BAB I
PENDAHULUAN
Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia.
Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia
gravisyang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR)pada kelinci.Sedangkan pada
manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan kelainan pada neuromuscular junction
akibat defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR).Pada hampir 90% penderita miastenia
gravis,transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus yang
diperantarai demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR,sehingga lokalisasi imun kompleks
(IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik dari plasmaparesis1. Kemudian terdapat
perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta interaksinya
dengan antibodi AchR, telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana
antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular.ini diakibatkan adanya hubungan
antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada
miastenia gravis. Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan
fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR, telah dianalisis dengan sangat
hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular.ini
diakibatkan adanya hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi
terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis.
Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi karena
berbagai faktor. Salah satudiantaranya adalah kelainan pada transmisi neuromuskular yang
berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata juga
merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari
membran presinaptik merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik secara langsung
maupun tidak langsung. Sehingga tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan
imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Walaupun terdapat
banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-beda. Akan tetapi, beberapa
dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang
imunopatogenesis masih sangat kurang.
BAB II
ISI
Definisi
Myasthenia gravis adalah penyakit neuromuskular junction yang disebabkan oleh
penyakit autoimun yang didapat dan dikarekteristikan dengan fluktuasi kelemahan patologis
dengan remisi dan eksaserbasi berkait dengan satu atau beberap kelompok otot, terutamnya
disebabkan oleh antibodi terhdapa reseptor asetilkolin (AChR) pada post sinaps
neuromuscular junction (Sieb, 2013).
Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka kejadiannya 20
kasus dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umur diatas
50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyait ini dibandingkan pria dandapat terjadi pada
berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28
tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi di usia 60 tahun (Carr, 2010).
Etiologi
Terdapat predisposisi genetik untuk MG. Namun, MG tidak hanya diwarisi karena
genetik, 30% pasien MG mempunyai satu saudara kandung dengan diagnosa MG juga atau
gangguan autoimun yang lain, dan kejadian penyakit autoimun yang lain di MG pasien sangat
tinggi. Predisposisi genetik untuk pasien MG termasuk region MHC kelas I dan II, subunit-α
AChR, rantai IgG yang berat dan ringan dan gen TCR (Ropper, 2014).
Reaksi silang antibodi dengan bakteri dan virus herpes simplex dapat menginduksi
penyakit MG. Pada kasus MG yang diassosiasi dengan timoma, terdapat neurofilament yang
bersaiz sederhana NF-M yang mempunyai AChR-like epitope yang disangka merupakan
etiologi terjadinya MG. Terdapat peningkatan jumlah reseptor NF-M pada sel T di pasien
MG dengan timoma (Ropper, 2014).
Patofisiologi
Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor end plate,
molekul asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui neuromuscular junction
dan kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach (AchRs) di membrane postsinaptik.
Kanal-kanal di AchRs terbuka, memungkinkan Na + dan kation lain untuk masuk ke dalam
serat otot dan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi yang terus menerus terjadi akan
berkumpul menjadi satu, dan jika depolarisasi yang terkumpul cukup besar, maka akan
memicu timbulnya potensial aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk menghasilkan
kontraksi. Pada miastenia gravis (MG), ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di
motor endplate atau mendatarnya lipatan pada membran postsinaptik yang menyebabkan
pengurangan jumlah reseptor pada motor endplates, sehingga depolarisasi yang terjadi pada
motor endplate lebih sedikit dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Akhir. Hasilnya
adalah sebuah transmisi neuromuskuler tidak efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari
penelitian antara lain:auto antibodies terhadap reseptor AChR dan menginduksi endositosis,
sehingga terjadi deplesi AChR pada membran postsinaptik, autoantibodies sendiri
menyebabkan gangguan fungsi AChR dengan memblokir situs-situs tempat terikatnya
asetilkolin dan auto antibodies menyebabkan kerusakan pada motor endplates sehingga
menyebabkan hilangnya sejumlah AChR (Yi, 2014).
Gambar 1.1 Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi penghancuran
autoantibodi terhadap AChR.
Penyakit ini tidak mempengaruhi otot polos dan jantung karena mereka memiliki
antigenisitas reseptor kolinergik yang berbeda. Peran timus dalam pathogenesis myasthenia
gravis (MG) tidak sepenuhnya jelas, tetapi 75% dari pasien myasthenia gravis (MG) memiliki
beberapa derajat kelainan timus (misalnya, hiperplasia pada 85% kasus, thymoma dalam 15%
kasus). Mengingat fungsi kekebalan timus dan adanya perbaikan klinis setelah dilakukan
tindakan timektomi, timus diduga menjadi tempat pembentukan autoantibodi. Namun,
stimulus yang memulai proses autoimun belum teridentifikasi (Drachman, 2011).
Manifestasi klinis
Keluhan awal yang biasanya terjadi adalah kelemahan otot spesifik bukan kelemahan
otot yang umum dan kondisinya memburuk biasanya berfluktuasi selama beberapa jam.
Tidak terlalu terlihat pada pagi hari dan biasanya memburuk seiring berjalannya hari
(Ropper, 2014).
Tabel 1.1 Manifestasi klinis pada Miastenia Gravis dari gejala yang sering terjadi sampai pada gejala
yang jarang terjadi.
Sering terjadi
Jarang terjadi
Otot-otot Gejala
Ocular Ptosis dan penglihatan
ganda
Wajah Kesulitan mengunyah,
menelan, dan berbicara
Leher Kesulitan mengangkat
kepala saat posisi telentang
Ekstremitas proksimal Kesulitan mengangkat
lengan setinggi bahu dan
kesulitan berdiri dari posisi
duduk dengan bantuan
tangan
Pernapasan Gangguan pernapasan dan
kesulitan untuk bangundari
posisi tertidur
Ekstremitas distal Kelemahan saat
mengenggam dan
kelemahan
pada pergelangan dan kaki
Di antara pasien, 75% awalnya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan
diplopia. Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala okular.
Mungkin ptosis unilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata. Ocular MG
dikategorikan sebagai kelemahan dan kelelahan yang tersembunyi dan membahayakan yang
dapat terjadi pada satu atau kedua kelopak mata atau otot bola mata . Jika meliputi kelopak
mata yang jatuh biasanya dikenal sebagai ptosis; yang mengenai otot extraocular maka pasien
akan melihat dobel pada arah otot yang lemah (Ropper, 2014).
Kebanyakan pasien MG mempunyai keluhan diplopia pada saat onset penyakit
mereka. Pasien merasakan penglihatan kabur yang berfluktuasi, biasanya tidak terlihat
beberapa saat setelah bangun tidur. Diplopia terjadi saat pasien melihat kearah lateral dan ke
atas, biasanya memburuk saat pasien menyetir, menonton tv, atau saat sore hari. Gejala
tersebut hilang apabila satu mata ditutup. Gejala terjadi mungkin disebabkan oleh kelemahan
pada satu otot ekstraokular atau beberapa kombinasi otot. Ptosis biasanya yang paling
menonjol dan terjadi setelah berkedip beberapa kali. Dalam kasus ptosis unilateral, mata yang
tidak ptosis akan mengalami ptosis jika mata yang ptosis di buka dengan menggunakan jari
(Hering fenomena). Keterlibatan otot luar mata tidak mengikuti pola tertentu. Setiap
gangguan motilitas okular yang didapatkan dengan ptosis dan reflek pupil didapatkan normal,
harus mengarahkan kecurigaan pada myasthenia gravis MG (Drachman, 2011).
Kelemahan wajah dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot mata, tetapi biasanya
kedua gejala terjadi bersama-sama. Jika sensasi wajah terganggu, lesi yang mempengaruhi
saraf kranial seperti karsinoma nasofaring harus dicurigai. Dengan adanya sensasi wajah
normal. Namun, terjadinya kedua kelemahan otot mata dan wajah sangat memperlihatkan
gejala MG. Temuan mungkin akan sulit untuk dilihat (Drachman, 2011).
Kelemahan Orbicularis oculi merupakan sebuah tanda yang sangat umum dari MG
yaitu ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan kelopak mata tertutup atas terhadap
upaya pemeriksa untuk membukanya. Sebuah usaha dari pasien meskipun terjadi kelemahan
kelopak mata akan memperlihatkan adanya fenomena Bell, rotasi bola mata ke atas selama
penutupan kelopak mata. Karena pasien dengan blefarospasme dari otot-otot orbicularis oculi
mungkin mengeluh kesulitan menjaga mata terbuka, kondisi ini kadang-kadang bingung
dengan kelemahan myasthenic. Biasanya tidak ada diplopia atau fotofobia dengan
blefarospasme, dan penutupan kelopak mata adalah spasmodik dan dipaksa dengan elevasi
simultan pada kelopak mata bawah. Kelemahan Orbicularis Oris merupakan
ketidakmampuan pasien untuk mencegah keluarnya udara melalui kerutan bibir ketika
pemeriksa menekan pipi adalah pertanda kelemahan wajah. Tertawa mengungkapkan apa
yang disebut " myasthenic sneer". Pasien tersebut tidak dapat bersiul, menyedot melalui
sedotan, atau meledakkan balon (Drachman, 2011).
Bicara cadel dan kesulitan menelan dapat disebabkan oleh kelemahan lidah, yang
paling mudah dinilai oleh kekuatan mendorong lidah pada satu pipi bagian dalam. Dalam
kasus ringan MG, bicara cadel dapat terdeteksi hanya selama berbicara berkepanjangan,
seperti menjelang akhir wawancara dengan dokter. Suara serak atau berbisik tidak khas pada
MG. Otot lidah rentan terhadap atrofi di MG dan lidah berkerut merupakan manifestasi dari
atrofi ini (Drachman, 2011).
Beberapa pasien dengan MG mungkin mengalami kesulitan dalam mengunyah karena
kelemahan penutupan rahang (terutama otot-otot masseter), sedangkan pembuka rahang tetap
kuat. Ketika kelemahan parah, rahang mungkin tetap terbuka dan harus dimanipulasi dengan
tangan selama mengunyah. Salah satu gejala paling serius dari myasthenia adalah disfagia
karena kelemahan otot lidah dan faring posterior. Jika kelemahan otot faring muncul, cairan
lebih sulit untuk ditelan dari yang padat, dan makanan panas lebih sulit daripada makanan
dingin. Adakalanya pasien untuk menggunakan es batu untuk meminum cairan yang
dibutuhkan. regurgitasi cairan ke hidung dapat menjadi masalah jika ada kelemahan otot
palatal. Ketidakmampuan untuk menelan air liur adalah konsekuensi paling parah kelemahan
faring dan membutuhkan suktion mulut.. Setelah disfagia mencapai tingkat keparahan ini,
sebuah sonde diperlukan tidak hanya untuk pemberian obat oral dan juga untuk suplemen gizi
(Drachman, 2011).
Nyeri otot bukan merupakan gejala umum dari MG, tapi kekejangan otot yang
menyakitkan dapat terjadi pada MG ketika otot leher yang lemah diminta untuk menahan
kepala ke atas. Fleksor leher lebih sering terlibat dalam MG daripada ekstensor leher. Pasien
telentang sangat mengalami kesulitan dalam mengangkat kepala dari bantal. Jalan napas
dapat menjadi terhambat oleh penutupan glotis, yang disebabkan oleh kelemahan otot rangka
yang memegang pita suara. Hal tersebut dapat dideteksi dengan adanya “stridor”, selama
dalam usaha inspirasi dan dapat meramalkan keadaan darurat medis yang berkembang kearah
pasien membutuhkan intubasi endotrakeal (Drachman, 2011).
Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan bernafas. pasien myasthenic
dengan insufisiensi pernapasan atau ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan napas
paten dikatakan crisis. kelumpuhan Vokal dapat menghambat jalan napas, tetapi lebih umum
saluran udara terhambat oleh sekresi pasien yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk terlalu
lemah. Batuk membutuhkan penggunaan paksa otot-otot ekspirasi dan batuk berulang
terutama dengan cepat dapat menjadi tidak efektif pada MG. Bahkan jika jalan napas paten,
otot yang digunakan untuk inspirasi, seperti interkostalis dan diafragma, mungkin terlalu
lemah untuk menciptakan sebuah kekuatan inspirasi yang cukup (-50 cm H20) atau kapasitas
vital (> 20 ml / kg berat badan). Pasien tersebut harus diintubasi dan dibantu dengan respirasi
mekanis. Karena kurangnya ekspresi wajah pasien, penderita MG dalam masa krisis tidak
mungkin terlihat tertekan namun akan gelisah dengan nafas dangkal dan cepat. Biasanya,
pasien duduk membungkuk ke depan untuk memaksimalkan efek gravitasi pada diafragma.
Bahkan pasien yang tidak menyadari mempunyai masalah pernapasan mungkin memiliki
kelemahan otot pernapasan yang mengganggu tidur mereka dan dengan demikian
menyebabkan mereka menjadi lelah dan kurang perhatian pada siang hari. Terkadang sebuah
penelitian tidur berguna dalam mengidentifikasi masalah tersebut (Drachman, 2011).
Kelemahan otot panggul adalah aspek yang sering diabaikan dari kelemahan otot pada
MG. Namun, beberapa pasien MG wanita dengan inkontinensia urin mengklaim bahwa itu
diringankan oleh obat antikolinesterase. Demikian juga, reseksi transurethral rutin jaringan
prostat pada pria myasthenic sering menyebabkan inkontinensia. Jika, seperti biasanya
dilakukan, sphincter proksimal akan dihapus selama operasi, suatu sfingter eksternal yang
lemah mungkin tidak dapat melakukan kontraksi refleks selama batuk atau regangan
(Drachman, 2011).
Mungkin karena otot lebih hangat memiliki cadangan yang kurang untuk transmisi
neuromuskuler, otot proksimal cenderung lebih terlibat dari otot distal pada MG, meskipun
beratnya keterlibatan biasanya asimetris. Kelemahan otot ekstrimitas atas proksimal di mana
kesulitan dalam mengangkat lengan untuk mencuci atau menyikat rambut, berpakaian,
memakai kosmetik, atau mencukur menunjukkan kelemahan bahu dan lengan. kelelahan otot
ekstremitas atas dapat diuji secara semikuantitatif dengan kemampuan timing pasien untuk
menahan lengan ke depan saat ekstensi. Atrofi otot skapula dan lengan bawah adalah
karakteristik dari congenital slow-channel myasthenic syndrome (Drachman, 2011).
Kelemahan otot ektrimitas bawah dimana kesulitan dalam berjalan menaiki tangga
atau berjalan jarak jauh juga sering terjadi pada MG. kelelahan otot tungkai dapat diuji
dengan meminta pasien untuk mengangkat satu kaki di atas yang lain hingga 50 kali,
penilaian langsung dari kekuatan fleksor pinggul akan memperlihatkan peningkatan
kelemahan dari otot-otot aktif pada MG, dibandingkan dengan sisi tidak aktif (Drachman,
2011).
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan yang
terjadi pada otot-otot ekstremitas lebih menyerupai kelemahan pada miopati proksimal dari
pada kelemahan otot distal. Kelemahan otot-otot ekstremitas pada khususnya yang timbul
sebagai sebuah gejala jarang terjadi dan prevalensinya hanya 10% saja (Drachman, 2011).
Beberapa faktor berikut dapat membuat Miastenia Gravis memburuk (Ropper, 2014):
a. Kelelahan, kurang tidur
b. Stres, kecemasan, Depresi
c. Kelelahan, gerakan berulang
d. Rasa takut yang muncul secara tiba-tiba, kemarahan ekstrim
e. Sinar matahari atau lampu terang (mempengaruhi mata)
f. Beberapa obat, termasuk beta blocker, calcium channel blockers, dan
beberapaantibiotik
g. Minuman beralkohol
h. Rendah kadar natrium atau tingkat tiroid yang rendah
i. Infeksi dan penyakit pernafasan dapat memperburuk kelemahan dan mungkin
tetaptimbul sebentar setalah penyakit / infeksi tersebut sembuh.
j. Stres karena operasi juga dapat membuat MG memburuk.
Diagnosis
A. Pemeriksaan Fisik
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai
berikut (Drachman, 2011):
a. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan
akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang.
Penderita menjadi anartris dan afonis.
b. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada
ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan
kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
c. Uji kelelahan otot
Pada MG okuler, tes kelelahan dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk
berkedip berulang kali atau menatap ke atas selama beberapa saat (uji Simpson).
Meningkatnya penurunan kerja otot adalah tanda kelelahan. Peningkatan fenomena
ptosis dapat ditunjukkan pada pasien dengan ptosis bilateral dengan meninggikan dan
menjaga kelopak mata yang lebih ptosis dalam posisi yang tetap. Kelopak mata
berlawanan perlahan jatuh dan mungkin akan menutup sepenuhnya. Tanda kedutan
kelopak mata merupakan cara lain untuk menguji kelelahan otot. Pasien diarahkan
untuk melihat ke bawah selama 10-15 detik dan kemudian kembali dengan cepat
dalam posisi semula. Pengamatan pada gerak kelopak mata yang lebih keatas
ditambah dengan kedutan dan diikuti oleh reposisi kembali ke kondisi ptosis,
mengidentifikasi kelelahan yang mudah terjadi dan pemulihan yang lambat dari otot.
Tanda mengintip terjadi ketika fisura palpebral melebar setelah periode penutupan
kelopak mata secara volunter.
Muscle Grading Chart
Musle Gradation Description
5-normal ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan penuh
4-baik ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan sedang
3-sedang ROM penuh melawan gravitasi
2-lemah ROM penuh, dieliminir oleh gravitasi
1-batas Kontraksi ringan, tanpa gerak sendi
0-nol Tanpa kontraksi
Tes Lainnya (Ropper, 2014) :
a. Tensilon atau Prostigmin tes
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah
tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya
kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang
lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat. Pada tes Prostigmin suntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
b. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet
lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah
berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala
miastenik tidak bertambah berat.
B. Pemeriksaan Laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolinreseptor antibodi yang positif. Pada pasien
thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody (Drachman, 2011).
a. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkanhasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam
usia kurang dari 40 tahun.Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40
tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkanhasil positif (Drachman, 2011).
b. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-
MuSK Ab (Ropper, 2014).
c. Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi
yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung
penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasienmuda dengan miastenia
gravis (Drachman, 2011).
C. Imaging
a. Chest x-ray
foto roentgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada
roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian
anterior mediastinum. Hasil roentgen belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua (Drachman, 2011).
b. MRI Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat
digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf
otak (Drachman, 2011).
Penatalaksanaan
Mastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan
penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada
miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata,
perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.Penatalaksanaan miastenia gravis dapat
dilakukan dengan obat obatan, timomektomiataupun dengan imunomodulasi dan
imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan
miastenia gravis (Ropper, 2014).
Terapi pemberian antibiotik yang dikombainasikan dengan imunosupresif
danimunomodulasi yang ditunjang dengan penunjang ventilasi, mampu menghambat
terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi
terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset
lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan (Drachman, 2011).
Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin
secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang
mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta
trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE (Drachman, 2011)..
Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa
krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien
yang kesulitan menjalani periode pasca operasi. Belum ada regimen standar untuk terapi ini,
tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi
untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin(5%) dengan larutan salin yang
disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE
akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu
(Drachman, 2011).
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium, magnesium, dan
natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi.Ini diakibatkan terjadinya pergeseran
cairan selama pertukaran berlangsung.Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor
pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang.Tetapi hal itu bukan merupakan suatu
keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian freshfrozen
plasma tidak diperlukan (Drachman, 2011).
Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan
mampu memodulasi respon imun.Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara
klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi.Produk
tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif
aman untuk diberikan secara intravena. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-
4 hari setelah memulai terapi (Barth, 2011).
Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama
antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan
IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.Sehingga IVIG diindikasikan
pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang
cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu (Barth, 2011).
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan
level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan
pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike
symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi
pada 24 jam pertama. Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus,
sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat (Barth, 2011).
Intravena Metilprednisolone(IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam.Bila tidak ada respon,
maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.Jika respon masih juga tidak ada, maka
pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon
terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada
terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau
tidak dapat digunakan (Mantagazza, 2011).
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem
imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Durasi
kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3
bulan.Dimana respon terhadap pengobatan kortikosteroid akanmulai tampak dalam waktu 2-3
minggu setelah inisiasi terapi (Sanders, 2010).
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya.Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan
pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di
tempat kelainan imun pada miastenia gravis (Sanders, 2010).
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat
menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.Dosis maksimal
penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada
pemberiannya.Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek
samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi (Sanders,
2010).
Azathioprine
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang
memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine
merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara
umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif
lainnya.Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi (Mantagazza, 2011).
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari.Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal
tercapai.Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-
36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya
juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain (Mantagazza, 2011).
Cyclosporine
Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Dosis awal
pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis.
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel Thelper.
Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi
antibodi.Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi
(Sieb, 2013).
Cyclophosphamide (CPM)
Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan
obat lainnya.CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan
secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin (Mantagazza, 2011).
Timektomi (Surgical Care)
Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan
kejadian miastenia gravis.Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang
mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis.Banyak ahli saraf memiliki
pengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi
miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak
dapat dibuktikan oleh standar yang seksama (Ropper, 2014).
Timek tomi telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak
tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun
1900. Tujuan utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien,dimana beberapa
ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung
dari jenis timektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari
semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% pada lima hingga sepuluh tahun
setelah pembedahanadalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Secara umum,
kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah timektomi
dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta
obat-obatan) (Ropper, 2014).
Prognosis
Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31% MG yang mendapat pengobatan,
angka kematian 4%. 40% hanya gejala okuler. Dalam myasthenia gravis (MG) okuler, > 50%
kasus berkembang ke myasthenia gravis (MG) umum dalam waktu satu tahun, remisi spontan
<10%. Sekitar 15-17% pasien akan tetap mengalami gejala okular selama masa tindak lanjut
rata-rata hingga 17 tahun. Pasien-pasien ini disebut sebagai myasthenia gravis (MG) okular.
Sisanya mengembangkan kelemahan umum dan disebut sebagai generalized myasthenia
gravis (MG). Sebuah studi dari 37 pasien myasthenia gravis (MG) menunjukkan bahwa
kehadiran thymoma terkait dengan gejala yang lebih buruk (Drachman, 2011).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan
disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama
kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan
dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.
Penyebab pasti gangguan transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan
kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang paling banyak
berperanan. Gejala awal biasanya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan diplopia.
Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala okular. Mungkin
ptosis unilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata . Ptosis biasanya yang
paling menonjol dan terjadi setelah berkedip beberapa kali. Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan Lab penunjang.
Tujuan pengobatan myasthenia gravis (MG) adalah untuk mencapai tiga tujuan penting:
transmisi neuromuskuler yang optimal, mengurangi atau menetralisir konsekuensi dari reaksi
autoimun, dan memodifikasi riwayat alami myasthenia gravis (MG) dengan menginduksi
remisi, didefinisikan sebagai kondisi permanen hilangnya gejala tanpa pengobatan.
Top Related