Madzhab-madzhab Tafsir

27
Madzhab-madzhab Tafsir Oleh Dadang Syarif Al Huda ABSTRAK Fakta memperlihatkan begitu beragamnya tafsir al-Qur’an. malahan ada yang sampai bertolak belakang. klaim kebenaran tidak bisa dilakukan, karena yang punya otoritas itu hanyalah Alloh. Ketika Nabi SAW masih hidup perbedaan pemahaman bisa langsung ditanyakan kepada Nabi dan dengan bantuan wahyu bisa langsung dapat keputusan. Sepeninggalan Nabi semua Muffasir berusaha mendekati kebenaran dengan berbagai madzhab, metode, corak penafsiran. Pendahuluan Menurut Abdul Mustaqim Madzahib at-Tafsir secara etimologis adalah bentuk susunan kata dari Madzahib dan at-Tafsir. Madzahib merupakan bentuk jamak (plural) dari madzhab yang artinya aliran pemikiran, pendapat, teori. Sedangkan at- Tafsir adalah hasil pemahaman manusia (baca : mufassir) terhadap al-Qur’an dengan metode atau pendekatan tertentu yang dipilih oleh mufassir. Secara teologis Normatif, al-Qur’an itu kebenarannya adalah mutlak, sebab ia berasal dari Tuhan Dzat yang Mutlak. Namun demikian, setelah yang mutlak itu masuk dalam “disket” pemikiran manusia, ia menjadi relatif kebenarannya. Sebab tidak mungkin yang relatif itu –yaitu pemikiran manusia- akan mampu menangkap yang seratus persen dari yang mutlak tersebut. Dengan demikian, di sana masih ada kebenaran-kebenaran lain atau makna-makna lain yang mungkin belum tertangkap oleh manusia. Dari sini, muncullah keragaman pemahaman. Adanya keragaman penafsiran tersebut oleh para ulama (peneliti) berikutnya dikelompok-kelompokan menjadi aliran-aliran tertentu yang disebut dengan madzahib at-Tafsir. Madzhab tafsir merupakan tema besar yang berusaha mengkaji kritis mengenai berbagai upaya, kelompok maupun individu, untuk menegakkan kitab suci al-Qur’an, bagaimana setiap dari mereka memahami dan menginterpretasikan setiap makna kata sehingga satu kata memiliki ragam penafsiran dan pemahaman dengan berbagai kepentingan dan tendensi yang diusungnya. Dalam buku Madzahib

Transcript of Madzhab-madzhab Tafsir

Page 1: Madzhab-madzhab Tafsir

Madzhab-madzhab Tafsir

Oleh Dadang Syarif Al Huda

ABSTRAK

Fakta memperlihatkan begitu beragamnya tafsir al-Qur’an. malahan ada yang sampai bertolak belakang. klaim kebenaran tidak bisa dilakukan, karena yang punya otoritas itu hanyalah Alloh. Ketika Nabi SAW masih hidup perbedaan pemahaman bisa langsung ditanyakan kepada Nabi dan dengan bantuan wahyu bisa langsung dapat keputusan. Sepeninggalan Nabi semua Muffasir berusaha mendekati kebenaran dengan berbagai madzhab, metode, corak penafsiran.

Pendahuluan

    Menurut Abdul Mustaqim Madzahib at-Tafsir secara etimologis adalah bentuk susunan kata dari Madzahib dan at-Tafsir. Madzahib merupakan bentuk jamak (plural) dari madzhab yang artinya aliran pemikiran, pendapat, teori. Sedangkan at- Tafsir adalah hasil pemahaman manusia (baca : mufassir) terhadap al-Qur’an dengan metode atau pendekatan tertentu yang dipilih oleh mufassir. Secara teologis Normatif, al-Qur’an itu kebenarannya adalah mutlak, sebab ia berasal dari Tuhan Dzat yang Mutlak. Namun demikian, setelah yang mutlak itu masuk dalam “disket” pemikiran manusia, ia menjadi relatif kebenarannya. Sebab tidak mungkin yang relatif itu –yaitu pemikiran manusia- akan mampu menangkap yang seratus persen dari yang mutlak tersebut. Dengan demikian, di sana masih ada kebenaran-kebenaran lain atau makna-makna lain yang mungkin belum tertangkap oleh manusia. Dari sini, muncullah keragaman pemahaman. Adanya keragaman penafsiran tersebut oleh para ulama (peneliti) berikutnya dikelompok-kelompokan menjadi aliran-aliran tertentu yang disebut dengan madzahib at-Tafsir.

Madzhab tafsir merupakan tema besar yang berusaha mengkaji kritis mengenai berbagai upaya, kelompok maupun individu, untuk menegakkan kitab suci al-Qur’an, bagaimana setiap dari mereka memahami dan menginterpretasikan setiap makna kata sehingga satu kata memiliki ragam penafsiran dan pemahaman dengan berbagai kepentingan dan tendensi yang diusungnya. Dalam buku MadzahibTafsir, karya Abdul Mustaqim banyak membahas tentang mazhab-mazhab tafsir yang sudah berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam memetakannya. Ada yang membagi berdasarkan periodesasinya atau kronologis waktunya, sehingga menjadi mazhab tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau kontemporer. Ada pula yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul mazhab teologi mufassiranya, sehingga muncul istilah tafsir Sunni, Mu’tazili, Syi’i, dan lain

Page 2: Madzhab-madzhab Tafsir

sebagainya. Ada pula yang melihat dari sisi perspektif atau pendekatan yang dipakainya, sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi, fiqhi, ‘ilmi, adabi ijtimai’ dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari perkembangan pemikiran manusia, sehingga mazhab tafsir itu dapat dipetakan menjadi mazhab tafsir yang periode mitologis, ideologis, dan ilmiah.

Dalam makalah ini, penulis memaparkankan mazhab-madzhab tafsir berdasarkan sumber (mashodir ) yaitu tafsir bi al-Riwayah (bi al Ma’tsur atau al-Naql), bi al-Dirayah (bi al-Aql atau al –Ra’yi)dan tafsir bi al-Isyarah. Dan beberapa pendapat yang memetakan madzhab tafsir dengan berbagai sudut pandang.

Tafsir bi al-Riwayah

Manna al-Qattan mendefinisikan: Tafsir bil riwayah(bil ma’tsur) ialah tafsir yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang shahih secara tertib yang sebagaimana telah diceritakan dalam syarat-syarat mufassir, antara lain: menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, atau dengan sunnah karena sunnah merupakan penjelas bagi kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat yang diterima dari para sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat para tabi’in besar, sebab mereka telah menerimanya dari para sahabat.

Sedangkan menurut Hasbi Ash Shiddieqy adalah “tafsir dengan ayat sendiri atau dengan hadits, atau dengan pendapat para shahabat “

Pada waktu Nabi masih hidup, Nabi yang menafsirkan Al-Qur’an para shahabat apabila tidak memahami Al-Qur’an langsung bertanya kepada Nabi, otoritas menafsirkan Al-Qur’an hanya ada pada nabi, sebab tugas menjelaskan Al-Qur’an diserahkan kepada Nabi sebagaimana firman Alloh surat al-Qiyamah(75:17-19), QS an-Nahl(16:44 dan 64)

2ه0 ( آن و2ق0ر5 ج2م5ع2ه0 2ا 5ن 2ي ع2ل AنC 2ه0) (١٧إ آن ق0ر5 Cع5 Aب ف2ات 2اه0 5ن أ ق2ر2 Cذ2ا 2ه0) (١٨ف2إ 2ان 2ي ب 2ا 5ن 2ي ع2ل AنC إ A0م )١٩ث

Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.

ون2 ( Aر0 2ف2ك 2ت ي Aه0م5 2ع2ل و2ل 5هCم5 2ي Cل إ ل2 0ز\ ن م2ا CاسA Cلن ل \ن2 2ي 0ب Cت ل 5ر2 الذ\ك 5ك2 2ي Cل إ 2ا 5ن ل 5ز2 2ن و2أ C0ر ب dو2الز C2ات \ن 2ي 5ب Cال )٤٤ب

keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,

0ون2 ( 0ؤ5مCن ي i Cق2و5م ل lح5م2ة و2ر2 و2ه0دlى CيهCف 2ف0وا 2ل ت اخ5 AذCي ال 2ه0م0 ل \ن2 2ي 0ب Cت ل Cال إ 2اب2 5كCت ال 5ك2 2ي ع2ل 2ا 5ن ل 5ز2 2ن أ )٦٤و2م2ا

dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Ketiga ayat di atas menunjukan bahwa Nabi diperintahkan untuk menerangkan, menjelaskan dan memberi tafsiran mengenai wahyu yang telah diturunkan atas persoalan-persoalan yang diperselisihkan oleh umatnya dalam masalah-masalah keagamaan. Bentuk tafsirnya bisa berbentuk sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, atau sunnah taririyyah. Salah satu kelebihan

Page 3: Madzhab-madzhab Tafsir

tafsir Nabi adalah penafsiran beliau selalu dibantu dengan wahyu, sehingga apabila ada kekeliruan terhadap ijtihad Nabi yang terkait persoalan syariat wahyu lain akan turun memberi koreksi. Inilah salah satu makna kema’shuman Nabi. Setelah nabi Meninggal shahabat beliaulah yang banyak mendalami al-Qur’an yang menafsirkan al-Qur’an berdasar tuntunan yang telah diberikan Nabi dan apabila tidak ada mereka berijtihad.

Mengenai Shahabat yang menafsirkan al-Qur’an para ulama berbeda pendapat Pertama mereka berpendapat bahwa semua shahabat sama pemahamannya terhadap ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab, yang merupakan bahasa asli para shahabat Kedua sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa orang Arab juga termasuk para shahabat, tidak sama pengertian dan pemahamannya terhadap al-Qur’an, karena meskipun bahasa mereka namun didalamnya terdapat lapadz-lapdz gharib dan musykil yang hanya dapat diketahuai melalui pemahaman atau penjelasan dari Nabi.

Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kedua yang agak realistis, sebab disamping para shahabat memiliki tingkat kecerdasan yang tidak sama, ada faktor lain yang menyebabkan tingkat pemahaman mereka berbeda-beda yaitu perbedaan penguasaan bahasa, intensitas mendampingi Nabi, pengetahuan tentang adat istiadat orang jahiliyah dan pengetahuan tentang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab ketika ketika Al-Qur’an turun.

Aqwalu al Shahabah (perkataan para shahabat), oleh para ulama dihukumi sebagai hadits marfu (disandarkan kepada Rasullaloh), bila berkenaan dengan asbabun nujul dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki akal (ra’yu). Sedangkan hal yang memungkinkan dimasuki akal, maka statusnya adalah mauquf (disandarkan kepada Shahabat).Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir yang mauquf pada shahabat, karena merekalah yang dianggap paling ahli dalam bahasa Arab dan menyaksikan langsung konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui oleh mereka, disamping pemahaman mereka yang benar. Menurut Abdul mustaqim tafsir shahabat adalah baik pada jamannya, sehingga jika sekarang kita melihat penfsiran yang tidak relevan lagi bahkan tidak ilmiah maka kita tidak harus mengikutinnya. Misalnya tentang penafsiran al-barqu (kilat) yang ditafsirkan dengan shawtul malak (suara malaikat).

Sebagian ulama mufassir seperti IbnSyaibah dan Ibn Aqil masih memperdebatkan riwayah tabi`in, karena tabi`in tidak mengetahui secara langsung turunnya ayat. Berbeda dengan Ikrima dan Ad-DahhakbinAl-Muzahim yang menerima langsung otoritas mereka. Dalam pertentangan ini, Quraish Shihab memberikan pandangan bahwa penafsiran nabi dan sahabat dibagi menjadi dua yaitu La Maja li al Aql fihi (Masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah metafisika, dan Fi majal al-Aql (dalam wilayah nalar) seperti masalah kemasyarakatan

 

Dibawah ini kami ketengahkan contoh-contoh tafsir bil riwayah (bil ma’tsur):

      

Page 4: Madzhab-madzhab Tafsir

Tafsir Al-Quran bil Quran

رCين2 ( C5خ2اس ال مCن2 A2ن 0ون 2ك 2ن ل 2ا ح2م5ن 2ر5 و2ت 2ا 2ن ل 2غ5فCر5 ت 2م5 ل Cن5 و2إ 2ا ن 5ف0س2 2ن أ 2ا 2م5ن ظ2ل 2ا Aن ب ر2 )٢٣ق2اال

Artinya: … keduanya berkata, ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Dan apabila Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi. (Q.S. Al-A’raf: 23)

Ayat tersebut merupakan penjelasan bagi lafadz kalimat yang terdapat dalam surat al-baqarah ayat 37:

حCيم0 ( Aالر AوAاب0 الت ه0و2 Aه0 Cن إ C5ه 2ي ع2ل 2اب2 ف2ت iم2اتC 2ل ك Cه\ ب ر2 مCن5 آد2م0 2قAى 2ل )٣٧ف2ت

Artinya: … kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.

  

Tafsir Al-Quran bil Hadits

Artinya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itu orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al-An’am : 82)

Rasulullah menafsirkan kata Dzalim dalam ayat ini dengan syirik. Penafsiran ini selaras dengan penegasan Allah dalam surat al-Lukman ayat 13:

 

Artinya: … sesungguhnya menyekutukan Allah benar-benar kedzaliman yang besar.

 

Tafsir Al-Quran dengan Perkataan Shahabat

C5ن و2اب CينC اك 5م2س2 و2ال 2ام2ى 2ت 5ي و2ال 2ى ب 5ق0ر5 ال CذCي و2ل Cس0ول AلرC و2ل ه0 خ0م0س2 CهA Cل ل Aن2 ف2أ iي5ء ش2 مCن5 0م5 Cم5ت غ2ن Aم2ا 2ن أ 2م0وا و2اع5ل

0ل\ ك ع2ل2ى Aه0 و2الل C5ج2م5ع2ان ال 2ق2ى 5ت ال 2و5م2 ي Cق2ان 5ف0ر5 ال 2و5م2 ي 2ا 5دCن ع2ب ع2ل2ى 2ا 5ن ل 5ز2 2ن أ و2م2ا CهA Cالل ب 0م5 5ت آم2ن 0م5 5ت 0ن ك Cن5 إ CيلC ب Aالس ق2دCير� ( iي5ء )٤١ش2

ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

 

Maksudnya: seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. b. Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir miskin. e. Ibnussabil. sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur. Ibnu Abbas

Page 5: Madzhab-madzhab Tafsir

menafsirkan ketika Rasulalloh hidup, seperlima ghanimah dibagikan kepada yang berhak menerimanya, seperti yang tercantum diatas. Setelah nabi wafat, gugurlah hak Nabi dan kerabatnya. Hal ini disandarkan pada tradisi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di masa kekhalifahan mereka yang hanya membagi pada tiga bagian yaitu, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil.

Namun, tafsirbilriwayah juga banyak mendapat kritik keras sebab banyak riwayat-riwayat hadits shahih bercampur dengan riwayat hadits yang tidak shahih atau bercampur dengan Israiliyat. Misalnya seperti kata Goldziher, Ibnu Abbas telah mengutip secara bebas dan tanpa batas dari Ahlu Kitab tuduhan serupa dilontarkan Ahmad Amin. Namun hal ini disanggah oleh Muhammad Husain adz-Dzahabi, bahwa Ibnu Abbas tidak bertanya kepada Ahli Kitab yang berhubungan dengan masalah akidah, pokok-pokok agama atau cabangnya, tetapi hanya menerima keterangan yang tidak diragukan lagi kebenarannya mengenai kisah dan cerita-cerita orang dahulu.

Tafsir bi alRiwayah memiliki keistimewaan antara lain (a)Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an. (b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya (c) mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasi terjerumus dalam subyektivitas yang berlebihan. Sedangkan kelemahannya adalah (a) Terjerumusnya muffasir ke dalam uraian kebahasaan yang bertele-tele sehingga mengaburkan pesan pokok al-Qur’an (b) Terjadi pemalsuan dalam tafsir (c) Masuknya unsur Israilliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur yahudi dan nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur`an,(d) Penghilangan sanad.

Diantara kitab-kitab tafsir bil ma’tsur atau tafsir bil riwayah diantaranya:

1.    Tafsir Jamiul Bayan karya Ibn Jarir ath Thabari

2.    Tafsir Bustan karya Abu Laits Samarqandyi

3.    Tafsir Ma’alimut Tanzil karya Al-Baghawy

4.    Tafsir Al-Quran al Adzim karya al Hafidz Ibn Katsir. Dll

 

Tafsir bi al-Dirayah

Menurut M. Aly Ash-Shabuny: “Tafsir bi Ar-Ra’yi adalah Ijtihad yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, biasa diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir al-Qur’an atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendak sendiri.”

Tafsir Bi Al-Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan kekuatan penalaran dan unsur-unsur keilmuan yang berkembang didunia Islam yang memang berkaitan dengan teks serta isyarat-isyarat ilmiah yang datang dari Al-Qur’an sendiri atau dengan kata lain seorang mufassir menafsirkan makna teks dengan menggunakan akal / penalaraan (Rasio). Yang dimaksud

Page 6: Madzhab-madzhab Tafsir

dengan rasio adalah antonim (lawan) nash dan riwayat. Oleh karena itu, dinamakan dengan tafsir bi al-Dirayah, (dengan rasio) sebagai antitesis tadsir-tafsir bir-riwayah (dengan riwayat). Al-Bhaihaqi meriwayatkan dalam asy-Sya’ab dari Imam Malik, beliau berkata bahwa jika ada seseorang yang tidak mengetahui ilmu bahasa arab, kemudian ia menafsirkan kitab Allah maka datanglah ia kepadaku, niscaya akan aku hajar dia.

Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-13 H dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang berbagai mazhab dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi saw, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bi al-ra’y (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad). Kaum fuqaha menafsirkannya dari sudut pandang hukum fiqh, seperti yang dilakukan oleh Al-Jashshash, al-Qurtubi, dan lain-lain; kaum teolog menafsirkannya dari sudut pemahaman teologis seperti al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari; dan kaum sufi juga menafsirkan Al-qur’an menurut pemahaman dan pengalaman batin mereka seperti Tafsir al-Qur’an al-Azhim oleh al-Tustari, Futuhat Makiyyat, oleh Ibn ‘Arabi dan lain-lain. Selain itu dalam bidang bahasa dan qiraat juga lahir tafsir, seperti Tasir Abi al-Su’ud oleh Abu al-Su’ud, al-Bahr al-Muhith oleh AbuHayyan ; dan lain-lain. Dari sinilah mengapa tafsir begitu banyak, karena begitu banyak sudut pandang menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu dikalangan ulama-ulama muta’akhirin sehingga tak heran jika sekarang abda modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sastra Arab seperti Tafsir Al-manar dan dalam bidang sains muncul pula karya Jawahir Thanthawi dengan Tafsir al-Jawahir. Begitu pesat perkembangan tafsir bi al-ra’yu, maka benar sekali apa yang dikatakan oleh Manna’ al-Qaththan bahwa tafsir bi al-ra’yu telah mengalahkan perkembangan tafsir al-ma’tsur.

Menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan akal dan ijtihad tanpa menggunakan sumber dari Rasulullah SAW dengan menjaga dari dhaif (kelemahan), mengambil atau merujuk dari perkataan sahabat, dan tidak melenceng atau keluar dari kaidah-kaidah syariah. Sebagaimana Firman Allah :

5م� ل Cع CهC ب 2ك2 ل 5س2 2ي م2ال 2ق5ف0 2ت و2الاألية.……

Janganlah mengikuti apa yang kamu tidak ilmu padanya(Al-Isra : 36)

Dan sabda Rasulullah saw.

{ : CهC ي5 أ Cر2 ب Cان 5لق0ر5 ا فCي ق2ال2 م2ن5 Aم2 ل و2س2 C5ه 2ي ع2ل الله0 ص2لAى و2ق2ال2

: } هذا الترمذي وقال ، والنسائ الترمذي داود، أبو أخرجه CارA الن مCن2 م2ق5ع2د2ه0 2ؤ5 2ب 2ت 5ي ف2ل 2م5 2ع5ل ي ال2 Cم2ا ب و52 أ

حسن

“Barang siapa yang menafsirkan al-qur’an dengan akalnya atau dengan apa yang ia tidak tahu maka akan tempatnya dineraka”.

Dan para ulama salaf tidak membenarkan hal ini yaitu menafsirkan, yang mereka tidak mempunyai standarisasi keilmuan para mufassirin dalam hal menafsirkan Al-Qur’an. Meskipun tafsir bi-al-ra’yu berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya para ulama terbagi menjadi dua : ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkannya.

Page 7: Madzhab-madzhab Tafsir

Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat ini hanyalah bertentangan dari segi lafzhi saja (Redaksional). Maksudnya kedua pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra’yu (pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa memandang / mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria yang berlaku. Penafsiran inilah yang di haramkan oleh Ibnu Taimiyyah. Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang mu’tabarat.

Adapun hadist-hadist yang menyatakan bahwa para ulama salaf lebih suka diam daripada menafsirkan Al-Qur’an, sebagaimana ditulis Ibn Taymiyah : “Mereka senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal-hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang (lanjutnya), ia harus diam kalau tidak tahu, dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya Pendapat Ibn Taimiyat ini ada benarnya karena didukung oleh Al-Qur’an antara lain terdapat di dalam surat Ali ‘Imran

عمران } : ءال ســـــورة 2ه0 0م0ون 5ت 2ك 2ت و2ال CاسA Cلن ل Aه0 0ن \ن 2ي 0ب 2ت {187ل

(Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada menusia dan tidak menyembunyikannya)

Dan dipertegas lagi oleh hadist yang shahih dari Ibn ‘umar :

CارA الن مCن2 C Cج2ام Cل ب C2ام2ة 5لقCي ا 2و5م2 ي 5جCم2 0ل أ 2م2ه0 2ت ف2ك i 5م عCل ع2ن5 Cل2 ئ س0 .م2ن5

Barang siapa ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya, lalu ia diam, maka ia akan dikekang pada hari kiamat dengan kekang api neraka.

Jadi diamnya ulama salaf dari penafsiran suatu ayat bukan karena tidak mau menafsirkan dan bukan pula karena dilarang menafsirkan, melainkan karena kesangat hati-hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut dengan takhmin (perkiraan, spekulasi) dalam menafsirkan Al-Qur’an apabila ini terjadi, ancamannya amat berat : masuk neraka, sebagaimana yang dimaksud oleh hadist riwayat al-Tirmidzi.

Tafsir Bi Al Ra’yi terbagi menjadi 2 macam :

Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz ( Mahmud)

Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz (Mazmum)

Sebagaimana yang kita bahwa Tafsir Bi Al Ra’yi menafsirkan Al-Qur’an dengan penalaran dan unsur – unsur keilmuan didunia islam atau dengan kata lain seorang mufassir harus memenuhi kriteria keilmuan, seperti : ( Bahasa Arab, Nahwu, shorof, Balaghoh, usul fiqh, tauhid, asbabun nuzul, sejarah, naasikh mansukh, hadist-hadist penjelas ayat-ayat Al-Qur’an, fakih dan terakhir ilmu pemberian dari Allah SWT).

Mereka juga mensyaratkan kebersihan hati dari penyakit kibr, hawa nafsu, bid’ah, cinta dunia dan senang melakukan dosa. Ini semua adalah yang menghalangi hatinya untuk mencapai pengetahuan yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT. Hal ini seperti firman Allah SWT :

Page 8: Madzhab-madzhab Tafsir

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alas an yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku….”(al-A’raf : 146)

Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz ( Mahmud) yaitu apabila penafsirannya itu sesuai kaidah yang ada jauh dari segala kebodohan dan kesesatan maka tafsir ini mahmud jika tidak maka tercela (mazmum). Tafsir Bi Al Ra’yi wajib memperhatikan dan berpegang apa yang dibawa nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya supaya dapat menerangi pemikiran mufassir dengan akalnya, harus bagi seorang mufassir mengetahui kaidah-kaidah lughoh dan mengetahui uslub-uslubnya (manhaj).

Ada yang mungkin bertanya, apakah boleh menafsirkan Al-Qur’an dengan rasio. Padahal, ada hadist dari Nabi saw yang melarang perbuatan itu ? juga ada riwayat yang menyebutkan bahwa sebagian sahabat dan para pembesar ulama tabi’in amat takut untuk sembarangan menafsirkan Al-Qur’an, padahal mereka adalah orang-orang yang demikian tinggi keilmuan dan ketaqwaannya ? lantas mengapa sekarang kita ingin masuk dalam masalah yang dahulu mereka takut untuk memasukinya, atau hati-hati terhadapnya?

Imam Abu Ja’Farath-Thabari telah menjelaskan hal itu dalam pembukaan tafsirnya Jami’Bayan Al-Qur’an dan Iman Abu Muhammad Ibnu Qutaibah dalam kitab Takwil Musykilul-Qur’an. Dan Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal. Demikian juga Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin dan adab Tilawatil-Qur’an.

Dalil orang-orang yang mencegah dan melarang tafsir bir-ra’yi adalah hadist Ibnu Abbas secara marfu’

} CهC ي5 أ Cر2 ب Cان 5لق0ر5 ا فCي ق2ال2 م2ن5

} الترمذي أخرجه CارA الن مCن2 م2ق5ع2د2ه0 2ؤ5 2ب 2ت 52ي فل 2ع5لم2 ي 2 ال 2ما و5 ب2 أ

“Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka siap-siaplah untuk menempati tempat di neraka”.

} 2 2خ5ط2أ أ ف2ق2د5 ص2اب22 ف2أ CهC ي

5 أ Cر2 ب Cان 5لق0ر5 ا فCي ق2ال2 }م2ن5

“Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, kemudian ia tepat telah membuat kesalahan.

Dan yang memperkuat hal itu adalah keengganan dan penolakan sahabat dan tabi’in terhadap tafsir Al-Qur’an. Diriwayatkan dari Abu Bakar ia berkata, “bagian bumi mana yang akan menahanku, dan langit yang mana yang akan menaunginya, jika aku mengatakan tentang Kitab Allah apa yang aku tidak ketahui?. Ibnu Abi Malikah berkata bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya tentang satu ayat, yang jika ditanyakan kepada salah seorang kalian pasti akan menjawabnya. Namun, Ibnu Abbas menolak untuk menjawabnya. Demikian juga dengan para fuqaha tabi’in, mereka takut tehadap tafsir bir-ra’yi, fuqaha Kufah, dan lainnya. Imam Abu Ja’far ath-Thabari meriwayatkan dalam mukadimah kitab tafsirnya dengan sanadnya dari Abdullah bin Umar. Ia berkata, “Aku menemui fuqaha “madinah, dan mereka berkata keras tentang tafsir (dengan rasio). Di antara mereka adalah Salim bin Abdullah, Qasim bin Muhammad, Sa’id bin Musayyab dan Nafi.” Ia meriwayatkan dengan sanadnya juga dari Yahya bin Sa’id, dari Sa’id bin Musayab bahwa ia jika ditanya tentang tafsir suatu ayat Al-Qur’an, ia akan berkata, “Aku tidak ingin memberikan komentar terhadap Al-Qur’an sedikitpun.” Diriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dari Ibnu Musayab bahwa ia hanya berbicara

Page 9: Madzhab-madzhab Tafsir

tentang hal-hal yang telah umum diketahui tentang Al-Qur’an. Dari Ibnu Sirin bahwa Abidah as-Salmani bertanya tentang suatu ayat. Ibnu Sirin menjawab bahwa engkau harus mengikuti jalan lurus, karena sesungguhnya sudah tidak ada lagi orang-orang yang mengetahui tentang masalah-masalah yang padanya Al-Qur’an turun. Dari Walid bin Muslim, ia berkata, “Thalq bin Habib datang kepada Jundub bin Abdullah, ia kemudian bertanya kepadanya tentang satu ayat Al-Qur’an. “ia menjawab,”aku merasa tidak enak terhadapmu, jika aku seorang muslim sedang engkau tidak duduk bersamaku. “Dari Yazid bin Abi Yazid, ia berkata, ia berkata, “Kami bertanya kepada Sa’id bin Musayab tentang halal dan haram, dan ia adalah orang yang paling tahu tentang hal itu. Namun, jika kami bertanya kepadanya tentang tafsir suatu ayat Al-Qur’an, ia akan diam seakan tidak mendengar.” Amru bin Murrah berkata, ” seseorang bertanya kepada Sa’id bin Musayab tentang satu ayat Al-Qur’an, lalu dijawabnya bahwa jangan tanyakan kepadaku tentang Al-Qur’an, namun tanyakan orang yang dikenal tahu segala sesuatu yaitu Ikrimah.” Dari Abdullah bin Abi safar. Asy-Syabi berkata,”Demi Allah, setiap satu ayat aku telah tanyakan tafsirnya, namun semuanya adalah riwayat dari Allah SWT.

Jawaban tentang hadist yang telah disebutkan tadi jika sahih sekalipun ia mempunyai kemungkinan dua pengertian. Pertama, yang dimaksud dengan ar-ra’yu (rasio) itu adalah hawa nafsu. Yaitu, menyeret Al-Qur’an untuk memperkuat hawa nafsunya dan pemikiran yang ia anut. Dengan ini maka Al-Qur’an menjadi pengikut, bukan yang diikuti, di hukumi bukan menjadi hakim, dan menjadi cabang bukan pokok. Artinya pemikiran, keyakinan dan mazhab-mazhab itulah yang membuat orang yang menafsirkan Al-Qur’an atau berdalil dengannya, mencekik ayat itu dan menyeretnya untuk mendukung pemikiran dan keyakinannya. Kedua, makna hadist itu adalah mencela orang yang berani menafsirkan Al-Qur’an sebelum memiliki perangkat yang seharusnya dan dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an, hadist-hadist yang sahih, dan riwayat dari sahabat tentang asbabun nuzul dan sejenisnya, serta apa pernah dikatakan oleh para penafsir salaf dari hadzf, idhmar, taqdim, ta’khir dan sejenisnya yang mengeluarkan pengertian lafaz dari zhahirnya. Sedangkan,orang yang berpendapat tantang Al-Qur’an sekedar dengan rasio, maka ia adalah orang yang salah, meskipun benar, karena ia melakukan sesuatu yang ia tidak ketahui sama sekali, dan menjalankan sesuatu yang tidak diperintahkan kepadanya. Maka jika pun ia tepat dalam memahami makna pada saat itu, namun pada saat yang ia tetap salah, karena ia melakukan sesuatu tidak sebagaimana seharusnya.

Sedangkan riwayat yang disampaikan dari sebagian salaf, yang melarang melakukan penafsiran, tampaknya mereka menahan diri karena kewaraan dan kehati-hatian diri mereka, Dan itu tidak kontradiksi, karena mereka berbicara dalam batas yang mereka ketahui, dan mereka diam terhadap apa yang mereka tidak ketahui. Ini adalah kewajiban setiap orang. Dan sebagaimana wajib berdiam diri terhadap apa yang tidak diketahui, wajib juga untuk mengatakan apa yang diketahui jika ditanya, dengan dalil firman Allah SWT,

2ه0 0م0ون 5ت 2ك 2ت و2ال CاسA Cلن ل Aه0 0ن \ن 2ي 0ب 2ت ل

” Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya. (Ali Imran : 187)

Inilah pemahaman yang benar terhadap hadist Nabi dan atsar yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi’in. berbeda dengan orang yang hanya membatasi tafsir semata pada naql dan riwayat, inilah yang ditolak oleh para ulama besar. Az-Zarkasyi mengatakan dalam burhan bahwa syekh Abu Hayyan pengarang kitab al-Bahrul Muhith dalam bidang tafsir

Page 10: Madzhab-madzhab Tafsir

menceritakan tentang sebagian orang yang sezaman dengannya bahwa penuntut ilmu tafsir dalam memahami makna-makna redaksional Al-Qur’an harus mengambil dari riwayat Mujahid, Thawus, Ikrimah dan semacamnya dan pemahaman ayat-ayat bergantung pada hal itu. Setelah itu ia menolak keras pendapat tadi, sambil berdalil dengan atsarAli r.a. bahwa Nabi Muhammad saw tidak memberikan sesuatu yang khusus kepadanya, kecuali pemahaman yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya tentang Kitab Allah. Sebelum itu dinukilkan dari Imam Abi Hasan al-Mawardi dalam Nuktahnya bahwa sebagian orang hati-hati memahami hadist,

” Siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan rasionya………. “

Sesuai dengan zahirnya, dan menolak untuk menyimpulkan makna-makna al-Qur’an dengan Ijtihadnya, meskipun dibantu dengan dalil-dalil penguat dan dalil-dalil itu tidak bertentangan dengan nash yang sharih. Ia berkata bahwa ini merupakan tindakan menghindar dari seharusnya, yaitu beribadah dengan mengkaji Al-Qur’an dan menyimpulkan hukum-hukum darinya, seperti firman Allah SWT,

…. : { .… النساء 5ه0م5 مCن C2م5ر 5أل ا و5لCى0 أ Cل2ى و2إ Cس0ول Aالر Cل2ى إ دdوه0 ر2 2و5 {83و2ل

….tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka Rasul dan Ulil Amri (an-Nisa : 83)

Jika kita ambil sikap yang mereka ambil benar, niscaya tidak ada sesuatu yang diketahui dari hasil penyimpulan dan pengkajian, serta akibatnya sebagian besar kitab Allah tidak dapat dipahami sama sekali. Imam Zarkasyi berkata bahwa yang tepat adalah, ilmu tafsir, diantaranya ada yang bergantung pada naql (riwayat), seperti sababun nuzul, naskh, mubham dan tabyiinul mujmal, dan yang lainnya yang tidak bergantung pada hal itu, dan untuk mengetahuinya cukup dengan bertafaquh (menyelidiki dan merenungkannya) dengan cara yang benar. Ia kemudian berkata bahwa Al-Qur’an ada dua bagian : salah satunya penafsirannya dengan naql (riwayat) dari orang yang diambil penafsirannya. Dan, bagian lainnya tidak dengan naql itu.

Yang kesatu, ada tiga macam tafsir. Pertama bisa datang dari Nabi saw, kedua dari sahabat, dan ketiga dari para tokoh tabi’in. pertama yang dikaji adalah kesahihan sanad. kedua yang dikaji adalah tafsir para sahabat ; jika ia menafsirkannya dari segi bahasa, mereka adalah ahli bahasa arab, sehingga kita ragu untuk menerimanya. Jika ia menafsirkan sesuai dengan apa yang ia saksikan, dari asbabun nuzul dan qarain yang menyertainya, maka tidak diragukan. Saat itu, jika pendapat sekelompok sahabat saling bertentangan, seandainya dapat disimpulkan dan disatukan, maka hal itu dapat dilakukan. Namun jika tidak, maka tafsir Ibnu Abbas didahulukan ; karena Nabi Muhammad saw, telah memberitakan tentang keunggulan tafsir Ibnu Abbas, beliau berdoa,

” Ya Allah ajarkanlah dia takwil (ilmu tafsir).”

Sedangkan, ketiga-yaitu tafsir para tokoh tabi’in – jika mereka tidak me-marfu’nya (menisbatkan langsung) kepada Rasulullah saw, juga tidak kepada salah seorang sahabat, jika boleh taklid maka tafsir itu dapat diambil. Dan, jika tidak maka dalam hal itu wajib ijtihad. Yang kedua, yang padanya tidak terdapat riwayat pendapat dari para mufasir generasi pertama, dan bagian ini sedikit. Cara untuk sampai kepada pemahamannya adalah dengan memperhatikan dan meneliti kata-kata lafalnya ditinjau dari sastra bahasa arab, dan

Page 11: Madzhab-madzhab Tafsir

pengertiannya, serta penggunaannya berdasarkan konteksnya. Hal ini telah dilakukan dengan cukup serius oleh ar-Raghib al-ashfahani dalam kitabnya al-mufradat, ia menyebutkan tambahan batasan dari batasan ahli sastra arab dalam menafsirkan pengertian lafal, karena ia mengartikannya dengan melihat konteksnya. Dapat dilihat disini, Imam Zarkasyi menyebut sikap muqallid (orang yang bertaklid) terhadap para sahabat dan tabi’in, jika pendapat itu saling bertentangan dan tidak mungkin disarikan menjadi satu, yaitu memilih pendapat mana saja yang ia mau. Namun, ini bukan sikap yang terbaik. Sebaliknya, seorang yang berpengetahuan yang telah menyempurnakan perangkat-perangkat tafsirnya, wajib untuk berijtihad dalam mengunggulkan pendapat-pendapat itu, terutama yang dihasilkan dari rasio dan kesimpulan pribadi bahkan ia dapat menambahkan pemahaman yang baru. Contoh tafsir bil al-ra’yi : kata عليهم انعمتdi dalam ayat ke-7 dari al-Fatihah ditafsirkan dengan ayat ke-69 dari an-nisa النبيين من

والشهداء ..والصديقين

Meskipun penafsiran ini ayat dengan ayat, tapi ia tetap masuk kategori tafsir bi al-ra’y karena tafsiran tersebut tidak diwarisi dari Nabi saw atau sahabat beliau, melainkan berasal dari ijtihad ulama tafsir.

Tafsir bi al-Isyari

Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari adalah takwil Al Quran berbeda dengan lahirnya lafadz atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul ‘ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilham-Nya. Atau dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna lain selain makna zhahir yang terkandung dalam Al Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah swt.

Tafsir Isyari menurut Imam Ghazali adalah usaha mentakwilkan ayat-ayat Alquran bukan dengan makna zahirnya malainkan dengan suara hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat yang dimaksud.

Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak ancaman dan janji, meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras keajaibannya, dan tak terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya dengan hati-hati akan selamat. Namun barangsiapa yang memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan tersesat. Ia memuat beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah bacaan, sedang bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia pada ulama, jangan bertanya kepada orang bodoh.

Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.

Ketika ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam tersebar keseluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala segi, maka berkembanglah ilmu tasawauf  dan ilmu itu mengpunyai dua wujud: teoritis dan praktis

Page 12: Madzhab-madzhab Tafsir

Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami Alquran dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf  mereka. Mereka mentakwilkan ayat-ayat Alquran dengan tidak mengikuti cara-cara untuk mentakwilkan ayat Alquran dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa arab, yaitu dalam bab perihal isyarat.

Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan sebagai berikut:

“Apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sufy tentang Alquran adalah termasuk ke dalam bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tekstual, itulah yang dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyyah yang ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan. Tokoh-tokoh sufy kita tidaklah mungkin sampai bersikap demikian, oleh karena mereka menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: pada tahap pertama harus dilakukan serta diketahui penafsiran dan pengertian tekstual, sebab tidak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian batin (non tekstual) dari suatu ayat sebelum penafsiran dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu diketahui. Barang siapa mengaku dapat memahami rahasia-rahasia Alquran sebelum mengetahui penafsiran dan pengertian tekstualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah sampai ke bagian dalam ka’bah sebelum ia melewati pintunya”

            Oleh karena itu tidak sepantasnya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Alquran mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah kepada batin-batin hamba-Nya yang dikendaki. Al-Alusy memberikan contoh tentang isyarat yang diberikan oleh firman Allah (QS. 2:45), sebagai berikut:

عCين2 ( C5خ2اش ال ع2ل2ى Cال إ ة� Cير2 2ب 2ك ل Aه2ا Cن و2إ CالةAو2الص C5ر CالصAب ب 0وا 2عCين ت )٤٥و2اس5

 

“Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu‘”.

            Bahwa sholat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaaa-Nya yang Perkasa. Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana) dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa), sehingga mereka tidak menemukan selain eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha Halus dan Maha Perkasa

            Yang kedua tasawuf praktis adalah cara hidup yang berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, lapar, tidak tidur pada malam hari, hidup menyendiri, menjaga diri dari segala

Page 13: Madzhab-madzhab Tafsir

kenikmatan, memutuskan jiwa dari segala macam syahwat dan menghancurkan ddalam ketaatan kepada Allah. Orang-orang sufy tersebut yang benar-benar menerapkan sikap-sikap hidup sebagai seorang  sufy untuk dirinya dalam kehidupan dunia  dan selalu bersiap-siap diri menghadapi kehidupan akhirat. DR. Muhammad Husain al-Dzahaby (al-marhum) mengatakan “Kami tidak mendengar ada seorang mengarang kitab tertentu tentang tafsir sufy teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat dalam Alquran seperti dalam tafsir Isyary, yang kami temukan adalah keterangan-keterangan terpencar-pencar yang termuat dalam penafsiran yang disandarkan kepada Ibn ‘Araby dan kitab Al-futuhat al-Makkiyyah, karangan beliau, sebagaimana sebagian lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak penafsirannya berbeda-beda”

Hukum Tafsir bil-isyarah: Para ulama berselisih pendapat dalam menghukumi tafsir isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian lainnya melarangnya.  Dalam menghadapi tafsir isyari ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang membenarkan dan bahkan menganggapnya sebagai kesempurnaan iman serta kema’rifatan seseorang, tetapi ada juga yang tidak membenarkannya, bahkan menuduhnya sebagai penyelewengan dari ajaran-ajaran Allah Swt yang sebenarnya.

            Ulama yang membenarkan tafsir isyari berlandaskan Hadis riwayat Bukhari, dimana Ibnu Abbas memahami ayat:

: النصر ( والفتح الله نصر جـاء )1اذا

Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan“

Bahwa ayat tersebut menunjukkan isyarat dekatnya ajal Nabi Saw. Selanjutnya Ibn Abbas sebagaimana ditulis oleh As-Suyuti menegaskan bahwa Alquran itu mengandung berbagai bab ilmu, yang lahir maupun yang batin, keajaibannya tidak akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau. Barang siapa yang menyelami dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat, dan barang siapa yang menyelami dengan radikal niscaya adakan terjerumus, ia mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkan dan mutasyabih yang lahir dan yang batin, secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa ta’wil. Belajarlah dari ulama dan jauhkanlah dari orang-orang yang bodoh”

            Badruddin Muhammad Ibn Adbullah Az-Zarkasyi adalah termasuk golongan orang yang tidak mendukung tafsir isyari (menolak tafsir bil isyari), hingga beliau mengatakan: “Adapaun perkataan golongan sufi dalam menafsirkan Alquran itu bukan tafsir, melainkan hanya makna penemuan yang mereka peroleh ketika membaca”. Demikian juga An-Nasafi mengatakan, sebagaimana dijelaskan Az-Zarqani dan As-Suyuti: “Nash-nash itu harus berdasarkan zahirnya, memutarkan pada arti lain yang dilakukan oleh orang kebatinan adalah merupakan bentuk penyelewengan”

            Di samping tafsir isyari ada pula tafsir yang mirip dengannya, yaitu tafsir kebatinan, namun tafsir ini termasuk tafsir yang bathil. Dan barang kali keengganan sebagian ulama untuk menerima tafsirisyari ini karena khawatir terjerumus dalam tafsir kebatinan. Dalam kitab At-Tibyan disebutkan perbedaan pokok tafsir isyari dengan tafsir kebatinan adalah:

      “Tafsir isyari tidak membuang makna  tersurat, tetapi mereka menetapkannya sebagai dasar dan asas, mereka menganjurkan untuk berpegang kepadanya dengan mengatakan: pertama-tama harus mengetahui terlebih dahulu arti yang tersurat, karena orang yang

Page 14: Madzhab-madzhab Tafsir

mengaku mengerti rahasia Alquran, tetapi tidak menguasai zahirnya, sama halnya orang yang mengaku telah masuk ke dalam rumah tetapi belum masuk pintunya.

          Tafsir kebatinan, mereka mengatakan bahwa zahirnya ayat itu sama sekali bukan tujuan, tetapi yang dimaksud adalah rahasianya (batinnya). Latar belakang dari kata-kata ini adalah menghilangkan syari’at dan merusak hukum. Karena itu tidaklah diragukan lagi bahwa pendapat ini adalah merupakan penyelewengan dalam ajaran agama”.

            Imam As-Suyuti mengambil pendapat Ibn ‘Ata’illah yang mengatakan:

      “Ketahuilah bahwa tafsir dalam golongan ini (tafsir isyari) terhadap Kalam Allah dan Rasul-Nya dengan makna-makna yang pelik bukanlah berarti memalingkan dari zahirnya, tetapi zahir ayat itu dapat dipahami makna sebenarnya, seperti yang dimaksud oleh ayat, di samping itu juga dapat diketahui dari istilah bahasa, serta mereka memperoleh pengertian yang tersirat dari Ayat dan Hadis bagi orang yang hatinya telah dibukakan oleh Allah SWT”.

Untuk mengatasi penyimpangan-penyimpangan tafsir isyari, maka di antara ulama telah memberikan kriteria persyaratan untuk bisa diterima tafsirnya, Az-Zarqani telah menuliskan sebagai berikut:

1.Tidak boleh bertolak belakang dengan susunan AlQuran yang zahirnya

2. Tidak menyatakan bahwa makna isyarat itu merupakan makna sebenarnya (makna satu-satunya), tanpa ada makna zhahir.

3.  Hendaknya pentakwilan tersebut harus tidak terlalu jauh, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan lafaz zahir

4.  Tidak bertentangan dengan hukum syar’i atau naqli

5.  Terdapat syahid (penopang) syar’i yang menguatkannya

Selanjutnya dijelaskan bahwa syarat-syarat tersebut di atas hanyalah sebagai syarat diterimanya tafsir isyari, yakni tidak serta merta ditolak, bukan syarat yang baku dan bukan pula hanya terbatas itu saja.

 

Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:

البقرة ( : بقرة تذبحوا ان يأمركم الله )67إن

(Surat Al Baqarah: 67) Yang mempunyai makna zhahir adalah “……Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “….Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah”.

Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyariy. Nama-nama kitab tafsir yang termasuk corak shufi ini antara lain:

Page 15: Madzhab-madzhab Tafsir

a. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, karya Sahl bin Abdillah al-Tustary. Dikenal dengan Tafsir al-Tustasry.

b. Haqaiq al-Tafsir, karya Abu Abdirrahman al-Silmy, terkenal dengan sebutan Tafsir al-Silmy.

c. Al-Kasyf Wa al-Bayan, karya Ahmad bin Ibrahim al-Naisabury, terkenal dengan nama Tafsir al-Naisabury.

d. Tafsir Ibnu Araby, karya Muhyiddin Ibnu Araby, terkenal dengan nama Tafsir Ibnu ‘Araby.

e. Ruh al-Ma’ani, karya Syihabuddin Muhammad al-Alusy, terkenal dengan nama tafsir al-Alusiy.

 

Madzhab-madzhab Tafsir

    Selain yang tiga jenis madzhab tafsir ada berapa pendapat para ahli yang mengelompokan dari berbagai perspektif.

Kategori Tafsir Model Ignaz Goldziher

    Dalam buku madzhab Tafsir (madzhab at-tafsir al-islami), karya Ignaz Golziher kelahiran Hongaria menurutnya terdapat lima madzhab atau kecenderungan dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu :

1. Tafsir bil Ma’tsur yaitu penafsiran dengan bantuan Hadit dan aqwal (perkataan) para shahabat. Seperti tafsir Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ali Ibn Abi Thalib dan Tafsir Thabari

2. Tafsir dalam perspektif teologi rasional atau penfsiran bersifat dogmatis. Yang termasuk kategori ini seperti tafsir al-Kasysyaf karya Zamarkhsyari, al-Gharar wa Durar karya Amali al-Murthadha, dan Mafatih al-Ghaib karya Imam Fakhruddin ar-Razi.

3. Tafsir dalam perspektif tasawuf seperti Ikhwan ash-shafa Ibnu Arabi dan Imam al-Ghazali

4. Tafsir dalam perspektif sekte keagamaan (sektarian) sepeti tafsir yang di tulis para pengikut ahl us-sunnah, syiah, Asy’ariyah, Khawarij, tema-tema yang dikaji didalamnya lebih cenderung untuk membela madzhabnya masing-masing.

5. Tafsir era kebangkitan Islam (Tafsir modernis) tema-tema yang menjadi isu sentral adalah tentang gerakan tajdid (pembaharuan), bagaimana Islam memotivasi untuk memajukan peradaban, misalnya dengan menyuarakan pentingnya kebebasan berfikir dan melepaskan taklid buta. seperti tafsir yang ditulis Sayyid Amir Ali, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh dll.

Page 16: Madzhab-madzhab Tafsir

Kategori Tafsir Model J.J.G Jansen

    Kategori yang dilakukan oleh J.J.G Jansen lebih spesifik. Karena hanya mengacu kepada tafsir-tafsir yang berkembang di kawasan Islam tertentu, yaitu Mesir. Dalam kategorinya sebagai berikut:

1. Tafsir Ilmi, yaitu penafsiran yang dipengaruhi oleh pengadopsian temuan-temuan ilmiah mutakhir.

2. Tafsir linguistik dan filologis penafsiran yang didalamnya menggunakan analisis linguistik.

3. Tafsir praktis penfasiran yang banyak menyangkut keseharian umat.

Kategori Tafsir Model Muhammad Husain adz-Dzahabi

    Ini bisa dilihat dalam kitabnya at-Tafsir wal Mufassirun, ia cenderung mengkategorikan berdasar kronologi waktu, di antaranya:

1. Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat

Karakteristiknya umum pada masa ini adalah (a) tidak menafsirkan seluruh al-Qur’an (b) tidak banyak perbedaan dalam menafsirkannya (c) bersifat ijmali (d) cenderung hanya menafsirkan dari aspek makna bahasa (e) jarang melakukan istinbat hukum secara ilmiah terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan (f) tidak bersifat sektarian (membela madzhab tertentu) (g) belum terkodifikasi secara utuh, sebab kodifikasi mulai abad ke-2 Hijriah (h) benyak menggunakan riwayat yang menggunakan secara oral atau lisan (i) cenderung mitis (penafsiran cenderung diterima begitu saja tanpa kritik). Contoh : tafsir Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ali Ibn Abi Thalib

2. Tafsir pada masa Tabi’in

Karakteristiknyaa adalah (a) belum dikodifikasi secara tersendiri (b) masih bersifat hapalan dan periwayatan (c) sudah dimasuki riwayat-riwayat israiliyat (d) sudah mulai ada benih-benih perbedaan madzhab (e) sudah banyak perbedaan pendapat dengan sahabat.

3. Tafsir pada masa Kodifikasi

Diperkirakan muncul pada pemerintahan Bani Umayyah, awal Bani Abbasiah. Tafsir-tafsir mulai dibukukan. Sudah berkembang tafsir dengan berbagai madzhab, seperti Mu’tazilah, syiah, Khawarij dan corak seperti corak sufistik, linguistik, fiqhi, filosofis, teologis, adabi ijtima’I dll.

Kategori Tafsir Model Amina Wadud

Page 17: Madzhab-madzhab Tafsir

Amina Wadud melihat dari perspektif gerakan feminisme yang memfokuskan pada isu-isu gender. Menurutnya penafsiran al-Qur’an mengenai isu-isu jender dikategorikan jadi tiga :

1. Tafsir Tradisonal

Tafsir yang menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya, seperti hukum (fiqh), nahwu, sharaf, sejarah, tasawuf. Model ini bersifat atomistik (ayat per ayat tidak tematik) sehingga bahasannya parsial, dan tidak ada upaya untuk mendiskusikan tema-tema tertentu menurut al-Qur’an sendiri.

2. Tafsir Reaktif

Tafsir berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Qur’an. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, tapi tanpa dibarengi dengan analisis yang kompreshensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan. Dengan demikian, meskipun semangat yang dibawanya adalah pembebasan (liberation), namun tidak terlihat hubungan dengan sumber ideologi dan teologi Islam yaitu al-Qur’an

3. Tafsir Holistik

Tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral ekonomi, politik termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modern. Di sinilah posisi Amina Wadud dalam upaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an

Kategori Tafsir Model Abdul Mustaqim

Bisa dilihat dalam bukunya Madzahibut Tafsirpeta Metodologi penafsiran al-Qur’an periode klasik Hingga Kontemporer, Ia mengkategorikan berdasar kronologis waktu, diantaranya :

1. Tafsir Periode Klasik

Tafsir yang muncul dari jaman Nabi sampai masa kodifikasi (jaman tabiin) abad I H sampai abad II H. diwarnai tafsir bir Riwayah.

2. Tafsir periode Pertengahan

Dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan sampai ke tangan generasi sekarang sudah dalam bentuk buku (terkodifikasi dengan baik) karakternya at-Tikrar (pengualangan),

Page 18: Madzhab-madzhab Tafsir

at-Tahwil (bertele-tele) atomistik (parsial). Coraknya spesialis ulumuddin seperti fiqh, teologi, falsafi, dan ilmi.

3. Tafsir Periode Kontemporer

Istilah kontemporer terkait dengan situasi dan kondisi tafsir pada saat ini. Karakteristiknya, seperti memposisikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan menangkap ruh al-Qur’an. Pola pendekatan cenderung analitis dan tematik.

Kategori Tafsir Model Masdar F. Mas’udi

    Model tafsir yang menggunakan nalar formasi tafsir itu sendiri, yaitu:

1. Nalar Teosentris

Pandangan dan pemahaman memusat kepada Tuhan. Tafsir porsinya sangat besar untuk berupaya membesarkan nama Alloh dengan membuktikan keajaiban dari al-Qur’an sendiri. Sehingga, merebut seluruh perhatian bukan pada bagaimana menyelesaikan krisis kemanusian multidimensi yang kasat mata. Dan menurut very verdiansyah diaktegorikan tafsir bayani dan irfani, karena sudut pandangnya lebih menekankan pada otoritas teks dan otoritas Tuhan.

2. Nalar Ideologis

Tafsir model ini dikodifikasi sesuai dengan ideologi yang mejadi pilihan kekuasaan. Digunakan sebagai bahan indoktrinasi bagi pengukuhan kekuasaan. Kalangan Sunni akan menafsirkan teks suci sesuai dengan ideologinya, begitu juga yang lainnya.

3. Nalar Antroposentris

Tafsir mempunyai orientasi pada wilayah problem kemanusian sehingga tafsir seperti ini lebih cenderung praktis pembebasan manusia dari lingkungan agama baik yang bersifat dogmatis maupun ideologis.

Penutup

    Tafsirsebagai sebuah hasil dialektika antara teks yang statis dan konteks yang dinamis memang mau tidak mau harus mengalami perkembangan dan bahkan perubahan. Sebab hal itu merupakan konsekuensi logis dari diktum yang dianut oleh umat Islam bahwa al-Qur’an itu shalihun li kulli zaman wa makan.

Page 19: Madzhab-madzhab Tafsir

    Perbedaan aliran-aliran dalam pemikiran Islam, baik Fiqih, Kalam. Tasawuf maupun Tafsir sebetulnya tidak lain dan tidak bukan adalah perbedaan penafsiran terhadap memahami ayat-ayat al-Qur’an. Perbedaan itu jadi sebuah keniscaayaan, tinggal bagaimana menyingkapi perbedaan tersebut dan penulis mengutip apa yang disampaikan al-Qur’an “… jika kalian berselisih kembalikan kepada Alloh dan Rasul..” dalam arti dikembalikan kepada substansi manusia diciptakan yaitu sebagai Hamba yang patuh, dan disisi lain sebagai Khalifah yang dituntut harus kreatif-inovatif. dan untuk sempurna hal tersebut al-Qur’an-lah sebagai guide-nya.

    Dalam memahamai guide diperlukan intrepretasi / penafsiran-penafsiran, tapi jangan sampai metode, corak, ataupun madzhab penafsiran al-Qur’an disakralkan sehingga akan tidak mampu membedakan mana proses dan mana tujuan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Ash Shiddieqy, Hasbi M, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.

Az-Zarkoni, Muhammad abdul azim, Manahilul Urfan, (Dar al-Fikr, t.th)

As-Suyuti, Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘ulum Al-Quran,(Bairut: Dar al-fikr, 1399 H)

Musthofa Hadnan, Ahmad, Problematika Menafsirkan Alquran, (Semarang: Toha Putra, 1993)

Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004

Mustaqim Abdul, Madzahibut Tafsir, Nun Pustaka Yogyakarta, Yogyakarta, 2003.

Muhammad Abd. Azim Az-Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an,(tt : Isa al-babi al-halabi, tth).

Khadim al Haramain asy Syarifain, Alquran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia, 1971)

Verdiansyah Very, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, P3M, Jakarta, 2004.