TUGAS PERMASALAHAN PEMBANGUNAN
“SLUM SEATTLEMENT SEBAGAI BAGIAN KEHIDUPAN URBAN”
OLEH :
ABIMANYU DJU (14/372713/PTK/9861)
EKA KUSUMA RENY (14/372904/9904)
TRI HESTI MILANINGRUM (14/372838/PTK/9890)
PROGRAM STUDI S2 TEKNIK ARSITEKTUR
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2015
Abstrak
Permukiman kumuh adalah suatu permukiman padat perkotaan yang terbentuk oleh kemiskinan. Permukiman kumuh memiliki karakteristik dan luas yang berbeda-beda disetiap negara. Namun pada dasarnya memiliki banyak kesamaan yaitu, kurangnya penyediaan air bersih, sanitasi yang buruk, sistem kelistrikan yang seadanya, kurangnya penegak hukum, dan fasilitas kesehatan. Permukiman kumuh sangat bervariasi bentuknya, dari rumah gubuk yang dibangun seadanya, hingga rumah susun yang karena desain maupun konstruksinya dibangun dengan buruk bertransformasi menjadi permukiman kumuh.
1. Pendahuluan
Kondisi kumuh suatu permukiman merupakan masalah yang masih
belum dapat diatasi hingga kini. Menurut UN Habitat (2010), jumlah
permukiman kumuh di dunia tumbuh sekitar 10 % setiap tahunnya.
Banyak penduduk yang masih hidup di daerah kurang layak, baik dari
sanitasi, kebutuhan air yang tidak memadai, fasilitas umum yang kurang
baik, penjaminan kepemilikan lahan yang tidak jelas, dan ruang hidup
yang manusiawi. Banyak faktor yang menyebabkan permukiman menjadi
kumuh salah satunya adalah faktor rendahnya tingkat ekonomi. Tingkat
ekonomi memengaruhi kualitas hidup seseorang dimana akan
mempengaruhi juga ke lingkungan. Apabila beberapa kelompok orang
dengan tingkat ekonomi yang sama, maka lingkungan yang tercipta akan
mencerminkan kelompok orang tersebut. Banyak dampak yang muncul
akibat adanya slum settlement ini, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya,
dan kesehatan. Slum settlement ini memiliki beberapa tahap dalam
pengembangannya dari tahap mula hinggu tingkat jenuh kepadatan suatu
permukiman kumuh.
Menurut UN-HABITAT, sekitar 33% dari penduduk perkotaan di
negara berkembang pada tahun 2012, atau sekitar 863.000.000 orang
tinggal di daerah kumuh. Proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di
1
daerah kumuh tertinggi di Sub-Sahara Afrika (61,7%), diikuti oleh Asia
Selatan (35%), Asia Tenggara (31%), Asia Timur (28,2%), Asia
Barat (24,6%), Oceania (24,1%), Amerika Latin dan Karibia (23,5%),
dan Afrika Utara (13,3%). Di antara masing-masing negara, proporsi
penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh pada tahun 2009 yang
tertinggi di Republik Afrika Tengah (95,9%). Antara tahun 1990 dan 2010
persentase penduduk yang tinggal di daerah kumuh menurun, bahkan
ketika jumlah penduduk perkotaan mengalami peningkatan. Kota kumuh
terbesar di dunia adalah di Mexico City.
1.1. Pengertian Permukiman
Permukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya.
Permukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang
artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya
permukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau
kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana ligkungannya.
Perumahan menitiberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses
2
Presentase Penghuni Slum Area berdasarkan WilayahSumber : UN Habitat, 2010
dan land settlement. Sedangkan permukiman memberikan kesan
tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan
perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman
menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati
yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan permukiman
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat
hubungannya, pada hakekatnya saling melengkapi.
1.2. Pengertian Kumuh
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang
sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan
penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan
sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah
mapan kepada golongan bawah yang belum mapan. Menurut kamus
ilmu-ilmu sosial slum diartikan sebagai suatu daerah yang kotor yang
bangunan-bangunannya sangat tidak memenuhi syarat. Jadi daerah
slum dapat diartikan sebagai daerah yang ditempati oleh penduduk
dengan status ekonomi rendah dan bangunan-bangunan
perumahannya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai
perumahan yang sehat. Slum merupakan lingkungan hunian yang legal
tetapi kondisinya tidak layak huni atau tidak memenuhi persyaratan
sebagai tempat permukiman (Utomo, 2000). Slum yaitu permukiman
diatas lahan yang sah yang sudah sangat merosot (kumuh) baik
perumahan maupun permukimannya (Herlianto, 1985). Dalam kamus
sosiologi Slum yaitu diartikan sebagai daerah penduduk yang berstatus
ekonomi rendah dengan gedung-gedung yang tidak memenuhi syarat
kesehatan. (Soekanto, 1985).
1.3. Permukiman Kumuh
Diana Puspitasari dari Dinas Tata Ruang dan Permukiman
(Distarkim) Kota Depok mengatakan, definisi permukiman kumuh
3
berdasarkan karakteristiknya adalah suatu lingkungan permukiman
yang telah mengalami penurunan kualitas. Dengan kata lain memburuk
baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya. Dan tidak
memungkinkan dicapainya kehidupan yang layak bahkan cenderung
membahayakan bagi penghuninya. Menurut Diana, ciri permukiman
kumuh merupakan permukiman dengan tingkat hunian dan kepadatan
bangunan yang sangat tinggi, bangunan tidak teratur, kualitas rumah
yang sangat rendah. Selain itu tidak memadainya prasarana dan
sarana dasar seperti air minum, jalan, air limbah dan sampah. Kawasan
kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat
di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan
prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik
standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat,
kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan
prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial
lainnya.
Di banyak kota dimana kumuh berkembang, bermula dari
mereka yang berpindah dan datang dari daerah pedesaan, jarang
menetap dan permukiman tetap yang menjadi padat dan kumuh.
Lingkungan berkembang lebih lanjut dari waktu ke waktu menjadi padat
dan secara fisik jenuh.
Lingkungan seperti digambarkan diatas yang menunjukkan
pertambahan dan proses pembangunan kumuh yang tak terstruktur.
4
Proses Fisik Tahap Perkembangan Slum AreaSumber : Sliuzas, et al., 2008
Menurut Sori (2012), tahapannya dari perkembangan slum adalah
infancy (pertumbuhan), consolidation (peleburan) and saturation
(penjenuhan).
- Infancy (perpindahan) merupakan tahap awal hunian di mana lahan
kosong yang terletak seperti di tanah sisi curam, rawa-rawa, dekat
tepi sungai, daerah berbahaya, daerah konservasi, dll dijadikan
kawasan hunian kumuh. (terkait dengan tidak ada kepemilikan hak
lahan) Dalam hal ini magnet yang menjadikan lokasi dijadikan
hunian adalah fasilitas umum yang memadai, misal ketersediaan
air
- Consolidation adalah tahap peralihan antara infancy dan saturasi.
Sangat cepat menyebar dan lahan yang digunakan tadi akan
berkurang dengan adanya bangunan tambahan (misal mendirikan
bangunan untuk usaha disamping bangunan hunian).
- Saturation adalah tahap di mana ekspansi berhenti karena tanah
kosong telah penuh. Pada tahap ini kepadatan penduduk adalah
tertinggi dan menurunkan standar hidup penghuni kawasan kumuh.
Perkembangan kumuh mungkin terjadi dengan mengorbankan
lahan pertanian utama, dengan mengorbankan pemandangan alam
atau ruang terbuka publik.
Ciri-ciri permukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Prof.
DR. Parsudi Suparlan adalah :
1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2. Kondisi hunian rumah dan permukiman serta penggunaan
ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu
atau miskin.
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi
dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di permukiman
5
kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata
ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan
komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas
kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai :
a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara,
dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.
b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari
sebuah RT atau sebuah RW.
c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai
sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai
sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar.
5. Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonomi
tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan
tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal
muasalnya. Dalam masyarakat permukiman kumuh juga
dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas
kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
6. Sebagian besar penghuni permukiman kumuh adalah
mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai
mata pencaharian tambahan di sektor informal.
Berdasarkan salah satu ciri diatas, disebutkan bahwa
permukiman kumuh memiliki ciri “kondisi hunian rumah dan
permukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan penghuninya
yang kurang mampu atau miskin”. Penggunaan ruang tersebut berada
pada suatu ruang yang tidak sesuai dengan fungsi aslinya sehingga
berubah menjadi fungsi permukiman, seperti muncul pada daerah
sempadan untuk kebutuhan Ruang Terbuka Hijau. Keadaan demikian
menunjukan bahwa penghuninya yang kurang mampu untuk membeli
atau menyewa rumah di daerah perkotaan dengan harga
lahan/bangunan yang tinggi, sedangkan lahan kosong di daerah
6
perkotaan sudah tidak ada. Permukiman tersebut muncul dengan
sarana dan prasarana yang kurang memadai, kondisi rumah yang
kurang baik dengan kepadatan yang tinggi serta mengancam kondisi
kesehatan penghuni. Dengan begitu, permukiman yang berada pada
kawasan SUTET, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, dan
sempadan situ/danau merupakan kawasan permukiman kumuh.
Menurut Ditjen Bangda Depdagri, ciri-ciri permukiman atau
daerah perkampungan kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial
ekonomi adalah sebagai berikut
1. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan
berpendidikan rendah, serta memiliki sistem sosial yang
rentan.
2. Sebagaian besar penduduknya berusaha atau bekerja di
sektor informal Lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan
prasarananya di bawah standar minimal sebagai tempat
bermukim, misalnya memiliki:
a. Kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2
b. Kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha
c. Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi,
drainase, dan persampahan)
d. Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun
<20% dari luas persampahan
e. Kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak
memenuhi syarat minimal untuk tempat tinggal
f. Permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit
dan keamanan
g. Kawasan permukiman dapat atau berpotensi
menimbulkan ancaman (fisik dan non fisik ) bagi manusia
dan lingkungannya
7
Para ahli dan praktisi pembangunan kota melihat bahwa belum
berhasilnya pembangunan permukiman di berbagai kota besar di
Indonesia lebih banyak dikaitkan dengan persoalan urbanisasi
(penduduk miskin), keterbatasan lahan perkotaan dan kurang tepatnya
program-program pembangunan kota. Interaksi ketiganya telah
memunculkan kehidupan masyarakat miskin pendatang dengan
fasilitas pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak layak di
perkampungan padat penduduk (permukiman/perkampungan kumuh).
Namun sebenarnya akar masalah pemicu munculnya permukiman
kumuh di perkotaan juga berkaitan dengan masalah paradigma proyek
dan pemerataan pembangunan (Prasojo dalam Santosa, tt).
Bahkan akar masalah permukiman kumuh lebih bersifat
kompleks yaitu karena adanya:
1. Pembiaran (neglegiance) berkembangnya ruang-ruang
marjinal perkotaan;
2. Lemahnya pengelolaan kota;
3. Belum adanya pengenalan terhadap kebutuhan (housing
need assessment) dan persediaan rumah (housing stock
evaluation) secara utuh dan partisipatif; dan
4. Belum adanya pengembangan sistem penyediaan perumahan
secara utuh (housing delivery system) M.J Siregar (2012).
Dengan melihat berbagai faktor penyebab permukiman kumuh
tersebut, maka permasalahan tentang bagaimana pemerintah
memperlakukan penduduk miskin perkotaan dalam proses
pembangunan kota sebenarnya merupakan hal yang paling mendasar
untuk didiskusikan. Hal ini karena terkait dengan tanggung jawab utama
pemerintah dalam pelaksanaan fungsi mewujudkan kesejahteraan,
ketertiban, pelayanan publik, dan lainnya di bidang pembangunan
permukiman yang harus mewujudkan kepentingan publik (masyarakat
miskin perkotaan).
8
2. Eksplorasi Permasalahan Permukiman Kumuh
Permukiman kumuh muncul sebagai akibat dari beberapa faktor
yang berlangsung secara terus menerus dan tanpa perencanaan yang
benar. Penyebab terjadinya permukiman kumuh antara lain adalah:
1. Pertumbuhan penduduk (fertilitas)
2. Perpindahan penduduk (urbanisasi)
3. Perkembangan penduduk perkotaan yang tidak selalu dapat
diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota
4. Permasalah-permasalahan di daerah perkotaan
5. Kesempatan kerja bagi kaum migran
6. Kebutuhan rumah sebagai tempat bermukim tidak dibarengi
dengan kemampuan ekonomi para calon penghuni
Permukiman kumuh menurut proses pembangunannya dapat
dibagi menjadi 2. Yaitu permukiman kumuh informal dan formal.
Permukiman kumuh informal adalah permukiman kumuh yang terbentuk
secara alami oleh masyarakat, menempati lahan yang tidak jelas siapa
pemiliknya, dan membangun sendiri rumahnya dengan bahan yang
tersedia. Permukiman kumuh formal adalah sebuah permukiman yang
biasanya vertikal yang dibangun oleh pemerintah untuk mengatasi
permukiman kumuh yang ada, namun penduduknya tidak dapat
meninggalkan kebiasaan lamanya dipermukiman kumuh. Sehingga lambat
laun permukiman tersebut menjadi kumuh.
Pada beberapa kasus, permukiman kumuh tumbuh di infrastuktur
yang telah ditinggalkan (abandoned). Mereka menempati gedung-gedung
yang ditinggalkan investor. Kadang juga mereka menempati daerah yang
kurang pengawasannya, seperti kolong jembatan, pinggiran rel, bantaran
kali, dan gorong-gorong (sewer).
9
Perkembangan slum area pada suatu kota berdampak langsung
terhadap penduduk perkotaan, dampak tersebut meliputi dampak sosial,
ekonomi dan budaya.
1. Sosial
a. Perkembangan suatu daerah yang tadinya homogen
berubah menjadi heterogen karena terjadinya urbanisasi
b. Menjadi pusat pengangguran, kejahatan, dan penyakit
c. Proses transformasi para migran tidak dapat berlangsung
dengan wajar
d. Peningkatan jumlah penduduk miskin kota
2. Budaya
a. Dipandangan merusak keindahan/citra kota
b. Cultural shock akibat perbedaan budaya yang dibawa para
migran dari desa ke kota
c. Cultural alienation (merasa asing dengan kebiasaan atau
kebudayaan kota) dan cultural lag (perbedaan tingkat
kemajuan unsur-unsur kebudayaan)
3. Ekonomi
a. Mendorong pemerintah untuk membangun rumah susun bagi
warga yang tinggal di daerah kumuh
b. Degradasi tingkat ekonomi penduduk kota yang ditandai oleh
semakin bertambahnya penduduk miskin dan pengangguran
di daerah kumuh
c. Kota menjadi semakin padat dan pengaturan ruang semakin
rumit
d. Menjadi pendorong kegiatan ekonomi sektor informal
3. Studi Kasus Slum Settlement
a. Kibera, Nairobi, Kenya
10
Kibera merupakan permukiman kumuh terbesar di Kenya.
Sebagian besar penduduknya merupakan pekerja serabutan
dengan penghasilan kurang dari 100 Shilling per hari. Mereka ikut
serta dalam aktivitas ekonomi kecil seperti seni, dansa, drama,
proyek olahraga, komunitas sosial, dan bisnis berskala kecil lain
(CGS Kibera,2007). Dari laporan UN Habitat 2006, masalah air
dan sanitasi merupakan salah satu pokok masalah utama yang
ada di Kibera. Walaupun sudah banyak pembangunan untuk
mengatasi masalah air, sanitasi, dan kesehatan tapi hal tersebut
tidak mampu memberikan perubahan yang signifikan. Daerah
tersebut juga kekurangan akses untuk kesehatan, sekolah, dan
listrik.
Sekitar 60% penduduk yang berusia kurang dari 21 tahun
buta huruf atau semi buta huruf, sebagian besar hanya
mendapatkan pendidikan tingkat dasar. Kurangnya pekerjaan juga
menjadi masalah utama dan mengarah keperilaku sosial yang
tidak sehat seperti alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, dan
kriminalitas. Sekitar 80% penduduknya terinfeksi atau terkena
dampak AIDS (Funken, 2008).
Slum Tourism
Slum tourism bertujuan untuk membuka peluang bagi kaum
miskin untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi,
memberikan mata pencaharian, dan berpartisipasi dalam
mengambil keputusan (Ashley, Roe, and Goodwin, 2001). Slum
tourism juga dapat membantu menggerser fokus pariwisata dari
wisata yang berbasis lingkungan dan wisata berbasis alam liar
menjadi berfokus kepada wisata pengentasan kemiskinan yang
akan lebih bermanfaat bagi penduduk miskin dan memiliki dampak
yang lebih kecil terhadap lingkungan. Menurut Rolfers (2009),
slum tourism dikembangkan di negara berkembang pada
11
pertengahan 1990an. Pokok terpenting dari wisata ini adalah
untuk mengunjungi daerah paling tertinggal di dalam kota.
Sekarang ini, banyak biro wisata profesional yang
menjalankan dan memasarkan wisata ke daerah kumuh. Slum
tourism memiliki banyak objek pilihan seperti Johannesburg dan
Cape Town di Afrika Selatan, Calcutta, Mumbai, dan Delhi di
India, dan Rio de Janeiro di Brazil. Biasanya wisata ini
memfokuskan untuk menarik wisatawan asing untuk datang.
Diperkirakan 40.000 turis berkunjung di kawasan kumuh De
Janeiro tiap tahunnya, sedangkan di Cape Town sekitar 300.000
(Rolfers, 2009).
Slum Tourism di Kibera
Kibera merupakan permukiman kumuh yang paling banyak
dikunjungi di Kenya (Asudi, 2008). Menurut Mowforth (2008),
12
Slum Tourism di Kibera, NairobiSumber : Trip Advisor, 2014
tujuan dari pengadaan wisata ini adalah untuk mengurangi
permukiman kumuh di Kenya dalam jangka panjang dengan cara
melibatkan masyarakat miskin untuk berpartisipasi secara lebih
efektif untuk mengembangkan pariwisata di Kenya, secara jangka
pendek kegiatan ini memberikan keuntungan finansial untuk
masyarakat permukiman kumuh.
Menurut penelitian yang dilakukan Peniah Chege dan
Andenje Mwisukha, responden dari Kenya Tourism Board (KTB)
menyimpulkan hal yang menarik turis datang berkunjung adalah
untuk melihat kehidupan sehari-hari masyarakat penghuni
permukiman kumuh Kibera dan untuk mengambil foto. Sedangkan
responden dari pegawasi Victoria Safaris dan penduduk Kibera
menyimpulkan bahwa turis tertarik oleh hiburan yang disuguhkan
oleh penduduk (tarian, nyanyian, drama, dan film) dan mengambil
foto-foto.
b. Rooftop Slum, Hong Kong
Rooftop slum adalah permukiman kumuh yang ada diatap-
atap apartemen maupun bangunan lainnya di Hong Kong
(DeWolf, 2011). Hal ini disebabkan oleh kepadatan penduduk,
harga sewa rumah yang mahal, dan ketidak mampuan pemerintah
dalam menyediakan rumah bagi penduduk dengan ekonomi
lemah.
13
Rooftop Slum , Tai Kok Tsui, Hong KongSumber : hongwrong.com, 2013
Permasalahan yang utama bagi permukiman kumuh ini
adalah higiensi dan kesehatan. Bahan untuk membangun rumah
biasanya seadanya dan dibangun tanpa tenaga ahli sehingga
ketika hujan terjadi kebocoran. Disamping itu rooftop slum tidak
memiliki saluran drainasi. Rooftop slum menjadi sarang tikus,
nyamuk, kecoa, dan lalat yang dapat menyebarkan penyakit dan
mencemari makanan (Wendler, 2012).
Permukiman kumuh ini juga menjadi lahan subur bagi virus
dan bakteri untuk berkembang. Penduduk disini banyak yang
terserang infeksi dan gangguan pernafasan. Pada musim panas
temperature didalam rumah bisa lebih panas daripada diluar
rumah, hal ini dikarenakan oleh ventilasi yang buruk dan
penggunaan material yang menyerap panas. Biasanya apartemen
ini juga tidak memiliki elevator, sehingga menyulitkan bagi orang
lanjut usia.
Permukiman ini juga dibangun dengan mengabaikan
keselamatan. Bangunannya yang menggunakan material ringan
seperti kayu, seng, dan asbes, tidak dirancang untuk bertahan
dalam badai dan angin topan. Bahaya kebakaran juga menjadi
ancaman yang selalu mengintai, mengingat tangga darurat
terkadang tidak memenuhi syarat. Lorong-lorong pun kadang
dipenuhi oleh barang-barang dari penduduk sehingga
mempersempit akses yang ada (Wendler, 2012). Bahaya yang
lain adalah tidak semua atap apartemen dirancang untuk
menahan beban untuk permukiman, sewaktu-waktu dapat
mengalami kegagalan secara struktural sehingga mengakibatkan
atap retak maupun runtuh.
Biasanya penghuni rooftop slum akan membayar sewa
setiap bulannya pada orang yang tinggal di lantai paling atas
apartmen tersebut. Pada beberapa kasus pembayaran dilakukan
14
kepada orang yang tidak jelas, mereka hanya meninggalkan
amplop yang berisi uang sewa pada lorong apartemen tiap
bulannya.
c. Tower of David, Caracas, Venezuela
Tower of David merupakan sebuah bangunan setinggi 45
lantai yang berada ditengah kota Caracas. Sekitar 3.000 orang
tinggal di bangunan ini. Mayoritas adalah penduduk miskin.
Bangunan ini merupakan bangunan setengah jadi yang
ditinggalkan investornya ketika terjadi krisis pada 1990an.
Bangunan ini tidak aman bagi para penghuninya. Banyak
dinding yang belum terpasang, balkon tanpa railing, dan lubang-
lubang yang menganga. Tidak adanya elevator dan instalasi listrik
yang kurang tidak menciutkan keinginan masyarakat untuk tinggal
secara ilegal disana (Romero, 2011). Letak yang strategis
ditengah kota dan kemudahan transportasi merupakan magnet
yang paling menarik bagi penghuni ilegal yang tinggal didalamnya.
Penghuni melakukan improvisasi untuk membangun
kamar-kamar di dalam gedung tersebut. Pemipaan air bersih
hanya mencapai lantai ke 22. Sepeda motor bisa dengan bebas
berkeliaran hingga lantai ke 10. Penghuni ilegal menggunakan
gedung ini sebagai tempat tinggal hingga lantai ke 28 (Mead,
2014)
15
Pemerintah Venezuela melakukan relokasi masal pada
tahun 2014. Pemerintah menyediakan rumah susun pagi penghuni
ilegal di kota Cua, sekitar 23 mil Selatan Caracas.
d. Rumah Susun Kumuh, Jakarta, Indonesia
Sejatinya pembangunan rumah susun di Jakarta
diharapkan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan
permukiman kumuh yang ada. Namun pada kenyataannya rumah
susun tersebut malah menjadi kantong baru bagi kawasan kumuh
di Jakarta.
16
Tower of David bangunan yang ditelantarkan menjadi permukiman kumuh, Caracas, Venezuela
Sumber : Federico Parra, www.abc.net.au, 2014
Perilaku masyarakat yang tidak disiplin dalam menjaga
lingkungan rumah susun mengakibatkan sampah berserakan
dihalaman. Lorong-lorong yang sejatinya digunakan untuk akses
beralih fungsi menjadi tempat barang dan jemuran. Pengembang
yang kurang bertanggung jawab juga ikut andil dalam
kesemrawutan ini. Saluran drainase air hujan yang tidak dirancang
dengan baik membuat halaman rumah susun tergenang air saat
hujan. Tembok dengan finishing yang kurang bagus sehingga
ditumbuhi jamur dan lumut. Atap bocor dan rembes menjadi hal
yang biasa dijumpai.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana
meremajakan empat dari delapan blok di Rumah Susun Sewa
(Rusunawa) Tambora, Jakarta Barat. Sejak dibangun pada 1984,
kondisi rusunawa Tambora sudah tidak layak huni. Sesuai amanat
Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 tentang perumahan dan
kawasan pemukiman, luas rumah susun minimal seluas 36 meter
persegi dan maksimal 45 meter persegi. Sementara tipe
bangunan rusunawa Tambora seluas 18 meter persegi per unit.
e. Rusunawa Kaligawe, Semarang, Indonesia
Rusunawa Kaligawe nantinya diperuntukan kepada para
pekerja atau kaum buruh yang berpenghasilan rendah. Terlebih
khusus bagi pekerja yang terkena normalisasi Kaligarang.
Umumnya mereka memiliki penghasilan yang rendah diharapkan
17
Suasana Rumah Susun (Rusun) Angke di Tambora, JakartaSumber : nasional.republika.co.id
dengan rusunawa ini mereka tetap memiliki kesempatan tinggal di
hunian yang layak dengan harga sewa yang terjangkau.
Lantaran lama tidak kunjung difungsikan banyak kabel dan
instalasi listrik yang dicuri orang. Tidak ada penjaga yang
ditugaskan untuk menjaga rusun tersebut sebelum disewakan. Cat
tembok mulai mengelupas, banyak coretan vandalis di tembok,
sebagian meteran air hilang, beberapa bagian yang menggunakan
besi mulai terlihat berkarat. Terdapat kebocoran air, sampah yang
berserakan, dan rumput liar menandakan kurangnya perhatian
pengelola ataupun penghuni rusun.
4. Kesimpulan
Pada penulisan ini dijelaskan bahwa ekspansi keluar pembentukan
area kumuh dikaitkan dengan urbanisasi yang cepat dan pertumbuhan
penduduk yang tinggi terutama karena migrasi dari desa ke kota untuk
mencari peluang kerja. Sementara pembentukan kumuh dapat
dikaitkan dengan urbanisasi yang cepat, pertumbuhan penduduk tyang
tinggi, sedikitnya pengetahuan umum tentang kumuh, pelayanan
infrastruktur yang kurang memadai. Pengentasan kekumuhan dengan
18
Rusun Kaligawe yang terlantar, SemarangSumber : administari publik, UNDIP, 2013
memindahkan penduduk yang menghuni area kumuh dipindahkan ke
rumah susun yang dikelola pemerintah belum menjadi strategi yang
tepat apabila pengawasan dari pengelola juga belum baik serta
kesadaran penghuni sendiri untuk menjaga lingkungan masih minim.
Selain itu desain dari rumah susun juga harus disesuaikan dengan
kebutuhan penghuni sehingga tidak terjadi disfungsi bangunan yang
pada akhirnya malah kekumuhan permukiman pindah tempat menjadi
rumah susun kumuh.
DAFTAR PUSTAKA
Ashley, C., Roe, D. and Goodwin, H. 2001. Pro-poor Tourism Strategies: Making Tourism Work for the Poor. London. IIED.
Asudi, J. 2008. Pro Poor Tourism in Africa, Pro Poor Tourism in Kenya, Slum Tours in Kenya, Kibera Slum Tours, Africa Slum Tours.
Chege, Peninah; Andenje Mwisukha. 2013. Benefits of Slum Tourism in Kibera Slum in Nairobi, Kenya.
DeWolf, Christopher. 2011. Slum in the Sky: Hong Kong Rooftop Squatters. CNN.
Ditjen Bangda Depdagri
Funken, D. Regional Ethnics Bowl Cases. Poverty Tours. Association for Practional and Professional Ethics.
Herlianto. 1985. Urbanisasi dan Pembangunan Kota. Alumni.
Mead, Derek. 2014. Inside Caracas Tower of David, World’s Tallest Slum. Vice.
19
Mowforh, M. 2008. Tourist and responsibility: Perspectives from Latin America and the Caribean. Routledge
Puspitasari, Diana. 2010. Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Distarkim) Kota Depok. www.depok.go.id
Rolfres, M. 2009. Township as an Attraction. An Empirical Study of Township Tourism in Cape Town. Universitatsverlag Potsdam.
Romero, Simon; Maria Eugenia Diaz. 2011. CARACAS JOURNAL; In Venezuela Housing Crisis, Squatters Find 45-Story Walkup. The New York Times.
Santosa, Pandji Deddy. Tt. Penangan Permukiman Kumuh Perkotaan; Melalui Penyediaan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Sliuzas, et al. 2008. Report of Expert Group Meeting on Slum Identification and Mapping.
Soekanto, Soerjono. 1985. Sosiologi: Ruang Lingkup dan Aplikasinya. Remaja Karya.
Sori, Negera Dinsa. 2012. Identifying and Classifying Slum Development Stages from Spatial Data. Thesis: University of Twente.
Suparlan, Parsudi. 1984. Kebudayaan Kemiskinan, dalam Kemiskinan Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia—Sinar Harapan.
UN-Habitat. 2006. Tourism and Local Agenda 21—the role of Local Authorities in Sustainable Tourism. United Nations Publications.
UN-Habitat. 2010. State of World’s Cities 2010/2011: Bridging The Urban Devide. Earthscan.
Un-Habitat. 2013. State of the World’s Cities Report 2013/2014: Prosperity of Cities. UNHABITAT.
Utomo, Is Hadri. 2000. Pemberdayaan Masyarakat Miskin dalam Implementasi Proyek Peremajaan Permukiman Kumuh di Bantaran Sungai Kali Anyar Mojosongo. UNS.
Wendler, Sybil. 2012. Public Broadcasting System (BPS) Once Upon a Rooftop. Youtube
http://www.solusiproperti.com/investigasi/perlindungan-konsumen/artikel/rusun-semakin-terbengkalai-atau-tidak-terawat-baik
(Diakses 09 Maret 2015)
20
Top Related