BAB III
PEMBAHASAN
Kegiatan Field Lab kelompok kami dengan materi Tuberkulosis dilaksanakan di Puskesmas Sambirejo. Puskesmas Sambirejo termasuk Wilayah Kecamatan Sambirejo, Puskesmas ini terletak 12 Km dari Ibu Kota Sragen ke arah tenggara, Puskesmas Sambirejo terletak sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kedawung, disebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, sedang sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Gondang, timur Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Kecamatan Sambirejo terdiri dari 9 Desa, yaitu : Desa Sukorejo, Desa Jambeyan, Desa Musuk, Desa Jetis, Desa Kadipiro, Desa Sambirejo, Desa Blimbing, Desa Dawung dan Desa Sambi. Kecamatan Sambirejo berdasarkan hasil pencatatan data keluarga tingkat Kecamatan memiliki penduduk sejumlah 41.855 jiwa. Selain data tersebut, kami juga memperoleh data terkait Penanggulangan TB sebagai berikut:
1. Jumlah pasien BTA Positif
2010 = 18 orang
2011 = 19 orang
2012 = 13 orang
2013 = 16 orang
2. Jumlah pasien baru TB paru BTA Positif = 14 orang.
3. Jumlah pasien TB Anak
2010 = 0 orang
2011 = 4 orang
2012 = 1 orang
2013 = 0 orang
4. Jumlah pasien baru TB paru BTA Positif yang konversi = 12 orang.
5. Jumlah pasien baru TB paru BTA Positif yang sembuh = 12 orang.
6. Jumlah pasien baru TB paru BTA Positif yang sembuh + pengobatan lengkap) =
11 orang.
7. Jumlah suspek sampai tanggal 28 Oktober 2013 = 188 orang
Dalam keterampilan Penanggulangan Tuberkulosis hal yang paling awal
dilakukan adalah penentuan perkiraan jumlah pasien BTA positif yang ada di suatu
wilayah. Di Puskesmas Sambirejo digunakan metode perhitungan menurut
Departemen Kesehatan Jawa Tengah yaitu menggunakan rumus:
107100.000
× jumlah penduduk
Sehingga didapatkan penghitungan :
107100.000
× 41.855=44,78485 45 orang
Angka 45 orang diatas merupakan perkiraan jumlah pasien BTA positif di
Kecamatan Sambirejo, namun dari hasil yang didapatkan ternyata hanya 16 orang
yang teruji dengan BTA positif.
Dengan data yang diperoleh dari Puskesmas, mahasiswa melakukan
perhitungan indikator dalam program penanganan TB, dan didapatkan hasil sebagai
berikut:
1. Angka Penjaringan Suspek 2013Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada
suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui
upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan
kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan).
Jumlah suspek yangdiperiksaJumlah Penduduk
× 100.000
18841 . 855
×100.000=¿ 449,16975272 449 orang
2. Proporsi BTA positif diantara suspekAdalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek
yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan
sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.
Jumlah pasienTB BTA positif yang ditemukanJumlah seluruh suspek TB yang diperiksa
×100 %
Pada tahun 2010 : 18
215×100 % = 8,37%
Pada tahun 2011 :19
201×100 %=9,45 %
Pada tahun 2012 : 13
137×100 %=9,49%
Pada tahun 2013 : 16
188×100 %=8,51%
Angka ini seharusnya berkisar sekitar 5 – 15%. Bila angka ini terlalu kecil (< 5 %)
kemungkinan disebabkan :
a) Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi
kriteria suspek, atau
b) Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).
Bila angka ini terlalu besar (>15 %) kemungkinan disebabkan :
a) Penjaringan terlalu ketat
b) Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu).
3. Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat/ DiobatiAdalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien
Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan
Jumlah pasienTB BTA positif yang tercatatJumlah seluruh pasienTB paru
×100 %
pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang
tercatat/terobati.
Pada tahun 2010 : 1826
× 100 %=69,23 %
Pada tahun 2011 : 1938
×100 %=50 %
Pada tahun 2012 : 1319
×100 %=68,42 %
Pada tahun 2013 : 1621
×100 %=76,19 %
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu
berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk
menemukan pasien yang menular (pasien BTA positif).
4. Proporsi Pasien TB Paru Anak diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat/DiobatiAdalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat.
Pada tahun 2010 : jumlah pasien TB anak = 0
Pada tahun 2011 : 4
38×100 %=10,53 %
Pada tahun 2012 : 1
19×100 %=5,26 %
Pada tahun 2013 : jumlah pasien TB anak = 0
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan
dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu
besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.
Jumlah pasienTB anak yang ditemukanJumlah seluruh pasien TB paru
×100 %
Jumlah pasienTB BTA positif yang dilaporkandiTB 07Perkiraan jumlah TB BTA positif
×100 %
Jumlah pasienTB BTA positif yang ditemukanJumlah Penduduk
×100.000
Jumlah pasienTB BTA posi tif yang konversiJumlah pasien TB BTA positif yangdiobati
×100 %
5. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati
dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah
tersebut. Case detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru
BTA positif pada wilayah tersebut.
Pada tahun 2013 : 1645
× 100 %=35,56 %
Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 70%.
6. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate)Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat
diantara 100.000 penduduk disuatu wilayah tertentu. Angka ini apabila
dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari
tahun ke tahun diwilayah tersebut.
Pada tahun 2013 : 16
41.855× 100.000=38,227213 → 38 orang
7. Angka Konversi (Convertion Rate)Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang
mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan
intensif. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan
untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan
benar.
Jumlah pasienTB BTA positif yang sembuhJumlah pasienTB BTA positif yang diobati
× 100 %
Jumlah pasienbaruTB BTA positi f sembuh dan pengobatanlengkapJumlah pasien TB BTA positif yangdiobati
×100 %
Pada tahun 2013 : 1215
×100 %=80 %
Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
8. Angka kesembuhan (Cure Rate)Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB
paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien
baru TB paru BTA posistif yang tercatat.
Pada tahun 2013 :1215
×100 %=80 %
Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%.
9. Angka keberhasilan pengobatanAngka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB
paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik sembuh maupun
pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.
Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan
angka pengobatan lengkap. Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif
dengan pengobatan kategori 1.
Pada tahun 2013 : 1115
×100 %=73,3 %
Kegiatan penemuan pasien TB terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah
pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan
pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian
akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan TB yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan dilakukan dengan cara:
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB terutama mereka yang BTA positif dan
pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala yang sama
harus diperiksa dahaknya.
Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost effective.
(Tim Field Lab FK UNS, 2011).
Dalam melakukan promosi aktif perlu ditekankan pada masyarakat bahwa untuk
setiap 1 orang pasien TB BTA Positif diperkirakan ada 10 suspek TB yang harus
dilakukan pemeriksaan. Hal ini dikarenakan ada kemungkinan bahwa 10 orang
suspek TB tersebut juga memiliki hasil laboratorium BTA Positif.
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu
“definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau
BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat;
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati.
(Muttaqien, 2011)
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
2) Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai
lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan:
Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu
antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
Infeksi jamur
TB paru kambuh
(Chan, 2002).
3) Kasus putus berobat (default) atau drop out
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
4) Kasus gagal
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus pindahan (transfer in)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002).
Kami juga diberi penjelasan dan pengenalan obat-obatan yang diberikan
kepada pasien TB. Jenis obat yang digunakan antara lain : isoniazid (H), Rifampicin
(R), pyrazinamide (Z), streptomycin (S) dan etambutol (E). Tahap pemberian OAT
dibagi 2 yaitu tahap intesif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif, pasien diharuskan
minum obat setiap hari, pangobatan ini dilakukan dalam 2 bulan dan biasanya setelah
diberikan dalam 2 minggu akan menyebabkan pasien tidak menularkan TB dan
setelah 2 bulan biasanya pasien mengalami konversi dari BTA positif menjadi BTA
negatif. Pada tahap intensif ini diberikan obat HRZE. Pada tahap lanjutan pasien
diberikan obat HR saja, namun dalam jangka waktu 4 bulan dan obat hanya diminum
3 kali dalam satu minggu. Pengobatan lanjutan ini berguna untuk membunuh kuman
persisten, sehingga mencegah kekambuhan (Tim Field Lab FK UNS, 2011). Panduan
OAT yang digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Kategori 1 ( yang diberikan kepada pasien baru TB paru BTA positif atau pasien
TB paru BTA (-) foto torak (+) atau pada pasien ekstra paru) → [2 (HRZE)/ 4
(HR)3].
b. Kategori 2 ( yang diberikan kepada pasien kambuh atau pasien gagal atau pasien
dengan pengobatan setelah putus berobat/ default) → [2 (HRZE)S/ (HRZE)/
5(HR)3E3].
c. Kategori sisipan: ini diberikan dalam 1 bulan → (HRZE).
d. Kategori anak → [2(HRZ)/ 4(HR)].
Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) atau FDC (Fixed Dossage Combination),
sedangkan untuk anak masih dalam OAT kombipak. Tablet OAT KDT terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya dapat disesuaikan dengan
berat badan. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid,
Rifampisin, Pirasinamid dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
obat ini digunakan untuk pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT. Keuntungan pengobatan TB dengan menggunakan KDT antara lain : dosis obat
dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga efektif dan sedikit efek samping,
mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko resistensi dan yang
terakhir adalah jumlah pemberin tablet yang ditelan lebih sedikit.
Selain itu dijelaskan pula mengenai pengawas minum obat atau PMO, syarat
PMO adalah 1) seseorang yang dikenal, dipercaya disegani atau dihormati pasien dan
yang disetujui petugas kesehatan dan pasien, 2) seseorang yang tinggal dekat dengan
pasien, 3) bersedia membantu pasien dengan suka rela, 4) bersedia dilatih atau
mendapat penyuluhan bersama dengan pasien. Tugas seorang PMO adalah 1)
mengawasi pasien menelan obat secara teratur, 2) memberi dorongan pasien minum
obat teratur, 3) mengingatkan pasien periksa dahak, 4) memberi penyuluhan kepada
anggota keluarga pasien, 5) tidak menggantikan pasien mengambil obat ke UPK (Tim
Field Lab FK UNS, 2011).
Berikut ini penatalaksanaan pasien TB sesuai dengan tipe pasien:
Tipe pasien TB
UraianHasil BTA
Tindak Lanjut
Pasien baru BTA positif
dengan pengobatan kategori 1
Akhir tahap
intensif
Negative Tahap lanjutan dimulai
PositifDilanjutkan dengan OAT sisipan selama
1 bulan. Jika setelah sisipan masih positif, tahap lanjutan tetap diberikan
1 bulan Sebelum
akhir pengobatan
Negatif keduanya
Sembuh
PositifGagal, ganti dengan OAT kategori 2
mulai dari awal
Pasien baru BTA (-) &
Ro (+)
Akhir intensif
Negatif Berikan pengobatan tahap lanjutan sampai selesai, kemudian pasien dinyatakan Pengobatan lengkap.
dengan pengobatan kategori 1
Positif Ganti dengan kategori 2 mulai dari awal.
Penderita baru BTA
positif dengan
pengobatan ulang
kategori 2
Akhir intensif
NegatifTeruskan pengobatan dengan tahap
lanjutan
Positif
Beri sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, teruskan pengobatan
tahap lanjutan. Jika ada fasilitas rujuk untuk uji kepekaan obat.
1 bulan Sebelum
akhir pengobatan
Negatif keduanya
Sembuh
PositifBelum ada pengobatan, disebut kasus kronik jika mungkin rujuk kepada unit
pelayanan spesialistik.(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Top Related