PENELITIAN KUALITATIF
Penelitian kualitatif merupakan suatu pendekatan dalam melakukan
penelitian yang berorientasi pada fenomena atau geja1a yang bersifat alami.
Mengingat orientasinya demikian, maka sifatnya mendasar dan naturalistis atau
bersifat kealamian, serta tidak bisa dilakukan di laboratorium, melainkan di
lapangan. Oleh sebab itu, penelitian semacam ini sering disebut dengan,
naturalistic inquiry, atau field study.
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max Weber
(1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala
sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan
perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh
karena itu metoda yang utama dalam sosiologi dari Max Weber adalah verstehen
atau pemahaman (jadi bukan erklaren atau penjelasan). Agar dapat memahami
makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang peneliti harus dapat
berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku
yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna
mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang
diamatinya (Suparlan, 1997:95).
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dalam setting
tertentu yang ada dalam kehidupan riil (alamiah) dengan maksud menginvestigasi
dan memahami fenomena: apa yang terjadi, mengapa terjadi dan bagaimana
terjadinya?. Jadi riset kualitatif adalah berbasis pada konsep “going exploring”
yang melibatkan in-depth and case-oriented study atas sejumlah kasus atau kasus
tunggal (Finlay 2006). Tujuan utama penelitian kualitatif adalah membuat fakta
mudah dipahami (understandable) dan kalau memungkinan (sesuai modelnya)
dapat menghasilkan hipotesis baru.
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 1
1. PARADIGMA PENELITIAN
Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan cara
pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan juga perlakuan peneliti
terhadap ilmu dan teori. Paradigma juga mampu menjelaskan bagaimana peneliti
memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk
menjawab penelitian (Guba & Lincoln, 1988:89-115).
Paradigma merupakan perspektif riset yang digunakan peneliti yang berisi
bagaimana peneliti melihat realita (world views), bagaimana mempelajari
fenomena, cara-cara yang digunakan dalam penelitian dan cara-cara yang
digunakan dalam menginterpretasikan temuan. Dalam konteks desain penelitian,
pemilihan paradigma penelitian menggambarkan pilihan suatu kepercayaan yang
akan mendasari dan memberi pedoman seluruh proses penelitian (Guba, 1990).
Paradigma penelitian menentukan masalah apa yang dituju dan tipe penjelasan
apa yang dapat diterimanya (Kuhn, 1970).
Guba & Lincoln (1994:17-30) juga menyusun beberapa paradigma dalam
teori ilmu komunikasi. Paradigma yang dikemukakan itu terdiri dari paradigma
positivistik, paradigma pospositivistik, paradigma kritis, dan paradigma
konstruktivisme. Beberapa ahli metodologi dalam bidang ilmu sosial
berpendapat bahwa paradigma positivistik dan pospositivistik merupakan
kesatuan paradigma, yang sering disebut dengan paradigma klasik. Implikasi
metodologis dan teknis dari dua paradigma tersebut, dalam prakteknya, tidak
punya banyak perbedaan. Adanya konstelasi paradigma di atas maka teori dan
penelitian biasa dikelompokkan dalam tiga paradigma utama, yaitu paradigma
klasik, paradigma kritis dan paradigma konstruktivisme. Apabila terjadi tiga
pembedaan paradigma dalam ilmu sosial, maka terjadi perbedaan pemahaman
terhadap paradigma itu sendiri.
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 2
Perbedaan antara ketiga paradigma ini juga dapat dibahas dari 4 (empat) dimensi.
Keempat dimensi tersebut adalah dimensi epistemologis, dimensi ontologis,
dimensi metodologis, serta dimensi aksiologis.
Dimensi epistemologis berkaitan dengan asumsi mengenai hubungan antara
peneliti dengan yang diteliti dalam proses memperoleh pengetahuan mengenai
objek yang diteliti. Seluruhnya berkaitan dengan teori pengetahuan (theory of
knowledge) yang melekat dalam perspektif teori dan metodologi.
Dimensi ontologis berhubungan dengan asumsi mengenai objek atau realitas
sosial yang diteliti. Dimensi metodologis mencakup asumsi-asumsi mengenai
bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu obyek pengetahuan.
Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan dengan posisi value judgments, etika
serta pilihan moral peneliti dalam suau penelitian.
Paper ini menjelaskan tentang tentang penelitian yang menggunakan
pendekatan kualitatif serta paradigma yang lazim dipergunakan dalam penelitian,
antara lain paradigma Positivistik, post-positivistik, kritik, dan konstruktivis.
Penelitian kualitatif merupakan mengandung paradigma penelitian yang
menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan
sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang holistic, kompleks dan
rinci.
1.1. Positivistik
Sebagai pendoman dalam melakukan suatu penelitian, peneliti memiliki
beberapa pilihan paradigma yang dapat dipergunakan, tetapi banyak peneliti yang
lebih tertarik pada paradigma lama atau klasik yang sering disebut paradigma
positivistik.
Paradigma positivistik pertama sekali diperkenalkan oleh Claud Henry Saint
Simon(1760-1825) dan dilanjutkan oleh Auguste Comte (1789-1857). Penelitian
kualitatif jenis pertama ini menggunakan paradigma positivisme. Kriteria
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 3
kebenaran menggunakan ukuran frekwensi tinggi. Data yang terkumpul bersifat
kuantitatif kemudian dibuat kategorisasi baik dalam bentuk tabel, diagram
maupun grafik. Hasil kategorisasi tersebut kemudian dideskripsikan, ditafsirkan
dari berbagai aspek, baik dari segi latar belakang, karakteristik dan sebagainya.
Dengan kata lain data yang bersifat kuantitatif ditafsirkan dan dimaknai lebih
lanjut secara kualitatif. Penelitian di jenjang pendidikan strata satu (S1) istilah
penelitian kualitatif lebih banyak menunjuk pada pengertian jenis pertama ini.
Beberapa peneliti menyebut dengan istilah penelitian deskriptif kualitatif.
Paradigma positivis. Secara ringkas adalah pendekatan yang diadopsi dari
ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif
dan penggunaan alat-alat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena
secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi
sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data-data yang terukur secara
tepat, yang diperoleh melalui survai/kuisioner dan dikombinasikan dengan
statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif (Neuman 2003).
Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian ditemukan
hubungan di antara variabel-variabel yang terlibat di dalamnya. Hubungan
tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat.
Bagi positivisme, ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika
ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu
tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari
jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal- hal yang bersifat
berulang-ulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum
sebab akibatnya. Dengan demikian, teori dalam pemahaman ini terbentuk dari
seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah
untuk menemukan hukum-hukum tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang
peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh
dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan
tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 4
1.2. Post-Positivistime
Pada filsafat postpositivisme kebenaran didasarkan pada esensi (sesuai dengan
hakekat obyek) dan kebenarannya bersifat holistik. Pengertian fakta maupun data
dalam filsafat positivisme dan postpossitivisme juga memiliki cakupan yang
berbeda. Dalam postivisme fakta dan data terbatas pada sesuatu yang empiri
sensual (teramati secara indrawi), sedangkan dalam postpositivisme selain yang
empiri sensual juga mencakup apa yang ada di balik yang empiri sensual
(fenomena dan nomena).
Menurut istilah Noeng Muhadjir (2000: 23) positivisme menganalisis
berdasar data empirik sensual, postpositivisme mencari makna di balik yang
empiri sensual. Karakteristik utama penelitian kualitatif dalam paradigma
postpositivisme adalah pencarian makna di balik data (Noeng Muhadjir. 2000:
79).
Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: Paradigma
ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan Positivisme
yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek
yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat critical realism yang memandang
bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi
suatu hal, yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia
(peneliti). Oleh karena itu secara metodologi pendekatan eksperimental melalui
metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data,
peneliti dan teori
Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan antara pengamat atau
peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, tidak
seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang
tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di
belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu,
hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 5
bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas
dapat dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan Guba,
Denzin dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang
ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme
sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai
hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak
mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak
dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan
antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu
menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode,
sumber data, data, dan lain-lain.
Penelitian kualitatif dalam aliran postpositivisme dibedakan menjadi dua
yaitu penelitian kualitatif dalam paradigma phenomenologi dan penelitian
kualitatif dalam paradigma bahasa. Penelitian kualitatif dalam paradigma
phenomenologi bertujuan mencari esensi makna di balik fenomena, sedangkan
dalam paradigma bahasa bertujuan mencari makna kata maupun makna kalimat
serta makna tertentu yang terkandung dalam sebuah karya sastra
1.3. Teori Kritis
Teori kritis, dimulai dengan tulisan Karl Marx, sebagai starting point bagi
perspektif sangat kritis pada teori ini. Secara garis besar teori kritis mempunyai
suatu pengaruh yang substantial pada penelitian sosial, dan bidang komunikasi,
terutama, Frankfurt School (Mazhab Frankfurt). Gambaran secara historis ini, kita
melihat pula aspek-aspek teori kritis yang dalam kajian komunikasi dan
dikaitkan penelitian sosial.
Akar historis Paradigma/perspektik kritis. Pembahasan idealisme Jerman dan
pengaruh yang dimilikinya terhadap penelitian ilmu sosial. Tradisi ini, ditemukan
oleh Immanuel Kant, kemanusiaan bersifat melawan proses-proses interpretif
yang terpusat untuk pemahaman kita mengenai dunia sosial. Pengaruh Marxisme.
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 6
Karl Marx (1818-1883) mempunyai suatu jarak lebar kehidupan-intelektual dan
telah menjadi, tentu saja pengaruh yang mendalam dalam bermacam-macam sikap
politik dan arena-arena akademis.
“Permulaan” Marx dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Hegel mengenai
ketegangan antara pengalaman subyektif internal dan dunia eksternal serta
melalui kealamian sejarah pada ketegangan itu. Marx percaya bahwa dunia
eksternal mempunyai salah satu yang secara kemanusiaan diciptakan dan
kemudian melakukan abstraksi keberadaan yang substansial dan dibuat untuk
merasakan keobyektifan dan sifat eksternal bagi individu secara subyektif.
Marx, secara khusus memulainya dari asumsi pengasingan manusia. Dia melihat
masyarakat saat itu sebagai mendominasi pengalaman manusia; penciptaan-
penciptaan sosial diobyektifikasi yang direfleksikan kembali manusia sebagai
suatu penguatan pengasingan, yang mendominasi keberadaan esensinya dan
kealamian.”
Marx menyatakan bahwa kondisi-kondisi ekonomi pada masyarakat kapitalis
ditandai oleh pembedaan kelas diantara kaum borjuis (yakni, siapa yang
mengontrol corak-corak dan memaknai produksi) dan kaum proletar (yakni, siapa
yang dipakai dalam produksi untuk mendapatkan upah).Tulisan awal dan akhir
Marx mengembangkan tinjauan pada hubungan diantara individu dan masyarakat.
Sekolah Frankfurt. Teori kritis adalah anak dari aliran besar filsafat
berinspirasi Marx yang paling jauh meninggalkan Marx. Mereka juga disebut
Aliran Frankfurt, karena mereka semula berada pada Institute fur Sozialforchung
di frankfur, Main di Jerman. Cara pemikiran Aliran Frankfurt mereka sebut
sendiri “Teori Kritik Masyarakat” (Teori Kritis). Maksud teori ini ialah
membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknorat modern.
Di buku yang berbeda Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu
pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh
metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang
diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme
dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 7
salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels
(Denzin, 2000: 279-280).
Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi
filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan
oleh paradigma adalah asumsi realitas yang tidak netral namun dipengaruhi dan
terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh sebab itu,
proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari
kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis
memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya
penelitian atau analisis kritis tentang teks media.
Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan
paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas. Ciri pertama adalah ciri
pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis
sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena
bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pandangan
paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi
konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).
Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik
menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang
mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi
dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah
mengubah dunia yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam
paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial
yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia
berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).
Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik
perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh
nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 8
dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa
ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi
sosial. Dari proses tersebut, dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan
suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian
yang dibuat.
Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma
kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini
menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada
proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk
melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang dan akan terjadi.
Dengan demikian, karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial
peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini
media massa berikut teks yang diproduksinya. Maka, dalam paradigma kritis,
penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti,
dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya
(Newman, 2000:63-87).
Dalam konteks karakteristik yang keempat ini, penelitian paradigma kritis
mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level. Hal
ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam
seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000:170).
1.4. Kontruktivis
Paradigma/Perspektif kontruktivis merupakan antitesis dari paham
pengamatan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan.
Paham ini menyatakan bahwa positivistime dan post-positivisme merupakan
paham yang keliru dalam mengungkap realitas dunia, kedua paham ini harus
ditinggalkan dan diganti dengan konstruktif (Denzin dan Guba. 2001: 41).
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 9
Secara metodologi, pendekatan yang digunakan konstruktivisme adalah
hermeneutik dan dialektikal. Hermeneutik berarti makna (meaning) merupakan
sesuatu yang tersembunyi dalam pikiran dan harus diekstraksi ke permukaan
melalui refleksi yang mendalam. Kegiatan refleksi ini distimulasi oleh dialog
(pendekatan dialektikal) antara pencari informasi (peneliti) dengan responden.
Peneliti dan responden bersama-sama menyusun (co-construct) temuan dari
dialog interaktif dan interpretasi mereka dari dialog tersebut.
Ide mengenai konstruktivisme telah muncul sejak abad ke-5 sebelum masehi
baik di Timur, oleh Budha Gautama (560–477 SM), maupun di Barat oleh
Heraklitus (535-474 SM). Sejak itu, pandangan konstruktivisme tidak banyak
berkembang hingga dituliskan ulang oleh Giambattista Vico (1668–1774) pada
abad ke-17. Immanuel Kant (1724-1804) dipandang banyak ahli sebagai peletak
ide utama mengenai konstruktivisme. Kant dalam Critique of Pure Reason
menjelaskan pikiran (mind) sebagai organisme yang tidak henti-hentinya
mentransformasikan ketidakaturan (chaos) menjadi keteraturan (order). Kant
membedakan proses penyerapan informasi oleh indera (sensasi) dengan
pemaknaan personal informasi tersebut oleh individu (persepsi). Karenanya,
berbagai informasi yang diperoleh individu dari luar bisa saja ditangkap oleh
indera yang sama, namun diorganisir dan dimaknai berbeda-beda oleh tiap
individu, tergantung pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.
Selanjutnya, konstruktivisme lebih dikenal dalam dunia belajar (learning)
dengan dua tokoh utamanya, Jean Piaget (1896-1980) dan Lev Vygotsky (1896–
1934). Piaget mengembangkan teori mengenai perkembangan anak dan kaitannya
sebagai belajar. Menurut Piaget, terdapat dua proses utama, yakni asimilasi dan
akomodasi yang terjadi ketika individu berhadapan dengan informasi baru.
Individu menggunakan dua proses tersebut untuk membangun pengetahuan dan
pemahaman. Pada asimilasi, individu mengumpulkan dan mengklasifikasi
informasi baru. Informasi baru tersebut kemudian diserap (assimilated), jika tidak
kontradiktif dengan informasi yang telah ada sebelumnya. Misalnya, ketika
seseorang melihat kendaraan dengan dua roda dan tanpa motor penggerak,
kendaraan tersebut akan diklasifikasi sebagai ”sepeda.” Jika informasi baru yang
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 10
diperoleh kontradiktif dengan informasi yang telah disusun sebelumnya, misalnya
individu menjumpai kendaraan dengan tiga roda dan tanpa motor penggerak, -
mirip dengan sepeda- maka proses yang terjadi adalah akomodasi. Pada
akomodasi, informasi baru yang kontradiktif diserap seiring berjalannya proses
penyesuaian (adjustment). Misalnya saja bahwa terdapat juga sepeda dengan tiga
roda, misalnya sepeda yang digunakan anak-anak berusia lima tahun ke bawah.
Dua tahapan proses informasi tersebut menggambarkan paham konstruktivisme,
di mana informasi tidak hanya diserap, namun juga disesuaikan dengan skema dan
informasi yang telah ada sebelumnya.
Seperti yang telah dijabarkan di atas, pendekatan konstruktivisme umumnya
digunakan dalam penerapan teori belajar. Model belajar konstruktivis
menekankan bahwa belajar adalah sesuatu yang sangat individual. Tiap individu
membangun versi unik dari realitas berdasarkan pengalaman sama, namun
dimaknai berbeda tergantung pengalaman dan pengetahuan individu sebelumnya
Secara ontologis, aliran ini menyatakan realitas itu ada dalam macam-macam
konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan
tergantung pada orang yang melakukannya. Karena itu, suatu realitas yang
diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang seperti
yang dilakukan di kalangan positivistik atau post-positivistik. Menurut Linclon,
perpektif kontruktivis muncul melalui proses cukup lama setelah sekian generasi
ilmuwan berpegang teguh pada perspektif postivistik selama berabad-abad.
Awal perkembangannya, perspektif kontruktivis ini mengembangkan jumlah
indikator:
1. penggunaan metode kualitatif dalam proses pengumpulan data dan
analisis data;.
2. Mencari relevansi indikator memahami data lapangan.
3. Teori lebih bersifat membumi.
4. Kegiatan ilmu harus bersifat natural (apa adanya);.
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 11
5. Pola-pola yang diteliti dan berisi kategori yang menjadi unit analisis.
6. Penelitian bersifat partisipatif daripada mengontrol
Kontruktivis atau konstrukvisme secara teoritis untuk komunikasi yang
dikembangkan tahun 1970-ann oleh Jesse Delia (dkk). Kontrukvisme berkaitann
dengan penelitian komunikasi antarpersona sejak 1970-an
2. Implikasi paradigma, Teori dan Metode dalam Penelitian Kualitatif.
2.1. Implikasi Paradigma dalam Penelitian
Ilmu pengetahuan merupakan suatu cabang studi yang berkaitan dengan
penemuan dan pengorganisasian fakta-fakta, prinsip-prinsip, dan metoda-metoda.
Dari sini dapat dipahami bahwa untuk dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan,
maka cabang studi itu haruslah memiliki unsur-unsur penemuan dan
pengorganisasian, yang meliputi pengorganisasian fakta-fakta atau kenyataan-
kenyataan, prinsip-prinsip serta metoda- metoda. Oleh Moleong prinsip-prinsip ini
disebut sebagai aksioma-aksioma, yang menjadi dasar bagi para ilmuan dan
peneliti di dalam mencari kebenaran melalui kegiatan penelitian.
Dasar-dasar untuk melakukan kebenaran itu biasa disebut sebagai
paradigma, yang oleh Bogdan dan Biklen dinyatakan sebagai kumpulan longgar
dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang
mengarahkan cara berpikir dan penelitian.
Ada berbagai macam paradigma yang mendasari kegiatan penelitian ilmu-
ilmu sosial. Paradigma-paradigma yang beragam tersebut tidak terlepas dari
adanya dua tradisi intelektual Logico Empiricism dan Hermeneutika.
Logico Empiricism, merupakan tradisi intelektual yang mendasarkan diri
pada sesuatu yang nyata atau faktual dan yang serba pasti. Sedangkan
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 12
Hermeneutika, merupakan tradisi intelektual yang mendasarkan diri pada sesuatu
yang berada di balik sesuatu yang faktual, yang nyata atau yang terlihat.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berusaha melihat
kebenaran-kebenaran atau membenarkan kebenaran, namun di dalam melihat
kebenaran tersebut, tidak selalu dapat dan cukup didapat dengan melihat sesuatu
yang nyata, akan tetapi kadangkala perlu pula melihat sesuatu yang bersifat
tersembunyi, dan harus melacaknya lebih jauh ke balik sesuatu yang nyata
tersebut.
Pilihan terhadap tradisi mana yang akan ditempuh peneliti sangat
ditentukan oleh tujuan dan jenis data yang akan ditelitinya. Oleh karena itu
pemahaman terhadap paradigma ilmu pengetahuan sangatlah perlu dilakukan oleh
para peneliti. Bagi kegiatan penelitian, paradigma tersebut berkedudukan sebagai
landasan berpijak atau fondasi dalam melakukan proses penelitian selengkapnya.
2.2. Implikasi Teori dalam Penelitian Kualitatif
Semua penelitian bersifat ilmiah,oleh karena itu semua peneliti harus
berbekal teori. Dalam penelitian kuantitatif, teori yang di gunakan harus sudah
jelas, sebagai dasar untuk merumuskan hipotesi, dan sebagai referensi untuk
menyusun instrument penelitian. Oleh karena itu apa yang akan dipakai.
Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang dibawa oleh
peneliti masih bersifat sementara, maka teori yang digunakan dalam penyusunan
proposal peneliti kualitatif juga masih bersifat sementara,dan akan berkembang
setelah peneliti mamasuki lapangan atau konteks social. Dalam kaitannya dengan
teori, kalau dalam penelitian kualitatif itu bersifat menguji hipotesis atau
teori,sedangkan dalam penelitian kualitatif bersifat menemukan teori.
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 13
metode penelitian kualitatif berangkat dari lapangan dengan melihat fenomena
atau gejala yang terjadi untuk selanjutnya menghasilkan atau mengembangkan
teori. Jika dalam metode penelitian kuantitatif teori berwujud dalam bentuk
hipotesis atau definisi sebagaimana dipaparkan pada halaman sebelumnya, maka
dalam metode penelitian kualitatif teori berbentuk pola (pattern) atau generalisasi
naturalistik (naturalistic generalization). Karena itu, pola dari suatu fenomena
bisa dianggap sebagai sebuah teori. Kalau begitu apa fungsi teori dalam metode
penelitian kualitatif? Teori dipakai sebagai bahan pisau analisis untuk memahami
persoalan yang diteliti.
Dengan teori, peneliti akan memperoleh inspirasi untuk bisa memaknai persoalan.
Memang teori bukan satu-satunya alat atau bahan untuk melihat persoalan yang
diteliti. Pengalaman atau pengetahuan peneliti sebelumnya yang diperoleh lewat
pembacaan literatur, mengikuti diskusi ilmiah, seminar atau konferensi, ceramah
dan sebagainya bisa dipakai sebagai bahan tambahan untuk memahami persoalan
secara lebih mendalam. Teori dipakai sebagai informasi pembanding atau
tambahan untuk melihat gejala yang diteliti secara lebih utuh. Karena tujuan
utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami gejala atau persoalan tidak
dalam konteks mencari penyebab atau akibat dari sebuah persoalan lewat variabel
yang ada melainkan untuk memahami gejala secara komprehensif, maka berbagai
informasi mengenai persoalan yang diteliti wajib diperoleh. Informasi dimaksud
termasuk dari hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai persoalan yang sama
atau mirip.
Dalam penelitian kuantitatif jumlah teori yang digunakan sesuai dengan
jumlah variabel yang diteliti, sedangkan dalam penelitian kualitatif yang bersifat
holistik,jumlah teori yang harus dimiliki oleh penelitian kualitatif jauh lebih
banyak karena harus disesuaikan dengan fenomena yang berkembang di lapangan.
Penelitian kualitatif akan lebih profesional kalau menguasai semua teori
sehingga wawasannya akan manjadi lebih luas,dan dapat menjadi instrument
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 14
penelitian yang baik.teori bagi penelitian kualitatif akan berfungsi sebangai bekal
untuk bias memahami konteks sosial secara lebih luas dan mendalam.
Walaupun peneliti kulitatif dituntu untuk mengguasai teori yang luas dan
mendalam , namun dalam menglaksanakan penelitian kualitatif, peneliti kualitatif
harus mampu melaksanakan teori yang di miliki tersebut dan tidak digunakan
sebagai panduan untuk wawancara, dan observasi. Peneliti kualitatif di tuntut
dapat menggali data berdasarkan apa yang diucapkan, dipasakan, dilakukan oleh
partisipan atau sumber data. Peneliti kualitatif harus bersifat “ perspektif emic”
artinya memperoleh data bukan “sebagaimana seharusnya”, bukan
berdasarkan,apa yang terjadi dilapangan, yang di alami, dirasakan, dan difikirkan
oleh partisipan/sumber data.
Oleh karena itu peneliti kualitatif harus berbekal teori yang luas sehingga
mampu menjadi “human instrument “ yang baik. Dalam hal ini Bong and Gall
1988 menyatakan bahwa “Qualitative research is much more difficult to do well
than quantitative research because the data collected are usually subjective and the
main measurement tool for collcted data is the investigator himself”. Peneliti
kualitatif lebih sulit bili dibandingkan dengan penelitian kualitatif, karena data
yang terkumpul bersifat subjektif dan instrument sebagai alat pengumpul data
adalah peneliti itu sendiri.
Untuk dapat menjadi instrument penelitianyang baik, peneliti kualitatif di
tuntut untuk memiliki wawsan teoritis maupun wawasan yang trkait dengan
konteks sosial yang di teliti yang berupa niai, budaya, keyakinan, hukum, adapt
istiadat yang terjadi dan berkembang pada konteks sosial tersebut. Bila peneliti
tidak memiliki wawasan yang luas ,maka peneliti akan sulit membuka pertanyaan
kepada sumber data, sulit memehami apa yang terjadi, tidak akan dapat
melakukan analisis secara induktif terhadap data yang di peroleh. Sebagai contoh
seseorang peneliti bidang kesehatan saja akan mengalami kesulitan.
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 15
Demikian juga peneliti yang berlatar belakang pendidikan, akan sulit
untuk bertanya dan memahami bidang antropologi. Peneliti kualitatif di tuntut
mampu mengorganisasikan semua teori yang dibaca. Landasan teori yang di
tuliskan dalam proposal penelitian lebih berfungsi untuk menunjukan seberapa
jauh peneliti walaupun masih permasalahan tersebut bersifat sementara itu. Oleh
karena itu landasan teori yang dikemukakan tidak merupakan harga mati, tetapi
bersifat sementara.
Peneliti kualitatif setuju di tuntut untuk melakukan grounded research,
yaitu menemukan teori berdasarkan data yang di peroleh di lapangan atau situasi
sosial.
2.3. Implikasi Metodologi dalam Penelitian Kualitatif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990. 920. Metodologi adalah
kembangan dari kata metode atau cara jadi metodologi adalah ilmu tentang
metode. Sedangkan Penelitian berasal dari kata teliti yang memiliki makna
cermat; seksama. Kemudian dikembangkan menjadi meneliti yang berarti
memeriksa (menyelidiki, dsb). Kemudian dikembangkan lagi menjadi penelitian
yaitu: pemeriksaan yang teliti, Dan kualitatif adalah berdasarkan mutu. Penelitian
adalah suatu kegiatan monopoli para ahli. Dalam artian ahli di bidangnya masing-
masing(Arikunto,2006.1).
Jadi metodologi penelitian adalah sebuah ilmu tentang metode atau cara
untuk melakukan sebuah pemeriksaan secara teliti namun semua itu harus
berdasarkan mutu. Maksudnya ilmu tentang cara untuk melakukan pemeriksaan
secara teliti namun yang diteliti itu bermutu atau penting untuk diteliti dan
dibutuhkan penjelasan terhadap bahan yang akan diteliti tersebut.
Kemudian digabungkan dengan pemikiran aliran positivisme menjadi sebuah ilmu
tentang cara untuk melakukan pemeriksaan secara teliti namun yang diteliti itu
bermutu atau penting untuk diteliti dan dibutuhkan penjelasan terhadap bahan
yang akan diteliti tersebut dengan berpandangan positif atau pada fakta-fakta.
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 16
Namun dalam hal penyajian, penelitian kualitatif tidak boleh lepas dari cara
penyajiannya yakni secara deskriptif.
Menurut Gulo didalam bukunya yang berjudul Metodologi penelitian
secara simpel di menjelaskan Melakukan sebuah penelitian diperlukan proses
langkah-langkah yang sistematis, analistis, empiris, dan terkendali. Dan proses
inilah yang dinamakan metodologi penelitian. Metodologi penelitian membantu
sipeneliti untuk melakukan tahap-tahap penelitian yang lebih efisien.
Secara filosofik, metode penelitian merupakan bagian dari ilmu
pengetahun yang mempelajari bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran.
Prosedur kerja mencari kebenaran sebagai filsafat dikenal sebagai filsafat
epistemologi. Karena kualitas kebenaran yang diperoleh dalam berilmu
pengetahuan terkait langsung dengan kualitas prosedur kerjanya (Noeng, hal 8).
Disisi lain secara logika metodologi penelitian merupakan ilmu yang
mempelajari tentang metoda-metoda penelitian, ilmu tentang alat-alat penelitian.
Dilingkungan filsafat, logika dikenala sebagai ilmu tentang alat untuk mencari
kebenaran. Bila ditata dalam sistematika, metodologi penelitian merupakan bagian
dari logika (Noeng, 2000,hal 9)
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 17
Daftar Pustaka
Muhadjir, Noeng.2000. Metode Penelitian Kualitatif. Jogyakarta: Raka Sarasin
Bazuki, Heru, Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Kemanusiaan dan Budaya, Jakarta: Gunadarma Press, 2006.Griffiths, Martin
Eriyanto, (2001). Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS,
Noeng, Muhadjir. Metode Penelitian Sosial . Surakarta: LembagaPengembangan Pendidikan, 1998
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik di Media Massa sebuah Study Critical Discourse Analysis Discourse. Jakarta: Granit
Paradigma dan Perspektif Riset Komunikasi Page 18
Top Related