PANDANGAN IMAM MADZHAB TERHADAP
MAHAR BERUPA JASA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1)
Dalam Ilmu Syari’ah
fv
Disusun Oleh :
EKA PUJI LESTARI 062111047
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
iii
iv
MOTTO
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” *
(QS. an-Nisa’: 4)
* Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006, h. 61.
v
PERSEMBAHAN
Dengan segala kebahagiaan serta kerendahan hati, penulis persembahan skripsi ini
untuk :
Ayahanda dan Ibunda tercinta (Karwi dan Sri Suparni) selaku orang tua penulis yang
dengan ketulusan, kesabaran memberikan kasih sayang yang tidak pernah pudar, dan
curahan do’a, semangat serta inspirasi kepada penulis.
Adik-adikku tercinta (Eni Pirnawati, Isti Yulyaeni, Indah Susi Jayanti, dan Muhammad
Bagus Khoirum) yang selalu menghibur dan memberikan semangat.
Keluarga besar Om dan Bu Lek serta putra-putrinya,terima kasih yang tidak terhingga
karena tanpa mereka mungkin saya tidak bisa bertahan dan berjuang.
Keluarga besar Kakek ( Simbah Darmo) dan Nenek (Simbah Misah) terima kasih banyak
tanpa mereka saya tidak akan tahu arti berbagi.
Teman-teman sehati seperjuangan, gus Labib, mbak Yoeny, mbak Ima, mbak Fatma,
Olief, mbak Zum, mbak Alin, Nawang, Hani, Agustin, Nia, Nailul, Beti, Erwin, Munir,
Hudam, Dedi, Wahyudi, Kholid, Anwar dan Azis, yang telah mendewasakanku dengan
sejuta ilmu dan pengalaman berharga yang tidak ternilai.
Teman-teman kos Amalia, yang selalu memberi keceriaan dan motivasi demi terselesainya
skripsi ini.
Semua rekan-rekan yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Terima Kasih.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi
materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain
atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak
berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang
dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 11 Juni 2011
Deklarator,
Eka Puji Lestari
vii
ABSTRAK
Penelitian skripsi ini berjudul: “Pandangan Imam Madzhab terhadap Mahar berupa Jasa”. Mahar merupakan pemberian dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pemberian mahar merupakan suatu kewajiban yang bertujuan untuk meninggikan harkat dan martabat perempuan, tetapi saat ini mahar dianggap sebagai salah satu bagian dalam ritualitas akad nikah. Mahar yang diberikan beraneka ragam bentuknya, terutama mahar berupa harta benda (materi), padahal mahar dapat pula berupa jasa atau manfaat (non materi). Pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep mahar berupa jasa menurut imam madzhab, dan bagaimana keterkaitan pemberian mahar berupa jasa dalam akad perkawinan dengan konteks sekarang?
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan metode kualitatif, oleh karena itu data-data sebagai penunjang penelitian, penulis dapatkan dari buku-buku yang berhubungan dengan penelitian ini. Penulis dalam menganalisis data menggunakan metode deskriptif analitis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep mahar berupa jasa menurut imam madzhab ini terkait dengan pendapat ulama tentang mahar berupa jasa. Pendapat-pendapat tersebut yaitu: 1) Imam Abu Hanifah, tidak membolehkan terutama mahar berupa jasa dalam membacakan atau mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an karena mahar tersebut tidak termasuk harta yang tidak boleh mengambil upah darinya, sehingga tidak sah untuk dijadikan mahar, namun darinya wajib dibayar mahar mitsil. 2) Imam Malik, membolehkan karena jasa patut menjadi mahar, sama halnya dengan harta. 3) Imam Syafi'i, membolehkan karena mahar yang berupa jasa atau manfaat yang dapat diupahkan sah dijadikan mahar. 4) Imam Ahmad Hambali, membolehkan karena mahar berupa manfaat seperti halnya mahar berupa benda, dengan syarat manfaat harus diketahui.
Keterkaitan pemberian mahar berupa jasa dalam akad perkawinan dengan konteks sekarang ini sesuai dengan KHI, bahwa mahar boleh berupa barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (KHI Pasal 1 sub d). Mahar itu bisa berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan serta berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak baik bentuk dan jenisnya (KHI Pasal 30 dan 31).
Kata Kunci: Mahar, Mahar berupa Jasa
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah wa Syukrulillah, senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada semua hamba-Nya,
sehingga sampai saat ini kita masih mendapatkan ketetapan Iman dan Islam.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepangkuan Rasulullah
Muhammad SAW pembawa rahmat bagi makhluk sekian alam, keluarga, sahabat
dan para tabi’in serta kita umatnya, semoga kita mendapat pertolongan di hari
akhir nanti.
Dalam penjelasan skripsi ini tentulah tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak, baik dalam ide, kritik, saran maupun dalam bentuk lainnya. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Muhibbin, M.Ag. selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo.
3. Bapak Drs. H. Abu Hapsin, M.A., Ph.D. dan Bapak Moh. Khasan, M.Ag.
selaku Pembimbing I dan II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga
dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam skripsi ini.
4. Ibu Anthin Lathifah, M.Ag. selaku ketua jurusan Ahwal al-Syahsiyah Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
5. Seluruh Dosen, karyawan dan civitas akademika di Fakultas syari’ah IAIN
Walisongo Semarang yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan
sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta, yang telah memberikan dukungan serta
do’anya dan semuanya yang tidak ternilai, serta adik-adikku yang selalu
mendukung dan mendo’akan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
ix
7. Teman-teman satu paket ASB 2006, terima kasih atas motivasi kalian, yang
telah mensuport penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-
baiknya.
8. Rental E & E, yang selalu siap kapanpun penulis butuhkan.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Kepada mereka semua tiada yang dapat penulis perbuat untuk membalas
kebaikan mereka, kecuali penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima
kasih yang sebanyak-banyaknya serta sekuntum do’a semoga Allah membalas
semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari yang mereka
berikan.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi maupun analisisnya, sehingga kritik dan
saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semarang, 11 Juni 2011
Penulis
Eka Puji Lestari NIM. 062111047
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
HALAMAN DEKLARASI ....................................................................... vi
HALAMAN ABSTRAK............................................................................ vii
HALAMAN KATA PENGANTAR .......................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................ x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................ 11
D. Telaah Pustaka ................................................................ 11
E. Metode Penelitian ........................................................... 14
F. Sistematika Penulisan Skripsi .......................................... 17
BAB II : KETENTUAN UMUM TENTANG MAHAR DALAM
PERKAWINAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Mahar ............................... 19
1. Pengertian Mahar ...................................................... 19
2. Dasar Hukum Mahar ................................................. 21
B. Macam-macam dan Syarat-syarat Mahar ......................... 24
1. Mahar Ditinjau dari Kualifikasi ................................. 24
a) Mahar dalam bentuk benda kongkrit .................... 24
b) Mahar dalam bentuk jasa atau manfaat ............... 26
2. Mahar Ditinjau dari Klasifikasi ................................. 34
a) Mahar Musamma ................................................ 34
b) Mahar Mitsil ........................................................ 36
xi
A. Kedudukan Mahar dan Makna Filosofis Pemberian Mahar 39
B. Hikmah Pemberian Mahar .............................................. 42
BAB III : KONSEP MAHAR BERUPA JASA MENURUT IMAM
MADZHAB
A. Pendapat Ulama tentang Mahar berupa Jasa .................... 44
B. Bentuk Mahar berupa Jasa yang Sah menjadi Mahar
Perkawinan ...................................................................... 59
BAB IV : ANALISIS MAHAR BERUPA JASA MENURUT IMAM
MADZHAB
A. Analisis Pendapat Ulama tentang Mahar berupa Jasa ...... 65
B. Keterkaitan Pemberian Mahar berupa Jasa dalam Akad
Perkawinan dengan Konteks Sekarang ........................... 74
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 81
B. Saran-Saran ..................................................................... 82
C. Penutup ............................................................................ 83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam sangat menganjurkan perkawinan. Anjuran ini
dinyatakan dalam al-Qur’an dan hadits. Ada yang menyatakan bahwa
perkawinan itu telah menjadi sunnah para Rasul sejak dahulu kala dan
hendaknya diikuti pula oleh generasi-generasi yang datang kemudian.1
Perkawinan dalam Islam merupakan ikatan yang kuat antara pria dengan
wanita untuk selamanya. Oleh karena itu tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk tatanan keluarga yang diliputi rasa kasih sayang, antara sesama
anggota keluarga. Tujuan tersebut dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 3 diterangkan bahwa: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.”2
Salah satu keistimewaan Islam ialah memperhatikan dan menghargai
kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusan dan
memiliki sesuatu. Di zaman Jahiliyah, hak perempuan itu dihilangkan dan
disia-siakan sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan
hartanya dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya serta
menggunakannya. Islam datang menggunakan belenggu ini.3 Pada setiap
upacara perkawinan, hukum Islam mewajibkan pihak laki-laki untuk
1 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang,
Cet. 1, 1974, h. 17. 2 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Academia Pressindo,
1992, h. 114. 3 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, Terj. Nor Hasanuddin, Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2006, h. 40.
2
memberikan maskawin atau mahar. Pemberian ini dapat dilakukan secara
tunai atau cicilan yang berupa uang atau barang.4
Mahar menurut ajaran islam, bukanlah dimaksudkan sebagai harga,
pengganti atau nilai tukar bagi wanita (calon istri) yang akan dinikahi. Mahar
hanyalah sebagai bagian dari lambang atau tanda bukti bahwa calon suami
menaruh cinta terhadap calon istri yang akan dinikahi. Mahar juga berfungsi
sebagai tanda ketulusan niat dari calon suami untuk membina kehidupan
rumah tangga bersama calon istrinya dan dapat pula dinilai sebagai bukti
pendahuluan bahwa setelah hidup berumah tangga nanti. Sang suami akan
senantiasa memenuhi tanggung jawabnya, memberi nafkah bagi sang istri dan
keluarganya, yang ditujukan pada awal pernikahannya dengan rela hati
memberikan sebagian dari hartanya kepada calon istrinya.5
Para wanita harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada,
sebagaimana yang sudah termaktub dalam al-Qur'an ataupun hadits-hadits
Nabi SAW. Mahar yang diberikan atau yang diminta calon istri tidak
memberatkan calon suami, karena hal ini sama dengan melanggar hukum
Allah SWT, yaitu mempersulit atau mempersukar pelaksanaan pernikahan
yang dampaknya akan lebih berat lagi yaitu dikhawatirkan timbulnya
perzinaan serta hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.
Ketidaktepatan dalam memaknai mahar menimbulkan berbagai
implikasi terhadap status perempuan dalam kehidupan pernikahan. Para ahli
4 Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 1991, h. 41. 5 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Anda Utama,
1993, h. 667.
3
hukum Islam membahas permasalahan mahar hanya berada di sekitar dan
berkaitan dengan permasalahan biologis, sehingga seolah-seolah mahar hanya
sebagai alat perantara dan kompensasi bagi kehalalan hubungan suami istri.
Pada saat yang sama, mahar juga digunakan sebagai alasan yang kuat untuk
menyatakan bahwa suami mempunyai hak mutlak terhadap istrinya.6
Para ulama mazhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun
akad, sebagaimana halnya dalam jual-beli, tetapi merupakan salah satu
konsekuensi adanya akad. Akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut)
mahar.7 Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu ditetapkan dalam al-Qur’an
dan dalam hadits Nabi. Dalil dalam ayat al-Qur’an adalah firman Allah dalam
surat an-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi :
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”8
Ditinjau dari asbab al-nuzul surat An-Nisa ayat 4 di atas bahwa ada
keterangan sebagai berikut: diketengahkan oleh Ibnu Abi Hatim yang
bersumber dari Abu Shahih, jika seorang bapak mengawinkan putrinya,
menerima dan menggunakan maskawin tanpa seizin putrinya. Maka Allah
6 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996, h. 1042. 7 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Afif Muhammad, Jakarta:
PT. Lentera Basritama, 2001, h. 366. 8 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2006, h. 61.
4
pun melarang mereka berbuat demikian, sehingga menurunkan ayat 4 surat
An-Nisa’.9
Demikian juga firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 24 :
Artinya: “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.”10
Diriwayatkan oleh Ibnu Jabir dari Ma’mar bin Sulaiman yang
bersumber bapaknya yang mengemukakan bahwa orang Hadlrami membebani
kaum laki-laki dalam membayar mahar (maskawin) dengan harapan dapat
memberatkannya (sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk
mendapatkan tambahan pembayaran). Maka turunlah ayat 24 surat an-Nisa’
sebagai ketentuan pembayaran maskawin atas keridaan kedua belah pihak.11
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau
barang berharga lainnya. Syari’at Islam memungkinkan mahar itu dalam
bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang jumhur
ulama. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al-Qur’an dan
demikian pula dalam hadits Nabi. Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam al-
Qur’an ialah menggembala kambing selama 8 tahun sebagai mahar
perkawinan seorang perempuan.12 Hal ini sebagaimana telah terjadi ketika
Nabi Musa a.s. menikahi salah seorang putri Nabi Syu’aib a.s., dengan mas
9 H.A.A. Dahlan dan M. Zaka Alfarisi (eds), Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an, Edisi kedua, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2000, h. 127. 10 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 65. 11 H.A.A. Dahlan dan M. Zaka Alfarisi (eds), op. cit., h. 135. 12 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, h. 91.
5
kawin bekerja selama delapan tahun sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat al-Qashash ayat 27:
Artinya: “Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu.”13
Hadits yang menyatakan bahwa mahar itu merupakan kewajiban yang
harus dipikul oleh setiap calon suami yang akan menikahi calon istrinya, yaitu
hadits tentang mahar yang hanya berupa tindakan atau bentuk usaha yang bisa
mendatangkan manfaat, sebagaimana termaktub dalam hadits di bawah ini:
دد حعن سل بهس نأبيه ع نازم عأبي ح نز بزيالع دبا عثندة حبيا قتثنقال ج اعديالس فقا لت لمس ه وليلى اهللا عول اهللا صسأة إلى ررام اءت
يا رسول اهللا جئت أهب لك نفسي قال فنظر إليها رسول اهللا صلى اهللا سطأطأ ر ثم هب وصا وفيه ظرالن دعفص لمس ه وليه عليلى اهللا عول اهللا ص
وسلم رأسه فلما رأت المرأة أنه لم يقض فيها شيئا جلست فقام رجل من أصحابه فقال يا رسول اهللا إن لم يكن لك بها حاجة فزوجنيها فقال
كدل عنهول اهللا فقالوسا راهللا ي ء؟ قال ال ويش من : لكإلى أه باذهفذهب ثم رجع فقال، ال واهللا ما وجدت شيئا فقال : فانظر هل تجد شيئا
ن حديد، فذهب ثم رسول هللا صلى اهللا عليه وسلم، انظر ولو خاتما مال واهللا يا رسول اهللا وال خاتما من حديد ولكن هذا إزاري : رجع فقال
13 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 310.
6
قال سهل ما له رداء فلها نصفه فقال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم، ما لبسته لم يكن عليها منه شيء وإن لبسته لم يكن عليك تصنع بازارك إن
قام هلسجى إذا طال متل حج الر لسء فجيش هلى : منول اهللا صسر آهفرا جفلم عيبه فد را فأملي وم لمسه وليآن؟ : اء قالاهللا عالقر من كعاذا مم
قال، معي سورة كذا وسورة كذا عددها فقال تقرؤهن عن ظهر قلبك؟ ١٤)رواه البخار. (قد ملكتكها بما معك من القرآنقال نعم، قال اذهب ف
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan
kepada kami Abdul Aziz bin Hazim dari ayahnya dari Sahl bin Said al-Saidy berkata: "Seorang perempuan telah datang kepada Rasulullah, wahai Rasulullah, saya datang untuk menyerahkan diriku kepadamu". Kemudian Rasulallah SAW, memandang wanita itu dan memperhatikannya, lalu beliau menundukkan kepalanya. Setelah wanita itu tahu bahwa Rasulallah SAW tidak berhasrat kepadanya, maka duduklah ia. Tiba-tiba salah seorang sahabat Nabi SAW berdiri dan berkata : "Wahai Rasulallah SAW, nikahkanlah saya dengannya jika memang engkau tidak berhasrat kepadanya". Lalu Nabi SAW, bertanya kepada laki-laki tersebut: "Adakah kamu mempunyai sesuatu?” Dia menjawab: "Tidak, demi Allah saya tidak mempunyai sesuatu". Maka Nabi SAW bersabda: "Pergilah kepada ahlimu dan carilah apakah kamu menemukan sesuatu? Kemudian dia pergi dan datang kembali seraya berkata : "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, saya tidak menemukan sesuatu walaupun cincin dari besi, akan tetapi hanya sarung ini yang saya miliki ". Sahl berkata : "Karena sarung itu tidak ada selendangnya, maka harus dibagi menjadi dua". Rasulallah SAW bertanya: "Dan apa yang akan kamu lakukan dengan sarung itu?" jika sarung itu kamu pakai, maka ia tidak dapat memanfaatkannya, dan jika ia memakainya maka kamu tidak dapat memakai apa-apa". Sahabat itu duduk lama sekali, kemudian ia berdiri lalu pergi ketika Rasulallah SAW tahu bahwa sahabat itu pergi, maka beliau mengutus seseorang untuk memanggilnya. Setelah ia datang Rasulallah SAW bertanya : "Surat apa yang kamu hafal dari Al-Qur'an?" jawabanya : "yang aku hafal surat itu dan surat itu (ia menyebutkannya)". Tanya beliau : "Apakah kamu hafal surat-surat itu diluar kepala?" jawabnya : "ya".
14 Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim ibn al-Mugirah ibn
Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz V, Beirut Libanon: Darul Kutub Al’ilmiyah,1992, h. 444.
7
Maka Nabi SAW, bersabda : "Aku nikahkan kamu dengannya dengan maskawin beberapa ayat Al-Qur'an yang kamu hafal”.
Contoh lain adalah Nabi sendiri waktu menikahi Sofiyah yang waktu
itu masih berstatus hamba dengan maharnya memerdekakan Sofiyah tersebut.
Hal ini terdapat dalam hadits:
دس حأن نا عحبن الحب بيعشثابت و نع ادما حثندعيد حس نة ببيا قتثن صلى اهللا عليه وسلم أعتق صفية وجعل عتقها بن مالك أن رسول اهللا
١٥.صداقهاArtinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah
menceritakan kepada kami Hammad dari Tsabit dan Su’aib bin Habha dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW telah memerdekakan Shofiyah dan menjadikan kemerdekaan itu sebagai maharnya (waktu kemudian mengawininya).”
Hadits yang diterima dari Anas dalam kitab Sunan an-Nasa’i tentang
mahar Ummu Sulaim yang berupa masuk Islamnya Abu Thalhah,
sebagaimana dalam hadits:
أخبرنا محمد بن النضر بن مساور قال أنبأنا جعفر بن سليمان عن ثابت عن أنس قال خطب أبو طلحة أم سليم فقالت واهللا ما مثلك ياأبا طلحة
را أمأنو ل كافرجر كلكنو درفإن ي كجوزحل لى أن أتال ية ولمسأة مرواه (تسلم فذلك مهري وما أسألك غيره فأسلم فكان ذلك مهرها
١٦)النسائArtinya: “Muhammad bin Nadhar bin Musawir meriwayatkan kepada kami
dia berkata, Ja’far bin Sulaiman meriwayatkan kepada kami dari Tsabit dari Anas dia berkata, Abu Thalhah telah melamar Ummu Sulaim, kemudian Ummu Sulaim menjawab, “Demi Allah, tidaklah
15 Ibid., h. 443. 16 Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Syu’aib Ibn ‘Ali Ibn Sinan Ibn Bahr Ibn Dinar Abu ‘Abd al-
Rahman al-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i Bisyarhi al-Hafidh Jalaluddin as-Suyuthi Wahatsiyah al-Imam as-Sanadi, Juz 6, Beirut Libanon: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, tt, h. 114.
8
seorang laki-laki seperti kamu itu pantas ditolak. Tetapi kamu seorang laki-laki kafir sedang saya seorang wanita muslim, dan tidak halal bagi saya menikah denganmu. Jika kamu masuk Islam, maka itu adalah mahar untukkku dan saya tidak meminta kepadamu selain itu. Kemudian dia masuk Islam dan itu sebagai maharnya.” (H.R. An-Nasa’i)
Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla menyindir masalah pengambilan
dalil dengan hadits di atas. Dia berkata: sebenarnya itu terjadi sebelum hijrah
Rasulullah SAW beberapa masa karena Abu Thalhah sudah lama masuk Islam
dan dia termasuk orang Anshar pertama memeluk Islam. Ketika itu, ayat yang
mewajibkan untuk memberikan mahar kepada para wanita belum lagi
diturunkan. Begitu juga, tidak terdapat keterangan di dalam hadits di atas
bahwa Rasulullah SAW mengetahui hal itu.17
Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa mahar itu boleh dalam
jumlah sedikit dan boleh juga berupa sesuatu yang bermanfaat. Bagi Ummu
Sulaim, keislaman Abu Thalhah adalah lebih berharga daripada harta yang
akan diberikan suaminya. Menurut syari’at, pada dasarnya mahar menjadi hak
perempuan dan dia bebas menggunakannya, jika ia rela menerima mahar
dengan ilmu dan agama atau Islamnya calon suami atau pengajaran al-Qur’an,
ini merupakan mahar yang sangat berharga, berguna dan paling utama.18
Ummu Sulaim meminta mahar berupa kesediaan masuk Islam Abu
Thalhah demi meninggikan kemuliaan Islam, maka mahar Ummu Sulaim
menunjukkan pengertian bahwa mahar dapat menjadi pengikat kasih-sayang
sekaligus untuk syi'ar Islam dan tujuan dakwahnya. Mahar juga tidak dapat
17 Abi Muhammad bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Muhalla, Juz V, Beirut Libanon:
Darul Fikr, tt, h. 499. 18 Sayyid Sabiq, op. cit., h. 42.
9
diukur dari sedikit-banyaknya secara kuantitatif dan sekedar untuk
menunjukkan bahwa mahar tidak harus selalu berbentuk harta atau materi,
tetapi mahar dapat berupa non materi seperti mengajarkan istri membaca al-
Qur’an, memerdekakan budak, dan keislaman sebagai mahar.
Mahar jasa ini, terdapat perbedaan pendapat ulama seperti
mengajarkan al-Qur’an, hukum-hukum agama, dan pekerjaan sebagai mahar
yang akan diberikan calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita.
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, mengajarkan al-Qur’an, hukum-hukum
agama dan sebagainya tidak termasuk harta yang tidak boleh mengambil upah
darinya, sehingga tidak sah untuk dijadikan mahar, namun darinya wajib
dibayar mahar mitsil.
Imam Kamaluddin bin al-Humam al-Hanafi dengan mengutip Imam
Abu Hanifah yaitu bahwa mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar adalah fasad
(rusak) dan harus mengganti mahar mitsil.19 Menurut pendapat Imam Malik,
mengajarkan al-Qur’an dan hukum-hukum agama membolehkan dijadikan
mahar. Mereka sependapat dengan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
bin Hambal.
Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm menjelaskan bahwa membolehkan
adanya mahar dengan menjahit pakaian, membangun rumah, melayani
sebulan, atau mengajarkan al-Qur’an kepada istri, yang merupakan mahar
jasa.20 Imam Ahmad Hambali membolehkan mahar dengan ayat al-Quran atau
19 Imam Kamal bin Muhammad bin Abdulrahim al-Ma’ruf bin al-Humam al-Hanafi,
Syarh Fathul al-Qadir, Juz 3, Beirut Libanon: Darl al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt, h. 326. 20 Imam Abi Abdus Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Al-Umm, Juz V, Beirut Libanon:
Dar al-Fikr, tt, h. 64.
10
jasa, agar tidak ada persetubuhan antara laki-laki dan perempuan sebelum
memberikan sesuatu sebagai maharnya.21
Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 sub d, bahwa mahar adalah pemberian
dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk
barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pasal
30 KHI menegaskan bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati
oleh kedua belah pihak, sedangkan pasal 33 ayat 1 KHI bahwa penentuan
besarnya mahar didasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang
dianjurkan oleh ajaran Islam.22
Mahar dalam konteks hukum Islam memang bukan merupakan rukun
maupun syarat dari perkawinan dan hanya sebagai kewajiban dari mempelai
laki-laki semata, apalagi dalam kenyataannya bahwa masyarakat lebih banyak
memberi mahar materi dibandingkan mahar yang berupa non materi.
Dari latar belakang di atas, maka mendorong penulis untuk melakukan
penelitian skripsi, yang berjudul “PANDANGAN IMAM MADZHAB
TERHADAP MAHAR BERUPA JASA”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka penulis
memfokuskan penelitian dengan rumusan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep mahar berupa jasa menurut imam madzhab?
21 al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hambal, Beirut: Darl al-Fikr, tt, h.
401. 22 Abdurrahman, op. cit., h. 113-120.
11
2. Bagaimana keterkaitan pemberian mahar berupa jasa dalam akad
perkawinan dengan konteks sekarang?
C. Tujuan Penulisan Skripsi
1. Untuk mengetahui konsep mahar non materi dalam hukum Islam.
2. Untuk mengetahui keterkaitan pemberian mahar non materi dalam akad
perkawinan dengan konteks sekarang.
D. Telaah Pustaka
Pembahasan tentang mahar dalam pernikahan sedikit banyak telah
dibahas oleh beberapa ulama, baik dari ulama hadits maupun ulama fiqh, baik
tulisan di media massa, buku-buku dan karya tulis maupun kitab klasik. Akan
tetapi setelah penulis melakukan telaah pustaka yang membahas tentang judul
skripsi ini, yakni: “Pandangan Imam Madzhab terhadap Mahar berupa Jasa”,
penulis tidak menemukan pembahasan judul tersebut baik dalam bentuk
skripsi maupun dalam bentuk buku.
Sepanjang penelusuran yang telah penulis lakukan hanya sedikit yang
secara intens membahas tentang mahar dalam pernikahan. Literatur tentang
mahar kebanyakan pembahasannya hanya merupakan bagian dari seluruh isi
kitab atau buku secara umum yang memaparkan ajaran Islam seperti masalah
pernikahan.
Sepengetahuan penulis, mengenai permasalahan tentang mahar telah
banyak penulis-penulis terdahulu yang mengkaji dan membahasnya, tetapi
12
semua dari mereka membahas pokok permasalahan yang berbeda. Untuk lebih
jelasnya, di bawah ini ada beberapa skripsi yang mempunyai bahasan dalam
tema yang penulis jumpai di antaranya :
Skripsi yang ditulis oleh Nur Kheli: “Studi Komparatif Pendapat Imam
Malik dan Abu Hanifah tentang Maskawin yang Tidak Diketahui Sifat dan
Jenisnya”. Skripsi ini menjelaskan bahwa mengenai sifat-sifat maskawin,
fuqaha sependapat tentang sahnya pernikahan berdasarkan pertukaran dengan
suatu barang tertentu yang dikenal sifatnya, yakni yang tertentu jenis, besar,
dan nilainya. Mereka berbeda pendapat tentang barang yang tidak diketahui
sifatnya dan tidak ditentukan jenisnya, seperti jika seseorang mengatakan,
“Aku kawinkan engkau dengan dia dengan maskawin seorang hamba atau
pelayan”, tanpa menerangkan sifat-sifat hamba atau pelayan itu yang dapat
diketahui harga dan nilainya. Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa
perkawinan dengan cara seperti itu dibolehkan, sedang Syafi'i berpendapat
tidak boleh. Apabila terjadi perkawinan seperti itu, Malik berpendapat bahwa
pengantin wanita memperoleh jenis seperti yang disebutkan untuknya,
sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa pengantin pria dipaksa untuk
mengeluarkan harganya. Silang pendapat ini disebabkan, apakah perkawinan
seperti itu dapat disamakan dengan jual beli yang mengandung unsur
kebakhilan, atau dimaksudkan memberi adalah sesuatu yang lebih tinggi dari
itu, sebagai realisasi kedermawanan? Bagi fuqaha yang menyamakan
perkawinan dengan kebakhilan pada jual beli, mengatakan, tidak boleh jual
beli suatu barang yang tidak diketahui sifat-sifatnya, pernikahan juga berlaku
13
seperti jual beli. Fuqaha yang tidak menyamakannya dengan jual beli, karena
yang dimaksudkan adalah memberikan kehormatan mengatakan bahwa
perkawinan seperti itu boleh.23
Skripsi yang ditulis oleh Syamsul Mu’amar: “Studi Analisis Pendapat
Imam Syafi’i tentang Diperbolehkannya Mengajarkan al-Qur’an sebagai
Mahar”. Skripsi ini menerangkan bahwa pendapat Imam Syafi’i tentang
mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar dalam perkawinan merupakan suatu
pemberian yang diwajibkan oleh Allah untuk si calon suami yang
melangsungkan perkawinan, walaupun bentuk dan jumlahnya tidak ditentukan
oleh syari’at, tetapi calon suami harus memberikan sesuatu kepada calon
istrinya dan pemberian itu tidak boleh ditarik kembali oleh si calon suami
terkecuali istri merelakannya.24
Skripsi yang ditulis oleh Muttaqin: “Studi Analisis Pendapat Imam
Syafi'i tentang Batas Terendah Pembayaran Maskawin”. Skripsi ini
menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi'i, maskawin itu tidak ada batasan
rendahnya. Prinsip bagi Imam Syafi'i yaitu asal sesuatu yang dijadikan mahar
itu bernilai dan berharga, maka boleh digunakan sebagai maskawin. Alasan
Imam Syafi'i adalah karena pernikahan merupakan lembaga yang suci tidak
23 Nur Kheli, Studi Komparatif Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang
Maskawin yang Tidak Diketahui Sifat dan Jenisnya, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo Fakultas Syari’ah, 2005).
24 Syamsul Mu’amar, Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i tentang Diperbolehkannya Mengajarkan al-Qur’an sebagai Mahar, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo Fakultas Syari’ah, 2004).
14
boleh batal hanya lantaran kecilnya pemberian, sebab, yang penting adanya
kerelaan dari pihak wanita.25
Keterangan di atas menunjukkan penelitian terdahulu berbeda dengan
penelitian saat ini. Perbedaan penelitian sebelumnya yaitu perbandingan
pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang maskawin yang tidak
diketahui sifat dan jenisnya, kemudian skripsi yang kedua menganalisis
pendapat Imam Syafi’i tentang mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar dalam
perkawinan dan batasan terendah maskawin.
Pendapat yang penulis bahas ini, yakni tentang pandangan imam
madzhab terhadap mahar berupa jasa, yang jelas diketahui dan tidak hanya
mengkhususkan mahar yang berupa al-Qur’an saja yang dapat dijadikan
mahar. Mahar juga dapat berupa jasa atau manfaat yang lain seperti
pengajaran ilmu-ilmu agama, menggembalakan ternak dan berupa pekerjaan
yang lain, dengan syarat mahar tersebut mempunyai manfaat yang baik,
supaya sah menjadi mahar, serta menekankan bahwa mahar tidak harus berupa
materi tetapi dapat pula berupa non materi yang mungkin lebih bermanfaat
bagi istri.
E. Metode Penulisan Skripsi
Metode merupakan sarana untuk menemukan, merumuskan, mengolah
data dan menganalisa suatu permasalahan untuk mengungkapkan suatu
25 Muttaqin, Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Batas Terendah Pembayaran
Maskawin, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo Fakultas Syari’ah, 2005).
15
kebenaran.26 Pada dasarnya metode merupakan pedoman tentang cara
ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami suatu objek kajian yang
dihadapinya secara sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai pegangan dalam penulisan skripsi dan pengelolaan data untuk
memperoleh hasil yang valid dan qualified, penulis menggunakan beberapa
metode dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Penulisan dan pembahasan penelitian dalam skripsi ini merupakan
jenis penelitian kepustakaan (Library Research) dengan metode kualitatif,
yang berarti mengkaji permasalahan dengan cara menelusuri, mencari dan
menelaah bahan berupa data dari literatur-literatur yang berhubungan
dengan judul penelitian, baik yang berupa buku, artikel, dan karangan27
yang berkaitan dengan pembahasan tentang mahar berupa jasa menurut
imam madzhab dalam perkawinan.
2. Sumber Data
Penelitian ini adalah termasuk studi pustaka. Sementara itu, data
diambil dari berbagai sumber yaitu :
a. Sumber Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama.28 Data pokok yang diperoleh terdapat pada:
26 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Teori dan Praktek,
Jakarta: Rineka Cipta, 2002, h. 194. 27 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, Cet. 24, 2007, h. 9. 28 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2006, h. 30.
16
Kitab al-Umm, karya Imam Syafi’i, yang salah satu babnya
membahas tentang mahar.
Kitab Syarh Fath al-Qadir, karya Imam Kamaluddin bin al-
Humam, murid Imam Abu Hanifah yang salah satu babnya
membahas tentang mahar.
Kitab al-Muwaththa’, karya Imam Malik yang merupakan kitab fiqh
dan hadis, salah satu babnya membahas tentang mahar.
Kitab Musnad Ahmad bin Hambal, karya Imam Ahmad Hambali,
slah satu babnya membahas tentang mahar.
Sumber data primer di atas untuk mengetahui data-data yang
valid mengenai mahar berupa non materi dalam pandangan hukum
Islam. Kitab-kitab di atas ini tergolong kitab kajian terbesar dalam
masalah fiqh secara umum dan khususnya pada ulama empat mazhab,
yang mewakili kita-kitab lain dalam pembahasan mahar yang berupa
jasa.
b. Sumber Sekunder
Sumber data sekunder yaitu data yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer.29 Adapun sumber-sumber itu antara
lain: Al-Muhazzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i karya Abu Ishaq Ibrahim,
Fiqh lima mazhab karya Muhammad Jawad Mugniyah, al-Fiqh ala
Mazahib al-Arba'ah karya Abdur Rahman al-Jaziri, Hadist dan buku-
29 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1998, h. 116.
17
buku yang membahas mahar yang memiliki keterkaitan dengan
pembahasan skripsi ini.
3. Metode Analisis Data
Setelah dikumpulkannya data-data yang diperoleh untuk kepentingan
kajian ini, maka akan dianalisis dengan metode deskriptif analitis, yaitu
berusaha untuk menggambarkan dan menganalisis secara mendalam
berdasarkan data yang diperoleh.30 Skripsi ini mencoba menganalisis
konsep mahar berupa jasa menurut pendapat imam madzhab dan
keterkaitan dengan pemberian mahar berupa jasa dalam konteks sekarang
yang berkembang di masyarakat.
F. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini, penulis akan membahas beberapa masalah yang
sistematikanya adalah sebagai berikut:
1. Bagian Awal
Pada bagian ini memuat: Halaman Sampul, Halaman Judul, Penelitian,
Halaman Pengesahan, Halaman Motto, Kata Pengantar, Daftar Isi.
2. Bagian Inti Skripsi ini dibagi dalam lima bab, yaitu :
Bab I : Pendahuluan
Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Ketentuan Umum tentang Mahar dalam Perkawinan
30 Lexy J. Moleong, op. cit., h. 11.
18
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang
pengertian dan dasar hukum mahar, macam-macam dan syarat
mahar berdasarkan kualifikasi (mahar berupa harta dan mahar
berupa jasa) dan mahar berdasarkan klasifikasi, kedudukan
mahar dan makna filosofis pemberian mahar, hikmah
pemberian mahar.
Bab III : Konsep Mahar berupa Jasa menurut Imam Madzhab
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang
pendapat imam madzhab tentang mahar berupa jasa, dan
bentuk mahar jasa yang sah dijadikan mahar.
Bab IV : Analisis Pendapat Imam Madzhab terhadap Mahar berupa Jasa
Bab ini merupakan analisa untuk menguraikan analisis
pendapat imam madzhab tentang mahar berupa jasa, dan
keterkaitan pemberian mahar berupa jasa dalam akad
perkawinan dengan konteks sekarang.
Bab V : Penutup
Dalam bab ini berisi tentang: kesimpulan, saran-saran dan
kata penutup.
3. Bagian Akhir
Pada bagian akhir skripsi ini memuat: Daftar Pustaka dan Lampiran-
lampiran.
19
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MAHAR DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Mahar
1. Pengertian Mahar
Kata mahar berasal dari bahasa Arab yaitu al-mahr, jamaknya al-
muhur atau al-muhurah.31 Menurut bahasa, kata al-mahr bermakna al-
shadaq yang dalam bahasa Indonesia lebih umum dikenal dengan
“maskawin”, yaitu pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri
ketika berlangsungnya acara akad nikah diantara keduanya untuk menuju
kehidupan bersama sebagai suami istri.32
Lebih lanjut dalam kitab Subul al-Salam Syarh Bulug al-Maram
menjelaskan bahwa mahar mempunyai delapan nama sebagai berikut:
صداق ومهر حنلة وفريضة حباء وأجر مث : الصداق له مثانية أمساء، جيمعها قو له عقر عالئق
Artinya: “Mahar mempunyai delapan nama yang dinadzamkan dalam perkataannya: shadaq, mahar, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ’uqr, ‘alaiq”.33
Dalam kamus al-Munjid, kata mahar dapat dilihat dalam berbagai
bentuknya: 34 مھرا ومھورا ومھارا ومھارة: مھر yang artinya tanda pengikat.
Menurut W.J.S. Poerwadarminta, mahar adalah pemberian dari mempelai
31 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, h. 64.
32 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993, h. 667.
33 Imam Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Yamin Ashin’ani, Subul al-Salam Syarh Bulug al-Maram, Juz III,Beirut Libanon: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1988, h. 282.
34 Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, h.777.
20
laki-laki kepada pengantin perempuan.35 Pengertian yang sama dijumpai
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, mahar berarti
pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.36
Mahar menurut istilah ulama dan ahli hukum Islam Indonesia
diantaranya:
a) Menurut Abdurrrahman al-Jaziri, maskawin adalah nama suatu benda
yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang
disebut dalam akad nikah sebagai pernyataan persetujuan antara pria
dan wanita itu untuk hidup bersama sebagai suami istri.37
b) Menurut Imam Taqiyuddin, maskawin (shadaq) ialah sebutan bagi
harta yang wajib atas orang laki-laki bagi orang perempuan sebab nikah
atau bersetubuh (wathi'), Di dalam al-Qur’an maskawin disebut:
shadaq, nihlah, faridhah dan ajr. Dalam sunnah disebut: mahar,
’aliqah dan ’aqr.38
c) Kamal Muchtar, mengatakan mahar adalah pemberian wajib yang
diberikan dan dinyatakan oleh calon suami kepada calon istrinya di
35 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2006,
h. 731. 36 Tim Redaksi Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 856. 37 Abdurrrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, Beirut
Libanon: Darul Kutub ’Ilmiyah, 1990, h. 89. 38 Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad al-Husaini al-Hishni al-Dimasyqy al-
Syafi’i, Kifayah al- Akhyar fii Halli Ghayah al- IKhtisar, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiah, 1990, h. 60.
21
dalam sighat akad nikah yang merupakan tanda persetujuan dan
kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami istri.39
d) Pasal 1 sub d KHI, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria
pada calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang, maupun jasa
yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.40
e) Menurut Mustafa Kamal Pasha, mahar adalah suatu pemberian yang
disampaikan oleh pihak mempelai putra kepada mempelai putri
disebabkan karena terjadinya ikatan perkawinan.41
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa mahar merupakan suatu kewajiban yang harus dipikul oleh setiap
calon suami yang akan menikahi calon istri sebagai tanda persetujuan dan
kerelaan untuk hidup bersama sebagai suami istri, jadi mahar itu menjadi hak
penuh bagi istri yang menerimanya, bukan hak bersama dan bukan pula hak
walinya, tidak ada seorangpun yang berhak memanfaatkannya tanpa seizin
dari perempuan itu.
2. Dasar Hukum Mahar
Mahar adalah pemberian pria kepada wanita sebagai pemberian
wajib, untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang
antara kedua suami istri.42 Hal ini berdasarkan al-Qur'an dan hadits,
sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 4 yang
berbunyi :
39 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, h. 78.
40 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademi Presindo, 1992, h. 113.
41 Mustafa Kamal Pasha, Fikih Islam, Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2009, h. 274. 42 Ibid., h. 83.
22
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”43
Ayat di atas menegaskan bahwa apabila seorang laki-laki ingin
menikahi seorang perempuan untuk dijadikan sebagai istri wajib atasnya
untuk memberikan mahar atau maskawin.44 Ayat yang lain juga
disebutkan dalam surat yang sama yaitu ayat 24 :
Artinya: “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.”45
Ayat ini menegaskan bahwa kehalalan memperoleh kenikmatan dari
seorang istri yang dinikahi menjadi sempurna apabila telah diberikan hak
wanita tersebut yaitu berupa mahar.
Allah juga berfirman dalam surat al-Maidah ayat 5 berkaitan dengan
kewajiban seorang suami untuk memberikan mahar kepada calon istrinya :
Artinya: “Dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
43Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2006, h. 61. 44 Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, h. 183. 45 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 65.
23
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya.”46
Landasan hukum juga terdapat dalam hadits Nabi SAW, yang
memperkuat statemen tentang kewajiban memberikan mahar kepada calon
istri yaitu:
أميا امرأة نكحت بغري : قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم: وعن عائشة قالتفإن , فإن دخل ا فلها املهر مبا استحل من فرجها, إذن وليها فنكاحها باطل
وصححه , أخرجه األربعة إال النسائي(فالسلطان ويل من ال ويل له , اشتجروا٤٧)أبو عوانة وابن حبان واحلكيم
Artinya: “Dari ‘Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: perempuan siapapun yang menikah dengan tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, apabila suami telah mendzukhulnya, maka wajib baginya memberikan mahar untuk menghalalkan farjinya, namun apabila walinya tidak mau menikahkannya, maka penguasa menjadi walinya.” (dikeluarkan oleh empat perawi kecuali Nasa’i, dan dishahihkan oleh Abu ‘Awanah dan Ibnu Hiban dan Hakim).
Firman Allah SWT dan hadits Nabi SAW di atas menunjukkan
bahwa mahar sangat penting meskipun bukan sebagai rukun nikah, namun
setiap suami wajib memberi mahar sebatas kemampuannya. Ayat tersebut
juga menjadi indikasi bahwa agama Islam sangat memberi kemudahan dan
tidak bersifat memberatkan.
46 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 86. 47 al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram Min Adillat al-Ahkam, Beirut
Libanon: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.t., h. 250.
24
B. Macam-macam dan Syarat-syarat Mahar
1. Mahar Ditinjau dari Kualifikasi48
a) Mahar dalam bentuk benda kongkrit
Mahar disyaratkan harus diketahui secara jelas dan detail jenis
dan kadar yang akan diberikan kepada calon istrinya.49 Sekarang ini
masih terdapat dua bentuk macam mahar yang sering terjadi
dikalangan masyarakat yang pada hakikatnya adalah satu, yaitu:
Pertama, mahar yang hanya sekedar simbolik dan formalitas
biasanya diwujudkan dalam bentuk kitab suci al-Qur'an, sajadah, dan
lain-lain yang kerap kali disebut sebagai satu perangkat alat shalat.
Kedua, mahar terselubung ialah yang lazim disebut dengan
istilah “hantaran” atau “tukon” (dalam bahasa jawa) yaitu berupa
uang atau barang yang nilainya disetujui oleh keluarga mempelai putri
atau calon istri. Mahar dalam bentuk “terselubung” seperti ini biasanya
tidak disebutkan dalam akad nikah.50
Para fuqaha mengatakan bahwa mahar boleh saja berupa benda
atau manfaat. Adapun benda itu sendiri terdapat dua kategori, yaitu :
1) Semua benda yang boleh dimiliki seperti dirham, dinar, barang
dagangan, hewan dan lain-lain. Semua benda tersebut sah dijadikan
mahar dalam pernikahan.
48 Yang di maksud dengan kualifikasi mahar adalah apa saja yang boleh dijadikan mahar
serta syarat-syaratnya. 49 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Afif Muhammad, Jakarta:
PT Lentera Basritama, 2001, h. 365. 50 M. Labib al-Buhiy, Hidup Berkembang secara Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1983, h. 63.
25
2) Benda-benda yang tidak boleh dimiliki seperti khamr, babi, dan
lain-lain.
Mahar itu bisa berbentuk emas atau perak dan bisa juga
berbentuk uang kertas, dan boleh juga berupa hewan atau tumbuh-
tumbuhan, atau apa saja yang bersifat material.51 Idris Ahmad
membagi sesuatu yang mempunyai nilai dan harga bisa dijadikan
maskawin, seperti mata uang, barang (emas, perak, rumah, kebun, mobil,
pabrik), makanan dan segala sesuatu yang mempunyai nilai finansial dan
harga.52
Mahar dalam bentuk barang (mahar materi) ini dengan syarat-
syarat sebagai berikut:
1. Harta atau bendanya berharga.
Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak
ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila
mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat.
Tidak sah mahar dengan khamr, babi, atau darah karena
semua itu haram dan tidak berharga.
3. Barangnya bukan barang ghasab.53
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.
51 Said Abdul Aziz al-Jandul, Wanita di antara Fitrah, Hak dan Kewajiban, Jakarta:
Darul Haq, 2003, h. 35. 52 Idris Ahmad, Fiqh Syafi’i: Fiqh Islam menurut Madzhab Syafi’i, Surabaya: Karya
indah, 2002, h. 3. 53 Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak
bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya di kemudian hari. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
26
Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas
keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.54
b) Mahar dalam bentuk jasa atau manfaat
Mahar berupa jasa atau manfaat yaitu mahar yang tidak berupa
benda atau harta.55 Pengertian mengenai mahar manfaat atau jasa ini,
dapat diartikan dengan melihat dari pendapat para ulama, yaitu:
1. Ulama Hanafiyah berpendapat mahar adalah harta yang menjadi
hak istri dari suaminya dengan adanya akad atau dukhul.
2. Ulama Malikiyah berpendapat mahar adalah sesuatu yang
diberikan kepada istri sebagai ganti (imbalan) dari istimta’
(bersenang-senang) dengannya.
3. Ulama Syafi’iyah berpendapat mahar adalah sesuatu yang menjadi
wajib dengan adanya akad nikah atau watha’ atau karena
merusakkan kehormatan wanita secara paksa (memperkosa).
4. Ulama Hanabilah berpendapat mahar adalah suatu imbalan dalam
nikah baik yang disebutkan di dalam akad atau yang diwajibkan
sesudahnya dengan kerelaan kedua belah pihak atau hakim, atau
imbalan dalam hal-hal yang menyerupai nikah seperti watha’
syubhat dan watha’ yang dipaksakan.56
Definisi di atas tampak bahwa definisi yang dikemukakan oleh
ulama Hanafiyah membatasi mahar itu hanya dalam bentuk harta,
54 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008, h. 87-88. 55 Departemen Agama RI, op. cit., h. 668. 56 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IX , Beirut Libanon: Dar al-
Fikr, t.t, h. 6758.
27
sementara definisi yang dikemukakan oleh golongan lainnya tidak
membatasi hanya pada harta saja, melainkan memasukkan jenis atau
bentuk-bentuk lain selain harta dalam pengertian mahar, seperti jasa
atau manfa’at, mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an dan sebagainya.
Dasar yang membolehkan mahar berupa jasa ini ada
landasannya dalam al-Qur’an dan dalam hadits Nabi. Hal ini
dikisahkan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 25 :
Artinya: “Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut.”57
Ayat di atas menegaskan bahwa dalam menunaikan kewajiban
membayar mahar adalah didasarkan pada kemampuan calon mempelai
pria secara pantas. Al-Qur’an tidak menjadikan mahar itu untuk
tuannya, karena mahar itu adalah haknya. Karena itu, keluarkanlah hal
ini dari kaidah bahwa seluruh penghasilan budak itu milik tuannya.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa apa yang diperolehnya itu
bukan penghasilan, melainkan hak karena hubungannya dengan
seorang laki-laki. Islam memuliakan mereka dengan tidak menggangap
mereka menjual kehormatannya dengan mendapatkan sejumlah uang,
tetapi yang dilakukannya itu adalah pernikahan dan pemeliharaan diri.
Penggunaan kata أجر( ) ajr/upah untuk menunjukkan maskawin,
dijadikan dasar oleh ulama-ulama bermazhab Hanafi untuk
mengatakan bahwa maskawin haruslah sesuatu yang bersifat materi,
57 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 65.
28
tetapi kelompok ulama bermazhab Syafi’i tidak mensyaratkan sifat
materi untuk maskawin. Penyebutan upah di atas, hanyalah karena itu
yang umum terjadi dalam masyarakat.58
Mahar dalam bentuk jasa juga terdapat dalam al-Qur’an yaitu
menggembala kambing selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan
seorang perempuan.59 Hal ini dikisahkan Allah dalam surat al-Qashash
ayat 27:
Artinya: “Berkatalah dia (Syu'aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu”.60
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang bapak boleh meminang
seorang laki-laki untuk menjadi suami putrinya. Hal ini banyak terjadi
di masa Rasulullah SAW, bahkan ada di antara wanita yang
menawarkan dirinya supaya dikawini oleh Rasulullah SAW atau
supaya Rasulullah mengawinkan mereka dengan siapa yang
diinginkannya oleh Rasulullah.
Umar ibn al-Khaththab pernah menawarkan anaknya Hafsah
(yang sudah janda kepada Abu Bakar tetapi Abu Bakar diam saja,
58 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2000, h. 385. 59 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, h. 91. 60 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 310.
29
kemudian ditawarkan kepada Ustman tetapi Ustman meminta maaf
karena keberatan. Hal ini diberitahukan Abu Bakar kepada Nabi SAW.
Nabi pun menenteramkan hatinya dengan mengatakan “Semoga Allah
akan memberikan kepada Hafsah orang yang lebih baik dari Abu
Bakar dan Ustman, kemudian Hafsah dikawini oleh Rasulullah.61
Di samping ayat-ayat yang telah dijelaskan di atas sebagai
landasan hukum, terdapat pula hadits Nabi yang memperkuat statemen
tentang kewajiban memberikan mahar berupa jasa kepada calon istri:
دد حعن سل بهس نأبيه ع نازم عأبي ح نز بزيالع دبا عثندة حبيا قتثنسلم فقا لت يا اهللا صلى اهللا عليه والساعدي قال جاءت امرأة إلى رسول
ال فنظر إليها رسول اهللا صلى اهللا عليه رسول اهللا جئت أهب لك نفسي ق لمسه وليلى اهللا عول اهللا صسطأطأ ر ثم هب وصا وفيه ظرالن دعفص لمس و
ام رجل من رأسه فلما رأت المرأة أنه لم يقض فيها شيئا جلست فقأصحابه فقال يا رسول اهللا إن لم يكن لك بها حاجة فزوجنيها فقال
اذهب إلى أهلك : وهل عندك من شيء؟ قال ال و اهللا يا رسول اهللا فقال رجع فقال، ال واهللا ما وجدت شيئا فقال فذهب ثم: فانظر هل تجد شيئا
ثم بد، فذهديح ا منماتخ لوو ظران ،لمسه وليلى اهللا عول هللا صسرال واهللا يا رسول اهللا وال خاتما من حديد ولكن هذا إزاري : رجع فقال
ل سهل ما له رداء فلها نصفه فقال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم، ما قا كليع كني لم هتإن لبسء ويش ها منهليع كني لم هتإن لبس اركباز عنصت
فرآه رسول اهللا صلى : ذا طال مجلسه قاممنه شيء فجلس الر جل حتى إماذا معك من القرآن؟ : اهللا عليه وسلم مو ليا فأمر به فدعي فلما جاء قال
61 M. Quraish Shihab, op. cit., h. 336.
30
ظه نع نهؤقرا فقال تهددة كذا عورسة كذا وورعي س؟ قال، مر قلبك ٦٢)رواه البخار. (قد ملكتكها بما معك من القرآنقال نعم، قال اذهب ف
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Hazim dari ayahnya dari Sahl bin Said al-Saidy berkata: "Seorang perempuan telah datang kepada Rasulullah, wahai Rasulullah, saya datang untuk menyerahkan diriku kepadamu”. Kemudian Rasulallah SAW, memandang wanita itu dan memperhatikannya, lalu beliau menundukkan kepalanya. Setelah wanita itu tahu bahwa Rasulallah SAW tidak berhasrat kepadanya, maka duduklah ia. Tiba-tiba salah seorang sahabat Nabi SAW berdiri dan berkata: “Wahai Rasulallah SAW, nikahkanlah saya dengannya jika memang engkau tidak berhasrat kepadanya”. Lalu Nabi SAW, bertanya kepada laki-laki tersebut: “Adakah kamu mempunyai sesuatu?” Dia menjawab: “Tidak, demi Allah saya tidak mempunyai sesuatu”. Maka Nabi SAW bersabda: “Carilah maskawin, walaupun hanya sebuah cincin dari besi”. Maka segera sahabat itu mencari maskawin, tak lama sahabat itu datang kembali dan berkata: “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, saya tidak menemukan sesuatu walaupun cincin dari besi, akan tetapi hanya sarung ini yang saya miliki”. Sahl berkata: "Karena sarung itu tidak ada selendangnya, maka harus dibagi menjadi dua”. Rasulallah SAW bertanya: “Dan apa yang akan kamu lakukan dengan sarung itu? jika sarung itu kamu pakai, maka ia tidak dapat memanfaatkannya, dan jika ita memakainya maka kamu tidak dapat memakai apa-apa”. Sahabat itu duduk lama sekali, kemudian ia berdiri lalu pergi ketika Rasulallah SAW tahu bahwa sahabat itu pergi, maka beliau mengutus seseorang untuk memanggilnya. Setelah ia datang Rasulallah SAW bertanya: “Surat apa yang kamu hafal dari al-Qur'an?” jawabanya: “Yang aku hafal surat itu dan surat itu (ia menyebutkannya)”. Tanya beliau: "Apakah kamu hafal surat-surat itu diluar kepala?” jawabnya : “ya”. Maka Nabi SAW, bersabda: “Aku nikahkan kamu dengannya dengan maskawin beberapa ayat al-Qur'an yang kamu hafal”.
62 Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim ibn al-Mugirah ibn
Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz V, Beirut Libanon: Darul Kutub al-’Ilmiyah,1992, h. 444.
31
Hadis di atas muncul dilatarbelakangi atas ketidakmampuan
sahabat dalam memberikan maskawin terhadap wanita yang akan
dinikahinya. Sahabat itu tidak memiliki harta sedikitpun untuk
dijadikan mahar dalam pernikahannya. Kitab hadits dan asbab al-
wurud al-hadits secara eksplisit tidak ditemukan secara pasti dimana
kejadian itu berlangsung dan tidak pula disebutkan secara jelas siapa
perempuan yang mendatangi Nabi SAW tersebut. Namun dalam Syarh
al-Bukhari ditemukan data yang menyebutkan bahwa peristiwa
tersebut berlangsung di dalam sebuah masjid.63
Wanita yang dengan berani menyerahkan dirinya kepada Nabi
SAW tersebut disinyalir bernama Khaulah binti Hakim yang dijuluki
dengan Ummi Syarik. Nama ini dinukil dari nama orang yang
memasrahkan dirinya kepada Rasulullah SAW dalam surat al-Ahzab
ayat 50 disebutkan: “Dan perempuan mukmin yang menyerahkan
dirinya kepada Nabi.” Penjelasan tentang nama wanita tersebut serta
hal-hal yang berkaitan dengan beberapa nama wanita yang
memasrahkan urusan dirinya kepada Rasulullah SAW, telah
disebutkan dalam penafsiran surat al-Ahzab. Di akhir cerita disebutkan
bahwa sahabat tersebut menikahi wanita itu dengan maskawin (mahar)
beberapa ayat al-Quran yang telah dihafalnya serta mengajarkannya.64
Syarat mahar non materi yaitu syarat-syarat berupa manfaat
yang dijadikan mahar menurut ulama:
63 Ibrahim bin Muhammad bin Kamal al-Din, Al-Bayan wa al-Ta’rif Fi asbab al-Wurud
al-Hadits al-Syarif, Beirut: Dar al-Saqafah al-Islamiyyah, tt, h. 344. 64 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 339.
32
1) Syarat menurut Syafi’iyah.
Syaratnya manfaat itu harus mempunyai nilai seperti harta
yang bisa diserahterimakan baik secara konkrit atau secara syari’at,
sehingga tidak sah bila mengajarkan satu kata atau satu ayat pendek
yang mudah dan menjahit baju sendiri atau manfaat yang
diharamkan seperti mengajarkan al-Qur’an kepada orang kafir
dzimmi yang belajar bukan karena masuk Islam.65
2) Syarat menurut Hanbaliyah.
Syaratnya manfaat itu harus diketahui dan bisa diambil
imbalannya, seperti menjahit baju istri atau mengajarkan kerajinan
tangan kepada istrinya, jika manfaat itu tidak diketahui secara pasti
seperti istri bekerja kapan saja selama satu bulan, maka hal itu tidak
sah, karena manfaat itu berfungsi sebagai imbalan dalam tukar
menukar. Maka tidak sah kalau manfaat itu tidak diketahui seperti
harga dalam jual beli dan sewa-menyewa.66 Dasarnya dalam firman
Allah QS. al-Qashash ayat 27:
Artinya: "Berkatalah Dia (Syu'aib): Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun
65 Abi Ishaq al-Syairazi, al-Muhazzab fi Fiqh al-Iman al-Syafi’i, Juz II, Beirut Libanon:
Darul al-Fikr, 1990, h. 57. 66 Ibn Qudamah, al-Mughniy, Juz XII, Mesir: Darul al-Fikr, tt, h. 8.
33
maka itu adalah suatu kebaikan) dari kamu”. (QS. Al-Qashash: 27)67
3) Syarat menurut Malikiyah.
Syaratnya manfaat itu harus diketahui dari suatu pekerjaan
yang mempunyai nilai manfaat, seperti pengajaran al-Qur’an.68
4) Syarat menurut Hanafiyah
Syaratnya manfaat yang akan dijadikan mahar harus manfaat
yang dapat diukur dengan harta, seperti mengendarai kendaraan,
menempati rumah atau menanam sawah dalam waktu tertentu.69
Hal ini bisa mahar diganti dengan mahar mitsil, dalam kitab Syarh
Fathul al-Qadir :
وإن تزوج حر امرأة على خدمته هلا سنة أو على تعليم القرآن صح النكاح هلا قيمة خدمته سنة وإن تزوج عبد امرأة بإذن : و هلا مهر املثل، وقال حممد
٧٠.مواله على خدمته هلا سنة جاز وهلا اخلدمة Artinya: “Jika seseorang yang merdeka menikah dengan mahar
akan melayani istri 1 tahun atau mengajarinya al-Qur’an, maka bagi istri adalah mahar mitsil. Muhammad berkata: bagi istri tersebut adalah harga pelayanan. Jika seorang hamba sahaya menikah dengan izin tuannya dengan mahar melayani istri selama 1 tahun, maka diperbolehkan dan bagi istri mendapat pelayanan suami tersebut”.
Mahar tidak senantiasa berupa uang atau barang. Dikalangan
santri, pernah terjadi pernikahan dengan maskawin berupa
67 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 310. 68 Abdurrrahman al-Jaziri, op. cit., h. 99. 69 Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul al-Muqtashid, Terj. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amina, 1989, h. 391.
70 Imam Kamal bin Muhammad bin Abdulrahim al-Ma’ruf bin al-Humam al-Hanafi, Syarh Fathul al-Qadir, Juz 3, Beirut Libanon: Darl al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt, h. 326.
34
kesanggupan calon suami untuk memberi pelajaran terhadap calon
istrinya membaca kitab suci al-Qur'an sampai tamat, dikalangan
para santri lebih dikenal dengan istilah khatam al-Qur'an. Pernah
juga mahar dibayar dengan tenaga atau lebih sering disebut dengan
jasa, yaitu seorang lelaki yang akan menjadi menantu itu untuk
beberapa lama di rumah calon mertua, tetapi belum diperbolehkan
melakukan hubungan suami-istri dengan calon istrinya dan laki-
laki tersebut mengerjakan sawah yang telah disediakan oleh calon
mertuanya.
2. Ditinjau dari Klasifikasi Mahar
Para ulama telah mengklasifikasikan mahar ke dalam dua macam
yaitu mahar musamma dan mahar mitsil.71
a) Mahar Musamma
Mahar musamma adalah pemberian mahar yang ditentukan
dengan tegas tentang jumlah dan jenis sesuatu barang yang dijadikan
mahar pada saat terjadinya akad nikah, seperti yang kebanyakan berlaku
dalam perkawinan di Indonesia.
Para ulama telah sepakat bahwa mahar musamma harus dibayar
seluruhnya oleh seorang suami, apabila terjadi salah satu di antara hal-
hal berikut ini, yaitu:
1) Suami telah menggauli istrinya72
Firman Allah SWT Surat an-Nisa’ ayat 21:
71 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah II, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, h. 140. 72 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988, h. 224.
35
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”.73
Ayat ini mengajarkan bahwa apabila seorang suami telah
menggauli istrinya dia tidak lagi diperbolehkan mengambil kembali
sedikitpun mahar yang telah dia berikan. Dengan ayat tersebut,
hukum Islam menetapkan bahwa bercampurnya seorang suami dan
istri mengakibatkan dilarangnya seorang suami mengambil kembali
mahar yang telah dia berikan.
2) Salah satu dari suami istri meninggal.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami
telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan
sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau
dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.
Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur,74 berdasarkan
firman Allah QS. al-Baqarah ayat 237:
Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu
73 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 64. 74 Abdul Rahman Ghozali, op. cit., h. 93.
36
sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.”75
b) Mahar Mitsil
1) Menurut ulama Hanafiyah, mahar mitsil adalah mahar perempuan
yang menyerupai istri pada waktu akad, dimana perempuan itu
berasal dari keluarga ayahnya, bukan keluarga ibunya jika ibunya
tidak berasal dari keluarga ayahnya, seperti saudara perempuannya,
bibinya dari pihak ayah, anak pamannya dari pihak ayah, yang satu
daerah dan satu masa dengannya.
2) Menurut Hanabilah, mahar mitsil adalah mahar yang diukur dari
perempuan yang menyerupai istri dari seluruh kerabat, baik dari
pihak ayah maupun dari pihak ibu, seperti saudara perempuan, bibi
dari pihak ayah, anak bibi dari pihak ayah, ibu, bibi dari pihak ibu
dan selain mereka dari kerabat yang ada.76
Sayyid Sabiq menjelaskan pengertian mahar mitsil sebagai
berikut: mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan yang
sama dengan perempuan lain dari segi umur, kecantikan, kekayaan,
akal, agama, kegadisan, kejandaan, dan negerinya pada saat akad
nikah dilangsungkan. Jika dalam faktor-faktor tersebut berbeda,
maka berbeda pula maharnya.77
75 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 30. 76 Wahbah al-Zuhaily, op. cit., h. 6775-6776. 77 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Terj. Nor Hasanuddin, Jilid III, Cet. I, Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2006, h. 49.
37
3) Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, mahar mitsil ialah mahar yang
dipilih oleh suaminya berdasarkan mahar perempuan-perempuan
yang serupa dengan istrinya menurut adat.78
Soemiyati dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam dan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa mahar
mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang
diterima keluarga pihak istri, karena pada waktu akad nikah jumlah
mahar dan bentuknya belum ditentukan.
Mahar mitsil itu diukur dari perempuan yang menyerupai istri
dari seluruh kerabatnya, baik dari pihak ayah maupun ibunya, seperti
saudara kandung, bibi dari pihak ayah, anak paman dari pihak ibu,
dan selain dari mereka kerabat yang ada.79
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapatlah
dimengerti dan disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahar
mitsil adalah mahar yang diberikan oleh calon suami kepada calon
istri yang belum ada ketentuan besar kecilnya serta jenis mahar yang
akan diberikan. Mahar ini menjadi hak perempuan dengan jumlah
seperti mahar yang diterima oleh perempuan yang sebaya dengannya
dalam usia, kecantikan, harta, akal, agama, kegadisan, kejandaan
serta negerinya pada saat dilaksanakan akad nikah. Sebab, nilai
mahar bagi seorang perempuan biasanya berbeda sesuai dengan
perbedaan sifat-sifat ini. Yang dijadikan acuan dalam kesetaraan dari
78 Wahbah al-Zuhaily, op. cit., 6776. 79 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Cet
II, Yogyakarta: Liberti, 1986, h. 60.
38
segi kerabatnya seperti saudaranya, bibinya, dan anak-anak
perempuan pamannya.80
Mahar mitsil terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut:
a) Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika
berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur
dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
b) Jika mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah
bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan
maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama
dibolehkan. Firman Allah SWT, QS. al-Baqarah ayat 236:
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya”.81
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh
menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan
jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal ini, maka
istri berhak menerima mahar mitsil.82
80 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3, Terj. Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta: Cakrawala
Publishing, 2008, h. 421. 81 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 30. 82 Abdul Rahman Ghozali, op. cit., h. 94.
39
C. Kedudukan Mahar dan Makna Filosofis Pemberian Mahar
Para ulama madzhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu syarat
atau rukun akad, tetapi merupakan suatu konsekuensi adanya akad.83 Mahar
merupakan akibat dan salah satu hukum dari sebagai hukum dalam suatu
perkawinan yang shahih, dan hubungan sebadan sesudah terjadinya
perkawinan yang fasid (batal), serta hubungan sebadan yang disebabkan
kesamaran. Mahar wajib atas suami untuk istrinya dengan adanya akad nikah
yang shahih.84
Islam sangat menentang diskriminasi laki-laki terhadap kaum wanita dan
inilah keistimewaan syari’at Islam. Kedudukan kaum wanita pada zaman
Jahiliyah sangat nista, sebagai budak yang sangat hina. Mereka diperjual
belikan sebagaimana barang dagangan yang murah dan sama sekali tidak
dihormati. Mereka berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan yang lain, tak
ubahnya barang dagangan, dari satu ahli waris ke ahli waris lainnya.
Pada masa itu apabila seorang laki-laki meninggal, maka sanak
kerabatnya dapat mewarisi istrinya sebagaimana mereka mewarisi harta
kekayaanya. Islam datang untuk menyelamatkan kaum wanita dari kedzaliman
dan penindasan tersebut. Islam datang bukan hanya mengembalikan atau
menempatkan mereka pada posisi yang terhormat, tetapi juga mengakui
kemanusiaan mereka serta hak-hak yang mereka miliki, sebab pengakuan
83 Muhammad Jawad Mugniyah, op. cit., h. 366. 84 Ahmad al-Hajji al-Kurdi, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqih Islam, Semarang: Dina
Utama Semarang, 1995, h. 33.
40
terhadap hak dan kemanusiaan tidak mereka terima pada sistem perundang-
undangan buatan manusia.85
Pada zaman jahiliyyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-
siakan, sehingga walinya semena-mena dapat menggunakan hartanya dan
tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya serta
menggunakannya, lalu Islam datang menghilangkan belenggu ini. Istri diberi
hak mahar serta suami diberikan kewajiban membayar mahar kepadanya
bukan kepada ayahnya.86 Turunlah firman Allah ayat 19 surat an-Nisa’:
Artinya: “Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena ingin mengambil sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya”.87
Islam mengatur hak-hak yang dapat dimiliki oleh isteri atas suaminya,
yang pada zaman Jahiliyah, wanita tidak mempunyai hak sama sekali.
Pertama, hak kebendaan seperti maskawin dan uang belanja. Kedua, hak
bukan benda, misalnya perlakuan yang adil di samping isteri-isteri lainnya
apabila suami mempunyai isteri lebih dari satu. Di samping itu ada akibat
hukum yang harus dilaksanakan dalam kehidupan suami isteri. Akibat hukum
itu berupa hak-hak di antara keduanya, hak-hak tersebut adalah:
1. Hak isteri atas suaminya.
85 Ahmad Mudjab Mahalli, Wahai Pemuda Menikahlah, Jogjakarta: Menara Kudus, Cet.
I, 2002, h. 145. 86 Sayyid Sabiq, op. cit., h. 40. 87 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h.
41
2. Hak suami atas isterinya.
3. Hak bersama antara suami dan isteri.88
Mahar merupakan hak murni perempuan yang disyaria’tkan untuk
diberikan kepada perempuan sebagai ungkapan keinginan pria terhadap
perempuan tersebut, sebagai salah satu tanda kasih sayang calon suami
terhadap calon istri, dan suatu pemberian wajib sebagai bentuk penghargaan
calon suami kepada calon istri yang dilamar, serta sebagai simbol untuk
memuliakan, menghormati dan membahagiakan perempuan yang akan
menjadi istrinya. Adanya kewajiban memberikan mahar kepada istri,
terbentanglah tanggung jawab yang besar dari suami untuk memberikan
nafkah di dalam kehidupan rumah tangga secara layak, firman Allah yang
terdapat dalam QS. an-Nisa ayat 34:
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.89
Mahar yang diberikan, boleh berupa barang (harta kekayaan) dan boleh
juga berupa jasa atau manfaat (mahar non materi). Berupa barang,
diisyaratkan haruslah barang itu berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau
harga, halal dan suci, sedangkan kalau berupa jasa atau manfaat, haruslah
berupa jasa atau manfaat dalam arti yang baik. Dasar yang membolehkan hal
88 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), Jakarta: Pustaka Amani, edisi II, 2001, h. 129.
89 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h.
42
ini adalah yang menerangkan bahwa Rasulullah pernah menikahkan
sahabatnya dengan mahar berupa sebentuk cincin yang terbuat dari besi.
Demikian pula, Beliau pernah menikahkan sahabat lain dengan mahar berupa
jasa dari calon suami dengan mengajarkan al-Qur’an kepada calon istrinya.90
D. Hikmah Pemberian Mahar
Mahar merupakan pemberian pertama seorang suami kepada istrinya
yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena
sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilaksanakan
oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan
itu. Adanya pemberian mahar itu, suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk
menghadapi kewajiban materiil berikutnya.91
Wujudnya maskawin, bukanlah untuk menghargai atau menilai
perempuan, melainkan sebagai bukti, bahwa calon suami sebenarnya cinta
kepada calon istrinya, sehingga dengan suka rela hati ia mengorbankan
hartanya untuk diserahkan kepada istrinya, sebagai tanda suci hati dan sebagai
pendahuluan, bahwa si suami akan terus-menerus memberi nafkah kepada
istrinya, sebagai suatu kewajiban suami terhadap istrinya.92
Hikmah pewajiban mahar bagi istri atas suami ialah menunjukkan dan
mengangkat tinggi kepentingan hubungan ini. Pewajiban mahar atas suami
secara khusus, dimana suami yang lebih mampu untuk bekerja dan memberi
90 Departemen Agama RI., op. cit., h. 668. 91 Amir Syarifuddin, op. cit., h. 87. 92 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
1983, h.82.
43
nafkah, mengandung isyarat kepada apa yang diwajibkan oleh perkawinan
atas suami, berupa berbagai tuntutan kebutuhan dan nafkah. Mahar
mengandung suatu penghormatan kepada wanita yang masuk dalam ketaatan
kepadanya dan dalam perlindungannya.93
Hikmah disyaratkan mahar antara lain:
a. Menunjukkan kemuliaan kaum wanita. Hal ini menandakan bahwa
merekalah yang dicari, bukan mencari, dan yang mencarinya ialah laki-
laki itulah yang mencari berusaha dan mengeluarkan hartanya untuk
mendapatkan wanita.
b. Untuk menampakkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada
istrinya, sehingga pemberian harta itu sebagai nihlah dari padanya, yakni
sebagai pemberian, hadiah, dan hibah, bukan sebagai pembayaran harga
sang wanita.
c. Sebagai perlambang kesungguhan. Pernikahan bukanlah sesuatu yang
dapat dipermainkan kaum laki-laki dengan begitu saja, dengan
menyatakan kepada si wanita: “saya nikahi engkau,” sehingga
menjadikannya terikat.
d. Bahwa Islam meletakkan tanggung jawab keluargan ditangan laki-laki
(suami), karena kamampuan fitrahnya dalam mengendalikan emosi
(perasaan) lebih besar dibandingkan kaum wanita.94
93 Ahmad al-Hajji al-Kurdi, op. cit., h. 35. 94 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, op. cit., h. 66-67.
44
BAB III
KONSEP MAHAR JASA MENURUT IMAM MADZHAB
A. Pendapat Imam Madzhab Tentang Mahar Berupa Jasa
1. Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah dari madzhab Hanafi, berpendapat bahwa mahar adalah
kewajiban tambahan dalam akad nikah, sama statusnya dengan nafkah.
Mahar mengajarkan al-Qur’an atau melayani istri menurut Imam
Kamaluddin bin al-Humam al-Hanafi dalam kitab Syarh Fathul Qadir
yaitu:
وإن تزوج حر امرأة على خدمته هلا سنة أو على تعليم القرآن صح النكاح هلا قيمة خدمته سنة وإن تزوج عبد امرأة : و هلا مهر املثل، وقال حممد
٩٥.بإذن مواله على خدمته هلا سنة جاز وهلا اخلدمة Artinya: “Jika seseorang yang merdeka menikah dengan mahar akan
melayani istri 1 tahun atau mengajarinya al-Qur’an, maka bagi istri adalah mahar mitsil. Muhammad berkata: bagi istri tersebut adalah harga pelayanan. Jika seorang hamba sahaya menikah dengan izin tuannya dengan mahar melayani istri selama 1 tahun, maka diperbolehkan dan bagi istri mendapat pelayanan suami tersebut”.
Penjelasan dari kitab di atas adalah jika seseorang yang merdeka,
menikah dengan mahar akan melayani istri selama satu tahun atau
mengajarinya al-Qur’an, maka bagi istri adalah mahar mitsil.
Pendapat hukum mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar menurut
Imam Kamaluddin bin al-Humam al-Hanafi dengan mengutip Imam Abu
95 Imam Kamal bin Muhammad bin Abdulrahim al-Ma’ruf bin al-Humam al-Hanafi,
Syarh Fathul al-Qadir, Juz 3, Beirut Libanon: Darl al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt, h. 326.
45
Hanifah yaitu bahwa mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar adalah fasad
(rusak) dan harus mengganti mahar mitsil. Alasan hukumnya terdapat
dalam kitab Syarh Fathul Qadir karangan Imam Ibnu al-Humam, sebagai
berikut:
وأليب حنيفة أن املوجب األصلي مهر املثل إذهو األعدل، والعدول عنه عند ٩٦صحة التسمية وقد فسدت ملكان اجلهالة
Artinya: “ Menurut Abu Hanifah, sesungguhnya yang asli diwajibkan adalah mahar mitsil karena mahar mitsil itu yang paling adil, dan kalaupun ada yang mengadakan perpindahan memilih tidak memakai mahar mitsil itu dibolehkan ketika mereka telah memilih mahar musamma, menurut Abu Hanifah itu tidak sah atau rusak karena tidak jelas”.
Dasar Imam Kamaluddin bin al-Humam al-Hanafi dalam
mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar diganti dengan mahar mitsil adalah
dalam firman Allah QS. an-Nisa’ ayat 24:
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
96 Ibid., h. 339.
46
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.97
Fungsi kata bi pada kalimat bi amwalikum dalam ayat ini
menunjukkan memiliki hak untuk mendapatkan manfaat dengan jalan
mengganti, yaitu dengan membayar mahar.
Sejalan dengan Abu Hanifah, menurut al-Kasani yang juga dari
madzhab Hanafi menyebutkan bahwa mahar merupakan ganti kepemilikan
manfaat. Suami berhak mendapat manfaat dari isteri, dengan terjadinya
transaksi (ijab dan kabul). Suami harus membayar mahar untuk mendapat
hak manfaat ini.
Ulama Hanafiah mengatakan jika laki-laki menikah dengan mahar
manfaat benda berupa menghuni rumah miliknya (laki-laki), menaiki
hewannya, mengangkut barang bawaan di atas untanya, menanam di
lahannya selama kurun waktu tertentu, maka penyebutan mahar sah dan
perempuan berhak mendapatkan manfaat yang telah disebutkan. Hal ini
tidak ada perselisihan.98
Ukuran minimal mahar mitsil menurut Abu Hanifah adalah sepuluh
dirham99, jika lelaki menikah dengan mahar berupa benda yang dapat diukur,
ditimbang, atau dihitung sedangkan harganya pada waktu akad setara dengan
10 dirham atau lebih, kemudian harganya berkurang di bawah 10 dirham
sebelum diserahkan, maka perempuan tidak memiliki hak untuk menuntut
97 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006, h. 65. 98 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IX, Beirut Libanon: Dar al-
Fikr, tt, h. 6758. 99 Imam Kamal bin Muhammad bin Abdulrahim al-Ma’ruf bin al-Humam al-Hanafi, op.
cit., h. 335.
47
lebih, karena yang dianggap adalah harga di saat akad. Adapun jika lelaki
menikah dengan mahar benda yang harganya setara 8 dirham di saat akad,
maka perempuan menuntutlah dua sisanya, meski harganya di saat penyerahan
naik menjadi 10 dirham. Dasar hukumnya adalah hadits yang diriwayatkan
dalil yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi sebagai berikut:
قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم الينكح النساء , عن جابر بن عبد اهللا عنه قال١٠٠.إال كفوأ وال يزوجهن إال األولياء وال مهر دون عشرة دراهم
Artinya: “Dari Jabir ibn Abdullah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jangan nikahkan wanita kecuali sekufu’ dan jangan mengawinkan wanita kecuali para walinya, dan tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham”.
Menikah dengan mahar manfaat maknawi (manfaat bersifat abstrak)
seperti mengajar al-Qur’an, fiqh, ilmu agama yang lain, atau mengajar
halal-haram sesuatu, merupakan pendekatan kepada Allah yang tidak
boleh memberikan uang sewa atas pengajaran itu, maka terdapat
perselisihan pendapat. Tiga imam Hanafiyah (Abu Hanifah, Abu Yusuf,
Muhammad bin Hasan al-Syaibani) berpendapat bahwa al-Qur’an dan
hukum-hukum agama tidak boleh dijadikan pengajaran sebagai imbangan
harta sehingga tidak sah untuk dijadikan mahar, namun darinya wajib
dibayar mahar mitsil, karena ia merupakan manfaat yang tidak bisa
mengimbangi harta (tidak bisa dihitung dengan uang).101
Terkadang memberi fatwa tentang diperbolehkannya mengambil gaji
atas pengajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama karena darurat, karena
100 Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakr al-Baihaqiy, Sunan al-Baihaqiy al-
Kubra, Juz VII, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994, h. 240. 101 Wahbah al-Zuhaily, op. cit., h. 6768.
48
terkadang tidak ditemukan orang yang mengajarkan ilmu-ilmu agama
padahal hal itu wajib atas kaum muslimin.
Kaidahnya adalah sesuatu yang patut mendapatkan upah sah
dijadikan mahar, karena upah merupakan harta yang memiliki harga yang
bisa menjadi mahar. Berdasarkan hal ini, boleh memfatwakan keabsahan
menjadikan pengajaran al-Qur’an dan fiqh sebagai mahar secara pasti.
Sebagian ulama menentang pendapat itu dari sisi yang lain, yakni dengan
melihat bahwa dengan demikian laki-laki akan menjadi pembantu
perempuan, sedangkan pembantu lelaki merdeka terhadap perempuan
diharamkan maka tidak bisa menjadi mahar. Penentangan ini tidak ada arti
apa-apa, karena seorang pengajar al-Qur’an dan ilmu tidak bisa disebut
sebagai pembantu, bahkan secara urfi ia disebut sebagai tuan.102
Mahar selain pengajaran, seperti menikah dengan mahar ketaatan
laki-laki terhadap perempuan yang mana ketaatan tersebut tidak boleh
diberi upah seperti menikah dengan mahar laki-laki menjadi badal haji
perempuan maka tidak sah dan bagi perempuan ditetapkan mahar mitsil.
Lelaki menikah dengan perempuan dengan mahar berupa menalak seorang
perempuan tanpa disertai dengan harta maka sama juga tidak sah dan bagi
perempuan ditetapkan mahar mitsil, begitu pula jika lelaki menikah
dengan mahar berupa menjadi pelayan perempuan sedangkan dia adalah
orang merdeka dan bukan seorang hamba sahaya, maka tidak sah.103
102 Abdurrahman Jaziri, Kitab Fiqh ala Madzhabi Arba’ah, Juz IV, Beirut Libanon: Darul
Kutub al-Ilmiyah, 1990, h. 98. 103 Ibid.
49
Suami memiliki hak bertindak atas perempuan, jika dia menjadi
pembantu perempuan, maka lelaki dianggap remeh jika perempuan
mempunyai hak menggunakan lelaki seperti tuan menggunakan
hambanya. Hal ini tidak diperbolehkan, berbeda jika memang lelaki
tersebut adalah hamba sahaya dan perempuan rela lelaki tersebut menjadi
suaminya, maka sah lelaki tersebut menikah dengan perempuan tersebut
dengan mahar menjadi pelayan bagi perempuan tersebut, karena sifat
kepelayanan sudah melekat pada lelaki itu, maka tidak ada penghalang
untuk melayani isterinya.
Pelayanan yang tidak dianggap hina, menikah dengan mahar
menanamkan tanaman bagi perempuan di tanah milik perempuan itu
sendiri, atau menggembalakan kambing milik perempuan selama waktu
tertentu, maka hal ini sah untuk menjadi mahar, menurut pendapat yang
benar. Para ulama menyatakan dalam pembahasan ijarah (sewa orang),
anak tidak boleh menyewa ayahnya untuk menjadi pembantu, tetapi boleh
menyewanya untuk menggembala, bertani karena tidak ada kehinaan sama
sekali.
Pelayanan yang tidak hina pula, menikah dengan mahar
menggembalakan kambing ayah si perempuan seperti yang terjadi pada
Nabi Musa a.s. dengan mertuanya yakni Nabi Syuaib a.s. yang telah
dikisahkan oleh Allah dalam al-Qur’an. Syari’at kaum sebelum kita
50
merupakan syari’at bagi kita jika tidak ada nasikh (hukum pengganti).
Keadaan seperti ini, wali mengganti mahar mitsil bagi si istri.104
Seorang laki-laki menikah dengan mahar mendatangkan perempuan
lain yang merdeka sebagai pelayan maka mahar sah jika perempuan yang
lain itu rela, jika seorang lelaki menikah dengan mahar mendatangkan
laki-laki lain sebagai pelayan selama waktu tertentu dan laki-laki lain itu
rela, maka mahar demikian ini tidak boleh jika pelayanan laki-laki lain itu
bisa menjadikan fitnah, dengan demikian mahar diganti dengan harga
pelayanan itu.
Mahar dengan mendatangkan laki-laki lain yang tidak ada
kekhawatiran terjadinya fitnah, maka boleh-boleh saja, sedangkan jika
laki-laki lain itu tidak rela menjadi pelayan maka mahar ditetapkan harga
pelayanannya. Seorang laki-laki menikah dengan mahar mendatangkan
laki-laki lain sebagai pelayan selama waktu yang tidak ditentukan, dalam
masalah ini juga terdapat perincian yang telah disebutkan yakni boleh jika
tidak ada fitnah dan tidak boleh jika ada fitnah.105
2. Imam Malik
Mahar manfaat seperti pengajaran al-Qur’an dan sebagainya,
menghuni (memanfaatkan) rumah, atau pelayanan hamba sahaya, masih
ada perselisihan pendapat. Imam Malik berkata: pada mulanya manfaat
tidak patut menjadi mahar. Ibnu Qosim berkata: manfaat patut menjadi
mahar meski berhukum makruh. Sebagian ulama Malikiyah
104 Ibid., h. 99. 105 Ibid.
51
memperbolehkan mahar manfaat tanpa kemakruhan, sedangkan yang
menjadi pegangan, sudah tentu, adalah pendapat Imam Malik.
Ibnul Araby salah satu dari murid Imam Malik, mensahkan sesuatu
yang bermanfaat dijadikan mahar, seperti membolehkan mengajarkan al-
Qur’an sebagai mahar, sama dengan pendapat Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad bin Hambal.106
Dalam kitab al-Muwatta’ dijelaskan tentang pemberian mahar yang
berupa ayat al-Qur’an, yaitu:
عن سهل بن سعد بن دينار، ازم أبي حي يحيى عن مالك، عنحدثناعديأنالس ،لمسه وليلى اهللا عول اهللا صسأة ررام هاءتج ول : فقالتسا ري
ل يا رسو: فقام رجل،فقال.فقامت قياما طويال. إني قد وهبت نفسى لكاهللارسول اهللا صلى اهللا عليه فقال.إن لم يكن لك بها حاجة. زوجنيهااهللا
لمسء:ويش من كدل عنه اها إيدقهصاعندي إ: قالف؟ تاري المذاإزفقال . ه لمسه وليلى اهللا عول هللا صسإ: رلك ارال إز تلسج،اها إيهتطين أع . مسفالت
و لو خاتما من حديد، فالتمس فلم التمس: قال.ما أجد شيئا: فقالشيئا،جدئاييفقال. ش له لمسه وليلى اهللا عول اهللا صسر :من كعل مآن هالقر له فقال.لسور سماها. وسورة كذا، معي سورة كذا.نعم: فقال؟ شيء
لمسه وليلى اهللا عول اهللا صسر : أن كقدتآنحالقر من كعا ما بم١٠٧.كه
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Malik dari Abi
Hazim bin Dinar dari Sahl bin Sa’d al-Sa’idi berkata: “Seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan urusan diriku kepadamu”. Wanita tersebut berdiri lama sekali, kemudian berdirilah seorang sahabat dan berkata kepada Rasulullah SAW:
106 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar al-
Fikr, 1409 H/1989, h. 20 dan 27. 107 Malik bin Anas, Al-Muwatta’, Beirut: Darl al-Fikr, 1989, h. 332.
52
“Wahai Rasulullah SAW., nikahkanlah aku dengannya jika memang engkau tidak berhasrat kepadanya”. Kemudian Nabi SAW. bertanya pada sahabat tersebut: “Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk maskawin? Jawabnya: “Saya tidak punya sesuatu kecuali sarung yang sedang aku pakai ini”, sabda Nabi SAW: “Jika sarung itu kamu berikan kepadanya maka kamu tidak akan memakai apa-apa”. Sabda Nabi SAW: “Carilah maskawin, walaupun hanya sebuah cincin dari besi.” Akan tetapi sahabat tersebut tidak mendapatkan sesuatu untuk dijadikan maskawin. Rasulullah SAW. bertanya: “Apakah kamu hafal beberapa surat dari al-Qur'an?” Jawabnya: “Ya aku hafal surat ini dan surat ini (ia menyebutkannya).” Maka Nabi SAW bersabda: “Aku nikahkan kamu dengannya dengan maskawin beberapa surat al-Quran yang kamu hafal”.
Seseorang menyebutkan suatu manfaat sebagai mahar maka akad sah
menurut pendapat yang menjadi pegangan, dan bagi perempuan manfaat
yang disebutkan sebagai maharnya tersebut. Ini adalah pendapat yang
populer (masyhur). Para ulama malikiyah memandang kepada apa yang
dikatakan Imam Malik, mereka pada awalnya melarang menjadikan
manfaat sebagai mahar. Mereka memandang kepada apa yang dikatakan
orang yang memperbolehkan mahar manfaat, maka mereka membiarkan
mahar manfaat jika terlanjur terjadi. Ulama Malikiyah mengatakan mahar
itu sah berupa benda dari emas, perak, barang dagangan, hewan, rumah,
dan sebagainya.
3. Imam Syafi’i
Imam Syafi’i memberikan definisi yang lebih terbuka dan jelas yakni
“sesuatu (bisa harta maupun jasa) yang wajib diberikan oleh suami kepada
istri untuk menghalalkan seluruh anggota badannya”.108 Prinsip bagi Imam
Syafi'i yaitu asal sesuatu yang dijadikan mahar itu bernilai dan berharga,
108 Abdurrahman Jaziri, op. cit., h. 99-100.
53
maka boleh digunakan sebagai maskawin,109 maka jelas bahwa mahar
berupa jasa atau manfaat (non materi) diperbolehkan. Imam Syafi’i,
Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in
berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya.
Kitab al-Umm karya Imam Syafi’i menjelaskan masalah maskawin
sebagai berikut: setiap barang yang bisa dijual atau disewakan dengan
suatu harga, maka barang tersebut bisa dijadikan maskawin. Sebaliknya
bila barang itu tidak mempunyai harga dan tidak bisa dijual, maka barang
tersebut tidak layak menjadi maskawin. Suatu barang tidak boleh dijadikan
maskawin, kecuali diketahui adanya, dan benda itu halal dijual baik
dengan tunai atau dengan ditangguhkan.
Maskawin yang diberikan bisa sedikit dan bisa juga banyak itu sama
saja, dengan demikian boleh orang itu mengawini seorang wanita dengan
maskawin hanya sedirham atau kurang dari sedirham.
خامت احلديد ال يسوى قريبا من الدراهم ولكن له مثن يتبايع : قال الشافعى ١١٠به
Artinya: “Syafi'i berkata: Sebuah cincin besi tidak menyamai, yang
mendekati dari sedirham, akan tetapi mempunyai harga yang diperjualbelikan dengan barang tersebut”.
Pernyataan Imam Syafi’i di atas menunjukkan bahwa ia tidak
memberi batasan terendah dalam memberikan mahar kepada wanita, yang
penting dalam perspektif Imam Syafi’i itu mahar mempunyai nilai harga.
109 Ibnu Rusyd, op. cit., h. 15. 110 Imam Abi Abdus Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, Juz V, Beirut Libanon:
Dar al-Fikr, tt, h. 64.
54
Pendapat Imam Syafi’i tentang kebolehan perempuan mengawini
laki-laki dengan mahar lelaki itu menjahit kepadanya pakaian atau
membangun baginya rumah atau melayaninya sebulan atau baginya lelaki
itu berbuat suatu perbuatan apa saja atau ia mengajarkan al-Qur’an, dalam
kitabnya al-Umm:
جيوز أن تنكحه على أن خييط هلا ثوبا أويبىن هلا دارا أوخيد مها : قال الشافعى شهرا أويعمل هلا عمال ما كان أويعلمها قرآن مسمى أويعلم هلا عبدا وما أشبه
١١١.هذا Artinya: “Imam asy-Syafi’i berkata: Boleh bahwa wanita itu mengawini
seorang laki-laki untuk menjahit kepadanya pakaian atau membangun baginya rumah atau melayani sebulan atau lelaki itu berbuat baginya suatu perbuatan apa saja atau ia mengajarkan al-Qur’an yang disebutkan atau ia mengajarkan bagi wanita itu seorang budak dan yang serupa dengan ini”.
Penjelasan dari kitab di atas adalah Imam Syafi’i membolehkan
adanya mahar dengan menjahit pakaian, membangun rumah, melayani
sebulan, atau mengajarkan al-Qur’an kepada istri, yang merupakan mahar
jasa. Menurut Imam Syafi’i, setiap manfaat yang dimiliki dan halal
harganya serta mempunyai nilai kesederhanaan pada mahar itu lebih beliau
sukai. Beliau memandang sunnah, bahwa tidak berlebih pada mahar.112
Imam Syafi’i, dalam melakukan pembahasan mengenai mahar jasa di
atas, mengungkapkan beberapa dalil yang tercantum dalam kitabnya
Ahkamul Qur’an yaitu firman Allah SWT QS. an-Nisa’ ayat 24:
111 Ibid. 112 Ismail Yakub, Terjemah al-Umm, Jilid V, Jakarta: CV. Faizan, 1984, h. 287.
55
Artinya: “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.”113
Ayat di atas menjelaskan bahwa wajib atas orang yang menikah lagi
mencampuri, memberikan maskawin.114 Hadits yang dijadikan
argumentasi Imam Syafi’i mengenai mengenai mahar jasa adalah:
أد واللعال ئق قيل وما للعال ئق يا رسول اهللا : صلى اهللا عليه وسلم قالان النيب ١١٥)رواه ابو داود والطرباىن(قال ما ترضي به االهلون
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Bayarlah olehmu “alaiq” (istilah lain untuk mahar). Apakah “alaiq” itu Ya Rasulullah? Nabi menjawab: sesuatu yang disenangi oleh keluarga wanita”. (HR. Abu Dawud dan Tabrani)
Ulama Syafi’iyah mengatakan mahar manfaat adalah sah. Kaidahnya
menurut mereka adalah setiap sesuatu yang dapat menjadi harga dalam
jual beli dapat pula menjadi mahar, jika sah membeli rumah dengan harga
berupa memanfaatkan suatu tanah pertanian selama waktu tertentu, maka
begitu pula sah menjadikan manfaat tersebut sebagai mahar. Setiap
kegiatan yang diupah seperti mengajar al-Qur’an, fiqh dan sebagainya,
atau mengajar keterampilan seperti bertenun, menjahit, atau menjahitkan
pakaian, atau membangun rumah, atau melayani si perempuan, meski ia
merdeka, maka semua itu sah untuk menjadi mahar, seperti halnya sah
untuk menjadi harga jual beli.
113 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit. 114 Al-Imam asy-Syafi’i, Ahkamul Qur’an, Terj. Baihaqi Safi’uddin, Surabaya: PT.
Bungkul Indah, h. 194. 115 Muhammad al-Syaukani, Nailul Authar, Cet. I, Mesir: Syirkah Maktabah al-Baby al-
Halaby wa Auladuhu, 1961, h. 166.
56
4. Imam Ahmad Hambali
Imam Ahmad Hambali membolehkan mahar dengan ayat al-Quran
atau jasa bila memang ia tidak mampu memberikan yang lain, agar tidak
ada persetubuhan antara laki-laki dan perempuan sebelum memberikan
sesuatu sebagai maharnya.
Pasangan yang hendak menikah disunahkan untuk tidak menjalankan
akad nikah kecuali setelah adanya maskawin, supaya dapat meredam
pertengkaran dan lebih bermanfaat bagi seorang istri dan bila memang
terjadi talaq sebelum bersetubuh, maka bagi seorang suami wajib
membayar mahar yang telah disebutkan. Tetapi bila tidak menyebutkan
mahar ketika melakukan akad nikah, maka bagi sang istri tidak wajib
mendapatkan mahar tersebut, namun yang wajib baginya adalah mut’ah
(pemberian).
Dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, menerangkan tentang
mengajarkan satu surat dari al-Qur’an setelah menikah, yaitu:
عن سهل ابن سعداالسعدى ان النىب صلى اهللا عليه وسلم قال لرجل انطلق ١١٦.فقدزو جنكها فعلها سورة من القران
Artinya: “Dari Sahl bin Sa’ud as-Sa’idi bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada sesorang pergilah, karena aku telah menikahkan kamu dengan dia, kemudian lelaki itu mengajarkan istrinya satu surat dari al-Qur’an”.
Seorang merdeka sah menikah dengan seorang wanita dengan mahar
melayaninya selama waktu tertentu, atau dengan mahar mendatangkan
pelayan merdeka untuk melayani mempelai wanita selama waktu tertentu,
116 Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hambal, Beirut: Darl al-Fikr, t.t, h. 401.
57
lebih-lebih jika yang didatangkan adalah pelayan hamba sahaya. Sah
menikah dengan mahar perbuatan yang diketahui seperti menjahit pakaian
tertentu, baik ia sendiri yang menjahit atau orang lain, jika pakaian
tersebut rusak sebelum dijahit maka mempelai lelaki wajib membayar
setengah harga upahnya, meskipun ia mengeluarkan talak sebelum
berhubungan suami istri.
Menikah sah dengan mahar mengajarkan bab-bab fiqh atau hadits,
atau mengajarkan sesuatu yang diperbolehkan dari sastra, syair, atau
mengajarkan keterampilan, kepenulisan, dan pekerjaan lainnya yang boleh
dimintakan upah, jika pengajaran tersebut tidak mungkin dilakukan
(karena suatu alasan) maka mempelai lelaki wajib menyerahkan upah
orang yang bisa mengajarkannya.
Mempelai lelaki berkewajiban memberikan upah pengajarannya,
apabila ia belum mengajarkan dan mengeluarkan talak sebelum melakukan
hubungan suami istri, serta jika talak terjadi setelah mengajarkan maka ia
bisa meminta kembali setengahnya dalam bentuk upah jika perpisahan
terjadi dari pihak mempelai lelaki, jika perpisahan terjadi dari pihak
mempelai perempuan, maka mempelai lelaki bisa meminta kembali
seluruh upahnya.117
Ulama Hanabilah berpendapat mahar adalah suatu imbalan dalam
nikah baik yang disebutkan di dalam akad atau yang diwajibkan
sesudahnya dengan kerelaan kedua belah pihak atau hakim, atau imbalan
117 Abdurrahman Jaziri, op. cit., h. 100.
58
dalam hal-hal yang menyerupai nikah seperti watha’ syubhat dan watha’
yang dipaksakan.118
Ulama Hanabilah juga mengatakan sah mahar berupa manfaat seperti
halnya mahar berupa benda. Seseorang menikah dengan seorang wanita
dengan mahar menggembalakan kambingnya atau membajak tanahnya dan
sebagainya maka mahar sah dengan syarat manfaat harus diketahui
(ma’lumah), apabila tidak diketahui (majhulah) maka penyebutan mahar
tidak sah dan diwajibkan mahar mitsil.119
B. Bentuk Mahar Jasa yang Sah menjadi Mahar Perkawinan
Jika seorang laki-laki benar-benar tidak mampu untuk memberikan
mahar dalam bentuk materi (harta), maka ia bisa memberikan mahar dalam
bentuk non materi (bukan harta). Hendaknya sesuatu yang non materi tersebut
memiliki manfaat yang kembali kepada si wanita. Mahar tidak mesti berupa
uang atau harta benda, akan tetapi boleh juga hal-hal lainnya. Untuk lebih
jelasnya, berikut ini hal-hal yang dapat dijadikan maskawin atau mahar:
1. Semua pekerjaan yang dapat diupahkan.
Menurut Madzhab Syafi'i dan Hambali, pekerjaan yang dapat
diupahkan, boleh juga dijadikan mahar. Misalnya, mengajari membaca al-
Qur'an, mengajari ilmu agama, bekerja dipabriknya, menggembalakan
ternaknya, membantu membersihkan rumah, ladang atau yang lainnya.
118 Wahbah al-Zuhaily, op. cit., h. 6758. 119 Abdurrahman Jaziri, loc. cit.
59
Pendapat Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm mengenai mahar berupa
jasa yaitu:
جيوز أن تنكحه على أن خييط هلا ثوبا أويبىن هلا دارا : قال الشافعى أوخيد مها شهرا أويعمل هلا عمال ما كان أويعلمها قرآن مسمى
١٢٠.أويعلم هلا عبدا وما أشبه هذا Artinya: “Imam asy-Syafi’i berkata: Boleh bahwa wanita itu mengawini
seorang laki-laki untuk menjahit kepadanya pakaian atau membangun baginya rumah atau melayani sebulan atau lelaki itu berbuat baginya suatu perbuatan apa saja atau ia mengajarkan al-Qur’an yang disebutkan atau ia mengajarkan bagi wanita itu seorang budak dan yang serupa dengan ini”.
Semisal, seorang laki-laki berkata: "Saya terima pernikahan saya
dengan putri bapak yang bernama Siti Maimunah dengan mas kawin akan
mengajarkan membaca al-Qur'an kepadanya selama dua tahun, atau
dengan mas kawin mengurus ladang dan ternaknya selama dua bulan”.
Akan tetapi menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, mahar dengan
pekerjaan yang dapat diupahkan hukumnya makruh (dibenci).
Hal ini sebagaimana telah terjadi ketika Nabi Musa a.s. menikahi
salah seorang putri Nabi Syu’aib a.s., dengan maskawin bekerja selama
delapan tahun sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Qashash
ayat 27:
Artinya: "Berkatalah Dia (Syu'aib): Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun
120 Imam Abi Abdus Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, loc. cit.
60
dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan) dari kamu.” (QS. Al-Qashash: 27)121
Dalil lain bolehnya kerja dijadikan sebagai shadaq, maskawin adalah
hadits berikut ini:
لمسه وليلى اهللا عول اهللا صسقال ر: من كعا ما بمكهلكتم فقد باذه ١٢٢)رواه البخار. (القرآن
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: Pergilah sesungguhnya saya telah menikahkan kamu dengannya dengan apa ayat-ayat al-Qur'an yang kamu hafal.” (HR. Bukhari)
Sebagian ulama menakwilkan kata bima ma'aka minal qur'an dengan
akan mengajarkan satu atau beberapa surat dari al-Qur'an. Mahar dalam
bentuk hafalan al-Qur’an yang akan diajarkan oleh seorang laki-laki
kepada istrinya, sebagaimana dalam hadits di atas. Hal ini, sang suami
akan mengajarkan hafalan al-Qur’an yang ia miliki (surat-surat tertentu
yang ia hafal) kepada istrinya, sehingga sang istri yang tadinya belum
mengetahui atau menghafalnya akan menjadi tahu dan hafal.
2. Membebaskan budak.
Menurut Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Daud ad-Dhahiry,
bahwa membebaskan budak dapat dijadikan sebagai maskawin.
Maksudnya, apabila seseorang hendak menikahi seorang wanita yang
masih menjadi budak belian, kemudian ia membebaskannya dan
menjadikan pembebasannya itu sebagai maskawinnya, maka boleh-boleh
saja. Kemerdekaan dari perbudakan merupakan manfaat teramat besar
121 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 310. 122 Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim ibn al-Mugirah ibn
Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz V, Beirut Libanon: Darul Kutub al-’Ilmiyah,1992, h. 444.
61
yang diberikan kepada seseorang yang sebelumnya berstatus budak,
sedangkan menurut sebagian ulama lain, membebaskan budak tidak boleh
dijadikan sebagai maskawin.
Dalil kelompok yang membolehkan adalah dalam sebuah hadits
dikatakan bahwa Rasulullah SAW menikahi Shafiyyah dengan maskawin
membebaskannya dari budak belian menjadi seorang yang merdeka dan
dalam hadits tersebut tidak ada keterangan bahwa hal itu khusus untuk
Rasulullah SAW, karena tidak ada keterangan kekhususan itulah, maka ia
berarti berlaku dan diperbolehkan juga untuk seluruh ummatnya termasuk
kita. Hadits dimaksud adalah sebagai berikut:
دح نا عحبن الحب بيعشثابت و نع ادما حثندعيد حس نة ببيا قتثن صلى اهللا عليه وسلم أعتق صفية وجعل أنس بن مالك أن رسول اهللا
١٢٣.عتقها صداقهاArtinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah
menceritakan kepada kami Hammad dari Tsabit dan Su’aib bin Habha dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW telah memerdekakan Shofiyah dan menjadikan kemerdekaan itu sebagai maharnya (waktu kemudian mengawininya).”
Bagi yang menolak mengatakan bahwa hadits di atas adalah khusus
untuk Rasulullah SAW saja, artinya maskawin dengan membebaskan
budak itu hanya diperbolehkan untuk Rasulullah SAW saja dan tidak yang
lainnya.
123 Ibid., h. 443.
62
3. Masuk Islam.
Masuk Islamnya seseorang boleh dijadikan maskawin, hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini:
م فقالتليس ة أمو طلحأب طبس قال خأن نا : عاأبي ا مثلكاهللا مو طلحة يرد ولكنك رجل كافر وأنا أمرأة مسلمة وال يحل لى أن
فكان ذلك لمفأس هرغي ألكال أسو ريهم فذلك لمسفإن ت كجوزأت ١٢٤)رواه النسائ(مهرها
Artinya: “Dari Anas, dia berkata, Abu Thalhah telah melamar Ummu Sulaim, kemudian Ummu Sulaim menjawab: Demi Allah, tidaklah seorang laki-laki sepertimu itu pantas ditolak. Tetapi kamu seorang laki-laki kafir sedang saya seorang muslim, dan tidak halal bagi saya menikah denganmu. Jika kamu masuk islam, maka itu adalah mahar untukku dan saya tidak meminta kepadamu selain itu. Kemudian dia masuk islam dan itu sebagai maharnya.” (HR. An-Nasa’i)
Ulama yang tidak membolehkan masuk Islamnya seseorang
dijadikan mas kawin adalah Ibnu Hazm. Ibnu Hazm memberikan catatan
penting untuk hadits di atas dengan mengatakan:
Pertama, kejadian dalam hadits di atas terjadi beberapa saat sebelum
hijrah ke Madinah, karena Abu Thalhah termasuk sahabat Rasulullah
SAW dari golongan Anshar yang masuk Islam paling awal. Dan pada saat
itu, belum ada kewajiban mahar bagi wanita yang hendak dinikahi.
Kedua, dalam hadits di atas juga tidak disebutkan bahwa kejadian itu
diketahui oleh Rasulullah SAW, karena tidak diketahui oleh Rasulullah
SAW, maka posisinya tidak mempunyai ketetapan hukum. Rasulullah
124 Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Syu’aib Ibn ‘Ali Ibn Sinan Ibn Bahr Ibn Dinar Abu ‘Abd al-
Rahman al-Nasa’i, Sunan an-Nasa’I Bisyarhi al-Hafidh Jalaluddin as-Suyuthi Wahatsiyah al-Imam as-Sanadi, Juz 6, Beirut Libanon: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, tt, h. 114.
63
SAW tidak mengiyakannya juga tidak melarangnya, karena tidak ada
kepastian hukum itulah, maka ia harus dikembalikan kepada asalnya,
bahwa ia tidak bisa dijadikan sebagai mas kawin.125
Manfaat yang setidak-tidaknya didapatkan oleh Ummu Sulaim dari
masuk Islamnya Abu Thalhah adalah pahala besar yang diberikan oleh
Allah kepadanya karena ia telah mampu mengislamkan seseorang yang
sebelumnya kafir. Sebuah riwayat disebutkan bahwa pahalanya lebih besar
dari pada seekor unta merah (yang ketika itu amat mahal harganya).
Belum lagi manfaat-manfaat lainnya yang bisa dirasakan oleh Ummu
Sulaim.
Ibnu Qayyim mengatakan, inilah yang dipilih Ummu Sulaim. Dia
lebih memilih keislaman Abu Thalhah yang bermanfaat baginya
danmenyerahkan dirinya kepada Abu Thalhah jika Abu Thalhah masuk
Islam. Ini yang lebih disukai Ummu Sulaim dari pada harta yang
diserahkan oleh suami. Pada dasarnya, mahar ditetapkan sebagai hak
perempuan agar dapat dimanfaatkannya. Begitu dia ridha menerima ilmu,
agama, keislaman suami, dan bacaan al-Qur’annya, maka hal tersebut
merupakan mahar yang paling utama, paling bermanfaat, dan paling
luhur.126
125 Abi Muhammad bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Muhalla, Juz V, Beirut Libanon:
Darul Fikr, tt, h. 499. 126 Sayyid Sabiq, Fikih Sunah 3, Terj. Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta: Cakrawala
Publishing, 2008, h. 412.
64
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IMAM MADZHAB TERHADAP MAHAR
BERUPA JASA
A. Analisis Pendapat Imam Madzhab Tentang Mahar Berupa Jasa
Mahar merupakan suatu kewajiban yang harus dipikul oleh setiap calon
suami yang akan menikahi calon istri sebagai tanda persetujuan dan kerelaan
untuk hidup bersama sebagai suami istri.127 Pada umumnya maskawin itu
dalam bentuk materi baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Syari'at
Islam memungkinkan maskawin itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu,
bahkan meskipun hanya berupa lantunan ayat al-Qur’an yang dihafal oleh
mempelai laki-laki.
Hal ini seperti mahar Nabi Musa ketika menikahi puterinya Nabi Syu’aib
berupa jasa menggembalakan kambing selama delapan tahun atau saat Nabi
Muhammad SAW menikahi Sofiyah dengan maskawin membebaskan
Sofiyah dari status budak maupun ketika Nabi Muhammad SAW menikahkan
seseorang dengan mahar berupa hafalan al-Qur’an.128
Berdasarkan hasil pemaparan penulis di atas, maka untuk memperjelas
uraian dan analisis bab keempat skripsi ini, maka kriteria yang dikemukakan
para Imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad Hambali)
dituangkan dalam tabel sebagai berikut:
127 Mustafa Kamal Pasha, Fikih Islam, Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2009, h. 274. 128 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, h. 92.
65
Tabel129
No. Ulama Hukum Alasan 1 Imam Abu Hanifah
(Imam Kamaluddin bin al-Humam)
Tidak membolehkan
Karena mahar yang berupa jasa tidak termasuk harta yang tidak boleh mengambil upah darinya, sehingga tidak sah untuk dijadikan mahar, namun darinya wajib dibayar mahar mitsil.
2 Imam Malik Membolehkan Karena jasa patut menjadi mahar, sama halnya dengan harta.
3 Imam Syafi'i Membolehkan Karena mahar yang berupa jasa atau manfaat yang dapat diupahkan sah dijadikan mahar.
4 Imam Ahmad Hambali Membolehkan Karena mahar berupa manfaat seperti halnya mahar berupa benda, dengan syarat manfaat harus diketahui.
Tabel tersebut tampak bahwa dalam perspektif Imam Abu Hanifah
mengenai mahar mengajarkan al-Qur’an atau melayani istri yang menurut
Imam Kamaluddin bin al-Humam al-Hanafi yang merupakan murid dari Imam
Abu Hanifah dalam kitab Syarh Fathul Qadir yaitu:
وإن تزوج حر امرأة على خدمته هلا سنة أو على تعليم القرآن صح النكاح هلا قيمة خدمته سنة وإن تزوج عبد امرأة : و هلا مهر املثل، وقال حممد
١٣٠.بإذن مواله على خدمته هلا سنة جاز وهلا اخلدمة
129 Abdurrahman Jaziri, Kitab Fiqh ala Madzhabi Arba’ah, Juz IV, Beirut Libanon: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1990, h. 98-100.
66
Artinya: “Jika seseorang yang merdeka menikah dengan mahar akan melayani istri 1 tahun atau mengajarinya al-Qur’an, maka bagi istri adalah mahar mitsil. Muhammad berkata: bagi istri tersebut adalah harga pelayanan. Jika seorang hamba sahaya menikah dengan izin tuannya dengan mahar melayani istri selama 1 tahun, maka diperbolehkan dan bagi istri mendapat pelayanan suami tersebut”.
Penjelasan dari kitab di atas adalah jika seseorang yang merdeka,
menikah dengan mahar akan melayani istri selama satu tahun atau
mengajarinya al-Qur’an, maka bagi istri adalah mahar mitsil.
Hukum mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar menurut Imam
Kamaluddin bin al-Humam al-Hanafi dengan mengutip Imam Abu
Hanifah yaitu bahwa mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar adalah fasad
(rusak) dan harus mengganti mahar mitsil. Alasan hukumnya terdapat
dalam kitab Syarh Fathul Qadir karangan Imam Ibnu al-Humam, sebagai
berikut:
وأليب حنيفة أن املوجب األصلي مهر املثل إذهو األعدل، والعدول عنه عند ١٣١صحة التسمية وقد فسدت ملكان اجلهالة
Artinya: “Menurut Abu Hanifah, sesungguhnya yang asli diwajibkan adalah mahar mitsil karena mahar mitsil itu yang paling adil, dan kalaupun ada yang mengadakan perpindahan memilih tidak memakai mahar mitsil itu dibolehkan ketika mereka telah memilih mahar musamma, menurut Abu Hanifah itu tidak sah atau rusak karena tidak jelas”.
Golongan madzhab Hanafiyah tidak membolehkan mengajarkan al-
Qur’an sebagai mahar, karena berdasarkan pendapat mereka bahwa
130 Imam Kamal bin Muhammad bin Abdulrahim al-Ma’ruf bin al-Humam al-Hanafi,
Syarh Fathul al-Qadir, Juz 3, Beirut Libanon: Darl al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt, h. 326. 131 Ibid., h. 339.
67
mengambil upah mengajarkan al-Qur’an adalah haram,132 dan diganti dengan
mahar mitsil. Batas minimal mahar adalah 10 dirham, dengan mengemukakan
dalil yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi sebagai berikut:
قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم الينكح النساء , عن جابر بن عبد اهللا عنه قال١٣٣.إال كفوأ وال يزوجهن إال األولياء وال مهر دون عشرة دراهم
Artinya: “Dari Jabir ibn Abdullah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jangan nikahkan wanita kecuali sekufu’ dan jangan mengawinkan wanita kecuali para walinya, dan tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham”.
Imam Malik mengatakan mahar jasa seperti pengajaran al-Qur’an dan
sebagainya, menghuni (memanfaatkan) rumah, atau pelayanan hamba sahaya,
patut menjadi mahar, apabila mahar berupa jasa atau manfaat itu terlanjur
terjadi.
Ibnul Araby salah satu dari murid Imam Malik, mensahkan sesuatu yang
bermanfaat dijadikan mahar, seperti membolehkan mengajarkan al-Qur’an
sebagai mahar, sama dengan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hambal.134
Mahar tidak memiliki batas minimum dan batas maksimum. Kaidahnya
adalah segala sesuatu yang dapat menjadi harga, baik berupa benda maupun
manfaat bisa dijadikan mahar, dan telah dijelaskan bahwa disunahkan mahar
tidak kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham. Diperbolehkan
132 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum, Cet. III,
Semarang: PT. Petraya, 2001, h. 147. 133 Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakr al-Baihaqiy, Sunan al-Baihaqiy al-
Kubra, Juz VII, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994, h. 240. 134 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar al-
Fikr, 1409 H/1989 M, h. 20 dan 27.
68
menikah dengan mahar manfaat yang diketahui, seperti mengajarkan al-
Qur’an.135 Imam Syafi’i membolehkan adanya mahar dengan menjahit pakaian,
membangun rumah, melayani sebulan, atau mengajarkan al-Qur’an kepada
istri, yang merupakan mahar jasa. Menurut Imam Syafi’i, setiap manfaat yang
dimiliki dan halal harganya serta mempunyai nilai kesederhanaan pada mahar
itu lebih beliau sukai. Beliau memandang sunnah, bahwa tidak berlebih pada
mahar.136 Hal ini terdapat dalam kitabnya al-Umm sebagai berikut:
جيوز أن تنكحه على أن خييط هلا ثوبا أويبىن هلا دارا أوخيد مها : قال الشافعى شهرا أويعمل هلا عمال ما كان أويعلمها قرآن مسمى أويعلم هلا عبدا وما أشبه
١٣٧.هذا Artinya: “Imam asy-Syafi’i berkata: Boleh bahwa wanita itu mengawini
seorang laki-laki untuk menjahit kepadanya pakaian atau membangun baginya rumah atau melayani sebulan atau lelaki itu berbuat baginya suatu perbuatan apa saja atau ia mengajarkan al-Qur’an yang disebutkan atau ia mengajarkan bagi wanita itu seorang budak dan yang serupa dengan ini”.
Hadits yang dijadikan argumentasi Imam Syafi’i mengenai mengenai
mahar jasa adalah:
أد واللعال ئق قيل وما للعال ئق يا رسول اهللا قال : ان النيب صلى اهللا عليه وسلم قال١٣٨)رواه ابو داود والطرباىن(ما ترضي به االهلون
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Bayarlah olehmu “alaiq” (istilah lain untuk mahar). Apakah “alaiq” itu Ya Rasulullah? Nabi menjawab: sesuatu yang disenangi oleh keluarga wanita”. (HR. Abu Dawud dan Tabrani)
135 Syaikh Ibrahim Bajuri, Syarh Ibnu Qasyim, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, h.126. 136 Ismail Yakub, Terjemah al-Umm, Jilid V, Jakarta: CV. Faizan, 1984, h. 287. 137 Ibid. 138 Muhammad al-Syaukani, Nailul Authar, Cet. I, Mesir: Syirkah Maktabah al-Baby al-
Halaby wa Auladuhu, 1961, h. 166.
69
Imam Syafi’i berkata bahwa tidak disebut “alaiq” kecuali sesuatu yang
bernilai harta walaupun sedikit dan tidak dinamakan harta kecuali sesuatu
yang bernilai dan bisa diperjual belikan.
Imam Ahmad Hambali dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal,
menerangkan tentang mengajarkan satu surat dari al-Qur’an setelah menikah,
yaitu:
عن سهل ابن سعداالسعدى ان النىب صلى اهللا عليه وسلم قال لرجل انطلق فقدزو ١٣٩.جنكها فعلها سورة من القران
Artinya: “Dari Sahl bin Sa’ud as-Sa’idi bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada sesorang pergilah, karena aku telah menikahkan kamu dengan dia, kemudian lelaki itu mengajarkan istrinya satu surat dari al-Qur’an”.
Seorang merdeka sah menikah dengan seorang wanita dengan mahar
melayaninya selama waktu tertentu, atau dengan mahar mendatangkan
pelayan merdeka untuk melayani mempelai wanita selama waktu tertentu,
lebih-lebih jika yang didatangkan adalah pelayan hamba sahaya. Sah menikah
dengan mahar perbuatan yang diketahui seperti menjahit pakaian tertentu, baik
ia sendiri yang menjahit atau orang lain, jika pakaian tersebut rusak sebelum
dijahit maka mempelai lelaki wajib membayar setengah harga upahnya,
meskipun ia mengeluarkan talak sebelum berhubungan suami istri.
Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Hambali tersebut bila
diperhatikan, maka menurut penulis bahwa Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
Hambali hendak meringankan kaum laki-laki yang ingin menikah dengan
mahar non materi yang berupa jasa atau manfaat, dengan tidak memberikan
139 Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hambal, Beirut: Darl al-Fikr, t.t, h. 401.
70
syarat yang sulit yaitu pekerjaan atau setiap sesuatu yang dapat diupahkan atau
mendatangkan manfaat yang baik bagi istri maka sah dijadikan mahar.
Tampaknya Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Hambali menilai bahwa
perkawinan itu jangan dipersulit tapi agar dipermudah termasuk persoalan
maskawin yang terkadang menjadi kendala bagi sebagian orang (kaum pria)
yang ingin menikah, terutama memberikan mahar yang tidak berupa materi.
Pendapat Imam Syafi’i, Ishaq dan Hasan bin Salih, Imam Ahmad
Hambali dan Imam Malik, dalam hal ini upah boleh dijadikan mahar, bila
memang upah yang dijadikan mahar itu ada, sehingga kemanfaatan dari upah
(jasa) tersebut menempati posisi mahar. Sedangkan menurut pendapat Imam
Hanafi melarang (tidak memperbolehkan) memberikan mahar dengan
mengajarkan al-Quran atau upah dari hasil mengajarkan al-Quran, karena
tidak sebanding dengan harta. Hal itu juga sesuai dengan hadits:
ن عائشة ان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال ان اعظم النكاح بركة ايسره ع١٤٠.مؤنة
Artinya: “Dari Aisyah bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya pernikahan yang paling agung adalah pernikahan yang paling murah maharnya.”
Islam memberikan hak kepada kaum wanita untuk menuntut mahar dari
laki-laki yang akan menikahinya menurut yang dia kehendakinya, tetapi Islam
memberikan motivasi bahwa wanita yang paling berkah adalah wanita yang
ringan maskawinnya.
140 Abu Abdullah al-Syaibani, Musnad bin Hanbal, Juz VI, Beirut: Dar Ihya al-Taris al-
Arabi, tt, h. 82.
71
Mahar sebenarnya memiliki nilai penting dalam perkawinan dan sebagai
pemberian yang wajib dalam suatu akad perkawinan, sebagaimana firman
Allah QS. an-Nisa’ ayat 4:
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.141
Hadits Nabi yang memperkuat statemen tentang kewajiban memberikan
mahar berupa jasa kepada calon istri:
دح اعديد السعن سل بهس نأبيه ع نازم عأبي ح نز بزيالع دبا عثندة حبيا قتثنسلم فقا لت يا رسول اهللا جئت اهللا صلى اهللا عليه وقال جاءت امرأة إلى رسول
ال فنظر إليها رسول اهللا صلى اهللا عليه و سلم فصعد النظر فيها أهب لك نفسي ق لم هأة أنرالم أتا رفلم هأسر لمسه وليلى اهللا عول اهللا صسطأطأ ر ثم هب وصو
ام رجل من أصحابه فقال يا رسول اهللا إن لم يكن لك يقض فيها شيئا جلست فق: بها حاجة فزوجنيها فقال وهل عندك من شيء؟ قال ال و اهللا يا رسول اهللا فقال
رجع فقال، ال واهللا ما وجدت فذهب ثم: اذهب إلى أهلك فانظر هل تجد شيئا ثم بد، فذهديح ا منماتخ لوو ظران ،لمسه وليلى اهللا عول هللا صسئا فقال ريش
ل سهل ال واهللا يا رسول اهللا وال خاتما من حديد ولكن هذا إزاري قا: رجع فقالما له رداء فلها نصفه فقال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم، ما تصنع بازارك إن لبسته لم يكن عليها منه شيء وإن لبسته لم يكن عليك منه شيء فجلس الر جل
141 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006, h. 61.
72
فرآه رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم مو ليا فأمر به : ذا طال مجلسه قامحتى إماذا معك من القرآن؟ قال، معي سورة كذا وسورة كذا : فدعي فلما جاء قال
ظه نع نهؤقرا فقال تهددفع بقال اذه ،مع؟ قال نر قلبك كعا ما بمكهلكتم قد ١٤٢)رواه البخار. (من القرآن
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Hazim dari ayahnya dari Sahl bin Said al-Saidy berkata: "Seorang perempuan telah datang kepada Rasulullah, wahai Rasulullah, saya datang untuk menyerahkan diriku kepadamu”. Kemudian Rasulallah SAW, memandang wanita itu dan memperhatikannya, lalu beliau menundukkan kepalanya. Setelah wanita itu tahu bahwa Rasulallah SAW tidak berhasrat kepadanya, maka duduklah ia. Tiba-tiba salah seorang sahabat Nabi SAW berdiri dan berkata: “Wahai Rasulallah SAW, nikahkanlah saya dengannya jika memang engkau tidak berhasrat kepadanya”. Lalu Nabi SAW, bertanya kepada laki-laki tersebut: “Adakah kamu mempunyai sesuatu?” Dia menjawab: “Tidak, demi Allah saya tidak mempunyai sesuatu”. Maka Nabi SAW bersabda: “Carilah maskawin, walaupun hanya sebuah cincin dari besi”. Maka segera sahabat itu mencari maskawin, tak lama sahabat itu datang kembali dan berkata: “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, saya tidak menemukan sesuatu walaupun cincin dari besi, akan tetapi hanya sarung ini yang saya miliki”. Sahl berkata: "Karena sarung itu tidak ada selendangnya, maka harus dibagi menjadi dua”. Rasulallah SAW bertanya: “Dan apa yang akan kamu lakukan dengan sarung itu? jika sarung itu kamu pakai, maka ia tidak dapat memanfaatkannya, dan jika ita memakainya maka kamu tidak dapat memakai apa-apa”. Sahabat itu duduk lama sekali, kemudian ia berdiri lalu pergi ketika Rasulallah SAW tahu bahwa sahabat itu pergi, maka beliau mengutus seseorang untuk memanggilnya. Setelah ia datang Rasulallah SAW bertanya: “Surat apa yang kamu hafal dari al-Qur'an?” jawabanya: “Yang aku hafal surat itu dan surat itu (ia menyebutkannya)”. Tanya beliau: "Apakah kamu hafal surat-surat itu diluar kepala?” jawabnya : “ya”. Maka Nabi SAW, bersabda: “Aku nikahkan kamu dengannya dengan maskawin beberapa ayat al-Qur'an yang kamu hafal”.
Hadits di atas selain memberi penjelasan tentang wajibnya memberi
mahar juga menjelaskan bahwa mahar tidak ada batasan kadarnya, sebab
142 Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim ibn al-Mugirah ibn
Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz V, Beirut Libanon: Darul Kutub Al’ilmiyah,1992, h. 444.
73
sebentuk cincin besi atau mengajarkan al-Qur’an bisa dijadikan alasan bahwa
mahar dapat berupa harta dan dapat pula berupa jasa yang sah untuk dijadikan
mahar perkawinan.
Menurut analisis penulis, bahwa dari pendapat-pendapat ulama di atas
dan dari pembahasan bab-bab sebelumnya, bila ditinjau dari segi non materi
(jasa), mahar dengan mengajarkan al-Qur’an, masuk Islam, memerdekakan
budak, atau pengajaran ilmu-ilmu agama yang lain dapat mendatangkan
banyak keuntungan. Di samping banyak mendatangkan manfaat, menikah
dengan mahar tersebut mendatangkan pahala tersendiri bagi suami atau
istrinya, yang demikian ini, jauh lebih mulia dibandingkan dengan harta benda
yang bernilai jutaan. Hal ini akan dirasakan bagi mereka yang mengerti dan
memahami manfaat dari mahar tersebut. Jika diukur dengan materi, maka
tidak bisa disepadankan nilainya, yang terpenting kedua belah pihak atas dasar
sukarela, sehingga boleh saja memberikan mahar materi berupa harta atau
mahar non materi berupa jasa atau manfaat.
B. Keterkaitan Pemberian Mahar berupa Jasa dalam Akad Perkawinan
dengan Konteks Sekarang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 sub d, menyebutkan bahwa
mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai
wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam.143
143 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademi Pressindo, h.
113.
74
Pasal 30 merumuskan bahwa, “Calon mempelai pria wajib membayar
mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya
disepakati oleh kedua belah pihak”.144 Garis hukum Pasal 30 KHI di atas,
menunjukkan bahwa calon mempelai pihak laki-laki berkewajiban untuk
menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan, namun,
jumlah, bentuk, dan jenisnya diatur berdasarkan kesepakatan antara pihak
mempelai laki-laki dengan pihak mempelai wanita.
Hal ini berarti ketentuan garis hukum di dalam al-Qur’an dan al-Hadits
mengenai jumlah maksimal dan jumlah minimal pemberian mahar dari calon
mempelai dimaksud tidak ada ketentuannya. Oleh karena itu, diserahkan
kepada kedua pihak mengenai jumlah mahar yang disepakati sehingga
persoalan mahar dalam perkawinan antara satu suku dengan suku lainnya di
dalam masyarakat yang beragama Islam berbeda-beda, namun pada prinsipnya
adalah yang bermanfaat bagi pihak mempelai wanita.145
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang
dianjurkan oleh ajaran Islam (pasal 31 KHI).146 Kesederhanaan dan
kemudahan penentuan mahar yang dimaksud, menunjukkkan bahwa hukum
perkawinan dalam Islam berbeda dengan hukum kontrak sewa-menyewa
dalam aspek hukum keperdataan lainnya, sehingga hukum perkawinan
dimaksud, mengandung nilai-nilai ibadah kepada Allah yang mewujudkan hak
144 Abdurrahman, ibid., h. 120. 145 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 24-
25. 146 Abdurrahman, loc. cit..
75
dan kewajiban yang bernilai ibadah diantara pihak calon mempelai laki-laki
kepada pihak mempelai calon wanita.147
Dasar kerelaan dan suka sama suka merupakan fandasi yang penting
dalam membangun rumah tangga, bila kaum laki-laki dipersulit dalam
pernikahan melalui persyaratan mahar yang berupa materi (benda atau harta)
yang harus jumlahnya besar dan ditentukan, maka ini akan menjadi masalah
bagi kaum pria yang tidak mampu, serta ditambah lagi dalam hal pemberian
mahar non materi (jasa atau manfaat) yang harus jelas mempunyai sisi
manfaat yang baik. Besarnya maskawin tidak menjadi jaminan langgengnya
sebuah rumah tangga, karena banyak faktor lain yang mempengaruhi keutuhan
rumah tangga.
Dalam konteks masyarakat Islam di Indonesia, yang sebagian besar
menganut paham Syafi’iyah yaitu mengenal dan memperbolehkan adanya
pemberian mahar jasa dalam akad perkawinan, jumhur ulama telah sepakat
bahwa mahar memang bukan merupakan salah satu rukun maupun syarat
sahnya perkawinan. Ketentuan yang menguatkan mengenai kedudukan mahar
terhadap status perkawinan, dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Pasal 34 ayat (1) yaitu kewajiban menyerahkan mahar bukan
merupakan rukun dalam perkawinan.
Peristiwa yang pernah terjadi pada masa Nabi SAW tentang mahar
berupa cincin dari besi, mahar berupa jasa mengajarkan beberapa ayat al-
Qur’an maupun mahar mengajarkan hukum-hukum agama pada istrinya,
apabila dikaitkan dengan sosial kultur yang berlaku di Indonesia, mahar
147 Zainuddin Ali, op. cit., h. 25.
76
berupa cincin dari besi, mahar berupa jasa mengajarkan beberapa ayat al-
Qur’an maupun mahar mengajarkan hukum-hukum agama sangat jarang
dilaksanakan, karena banyak ditemui adat kebiasaan di Indonesia memberikan
mahar kepada istri berupa cincin, uang atau barang yang lainnya yang hampir
seluruhnya disertai dengan seperangkat alat shalat dan juga sebuah kitab suci
al-Qur’an.
Hal ini, seakan-akan menjadi suatu keharusan atau kewajiban
tersendiri di setiap perkawinan pada akhirnya, kebiasaan ini menjadi suatu
tradisi yang seakan-akan tidak afdal kalau tidak dilaksanakan, karena adat
kebiasaan ini ada yang ditentukan bersama antara calon istri dan calon suami,
dan ada pula yang atas kehendak calon istri dengan menyebutkan berapa
keinginan yang diminta. Kondisi dan budaya yang berbeda dengan Timur
Tengah, seperti di Indonesia ini, didasarkan pada pertimbangan:
Pertama, banyak ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berlaku di
Indonesia merupakan produk ijtihad yang didasarkan pada kondisi dan kultur
Timur Tengah. Padahal, apa yang cocok dan baik bagi umat Islam di Timur
Tengah, belum tentu baik dan cocok bagi umat Islam di Indonesia.
Kedua, kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini
terus berkembang dan semakin beragam. Masalah yang ada secara praktis
berbeda pada setiap zaman, maka fiqh sebagai produk dari fuqaha’ harus
disesuaikan dengan konteks sosial dimana fiqh itu diterapkan, namun tentunya
dengan tujuan syari’ah itu sendiri. Karena ditaklifkanya hukum adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi manusia.
77
Hukum berubah karena pertimbangan maslahat. sehingga hukum Islam tidak
akan kaku, sesuai dengan arahan syari’ah. 148
Ketentuan yang telah dikemukakan di atas tentang kewajiban
mengajarkan beberapa ayat al-Quran yang dijadikan mahar, maka secara tidak
langsung kewajiban seorang suami yang memberikan mahar berupa
“seperangkat alat shalat” yang termasuk kitab suci al-Qur’an di dalamnya
akan lebih berat, disebabkan karena azas pemberian mahar itu sendiri adalah
berazaskan manfaat, mahar apapun yang diberikan oleh suami atau yang
diminta oleh istrinya pada intinya adalah harus mendatangkan manfaat, baik
berupa harta benda ataupun berupa jasa.
Mereka lebih berpegang kepada tradisi yang tidak ditetapkan oleh
Allah. Hatinya jauh dari jiwa syari’at Islamiyah yang lebih memiliki hikmah
yang tinggi. Hati dan kalbunya tidak memahami mutiara-mutiara hikmah
agama yang mengatakan:
من ترضون دينه وخلقه فزوجوه اال تفعلوا تكن فتنة ىف االرض اذا حطب اليكم١٤٩.وفساد عريض
Artinya: “Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang engkau ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan anak perempuanmu). Jika kalian tidak melakukan hal ini, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di atas bumi”.
Hadits yang diriwayatkan oleh Sahl di atas menunjukkan bahwa mahar
dalam Islam bukanlah sekedar soal ekonomi, tetapi lebih mulia dan lebih
148 Abdul Halim, “Ijtihad Kontemporer: Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum
Keluarga Islam Indonesia,” dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: “Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer”, cet. I, Yogyakarta: ar-Ruzz Press, 2002, h. 231
149 Abu Isa Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmidzi, Juz III, Beirut: Dar al-Qur’an Fikr, tt, h.394.
78
tinggi dari itu. Mahar adalah sebagai peneguh kekuatan akad, penegas betapa
luhurnya kedudukan wanita dan bukti atas kejujuran niat dari kedua belah
pihak, laki-laki dan perempuan untuk membangun sebuah kehidupan rumah
tangga.
Melalui analisis yang telah penulis lakukan, maka mahar bukanlah
sesuatu yang mudah dan juga tidak bisa dikatakan sesuatu yang sukar. Dalam
artian, segala sesuatu yang dijadikan sebagai mahar terdapat konsekuensinya,
karena sedikit ataupun banyaknya mahar yang diberikan pada intinya kembali
kepada kemanfaatan benda atau jasa itu sendiri.
Jika mahar yang diberikan adalah berupa jasa seperti mengajarkan al-
Qur’an atau mengajarkan ilmu-ilmu agama yang lainnya, baik masalah ibadah
atau masalah yang terkait dengan ubudiyah, maka hal ini bisa dilakukan
dengan bertahap, tidak asal meminta dan memberikan mahar semata, tetapi
lebih kepada tujuan dan manfaat dari benda atau jasa itu sendiri dan
diharapkan dapat terhindar dari hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama,
serta lebih dapat menjunjung tinggi ketentuan agama yang telah dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW.
Nabi mengizinkan sahabat menikah dengan mengajarkan beberapa ayat
dari al-Qur’an karena Nabi memuliakan atas hafalan sahabat tersebut, dengan
demikian, tidak selayaknya mushaf al-Qur’an kita jadikan sebagai trend dalam
memberikan mahar kepada calon istri. Memberikan mahar dengan
“seperangkat alat shalat”, akan membawa kebaikan dan mendatangkan
kemaslahatan bagi mereka yang memahami akan kegunaan dan
79
keagungannya, kecuali mereka yang memberikan mahar “seperangkat alat
shalat” hanya sebagai tradisi semata. Hal ini karena kemuliaan dan keagungan
al-Qur’an sebagai kitab suci umat muslim.
Kecenderungan masyarakat Indonesia menganggap mahar harus berupa
harta benda yang berharga, sedangkan mahar berupa jasa atau manfaat belum
biasa berlaku di Indonesia, padahal mahar non materi bisa saja mempunyai
manfaaat atau nilai yang jauh lebih berguna bagi diri istri, yang lebih
menekankan nilai ibadah.
Mahar berupa jasa bisa menjadi syi’ar tetapi juga bisa menjadi sarana
untuk mendapatkan penilaian sosial. Pertama, kita mengarahkan masyarakat
kepada suatu kesan yang baik terhadap agama, dan mudah-mudahan hati
mereka tergerak. Kedua, penilaian masyarakat mengarahkan kita untuk
menentukan mahar yang disebut layak, baik dan pantas.
Hal ini tidak relevan dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang
mengatakan bahwa mahar berupa jasa terutama dalam mengajarkan ayat-ayat
al-Qur’an tidak sah dijadikan mahar dalam akad perkawinan, dan digantikan
dengan mahar mitsil, dan sejalan dengan pendapat imam madzhab yang lain
yang sah menjadikan mahar manfaat atau jasa dalam akad perkawinan. Mahar
berupa jasa ini sesuai dengan KHI, bahwa mahar boleh berupa uang, barang
atau jasa asal tidak bertentangan dengan hukum Islam dan berdasarkan asas
kesederhanaan dan kemudahan.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang mahar non materi, maka
penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Konsep mahar berupa jasa dalam hukum Islam ini terkait dengan pendapat
imam madzhab tentang mahar jasa. Pendapat-pendapat tersebut yaitu: 1)
Imam Abu Hanifah, tidak membolehkan terutama mahar berupa jasa
dalam membacakan atau mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an karena mahar
yang berupa jasa tidak termasuk harta yang tidak boleh mengambil upah
darinya, sehingga tidak sah untuk dijadikan mahar, namun darinya wajib
dibayar mahar mitsil. 2) Imam Malik, membolehkan karena jasa patut
menjadi mahar, sama halnya dengan harta. 3) Imam Syafi'i, membolehkan
karena mahar yang berupa jasa atau manfaat yang dapat diupahkan sah
dijadikan mahar. 4) Imam Ahmad Hambali, membolehkan karena mahar
berupa manfaat seperti halnya mahar berupa benda, dengan syarat manfaat
harus diketahui.
2. Keterkaitan pemberian mahar berupa jasa dalam akad perkawinan dengan
konteks sekarang ini sesuai dengan KHI, bahwa mahar boleh berupa
barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (KHI
Pasal 1 sub d). Mahar itu bisa berdasarkan asas kesederhanaan dan
81
kemudahan serta berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak baik bentuk
dan jenisnya (KHI Pasal 30 dan 31).
B. Saran-Saran
Setelah penulis melakukan analisis terhadap pendapat ulama tentang
mahar non materi, penulis mempunyai beberapa saran-saran sebagai berikut:
1. Seiring perubahan zaman, maka problem umat semakin kompleks, maka
penyelesaian yang arif dan bijaksana, yang diambil dari dasar utama
hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, dan hukum-hukum yang
lahir dari keduanya. Bagaimana pun juga dasar hukum Islam yang telah
diyakini itu sebagai petunjuk dan mampu memberikan jalan keluar dari
problem tersebut dan perlu ditafsirkan kembali sesuai dengan kebutuhan
umat saat ini.
2. Islam menyenangi kemudahan, maka mudahkanlah urusan pernikahan
kalian semua, salah satunya adalah dengan mempermudah dalam urusan
mahar. Hal ini Islam juga memiliki aturan tersendiri dan tidak ada
ketentuan yang pasti tentang kadar mahar, akan tetapi dianjurkan agar
segala sesuatu yang kita jadikan mahar tersebut tidak berlebihan serta
mempunyai manfaat agar tidak mubazir.
3. Al-Quran sebagai kitab umat Islam yang sangat mulia, sudah sepatutnya
kita menghargai dan mengangungkannya. Aktualisasi dari pengagungan
itu adalah dengan tidak menggunakan al-Quran, termasuk alat shalat
sebagai mahar dalam pernikahan hanya karena mengadopsi trend yang
82
berkembang di masyarakat kecuali mereka faham dan yakin mampu
memanfaatkan al-Quran atau alat shalat tersebut dengan baik dan benar,
begitu pula sebaliknya dengan mahar non materi, baik yang mengajarkan
al-Qur’an, masuk Islam, ataupun dengan suatu pekerjaan yang lain harus
mempergunakan atau memanfaatkannya dengan baik.
C. Penutup
Dengan mengucap rasa syukur Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah
SWT, Tuhan semesta alam. Penulis panjatkan atas segala limpahan rahmat
dan taufiq-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, meskipun
masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini
dikarenakan kemampuan penulis yang masih dangkal dan terbatas dalam
penelitian, Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad
SAW, yang selalu kita tunggu syafa’atnya.
Oleh karena itu saran, kritik dan masukan yang konstruktif penulis
harapkan demi perbaikan skripsi ini, dan semoga apa yang telah penulis
lakukan dalam penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan bagi siapa saja pada umumnya, sehingga mampu memberikan
sumbangsih wacana kerangka berfikir mengenai mahar non materi pada
khususnya. Dan untuk terakhir kalinya semoga Allah selalu meridloi langkah
kita dan senantiasa membukakan pintu ampunnya. Amin Ya Rabbal Alamin
83
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademi Pressindo, 1992.
Abi Muhammad bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Muhalla, Juz V, Beirut Libanon: Darul Fikr, tt.
Abu Isa Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmidzi, Juz III, Beirut: Dar al-Qur’an Fikr, tt.
Ahmad, Idris, Fiqh Syafi’i: Fiqh Islam menurut Madzhab Syafi’i, Surabaya: Karya indah, 2002.
al-Asqalani, al-Hafidz Ibnu Hajar, Bulugh al-Maram Min Adillat al-Ahkam, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tt.
al-Baihaqiy, Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakr, Sunan al-Baihaqiy al-Kubra, Juz VII, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994.
al-Buhiy, M. Labib, Hidup Berkembang secara Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1983.
al-Bukhari, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim ibn al-Mugirah ibn Bardizbah, Sahih al-Bukhari, Juz V, Beirut Libanon: Darul Kutub Al’ilmiyah,1992.
al-Din, Ibrahim bin Muhammad bin Kamal, Al-Bayan wa al-Ta’rif Fi asbab al-Wurud al-Hadits al-Syarif, Beirut: Dar al-Saqafah al-Islamiyyah, tt.
Alhamdani, H.S.A., Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), Jakarta: Pustaka Amani, edisi II, 2001.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hambal, Beirut: Darl al-Fikr, tt.
Al-Imam asy-Syafi’I, Ahkamul Qur’an, Terj. Baihaqi Sari’uddin, Surabaya: PT. Bungkul Indah.
al-Jandul, Said Abdul Aziz, Wanita di antara Fitrah, Hak dan Kewajiban, Jakarta: Darul Haq, 2003.
al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab Fiqh ala Madzhabi Arba’ah, Juz IV, Beirut Libanon: Darul Kutub al-’Ilmiyah, 1990.
84
al-Kurdi, Ahmad al-Hajji, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqih Islam, Semarang: Dina Utama Semarang, 1995.
al-Nasa’i, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Syu’aib Ibn ‘Ali Ibn Sinan Ibn Bahr Ibn Dinar Abu ‘Abd al-Rahman, Sunan an-Nasa’I Bisyarhi al-Hafidh Jalaluddin as-Suyuthi Wahatsiyah al-Imam as-Sanadi, Juz 6, Beirut Libanon: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, tt.
al-Syaibani, Abu Abdullah, Musnad bin Hanbal, Juz VI, Beirut: Dar Ihya al-Taris al-Arabi, tt.
al-Syairazi, Abi Ishaq, al-Muhazzab fi Fiqh al-Iman al-Syafi’i, Juz II, Beirut Libanon: Darul al-Fikr, 1990.
al-Syaukani, Muhammad, Nailul Authar, Cet. I, Mesir: Syirkah Maktabah al-Baby al-Halaby wa Auladuhu, 1961.
al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IX , Beirut Libanon: Darul Fikr, tt.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Ashin’ani, Imam Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Yamin, Subul al-Salam Syarh Bulug al-Maram, Juz III,Beirut Libanon: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1988.
ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits Hukum, Cet. III, Semarang: PT. Petraya, 2001.
Asy-Syafi’i, Imam Abi Abdus Muhammad bin Idris, Al-Umm, Juz V, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, tt.
Bajuri, Syaikh Ibrahim Syarh Ibnu Qasyim, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Dahlan, H.A.A. dan M. Zaka Alfarisi (eds), Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an, Edisi kedua, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2000.
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988.
85
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993.
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Halim, Abdul, “Ijtihad Kontemporer: Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam Indonesia,” dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: “Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer”, cet. I, Yogyakarta: ar-Ruzz Press, 2002.
Ibn Qasyim al-Ghazi, Kitab Syarh Ibn Qasyim, Juz II, Beirut Libanon: Darul Fikr, 1992.
Ibn Qudamah, al-Mughniy, Juz XII, Mesir: Darul al-Fikr, tt.
Ibn Rusyd, Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul al-Muqtashid, Terj. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amina, 1989.
Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz II, Mesir: Dar al-Fikr, tt.
Imam Kamal bin Muhammad bin Abdulrahim al-Ma’ruf bin al-Humam al-Hanafi, Syarh Fathul al-Qadir, Juz 3, Beirut Libanon: Darl al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.
Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad al-Husaini al-Hishni al-Dimasyqy al-Syafi’i, Kifayah al- Akhyar fii Halli Ghayah al- IKhtisar, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990.
Kheli, Nur, Studi Komparatif Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang Maskawin yang Tidak Diketahui Sifat dan Jenisnya, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo Fakultas Syari’ah, 2005).
Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.
Mahalli, Ahmad Mudjab, Wahai Pemuda Menikahlah, Jogjakarta: Menara Kudus, Cet. I, 2002.
Malik bin Anas, Al-Muwatta’, Beirut: Darl al-Fikr, 1989.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, Cet. 24, 2007.
86
Mu’amar, Syamsul, Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i tentang Diperbolehkannya Mengajarkan al-Qur’an sebagai Mahar, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo Fakultas Syari’ah, 2004).
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 1, 1974.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Afif Muhammad, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2001.
Muttaqin, Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Batas Terendah Pembayaran Maskawin, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo Fakultas Syari’ah, 2005).
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Pasha, Mustafa Kamal, Fikih Islam, Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2009.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2006.
Rasyidi, Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 3, Terj. Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008.
-----------------, Fiqh Sunnah, Jilid III, Terj. Nor Hasanuddin, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Cet II, Yogyakarta: Liberti, 1986.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Syarjaya, Syibli, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
87
Tim Redaksi Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Yakub, Ismail, Terjemah al-Umm, Jilid V, Jakarta: CV. Faizan, 1984.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006.
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1983.
88
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Eka Puji Lestari
Tempat/tanggal lahir : Blora/ 05 Februari 1988
Alamat : Desa Talun, RT/RW 08/01
Kec. Kayen, Kab. Pati
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Jenjang pendidikan :
1. SD N 1 Sambong Tahun lulus 2000
2. SLTP N 1 Sambong Tahun lulus 2003
3. SMK N 1 Cepu Tahun lulus 2006
4. Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Tahun lulus 2011
Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya dan semoga dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 11 Juni 2011
Penulis,
Eka Puji Lestari NIM. 062111047
Top Related