i
LAPORAN PENELITIAN SISTEMATIS
REFORMA AGRARIA: THREAT DAN TREATMENT UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL
(Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur)
Pelaksana Tugas:
Aristiono Nugroho
Suharno
Nuraini Aisiyah
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL YOGYAKARTA – 2019H A L A M A N P E N G E S A H A N
ii
LAPORAN PENELITIAN SISTEMATIS
REFORMA AGRARIA: THREAT DAN TREATMENT UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL
(Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur)
Pelaksana Tugas:
Aristiono Nugroho
Suharno
Nuraini Aisiyah
Laporan penelitian ini telah diseminarkan di hadapan
Steering Committee Penelitian STPN pada tanggal ...............................
Mengetahui
Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Bambang Suyudi, S.T., M.T. NIP. 19710624 199603 1 002
iii
D A F T A R I S I
Halaman Halaman Judul i Halaman Pengesahan ii Daftar Isi iii Daftar Tabel v BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4
1. Tujuan Penelitian 4 2. Manfaat Penelitian 5
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 6 A. Penelitian Terdahulu 6 B. Kerangka Teoritis 9
1. Threat dan Treatment 9 a. Threat 9 b. Treatment 10
2. Hak Bangsa 10 3. Hak Menguasai Negara 11 4. Reforma Agraria 12
a. Reforma Regulasi 13 b. Reforma Asset 14
(1) Landreform 14 (2) Redistribusi Tanah 15 (3) Legalisasi Asset 16
c. Reforma Akses 17 5. Kesejahteraan Sosial 17 6. Keadilan Sosial 18
C. Kerangka Konseptual 20
BAB III : METODE PENELITIAN 22 A. Jenis dan Pendekatan Penelitian 22 B. Langkah Kerja Operasional 22
1. Subyek Penelitian 22 2. Penetapan Informan 22 3. Jumlah Informan 23 4. Pemilihan Informan 23 5. Data yang Diperoleh 23 6. Teknik dan Instrumen Pengambilan Data 24 7. Teknik Analisis Data 24
iv
BAB IV : THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA REGULASI 26
A. Threat Dalam Regulasi 27 B. Treatment Bagi Regulasi 29
BAB V : THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA ASSET 32
A. Threat Dalam Reforma Asset 32 1. Threat Dalam Landreform 32 2. Threat Dalam Redistribusi Tanah 37 3. Threat Dalam Legalisasi Asset 41
B. Treatment Dalam Reforma Asset 43 1. Treatment Dalam Landreform 43 2. Treatment Dalam Redistribusi Tanah 50 3. Treatment Dalam Legalisasi Asset 56
BAB VI : THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA AKSES 60
A. Threat Dalam Reforma Akses 60 B. Treatment Dalam Reforma Akses 64
BAB VII : KONSTRUKSI KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL 69
A. Konstruksi Kesejahteraan Sosial 69 B. Konstruksi Keadilan Sosial 75
BAB VIII : PENUTUP 81
A. Kesimpulan 81 B. Rekomendasi 89
Daftar Pustaka 90 Lampiran: 92 Policy Brief 92 A. Ringkasan Eksekutif 92
1. Deskripsi Masalah 92 2. Cara Mengatasi Masalah 92 3. Urgensi Cara Terpilih 93
B. Urgensi Masalah 93 1. Issue Penting 93 2. Akar Masalah 93 3. Implikasi Penyelesaian Akar Masalah 94
C. Pilihan Kebijakan 94 1. Kendala Kebijakan Saat Ini 94 2. Pilihan Kebijakan Alternatif 94
D. Rekomendasi Kebijakan 94 1. Kebijakan Terpilih 94 2. Implementasi Kebijakan Terpilih 95
v
D A F T A R T A B E L
Tabel: Halaman:
1. Perbedaan Penelitian Sebelumnya Dengan Penelitian Saat Ini 8
2. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Regulasi Reforma Agraria 31
3. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Landreform 49
4. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Redistribusi Tanah 55
5. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Legalisasi Asset 58
6. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Reforma Akses 65
7. Kinerja Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar Dalam Pelaksanaan
Redistribusi Tanah Tahun 2007 – 2017 75
8. Kinerja Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur Dalam
Pelaksanaan Redistribusi Tanah Tahun 2007 – 2017 76
1
B A B I
P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang
Rehman Sobhan dalam “Agrarian Reform and Social Transformation:
Preconditions for Development” (1993) menyatakan, bahwa bila suatu negara
ingin menghapuskan kemiskinan (meningkatkan kesejahteraan) di pedesaan, dan
ingin pula mengakselerasi pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif atau
pilihan lain selain melakukan reforma agraria yang radikal. Alternatif ini penting,
karena reforma agraria akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara adil,
bagi sebagian rakyat yang tidak memiliki tanah atau kekurangan pemilikan
tanah.
Pernyataan Rehman Sobhan ini relevan dengan pelaksanaan reforma
agraria di Kabupaten Blitar yang relatif radikal, karena selalu didahului dengan
reklaiming (reclaiming), kemudian dilanjutkan dengan konflik, perdamaian,
redistribusi tanah, dan akhirnya legalisasi asset. Hal ini antara lain terjadi pada
konflik antara masyarakat Dusun Kulonbambang, Desa Sumberurip, Kecamatan
Doko, Kabupaten Blitar dengan PT. Sari Bumi Kawi pada tahun 1998.
Konflik diawali dengan upaya masyarakat melakukan reklaiming atas tanah
seluas 280 Ha, setelah eskalasi meningkat dan berlarut-larut akhirnya dilakukan
perdamaian, redistribusi tanah, dan legalisasi asset. Puncak penyelesaian di
bidang pertanahan ditandai dengan penyerahan sertipikat hak atas tanah kepada
masyarakat yang melakukan reklaiming pada tanggal 4 April 2012. Walaupun
sudah dilakukan penyerahan sertipikat hak atas tanah, reforma agraria di Dusun
Kulonbambang belumlah selesai, karena seperti dikatakan Rehman Sobhan,
masih diperlukan adanya tahapan lanjutan yang wajib memperlihatkan hadirnya
kesejahteraan dan keadilan sosial. Dengan demikian reforma agraria di
Kabupaten Blitar cenderung diawali dengan konflik yang berlangsung antara
masyarakat dengan pihak lain.
2
Sementara itu, pada tahun 1974 di Perkebunan Nyunyur terjadi konflik
antara masyarakat Desa Soso, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar melawan
PT. Kismo Handayani (dahulu: PT. Nyunyur Baru). Konflik diawali tindakan
Pemerintah Kabupaten Blitar membatalkan redistribusi tanah yang diperoleh
masyarakat pada tahun 1963, seluas 100 Ha. Selanjutnya, Pemerintah Kabupaten
Blitar menyerahkan tanah tersebut kepada PT. Nyunyur Baru, yang telah
menguasai tanah seluas 374 Ha, sehingga akhirnya PT. Nyunyur Baru berhasil
menguasai tanah seluas 474 Ha.
Sesungguhnya, sebagai bagian dari Provinsi Jawa Timur, maka pola konflik
pertanahan yang terjadi di Kabupaten Blitar merupakan bagian dari pola konflik
di Provinsi Jawa Timur. Sebagaimana diketahui ada lima pola konflik di Provinsi
Jawa Timur, yaitu: Pertama, konflik di area hutan, terutama yang terkait dengan
wilayah hutan dan akses pengelolaannya di wilayah Kabupaten Probolinggo,
Kabupaten Jember, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Situbondo, Kabupaten
Bondowoso, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Banyuwangi. Kedua, konflik
yang terkait dengan ekspansi wilayah industri dan kawasan industri di
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lamongan, Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten Tuban, dan Kabupaten Nganjuk. Ketiga, konflik yang
terkait dengan proyek infra struktur, seperti PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga
Uap) di Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Gresik,
Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten
Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Banyuwangi,
serta PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) di Kabupaten Ponorogo,
Kabupaten Trenggalek, dan Kabupaten Banyuwangi. Keempat, konflik yang
terkait dengan perampasan ruang kelola rakyat untuk industri ekstraktif di
Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten
Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Banyuwangi.
Kelima, konflik di area perkebunan yang melibatkan masyarakat (petani) dengan
pihak perusahaan perkebunan di Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Jember
(sumber: Islambergerak.com, 2018 dan KPA, 2018).
3
Ida Nurlinda dalam disertasinya (2008) mengungkapkan, bahwa ada enam
fakta penyebab terjadinya konflik agraria, yang melibatkan PTPN (PT.
Perkebunan Nusantara), sebagai berikut: Pertama, masyarakat menyerobot
tanah PTPN, padahal tanah tersebut merupakan asset negara (BUMN). Kedua,
PTPN memperoleh tanah hasil nasionalisasi perkebunan milik asing, padahal
perkebunan asing tersebut dahulunya memperoleh tanah dengan cara merampas
tanah rakyat. Ketiga, PTPN memperoleh tanah hasil pelepasan kawasan hutan,
yang ternyata tumpang-tindih dengan tanah ulayat. Keempat, penguasaan tanah
oleh PTPN melampaui luas tanah yang mendapat hak guna usaha, sehingga
tumpang tindih dengan tanah rakyat. Kelima, tanah PTPN terlantar, karena telah
habis hak guna usahanya. Keenam, sengketa antara inti (PTPN) dengan plasma
(rakyat), yaitu ketika inti mengambil-alih tanah plasma.
Sementara itu, konflik pertanahan di Kabupaten Blitar pada umumnya
terjadi antara petani (masyarakat) dengan perusahaan perkebunan, yang
kemudian diselesaikan dengan menggunakan format reforma agraria. Format ini
menekankan pada berbagai upaya untuk mengkonstruksi kesejahteraan sosial
dan keadilan sosial di kalangan petani. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian dengan judul “Reforma Agraria: Threat Dan Treatment Untuk
Kesejahteraan dan Keadilan Sosial (Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa
Timur).”
B. Rumusan Masalah
Pada 8 Oktober 2018, Aliansi Tani Jawa Timur dalam “Wujudkan Keadilan
Agraria dan Kedaulatan Petani di Jawa Timur” (www.api.or.id) menyatakan,
bahwa konflik agraria di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017 mencapai 59
kasus, yang tersebar di berbagai kabupaten, dan meliputi areal seluas 9.421,37
Ha di luar kawasan hutan (perkebunan, pertambangan, property, dan
infrastruktur), serta areal seluas 18.521 Ha di dalam kawasan hutan. Selain itu,
Aliansi Tani Jawa Timur menjelaskan bahwa meskipun telah tertuang dalam
point ke-5 Nawacita, reforma agraria belum berhasil dilaksanakan di Jawa Timur.
Demikian pula keberadaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur tentang
4
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang ternyata juga belum mampu
mengatasi persoalan: penguasaan tanah, proses budidaya, pemasaran produk,
disparitas harga pangan di kalangan petani, dan permodalan.
Situasi yang sama juga terjadi di Kabupaten Blitar, ketika terjadi konflik di
areal perkebunan antara petani (masyarakat) dengan perusahaan perkebunan.
Ada beberapa kasus konflik agraria yang berhasil diselesaikan melalui format
reforma agraria, tetapi ada pula beberapa kasus yang belum berhasil diselesaikan
hingga saat ini. Oleh karena itu, reforma agraria menjadi instrumen penting
dalam menyelesaikan konflik agraria, yang sekaligus juga berfungsi sebagai
instrumen dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dan keadilan sosial di
kalangan petani.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditetapkan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana threat dan treatment dalam penerapan regulasi reforma agraria di
Kabupaten Blitar?
2. Bagaimana threat dan treatment dalam pelaksanaan redistribusi tanah di
Kabupaten Blitar?
3. Bagaimana threat dan treatment dalam pelaksanaan legalisasi asset hasil
redistribusi tanah di Kabupaten Blitar?
4. Bagaimana threat dan treatment dalam mewujudkan reforma akses bagi para
penerima redistribusi tanah yang yang bidang tanahnya telah dilegalisasi?
5. Bagaimana konstruksi kesejahteraan sosial yang berhasil dibangun melalui
reforma agraria di Kabupaten Blitar?
6. Bagaimana konstruksi keadilan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma
agraria di Kabupaten Blitar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk mendorong penerapan regulasi reforma agraria di Kabupaten
Blitar, serta mendorong pelaksanaan redistribusi tanah, legalisasi asset, dan
5
pemberian akses yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial
di Kabupaten Blitar.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi STPN, sebagai reservoir pengetahuan tentang reforma agraria.
b. Bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional,
sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan agraria/pertanahan yang
berkaitan dengan reforma agraria.
6
B A B II
T I N J A U A N P U S T A K A D. Penelitian Terdahulu
Sesungguhnya reforma agraria bukanlah merupakan issue yang baru di
Indonesia, melainkan issue lama yang telah ada sejak tahun 1960-an. Para pakar
agraria di masa itu menyatakan bahwa reforma agraria merupakan landreform
dalam arti yang lebih luas. Reforma agraria meliputi reforma regulasi, reforma
asset (landreform/redistribusi tanah serta legalisasi asset), dan reforma akses
yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Berkaitan dengan hal tersebut ada beberapa penelitian yang membahas
reforma agraria dari berbagai perspektif yang diminati, seperti: Pertama,
penelitian Nobuhiko Fuwa berjudul “Politics And Economics Of Landreform In The
Philippines” (2000:73). Penelitian ini berhasil mengungkap fakta, bahwa
meskipun pembuat kebijakan terlibat dalam landreform, tetapi kontribusi
mereka relatif sedikit terhadap program ini. Hal ini disebabkan regulasi yang
mereka buat justru menjadikan landreform tidak efisien, bahkan memberi
konsekuensi negatif dalam pelaksanaannya.
Kedua, penelitian Jason Heit yang berjudul “Rural Development And
Agrarian Reform Process in Chile” (2005:81). Penelitian ini berhasil mengungkap
fakta, bahwa regulasi dapat mempercepat reforma agraria, terutama dalam
mendapatkan keuntungan komparatif, berupa penguatan sektor pertanian.
Ketiga, penelitian Ronaldo F. Frufonga, Vilma S. Sulleza, dan Roel A. Alli
yang berjudul “The Impact Of Comprehensive Agrarian Reform Program On
Farmer Beneficiaries In The 3rd Congressional District Of Iloilo, Philippines”
(2016:88). Penelitian ini berhasil mengungkap fakta, bahwa reforma agraria
memberi dampak positif bagi petani, melalui peningkatan pendapatan petani dan
penurunan angka kemiskinan di kalangan petani.
Pada tiga penelitian terdahulu tersebut terdapat simpul-simpul penting,
yang dapat digunakan sebagai sumber inspirasi bagi penelitian saat ini, dengan
7
tetap memperlihatkan perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian
saat ini. Pada penelitian pertama (tahun 2000), diperlihatkan tentang peran
pembuat kebijakan. Selanjutnya pada penelitian kedua (tahun 2005),
diperlihatkan tentang regulasi yang dapat mempercepat reforma agraria.
Kemudian pada penelitian ketiga (tahun 2016), diperlihatkan dampak positif
reforma agraria bagi para petani.
Penelitian yang telah dilakukan tersebut memperlihatkan perhatian para
pakar terhadap peran pembuat kebijakan, manfaat regulasi, dan dampak positif
reforma agraria bagi peningkatan pendapatan petani dan penurunan angka
kemiskinan di kalangan petani. Sementara itu, penelitian ini mengungkapkan
fakta-fakta yang berkaitan dengan: Pertama, threat dan treatment dalam
penerapan regulasi reforma agraria di Kabupaten Blitar. Kedua, threat dan
treatment dalam pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten Blitar. Ketiga,
threat dan treatment dalam pelaksanaan legalisasi asset hasil redistribusi tanah
di Kabupaten Blitar. Keempat, threat dan treatment dalam mewujudkan reforma
akses bagi para penerima redistribusi tanah yang yang bidang tanahnya telah
dilegalisasi. Kelima, konstruksi kesejahteraan sosial yang berhasil dibangun
melalui reforma agraria di Kabupaten Blitar. Keenam, konstruksi keadilan sosial
yang berhasil dibangun melalui reforma agraria di Kabupaten Blitar.
Ketika enam hal yang ingin diungkapkan tersebut diringkas, maka dapat
dirumuskan dua hal yang ingin diungkap, yaitu: Pertama, threat dan treatment
dalam penerapan regulasi reforma agraria, redistribusi tanah, legalisasi asset
hasil redistribusi tanah, dan reforma akses terhadap tanah hasil redistribusi yang
telah dilegalisasi di Kabupaten Blitar. Kedua, konstruksi kesejahteraan dan
keadilan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma agraria di Kabupaten
Blitar.
8
Tabel: 1 Perbedaan Penelitian Sebelumnya Dengan Penelitian Saat Ini
P E N E L I T I A N S E B E L U M N Y A
NO. PENELITI (TAHUN) JUDUL PENELITIAN HASIL PENELITIAN 1. Nobuhiko Fuwa
(2000) Politics And Economics Of Landreform In The Philippines
Meskipun para pembuat kebijakan terlibat dalam landreform, tetapi kontribusi mereka hanya sedikit terhadap program ini. Hal ini disebabkan regulasi yang mereka buat justru menjadikan landreform tidak efisien, bahkan memberi konsekuensi negatif dalam pelaksanaannya.
2. Jason Heit (2005)
Rural Development And Agrarian Reform Process in Chile
Regulasi dapat mempercepat reforma agraria, terutama dalam mendapatkan keuntungan komparatif, berupa penguatan sektor pertanian.
3. Ronaldo F. Frufonga Vilma S. Sulleza Roel A. Alli (2016)
The Impact Of Comprehensive Agrarian Reform Program On Farmer Beneficiaries In The 3rd Congressional District Of Iloilo, Philippines.
Reforma agraria memberi dampak positif bagi petani, melalui peningkatan pendapatan petani dan penurunan angka kemiskinan di kalangan petani. (88)
P E N E L I T I A N S A A T I N I
PENELITI (TAHUN) JUDUL PENELITIAN HASIL PENELITIAN YANG DIHARAPKAN
Aristiono Nugroho, Suharno, Nuraini Aisiyah (2019)
Reforma Agraria: Threat Dan Treatment Untuk Kesejahteraan dan Keadilan Sosial (Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur)
1. Threat dan treatment dalam penerapan regulasi reforma agraria, redistribusi tanah, legalisasi asset hasil redistribusi tanah, dan reforma akses terhadap tanah hasil redistribusi yang telah dilegalisasi di Kabupaten Blitar.
2. Konstruksi kesejahteraan dan keadilan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma agraria di Kabupaten Blitar.
9
E. Kerangka Teoritis
1. Threat dan Treatment
a. Threat
Sondang P. Siagian dalam “Manajemen Strategik” (2000:173)
menjelaskan, bahwa threat dapat dimaknai sebagai ancaman, yang dihadapi
suatu program tertentu. Tepatnya, threat meliputi beberapa faktor yang
tidak menguntungkan bagi pelaksanaan suatu kegiatan atau program.
Oleh karena itu, Freddy Rangkuti (2004:20) menyatakan, bahwa
setiap kegiatan atau program harus mampu memanfaatkan berbagai
peluang dengan memperhatikan threat, dengan cara sebagai berikut:
Pertama, bila peluang akan digunakan untuk memanfaatkan adanya
kekuatan internal, maka kegiatan harus dilaksanakan secara agresif. Kedua,
bila kekuatan internal akan digunakan untuk menghadapi threat, maka
kegiatan harus dilaksanakan secara diversifikatif. Ketiga, bila peluang akan
digunakan untuk mengatasi kelemahan internal, maka kegiatan harus
dilaksanakan secara reduktif. Keempat, bila kegiatan memiliki kelemahan
internal, tetapi harus dilaksanakan dengan menghadapi threat, maka
kegiatan harus dilaksanakan secara defensif.
Sementara itu, Collins Dictionary (2019a) menjelaskan, bahwa threat
dimaknai sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan masalah (keburukan).
Selain itu, threat juga dapat dimaknai sebagai sesuatu (keburukan) yang
akan terjadi, bila tindakan suatu pihak tidak sesuai dengan yang seharusnya
dilakukan.
Berdasarkan berbagai pemahaman tersebut, maka dalam konteks
reforma agraria, threat dapat dimaknai sebagai ancaman, tantangan,
hambatan, gangguan, dan kendala yang dihadapi kantor pertanahan dalam
pelaksanaan reforma agraria. Threat perlu mendapat perhatian, karena ia
dapat menggagalkan pelaksanaan reforma agraria. Bila kantor pertanahan
ingin memanfaatkan kekuatan internal para pihak untuk menghadapi
threat, maka kegiatan reforma agraria harus dilaksanakan secara
10
diversifikatif, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan peran dan
fungsi para pihak. Selain itu, bila kegiatan reforma agraria memiliki
kelemahan internal, padahal kegiatan tersebut menghadapi threat, maka
reforma agraria harus dilaksanakan secara defensif, terutama dalam hal-hal
yang berkaitan dengan upaya berpegang atau berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Treatment
Treatment berkaitan dengan upaya pihak tertentu mengarahkan
tindakan atau perilaku pihak lain, agar sesuai dengan yang diharapkan
pihak tersebut. Selain itu, treatment juga berkaitan dengan pelibatan pihak
tertentu pada suatu kegiatan, yang dimaksudkan untuk memberi
perlindungan atau pelayanan tertentu pada pihak lain (Collins Dictionary,
2019b)
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dalam konteks reforma
agraria, treatment dapat dimaknai sebagai upaya kantor pertanahan dalam
mengarahkan tindakan para pihak, agar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, treatment juga dapat
dimaknai sebagai pelibatan kantor pertanahan pada kegiatan reforma
agraria, yang dimaksudkan untuk memberi pelayanan pada para pihak yang
terkait dengan kegiatan tersebut.
2. Hak Bangsa
Bangsa Indonesia beruntung, karena para pendiri Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah mempersiapkan infrastruktur ideologi dan konstitusi
dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana diketahui, Bangsa Indonesia memiliki
ideologi bangsa, yaitu Pancasila. Selain itu, Bangsa Indonesia juga memiliki
konstitusi negara, yaitu UUD (Undang-Undang Dasar) Tahun 1945. Ideologi
dan konstitusi tersebut memberi ruang yang sangat memadai bagi Bangsa
Indonesia untuk menjalankan hak-haknya sebagai bangsa.
11
Ketika menjelaskan tentang UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), Budi
Harsono (2003:267-270) menyatakan, bahwa Hak Bangsa merupakan Hak
Penguasaan Tanah tertinggi sebagaimana tersusun dalam hirarkhi, sebagai
berikut: Pertama, Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA). Kedua, Hak
Menguasai oleh Negara (Pasal 2 UUPA). Ketiga, Hak Ulayat masyarakat adat
(Pasal 3 UUPA). Keempat, hak perorangan (Pasal 4, 16, 37, 41, dan 53 UUPA).
Hak Bangsa mengandung unsur, sebagai berikut: Pertama, unsur
kepunyaan. Kedua, unsur tugas dan kewenangan, untuk mengatur dan
memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya,
yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada negara. Dengan demikian
kekuasaan negara atas sumberdaya alam bersumber pada hak yang dimiliki
oleh suatu bangsa (Hak Bangsa). Negara dalam hal ini dipandang sebagai
lembaga masyarakat umum, sehingga memiliki wewenang dan kekuasaan
untuk mengatur, mengurus, memelihara, dan mengawasi pemanfaatan seluruh
potensi sumberdaya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif
(Arisaputra, 2015:98).
Sementara itu, Muhammad Bakri (2011:17) menjelaskan, bahwa Hak
Bangsa Indonesia atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya bukanlah Hak Milik, melainkan hak bersama yang
diangkat pada tingkatan tertinggi pada seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena
itu, Hak Bangsa memiliki dua aspek, yaitu: Pertama, aspek keperdataan, yang
memiliki makna bahwa seluruh sumberdaya alam di wilayah Indonesia
merupakan kepunyaan Bangsa Indonesia secara bersama-sama. Kedua, aspek
publik, yang memiliki makna bahwa Bangsa Indonesia mempunyai kewajiban
untuk mengelola, mengatur, dan memimpin penguasaan, peruntukan, dan
penggunaan sumberdaya alam tersebut.
3. Hak Menguasai Negara
Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 dan Pasal 1 UUPA memberi arahan,
bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai
12
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak untuk menjalankan kewenangan ini
disebut Hak Menguasai oleh Negara, atau biasa diringkas menjadi Hak
Menguasai Negara.
Hak Menguasai Negara memberi wewenang pada negara, untuk:
Pertama, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa. Kedua,
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Ketiga, menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa (sumber: Pasal 2 ayat (2)
UUPA).
Wewenang yang bersumber dari Hak Menguasai Negara tersebut
digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara
hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Hak Menguasai
Negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah dan masyarakat hukum adat
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
(sumber: Pasal 2 ayat (3) dan (4) UUPA).
4. Reforma Agraria
Ide reforma agraria telah dimuat dalam UUPA, khususnya pada Pasal 7,
10, dan 17. Meskipun cakupan ide tersebut hanyalah terbatas pada konsep
landreform (bagian dari reforma agraria). Bernhard Limbong (2012a:171)
menjelaskan, bahwa UUPA telah memuat program agrarian reform, sebagai
berikut: Pertama, pembaharuan hukum agraria nasional melalui unifikasi
hukum. Kedua, penghapusan hak-hak asing dan konsesi kolonial atas tanah.
Ketiga, mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur. Keempat,
perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah untuk mewujudkan
pemerataan kemakmuran dan keadilan. Kelima, perencanaan persediaan,
peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa, dan
13
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sesuai dengan daya dukung dan
kemampuannya.
Berbekal semangat agrarian reform tersebut dan sesuai dengan
perkembangan zaman, maka dilaksanakanlah reforma agraria, yang meliputi:
reforma regulasi, reforma asset, dan reforma akses, yang perinciannya sebagai
berikut:
a. Reforma Regulasi
Adakalanya regulasi tidak mendukung atau gagal mendukung reforma
agraria, atau menghambat terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial.
Maria S.W. Soemardjono dalam “Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi
Kebijakan” yang dimuat Kompas.com pada 9 Oktober 2012 menyatakan,
bahwa ada lima karakteristik peraturan perundang-undangan sektoral,
yaitu: Pertama, berorientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan
keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, serta hanya digunakan sebagai alat
pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan
devisa negara. Kedua, lebih berpihak pada pemodal besar. Ketiga, ideologi
penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam terpusat pada negara
sehingga bercorak sentralistik. Keempat, pada saat koordinasi antar sektor
lemah, justru sumberdaya dikelola secara sektoral. Kelima, tidak memberi
perlindungan hak asasi manusia secara proporsional.
Sementara itu dalam konteks reforma agraria, Muhammad Ilham
Arisaputra (2015:18-19) menjelaskan, bahwa reforma agraria selalu
berkaitan dengan kekuatan ekonomi dan politik, serta hubungan antara
keduanya. Oleh karena itu, reforma agraria harus mencakup: Pertama,
instrumen kebijakan agraria yang mengacu pada perubahan yang relatif
kecil, seperti: subsidi dan tarif pajak. Kedua, perubahan struktural yang
mampu mengubah struktur pertanian, seperti: program kredit, dan
investasi di bidang infrastruktur. Ketiga, reformasi kelembagaan yang
mampu mengubah dasar ekonomi pedesaan dan masyarakat, seperti:
redistribusi tanah dan perubahan sistem penyewaan tanah secara kolektif.
14
Untuk itu, reforma agraria wajib meliputi tiga konsep utama, yaitu:
Pertama, landreform, yang merupakan program penataan kembali struktur
pemilikan dan penguasaan tanah agar lebih adil. Kedua, accessreform, yang
merupakan program penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah agar
lebih produktif, melalui pemberian fasilitas kredit modal usaha tani, dan
bantuan pemasaran produk pertanian. Ketiga, regulation reform, yang
merupakan program penataan dan pengaturan kebijakan dan hukum yang
berpihak pada rakyat, khususnya petani kecil (peasant).
Regulation reform atau reforma regulasi inilah yang menjadi unsur
penting dalam pelaksanaan reforma agraria. Penataan dan pengaturan
kebijakan dan hukum yang berpihak pada rakyat, khususnya petani kecil,
perlu diimplementasikan melalui pelaksanaan reforma asset (assetreform)
dan reforma akses (accessreform).
b. Reforma Asset
Bagi petani dan sebagian besar masyarakat Indonesia, tanah
merupakan asset berharga yang akan dijaganya dengan sepenuh hati.
Sebagai asset, maka penguasaan dan pemilikan tanah serta tindakan
pengadministrasiannya merupakan sesuatu yang penting, serta perlu
direformasi. Reforma asset dapat menjadi dasar bagi pembangunan sosial
dan ekonomi, dalam kehidupan masyarakat yang semakin maju dan
demokratis. Sebagaimana diketahui reforma asset terdiri dari tiga konsepsi
utama, yang perlu dilaksanakan secara terpadu. Konsepsi utama tersebut
terdiri dari landreform, redistribusi tanah, dan legalisasi asset, yang
princiannya sebagai berikut:
(1) Landreform
Boedi Harsono (dalam Santoso, 2012:207) menjelaskan, bahwa
landreform merupakan serangkaian tindakan dalam rangka agrarian
reform, yang meliputi perombakan struktur penguasaan dan pemilikan
tanah, serta hubungan hukum yang terkait dengan penguasaan tanah.
15
Oleh karena itu, menurut Lipton (dalam Limbong, 2012b:48)
dalam landreform perlu dilakukan pengambil-alihan tanah yang
sifatnya wajib oleh negara dari pemilik tanah luas, dengan memberi
kompensasi agar pengambil-alihan tersebut memberi manfaat optimal
bagi semua pihak.
Senada dengan pandangan Lipton, maka A.P. Parlindungan
(1983:4) mengungkapkan adanya aspek politik dalam landreform. Ia
menjelaskan, bahwa landreform memiliki adagium “land to the tiller”,
yang berguna untuk menyemangati para petani penggarap dalam
menghadapi landlord.
Pandangan Boedi Harsono, Lipton, dan A.P. Parlindungan
memperlihatkan relasi antara landreform dengan pengambil-alihan
tanah oleh negara dari pemilik tanah luas atau landlord, untuk
kemudian dibagikan kepada para pemilik tanah sempit atau petani
penggarap (tiller). Hal inilah yang mendasari kegiatan redistribusi
tanah dalam pelaksanaan landreform atau reforma asset (asset reform).
(2) Redistribusi Tanah
Russet King (dalam Hutagalung, 1985) menyatakan, bahwa
redistribusi tanah merupakan pengambil-alihan sebagian tanah, atau
seluruh tanah milik tuan tanah, yang kemudian diserahkan kepada
petani yang bertanah sempit atau petani yang tidak mempunyai tanah.
Untuk melengkapi keterangan Russet King, maka E. Jacoby (dalam
Hutagalung, 1985) menjelaskan bahwa landreform memiliki tiga
tahapan, yaitu: pengambil-alihan tanah, redistribusi tanah, dan
penyesuaian unit-unit pertanian baru.
Pandangan Russet King dan E. Jacoby selanjutnya dilengkapi oleh
Diyan Isnaeni (2017: 310) dengan mengungkapkan tujuan redistribusi
tanah, yaitu: Pertama, untuk mengadakan pembagian yang adil atas
sumber kehidupan rakyat, yang berupa tanah. Kedua, untuk
melaksanakan prinsip “tanah untuk petani”, agar tanah tidak lagi
16
dijadikan ajang spekulasi. Ketiga, untuk mengakhiri sistem tuan tanah
dan menghapuskan penguasaan dan pemilikan tanah secara besar-
besaran. Keempat, untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas
tanah bagi setiap warga negara Indonesia. Kelima, untuk mempertinggi
produksi nasional, dan mendorong terselenggaranya yang intensif.
Keenam, untuk mengurangi kemiskinan, dan menciptakan lapangan
kerja bagi masyarakat miskin.
Dengan demikian ketika dalam rangka landreform, telah
dilakukan pengambil-alihan tanah oleh negara dari pemilik tanah luas
dengan memberi kompensasi, maka redistribusi tanah merupakan
tahapan selanjutnya yang sangat penting. Urgensi tahapan ini nampak,
ketika berupaya membumikan adagium “land to the tiller”.
(3) Legalisasi Asset
Legalisasi asset adalah proses administrasi pertanahan, yang
meliputi adjudikasi, pendaftaran hak atas tanah, serta penerbitan
sertipikat hak atas tanah (Mediatataruang.com, 2016). Sementara itu
diketahui, bahwa adjudikasi merupakan serangkaian kegiatan, yang
terdiri dari: Pertama, pengumpulan data fisik dan data yuridis. Kedua,
pengumuman data fisik dan data yuridis. Ketiga, penetapan dan/atau
penerbitan surat keputusan pengakuan atau pemberian hak atas tanah.
Pasca legalisasi asset, maka para peserta reforma agraria atau
penerima redistribusi tanah telah mempunyai bukti yang kuat atas
kepemilikan tanahnya. Oleh karena itu, beberapa pihak menyebut
kegiatan ini (legalisasi asset) sebagai “penguatan asset”. Tetapi ada pula
beberapa pihak tertentu yang memberi sebutan lebih teknis, yaitu
“pendaftaran tanah”. Bagi mereka sebutan ini lebih tepat secara yuridis,
karena sesuai dengan terminologi yang digunakan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
17
c. Reforma Akses
Bernhard Limbong (2012b:299) menjelaskan, bahwa access-reform
(reforma akses) merupakan penyediaan sarana bagi masyarakat (penerima
redistribusi tanah), untuk mengembangkan tanah pertanian sebagai
sumber kehidupan petani, yang meliputi partisipasi ekonomi politik, modal,
pasar, teknologi, pendampingan, serta peningkatan kapasitas dan
kemampuan.
Dalam konteks reforma akses, pemerintah memberikan fasilitasi
akses kepada masyarakat, baik akses masyarakat ke tanahnya itu sendiri,
maupun akses masyarakat ke instrumen penunjang agar mereka dapat
mengelola tanahnya dengan baik (optimal), seperti: akses permodalan.
Tepatnya, pemerintah terlibat dalam semua mekanisme reforma agraria,
dalam bingkai tanggungjawab dan pengawasan (Arisaputra, 2015:142).
Dengan demikian reforma akses merupakan suatu upaya untuk
memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat, guna
mengelola tanahnya atas dukungan dari pemerintah, berupa sarana dan
prasarana produksi. Kondisi ini juga menunjukkan urgensi penataan dan
pemanfaatan tanah yang lebih produktif, agar petani semakin dekat dengan
sumber-sumber ekonomi.
5. Kesejahteraan Sosial
R. Krenenburg (Limbong 2012c:75) menyatakan, bahwa negara harus
secara aktif mengupayakan kesejahteraan dan bertindak adil, sehingga dapat
dirasakan oleh seluruh masyarakat secara merata dan seimbang. Negara
dituntut untuk memperluas tanggungjawabnya kepada masalah-masalah
ekonomi yang dihadapi rakyatnya.
Pendapat yang senada dengan pandangan R. Krenenburg disampaikan
oleh Darmawan T. dan Sugeng B. (2006:21), yang menyatakan bahwa fungsi
dasar negara adalah mengatur untuk menciptakan law and order, serta
mengurusnya untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu menurut Joseph
Agassi (1990:2) ada empat tipe negara dalam konteks kesejahteraan, yaitu
18
negara tradisional, negara kolektif, negara individualis, dan negara
kesejahteraan.
Sementara itu, Bernhard Limbong (2012c:27) menyatakan, bahwa
kesejahteraan sosial merupakan kondisi terpenuhinya atau terjangkaunya
pelayanan kebutuhan masyarakat. Penjelasan Bernhard Limbong kemudian
dilengkapi oleh Muhammad Ilham Arisaputra (2015:36) dengan berkata,
bahwa kesejahteraan sosial merupakan fungsi terorganisir sekumpulan
kegiatan untuk memberi kemungkinan bagi individu-individu, keluarga-
keluarga, kelompok-kelompok, dan komunitas-komunitas menanggulangi
masalah yang dihadapi.
Dalam konteks reforma agraria, kesejahteraan sosial dimaknai sebagai
kondisi terpenuhi atau terjangkaunya pelayanan kebutuhan masyarakat
reforma agraria. Selain itu, kesejahteraan sosial juga dimaknai sebagai fungsi
terorganisir kegiatan reforma agraria, untuk memberi kemungkinan bagi
masyarakat (penerima redistribusi tanah) menanggulangi masalah yang
dihadapi.
6. Keadilan Sosial
Michael Slote dalam “Justica as a Virtue” (2010) yang dimuat dalam The
Stanford Encyclopedia of Philosophy menyatakan tentang adanya tiga
pandangan filosofis tentang keadilan, yaitu: Pertama, pandangan Plato, bahwa
keadilan merupakan keutamaan (virtue), yang muncul dari upaya reflektif
individu mengenai cara hidup yang baik, dan sesuai dengan etika. Kedua,
pandangan Aristoteles, bahwa keadilan yang merupakan keutamaan tidak
hanya muncul dari individu, melainkan juga muncul dalam lingkup yang lebih
luas pada komunitas.
Sementara itu, John Rawls (2011:13) menyatakan, bahwa keadilan yang
baik adalah keadilan yang bersifat kontrak, yang menjamin kepentingan
semua pihak secara fair. Dalam keadilan sebagai fairness, terdapat dua prinsip
yang penting, yaitu: Pertama, prinsip kebebasan, yakni setiap orang harus
memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas
19
kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, prinsip ketidak-samaan,
yakni ketidak-samaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa, agar
dapat memberi keuntungan pada setiap orang, dan semua jabatan dan posisi
harus terbuka bagi semua orang.
Ketika keadilan disentuhkan dengan aspek sosial (kemasyarakatan),
maka muncul terminologi “keadilan sosial”. Sebagaimana diketahui, keadilan
sosial merupakan keadilan yang berkaitan dengan moral sosial atau moral
masyarakat. Friedrich von Hayek (dalam Swift, 2006:9) menjelaskan, bahwa
terdapat perbedaan istilah antara individu dengan masyarakat dalam konteks
keadilan sosial. Ia menyatakan, bahwa individu disebut “agent”, sedangkan
masyarakat disebut “society”.
Keadilan sosial berkaitan erat dengan hak-hak manusia terhadap segala
sesuatu yang dapat menunjang kehidupannya. Sumberdaya agraria
merupakan sesuatu yang dapat menunjang kehidupan manusia, sehingga
pengelolaannya perlu memenuhi asas-asas keadilan sosial, yang ternyata
relevan dengan tujuan akhir reforma agraria.
BAGAN ALIR KERANGKA TEORITIK:
BANGSA INDONESIA
PANCASILA UUD 1945
HAK BANGSA
HAK
MENGUASAI
NEGARA
REFORMA AGRARIA
REFORMA REGULASI REFORMA AKSESREFORMA ASSET
KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL
20
F. Kerangka Konseptual
Bangsa Indonesia memiliki Pancasila dan UUD Tahun 1945, yang
selanjutnya melegitimasi penerapan Hak Bangsa. Hak Bangsa Indonesia atas
bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
bukanlah Hak Milik, melainkan hak bersama yang diangkat pada tingkatan
tertinggi pada seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, UUD Tahun 1945 juga memberi dasar bagi diterapkannya Hak
Menguasai Negara, yang bersumber dari Hak Bangsa. Berdasarkan Hak Bangsa
dan Hak Menguasai Negara inilah, maka pemerintah sebagai personifikasi negara
melaksanakan reforma agraria. Wewenang yang bersumber dari Hak Menguasai
Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan
makmur.
Berdasarkan Hak Bangsa dan Hak Menguasai Negara, maka pemerintah
sebagai personifikasi negara berupaya melakukan kegiatan, yang dapat
mewujudkan kesejahteraan sosial dan keadilan sosial. Sementara itu,
kesejahteraan sosial dan keadilan sosial dapat tercapai bila anggota masyarakat
yang tidak memiliki tanah dapat memiliki tanah. Untuk itu, pemerintah
menetapkan pelaksanaan reforma agraria.
Reforma agraria dilaksanakan dengan melakukan reforma regulasi, yang
selanjutnya memberi dorongan bagi dilaksanakannya reforma asset dan reforma
akses. Penataan dan pengaturan kebijakan dan hukum yang berpihak pada
rakyat, khususnya petani kecil, diimplementasikan melalui pelaksanaan reforma
asset dan reforma akses.
Pada reforma asset dilaksanakan redistribusi tanah (sebagai bagian dari
kegiatan landreform), yang kemudian dilanjutkan dengan legalisasi asset.
Redistribusi tanah merupakan tahapan lanjutan dari pengambil-alihan tanah oleh
negara. Tahapan ini merupakan penanda keberhasilan penerapan adagium “land
to the tiller”. Sementara itu, legalisasi asset adalah proses administrasi
21
pertanahan, yang meliputi adjudikasi, pendaftaran hak atas tanah, serta
penerbitan sertipikat hak atas tanah
Pasca legalisasi asset dilakukanlan reforma akses, agar mereka yang
menerima redistribusi tanah dapat memperoleh kesejahteraan sosial.
Sebagaimana diketahui kesejahteraan sosial dimaknai sebagai fungsi terorganisir
kegiatan reforma agraria, untuk memberi kemungkinan bagi masyarakat
(penerima redistribusi tanah) menanggulangi masalah yang dihadapi.
Akhirnya, seluruh kegiatan tersebut bermuara pada pencapaian keadilan
sosial, yang berkaitan erat dengan hak-hak manusia dan segala sesuatu yang
menunjang kehidupannya. Ada dua prinsip yang penting dalam konsep keadilan
(termasuk keadilan sosial), yaitu: Pertama, prinsip kebebasan, yakni setiap
orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas,
seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, prinsip ketidak-samaan,
yakni ketidak-samaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa, agar
dapat memberi keuntungan pada setiap orang, dan semua jabatan dan posisi
harus terbuka bagi semua orang.
BAGAN ALIR KERANGKA KONSEPTUAL:
R E F O R M A
A G R A R I A
REFORMA
ASSET
REFORMA
REGULASI
REFORMA
AKSES
REDISTRIBUSI
TANAH
LEGALISASI
ASSET
KESEJAHTERAAN
SOSIAL
KEADILAN
SOSIAL
22
B A B III
M E T O D E P E N E L I T I A N G. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini tergolong Jenis Penelitian Kualitatif, yang memusatkan
perhatian atau kajiannya pada keunikan fenomena yang ada, dengan
menggunakan logika ilmiah (Azwar, 1998:5). Sementara itu, Pendekatan
Rasionalistik digunakan pada penelitian ini, karena merupakan pendekatan
penelitian yang dibangun berdasarkan Filsafat Rasional, yang menyatakan bahwa
ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang mampu dikonstruksi melalui
kemampuan berargumen secara logik (lihat Muhajir, 1998: 55). Jenis Penelitian
Kualitatif dengan Pendekatan Rasionalisitik yang digunakan pada penelitian ini
memberi kesempatan pada peneliti untuk memperoleh data kualitatif dari para
informan (Moleong, 2007:4).
H. Langkah Kerja Operasional
1. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini, terdiri dari: (1) Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar, (2) Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara beserta staf,
(3) Kepala Seksi Penataan Penguasaan Tanah dan staf, (4) Kepala Seksi
Infrastruktur Pertanahan dan staf, (5) Kepala Sub Bagian Tata Usaha dan staf,
serta (6) tokoh masyarakat setempat.
2. Penetapan Informan
Pada penelitian ini informan ditetapkan dengan memperhatikan
pengertian, bahwa informan terdiri dari subyek penelitian yang
berkesempatan memberi informasi (Moleong, 2007:224). Oleh karena itu,
informan pada penelitian ini adalah individu yang mampu memberi informasi
tentang tantangan (threat) dan treatment pada pelaksanaan reforma agraria.
23
3. Jumlah Informan
Jumlah informan pada penelitian ini bersifat situasional dan kondisional.
Moleong (2007:224) telah menjelaskan, bahwa jumlah informan tidaklah
mengikat, sebab jumlah ini ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan
informasi yang diperlukan. Jika tidak ada lagi informasi yang diperlukan
penggalian informasi dari informan berikutnya dapat dihentikan. Secara real
pada penelitian ini telah dilakukan wawancara terhadap 9 orang informan.
4. Pemilihan Informan
Informan pada penelitian ini dipilih secara purposive, agar peneliti dapat
memperoleh informasi secara akumulatif dari orang yang tepat (Moleong,
2007:224). Selanjutnya, setelah memperhatikan situasi dan kondisi, serta
mempertimbangkan informasi yang diperlukan, maka secara purposive telah
dipilih informan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
a. Masduki (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar);
b. Budi (Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara);
c. Fathoni (Kepala Seksi Infrastruktur Pertanahan);
d. Misbachu Surur (Kepala Sub Bagian Tata Usaha);
e. Ulyan Khalif (Staf Seksi Penataan Penguasaan Tanah);
f. Erza (Staf Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara);
g. Harsono (Staf Seksi Penataan Penguasaan Tanah);
h. Wira (Staf Sub Bagian Tata Usaha);
i. Kinan (Tokoh Paguyuban Warga Tani Kulonbambang).
5. Data Yang Diperoleh
Berdasarkan sumbernya, data yang diperoleh pada penelitian ini terdiri
dari:
a. Data Primer, diperoleh dari hasil wawancara dengan para informan, yang
substansinya tercantum dalam interview guide, seperti:
(1) Threat dan treatment pelaksanaan kebijakan reforma agraria.
24
(2) Threat dan treatment pelaksanaan reforma asset, yaitu landreform,
redistribusi tanah, dan legalisasi asset.
(3) Threat dan treatment pelaksanaan reforma akses
(4) Wujud kesejahteraan dan keadilan sosial di kalangan peserta reforma
agraria.
b. Data Sekunder, diperoleh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, seperti:
(1) Realisasi redistribusi tanah di Provinsi Jawa Timur, tahun 2007 – 2017.
(2) Realisasi redistribusi tanah di Kabupaten Blitar, tahun 2007 – 2017.
6. Teknik dan Instrumen Pengambilan Data
a. Pengambilan data primer dari informan dilakukan dengan menggunakan
teknik wawancara, serta memanfaatkan instrumen panduan wawancara
(interview guide) dan alat pencatat.
b. Pengambilan data sekunder dari Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar
dilakukan dengan teknik dokumentasi, serta menggunakan instrumen alat
pencatat.
7. Teknik Analisis Data
Pada penelitian kualitatif digunakan suatu teknik analisis data yang khas
kualitatif, yang tahapannya sebagai berikut:
a. Telaah Awal Seluruh Data
Tahap ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data secara cermat, yang
bersumber dari para informan, yang materinya relevan dengan pertanyaan
penelitian;
b. Reduksi dan Abstraksi Data
Tahap ini dilakukan dengan cara melakukan penghapusan sebagian data
yang meskipun relevan tetapi tidak diperlukan dalam menyusun abstraksi;
c. Penyusunan Satuan Informasi Terkecil
Tahap ini dilakukan dengan cara menyusun abstraksi data dalam satuan-
satuan informasi terkecil yang mengandung makna, dan dapat berdiri
25
sendiri. Satuan-satuan informasi ini harus memiliki makna yang terkait
dengan pertanyaan penelitian, yang keberadaan maknanya tidak
tergantung pada keberadaan makna-makna lainnya. Tepatnya, saat makna
ini secara tunggal diungkapkan, maka makna ini dapat difahami;
d. Pengelompokan Satuan Informasi Terkecil
Tahap ini dilakukan dengan cara mengelompokan satuan-satuan informasi
terkecil yang berhasil diperoleh dari penelitian ke dalam kategori-kategori,
yang disusun berdasarkan substansi yang terkait dengan pertanyaan
penelitian;
e. Penyusunan Pernyataan Proposisional
Tahap ini dilakukan dengan menyusun pernyataan logis, yang diperoleh
dari masing-masing kategori. Pernyataan ini (pernyataan proposisional)
merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian, yang sekaligus merupakan
penjelasan atas fenomena yang sedang diteliti.
(Sumber: Moleong, 2007:248-277).
26
B A B IV
THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA REGULASI
Pelaksanaan reforma agraria di wilayah Kabupaten Blitar, dilakukan dengan
memperhatikan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan reforma agraria,
dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan reforma agraria, antara
lain: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2)
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam; (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria; (4) Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; (5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan; (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial; (7) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; (8) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Tanah Pertanian Pangan Berkelanjutan; (9) Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; (10)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (11) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; (12) Peraturan Pemerintah Nomor
224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian; (13) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan
dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian; (14) Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
Atas Tanah; (15) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; (16) Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun
2018 tentang Reforma Agraria;
27
Peraturan terbaru, yang sekaligus merupakan kebijakan terbaru reforma
agraria adalah Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria,
yang memiliki sistematika sebagai berikut: Pertama, Ketentuan Umum (Bab I: Pasal
1); Kedua, Tujuan (Bab II: Pasal 2); Ketiga, Penyelenggaraan Reforma Agraria (Bab
III: Pasal 3-16), terdiri dari: (1) Umum (Bagian Kesatu: Pasal 3); (2) Perencanaan
Reforma Agraria (Bagian Kedua: Pasal 4); (3) Pelaksanaan Reforma Agraria (Bagian
Ketiga: Pasal 5-16), yang terdiri dari: (a) Pelaksanaan Reforma Agraria (Pasal 5); (b)
Penataan Asset (Paragraf 1: Pasal 6-14); (c) Penataan Akses (Paragraf 2: Pasal 15-
16); Keempat, Penanganan Sengketa dan Konflik Agraria (Bab IV: Pasal 17);
Kelima, Kelembagaan Reforma Agraria (Bab V: Pasal: 18-23); Keenam, Kewajiban
dan Larangan Penerima Tanah Obyek Reforma Agraria (Bab VI: Pasal 24-26);
Ketujuh, Pendanaan (Bab VII: Pasal 27); Kedelapan, Pelaporan (Bab VIII: Pasal 28-
29); Kesembilan, Peran Serta Masyarakat (Bab IX: Pasal 30); Kesepuluh,
Ketentuan Penutup (Bab X: Pasal 31-33).
Sesungguhnya peraturan perundang-undangan reforma agraria sudah relatif
lengkap, meskipun adakalanya terdapat threat regulasi reforma agraria. Oleh karena
itu, hal yang mendesak dalam reforma regulasi bukanlah menciptakan regulasi baru
atau mengganti secara total regulasi yang ada, melainkan mencermati threat dalam
regulasi dan menyiapkan treatmentnya, terutama regulasi yang menjadi acuan
utama pelaksanaan reforma agraria, yaitu Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun
2018 tentang Reforma Agraria.
I. Threat Dalam Regulasi
Regulasi reforma agraria (agrarian reform regulation) yang meliputi
regulasi reforma asset (asset reform regulation) dan regulasi reforma akses
(access reform regulation) ternyata juga membutuhkan reformasi, yang lebih
dikenal dengan sebutan “reforma regulasi” atau “regulation reform”. Pada
akhirnya reforma regulasi inilah yang menjadi unsur penting dalam pelaksanaan
reforma agraria, karena berisi perbaikan (reforma) atas kebijakan yang berpihak
pada rakyat, masyarakat, petani kecil, atau petani penggarap.
28
Reforma regulasi diwujudkan dalam bentuk perbaikan kebijakan yang
terkait dengan pengelolaan sumberdaya agraria/tanah, agar tidak menghambat
reforma agraria. Tepatnya, diperlukan perbaikan terjadap beberapa kebijakan
yang bersifat eksploitatif, sentralistik, sektoral, berpihak pada pemodal besar,
dan mengabaikan hak asasi manusia. Selain itu, reforma regulasi juga perlu
menjangkau perubahan kebijakan yang terkait dengan subsidi dan tarif pajak,
agar perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah semakin adil.
Sementara itu, dalam konteks pedesaan reforma regulasi perlu menjangkau
kebijakan yang terkait dengan redistribusi tanah, program kredit, dan investasi di
bidang infrastruktur.
Tetapi reforma regulasi dalam pelaksanaannya berpeluang mengalami
threat atau ancaman, tantangan, hambatan, dan kendala, sehingga gagal memberi
manfaat bagi pelaksanaan reforma agraria. Oleh karena itu, reforma regulasi
perlu dilakukan secara agresif-diversifikatif, agar dapat memanfaatkan kekuatan
internal untuk menghadapi threat yang ada, terutama dalam hal-hal yang
berkaitan dengan peran dan fungsi para pihak. Selain itu, reforma regulasi juga
perlu dilakukan secara reduktif-defensif, untuk mengatasi kelemahan internal,
agar mampu menghadapi threat yang ada, terutama dalam hal-hal yang berkaitan
dengan upaya untuk berpegang atau berpedoman pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Uniknya, setelah memperhatikan Perpres 86 Tahun 2018 sebagai kebijakan
bagi pelaksanaan reforma agraria, maka diketahui adanya beberapa threat dalam
regulasi tersebut, yang dapat disarikan sebagai berikut:
1. Regulasi landreform yang ada justru menjadi threat, ketika upaya mengatasi
ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah (lihat Pasal 2 Perpres 86 Tahun
2018) mengalami kesulitan, karena pemerintah masih terus mengandalkan
kemajuan pertanian pada pengelolaan tanah berskala besar, terutama yang
dikelola oleh perusahaan besar atau korporasi.
2. Regulasi redistribusi tanah yang ada justru menjadi threat, ketika subyek
reforma agraria (Pasal 12 Perpres 86 Tahun 2018) terlalu luas, sehingga sulit
29
mengentaskan kemiskinan yang menimpa para petani gurem, penggarap, dan
buruh tani.
3. Regulasi legalisasi asset justru menjadi threat, ketika penanganan sengketa
dan konflik agraria difasilitasi oleh GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria).
Sementara itu diketahui, bahwa GTRA berjenjang dari Pusat hingga Provinsi
dan Kabupaten (Pasal 18-23 Perpres 86 Tahun 2018), sehingga memberi
peluang bagi terjadinya intervensi dari GTRA level atas terhadap GTRA level di
bawahnya. Hal ini akan menyulitkan GTRA di level terbawah dalam mengambil
keputusan, padahal GTRA pada level inilah yang paling mengetahui konflik
agraria yang terjadi.
4. Regulasi reforma akses justru menjadi threat, ketika penataan akses (Pasal 15-
16 Perpres 86 Tahun 2018) memposisikan masyarakat hanya sebagai obyek,
dan belum bersedia memposisikan masyarakat sebagai subyek (pihak yang
menentukan kebutuhannya sendiri).
J. Treatment Bagi Regulasi
Sebagaimana diketahui reforma agraria memiliki dua elemen penting, yang
menentukan keberhasilannya, yaitu:
1. Akses ke pengelolaan tanah, yang diatasi dengan reforma asset atau asset
reform (terdiri dari: landreform, redistribusi tanah, dan legalisasi asset).
2. Akses ke instrumen penunjang pengelolaan tanah, yang diatasi dengan
reforma akses atau access reform.
Reforma asset dan reforma akses memerlukan regulasi pendukung, agar
keduanya dapat dilaksanakan dengan baik, dan dampak reforma agraria dapat
dirasakan oleh masyarakat (petani penggarap). Tetapi ada kalanya regulasi yang
ada tidak mampu mewujudkan dampak tersebut, sehingga akhirnya diperlukan
reforma regulasi. Uniknya, reforma regulasi juga mengalami threat, sehingga
memerlukan treatment.
Treatment mendorong semua pihak yang terkait dengan reforma agraria,
untuk bertindak relevan dengan kebutuhan reforma asset dan reforma akses.
Untuk itu, semua pihak yang terkait perlu memberi perlindungan atau pelayanan
30
reforma agraria kepada masyarakat. Secara real, hal tersebut menuntut upaya
kantor pertanahan dalam mengarahkan tindakan para pihak, agar sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, pelibatan kantor
pertanahan pada kegiatan reforma agraria, harus memiliki dampak optimal bagi
kemanfaatannya di masyarakat.
Uniknya, kantor pertanahan dan pihak-pihak terkait harus tunduk pada
kebijakan reforma agraria yang ditetapkan oleh pemerintah, yang tertuang dalam
Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Padahal
terdapat threat pada Perpres 86 Tahun 2018 sebagai kebijakan pelaksanaan
reforma agraria, sehingga diperlukan treatment, sebagai berikut:
1. Regulasi landreform membutuhkan treatment untuk mengatasi ketimpangan
penguasaan dan pemilikan tanah (lihat Pasal 2 Perpres 86 Tahun 2018). Oleh
karena itu, pemerintah perlu mengubah paradigma kemajuan pertanian dari
sebelumnya kemajuan berbasis pengelolaan tanah berskala besar (perusahaan
besar atau korporasi), menjadi berbasis pada pengelolaan tanah berskala kecil
(petani, kelompok tani, dan koperasi tani).
2. Regulasi redistribusi tanah, membutuhkan treatment untuk dapat fokus pada
upaya mengentaskan kemiskinan yang menimpa para petani gurem,
penggarap, dan buruh tani. Oleh karena itu, subyek reforma agraria (Pasal 12
Perpres 86 Tahun 2018) yang terlalu luas perlu dipersempit.
3. Regulasi legalisasi asset, membutuhkan treatment dalam hal penanganan
sengketa dan konflik agraria yang difasilitasi oleh GTRA. Oleh karena itu, GTRA
yang berjenjang dari Pusat hingga Provinsi dan Kabupaten (Pasal 18-23
Perpres 86 Tahun 2018) perlu diantisipasi dengan menciptakan efektivitas
kerja, melalui pemberian kewenangan pada GTRA di level paling bawah atau
GTRA Kabupaten, untuk mengambil keputusan sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat.
4. Regulasi reforma akses, membutuhkan treatment berupa penguatan peran
serta masyarakat (petani penggarap) setempat sebagai subyek atau pihak
yang paling mengetahui kebutuhannya, karena regulasi hanya memberi posisi
31
masyarakat sebatas obyek dalam penataan akses (Pasal 15-16 Perpres 86
Tahun 2018).
Untuk lebih mudah memahami beberapa treatment yang dapat dilakukan
agar mampu mengatasi threat pada regulasi reforma agraria, maka dapat
diperhatikan tabel berikut ini:
Tabel 2: Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Regulasi Reforma Agraria
NO. R E G U L A S I R E F O R M A A G R A R I A
T H R E A T T R E A T M E N T
1.
Regulasi Landreform:
Paradigma kemajuan pertanian
berbasis pada pengelolaan tanah
berskala besar (perusahaan besar
atau korporasi), untuk mengatasi
ketimpangan penguasaan dan
pemilikan tanah (Pasal 2 Perpres
86 Tahun 2018).
Regulasi Landreform:
Paradigma kemajuan pertanian berbasis
pada pengelolaan tanah berskala kecil
(petani, kelompok tani, dan koperasi
tani), untuk mengatasi ketimpangan
penguasaan dan pemilikan tanah.
2. Regulasi Redistribusi Tanah:
Subyek reforma agraria terlalu
luas (Pasal 12 Perpres 86 Tahun
2018), sehingga tidak fokus pada
upaya pengentasan kemiskinan
yang menimpa para petani gurem,
penggarap, dan buruh tani.
Regulasi Redistribusi Tanah:
Subyek reforma agraria perlu
dipersempit, agar fokus pada upaya
pengentasan kemiskinan yang menimpa
para petani gurem, penggarap, dan
buruh tani.
3. Regulasi Legalisasi Asset:
GTRA berjenjang dari Pusat
hingga Provinsi dan Kabupaten
(Pasal 18-23 Perpres 86 Tahun
2018),
Regulasi Legalisasi Asset:
GTRA di level paling bawah atau
GTRA Kabupaten perlu diberi
kewenangan untuk mengambil
keputusan, sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat.
4. Regulasi Reforma Akses:
Posisi masyarakat hanya sebatas
obyek dalam penataan akses
(Pasal 15-16 Perpres 86 Tahun
2018),
Regulasi Reforma Akses:
Penguatan peran serta masyarakat
setempat (petani penggarap) sebagai
pihak yang paling mengetahui
kebutuhannya.
Sumber: Data Primer, 2019
32
B A B V
THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA ASSET K. Threat Dalam Reforma Asset
1. Threat Dalam Landreform
Pelaksanaan landreform cenderung top down, dan kurang memberi
peluang bagi terselenggaranya landreform yang bersifat bottom up. Akibatnya
banyak konflik agraria yang berlatar belakang landreform (ketimpangan
penguasaan dan pemilikan tanah) belum dapat ditangani. Dalam konteks ini,
Kabupaten Blitar memiliki wilayah konflik, yang meliputi 7 lokasi, dengan
perincian sebagai berikut:
a. Dusun Gondang Tapen, Desa Ringinrejo, Kecamatan Wates, seluas 854 Ha
(Perkebunan Gondang Tapen);
b. Dusun Penataran, Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, seluas 400 Ha
(Perkebunan Nusantara XII);
c. Dusun Karangnongko, Desa Modangan, Kecamatan Nglegok, seluas 224 Ha
(Perkebunan Karangnongko);
d. Dusun Nyunyur, Desa Soso, Kecamatan Gandusari, seluas 368 Ha
(Perkebunan Nyunyur);
e. Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan dan Dusun Rejokaton, Desa
Sumberagung, Kecamatan Gandusari, seluas 558 Ha (Perkebunan Rotorejo
Kruwuk);
f. Desa Karangrejo, Kecamatan Garum, seluas 504 Ha (Perkebunan Swaru
Buluroto) dan 434 Ha (Perkebunan Petung Ombo);
g. Desa Ngeni dan Desa Ngadipuro, Kecamatan Wonotirto, serta Desa Serang,
Kecamatan Wonotirto, yang luas seluruhnya mencapai 2.117 Ha
(Perkebunan Gunung Nyamil).
Tetapi landreform yang cenderung top down atau landreform by grace,
tidak menyurutkan semangat para petani penggarap yang tidak memiliki
tanah untuk mendesakkan pelaksanaan landreform yang bersifat bottom up
33
atau landreform by leverage. Situasi ini berpeluang mempengaruhi struktur
agraria, yang meliputi:
a. Land tenure, yaitu hak atas tanah atau penguasaan tanah; dan
b. Land tenancy, yaitu orang yang memiliki, menempati, menyewa, atau
menguasai sebidang tanah tertentu.
Desakan bagi pelaksanaan landreform nampak pada hadirnya berbagai
konflik agraria atau pertanahan di tanah perkebunan. Hal ini mempertegas
situasi, bahwa konflik agraria yang terjadi di suatu wilayah merupakan
penanda adanya threat dalam landreform. Situasi ini dapat dilihat di
Kabupaten Blitar, tepatnya di lokasi Perkebunan Nyunyur. Tindakan
Pemerintah Kabupaten Blitar memasukkan tanah seluas 100 Ha yang telah
diredistribusikan kepada petani (masyarakat) ke dalam hak guna usaha PT.
Nyunyur Baru, menimbulkan protes para petani yang berhak atas tanah
tersebut. Protes dikarenakan sesungguhnya tanah tersebut telah selesai
diredistribusikan kepada 185 rumah tangga petani tahun 1964 berdasarkan
SK (Surat Keputusan) Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964.
Oleh karena itu, masyarakat menuntut Pemerintah Kabupaten Blitar pada
tahun 1980. Masyarakat menuntut agar Pemerintah Kabupaten Blitar bersedia
mengembalikan tanah mereka yang berada dalam Perkebunan Nyunyur, yang
merupakan tanah obyek landreform tahun 1964.
Setelah melalui berbagai proses sejak dari Pemerintah Kabupaten Blitar
hingga Kementerian Dalam Negeri, maka tuntutan masyarakat dikabulkan
dengan diterbitkannya SK. Menteri Dalam Negeri Nomor 92/DJA/1981 tanggal
11 Agustus 1981, yang menyatakan bahwa hak guna usaha PT. Nyunyur Baru
telah dibatalkan, dan Pemerintah Kabupaten Blitar harus menyerahkan 100
Ha tanah Perkebunan Nyunyur yang menjadi hak masyarakat berdasarkan SK.
Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964.
Tetapi menurut masyarakat, tanah perkebunan yang diserahkan kepada
masyarakat oleh Pemerintah Kabupaten Blitar, merupakan tanah perkebunan
yang terjal dan berbatu, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian
dan permukiman. Padahal tanah yang dikuasai oleh masyarakat pada tahun
34
1964 adalah tanah yang subur, tetapi telah dimasukkan oleh Pemerintah
Kabupaten Blitar ke dalam hak guna usaha PT. Kismo Handayani. Sebagaimana
diketahui, PT. Kismo Handayani merupakan nama baru PT. Nyunyur Baru,
yang kembali mengajukan hak guna usaha atas sisa tanah Perkebunan
Nyunyur, seluas 368 Ha. Perusahaan ini telah mengantongi hak guna usaha
untuk jangka waktu 25 tahun, terhitung 1985-2010.
Selain di Perkebunan Nyunyur, threat dalam landreform juga nampak
pada situasi di Perkebunan Petung Ombo. Konflik pertanahan di Perkebunan
Petung Ombo melibatkan petani, militer, dan penegak hukum. Konflik ini telah
berlangsung sejak tahun 1960, yang memiliki akar masalah berupa pengambil-
alihan tanah rakyat secara represif (repressive approach).
Perkebunan Petung Ombo terdiri dari tanaman karet, kopi, kelapa,
cengkeh, tebu, dan beberapa tanaman palawija, peternakan ayam, dan kolam
ikan. Di lokasi perkebunan juga terdapat perkampungan yang terpencil yang
terdiri dari beberapa bangunan rumah yang saling bersambungan, yang sudah
ada sejak zaman Kolonial Belanda, dan sampai tahun 2010 masih dihuni oleh
petani.
Tanah perkebunan Petung Ombo yang subur, ternyata bertolak belakang
dengan kondisi masyarakat (petani) yang miskin. Hubungan petani di wilayah
Petung Ombo dengan Perkebunan Petung Ombo bersifat magersari, yaitu
mereka hanya dipekerjakan sebagai buruh perkebunan dengan upah
Rp.9.000,- per hari (pada tahun 2010). Sementara itu, sebagai buruh
perkebunan mereka (petani) hanya diberi kesempatan menyadap getah karet
dan memanjat pohon kelapa. Uniknya, seluruh tanaman (perkebunan) dan
permukiman tersebut dianggap milik Puskopad Kodam V/Brawijaya, yang
sampai dengan tahun 2010 belum memiliki sertipikat HGU atas tanah.
Konflik pertanahan muncul, ketika petani setempat (masyarakat)
melakukan perlawanan terhadap Puskopad Kodam V/Brawijaya, dengan cara
sebagai berikut:
35
a. Untuk melakukan perlawanan di Pengadilan, petani memberi kuasa kepada
LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Surabaya dan Komnas HAM (Hak Asasi
Manusia).
b. Untuk aksi lokal mempertahankan tanah yang menjadi haknya, para petani
mencabut tanda larangan dan bertempat tinggal di lokasi konflik.
c. Para petani juga melakukan aksi unjuk rasa dan penyampaian masalah di
Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia).
Threat dalam landreform sebagaimana yang terlihat pada Perkebunan
Petung Ombo merupakan tantangan dan sekaligus desakan bagi pelaksanaan
landreform. Petani atau masyarakat setempat menuntut dilaksanakannya
landreform, yang oleh para ilmuwan agraria disebut sebagai landreform by
leverage. Situasi ini juga terjadi di Perkebunan Kulonbambang, yang
wilayahnya berbatasan:
a. di sebelah Utara dan Timur dengan Perkebunan Sirah Kencong yang
dikuasai dan dikelola PTP XXIII Bantaran.
b. di sebelah Selatan dengan Perkebunan Pidjiombo yang dikuasai dan
dikelola oleh Perhutani.
c. di sebelah Barat dan Utara berbatasan dengan Hutan Lindung Gunung Kawi
dan Gunung Batok.
Perkebunan Kulonbambang merupakan bekas hak erfpacht verponding:
(1) Nomor 71, seluas 204,97 Ha; (2) Nomor 232, seluas 629,54 Ha; (3) Nomor
236, seluas 63,14 Ha; (4) Nomor 311, seluas 34,11 Ha, dan (5) Nomor 327,
seluas 4,31 Ha. Berdasarkan erfpacht verponding tersebut, maka secara
keseluruhan perkebunan ini luasnya mencapai 936,07 Ha. Pada masa itu
pemegang hak erfpacht Perkebunan Kulonbambang adalah NV. Cultuur
Maatschappy Ardirejo te Soerabaja. Uniknya, pada tahun 1949 masyarakat
telah memiliki pemukiman di lokasi Perkebunan Kulonbambang dan secara
administrasi diakui sebagai Desa Bangunsari. Tetapi pada tahun 1966,
masyarakat Desa Bangunsari hanya diizinkan menggarap tanah, dan tidak
diakui kepemilikan atas tanahnya di lokasi Perkebunan Kulonbambang.
36
Pada tahun 1973, hak guna usaha diberikan kepada PT. Sari Bumi Kawi
dengan SK Menteri Dalam Negeri Nomor SK.77/HGU/DA/1973 tanggal 20
Oktober 1973. Pada tahun itu (1973), Desa Bangunsari dihapuskan, dan
masyarakat yang berada di desa ini menjadi warga perkebunan, yang secara
administratif masuk dalam wilayah Desa Sumberurip. Hal ini menjadikan
wilayah Desa Sumberurip memiliki dua kategori, yaitu: Desa Sumberurip yang
berada di wilayah perkebunan, dan Desa Sumberurip yang berada di luar
wilayah perkebunan. Ketika menjadi warga perkebunan inilah, petani
Kulonbambang disebut sebagai orang persil, yaitu kelas rendah di kalangan
masyarakat yang mengalami kemiskinan akut. Peristiwa tahun 1973 di
Perkebunan Kulonbambang inilah yang kelak menjadi pemicu terjadinya
konflik antara pihak perkebunan melawan para petani (penggarap) setempat
di masa yang akan datang.
Realitas ini dan berbagai realitas sejenisnya menjadi penanda, bahwa
threat dalam landreform terlihat ketika Pemerintah Indonesia ternyata lebih
fokus pada pelaksanaan landreform yang bersifat top down (landreform by
grace). Sementara itu, masyarakat atau para petani penggarap (petani yang
tidak memiliki tanah) justru melakukan gerakan yang dapat dikategori sebagai
landreform yang bersifat bottom up atau landreform by leverage.
Landreform by leverage ditandai oleh banyaknya terjadi konflik dan
sengketa pertanahan, yang dilatar-belakangi oleh ketimpangan penguasaan
dan pemilikan tanah di suatu wilayah. Konflik dan sengketa pertanahan di
Kabupaten Blitar terutama terjadi di wilayah perkebunan, yang melibatkan
multi pihak, seperti petani, militer, perkebunan dan penegak hukum. Hal ini
telah berlangsung sejak lama (tahun 1960), dan memiliki akar masalah berupa
pengambil-alihan tanah rakyat secara represif (repressive approach) di masa
lalu. Oleh karena itu, masyarakat atau para petani penggarap melakukan
reclaiming tanah sebagai wujud perjuangan landreform by leverage.
37
2. Threat Dalam Redistribusi Tanah
Threat dalam redistribusi tanah ditandai berbagai tantangan, hambatan,
gangguan, dan kendala dalam pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten
Blitar. Sebagai contoh dapat dilihat pada situasi yang terjadi di Perkebunan
Nyunyur, ketika pada tahun 1974 tanah perkebunan seluas 100 Ha yang oleh
Panitia Landreform diperuntukkan bagi 185 rumah tangga petani dari Desa
Soso, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, ternyata oleh Pemerintah
Kabupaten Blitar dimasukkan ke dalam hak guna usaha PT. Nyunyur Baru.
Padahal pada tahun 1964, berdasarkan SK (Surat Keputusan) Menteri
Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964, tanah seluas 100 Ha telah
diredistribusikan kepada 185 rumah tangga petani.
Masyarakat atau petani penggarap yang menduduki tanah hasil
redistribusi tersebut dijanjikan akan dipindahkan ke perkampungan di Desa
Soso. Kepada masing-masing rumah tangga petani (total: 185 rumah tangga
petani) juga dijanjikan diberi ganti rugi tanah dalam perkebunan seluas 0,03
Ha, serta diakui sebagai karyawan kebun. Pada awalnya petani (masyarakat)
menolak rencana tersebut, tetapi akhirnya tunduk karena bila tidak segera
pindah akan diusir oleh oknum tertentu. Selanjutnya proses pemindahan
ternyata tidak berjalan lancar, karena dari 185 rumah tangga petani, ternyata
yang mendapat ganti rugi hanya 50 rumah tangga petani.
Masyarakat merasa sangat dirugikan oleh tindakan Pemerintah
Kabupaten Blitar, sehingga mereka kemudian menuntut Pemerintah
Kabupaten Blitar, untuk melakukan redistribusi tanah ulang. Tetapi
Pemerintah Kabupaten Blitar tidak dapat mengabulkan permintaan tersebut,
karena PT. Kismo Handayani tidak bersedia melepaskan sebagian tanah hak
guna usahanya. Oleh karena itu, masyarakat kemudian melakukan demontrasi,
hearing dengan pihak terkait, dan mediasi. Tetapi PT. Kismo Handayani tetap
tidak bersedia melepaskan sebagian tanah hak guna usahanya.
Akhirnya pada 10 Juli 2008, masyarakat melakukan reclaiming tanah,
yaitu perebutan tanah secara paksa, untuk mengambil kembali bidang tanah
yang telah dikuasai pihak lain. Selanjutnya pada 25 Oktober 2010, masyarakat
38
mengajak PT. Kismo Handayani melakukan mediasi, tetapi kegiatan ini tidak
memberi hasil yang memuaskan masyarakat. Kemudian masyarakat Desa Soso
berjalan kaki ke Kantor Ombudsman di Jakarta, untuk mengadukan nasibnya,
dan diterima oleh Ombusdman pada 11 Januari 2012.
Karena tidak kunjung menemukan solusi, masyarakat Desa Soso
berjumlah 1.500 orang petani kembali melakukan reclaiming tanah pada 1 Juli
2012, dengan membabati seluruh tanaman perkebunan seluas 368 Ha, dan
menggantinya dengan tanaman masyarakat. Pada tanggal 16 Juli 2012 datang
Tim Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden), untuk menyelesaikan
masalah tersebut, karena Pemerintah Kabupaten Blitar tidak lagi mampu
menyelesaikannya. Namun hingga saat ini konflik tersebut belum dapat
diselesaikan.
Peristiwa di Perkebunan Nyunyur, Kabupaten Blitar menunjukkan,
bahwa threat dalam redistribusi tanah terjadi ketika keputusan panitia
landreform tidak dilaksanakan, dan diganti dengan keputusan lain yang
bertentangan. Keputusan yang bertentangan tersebut, pada akhirnya
menimbulkan konflik dan sengketa pertanahan antara masyarakat dengan
pemerintah (pemerintah kabupaten) dan pihak perkebunan.
Situasi yang mirip juga terjadi di Perkebunan Kulonbambang di masa
awal reformasi. Sebagaimana diketahui reformasi tahun 1998, dimanfaatkan
oleh petani Kulonbambang, untuk berupaya merebut kembali tanahnya, yang
disebut dengan istilah reclaiming. Masyarakat tergabung dalam organisasi
Pawartaku (Paguyuban Warga Tani Kulonbambang), yang (organisasi ini) juga
merupakan anggota organisasi Paguyuban Petani Aryo Blitar.
Luas Perkebunan Kulonbambang sebelum diredistribusikan mencapai
936 Ha, yang terdiri dari teh dan kopi seluas 420 Ha, dan cengkeh seluas 328
Ha. Konflik Kulonbambang mulai berlangsung pada tahun 1998, dan berakhir
pada tahun 2002, setelah Bupati Blitar mengeluarkan keputusan yang isinya,
sebagai berikut:
39
a. melepaskan sebagian dari wilayah hak guna usaha seluas 255 Ha, untuk
dijadikan obyek landreform, dan akan diredistribusikan kepada masyarakat
yang telah berhak menerimanya, sesuai dengan tuntutan masyarakat;
b. mengajukan perpanjangan hak guna usaha Perkebunan Kulonbambang
kepada instansi yang berwenang.
Sebagai tindak lanjut Keputusan Bupati Blitar tersebut, maka pada
tanggal 1 Mei 2003, Direktur PT. Sari Bumi Kawi mewakili pihak Direksi PT.
Sari Bumi Kawi melepaskan hak atas tanah seluas 255 Ha dengan akta notaris,
untuk diredistribusikan kepada masyarakat (para petani penggarap) Dusun
Kulonbambang. Tetapi ternyata dalam pelaksanaannya PT. Sari Bumi Kawi
tidak segera melakukan pelepasan hak atas tanah, sehingga masyarakat
Kulonbambang kembali melakukan perlawanan.
Situasi yang telah memanas ini, kemudian mendorong Kantor
Pertanahan Kabupaten Blitar berinisiatif melakukan mediasi, untuk
mempertemukan PT. Sari Bumi Kawi dengan masyarakat Kulonbambang.
Hasilnya disepakati luas tanah yang akan diredistribusikan bukanlah 255 Ha,
melainkan 280 Ha. Akhirnya, pada tahun 2010, PT. Sari Bumi Kawi membuat
Akta Pelepasan Hak. Hal ini direspon oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar
dengan membentuk Panitia Landreform, yang terdiri dari:
a. Bupati Blitar;
b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar;
c. Kepala Kepolisian Resort Kabupaten Blitar;
d. Ketua HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) Kabupaten Blitar;
e. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Blitar;
f. Camat Doko; dan
g. Kepala Desa Sumberurip.
Berdasarkan situasi di Perkebunan Nyunyur dan situasi di Perkebunan
Kulonbambang nampaklah, bahwa threat dalam redistribusi tanah terjadi
ketika keputusan panitia landreform tidak dilaksanakan, dan diganti dengan
keputusan lain yang bertentangan. Keputusan yang bertentangan tersebut,
akhirnya menimbulkan konflik dan sengketa pertanahan antara masyarakat
40
(petani penggarap) dengan pihak perkebunan, pengambil keputusan dan
pihak terkait lainnya.
Konflik dan sengketa pertanahan antara masyarakat dengan pihak
perkebunan mewujud dalam bentuk reclaiming dan penguasaan tanah oleh
masyarakat. Konflik dan sengketa pertanahan mereda saat reclaiming dan
penguasaan tanah oleh masyarakat diakui oleh pihak perkebunan. Setelah
konflik dan sengketa pertanahan dapat diselesaikan, maka Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar dapat melakukan redistribusi tanah.
Sebagaimana diketahui, ada 7 lokasi perkebunan di wilayah Kabupaten
Blitar yang dapat menyediakan tanah untuk diredistribusikan kepada
masyarakat atau petani penggarap. Keyakinan ini muncul, ketika 7 pengelola
perkebunan tersebut bersedia melepaskan sebagian tanah perkebunan yang
dikuasainya kepada masyarakat. Walaupun kemudian kesediaan ini belum
disetujui masyarakat, karena mereka menuntut areal yang lebih luas.
Meskipun belum disepakati, kesediaan pengelola perkebunan tersebut
dapat dikatakan sebagai threat (tantangan) dalam redistribusi tanah. Bila
dapat ditreatment dengan baik, maka threat ini akan berguna bagi masyarakat,
karena dapat menyediakan 882 Ha tanah untuk diredistribusikan, yang
tersebar di 7 lokasi perkebunan, sebagai berikut:
a. Perkebunan Gondang Tapen, seluas 50 Ha, setelah PT. Semen Bima Agung
bersedia menyerahkan tanah tersebut kepada Masyarakat Desa Ringinrejo
pada tahun 2009. Tetapi kesediaan ini belum terlaksana, karena Masyarakat
Desa Ringinrejo menuntut penyerahan tanah seluas 854 Ha (seluruh areal
Perkebunan Gondang Tapen)
b. Perkebunan Nusantara XII, seluas 70 Ha, setelah PT. Perkebunan Nusantara
XII bersedia menyerahkan tanah tersebut kepada Masyarakat Desa
Penataran pada tahun 2017. Tetapi kesediaan ini belum terlaksana, karena
masih menunggu rekomendasi Menteri BUMN dan Menteri Keuangan.
c. Perkebunan Nyunyur, seluas 74 Ha, setelah PT. Kismo Handayani bersedia
menyerahkan tanah sengketa tersebut kepada Masyarakat Dusun Nyunyur
41
pada tahun 2012. Tetapi kesediaan ini belum terlaksana, karena Masyarakat
Dusun Nyunyur tetap menuntut penyerahan tanah seluas 100 Ha.
d. Perkebunan Rotorejo Kruwuk, seluas 24 Ha, setelah PT. Perkebunan
Rotorejo Kruwuk bersedia melepaskan tanah tersebut pada Masyarakat
Desa Gadungan pada tahun 2017. Tetapi kesediaan ini belum terlaksana,
karena Masyarakat Desa Gadungan menuntut penyerahan tanah seluas 150
Ha.
e. Perkebunan Swaru Buluroto, seluas 100 Ha, setelah PT. Kemakmuran
Swaru Buluroto bersedia melepaskan tanah tersebut kepada Masyarakat
Desa Karangrejo pada tahun 2016. Tetapi kesediaan ini belum terlaksana,
karena Masyarakat Desa Karangrejo menuntut penyerahan tanah seluas
412 Ha.
f. Perkebunan Gunung Nyamil di Desa Ngeni dan Desa Ngadipuro, Kecamatan
Wonotirto, serta Desa Serang, Kecamatan Wonotirto: Puskopad Kodam
V/Brawijaya bersedia melepaskan tanahnya, seluas 426 Ha kepada petani
penggarap dari Desa Ngeni, Desa Ngadipuro, dan Desa Serang.
g. Perkebunan Petung Ombo di Desa Karangrejo, Kecamatan Garum:
Berdasarkan SK. Panglima Kodam V/Brawijaya Nomor SKEP/135/X/2001,
tanggal 16 Oktober 2001, akhirnya pada tahun yang sama Puskopad Kodam
V/Brawijaya bersedia melepaskan tanah seluas 138 Ha, kepada petani
penggarap dari Desa Karangrejo.
3. Threat Dalam Legalisasi Asset
Threat dalam legalisasi asset dapat berupa tantangan, hambatan,
gangguan, dan kendala dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, yang
meliputi adjudikasi, pendaftaran hak atas tanah, serta penerbitan sertipikat
hak atas tanah. Tantangan, hambatan, gangguan, dan kendala juga dapat
dialami saat pengumpulan data fisik dan data yuridis, pengumuman data fisik
dan data yuridis, dan penetapan dan/atau penerbitan surat keputusan
pengakuan atau pemberian hak atas tanah.
42
Pada konteks Kabupaten Blitar, threat dalam legalisasi asset berupa
tantangan dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, yang dialami karena
legalisasi asset barulah dapat dilakukan ketika redistribusi tanah telah
dilakukan. Sebagaimana diketahui pada kurun waktu tahun 2007 – 2017 telah
diredistribusikan tanah seluas 3.326 Ha, maka sesungguhnya itulah luasan
tanah yang menjadi threat (tantangan) dalam legalisasi asset pada kurun
waktu tersebut.
Hal lain yang juga menjadi threat dalam legalisasi asset adalah kesediaan
pihak perkebunan untuk menyerahkan sebagian tanah yang dikuasainya
kepada masyarakat. Ketika kesediaan pihak perkebunan diterima oleh
masyarakat, maka tanah-tanah tersebut siap untuk diredistribusikan, yang
selanjutnya siap untuk dilakukan legalisasi asset. Sebagaimana diketahui saat
ini tersedia 882 Ha tanah untuk diredistribusikan, yang tersebar di 7 lokasi
perkebunan.
Pada kenyataannya redistribusi tanah di perkebunan-perkebunan
tersebut mengalami kendala, karena kesediaan pihak perkebunan untuk
melepaskan tanah dengan luasan tertentu, ternyata belum bersedia diterima
oleh masyarakat, karena masyarakat justru menuntut areal yang lebih luas.
Hal ini pada gilirannya selain akan dapat menghambat redistribusi tanah juga
akan menghambat legalisasi asset, karena setelah masyarakat memperoleh
tanah (melalui redistribusi tanah) barulah bidang tanahnya tersebut dapat
diikut-sertakan dalam legalisasi asset.
Berdasarkan realita yang terjadi di wilayah Kabupaten Blitar diketahui,
bahwa terdapat threat dalam legalisasi asset, yaitu ketika legalisasi asset
barulah dapat dilakukan setelah redistribusi tanah dilakukan. Sebagaimana
diketahui Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar telah melakukan redistribusi
tanah seluas 3.326 Ha pada kurun waktu tahun 2007 – 2017, yang secara
bertahap juga telah melakukan legalisasi asset.
Redistribusi tanah dapat semakin cepat terwujud, ketika pihak
perkebunan bersedia untuk menyerahkan sebagian tanah yang dikuasainya
kepada masyarakat. Percepatan redistribusi ini pada akhirnya harus direspon
43
dengan percepatan legalisasi asset. Tetapi percepatan legalisasi asset akan
terhambat, ketika percepatan redistribusi tanah telah lebih dahulu terhambat,
oleh ketidak-sediaan masayarakat menerima tanah yang dilepaskan pihak
perkebunan, karena masyarakat menuntut tanah yang lebih luas.
L. Treatment Dalam Reforma Asset
1. Treatment Dalam Landreform
Treatment dalam landreform di Kabupaten Blitar berkaitan dengan
upaya Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, untuk mengarahkan tindakan atau
perilaku para pihak, agar sesuai dengan prinsip-prinsip landreform, seperti:
tanah untuk petani (penggarap) serta keadilan penguasaan dan pemilikan
tanah. Selain itu, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar juga terlibat dalam
upaya perlindungan dan pelayanan kepada petani penggarap, agar tercipta
keadilan penguasaan dan pemilikan tanah di Kabupaten Blitar. Oleh karena
pelaksanaan dan prinsip landreform selalu berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, sehingga treatment dalam landreform berupa upaya
Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dalam mengarahkan tindakan para pihak,
agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara itu, kesadaran tentang pentingnya keadilan penguasaan dan
pemilikan tanah di Kabupaten Blitar telah tumbuh sejak sebelum Indonesia
merdeka. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 1942 ada beberapa perkebunan
di wilayah Kabupaten Blitar yang diduduki oleh masyarakat, karena mereka
lapar tanah dan merasa diperlakukan tidak adil dalam hal penguasaan dan
pemilikan tanah.
Oleh karena itu, pada tahun 1963 Pemerintah Kabupaten Blitar
mengajukan permohonan kepada Menteri Pertanian dan Agraria, agar tanah-
tanah perkebunan yang telah dikuasai masyarakat tersebut dijadikan sebagai
tanah obyek landreform. Permohonan Pemerintah Kabupaten Blitar tersebut
akhirnya dikabulkan Menteri Pertanian dan Agraria pada masa itu, dengan
cara mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 49/Ka./1964.
44
Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964
itulah yang selanjutnya digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Blitar untuk
menyelesaikan konflik dan sengketa penguasaan dan pemilikan tanah di
beberapa perkebunan, sebagai berikut:
a. Perkebunan Gondang Tapen, yang berlokasi di Dusun Gondang Tapen, Desa
Ringinrejo, Kecamatan Wates, seluas 854 Ha;
b. Perkebunan Nusantara XII, yang berlokasi di Dusun Penataran, Desa
Penataran, Kecamatan Nglegok, seluas 400 Ha;
c. Perkebunan Karangnongko, yang berlokasi di Dusun Karangnongko, Desa
Modangan, Kecamatan Nglegok, seluas 224 Ha
d. Perkebunan Nyunyur, yang berlokasi di Dusun Nyunyur, Desa Soso,
Kecamatan Gandusari, seluas 368 Ha;
e. Perkebunan Rotorejo Kruwuk, yang berlokasi di Dusun Sukomulyo (Desa
Gadungan) dan Dusun Rejokaton (Desa Sumberagung), Kecamatan
Gandusari, seluas 558 Ha;
f. Perkebunan Swaru Buluroto, yang berlokasi di Desa Karangrejo, Kecamatan
Garum, seluas 504 Ha;
g. Perkebunan Gunung Nyamil, yang berlokasi di Desa Ngeni dan Desa
Ngadipuro, Kecamatan Wonotirto, serta Desa Serang, Kecamatan
Wonotirto, yang luas seluruhnya mencapai 2.117 Ha;
h. Perkebunan Petung Ombo, yang berlokasi di Desa Karangrejo, Kecamatan
Garum, seluas 434 Ha;
i. Perkebunan Kulonbambang, yang berlokasi di Dusun Kulonbambang, Desa
Sumberurip, Kecamatan Doko, seluas 936 Ha.
Tidak seluruh konflik dan sengketa pertanahan di perkebunan-
perkebunan tersebut dapat diselesaikan, karena membutuhkan waktu dan
kesabaran dalam merumuskan solusi yang tepat dan dapat diterima para
pihak. Meskipun demikian ada konflik dan sengketa pertanahan, yang dapat
diselesaikan oleh Pemerintah Kabupaten Blitar dan Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar bekerjasama dengan pihak perkebunan dan masyarakat yang
45
melakukan reclaiming tanah, yaitu konflik dan sengketa pertanahan di
Perkebunan Kulonbambang.
Perkebunan Kulonbambang merupakan bekas hak erfpacht verponding
yang keseluruhan luasnya mencapai 936,07 Ha, dengan perincian sebagai
berikut:
a. Nomor 71 seluas 204,97 Ha
b. Nomor 232 seluas 629,54 Ha
c. Nomor 236 seluas 63,14 Ha
d. Nomor 311 seluas 34,11 Ha
e. Nomor 327 seluas 4,31 Ha
Pada masa itu pemegang hak erfpacht Perkebunan Kulonbambang
adalah NV. Cultuur Maatschappy Ardirejo te Soerabaja. Tahun 1949
masyarakat telah memiliki pemukiman di lokasi Perkebunan Kulonbambang
dan secara administrasi diakui sebagai Desa Bangunsari. Pada tahun 1963
Pemerintah Kabupaten Blitar mengajukan permohonan kepada Menteri
Pertanian dan Agraria, agar tanah-tanah perkebunan yang dikuasai
masyarakat tersebut dijadikan sebagai obyek landreform. Permohonan
Pemerintah Kabupaten Blitar akhirnya dikabulkan oleh Menteri Pertanian dan
Agraria dengan cara mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 49/Ka./1964.
Tetapi dalam perkembangannya, pada tahun 1966, ternyata masyarakat
Desa Bangunsari hanya diizinkan menggarap tanah, dan tidak diakui
kepemilikannya atas tanah di lokasi Perkebunan Kulonbambang. Tahun 1973,
hak guna usaha diberikan kepada PT. Sari Bumi Kawi dengan SK Menteri
Dalam Negeri Nomor SK.77/HGU/DA/1973 tanggal 20 Oktober 1973. Tahun
1973, Desa Bangunsari dihapuskan, dan masyarakat yang berada di desa ini
menjadi warga perkebunan, dan secara administratif masuk dalam Desa
Sumberurip. Hal ini menjadikan wilayah Desa Sumberurip memiliki dua
kategori, yaitu: Desa Sumberurip yang berada di wilayah perkebunan, dan
Desa Sumberurip yang berada di luar wilayah perkebunan.
Ketika menjadi warga perkebunan inilah, petani Kulonbambang disebut
sebagai orang persil, yaitu kelas rendah di kalangan masyarakat yang
46
mengalami kemiskinan akut. Reformasi tahun 1998, dimanfaatkan oleh petani
Kulonbambang, untuk berupaya merebut kembali tanahnya, yang disebut
dengan istilah reclaiming. Masyarakat tergabung dalam Pawartaku
(Paguyuban Warga Tani Kulonbambang). Pawartaku merupakan anggota
organisasi Paguyuban Petani Aryo Blitar.
Luas Perkebunan Kulonbambang sebelum diredistribusikan mencapai
936 Ha, yang terdiri dari teh dan kopi seluas 420 Ha, dan cengkeh seluas 328
Ha. Konflik Kulonbambang mulai berlangsung pada tahun 1998, dan berakhir
pada tahun 2002, setelah Bupati Blitar mengeluarkan keputusan yang isinya,
sebagai berikut:
a. Menyelesaikan semua kewajiban Perkebunan Kulonbambang;
b. Melepaskan sebagian dari wilayah HGU dengan luas 255 Ha, untuk
dijadikan obyek landreform, dan akan diredistribusikan kepada masyarakat
yang berhak menerima, sesuai dengan tuntutan masyarakat;
c. Mengajukan perpanjangan HGU kepada instansi yang berwenang.
Sebagai tindak lanjut SK. Bupati Blitar tersebut, maka pada tanggal 1 Mei
2003, Direktur PT. Sari Bumi Kawi mewakili pihak Direksi PT. Sari Bumi Kawi
melepaskan hak atas tanah seluas 255 Ha dengan akta notaris, untuk
diredistribusikan kepada masyarakat Kulonbambang. Tetapi dalam
realisasinya, pelepasan hak atas tanah tidak dilakukan oleh PT. Sari Bumi
Kawi, sedangkan masyarakat Kulonbambang terus menerus melakukan
perlawanan. Selanjutnya Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar berinisiatif
melakukan mediasi, untuk mempertemukan PT. Sari Bumi Kawi dengan
masyarakat Kulonbambang. Hasilnya disepakati luas tanah yang akan
diredistribusikan bukanlah 255 Ha, melainkan 280 Ha. Pada tahun 2010, PT.
Sari Bumi Kawi membuat Akta Pelepasan Hak. Hal ini direspon oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Blitar dengan membentuk Panitia Landreform, yang
terdiri dari:
a. Bupati Blitar;
b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar;
c. Kepala Kepolisian Resort Kabupaten Blitar;
47
d. Ketua HKTI Kabupaten Blitar;
e. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Blitar;
f. Camat Doko
g. Kepala Desa Sumberurip
Kemudian Panitia Landreform menyelenggarakan Sidang Landreform,
yang hasilnya berupa keputusan, untuk meredistribusikan tanah eks HGU PT.
Sari Bumi Kawi seluas 280 Ha kepada masyarakat Kulonbambang yang
berhak. Pada tahun 2011 tanah yang direklaim oleh petani Kulonbambang
mendapat pengesahan sebagai TOL (Tanah Obyek Landreform), seluas 280 Ha.
Pada tahun 2011, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar menerbitkan SK
tentang Pelaksanaan Landreform dan SK Pelaksanaan Konsolidasi Tanah. SK
Pelaksanaan Konsolidasi Tanah berisi ketentuan pelaksanaan konsolidasi
tanah eks HGU PT. Sari Bumi Kawi seluas 25 Ha. Sementara itu, SK. tentang
Pelaksanaan Landreform berisi bidang tanah yang luasnya 255 Ha, dan akan
diredistribusikan kepada masyarakat Dusun Kulonbambang yang berhak.
Berdasarkan realitas tersebut diketahui, bahwa treatment dalam
landreform dilakukan sejak tahun 1963. Saat itu, Pemerintah Kabupaten Blitar
mengajukan permohonan kepada Menteri Pertanian dan Agraria, agar tanah-
tanah perkebunan yang dikuasai masyarakat dijadikan obyek landreform.
Permohonan Pemerintah Kabupaten Blitar dikabulkan oleh Menteri Pertanian
dan Agraria dengan cara mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 49/Ka./1964.
Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964
itulah yang selanjutnya digunakan Pemerintah Kabupaten Blitar untuk
menyelesaikan konflik dan sengketa penguasaan dan pemilikan tanah di
beberapa perkebunan. Sebagai treatment landreform, maka Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar melakukan mediasi, untuk mempertemukan para pihak yang
bersengketa. Selanjutnya, setelah berhasil menyepakati luas tanah yang akan
diredistribusikan, pihak pemegang hak membuat Akta Pelepasan Hak, yang
kemudian direspon Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dengan membentuk
Panitia Landreform.
48
Kemudian Panitia Landreform menyelenggarakan Sidang Landreform,
yang hasilnya berupa keputusan, untuk meredistribusikan tanah kepada yang
berhak. Selanjutnya Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar menerbitkan SK
Pelaksanaan Landreform. Bahkan pada situasi tertentu, Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar juga menerbitkan SK Pelaksanaan Konsolidasi Tanah, untuk
mengkonsolidasi bidang tanah hasil redistribusi di areal permukiman.
Selain berdasarkan realita penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan
di Perkebunan Kulonbambang, treatment dalam landreform tersebut juga
harus disandingkan dengan threat dalam landreform, sebagaimana terlihat
pada Tabel: 3. Tabel ini mengungkapkan, bahwa persoalan kunci yang menjadi
threat dalam landreform adalah landreform yang memiliki sifat top down
(landreform by grace). Threat ini kemudian direspon dengan treatment yang
mengakomodir landreform yang memiliki sifat bottom up atau landreform by
leverage. Caranya dengan menyelesaikan konflik dan sengketa pertanahan di
Kabupaten Blitar, terutama yang terjadi di wilayah perkebunan, serta
melibatkan multi pihak, seperti petani penggarap, militer, perkebunan dan
penegak hukum.
Konflik dan sengketa pertanahan di Kabupaten Blitar telah berlangsung
sejak lama (tahun 1960), yang memiliki akar masalah berupa pengambil-
alihan tanah rakyat secara represif (repressive approach) di masa lalu. Oleh
karena itu, para petani penggarap berupaya melakukan reclaiming tanah
sebagai wujud perjuangan landreform by leverage. Sebagai respon, atas
tindakan para petani penggarap, maka pada tahun 1963 Pemerintah
Kabupaten Blitar mengajukan permohonan kepada Menteri Pertanian dan
Agraria, agar tanah-tanah perkebunan yang dikuasai masyarakat dijadikan
sebagai obyek landreform. Ternyata, permohonan Pemerintah Kabupaten
Blitar dikabulkan oleh Menteri Pertanian dan Agraria dengan cara
mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 49/Ka./1964. Selanjutnya Surat
Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964 digunakan
oleh Pemerintah Kabupaten Blitar untuk menyelesaikan konflik dan sengketa
penguasaan dan pemilikan tanah di beberapa perkebunan.
49
Tabel 3: Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Landreform
L A N D R E F O R M
T H R E A T T R E A T M E N T
a. Pemerintah Indonesia lebih
fokus pada pelaksanaan
landreform yang bersifat top
down (landreform by grace).
b. Tetapi ternyata masyarakat atau
para petani penggarap (petani
yang tidak memiliki tanah)
justru memberi perhatian yang
kuat bagi terselenggaranya
landreform yang bersifat bottom
up atau landreform by leverage.
c. Landreform by leverage ditandai
oleh banyaknya terjadi konflik
dan sengketa pertanahan, yang
dilatar-belakangi oleh
ketimpangan penguasaan dan
pemilikan tanah di suatu
wilayah.
d. Konflik dan sengketa
pertanahan di Kabupaten Blitar
terutama terjadi di wilayah
perkebunan, yang melibatkan
multi pihak, seperti petani,
militer, perkebunan dan penegak
hukum.
e. Konflik dan sengketa
pertanahan telah berlangsung
sejak lama (tahun 1960), dan
memiliki akar masalah berupa
pengambil-alihan tanah rakyat
secara represif (repressive
approach) di masa lalu.
f. Oleh karena itu, masyarakat atau
para petani penggarap
melakukan reclaiming tanah
sebagai wujud perjuangan
landreform by leverage.
a. Pada tahun 1963 Pemerintah Kabupaten
Blitar mengajukan permohonan kepada
Menteri Pertanian dan Agraria, agar tanah-
tanah perkebunan yang dikuasai masyarakat
dijadikan sebagai obyek landreform.
b. Permohonan Pemerintah Kabupaten Blitar
dikabulkan oleh Menteri Pertanian dan
Agraria dengan cara mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 49/Ka./1964.
c. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan
Agraria Nomor 49/Ka./1964 itulah yang
selanjutnya digunakan Pemerintah Kabupaten
Blitar untuk menyelesaikan konflik dan
sengketa penguasaan dan pemilikan tanah di
beberapa perkebunan.
d. Sebagai treatment landreform, maka
Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar
melakukan mediasi, untuk mempertemukan
para pihak yang bersengketa. Setelah
berhasil disepakati luas tanah yang akan
diredistribusikan, pihak pemegang hak
membuat Akta Pelepasan Hak, yang
selanjutnya direspon oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar dengan membentuk Panitia
Landreform.
e. Kemudian Panitia Landreform
menyelenggarakan Sidang Landreform, yang
hasilnya berupa keputusan, untuk
meredistribusikan tanah kepada yang berhak.
f. Selanjutnya Kantor Pertanahan Kabupaten
Blitar menerbitkan SK Pelaksanaan
Landreform. Pada situasi tertentu, Kantor
Pertanahan Kabupaten Blitar juga
menerbitkan SK Pelaksanaan Konsolidasi
Tanah, untuk mengkonsolidasi bidang tanah
hasil redistribusi di areal permukiman.
Sumber: Data Primer, 2019
50
Tabel: 3 juga memperlihatkan, bahwa Kantor Pertanahan Kabupaten
Blitar melakukan mediasi sebagai treatment dalam landreform. Mediasi ini
dilakukan untuk mempertemukan para pihak yang sedang bersengketa, agar
menyepakati luas tanah yang akan diredistribusikan. Setelah luas tanah yang
akan diredistribusikan berhasil disepakati, maka pihak pemegang hak
membuat Akta Pelepasan Hak. Tindakan ini dilanjutkan dengan respon Kantor
Pertanahan Kabupaten Blitar, yang segera membentuk Panitia Landreform.
Kemudian Panitia Landreform menyelenggarakan Sidang Landreform, yang
hasilnya berupa keputusan, untuk meredistribusikan tanah kepada yang
berhak. Setelah itu, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar menerbitkan SK
tentang Pelaksanaan Landreform. Pada situasi tertentu, Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar juga menerbitkan SK tentang Pelaksanaan Konsolidasi
Tanah, untuk mengkonsolidasi bidang tanah hasil redistribusi di areal
permukiman.
2. Treatment Dalam Redistribusi Tanah
Pada konteks reforma agraria, treatment dalam redistribusi tanah dapat
dimaknai sebagai upaya Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar mengarahkan
tindakan para pihak, agar redistribusi tanah dapat terlaksana dengan baik.
Perlu diketahui, bahwa treatment redistribusi tanah dapat dilakukan setelah
sebelumnya atau terlebih dahulu dilakukan treatment dalam landreform. Hal
inilah yang terjadi pada beberapa perkebunan yang arealnya menjadi tanah
obyek landreform di Kabupaten Blitar.
Sebagai contoh dapat diperhatikan proses redistribusi tanah di
Perkebunan Nyunyur, yang memanfaatkan Surat Keputusan Menteri Pertanian
dan Agraria Nomor 49/Ka./1964. Sebagaimana diketahui, permohonan
Pemerintah Kabupaten Blitar kepada kepada Menteri Pertanian dan Agraria
pada tahun 1963, agar tanah perkebunan yang dikuasai masyarakat dijadikan
sebagai obyek landreform, telah dikabulkan Menteri Pertanian dan Agraria
melalui SK (Surat Keputusan) Nomor 49/Ka./1964.
51
SK Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964 selanjutnya
digunakan sebagai treatment redistribusi tanah di sebagian areal perkebunan,
termasuk di Perkebunan Nyunyur yang berada di Desa Soso, Kecamatan
Gandusari, Kabupaten Blitar. Redistribusi tanah dilakukan terhadap areal
seluas 100 Ha tanah Perkebunan Nyunyur, yang telah diduduki masyarakat.
Sementara itu diketahui, bahwa secara keseluruhan luas tanah Perkebunan
Nyunyur sebesar 474 Ha.
Selanjutnya berdasarkan hasil survai Panitia Landreform yang dibentuk
oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, tanah tersebut diperuntukkan bagi
185 rumah tangga petani Desa Soso. Selain itu, Panitia Landreform juga telah
merekomendasikan, bahwa sisa tanah Perkebunan Nyunyur yang luasnya
mencapai 374 Ha dapat dikelola badan usaha dengan mengajukan hak guna
usaha.
Hal yang sama (treatment dalam redistribusi tanah) juga dilakukan di
Perkebunan Kulonbambang, dengan memanfaatkan SK Menteri Pertanian dan
Agraria Nomor 49/Ka./1964. Berdasarkan SK tersebut dan setelah melalui
mediasi yang intens akhirnya dilakukan perdamaian antara Masyarakat Dusun
Kulonbambang dengan PT. Sari Bumi Kawi yang mengelola Perkebunan
Kulonbambang. Kemudian dibentuklah Panitia Landreform pada tahun 2010,
yang segera menyelenggarakan Sidang Landreform. Hasil sidang berupa
keputusan, untuk meredistribusikan tanah eks HGU PT. Sari Bumi Kawi seluas
280 Ha kepada masyarakat Dusun Kulonbambang yang berhak.
Selanjutnya tanah yang direklaim oleh petani Kulonbambang mendapat
pengesahan sebagai TOL (Tanah Obyek Landreform) pada tahun 2011, seluas
280 Ha. Pada tahun itu juga (2011), Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar
menerbitkan SK (Surat Keputusan) tentang Pelaksanaan Landreform dan SK
Pelaksanaan Konsolidasi Tanah. Khusus mengenai SK Pelaksanaan Konsolidasi
Tanah berisi ketentuan pelaksanaan konsolidasi tanah eks hak guna usaha PT.
Sari Bumi Kawi seluas 25 Ha.
Sementara itu, SK. Pelaksanaan Landreform berisi kebijakan terhadap
tanah seluas 255 Ha yang akan diredistribusikan kepada masyarakat
52
Kulonbambang yang berhak, serta permintaan agar segera dibuatkan SK
Redistribusi Tanah-nya. Permintaan ini dilakukan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar kepada Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional), melalui
Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur.
Redistribusi tanah seluas 255 Ha tersebut diberikan kepada 350 rumah
tangga petani, yang terdiri dari:
a. Masyarakat Dusun Kulonbambang, sebanyak 60 rumah tangga petani;
b. Masyarakat Dusun Tlogorejo, sebanyak 100 rumah tangga petani;
c. Masyarakat Dusun Anyar, sebanyak 140 rumah tangga petani;
d. Masyarakat Dusun Tlogosari, sebanyak 50 rumah tangga petani.
Selanjutnya redistribusi tanah yang luasnya 255 Ha tersebut diperinci
berdasarkan penggunaan tanah, sebagai berikut:
a. Untuk permukiman, yang meliputi rumah tinggal dan kandang ternak,
seluas 700 meter persegi atau 0,07 Ha per rumah tangga petani.
b. Untuk budidaya, yang meliputi kebun dan pertanian pangan, luasnya
ditentukan oleh organisasi Pawartaku.
c. Untuk tanah kolektif organisasi Pawartaku, yang meliputi bangunan untuk
pendidikan warga, demplot pertanian, balai pertemuan, lapangan terbuka,
dan lain-lain untuk kepentingan organisasi, seluas 46 Ha, yang tersebar di
tiga dusun (blok), yaitu: Dusun Kulonbambang seluas 15 Ha, Dusun Anyar
dan Dusun Tlogorejo seluas 21 Ha, serta Dusun Tlogosari seluas 10 Ha.
d. Untuk sosial dan infrastruktur, yang meliputi tempat ibadah, jalan, lapangan
terbuka (sepakbola/olahraga), dan lain-lain.
Sementara itu, dalam rangka menegakkan rasa keadilan berdasarkan
kontribusi dalam memperjuangkan redistribusi tanah di areal Perkebunan
Kulonbambang, maka Pawartaku menetapkan klasifikasi pembagian tanah,
sebagai berikut:
a. Klasifikasi A, yaitu pimpinan atau anggota organisasi yang dianggap banyak
berjasa dan menentukan kemenangan, mendapat tanah pertanian untuk
digarap seluas 4,9 Ha, dan tanah permukiman seluas 0,07 Ha.
53
b. Klasifikasi B, yaitu pimpinan atau tokoh di organisasi yang aktif dalam
perjuangan, mendapat tanah pertanian untuk digarap seluas 2 Ha, dan
tanah permukiman seluas 0,07 Ha.
c. Klasifikasi C, yaitu anggota organisasi yang turut berjuang, mendapat tanah
pertanian untuk digarap seluas 1,2 Ha, dan tanah permukiman seluas 0,07
Ha.
d. Klasifikasi D, yaitu pemuda atau kader-kader muda organisasi yang terlibat
aktif dalam proses advokasi, serta pemetaan dan pengukuran, mendapat
tanah pertanian untuk digarap seluas 0,3 Ha.
e. Klasifikasi E, yaitu organisasi yang mendampingi petani saat
memperjuangkan hak atas tanah, mendapat tanah pertanian untuk digarap
seluas 1 Ha, dan tanah permukiman seluas 1 Ha.
Redistribusi tanah eks HGU PT. Sari Bumi Kawi seluas 255 Ha tidak
dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961,
melainkan berdasarkan kearifan lokal, yaitu kesepakatan yang diperoleh saat
Rapat Presidium Tanah Perjuangan Kulonbambang. Pada rapat tersebut
dibuat klasifikasi penerima redistribusi tanah, dengan tolok ukur sebagai
berikut:
a. Militansi, yaitu ketangguhan yang dimiliki saat berjuang;
b. Penggarapan, yaitu mereka yang secara terus menerus melakukan
penggarapan tanah;
c. Iuran, yaitu mereka yang secara aktif mendanai perjuangan;
d. Perjuangan; yaitu mereka yang berpartisipasi dalam melakukan
perjuangan;
e. Kepedulian, yaitu mereka yang berperan aktif dalam kegiatan sosial dan
kegiatan kemasyarakatan.
Sementara itu, tanah kolektif seluas 46 Ha yang diperuntukkan bagi
organisasi Pawartaku didaftarkan atas nama 90 orang Pengurus Pawartaku,
dan dibuatkan Akta Perjanjian di hadapan Notaris. Tujuannya agar tanah tidak
disalah-gunakan, sehingga tanah dapat dimanfaatkan bagi seluruh anggota
Pawartaku, guna meningkatkan kondisi sosial ekonominya.
54
Berdasarkan uraian tersebut diketahui, bahwa Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar melakukan treatment dalam redistribusi tanah, dengan
memanfaatkan Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor
49/Ka./1964. Kemudian Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar membentuk
Panitia Landreform yang bertugas menetapkan peruntukan tanah dan
rekomendasi yang relevan dengan peruntukan tanah.
Selanjutnya Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar segera menerbitkan SK
tentang Pelaksanaan Landreform, setelah tanah yang direklaim masyarakat
mendapat pengesahan sebagai TOL (Tanah Obyek Landreform). Kemudian
menerbitkan SK tentang Pelaksanaan Konsolidasi Tanah, untuk melakukan
penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah, terutama di areal permukiman.
Sementara itu, penetapan luas bidang tanah yang diperoleh rumah tangga
petani dilakukan oleh organisasi tani setempat berdasarkan kearifan lokal,
misalnya kriteria sebagai berikut: militansi saat berjuang, penggarapan tanah
yang berhasil dilakukan saat berjuang, iuran yang diberikan dan aktivitas saat
berjuang, serta kepedulian sosial saat berjuang.
Selain berdasarkan realita redistribusi tanah di areal Perkebunan
Kulonbambang, treatment dalam redistribusi tanah tersebut juga harus
disandingkan dengan threat dalam redistribusi tanah, sebagaimana terlihat
pada Tabel: 4. Tabel ini mengungkapkan, bahwa persoalan kunci yang menjadi
threat dalam redistribusi tanah adalah ketika keputusan Panitia Landreform
tidak dilaksanakan, dan diganti dengan keputusan lain yang bertentangan.
Keputusan tersebut pada akhirnya segera menimbulkan konflik dan sengketa
pertanahan antara masyarakat (petani penggarap) dengan pihak perkebunan,
para pengambil keputusan dan pihak terkait lainnya. Konflik dan sengketa
pertanahan antara masyarakat dengan pihak perkebunan mewujud dalam
bentuk reclaiming dan penguasaan tanah oleh masyarakat. Sebagai treatment
dalam redistribusi tanah, Pemerintah Kabupaten Blitar segera memanfaatkan
Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964.
Kemudian Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar membentuk Panitia
55
Landreform yang bertugas menetapkan peruntukan tanah dan rekomendasi
yang relevan dengan peruntukan tanah.
Tabel 4: Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Redistribusi Tanah
R E D I S T R I B U S I T A N A H
T H R E A T T R E A T M E N T
a. Ketika keputusan panitia landreform
tidak dilaksanakan, dan diganti dengan
keputusan lain yang bertentangan.
b. Keputusan yang bertentangan tersebut,
pada akhirnya menimbulkan konflik
dan sengketa pertanahan antara
masyarakat (petani penggarap) dengan
pihak perkebunan, pengambil
keputusan dan pihak terkait lainnya.
c. Konflik dan sengketa pertanahan
antara masyarakat dengan pihak
perkebunan mewujud dalam bentuk
reclaiming dan penguasaan tanah oleh
masyarakat.
d. Konflik dan sengketa pertanahan
mereda saat reclaiming dan
penguasaan tanah oleh masyarakat
diakui oleh pihak perkebunan.
e. Setelah konflik dan sengketa
pertanahan dapat diselesaikan, maka
Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar
dapat melakukan redistribusi tanah.
a. Memanfaatkan secara optimal Surat
Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria
Nomor 49/Ka./1964.
b. Membentuk Panitia Landreform yang bertugas
menetapkan peruntukan tanah dan
rekomendasi yang relevan dengan peruntukan
tanah. c. Menerbitkan SK (Surat Keputusan) tentang
Pelaksanaan Landreform, setelah tanah yang
direklaim oleh masyarakat mendapat
pengesahan sebagai TOL (Tanah Obyek
Landreform). d. Menerbitkan SK tentang Pelaksanaan
Konsolidasi Tanah, untuk melakukan penataan
penggunaan dan pemanfaatan tanah, terutama
di areal permukiman. e. Penetapan luas bidang tanah yang diperoleh
rumah tangga petani dilakukan organisasi tani
setempat berdasarkan kearifan lokal, misalnya
kriteria sebagai berikut: militansi saat
berjuang, penggarapan tanah yang berhasil
dilakukan saat berjuang, iuran yang diberikan
saat berjuang, aktivitas saat berjuang, dan
kepedulian sosial saat berjuang.
Sumber: Data Primer, 2019
Tabel: 4 juga memperlihatkan, bahwa konflik dan sengketa pertanahan
mereda saat reclaiming dan penguasaan tanah oleh masyarakat diakui oleh
pihak perkebunan. Setelah konflik dan sengketa pertanahan dapat
diselesaikan, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar melakukan redistribusi
tanah.
56
Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar kemudian menerbitkan SK tentang
Pelaksanaan Landreform, setelah tanah yang direklaim masyarakat mendapat
pengesahan sebagai TOL (Tanah Obyek Landreform). Selain itu, Kantor
Pertanahan Kabupaten Blitar juga menerbitkan SK Pelaksanaan Konsolidasi
Tanah, untuk melakukan penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah di
areal permukiman.
Sementara itu, penetapan luas bidang tanah yang akan diperoleh rumah
tangga petani dilakukan organisasi tani setempat berdasarkan kearifan lokal,
dengan kriteria sebagai berikut: militansi saat berjuang, penggarapan tanah
yang berhasil dilakukan saat berjuang, iuran yang diberikan saat berjuang,
aktivitas saat berjuang, dan kepedulian sosial saat berjuang.
3. Treatment Dalam Legalisasi Asset
Setelah treatment dalam landreform dan redistribusi tanah, langkah
selanjutnya yang bermanfaat bagi para petani (masyarakat), berupa treatment
dalam legalisasi asset. Treatment ini dilakukan, agar petani memperoleh
penguatan hak atas tanahnya, sehingga yang bersangkutan merasa aman, dan
dapat mendorong dirinya bekerja lebih produktif.
Penguatan hak atas tanah juga terjadi di bidang-bidang tanah eks
Perkebunan Kulonbambang yang dikuasai oleh petani. Kegiatan ini dilakukan
oleh Kantor Pertanahan, yang disebut legalisasi asset dalam bingkai reforma
agraria. Bidang-bidang tanah eks Perkebunan Kulonbambang yang dikuasai
oleh para petani dan telah menjadi TOL, selanjutnya disertipikasi oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Blitar pada tahun 2012, termasuk bidang tanah kolektif
dan perumahan, sebagai berikut:
a. 35 Ha untuk tanah kolektif, yaitu untuk tanah garapan bersama, Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Petani, serta fasilitas umum lainnya. Kepemilikan
tanah secara kolektif, serta adanya Pusat Pendidikan dan Pelatihan Petani
dimaksudkan untuk mempertahankan solidaritas dan semangat juang para
petani Kulonbambang.
57
b. 25 Ha untuk perumahan, jalan, sungai, dan lain-lain yang diproses melalui
konsolidasi tanah (land consolidation).
Bidang tanah hasil redistribusi (yang dilaksanakan tahun 2011)
kemudian didaftarkan, untuk mendapatkan sertipikat hak milik atas tanah,
hingga akhirnya sertipikat tersebut terbit, dan dibagikan pada 4 April 2012.
Saat penyerahan sertipikat tanggal 4 April 2012 dilakukan pula penanaman
secara simbolis bibit pohon, yang merupakan hasil sumbangan Djarum
Foundation yang jumlahnya mencapai 5.000 bibit pohon, dan ditanam di tanah
kolektif.
Sementara itu, sertipikat hak atas tanah yang diserahkan pada petani
penerima redistribusi tanah tersebut berbeda dengan sertipikat hak milik
pada umumnya, karena ada keterangan bahwa tanah hak milik ini merupakan
hasil pelepasan dari hak guna usaha PT. Sari Bumi Kawi, dan tidak dapat
dipindahtangankan baik sebagian maupun keseluruhannya selama 10 tahun.
Pembatasan ini dilakukan sebagai upaya, untuk mencegah pemindahtanganan
hak atas tanah, sehingga:
a. tidak terjadi rekonsentrasi kepemilikan tanah;
b. tidak terjadi penyitaan asset (tanah), saat penerima redistribusi tanah
mengagunkan tanahnya dan wanprestasi atas kewajibannya;
c. tanah digarap sendiri oleh penerima redistribusi tanah;
d. terbangun hubungan batin yang kuat antara penerima redistribusi tanah
dengan tanahnya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diketahui bahwa treatment legalisasi
asset di Kabupaten Blitar dilakukan sesuai dengan maksud pelaksanaan
legalisasi asset, yaitu memberi penguatan hak atas tanah pada bidang-bidang
tanah eks perkebunan yang telah dikuasai oleh para petani. Oleh karena itu,
legalisasi asset dilakukan dengan menghormati kebutuhan para petani bagi
pengembangan pertanian di masa depan, termasuk adanya tanah kolektif serta
penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Selanjutnya, legalisasi asset
dilakukan dengan membubuhkan suatu catatan pada sertipikat, bahwa tanah
hak milik pada sertipikat tersebut merupakan pelepasan dari hak guna usaha
58
perusahaan perkebunan, dan tidak dapat dipindahtangankan baik sebagian
maupun keseluruhannya selama 10 tahun.
Selain berdasarkan realita legalisasi asset di Kabupaten Blitar, treatment
dalam legalisasi asset tersebut juga harus disandingkan dengan threat dalam
legalisasi asset, sebagaimana terlihat pada Tabel: 5.
Tabel 5: Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Legalisasi Asset
L E G A L I S A S I A S S E T
T H R E A T T R E A T M E N T
a. Legalisasi asset barulah dapat dilakukan
ketika redistribusi tanah telah dilakukan.
Sebagaimana diketahui Kantor
Pertanahan Kabupaten Blitar telah
melakukan redistribusikan tanah seluas
3.326 Ha pada kurun waktu tahun 2007 –
2017, yang secara bertahap juga telah
melakukan legalisasi asset.
b. Redistribusi tanah dapat semakin cepat
terwujud, ketika pihak perkebunan
bersedia untuk menyerahkan sebagian
tanah yang dikuasainya kepada
masyarakat. Percepatan redistribusi ini
pada akhirnya harus direspon dengan
percepatan legalisasi asset.
c. Tetapi percepatan legalisasi asset akan
terhambat, ketika percepatan redistribusi
tanah telah lebih dahulu terhambat, oleh
ketidak-sediaan masayarakat menerima
tanah yang dilepaskan pihak perkebunan,
karena masyarakat menuntut tanah yang
lebih luas.
a. Maksud pelaksanaan legalisasi asset,
adalah untuk memberi penguatan
hak atas tanah pada bidang-bidang
tanah eks perkebunan yang telah
dikuasai oleh petani.
b. Oleh karena itu, legalisasi asset
dilakukan dengan menghormati
kebutuhan petani bagi
pengembangan pertanian di masa
depan, termasuk adanya tanah
kolektif serta penataan penggunaan
dan pemanfaatan tanah.
c. Selanjutnya, legalisasi asset
dilakukan dengan membubuhkan
catatan pada sertipikat hak atas
tanahnya, bahwa tanah hak milik
pada sertipikat tersebut merupakan
hasil pelepasan dari hak guna usaha
perusahaan perkebunan, dan tidak
dapat dipindahtangankan baik
sebagian maupun keseluruhan
selama 10 tahun.
Sumber: Data Primer, 2019
Tabel: 8 memperlihatkan, bahwa persoalan kunci yang menjadi threat
dalam legalisasi asset adalah pencapaian redistribusi tanah. Legalisasi asset
hanya dapat dilakukan ketika redistribusi tanah telah selesai dilaksanakan.
Sebagaimana diketahui Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar telah berhasil
59
melaksanakan redistribusi tanah seluas 3.326 Ha pada kurun waktu tahun
2007 – 2017, yang secara bertahap juga telah dilegalisasi.
Sementara itu, redistribusi tanah dapat terwujud, ketika pihak pengelola
perkebunan bersedia menyerahkan sebagian tanah yang dikuasainya kepada
masyarakat. Redistribusi ini kemudian direspon dengan legalisasi asset. Tetapi
legalisasi asset akan terhambat, ketika redistribusi tanah telah lebih dahulu
terhambat, oleh ketidak-sediaan masyarakat menerima tanah yang dilepaskan
pihak perkebunan, karena masyarakat menuntut tanah yang lebih luas. Bila
redistribusi tanah dapat dilaksanakan dengan baik, maka legalisasi asset dapat
dilaksanakan dengan baik pula. Hal ini perlu diperhatikan, karena maksud
pelaksanaan legalisasi asset, adalah untuk memberi penguatan hak atas tanah
pada bidang-bidang tanah eks perkebunan yang telah dikuasai oleh petani.
Legalisasi asset dilakukan dengan cara menghormati kebutuhan petani
bagi pengembangan pertanian di masa depan, termasuk adanya tanah kolektif
serta penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Selanjutnya, legalisasi
asset juga disertai dengan tindakan membubuhkan catatan pada sertipikat hak
atas tanahnya, bahwa tanah hak milik pada sertipikat tersebut merupakan
hasil pelepasan dari hak guna usaha perusahaan perkebunan, dan tidak dapat
dipindahtangankan baik sebagian maupun keseluruhan selama 10 tahun.
60
B A B VI
THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA AKSES M. Threat Dalam Reforma Akses
Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980 tentang
Organisasi dan Tatakerja Penyelenggaraan Landreform menyebutkan, bahwa
peningkatan sosial ekonomi dilakukan dengan cara:
1. memperkuat hak milik dan memberi isi pada fungsi hak milik;
2. memperbaiki produktivitas nasional, guna mempertinggi penghasilan dan
taraf hidup rakyat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 55
Tahun 1980, maka memperkuat hak milik adalah tantangan bagi reforma akses,
yang bermuara pada peningkatan sosial ekonomi masyarakat atau para petani
penggarap. Legalisasi asset memberi jaminan kepastian hukum kepada petani
penggarap yang telah mempunyai hak milik atas tanah. Hal ini dapat memberi
ketenangan kepada mereka untuk memfungsikan hak milik dengan sebaik-
baiknya, terutama dalam peningkatan produktivitas, guna terus mempertinggi
penghasilan dan taraf hidup.
Oleh karena itu threat dengan makna tantangan pada reforma agraria
adalah legalisasi asset. Tepatnya, ketika Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar
melaksanakan penguatan hak atau legalisasi asset, maka kegiatan ini merupakan
tantangan bagi terselenggaranya reforma akses, atau tantangan bagi hadirnya
kemampuan Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dalam melakukan reforma
akses.
Threat dalam reforma akses atau penataan akses tidak hanya dapat
dilakukan oleh pemerintah, yaitu Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dan SKPD,
melainkan juga dapat dilakukan oleh masyarakat. Situasi ini terlihat di Dusun
Kulonbambang, Desa Sumberurip, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, ketika
Pawartaku (Paguyuban Warga Tani Kulonbambang) selalu berkontribusi dalam
mendukung reforma akses. Hal ini dilakukan Pawartaku, untuk menghadapi
61
threat dalam reforma akses, terutama yang berkaitan dengan mental dan psiko-
sosial masyarakat atau para petani penerima redistribusi tanah eks Perkebunan
Kulonbambang.
Kinan (tokoh Pawartaku) menjelaskan, bahwa ada persoalan mental dan
psiko-sosial yang dialami petani Dusun Kulonbambang, yaitu kecenderungan
untuk mengalihkan tanah mereka secara di bawah tangan, ketika memiliki
kebutuhan dana yang mendesak. Persoalan makin berat karena ada perbedaan
karakter, antara ketika mereka masih sebagai buruh perkebunan dengan setelah
mereka menjadi petani. Saat bekerja sebagai buruh perkebunan, mereka tidak
memiliki ikatan batin dengan tanahnya, dan terbiasa dengan rutinitas dibayar
setelah bekerja. Kesemua ini ditambah lagi dengan rendahnya pendapatan,
sehingga berdampak pada lemahnya permodalan mereka saat akan melakukan
usaha tani.
Pandangan Kinan tersebut seringkali diabaikan oleh pihak-pihak yang ingin
membantu petani (yaitu petani penggarap yang kemudian beralih menjadi petani
pemilik tanah). Pihak-pihak tersebut cenderung memberi bantuan yang bersifat
fisik dan berbagai pelatihan teknis, tetapi mengabaikan pelatihan penataan
mental dan psiko-sosial.
Oleh karena itu, perlu ada perubahan format bantuan kepada petani, yaitu
bantuan yang selain bersifat fisik dan teknis, juga bantuan yang memiliki sifat
dan berdampak motivasional. Bantuan ini akan memberi dorongan pada petani,
untuk bersegera mengubah mental dan psiko-sosialnya agar sesuai dengan
kebutuhannya.
Sementara itu, dalam konteks yang lebih luas (Kabupaten Blitar) diketahui,
bahwa berdasarkan kebijakan yang diterbitkan dan harus dilaksanakan dalam
reforma akses, maka ada 3 (tiga) threat yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
1. Pelaksanaan Kebijakan:
Ada threat dalam pelaksanaan kebijakan yang terlalu ideal, terutama
ketika peluang pelaksanaan dikaitkan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 15 dan Pasal 16 Peraturan Presiden Nomor 86
62
Tahun 2018 tentang Reforma Agraria). Berdasarkan peraturan perundang-
undangan tersebut, maka:
a. Penataan akses dilaksanakan dengan berbasis klaster (cluster) dalam
rangka meningkatkan skala ekonomi, nilai tambah, dan mendorong inovasi
di bidang kewirausahaan subyek reforma agraria (misal: penerima
redistribusi tanah).
b. Penataan akses, meliputi:
(1) Pemetaan sosial, untuk mengetahui potensi, peluang, dan kendala
yang dihadapi oleh subyek reforma agraria sebagai kelompok sasaran
penataan akses.
(2) Peningkatan kapasitas kelembagaan, yang dilakukan melalui
pembentukan kelompok sasaran penataan akses berdasarkan jenis
usaha.
(3) Pendampingan usaha, yang dilakukan melalui kemitraan yang
berkeadilan.
(4) Peningkatan keterampilan, yang dilakukan melalui kegiatan:
penyuluhan, pendidikan, pelatihan, dan bimbingan teknis.
(5) Penggunaan teknologi tepat guna, yang perlu dilakukan melalui
kerjasama dengan suatu perguruan tinggi, dunia usaha, lembaga
penelitian, serta kementerian/lembaga atau pemerintah daerah.
(6) Diversifikasi usaha, yang perlu dilakukan dengan penganeka-ragaman
jenis usaha, untuk memaksimalkan upaya peningkatan kesejahteraan.
(7) Fasilitasi akses permodalan, yang dilakukan oleh lembaga keuangan,
koperasi, dan badan usaha melalui dana tanggungjawab sosial
perusahaan (corporate social responsibility). Selain itu, fasilitasi akses
permodalan dilakukan melalui penetapan kebijakan pemberian
pinjaman kepada kelompok sasaran penataan akses dengan bunga
rendah dalam jangka panjang.
(8) Fasilitasi akses pemasaran (offtaker), yang dilakukan dengan
menampung dan menyalurkan hasil usaha kelompok sasaran
penataan akses.
63
(9) Penguatan basis data dan informasi komoditas, yang dilakukan
dengan menyusun basis data penataan akses yang digunakan sebagai
dasar pengawasan.
(10) Penyediaan infrastruktur pendukung.
c. Penataan akses dilaksanakan dengan pola:
(1) Pemberian langsung oleh pemerintah.
(2) Kerjasama antara masyarakat yang memiliki sertipikat hak milik
dengan badan hukum melalui kemitraan yang berkeadilan.
(3) Kerjasama antara kelompok yang memiliki hak kepemilikan bersama
dengan badan hukum melalui program tanah sebagai penyertaan
modal.
d. Penataan akses dilaksanakan oleh kementerian/lembaga terkait yang
dikoordina-sikan oleh Gugus Tugas Reforma Agraria.
e. Dalam rangka mengkoordinasikan pelaksanaan penataan akses, Gugus
Tugas Reforma Agraria dapat menunjuk pendamping dan mitrakerja
subyek reforma agraria.
2. Dukungan SKPD:
Ada threat dalam reforma akses, terutama yang terkait dengan dukungan
SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah). Hal ini dikarenakan masing-masing
SKPD telah memiliki tugas yang relatif berat dalam tugas pokok dan fungsinya
masing-masing, sehingga berpeluang overload (kelebihan beban) ketika diberi
tambahan tugas reforma akses.
3. Kewenangan Kantor Pertanahan:
Ada threat dalam reforma akses, terutama yang terkait kewenangan
Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, untuk mendukung pelaksanaan reforma
akses. Sebagaimana diketahui kewenangan menggerakkan SKPD yang terkait
dengan reforma akses tidak ada pada Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar,
melainkan berada pada Pemerintah Kabupaten Blitar (dalam hal ini: Bupati
Blitar). Oleh karena itu, kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar
hanya sebatas mengusulkan dan mengingatkan, agar Bupati Blitar berkenan
menggerakkan SKPD yang terkait dengan reforma akses.
64
Secara ringkas dapat dinyatakan, bahwa threat dalam reforma akses
Kabupaten Blitar meliputi pelaksanaan kebijakan yang relatif lebih sederhana,
bila dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang terlalu ideal dan
normatif. Selain itu dukungan SKPD relatif lemah, karena masing-masing SKPD
telah memiliki tugas pokok dan fungsinya masing-masing yang relatif berat,
sehingga berpeluang overload ketika diberi tambahan tugas. Sementara itu,
kewenangan yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar relatif
terbatas, yaitu hanya sebatas mengusulkan dan mengingatkan, agar Bupati Blitar
berkenan menggerakkan SKPD yang terkait dengan reforma akses.
Pada sisi lain, Pawartaku berpandangan bahwa kendala petani Dusun
Kulonbambang Desa Sumberurip, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar dalam
mengakses tanahnya cenderung berkaitan dengan peralihan tanah, karakter, dan
permodalan. Penjelasan Kinan tersebut identik dengan threat dalam reforma
akses dari sisi OTL (Organisasi Tani Lokal), yang dalam hal ini Pawartaku.
Berdasarkan hal-hal yang diungkapkan Kinan (tokoh Pawartaku) diketahui,
bahwa threat dalam reforma akses, yaitu:
1. Terjadinya peralihan tanah dari petani penerima redistribusi tanah kepada
pihak lain.
2. Terjadinya penyewaan atau penjualan bidang tanah hasil redistribusi oleh
petani penerima redistribusi tanah.
3. Adanya karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima redistribusi
tanah, yang cenderung lemah ikatan batinnya dengan tanah.
4. Adanya karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima redistribusi
tanah, yang memiliki mindset setelah kerja kemudian dibayar.
5. Lemahnya permodalan petani penerima redistribusi tanah.
N. Treatment Dalam Reforma Akses
Treatment reforma akses diwujudkan dalam bentuk arahan tindakan atau
perilaku, agar petani penerima redistribusi tanah dapat mempertahankan dan
memanfaatkan tanahnya dengan baik (menguntungkan). Untuk itu ada pelibatan
65
pihak-pihak tertentu dalam pelaksanaan kegiatan pasca legalisasi asset, misal:
pembuatan jalan desa, dan dukungan permodalan usaha tani.
Dalam konteks Kabupaten Blitar, maka treatment dalam reforma akses
diwujudkan dalam bentuk dukungan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar
terhadap tindakan petani penerima redistribusi tanah, dalam mengembangkan
tanah pertanian sebagai sumber kehidupan mereka, baik dari aspek ekonomi,
permodalan, pasar, teknologi, serta peningkatan kapasitas dan kemampuan.
Sebagai contoh, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar memberi dukungan
dengan memberikan fasilitasi akses, baik akses masyarakat ke tanahnya itu
sendiri, maupun akses masyarakat ke instrumen penunjang agar mereka dapat
mengelola tanahnya dengan baik (optimal), seperti: akses permodalan.
Sebagaimana diketahui Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar menggandeng BRI
(Bank Rakyat Indonesia) untuk membantu permodalan para petani penerima
redistribusi tanah.
Keterlibatan pihak bank dalam membantu permodalan petani penerima
redistribusi tanah, ternyata mendapat kritik dari Kinan (tokoh Pawartaku) yang
melihat dinamika sosial dan ekonomi petani penerima redistribusi tanah di
Dusun Kulonbambang, Desa Sumberurip, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar.
Tepatnya Kinan memberi kritik terhadap tindakan Kantor Pertanahan Kabupaten
Blitar, yang telah “membawa” pihak bank, untuk membantu permodalan petani
penerima redistribusi tanah.
Kritik diberikan oleh Kinan, karena tidak ada perlakuan khusus pihak bank
terhadap petani penerima redistribusi tanah. Kinan menyatakan, bahwa:
1. Besaran bunga bank yang diterapkan pada petani Dusun Kulonbambang sama
dengan nasabah pada umumnya, padahal petani Dusun Kulonbambang
memiliki tingkat kesulitan finansial yang lebih berat dari nasabah pada
umumnya.
2. Pemberian kredit kepada petani Dusun Kulonbambang tidak selektif, sehingga
potensi kredit macet relatif besar.
66
3. Pihak bank tidak melakukan pendampingan, sehingga kemampuan berusaha
petani Dusun Kulonbambang tidak meningkat, dan beresiko pada terjadinya
kredit macet.
4. Bila petani Dusun Kulonbambang gagal melunasi kreditnya atau mengalami
kredit macet, maka tanah yang dimilikinya berpeluang akan dijual oleh yang
bersangkutan atau oleh pihak bank.
Pernyataan Kinan tersebut merupakan ekspresi atas situasi penataan akses
(reforma akses) di Dusun Kulonbambang. Sebagaimana diketahui treatment
dalam reforma akses dilakukan oleh pemerintah (Kantor Pertanahan Kabupaten
Blitar dan SKPD Pemerintah Kabupaten Blitar) dan masyarakat. Sebagai contoh
treatment dalam reforma akses yang dilakukan Pawartaku (Paguyuban Warga
Tani Kulonbambang) di Dusun Kulonbambang, Desa Sumberurip, Kecamatan
Doko, Kabupaten Blitar, sebagai berikut:
1. Mencegah terjadinya peralihan tanah dari petani penerima redistribusi tanah
kepada pihak lain, melalui penyegaran dan penguatan semangat juang petani
anggota Pawartaku.
2. Mencegah terjadinya penyewaan atau penjualan bidang tanah hasil
redistribusi oleh petani penerima redistribusi tanah, melalui penguatan etos
kerja petani anggota Pawartaku.
3. Mengubah karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima redistribusi
tanah, yang cenderung lemah ikatan batinnya dengan tanah; dan
menggantinya dengan karakter “petani”, yang kuat ikatan batinnya dengan
tanah.
4. Mengubah karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima redistribusi
tanah, yang memiliki mindset setelah kerja kemudian dibayar; dan
menggantinya dengan karakter “petani”, yang tekun dan sabar dalam
mengelola tanah pertanian, hingga mendapat hasil saat panen.
5. Meningkatkan permodalan petani penerima redistribusi tanah melalui skema
credit union.
Selain treatment yang telah diperlihatkan oleh Pawartaku sebagai OTL
(Organisasi Tani Lokal) di Dusun Kulonbambang, perlu diperhatikan treatment
67
yang diperlihatkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, untuk mengatasi
threat dalam reforma akses. Dalam konteks ini, Kantor Pertanahan Kabupaten
Blitar mengungkapkan treatment-nya dengan menjelaskan, bahwa pelaksanaan
kebijakan yang relatif lebih sederhana merupakan solusi, karena bila terpaku
pada peraturan perundang-undangan yang terlalu ideal dan normatif, maka sulit
menghadapi dinamika lapangan. Sementara itu, dukungan dari SKPD yang relatif
lemah, direspon dengan melakukan komunikasi yang intens dengan Bupati Blitar
dan pimpinan SKPD terkait. Treatment ini sekaligus sebagai respon atas
keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Blitar, agar reforma akses dapat terlaksana dengan baik.
Untuk melihat ketepatan treatment yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar dan Pawartaku terhadap threat dalam reforma akses, maka
perlu diperhatikan substansi Tabel: 6. Tabel ini mengungkapkan, bahwa
treatment tidak dimonopoli oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar. Bila
monopoli treatment dipaksakan, maka Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar tidak
akan mampu memberi hasil optimal bagi masyarakat.
Tabel: 6 mengungkapkan, bahwa bila monopoli treatment dipaksakan,
maka Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar tidak akan mampu memberi optimal.
Akibatnya banyak persoalan terkait akses yang ada di masyarakat atau petani
penerima tanah hasil redistribusi, tidak akan dapat diselesaikan dengan sebaik-
baiknya. Persoalan-persoalan yang tidak mampu ditangani oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Blitar, antara lain yang berhubungan dengan karakter
masyarakat (petani). Sebagai contoh, karakter “buruh perkebunan” lebih tepat
ditangani OTL (Organisasi Tani Lokal), yaitu Pawartaku (Paguyuban Warga Tani
Kulonbambang). OTL atau dalam hal ini Pawartaku memiliki keahlian, untuk
melakukan pendekatan personal kepada anggota masyarakat (petani), sehingga
mampu merubah karakter “buruh perkebunan” menjadi karakter “petani”.
Misalnya mengubah dari karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima
redistribusi tanah, yang cenderung lemah ikatan batinnya dengan tanah; dan
menggantinya dengan karakter “petani”, yang kuat ikatan batinnya dengan tanah.
68
Tabel 6: Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Reforma Akses
NO. R E F O R M A A K S E S
T H R E A T T R E A T M E N T Oleh Pawartaku:
1. Terjadinya peralihan tanah dari
petani penerima redistribusi tanah
kepada pihak lain.
Mencegah terjadinya peralihan tanah dari
petani penerima redistribusi tanah kepada
pihak lain, melalui penyegaran dan penguatan
semangat juang petani anggota Pawartaku.
2. Terjadinya penyewaan atau
penjualan bidang tanah hasil
redistribusi oleh petani penerima
redistribusi tanah.
Mencegah terjadinya penyewaan atau
penjualan bidang tanah hasil redistribusi oleh
petani penerima redistribusi tanah, melalui
penguatan etos kerja petani anggota
Pawartaku.
3. Kuatnya karakter “buruh
perkebunan” pada petani
penerima redistribusi tanah, yang
cenderung lemah ikatan batinnya
dengan tanah.
Mengubah karakter “buruh perkebunan” pada
petani penerima redistribusi tanah, yang
cenderung lemah ikatan batinnya dengan
tanah; dan menggantinya dengan karakter
“petani”, yang kuat ikatan batinnya dengan
tanah.
4. Kuatnya karakter “buruh
perkebunan” pada petani
penerima redistribusi tanah, yang
memiliki mindset setelah kerja
kemudian dibayar.
Mengubah karakter “buruh perkebunan” pada
petani penerima redistribusi tanah, yang
memiliki mindset setelah kerja kemudian
dibayar; dan menggantinya dengan karakter
“petani”, yang tekun dan sabar dalam
mengelola tanah pertanian, hingga mendapat
hasil saat panen.
5. Lemahnya permodalan petani
penerima redistribusi tanah.
Meningkatkan permodalan petani penerima
redistribusi tanah, melalui skema credit union.
Oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar:
1. Peraturan perundang-undangan
ideal dan normatif, sehingga sulit
menghadapi dinamika lapangan.
Pelaksanaan kebijakan disederhanakan, agar
mampu menghadapi dinamika lapangan.
2. Lemahnya dukungan SKPD
terhadap pelaksanaan reforma
agraria.
Melakukan komunikasi yang intens dengan
Bupati Blitar dan pimpinan SKPD terkait.
3. Keterbatasan kewenangan yang
dimiliki oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar, agar reforma
akses dapat terlaksana dengan
baik.
Melakukan komunikasi yang intens dengan
Bupati Blitar dan pimpinan SKPD terkait,
bersedia mendukung reforma akses.
Sumber: Data Primer, 2019
69
B A B VII
KONSTRUKSI KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL O. Konstruksi Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial sebagai dampak reforma agraria, nampak pada
kehidupan para petani di Dusun Kulon Bambang, Desa Sumberurip Kecamatan
Doko. Pihak yang paling aktif melakukan konstruksi kesejahteraan sosial adalah
Pawartaku (Paguyuban Warga Tani Kulonbambang). Sebagaimana diketahui
Pawartaku telah melakukan upaya, untuk mencegah terjadinya peralihan tanah
dari petani penerima redistribusi tanah kepada pihak lain, melalui penyegaran
dan penguatan semangat juang petani anggota Pawartaku. Selain itu, Pawartaku
juga mencegah terjadinya penyewaan atau penjualan bidang tanah hasil
redistribusi oleh petani penerima redistribusi tanah, melalui penguatan etos
kerja petani anggota Pawartaku.
Sementara itu, berkaitan dengan karakter “buruh perkebunan” pada petani
penerima redistribusi tanah yang cenderung lemah ikatan batinnya dengan
tanah, maka Pawartaku telah berupaya menggantinya dengan karakter “petani”,
yang kuat ikatan batinnya dengan tanah. Selain itu, masih dalam kaitannya
dengan karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima redistribusi tanah
yang memiliki mindset setelah kerja kemudian dibayar, maka Pawartaku
berupaya menggantinya dengan karakter “petani”, yang tekun dan sabar dalam
mengelola tanah pertanian, hingga mendapat hasil pada saat panen. Akhirnya,
Pawartaku juga berupaya membantu permodalan petani Dusun Kulonbambang
dengan caranya yang unik.
Untuk mewujudkan kesejahteraan sosial di Dusun Kulonbambang,
Pawartaku menyiapkan fasilitas umum, fasilitas sosial, serta pendidikan dan
pelatihan bagi petani. Kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi petani
diselenggarakan oleh Pawartaku dengan memanfaatkan tanah kolektif yang ada,
sebagai tempat demplot (demonstration plot). Sementara itu, berkaitan dengan
peningkatkan modal usaha petani penerima redistribusi tanah, maka Pawartaku
70
tidak menyerahkannya pada pihak bank. Pawartaku melakukan upaya tersendiri
agar lebih sesuai dengan situasi yang dialami petani penggarap (eks penerima
redistribusi tanah) di Dusun Kulonbambang. Sikap kritis terhadap perbankan ini,
kemudian mendorong Pawartaku untuk belajar pada Yayasan Cindelaras di
Yogyakarta, tentang pengelolaan koperasi yang mampu memberdayakan petani.
Selanjutnya hasil belajar inilah yang memunculkan ide untuk mendirikan Credit
Union berbadan hukum koperasi di Dusun Kulonbambang.
Credit Union Pawartaku merupakan upaya untuk mendukung para petani
Dusun Kulonbambang di bidang sosial, finansial, dan gerakan petani. Sebagai
modal awal pendirian Credit Union Pawartaku, digunakanlah hasil dari
pengerjaan tanah kolektif. Selanjutnya petani Dusun Kulonbambang diwajibkan
menabung, sebesar Rp. 1.650.000,- dengan perincian:
1. Uang sebesar Rp. 800.000,- ditabung untuk hari tua yang bersangkutan atau
pensiun yang bersangkutan.
2. Uang sebesar Rp. 450.000,- dapat diambil bila diperlukan oleh yang
bersangkutan.
3. Uang sebesar Rp. 400.000,- merupakan asuransi kesehatan dan asuransi jiwa
(kematian) bagi yang bersangkutan.
Setiap bulan petani Dusun Kulonbambang wajib menabung di Credit Union
Pawartaku, sebesar Rp. 50.000,-. Bila yang bersangkutan tidak sanggup, petugas
Credit Union Pawartaku akan memberi botol air mineral kosong yang telah
dimodifikasi, untuk menyimpan uang receh (kecil). Kemudian kepada yang
bersangkutan diminta setiap harinya untuk mengisi botol kosong tersebut
dengan uang receh sesuai kemampuannya, dan bila botol telah penuh, maka
isinya diserahkan kepada petugas Credit Union Pawartaku, untuk disimpan
sebagai tabungan atas nama yang bersangkutan.
Besaran bunga pada Credit Union Pawartaku tidaklah flat, melainkan
menurun. Selain itu, cicilan setiap bulannya juga menurun. Contoh, seseorang
yang berpenghasilan Rp. 1.500.000,- per bulan mendapat kredit sebesar Rp.
18.000.000,- yang harus dilunasi dalam jangka waktu tertentu. Maka cicilannya
per bulan berubah-ubah semakin menurun, seperti: diawal cicilannya Rp.
71
750.000 per bulan, kemudian berubah-ubah semakin menurun hingga cicilannya
hanya Rp. 300.000,- per bulan.
Sebagai usaha yang berbadan hukum koperasi, Credit Union Pawartaku
tidak mengutamakan pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha), melainkan
mengutamakan kemanfaatkan kredit yang diberikan oleh Credit Union
Pawartaku kepada anggotanya. Karena bila Credit Union Pawartaku
mengutamakan SHU, maka ia akan mencari keuntungan sebesar-besarnya dari
anggota. Akibatnya beban anggota terasa berat, sehingga Credit Union Pawartaku
tidak terlalu bermanfaat buat anggotanya.
Credit Union Pawartaku berupaya membantu anggotanya seoptimal
mungkin. Contoh, ada suami istri yang mengambil kredit senilai Rp. 18.000.000,-.
Suami memiliki usaha berjualan bakso, sedangkan istrinya memiliki usaha
menjahit pakaian (konveksi). Kredit tersebut digunakan untuk kebutuhan
tertentu yang langsung habis terpakai, sehingga yang bersangkutan berpeluang
kesulitan dalam mengembalikan kredit tersebut. Oleh karena itu, petugas Credit
Union Pawartaku menawarkan kredit tambahan sebagai modal usaha. Kemudian
disepakati, yang bersangkutan akan mendapat kredit tambahan sebesar Rp.
4.000.000,- dengan perincian:
1. Rp. 2.000.000,- untuk tambahan modal usaha suami berjualan bakso, dan
2. Rp. 2.000.000,- untuk tambahan modal usaha istri menjahit pakaian
(konveksi).
Credit Union Pawartaku juga berkomitmen, untuk tidak membuka usaha
penyaluran atau retail (pedagang eceran) bahan pokok, seperti: beras, gula,
minyak goreng, dan lain-lain. Komitmen ini dibuat dan dilaksanakan, agar Credit
Union Pawartaku tidak bersaing dengan usaha anggotanya yang membuka
warung kecil-kecilan. Contoh lainnya, Credit Union Pawartaku hanya menangani
pengemasan kopi bubuk, kemudian memasarkannya, sedangkan yang menanam,
memanen, dan mengolah hingga dihasilkan bubuk kopi (dalam hal ini “Kopi
Doko”) dilakukan oleh petani yang menjadi anggota Credit Union Pawartaku.
Pada Bulan April 2019, Credit Union Pawartaku telah beranggotakan 800
orang, dengan omset mencapai: Rp. 3,5 milyar. Sesuai komitmennya, Credit Union
72
Pawartaku berupaya mengatasi kredit macet petani Dusun Kulonbambang di
bank (BRI) yang mencapai 81 sertipikat hak atas tanah atau 81 bidang tanah.
Fenomena kredit macet ini merupakan dampak masuknya perbankan di Dusun
Kulonbambang.
Awalnya perbankan masuk ke Dusun Kulonbambang, untuk mendukung
reforma agraria, khususnya reforma akses, yaitu untuk membantu permodalan
bagi petani Dusun Kulonbambang. Tetapi karena situasi unik yang dialami petani
Dusun Kulonbambang, maka bantuan tersebut justru membebani. Salah satu
penyebabnya adalah tidak adanya pembinaan dan arahan pada petani yang
mengambil kredit di bank.
Oleh karena itu, langkah pertama yang dilakukan Pawartaku dalam
membantu petani Dusun Kulonbambang adalah dengan menyelamatkan bidang
tanah yang dimiliki petani. Caranya dengan menyelesaikan kewajiban petani
terhadap bank, kemudian memindahkannya menjadi kewajiban petani terhadap
Pawartaku. Untuk itu Pawartaku melunasi kredit yang diambil petani,
selanjutnya petani yang bersangkutan dicatat sebagai penerima kredit dari Credit
Union Pawartaku, yang nilainya setara dengan nilai pelunasan kreditnya di bank.
Tetapi Pawartaku melakukan hal ini secara bertahap, karena kemampuan
Pawartaku melalui Credit Union Pawartaku memiliki keterbatasan finansial.
Sampai dengan April 2019, upaya Credit Union Pawartaku ini telah berhasil
menebus 57 sertipikat hak atas tanah yang ada di BRI, dan upaya akan terus
dilanjutkan hingga seluruh kredit macet di BRI tersebut dapat diselesaikan atau
dilunasi oleh Credit Union Pawartaku.
Permodalan merupakan sesuatu yang penting bagi petani Dusun
Kulonbambang, tetapi hal ini tidak boleh menyebabkan petani kehilangan
tanahnya, karena disita atau dijual pihak bank saat kreditnya tak mampu
dilunasi. Modal usaha mampu memberi kesempatan pada petani untuk
memproduksi komoditas pertanian yang disukai pasar. Sebagai contoh, petani
Dusun Kulonbambang telah berhasil memproduksi kopi, yang kemudian dikenal
sebagai Kopi Doko (nama kecamatan). Kopi Doko mendapat predikat “excellent”
dari Panitia Festival Kopi Jawa Timur tahun 2018, dan saat ini para petani Dusun
73
Kulonbambang sedang berjuang agar suatu saat Kopi Doko berhasil mendapat
predikat “premium”.
Untuk mendukung dinamika kehidupan petani Dusun Kulonbambang,
Credit Union Pawartaku menyediakan fasilitas kredit, sebagai berikut:
1. Griyo, adalah kredit untuk membangun rumah, caranya sebagai berikut:
a. Satu tahun sebelum membangun rumah, yang bersangkutan harus
mengajukan Griyo, misalnya sebesar Rp. 100.000.000,-.
b. Untuk itu, yang bersangkutan harus menabung sebesar 10% dari nilai
Griyo, misalnya: 10% dari Rp. 100.000.000,- yaitu sebesar Rp. 10.000.000,-.
c. Selanjutnya Griyo dapat dicicil secara berkala sesuai kesepakatan (seperti:
bulanan atau triwulanan) selama 20 tahun.
2. Kismo, adalah kredit untuk membeli tanah, caranya sebagai berikut:
a. Satu tahun sebelum membeli tanah, yang bersangkutan harus mengajukan
Kismo, yang nilainya sebesar harga tanah yang akan dibeli.
d. Untuk itu, yang bersangkutan harus menabung sebesar 10% dari nilai
Kismo.
b. Selanjutnya Kismo dapat dicicil secara berkala sesuai kesepakatan (seperti:
bulanan atau triwulanan) untuk selama waktu yang disepakati (seperti: 5
tahun).
3. Kreto, adalah kredit untuk membeli kendaraan roda dua atau roda empat,
caranya dengan terlebih dahulu membayar uang muka, seperti untuk uang
muka kendaraan roda dua sebesar Rp. 2.000.000,- dan diangsur setiap
bulannya sesuai dengan kesepakatan untuk selama waktu yang disepakati
(seperti: 5 tahun).
4. Kromo, adalah kredit untuk biaya pernikahan, yang pelunasannya dapat
diangsur setiap bulan sesuai dengan kesepakatan untuk selama waktu yang
disepakati (seperti: 5 tahun).
5. Babaran, adalah kredit untuk biaya melahirkan, yang besarannya adalah Rp.
2.000.000,- per anak, dan pelunasannya dapat diangsur setiap bulan sesuai
dengan kesepakatan untuk selama waktu yang disepakati.
74
6. Tanen, adalah kredit untuk bertani tanaman perkebunan, yang pelunasannya
dapat diangsur setiap bulan sesuai dengan kesepakatan untuk selama waktu
yang disepakati.
7. Parisuko, adalah kredit untuk membeli barang-barang elektronik, yang
pelunasannya dapat diangsur setiap bulan sesuai dengan kesepakatan untuk
selama waktu yang disepakati.
8. Parimulyo, adalah kredit untuk bertani tanaman pangan, yang pelunasannya
dapat diangsur setiap bulan sesuai dengan kesepakatan untuk selama waktu
yang disepakati.
Setelah berjuang relatif lama, yaitu sejak legalisasi asset atau sejak tahun
2012, akhirnya reforma agraria di Dusun Kulonbambang, Desa Sumberurip,
Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar berhasil memberi dampak berupa
kesejahteraan sosial bagi petani. Tepatnya reforma agraria di Dusun
Kulonbambang yang meliputi wilayah seluas 280 Ha, dan melibatkan 130 rumah
tangga petani, berhasil mengkonstruksi kesejahteraan sosial petani Dusun
Kulonbambang, sebagai berikut:
1. Mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga berpendidikan Sekolah
Menengah Atas. Padahal sebelum reforma agraria (sebelum memiliki bidang
tanah), mereka bekerja sebagai buruh perkebunan, sehingga hanya mampu
menyekolahkan anak-anaknya pada tingkat Sekolah Dasar.
2. Tidak lagi disebut “wong persil”. Padahal sebelum reforma agraria, mereka
diberi panggilan “wong persil” yang bermakna penghinaan.
3. Diperkenankan mengikuti seluruh kegiatan sosial yang ada di Desa
Sumberurip. Padahal sebelum reforma agraria, masyarakat dan Pemerintah
Desa Sumberurip membatasi kegiatan sosial Desa Sumberurip yang dapat
diikuti oleh mereka (para petani Dusun Kulonbambang), karena khawatir
membebani finansial dan psikis mereka.
4. Didengar pendapatnya saat Pertemuan Desa. Padahal sebelum reforma
agraria, masyarakat dan Pemerintah Desa Sumberurip kurang memperhatikan
pendapat yang diajukan oleh mereka (para petani Dusun Kulonbambang),
karena khawatir mereka tidak memahami persoalan yang sedang dibahas.
75
5. Diperkenankan mendirikan organisasi dan kegiatan yang menyertainya,
seperti Credit Union Pawartaku. Padahal sebelum reforma agraria, masyarakat
dan Pemerintah Desa Sumberurip membatasi mereka (petani Dusun
Kulonbambang) membatasi mereka dalam berorganisasi.
6. Mampu memiliki ternak (unggas, kambing, dan sapi) serta kendaraan
bermotor (roda dua). Padahal sebelum reforma agraria, mereka tidak memiliki
ternak dan kendaraan bermotor.
7. Mampu memiliki rumah permanen. Padahal sebelum reforma agraria, mereka
tinggal di rumah yang tidak permanen, dan bukan milik sendiri.
P. Konstruksi Keadilan Sosial
Keadilan sosial terlihat pada hubungan yang baik antara pihak yang satu
dengan pihak yang lain. Selain itu, keadilan berada di tengah-tengah titik ekstrim,
yang pada hakekatnya tidak boleh mengutamakan kepentingan diri sendiri, dan
juga tidak boleh mengutamakan kepentingan orang lain. Kerjasama juga
merupakan unsur penting dalam penerapan keadilan sosial, karena ia
menekankan pada pemenuhan hak dan kewajiban para pihak. Untuk itu
perjanjian atau kontrak sosial yang telah disepakati para pihak menjadi dasar
bagi pelaksanaan keadilan. Dengan demikian keadilan sosial dibangun atau
dikonstruksi oleh beberapa unsur sebagai berikut: equal opportunity,
egalitarianisme, partisipatoris, terjadi proses sosial, demokratis, penghormatan
terhadap hak asasi manusia, pembangunan yang berguna bagi masyarakat,
kegiatan yang mampu mereduksi ketimpangan, distribusi yang proporsional, dan
harmoni sosial.
Ketika keadilan sosial diletakkan pada pengelolaan sumberdaya agraria/
tanah, maka dalam pengelolaan sumberdaya agraria/tanah terlihat hubungan
yang baik antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Meskipun sebelumnya
terjadi konflik atau sengketa pertanahan, karena adanya reclaiming tanah oleh
suatu pihak (yaitu: masyarakat atau petani penggarap) terhadap pihak yang lain
(yaitu: pengelola perkebunan). Tetapi akhirnya konflik atau sengketa pertanahan
tersebut dapat diselesaikan secara damai.
76
Pengelolaan sumberdaya agraria/tanah tidak hanya mengutamakan
kepentingan suatu pihak (misal: pengelola perkebunan), dan juga tidak hanya
mengutamakan kepentingan pihak yang lain (misal: masyarakat atau petani
penggarap). Sumberdaya agraria/tanah dikelola dalam bingkai berbagi dan
bekerjasama antara pihak yang satu (misal: pengelola perkebunan) dengan pihak
yang lain (misal: masyarakat atau petani penggarap). Kedua pihak berdampingan
secara damai dalam mengelola sumberdaya agraria/tanah, dan perlahan-lahan
melupakan serta menghapus dari ingatan konflik atau sengketa pertanahan yang
pernah terjadi. Untuk itu, kedua pihak perlu memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing, berdasarkan perjanjian atau kontrak sosial yang telah disepakati.
Secara faktual keadilan sosial dalam pengelolaan sumberdaya
agraria/tanah merupakan dampak reforma agraria, yang dibangun melalui
penghormatan terhadap hak-hak petani penggarap, untuk memperoleh tanah.
Slogan “tanah untuk petani” menjiwai penghormatan ini, sehingga ketika petani
penggarap melakukan reclaiming tanah, maka solusinya bukanlah siapa yang
paling kuat pembuktian hukumnya, melainkan bagaimana caranya agar diperoleh
konstruksi keadilan yang baru, sehingga perkebunan (termasuk tanah
perkebunan) dapat berdampingan dengan petani (termasuk tanah petani).
Semangat ini berpeluang menciptakan kehidupan sosial yang lebih adil dan
demokratis di beberapa perkebunan di Kabupaten Blitar. Sebagaimana diketahui
pada beberapa perkebunan tersebut, keadilan sosial sedang dikonstruksi Kantor
Pertanahan Kabupaten Blitar dan semua pihak yang terkait, melalui
penghormatan terhadap petani penggarap, terutama yang melakukan reclaiming
tanah. Timbul kesadaran di kalangan pengelola perkebunan, untuk bersedia
menyerahkan sebagian tanahnya kepada petani penggarap, seperti:
1. Perkebunan Gondang Tapen di Dusun Gondang Tapen, Desa Ringinrejo,
Kecamatan Wates: PT. Semen Bima Agung bersedia melepaskankan tanahnya
seluas 50 Ha, kepada petani penggarap dari Desa Ringinrejo.
2. Perkebunan Nusantara XII di Dusun Penataran, Desa Penataran, Kecamatan
Nglegok: PT. Perkebunan Nusantara XII bersedia melepaskan tanahnya seluas
70 Ha, kepada petani penggarap dari Desa Penataran.
77
3. Perkebunan Nyunyur di Dusun Nyunyur, Desa Soso, Kecamatan Gandusari: PT.
Kismo Handayani bersedia melepaskan tanahnya seluas 74 Ha, kepada petani
penggarap dari Dusun Nyunyur.
4. Perkebunan Rotorejo Kruwuk di Dusun Sukomulyo (Desa Gadungan) dan
Dusun Rejokaton (Desa Sumberagung), Kecamatan Gandusari: PT. Perkebunan
Rotorejo Kruwuk bersedia melepaskan tanahnya seluas 24 Ha, kepada petani
penggarap dari Desa Gadungan.
5. Perkebunan Swaru Buluroto di Desa Karangrejo, Kecamatan Garum: PT.
Kemakmuran Swaru Buluroto bersedia melepaskan tanahnya seluas 100 Ha,
kepada petani penggarap dari Desa Karangrejo.
6. Perkebunan Gunung Nyamil di Desa Ngeni dan Desa Ngadipuro, Kecamatan
Wonotirto, serta Desa Serang, Kecamatan Wonotirto: Puskopad Kodam
V/Brawijaya bersedia melepaskan tanahnya, seluas 426 Ha kepada petani
penggarap dari Desa Ngeni, Desa Ngadipuro, dan Desa Serang.
7. Perkebunan Petung Ombo di Desa Karangrejo, Kecamatan Garum:
Berdasarkan SK. Panglima Kodam V/Brawijaya Nomor SKEP/135/X/2001,
tanggal 16 Oktober 2001, akhirnya pada tahun yang sama Puskopad Kodam
V/Brawijaya bersedia melepaskan tanah seluas 138 Ha, kepada petani
penggarap dari Desa Karangrejo.
Keadilan sosial sebagai dampak reforma agraria semakin faktual, ketika
dilihat kinerja Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dalam pelaksanaan
redistribusi tanah pada kurun waktu tahun 2007 – 2017. Kinerja ini
memperlihatkan besarnya manfaat reforma agraria bagi petani penggarap
(rumah tangga petani). Pada kurun waktu 2007 – 2017, Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar telah melaksanakan redistribusi tanah sebanyak 20.075 bidang,
seluas 3.326 Ha, bagi 13.502 rumah tangga petani, yang tersebar di 60 desa.
Inilah bentuk keadilan sosial, yang berhasil diwujudkan dari aspek penguasaan
dan pemilikan tanah. Hal ini menjadi bukti keadilan sosial, karena jumlah rumah
tangga petani yang menguasai dan memiliki bidang tanah semakin banyak,
sehingga ketimpangan atau kesenjangan penguasaan dan pemilikan tanah
78
(pertanian) dapat direduksi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel: 7
berikut ini:
Tabel 7: Kinerja Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar
Dalam Pelaksanaan Redistribusi Tanah
Tahun 2007 – 2017
No. Tahun Luas (Ha) Jumlah RTP Jumlah Bidang Jumlah Desa
1. 2007 1.894,9007 7.419 11.321 18
2. 2008 640,9591 3.316 4.571 14
3. 2009 206,1856 817 1.402 10
4. 2010 0 0 0 0
5. 2011 255,0000 489 751 1
6. 2012 0 0 0 0
7. 2013 149, 6578 683 1.080 8
8. 2014 25,7573 212 250 3
9. 2015 71,3343 266 350 4
10. 2016 82,4277 300 350 2
11. 2017 0 0 0 0
Jumlah 3.326,2225 13.502 20.075 60
Keterangan: RTP = Rumah Tangga Petani
Sumber: Kantah Kab. Blitar, 2019
Ketika cakupan wilayah diperluas pada Provinsi Jawa Timur, keadilan sosial
sebagai dampak reforma agraria semakin faktual, terutama ketika
memperhatikan kinerja Kantor Wilayah BPN (Badan Pertanahan Nasional)
Provinsi Jawa Timur. Pada kurun waktu 2007 – 2017 diketahui, bahwa Kantor
Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur telah melaksanakan redistribusi tanah
sebanyak 95.588 bidang, seluas 17.158 Ha, bagi 73.658 rumah tangga petani,
yang tersebar di lebih dari 15 kabupaten. Hal ini memperlihatkan keadilan sosial,
yang berhasil diwujudkan dari aspek penguasaan dan pemilikan tanah di
Provinsi Jawa Timur. Jumlah rumah tangga petani yang menguasai dan memiliki
bidang tanah semakin banyak, sehingga ketimpangan atau kesenjangan
penguasaan dan pemilikan tanah (pertanian) dapat direduksi. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel: 8 berikut ini:
79
Tabel 8: Kinerja Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur
Dalam Pelaksanaan Redistribusi Tanah
Tahun 2007 – 2017
No. Tahun Luas (Ha) Jumlah RTP Jumlah Bidang Jumlah Kab.
1. 2007 2.166,9742 8.436 12.400 8
2. 2008 3.325,2513 15.239 19.458 11
3. 2009 2.556,2513 9.704 12.932 7
4. 2010 1.983,1388 11.689 15.005 9
5. 2011 2.163,4660 6.971 9.001 7
6. 2012 712,0983 3.632 4.583 4
7. 2013 1.012,5850 4.582 6.000 7
8. 2014 1.211,4186 4.643 5.861 10
9. 2015 539,3963 2.524 3.000 0
10. 2016 1.175,8843 5.109 6.000 10
11. 2017 312,1269 1.129 1.348 4
Jumlah 17.158,5910 73.658 95.588 -
Keterangan: RTP = Rumah Tangga Petani
Sumber: Kanwil BPN Prov. Jawa Timur melalui Kantah Kab. Blitar, 2019
Untuk mengetahui kontribusi Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar ketika
memperjuangkan keadilan sosial melalui redistribusi tanah pada konteks
Provinsi Jawa Timur, maka perlu dibandingkan dua data, sebagai berikut:
1. Pada kurun waktu 2007 – 2017, Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur
telah melaksanakan redistribusi tanah sebanyak 95.588 bidang, seluas 17.158
Ha, bagi 73.658 rumah tangga petani.
2. Pada kurun waktu 2007 – 2017, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar telah
melaksanakan redistribusi tanah sebanyak 20.075 bidang, seluas 3.326 Ha,
bagi 13.502 rumah tangga petani.
Berdasarkan kedua data tersebut diketahui, bahwa Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar berkontribusi, sebagai berikut:
1. Dalam hal jumlah bidang tanah yang diredistribusikan, telah berkontribusi
sebesar 21%.
2. Dalam hal luas areal yang diredistribusikan, telah berkontribusi sebesar 19%.
3. Dalam hal jumlah rumah tangga petani yang memperoleh bidang tanah hasil
redistribusi, telah berkontribusi sebesar 18%.
80
Berdasarkan seluruh uraian tersebut diketahui, bahwa ketika keadilan
sosial diletakkan dalam konteks reforma agraria di Kabupaten Blitar, maka:
1. Keadilan sosial merupakan dampak reforma agraria, terutama terlihat pada
luas areal (3.326 Ha) dan jumlah bidang tanah yang diredistribusikan (20.075
bidang), serta rumah tangga petani yang memperoleh manfaat berupa tanah
hasil redistribusi (13.502 rumah tangga petani) pada kurun waktu tahun
2007 - 2017. Situasi ini sekaligus menjadi bukti adanya elemen keadilan
sosial, seperti: equal opportunity, egalitarianisme, dan partisipatoris.
2. Keadilan sosial juga nampak pada penghormatan terhadap petani penggarap
oleh pihak pengelola perkebunan, terutama pada petani penggarap yang
melakukan reclaiming tanah. Kesediaan pihak pengelola perkebunan untuk
bernegosiasi dengan para petani penggarap melalui mekanisme mediasi, yang
diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar merupakan
penanda penghormatan terhadap petani penggarap. Situasi ini sekaligus
menjadi bukti keberadaan elemen keadilan sosial, seperti: proses sosial,
demokratis, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
3. Penghormatan ditunjukkan pula oleh adanya kesadaran dan kesediaan
pengelola perkebunan, untuk menyerahkan sebagian tanahnya kepada para
petani penggarap, yang untuk 7 lokasi konflik luasnya mencapai 882 Ha.
Situasi ini merupakan bukti adanya elemen-elemen keadilan sosial, seperti:
pembangunan yang berguna bagi masyarakat, kegiatan yang mereduksi
ketimpangan, distribusi yang proporsional, dan peluang harmoni sosial.
81
B A B VIII
P E N U T U P Q. Kesimpulan
Reforma agraria menjadi instrumen penting dalam menyelesaikan konflik
agraria, yang sekaligus juga berfungsi sebagai instrumen dalam mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial. Sementara itu, dalam konteks threat dan
treatment-nya di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur diketahui, bahwa:
7. Threat dan treatment dalam penerapan regulasi reforma agraria di Kabupaten
Blitar, sebagai berikut:
a. Threat dalam penerapan regulasi reforma agraria di Kabupaten Blitar,
antara lain:
(1) Regulasi landreform yang ada justru menjadi threat, ketika upaya
mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah (lihat Pasal 2
Perpres 86 Tahun 2018) mengalami kesulitan, karena pemerintah
masih terus mengandalkan kemajuan pertanian pada pengelolaan
tanah berskala besar, terutama yang dikelola oleh perusahaan besar
atau korporasi.
(2) Regulasi redistribusi tanah yang ada justru menjadi threat, ketika
subyek reforma agraria (Pasal 12 Perpres 86 Tahun 2018) terlalu luas,
sehingga sulit mengentaskan kemiskinan yang menimpa para petani
gurem, penggarap, dan buruh tani.
(3) Regulasi legalisasi asset justru menjadi threat, ketika penanganan
sengketa dan konflik agraria difasilitasi oleh GTRA (Gugus Tugas
Reforma Agraria). Sementara itu diketahui, bahwa GTRA berjenjang
dari Pusat hingga Provinsi dan Kabupaten (Pasal 18-23 Perpres 86
Tahun 2018), sehingga memberi peluang bagi terjadinya intervensi dari
GTRA level atas terhadap GTRA level di bawahnya. Hal ini akan
menyulitkan GTRA di level terbawah dalam mengambil keputusan,
82
padahal GTRA pada level inilah yang paling mengetahui konflik agraria
yang terjadi.
(4) Regulasi reforma akses justru menjadi threat, ketika penataan akses
(Pasal 15-16 Perpres 86 Tahun 2018) memposisikan masyarakat hanya
sebagai obyek, dan belum bersedia memposisikan masyarakat sebagai
subyek (pihak yang menentukan kebutuhannya sendiri).
b. Treatment dalam penerapan regulasi reforma agraria di Kabupaten Blitar,
antara lain:
(1) Regulasi landreform membutuhkan treatment untuk mengatasi
ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah (lihat Pasal 2 Perpres 86
Tahun 2018). Oleh karena itu, pemerintah perlu mengubah paradigma
kemajuan pertanian dari sebelumnya kemajuan berbasis pengelolaan
tanah berskala besar (perusahaan besar atau korporasi), menjadi
berbasis pada pengelolaan tanah berskala kecil (petani, kelompok tani,
dan koperasi tani).
(2) Regulasi redistribusi tanah, membutuhkan treatment untuk dapat fokus
pada upaya mengentaskan kemiskinan yang menimpa para petani
gurem, penggarap, dan buruh tani. Oleh karena itu, subyek reforma
agraria (Pasal 12 Perpres 86 Tahun 2018) yang terlalu luas perlu
dipersempit.
(3) Regulasi legalisasi asset, membutuhkan treatment dalam penanganan
sengketa dan konflik agraria yang difasilitasi oleh GTRA. Oleh karena
itu, GTRA yang berjenjang dari Pusat hingga Provinsi dan Kabupaten
(Pasal 18-23 Perpres 86 Tahun 2018) perlu diantisipasi dengan
menciptakan efektivitas kerja, melalui pemberian kewenangan pada
GTRA di level paling bawah atau GTRA Kabupaten, untuk mengambil
keputusan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
(4) Regulasi reforma akses, membutuhkan treatment berupa penguatan
peran serta masyarakat (petani penggarap) setempat sebagai subyek
atau pihak yang paling mengetahui kebutuhannya, karena regulasi
83
hanya memberi posisi masyarakat sebatas obyek dalam penataan akses
(Pasal 15-16 Perpres 86 Tahun 2018).
8. Threat dan treatment dalam pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten
Blitar, sebagai berikut:
a. Threat dalam pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten Blitar terjadi
ketika keputusan Panitia Landreform tidak dilaksanakan, dan diganti
dengan keputusan lain yang bertentangan. Keputusan yang bertentangan
tersebut, akhirnya menimbulkan konflik dan sengketa pertanahan antara
masyarakat (petani penggarap) dengan pihak perkebunan, pengambil
keputusan dan pihak terkait lainnya. Konflik dan sengketa pertanahan
antara masyarakat dengan pihak perkebunan mewujud dalam bentuk
reclaiming dan penguasaan tanah oleh masyarakat. Konflik dan sengketa
pertanahan mereda saat reclaiming dan penguasaan tanah oleh masyarakat
diakui oleh pihak perkebunan. Setelah konflik dan sengketa pertanahan
dapat diselesaikan, maka Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dapat
melakukan redistribusi tanah.
b. Treatment dalam pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten Blitar
dilakukan dengan memanfaatkan Surat Keputusan Menteri Pertanian dan
Agraria Nomor 49/Ka./1964. Kemudian Kantor Pertanahan Kabupaten
Blitar membentuk Panitia Landreform yang bertugas menetapkan
peruntukan tanah dan rekomendasi yang relevan dengan peruntukan
tanah. Selanjutnya Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar menerbitkan SK
tentang Pelaksanaan Landreform, setelah tanah yang direklaim oleh
masyarakat mendapat pengesahan sebagai TOL (Tanah Obyek Landreform).
Kemudian menerbitkan SK tentang Pelaksanaan Konsolidasi Tanah, untuk
melakukan penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah, terutama di areal
permukiman. Sementara itu, penetapan luas bidang tanah yang diperoleh
rumah tangga petani dilakukan organisasi tani setempat berdasarkan
kearifan lokal, misalnya kriteria sebagai berikut: militansi saat berjuang,
84
penggarapan tanah yang berhasil dilakukan saat berjuang, iuran yang
diberikan dan aktivitas saat berjuang, serta kepedulian sosial saat berjuang.
9. Threat dan treatment dalam pelaksanaan legalisasi asset hasil redistribusi
tanah di Kabupaten Blitar, sebagai berikut:
a. Threat dalam pelaksanaan legalisasi asset hasil redistribusi tanah di
Kabupaten Blitar terjadi karena legalisasi asset barulah dapat dilakukan
setelah redistribusi tanah dilakukan. Sebagaimana diketahui Kantor
Pertanahan Kabupaten Blitar telah meredistribusikan tanah seluas 3.326
Ha pada kurun waktu tahun 2007 – 2017, yang secara bertahap juga telah
melakukan legalisasi asset. Redistribusi tanah dapat semakin cepat
terwujud, ketika pihak perkebunan bersedia untuk menyerahkan sebagian
tanah yang dikuasainya kepada masyarakat. Percepatan redistribusi ini
pada akhirnya harus direspon dengan percepatan legalisasi asset. Tetapi
percepatan legalisasi asset akan terhambat, ketika percepatan redistribusi
tanah telah lebih dahulu terhambat, oleh ketidak-sediaan masayarakat
menerima tanah yang dilepaskan pihak perkebunan, karena masyarakat
menuntut tanah yang lebih luas.
b. Treatment dalam pelaksanaan legalisasi asset hasil redistribusi tanah di
Kabupaten Blitar dilakukan sesuai dengan maksud pelaksanaan legalisasi
asset, yaitu memberi penguatan hak atas tanah pada bidang-bidang tanah
eks perkebunan yang telah dikuasai oleh petani. Oleh karena itu, legalisasi
asset dilakukan dengan cara memperhatikan kebutuhan para petani bagi
pengembangan pertanian di masa depan, termasuk adanya tanah kolektif
serta penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Selanjutnya, legalisasi
asset dilakukan dengan membubuhkan suatu catatan pada sertipikat,
bahwa tanah hak milik pada sertipikat tersebut merupakan pelepasan dari
hak guna usaha perusahaan perkebunan, dan tidak dapat dipindah-
tangankan baik sebagian maupun keseluruhan selama 10 tahun.
85
10. Threat dan treatment dalam mewujudkan reforma akses bagi para penerima
redistribusi tanah yang yang bidang tanahnya telah dilegalisasi, sebagai
berikut:
a. Threat dalam mewujudkan reforma akses bagi para penerima redistribusi
tanah yang yang bidang tanahnya telah dilegalisasi, antara lain:
(1) Threat yang terkait dengan tugas Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar,
seperti:
(a) Ada threat dalam pelaksanaan kebijakan yang terlalu ideal,
terutama ketika peluang pelaksanaan dikaitkan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan (Pasal 15 dan Pasal 16 Peraturan
Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria).
(b) Ada threat dalam reforma akses, terutama yang terkait dengan
dukungan SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah). Hal ini
dikarenakan masing-masing SKPD telah memiliki tugas yang relatif
berat dalam tugas pokok dan fungsinya masing-masing, sehingga
berpeluang overload (kelebihan beban) ketika diberi tambahan
tugas reforma akses.
(c) Ada threat dalam reforma akses, terutama yang terkait dengan
kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, untuk
mendukung reforma akses. Sebagaimana diketahui kewenangan
menggerakkan SKPD yang terkait dengan reforma akses tidak ada
pada Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, melainkan berada pada
Pemerintah Kabupaten Blitar (dalam hal ini: Bupati Blitar). Oleh
karena itu, kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar hanya
sebatas mengusulkan dan mengingatkan, agar Bupati Blitar
berkenan menggerakkan SKPD yang terkait dengan reforma akses.
(2) Threat yang terkait dengan fungsi OTL (Organisasi Tani Lokal), seperti:
(a) Terjadinya peralihan tanah dari petani penerima redistribusi tanah
kepada pihak lain.
86
(b) Terjadinya penyewaan atau penjualan bidang tanah hasil
redistribusi oleh petani penerima redistribusi tanah.
(c) Adanya karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima
redistribusi tanah, yang cenderung lemah ikatan batinnya dengan
tanah.
(d) Adanya karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima
redistribusi tanah, yang memiliki mindset setelah kerja kemudian
dibayar.
(e) Lemahnya permodalan petani penerima redistribusi tanah.
b. Treatment dalam mewujudkan reforma akses bagi para penerima
redistribusi tanah yang yang bidang tanahnya telah dilegalisasi, sebagai
berikut:
(1) Treatment yang terkait dengan tugas Kantor Pertanahan Kabupaten
Blitar, seperti:
(a) Pelaksanaan kebijakan yang relatif lebih sederhana merupakan
solusi, karena bila terpaku pada peraturan perundang-undangan
yang terlalu ideal dan normatif, maka sulit menghadapi dinamika
lapangan.
(b) Dukungan dari SKPD yang relatif lemah, direspon dengan
melakukan komunikasi yang intens dengan Bupati Blitar dan
pimpinan SKPD terkait.
(c) Treatment ini sekaligus juga merupakan respon atas keterbatasan
kewenangan yang dimiliki Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar,
agar reforma akses dapat terlaksana dengan baik.
(2) Treatment yang terkait dengan fungsi OTL (Organisasi Tani Lokal),
seperti:
(a) Mencegah terjadinya peralihan tanah dari petani penerima
redistribusi tanah kepada pihak lain, melalui penyegaran dan
penguatan semangat juang petani anggota Pawartaku.
87
(b) Mencegah terjadinya penyewaan atau penjualan bidang tanah hasil
redistribusi oleh petani penerima redistribusi tanah, melalui
penguatan etos kerja petani anggota Pawartaku.
(c) Mengubah karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima
redistribusi tanah, yang cenderung lemah ikatan batinnya dengan
tanah; dan menggantinya dengan karakter “petani”, yang kuat
ikatan batinnya dengan tanah.
(d) Mengubah karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima
redistribusi tanah, yang memiliki mindset setelah kerja kemudian
dibayar; dan menggantinya dengan karakter “petani”, yang tekun
dan sabar dalam mengelola tanah pertanian, hingga mendapat hasil
saat panen.
(e) Meningkatkan permodalan petani penerima redistribusi tanah
melalui skema credit union.
11. Konstruksi kesejahteraan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma
agraria di Kabupaten Blitar, berupa kesejahteraan bagi petani eks penerima
redistribusi tanah, sebagai berikut:
a. Mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga berpendidikan Sekolah
Menengah Atas. Padahal sebelum reforma agraria (sebelum memiliki
bidang tanah), mereka bekerja sebagai buruh perkebunan, sehingga hanya
mampu menyekolahkan anak-anaknya pada tingkat Sekolah Dasar.
b. Tidak lagi disebut “wong persil”. Padahal sebelum reforma agraria, mereka
diberi panggilan “wong persil” yang bermakna penghinaan.
c. Diperkenankan mengikuti seluruh kegiatan sosial yang ada di Desa
Sumberurip. Padahal sebelum reforma agraria, masyarakat dan Pemerintah
Desa Sumberurip membatasi kegiatan sosial Desa Sumberurip yang dapat
diikuti oleh mereka (para petani Dusun Kulonbambang), karena khawatir
membebani finansial dan psikis mereka.
d. Didengar pendapatnya saat Pertemuan Desa. Padahal sebelum reforma
agraria, masyarakat dan Pemerintah Desa Sumberurip kurang
88
memperhatikan pendapat yang diajukan oleh mereka (para petani Dusun
Kulonbambang), karena khawatir mereka tidak memahami persoalan yang
sedang dibahas.
e. Diperkenankan mendirikan organisasi dan kegiatan yang menyertainya,
seperti Credit Union Pawartaku. Padahal sebelum reforma agraria,
masyarakat dan Pemerintah Desa Sumberurip membatasi mereka (petani
Dusun Kulonbambang) membatasi mereka dalam berorganisasi.
f. Mampu memiliki ternak (unggas, kambing, dan sapi) serta kendaraan
bermotor (roda dua). Padahal sebelum reforma agraria, mereka tidak
memiliki ternak dan kendaraan bermotor.
g. Mampu memiliki rumah permanen. Padahal sebelum reforma agraria,
mereka tinggal di rumah yang tidak permanen, dan bukan milik sendiri.
12. Konstruksi keadilan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma agraria di
Kabupaten Blitar, sebagai berikut:
a. Keadilan sosial merupakan dampak reforma agraria, terutama terlihat pada
luas areal (3.326 Ha) dan jumlah bidang tanah yang diredistribusikan
(20.075 bidang), serta rumah tangga petani yang memperoleh manfaat
berupa tanah hasil redistribusi (13.502 rumah tangga petani) pada kurun
waktu tahun 2007 - 2017. Situasi ini sekaligus menjadi bukti adanya
elemen-elemen keadilan sosial, seperti: equal opportunity, egalitarianisme,
dan partisipatoris.
b. Keadilan sosial juga nampak pada penghormatan terhadap petani
penggarap oleh pihak pengelola perkebunan, terutama pada petani
penggarap yang melakukan reclaiming tanah. Kesediaan pihak pengelola
perkebunan untuk bernegosiasi dengan para petani penggarap melalui
mekanisme mediasi, yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar merupakan penanda penghormatan terhadap petani
penggarap. Situasi ini sekaligus menjadi bukti keberadaan elemen keadilan
sosial, seperti: proses sosial, demokratis, dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia.
89
c. Penghormatan ditunjukkan pula oleh adanya kesadaran dan kesediaan
pengelola perkebunan, untuk menyerahkan sebagian tanahnya kepada para
petani penggarap, yang untuk 7 lokasi konflik luasnya mencapai 882 Ha.
Situasi ini merupakan bukti adanya elemen-elemen keadilan sosial, seperti:
pembangunan yang berguna bagi masyarakat, kegiatan yang mereduksi
ketimpangan, distribusi yang proporsional, dan peluang harmoni sosial.
R. Rekomendasi
Regulasi reforma agraria perlu terus dilaksanakan sebaik-baiknya dengan
memperhatikan situasi setempat, seraya terus menerus dilakukan perbaikan
terhadap substansi regulasi tersebut. Selain itu, pelaksanaan redistribusi tanah,
legalisasi asset, dan pemberian akses juga perlu terus menerus dilakukan dan
diperjuangkan pelaksanaannya, karena mampu mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan sosial.
Perlu memberi perhatian yang lebih besar pada landreform by leverage,
dengan menempatkan penyelesaian konflik dan sengketa penguasaan dan
pemilikan tanah sebagai bagian dari program nasional reforma agraria. Hal ini
penting dilakukan, karena akan berdampak pada adanya dorongan untuk
memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia yang kompeten, dan pendanaan yang
memadai, sehingga lebih cepat diperoleh kesepakatan antara pihak pengelola
perkebunan dengan masyarakat. Hal ini akan mempercepat redistribusi tanah, untuk
kemudian dilanjutkan dengan legalisasi asset dan access reform.
90
DAFTAR PUSTAKA
Agassi, Joseph. 1990. “The Theory and Practice of The Welfare State.” Toronto, York University.
Aliansi Tani Jawa Timur. 2018. “Wujudkan Keadilan Agraria Dan Kedaulatan Petani di Jawa Timur.” www.api.or.id tanggal 8 Oktober 2018
Arisaputra, Muhammad Ilham. 2015. “Accessreform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat.” (Disertasi). Surabaya, Universitas Airlangga.
Azwar, Saifuddin. 1998. “Metode Penelitian.” Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Bakri, Muhammad. 2011. “Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru
Untuk Reforma Agraria.” Malang, Universitas Brawijaya Press. Collins Dictionary. 2019a. “Threat.” www.collinsdictionary.com tanggal 25 Maret
2019. Collins Dictionary. 2019b. “Treatment.” www.collinsdictionary.com tanggal 25 Maret
2019. Darmawan T. dan Sugeng B. 2006. “Memahami Negara Kesejahteraan: Beberapa
Catatan Bagi Indonesia.” Jakarta, Jurnal Politika. Frufonga, Ronaldo F., Vilma S. Sulleza dan Roel A. Alli. 2016. “The Impact of
Comprehensive Agrarian Reform Program on Farmer Beneficiaries in The 3rd Congressional District of Iloilo, Philippines.” Asia Pacific Journal of Multidisciplinary Research, Vol.4, No,1, February 2016. Halaman 81-90.
Fuwa, Nobuhiko. 2000. “Politics And Economics Of Landreform In The Philippines.” Matsudo, Chiba University.
Harsono, Boedi. 2003. “Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, Dan Pelaksanaannya.” Jakarta, Djambatan.
Heit, Jason. 2005. “Rural Development And The Agrarian Reform Process in Chile.” Saskatchewan Economics Journal. Halaman 71-82. Canada, University of Saskatchewan.
Hutagalung, Arie Sukanti. 1985. “Program Reditribusi Tanah di Indonesia.” Jakarta, Rajawali Press.
Islambergerak.com. 2018. “Pengantar Memahami Problem dan Konflik Agraria di Jawa Timur.” 24 November 2018.
Isnaeni, Diyan. 2017. “Kebijakan Program Redistribusi Tanah Bekas Perkebunan Dalam Menunjang Pembangunan Sosial Ekonomi Masyarakat.” Masalah-Masalah Hukum, Jilid 46, Nomor 4, Oktober 2017, halaman 308-317.
KPA. 2018. “KPA Jawa Timur Tindaklanjuti Konsolidasi Lokasi Prioritas Reforma Agraria.” www.kpa.or.id tanggal 12 April 2018.
Limbong, Bernhard. 2012a. “Konflik Pertanahan.” Jakarta, Margaretha Pustaka. Limbong, Bernhard. 2012b. “Reforma Agraria.” Jakarta, Margaretha Pustaka. Limbong, Bernhard. 2012c. “Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan: Regulasi,
Kompensasi, dan Penegakan Hukum.” Jakarta, Margaretha Pustaka. Mediatataruang.com. 2016. “Program Legalisasi Asset BPN-RI.” www.mediatata
ruang.com tanggal 10 September 2016.
91
Moleong, Lexy J. 2007. “Metodologi Penelitian Kualitatif.” Bandung, Remaja Rosdakarya.
Muhajir, Noeng. 1998. “Metodologi Penelitian Kualitatif.” Yogyakarta, Rake Sarasin. Nurlinda, Ida. 2008. “Penerapan Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Menurut
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang ‘Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam’ Dalam Kebijakan Pertanahan Nasional.” (Disertasi). Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada.
Parlindungan, A.P. 1983. “Landreform di Indonesia.” Ujungpandang, STIKI. Rangkuti, Freddy. 2004. “Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis.” Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama. Rawls, John. 2011. “A Theory of Justice.” Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Santoso, Urip. 2012. “Hukum Agraria: Kajian Komprehensif.” Jakarta, Kencana
Penada Media Group. Siagian, Sondang P. 2000. “Manajemen Strategik.” Jakarta, Bumi Aksara. Sitasdesablitar. 2019. “Kulonbambang.” http://sitasdesablitar.com 22 Maret 2019. Slote, Michael. 2010. “Justica as a Virtue”. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Sobhan, Rehman. 1993. “Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions
for Development.” Oxford University Press. Soemardjono, Maria S.W. 2012. “Penyempurnaan UUPA Dan Sinkronisasi
Kebijakan.” Kompas.com tanggal 9 Oktober 2012. Swift, Adam. 2006. “Political Philosophy: A Beginner’s Guide for Student and
Politician.” Cambridge, Polity.
Top Related