JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
256 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
A. Pendahuluan
Indonesia secara umum sistem
pemerintahannya menganut sistem
presidensial, seperti yang telah dijelaskan
secara jelas dan sistematis dalam penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945.1 Sistem
pemerintahan Presidensial telah dianut oleh
negara Indonesia sejak orde lama sampai
orde reformasi. Walaupun berdasarkan
historis Indonesia pernah gagal
menerapkan sistem parlementer, tetapi
setelah dilakukan amandemen Undang-
1 Titik Triwulan Tutik, 2011, Konstruksi Hukum
Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Jakarta: Kencana, hlm. 158
Undang Dasar 1945 (UUD 1945),
Indonesia mampu mempertegas sistem
presidensial sebagai dasar penyelenggaraan
negara.2
Akan tetapi, sistem presidensial yang
dianut di Indonesia tersebut juga diterapkan
ke dalam konstruksi sistem politik yang
multipartai. Sebagai negara yang majemuk,
sistem multipartai merupakan konteks
politik yang harus diterima dan sulit untuk
dihindari. Namun, sistem presidensial ini
secara teoritis jika bersatu dengan sistem
2 Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia
Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah
Amandemen, Bandung: Nusa Media, hlm. 132
PENGARUH KOALISI PARTAI POLITIK TERHADAP
PELAKSANAAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA Lidya Christina Wardhani Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus
Jl. Lkr.Utara, Gondangmanis, Kec.Bae, Kab.Kudus, Jawa Tengah 59327
e-mail: [email protected]
Abstrak
Pasca pemilihan umum (pemilu) Presiden dan Wakil Presiden, para elite politik yang
tergabung di berbagai partai politik mulai mengutarakan keinginan mereka terkait kontrak
politik baru. Tidak hanya partai politik koalisi pendukung calon yang menang, tetapi juga
partai politik oposisi pendukung Presiden lawan. Dengan adanya koalisi dalam partai politik
ini, justru dikhawatirkan dapat melemahkan hak prerogatif yang seharusnya mutlak hanya
dimiliki oleh Presiden, salah satunya dalam hal pengisian kabinet menteri. Sistem presidensial
yang dianut oleh Indonesia pun juga terancam terganggu dengan adanya intervensi
kepentingan dari partai politik, terutama bagi hak prerogatif Presiden, sehingga sistem
Presidensial tidak dapat berjalan optimal, efektif dan efisien.
.
Kata Kunci: Koalisi; Partai Politik; Koalisi Partai Politik; Sistem Presidensial di Indonesia
JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
257 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
multipartai akan rentan timbul masalah,
sebab besarnya intervensi dan pengaruh di
dalam sistem multipartai justru akan
membuat sistem presidensial menjadi
semakin lemah dan tidak stabil.
Sistem multipartai dianut di
Indonesia karena Indonesia memiliki
keanekaragaman yang terdiri dari suku,
agama, ras, dan adat istiadat. Indonesia
adalah bangsa yang kuat, golongan-
golongan masyarakatnya lebih cenderung
suka untuk menyalurkan ikatan-ikatan
terbatas (primodial) dalam satu wadah saja.
Sistem multipartai yang ada di Indonesia
ditandai dengan diikutinya pelaksanaan
pemilihan umum untuk memilih kepala
negara atau pemilihan wakil rakyat oleh
banyak partai politik sebagai pengusung
calon yang diajukan. Banyaknya partai
politik yang ada pada pemilihan umum
menjadikan beberapa partai politik harus
melakukan koalisi atau gabungan yang
terdiri dari partai politik besar dan partai
politik baru.
Partai politik adalah suatu organisasi
politik yang terdiri dari beberapa anggota
yang memiliki tujuan untuk mencapai
kekuasaan politik, dan sebagai lembaga
politik, partai politik bukanlah sebagai
sesuatu yang telah muncul dengan
sendirinya.3 Partai politik dalam
3 Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm.56.
hubungannya dengan sistem sosial politik
memiliki banyak fungsi salah satunya
adalah pada saat partai politik berfungsi
sebagai sarana dalam bersosialisasi politik,
berkomunikasi politik, rekruitmen politik
dan penyampaian aspirasi masyarakat.
Hanya saja, apa yang menjadi aspirasi
masyarakat yang disalurkan melalui partai
politik ini dalam membuat Undang-Undang
maupun peraturan seringkali berbeda
dengan praktek dan hasilnya.
Saat ini partai politik sudah banyak
bermunculan semenjak era reformasi yang
dibentuk atas dasar persamaan kehendak
melalui pemilihan umum, dan otomatis
kader-kader yang berada dalam masing-
masing partai politik juga berasal dari
berbagai macam kepentingan serta latar
belakang yang berbeda-beda. Jika dikaitkan
antara sistem presidensial dengan sistem
multipartai yang ada, maka hal tersebut
kemudian menjadi sebuah realitas politik
yang sangat menarik untuk dikaji, misalnya
dalam pelaksanaan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung yang
seharusnya dapat menjadi perwujudan yang
tegas dari sistem presidensial yang
sesungguhnya, tetapi justru masih tidak
dapat terlepas dari pengaruh partai politik,
terutama partai-partai politik koalisi.
JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
258 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
Koalisi yang terjadi justru sebetulnya
mengarah kepada keinginan tertentu
terutama untuk dapat menduduki jabatan
pemerintahan, misalnya dalam hal
pembagian jabatan menteri, maupun
jabatan lain, padahal menteri-menteri yang
mengisi kabinet kerja Presiden/Wakil
Presiden seharusnya berasal dari kalangan
yang berkompeten di bidangnya dan harus
sesuai dengan hak prerogatif Presiden
selaku kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan, bukan berasal dari intervensi
atau permintaan khusus dari partai-partai
koalisi pendukung yang menginginkan
jabatan di pemerintahan. Meskipun
demikian, tetap sulit untuk melepaskan
pengaruh partai politik dan legislatif dalam
ranah eksekutif, sehingga sistem
presidensial yang seharusnya dapat
sepenuhnya terlaksana sulit terwujud
dengan optimal dan maksimal.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
yang menjadi rumusan permasalahan dalam
tulisan ini yaitu bagaimanakah sebenarnya
pelaksanaan koalisi partai politik di dalam
pelaksanaan pemilihan umum sehingga
begitu pentingnya keharusan bagi partai
politik untuk saling bergabung satu sama
lain, dan selain itu, seperti apakah konsep
yang tepat dan ideal terkait koalisi partai
politik agar sesuai dengan sistem
4 Soerjono Soekamto, 2008, Pengantar Penelitian
Hukum, Jakarta: UI Press, hlm.51-52.
presidensial yang dianut di negara
Indonesia.
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
tulisan ini yaitu menggunakan metode
penelitian yuridis normatif, yaitu dengan
melihat kaidah atau norma hukum serta
bahan pustaka yang ada berupa bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier, yang selanjutnya
bahan-bahan hukum tersebut disusun
secara sistematis, serta dikaji kemudian
ditarik suatu kesimpulan dengan masalah
yang sedang diteliti.4
Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah melalui penelitian
kepustakaan atau Literature Research,
teknik pengumpulan data ini dilakukan
dengan cara mempelajari, mengidentifikasi
serta menganalisis bahan hukum primer dan
bahan sekunder. Dalam penulisan ini,
analisis data yang digunakan yaitu metode
deskriptif yaitu menganalisa data yang
diperoleh dari studi kepustakaan dengan
cara menjelaskan obyek penelitian yang
diperoleh dari penelitian berdasarkan
metode kualitatif, sehingga dapat
memperoleh gambaran jelas tentang
pengaruh koalisi partai politik dalam sistem
presidensial.
JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
259 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
C. Pembahasan
Koalisi Partai Politik Dalam Pelaksanaan
Pemilihan Umum
Partai politik memiliki arti sebagai
kelompok yang terorganisir dengan
anggota yang memiliki nilai, orientasi, dan
juga cita-cita yang sama dan memiliki
tujuan memperoleh kekuasaan dan
kedudukan dalam politik untuk
menjalankan program-programnya.5 Partai
politik selain memiliki tujuan untuk
berkuasa juga sebagai karakteristik yang
menjadi ciri khas sebuah partai politik.6
Pengertian partai politik dalam arti luas
ialah sebuah koalisi yang terdiri dari orang-
orang yang berusaha menguasai
pemerintahan dengan cara-cara yang sah.
Sedangkan yang dimaksud dengan koalisi
yaitu sekelompok individu yang memilik
itujuan yang sama sehingga sepakat untuk
saling bekerjasama demi mencapai tujuan
bersama.7
Dari sekian banyak partai politik
yang maju di pemilu, tidak seluruhnya
memperoleh suara yang besar, tapi justru
ada beberapa partai politik besar yang
mengalami kemerosotan dari hasil pemilu
sebelumnya. Maka dari itu, partai-partai
5 Miriam Budiardjo, Op.Cit, hlm.406. 6Firmanzah, 2011,Mengelola Partai Politik:
Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era
Demokrasi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, hlm. 68.
politik yang memperoleh hasil suara kurang
dari yang diharapkan, harus melakukan
koalisi dengan partai politik besar yang
memiliki hasil suara lebih unggul.
Banyaknya jumlah partai politik yang ada,
akan membuat dukungan kepada
pemerintah semakin memunculkan
kelompok-kelompok yang memiliki
kepentingan berbeda, maka dari itu
diperlukan sebuah koalisi yang besar agar
risiko terpilihnya Presiden dengan
dukungan minoritas di parlemen semakin
berkurang.8
Pada tahun 2019 ini, untuk pertama
kalinya pemilihan umum (pemilu)
dilaksanakan secara serentak, tidak hanya
pemilu Presiden/Wakil Presiden saja tapi
juga pemilu legislatif. Hasil dari pemilu pun
telah diketahui bersama dan telah
ditetapkan juga siapa Presiden/Wakil
Presiden yang terpilih, begitu pula dengan
anggota-anggota legislatif. Dari hasil
tersebut, koalisi partai politik mulai saling
melakukan komunikasi politik dengan
Presiden/Wakil Presiden terpilih, bahkan
tidak hanya dari koalisi pendukung
Presiden/Wakil Presiden terpilih saja, tetapi
juga dari kubu lawan mulai ada yang
7 Richard S. Katz dan William Crotty,
2014,Handbook Partai Politik, Bandung: Nusa
Media, hlm. 4 8Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan
Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Jakarta:
Kompas, hlm.180
JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
260 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
mendekati koalisi partai politik yang
berhasil memenangkan calon yang
diusungnya.
Indonesia menempatkan keberadaan
koalisi ini sebagai bagian dari kekuatan
penunjang pada sebuah partai politik.
Kekuatan yang dimiliki oleh sebuah partai
politik yang tergabung dalam suatu koalisi
dapat berpengaruh besar dalam perebutan
kekuasaan di kegiatan pemilu baik itu
pemilu Presiden/Wakil Presiden, Gubernur,
maupun Bupati/Walikota. Koalisi partai
politik di Indonesia bukanlah suatu hal
yang baru terjadi, sehingga bergabungnya
beberapa partai politik ini didasarkan pada
kepentingan bersama demi menuju
kekuasaan yang diharapkan. Kedudukan
parlemen juga berpengaruh terhadap
kekuatan suatu koalisi partai politik,
terutama pada saat pemilu Presiden/Wakil
Presiden, karena koalisi yang ada tidak
hanya di eksekutif tetapi juga memperkuat
ranah legislatif.
Terdapat perbedaan pemikiran yang
selama ini berkembang di masyarakat
terkait pemahaman antara koalisi dan
oposisi. Jika dilihat secara paradigma, di
dalam negara yang menganut sistem
presidensial sebenarnya kurang tepat jika
menempatkan keberadaan koalisi dan
oposisi di dalamnya. Seharusnya, koalisi
dan oposisi lebih tepat jika tumbuh dan
berkembang di dalam sistem parlementer,
karena dalam sistem parlementer terjadi
peleburan antara kedudukan eksekutif dan
legislatif, sehingga untuk dapat
memperoleh dukungan, maka pemerintah
pada negara yang menganut sistem
parlementer harus mendapat dukungan
mayoritas dari kekuatan partai politik di
parlemen.
Persoalan yang selalu muncul,
Indonesia memang membutuhkan adanya
koalisi sebagai pendukung jalannya
pemerintahan, walaupun sesungguhnya
koalisi yang dilakukan sebenarnya
memiliki kepentingan tersendiri dari
masing-masing partai politik. Menjadi
suatu dilema ketika seorang Presiden yang
maju dalam pemilihan umum diwajibkan
untuk diusung oleh partai politik atau
gabungan partai politik dan tidak dapat
dilakukan secara independen seperti
pemilihan Gubernur, Walikota, atau Bupati.
Maka dari itu, timbul semacam balas budi
dari para partai koalisi terhadap pasangan
Presiden/Wakil Presiden terpilih yaitu
dengan meminta jatah jabatan di dalam
kabinet kerja yang dibentuk oleh Presiden
guna membantu kinerjanya menjalankan
tugas negara. Tentu saja ini semacam
menghambat hak prerogatif Presiden.
Kewajiban bagi Presiden/wakil
Presiden untuk diusung oleh koalisi partai
politik berdasarkan aturan yang dituangkan
di dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor
JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
261 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
42 Tahun 2008 yang telah diperbaharui
dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan
suatu syarat bahwa pasangan calon yang
maju dalam pemilihan umum harus diusung
oleh partai politik atau gabungan partai
politik yang mendapat kursi paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi
yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) atau mendapat 25% (dua puluh lima
persen) dari total suara yang sah secara
nasional dalam pemilihan umum legislatif
sebelum pelaksanaan pemilihan umum
Presiden/Wakil Presiden.9
Atas dasar aturan dari pasal tersebut,
koalisi menjadi satu-satunya pilihan bagi
partai-partai politik untuk dapat
mengajukan usulan terkait siapa pasangan
calon Presiden/Wakil Presiden yang akan
diajukan untuk bertarung di dalam
pemilihan umum. Selain berdasarkan
aturan Undang-Undang Pemilihan Umum,
pelaksanaan koalisi partai politik juga
terjadi akibat dari sistem kepartaian dan
sistem pemilihan umum yang diterapkan di
Indonesia. Dalam sistem parlementer,
koalisi ini biasa terjadi walaupun di dalam
praktiknya, justru dengan adanya koalisi
partai politik ini malah mengganggu
9 I Gede D.E.Adi Atma Dewantara & I Dewa Gde
Rudy, 2016, Implikasi hukum Koalisi Partai Politik
eksekutif di dalam menjalankan
pemerintahan secara optimal.
Saat ini yang terjadi bahwa koalisi
partai politik cenderung bersifat instan,
yang berarti bahwa koalisi yang dilakukan
lebih mementingkan pada kepentingan
politik jangka pendek dan belum
berdasarkan pada program politik yang
disepakati bersama untuk jangka waktu
tertentu dan bersifat permanen. Dalam
masa transisi politik, hubungan antara
sistem pemerintahan yang Secara teori ada
keterkaitan yang erat antara upaya penataan
sistem politik yang demokratis dengan
sistem pemerintahan yang stabil, kuat dan
efektif dengan penataan sistem politik yang
demokratis merupakan sesuatu yang sangat
penting, dan harus diupayakan agar tidak
muncul komplikasi diantara hubungan
keduanya terhadap sistem presidensial yang
dianut di Indonesia.
Jika mayoritas parpol di DPR
menjadi satu kesatuan dengan pemerintah,
bukan tidak mungkin jika kekuatan partai
politik yang ada di parlemen jadi
dikendalikan oleh Presiden selaku
eksekutif. Pemerintah yang bersatu dengan
partai politik tentu dapat menimbulkan
beberapa implikasi. Dalam hal pengisian
kabinet misalnya, pemerintahan cenderung
mengutamakan kepentingan partai politik
Dalam Membentuk Pemerintahan Yang Efektif,
OJS Universitas Udayana Denpasar.
JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
262 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
dan unsr balas budi terhadap partai politik
pendukung pemerintah daripada memilih
berdasarkan faktor profesionalisme. Selain
itu, pengawasan terhadap pemerintah juga
tidak lagi menjadi objektif, sebab partai
politik yang ada mayoritas adalah
pendukung dari pemerintah, sehingga
pemerintah sangat ketergantungan terhadap
keberadaan partai politik, termasuk dalam
hal pengisian anggota lembaga-lembaga
negara maupun independen yang harus
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu
dari DPR yang berisikan orang-orang dari
partai politik, karena untuk mengambil
keputusan di parlemen yang menentukan
adalah suara mayoritas dari partai politik.
Konsep Koalisi Partai Politik Dalam Sistem
Presidensial di Indonesia
Konstitusi negara Indonesia telah
menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara yang menganut sistem Presidensial
(Pasal 4 UUD 1945). Apalagi semenjak
konstitusi diamandemen yang semakin
menegaskan sistem presidensial yang
dianut, hal tersebut ditandai dengan sistem
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung. Sistem presidensial
memiliki karakter yang tidak memiliki
10 Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana
Ilmu Populer, hlm.315.
supremacy of parliament karena dianggap
tidak memiliki kapasitas sebagai lembaga
pemegang kekuasaan negara.10 Dalam
sistem presidensial, Presiden selaku
eksekutif memiliki kedudukan yang
seimbang antara legislatif maupun dengan
yudikatif, sebab ketiganya saling berkaitan
secara horizontal sehingga satu sama lain
tidak dapat saling menjatuhkan, kecuali ada
alasan tertentu yang telah diatur oleh
UUD.11
Berikut ini adalah ciri-ciri dari negara
yang menganut sistem presidensial :12
a. Presiden sebagai kepala negara sekaligus
sebagai kepala pemerintahan;
b. Presiden tidak dipilih oleh badan
perwakilan tetapi oleh dewan pemilih;
c. Presiden bukan merupakan bagian dari
lembaga legislatif;
d. Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh
badan legislatif, kecuali melalui dakwaan
namun biasanya jarang terjadi;
e. Presiden tidak dapat membubarkan
legislatif dan kemudian memerintahkan
pemilu baru;
11 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010, Hukum
Lembaga Kepresidenan Indonesia, Bandung:
Alumni, hlm. 41. 12 Ni’matul Huda, 2011, Ilmu Negara, Jakarta:
Rajawali Pers, hlm. 254-255.
JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
263 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
f. Presiden dan lembaga legislatif dipilih
untuk suatu jangka waktu jabatan yang
pasti.
Secara konstitusi, sistem presidensial
dianut di Negara Indonesia, berarti segala
kendali atas jalannya pemerintahan negara
serta tanggung jawab yang ada menjadi
milik Presiden atau eksekutif, tanpa ada
campur tangan dari pihak lain. Terdapat
beberapa Pasal dalam Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) yang menjelaskan
bahwa Indonesia menganut sistem
presidensial, bahkan juga tercantum di
batang tubuh dan penjelasan UUD 1945.
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan
bahwa : “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintah menurut
Undang-Undang Dasar.”, di dalam Pasal
17 ayat (1) UUD 1945 berbunyi : “Presiden
dibantu menteri-menteri negara.”, dan di
dalam Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 :
“Menteri-Menteri itu diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.”
Dalam sistem pemerintahan
presidensial yang dianut di Indonesia,
sebenarnya koalisi partai politik tak
diperlukan oleh Presiden, karena Indonesia
tidak menganut sistem parlementer yang
memang memerlukan adanya koalisi dari
partai-partai politik, selain itu juga bahwa
dalam sistem presidensial dinyatakan
bahwa seorang Presiden tidak dapat
dijatuhkan oleh parlemen, kecuali jika
seorang Presiden terbukti telah melakukan
pelanggaran terhadap konstitusi atau
melakukan tindak pidana yang melanggar
aturan hukum. Sehingga, semestinya hak
prerogatif yang dimiliki oleh Presiden dapat
menjadi dasar untuk membentuk kabinet
tanpa perlu memikirkan keinginan partai-
partai politik yang saling berkoalisi dan
juga ingin untuk ikut campur dalam
menjalankan pemerintahan.
Pada sistem presidensial, idealnya
yaitu eksekutif bertugas menjalankan
pemerintahan, sedangkan legislatif
bertugas mengawasi jalannya pemerintahan
melalui sistem kepartaian yang kuat dan
solid. Namun pada kenyataannya
pemerintah cenderung mengikuti pola
pelaksanaan pada sistem parlementer.
Penerapan kolaborasi antara sistem
multipartai dan sistem pemilihan umum
proportional representation justru
menyebabkan sulitnya mendapat suara
mayoritas di legislatif dan di majority
government. Penerapan pola hubungan
eksekutif dan legislatif yang dipraktikkan di
Indonesia pada kenyataannya justru tidak
menggambarkan sistem presidensial yang
sesungguhnya. Presiden memang
membutuhkan dukungan mayoritas dari
partai politik yang ada di parlemen, dan hal
JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
264 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
tersebut guna menyeimbangkan jalannya
pemerintahan.
Terdapat beberapa faktor yang
mendorong hal tersebut terjadi yaitu oleh
tiga hal: Pertama, komposisi kepartaian di
parlemen terfragmentasi dengan sistem
multipartai sehingga menyebabkan jumlah
suara tidak tersebar secara merata pada
masing-masing fraksi di parlemen; Kedua,
karena ideologi kepartaian yang tidak
dibangun dengan kuat, sehingga kemudian
dimanfaatkan oleh para parpol untuk
berkoalisi merawat isu-isu pemerintahan
(coalition by issue); Ketiga, budaya
kepartaian yang masih bersifat oligarki,
membuat para partai politik kemudian
selalu dikendalikan oleh segelintir elit
partai atau ketua umum partai, terkait dalam
hal penentuan pandangan serta kepentingan
politik masing-masing partai.13
Dalam perkembangannya, sistem
presidensial yang bersatu dengan sistem
multipartai justru menimbulkan banyak
masalah. Masalah yang kerap muncul
selain yang telah disebutkan di atas, yaitu
karena para anggota legislatif juga dipilih
oleh rakyat dan sistem presidensial yang
bersatu dengan sistem multipartai dapat
menyebabkan hubungan yang tidak
harmonis, terutama antara eksekutif dan
legislatif. Anggota legislatif yang terpilih
13 Idul Rishan, Opini Kita “Koalisi dan Oposisi”,
Kedaulatan Rakyat 9 Juli 2019.
sudah pasti berasal dari partai politik yang
berbeda-beda, dan pasti juga memiliki
kepentingan politik partai yang berbeda-
beda pula. Kepentingan politik yang
berbeda-beda inilah yang pada akhirnya
menyebabkan sering timbul bentrok
kepentingan dan ketegangan antar lembaga,
sehingga Presiden selaku eksekutif tidak
memperoleh dukungan yang maksimal
dalam parlemen dikarenakan banyaknya
perbedaan pendapat dan kepentingan
politik satu sama lain.
Atas dasar situasi semacam itu,
berbagai kalangan pun meragukan bahwa
kelangsungan pemerintahan dalam sistem
presidensial yang multipartai akan berjalan
secara stabil dan maksimal. Sistem
multipartai yang ada di negara Indonesia,
juga dapat menimbulkan perbedaan suara
mayoritas di lembaga legislatif dengan
partai politik pendukung dari
Presiden/Wakil Presiden. Tetapi, dengan
keberadaan partai politik yang bermacam-
macam justru dijadikan oleh
Presiden/Wakil Presiden yang maju di
pemilihan umum untuk memperoleh
dukungan di lembaga legislatif. Dalam
praktiknya, pelaksanaan koalisi adalah
salah satu cara yang dilakukan oleh
Pemerintah untuk mendapatkan dukungan
minoritas (minority government).14
14 Beverly Evangelista, Eksistensi Koalisi Dalam
Sistem pemerintahan Presidensiil di Indonesia
JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
265 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
Sistem presidensial memiliki
hubungan yang relatif konsisten dengan
sistem kepartaian. Sistem multipartai
terutama yang bersifat terfragmentasi,
menumbulkan sebab terjadinya implikasi
deadlock dan immobilism bagi sistem
presidensial yang murni. Hal tersebut
terjadi alasannya adalah bahwa Presiden
akan mengalami kesulitan untuk
memperoleh dukungan yang stabil dari
legislatif sehingga upaya mewujudkan
kebijakan-kebijkan terkait jalannya
pemerintahan negara juga akan mengalami
kesulitan dan hambatan. Sedangkan pada
saat yang sama, koalisi partai politik yang
mengusung Presiden/Wakil Presiden agar
dapat memenangkan pemilu tidak dapat
terus dipertahankan untuk menjadi koalisi
pemerintahan, sebab tidak ada mekanisme
yang dapat mengikatnya.
Selain itu, bahwa komitmen anggota
parlemen terhadap kesepakatan yang dibuat
pimpinan partai politik jarang bisa
dipertahankan, dengan kata lain, dukungan
penuh yang selama ini dilakukan oleh para
partai politik yang berkoalisi terhadap
Presiden/Wakil Presiden yang diusungnya
menjadi tidak memiliki kepastian.
Perubahan dukungan dari pimpinan partai
politik juga ditentukan oleh perubahan
kontekstual dari konstelasi politik yang ada.
Menurut UUD 1945, Jurnal IUS Vol II Nomor 5
Agustus 2014
Tawaran yang diberikan untuk memperkuat
sistem presidensial agar mampu
menjalankan pemerintahan dengan baik
adalah dengan menyederhanakan jumlah
partai politik. Jumlah partai politik yang
lebih sederhana (efektif) akan
mempersedikit jumlah veto dan biaya
transaksi politik. Perdebatan yang terjadi
diharapkan menjadi lebih fokus dan
berkualitas. Publik juga akan mudah
diinformasikan baik tentang keberadaan
konstelasi partai politik maupun pilihan
kebijakan bila jumlah kekuatan politik lebih
sederhana.15
Saat ini, partai-partai politik yang
berkoalisi cenderung masuk ke dalam
kategori koalisi yang besar, karena di dalam
pembentukannya hampir semua partai
politik diikutsertakan ke dalam koalisi. Hal
tersebut menyebabkan terdapat jumlah
partai politik yang jumlahnya melebihi dari
batas yang dibutuhkan untuk memperoleh
dukungan mayoritas dari parlemen.
Namun, bentuk koalisi yang melebihi batas
seperti itu justru akan penuh dengan
kepentingan politik dan tawar-menawar
untuk mendapatkan posisi tertentu di
pemerintahan. Koalisi yang tepat dan ideal
ialah koalisi yang dibentuk hanya untuk
mencapai dukungan mayoritas tanpa
mengikutsertakan partai-partai politik yang
15ditjenpp.kemenkumham.go.id [akses pada 24
Agustus 2019]
JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
266 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
tidak dibutuhkan demi mencapai dukungan
mayoritas dari parlemen. Sehingga, untuk
memperoleh kekuatan politik yang optimal,
menyederhanakan jumlah partai politik
merupakan cara yang dapat dilakukan agar
pemerintahan dapat berjalan dengan baik
dan kuat.
Maka dari itu, untuk menuju
pemerintahan yang kuat, efektif dan stabil
hingga saat ini belum dapat terwujud secara
nyata di Indonesia, sehingga untuk
menciptkan pemerintahan yang kuat,
efektif, dan stabil diperlukan pula
dukungan dari sistem kepartaian yang
sederhana. Sistem kepartaian yang
sederhana akan dapat menekan
pengambilan keputusan yang terlalu
berlarut-larut akibat banyaknya jumlah
partai politik yang ada. Fakta yang saat ini
terjadi adalah tidak adanya koalisi partai
politik besar yang permanen, sehingga
setiap pengambilan keputusan oleh
pemerintah hampir selalu mendapat
hambatan dari parlemen. Oleh karena itu,
yang perlu dilakukan adalah
mengupayakan agar dapat terbentuk koalisi
partai politik yang permanen, sehingga
tidak hanya mendukung pemerintahan
tetapi juga mendukung koalisi partai politik
yang telah dibentuk ke dalam bentuk yang
lain. Hal ini perlu untuk dilakukan sebagai
upaya agar bisa tetap sejalan dengan prinsip
check and balances dalam sistem
presidensial.
D. Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
sistem multipartai yang terjadi pada sistem
presidensial di Indonesia merupakan bagian
dari proses demokratisasi pasca masa orde
baru. Koalisi partai politik sebenarnya
bukan merupakan hal yang sesungguhnya
terjadi di negara yang menganut sistem
presidensial seperti di Indonesia, tetapi
karena untuk dapat maju dalam pemilihan
umum, seorang Presiden/wakil Presiden
harus diusung oleh partai politik atau
gabungan parati politik seperti aturan di
dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yaitu
untuk mencalonkan Presiden dan Wakil
Presiden harus diusulkan dari partai
politikatau gabungan partai politik,
sehingga mau tidak mau partai yang tidak
melampaui ambang batas harus membentuk
koalisi agar dapat lolos menjadi peserta
dalam pemilu. Namun yang terjadi yaitu
koalisi partai politik yang dibangun
cenderung didasarkan pada kepentingan
politik demi memperoleh posisi penting di
kabinet pemerintahan, bukan murni karena
persamaan visi misi dan tujuan demi
kepentingan rakyat. Sehingga hal tersebut
berdampak pada terganggunya hak
JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
267 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
prerogatif Presiden dalam pemerintahan
Presidensial, akibat desakan dan keinginan
politik dari para partai politik pendukung.
Saran
Untuk mencegah terjadinya
koalisi yang tidak optimal sehingga dapat
mengganggu sistem presidensial di
Indonesia, maka setidaknya ada hal yang
harus dilakukan, yaitu dengan menaikkan
ambang batas kursi di parlemen
(parliamentary threshold) dan
menyederhanakan jumlah partai politik
yang ada. Dengan terciptanya sistem
kepartaian yang lebih sederhana, maka
akan mendorong koalisi partai politik yang
lebih disiplin dan teratur, selain itu juga
untuk memperkuat demokrasi. Selain itu
pemerintahan juga perlu didukung
kepemimpinan Presiden yang kuat. Dengan
konstruksi sistem presidensial yang seperti
ini, diharapkan Presiden dapat lebih
maksimal dalam memenuhi keinginan dan
mensejahterakan rakyat daripada harus
mengikuti intervensi dari partai politik,
supaya nuansa demokrasi akan lebih
dirasakan dan lebih bermanfaat bagi rakyat.
E. Daftar Pustaka
Buku
Denny Indrayana, (2008), Negara Antara
Ada dan Tiada: Reformasi Hukum
Ketatanegaraan, Jakarta: Kompas
Firmanzah, (2011), Mengelola Partai
Politik: Komunikasi dan
Positioning Ideologi Politik di Era
Demokrasi, Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, (2010),
Hukum Lembaga Kepresidenan
Indonesia, Bandung: Alumni
Jimly Asshidiqie, (2007), Pokok-Pokok
Hukum Tata Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer
Mahmuzar, (2010), Sistem Pemerintahan
Indonesia Menurut UUD 1945
Sebelum dan Sesudah
Amandemen, Bandung: Nusa
Media
Miriam Budiardjo, (2008), Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Ni’matul Huda, (2011), Ilmu Negara,
Jakarta: Rajawali Pers
Richard S. Katz dan William Crotty,
(2014), Handbook Partai Politik,
Bandung: Nusa Media
JUSTITIA JURNAL HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
268 Volume 3, No.2 Oktober 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 256-268
Soerjono Soekamto, (2008), Pengantar
Penelitian Hukum, Jakarta: UI
Press
Titik Triwulan Tutik, (2011), Konstruksi
Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945,
Jakata: Kencana
Jurnal
Beverly Evangelista, (2014), Eksistensi
Koalisi Dalam Sistem
pemerintahan Presidensiil di
Indonesia Menurut UUD 1945,
Jurnal IUS Vol II Nomor 5
Agustus 2014
I Gede D.E.Adi Atma Dewantara & I Dewa
Gde Rudy, (2016), Implikasi
hukum Koalisi Partai Politik
Dalam Membentuk Pemerintahan
Yang Efektif, OJS Universitas
Udayana Denpasar
Surat Kabar
Idul Rishan, Opini Kita “Koalisi dan
Oposisi”, Kedaulatan Rakyat 9
Juli 2019
Web
ditjenpp.kemenkumham.go.id [Akses pada
24 Agustus 2019]
..
Top Related