PEMETAAN KOMPETENSI PEGAWAI
DALAM RANGKA PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN TALENT
APARATUR SIPIL NEGARA
Disusun Oleh:
Perdhana Ari Sudewo
(Pegawai Aparatur Sipil Negara Badan Pengawas Obat dan Makanan)
JAKARTA
2015
2
PEMETAAN KOMPETENSI PEGAWAI
DALAM RANGKA PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN TALENT APARATUR SIPIL NEGARA
oleh Perdhana Ari Sudewo
Latar Belakang
Sumber daya manusia (SDM) memiliki peran penting dalam kemajuan sebuah organisasi,
termasuk organisasi Pemerintah. Untuk dapat menjawab tuntutan masyarakat dalam melakukan
pelayanan publik, pengembangan Pegawai Aparatur Sipil Negara (Pegawai ASN) untuk
mewujudkan Pegawai ASN yang memiliki integritas dan profesionalitas dalam bekerja menjadi
sebuah kewajiban bagi setiap Instansi Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara telah disebutkan
bahwa Pegawai ASN merupakan unsur utama dalam mewujudkan tujuan nasional yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Dalam UU ASN tersebut juga disebutkan bahwa Pegawai
ASN memiliki tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas
pembangunan tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh
masyarakat. Untuk melaksanakan tugas tersebut, maka manajemen pengelolaan Aparatur Sipil
Negara di Indonesia diubah dengan menekankan sistem merit dalam pelaksanaan manajemen
ASN. Cara pandang dan pola pikir manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah berubah menjadi
manajemen ASN, mengikuti perkembangan ilmu manajemen dan sesuai dengan tuntutan
masyarakat akan Aparatur Negara yang berintegritas dan professional. Selain itu, ASN sebagai
aktor utama dalam menjalankan tugas pemerintahan wajib memiliki kualifikasi, kompetensi, dan
kinerja yang telah dipersyaratkan dalan jabatan.
Perkembangan ilmu manajemen SDM saat ini tidak lagi menempatkan pegawai sebagai beban
yang menghabiskan anggaran, tetapi menempatkan pegawai sebagai aset utama organisasi yang
memiliki peran penting dan strategis, sering disebut dengan Human Capital (HC) atau aset
manusia. Perubahan istilah pengelolaan manajemen SDM tersebut juga terjadi pada organisasi di
Pemerintahan dimana saat ini banyak organisasi Pemerintah yang menyebut pegawainya sebagai
aset manusia (Human Capital) dan pengelolaannya disebut sebagai Human Capital Management
(HCM). Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah SDM dalam organisasi telah benar-
benar dianggap sebagai aset utama organisasi. Bila telah disebut sebagai aset utama, apakah
dalam praktek pengelolaan manajemen SDM sehari-hari telah diperlakukan sebagai aset manusia
yang perlu dibina dan dikembangkan sebagaimana layaknya aset berharga lainnya.
Dalam prakteknya di beberapa organisasi, khususnya organisasi pemerintahan di Indonesia,
penerapan HCM dalam pengelolaan SDM hanya dijadikan sebagai slogan dan teori saja, namun
kenyataannya pegawai belum dianggap dan diperlakukan sebagai sebuah aset berharga sehingga
untuk diakui sebagai human capital tampaknya masih jauh dari harapan. Salah satu indikasi yang
paling mudah dapat dilihat adalah dari penggunaan istilah dalam struktur organisasi dimana
masih banyak organisasi yang menggunakan istilah kepegawaian dibandingkan dengan human
capital. Indikasi lainnya dapat dilihat dari penempatan dan wewenang unit pengelola SDM yang
masih dianggap sebagai unit pembantu(supporting system) dibanding sebagai mitra strategis bagi
unit-unit lain dalam organisasi. Penempatan unit pengelola SDM dalam struktur organisasi juga
jauh dibawah kontrol langsung pimpinan tertinggi organisasi. Dalam beberapa organisasi yang
menerapkan HCM menempatkan unit pengelola SDM tepat berada dibawah langsung pimpinan
tertinggi organisasi.Hal tersebut menunjukkan komitmen pimpinan puncak organisasi
danmenganggap bahwa human capital adalah aset utama yang menentukan keberhasilan
3
organisasi dibanding dengan aset lainnya. Dalam beberapa organisasi bahkan menerapkan
kebijakan bahwa unit pengelola SDM di kantor perwakilan atau cabang tidak bertanggung jawab
terhadap pimpinan di kantor perwakilan, tetapi bertanggung jawab langsung pada pimpinan unit
pengelola SDM di pusat.
Jika benar pegawai adalah sumber daya dan aset utama yang paling penting, seharusnya upaya
untuk memperbaiki dan mengembangkan human capital dilakukan secara optimal dengan
melibatkan seluruh bagian dalam organisasi. Jika istilah HCM hanya merupakan mulut manis
tanpa disertai tindakan nyata, atau hanya dijadikan sebagai upaya untuk meningkatkan dan
sebagai pendorong moral pegawai dengan menganggap pegawai sebagai sumber daya yang
paling berharga, para pegawai dalam organisasi akan segera menyadari bahwa itu hanyalah salah
satu upaya manajemen untuk membuat pegawai merasa senang terhadap pekerjaan mereka dan
berharap para pegawai bekerja dengan giat (Liker dkk, 2007. Hal 9). Dampaknya akan menjadi
sebuah bom waktu dimana pegawai dapat bersikap apatis terhadap berbagai upaya
pengembangan SDM, bahkan dengan penggunaan berbagai istilah yang bagus sekalipun, yang
berdampak pada penurunan kinerja organisasi atau ketidaktersediaan SDM yang berkompeten
saat organisasi membutuhkan. Untuk mengembangkan SDM dibutuhkan usaha nyata, lebih dari
sekedar trik untuk mendorong moral.
Dalam beberapa kasus lain di beberapa organisasi, SDM hanya dianggap sebagai alat untuk
mencapai tujuan, tidak jarang juga dijadikan alat untuk mencapai tujuan pribadi pimpinan dalam
organisasi. Akibatnya pengelolaan aset SDM dijadikan nomor dua dan dianggap tidak penting
karena yang utama adalah pencapaian tujuan tersebut. Pengelola SDM lupa bahwa ketika ingin
memperkerjakan tangan, otak menyertai, sebagaimana telah disampaikan Henry Ford, seorang
pengusaha sukses dalam bidang otomotif yang menaruh perhatian dalam pengelolaan SDM dalam
organisasi. SDM penting bagi organisasi karena apa yang dapat mereka lakukan bagai organaisasi,
bukan karena apa yang dapat mereka kontribusikan diluar itu (Liker dkk, 2007. Hal 11).
Saat SDM dianggap sebagai aset utama organisasi, maka pengembangan SDM adalah kegiatan
utama yang wajib dilakukan organisasi untuk meningkatkan nilai dari aset SDM (human capital).
Pimpinan organisasi dan para manajer lini tidak hanya dituntut untuk dapat menjalankan
business process organisasi, tetapi juga wajib memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan
pegawai dan dapat berperan sebagai seorang guru, coach sekaligus sebagai seorang konselor bagi
bawahan. Mengembangkan orang-orang yang luar biasa harus menjadi prioritas utama bagi
organisasi yang menerapkan human capital management. Beberapa organisasi yang menerapkan
HCM bahkan memiliki motto bahwa “mengembangkan organisasi adalah mengembangkan
manusia”.
Sebagai sebuah aset bagi organisasi, SDM harus dikelola dan dikembangkan dengan baik sebagai
sebuah investasi bagi organisasi dengan harapan investasi tersebut dapat kembali kepada
organisasi dalam nilai yang lebih tinggi, atau memiliki nilai return of investment yang tinggi.
Mengelola aset SDM tidak sama dengan mengelola aset lainnya. Manusia adalah makhluk yang
memiliki pengetahuan, keterampilan, kepribadian, konsep diri dan motif yang tidak dimiliki aset
lainnya. Untuk melakukan pengembangan dan investasi terhadap aset SDM membutuhkan
pendekatan khusus dan harus dilakukan melalui tahapan mulai dari perencanaan sampai evaluasi
yang baik jika tidak ingin pengembangan dan investasi aset SDM menjadi kegiatan yang sia-sia.
Investasi adalah kegiatan jangka panjang yang hasilnya tidak dapat langsung diperoleh dalam
waktu dekat, atau pada saat itu juga. Kegiatan pengembangan SDM juga bukanlah kegiatan atau
proyek sesaat yang berhenti setelah kegiatan selesai dilaksanakan, tetapi merupakan kegiatan
4
terus menerus yang berkesinambungan dan saling terkait untuk menghasilkan pegawai unggul
dalam organisasi. Pengembangan aset SDM tidak dapat dipisahkan dari kegiatan organisasi dan
pengembangan aset lainnya dalam organisasi. Pengembangan aset SDM juga tidak dapat
dipisahkan dari business process organisasi. Semua harus berjalan beriringan, saling terkait dan
saling menunjang sesuai dengan tujuan dan strategi organisasi dengan muaranya adalah
pencapaian visi dan misi organisasi.
Untuk dapat melakukan pengembangan terhadap aset SDM, terdapat dua hal yang harus
disiapkan, yaitu menyiapkan program dan kegiatan pengembangan SDM dan menyiapkan SDM
yang akan dikembangkan. Program dan kegiatan pengembangan SDM antara lain dapat dilakukan
melalui pendidikan, pelatihan, pengembangan karier, coaching, mentoring dan konseling.
Program dan kegiatan pengembangan SDM harus dipersiapkan dengan baik melalui kegiatan
perencanaan dan identifikasi pemilihan program dan kegiatan pengembangan SDM sesuai
dengan kebutuhan organisasi dan karakteristik pegawai yang akan dikembangkan.
Pelaksanaannya harus dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten dalam melaksanakan
program dan kegiatan pengembangan pegawai, termasuk pelatih (trainer) dalam program
pendidikan dan pelatihan. Untuk mengetahui efektifitas dari sebuah program dan kegiatan
pengembangan SDM harus dilakukan evaluasi dan analisis dampak dari program pengembangan
dengan mengacu pada perencanaan dan tujuan dilaksanakannya program dan kegiatan
pengembangan SDM.
Dalam UU tentang ASN telah disebutkan bahwa setiap Pegawai ASN memiliki hak yang sama
untuk dikembangkan kompetensinya. Konsekuensinya adalah setiap organisasi pemerintah wajib
menyusun program dan kegiatan pengembangan kompetensi bagi pegawainya. Sebagai timbal
balik, bagi Pegawai ASN yang dikembangkan kompetensinya wajib memberikan kompetensi
terbaik, inisiatif, motivasi dan kesediaan untuk memikul beragam peran dan tanggung jawab
dalam organisasi.
Setiap pegawai ASN memiliki pengalaman, profil kompetensi, kualifikasi, keahlian, dan potensi
sendiri-sendiri yang terkadang berbeda antar pegawai ASN sehingga berdampak pada program
dan kebutuhan pengembangan kompetensi yang berbeda-beda untuk tiap Pegawai ASN.
Identifikasi kebutuhan pengembangan SDM diperlukan agar program dan kegiatan
pengembangan aset SDM tepat sasaran, efektif dan efisien. Identifikasi kebutuhan tidak hanya
dilakukan di level organisasi dan unit kerja, tetapi juga perlu dilakukan untuk tiap-tiap Pegawai
ASN dengan tetap mempertimbangkan pengembangan karier pegawai.
Kesalahan dalam melakukan pengembangan SDM dapat diartikan melakukan pekerjaan yang sia-
sia, bahkan berpotensi mendatangkan kerugian bagi organisasi. Dalam sebuah studi dan hasil
pengamatan yang dilakukan terhadap berbagai organisasi, 80% hasil kerja organisasi seringkali
ditentukan oleh 20% pegawai dalam organisasi tersebut. Berkaca dari hal tersebut, identifikasi
pegawai yang potensial, yang dapat memberikan prestasi puncak bagi organisasi harus
dilaksanakan dengan hati-hati, dinilai secara cermat dan dikembangkan sesuai dengan program
dan kegiatan yang telah direncanakan dengan baik agar dapat memberi hasil yang maksimal
(Davis, 2009).
Untuk melakukan identifikasi pegawai guna mendapatkan data profil pegawai terkait
pengalaman kerja, profil kompetensi, kualifikasi, keahlian, dan potensi perlu dilakukan pemetaan
terhadap pegawai dalam organisasi. Pemetaan pegawai salah satunya dapat dilakukan melalui
assessmen kompetensi dan potensi pegawai. Dengan data pegawai yang diperoleh melalui
assessmen kompetensi dan potensi, organisasi dapat mengidentifikasi pegawai yang kompeten
5
dan potensial untuk memberikan prestasi puncak organisasi. Selain itu, data hasil assessmen
dapat dijadikan bahan dalam melakukan pengembangan SDM dan melaksanakan manajemen
talenta untuk mengelola pegawai-pegawai terbaik dalam organisasi, melakukan perencanaan
suksesi serta menyiapkan calon-calon potensial pegawai yang dapat diberikan tanggung jawab
dalam jabatan manajerial/struktural maupun professional/fungsional. Selain itu, pelaksanaan
assesmen kompetensi dan potensi pegawai juga mendukung manajemen SDM berbasis
kompetensi dalam organisasi.
Hasil pemetaan pegawai melalui assessmen juga dimanfaatkan untuk meningkatkan efektifitas
pelaksanaan pengelolaan manajemen SDM serta meningkatkan engagement pegawai. Melalui
assessmen akan diperoleh gambaran atau pendapat dari peserta assessmen terkait dengan
manajemen SDM dalam organisasi. Gambaran dan pendapat tersebut dapat dijadikan bahan
untuk memperbaiki dan meningkatkan efektifitas pengelolaan manajemen SDM serta
meningkatkan engagement pegawai. Dalam sebuah penelitian diperoleh hasil bahwa budaya
organisasi dan efektivitas manajemen SDM secara simultan dapat mempengaruhi keterikatan
(engagement) pegawai masing-masing sebesar 24% dan 57%. Hal ini menunjukkan bahwa
pengaruh efektivitas manajemen SDM terhadap keterikatan pegawai lebih besar dibandingkan
variabel budaya organisasi. Hasil lainnya menunjukkan bahwa keterikatan pegawai, budaya
organaisasi dan efektivitas manajemen SDM secara simultan mempengaruhi kinerja pegawai
masing-masing sebesar 43%, 9%, dan 23%. Pengaruh variabel budaya organisasi terhadap
kinerja pegawai lebih rendah dibandingkan manajemen SDM maupun keterikatan pegawai.
Variabel keterikatan pegawai memiliki pengaruh paling besar terhadap kinerja pegawai (Nina
Insania K Permana dkk, 2010. Hal. 12).
Dari uraian tersebut diatas dalam disimpulkan bahwa pengembangan SDM merupakan pekerjaan
utama yang harus dilakukan bagi organisasi yang menerapkan Human Capital Management
dalam pengelolaan SDM.Penerapan HCM harus diikuti langkah nyata melalui program dan
kegiatan pengembangan SDM. Agar pengembangan SDM tidak dilakukan dengan sia-sia, maka
perlu dilakukan perencanaan dengan baik, salah satunya dengan melakukan pemetaan
kompetensi pegawai untuk mendapatkan data profil kompetensi dan potensi pegawai sehingga
program pengembangan SDM dilakukan secara tepat, efektif dan efisien untuk menunjang
peningkatan kinerja organisasi. Selain itu, dalam pengembangan SDM juga harus dilakukan
identifikasi terhadap kompetensi yang akan dikembangkan sehingga diperlukan data standar
kompetensi yang dibutuhkan organisasi.
Manajemen SDM berbasis Kompetensi
Pada tahun 1973, David McClelland, seorang professor dari Harvard University dalam artikelnya
yang berjudul “Testing for Competence Rather for Intelligence” menyimpulkan sejumlah penelitian
yang menunjukkan bahwa tes potensi akademik yang pada saat itu banyak digunakan untuk
memprediksikan kinerja ternyata tidak memiliki korelasi yang siginifikan terhadap unjuk kerja
seseorang. Tes-tes semacam itu juga seringkali bias terhadap aspek budaya, jenis kelamin, dan
strata sosial ekonomi. Pengukuran lain seperti tes keterampilan dan referensi juga menunjukkan
hasil yang sama. Dalam penelitiannya, David McClelland menyimpulkan bahwa terdapat
karakteristik yang disebut kompetensi yang berpengarauh besar terhadap unjuk kerja seseorang.
Kompetensi didefinisikan sebagai karakteristik atau aspek pribadi yang mendasar pada diri
seorang pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja dan memungkinkan pegawai tersebut untuk
6
mencapai kinerja yang superior.Aspek-aspek pribadi tersebut antara lain keterampilan,
pengetahuan, sistem nilai, kepribadian, sifat, motif, sikap dan perilaku. Sebagian
menyederhanakan aspek-aspek pribadi tersebut menjadi 3 (tiga) faktor pembentuk kompetensi,
yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Kompetensi akan mengarahkan tingkah laku
dan tingkah laku akan menghasilkan kinerja.
Dalam penerapannya, tidak semua aspek-aspek pribadi tersebut dapat diamati dan langsung
terlihat dari seorang pegawai dalam melaksanaan pekerjaan. Hal tersebut yang mendasari David
McClelland menganalogikan kompetensi sebagai fenomena “gunung es”. Bagian yang tidak
terlihat dibawah air tidak dapat terlihat melalui pengamatan langsung, tetapi menjadi fondasi dan
memiliki pengaruh terhadap bentuk dari bagian yang berada di atas air. (Veithzal Rivai, 2009.
Hal. 421). Keterampilan, sikap, peran sosial dan citra diri berada pada bagian “sadar” seseorang
yang dapat diamati langsung, sedangkan trait, kepribadian, konsep diri dan motif seseorang
berada pada bagian “bawah sadar” yang tidak dapat langsung diketahui atau diamati. Berikut
penjelasan terkait masing-masing aspek-aspek pribadi yang membentuk kompetensi seseorang:
1. Keterampilan, yaitu keahlian/kecakapan seseorang dalam melakukan sesuatu dengan baik.
Contoh: keterampilan dalam melakukan pengujian di laboratorium.
2. Pengetahuan, yaitu informasi yang dimiliki/dikuasai seseorang dalam bidang tertentu.
Contoh: mengetahui dan memahami ilmu terkait kimia fisika pengujian.
3. Self Image, terdiri dari peran sosial dan citra diri. Peran sosial adalah citra yang diproyeksikan
seseorang kepada orang lain (the outer self). Citra diri adalah persepsi seseorang tentang
dirinya (the inner self). Self Image menjadi dasar bagaimana seseorang memperlakukan
dirinya dan mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: seseorang
berperilaku sebagai seorang pemimpin karena melihat/mempersepsikan dirinya sebagai
seorang pemimpin.
4. Nilai (value), yaitu suatu keyakinan seseorang mengenai cara bertingkah laku dan tujuan
akhir yang diinginkannya serta digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Nilai
seseorang dapat sama seperti nilai semua orang lainnya, sama dengan sebagian orang, atau
tidak sama dengan semua orang lain. Nilai dihasilkan oleh pengalaman budaya, hasil
pembelajaran, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur psikologis individu
(Danandjaja, 1985). Oleh karena itu, nilai menjadi tahan lama dan stabil (Rokeach, 1973).
Nilai memiliki kecenderungan untuk menetap, walaupun masih mungkin berubah oleh hal-hal
tertentu. Contoh: seseorang yang menjadikan agama sebagai nilai yang diyakininya,
berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya tersebut.
5. Trait, yaitu kecenderungan (predisposisi) untuk merespon sesuatu dengan cara yang sama
pada berbagai stimulus yang berbeda. Traitrelatifbersifat konstan atau tetap pada tingkah
laku seseorang. Contoh: seseorang yang identik dengan cara berbicara yang “berteriak-teriak”
saat berbicara dengan orang lain akan berbicara dengan cara yang sama saat berhadapan
dengan orang lain dari berbagai latar belakang yang berbeda.
6. Motif, yaitu pemikiran atau niat dasar yang konstan yang menggerakkan, mengarahkan, dan
mendorong seseorang untuk bertindak atau berperilaku. Dorongan tersebut bisa karena
alasan yang sangat mendasar (makan, minum), sampai dengan pemenuhan hobi tertentu atau
untuk aktualisasi diri. Contoh: dorongan untuk mempengaruhi orang lain.
7
Kompetensi mengemuka sebagai faktor kunci dalam keberhasilan seseorang dalam pekerjaan
seiring dengan banyaknya penelitian yang dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan
seseorang dalam pekerjaan. IPK yang bagus atau “kepribadian menarik” berdasarkan hasil tes
psikologi ternyata tidak cukup valid untuk memprediksi kinerja seseorang. Identifikasi
kompetensi yang tepat dianggap memiliki nilai prediksi yang cukup valid terhadap kinerja
seorang pegawai. Kompetensi yang mencakup faktor teknis dan non teknis, kepribadian dan
tingkah laku, soft skill dan hard skill banyak digunakan sebagai aspek yang dinilai dalam
merekrut pegawai atau dasar dalam pengelolaan manajemen SDM (Veithzal Rivai, 2009. Hal.
422).
Penerapan model kompetensi dalam sistem manajemen SDM berbasis kompetensi menjadi
sebuah kebutuhan yang tidak dapat lagi dihindari oleh setiap organisasi. Bagi organisasi yang
menerapkan human capital management (HCM) dimana SDM dianggap sebagai faktor kunci
dalam keberhasilan organisasi, kebutuhan terhadap SDM yang kompeten dalam pekerjaan
menjadi sebuah keharusan untuk dipenuhi. Dalam HCM, pegawai adalah aset yang terpenting
bagi organisasi dan merupakan kekuatan pendorong pertumbuhan organisasi. Memilih pegawai
yang kompeten dan tepat merupakan pekerjaan paling penting. Saat memilih seorang kandidat,
organisasi tidak hanya mengamati apakah kemampuan professional orang tersebut sudah
memenuhi standar, tetapi juga memberi perhatian pada kesesuaian karakter dan “people skill”-
nya. Perhatian yang lebih juga diberikan kepada sistem nilai yang dianut oleh kandidat tersebut,
apakah sesuai dengan nilai-nilai organisasi (Sammy Lee dalam Kerry Larkan, 2008, hal. 127).
Untuk melakukannya, diperlukan metode penilaian yang komprehensif dan menyeluruhterhadap
seorang kandidat, mulai dari penilaian kompetensi dengan metode assessment center, penilaian
kinerja juga penelusuran track record pegawai.
Dalam pengelolaan SDM berbasis kompetensi, penting dilakukan adalah mengembangkan model
dan standar kompetensi yang akan diterapkan sebagai dasar dalam melakukan penilaian
kompetensi. Agar penerapan model kompetensi dalam organisasi dapat memberikan nilai
kompetitif, dalam proses pengembangannya harus direncanakan dengan baik dan harus selaras
dengan misi, strategi, tantangan-tantangan, maupun sasaran yang ingin dicapai organisasi.
Kompetensi yang dimiliki pegawai secara individu harus mampu mendukung pelaksanaan
strategi organisasi dan mampu mendukung setiap perubahan yang dilakukan organisasi (Veithzal
Rivai, 2009. Hal. 411). Standar kompetensi diperlukan sebagai dasar dalam melakukan penilaian
dan pengembangan SDM.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan dalam menerapkan manajemen
SDM berbasis kompetensi (R. Palan, 2008. Hal. 108):
1. Faktor-faktor yang mendorong keberhasilan penerapan manajemen SDM berbasis
kompetensi:
a. Mengaitkan inisiatif dan pengelolaan kompetensi dengan strategi organisasi. Penerapan
manajemen SDM berbasis kompetensi harus diselaraskan dengan kebutuhan dan strategi
organisasi. Disamping untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dalam
organisasi, juga bermanfaat agar kompetensi yang dimiliki pegawai benar-benar
mendukung pencapaian target indikator dan sasaran strategis organisasi sesui dengan
strategi yang telah ditetapkan.
b. Mengintegrasikan manajemen kompetensi dengan aplikasi pengelolaan SDM atau
memanfaatkan kompetensi dalam pengelolaan manajemen dan pengembangan SDM.
8
Penggunaan manajemen kompetensi mencakup dalam kegiatan seleksi, pengembangan
SDM, manajemen kinerja, perencanaan suksesi, dan manajemen karier.
c. Dukungan yang kuat dari manajemen puncak dan unsur-unsur terkait dalam organisasi
dalam menerapkan manajemen SDM berbasis kompetensi.
d. Memastikan pengawasan dan evaluasi terus menerus terhadap penerapan manajemen
SDM berbasis kompetensi.
2. Faktor-faktor yang mengakibatkan kegagalan dalam penerapan manajemen SDM berbasis
kompetensi:
a. Unit dan pegawai yang mengelola SDM dan pelaksanaan manajemen SDM berbasis
kompetensi lemah, atau tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan.
b. Kurangnya dukungan dari manajemen puncak dan unsur-unsurlain dalam organisasi
serta stakeholders terkait.
c. Menyerahkan program dan kegiatan penerapan manajemen SDM berbasis kompetensi
sepenuhnya kepada konsultan eksternal.
d. Kurangnya sumber daya manusia yang berkomitmen untuk implementasi manajemen
SDM berbasis kompetensi.
e. Kurangnya dukungan pendanaan terhadap penerapan manajemen SDM berbasis
kompetensi.
f. Kurangnya perangkat lunak untuk mengelola dan menyajikan data kompetensi.
Penilaian Kompetensi Pegawai
Penilaian adalah proses pengumpulan bukti yang memiliki maksud yang berbeda-beda dari
setiap penilaian yang dilakukan. Dalam penilaian berbasis kompetensi, maksud dari penilaian
adalah mengumpulkan bukti yang memadai bahwa seseorang dapat melakukan atau berperilaku
sesuai standar yang ditetapkan dalam peran tertentu, istilah lainnya adalah pengakuan formal
terhadap keberhasilan kinerja. Dalam prosesnya, penilaian melibatkan urutan operasional
sebagai berikut: menetapkan persyaratan atau standar dalam penilaian; mengumpulkan bukti
perilaku (evidence); mencocokkan bukti dengan persyaratan atau standar; dan membuat
keputusan berdasarkan kegiatan pencocokan tersebut (Shirley Fletcher, 2005. Hal 18-18).
Dalam perkembangan manajemen SDM berbasis kompetensi, terdapat 2 (dua) jenis kompetensi
yang berdampak pada perbedaan cara dalam melakukan penilaian kompetensi yang kadang
membuat kebingungan dan menjadi perdebatan, yaitu kompetensi yang:
Penilaiannya berpatokan pada kriteria vs penilaiannyadivalidasi dengan kriteria
Penilaian berbasis hasil vs penilaian berbasis perilaku
Berkait hasil vs berkait input
Disebut dengan kompeten vs disebut dengan memiliki kompetensi
Perbedaan antara kedua jenis utama sistem penilaian berbasis kompetensi tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut (Shirley Fletcher, 2005. Hal 4-15):
9
Penilaian kompetensi berpatokan pada
kriteria
Penilaian kompetensi divalidasi dengan
kriteria
Standar kinerja (kompetensi) dikembangkan
dan disepakati oleh industri (nasional) atau
oleh organisasi (khusus untuk organisasi
tertentu)
Kelompok (kluster) kompetensi dikembangkan
dengan riset menggunakan perilaku kinerja
unggul, disesuaikan dengan kebutuhan
organisasi.
Penilaian dilakukan di tempat kerja atau
Tempat Uji Kompetensi (TUK)
Penilaian dilakukan terhadap hasil
pembelajaran dan pengembangan kompetensi
/ penilaian perilaku
Kompetensi sebagai ekspektasi dalam bekerja Kompetensi sebagai karakteristik pribadi
Berbasis standar hasil (berpatokan/merujuk
pada kriteria)
Berorientasi hasil standar dan indikator
perilaku yang ditetapkan (validasi kriteria)
Standar kompetensi dalam pelaksanaan
pekerjaan (kinerja aktual di tempat kerja)
Hasil dari proses pendidikan dan
pengembangan kompetensi
Berpatokan pada kinerja kompeten yang
disepakati
Berpatokan pada indikator perilaku yang
disepakati dengan spesifikasi kinerja
“superior” yang ditetapkan berdasarkan riset
akademis
Produk - Hard Competency Produk – Soft Competency
Penilaian hard competency dilakukan berdasarkan kriteria unjuk kerja yang telah disepakati,
sedangkan penilaian soft competency dilakukan berdasarkan kriteria dan indikator perilaku yang
telah disepakati. Dalam perkembangan penilaian kompetensi, khususnya soft competency, untuk
menjamin obyektifitas dan validitas dalam melakukan penilaian kompetensi dilakukan melalui
pusat penilaian kompetensi (assessment center). Assessment Centeradalahsuatu proses penilaian
(evaluation) atau rating yang canggih dan didesain secara khusus untuk meminimalkan
kemungkinan timbulnya penyimpangan (bias) sehingga para peserta penilaian kompetensi
memperoleh kesempatan setara yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan potensi maupun
kompetensinya dalam seperangkat metode assessmen atau evaluasi yang terstandarisasi,
menggunakan berbagai tools penilaian dan dilakukan oleh beberapa assessor.
Studi terbaru dalam bidang kompetensi perilaku (soft competency) didapatkan validitas dari
berbagai metode dalam penilaian (assessmen) kompetensi sebagai berikut (R. Palan, 2008. Hal.
84):
Validitas kriteria metode penilaian (assessmen)
Metode Penilaian Nilai r (%)
Assessment Center 65
Wawancara Perilaku (Behavioral Event Interview) 61
Evaluasi Atasan 54
Tes Pengetahuan 54
Tes Kepribadian 38
Biodata 32
Referensi 23
Wawancara non perilaku 05
10
Manajemen Talenta
Manajemen talenta adalah pendekatan organisasi yang terencana dan terstruktur untuk
merekrut, mempertahankan dan mengembangkan orang-orang yang bertalenta dalam organisasi.
Tujuannya adalah untuk memperkerjakan orang-orang yang secara konsisten memberikan
kinerja unggul. Manajemen talenta harus direncanakan secara sungguh-sungguh dan mendapat
dukungan dari manajemen puncak organisasi. Manajemen talenta harus dilaksanakan sebagai
upaya menyeluruh (holistic). Hanya melaksanakan sebagian unsur dalam manajemen talenta
memang membawa hasil, tetapi tidak sebesar apabila menjalankan upaya menyeluruh (Davis
dkk, 2009. Hal. 2-4).
Dalam melakukan manajemen talenta, hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan
perencanaan manajemen talenta dengan melibatkan seluruh unsur dalam organisasi. Langkah
selanjutnya adalah melakukan identifikasi pegawai yang bertalenta, kompeten dan memiliki
kinerja unggul. Pegawai yang bertalenta menunjukkan karakter utama kemampuan menjalankan
peran, kemampuan menangani perubahan, kapasitas untuk belajar, dan mempunyai profil
kepribadian yang baik sebagai seorang pegawai. Kelompok orang-orang yang bertalenta disebut
sebagai talent pool, yaitu sekelompok orang yang telah diidentifikasi dapat dikembangkan dalam
jangka waktu tertentu dan diperlakukan sebagai suatu investasi bagi organisasi (Davis dkk, 2009.
Hal. 7). Pegawai yang memiliki talenta juga disebut sebagai talent.
Identifikasi pegawai yang bertalenta dilakukan melalui seleksi terhadap pegawai dalam
organisasi, salah satunya dengan menggunakan metode talent search matrix, dimana untuk
mengidentifikasi talent dilakukan penilaian terhadap 6 elemen, yaitu:
1. Pengalaman, meliputi pengalaman kerja. Diidentifikasi melalui penelusuran rekam jejak
(trackrecord) pegawai.
2. Profil kepribadian, diidentifikasi melalui tes psikologi atau tes profil kepribadian, serta
melalui identifikasi trait (sifat kepribadian), seperti kreativitas, kemampuan untuk bekerja di
bawah tekanan, kemampuan memberikan penilaian, ambisi, dll.
3. Kualifikasi, meliputi tingkat pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti pegawai, termasuk
kualifikasi professional yang diperoleh melalui sertifikasi kompetensi yang dimiliki.
Diidentifikasi melalui penelusuran ijazah/sertifikat yang dimiliki pegawai.
4. Keahlian, mengidentifikasi kekuatan pribadi dan seperangkat pengetahuan yang dituntut.
Kualitas yang diharapkan dapat mencakup kemampuan untuk menangani perubahan,
kemampuan teknis, keterampilan komunikasi dan fleksibilitas intelektual. Diidentifikasi
melalui ujian tulis dan/atau ujian praktek.
5. Potensi, mengidentifikasi level tanggung jawab pekerjaan yang diprediksi akan mampu
dipikul pegawai. Diidentifikasi melalui tes psikologi.
6. Kuantifikasi atau kinerja pegawai, mengidentifikasi level prestasi yang dapat dicapai pegawai
dalam aspek operasional pekerjaan. Mencakup kemampuan untuk mengintegrasikan dan
menjalankan strategi organisasi, kemampuan mencapai target kinerja, mengelola bawahan,
dll. Diidentifikasi melalui penilaian kinerja pegawai.
Beberapa elemen untuk menilai talent tersebut adalah aspek-aspek yang membentuk kompetensi
seorang pegawai sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya.Penilaian
terhadap elemen-elemen tersebut dapat dilakukan melalui penilaian kompetensi dengan metode
assessment center, penilaian kinerja juga penelusuran track record pegawai.
11
Dalam pengembangan manajemen talenta, terdapat 3 (tiga) kelompok segmen talent sebagai
berikut (Octa Melia Jalal dalam Nina Insania K. Permana dkk, 2010. Hal. 26) :
1. Talent untuk kelompok manajerial/struktural. Kelompok ini biasanya dikembangkan untuk
menyiapkan calon-calon pimpinan eksekutif dalam organisasi.
2. Talent untuk kelompok professional, yaitu pekerjaan yang membutuhkan keahlian
spesifik/fungsional
3. Talent untuk kelompok critical jobs, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan organisasi
tetapi tidak terdapat tingkatan kesulitan dan pengembangan karier bagi pegawainya.
Misalnya pengadministrasi umum,costumer service, front liner, bendahara, dll.
Setelah kelompok talentdan segment talenttelah diidentifikasi, langkah selanjutnya
adalahpengembangan talentdengan membuat program pengembangan dan identifikasi
kompetensi yang harus dimiliki talent untuk masa yang akan datang dan rencana jenjang karier
yang akan dilalui oleh seorang talent,sering disebut sebagai future talent needs. Future talent
needs biasanya berubah seiring dengan perubahan lingkungan sosial, tuntutan dan perubahan
strategi organisasi.
Dalam program pengembangan talent, hal pertama yang harus diperhatikan adalah pegawai yang
akan dikembangkan harus mendapat insight-nya sebelum ditetapkan sebagai peserta dalam
program pengembangan talent. Cara memberikan insight yang paling mudah dan efektif adalah
melalui assessmen sebelum dilakukan pengembangan talent. Hal selanjutnya yang harus
diperhatikan adalah motivasi peserta. Harus ada keterbukaan dan penjelasan atas pertanyaan
“Mengapa kita harus dikembangkan? Apakah kalau kita tidak mengembangkan kompetensi,
organisasi akan mengeluarkan kita?Apakah kalau kita ikut program pengembangan kompetensi,
karier kita akan meningkat dan diperhatikan oleh organisasi?” (Octa Melia Jalal dalam Nina
Insania K. Permana dkk, 2010. Hal. 34). Dalam hal ini, konsistensi manajemen dalam menerapkan
regulasi dalam bidang manajemen SDM sangat diperlukan sehingga pegawai yang ditetapkan
sebagai talent dan dikembangkan dalam program pengembangan talent mengerti betul kemana
arah pengembangan karier yang akan dilakukan organisasi terhadap dirinya. Selain itu juga tidak
ada kekhawatiran bahwa manajemen akan bersikap tidak adil atau inkonsisten dalam
pengelolaan manajemen SDM.
Dalam melakukan pengembangan talent, paling tidak harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Assessmen terhadap kompetensi, kapabilitas, dan potensi yang dimiliki pegawai serta hasil
penilaian kinerja juga penelusuran track record pegawai.
2. Analisis kebutuhan pengembangan pegawai, meliputi pengembangan kompetensi dan
pengembangan karier. Dilakukan selaras dengan kebutuhan kompetensi dan jalur karier
organisasi.
3. Program pengembangan pegawai, yaitu menentukan program dan kegiatan yang akan diikuti
pegawai untuk mengembangkan dirinya, seperti program pendidikan dan pelatihan yang
akan diikuti, penugasan-penugasan yang akan diberikan dan pengembangan karier yang akan
dilakukan dan diberikan organisasi.
4. Assessmen dampak, yaitu melakukan pengukuran dampak program pengembangan pegawai
terhadap kinerja organisasi dan pengaruhnya bagi unsur-unsur dalam organisasi, termasuk
bagi pegawai lain yang tidak termasuk dalam talent pool.
12
Pegawai yang telah dimasukkan dalam talent pool perlu diidentifikasi lagi apakah mereka
memiliki potensi untuk menduduki posisi sebagai pimpinan eksekutif atau justru memiliki
potensi sebagai professional dengan keahlian spesifik (fungsional). Selama perjalanan menuju
puncak, mereka harus mendapatkan dan mengembangkan kompetensi manajerial (soft
competency), kompetensi teknik dan professional (hard competency). Selain itu, mereka juga
perlu mengembangkan sejumlah karakteristik pribadi yang akan dibutuhkan untuk mencapai
posisi puncak tersebut.
Pemetaan Kompetensi dan Potensi Pegawai
Pemetaan kompetensi dan potensi pegawai diawali dengan penilaian kompetensi dan potensi
pegawai, atau assessmen kompetensi. Assessmen kompetensi penting untuk dilakukan untuk
memastikan bahwa orang yang tepat mendapat pekerjaan yang tepat di saat yang tepat.
Tujuannya adalah untuk meminimalkan, lebih jauh lagi sebagai usaha untuk dapat
menghilangkan resiko salah angkat atau salah promosi dalam manajemen pengelolaan
SDM.Langkah-langkah dalam melakukan penilaian kompetensi dan bagaimana kompetensi dinilai
telah dijelaskan dan dijabarkan dalam pembahasan sebelumnya.
Melalui penilaian kompetensi atau assessmen kompeteni akan diperoleh data profil pegawai,
khususnya profil terkait kompetensi, kualifikasi, keahlian, dan potensi pegawai.Pemanfaatan data
hasil assessmen kompetensi antara lain untuk menggambarkan kesenjangan (gap) kompetensi
untuk pegawai yang dinilai kompetensinya. Beberapa manfaat lain dari data hasil penilaian
kompetensi dan pemetaan kompetensi adalah (R. Palan, 2008. Hal. 95):
1. Mencocokkan orang dengan posisi untuk memastikan kecocokan terbaik. Meskipun fokus
pendekatan kompetensi fungsional adalah pada profesionalitas, mobilitas dan multitasking,
tetapi tidak selalu dapat dijalankan seperti yang diharapkan tersebut pada setiap orang
pegawai. Penting untuk memastikan bahwa setiap pegawai bekerja pada tempat yang cocok
sesuai dengan kompetensi dan potensinya. Begitu juga pada pengelolaan kompetensi
manajerial.
2. Pelatihan dan pengembangan berbasis kompetensi dimana pegawai berupaya mendapatkan
kompetensi agar tetap relevan dengan dunia yang berubah cepat. Yang lebih penting,
kompetensi yang dimiliki pegawai harus dapat mendukung organisasi dalam menjalankan
strategi organisasi untuk mencapai visi dan misinya. Kompetensi luar yang Nampak seperti
pengetahuan dan kemampuan mudah dikembangkan dibanding kompetensi terkait dengan
motif, sifat, dan konsep diri yang pengembangannya lebih sulit dan mahal.
Kata kunci dalam mengembangkan kompetensi pegawai adalah rekayasa perilaku pegawai.
Rekayasa perilaku mengandung makna tersirat bahwa perilaku dapat diubah dan diperbaiki.
Untuk mencapai pengembangan perilaku harus dilakukan secara sadar, yaitu melalui proses
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sistem. Pengembangan kompetensi pegawai adalah
usaha meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral pegawai yang sesuai
dengan kebutuhan pekerjaan atau jabatan dalam organisasi (Veithzal Rivai, 2009. Hal. 411).
3. Manajemen karier dimana karier karyawan ditelusuri dan pertumbuhan kompetensi
didorong melalui berbagai program pengembangan untuk memastikan para high flier
(mereka yang berkinerja tinggi) tidak keluar dari organisasi, serta pengembangan karier
pegawai harus sejalan dengan pengembangan dan kebutuhan organisasi. Tujuannya adalah
13
untuk menahan talent, karena mereka yang berkinerja tinggi memberi nilai tambah bagi
organisasi. Ingat bahwa 80% kinerja organisasi biasanya hanya ditentukan oleh 20% pegawai
yang berkinerja tinggi.
4. Manajemen kinerja yang bisa menelusuri manajemen kompetensi untuk mendukung
peningkatan kinerja dan keberhasilan organisasi. Setiap indikator kinerja yang ditetapkan
harus diikuti dengan kebutuhan kompetensi yang diperlukan untuk mencapai indikator
tersebut. Kompetensi merupakan komponen penting untuk kinerja unggul, sehingga
diperlukan data terkait kompetensi dan potensi pegawai untuk memprediksikan capaian
kinerja sesuai dengan indikator kinerja yang telah ditetapkan.
5. Kompensasi pegawai, walapun dalam pelaksanaannya tidak terlalu popular.
6. Pelaksanaan manajemen SDM lainnya seperti perencanaan kebutuhan pegawai, rekruitmen
dan seleksi, peningkatan engagement pegawai, dll.
Selain manfaat tersebut diatas, hasil penilaian dan pemetaan kompetensi pegawai juga memiliki
manfaat sebagai berikut (Davis, 2009. Hal 132-133):
1. Manfaat bagi Pegawai
Hasil assessmen dapat dibandingkan dengan penilaian terhadap kemampuan dan kompetensi
yang dilakukan oleh pegawai terhadap dirinya sendiri sehingga Pegawai dapat mengetahui
kompetensi dan potensi yang dimiliki. Dengan pengetahuan tersebut, pegawai dapat
menyusun kebutuhan pengembangan diri yang akan dilakukan untuk jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang. Pegawai juga dapat melakukan evaluasi terhadap efektifitas
kegiatan pengembangan diri yang selama ini telah dilakukan, sehingga pegawai dapat
memperoleh gambaran yang jelas mengenai apa yang perlu dilakukan dan kapan.
2. Manfaat bagi Manajemen Lini
Manajemen lini dapat merencanakan program pelatihan dan pengembangan pegawai yang
benar-benar bermanfaat dan dibutuhkan oleh bawahan dalam suatu periode tertentu sesuai
dengan sasaran strategis dan rencana pengembangan organisasi. Manajemen lini juga dapat
menjadi mentor sekaligus konselor bagi pegawai dalam melakukan pengembangan karier.
3. Manfaat bagi unit Pengelola SDM
Unit pengelola SDM memiliki database kompetensi, potensi dan kinerja semua pegawai
sehingga pengelolaan dan pengembangan pegawai dapat dilakukan secara efektif dan
efisien.Hasil assessmen juga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan terkait
dengan pengelolaan pegawai sehingga efektifitas dalam pengelolaan pengembangan pegawai
dapat ditingkatkan.
4. Manfaat bagi Manajemen Puncak
Fokus pengelolaan dan pengembaangan talenta untuk mendapatkan orang-orang terbaik
dalam organisasi menjadi lebih jelas. Dengan mengetahui kebutuhan masing-masing pegawai,
anggaran untuk pengembangan pegawai dapat dikelola dengan baik dan dilakukan tepat
sasaran karena pegawai hanya dilatih untuk meningkatkan kompetensi yang perlu
ditingkatkan untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas pekerjaan saat ini dan yang akan
datang sesuai dengan rencana pengembangan karier masing-masing pegawai.
Pemetaan kompetensi dan potensi pegawai akan berhasil jika seluruh unsur dan bagian dalam
organisasi mendukung pelaksanaan program ini. Sebagai akibat dari pemetaan kompetensi,
setiap manajer dan pejabat struktural dalam organisasi mau tidak mau harus belajar tentang
14
pengelolaan SDM yang efektif, mengelola pegawai agar kompetensi dan potensi yang dimiliki
pegawai tidak menguap dan hilang, tetapi dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi
dalam peningkatan kinerja organisasi. Manajer dan pejabat struktural dapat menjadi mentor,
pelatih dan konselor bagi pegawai untuk mencapai kinerja optimum di tempat kerja sehingga
setiap pegawai menjadi lebih berpengetahuan dan professional.
Sangat dihindari mengirim pegawai dalam suatu pelatihan atau program pengembangan
kompetensi yang isinya sudah diketahui oleh pegawai atau tidak dibutuhkan oleh pegawai, saat
ini maupun untuk masa yang akan datang. Melalui pemetaan kompetensi dan potensi pegawai,
setiap penugasan kepada pegawai dirancang untuk menguji kemampuan dan memperluas
pengalaman pegawai sehingga kompetensi pegawai meningkat.Untuk melaksanakan hal tersebut,
sangat diperlukan peran aktif dan komitmen dari masing-masing pejabat struktural dalam
organisasi.
Organisasi tetap dan akan terus diarahkan oleh orang (people driven), yaitu orang yang memiliki
kompetensi, keterampilan dan pengalaman yang tepat. Teknologi hanya memberikan
kemampuan, tetapi oranglah yang mengarahkan.Pengelolaan manajemen SDM, penilaian
kompetensi pegawai, manajemen orang-orang yang memiliki kompetensi dan berkinerja unggul
(talent), pemetaan kompetensi pegawai dan pengembangan kompetensi pegawai adalah kegiatan
yang tidak akanberakhir untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan keunggulan
organisasi. Dibutuhkan komitmen dan kualitas dari orang-orang dalam organisasi untuk
menjalankannya.Tanpa komitmen dan kualitas dari orang-orang dalam organisasi, organisasi
tidak dapat terus mencari, mencapai dan mempertahankan keunggulan organisasi.
Daftar Pustaka
Davis, Tony dkk. 2009. Talent Assessment, Mengukur, Menilai, dan Menyeleksi Orang-Orang
Terbaik dalam Perusahaan (terjemahan). Jakarta: Penerbit PPM
Fletcher, Shirley. 2005. The Art of Training and Development, Competence – Based Assessment
Techniques, Teknik Penilaian Berbasis Kompetensi (terjemahan). Jakarta : PT Bhuana Ilmu
Populer
Larkan, Kerry. 2008. The Talent War, Mendapatkan dan Mempertahankan Orang-Orang Terbaik
Organisasi (Terjemahan). Jakarta : Penerbit PPM
Liker, Jeffrey K. dkk. 2007. Toyota Talent, Mengembangkan SDM Anda ala Toyota. Jakarta :
Penerbit Erlangga
Palan. R. 2008. Competency Management, Teknik Mengimplementasikan Manajemen SDM Berbasis
Kompetensi untuk Meningkatkan Daya Saing Organisasi (terjemahan). Jakarta: Penerbit PPM
Permana, Nina Insania K, dkk. 2010. Talent Management Implementation: belajar dari Perusahaan
- Perusahaan Terkemuka. Jakarta: Penerbit PPM
Rivai, Veithzal. 2009. Islamic Human Capital, Dari Teori ke Praktik. Manajemen Sumber Daya
Islami. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Top Related