlukan sesuai dengan banyaknya jumlah Sektor Kepolisian,
hal seperti ini akan menimbulkan hambatan bagi pelaksanaan
penyidikan di daerah-daerah, sehingga besar kemungkinan pelaksaan
fungsi penyidikan tidak berjalan di daerah-daerah.
Berdasarkan Pasal 11 KUHAP penyidik pembantu mempunyai
wewenang yang sama dengan pejabat penyidik kecuali mengenai
penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari
penyidik. Pasal ini berarti pada diri pejabat pembantu tidak dengan
sendirinya menurut hukum mempunyai wewenang melaukan tindakan
penahanan. Supaya mempunyai wewenang melakukan penahanan,
mesti berdasar pelimpahan wewenang dari pejabat penyidik.
Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 wewenang yang dimiliki penyidik
adalah sebagai berikut :
1) Menerima laporan atau pengaduan dari dari seseorang tentang
adanya tindak pidana.
2) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
28
3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka.
4) Melakukan penangkapan, penahanan, pengeledahan dan
penyitaan.
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
7) Memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi.
8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
9) Mengadakan penghentian penyidikan.
10) Mengadakan tindakan lain yang menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Polisi dalam pelakukan penyidikan dalam peristiwa pidana
berusaha mencari dan mengumpulkan barang bukti agar dapat
menemukan dan menentukan pelakunya berdasarkan bukti permulaan
yang cukup. Tindakan ini tidak dapat dilakukan denagan sewenang-
wenang tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan
tindak pidana.
Menurut Surat Keputusan Kapolri SK No. Pol SKEEP/04/1982
menentukan bahwa: Bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang
merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam :
29
1. Laporan polisi.
2. Berita Acara pemerisaan di TKP
3. Laporan hasil penyelidikan
4. Keterangan Saksi/ saksi ahli
5. Barang bukti.
Menurut P. A. F Lamintang bahwa Bukti permulaan yang cukup
dalam rumusan pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti
minimal, berupa alat bukti seperti yang dimaksud dalam pasal 184 (1)
KUHAP yang mendapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi
tepaksa untuk menghentikan penyidikanya terhadap seseorang yang
disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut
dilakukan penangkapan.(Tim YBHI 2006:239)
Dapat dikatakan secara pasti bahwa bukti selalu ada ditempat
terjadinya tindak pidana, adapun bukti dapat ditemukan atau tidak
justru menjadi tantangan bagi penyidik POLRI. Bukti tidak dapat
ditemukan itu dapat disebabkan beberapa faktor diantaranya:
1. Kesalahan dalam penangan teknis kejadian tindak pidana.
2. Kesalahan pencarian (tidak teknis)
3. Perlengkapan yang kurang (tidak memadai)
4. pencarian yang tidak cermat
5. penidakan yang tidak teknis
6. Kurangnya pengetahuan/ keterampilan.
30
7. kelalayan. (Sutiato Hadi Sugondo,2005:271)
Oleh sebap itu maka tindakan pertama pada tempat kejadian
adalah kunci keberhasilan atau kegagalan seorang penyidik Polri untuk
membuat terang tindak pidana tergantung dari kepandaian,
keterampilan, ketenangan para penyidik sehingga hakim dalam
memutus perkara akan dapat memperoleh keyakinan atas bukti-bukti
yang sah menurut undang-undang bahwa tertuduh adalah pembuat
tindak pidana.
31