MODEL PENGEMBANGAN
“AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK” BITUNG, PROVINSI SULAWESI UTARA
BROERIE POJOH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Model Pengembangan
“Agro-Eco-Industrial Park” Bitung, Provinsi Sulawesi Utara” adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, Mei 2010
Broerie Pojoh
NRP P061060161
ABSTRACT
BROERIE POJOH. Model Development of Agro-Eco-Industrial Park Bitung, North Sulawesi Province. Under Direction of
RIZAL SYARIEF, as Chairman of the Supervision Committee, KUDANG BORO SEMINAR and SUDARMASTO as Co-Chairmen Supervision Committee.
Industrial challenges of the 21st century gave birth to the concept of sustainable industry which in turn was followed by industrial ecology, a concept which tries to apply the non-waste ecological systems to industrial production systems. The application of industrial ecology concept gave birth to the term eco-industrial park (EIP). The general purpose of this research is to build a model development of Agro-eco-industrial park (AEIP) Bitung, North Sulawesi Province. Method used is FAST (synergy tool facility), Connectance Value, Likert Scale, ISM Method, AHP methods and Powersim Studio Expert 2005. The research shows that in terms of production and environmental management, agro-based industries in Bitung City were assessed to be as good enough. Pattern of linkages among industries was 23.64%, or still in low figure. Result also showed that AEIP alternative priority model that includes the activities of manufacturing industries, cooperation and exchange of waste materials, cattle, poultry, slaughter house, composting, renewable energy generation sources, and wastewater treatment facilities is of alternative model that can be developed in Bitung City. The design of dynamic models of that alternative priority model produces dominant variables, namely: Marine Fisheries-based Industry Sub-Model, Coconut-based Industry Sub-Model, Agro-Industrial Complex Sub-Model, Renewable Energy Generation Sub-Model, and Waste and by-Products Sub-Model. The dynamic models showed that in 15th year, the Agro-EIP model will reduce waste and or increase by-products usage as follows: reduce fish blood of 161,950 liters (24.96%), reduce cattle urine of 161,950 liters (6.25%), feces of beef cattle and chickens as many as 2,015,733 kg (94.40%); increase usage of marine fisheries by-products as many as 24,290,500 kg (93.59%), coconut water by-products as many as 11,803,600 liters (93.01%), coconut shell as many as 2,160,000 kg (>100%), “paring” of coconut flesh as many as 2,447,200 kg (90.64%), and in general lowering of the liquid waste, i.e. coconut milk, fish blood, and urine of cattle as many as 12,127,500 liters (1% of the total liquid waste). S
teps that can accelerate the realization of the model are development of Industrial Park in Kelurahan Tanjung Merah and approval of Special Economic Zone (KEK) in Bitung City. In order to meet the need of coconut and marine fish raw materials, the Government should try to reduce IUU (illegal, unreported, unregulated) activities, and to build non-conventional coconut production policy, i.e. derived essential coconut products for health care and body treatments.
Keywords:sustainable industry, industrial ecology, connectance value of industry, eco-industrial park, agro-eco-industrial park, dynamic models.
RINGKASAN
BROERIE POJOH. Model Pengembangan “Agro-Eco-Industrial Park” Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, KUDANG BORO SEMINAR dan SUDARMASTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Tantangan industri abad ke-21 melahirkan konsep industri berkelanjutan yang selanjutnya diikuti oleh ekologi industri, suatu konsep yang mencoba mengaplikasi sistem ekologi yang nir-limbah ke sistem produksi industri. Penerapan dari konsep ekologi industri melahirkan istilah eco-industrial park (EIP). Tujuan Umum Penelitian ini adalah membangun model pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung Provinsi Sulawesi Utara. Penambahan kata “agro” berkaitan dengan eksistensi mayoritas industri agro yang beraktivitas di kota itu. Tujuan khususnya adalah: mengevaluasi kondisi aktual dari industri agro/manufaktur; menganalisis program pengembangan model; dan menganalisis implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan model. Metode penelitian yang digunakan adalah FaST (facility synergy tool), pengelompokan SWOT, Connectance value, Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif, dan Program Powersim Studio Expert 2005. Hasil penelitian terhadap kondisi aktual dari industri agro/manufaktur menunjukkan bahwa mayoritas industri yang beraktivitas di Kota Bitung adalah industri agro berbasis perikanan laut dan kelapa dimana dari segi produksi dan pengelolaan lingkungan, kinerjanya dinilai cukup baik. Selanjutnya diketahui bahwa aktivitas industri agro mendapat dukungan positif dari pemangku kepentingan, seperti warga masyarakat dan aparat Pemerintah dan rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah mendapat dukungan positif dari warga masyarakat, aparat pemerintah, dan pelaku industri agro. Kondisi eksisting kualitas air sungai dan sumur di rencana lokasi Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah termasuk dalam kategori baik. Pola keterkaitan antar industri di Kota Bitung adalah sebesar 23,64% atau masih dalam kategori rendah. Hasil penelitian terhadap Program Pengembangan AEIP menunjukkan bahwa elemen kunci dari tujuan program adalah membangkitkan energi dengan sumber terbarukan dan meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela. Elemen kunci dari kendala utama program adalah kurangnya pemahaman terhadap konsep AEIP dan rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur. Selanjutnya diketahui bahwa Model AEIP prioritas yang meliputi kegiatan-kegiatan industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam, RPH, pengomposan, pembangkitan energi listrik terbarukan, dan fasilitas pengolahan limbah cair merupakan alternatif model prioritas yang dapat dikembangkan di Kota Bitung. Perancangan model dinamik dari alternatif model prioritas tersebut menghasilkan variabel-variabel dominan, yaitu: Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut, Sub-Model Industri Berbasis Kelapa, Sub-Model Industri Agro-Kompleks, Sub-Model Pembangkit Listrik Energi Terbarukan, dan Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan. Pola keterkaitan antar industri di dalam AEIP Bitung adalah sebesar 36,67% atau meningkat dibandingkan dengan nilai pola keterkaitan antar industri manufaktur/agro eksisting. Beberapa hal pokok dari hasil simulasi adalah potensi bahan baku perikanan laut dan kelapa lebih kecil dari kebutuhan industri. Jumlah industri hasil simulasi adalah 64 unit yang terdiri atas enam unit industri besar (masing-masing
tiga unit industri besar berbasis perikanan laut dan tiga unit industri besar berbasis kelapa) dan 58 unit industri menengah dan kecil dimana pembangunan semua unit industri dilakukan dalam selang waktu 15 tahun. Kebutuhan lahan untuk pendirian ke-64 unit industri dan fasilitas pendukungnya diperkirakan seluas 520.000 m2, atau masih menyisakan lahan seluas 460.000 m2 apabila rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah seluas 980.000 m2
Pada tahun ke-15, AEIP Bitung menurunkan limbah dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan. Penurunan limbah cair adalah sebagai berikut: darah ikan sebesar 161.950 liter (24,96%), urine ternak sapi 161.950 liter (6,25%), feces ternak sapi, ayam, dan RPH adalah 2.015.733 kg (94,40%). Peningkatan pemanfaatan bahan ikutan perikanan laut sebanyak 24.290.500 kg (93,59%) dan bahan ikutan air kelapa sebanyak 11.803.600 liter (93,01%), tempurung kelapa 2.160.000 kg (>100%), dan paring kelapa 2.447.200 kg (90,64%). Secara keseluruhan menurunkan limbah cair air kelapa, darah ikan, dan urine ternak sapi sebanyak 12.127.500 liter (1% dari limbah cair total).
(yang diasumsikan sebagai cikal bakal AEIP Bitung) terealisir. Pada tahun ke-15 setelah AEIP Bitung didirikan dan ketika semua unit industri telah didirikan dan beraktivitas, Nilai Produksi AEIP Bitung adalah Rp 825,6 milyar dengan penyerapan tenaga kerja sejumlah 1.526 orang. Terdapat korelasi positif antara meningkatnya nilai produksi AEIP dan meningkatnya penggunakan bahan ikutan dan limbah industri. Potensi pembangkitan energi listrik terbarukan pada tahun ke-15 adalah 58.648 kWh dengan nilai produksi Rp 56,89 juta.
Untuk merealisir pembangunan AEIP Bitung maka langkah-langkah yang dapat mempermudah realisasinya adalah terwujudnya pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah dan ditunjuknya Kota Bitung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Tahapan-tahapan kegiatan yang dapat dilakukan untuk membangun AEIP Bitung adalah: Penyusunan masterplan kawasan industri; Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP; Sosialisasi AEIP; Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau penyertaan sebagai pemegang saham; Pendirian perusahan pengelola kawasan industri; Perumusan tata tertib kawasan industri; Penetapan pola harga kapling industri; dan Penyiapan sistem rekruitmen tenan; Pembangunan infrastruktur kawasan industri; Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan; Pembangunan fasilitas daur ulang; Pembangunan fasilitas riset; Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa; Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian; Pembangunan fasilitas training; Pembangunan pusat promosi dan bisnis; Penyiapan sistem transportasi bersama; Pembangunan klinik kesehatan; Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat; Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk; dan Pembangunan perumahan karyawan; Program kerjasama pertukaran materi dan limbah; dan Program pengembangan masyarakat (CSR). Dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku perikanan laut dan kelapa maka perlu ada upaya untuk melakukan beberapa hal seperti menekan atau menurunkan aktivitas perikanan IUU (illegal, unreported, unregulated), budidaya perikanan laut, intensifikasi produksi kelapa, dan membangun kebijakan produksi industri kelapa non-konvensional, yakni produk-produk esensial turunan kelapa untuk pemeliharaan kesehatan dan perawatan tubuh. Kata kunci: industri berkelanjutan, ekologi industri, nilai keterkaitan antar industri, eco-industrial park, agro-eco-industrial park, model dinamik.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK” BITUNG,
PROVINSI SULAWESI UTARA
BROERIE POJOH P061060161
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi:
Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira-Sa’id, MA. Dev.
2. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor
Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Mesdin K. Simarmata, M.Sc.
2. Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA.
Judul Disertasi : Model Pengembangan ”Agro-Eco-Industrial Park” Bitung, Provinsi Sulawesi Utara Nama : Broerie Pojoh NRP : P061060161 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program : Doktor (S3)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS
Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc. Anggota Anggota
Dr. Sudarmasto, S.Teks., SE.,M.A.
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 16 April 2010 Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku
tidak akan goyah (Mazmur 62:3). Terima kasih Tuhan Yesus karena kasihMu
membuat semua tahapan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dapat
dilakukan dengan baik.
Tema penelitian ini menyangkut keberlanjutan aktivitas industri dengan
judul ”Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park Bitung, Provinsi Sulawesi
Utara.” Penelitian ini merupakan sumbangan bagi upaya mengantisipasi
tantangan industri abad ke-21 yang menuntut perubahan paradigma produksi
dari melihat limbah dan bahan ikutan sebagai beban menjadi tantangan usaha.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang tinggi kepada:
1. Menteri Perindustrian RI yang telah memberikan penugasan untuk mengikuti
perkuliahan Program S3 melalui pemberian SK Tugas Belajar.
2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen
Perindustrian beserta staf yang telah memberikan persetujuan bagi
penugasan untuk mengikuti Program ini.
3. Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri, Departemen Perindustrian
serta staf yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti program
perkuliahan dan mengatur seluruh pembiayaan selama perkuliahan.
4. Kepala Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado, Dr. Joseph J.
Pardede, yang memberi dorongan semangat dalam proses pengambilan
keputusan untuk mengikuti program ini.
5. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang
dengan sangat terbuka dan penuh kehangatan membimbing dan
mengarahkan untuk melewati tahap demi tahap proses penelitian ini.
6. Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc., selaku Anggota Komisi
Pembimbing, yang telah memberikan sumbangan pemikiran yang sangat
berarti dalam penelitian dan penulisan ini.
7. Dr. Sudarmasto, S.Teks., SE., MA, selaku Anggota Komisi Pembimbing,
yang memberi bimbingan dengan penuh perhatian dan penuh kebapakan.
8. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S., selaku Ketua Program Studi PSL IPB,
beserta jajaran Dosen dan Staf, yang memberi cakrawala berpikir ilmiah
dalam melewati tahap demi tahap menuju gelar tertinggi akademik.
9. Walikota Bitung yang telah memberi izin penelitian di Kota Bitung.
10. Ir. James Rompas MS, selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah, Kota Bitung yang telah memberikan informasi yang diperlukan
sekaligus sebagai Tim Ahli.
11. Prof. Dr. Ir. Jen Tatuh yang membagi pengetahuan dan sekaligus sebagai
Tim Ahli.
12. Drs. Herman Rompis, MS yang memberikan bantuan penyiapan tenaga
surveyor untuk pengumpulan data.
13. Dr. Ir. I Ketut Ardana yang dengan ikhlas membantu meletakkan dasar
dalam membangun model yang menjadi salah satu fokus penelitian ini.
14. Ir. Jackry Lolowang, MS. yang dengan tulus membantu mengumpulkan data
industri berbasis perikanan laut di Kota Bitung.
15. Ir. Henry Pajow, MSi yang telah membantu memasok data yang diperlukan.
16. Pihak-pihak industri manufaktur di Kota Bitung yang telah menjawab
kuisioner yang disampaikan oleh penulis.
17. Rekan-rekan sekantor di Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado yang
mendukung dan mendoakan keberhasilan studi penulis.
18. Rekan-rekan seangkatan PSL-IPB 2006 yang telah menciptakan
kebersamaan dalam keseharian kuliah serta saling mendorong untuk
keberhasilan bersama.
19. Saudara-saudaraku yang mendoakan, mendorong, dan berharap akan
keberhasilan studi ini; khususnya untuk Ibu Mertua (Ibu Juliana Goni), yang
tak putus-putusnya mendoakan kesehatan dan keberhasilan studi penulis.
20. Rekan-rekan kost di Jln. Perwira 12, Caringin, dan Asrama Sam Ratulangi
Bogor Baru yang melewati masa ini dalam kebersamaan yang membangun.
21. The last but not the least, untuk anak kami tercinta Rachel Ribka Pojoh yang
menjadi inspirasi untuk penyelesaian studi ini, dan khususnya untuk istriku
yang kukasihi, Deeske, untuk doa dan dorongan serta kerelaan untuk
berkorban.
Penelitian dan laporan hasil penelitian ini belum sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang diberikan untuk penyempurnaannya akan diterima dengan
senang hati.
Bogor, Mei 2010
Broerie Pojoh
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara, pada tanggal 2
November 1962 sebagai anak ke-empat dari tujuh bersaudara dari keluarga
Guru yang bersahaja, yaitu Papa, Petrus Pojoh (Alm) dan Mama, Agustina Silap
(Almh).
Pada tahun 1974 menyelesaikan studi di SD Kristen X Kotamobagu,
selanjutnya tahun 1977 menyelesaikan studi di SMP Kristen Kotamobagu, dan
Tahun 1981 menyelesaikan studi di SMA Negeri Kotamobagu. Pada tahun 1981
mengikuti pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi
Manado dan menyelesaikannya pada tahun 1985.
Pada Tahun 1985-1988 bekerja sebagai Asisten Dosen di Fakultas
Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado dan Fakultas MIPA Universitas
Kristen Indonesia Tomohon. Pada saat yang sama, Tahun 1986-1988 bekerja di
SCDP UPP-PPK Bolaang. Pada tahun 1988 diterima dan bekerja sebagai PNS di
Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado, dengan jabatan terakhir sebagai
Staf Peneliti dalam Bidang Penelitian dan Pengembangan Industri.
Pada Tahun 1994 mendapatkan beasiswa dari Bank Dunia melalui OTO-
Bappenas untuk mengikuti Program S2 pada Program Environmental Science
and Policy di University of Wisconsin-Green Bay, USA dan tamat Tahun 1996.
Setelah mengabdi selama sepuluh tahun, pada Tahun 2006 mendapat beasiswa
dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri, Kementerian Perindustian RI untuk
mengikuti Program S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, IPB Bogor.
Karya ilmiah dengan judul ”Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park
di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara” yang merupakan bagian dari Disertasi ini
telah dinilai layak dan akan diterbitkan pada Jurnal Riset Industri, Vol. IV, No. 2,
Agustus 2010, beberapa bagian lain sedang dalam proses penerbitan pada
jurnal lainnya.
xiii
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xx SINGKATAN-SINGKATAN ............................................................................. xxi I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2. Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
1.2.1. Tujuan Umum ........................................................................... 4 1.2.2. Tujuan Khusus .......................................................................... 4
1.3. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 4 1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 5 1.5. Novelty ................................................................................................ 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 7 2.1. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan .............................................. 7 2.2. Sektor Industri Pengolahan/Manufaktur .............................................. 8
2.2.1. Batasan dan Pengertian ........................................................ 8 2.2.2. Visi dan Misi Pembangunan Industri ...................................... 8 2.2.3. Kebijakan Pembangunan Industri .......................................... 9 2.2.4. Strategi Pembangunan Industri ............................................. 9 2.2.5. Regulasi tentang Kawasan Industri ........................................ 9 2.2.6. Perkembangan Kawasan Industri .......................................... 11 2.2.7. Pengembangan Industri di Kota Bitung .................................. 14 2.2.8. Peran Pemangku Kepentingan dalam Pembangunan
Kawasan Industri ................................................................... 15 2.2.9. Lokasi Kawasan Industri ........................................................ 15 2.2.10. Kawasan Ekonomi Khusus .................................................... 16
2.3. Ekologi Industri ................................................................................... 17 2.3.1. Pengertian Ekologi Industri .................................................... 17 2.3.2. Tujuan Ekologi Industri .......................................................... 19 2.3.3. Peran Ekologi Industri ............................................................ 20 2.3.4. Ekologi Industri dan Klaster Industri ....................................... 22 2.3.5. Ekologi Industri dan Produksi Bersih ..................................... 23 2.3.6. Eco-Industrial Parks (EIPs) .................................................... 24 2.4. Penataan Ruang Pulau Sulawesi ........................................................ 31 2.5. Pola Keterkaitan Antar Industri ............................................................ 32
III. METODE PENELITIAN .............................................................................. 34 3.1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 34 3.1.1. Definisi ...................................................................................... 34 3.1.2. Asumsi Dasar dan Batasan Penelitian ...................................... 34 3.2. Rancangan Penelitian ......................................................................... 35
3.2.1. Pendekatan Penelitian yang Digunakan .................................. 35
xiv
3.2.2. Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung .................. 35 3.2.3. Tahapan Penelitian ................................................................. 42
3.3.Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 42 3.4. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 44 3.4.1. Bahan dan Alat Penelitian ........................................................ 44 3.4.2. Teknik Pengumpulan Data........................................................ 44 3.4.3. Penetapan Responden ............................................................. 46 3.4.4. Variabel yang Diamati............................................................... 46 3.5. Metode Analisis .................................................................................. 46 3.5.1. Kondisi Aktual dari Aktivitas Industri Agro ................................. 47 3.5.2. Program Pengembangan MP-AEIP Bitung ............................... 49 3.5.3. Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP
Bitung ....................................................................................... 51 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ................................................. 53 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.................................................... 53 4.1.1. Sejarah Kota Bitung .................................................................. 53 4.1.2. Letak dan Luas ................................................................... 53 4.1.3.Topografi .................................................................................. 53 4.1.4. Iklim .......................................................................................... 54 4.2. Perekonomian .................................................................................... 56 4.3. Penggunaan Lahan ............................................................................ 57 4.4. Ketenagakerjaan................................................................................. 58 4.5. Prasarana ........................................................................................... 58 4.5.1. Listrik ........................................................................................ 58 4.5.2. Perikanan Laut ......................................................................... 59 4.6. Status Lingkungan Hidup Kota ........................................................... 60 V. STATUS INDUSTRI MANUFAKTUR/AGRO .............................................. 63 5.1. Industri Manufaktur ............................................................................. 63 5.2. Jenis-jenis Industri dan Produk yang Dihasilkan ................................. 64 5.2.1. Diagram Aliran Materi Tahunan ................................................ 65 5.2.2. Pengelompokkan Menurut Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ........................................................................... 68 5.3. Limbah Industri ................................................................................... 70 5.4. Bahan Ikutan Industri .......................................................................... 71 5.5. Persepsi Pemangku Kepentingan ....................................................... 72 5.5.1. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Aktivitas Industri .......... 72 5.5.2. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri .............................................. 74 5.5.3. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Aktivitas Industri .......... 75 5.5.4. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri .............................................. 76 5.5.5. Pendapat Pihak Industri Agro ................................................... 77 5.5.6. Persepsi Pihak Industri Agro Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri .............................................. 78 5.6. Rencana Pembangunan Kawasan Industri di Kel. Tanjung Merah ...... 82
xv 5.6.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Kawasan Industri ..................................................................................... 83 5.6.2. Faktor-faktor Pendukung Pembangunan Kawasan Industri ..................................................................................... 84 5.6.3. Kebijakan dan Regulasi Pemerintah terkait Pengembangan Kawasan Industri ...................................................................... 86 5.6.4. Kelembagaan terkait Pengembangan Kawasan Industri ........... 88 5.6.5. Evaluasi Terhadap Rencana Lokasi Kawasan Industri .............. 89 5.6.6. Rangkuman ........................................................................... 93 5.7. Pola Keterkaitan Antar Industri ......................................................... 94 VI. PROGRAM PENGEMBANGAN MP-AEIP BITUNG ................................... 98 6.1. Penentuan dan Tahapan Implementasi AEIP Bitung .............................. 98 6.1.1. Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP Bitung ................. 98 6.1.2. Penentuan Model AEIP Prioritas ............................................ 107 6.1.3. Tahapan Implementasi AEIP Prioritas ................................... 110 6.1.4. Rangkuman ........................................................................... 116 6.2. Perancangan Model Dinamik Program Pengembangan MP-AEIP Bitung .............................................................................. 117 6.2.1. Penyusunan Model ................................................................ 117 6.2.2. Pola Keterkaitan Antar Industri dalam MP-AEIP Bitung ......... 142 6.2.3. Simulasi Model ...................................................................... 143 VII. IMPLIKASI DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PENERAPAN MP-AEIP BITUNG .................................................................................. 160 7.1. Implikasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP Bitung .............................. 160 7.2. Implikasi Terhadap Keberlanjutan Industri Agro ............................... 167 7.3. Rekomendasi Kebijakan .................................................................. 168 7.3.1. Implementasi MP-AEIP Bitung ............................................... 168 7.3.2. Percepatan Implementasi MP-AEIP Bitung ............................ 169 7.3.3. Rekruitmen Tenan MP-AEIP Bitung ....................................... 171 7.3.4. Kelembagaan Penerapan MP-AEIP ....................................... 172 7.3.5. Kebijakan Strategis dan Operasional Penerapan MP-AEIP Bitung..................................................................... 172 VIII. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 174 8.1. Simpulan .......................................................................................... 174 8.2. Saran .............................................................................................. 174 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 176 LAMPIRAN .............................................................................................. 182
xvi
DAFTAR TABEL Halaman
2.1. Persebaran Industri di Indonesia ............................................................. 9 2.2. Peran Pemerintah dan Swasta dalam Pengembangan Kawasan Industri di Beberapa Negara Asia ............................................................. 11 2.3. Jumlah Kawasan Industri dan Luas (s/d 2000) ......................................... 12 2.4. Peran Pemangku Kepentingan dalam Persebaran Industri dan Pengembangan Kawasan Industri ............................................................ 14 2.5. Empat Tipe Teknologi Lingkungan yang Diperlukan untuk Memfasilitasi Pencapaian Tingkat Infrastruktur Ekologi Industri ............... 21 2.6. Beberapa Elemen Eco-label dari Model PALME ....................................... 30 3.1. Analisis Kebutuhan Pemangku Kepentingan ............................................ 36 3.2. Parameter, Data, Variabel, dan Jenis Data Penelitian .............................. 47 3.3. Elemen dan Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen ............................ 50 3.4. Tujuan Penelitian, Sumber Data, Jenis Data, Metode Analisis, dan Output yang diharapkan .................................................................... 52 4.1. Kecepatan Angin Maksimum dan Rata-rata di Kota Bitung Tahun 2006 .............................................................................................. 54 4.2. Penyinaran Matahari di Kota Bitung Tahun 2006 ...................................... 55 4.3. Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2004-2006 ..................................................... 58 4.4. Produksi Perikanan Laut Kota Bitung Tahun 2001-2006 (ton) .................. 60 5.1. Perkembangan Perusahaan Industri (unit) Thn 2002–2006 ...................... 63 5.2. Perkembangan Tenaga Kerja (orang) Thn 2002 – 2006 ........................... 63 5.3. Perkembangan Nilai Produksi (Rp Juta) Thn 2002 – 2006 ....................... 64 5.4. Jenis-jenis Industri Agro dan Produk yang Dihasilkan .............................. 64 5.5. Limbah Cair dan Padat dari Industri Agro ................................................. 71 5.6. Jenis Industri Agro Penghasil Bahan Ikutan ............................................. 71 5.7. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur....................................................................................... 72 5.8. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri ..................................................................................... 74 5.9. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Aktivitas Industri Agro ................... 75 5.10. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri .................................................................................... 77 5.11. Pendapat Industri Agro terhadap Kebijakan tentang Kawasan Industri .................................................................................... 80 5.12. Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait .............................. 95 5.13. Perhitungan Nilai Keterkaitan ............................................................... 97 6.1. Data Hasil Analisis AHP dari Alternatif AEIP ........................................... 109 6.2. Data Dasar Industri Berbasis Perikanan Laut yang Digunakan dalam Pemodelan .................................................................................. 120 6.3. Tahapan Pembangunan Industri Agro dan Fasilitas AEIP ...................... 123
xvii 6.4. Data Dasar Industri Berbasis Kelapa yang Digunakan dalam Pemodelan ................................................................................ 127 6.5. Data Dasar Industri Agro-Kompleks yang Digunakan dalam Model ....... 135 6.6. Data Dasar Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan ................................................................................. 136 6.7. Data Dasar Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan ................................. 138 6.8. Jumlah Industri Berbasis Perikanan Laut ............................................... 143 6.9. Hasil Simulasi Kondisi Ketersediaan dan Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut .................................................................. 144 6.10. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut Terhadap Kebutuhan Total dari AEIP .......................... 144 6.11. Hasil Simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Perikanan Laut ............ 145 6.12. Jumlah dan Waktu Pembangunan Industri Berbasis Kelapa ................ 145 6.13. Hasil Simulasi Kondisi Ketersediaan dan Kebutuhan Bahan Baku Kelapa (Setara Kopra) ..................................................... 146 6.14. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Kelapa Agro-EIP Terhadap Kebutuhan Total Provinsi Sulut ............................. 146 6.15. Nilai Produksi Industri Berbasis Kelapa................................................ 147 6.16. Jumlah Ternak Ayam, Sapi, dan RPH .................................................. 148 6.17. Hasil Simulasi Kebutuhan Pakan Industri Agro-Kompleks.................... 148 6.18. Nilai Produksi Industri Berbasis Agro-Kompleks .................................. 149 6.19. Potensi Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan ............................ 149 6.20. Nilai Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan ................................. 150 6.21. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan
Ikutan Industri Perikanan Laut............................................................... 151 6.22. Hasil Simulasi Limbah Cair dan Limbah Padat..................................... 152 6.23. Ketersediaan dan Penggunaan Darah Ikan, Feces, dan Urine ............. 153 6.24. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa.................................................................................. 154 6.25. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Paring Kelapa .... 154 6.26. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Tempurung Kelapa (Setara Arang Tempurung Kelapa) ....................... 155 6.27. Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Feces dan Urine Ternak, Darah Ikan, dan Produksi Kompos ....................................................... 156 6.28. Hasil Simulasi Perkiraan Kebutuhan Lahan AEIP ................................ 157 6.29. Penyerapan Tenaga Kerja AEIP .......................................................... 158 6.30. Keterkaitan Nilai Produksi AEIP dengan Pemanfaatan Bahan Ikutan dan Limbah Industri ....................................................... 159 7.1. Hasil Simulasi Penurunan Limbah dan Peningkatan Penggunaan Bahan Ikutan di dalam AEIP .................................................................. 166
xviii
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................ 6 2.1. Elemen dari Ekologi Industri yang Beroperasi pada Beberapa Level ........ 17 2.2. Proses Munculnya Prasarana Ekologi Industri .......................................... 20 2.3. Ekosistem Industri di Kalundborg, Denmark ............................................. 22 2.4. Konsep dan Skenario Pengembangan Pulau Sulawesi ............................ 32 2.5. Matriks Komunitas Spesies ...................................................................... 33 3.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat Model Pengembangan Agro-EIP ............. 37 3.2. Diagram Kotak Hitam Model Pengembangan Agro-EIP ............................ 38 3.3. Perumusan Masalah ................................................................................. 40 3.4. Diagram Alir Perancangan Model ............................................................. 41 3.5. Pendekatan Sistem Analisis ..................................................................... 42 3.6. Tahapan Penelitian ................................................................................... 43 3.7. Lokasi Penelitian ...................................................................................... 45 3.8. Ilustrasi Profil Industri (Diagram Aliran Materi Tahunan) ........................... 48 4.1. Struktur Perekonomian Kota Bitung tahun 2006 ....................................... 57 4.2. Distribusi penggunaan daya listrik di Kota Bitung Tahun 2005 .................. 59 5.1. Profil Industri Perikanan Laut (Diagram Aliran Materi Tahunan) .............. 65 5.2. Ilustrasi Profil Industri Kelapa (Diagram Aliran Materi Tahunan) ............... 67 5.3. Persepsi Warga Terhadap Manfaat Industri Agro ................................... 73 5.4. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Kenyamanan Tinggal di Sekitar Industri Agro .............................................................. 73 5.5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri.................................................................................... 74 5.6. Peta RTRW Provinsi Sulawesi Utara ...................................................... 84 5.7. Persetujuan masyarakat terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung ............................................................ 85 5.8. Persetujuan aparat pemerintah terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung .................................... 86 5.9. Kelembagaan Pengembangan Kawasan Industri......................................... 88 5.10. Pola Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait ...................... 96 6.1. Diagram Perumusan Faktor-faktor Penentu Pengembangan .................. 98 6.2. Matriks Daya Dorong-Ketergantungan untuk Elemen Tujuan Program
Pengembangan AEIP Bitung ....................................................................... 101 6.3. Diagram Model Struktural Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung ................................................................................................... 102 6.4. Posisi Sub-elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung di Dalam Empat Sektor ........................................................... 106 6.5. Diagram Model Struktural dari Elemen Kendala Utama Program
Pengembangan AEIP Bitung ....................................................................... 107 6.6. Struktur AHP Alternatif AEIP ...................................................................... 108 6.7. Nilai Keputusan Alternatif AEIP ................................................................... 109 6.8. Posisi Sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas di Dalam Empat Sektor ................................................................................................ 114
xix 6.9. Diagram Model Struktural dari Sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas .............................................................................................. 115 6.10. Parameter-parameter dalam Model AEIP Bitung ..................................... 118 6.11. Grafik Produksi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007 ......................................................................................... 121 6.12. Grafik Produksi Kelapa Setara Kopra Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007 ..................................................................................................... 122 6.13. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut ..................... 128 6.14. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Kelapa ................................... 129 6.15. Diagram Alir Sub-Model Industri Agro-Kompleks .................................... 130 6.16. Diagram Alir Sub-Model Sumber Energi Terbarukan .............................. 131 6.17. Diagram Alir Luas Lahan yang Dibutuhkan ................................................ 131 6.18. Diagram Alir Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan ................................. 132 6.19. Diagram Alir Penyerapan Tenaga Kerja ................................................... 133 6.20. Diagram Alir Nilai Produksi Agro-EIP ........................................................ 133 6.21. Perbandingan Data Faktual dan Hasil Simulasi Potensi Perikanan Laut Provinsi Sulut Secara Grafis ............................................................... 141 6.22. Perbandingan Data Faktual dan Hasil Simulasi Potensi Kelapa Provinsi Sulut Secara Grafis ....................................................................... 141 6.23. Grafik Penyerapan Tenaga Kerja Agro-EIP .......................................... 159 7.1. Percepatan adopsi konsep ekologi industri ............................................ 171
xx
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ................................................................... 182 2. Foto-foto Pengambilan Sampel Air ............................................................. 183 3. Foto-foto Survei Lapangan .......................................................................... 184 4. Hasil Analisis Sampel Air Sumur dan Sungai di Rencana Lokasi Kawasan Industri Kelurahan Tanjung Merah ............................... 188 5a. Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ................................................ 191 5b. Hasil Reachability Matrix (RM) Final Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ................................................ 192 6a. Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Kendala Utama Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ................................................ 193 6b. Hasil Reachability Matrix (RM) Final Kendala Utama Program ............... 194 7a. Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO) .............................................................. 195 7b. Hasil Reachability Matrix (RM) Final Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ............................................................... 196 8. Kuisioner untuk memilih Alternatif AEIP Prioritas ................................... 197 9 . Biodata Tenaga Ahli yang berpartisipasi dalam Expert Survey ............... 201 10. Struktur MP-AEIP Bitung ........................................................................ 203 11. Pola Keterkaitan Antar Industri di dalam MP-AEIP Bitung ...................... 204 12. Koefisien dan Persamaan-persamaan MP-AEIP Bitung ......................... 205
xxi
SINGKATAN-SINGKATAN
1. KI : Kawasan Industri
2. IE / EI : Industrial ecology / Ekologi Industri
3. EIP(s) : Eco-industrial park(s).
4. AEIP : Agro-eco-industrial park
5. AEIP Bitung : Agro-eco-industrial park Bitung
6. MP-AEIP Bitung : Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park Bitung
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Aktivitas industri manufaktur, termasuk di Indonesia, diibaratkan sebagai
dua sisi mata pisau karena menghasilkan produk industri yang dibutuhkan untuk
kehidupan, sekaligus menyebabkan pencemaran lingkungan. Pencemaran air
permukaan, air tanah, sungai, danau, dan laut oleh residu bahan kimia organik
maupun anorganik serta perubahan iklim global merupakan dampak langsung
maupun tidak langsung dari aktivitas tersebut. Diperlukan upaya sistematis
untuk mengatasi permasalahan tersebut, seperti perubahan pola hidup manusia
ataupun penerapan pendekatan pengelolaan aktivitas industri manufaktur secara
komprehensif.
Upaya untuk mengatasi pencemaran industri di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, dimulai sejak era tahun 1970an. Pendekatan utama
yang digunakan adalah command-and-control dengan orientasi end-of-pipe
(kebijakan dengan paradigma mengatasi masalah bukan mencegah terjadinya
masalah). Kritik banyak diberikan pada pendekatan ini terutama karena tidak
adanya insentif bagi pelaku industri untuk berbuat lebih baik dari yang
dipersyaratkan peraturan lingkungan. Juga, penanganan pencemaran industri
dilakukan tidak dalam konteks ”efektif dan efisien.” Para kritikus tersebut,
selanjutnya mengajukan pendekatan lain yaitu market-based incentives, seperti
tax, charges, subsidi, dan transferable discharge permits (TDP). Namun, kedua
pendekatan tersebut memandang sistem produksi industri manufaktur sebagai
suatu proses linear, di sisi yang satu adalah input sedangkan di sisi yang lain
adalah produk dan limbah industri.
Ekologi industri (industrial ecology) adalah disiplin ilmu yang
mensinergikan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial untuk mencapai tujuan
industri yang berkelanjutan (Chertow 1988). Ekologi industri merupakan disiplin
ilmu baru, yang memandang proses produksi industri manufaktur bukan sebagai
proses linear tetapi sebagai proses tertutup (closed-loop process). Pada tahun
1989, Frosch dan Gallopoulos mempopulerkan konsep ini dengan menyatakan
”kenapa tidak, sistem industri bertingkah-laku seperti sebuah ekosistem, dimana
limbah dari suatu spesies dapat menjadi input bagi spesies lain? Kenapa tidak,
output dari suatu industri menjadi input bagi industri lainnya, sehingga
2
mengurangi penggunaan bahan mentah, pencemaran, dan menghemat
perlakuan atas limbah?” (Frosch & Gallopoulos 1989 dalam
Implementasi dari konsep ekologi industri maupun EIP di negara-negara
berkembang perlu didahului oleh studi yang mendalam. Chiu dan Yong (2004)
menyarankan kepada negara-negara berkembang di Asia yang bermaksud
mengaplikasi model tersebut untuk terlebih dahulu melakukan kajian yang
mendalam dan merumuskan strategi yang sesuai, bukan menerapkan secara
mentah model yang telah dikembangkan di negara-negara maju. Sampai saat
Peck 1996).
Beberapa penelitian terhadap konsep ekologi industri telah dilakukan.
Korhonen (2001) melakukan studi terhadap industri perkayuan di Finlandia dan
menformulasi model pengembangan industri perkayuan yang meliputi faktor-
faktor: roundput, keragaman, saling ketergantungan dan lokalitas. Kassinas
(1997) menyimpulkan bahwa jaringan co-location dan inter-firm dapat
memperkuat kemampuan bersama perusahan maupun publik untuk
mendapatkan keuntungan lingkungan. Li (2005) menunjukkan bahwa konsep
ekologi industri dapat menjadi penyokong dicapainya keuntungan kompetitif jika
hambatan-hambatan seperti kesadaran perlindungan lingkungan dan kurangnya
tekanan terhadap kesadaran perlindungan lingkungan dan kurangnya kerjasama
antara usaha dapat dihilangkan. Juga ditemukan bahwa perlu adanya pemberian
fasilitas kepada sektor usaha industri melalui pendekatan fasilitatif.
Aplikasi konsep ekologi industri ke dalam konsep kawasan industri
melahirkan istilah eco-industrial park (EIP), dimana ”eco” merupakan integrasi
dari ekologi dan ekonomi (Ayres dan Ayres 2002; Li 2005). Pembangunan EIP
pertama dilakukan pada tahun 1995 di Amerika Serikat yang disponsori oleh the
US President’s Council for Sustainable Development. Sejak itu, konsep EIP
dikenal secara luas sebagai cara baru pengembangan industri (Koenig 2005).
Beberapa penelitian terhadap konsep EIP telah dilakukan. Hewes (2005)
menyatakan bahwa agar supaya konsepsi Industrial Symbiosis (IS) dan EIP
dapat terwujud maka keterkaitan manusiawi diperlukan. Hasil kajian dari Hewes
menunjukkan bahwa strategi yang paling berhasil dalam pengembangan IS dan
EIP bukan pada bagaimana memecahkan masalah teknis tapi bagaimana
membangun hubungan sosial, yang merupakan faktor yang sering kurang
diperhitungkan dalam ekologi industri. Geng (2004) mendapati bahwa
penggunaan air segar maupun pembuangan limbah cair di kawasan industri
dapat dihemat dengan biaya sistem yang minimal.
3
ini Indonesia belum mengembangkan strategi nasional bagi pengembangan
“eco-industrial park”.
Upaya untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia
antara lain dilakukan dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 24
tahun 2009 tentang Kawasan Industri yang merupakan revisi atas Keppres No.
41 tahun 1996 tentang Kawasan Industri. Tujuannya adalah untuk mempercepat
pertumbuhan industri di daerah, memberikan kemudahan bagi kegiatan industri,
mendorong kegiatan industri untuk berlokasi di kawasan industri, dan
meningkatkan upaya pembangunan industri berwawasan lingkungan. Revisi di
atas dilakukan karena tujuan-tujuan tersebut belum dapat dicapai secara optimal
Salah satu tujuannya yaitu mendorong kegiatan industri manufaktur untuk
berlokasi di kawasan industri belum tercapai secara optimal. Salah satu
indikator belum tercapainya tujuan di atas adalah tingginya tingkat pencemaran
udara atau tercemarnya sungai-sungai, khususnya di perkotaan. Terpencarnya
pabrik/industri menyulitkan pemerintah untuk melakukan pengawasan dan atau
penegakan hukum lingkungan (Kristanto 2002). Data menunjukkan bahwa hanya
sekitar 10 persen dari industri yang ada di Indonesia berada/berlokasi di dalam
kawasan industri. Kristanto berargumen bahwa upaya untuk mendorong
kegiatan industri berlokasi di suatu kawasan industri tidak dilengkapi dengan
instrumen penegakan hukum sehingga kurang optimal dalam pencapaian
sasarannya.
Pencemaran industri yang semakin besar, munculnya kesadaran dan
kebutuhan untuk mengatasinya, serta kebijakan pemerintah untuk menurunkan
tingkat pencemaran dengan cara merumuskan kebijakan penataan kawasan
industri yang baru merupakan momentum yang tepat untuk mengkaji model
pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi
Utara.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan: (1)
Sesuai Peta Arahan Kawasan Strategis Nasional menurut Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara 2007-2027, pengembangan Kawasan
Industri dilakukan di Koridor Bitung-Kema (Bappeda Kota Bitung, 2007). (2).
Lokasi penelitian terletak di wilayah yang memiliki infrastrukur yang sangat
memadai, antara lain sangat dekat Pelabuhan Laut Samudra Bitung (6 km),
Pelabuhan Udara Sam Ratulangi (48 km), jalan akses penghubung ke Manado,
(3) Perkembangan dan pertumbuhan industri di lokasi penelitian diduga kurang
4
memadai dari yang diharapkan, (4) Mulai adanya protes atas dampak negatif
dari aktivitas industri manufaktur, dan (5) Mulai bermasalahnya suplai bahan
baku, energi, dan air, serta (6) Implementasi Corporate Social Responsibility
(CSR) belum memadai.
1.2. Tujuan Penelitian 1.2.1. Tujuan Umum:
Membangun model pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP)
Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.
1.2.2. Tujuan Khusus 1. Mengevaluasi kondisi aktual dari industri agro/manufaktur di Kota Bitung.
2. Menganalisis program pengembangan AEIP Bitung.
3. Menganalisis implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan model AEIP
Bitung.
1.3. Kerangka Pemikiran
Rencana penelitian ini berangkat dari pemikiran bahwa mayoritas aktivitas
industri manufaktur konvensional saat ini bergantung sepenuhnya pada
kemajuan dan perubahan teknologi dan eksploitasi sumberdaya alam. Proses
produksi sumber daya alam menjadi bahan baku atau barang jadi dan
pemanfaatannya oleh konsumen telah menghasilkan limbah industri dalam
jumlah besar sehingga telah berakibat pada perubahan lingkungan global, hujan
asam, akumulasi logam berat, dan residu pestisida. Kesadaran akan peran
industri sebagai dua mata pisau (menghasilkan produk dan sekaligus
pencemaran) pada akhirnya mengkristal dan diadopsi menjadi salah satu
perhatian Perserikatan Bangsa Bangsa melalui pembentukan World Commision
on Environment and Development (WCED), yang merumuskan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) (Brundtland 1987).
Selanjutnya disebutkan dalam Brundtland Report, tantangan industri abad
ke-21 mengarahkan pada perubahan pemikiran atas hubungan antara
pembangunan industri dan perlindungan lingkungan, yang melahirkan konsep
industrial sustainability (pembangunan industri berkelanjutan), konsep yang
merujuk pada laporan dari WCED, yang selanjutnya melahirkan konsep ekologi
industri (industrial ecology). Aplikasi konsep ekologi industri ke dalam sistem
pemusatan industri (kawasan industri) melahirkan konsep Eco-Industrial Park
(EIP).
5
Aspek legal pengembangan industri manufaktur diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 24/2009 tentang Kawasan Industri. Salah satu poin
penting dari PP tersebut adalah dorongan kepada industri manufaktur untuk
berlokasi di dalam Kawasan Industri.
Potensi keuntungan teoritis dan pengalaman penerapannya di negara-
negara maju memunculkan tantangan untuk menerapkannya di negara-negara
berkembang. Jawaban terhadap tantangan tersebut perlu dilandasi oleh kajian
komprehensif, cermat, dan mendalam terhadap faktor-faktor seperti dasar-dasar
teoritis; batasan dan asumsi; situasi industri manufaktur terkait dengan kondisi
sosial, ekonomi, dan lingkungan; prinsip-prinsip ekologi industri, dan elemen-
elemen penyusun model, yang merupakan arsitektur dari model.
Sintesis terhadap arsitektur model menggunakan peralatan analisis seperti
ISM, AHP, dan Powersim menghasilkan Model Pengembangan AEIP Bitung.
Kerangka pemikiran penelitian yang berisi keterkaitan antara faktor-faktor di
dalamnya adalah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1.1.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan
pengembangan AEIP. Selain itu, output dari penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dan atau
pemangku kepentingan lain dalam rangka pengembangan industri, antara lain
melalui penerapan kebijakan pengembangan kawasan industri.
1.5. Novelty Nilai kebaharuan penelitian ini terletak pada kajian komprehensif terhadap
penyusunan Model Pengembangan AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara
melalui sintesis terhadap komponen-komponen penyusun arsitektur model.
6
Gambar 1.1. Kerangka Penelitian
Keberlanjutan Industri
Ekologi Industri
Kawasan Industri
MP-AEIP Bitung
Peralatan Analisis
Industri Manufaktur/ Agro di Kota
Bitung
Rekomendasi Kebijakan
Peraturan Perundangan (UU
No. 5/1985; PP 24/2009; UU 39/29;
PERDA, dll)
Implikasi Kebijakan
Eco-Industrial Park (EIP)
Tantangan Industri Abad XXI
Arsitektur Model
Dasar-dasar Teori
Prinsip-prinsip ekologi industri
Elemen Struktural
Batasan/ asumsi
Elemen Fungsional
Situasi Aktivitas Industri Agro
Tantangan Penerapan di
Negara-negara Berkembang
Sistem Produksi Industri Manufaktur
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan Komisi Lingkungan dan Pembangunan PBB (Komisi Brudtland) dalam
laporannya yang berjudul Our Common Future mendefinisikan pembangunan
berkelanjutan sebagai “upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini
tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang” (Brundtland 1987).
Namun, didalam definisi sederhana tersebut tidak secara eksplisit dicantumkan
kata pembangunan atau lingkungan.
Upaya-upaya untuk mengembangkan definisi tersebut di atas terus
dilakukan. Pada Konferensi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan Tahun
2002 di Johanesburg, definisi pembangunan berkelanjutan memasukkan tiga
pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan (Kates et al 2005). Kates et al
selanjutnya menulis bahwa walaupun definisi tersebut dengan cepat diadopsi,
tetapi tidak ada persetujuan menyeluruh tentang detail dari tiga pilar tersebut.
Cara lain untuk mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah
dengan melihat tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, United Nation
General Assembly mengadopsi 60 tujuan yang ingin dicapai meliputi
kemerdekaan, pembangunan, lingkungan, hak-hak azasi manusia, kaum yang
rentan, kelaparan, kaum miskin, Afrika, dan PBB (Kates et al 2005).
Cara lainnya untuk mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah
dengan cara mengukurnya (Kates et al 2005). Sebagai contoh, Commission on
Sustainable Development membangun 58 indikator pembangunan berkelanjut-
an. Indikator-indikator tersebut berupa iklim, udara yang bersih, produktivitas
lahan, produktivitas lautan, air segar, dan biodiversiti.
Disamping itu, mendefinisikan pembangunan berkelanjutan dapat
dilakukan melalui nilai yang mewakili atau yang mendukung model
pembangunan tersebut (Kates et al 2005). Deklarasi Millenium menyatakan
nilai-nilai fundamental yang penting bagi kerjasama dunia pada abad ke-21
adalah kebebasan, kesamaan hak, solidaritas, toleransi, penghormatan terhadap
alam, dan tanggung jawab bersama.
Hal yang paling penting adalah mendefinisikan pembangunan
berkelanjutan ke dalam praktek (Kates et al 2005). Praktek tersebut berupa
mendefinisikan konsep, membangun tujuan-tujuan yang ingin dicapai,
membangun indikator, dan membangun sistem nilai. Ini meliputi membangun
8
gerakan sosial, kelembagaan organisasi, mengaitkan antara ilmu pembangunan
berkelanjutan dengan teknologi, dan menegosiasi kompromi antara mereka yang
secara prinsip memperhatikan alam dan lingkungan, atau yang lebih
memperhatikan pembangunan ekonomi, dan yang lebih mendedikasikan diri
untuk peningkatan kondisi kemasyarakatan.
2.2. Sektor Industri Pengolahan/Manufaktur Bahasan dalam sub-bab ini, khususnya mengenai batasan dan pengertian,
visi dan misi pembangunan industri, kebijakan pembangunan industri, strategi
pembangunan industri, rencana pengembangan industri prioritas dalam
kerangka penataan ruang, peran pemangku kepentingan dalam pembangunan
kawasan industri, dan klasifikasi jenis industri, disarikan dari “Kebijakan
Pembangunan Industri Nasional” (Deperind 2005) dan beberapa sumber lain.
2.2.1. Batasan dan Pengertian Industri pengolahan/manufaktur adalah semua kegiatan ekonomi yang
menghasilkan barang dan jasa yang bukan tergolong produk primer. Yang
dimaksudkan dengan produk primer adalah produk-produk yang tergolong bahan
mentah, yang dihasilkan oleh kegiatan eksploitasi sumberdaya alam hasil
pertanian, kehutanan, kelautan, dan pertambangan, dengan kemungkinan
mencakup produk pengolahan awal sampai dengan bentuk dan spesifikasi teknis
yang standar dan lazim diperdagangkan sebagai produk primer (Deperind 2005).
2.2.2. Visi dan Misi Pembangunan Industri Visi pembangunan industri nasional dalam jangka panjang adalah
membawa Indonesia untuk menjadi “Sebuah negara industri tangguh di dunia,”
dengan visi antara, yaitu: “Pada tahun 2030 Indonesia menjadi Negara Industri
Maju Baru.” Dengan visi tersebut maka sektor industri antara lain mengemban
misi untuk “menjadi andalan pembangunan industri yang berkelanjutan melalui
pengembangan dan pengelolaan sumber bahan baku terbarukan.” Untuk
mencapai misi tersebut maka institusi pembina industri mengemban misi antara
lain “menjadi andalan pembangunan industri yang berkelanjutan melalui
pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam secara optimal dan
pemanfaatan sumber bahan baku terbarukan agar lebih menjamin kehidupan
generasi yang akan datang secara mandiri.”
9
2.2.3. Kebijakan Pembangunan Industri Salah satu dari tujuan pembangunan industri jangka pendek (2004-2009)
adalah untuk meningkatkan penyebaran industri. Hal ini dirumuskan mengingat
bahwa aktivitas industri saat ini sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa (Tabel 2.1.). Tujuan pembangunan sektor industri jangka panjang (2010-2025) meliputi: (a).
memperkuat basis industri manufaktur agar industri yang tergabung dalam
kelompok ini mampu menjadi industri kelas dunia (world class industry);
(b).meningkatkan peran industri prioritas agar menjadi modal penggerak
perekonomian nasional; dan (c). meningkatkan peran sektor industri kecil dan
menengah terhadap struktur industri, sehingga terjadi keseimbangan peran
antara industri besar dengan industri kecil dan menengah (Deperind 2005).
Tabel 2.1. Persebaran Industri di Indonesia
No WILAYAH/PROVINSI 1988 2003 Unit Usaha*) (%) Unit usaha*) (%)
I Jawa 1.418.895 61,95 1.893.78 62,50 1 DKI Jakarta 22.436 1,01 23.733 0,78 2 Jawa Barat dan Banten 314.014 13,71 387.983 12,80 3 Jawa Tengah 556.748 24,31 798.814 26,36 4 DIY 75.131 3,28 133.613 4,41 5 Jawa Timur 450.566 19,67 549.625 18,14 II Luar Jawa 871.394 38,05 1.136.342 37,50 1 Sumatera 288.829 12,61 381.611 12,60 2 Kalimantan 97.738 4,27 694.844 4,83 3 Bali/NTB/NTT 212.680 9,29 333.989 11,02 4 Sulawesi 173.543 7,58 246.614 8,14 5 Maluku/Papua 19.604 4,31 27.684 0,91 Indonesia (%) 2.290.289 100,00 3.030.116 100,00
Sumber: Deperind (2005). *) unit usaha kumulatif
2.2.4. Strategi Pembangunan Industri Strategi operasional pembangunan industri antara lain dilakukan dengan
fokus pada pemberian dorongan untuk pertumbuhan klaster industri prioritas.
Selanjutnya, untuk mengatasi ketimpangan persebaran industri maka ditetapkan
strategi operasional, yaitu penetapan prioritas persebaran pembangunan industri
ke daerah-daerah mendekati sumber bahan baku yang kegiatan industrinya
belum banyak berkembang, di daerah luar Pulau Jawa khususnya di Kawasan
Timur Indonesia dan daerah perbatasan (prioritas eco-regional).
2.2.5. Regulasi tentang Kawasan Industri Peraturan perundangan tentang Kawasan Industri telah mengalami
beberapa kali perubahan. Pertama, adalah Keppres No. 53 tahun 1989,
kemudian berubah menjadi Kappres No. 41 tahun 1996, dan yang terakhir
10
adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 2009. Khusus yang disebut
terakhir, diundangkan tanggal 3 Maret 2009, dan sesuai dengan Pasal 32 dari
PP tersebut, mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan.
Berikut dijelaskan mengenai definisi kawasan industri, perusahan industri,
kawasan peruntukan industri, dan tujuan pembangunan kawasan industri seperti
yang dimaksudkan di dalam PP No. 24 tahun 2009 tentang Kawasan Industri.
Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan
dikelola oleh Perusahan Kawasan Industri yang telah memiliki izin usaha
kawasan industri. Perusahan kawasan industri adalah perusahan yang
mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan industri. Perusahan
ini adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri di
wilayah Indonesia. Kawasan peruntukan industri adalah bentangan lahan yang
diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan (PP
No.24/2009).
Di dalam PP 24/2009 dinyatakan bahwa pembangunan Kawasan Industri
bertujuan untuk (a). mengendalikan pemanfaatan ruang, (b). meningkatkan
upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan, (c). mempercepat
pertumbuhan industri di daerah, (d). meningkatkan daya saing industri, (e).
meningkatkan daya saing investasi, dan (f). memberikan kepastian lokasi dalam
perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antara sektor
terkait.
Selanjutnya disebutkan di dalam PP 24/2009, pembangunan suatu
kawasan industri baru harus terintegrasi ke dalam pembangunan daerah dan
rakyat setempat. Pengembang harus melibatkan dan memprioritaskan
masyarakat yang lahannya dibebaskan untuk mendapatkan kesempatan
berusaha ditempat tersebut serta turut menikmati hasil pembangunannya.
Konversi lahan tidak perlu dalam bentuk pemberian uang tapi bisa dalam bentuk
saham kepada pemiliknya. Jadi, pendekatan yang harus dilakukan adalah
pendekatan pengembangan komunitas (community development).
Dari sudut pandang manajemen, kawasan industri dibagi menjadi kawasan
industri nonmanajemen dan kawasan industri manajemen. Kawasan industri
nonmanajemen mempunyai bentuk lahan Peruntukan Industri, Kantong Industri,
dan Sentra Industri Kecil. Dalam sistem ini, masing-masing perusahan industri
11
mengelola industrinya sendiri-sendiri. Kawasan industri manajemen ditandai
oleh manajemen pengelola kawasan industri yang dibedakan menurut skala
usaha industrinya, yaitu: Kawasan Industri (industrial estate), Kawasan Berikat
(export processing zone), dan kompleks industri (industrial complex); dan Usaha
industri kecil, yang bentuknya berupa Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK),
Permukiman Industri Kecil (PIK), dan Lingkungan Industri Kecil (LIK).
Pengelola Kawasan Industri adalah perusahan pengelola kawasan industri,
yang berkewajiban melakukan kegiatan: penyediaan/penguasaan tanah,
penyusunan rencana tapak tanah, rencana teknis kawasan, penyusunan
AMDAL, penyusunan tata tertib kawasan industri, pematangan tanah,
pemasaran kavling industri, dan pembangunan serta pengadaan prasarana dan
sarana penunjang termasuk pemasangan instalasi/peralatan yang diperlukan.
2.2.6. Perkembangan Kawasan Industri Kemajuan industri di banyak negara antara lain disumbang oleh eksistensi
kawasan industri. Ada dua hal yang harus menjadi pokok perhatian dalam
pengembangan kawasan industri, yaitu pengembang dan kebijakan
pengembangan kawasan industri (Dirdjojuwono 2004). Peran pemerintah pusat
dalam pengembangan kawasan industri di beberapa Negara Asia, seperti Korea
Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Thailand sangat dominan
(Tabel 2.2.).
Tabel 2.2. Peran Pemerintah dan Swasta dalam Pengembangan Kawasan Industri di Beberapa Negara Asia
Negara Pemerintah Swasta Malaysia, 285 KI Jepang Korea Selatan, 300 KI Taiwan Singapura Thailand, 27 KI Filipina, 20 KI Indonesia, 203 KI
78% (pusat dan lokal) 85%
70% (pusat dan lokal) 90% 85% 48%
30% (pusat dan lokal) 6% (pusat dan lokal)
22% 15% 10% 10% 15%
52% (kerjasama pemerintah dan swasta)
70% 94%
Sumber: ULI (1975) dalam Dirdjojuwono (2004) Ket: persentasi menyatakan kontribusi dalam bentuk penanaman modal
Pengembangan industri di luar negeri dilakukan dengan beberapa alasan:
(1) Kawasan Industri merupakan alat pemerataan (over population di kota-kota
besar dan kurang di daerah pinggiran), (2) Pemerintah beranggapan bahwa
investasi di kawasan industri sama dengan investasi fasilitas umum, dan (3)
12
Swasta lebih berorientasi profit dan tidak mungkin dibebani tugas-tugas
pemerataan dan fasilitas umum (ULI 1975 dalam Sagala 2003). Di Indonesia,
pengembangan kawasan industri dimulai sejak tahun 1970, dengan mengemban
dua misi besar, yaitu: (1) merangsang tumbuhnya iklim industri, (2) menjadi
sarana bagi pengaturan ruang (Sagala 2003).
Tingkat utilitas Kawasan Industri yang masih rendah di Indonesia karena
pengembangannya masih berorientasi real estate (profit). Hal ini terlihat dari
perbandingan harga jual lahan dengan harga pokok sebesar 4-6 kali. Di Korea,
pemerintah menetapkan harga jual lahan di dalam kawasan industri tidak lebih
dari 1,2 kali harga pokok. Secara umum dinegara industri, harga jual lahan
ditetapkan 1,2-1,3 kali harga pokok (Sagala 2003).
Setelah diundangkannya Keppres 53/1989, dunia usaha dalam dan luar
negeri diperbolehkan mengembangkan kawasan industri. Oleh karena itu terjadi
“rush” sehingga direncanakan dibangun 203 KI dengan luas 66.771 ha di 20
Provinsi. Namun, bagi sebagian provinsi, rencana pengembangan kawasan
industri hanya merupakan euphoria belaka (Tabel 2.3.).
Tabel 2.3. Jumlah dan Luas Kawasan Industri (s/d 2000)
No
Provinsi
Jumlah Kawasan Industri
Luas (ha)
Rencana Terkuasai Dimatang-
kan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Sumatera Selatan Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimanan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Maluku Irian Jaya
2 11 1
19 1 1 4
103 14 1
33 1 2 2 2 2 1 1 1 1
470 2.578 150
14.517 1.442 300
1.149 32.986 3.186
50 7.044 117 495 190 730 243 100 703 120 200
0 1.262 108
1.236,5 0
126,8 1.009,3
12.681,63 955,78
0 1.933,51
0 0 0
230 0 76
265,5 0 0
0 980 108
281,5 0
126,8 1.009,3 7.522,39 619,78
0 1.233
0 0 0
51,5 0 76
203 0 0
Jumlah 203 66.771 19.885,02 12.741,28
13
Sesuai dengan data pada Tabel 2.3., bagi daerah-daerah tertentu, termasuk
Provinsi Sulawesi Utara, permintaan yang terjadi sampai dengan tahun 1995
masih merupakan euphoria belaka dalam menyambut dibukanya kesempatan
bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengembangan kawasan industri.
Data sampai dengan Tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah Kawasan
Industri yang aktif di Indonesia berjumlah 88 buah dengan total areal 27.250 ha
yang tersebar di 24 kabupaten/kota, dengan tingkat utilitas 42% (8.000 ha) dan
jumlah industri 6.000 buah atau 10% dari total industri yang ada di Indonesia
(Jawa Post Online, 21 September 2006). Dengan diundangkannya PP No. 24
tahun 2009 tentang Kawasan Industri diharapkan akan meningkatkan utilitas
kawasan industri dan merangsang munculnya kawasan-kawasan industri baru di
seluruh provinsi yang ada di Indonesia.
Upaya penyebaran industri ke luar Pulau Jawa menghadapi beberapa
masalah dan kendala, yaitu (Deperind 2005):
• Adanya kecenderungan peningkatan harga lahan yang tinggi jika diindikasikan
rencana kegiatan pembangunan kawasan;
• Infrastruktur pendukung kawasan industri di daerah seperti: jaringan jalan,
pelabuhan, penyediaan listrik, air bersih, fasilitas pengolahan limbah,
telekomunikasi, penyediaan tenaga kerja dan permodalan belum memadai;
• Transportasi darat, laut dan udara untuk kelancaran arus barang masih belum
effisien sehingga seringkali menimbulkan biaya tinggi, atau mengurangi minat
penanaman modal;
• Belum ada insentif khusus bagi pengembang kawasan industri maupun industri
yang berlokasi di dalam kawasan industri;
• Belum ada peraturan yang jelas mengatur kewenangan pusat dan daerah
dalam pengembangan kawasan industri;
• Keterkaitan antar zona industri sering terganggu oleh peraturan daerah
masing-masing.
Itu sebabnya, hingga saat ini persebaran unit usaha industri masih sangat
timpang antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia
(KTI). Lebih dari 90% unit usaha industri berlokasi di KBI, terutama di Provinsi
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Provinsi lain yang
memiliki unit usaha cukup besar adalah Sumatera Utara (6%), sedangkan
14
provinsi di KTI yang mempunyai unit usaha yang cukup besar adalah Sulawesi
Selatan (Dirdjojuwono 2004).
2.2.7. Pengembangan Industri di Kota Bitung Menurut Peta Arahan Kawasan Strategis Nasional sesuai Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara 2007-2027, pengembangan
Kawasan Industri dilakukan di Koridor Bitung-Kema (Bappeda Kota Bitung,
2007). Koridor Bitung-Kema merupakan bagian dari Koridor Manado-Bitung yang
telah mendapat perhatian pemerintah secara serius, antara lain dengan
dibentuknya Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) Manado-Bitung. Visi yang
diemban oleh institusi ini adalah merealisasikan kawasan ekonomi terpadu
Manado-Bitung sebagai pusat pengembangan industri, komersial, dan
jasa.
Tabel 2.4. Peran Pemangku Kepentingan dalam Persebaran Industri dan Pengembangan Kawasan Industri
Kegiatan Pemerintah Pusat Pemda Swasta 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Menetapkan WPPI dan Zona Industri √ √ √
2 Menetapkan tata ruang regional √
3 Menyusun pedoman teknis KI √
4 Menetapkan lokasi KI √ 5 Menerbitkan ijin KI √ √ 6 Membentuk konsorsium
pendanaan (DN dan LN) untuk pembangunan
√ √ √
7 Membangun infrastruktur (jaringan jalan, aliran listrik, telepon, gas, pengolahan air)
√ √ √ √ √ √ √
8 Membangun kemitraan dengan berbagai kegiatan dalam klaster industri
√ √ √ √ √
9 Menjamin kelancaran arus barang dan keamanan √ √ √
10 Menjamin ketersediaan lahan dan keamanan kawasan
√ √
11 Memantau dan mengawasi KI √ √
12 Membina KI √ √ √ Sumber: Deperind (2005). Keterangan:1 = Departemen Perindustrian 6=Departemen PU (Kimpraswil)
2 = Departemen Perdagangan 7=Departemen ESDM 3 = Departemen Dalam Negeri 8=Provinsi 4 = Departemen Perhubungan 9=Kabupaten/Kota 5 = Departemen Keuangan
15
Misi KAPET Manado-Bitung antara lain adalah untuk merealisasikan
kawasan tersebut sebagai pusat industri agro dan industri manufaktur. Strategi
yang digunakan untuk mencapai misi tersebut adalah wilayah Manado-Bitung
difokuskan untuk pengembangan industri skala menengah dan besar.
Disamping itu, mengembangkan industri yang berorientasi bahan baku sehingga
dapat berkompetisi dengan wilayah lainnya di Indonesia (KAPET Manado-Bitung
2007).
Di Koridor Bitung-Kema direncanakan untuk dibangun Kawasan Industri
pada satu hamparan lahan seluas 98 ha yang terletak di Kelurahan Tanjung
Merah, Kecamatan Matuari. Status lahan adalah tanah Milik Negara. Lahan
tersebut merupakan lahan dengan topografi relatif datar dan subur, ditandai oleh
pertumbuhan tanaman kelapa dan palawija yang produktif. Luasan lahan masih
mungkin untuk diperbesar hingga mencapai 512 hektar karena lahan
disekitarnya saat ini masih dimanfaatkan sebagai kebun kelapa milik
masyarakat.
2.2.8. Peran Pemangku Kepentingan dalam Pembangunan Kawasan Industri
Keberhasilan dari program penyebaran industri ke luar Pulau Jawa dapat
dicapai antara lain apabila terdapat koordinasi yang baik antara pemangku
kepentingan. Secara rinci peran masing-masing pemangku kepentingan dalam
rangka persebaran industri dan pengembangan kawasan industri adalah seperti
pada Tabel 2.4.
2.2.9. Lokasi Kawasan Industri Bentuk lokasi industri yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam
pelaksanaan otonomi daerah adalah lahan peruntukan industri dan kawasan
industri untuk industri skala menengah dan besar, sedangkan untuk industri
kecil/kerajinan adalah perkampungan industri kecil (PIK) (Dirdjojuwono 2004).
Bagi industri menengah dan besar, pengembangan lokasi industri terjadi sejalan
dengan permintaan lahan. Pada tahap awal, alokasi lahan akan berupa
peruntukan lahan industri. Apabila permintaan lahan bertambah maka peluang
untuk membangun kawasan industri akan muncul.
Menurut Sagala (2004), peluang pengembangan kawasan industri di
Kabupaten/Kota dapat terealisasi apabila tingkat realisasi investasi di daerah
tersebut mencapai 6-10 buah per tahun. Suatu kawasan industri yang lengkap
16
dengan infrastrukturnya layak dikembangkan pada lahan seluas 20 ha dengan
waktu pengembalian 3 tahun atau dengan tingkat permintaan lahan 7-10 ha per
tahun atau identik dengan pertumbuhan industri 5-7 buah per tahun (REI
Indonesia). Bagi daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan investasi di bawah
itu, kemungkinan pengembangan yang dapat dilakukan adalah dalam bentuk
lahan peruntukkan industri (Sagala 2004).
2.2.10. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Penjelasan mengenai KEK di bawah ini diangkat dari UU No. 39 Tahun
2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. KEK adalah kawasan dengan batas
tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh
fasilitas tertentu. Insentif yang diberikan adalah fasilitas PPh, pengurangan PBB
kepada penanam modal, dan fasilitas barang impor. Pengembangan KEK
bertujuan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai model
terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi, antara lain
industri, pariwisata, dan perdagangan sehingga dapat menciptakan lapangan
pekerjaan.
Kawasan tersebut dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri,
ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan
geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri,
ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
daya saing internasional. Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus
memenuhi kriteria: (a) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak
berpotensi mengganggu kawasan lindung; (b) pemerintah provinsi/kabupaten
/kota yang bersangkutan mendukung KEK; (c). terletak pada posisi yang dekat
dengan jalur perdagangan internasional atau dekat dengan jalur pelayaran
internasional di Indonesia atau terletak pada wilayah potensi sumber daya
unggulan; dan (d). mempunyai batas yang jelas.
KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona, yaitu (a) pengolahan ekspor;
(b) logistik; (c). industri; (d). pengembangan teknologi; (e). pariwisata; (f). energi;
dan/atau, (g) ekonomi lain.
17
2.3. Ekologi Industri 2.3.1. Pengertian Ekologi Industri
Ekologi industri (industrial ecology) merupakan suatu konsep yang
“provocative” dan “oxymoronic” (frase yang mengkombinasikan dua kata yang
kelihatannya bertentangan satu dengan lainnya) (Lifset and Graedel 2002).
White (Lifset and Graedel 2002) mendefinisikan ekologi industri sebagai “studi
tentang aliran-aliran materi dan energi dari aktivitas industri dan konsumen, dan
dampak dari aliran-aliran tersebut terhadap lingkungan, dan pengaruh dari
faktor-faktor ekonomi, politik, regulasi, dan sosial terhadap aliran, penggunaan,
dan transformasi dari sumberdaya.” Elemen kunci ekologi industri adalah (Lifset
and Graedel 2002):
• analogi biologi
• penggunaan perspektif sistem
• peran dari perubahan teknologi
• peran perusahan/industri
• dematerialisasi dan eco-efisiensi, dan
• penelitian dan aplikasi yang berorientasi masa depan.
Elemen-elemen kunci tersebut dapat diintegrasi ke suatu gambaran yang lebih
luas, misalnya dari segi operasional ekologi industri pada beberapa level
(Gambar 2.1.).
Gambar 2.1. Elemen dari ekologi industri yang beroperasi pada beberapa level
(Lifset and Graedel 2002)
Indigo Development (ID) (2005) menyatakan bahwa ekologi industri (EI)
masih dalam tahapan formulasi, dengan beragam definisi dan area aplikasi yang
Keberlanjutan
Ekologi Industri
Level industri: • desain untuk lingkungan • pencegahan pencemaran • eco-efisiensi • akuntansi “hijau”
Antar industri: • eco-industrial parks
(industrial symbiosis) • siklus hidup produk • inisiatif sektor industri
Regional/global: • budjet dan siklus • studi aliran materi
dan energi • dematerialisasi dan
dekarbonisasi
18
bervariasi. Suatu konsensus telah dicapai pada beberapa isu, tetapi masih ada
perbedaan yang kritis di beberapa area diantara ahli-ahli ekologi industri.
Beberapa definisi dari ekologi industri menurut Indigo Development (2005)
adalah:
- EI adalah suatu pendekatan sistem menggunakan metode-metode ilmu sistem
untuk analisis dan sintesis.
- Pendekatan sistem ini memiliki fokus pada interaksi sistem industri dan sistem
ekologi (lokal sampai global).
- EI berupaya untuk mendisain ulang aktivitas industri untuk mengurangi
dampak ekologi dari aktivitas manusia ke level yang dapat diterima oleh sistem
alam.
- EI adalah interdisipliner, menghubungkan penelitian dan perencanaan di
banyak bidang ilmu, termasuk ekologi, enjinering, ekonomi, manajemen bisnis,
administrasi dan hukum publik, dan lainnya.
- EI mempelajari aliran materi dan enersi didalam ekonomi, yang berkisar dari
industri dan fasilitas publik ke planet. Ia mencari strategi untuk meningkatkan
efisiensi dan mengurangi dampak dari aliran tersebut (studi ini biasanya
disebut “industrial metabolism”).
- EI mencari transformasi dari ekonomi linear yang banyak limbahnya ke sistem
produksi dan konsumsi yang tertutup. Dalam sistem ini, buangan industri,
pemerintah, dan konsumen akan digunakan kembali, didaur ulang, dan dibuat
kembali ke nilai tertinggi yang mungkin.
- EI memungkinkan pembuatan inovasi jangka pendek dengan pertimbangan
dampak jangka panjangnya. Sama halnya, itu memungkinkan pengambil
keputusan lokal mempertimbangkan dampak regional maupun global.
- EI adalah suatu cara untuk menyeimbangkan perlindungan lingkungan dengan
kelangsungan hidup ekonomi dan bisnis. Keseimbangan ini harus dinamis,
dan adaptif terhadap pengetahuan baru tentang dampak industri dan respons
alam.
EI adalah suatu komponen utama dalam “ilmu keberlanjutan” dengan
peran untuk mendisain jalur transisi untuk aktivitas industri. Itu memberikan
suatu landasan tujuan (walaupun kompleks) untuk mengkoordinasi disain dari
kebijakan publik dalam realitas lingkungan dan teknik.
19
2.3.2. Tujuan Ekologi Industri Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan ekologi industri adalah
untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas lingkungan (Lifset and
Graedel 2002). Ekologi industri menekankan pada optimasi aliran sumberdaya.
Bidang ilmu ekologi industri adalah positif dan sekaligus normatif. Positif-ekologi
industri mencoba untuk menggambarkan interaksi manusia dengan lingkungan,
tapi bukan untuk merubahnya. Normatif-untuk beberapa derajat tertentu
membaiknya interaksi manusia dengan lingkungan merupakan bagian dari
tujuan ekologi industri.
Terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai ekologi industri
khususnya dalam cakupan dan penekanannya (Indigo Development 2005).
- Skala waktu: beberapa ahli ekologi industri menekankan pada perubahan yang
perlahan dalam sistem yang ada, yang lain menghendaki transformasi yang
lebih luas dalam industri dan kemasyarakatan.
- Model ekosistem: bagi beberapa ahli, tema yang sangat populer adalah
modeling sistem industri berdasarkan prinsip dan dinamika dari ekosistem.
Tetapi, beberapa ahli ekologi industri dan insinyur mempertanyakan kegunaan
dari pendekatan itu.
- Aliran material: beberapa ahli ekologi industri memberi fokus pada tugas untuk
meningkatkan efisiensi dan menurunkan dampak dari aliran material pada
industri dan masyarakat. Pada beberapa artikel, keseluruhannya membahas
lebih dari itu.
- Lingkup aplikasi: banyak diskusi berkonsentrasi pada perubahan dalam
industri manufaktur sementara yang lain menyatakan EI sesuai untuk
pertanian, jasa, dan industri finansial, termasuk desain dan manajemen dari
kebijakan publik, infrastruktur dan operasional fasilitas. Beberapa ahli
memperluas domain dari EI ke bidang perilaku konsumen.
- Konsep keanekaragaman, daya dukung, dan restorasi mendapat penekanan
dari peneliti universitas tetapi jarang disinggung oleh ahli ekologi industri yang
lebih berorientasi teknis.
- Beberapa ahli melihat perubahan institusi sebagai komponen fundamental dari
EI. Yang lain menekankan pada inovasi teknis.
- Pilihan material: perpindahan dari material sintetis tidak terbarukan menjadi
bio-material yang terbarukan merupakan pusat perhatian dari beberapa ahli
20
ekologi. Yang lainnya lebih menekankan pada peningkatan kinerja lingkungan
dari material berbasis minyak bumi dan bahan sintetis lainnya.
Ekologi industri merupakan penelitian saintifik dan juga suatu kerangka
untuk mendesain dan mengambil keputusan pada sektor publik dan pemerintah.
Kedua aspek ini harus dilihat sebagai sesuatu yang saling melengkapi bukan
yang berbeda. Keduanya perlu dihubungkan dengan erat untuk memastikan
suatu basis yang baik untuk aplikasi dan penelitian yang berlanjut dari hasil-hasil
proyek-proyek EI.
2.3.3. Peran Ekologi Industri Keterbatasan sumberdaya di masa yang akan datang - yang tidak dapat
diatasi oleh kemajuan teknologi - memberi kesadaran atas kebutuhan untuk
peningkatan yang siknifikan atas efisiensi penggunaan sumberdaya alam.
Peningkatan level konsumsi sampai batas kapasitas bumi membutuhkan
peningkatan yang dramatis dalam efisiensi penggunaan sumberdaya.
Pengurangan yang substantif dalam jumlah sumberdaya yang digunakan per
unit output disebut dematerialisasi (dematerialization). Salah satu strategi yang
sedang dipelajari untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya, seperti
yang dilakukan di Jerman, adalah ecological tax reform (Peck 1996). Hasil
Gambar 2.2. Proses munculnya prasarana ekologi industri (Peck 1996)
Prasarana industri eksisting
Prasarana ekologi industri
Waktu
Pem
enuh
an k
eten
tuan
In
isia
tif d
aur u
lang
seb
agia
n P
enge
mba
ngan
per
alat
an
man
ajem
en
Dau
r ula
ng y
ang
terb
angu
n se
mpu
rna
Per
ubah
an s
ikni
fikan
dal
am
prod
uk d
an p
enge
mas
an
Ling
kung
an y
ang
terin
tegr
asi
penu
h di
dal
am b
uday
a pe
rusa
han
Pen
gem
bang
an e
kosi
stem
in
dust
ri da
n si
nerg
ik
Eko
logi
indu
stri
penu
h
21
kajian menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumen pada tahun
2040, perlu peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya sampai 90%.
Sebagai contoh, bila sebuah mobil saat ini mempunyai rasio penggunaan bahan
bakar 1 liter untuk 100 km jarak tempuh, maka pada tahun 2040 diperlukan
kendaraan yang memiliki efisiensi penggunaan bahan bakar sebesar 1 liter untuk
1000 km jarak tempuh. Ekologi industri merupakan pendekatan yang potensial
untuk melakukan dematerialisasi ekonomi global (Peck 1996).
Ekologi industri menekankan pada perumusan kebijakan publik, sistem
teknologi dan manajerial yang memfasilitasi dan mempromosi produksi dalam
bentuk yang lebih koperatif. Mengimplementasi ekologi industri meliputi life
cycle analysis, prosesing tertutup, penggunaan kembali dan daur ulang,
mendisain lingkungan dan pertukaran limbah. Diasumsikan bahwa ekonomi
yang efisien yang beroperasi secara harmoni dengan sistem alam tidak akan
menghasilkan limbah. Gambar 2.2. mengilustrasikan perubahan proses
industrialisasi ke prasarana ekologi industri secara penuh (Peck 1996).
Tabel 2.5. Empat Tipe Teknologi Lingkungan yang Diperlukan untuk Memfasilitasi Pencapaian Tingkat Infrastruktur Ekologi Industri
Tititk penerapan Karakteristik Contoh-contoh Teknologi remediasi
• Gejala • Sumberdaya dan
lingkungan yang mengalami kerusakan
• Setelah fakta terjadi • mahal • berkisar antara teknologi
rendah sampai teknologi tinggi
• Remediasi tanah • Pembersihan lahan yang
tercemar • Perlakuan air
Teknologi Penanggulangan
• Akumulasi limbah atau perlakuan end-of-pipe
• Akumulasi atau perlakuan terhadap limbah sebelum dibang
• Memakan modal, energy, dan sumberdaya
• Menghasilkan aliran limbah • Agak mahal
• Penghilangan gas sulfur • Pusat pengolahan limbah
cair • catalytic mufflers
Teknologi pencegahan pencemaran
• desain proses industri
• desain produk atau komposisi
• Merubah produk atau proses atau mengurangi atau menghindari limbah
• Biaya lebih hemat dibanding metode penanggulangan
• Mengurangi aliran limbah
• Kertas bebas klorin • Elektroplating bebas
sianida • Bahan bakar bebas
timbal • Desai proses industri
Teknologi berkelanjutan
• produk atau jasa alternatif
• Manfaat ganda: efisiensi lingkungan, ekonomi, sosial, dan sumberdaya
• Penerangan yang efisien • Daur ulang kertas • Energi terbarukan • Kosmetik dan obat
dengan bahan dasar alami
Sumber: Thompson Gow and Associates, 1995 Environmental Scan. Winnipeg: Canadian Council of Ministers on the Environment, 1995) dalam Peck (1996).
Seperti salah satu definisi ekologi industri yang dikemukakan sebelumnya
disebutkan bahwa ekologi industri merupakan pertukaran material diantara
sektor industri yang berbeda dimana limbah dari suatu industri menjadi input
22
untuk yang lainnya. Sebagai contoh, ekses dari fasilitas generator listrik dapat
digunakan sebagai input oleh industri sement portland (Gambar 2.3.).
Peck selanjutnya menyatakan bahwa untuk mencapai level prasarana
ekologi industri, diperlukan adanya kemajuan teknologi. Empat generasi
teknologi lingkungan telah diidentifikasi, yaitu: remediasi, penanganan,
pencegahan pencemaran, dan teknologi berkelanjutan (Tabel 2.5.).
Gambar 2.3. Ekosistem industri di Kalundborg, Denmark (Peck 1996).
2.3.4. Ekologi Industri dan Klaster Industri Desrochers (2001) menyebutkan klaster industri sebagai salah satu
sebutan lain dari konsep eco-industrial parks (EIPs). Namun, berdasarkan
content analysis dari definisi-definisi klaster industri maupun ekologi industri di
atas dapat disimpulkan bahwa kedua konsep bukan merupakan konsep yang
sama. Selanjutnya, merujuk pada definisi yang digunakan oleh Departemen
Perindustrian RI, maka dapat disimpulkan bahwa EIP dapat merupakan bagian
dari klaster industri. Hal ini karena, dari segi luasan areal, satu klaster industri
dapat meliputi beberapa kota yang terfragmentasi dengan cakupan wilayah yang
sangat luas; sedangkan EIP dipersyaratkan sebagai hamparan lahan yang
kompak dengan luasan minimal 20 ha atau lebih. Disamping itu, dalam konsepsi
23
klaster industri tercakup institusi seperti perbankan atau institusi terkait lainnya
yang bukan merupakan bagian dari industri manufaktur.
Dengan demikian, penelitian ini berangkat dari argumentasi bahwa konsep
klaster industri dan ekologi industri bukan merupakan konsep yang sama tetapi
saling menunjang, dimana ekologi industri sebagai suatu metode yang dapat
memperkuat atau menunjang pendekatan klaster industri. Yang disebut terakhir
merupakan pendekatan yang sedang digunakan oleh Departemen Perindustrian
dalam pengembangan industri pengolahan/manufaktur nasional.
2.3.5. Ekologi Industri dan Produksi Bersih Produksi bersih (clean atau cleaner production) adalah suatu pendekatan
manajemen lingkungan yang bertujuan untuk merangsang proses, produk dan
jasa baru yang lebih bersih dan lebih efisien dalam penggunaan sumberdaya.
Konsep ini memberi tekanan pada pendekatan pencegahan dan memperhatikan
dampak yang ditimbulkan pada seluruh siklus hidup dari produk dan jasa
(Jackson dalam Ayres and Ayres 2002).
Ada resonansi yang jelas antara ekologi industri dan produksi bersih.
Keduanya dimotivasi oleh perhatian terhadap dampak lingkungan yang semakin
meningkat dari sistem ekonomi industri. Keduanya muncul pada saat yang
hampir bersamaan sebagai hasil dari proses evolusi manajemen lingkungan.
Survei terhadap literatur menegaskan adanya tumpang tindih antara kedua
model tersebut. Produksi bersih mengklaim bahwa ekologi industri merupakan
bagian dari model tersebut.
Penekanan yang diberikan oleh produksi bersih (seperti yang terdapat
dalam program United Nation Environmental Program, UNEP) terletak pada
teknologi proses, seperti pencegahan pencemaran dan minimalisasi limbah
(Jackson dalam
Perbedaan akan jelas apabila melihat interpretasi yang sempit dari kedua
konsep. Sementara kedua konsep menekankan pada efisiensi material,
produksi bersih memberi peran yang setara pada reduksi bahan beracun
berbahaya (B3) melalui substitusi, dengan menyarankan pengurangan atau
Ayres and Ayres 2002). Di lain pihak, ekologi industri memberi
perhatian pada penggunaan atau penggunaan kembali limbah yang dihasilkan
oleh satu industri untuk digunakan sebagai input bagi industri lainnya. Tujuan
dari ekologi industri adalah untuk mengurangi dampak sistem industri terhadap
lingkungan atau untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Di bawah definisi
yang luas ini, kedua model sangat mirip.
24
pelarangan penggunanaan beberapa bahan toksik. Selanjutnya, produksi bersih
diasumsikan dilakukan secara mandiri oleh industri secara individual. Ekologi
industri lebih menekankan pada hubungan yang lebih kuat antara industri, dan
karenanya memerlukan kerangka kerjasama yang erat diantara para pelaku.
Produksi bersih telah mendapatkan peran khusus di dalam sistem regulasi.
Di lain pihak, ekologi industri tidak sedang diarahkan oleh inisiatif regulasi, tapi
beroperasi dengan dasar kerjasama industri, yang terutama dipicu oleh
keuntungan ekonomis dari penggunaan kembali sumberdaya.
Kedua konsep dapat saling belajar dari satu sama lain. Sebagai contoh,
ekologi industri dapat belajar dari produksi bersih tentang pentingnya kerangka
“substitusi.” Di lain pihak, bergantung sepenuhnya pada strategi pencegahan
pencemaran secara individual sepertinya tidak akan mengarahkan pada efisiensi
material atau dematerialisasi pada sistem yang luas atau level makro ekonomi.
Jadi, produksi bersih dapat belajar dari ekologi industri tentang pentingnya
hubungan kerjasama antara industri untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan.
Kedua konsep berargumen memberikan strategi operasional untuk
pembangunan berkelanjutan. Namun yang penting adalah bagaimana
membangun dan mengoperasionalkan konsep masing-masing untuk mencapai
tujuan tersebut.
2.3.6. Eco-Industrial Parks (EIPs) Ekosistem industri regional dapat didefinisikan sebagai “eco-industrial
parks” atau biasa disingkat EIPs. Dengan kata lain, EIP merupakan aplikasi dari
konsep ekologi industri. The United States President’s Council on Sustainable
Development menyatakan EIP sebagai “suatu sistem industri dimana terjadi
pertukaran material dan enersi secara terencana dan berupaya untuk
menurunkan penggunaan bahan baku dan enersi, menurunkan limbah, dan
membangun hubungan keberlanjutan antara ekonomi, ekologi, dan sosial”
(Korhonen 2001).
Konsep EIP masih dalam tahapan awal pengembangan. Gibbs and Deutz
(2005) menyatakan bahwa membangun EIP merupakan suatu pekerjaan yang
sulit. Di negara maju seperti Amerika Serikat, pengembangannya baru dimulai
sejak tahun 1995. Studi yang dilakukan tahun 2002 mencatat ada sekitar 34
buah ”eco-industrial park” di Amerika Serikat, dimana yang beroperasi sebanyak
25
6 kawasan, dalam tahap konstruksi 5 kawasan, dalam tahap perencanaan
sebanyak 7 kawasan, sedangkan yang dinyatakan gagal (atau kembali menjadi
kawasan industri konvensional) sebanyak 16 kawasan (Gibbs and Deutz 2005).
Adanya kegagalan diatas antara lain disebabkan oleh dominasi pemerintah
dalam pembangunan tersebut (public-planning). Padahal, pembangunan “eco-
industrial park” yang ”kiblatnya” adalah ekosistem industri di Kalunborg,
Denmark, dibangun oleh karena adanya kesepakatan antara perusahan-
perusahan dengan orientasi keuntungan (private-planning) (Desrochers 2001).
Sebagai jalan tengah, Desrochers mengusulkan perpaduan antara kedua sistem
perencanaan diatas, yaitu kombinasi antara public planning dan private planning.
Tingkat keberhasilan dari implementasi konsep EIPs di negara-negara
maju antara lain disebabkan oleh fasilitasi pemerintah, regulasi lingkungan yang
mengikat, konsistensi peraturan, tingkat sosial-ekonomi masyarakat yang tinggi,
kesadaran masyarakat yang tinggi, dan lain-lain. Model yang berhasil diterapkan
di negara-negara maju tersebut belum serta merta akan berhasil apabila
diterapkan di negara berkembang, seperti Indonesia. Chiu dan Yong (2004)
menyarankan negara-negara berkembang di Asia yang berencana mengadopsi
model tersebut untuk terlebih dahulu melakukan kajian yang mendalam dan
meramu strategi yang paling tepat sebelum mengembangkan dan menerapkan
konsep tersebut. Kedua penulis selanjutnya menyatakan bahwa penelitian perlu
terus dilakukan untuk meningkatkan daya adaptasi dan aplikasi model terhadap
kondisi ekonomi dan sosial yang terus berubah di negara-negara berkembang
Asia.
Suatu EIP akan cenderung lebih berhasil jika konsep tersebut menjadi
bagian dari inisiatif komunitas dalam kisaran yang lebih luas (Chiu dan Yong
2004), yaitu:
- pembangunan perumahan untuk pekerja dari bisnis EIP
- pembuatan rencana stategis komunitas untuk mengurangi jumlah sampah
(penduduk, komersial, publik, dan industri).
- pembangunan pertukaran produk ikutan regional yang efektif, memberi pasar
untuk material yang dibuang sebagai limbah.
- penguatan perencanan pembangunan ekonomi untuk merangsang bisnis
yang cocok dengan profil yang dibutuhkan oleh EIP atau yang merubah
limbah menjadi produk dan lapangan kerja.
26
- memobilisasi sumberdaya pendidikan untuk membantu bisnis lokal dan
pekerjaan pemerintah dalam meningkatkan efisiensi energi dan mencegah
pencemaran.
- mengurangi emisi gas rumah kaca melalui program aksi komunitas yang
dipimpin oleh EIP.
- membiayai beberapa kegiatan pembangunan EIP melalui kerjasama publik
dan swasta.
Semua kawasan industri bergantung pada komunitas sekitarnya baik
tenaga kerja, sumberdaya material, jasa, dan perdagangan. Penduduk lokal
biasanya terlibat dalam konsultasi publik, yang berperan dalam persetujuan
proyek sehubungan dengan dampak lingkungan usaha/industri. Institusi lokal
seperti lembaga pendidikan berperan dalam penyiapan tenaga kerja lokal.
Tenaga kerja dari luar wilayah biasanya membutuhkan tempat tinggal/kost yang
dapat disediakan oleh komunitas sekitar perusahan.
Karena alasan-alasan diatas maka pengelola kawasan industri perlu
berinisiatif untuk membangun hubungan yang kuat dengan komunitas sekitar
kawasan industri. Keterlibatan komunitas sekitar didukung oleh banyaknya
keuntungan yang dapat diberikan oleh pengelola kawasan industri melalui
lapangan kerja maupun bisnis yang timbul karena adanya kawasan tersebut.
Perusahan, pengembang, penduduk, dan lainnya perlu bekerja bersama untuk
menangkap keuntungan-keuntungan dari konsep ekologi industri ini.
Inisiatif demikian akan memberikan dukungan yang kuat untuk mendukung
EIP. Pertukaran bahan ikutan yang efektif membutuhkan pemasok dan
pengguna yang besar. Tenaga kerja terlatih, perumahan, dan akses terhadap
keuangan membantu untuk menarik minat perusahan pengguna EIP. Pada saat
bersamaan, komunitas sekitar menikmati banyak manfaat, seperti: lingkungan
yang lebih bersih, ekonomi yang semakin kuat dan efisien, lapangan kerja baru,
dan reputasi yang baik sebagai tempat yang baik untuk memulai usaha.
Beberapa kendala yang dapat ditemui dalam penerapan EIP adalah daya
tolak perusahan untuk memberikan kepada pihak ketiga semua informasi
mengenai input dan output produksi. Hal ini menyulitkan identifikasi terhadap
potensi keterkaitan. Kurangnya pengetahuan tentang bisnis yang terletak di
bagian lain di dalam kawasan industri dan peluang keterkaitan yang ada.
Adanya kebutuhan terhadap mekanisme untuk mempromosi kerjasama dan
pertukaran informasi tentang manfaat ekonomi dari ekologi industry (Peck 1996).
27
Dibandingkan dengan kawasan industri tradisional, EIP memiliki
karakteristik (Cote dan Cohen-Rosenthal 1998):
1) Mendefinisikan pemangku kepentingan dan melibatkannya dalam desain
kawasan industri
2) Mengurangi dampak lingkungan melalui substitusi terhadap bahan
berbahaya, absorpsi CO2
3) Memaksimalkan efisiensi energi melalui desain dan konstruksi fasilitas, co-
generation, dan cascading.
, pertukaran materi, dan pengolahan terpadu dari
limbah
4) Mengkonservasi bahan-bahan melalui desain dan konstruksi fasilitas,
menggunakan kembali, menangkap kembali, dan mendaur ulang.
5) Hubungkan dan buat jaringan perusahan-perusahan dengan penyuplai dan
pelanggan di dalam komunitas yang lebih luas dimana EIP terletak.
6) Secara terus menerus meningkatkan kinerja lingkungan baik oleh perusahan
secara individu maupun komunitas perusahan secara keseluruhan.
7) Miliki sistem regulasi yang memberikan beberapa fleksibilitas sementara
merangsang perusahan untuk mencapai kinerja tujuan.
8) Gunakan instrumen ekonomi yang menghambat limbah dan pencemaran.
9) Terapkan sistem manajemen informasi yang memfasilitasi aliran energi dan
limbah.
10) Ciptakan mekanisme untuk melatih manajer dan pekerja tentang strategi,
alat, dan teknologi baru untuk meningkatkan kinerja
11) Lakukan pemasaran untuk menarik perusahan yang dapat mengisi atau
melengkapi perusahan lainnya.
2.3.6.1. Model Kalundborg, Denmark Pertukaran limbah antara perusahan yang berbeda tipe telah berlangsung
selama satu abad, dilatarbelakangi oleh adanya nilai bisnis yang bagus (Peck
1996). Tetapi, pengembangan “ekosistem industri” merupakan fenomena baru,
dimana contoh yang paling dikenal adalah di Kalundborg, Denmark. Disana,
ekosistem industri telah terbangun yang terdiri atas pembangkit listrik tenaga
batu bara, pabrik pemurnian minyak, pabrik gyproc (pembuat plasterboard),
perusahan farmasi, usahatani perikanan, dan Kota Kalundborg
(http://www.bsdglobal.com/viewcasestudy.asp?id=77).
Di Kalundborg, uap air dan berbagai bahan mentah seperti belerang, abu,
dan lumpur dipertukarkan satu sama lain membentuk “ekosistem industri.”
28
Perusahan-perusahan yang berpartisipasi masing-masing mendapatkan
keuntungan ekonomis berupa penurunan biaya pembuangan limbah,
peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya dan kinerja lingkungan.
Pertukaran materi dan energi tahun 1995 adalah sekitar 3 juta ton/tahun, dengan
perkiraan penghematan sebesar US $10 juta/tahun. Disamping itu, gas yang
ditangkap di perusahan pemurnian minyak yang sebelumnya dibuang, dikirim ke
pembangkit listrik yang diperkirakan menghemat setara dengan 30.000 ton batu
bara/tahun (http://www.bsdglobal.com/viewcasestudy. asp?id=77).
2.3.6.2. Model Kawasan Industri Burnside, Nova Scotia, Kanada Dibangun dengan pertimbangan bahwa informasi merupakan kunci utama
di dalam bisnis industri manufaktur. Oleh karena itu, kawasan industri ini
membangun Pusat Informasi Lingkungan yang bertugas memberikan informasi
tentang pilihan-pilihan terbaik untuk penurunan limbah industri, penggunaan
kembali (recycle), dan manajemen.
Cote, salah satu pioner ekologi industri di Kanada, telah membantu
membangun keterkaitan ekologi industri pada Kawasan Industri besar di
Burnside, Nova Scotia tersebut. Pendirian Pusat Informasi Lingkungan/Pusat
Produksi Bersih pada tahun 1995 dilakukan Cote dengan bantuan dari
Pemerintah Federal dan Provinsi serta sumber lainnya (Peck 1996).
Peran utama dari Kantor itu adalah untuk mempromosikan dan
memfasilitasi “peng-hijau-an” lebih dari 1200 unit bisnis yang berada di Burnside,
kawasan industri terbesar di Bagian Timur Kanada. Jasa yang diberikan oleh
kantor tersebut adalah: mempromosikan konservasi materi dan energi melalui
audit; mencari teknologi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumbedaya
bagi partner bisnis; memfasilitasi pengurangan limbah pengepakan melalui audit
limbah; dan mengidentifikasi dan memfasilitasi keterkaitan limbah dan energi
diantara perusahan-perusahan. Keterkaitan ekologi industri dipromosikan oleh
Kantor tersebut, melalui kegiatan pertukaran limbah.
Pusat Produksi Bersih di Burnside merupakan contoh praktis dari
pendekatan untuk mempromosi ekologi industri pada kawasan industri yang
sudah berdiri sebelumnya. Contoh-contoh hubungan simbiotik yang aktual dan
potensial di Kawasan Industri adalah:
• Daur ulang cardboard rusak yang dikumpulkan oleh satu perusahan dalam
kawasan dan mengirimnya keluar untuk diproses kembali.
29
• Penggunaan kembali kelebihan polystyrene di pabrik komputer oleh
perusahan pengepakan.
• Berbagai perusahan daur ulang atau penggunaan kembali yang menangani
toner bekas, pengisian kembali tinta toner, re-treading ban mobil, dan
perbaikan meubel.
• Adanya potensi untuk program pengambilan kembali logam perak di industri
percetakan.
2.3.6.3. Model Value Park, Dow Chemical Jerman Berbeda dengan yang dilakukan di Kalundborg, titik berat diletakkan pada
kerjasama dalam bidang fasilitas bangunan, transportasi, serta penyimpanan
dan penjualan. Di kawasan industri ini, sinergi dibangun secara efektif pada
produk akhir dan siklus industri, bukan pada limbah akhir (Peck 1996).
2.3.6.4. Model PALME, Perancis PALME (Programme d’actions labelise pour la maitrise de l’environement)
merupakan kawasan industri eco-label yang sedikit berbeda dengan EIP (Cote
dan Cohen-Rosenthal 1998). PALME tidak menekankan pada siklus, jaringan
makanan, atau keterkaitan antar industri tapi pada manajemen lingkungan dari
kawasan industri. Persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa menjadi tenant di
kawasan industri ini sangat ketat. Tujuh belas elemen eco-label dari model ini
diperlihatkan pada Tabel 2.6.
Di dalam model ini upaya dilakukan untuk menghadapi tantangan dengan
cara menerapkan mekanisme administratif dan manajemen sehingga tercapai
sinergi bagi semua tahapan operasi bagi semua tenant. Di dalam model ini
dilakukan negosiasi awal untuk membangun kontrak sosial dengan semua
pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan tidak hanya mengidentifikasi
tujuan lingkungan masing-masing tapi berkomitmen untuk memberikan peran
khusus sehingga rencana yang ditetapkan dapat berjalan dengan baik.
Pemangku kepentingan meliputi juga antara lain badan energi dan transportasi,
kelompok-kelompok sosial masyarakat, dan pemerintahan lokal. Produk akhir
dari negosiasi yang dilakukan adalah persetujuan tertulis yang berisi daftar
rencana tindakan dari semua pemangku kepentingan.
2.3.6.5. Model Pemanfaatan “Brownfields” Contoh dari model ini adalah pemanfaatan “brownfields” di Amerika Serikat
(Peck 1996). Model ini sekaligus dilakukan untuk merehabilitasi lahan dan
30
menciptakan lapangan pekerjaan baru. Kebijakan pemerintah yang dilakukan
meliputi: recycling, konservasi energi, produksi bahan dan barang yang berguna
secara sosial dan yang berkelanjutan, dan pembangunan kembali areal
sehingga menjadi alami dan dapat menunjang kesehatan masyarakat.
Tabel 2.6. Beberapa Elemen Eco-label dari Model PALME No Elemen eco-label
1 Persiapkan rencana pembangunan lokasi industri dan kumpulkan semua peraturan dan pedoman yang relevan
2 Persiapkan laporan “Status Lingkungan” awal dari lokasi 3 Bangun rencana lansekap dan persyaratan arsitektur untuk bangunan 4 Pastikan untuk memenuhi persyaratan lingkungan dan hukum, dan
pedoman operasional 5 Bangun dan terapkan rencana bagi flora dan fauna alami untuk
memelihara atau membangun kembali keseimbangan ekologi dari lokasi 6 Terapkan kesadaran masyarakat dan program informasi menyangkut
lingkungan alami dan konservasi 7 Bangun jasa konsultasi produksi bersih 8 Bangun dan terapkan program “lokasi konstruksi yang bersih” 9 Bangun rencana manajemen limbah padat
10 Bangun rencana limbah industri dan efluent 11 Bangun rencana untuk mengatur air hujan dan aliran air permukaan, dan
konstruksi dari instalasi yang dibutuhkan 12 Berikan saran bagi perusahan menyangkut penurunan tingkat kebisingan
dan materi yang digunakan untuk bangunan dan mesin. 13 Monitor kualitas udara dan kebisingan dari lokasi 14 Bangun rencana manajemen energi dari lokasi 15 Teliti sumber energi alternatif 16 Bangun manajemen keterkaitan dengan pemerintah lokal 17 Bangun unit monitoring dan koordinasi untuk hal-hal yang sudah disebut
di atas Sumber: Cote dan Cohen-Rosenthal (1998).
2.3.6.6. Fujisawa Factory Eco-Industrial Park Proyek EIP ini merupakan inisiatif dari EBARA Corporation of Japan
bekerja sama dengan Zero Emissions Research Initiatives (ZERI) dari United
Nations University dan Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri
Jepang (Cote dan Cohen-Rosenthal 1998). Fujisawa Factory Eco-Industrial Park
ini akan mengkombinasikan komponen-komponen industri, komersial, pertanian,
permukiman, dan rekreasi ke dalam multi-faceted community. EIP ini meliputi
konservasi dan cascading energi, energi terbarukan, konservasi limbah menjadi
energi, greenhouse, perlakuan limbah cair menggunakan rawa, penggunaan
kembali limbah cair yang sudah diolah, konversi abu menjadi portland cement
31
dan keramik, penggunaan kembali dan daur ulang, dan kegiatan lainnya. EIP ini
akan didukung oleh Pusat Emisi Nol, Klinik Lingkungan, dan Pusat Logistik.
2.4. Penataan Ruang Pulau Sulawesi Pulau Sulawesi memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif
sehingga sangat prospektif untuk dipromosikan ke pasar berskala regional
maupun internasional (Depkimpraswil 2002). Keunggulan kompetitifnya meliputi
sektor-sektor perkebunan (kakao, cengkeh, kopi, jambu mete, pala), perikanan
laut (tuna dan cakalang), tanaman pangan (padi dan jagung), serta
pertambangan (nikel dan marmer). Sedangkan keunggulan komparatifnya
adalah eco-cultural tourism yang didasarkan atas keunikan budaya lokal dan
keanekaragaman hayati (biodiversity), seperti ditemukan pada taman-taman
nasional (Rawa Aopa dan Dumoga) dan taman-taman laut (Wakatobi, Bunaken,
dan Takabonerate).
Pulau Sulawesi, disamping Pulau Kalimantan, merupakan prime mover
pengembangan wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Oleh karena itu,
RTRW Pulau Sulawesi harus mengakomodasikan kebijakan-kebijakan
pengembangan KTI agar berbagai upaya pembangunan lintas wilayah dan lintas
sektor dapat berjalan secara serasi, selaras, saling menguatkan (sinergis), dan
dapat memberikan multiplier effect yang besar bagi kawasan-kawasan di
sekitarnya.
Skenario pengembangan untuk mewadahi atau memberi bingkai bagi
strategi pengembangan tata ruang wilayah Pulau Sulawesi adalah skenario
pengembangan yang berorientasi ke luar dengan sistem outlet hirarkis
fungsional dan dengan memperhatikan keseimbangan antara pertumbuhan dan
pemerataan (Gambar 2.4.).
Menurut arahan tipologi (besaran dan fungsi utama) kota di Pulau
Sulawesi, Kota Bitung merupakan besaran kota sedang; memiliki fungsi utama
sebagai pelabuhan utama primer dan fungsi utama kota sebagai kota nasional
(PKL); dan dominasi kegiatan wilayah di sekitarnya di masa mendatang adalah
jasa dan industri.
32
Toli-toli
Gorontalo
Poso
Palopo
Palu
Pare-
pare
Makassar
Takalar Bulukumba
Watam-pone
Kolaka
Manado
Luwuk
Bau-bau
Kendari
Bitung
Nasional &Internasional
Nasional &Internasional
KalimantanSelatan dan
Timur
NTT & NTB
KTI: Maluku,Irian
Nasional
Nasional
Nasional
Nasional
Gambar 2.4. Konsep dan Skenario Pengembangan Pulau Sulawesi (Sumber: Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) Pulau Sulawesi (Depkimpraswil 2002).
2.5. Pola Keterkaitan Antar Industri Pola keterkaitan antar industri dapat diukur dengan pengukuran
kuantitatif menggunakan “connectance value,” yang didefinisikan sebagai jumlah
interaksi langsung dalam suatu jaring makanan dibagi dengan jumlah
keseluruhan interaksi yang mungkin terjadi (Hardy dan Graedel 2002). Nilai
keterkaitan (C) dihitung menggunakan rumus:
C = 2 L / [S(S-1)]
Dimana:
- S adalah jumlah spesies atau industri di dalam jaring makanan (suatu kawasan tertentu).
- L adalah jumlah interaksi antar industri. - C berkisar antara 13,5% - 84,6%, dengan nilai median adalah 42,3%.
Ilustrasi dari suatu ekosistem yang terdiri atas sembilan spesies adalah
seperti pada Gambar 2.5. Hasil perhitungan dengan rumus di atas diperoleh
nilai C = 0,416 atau 41,6%.
Semakin tinggi nilai keterkaitan (C) tersebut diatas belum mengindikasikan
stabilitas ekosistem atau efisiensi (de Ruiter et al 1995 dalam Hardy dan
Graedel 2002). Oleh karena itu diperlukan perhitungan simbiosis lainnya.
33
Keterkaitan yang besar berarti bahwa aliran material sedang dipertukarkan
bukan dibuang. Itu tidak menyatakan tentang besaran aliran atau kepentingan
lingkungannya. Namun, secara jelas terlihat bahwa, kuantitas yang lebih besar
yang digunakan secara simbiosis adalah lebih penting bagi lingkungan
dibandingkan dengan kuantitas yang kecil. Dengan demikian, penggunaan
material yang secara potensial berbahaya secara lingkungan lebih penting
dibandingkan dengan penggunaan material yang ramah lingkungan.
Gambar 2.5. Matriks komunitas spesies Keterangan: A, B, C, D, Y, E, F, X, dan G adalah spesies di dalam komunitas 0 = tidak ada interaksi; 1 = ada interaksi
A B
Y C
E F
D
X G
Man
gsa
atau
sum
berd
aya Pemangsa atau konsumen
E F X G C D Y A B E 0 0 0 0 1 0 0 1 0 F 0 0 0 0 1 1 1 0 0 X 0 0 0 0 0 1 1 0 0 G 0 0 0 0 0 0 1 0 1 C 0 0 0 0 0 0 0 1 0 D 0 0 0 0 0 0 0 1 1 Y 0 0 0 0 0 1 0 1 1 A 0 0 0 0 0 0 0 0 0 B 0 0 0 0 0 0 0 0 0
34
III. METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Konseptual
3.1.1. Definisi Eco-Industrial Park yang digunakan Model “eco-industrial park” (EIP) adalah “suatu sistem industri dimana
terjadi pertukaran material dan energi secara terencana dan berupaya untuk
menurunkan penggunaan bahan baku dan energi, menurunkan limbah, dan
membangun hubungan keberlanjutan antara ekonomi, ekologi, dan sosial” (The
United States President’s Council on Sustainable Development dalam
3.1.2.1 Asumsi Dasar
Korhonen
2001).
3.1.2. Asumsi Dasar dan Batasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi dasar, yaitu sebagai berikut:
a. Aplikasi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kawasan Industri dalam jangka
panjang akan bersifat efektif dan efisien.
b. Regulasi pemerintah terkait dengan pengembangan industri bersifat
konsisten dan tidak anti-competitive.
c. Tidak adanya resistensi terhadap penerapan rancangan model oleh
pemangku kepentingan.
d. Setelah semua fasilitas penunjang AEIP Bitung selesai dibangun (dengan
tahun initial/awal 2010) maka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
pembangunan keseluruhan pabrik adalah lima belas tahun.
3.1.2.2. Batasan Penelitian
1. Batasan penelitian ini adalah seperti yang dirumuskan di dalam tujuan
umum, yaitu perancangan model pengembangan “agro-eco-industrial park”
(AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi Utara; dan ke-tiga tujuan khusus penelitian,
yaitu mengevaluasi kondisi aktual dari aktivitas industri agro; menyusun
model pengembangan AEIP Bitung, dan menganalisis implikasi dan
rekomendasi kebijakan penerapan model.
2. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk merancang desain tata letak,
mendesain infrastruktur atau mendesain bangunan, dan fasilitas pendukung
Agro-eco-industrial park.
3. Model yang dibangun tidak memasukkan unsur teknologi sebagai variabel
dalam pemodelan.
35 4. Kinerja AEIP diketahui melalui simulasi Model Pengembangan AEIP (MP-
AEIP) Bitung, yang dibatasi pada variabel-variabel: Nilai Produksi AEIP
Bitung, Penyerapan Tenaga Kerja, Penurunan Kuantitas limbah padat, dan
Penurunan Kuantitas Limbah Cair. Model yang dibangun tidak
mempertimbangkan biaya investasi, biaya produksi, pajak, dan tidak
dilakukan analisis finansial di dalam penyusunan model.
5. Model dibangun dengan menggunakan “Kawasan AEIP sebagai faktor
pembatas” sedangkan ketersediaan bahan baku digunakan sebagai rujukan
untuk menentukan jumlah dan kapasitas produksi.
3.2. Rancangan Penelitian 3.2.1. Pendekatan Penelitian yang Digunakan Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan menggunakan
pendekatan sistem (goal oriented). Pendekatan sistem adalah suatu
pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik
tolak analisis. Pendekatan ini diperlukan karena permasalahan yang
dihadapi semakin kompleks dan dapat menggunakan peralatan yang
menyangkut satu disiplin saja, tetapi memerlukan peralatan yang lebih
komprehensif, yang dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari
suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh
(Marimin 2007).
Langkah-langkah yang dilakukan di dalam analisis sistem adalah: (1)
analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, dan (4)
pemodelan: Model Pengembangan AEIP Bitung (disingkat MP-AEIP Bitung),
Provinsi Sulawesi Utara.
3.2.2. Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung 3.2.2.1. Analisis Kebutuhan (Need Analysis)
Setelah mendapatkan data yang diperlukan untuk penetapan kebutuhan
dasar yang diperoleh melalui analisis terhadap pemangku kepentingan, maka
dapat diperkirakan analisis kebutuhan, seperti pada Tabel 3.1.
36
Tabel 3.1. Analisis Kebutuhan Pemangku Kepentingan Pemangku Kepentingan
Kebutuhan
Industriawan 1. pendapatan usaha meningkat 2. suplai sumberdaya alam, bahan baku dan energi terjamin dan kontinu dengan harga
rendah 3. tenaga kerja tersedia dengan upah kompetitif 4. biaya penanganan limbah relatif murah 5. modal usaha tersedia 6. peluang pasar besar 7. iklim berusaha yang kondusif 8. adanya sistem insentif bagi industri yang berlokasi di dalam kawasan industri 9. bebas dari gangguan premanisme dan pungutan liar 10. peraturan pemerintah yang konsisten 11. harga lahan di dalam kawasan industri terjangkau 12. tersedianya infrastruktur pendukung aktivitas industri 13. ketersediaan teknologi aplikatif
Pemerintah dan Pemda
1. peningkatan pajak/devisa negara 2. aktivitas produksi industri dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan 3. lapangan kerja tersedia 4. kualitas lingkungan terpelihara 5. kemudahan atas pengawasan dampak lingkungan aktivitas industri 6. terkonsentrasinya industri di dalam kawasan industri 7. citra industri dalam bidang lingkungan meningkat 8. tumbuhnya industri baru (industri komplementer) 9. program corporate social responsibility diterapkan. 10. kurangnya dampak negatif seperti kriminalitas, kemacetan lalu lintas, dan prostitusi.
Pengelola/ pengembang kawasan industri
1. permintaan atas lahan industri di dalam kawasan industri meningkat 2. ditetapkannya kebijakan relokasi industri ke kawasan industri 3. tersedianya infrastruktur pendukung aktivitas industri 4. iklim berusaha yang kondusif 5. modal usaha tersedia 6. bebas dari gangguan premanisme dan pungutan liar 7. regulasi pemerintah yang konsisten
Masyarakat 1. tersedianya lapangan kerja 2. lingkungan hidup yang tidak tercemar 3. adanya pembiayaan program corporate social responsibility dari industri 4. tersedianya produk industri dengan harga relatif terjangkau 5. tersedianya pasar bagi bahan baku yang diproduksi masyarakat 6. tidak adanya gangguan kesehatan/keselamatan karena aktivitas industri 7. berputarnya roda perekonomian masyarakat (tempat kost, rumah makan, warung,
kios, dan tempat hiburan) 8. terpeliharanya budaya dan keyakinan lokal/kearifan lokal
Perbankan 1. tersalurnya dan meningkatnya kredit investasi 2. dikembalikannya pinjaman modal tepat waktu (risiko kredit menurun) 3. konsistensi peraturan pemerintah 4. peraturan pemerintah yang kondusif
Badan Penanaman Modal
1. peraturan pemerintah yang kondusif 2. konsistensi peraturan pemerintah 3. meningkatnya realisasi investasi 4. meningkatnya lapangan kerja
Perguruan Tinggi/Lemba-ga Penelitian
1. tersedianya mitra kerja untuk penelitian dan pengembangan 2. penelitian dan pengembangan berorientasi kebutuhan
3.2.2.2. Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan
dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus
dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Eryatno 2003).
Hasil identifikasi sistem dinyatakan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat
37 yang merupakan gambaran keputusan yang dapat dilakukan secara kontinu
(Gambar 3.1.).
Gambar 3.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat MP AEIP Bitung
Hasil dari diagram lingkar sebab akibat dilanjutkan pada interpretasi
kedalam konsep kotak hitam (black box). Dalam penyusunan kotak gelap, perlu
diketahui macam informasi yang dikategorikan menjadi tiga golongan, yaitu
peubah input, peubah output, dan parameter-parameter yang membatasi struktur
sistem. Diagram kotak hitam dari MP-AEIP Bitung disajikan pada Gambar 3.2.
Bahan ikutan
Model AEIP
Industri baru
Ketersedi-aan lahan
industri
Pertukaran materi dan
limbah
Kerjasa-ma antar industri
Limbah industri
+
+
+
+ +
+
+
+ +
+
+
+
Kualitas lingkungan
+/-
+/- +
+
+/-
+
+
+
+
+
+ Kekurangan
pasokan bahan baku
+
Pasokan lahan
industri
Keberlanjut-an industri
Rekruitmen TK lokal
Kinerja Industri Agro
Pasokan energi
Energi listrik terbarukan
Potensi SDA
Peran aktivitas industri
Dampak lingkungan
+
+ +
-
-
-
Persepsi masyarakat
38
Gambar 3.2. Diagram Kotak Hitam MP-AEIP
3.2.2.3. Formulasi Permasalahan
Keberlanjutan aktivitas industri sangat diperlukan untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat, sebagai sumber devisa negara, dan penyerap lapangan
kerja. Namun dilain pihak, aktivitas industri mengakibatkan pencemaran
lingkungan yang berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat. Terdapat
beberapa metode penanggulangan pencemaran industri, yaitu command-and-
control yang sangat umum diaplikasi, dan market-based incentives. Namun
demikian, metode penanggulangan pencemaran industri tersebut lebih
cenderung melihat proses produksi industri dan pencemaran lingkungan yang
dihasilkannya sebagai suatu proses yang linear. Ekologi industri, dilain pihak,
melihat proses produksi industri sebagai suatu siklus, dimana limbah atau by-
products yang dihasilkan oleh suatu industri dipandang sebagai input atau
peluang usaha bagi industri lainnya. Disamping itu, penerapan konsep tersebut
harus dilakukan untuk mengantisipasi permasalahan kelangkaan sumbedaya
alam, bahan baku, dan energi.
Salah satu implikasi dari rencana kebijakan pemerintah tentang kawasan
industri adalah setiap daerah yang berencana mengembangkan industri
manufakturnya harus memiliki kawasan industri. Penetapan suatu kawasan
Input tak terkontrol: - Populasi penduduk - Angkatan kerja - Kebutuhan lapangan kerja - Perubahan paradigma
berpikir terhadap limbah industri
- Harga produk di pasaran
Model Pengembangan
AEIP Bitung
Input terkontrol: - pemeliharaan LH - perubahan pola penyediaan pasokan
bahan baku, air, dan energi - peluang usaha baru - desain infrastruktur yang murah - Program pengembangan
masyarakat - insentif kepada tenan
Output tidak dikehendaki: - Limbah tak terkelola - Kelangkaan SDA dan energi - Biaya investasi meningkat - Konflik sosial - Perkembangan industri yang
lamban.
Output dikehendaki: - Kesempatan kerja dan berusaha - Keberlanjutan aktivitas industri - Biaya sosial penanganan
pencemaran berkurang - Kelestarian LH - Hubungan harmonis industri-masyarakat
- Peningkatan kinerja industry - Peningkatan kerjasama industri - Peningkatan keragaman industri
Input lingkungan: - Peraturan
perundangan - Perubahan pola hidup
Manajemen AEIP
39 menjadi kawasan industri perlu didahului oleh kajian yang komprehensif dan
mempertimbangkan perkembangan terakhir (state of the art) dalam bidang
tersebut.
Beberapa contoh keberhasilan penerapan konsep ekologi industri di
dunia adalah seperti di Kalundborg, Denmark dan Finlandia (Korhonen 2001).
Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya secara umum menyimpulkan
bahwa pengembangan kawasan industri berkelanjutan dapat dicapai melalui
implementasi konsep pengembangan kawasan industri berbasis ekologi. Tetapi
masih sedikit contoh penerapan ekologi industri yang terdokumentasi. Sebelum
dapat dibangunnya sistem manajemen yang lebih jelas, kebijakan, atau desain
dari konsep itu, maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana menghubungkan
antara teori dengan studi kasus, tidak hanya di wilayah yang berbeda tetapi juga
di negara yang berbeda, karena faktor kondisi lokalitas sangat penting untuk
konsep ekologi industri (Korhonen 2001).
Perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi aktual industri agro, status kualitas lingkungan, dan pola
keterkaitan antar industri berbasis agro/manufaktur di Kota Bitung?
2. Bagaimana bangun Model Pengembangan AEIP Bitung?
3. Bagaimana implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan Model AEIP di
Kota Bitung?
Permasalahan di atas perlu dicarikan solusinya supaya tujuan menuju
keberlanjutan aktivitas industri manufaktur dapat dicapai. Hal ini dapat dilakukan
antara lain dengan menerapkan manajemen pengembangan industri
menggunakan konsep ”eco-industrial park” (EIP) (Gambar 3.3.). Selanjutnya,
diagram alir perancangan model dicantumkan pada Gambar 3.4.
40
Pendirian industri manufaktur baru
MP AEIP Bitung
BERKELANJUTAN?
Status quo: Industri manufaktur di luar KI dengan lokasi tersebar
Industri manufaktur tidak wajib dalam KI
KI yang sudah ada/beroperasi
KI baru
Pendirian KI di Provinsi Sulawesi Utara
Klasifikasi industri manufaktur di Provinsi Sulut
Peraturan perundangan/kebijakan industri
Aktivitas industri berbasis agro yang berkelanjutan
Contoh-contoh kasus/hasil-hasil penelitian terbaru: faktor-faktor hubungan sosial, jaringan co-location dan hubungan antara perusahan; roundput, keragaman, saling ketergantungan, dan lokalitas; kesadaran perlindungan lingkungan; public planning vs private planning
Gambar 3.3. Perumusan Masalah
Sosial
Ekonomi
Lingkungan
- Karakteristik dan pola keterkaitan industri berbasis agro - Persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri - Program pengembangan AEIP
Pendekatan klaster industri
41
Gambar 3.4. Diagram Alir Perancangan Model
3.2.2.4. Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka pendekatan sistem analisis
adalah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.5.
Pengujian Model
Penetapan Tujuan
• Analisis Kebutuhan • Formulasi Masalah
• Analisis Laboratorium • Survey Lapangan
Analisis Kondisi Aktual Industri Manufaktur/Agro
Faktor-faktor Penentu Pengembangan Model
Pola Keterkaitan antar Industri
Kinerja Industri Persepsi Pemangku
Kepentingan
Tahapan Implementasi Model
Alternatif Model Prioritas
ya
Implementasi Model
Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Perancangan Model Dinamik
Tidak
42
Gambar 3.5. Pendekatan Sistem Analisis Perancangan Model AEIP Bitung
3.2.3. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian disajikan dalam Gambar 3.6.
3.3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara (Gambar 3.7.).
Mayoritas industri yang berkembang di koridor ini adalah industri berbasis-agro,
dimana yang menjadi industri unggulan yaitu industri perikanan laut dan industri
kelapa (Dinas Perindag Kota Bitung, 2008). Tidak jauh dari Kota Bitung, yaitu
Kota Manado terdapat Bandara Primer, sedangkan di Kota Bitung terdapat
Pelabuhan Utama Primer, oleh karena itu disebut sebagai kota-kota pintu
gerbang nasional (Dirjen Penataan Ruang, Departemen Kimpraswil, 2002).
Kedua sarana tersebut berperan besar sebagai faktor pendorong
berkembangnya dan terkonsentrasinya aktivitas industri di Kota Bitung.
Metode Pendekatan Sistem
• Analisis Kebutuhan • Formulasi Permasalahan • Identifikasi Sistem
Mulai Tabulasi (FasT-facility synergy tool),
Connectance value, bagan alir
Metode ISM (Program ISM VAXO)
Evaluasi terhadap kondisi aktual dari industri agro/manufaktur di
Kota Bitung
Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP Bitung
Persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri
agro/manufaktur di Kota Bitung
Skala Likert
Model Pengembangan AEIP Bitung
Sintesis terhadap output tujuan-tujuan khusus penelitian dan selanjutnya
model dirancang dengan menggunakan Program Powersim
Studio Expert 2005
Model alternatif AEIP prioritas
Metode AHP (Program Criterium Decision Plus)
Metode Deskriptif Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
43
Gambar 3.6. Tahapan Penelitian
Survei dan pengumpulan data, survei pakar
Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP Bitung
Kondisi aktual dari aktivitas industri
manufaktur di Kota Bitung
Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Penerapan Model
Model Pengembangan AEIP Bitung
Mulai
Alternatif AEIP
Persepsi pemangku kepentingan terhadap
aktivitas industri manufaktur di Kota Bitung
Selesai
Analisis hubungan kontekstual antar
sub-elemen
Elemen kunci Struktur hirarkhi sub-elemen
Pengelompokan sub-elemen
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Tahapan Implementasi Alternatif AEIP
Ekonomi
Sosial Lingkungan
Analisis Kebutuhan
Formulasi masalah
Identifikasi sistem
Simulasi Model
Pola Keterkaitan antar Industri
Tahap 1
44
Pelaksanaan penelitian selama 24 bulan. Penelitian dimulai pada bulan
September 2007 sampai dengan Agustus 2009. Jadwal pelaksanaan penelitian
disajikan pada Lampiran 1.
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain sebagai berikut:
Dokumen-dokumen: Rencana Tata Ruang Wilayah, Peraturan
perundangan/Perda, Masterplan Rencana Pembangunan Kawasan Industri
Kota Bitung, dan Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah terkait dengan
aktivitas industri manufaktur/agro.
a) Peta-peta: peta administrasi dan peta RTRW lokasi penelitian.
b) Bahan-bahan penyusunan kuesioner yang digunakan untuk pengambilan
data primer meliputi: persepsi pemangku kepentingan, pendapat pakar, dan
lain-lain.
Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah seperangkat
komputer yang dilengkapi berbagai software untuk keperluan analisis seperti
Criterium Decision Plus, Modul ISM VAXO, dan Powersim Studio 2005.
3.4.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data primer yang digunakan adalah survei lapang
berupa pengamatan secara langsung, wawancara, dengan atau tanpa panduan
kuesioner. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur. Wawancara individu
menggunakan kuisioner, dilaksanakan di lokasi penelitian terhadap beberapa
responden/pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan yang menjadi
responden dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi industriawan, aparatur
pemerintah, akademisi/peneliti, dan masyarakat. Khusus untuk kuisioner bagi
para industriawan, digunakan kuisioner dengan beberapa modifikasi merujuk
pada Lowe (2001). Selain menggunakan kuesioner juga dilakukan wawancara
secara mendalam (in-depth interview) dengan pakar/praktisi. Indepth interview
dimaksudkan untuk menggali informasi sekaligus mendapatkan kesepakatan-
kesepakatan bersama dalam merumuskan pengembangan industri manufaktur
dengan menggunakan model AEIP. Pemilihan pakar secara lokal karena
pertimbangan akan pengetahuan terhadap karakteristik pengembangan industri.
45
Gambar 3.7. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian
46
Jumlah responden dipilih secara acak sederhana (simple random
sampling), jumlahnya ditetapkan secara proporsional terhadap jumlah populasi
dalam kelompok.
Pengumpulan data sekunder diperoleh dari penelusuran literatur/referensi
dari berbagai sumber, yaitu BPS, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota terkait, serta Dinas Perindustrian dan Provinsi Slawesi
Utara dan Kota Bitung, Bappeda, BPLH, Perguruan Tinggi, dan sumber relevan
lainnya.
3.4.3. Penetapan Responden Pertimbangan yang digunakan di dalam pemilihan pakar adalah
keberadaan, keterjangkauan, dan kesediaan untuk diwawancarai; reputasi,
kedudukan, kredibilitas dan pengalaman di bidangnya. Responden pakar dapat
berasal dari luar lokasi penelitian. Responden pakar adalah James Rompas,
Ketua Bappeda Kota Bitung, yang telah berpengalaman dalam pengembangan
industri/kawasan industri dan Jen Tatuh, ahli dalam bidang
Institusi/Kelembagaan dan Agribisnis. Responden masyarakat dipilih
berdasarkan domisili atau keterkaitan tugas dengan sektor industri. Untuk mengetahui persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas
industri dan kebijakan industri di Koridor Kema-Bitung maka akan dilakukan
pengukuran dengan menggunakan Skala Likert (Sugiyono 2006).
Penetapan jumlah responden dilakukan dengan menggunakan Tabel
Nomogram Herry King, dengan tingkat kepercayaan 95% (atau tingkat
kesalahan 5%) (Sugiyono 2006:100).
3.4.4. Variabel yang Diamati Data penelitian yang diperlukan dibedakan atas data primer dan sekunder,
meliputi parameter lingkungan, ekonomi, dan sosial. Secara rinci jenis data dan
variabel yang akan diamati/ dikumpulkan disajikan pada Tabel 3.1.
3.5. Metode Analisis Metode penelitian yang dibahas berikut adalah untuk menjawab ke-lima
tujuan khusus penelitian. Ringkasan dari metode penelitian yang meliputi tujuan
penelitian, sumber data, data, metode analisis, dan output yang diharapkan
adalah seperti yang diperlihatkan di dalam Tabel 3.4.
47
3.5.1. Evaluasi Kondisi Aktual dari Aktivitas Industri Agro (A). Kinerja Industri Agro
Untuk mengevaluasi kinerja industri di Kota Bitung digunakan metode
FaST (facility synergy tool). Output dari analisis FaST adalah profil database
industri. Metode FaST dirumuskan oleh Industrial Economics, Inc., Cambridge,
MA 1998 (Anonim 1998) untuk perencanaan EIP, yang memberikan informasi
Tabel 3.2. Parameter, Data, Variabel, dan Jenis Data Penelitian
No Parameter Data Variabel Jenis Data 1
Lingkungan Limbah industri Limbah cair Primer/sekunder Limbah padat Primer/sekunder
Bahan ikutan industri (by-products)
Kepala, sirip, ekor, dan isi perut ikan
Primer/sekunder
Air kelapa Primer/sekunder Sabut dan tempurung kelapa Primer/sekunder Paring kelapa Primer/sekunder Bungkil kelapa Primer/sekunder
Iklim Curah hujan Sekunder Kecepatan angin Sekunder Lama penyinaran Sekunder
Status Kualitas Lingkungan/Isu Pokok Lingkungan Hidup
Sampah kota Primer/sekunder Pencemaran air permukaan Primer/sekunder Pencemaran tanah Sekunder Konversi lahan Sekunder Erosi tanah dan degradasi lahan Sekunder
2
Ekonomi
Industri manufaktur Perkembangan perusahan industri Sekunder Perkembangan tenaga kerja Sekunder Perkembangan nilai produksi Sekunder Investasi Sekunder
Pertumbuhan ekonomi dan struktur perekonomian
Pertumbuhan ekonomi, kontribusi beberapa sektor dalam PDRB
Sekunder
Penggunaan lahan Permintaan dan penawaran lahan Sekunder Ketenagakerjaan Angkatan kerja Sekunder
Penyerapan tenaga kerja Sekunder Prasarana Jalan Sekunder
Listrik Sekunder Air Minum Sekunder Perhubungan laut Sekunder
Pertanian Tanaman pangan dan perkebunan Sekunder Perikanan Primer/Sekunder 3 Sosial Hubungan sosial
antara industri dan masyarakat sekitar
Persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri agro/manufaktur
Primer/sekunder
Program-program pengembangan masyarakat
Kebijakan dan regulasi pemerintah
Peraturan dan kebijakan terkait pengembangan industri dan atau kawasan industri
Primer/sekunder
Kelembagaan Kelembagaan terkait pengembangan KI/AEIP
Primer/sekunder
4 Ekosistem industri
Pola keterkaitan antar Industri agro dan industri terkait
Jumlah kerjasama pemanfaatan limbah industri dan atau by-products
Primer/sekunder
5 Faktor-faktor penentu pengem-bangan AEIP
Elemen-elemen yang terkait dengan pengembangan AEIP
Hubungan kontekstual antar elemen dari tujuan dari program; kendala utama dari program.
Primer
48
dasar utama yang diperlukan untuk merencanakan AEIP, dalam bentuk profil
database industri yang menggambarkan input dan output dari setiap fasilitas
yang dapat dilibatkan dalam AEIP. Berikut diberikan ilustrasi tentang profil
database yang akan dihasilkan (Gambar 3.8.). Profil database industri yang
akan dikaji akan terdiri atas satu profil industri untuk setiap jenis industri yang
terdapat di Kota Bitung.
Situasi aktivitas industri di Kota Bitung meliputi semua data seperti yang
tercantum pada “Kolom Data” dari Tabel 3.2. Faktor-faktor tersebut selanjutnya
dikelompokkan menurut pengelompokan kekuatan (S), kelemahan (W),
kesempatan (O), dan ancaman (T).
Selanjutnya dilakukan identifikasi untuk mengetahui prinsip-prinsip ekologi
industri dari aktivitas industri agro di Kota Bitung. Salah satu contoh dari prinsip-
prinsip ekologi industri adalah pola keterkaian antara industri dalam
pemanfaatan by-products secara bersama dan dengan terencana. Untuk
mengukur keterkaitan tersebut digunakan “connectance value” (C) (Hardy dan
Graedel 2002).
Gambar 3.8. Ilustrasi Profil Industri (Diagram Aliran Materi Tahunan)
Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, dan juga dengan menggunakan
informasi database dari profil industri yang telah diperoleh sebelumnya, dibuat
bagan alir pola keterkaitan antar industri agro.
Profil industri: Diagram aliran materi tahunan
Kebutuhan Kebutuhan energi air
Input materi Produk
Output non-produk
Industri X
49
(B). Analisis Persepsi Pemangku Kepentingan terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur dan Rencana Pembangunan Kawasan Industri Untuk mengetahui persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas
industri dan rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung, dilakukan
pengukuran dengan menggunakan Skala Likert (Sugiyono 2006). Pengukuran
dilakukan terhadap beberapa objek persepsi, yaitu manfaat langsung atau
manfaat tidak langsung, pengaruh terhadap kenyamanan hidup; dan tingkat
persetujuan terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung.
Untuk keperluan analisis kuantitatif maka jawaban pemangku kepentingan
terhadap objek persepsi akan diberikan skor. Dengan mengalikan jumlah
responden yang memilih skala tertentu maka akan diketahui posisi persepsi
pemangku kepentingan terhadap objek persepsi yang dipertanyakan.
(C). Analisis Pola Keterkaitan Antar Industri
Analisis pola keterkaitan antar industri dilakukan untuk mengetahui prinsip-
prinsip ekologi industri yang telah berkembang pada aktivitas industri di Kota
Bitung. Salah satu contoh dari prinsip-prinsip ekologi industri adalah pola
keterkaian antara industri dalam pemanfaatan by-products dan limbah industri
secara bersama dan dengan terencana. Untuk mengukur keterkaitan tersebut
digunakan “connectance value” (C) (Hardy dan Graedel 2002).
Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, dan juga dengan menggunakan
informasi database dari profil industri yang telah diperoleh sebelumnya, dibuat
bagan alir pola keterkaitan antar industri yang telah berkembang dan yang
potensial dikembangkan. Identifikasi pola keterkaitan yang potensial
dikembangkan akan dilakukan dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya
wilayah, trend investasi dan permintaan, regulasi, teknologi, dan lainnya.
3.5.2. Program Pengembangan MP-AEIP (A). Faktor-faktor Penentu Pengembangan Model
Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP dianalisis menggunakan
Metode ISM (Interpretive Structural Modelling) (Marimin 2004). Jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian di dalam kuisioner diberikan dalam
bentuk simbol V, A, O, dan X, sebagai berikut:
• V: Sub-elemen (1) mempengaruhi/mendukung/menyebabkan/memberikan kontribusi tercapainya/memerlukan dukungan sub-elemen (2), tetapi tidak sebaliknya.
50
• A: Sub-elemen (2) mempengaruhi/mendukung/menyebabkan/memberikan kontribusi tercapainya/memerlukan dukungan sub-elemen (1), tetapi tidak sebaliknya.
• X: Sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), saling mempengaruhi/ mendukung/menyebabkan/memberikan kontribusi tercapainya/memerlukan dukungan.
• O: Sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), tidak saling mempengaruhi/ mendukung/menyebabkan/memberikan kontribusi tercapainya/memerlukan dukungan.
Jenis-jenis hubungan kontekstual dari elemen-elemen di atas adalah
seperti yang diperlihatkan di dalam Tabel 3.3.
Pernyataan hubungan kontekstual antar sub-elemen, yang dinyatakan
dengan simbol-simbol V, A, X, dan O diisi ke dalam sel-sel yang terletak di
sebelah atas garis diagonal tabel hubungan kontekstual tersebut.
Sel-sel yang masih kosong (di bawah garis diagonal) diisi dengan simbol-
simbol yang merupakan pencerminan dari simbol-simbol hubungan kontekstual
sebelumnya (contoh: bila eij adalah V maka eji
No
adalah V). Tabel yang semua
selnya telah lengkap terisi disebut Structural Self-Interaction Matrix (SSIM).
Tabel 3.3. Elemen dan Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen Elemen Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen
1 Tujuan dari Program Sub-elemen tujuan yang satu memberikan kontribusi tercapainya sub-elemen tujuan lainnya
2 Kendala Utama dari Program
Sub-elemen kendala yang satu menyebabkan sub-elemen kendala lainnya
3 Program Implementasi AEIP
Sub-elemen program pengembangan yang satu mempengaruhi sub-elemen program pengembangan lainnya
Selanjutnya, Reachability Matrix (RM) diperoleh dengan cara
mengkonversi SSIM menggunakan ketentuan-ketentuan, sebagai berikut:
V : eij = 1; eji = 0
A : eij = 0; eji = 1
X : eij = 1; eji = 1
O : eij = 0; eji
(B). Alternatif AEIP
= 0
Kajian terhadap Alternatif AEIP dilakukan dengan menggunakan Teknik
AHP (Marimin 2004). Adapun yang menjadi kriteria penentuan alternatif A-EIP
51
prioritas adalah Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP yang telah
diperoleh sebelumnya.
(C). Tahapan Implementasi Program Pengembangan AEIP Bitung
Kajian terhadap Tahapan Implementasi program pengembangan AEIP Bitung
dilakukan menggunakan metode ISM, seperti yang telah dijelaskan untuk mengkaji
Faktor-faktor Penentu Pengembangan Model di atas.
(D). Perancangan Model Dinamik Pengembangan AEIP Bitung
Perancangan model dilakukan dengan cara mensintesis output dari tujuan-
tujuan khusus penelitian menggunakan Program Powersim Studio 2005. Output
dari tujuan umum ini adalah program komputer “Model Pengembangan AEIP
Bitung” (yang disingkat: MP-AEIP Bitung). Rangkuman dari tujuan Penelitian,
Sumber Data, Jenis Data, Metode Analisis, dan Output yang Diharapkan
dicantumkan di dalam Tabel 3.4.
1. Pengujian Model
Oleh karena Model AEIP Bitung yang akan dibangun merupakan model
yang belum nyata atau belum ada realitas di lapangan, maka pengujian model
hanya akan dilakukan dengan cara melakukan pengujian kesesuaian model,
yaitu: (a) apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar, (b)
apakah prosedur perhitungan sudah sesuai (Hartrisari 2007).
2. Simulasi Model
Berdasarkan struktur model yang dibangun selanjutnya dilakukan simulasi
terhadap beberapa variabel dominan dari model dinamik AEIP Bitung. Simulasi
model dilakukan dalam kurun waktu lima belas tahun (2010-2024).
3.5.3. Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi aktual dan persepsi masyarakat
terhadap aktivitas industri manufaktur serta perancangan Model Dinamik
Pengembangan AEIP maka selanjutnya disusun Implikasi dan Rekomendasi
Kebijakan Penerapan AEIP. Rekomendasi tersebut dapat menjadi bahan untuk
pengembangan kawasan indusri agro berbasis ekologi (AEIP), khususnya di
Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara.
52
Tabel 3.4. Tujuan Penelitian, Sumber Data, Jenis Data, Metode Analisis, dan Output yang Diharapkan Tujuan Penelitian Sumber data Jenis Data Metode Analisis Output yang Diharapkan
Tujuan Khusus 1: Mengevaluasi kondisi aktual aktivitas industri agro di Kota Bitung
Data primer dan sekunder
Studi pustaka Responden
pemangku kepentingan
• Akitivitas industri agro/manufaktur di Kota Bitung
• Persepsi aktivitas industri manufaktur/agro
• Persepsi terhadap kebijakan pemerintah tentang kawasan industri.
• FaST (facility synergy tool).
• Pengelompokan SWOT • Connectance value • Bagan alir • Skala Likert
• Kinerja industri agro • Kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan
ancaman aktivitas industri agro di Kota Bitung • Pola keterkaitan dan pertukaran materi antara
industri yang telah ada dan yang potensial dikembangkan
• Persepsi pemangku kepentingan terhadap dampak positif maupun negatif aktivitas industri di Kota Bitung.
• Persepsi pemangku kepentingan terhadap kebijakan kawasan industri (rencana pendirian Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung)
Tujuan khusus 2: Menganalisis program pengembangan AEIP
Survei lapang Responden
pakar Studi pustaka
• Data aktivitas industri manufaktur/agro
• Persepsi pemangku kepentingan • Faktor-faktor penentu
pengembangan AEIP
• Metode ISM / Modul ISM VAXO
• Pairwise comparison Metode AHP/ Criterium Decision Plus Versi 3.0
• Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP • Alternatif AEIP Prioritas • Program Implementasi AEIP
Tujuan Khusus 3: Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Penerapan AEIP
• Implementasi Model Dinamik AEIP
• Data hasil simulasi model • Metode deskritif • Rekomendasi kebijakan
Tujuan Umum: Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung
• Sumber data Tujuan Khusus Penelitian No. 1-2
Output Tujuan khusus 1-2 • Sintesis tujuan khusus 1-2 dengan menggunakan Program Powersim Studio Expert 2005
• Program komputer “Model Pengembangan AEIP Bitung” disingkat MP-AEIP Bitung
53
IV. KONDISI WILAYAH PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Sejarah Kota Bitung
Berikut ini disajikan sejarah singkat Kota Bitung yang diangkat dari Bitung
Dalam Angka 2007 (BPS Bitung 2008).. Sebelum tahun 1964, Bitung hanyalah
merupakan kelompok desa-desa pinggir pantai biasa. Baru pada Tahun 1964
dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara No. 244 Tahun
1964, Bitung ditetapkan menjadi satu Kecamatan dengan jumlah penduduk
32.000 jiwa tersebar pada 28 desa dengan luas wilayah 29,79 km². Selanjutnya,
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1975, maka pada tanggal 10
April 1975 Kecamatan Bitung diresmikan menjadi Kota Administratif pertama di
Indonesia, dengan luas wilayah 304 km² terdiri atas 3 kecamatan dan 35 desa.
Kerena perkembangannya yang pesat maka Bitung kemudian dijuluki sebagai
Kota Serba Dimensi, yaitu Kota Pelabuhan, Kota Industri, Kota Perdagangan,
Kota Pariwisata dan Kota Pemerintahan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1990 maka pada tanggal 10 Oktober 1990 Kota Administratif Bitung
ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bitung, dengan
luas wilayah 304 km², 3 kecamatan dan 44 kelurahan. Memasuki era otonomi
daerah, penyebutan kotamadya dirubah menjadi “kota” sehingga menjadi “Kota
Bitung.”
4.1.2. Letak dan Luas Kota Bitung terletak pada posisi geografis diantara 1023’23‘’ – 10 35’ 39” LU
dan 12501‘43‘’ – 125018’13’’
Dari aspek topografis, sebagian besar daratan Kota Bitung berombak
berbukit (45,06%) dan bergunung (32,73%). Hanya 4,18% merupakan daratan
landai serta sisanya 18,03% berombak. Di bagian timur mulai dari pesisir pantai
Aertembaga sampai dengan Tanjung Merah di bagian barat, merupakan daratan
BT. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut
Maluku, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Likupang dan Kecamatan
Dimembe (Kabupaten Minahasa Utara), sebelah Timur berbatasan dengan Laut
Maluku dan Samudera Pasifik, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan Kauditan (Kabupaten Minahasa Utara). Wilayah daratan mempunyai
luas 30.400 ha, secara administratif terbagi atas 8 Kecamatan dan 69 Kelurahan.
4.1.3. Topografi
54
yang relatif cukup datar dengan kemiringan 0-150
4.1.4. Iklim
, sehingga secara fisik dapat
dikembangkan sebagai wilayah perkotaan, industri, perdagangan dan jasa serta
permukiman.
Di bagian utara keadaan topografi bergelombang dan berbukit-bukit yang
merupakan kawasan pertanian, perkebunan, hutan lindung, taman margasatwa
dan cagar alam. Di bagian selatan terdapat Pulau Lembeh yang keadaan
tanahnya pada umumnya kasar ditutupi oleh tanaman kelapa, hortikultura dan
palawija. Pulau ini memiliki pesisir pantai yang indah sebagai potensi yang dapat
dikembangkan menjadi daerah wisata bahari.
4.1.4.1. Kecepatan Angin
Kota Bitung terletak di pinggir pantai sehingga memiliki ekspos yang besar
terhadap tiupan angin. Di dalam Tabel 4.1. diperlihatkan kecepatan angin
maksimum dan rata-rata di Kota Bitung Tahun 2006. Data menunjukkan bahwa
kecepatan angin rata-rata sepanjang tahun adalah 19,83 knots (1 knot=1,85
km/jam).
Tabel 4.1. Kecepatan Angin Maksimum dan Rata-rata di Kota Bitung Tahun 2006
Bulan Kecepatan angin maksimum (knot)
Kecepatan angin rata-rata (knot)
Januari 36 25 Pebruari 23 22
Maret 41 28 April 22 18 Mei 24 15 Juni 42 18 Juli 65 38
Agustus 62 19 September 49 14
Oktober 41 16 Nopember 21 15 Desember 16 10
Sumber: Stasiun Meteorologi Maritim Bitung
Rata-rata tahunan kecepatan angin di lokasi penelitian adalah 19,83 knot
atau sekitar 10,19 meter/detik. Berdasarkan data ini maka di lokasi ini dapat
dibangun pembangkit listrik dengan turbin skala kecil (<100 kW) maupun skala
besar (≥100 kW). Turbin skala besar dapat beroperasi pada saat kecepatan
angin minimal 5 meter/detik, sedangkan turbin skala kecil dapat beroperasi pada
kecepatan angin minimal 3 meter/detik. Data di atas juga menunjukkan bahwa
55
pada bulan Desember dimana kecepatan angin adalah yang terendah, kondisi
kecepatan angin masih dapat menggerakkan turbin skala besar.
Salah satu contoh daerah yang telah membangun pembangkit listrik tenaga
angin di Indonesia adalah Nusa Penida, Bali. Data Bulan April 2007 s/d Maret
2008 menunjukkan bahwa kecepatan angin di wilayah tersebut berkisar antara
4,6-14,4 meter/detik pada pagi hari dan 5,3-14,0 meter/detik pada sore hari.
Data menunjukkan bahwa pada tahun 2007, pembangkit listrik tenaga angin di
wilayah tersebut dapat menghasilkan 122.840 kW/tahun atau 10.126 kW per
bulan dengan kontribusi <5% terhadap produksi listrik di wilayah tersebut. Hasil
analisis finansial menunjukkan bahwa dengan tingkat harga Rp 700/kW,
pembangkit listrik tenaga angin tidak menguntungkan (Ardana 2009).
Walaupun secara finansial tidak menguntungkan, namun listrik tenaga
angin merupakan sumber energi ramah lingkungan karena tidak mengakibatkan
emisi gas buang atau polusi yang berarti ke lingkungan. Disamping itu, sifatnya
adalah terbarukan sehingga dapat berkontribusi pada ketahanan pasokan
energi. Beberapa dampak lingkungan pembangkitan energi ini adalah dampak
visual, derau suara, ekologi, dan keindahan. Meskipun dampak-dampak
lingkungan ini menjadi ancaman dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga
angin, namun jika dibandingkan dengan penggunaan energi fosil, dampaknya
masih jauh lebih kecil (Breeze 2005).
4.1.4.2. Lama Penyinaran Matahari
Lama penyinaran matahari di Kota Bitung diperlihatkan di dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Penyinaran Matahari di Kota Bitung Tahun 2006 Bulan Penyinaran matahari (%) Januari 63 Pebruari 68
Maret 67 April 50 Mei 58 Juni 57 Juli 77
Agustus 61 September 67
Oktober 73 Nopember 68 Desember 65 Rata-rata 64,5
Sumber: Stasiun Meteorologi Maritim Bitung (2007).
Data menunjukkan bahwa rata-rata penyinaran matahari di lokasi penelitian
adalah 64,5%. Dengan merujuk pada data rata-rata penyinaran matahari
56
sebesar 57,25% di Nusa Penida (dimana pembangkit listrik tenaga surya telah
dibangun), dapat disimpulkan bahwa pembangkit listrik tenaga surya dapat
dibangun di lokasi penelitian.
Energi matahari merupakan salah satu solusi penyediaan energi di masa
yang akan datang. Salah satu kendalanya adalah investasi awal cukup mahal,
tapi biaya operasionalnya terbilang murah dibandingkan dengan pemanfaatan
energi gas bumi maupun batubara. Energi matahari dapat dimanfaatkan dengan
teknik solar thermal atau photogalvanic. Kendala utama teknik tersebut adalah
kategorinya sebagai high-technology dalam bidang nanoteknologi. Teknologi ini
belum dikuasai di Indonesia dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk
mengembangkannya. Dengan demikian, produksinya secara masal akan sulit
dilakukan. Saat ini, modul surya masih diimport dengan harga yang relatif mahal.
Namun kedepannya, diperkirakan akan semakin kompetitif sejalan dengan
penemuan cara-cara produksi yang lebih efektif dan efisien serta efek dari
semakin langkanya sumberdaya bahan bakar fosil.
Pembangkit listrik tenaga surya di Nusa Penida, Bali memiliki kapasitas
modul surya sebesar 32,4 kWp, trafo 50kVa, dengan output harian 130 kWh, 229
volt arus bolak balik (Ardana 2009). Dibandingkan dengan pembangkit listrik
tenaga surya, pembangkit ini memiliki biaya operasional lebih kecil. Namun,
sama seperti pembangkit listrik tenaga angin, dengan tingkat harga Rp 700/kWh,
pengembangan energi listrik ini tidak layak secara finansial (Ardana 2009).
4.2. Perekonomian Pertumbuhan ekonomi Kota Bitung Tahun 2006, yang ditunjukkan oleh
pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000, mengalami peningkatan
sebesar 2,91 persen. Pertumbuhan ini melambat jika dibanding tahun
sebelumnya sebesar 5,38 persen.
Data di dalam Bitung Dalam Angka Tahun 2007 (Gambar 4.1.)
menunjukkan bahwa pada tahun 2006 kontribusi Sektor Angkutan dan
Komunikasi berada pada urutan pertama terhadap total PDRB yakni sebesar
24,18 persen, diikuti oleh Sektor Industri sebesar 22,48 persen, dan ketiga
Sektor Pertanian sebesar 21,69 persen. Tingginya kontribusi sektor Angkutan
dan Komunikasi didominasi oleh aktifitas Pelabuhan Samudera Bitung,
sedangkan Sektor Pertanian disumbang oleh Sub-sektor Perikanan dengan
kontribusi sebesar 19,32 persen dari PDRB. Sektor Industri dipengaruhi oleh
57
keberadaan industri non-migas, yang sebagian besar adalah industri pengolahan
makanan seperti pengolahan ikan, minyak kelapa, dan lain-lain.
Gambar 4.1. Struktur Perekonomian Kota Bitung tahun 2006
Sumber : BPS Kota Bitung (2007).
PDRB per kapita Kota Bitung pada tahun 2006 sebesar Rp 15.322.271 dan
pendapatan per kapitanya adalah Rp 13.122.474. Angka ini merupakan angka
atas dasar harga berlaku, artinya mengikuti perubahan harga. Jika berdasarkan
harga pada tahun 2000 sebagai tahun dasar, maka PDRB per kapitanya adalah
Rp 10.251.489 dan pendapatan per kapitanya sebesar Rp 8.051.692,-
Nilai Location Quotiens (LQ) Tahun 2006 dari tiga sektor unggulan adalah:
Sektor Industri Pengolahan (2,54); Listrik, Gas dan Air Bersih (2,54);
Pengangkutan dan Komunikasi (1,80); dan Pertanian (1,12). Nilai LQ>1
mengindikasikan bahwa Kota Bitung mempunyai kecenderungan spesialisasi
yang lebih besar dari Provinsi Sulawesi Utara, yaitu cenderung untuk
mengekspor (BPS Bitung, 2007).
4.3. Penggunaan Lahan Lahan di Kota Bitung dimanfaatkan sebagai lahan kering (99,25%), lahan
sawah (0,25%), dan lainnya (0,50%). Perkembangan penggunaan lahan Kota
Bitung Tahun 2004-2006 dicantumkan pada Tabel 4.3. Data menunjukkan
bahwa ketersediaan lahan untuk pengembangan industri di Kota Bitung relatif
terbatas, karena peluang pengembangan hanya pada lahan tegalan dan
perkebunan. Oleh karena itu maka peluang pengembangan industri dapat
dilakukan ke wilayah otonom tetangga, yaitu Kabupaten Minahasa Utara.
Angkutan/ Komunikasi
24.18%Lainnya19.35%
Konstruksi12.30%
Pertanian
Industri22.48%
58
Tabel 4.3. Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenis Penggunaan Lahan
Tahun 2004-2006 No Penggunaan
Lahan 2004 2005 2006
Ha % Ha % Ha % 1 Lahan Kering :
Permukiman Tegalan Hutan Perkebunan Fasilitas Umum
4376 1899 9651
12972 800
14,39 6,25
31,75 42,67 2,63
5286 1852 9651
12062 847
17,39 6,09
31,75 39,68 2,79
5.286 1.852 9.651
12.062 847
17,39 6,09
31,75 39,68 2,79
2 Tanah Sawah : Sawah Tanah Basah/Rawa/Tambak
76 75
0,25 0,25
76 75
0,25 0,25
76 75
0,25 0,25
3 Lainnya 551 1,81 551 1,81 551 1,81 J u m l a h 30.400 100,00 30.400 100,00 30.400 100
Sumber : BPS Bitung (2007)
4.4. Ketenagakerjaan Jumlah penduduk Kota Bitung pada Tahun 2008 adalah 176.161 jiwa
(Anonim 2008). Transformasi struktur ekonomi perkotaan yang dicirikan oleh
pergeseran peranan sektor primer ke sektor tersier, juga dapat dicirikan oleh
pergeseran penyerapan tenaga kerja sektor primer ke sektor tersier.
Tahun 2006 sektor pertanian menyerap sebagaian besar dari jumlah
tenaga kerja yaitu sebanyak 24,60%, kemudian sektor transportasi dan
komunikasi 18,92%, sektor industri sebesar 15%, dan sektor perdagangan
14,86% sama dengan penyerapan di sektor jasa. Seiring dengan pesatnya
perkembangan akivitas industri dan arus bongkar muat di Pelabuhan Bitung
maka sektor konstruksi juga menyerap cukup banyak tenaga kerja yakni
mencapai 8,51%, dan sektor lainnya menyerap kurang dari 2%.
4.5. Prasarana 4.5.1. Listrik
Kebutuhan akan tenaga listrik, baik untuk tenaga penerangan maupun
usaha di Kota Bitung dipenuhi oleh PT. PLN (PLTA Tanggari 1 dan 2 dan PLTA
Tonsea Lama yang secara geogafis terletak di wilayah otonom lain), dan PLTD
Kota Bitung. Perkembangan daya terpasang PLN dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Sampai dengan tahun 2005, daya terpasang di Kota Bitung telah
mencapai 45.221 KVA dengan daya tersalur sebesar 46.453 KVA. Penggunaan
daya terbesar adalah oleh sektor industri mencapai 44,07%, diikuti
pelanggan rumah tangga sebesar 34,89%, usaha 15,09%, kantor 3,95% dan
59
sosial 2%. Produksi dan distribusi listrik selengkapnya di sajikan pada Gambar
4.2.
Gambar 4.2. Distribusi penggunaan daya listrik di Kota Bitung Tahun 2005 Sumber : BPS Bitung (2007).
Penurunan debit air dari Danau Tondano akibat musim kemarau
mengganggu kinerja PLTA sehingga menyebabkan pasokan listrik ke kota ini
berkurang. Diakhir Bulan Agustus 2009 pasokan listrik turun menjadi 26 MW
sehingga menyebabkan pemadaman listrik 3-5 kali sehari bagi semua
pengguna, termasuk bagi industri manufaktur. Salah satu jalan keluarnya adalah
himbauan kepada pihak industri sebagai pengguna terbesar untuk tidak
menggunakan listrik PLN pada beban puncak jam 17.30-20.00 Wita (Manado
Post, 2 September 2009). Suatu himbauan yang kontraproduktif terhadap upaya
untuk merangsang investasi dan mengembangkan kapasitas produksi industri.
4.5.2. Perikanan Laut Perekonomian Kota Bitung seperti diuraikan sebelumnya didominasi oleh
sektor pertanian terutama sub-sektor perikanan. Namun demikian dalam
perkembangannya, sektor industri ternyata berkembang cukup pesat. Industri di
Kota Bitung didominasi oleh industri perikanan, diikuti industri galangan kapal,
dan industri minyak kelapa. Di samping itu ada juga industri transportasi laut,
makanan, baja, industri menengah dan kecil.
Sub-sektor perikanan, terutama perikanan laut, menghasilkan output yang
fluktuatif. Pada tahun 2005 produksinya meningkat 0,66%, yakni dari 133.043,6
ton menjadi 133.924,8 ton pada tahun 2006, seperti terlihat pada Tabel 4.4.
60
Tabel 4.4. Produksi Perikanan Laut Kota Bitung Tahun 2001 - 2006 (ton)
Tahun Ikan
Binatang
berkulit keras Binatang berkulit lunak
Binatang air
lainnya
Jumlah
2001 125 178,9 354,7 281,6 - 125.815,2
2002 125 691,9 662,0 176,8 - 126.530,7
2003 114 815,7 405,3 268,5 - 115.489,5
2004 116 652,7 4,2 411,1 366,0 117.434,0
2005 132 198,1 3,8 501,2 340,5 133.043,6 2006 133.042,4 5,4 520,5 356,5 133.924,0
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung (2007).
4.6. Status Lingkungan Hidup Kota Hasil survei menunjukkan bahwa belum ada industri agro di Kota Bitung
yang pernah menerima penghargaan lingkungan yang diberikan oleh pihak
pemerintah maupun organisasi tertentu sehubungan dengan prestasi lingkungan
yang dilakukan oleh perusahan.
Kesadaran lingkungan dari pekerja pabrik dinilai cukup baik oleh
manajemen pabrik. Kesadaran itu melekat pada Standar Operasional Prosedur
(SOP) dari perusahan, yaitu membersihkan lantai processing, membersihkan
saluran air, alat-alat bongkar kapal, dan membuang sampah pada tempatnya.
Untuk menjaga agar kesadaran lingkungan tersebut terjaga, pihak manajemen
melakukan upaya pemahaman serta pengawasan. Namun, karena keterbatasan
dana sehingga program pelatihan formal yang dianggap penting di dalam
meningkatkan kesadaran lingkungan para pekerja belum pernah diadakan.
Mengacu pada standar penulisan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD)
dari Kementerian Lingkungan Hidup RI, Isu Pokok Lingkungan Hidup di Kota
Bitung adalah sampah kota, pencemaran air permukaan, pencemaran tanah,
konversi lahan pertanian ke penggunaan lain, dan erosi tanah dan degradasi
lahan.
(A). Sampah Kota
Penanganan sampah padat di Kota Bitung terkendala oleh bermasalahnya
lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Tewaan dan minimnya jumlah
armada angkutan sampah yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan Kota.
Permasalahan TPA Tewaan terdiri atas status legalitas kepemilikan lahan dan
61
letak TPA di wilayah dengan elevasi yang relatif tinggi. Status legalitas
kepemilikan lahan TPA terjadi karena sistem administrasi aset Kota yang tidak
dilakukan dengan baik sehingga keberadaan dokumen kepemilikan lahan tidak
bisa dilacak. Akibatnya, lahan tersebut dikuasai kembali oleh ex-pemilik dan
selanjutnya mengenakan beban sewa kepada Dinas Kebersihan bilamana akan
menggunakan TPA tersebut.
Letak TPA Tewaan di wilayah dengan elevasi yang relatif tinggi
menyebabkan beberapa permasalahan. Pertama, karena TPA dirancang
sebagai open dumping landfill maka sampah yang dibuang serta air lindi dari
sampah tersebut sangat berpotensi untuk merusak sistem aliran air tanah di
wilayah di bawahnya. Kedua, material sampah sangat potensial terbawa ke
wilayah di bawahnya oleh aliran air permukaan seperti air hujan. Ini sudah
terbukti terjadi di awal Juni 2009 dimana akibat hujan lebat menyebabkan
material sampah terbawa aliran air hujan dan mencemari kolam-kolam ikan di
wilayah di bawahnya. Akibatnya adalah kematian puluhan ribu ekor ikan air
tawar yang dibudidaya oleh masyarakat (Harian Komentar, 3 Juni 2009).
Jumlah armada angkutan truk yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan Kota
Bitung sangat terbatas, yakni sebanyak delapan buah. Keterbatasan armada
angkutan ini mengakibatkan dari produksi sampah yang berjumlah 1.395.708
m3/tahun, hanya sebanyak 47.450 m3/tahun yang dapat terangkut ke TPA.
Dengan demikian ada sejumlah besar volume sampah kota yang tidak terangkut
ke TPA sehingga terbiar menumpuk di tempat umum, atau di permukiman
warga, dan atau dibuang ke badan air.
(B). Pencemaran Air Permukaan
Air permukaan adalah badan air yang terbuka yang dapat berupa sumur,
sungai atau laut. Sumber pencemaran terhadap air permukaan di Kota Bitung
yang utama adalah industri, rumah tangga, dan restoran yang membuang
limbahnya langsung ke badan air.
Air permukaan pada titik-titik tertentu, seperti pada areal pemukiman padat,
lokasi perbengkelan, dan industri rawan terhadap pencemaran. Di lokasi
pemukiman padat, air permukaan kemungkinan tercemar oleh bakteri yang
berasal dari septic tank. Air permukaan di sekitar aktivitas perbengkelan juga
berpeluang tercemar oleh ceceran oli bekas yang merembes ke dalam tanah.
Sedangkan pada areal sekitar industri berpotensi tercemar oleh limbah industri.
62
Hal yang kontradiktif masih terjadi dimana ada pabrikan yang beranggapan
bahwa membuang limbah industri yang mengandung bahan organik seperti
minyak kelapa dan darah ikan dengan kadar yang rendah akan membantu
meningkatkan populasi plankton sehingga dapat meningkatkan kehidupan biota
laut.
(C). Pencemaran Tanah
Pencemaran tanah terjadi di titik-titik tertentu seperti di perbengkelan, lokasi
permukiman, bisnis, dan industri. Penanganan oli bekas di lokasi perbengkelan
umumnya belum maksimal, karena masih terjadi ceceran-ceceran oli bekas di
permukaan tanah. Sumber pencemaran tanah lainnya adalah tempat-tempat
penimbunan besi tua yang banyak terdapat di Kota Bitung. Di tempat-tempat
tersebut, besi tua hanya ditumpuk di tempat terbuka. Paparan besi tua terhadap
sinar matahari dan air hujan menyebabkan unsur-unsur dari bahan logam dapat
tercuci ke permukaan tanah. Unsur-unsur logam tersebut dengan mudah dapat
mencapai sumber-sumber air seperti sumur, sungai, atau laut.
(D). Konversi Lahan
Penelitian menyangkut konversi lahan pertanian/alih fungsi lahan di Kota
Bitung pada akhir 1990an dilaporkan oleh Turangan (1999). Hasil penelitian
tersebut menyatakan bahwa sampai dengan Tahun 1996, konversi lahan
pertanian mencapai 279,29 ha, namun data tidak dirinci per satuan waktu
tahunan sehingga kecenderungannya tidak kelihatan. Data di dalam Bitung
Dalam Angka Tahun 2006 (BPS Bitung 2007) memberikan informasi bahwa
hanya dalam selang waktu dua tahun, yaitu tahun 2004 s/d 2006 terjadi konversi
lahan pertanian seluas 957 ha, atau rata-rata 2,56%/tahun dari total lahan
pertanian secara keseluruhan di Kota Bitung. Konversi lahan pertanian terjadi
untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan fasilitas umum serta ekonomi.
(E). Erosi Tanah dan Degradasi Lahan
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, daratan Kota Bitung dibagi
menjadi beberapa kategori, yaitu berombak berbukit (45,06%), bergunung
(32,73%), berombak (18,03%), dan daratan landai (4,18%). Disisi lain, tekstur
tanah umumnya adalah berpasir dan liat berpasir. Kondisi permukaan tanah dan
tekstur tanah tersebut menyebabkan mudah terjadinya erosi tanah pada saat
musim penghujan. Erosi yang terjadi secara terus menerus menyebabkan
terjadinya degradasi lahan perkebunan dan hutan.
63
V. STATUS INDUSTRI MANUFAKTUR/AGRO
Pada bab ini akan dibahas mengenai status industri manufaktur/agro di
Kota Bitung. Status industri yang dibahas meliputi kinerja industri, jenis-jenis
industri dan produk yang dihasilkan, limbah industri, bahan ikutan industri,
persepsi pemangku kepentingan, evaluasi terhadap rencana pembangunan
Kawasan Industri, dan pola keterkaitan antar industri.
5.1. Industri Manufaktur Sektor industri manufaktur merupakan sektor andalan Kota Bitung. Pada
tahun 2006 terdapat 2.515 unit usaha, meningkat secara siknifikan dibanding
tahun 2002 yaitu 2.375 unit usaha (Tabel 5.1.). Bertumbuhnya sektor ini sangat
membantu perekonomian kota, terutama dengan meluasnya kesempatan kerja,
dimana pada tahun 2006 terserap tenaga kerja sebanyak 22.545 orang (Tabel
5.2.) (Dinas Perindag Kota Bitung, 2007). Jumlah Industri Kecil dan Menengah
(IKM) pada tahun 2004 dan 2005 mengalami peningkatan sebanyak 51 unit.
Tabel 5.1. Perkembangan Perusahaan Industri (unit) Thn 2002 – 2006
No Jenis Usaha Tahun 2002 2003 2004 2005 2006
1 Industri Kecil & Menengah 2.330 2.360 2.381 2.424 2.462 2 Industri Agro, Logam &
Kimia 45 47 51 51 53
Jumlah 2.375 2.407 2.432 2.475 2.515 Sumber: Dinas Perindag Kota Bitung (2007)
Dari 53 unit usaha industri besar (industri agro, logam, dan kimia), jumlah
industri agro adalah 35 unit usaha atau sekitar 67 persen atau merupakan
mayoritas dari keseluruhan industri besar yang ada di Kota Bitung.
Tabel 5.2. Perkembangan Tenaga Kerja (orang) Thn 2002 – 2006
No Tenaga Kerja Tahun 2002 2003 2004 2005 2006
1 Industri Kecil & Menengah 11.092 11.174 11.245 11.380 11.479
2 Industri Agro Logam & Kimia 7.647 10.116 10.510 10.510 11.066
Jumlah 18.739 21.290 21.755 21.890 22.545 Sumber : Dinas Perindag Kota Bitung (2007)
Kinerja investasi industri manufaktur di Kota Bitung dapat dinilai baik.
Penilaian ini didasarkan pada adanya penambahan sebanyak 140 unit usaha
antara tahun 2002 dengan 2006 atau dengan rata-rata 23 unit usaha/tahun
(Dinas Perindag Kota Bitung 2007). Mengacu pada Sagala (2004), peluang
64 pengembangan kawasan industri di Kota Bitung cukup besar karena tingkat
realisasi investasinya lebih besar dari 10 buah per tahun. Untuk industri kecil
dan menengah di tahun 2004 dan 2005 mengalami peningkatan sebanyak 51
unit usaha. Rata-rata perkembangan Industri Kecil dan Menengah serta Industri
Agro, Logam dan Kimia yaitu sebesar 21%. Bila semua jenis industri digabung
maka dengan nilai investasi sebesar Rp 572,203 milyar mampu menghasilkan
produksi sebesar Rp 1.232,411 milyar.
Tabel 5.3. Perkembangan Nilai Produksi (Rp Juta) Thn 2002 – 2006
No Nilai Produksi Tahun
2002 2003 2004 2005 2006 1 Industri Kecil &
Menengah 118.097 119.525 121.57 124.780 132.891
2 Industri Agro Logam kimia 851.095 897.905 976.462 976.462 1.098.520
Jumlah 969.192 1.017.43 1.098.032 1.101.242 1.232.411 Sumber: Dinas Perindag Kota Bitung (2007)
5.2. Jenis-jenis Industri dan Produk-produk yang Dihasilkan
Jenis-jenis industri agro di Kota Bitung didominasi oleh industri perikanan
laut dan industri kelapa. Berdasarkan survei yang dilakukan diketahui bahwa
penamaan produk-produk utama dari industri perikanan laut oleh pabrikan
berbeda antara satu pabrik dengan lainnya, demikian juga dengan penamaan di
dalam Informasi Industri Formal yang dikeluarkan oleh Dinas Perindag Kota
Tabel 5.4. Jenis-jenis Industri Agro dan Produk-produk yang Dihasilkan No Jenis industri Jenis produk yang dihasilkan Jumlah
unit usaha
Produksi/tahun (ton)
1 Tepung kelapa Tepung kelapa 1 6.400 2 Minyak kelapa Minyak kelapa 2 239.075 3 Minyak kelapa
sawit Minyak sawit 2 305.805
4 Perikanan laut Fresh tuna, fresh loin tuna, frozen loin tuna, frozen tuna, frozen cooked loin tuna, smoked fish, dried fish, canned tuna
30 94.960
5 Tepung ikan Tepung ikan 1 175 6 Pakan ternak Pakan ternak 6 7.785,2 7 Minyak murni VCO 1 1 8 Karbon aktif Karbon aktif 1 7.200 9 Nata de Coco Nata de Coco
Sumber: Data diolah dari Informasi Industri Formal di Kota Bitung s/d Tahun 2007 (Dinas Perindag Kota Bitung 2008).
65 Bitung Tahun 2008. Untuk keperluan analisis maka jumlah unit usaha maupun
produksi dari semua jenis industri perikanan laut tersebut disatukan, seperti yang
diperlihatkan di dalam Tabel 5.4.
Produk-produk utama yang dihasilkan oleh industri kelapa adalah tepung
kelapa, minyak kelapa, dan minyak goreng.
5.2.1. Diagram Aliran Materi Tahunan Diagram aliran materi tahunan dari industri perikanan laut di Kota Bitung
diperlihatkan pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Profil Industri Perikanan Laut (Diagram Aliran Materi Tahunan) Sumber: Hasil kompilasi data dari sumber: Bitung Dalam Angka 2007,
Dinas Perindag Kota Bitung 2008, dan data prediksi. Ket: *) Bahan mentah
Data Diagram Aliran Materi Tahunan Industri Perikanan Laut di Kota
Bitung diperoleh dengan cara sebagai berikut:
1. Produksi sebanyak 94.960 ton adalah data faktual yang diperoleh dari
Informasi Industri Formal di Kota Bitung s/d Tahun 2007 (Dinas Perindag
Kota Bitung 2008).
2. Input materi (bahan baku) sebanyak 158.260 ton merupakan data prediksi
dengan mengalikan data produksi dengan rendemen rata-rata produk
perikanan laut sebesar 60% (94.960x(1/0,6)).
3. By-products sebanyak 13.266 ton merupakan perkalian antara produk yang
dihasilkan dari by-product pada Tabel Jenis-jenis industri dan produk yang
dihasilkan di atas (7.960,2 ton) dengan rendemen rata-rata tepung ikan dan
pakan ternak sebesar 60% (7.960,2x(1/0,6)).
Kebutuhan Kebutuhan Energi 3.736 MW air: 3,17 juta m3 Input materi: Produk: 158.260 ton*) 94.960 ton
Output non-produk By-products: 13.266 ton*) Limbah cair: 3,17 juta m3.
Industri Perikanan Laut
66 4. Kebutuhan air sebesar 3,17 juta m3
5. Kebutuhan energi listrik sebanyak 3.736 MW merupakan penggunaan listrik
oleh sektor industri (44,07%) terhadap daya tersalur sebesar 46.453 KVA
dibagi dua (setengah bagian digunakan oleh industri kelapa).
merupakan perkalian antara input materi
(158.260.000 kg) dengan pemakaian air sebesar 20 lt/kg bahan baku.
Data input materi bahan baku perikanan laut melebihi potensi produksi
perikanan laut Kota Bitung Tahun 2006 sebesar 133.042,4 ton. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat kekurangan pasokan bahan baku sebanyak
25.217,6 ton per tahun yang diimpor dari luar daerah, seperti Provinsi Maluku
Utara dan Gorontalo.
Data yang sangat menonjol besarnya adalah penggunaan air sebanyak
3,17 juta m3 per tahun. Bila dibagi dengan jumlah industri perikanan laut yang
beroperasi sebanyak 30 unit maka penggunaan air bersih adalah sebanyak 294
m3
1. Kebutuhan energi listrik: sama dengan penjelasan pada diagram aliran
materi tahunan industri perikanan laut.
/perusahan/hari, suatu jumlah yang sangat besar.
Diagram aliran materi tahunan dari industri kelapa di Kota Bitung
diperlihatkan pada Gambar 5.2.
Data Diagram Aliran Materi Tahunan Industri Kelapa di Kota Bitung
diperoleh dengan cara sebagai berikut:
2. Kebutuhan air adalah terutama digunakan oleh industri kelapa parut kering
(KPK) yang menghasilkan produk sebanyak 6.400 ton. Penggunaan air untuk
industri KPK adalah 20 liter air bersih/kg KPK yang dihasilkan atau sebanyak
128 ribu m3 per tahun. Sedangkan air cucian untuk industri kelapa lainnya
diprediksi sebanyak 10% dari kebutuhan industri KPK, sehingga total
kebutuhan air industri kelapa adalah 140,8 ribu m3
3. Input materi kelapa setara kopra adalah 409.109 ton merupakan data
prediksi dengan mengalikan data produksi dengan rendemen rata-rata
produk kelapa sebesar 60% (245.475x(1/0,6)).
per tahun.
4. Jumlah air kelapa yang dihasilkan sebanyak 6.400 m3
diperoleh dengan
mengalikan produksi KPK dalam kilogram (6400000)(5)(200 ml). Angka lima
menunjukkan banyaknya butir kelapa untuk menghasilkan satu kilogram
KPK, sedangkan 200 menunjukkan banyaknya air kelapa (ml) per butir
kelapa.
67
Gambar 5.2. Ilustrasi Profil Industri Kelapa (Diagram Aliran Materi Tahunan)
Sumber: Hasil kompilasi data dari sumber: Bitung Dalam Angka 2007,
Dinas Perindag Kota Bitung 2008, dan data prediksi.
5. Jumlah tempurung kelapa yang dihasilkan sebanyak 12.800 ton diperoleh
dengan mengalikan produksi KPK dalam kilogram (6400000)(5)(400 gr).
Angka lima menunjukkan banyaknya butir kelapa untuk menghasilkan satu
kilogram KPK, sedangkan 400 menunjukkan beratnya tempurung kelapa (gr)
per butir kelapa.
6. Jumlah paring kelapa yang dihasilkan sebanyak 6.400 ton diperoleh dengan
mengalikan produksi KPK dalam kilogram (6400000)(5)(200 gr). Angka lima
menunjukkan banyaknya butir kelapa untuk menghasilkan satu kilogram
KPK, sedangkan 200 menunjukkan banyaknya paring kelapa (gr) per butir
kelapa.
Data input materi bahan baku kelapa melebihi potensi produksi kelapa
Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2007 sebesar 229.613 ton setara kopra (Sulut
Dalam Angka 2008). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kekurangan pasokan
bahan baku sebanyak 179.496 ton setara kopra per tahun yang diimpor dari luar
daerah, seperti Provinsi Maluku Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah.
Kebutuhan Kebutuhan
energi: 3.736 MW air: 140,8 ribu m3 Input materi: Produk: Kelapa setara 245.475 ton Kopra:409.109 ton tepung kelapa dan minyak kelapa
Output non-produk Limbah cair: 140,8 ribu m3
Bahan ikutan: Air kelapa: 6.400 m3
Tempurung kelapa: 12.800 ton Paring daging kelapa: 6.400 ton.
Industri Kelapa
68 5.2.2. Pengelompokan Menurut Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan
Ancaman 5.2.2.1. Kekuatan (A). Industri Perikanan Laut
- Posisi geografis di alur pelayaran laut internasional (APLI) yang memberi
keuntungan untuk pemasaran produk ke negara-negara Asia Pasifik, seperti
Taiwan, China, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat.
- Posisi sebagai sentra produksi industri perikanan laut ditunjukkan oleh jumlah
unit usaha pengolahan produk perikanan laut dan armada penangkap ikan di
kota ini yang relatif besar.
- Tersedianya fasilitas pelabuhan perikanan, laboratorium pengujian perikanan,
sekolah perikanan, akademi perikanan, pelabuhan samudera laut, kedekatan
dengan bandar udara, pembuatan dan perbaikan kapal, dan lain-lain.
- Ketersediaan sumberdaya manusia dalam bidang produksi, pengujian,
pendidikan dan pelatihan, pembuatan kapal penangkapan ikan, perbaikan
kapal dan penangkapan ikan.
- Kualitas sumberdaya perikanan laut (golden fish ground) yang tinggi/relatif
belum tercemar sehingga menghasilkan produk tangkapan yang berkualitas
tinggi.
(B). Industri Kelapa
- Tersedianya plasma nuftah Kelapa Dalam (KD). - Kondisi agroklimat yang sesuai untuk pertanaman KD dan kelapa hibrida
(KH).
5.2.2.2. Kelemahan (A). Industri Perikanan Laut
- Kemampuan teknologi armada tangkap yang relatif ketinggalan dibandingkan
dengan kemampuan negara tetangga, seperti Philipina, Thailand, dan
Taiwan.
- Kapasitas tampung produk perikanan yang terbatas, khususnya pada musim-
musim tangkap puncak.
- Kendala birokrasi yang rumit dan pungutan liar.
- Kemampuan SDM yang terbatas.
- Sistem monitoring dan pengawasan terhadap illegal fishing yang masih
lemah.
69 (B). Industri Kelapa - Status industri perkelapaan yang dikategorikan sebagai sunset industry.
- Rata-rata umur tanaman kelapa relatif tua.
- Tingkat aktivitas peremajaan kelapa relatif rendah.
- Luasan lahan untuk ekstensifikasi usaha sangat terbatas.
- Nilai usaha yang rendah antara lain karena mayoritas petani menerapkan
sistem monokultur.
- Masih kurangnya diversifikasi produk industri kelapa.
- Kemampuan SDM dalam bidang teknologi yang masih terbatas.
- Air kelapa belum dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan nilai
tambah produk.
5.2.2.3. Peluang (A). Industri Perikanan Laut
- Kebijakan nasional yang mendorong investasi.
- Kebijakan nasional pengelolaan wilayah/daerah masing-masing untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
- Permintaan ekspor produk perikanan laut yang relatif tinggi. - Menjadi alur migrasi lintas internasional dari jenis-jenis ikan yang bernilai
ekonomi tinggi, seperti tuna dan cakalang.
(B). Industri Kelapa
- Kebijakan nasional yang mendorong investasi.
- Kebijakan nasional pengelolaan wilayah/daerah masing-masing untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
- Posisi kelapa sebagai komoditas sosial masyarakat (tree of life).
- Permintaan atas Crude Coconut Oil (CCO) sebagai bahan baku pembuatan
margarine yang tak tergantikan oleh sumber minyak nabati lainnya.
5.2.2.4. Ancaman (A). Industri Perikanan Laut
- Penjualan hasil tangkapan di laut kepada nelayan asing. - Persaingan usaha yang semakin ketat dengan provinsi-provinsi lain di
Kawasan Timur Indonesia yang juga memiliki potensi perikanan laut yang
besar.
- Semakin ketatnya ketentuan-ketentuan standar produk perikanan laut di
negara-negara importir.
70 - Sertifikasi produk perikanan.
- Pembuangan limbah domestik, industri manufaktur, dan pertambangan yang
bermuara di laut.
- Pasokan energi listrik yang terbatas sehingga menghambat investasi baru dan
meningkatkan biaya operasional usaha.
(B). Industri Kelapa
- Penebangan pohon kelapa dengan laju yang cukup tinggi untuk digunakan
sebagai bahan bangunan dan bahan bakar pembuatan batu bata.
- Konversi lahan perkebunan kelapa untuk penggunaan bukan pertanian yang
cukup tinggi.
- Permintaan produk dari importir yang dikaitkan dengan praktek lingkungan
pabrik pengolahan kelapa.
- Persaingan penggunaan bahan baku dengan penggunaan domestik.
- Pasokan energi listrik yang terbatas sehingga menghambat investasi baru
dan meningkatkan biaya operasional usaha.
5.3. Limbah Industri Limbah industri agro yang dominan dihasilkan oleh industri perikanan dan
kelapa adalah limbah cair karena kedua jenis industri tersebut menggunakan air
dalam jumlah besar di dalam proses produksi. Limbah cair umumnya diolah
secara konvensional dengan sistem septic tank atau dengan pengolahan secara
fisika, seperti penyaringan, untuk selanjutnya dialirkan ke badan air.
Di dalam Tabel 5.5. maupun Tabel 5.6. dicantumkan data tentang limbah
cair dan padat yang dihasilkan oleh industri agro. Kecuali untuk data dari
industri karbon aktif, data limbah cair dan padat di dalam tabel tersebut
merupakan hasil prediksi yang dilakukan oleh peneliti dengan merujuk pada
sumber pustaka dan atau informasi dari sumber yang relevan, seperti manajer
produksi dari beberapa pabrik.
Data untuk industri tepung kelapa diperoleh dengan merujuk pada laporan
dari Pojoh dkk. (2000). Dalam laporan itu disebutkan bahwa satu kilogram
tepung kelapa dihasilkan dari rata-rata lima butir kelapa tua segar (umur 10-12
bulan). Satu butir kelapa tua segar mengandung air kelapa sebanyak rata-rata
200 ml, tempurung kelapa sebanyak rata-rata 400 gram, dan paring kelapa
sebanyak rata-rata 200 gram. Air pencuci untuk lima butir daging kelapa
diperkirakan sebanyak 20 liter/kg KPK. Air kelapa yang menyatu dengan air
71 cucian daging kelapa itulah yang merupakan limbah cair industri kelapa. Industri
tepung ikan, pakan ternak, dan minyak murni menghasilkan limbah cair dan
limbah padat dalam jumlah yang tidak siknifikan.
Tabel 5.5. Limbah Cair dan Padat dari Industri Agro
No Jenis industri Limbah cair*) (m3
Limbah padat*) (ton/tahun) /tahun)
1 Tepung kelapa 147.200 - 2 Minyak kelapa Tidak signifikan -
3 Minyak kelapa sawit Tidak signifikan -
4 Perikanan laut 3,17 juta Plastik, spons, karton
5 Tepung ikan Tidak signifikan Tidak signifikan 6 Pakan ternak Tidak signifikan Tidak signifikan 7 Minyak murni Tidak signifikan Tidak signifikan 8 Karbon aktif - 288
Keterangan :*) Data hasil prediksi (kecuali untuk data industri karbon aktif yang merupakan data faktual)
5.4. Bahan Ikutan Industri Bahan ikutan dari industri perikanan laut meliputi: kepala, daging hitam,
sirip, ekor, tulang, dan isi perut ikan laut, sedangkan dari industri kelapa adalah
air kelapa, tempurung kelapa, dan paring kelapa. Data kuantitas tempurung
kelapa diperoleh dengan mengalikan jumlah produksi tepung kelapa dalam
satuan kilogram dengan berat tempurung per butir kelapa (400 gram). Data
kuantitas paring kelapa diperoleh dengan mengalikan jumlah produksi tepung
kelapa dalam satuan kilogram dengan berat paring kelapa per butir (200 gram).
Industri tepung ikan, pakan ternak, maupun karbon aktif tidak menghasilkan
bahan ikutan yang siknifikan jumlahnya.
Tabel 5.6. Jenis Industri Agro Penghasil Hasil Ikutan
No Jenis industri Hasil Ikutan*) (per Tahun)
1 Tepung kelapa • Tempurung kelapa: 12.800 ton • Paring daging kelapa: 6.400 ton • Air kelapa: 6.400 m3
2 Minyak kelapa Bungkil kopra: 34.650 ton 3 Perikanan laut 13.266 ton 4 Tepung ikan Tidak signifikan 5 Pakan ternak Tidak signifikan 6 Minyak murni Tidak signifikan 7 Karbon aktif Tidak signifikan
Keterangan: *) data hasil prediksi
72 5.5. Persepsi Pemangku Kepentingan 5.5.1. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Aktivitas Industri
Hasil survei menunjukkan bahwa secara kumulatif 69,74% atau mayoritas
warga masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi industri manufaktur
menyatakan setuju bahwa industri manufaktur/agro memberi banyak manfaat
bagi mereka; dan tinggal di sekitar industri manufaktur relatif nyaman (Tabel 5.7.
dan Gambar 5.3.).
Tabel 5.7. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur
Sumber: Hasil Survei Lapangan (2009). Ket: Pertanyaan (1) terdiri atas 5 sub-pertanyaan; pertanyaan (2) terdiri atas 4 sub-pertanyaan; dan pertanyaan (3) terdiri atas 2 sub-pertanyaan
Warga masyarakat berpendapat bahwa aktivitas industri agro yang
terdapat di desa/kelurahan mereka merupakan:
1. Penyedia lapangan pekerjaan;
2. Keberadaan industri agro di desa/kelurahan ini meningkatkan nilai jual lahan;
3. Industri agro yang terdapat di desa/kelurahan ini memberi kesempatan
kepada masyarakat untuk menjadi pemasok bahan baku/bahan penolong;
4. Keberadaan industri agro di desa/kelurahan ini membuat bisnis ojek, kos,
warung makan dan bisnis lainnya berkembang dengan baik; dan
5. Industri agro yang terdapat di desa/kelurahan ini menerapkan program
tanggung jawab sosial (CSR) dengan cukup baik.
Selanjutnya, tehadap keberadaan dan operasional harian dari industri
manufaktur/agro yang terdapat di sekitar permukiman warga masyarakat,
masyarakat memiliki persepsi bahwa (Gambar 5.4).
1. Walaupun tinggal menetap di sekitar pabrik/industri agro namun tetap
merasa nyaman tinggal di disini.
No Pertanyaan N Kategori jawaban (Responden) Sangat setuju
Setuju Ragu-ragu
Tidak setuju
Sangat tidak setuju
1 Industri manufaktur bermanfaat bagi warga masyarakat
157 39 81 29 7 1
2. Tinggal di sekitar industri manufaktur relatif nyaman
157 16 83 34 18 6
Jumlah 55 164 63 25 7 Persentasi 17,52 52,22 20,06 7,96 2,24 Persentasi Kumulatif 17,52 69,74 89,80 97,76 100
73
Gambar 5.3. Persepsi Warga Terhadap Manfaat Industri Agro
2. Belum pernah terjadi gangguan kesehatan yang fatal di daerah ini karena
pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri agro, dan
3. Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri agro dapat
diatasi dengan baik oleh Perusahan.
Hal-hal yang dikemukakan di atas sejalan dengan fakta yang berkembang
bahwa sampai saat survei dilakukan, tidak ada komplain atau keberatan yang
berarti yang disampaikan oleh masyarakat terhadap eksistensi industri
manufaktur/agro, khususnya dalam bentuk demonstrasi atau unjuk rasa.
Kalaupun ada keluhan warga masyarakat maka dengan itikad baik dari pihak-
pihak terkait dan dengan mediasi pihak Pemerintah Kota, dapat dicarikan solusi
Gambar 5.4. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Kenyamanan Tinggal di Sekitar Industri Agro
yang dapat diterima semua pihak. Contohnya ditunjukkan oleh kesediaan
masyarakat untuk bernegosiasi secara damai dengan pihak perusahan tertentu
yang diduga telah menyebabkan pencemaran industri sehingga menyebabkan
kematian puluhan ribu ekor ikan air tawar yang dibudidaya (Harian Komentar, 4
Persepsi warga masyarakat bahwa tinggal dan menetap di sekitar industri agro relatif nyaman
Sangat setuju
Setuju
Ragu-raguTidak setuju
Sangat tidak setuju
Persepsi warga masyarakat bahwa industri agro di Kota Bitung memberi banyak manfaat
Sangat setuju
Setuju
Ragu-ragu Tidak setuju
Sangat tidak setuju
74 Juni 2009). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan sosial antara
industri dan masyarakat di sekitarnya relatif baik.
5.5.2. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri
Hasil survei menunjukkan bahwa secara kumulatif 68,15% atau mayoritas
warga masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi industri manufaktur setuju
dengan rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah
(Tabel 5.8. dan Gambar 5.5). Bagi masyarakat, pembangunan kawasan industri
tidak akan mempengaruhi kesempatan kerja dan peluang usaha bagi mereka
karena rencana lokasi berada sangat dekat dengan permukiman mereka.
Tabel 5.8. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri
No Pertanyaan N
Kategori jawaban (Responden)
Sangat setuju Setuju Ragu-
ragu Tidak setuju
Sangat tidak setuju
1 Tanggapan terhadap rencana pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung
157 44 63 34 14 2
Persentasi 28,03 40,12 21,66 8,92 1,27 Persentasi Kumulatif 28,03 68.15 89,81 98,73 100
Sumber: Hasil Survei Lapangan (2009).
Justru, rencana pembangunan tersebut diduga akan meningkatkan
kesempatan kerja dan peluang usaha bagi warga masyarakat. Masyarakat juga
menyatakan bersedia menjual lahan hak milik sesuai harga pasar atau menjadi
pemegang saham apabila lahan diperlukan untuk membangun suatu Kawasan
Industri.
Gambar 5.5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri
Persetujuan warga masyarakat atas rencana pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung
sangat setuju
setuju
ragu-ragu
tidak setujusangat tidak
setuju
75
5.5.3. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Aktivitas Industri Data persepsi aparat pemerintah terhadap aktivitas industri
agro/manufaktur diberikan pada Tabel 5.9. Data menunjukkan bahwa mayoritas
aparat pemerintah setuju bahwa industri manufaktur bermanfaat dan aktivitasnya
memiliki prospek yang cerah. Manfaat industri adalah sebagai penyedia
lapangan kerja yang utama bagi masyarakat dan merupakan penggerak utama
perekonomian Kota.
Namun bertentangan dengan pendapat warga masyarakat, aparat
pemerintah memiliki persepsi bahwa kinerja lingkungan industri manufaktur di
kota ini masih cukup rendah dengan alasan-alasan bahwa:
1. Biaya penanganan limbah industri merupakan beban besar bagi pihak
industri.
2. Pihak pabrikan kurang memiliki kesadaran yang baik untuk menjaga
lingkungan yang baik.
3. Teknologi penanggulangan pencemaran industri sangat mahal dan kurang
tersedia
4. Tekanan dari masyarakat dan NGO belum dilakukan secara optimal.
5. Lokasi pabrik relatif terpencar sehingga sulit di monitor
6. Posisi masyarakat lemah dibandingkan industriawan
7. Pemberhentian aktivitas suatu industri penyebab pencemaran lingkungan
akan berdampak besar bagi perekonomian Kota.
Tabel 5.9. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur
No Pertanyaan N
Jawaban
Sangat setuju Setuju Ragu-
ragu Tidak setuju
Sangat tidak setuju
1 Manfaat industri manufaktur 31 9 16 1 5 0 2. Kinerja lingkungan industri
manufaktur di Bitung masih rendah
31 7 13 7 3 1
3 Aktivitas industri agro memiliki prospek yang cerah 31 7 15 8 1 0
Keterangan: - Masing-masing pertanyaan terdiri atas beberapa sub-pertanyaan dengan maksud
untuk mendalami jawaban yang diberikan oleh responden (Pertanyaan (1): 2 sub-pertanyaan; Pertanyaan (2): 7 sub-pertanyaan; Pertanyaan (3): 12 sub-pertanyaan.
Aparat pemerintah berpendapat bahwa aktivitas industri agro memiliki
prospek yang cerah karena:
76 1. Aktivitas industri agro di Kota ini akan semakin berkembang di masa yang
akan datang.
2. Industri agro akan semakin menjadi tumpuan bagi penyediaan lapangan
kerja.
3. Pasokan bahan baku bagi industri agro di Kota ini akan terus ada secara
berkelanjutan.
4. Pasokan air dan energi bagi industri agro akan terus berkelanjutan.
5. Dampak lingkungan aktivitas industri dapat dikendalikan dengan baik.
6. Teknologi penanggulangan pencemaran industri agro yang baru dan
terjangkau harga dan operasionalnya akan semakin tersedia di masa yang
akan datang.
7. Akan semakin berkembang sistem manajemen dan monitoring dan evaluasi
lingkungan yang semakin baik dalam mengantisipasi dihasilkannya by
products dan limbah industri.
8. Ketersediaan lahan di Kota ini akan dapat mendukung pertambahan jumlah
industri agro
9. Infrastruktur pendukung industri agro akan terus berkembang.
10. Tenaga kerja profesional akan terus bertambah dan mendukung aktivitas
industri agro di Kota ini.
11. Kesadaran lingkungan pihak industriawan akan semakin baik di masa yang
akan datang.
12. Pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi ke Samudera Pasifik akan semakin
meningkatkan geliat aktivitas industri agro di Kota ini.
5.5.4. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri
Data persepsi aparat pemerintah terhadap rencana pembangunan
Kawasan Industri diberikan pada Tabel 5.10. Aparat pemerintah setuju,
walaupun dengan persentasi yang tidak terlalu tinggi (51,61%) bahwa
terpencarnya lokasi pembangunan industri akan membawa banyak dampak
buruk dalam hal:
1. Pabrik/industri agro dibangun di lokasi-lokasi yang terpencar cenderung
mengakibatkan tingginya dampak pencemaran industri.
2. Terpencarnya lokasi pabrik menyebabkan Pemerintah sulit melakukan
kegiatan monitoring dan evaluasi , khususnya terhadap pencemaran industri.
3. Terpencarnya lokasi pabrik mengurangi nilai estetika kota.
77
Tabel 5.10. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri
No Pertanyaan N
Jawaban
Sangat setuju Setuju Ragu-
ragu Tidak setuju
Sangat tidak setuju
1 Terpencarnya lokasi industri memberi banyak dampak buruk 31 2 14 6 8 1
2 Pembangunan Kawasan Industri di kota ini sangat diperlukan 31 12 14 4 1 0
Keterangan: - Masing-masing pertanyaan terdiri atas beberapa sub-pertanyaan dengan maksud
untuk mendalami jawaban yang diberikan oleh responden (Pertanyaan (1): 9 sub-pertanyaan; Pertanyaan (2):47 sub-pertanyaan.
4. Terpencarnya lokasi pabrik meningkatkan biaya transportasi produk, bahan
baku, dan tenaga kerja.
5. Terpencarnya lokasi pabrik menyuburkan premanisme.
6. Terpencarnya lokasi pabrik menurunkan efektivitas pengendalian pencurian
air dan listrik.
7. Terpencarnya lokasi pabrik menurunkan daya saing produk dari segi tingkat
kepercayaan konsumen.
Selanjutnya, aparat pemerintah menyatakan setuju dengan persentase
yang tinggi (83,87%) bahwa pembangunan suatu kawasan industri sangat
diperlukan di Kota ini dan dukungan untuk itu telah tersedia berupa:
1. Tersedianya lahan yang cukup luas pada kawasan sesuai RTRW untuk
membangun suatu kawasan industri.
2. Di masa yang akan datang, semua industri wajib untuk merelokasi industri ke
atau mendirikan industri baru/melakukan perluasan usaha di dalam Kawasan
Industri.
3. Pemerintah siap mengatur agar suatu kawasan industri terbangun di kota ini.
5.5.5. Pendapat Pihak Industri Agro Sebanyak 91% dari industri agro yang disurvei menyatakan bahwa
pengendalian pencemaran industri sangat penting bagi pabrik mereka. Tanpa
adanya upaya tersebut maka proses produksi dari pabrik dapat mengganggu
kehidupan masyarakat di sekitar pabrik dan kelestarian lingkungan hidup. Oleh
karena itu pihak pabrik melakukan beberapa upaya seperti: (1) pada setiap
saluran pembuangan air limbah dipasang saringan agar air yang mengalir ke laut
sudah bebas dari tulang ikan berukuran besar, (2) memeriksa kualitas air bersih,
air limbah, dan air laut di laboratorium analisis, (3) menerapkan upaya
78 pengelolaan dan pemantauan lingkungan (UKL/UPL), dan (4) Mengurangi
kepekatan air yang mengandung darah ikan dengan cara menambahkan air
bersih kedalamnya sebelum dibuang ke badan air.
Untuk yang disebut terakhir, ada pihak industri yang berpendapat bahwa
bahan organik yang terdapat di dalam limbah cair industri yang dibuang ke
badan air (laut) bermanfaat bagi kehidupan biota laut. Walaupun untuk derajat
tertentu klaim ini dapat dilegitimasi, namun memperlakukan limbah cair dengan
cara pengenceran untuk selanjutnya dibuang ke lingkungan tidak diperkenankan
oleh peraturan perundangan. Memang fakta di lapangan menunjukkan bahwa
walaupun praktek tersebut sudah dilakukan puluhan tahun namun dampaknya
terhadap kualitas perairan laut tidak siknifikan antara lain terkait dengan
kemampuan asimilasi perairan laut yang tinggi dan laju arus air laut yang besar
di Selat Lembeh.
5.5.6. Persepsi Pihak Industri Agro Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri
Data persepsi industri agro terhadap rencana pembangunan kawasan
industri di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung dinyatakan pada Tabel 5.11.
Terhadap diundangkannya PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri,
khususnya terhadap pasal (7) dan pasal (8), industri agro yang disurvei
menjawab setuju dan mendukung ketentuan tersebut dengan catatan:
1. Fasilitasnya sudah tersedia secara lengkap;
2. Alternatif bagi pendirian industri baru;
3. Mengurangi dampak pencemaran terhadap masyarakat; dan
4. Adanya kemudahan misalnya harga lahan yang terjangkau.
Adanya fasilitas kawasan industri yang lengkap akan menjadi faktor
penghela dan pendorong pembangunan industri di dalam kawasan industri.
Fasilitas pendukung yang diperlukan adalah jalan, komunikasi, listrik, air, kapling
siap pakai, gudang, kesehatan, pusat pengolahan air limbah dan pusat daur
ulang limbah padat.
Pembangunan industri di dalam kawasan industri dapat terjadi karena
relokasi industri eksisting ke dalam kawasan industri atau pendirian industri baru.
Industri baru yang dapat dibangun adalah industri yang bertumpu pada
sumberdaya lokal. Ketersediaan bahan baku lokal, khususnya perikanan laut,
dapat dijaga apabila daya tangkap perikanan laut dapat ditingkatkan tapi dilain
79 pihak menekan penjualan ikan kepada nelayan asing di tengah laut serta
menekan illegal fishing, oleh aparat penegak hukum.
Pihak industri agro yakin bahwa pendirian industri di dalam kawasan industri
dapat menekan dampak pencemaran terhadap masyarakat. Selama ini terlihat
bahwa letak industi agro terletak di kantong-kantong permukiman penduduk. Hal
ini terjadi karena lemahnya perencanaan dan law enforcement terhadap RTRW.
Fakta menunjukkan bahwa pengembangan industri akan selalu diikuti oleh
tumbuhnya permukiman dan pusat bisnis di sekitarnya. Hal ini dapat terjadi
karena didorong oleh ketersediaan fasilitas-fasilitas industri seperti jalan, air, dan
listrik yang selalu menjadi faktor penarik tumbuhnya permukiman baru. Dengan
diterapkannya sistem kawasan industri yang memiliki batas fisik yang jelas maka
ekspansi permukiman penduduk tidak dapat dilakukan ke dalam kawasan
industri yang telah memiliki status legal formal. Dengan demikian maka setting
dan lansekap awal dari kawasan tersebut akan tetap terjaga.
Catatan lain terkait dengan dukungan terhadap implementasi kawasan
industri adalah harga lahan yang terjangkau. Pengalaman menunjukkan bahwa
bila ada indikasi perencanaan pengembangan kawasan industri maka akan
merangsang munculnya mafia tanah. Dilain pihak, ada fakta yang menunjukkan
bahwa pihak pengembang kawasan industri selalu menetapkan harga yang
sangat mahal terhadap kapling industri seperti hasil penelitian yang dilakukan
oleh Kodrat (2006). Itu sebabnya perlu diberlakukan kebijakan harga maksimal
kapling industri seperti yang ditetapkan oleh Pemerintah beberapa negara,
seperti Korea Selatan. Bahkan China, dalam upaya menarik investasi industri ke
negaranya, memberikan hak penggunaan lahan dengan waktu dan luasan
sesuai yang diperlukan secara gratis (Wawancara dengan Rompas 2009).
Terkait dengan bentuk antisipasi terhadap PP No. 24/2009 tentang
Kawasan Industri, pihak industri menyatakan bahwa bila harus dilakukan maka
relokasi industri ke kawasan industri akan dilakukan secara bertahap. Pihak
pabrikan juga akan mengajak pihak lain untuk mengembangkan usaha di dalam
kawasan industri yang dibangun pemerintah. Ada pihak industri yang akan
mengantisipasinya dalam bentuk pembelian kapling industri, namun ada juga
yang menolak apabila harus relokasi ke kawasan industri karena lokasi saat ini
sudah sesuai dan sangat ideal. Ada juga beberapa industri yang tidak perlu
bebuat sesuatu karena saat ini lokasinya sudah terletak di areal rencana
kawasan industri.
80
Penolakan perusahan untuk relokasi ke kawasan industri juga terkait
dengan mahalnya biaya relokasi dan kesulitan pengadaan tenaga kerja. Namun,
ada juga pihak pabrikan yang merasa skeptis dengan rencana pengembangan
kawasan industri ini berdasarkan pengalaman dimana sampai saat ini kawasan
industri perikanan yang sudah lama direncanakan belum terealisir sampai saat
ini.
Selanjutnya, dari hasil wawancara dengan responden pelaku usaha
industri diperoleh informasi bahwa penegakan peraturan perundangan terkait
dengan pengelolaan lingkungan di level pabrik belum dilakukan secara konsisten
(Wawancara dengan Prasethio S. 31 Maret 2009). Hal itu mengurangi insentif
bagi pihak pabrikan/industri untuk membangun pusat pengolahan limbah yang
representatif. Ada pabrik yang membangun fasilitas pengolahan limbah yang
representaif dengan harga yang mahal (contohnya adalah PT. Bimoli), namun
ada juga yang membangun fasilitas pengolahan limbah industri tetapi tidak
sesuai dengan spesifikasi jenis dan kuantitas limbah industri yang dihasilkannya
secara periodik. Bagi beberapa pihak pelaku usaha, yang diutamakan adalah
tampak fisik dari fasilitas untuk memenuhi ketentuan tetapi bukan kinerja
pengolahan limbahnya.
Tabel 5.11. Pendapat Industri Agro terhadap Kebijakan tentang Kawasan Industri
No Pertanyaan N Jawaban 1 Tanggapan perusahan
atas PP No. 24/2009 tentang Kawasan Industri (KI), khususnya pasal (7) dan (8)
11 Setuju/mendukung ketentuan tersebut, dengan catatan: (1) fasilitasnya sudah tersedia secara lengkap; (2) alternatif bagi pendirian industri baru; (3) mengurangi dampak pencemaran terhadap masyarakat;
dan (4) adanya kemudahan misalnya harga lahan yang
terjangkau. 2 Bentuk antisipasi yang
akan dilakukan perusahan terkait pertanyaan No. (1)
11 (1) Relokasi ke KI dilakukan secara bertahap; (2) mengajak perusahan lain untuk mengembangkan usaha
di dalam KI yang dibangun pemerintah; (3) tidak akan relokasi ke KI karena lokasi perusahan saat
ini sudah sesuai dan sangat ideal; (4) mencari lahan di KI; (5) lokasi perusahan berada di areal rencana KI;
3 Tanggapan perusahan terhadap rencana pembangunan KI di Kel. Tanjung Merah, Kota Bitung
11 (1) Setuju dengan permohonan agar perusahan tidak direlokasi ke KI tersebut karena alasan biaya dan tenaga kerja;
(2) Belum setuju karena rencana KI Perikanan di Aertembaga saja belum ada investornya;
4 Apakah sudah familiar dengan istilah eco-industrial park?
11 Belum familiar
Sumber: Hasil survei lapangan pada Industri Agro di Kota Bitung (2009)
81
Di lain pihak, pihak pemerintah sebagai pengawas dampak lingkungan
hidup sering bertindak pasif, yaitu menunggu atau membiarkan terjadinya
pelanggaran baru kemudian mencoba mengambil tindakan yang belum tentu
berpihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan.
Sebagai Kota Pelabuhan dan pusat pengembangan indusri manufaktur di
Provinsi Sulawesi Utara maka tanpa adanya pengelolaan lingkungan yang tepat
maka di masa yang akan datang kota ini, seperti kota-kota industri lainnya di
Indonesia, akan menghadapi permasalahan lingkungan yang besar. Munculnya
permasalahan tersebut terkait dengan pertumbuhan penduduk dan laju
urbanisasi, tidak optimalnya penataan ruang, perubahan gaya hidup karena
pertumbuhan ekonomi, ketergantungan yang besar pada sumber energi minyak
bumi, dan kurangnya perhatian masyarakat.
Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi akan mendorong pelebaran
wilayah perkotaan (city widespread). Konsekuensinya adalah akan semakin
lebarnya jarak permukiman penduduk dengan pusat aktivitas industri. Hal ini
akan menyebabkan semakin intensifnya lalu lalang kendaraan dan munculnya
titik-titik kemacetan lalu lintas yang baru. Tanpa adanya introduksi sistem
transportasi masal, seperti Pakuan Express, maka akan mengakibatkan
peningkatan pencemaran udara.
Tingginya tingkat pencemaran di pusat-pusat perekonomian dan industri
yang menyumbang pada peningkatan pencemaran lingkungan akan
merangsang penduduk untuk bermukim di luar kota. Namun, tumbuhnya
permukiman baru di wilayah-wilayah penyanggah akan menyebabkan masalah
baru bagi wilayah tersebut. Untuk mengatasi masalah di atas maka perlu
dilakukan penataan terhadap aktivitas industri dan permukiman penduduk di
wilayah kota.
Aktivitas industri perlu dikonsentrasikan di suatu wilayah tertentu di dalam
suatu kawasan industri. Dengan terkonsentrasinya aktivitas industri maka
pengawasan dan pengelolaan lingkungan dapat lebih mudah dilakukan oleh
pemerintah maupun pengusaha. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengembangan kawasan industri berpotensi meningkatkan kualitas lingkungan.
Dengan tertatanya aktivitas industri manufaktur tersebut di atas maka
kecenderungan masyarakat untuk bermukim jauh dari pusat kota dapat
dikurangi. Kecenderungan ini akan semakin siknifikan apabila pemerintah
menerapkan kegiatan revitalisasi permukiman di kampung-kampung yang
82 terletak di wilayah perkotaan. Revitalisasi tersebut dapat dilakukan dalam
bentuk pembangunan rumah susun yang dapat ditempati warga masyarakat
yang menjadi pemilik dari bagian lahan rumah susun tersebut dan permukim
baru. Untuk menunjang keberhasilan program tersebut maka perlu dilakukan
sosialisasi terhadap peraturan perundangan terkait dengan pemilikan rumah
susun. Pemerintah Kota, seperti di Kota Bitung, tidak perlu menunggu sampai
kondisi lingkungan menjadi parah baru kemudian mulai bertindak. Rencana dan
tindakan perlu dirumuskan dan diambil seawal mungkin.
Perubahan gaya hidup biasanya terjadi di kota tertentu dimana kontribusi
sektor industri manufaktur dan jasa telah melampaui sektor primer dalam PDRB.
Pada tahun 2006 di Kota Bitung, kontribusi Sektor Angkutan berada pada urutan
pertama terhadap total PDRB yakni sebesar 24,18 persen, diikuti oleh Sektor
Industri sebesar 22,48 persen, dan ketiga Sektor Pertanian sebesar 21,69
persen. Sektor Konstruksi juga memberikan kontribusi yang cukup besar yakni
12,3 persen (Bitung Dalam Angka 2007). Keberadaan Pelabuhan Samudera
Bitung yang berskala besar menyumbang perekonomian yang cukup siknifikan
bagi Kota Bitung. Data ini merupakan sinyal bahwa kecenderungan terjadinya
perubahan pola hidup masyarakat sudah sedang terjadi.
Ketergantungan pada minyak bumi yang besar juga menyumbang pada
pencemaran lingkungan. Hal ini terutama terkait dengan aktivitas transportasi
masyarakat. Namun, hal itu juga dapat diakibatkan oleh karena pembangkitan
energi listrik oleh industri manufaktur yang menggunakan bahan bakar fosil
tersebut. Transisi ke sumber bahan bakar lain, seperti LPG, dapat mengurangi
kontribusi sektor industri terhadap pencemaran udara di Indonesia.
Partisipasi aktif masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan
pengendalian pencemaran udara. Peningkatan partisipasi aktif masyarakat dapat
dilakukan melalui sosialisasi dan keteladanan, terutama dari pemerintah.
5.6. Rencana Pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah Beberapa tahapan dari rencana pembangunan Kawasan Industri di
Kelurahan Tanjung Merah dilakukan atas bantuan Badan Penelitian dan
Pengembangan Industri (BPPI), Departemen Perindustrian RI. Bantuan tersebut
meliputi Penyusunan Rencana Pembangunan Kawasan Industri (Master Plan)
dan Penyusunan Kajian AMDAL Kawasan Industri. Pada tanggal 17 Maret 2009
bertempat di Kantor Bappeda Kota Bitung telah dilaksanakan dua kegiatan, yaitu
83 Presentasi Laporan Akhir Rencana Pembangunan Kawasan Industri di Kota
Bitung dan Persiapan Penyusunan AMDAL Kawasan Industri di Kota Bitung.
5.6.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Kawasan Industri Secara garis besar, yang melatarbelakangi rencana pembangunan
kawasan industri di Kota Bitung adalah faktor-faktor skala global dan nasional;
dan skala regional (BPPIP Depperin 2009).
Faktor-faktor dalam skala global dan nasional adalah persaingan sektor
industri yang semakin ketat di era globalisasi dan liberalisasi ekonomi; dan visi
pembangunan industri nasional “Pada tahun 2020, Indonesia menjadi sebuah
Negara Industri Maju Baru.”
Tantangan yang dihadapi, baik di tingkat pusat maupun daerah, adalah
tidak tersedianya instrumen pembangunan bagi investor; tidak optimalnya
pemanfaatan SDA akibat infrastruktur yang kurang efisien, sumberdaya manusia
yang belum memadai dan iklim usaha yang kurang baik; dampak pembangunan
belum cukup memadai untuk mengatasi kesenjangan kesejahteraan wilayah;
dan perlunya upaya pengembangan kawasan industri yang berbasis kompetensi
inti daerah sebagai upaya percepatan pembangunan ekonomi daerah.
Faktor-faktor dalam skala regional adalah penetapan kawasan industri di
Tanjung Merah, Kota Bitung sejak tahun 1989 (RIK Bitung 1989; RUTR Kota
Bitung 1992; KAPET Manado-Bitung 1996; RTRW Kota Bitung 2000); potensi
sumber daya laut dan kesesuaian pengembangan kelapa di Sulawesi Utara
untuk peningkatan PAD; geoposisi Sulawesi Utara dan Kota Bitung yang
berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik; adanya usulan penetapan
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kota Bitung; dan belum adanya instrumen
pembangunan yang lebih operasional bagi investor terkait dengan
pengembangan kawasan industri.
Rencana pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung terletak pada satu
hamparan lahan seluas 98 ha sebagai lokasi Kawasan Industri. Status lahan
adalah tanah Milik Negara yang terletak di Kelurahan Tanjung Merah,
Kecamatan Matuari. Lahan tersebut merupakan lahan dengan topografi relatif
datar dan subur, ditandai oleh pertumbuhan tanaman kelapa dan palawija yang
produktif. Luasan lahan masih mungkin untuk diperluas hingga mencapai 512
hektar karena lahan disekitarnya masih dimanfaatkan sebagai kebun kelapa
milik masyarakat.
84 5.6.2. Faktor-faktor Pendukung Pembangunan Kawasan Industri
Faktor-faktor pendukung pembangunan Kawasan Industri dibedakan atas
lingkungan eksternal dan lingkungan internal (BPPIP Depperin 2009).
(A). Lingkungan eksternal
Beberapa faktor lingkungan eksternal pendukung adalah keanggotaan
Indonesia (khususnya Provinsi Sulawesi Utara) di dalam BIMP-EAGA.
Disamping itu, provinsi ini merupakan “pintu gerbang” Kawasan Timur Indonesia
ke wilayah internasional karena kedekatannya dengan lintas perdagangan antar
negara. Juga, daerah ini memiliki keunggulan komparatif pada sumberdaya
alam, khususnya yang berbasis kelapa dan perikanan laut.
Faktor lingkungan eksternal pendukung lainnya adalah: penetapan wilayah
perkotaan Manado-Bitung, dalam PP No. 26/2008 tentang RTRWN, sebagai
PKN (Gambar 5.6). Di dalamnya ditetapkan empat kawasan andalan, yaitu
industri manufaktur, perikanan, perkebunan, dan pariwisata. Keberadaan BP-
KAPET Manado-Bitung merupakan faktor pendukung. Dari semua faktor
pendukung yang sudah disebutkan, keberadaan Pelabuhan Samudera Bitung
merupakan faktor pendukung utama.
Gambar 5.6. Peta RTRW Provinsi Sulawesi Utara
Keterangan:
Kawasan Industri di Koridor Bitung-Kema
Kawasan Pelabuhan Internasional Bitung
Kawasan Ekonomi Khusus (KAPET Manado-Bitung, KPE Sangihe/Sitaro, & KPE Talaud, KPE Tomohon
Sumber: RTRW Provinsi Sulawesi Utara
Rencana Lokasi KI di Kel. Tanjung Merah
85
Tantangan yang dihadapi bagi Kota ini adalah bagaimana menyiapkan
instrumen untuk menangkap peluang yang muncul dari trend ekonomi global
dalam bidang investasi, industri, teknologi informasi, pola konsumsi, dan pola
kawasan industri.
(B). Lingkungan internal
Faktor-faktor lingkungan internal pendukung pengembangan kawasan
industri di Kota Bitung adalah arahan RTRW Kota Bitung dan RTRW Provinsi
Sulawesi Utara, rencana pengembangan Pelabuhan Bitung menuju International
Hub Port, pemantapan program One Stop Service dalam hal pelayanan
investasi, dan rencana pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung sepanjang 46
km dengan lebar 60 m. Khusus untuk yang disebut terakhir, rencana tersebut
terkendala oleh belum adanya investor yang berminat karena “load factor” yang
masih rendah. Oleh karena itu, perlu dicari jalan keluarnya misalnya dengan
melibatkan Pemerintah Daerah secara langsung sebagai partner investasi dalam
pengadaan/pembebasan tanah.
(C). Dukungan Masyarakat dan Aparat Pemerintah
Baik warga masyarakat maupun aparat pemerintah setuju terhadap
rencana pembangunan kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah, Kota
Bitung (Gambar 5.7. dan Gambar 5.8.).
Gambar 5.7. Persetujuan masyarakat terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rencana pembangunan Kawasan
Industri Bitung di Kelurahan Tanjung Merah mendapat dukungan masyarakat
dan aparat pemerintah daerah. Dukungan ini akan memuluskan implementasi
rencana tersebut.
86
Gambar 5.8. Persetujuan aparat pemerintah terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung
5.6.3. Kebijakan dan Regulasi Pemerintah terkait Pengembangan Kawasan Industri
Kebijakan dan regulasi pemerintah terkait dengan pengembangan industri
antara lain adalah:
• Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
• Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025
• Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
• Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
• Undang-undang No. 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas
• Keppres 53/1989, Keppres 41/1996, dan PP 24/2009 tentang Kawasan
Industri
• Undang-undang tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan
bahwa urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan (Bab III, Pasal 13 ayat 2). Urusan
pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan (Pasal 14 ayat 2)
Di dalam Laporan Bappeda Kota Bitung (2009) menyangkut rencana
pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung ditulis bahwa yang menjadi
aspek inti/penghela pengembangan Kawasan Industri adalah: (1) spesialisasi
87 produk unggulan pada kawasan tertentu/spesialisasi kawasan, (2) adanya
industri pendorong, dan (3) output: penetapan jenis produk berdaya saing
dengan penetapan target pasar tertentu. Aspek kunci/pendukung
pengembangan Kawasan Industri adalah: (1) SDM: fasilitasi pendampingan,
tenaga ahli, pendidikan/pelatihan, (2) penelitian/pengembangan: teknologi dan
inovasi, informasi, dan riset, (3) pasar: pasar/outlet, informasi pasar dan jaringan
pasar, (4) akses ke sumber input: infrastruktur, modal, bahan baku, (5)
keterkaitan: antar sektor/komoditas, antarpelaku, antardaerah, hulu-hilir, dan (6)
iklim usaha: regulasi/Perda dan kebijakan.
Berdasarkan pada Keppres 53/1989, Keppres 41/1996, UU 22/1999, dan
PP 25/2000 maka perkembangan kawasan industri dapat ditinjau dari dua segi,
yaitu segi kewenangan dan segi pelaku usaha. Pada era Pasca Otonomi
Daerah, sesuai UU No. 22/1999 dan PP 25/2000 pasal 2(4) butir j: kewenangan
Pemerintah (Pusat) dalam membuat standar bagi pemberian izin oleh daerah,
dalam hal ini pusat bertugas membuat pedoman. Pemerintah Provinsi
melakukan koordinasi dan berwenang menerbitkan izin bagi kegiatan lintas
kabupaten/kota. Berdasarkan PP 84/2000 tentang Pedoman Organisasi
Perangkat Daerah: Pasal 4(3) butir b: dinas provinsi berfungsi dalam pemberian
izin. Pasal 8 (3) butir b: dinas kabupaten/kota berfungsi dalam pemberian izin.
Dari segi pelaku usaha, setelah Keppres 53/1989 diundangkan, dunia usaha
dalam negeri dan luar negeri diperbolehkan mengembangkan kawasan industri.
UU tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan Undang-undang
yang diamanatkan oleh UU Penanaman Modal No 25 tahun 2007. Pada pasal
31 ayat 1 UU No 25 tahun 2007 mengenai Penanaman Modal berbunyi, “Untuk
mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis
bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan
kemajuan suatu daerah dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi
khusus.” Ayat 2 menyatakan, “Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan
penanaman modal tersendiri di kawasan ekonomi khusus.” Serta ayat 3,
“Ketentuan mengenai kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud ayat (1)
diatur dengan undang-undang.”
Ada empat syarat umum dalam pengajuan proposal Kawasan. Pertama,
harus sesuai dengan rancangan tata ruang wilayah dan tidak berpotensi
mengganggu kawasan lindung. Kedua, pemerintah provinsi beserta pemerintah
kabupaten atau kota yang terkait harus mendukung Kawasan tersebut. Kawasan
88 juga wajib terletak pada lokasi yang dekat dengan jalur perdagangan atau
pelayaran internasional, atau dekat wilayah yang memiliki sumber daya alam
unggulan. Keempat, kawasan harus memiliki batas yang jelas.
Di dalam Laporan Bappeda Kota Bitung (2009) terkait dengan rencana
pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung dikemukakan bahwa
kelembagaan yang terkait dengan pengembangan Kawasan Industri di Kota
Gambar 5.9. Kelembagaan Pengembangan Kawasan Industri (Bappeda Kota
Rincian dari
persyaratan ini bakal diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai tata cara
penetapan kawasan ekonomi khusus, yang diharapkan bisa rampung dalam
waktu kurang dari enam bulan setelah Undang-undang Kawasan Ekonomi
Khusus disahkan tanggal 15 September 2009.
5.6.4. Kelembagaan terkait Pengembangan Kawasan Industri
Bitung 2009 - digambar kembali)
Koperasi Petani: Penyediaan, pengelolaan dana bergulir/kredit bagi petani
Sektor Perindustrian: Penyediaan sarana prasarana pengolahan, teknologi, pembinaan pelatihan SDM
Sektor Pertanian: Input benih, sarana prasarana produksi, budidaya, teknologi, pembinaan pelatihan SDM, pengolahan, pemasaran, pengelolaan lahan-air
Sektor Perdagangan: Pengembangan pasar, jaringan informasi pasar, pembinaan SDM
FASILITASI PEMERINTAH
KAWASAN INDUSTRI
SWASTA/ MASYARAKAT
Pengusaha Lokal Pengolahan dan Pemasaran
LSM/Perguruan Tinggi: Pemberdayaan, pendampingan
Pemerintah Daerah: Kebijakan, PERDA, penjaminan kepada
Bank, insentif
Sektor PU: Sarana prasarana (program Agropolitan), infrastruktur pengairan, infrastruktur jalan
Sektor Koperasi/UKM: Pelatihan SDM, pengembangan usaha, pendampingan SDM, fasilitasi modal usaha, penyiapa n kelembagaan
Lembaga Riset: Pelatihan, informasi, teknologi
Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Lokal:
Pemberdayaan ekonomi masyarakat
Lembaga Pengelolaan Bisnis:
Distribusi dan pengadaan input, pengolahan, pemasaran, riset, informasi, dan promosi
Petani: Produksi/budidaya
Asosiasi dan KADINDA:
Kemitraan, informasi, jaringan pasar
Bank: Permodalan
89 Bitung meliputi Sektor Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, Pekerjaan Umum,
dan Koperasi/UKM, Lembaga Riset, Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Lokal,
Pemerintah Daerah, Koperasi Petani, Lembaga Pengelolaan Bisnis, Pengusaha
Lokal, Perguruan Tinggi, LSM, Perbankan, Petani, Asosiasi, dan Kadinda.
Peran utama Pemerintah adalah memberikan fasilitasi bagi Swasta/Masyarakat
(Gambar 5.9.).
5.6.5. Evaluasi Terhadap Rencana Lokasi Kawasan Industri Pembahasan selanjutnya adalah menyangkut evaluasi terhadap rencana
lokasi tapak proyek kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah dengan
menggunakan pendekatan “Kerangka Kinerja Lingkungan” yang dikemukakan
oleh Lowe (2001). Data yang digunakan untuk melakukan evaluasi adalah data
skala Kota Bitung (bukan data spesifik lokasi karena adanya keterbatasan data,
kecuali disebutkan).
(A). Penggunaan Energi
Rencana lokasi Kawasan Industri Tanjung Merah terletak di wilayah yang
memiliki ekspos terhadap penyinaran matahari yang sangat besar. Data
menunjukkan bahwa penyinaran matahari pada tahun 2006 berkisar antara 50-
77% atau diperkirakan antara 6,00-9,24 jam per hari (BPS Bitung 2007). Belum
ada hambatan penyinaran matahari oleh bangunan karena rencana lokasi
terletak di dan sekitar hamparan lahan perkebunan. Topografi yang landai dari
lokasi kawasan industri mengurangi kemungkinan adanya bagian-bagian
tertentu dari kawasan industri yang akan terhalang dari sinar matahari.
Ekspos yang besar terhadap sinar matahari merupakan potensi untuk
pengembangan sumber energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi
kawasan industri. Namun di lain pihak, akan meningkatkan biaya untuk
pendinginan udara (air conditioning).
Rencana lokasi Kawasan Industri terletak di pinggir pantai sehingga
memiliki ekspos yang besar terhadap tiupan angin. Ekspos yang besar terhadap
angin juga merupakan potensi untuk pengembangan energi terbarukan.
Disamping itu, pergerakan udara yang relatif tinggi akan meminimalkan potensi
inversi atmosfir, yang dapat menyebabkan kabut (smog) seperti yang menjadi
fenomena klasik di Jabodetabek. Namun, ekpos yang besar terhadap angin dan
atau tiupan angin kencang berpotensi meningkatkan risiko kerusakan fasilitas
dan gangguan produksi di kawasan industri.
90
Potensi pembangkitan energi angin dipengaruhi oleh kekuatan dan
kesinambungan tiupan angin. Pengaturan lokasi dengan mempertimbangkan
topografi lahan, tegakan tanaman, dan bangunan mempengaruhi aliran angin
yang ingin dimanfaatkan. Variasi dari efektivitas pembangkitan energi angin
dipengaruhi oleh interaksi antara pola angin regional dan topografi lokasi, badan
air yang besar (laut), dan areal hutan.
Akses terhadap sumber energi sampingan yang dihasilkan oleh industri
eksisting sangat potensial karena letak lokasi yang hanya sekitar enam kilometer
dari pusat aktivitas industri manufaktur saat ini. Kedekatan lokasi ini merupakan
salah satu keunggulan dari rencana lokasi kawasan industri ini. Karena
kedekatan tersebut maka fasilitas bagi akses terhadap energi sampingan dapat
dipersiapkan dengan relatif mudah.
Dari hasil wawancara dengan Prasethio (Direktur PT. Bimoli) pada 31
Maret 2009 diperoleh argumentasi bahwa kawasan industri seharusnya
dibangun di Kecamatan Aertembaga atau di bagian Timur dari Kota Bitung.
Prasethio berargumen bahwa pendirian kawasan industri di Kelurahan Tanjung
Merah (yang sedang diproses) berisiko karena lokasi tersebut terpapar oleh
tiupan angin kencang, terutama pada musim angin Timur/Selatan. Selanjutnya
diinformasikan pelaku industri tersebut bahwa tiupan angin kencang secara
kontinu merusak bangunan/pabrik, seperti yang dialami oleh PT. Bimoli. Bila
kawasan industri ditempatkan di bagian Timur dari Kota Bitung maka kawasan
tersebut akan lebih aman dari terpaan angin kencang karena terlindung oleh
Pulau Lembeh. Juga, bila diperlukan maka pada kawasan tersebut dapat
dibangun dermaga yang khusus melayani pengguna kawasan industri.
(B). Penggunaan Air
Seperti daerah lainnya di Indonesia, di Kota Bitung hanya dikenal dua
musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Keadaan ini berkaitan erat
dengan arus angin yang bertiup di wilayah ini dimana pada bulan Oktober
sampai dengan bulan April biasanya terjadi hujan. Hal ini terjadi karena angin
bertiup dari arah Barat/Barat Laut yang banyak mengandung air. Sedangkan
pada bulan Juni sampai dengan bulan September biasanya terjadi musim
kemarau, karena dipengaruhi oleh arus angin dari arah Timur/Selatan yang tidak
banyak mengandung air.
Karakter curah hujan Kota Bitung menunjukkan bahwa curah hujan yang
relatif tinggi tersebut meningkatkan ketersediaan air, namun sebaliknya dapat
91 meningkatkan potensi kontaminasi air permukaan. Selanjutnya, karena topografi
dari rencana lokasi kawasan industri yang landai (0-25 meter dpl) maka
intensitas curah hujan yang tinggi relatif tidak menyebabkan erosi yang siknifikan
atau kejadian longsor. Sungai yang melintasi tapak proyek adalah Sungai Tanjung Merah. Air
dari sungai, setelah diolah terlebih dahulu, dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan kawasan industri. Hasil analisis laboratorium terhadap air sumur dan
air kali yang melintas di rencana lokasi Kawasan Industri menunjukkan bahwa
sampel Air Sumur memenuhi syarat SNI Air Minum, sedangkan sampel Air Kali
memenuhi syarat Air Golongan D (Lampiran 4).
(C). Penggunaan Bahan Baku/Sumberdaya Infrastruktur yang telah tersedia adalah jalan raya hotmix dengan lebar 6
meter. Di dalam lokasi tapak proyek sendiri belum tersedia infrastruktur maupun
fasilitas tertentu karena masih merupakan lahan perkebunan kelapa, sayur-
sayuran, dan palawija.
Dengan status lahan eksisting sebagai lahan perkebunan maka konversi
penggunaan lahan tidak akan menyebabkan kehilangan habitat alami. Juga,
sebagai lahan pertanian maka potensi telah terjadinya kontaminasi lahan sangat
kecil. Namun dilain pihak, konversi lahan pertanian ini ke penggunaan lain
menyebabkan kehilangan lahan pertanian produktif. Kehilangan produksi akibat
konversi ini diperkirakan sebesar 500 ton kopra per tahun, disamping ratusan ton
produk palawija.
Sebagaimana yang diargumentasikan oleh Prasethio (Wawancara tanggal
31 Maret 2009), lokasi kawasan industri sebaiknya ditempatkan di bagian Timur
dari Kota Bitung. Namun demikian, topografi wilayah di bagian Timur Kota Bitung
umumnya termasuk dalam kategori berombak-berbukit, bergunung, dan
berombak. Namun Prasethio berargumen bahwa kemampuan teknologi dapat
memberikan jalan keluar dari kendala tersebut. Hal ini sejalan dengan Ayres
dan Ayres (2002) yang menulis bahwa sebaiknya pembangunan kawasan
industri dilakukan di lahan-lahan yang tidak produktif, seperti misalnya lahan
yang memiliki topografi berombak berbukit atau lahan brownfield (lahan bekas
penggunaan lain tapi sudah tidak digunakan lagi). Kriteria ini lebih sesuai
dengan kondisi lahan yang terdapat di Bagian Timur Kota Bitung tersebut.
Keuntungan lain yang akan diperoleh bila Kawasan Industri didirikan di wilayah
92 tersebut adalah tersedianya pantai yang tenang karena terlindung oleh Pulau
Lembeh.
(D). Emisi atmosfir
Pola angin di Kota Bitung adalah angin Barat/Barat Laut yang bertiup dari
bulan Oktober sampai dengan bulan April dan angin Timur yang bertiup dari
bulan Juni sampai dengan bulan September. Baik karena pola angin maupun
kecepatannya maka inversi amosfir tidak terjadi di Kota Bitung. Dengan
demikian maka kemungkinan terjadinya kabut/smog sangat kecil.
Sumber-sumber emisi yang sudah ada di lokasi tapak proyek hanya
berasal dari gas buang dari kendaraan yang lalu lalang dan juga dari
permukiman warga di sekitarnya. Jarak tempuh kendaraan truk dari lokasi ke
pelabuhan relatif pendek (hanya sekitar 6 km) sehingga emisi yang dikeluarkan
untuk setiap kilogram bahan yang diangkut relatif rendah.
(E). Ekosistem
Sebagai lahan pertanian yang sudah diusahakan puluhan bahkan ratusan
tahun, rencana lokasi kawasan industri bukan lagi merupakan habitat alami.
Dengan demikian, konversi lahan menjadi areal industri tidak akan
mengakibatkan terjadinya kehilangan habitat alami/satwa liar.
(F). Lingkungan Sekitar
Rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah
merupakan kawasan industri pertama yang akan dibangun di Kota Bitung. Saat
ini, industri manufaktur (termasuk industri agro) didirikan di lokasi yang
terpencar-pencar, dengan konsentrasi di sepanjang garis pantai di Kecamatan
Madidir/Pelabuhan Samudera Bitung. Pembangunan kawasan industri di
Kelurahan Tanjung Merah berpotensi meningkatkan kualitas lingkungan karena
akan mempermudah penerapan sistem manajemen lingkungan, baik oleh pihak
pengelola Kawasan Industri maupun pemerintah.
Di sekitar rencana lokasi kawasan industri terdapat beberapa areal
permukiman/kelurahan. Terdapatnya permukiman penduduk di sekitar lokasi
dapat memberikan keuntungan dari sisi penyediaan tenaga kerja dan fasilitas
pemondokan dengan segala fasilitas pendukungnya. Namun, lokasi permukiman
yang terlalu dekat dengan kawasan industri memiliki tingkat risiko bahaya yang
cukup tinggi.
93
Lokasi kawasan industri yang relatif dekat dengan fasilitas pendukung
seperti pelabuhan akan meminimalisasi lalu lalang truk pengangkut dan hilir
mudik pekerja sehingga dapat menurunkan emisi gas dan menciptakan
keuntungan lainnya.
5.6.6. Rangkuman Hasil evaluasi dengan menggunakan pendekatan Kerangka Kinerja
Lingkungan (“Environmental Performance Framework”) (Lowe 2001)
menunjukkan bahwa elemen kinerja lingkungan, yaitu penggunaan energi,
penggunaan air, ekosistem, dan lingkungan tetangga (evaluasi terhadap emisi
limbah cair dan limbah padat tidak dilakukan karena data pendukung belum
tersedia) mendukung pembangunan kawasan industri di rencana lokasidi
Kelurahan Tanjung Merah yang telah ditetapkan Pemerintah Kota Bitung.
Salah satu elemen kinerja lingkungan, yaitu penggunaan bahan
baku/sumberdaya tidak mendukung penetapan lokasi menjadi kawasan industri.
Hal ini terkait dengan fakta bahwa pembangunan kawasan industri di lokasi
dimaksud akan menyebabkan kehilangan lahan pertanian produktif dalam luasan
yang cukup besar. Data di dalam Bitung Dalam Angka Tahun 2006 menunjukkan
bahwa lahan datar (0-15 derajat) di Kota Bitung hanya seluas 4,18% dari total
areal Kota Bitung (304 km2
Hal-hal yang mendukung penetapan lokasi sebagai kawasan industri
adalah kedekatannya dengan Pelabuhan Samudera Bitung sehingga beban
emisi gas buang ke udara oleh transportasi darat yang ditimbulkannya akan
relatif kecil. Kedekatan lokasi juga meningkatkan efektifitas dan efisiensi lalu
lalang pekerja/pengguna kawasan industri. Walaupun lokasi kawasan industri
dekat dengan pelabuhan dan permukiman, tetapi jaraknya cukup aman sehingga
risiko yang dapat ditimbulkan terhadap masyarakat adalah minimal. Tiupan angin
kencang memang berisiko merusak fasilitas kawasan industri dan berpotensi
menggangu proses produksi, namun di lain pihak merupakan potensi
pengembangan energi terbarukan. Jadi, walaupun ada elemen kinerja
lingkungan yang tidak mendukung penetapan lokasi di Kelurahan Tanjung Merah
), atau hanya sekitar 1.271 ha. Dengan demikian,
terhadap total luasan lahan datar yang ada, persentasi rencana luasan lahan
kawasan industri seluas 98 ha adalah sebesar 7,7%, suatu persentasi yang
relatif besar.
94 sebagai kawasan industri (elemen penggunaan bahan baku/sumberdaya),
namun elemen kinerja lingkungan lainnya mendukung penetapan dimaksud.
Kondisi aktual dari industri manufaktur/agro di Kota Bitung dapat diringkas
sebagai berikut:
1) Walaupun secara umum kualitas lingkungan masih cukup baik namun ada
permasalahan dalam hal lemahnya penegakan peraturan perundangan (law
enforcement), kecenderungan meningkatnya pencemaran industri terutama
terhadap komponen tanah dan air permukaan serta masalah lingkungan
sosial sebagai dampak dari alih fungsi lahan pertanian.
2) Rencana pengembangan Kawasan Industri Bitung di Kelurahan Tanjung
Merah cukup layak dipandang dari segi Kerangka Kinerja Lingkungan.
Namun, ada beberapa dampak yang perlu dikelola dengan baik agar kualitas
lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial dapat dipelihara.
Permasalahan-permasalahan yang disebutkan di dalam ringkasan di atas
perlu dikelola dengan baik agar aktivitas industri dapat diarahkan menuju ke
tahapan industri yang berkelanjutan. Upaya pengelolaan tersebut dapat
dilakukan melalui penerapan Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park
(MP Agro-EIP).
5.7. Pola Keterkaitan Antar Industri Sekitar 64% pabrik industri agro yang disurvei menyatakan bahwa mereka
telah memiliki ikatan dengan pihak lain terkait dengan penjualan hasil sampingan
yang dihasilkan. Sekitar 36% menyatakan bahwa mereka belum memiliki ikatan
dengan pihak lain dengan alasan bahwa jumlah hasil sampingan yang dihasilkan
relatif sedikit jumlahnya. Dari persentasi 36% tersebut, ada satu pabrik yang
menyatakan tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan bersama
dengan pabrik lain yang dapat menghasilkan pendapatan dari hasil sampingan
yang dihasilkan pabrik, atau menurunkan biaya manajemen lingkungan, dan
keuntungan lainnya.
Ada pabrikan yang sedang mempraktekkan bentuk keterkaitan (kerjasama)
ini yaitu dengan membeli limbah pre-cooking dari pabrik pengolahan ikan kaleng
untuk digunakan di dalam proses produksi pada pabrik mereka. Namun,
persetujuan untuk berpartisipasi dibarengi dengan beberapa persyaratan seperti:
perlu dilakukan pertemuan pendahuluan dan perencanaan tentang apa yang
akan dilakukan dan bersedia berpartisipasi selama harga bisa bersaing.
95
Prinsip-prinsip ekologi industri, yaitu pola keterkaitan antara industri agro
dengan industri sejenis atau industri lainnya, di Kota Bitung dapat dilihat pada
Tabel 5.12. Keterkaitan antar industri yang dicantumkan di dalam Tabel 5.12.
selanjutnya digambarkan ke dalam Diagram Pola Keterkaitan Antar Industri
seperti pada Gambar 5.10.
Tabel 5.12. Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait
Peru-sahan
Jenis Perusa-han
Perusahan yang terkait (dari segi penggunaan by-products dan atau limbah industri)
M N O P Q R S A Kelapa Pakan
ternak Pem-buatan arang tempu-rung
Pem-buatan minyak kelapa dari paring
Pembu-atan nata de coco
- - -
B Minyak kelapa Pakan ternak
- - - - - -
C Minyak sawit - - - - - - - D Perikanan laut Pakan
ternak - - - Pem-
buatan bakso
Pembeli kepala ikan segar untuk pasar lokal
-
E Perikanan laut Pakan ternak
- - - - - -
F Perikanan laut Pakan ternak
- - - - - Peng-ekspor air rebusan
G Perikanan laut Pakan ternak
- - - - - -
H Perikanan laut Pakan ternak
- - - - - -
I Perikanan laut - - - - - - - J Perikanan laut - - - - - - - K Perikanan laut - - - - - - - L Arang aktif - - - - - - - Sumber: Data hasil survei industri agro di Kota Bitung (2009) Keterangan: - belum ada keterkaitan antar industri
Produk ikutan yang dihasilkan oleh pabrik tepung kelapa yang saat ini
memiliki nilai ekonomis adalah paring kelapa dan tempurung kelapa. Paring
kelapa biasanya dikeringkan terlebih dahulu oleh pabrikan tepung kelapa dan
selanjutnya dijual kepada pabrik pembuatan minyak kelapa. Tempurung kelapa
dijual dalam bentuk bahan mentah kepada pengusaha pembuatan arang
tempurung. Keduanya dijual secara lokal. Air kelapa saat ini belum memiliki nilai
jual yang berarti karena hanya relatif sedikit yang dimanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan nata de coco, sehingga sejumlah besar masih dibuang dalam
bentuk yang sudah tercampur dengan air bersih pencuci daging kelapa.
Pabrik perikanan laut menghasilkan by-products berupa: kepala, sayap,
ekor, isi perut, daging hitam, tulang, kulit, air rebusan, air cucian yang
mengandung darah ikan, dan abu sisa pembakaran kayu. Pabrikan juga
96 menghasilkan fishmeal, yang merupakan bahan olahan dari kepala, sayap, ekor,
dan tulang ikan yang telah dikeringkan sebelumnya. Fishmeal dijual sebagai
bahan baku pembuatan pakan ternak. Ada pabrik yang menyatakan bahwa di
waktu mendatang fishmeal akan diekspor ke Jepang. Daging hitam biasanya di
kirim ke Pulau Jawa untuk dijadikan bakso. Kepala ikan, selain sebagai bahan
baku pembuatan fishmeal, juga dijual dalam bentuk segar kepada pembeli yang
selanjutnya menjualnya di pasar lokal. Air rebusan ikan pernah di ekspor ke
Jepang dan di waktu yang akan datang berpotensi untuk diekspor kembali.
Gambar 5.10. Pola Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait Keterangan: A-L: Perusahan-perusahan yang tercantum di dalam Kolom 1/2 Tabel 4… M: Perusahan pembuatan pakan ternak N: Perusahan pembuatan arang tempurung O: Perusahan pembuatan minyak kelapa dari paring kelapa P: Perusahan pembuatan nata de coco Q: Perusahan pembuatan bakso
R: Perusahan pembeli kepala ikan segar untuk pasar lokal S: Perusahan pengekspor air rebusan ikan
Gambar 5.15. menunjukkan bahwa tidak semua industri agro di Kota
Bitung memiliki keterkaitan dengan industri sejenis atau jenis industri lainnya.
Nilai keterkaitan (C) dari industri agro dan industri lainnya di Kota Bitung dihitung
menggunakan rumus C = 2 L / [S(S-1)]. Dimana S adalah jumlah spesies atau
industri di dalam jaring makanan (suatu kawasan tertentu) dan L adalah jumlah
interaksi antar industri (Tabel 5.15). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Nilai
C = (2 x13) : 11 (11-1) = 26 : 110 = 0,2364 atau 23,64%. Nilai ini masih dibawah
nilai medium, yaitu 42,3 % (Hardy dan Graedel 2002). Ini berarti bahwa pola
keterkaitan antar industri agro di Kota Bitung masih rendah.
A B C D E
H J I G K L
M
N O P R Q S
F
97
Tabel. 5.13. Perhitungan Nilai Keterkaitan (C) Antar Industri Agro dan Industri Terkait di Kota Bitung
Indu
stri
Industri Jumlah A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S
A 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 4 B 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 C 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 3 E 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 F 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 2 G 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 H 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 I 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 J 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 K 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 L 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 M 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 N 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 O 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Q 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 R 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 13
Pola keterkaitan yang potensial dikembangkan di Kota Bitung di masa yang
akan datang dapat diketahui dengan menganalisis informasi mengenai jenis
limbah industri/bahan ikutan yang masih dibuang ke udara atau yang langsung
dibuang ke lingkungan (belum dimanfaatkan) atau yang diperjualbelikan.
98
VI. PROGRAM PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK” BITUNG
Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai Status Industri
Manufaktur/Agro di Kota Bitung. Berdasarkan informasi tersebut, pada bab ini
akan dibahas: (1) Pengembangan ”Agro-Eco-Industrial Park” Bitung (disingkat
AEIP Bitung) dan (2) Perancangan model dinamik Pengembangan AEIP Bitung.
Pengembangan AEIP Bitung dilakukan melalui tiga tahapan analisis,
yaitu: (a) Analisis terhadap Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP, (b)
Analisis Model AEIP Prioritas, dan (c) Analisis Tahapan Implementasi AEIP.
Keluaran dari hasil análisis tahapan (a) merupakan masukan bagi tahapan
analisis (b), demikian selanjutnya hasil análisis tahapan (b) menjadi masukan
bagi tahapan análisis (c). Selanjutnya, informasi yang diperoleh pada
Pengembangan AEIP Bitung merupakan masukan bagi Perancangan Model
Dinamik Pengembangan AEIP Bitung.
6.1. Penentuan dan Tahapan Implementasi Model AEIP Prioritas 6.1.1. Analisis terhadap Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP
Bitung Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP Bitungdiperoleh melalui
analisis hubungan kontekstual antar elemen menggunakan metode ISM. Output
dari analisis ini adalah elemen kunci, model struktural elemen, dan
pengelompokan elemen. Sintesis atas ketiganya menghasilkan faktor-faktor
penentu pengembangan. Keterkaitan antara masing-masing elemen dengan
pengembangan AEIP Bitungditunjukkan pada Gambar 6.1.
Gambar 6.1. Diagram Perumusan Faktor-faktor Penentu Pengembangan
Program
ElemenTujuan Program Elemen Kendala Utama Program
Elemen Program Pengembangan
Faktor-faktor Penentu Pengembangan Program
99 6.1.1.1. Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung (A). Sub-sub Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa sub-sub elemen Tujuan Program
Pengembangan AEIP Bitung adalah seperti berikut (diketik dengan huruf italic
dan diikuti penjelasannya):
(T1). Merangsang tumbuhnya jenis usaha industri baru. Pola keterkaitan antar
industri dalam pemanfaatan materi dan limbah dapat merangsang tumbuhnya
jenis usaha industri baru.
(T2). Meningkatkan peluang kerja. Terciptanya jenis usaha baru pada gilirannya
akan meningkatkan peluang kerja bagi pencari kerja termasuk bagi masyarakat
di sekitar kawasan industri.
(T3). Meningkatkan daya saing usaha industri. Meningkatnya daya saing usaha
terutama terkait dengan meningkanya citra perusahan dimata konsumen dunia
yang semakin sadar lingkungan.
(T4). Meningkatkan pendapatan industri. Peningkatan pendapatan dapat terjadi
karena adanya upaya pemanfaatan bahan ikutan dan atau limbah industri. Juga
karena menurunnya biaya pengelolaan limbah yang harus dikeluarkan oleh
pihak industri.
(T5). Melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan. Pelestarian sumberdaya
alam dan lingkungan potensial untuk dicapai karena adanya upaya untuk
memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan adanya upaya pengelolaan
limbah sebelum dibuang ke lingkungan.
(T6). Meningkatkan nilai tambah produk industri. Meningkatnya pendapatan
industri dapat terjadi karena adanya aktivitas peningkatan nilai tambah dari
limbah dan bahan ikutan.
(T7). Menurunkan jumlah limbah industri. Kuantitas limbah dapat berkurang
karena adanya penerapan prinsip reduce, reuse, dan recycle dari sumberdaya
alam/bahan baku.
(T8). Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan
masyarakat di sekitar kawasan industri dapat semakin diupayakan karena
perubahan paradigma pihak industri yang memandang masyarakat sebagai
mitra strategis dalam usahanya. Dalam model ini, masyarakat menjadi pemasok
tenaga kerja, bahan baku, dan atau bahan penolong.
100 (T9). Mengupayakan keberlanjutan pasokan bahan baku, air, dan energi.
Aktivitas industri yang berkelanjutan hanya dapat tercapai apabila didukung oleh
pasokan bahan baku, air, dan energi yang berkelanjutan.
(T10). Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan. Pembangkitan
energi listrik dari sumber terbarukan seperti angin, surya, dan arus
laut/gelombang sangat mungkin untuk diupayakan di Kota Bitung. Secara
geografis Kota Bitung terletak di pinggir pantai dengan intensitas sinar matahari
yang cukup, kecepatan angin yang memadai, dan arus laut/gelombang yang
memungkinkan untuk pembangkitan energi listrik.
(T11). Meningkatkan hubungan yang harmonis antara industri dan masyarakat.
Dalam model ini hubungan harmonis antara industri dan masyarakat merupakan
salah satu tolok ukur keberhasilan yang harus dicapai. Dengan terjalinnya
hubungan yang harmonis tersebut maka masyarakat dapat menjadi pagar sosial
bagi aktivitas industri.
(T12). Meningkatkan efisiensi usaha dan lingkungan secara keseluruhan.
Efisiensi usaha dan lingkungan dapat dicapai karena penerapan prinsip reduce,
reuse, dan recycle di atas dan adanya upaya pemanfaatan bahan ikutan dan
limbah. Dengan adanya upaya di atas maka biaya pengolahan limbah dapat
berkurang secara siknifikan.
(T13). Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela. Salah satu
komponen utama dari Model EIP adalah kerjasama pertukaran materi dan
limbah antar industri di dalamnya. Kerjasama tersebut akan merangsang
lahirnya jenis industri baru, misalnya dalam rangka memanfaatkan bahan ikutan
dan atau limbah cair. Kerjasama yang dilakukan secara sukarela, yaitu yang
dibangun karena kebutuhan dan yang saling menguntungkan, akan berjalan
secara optimal dan berkelanjutan.
(B). Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung
Simbol-simbol yang digunakan untuk menyatakan hubungan kontekstual
antar sub-elemen adalah V, A, X, dan 0, dimana:
• V: apabila sub-elemen (1) memberikan kontribusi tercapainya sub-elemen
(2), tetapi tidak sebaliknya.
• A: apabila sub-elemen (2) memberikan kontribusi tercapainya sub-elemen
(1), tetapi tidak sebaliknya.
101 • X: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), saling memberikan kontribusi.
• O: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), tidak saling memberikan
kontribusi.
Hubungan kontekstual antar sub-elemen Tujuan Program dicantumkan di
dalam Lampiran 5a dan Lampiran 5b.
(C). Posisi Sub-Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung di dalam Empat Sektor
Posisi sub-elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung di dalam
empat sektor diperlihatkan di dalam Gambar 6.2. Dari Gambar tersebut diketahui
bahwa sub-sub elemen, yaitu: Membangkitkan energi listrik dari sumber
terbarukan (T10), Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela (T13),
Menurunkan jumlah limbah industri (T7), Melestarikan sumberdaya alam dan
lingkungan (T5), Mengupayakan keberlanjutan pasokan bahan baku, air, dan
energi (T9), dan Meningkatkan efisiensi usaha dan lingkungan secara
keseluruhan (T12), berada pada Sektor IV (independent). Hal ini menunjukkan
bahwa pencapaian ke-enam tujuan tersebut akan menimbulkan multiplier effect
terhadap tercapainya ke-tujuh tujuan lainnya. Sub-sub elemen tujuan lainnya,
yaitu Merangsang tumbuhnya jenis usaha industri baru (T1), Meningkatkan
1, 2, 3, 4, 6, 8, 11
5, 9, 12
7
10, 13
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Gambar 6.2. Matriks Daya Dorong-Ketergantungan untuk Elemen Tujuan
Program Pengembangan AEIP Bitung
peluang kerja (T2), Meningkatkan daya saing usaha industri (T3), Meningkatkan
pendapatan industri (T4), Meningkatkan nilai tambah produk industri (T6),
Daya Dorong
Ketergantungan
Sektor IV Sektor III
Sektor II Sektor I
102 Meningkatkan kesejahteraan masyarakat (T8), dan Meningkatkan kerjasama
antar industri secara sukarela (T11), berada pada Sektor III atau sebagai peubah
linkages (pengait) dan mencerminkan bahwa sub-sub elemen tujuan ini memiliki
keterkaitan yang kuat dengan tujuan lainnya.
(D). Diagram Model Struktural dari Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung
Berdasarkan kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing sub-
elemen tujuan, tersusun diagram model struktural tujuan program, seperti pada
Gambar 6.3. Dari gambar tersebut diketahui bahwa terdapat empat hirarki
1 2 3 4 6 8 11
5 9 12
7
10 13
Gambar 6.3. Diagram Model Struktural dari Elemen Tujuan Program
Pengembangan AEIP Bitung
tujuan program Pengembangan AEIP Bitung. Berdasarkan peringkat daya
dorong (driver power) maka tujuan-tujuan Membangkitkan energi listrik dari
sumber terbarukan (T10) dan Meningkatkan kerjasama antar industri secara
sukarela (T13) merupakan sub-sub elemen kunci yang perlu dijadikan sebagai
patokan dalam pengembangan AEIP Bitung. Sub-elemen tujuan lainnya, yaitu
Menurunkan jumlah limbah industri (T7) juga perlu diperhatikan karena memiliki
kekuatan penggerak yang lebih kuat dibandingkan dengan ke-sepuluh sub-sub
elemen tujuan lainnya.
(E). Elemen Kunci Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung
Hasil analisis menunjukkan bahwa elemen-elemen kunci Tujuan Program
adalah:
1. Membangkitkan energi listrik dengan sumber terbarukan.
2. Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela.
103 6.1.1.2. Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung (A). Sub-sub Elemen dari Kendala Utama Program Pengembangan
AEIP Bitung
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa sub-sub elemen Kendala Utama
Program Pengembangan AEIP Bitung adalah sebagai berikut (diketik dengan
huruf italic dan diikuti penjelasannya):
(K1). Belum tersedianya instrumen pembangunan kawasan industri bagi
investor. Instrumen pembangunan kawasan industri mengatur tentang teknis
pembangunan, peraturan perundangan pendukung, sistem insentif yang
diberlakukan, dan ketentuan lainnya.
(K2). Keterbatasan modal untuk mendirikan kawasan industri. Biaya untuk
membangun kawasan industri relatif sangat besar. Oleh karena itu maka
pembangunannya perlu dilakukan dalam kerangka kerjasama antara beberapa
pihak, seperti Pemerintah dan Investor. Khusus untuk rencana pembangunan
Kawasan Industri Bitung (yang diasumsikan menjadi cikal bakal AEIP Bitung),
kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam bentuk penyiapan lahan oleh Pihak
Pemerintah Provinsi dan Kota Bitung (dimana lahannya seluas 98 ha sudah
tersedia) dan pembangunan sarana dan prasarana oleh pihak investor. Dengan
adanya kerjasama tersebut maka kendala keterbatasan modal dapat diatasi.
(K3). Konsep EIP belum dipahami dengan baik. Konsep EIP merupakan konsep
yang baru. Hasil survei lapangan yang dilakukan terhadap pihak pelaku industri
menunjukkan bahwa semuanya belum mengetahui dan memahami konsep
tersebut. Bahkan, banyak pihak akademik pengembangan industri yang masih
meragukan peluang keberhasilan penerapan konsep tersebut di lapangan.
(K4). Terbatasnya lahan untuk pendirian kawasan industri. Salah satu kendala
pengembangan industri di Kota Bitung adalah adanya keterbatasan lahan
industri. Oleh karena itu, kompetisi penggunaannya dengan sektor lain sangat
ketat. Sebagai contoh kasus, salah satu persyaratan penetapan suatu
lokasi/wilayah untuk dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah
ketersediaan lahan industri seluas minimal 500 ha. Di Kota Bitung sendiri, lahan
industri yang telah tersedia adalah seluas 98 ha dan dapat diperluas menjadi
512 ha. Namun, perluasan tersebut diduga akan tidak mudah dilakukan karena
adanya beberapa faktor penghambat.
104 (K5). Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur. Lahan
seluas 98 ha yang direncanakan menjadi Kawasan Industri merupakan lahan
pertanian subur yang ditanami kelapa dan palawija. Upaya untuk memperluas
lahan industri tersebut menjadi 512 ha juga akan mengakibatkan kehilangan
lahan pertanian subur.
(K6). Meningkatnya harga lahan bila terindikasi adanya rencana pembangunan
kawasan industri. Fakta menunjukkan bahwa harga lahan biasanya akan
meroket apabila terindikasi adanya rencana pembangunan di lokasi atau sekitar
lokasi tertentu. Indikasi adanya rencana pembangunan juga biasanya
memunculkan para spekulan tanah yang mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Di beberapa negara seperti Korea Selatan, pihak Pemerintah menetapkan
berapa kelipatan harga yang diizinkan untuk diberlakukan Pihak Pengembang
terhadap tenant.
(K7). Dukungan kebijakan pemerintah yang masih lemah dan cenderung tidak
konsisten. Para ahli menilai bahwa negara ini memiliki banyak peraturan
perundangan yang tidak diterapkan secara konsekuen dan konsisten. Dilain
pihak, dukungan peraturan perundangan dalam bidang pengembangan industri
dinilai masih lemah dan cenderung tidak konsisten. Para pemimpin yang baru
berkuasa cenderung mengganti peraturan perundangan dengan yang baru
walaupun yang lama telah terbukti efektif dalam penerapannya.
(K8). Kurang tersedianya tenaga kerja terampil. Tenaga kerja terampil dengan
latar belakang pendidikan teknik industri masih kurang tersedia di wilayah ini
karena kurang tersedianya secara lokal lembaga pendidikan dalam bidang
tersebut. Tenaga kerja dimaksud biasanya harus didatangkan dari kota-kota di
Pulau Jawa. Namun, tenaga kerja dengan spesialisasi dan spesifikasi yang
diperlukan lebih memilih untuk bekerja di industri-industri besar di Pulau Jawa
yang memberikan pendapatan tetap yang lebih besar.
(K9). Biaya tenaga kerja relatif mahal dibandingkan dengan di Pulau Jawa.
Secara rata-rata, biaya tenaga kerja di Provinsi Sulawesi Utara lebih mahal
dibandingkan dengan biaya tenaga kerja di Pulau Jawa. Kondisi ini menjadi
salah satu faktor penghambat berkembangnya industri padat karya di wilayah ini.
(K10). Pertumbuhan jumlah dan jenis industri baru yang relatif rendah.
Eksistensi faktor penghambat seperti kurang tersedianya tenaga kerja terampil
dan murah, pasar yang relatif terbatas, keterbatasan pasokan listrik, sarana dan
105 prasarana perghubungan yang kurang memadai, kurangnya daya tarik investasi,
dan faktor-faktor lainnya menjadi kendala bagi pertumbuhan jumlah dan jenis
industri baru.
(K11). Belum adanya jenis industri di tingkat lokal yang dapat dijadikan sebagai
industri jangkar. Salah satu jenis industri yang dapat menjadi industri jangkar
adalah industri portland cement. Jenis industri ini biasanya akan menghasilkan
“ekses panas” yang dapat digunakan oleh industri lain disekitarnya sebagai
sebagai sumber energi untuk mengeringkan produk, misalnya. Atau, industri
tersebut dapat menggunakan abu yang dihasilkan oleh industri di sekitarnya
menjadi bahan baku aktivitas produksinya.
(K12). Pasokan energi listrik mulai terkendala. Keterbatasan pasokan energi
listrik telah menjadi fenomena di Indonesia di tahun 2009. Fenomena tersebut
juga dialami oleh masyarakat dan industri di Provinsi Sulawesi Utara pada
musim kemarau 2009. Fenomena tersebut terjadi karena kerusakan pembangkit
listrik tenaga panas bumi dan berkurangnya debit air Danau Tondano sehingga
mengurangi kemampuannya menggerakkan turbin. Kendala tersebut perlu
diantisipasi dengan cara reboisasi lahan-lahan pertanian di sekitar Danau
Tondano dan pembangkitan energi listrik menggunakan sumber-sumber energi
terbarukan.
(K13). Pasar di sekitar wilayah rencana kawasan industri relatif kecil. Relatif
kecilnya pasar di wilayah ini terkait dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit.
Dengan demikian maka orientasi ekspor perlu menjadi pilihan bagi aktivitas
industri manufaktur di wilayah ini.
(B). Hubungan Konteksual Antar Sub-Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung Simbol-simbol yang digunakan untuk menyatakan hubungan kontekstual
antar sub-elemen adalah V, A, X, dan 0, dimana:
• V: apabila sub-elemen (1) menyebabkan sub-elemen (2), tetapi tidak
sebaliknya.
• A: apabila sub-elemen (2) menyebabkan sub-elemen (1), tetapi tidak
sebaliknya.
• X: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), saling menjadi penyebab.
• O: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), tidak saling menjadi
penyebab.
106
Hubungan kontekstual antar sub-elemen Kendala Utama Program
dicantumkan di dalam Lampiran 6a dan Lampiran 6b.
(C). Posisi Sub-Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung di dalam Empat Sektor
Posisi Sub-Elemen Kendala Utama Program di dalam Empat Sektor diperlihatkan di dalam Gambar 6.4. Dari Gambar tersebut diketahui bahwa sub-
12
3
4
5
6
7
8, 9, 10
11
12, 13
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Gambar 6.4. Posisi sub-elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung di dalam Empat Sektor
sub elemen, yaitu: Konsep EIP belum dipahami dengan baik (K3), Dukungan
kebijakan pemerintah yang masih lemah dan cenderung tida konsisten (K7),
Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur (K5), dan
Terbatasnya lahan untuk pendirian kawasan industri (K4), berada pada Sektor 4
(independent). Hal ini menunjukkan bahwa penanganan terhadap ke-empat
kendala utama dari program tersebut akan menimbulkan multiplier effect
terhadap tercapainya penanganan kendala utama dari program lainnya.
(D). Diagram Model Struktural Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung
Berdasarkan kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing sub-
elemen Kendala Utama Program, tersusun diagram model struktural Kendala
Utama Program, seperti pada Gambar 6.5. Dari gambar tersebut diketahui
bahwa terdapat lima hirarki Kendala Utama dari Program. Berdasarkan
peringkat daya dorong (driver power) maka Konsep EIP belum dipahami dengan
Sektor I
Ketergantungan
Daya Dorong
Sektor IV Sektor III
Sektor II
107 baik (K3) dan Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur
(K5)) merupakan sub-sub elemen kunci yang perlu ditangani dalam
pengembangan AEIP Bitung. Sub-sub elemen Kendala Utama Program lainnya,
yaitu Terbatasnya lahan untuk pendirian kawasan industri (K4) dan Dukungan
kebijakan pemerintah yang masih lemah dan cenderung tidak konsisten (K7)
juga perlu diperhatikan karena memiliki kekuatan penggerak yang lebih kuat
dibandingkan dengan sub-sub elemen kendala utama program lainnya dan
memiliki keterkaitan yang kuat satu dengan lainnya.
1 2 11
8 9 10
6 12 13
4 7
3 5
Gambar 6.5. Diagram Model Struktural Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung
(E). Elemen Kunci Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung
Elemen-elemen kunci Kendala Utama Program Pengembangan AEIP
Bitung adalah:
1. Konsep EIP belum dipahami dengan baik
2. Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur.
6.1.2. Penentuan Model AEIP Prioritas Untuk mengetahui Model AEIP prioritas maka dilakukan analisis dengan
menggunakan Teknik AHP. Fokus/tujuan dari struktur AHP adalah Alternatif
AEIP Bitung. Sedangkan yang menjadi kriteria penilaian terhadap alternatif
adalah ke-empat faktor-faktor penentu pengembangan AEIP yang telah
diperoleh berdasarkan hasil analisis sebelumnya (Gambar 6.6).
108
Gambar 6.6. Struktur AHP Alternatif AEIP
Keterangan:
A. Model AEIP dengan konsentrasi pada pertukaran materi dan limbah industri
(merujuk pada Model Kalundborg, Denmark)
B. Model AEIP yang meliputi industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi
dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan
(RPH), pengomposan, pembangkitan listrik sumber energi terbarukan, dan
fasilitas pengolahan limbah cair (merujuk pada Fujisawa Factory EIP).
C. Model AEIP dengan konsentrasi pada upaya penyediaan informasi
khususnya menyangkut teknologi pengelolaan lingkungan (merujuk pada
Model Burnside, Nova Scotia, Kanada).
D. Model AEIP dengan konsentrasi pada pemenuhan manajemen lingkungan
dari kawasan industri. Persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa menjadi
tenan di kawasan industri ini sangat ketat (merujuk pada Model PALME,
Perancis).
E. Model AEIP dengan konsentrasi pada kerjasama dalam bidang fasilitas
bangunan, transportasi, serta penyimpanan dan penjualan. Di kawasan
industri ini, sinergi dibangun secara efektif pada produk akhir dan siklus
industri, bukan pada limbah akhir (merujuk pada Model Value Park, Dow
Chemical, Jerman).
Hasil analisis terhadap data hasil penelitian (Lampiran 8) yang dilakukan
dengan menggunakan Program Decision Plus Version 3 diperlihatkan di dalam
Alternatif AEIP Bitung
Membangkitkan energi listrik dari
sumber terbarukan
Meningkatkan kerjasama
antar industri secara
sukarela
Konsep AEIP belum
dipahami dengan baik
Rencana lokasi KI
adalah lahan pertanian
subur
A C D B E
Sasaran
Kriteria
Alternatif
109 Tabel 6.1. dan Gambar 6.7. Secara keseluruhan, nilai konsistensi rasio (CR)
menunjukkan bahwa jawaban dari tenaga ekspert yang disurvei adalah
meyakinkan dengan tingkat kepercayaan di atas 90%. Hasil analisis di dalam
Tabel 6.1. menunjukkan bahwa yang menjadi kriteria prioritas adalah Konsep
EIP belum dipahami dengan baik dan diikuti oleh Meningkatnya kerjasama antar
industri secara sukarela.
Tabel 6.1. Data Hasil Analisis AHP dari Alternatif AEIP
Kriteria Penilaian
Nilai konsis-tensi ratio (CR)
Model AEIP Nilai tertim-bang dari kriteria
A B C D E Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan
0,006 0.289 0.289 0.053 0.08 0.289 0.109
Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela
0,056 0.293 0.381 0.094 0.117 0.115 0.361
Konsep AEIP belum dipahami dengan baik
0,237 0.137 0.419 0.076 0.19 0.178 0.480
Rencana lokasi Kawasan Industri adalah lahan pertanian subur
0,028 0.109 0.387 0.083 0.108 0.312 0.050
Hasil (Alternatif) 0,006 0.209 0.390 0.081 0.147 0.174 -
Diagram nilai-nilai keputusan terhadap alternatif pengembangan AEIP
diperlihatkan dalam Gambar 6.7. Diagram tersebut menunjukkan bahwa Model
AEIP (Model B) yang meliputi kegiatan-kegiatan industri manufaktur, ker-
Gambar 6.7. Nilai Keputusan Alternatif AEIP Bitung
jasama pertukaran materi dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam,
Rumah Potong Hewan (RPH), pengomposan, pembangkitan listrik sumber
110 energi terbarukan, dan fasilitas pengolahan limbah cair merupakan Model AEIP
prioritas yang dapat dikembangkan menjadi AEIP Bitung.
Kegiatan-kegiatan berbasis agro-kompleks di dalam model prioritas di atas
membutuhkan lahan terbuka yang memiliki karakteristik alami. Dengan demikian
maka sebagian dari lahan rencana kawasan industri perlu dipertahankan sesuai
dengan kondisinya saat ini. Keberadaan lahan dengan kondisi alami tersebut
dapat berkontribusi pada pemeliharaan lingkungan hidup.
6.1.3. Tahapan Implementasi AEIP Prioritas (A). Sub-sub Elemen Tahapan Implementasi AEIP Prioritas
Hasil identifikasi terhadap elemen-elemen yang diperlukan untuk
Implementasi AEIP Prioritas (Model B) adalah sebagai berikut (kalimat yang
ditulis dengan huruf miring):
(P1). Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau
penyertaan sebagai pemegang saham. Lahan bagi peruntukan kawasan industri
telah tersedia di Kelurahan Tanjung Merah dengan luas 98 ha yang merupakan
lahan ex-HGU yang izinnya tidak diperpanjang lagi oleh Pemerintah Daerah.
Lahan ini dapat diperluas menjadi sekitar 512 ha apabila dilakukan pembebasan
lahan masyarakat, atau dengan cara menyertakan pemilik sebagai pemegang
saham kawasan industri. Hal yang disebut terakhir merupakan salah satu solusi
yang dianjurkan di dalam Keppres No. 41 Tahun 1996 dan peraturan
penggantinya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan
Industri.
(P2). Penyusunan masterplan kawasan industri. AEIP Bitung akan merujuk
pada masterplan Kawasan Industri Bitung yang telah dipersiapkan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian tahun 2009.
Namun, perlu dilakukan penyesuaian merujuk pada Lowe, EA (2001).
(P3). Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP. POKJA dibentuk untuk
mempersiapkan lahan, masterplan dan desain bangunan, sosialisasi program,
pengurusan perijinan, dan pendirian perusahan pengelola kawasan industri.
(P4). Sosialisasi AEIP. Lingkup kegiatan dalam rangka memperkenalkan konsep
AEIP serta program-program yang akan dilakukan dalam rangka penyiapan
lahan kawasan dan rekruitmen investor kawasan serta tenant.
(P5). Pendirian perusahan pengelola kawasan industri. Perusahan pengelola
merupakan salah satu komponen yang wajib dimiliki oleh Kawasan Industri.
111 (P6). Perumusan tata tertib kawasan industri. Perumusan dilakukan oleh
Perusahan Pengelola. Untuk mencapai kinerja industri dan lingkungan yang
optimal maka Tata Tertib Kawasan Industri harus dijalankan dan ditaati secara
konsekuen.
(P7). Perumusan sistem kerjasama pertukaran materi dan limbah secara
sukarela. Kerjasama secara sukarela perlu mendapat penekanan utama karena
model kerjasama yang demikian yang bisa berjalan dengan baik sehingga target
yang ditetapkan dapat dicapai secara efektif.
(P8). Penyiapan sistem rekruitmen tenant. Suatu kawasan industri perlu
menetapkan jenis tenant yang menjadi prioritas untuk direkrut. Khusus untuk
wilayah Sulawesi Utara, tenant yang paling sesuai untuk direkrut adalah yang
terkait dengan perikanan laut atau kelapa. Prioritas rekruitmen perlu
mempertimbangkan trend global.
(P9). Penetapan pola harga kapling industri. Hal ini perlu dilakukan terutama
oleh Pemerintah karena harga kapling industri dinilai terlalu mahal bagi pihak
industriawan. Pemerintah perlu menetapkan berapa kali kelipatan harga kapling
industri terhadap harga lahan awal yang diizinkan untuk dikenakan kepada
tenant, sehingga dapat merangsang investasi.
(P10). Pembangunan infrastruktur kawasan industri. Infrastruktur yang memadai
merupakan faktor penentu dalam menarik investasi. Salah satu keterbatasan
Kota Bitung Bitung saat ini adalah belum adanya akses jalan bebas hambatan ke
Kota Manado, maupun yang menghubungkan rencana lokasi kawasan industri
dengan Pelabuhan Samudera Bitung. Karena tingkat kepentingannya yang
besar maka pembangunan infrastruktur perlu menjadi prioritas pembangunan,
yang dapat dilakukan dengan sistem kerjasama antar Pemerintah dan Investor.
(P11). Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan.
Kekurangan pasokan energi listrik merupakan salah satu faktor penghambat
pembangunan industri di Kota Bitung. Pasokan listrik menjadi semakin
bermasalah pada musim kemarau, seperti yang terjadi pada bulan Juli-
November 2009. Musim kemarau panjang menyebabkan debit air Danau
Tondano menurun sehingga tidak dapat memasok listrik secara optimal. Kondisi
tersebut menyebabkan pemadaman listrik secara bergiliran, termasuk bagi
industri manufaktur. Permasalahan ini diduga akan terjadi setiap musim
kemarau. Oleh karena itu, pembangunan Kawasan Industri perlu didukung oleh
112 pembangkitan listrik dengan sumber energi terbarukan seperti angin, surya, dan
arus laut. Kota Bitung memiliki ketiga potensi alam tersebut.
(P12). Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat. Pengolahan limbah cair
secara terpusat akan berkontribusi pada pemeliharaan lingkungan secara
siknifikan. Salah satu contoh kawasan industri yang telah menerapkan metode
ini adalah PT. Kawasan Industri Makassar. Air limbah organik diolah secara
tersentral di Pusat Pengolahan Limbah Cair, untuk selanjutnya dibuang ke badan
air penerima. Air buangan yang tercampur dengan air kali selanjutnya
digunakan oleh masyarakat untuk budidaya tambak. Penggunaan air buangan
secara terus-menerus oleh petani merupakan bukti bahwa pengolahan air limbah
telah dilakukan dengan baik sehingga memenuhi baku mutu limbah cair.
(P13). Pembangunan fasilitas daur ulang. Fasilitas daur ulang perlu dibangun
untuk mengolah limbah padat yang dihasilkan oleh industri, seperti plastik,
stirofoam, kertas, dll.
(P14). Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk. Adanya fasilitas
pusat penyimpanan produk (gudang maupun cold storage) akan sangat
menguntungkan bagi tenant. Cold stortage dengan kapasitas besar akan sangat
bermanfaat terutama pada saat puncak musim panen ikan laut. Pembangunan
fasilitas ini oleh masing-masing industri tidak menguntungkan.
(P15). Pembangunan perumahan karyawan. Pembangunan perumahan bagi
karyawan akan menguntungkan dalam hal ketepatan waktu kerja dan
mengurangi biaya ekonomi dan sosial dari lalu lalang orang.
(P16). Pembangunan klinik kesehatan. Pembangunan pusat klinik kesehatan
akan bermanfaat bagi pemeliharaan kesehatan karyawan dan keluarganya.
(P17). Pembangunan fasilitas riset. Adanya fasilitas riset di dalam kawasan
industri akan berguna dalam melakukan penelitian-penelitian terapan yang
secara langsung menyentuh kebutuhan industri. Aktivitas pusat riset ini dapat
dikembangkan melalui kerjasama dengan Perguruan Tinggi atau Lembaga Riset
di daerah.
(P18). Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa. Fasilitas perbaikan dan
rekayasa diperlukan untuk mendukung secara langsung aktivitas industri.
(P19). Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian. Fasilitas laboratorium
pengujian saat ini semakin diperlukan mengingat semakin ketatnya standar
113 kualitas produk yang diberlakukan oleh konsumen, terutama konsumen di Luar
Negeri.
(P20). Pembangunan fasilitas training. Fasilitas training diperlukan sebagai
tempat pelatihan dan pengembangan kemampuan SDM.
(P21). Pembangunan pusat promosi dan bisnis. Setiap kawasan industri
memerlukan fasilitas promosi dan bisnis. Promosi perlu dilakukan untuk
memperkenalkan kawasan industri dan produk-produk yang dihasilkan.
Kegiatan bisnis diperlukan untuk memasarkan produk industri dan juga sebagai
sarana pendukung aktivitas industri manufaktur.
(P22). Penyiapan sistem transportasi bersama. Sistem transportasi bersama
akan berkontribusi pada pengurangan biaya ekonomi dan sosial lalu lalang
orang, termasuk dapat mengurangi emisi gas rumah kaca.
(P23). Penyusunan Program CSR. Program-program tanggung jawab sosial
masyarakat merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak
pelaku industri. Penerapan program ini secara baik akan mendapatkan umpan
balik positif dari masyarakat.
(B). Hubungan Kontekstual Implementasi AEIP Prioritas
Simbol-simbol yang digunakan untuk menyatakan hubungan kontekstual
antar sub-elemen adalah V, A, X, dan 0, dimana:
• V: apabila sub-elemen (1) mendukung sub-elemen (2), tetapi tidak
sebaliknya.
• A: apabila sub-elemen (2) mendukung sub-elemen (1), tetapi tidak
sebaliknya.
• X: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), saling mendukung.
• O: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), tidak saling mendukung.
Hubungan kontekstual antar sub-elemen dari Implementasl AEIP Bitung
Prioritas dicantumkan di dalam 7a dan Lampiran7b.
(C). Posisi Sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas di dalam Empat Sektor Posisi sub-elemen plot ke dalam empat sektor dari Implementasi AEIP
Prioritas diperlihatkan di dalam Gambar 6.8. Struktur sub-elemen dari
Implementasi AEIP Prioritas diperlihatkan di dalam Gambar 6.8. Dari gambar
114
1
2
34
5
67, 8
910
11
12, 14
13, 17, 18, 19, 20, 21
1516
2223
0123456789
1011121314151617181920
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Gambar 6.8. Posisi Sub-elemen Program Pengembangan AEIP Prioritas dalam Empat Sektor
tersebut diketahui bahwa sub-sub elemen, yaitu: Pendirian perusahan pengelola
kawasan industri (P5), Penyusunan masterplan kawasan industri (P2),
Perumusan tata tertib kawasan industri P6), Pembangunan pembangkit listrik
dengan sumber energi terbarukan (P11), Perumusan sistem kerjasama
pertukaran materi dan limbah secara sukarela (P7), dan Penyiapan sistem
rekruitmen tenan (P8), berada pada Sektor IV (independent). Hal ini
menunjukkan pencapaian ke-lima program tersebut akan menimbulkan multiplier
effect terhadap pencapaian program lainnya.
(D). Diagram Model Struktural Elemen Implementasi AEIP Prioritas
Berdasarkan daya dorong dan ketergantungan masing-masing sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas, tersusun diagram model struktural, seperti terlihat
pada Gambar 6.9. Dari Gambar tersebut diketahui bahwa terdapat sembilan
hirarki Implementasi AEIP Prioritas. Berdasarkan peringkat daya dorong (driver
power) maka Penyusunan masterplan kawasan industri (P2), dan Pembentukan
POKJA Pengembangan AEIP (P3) merupakan sub-sub elemen kunci yang perlu
dijadikan sebagai patokan dalam Implementasi AEIP Prioritas. Sub-elemen
program lainnya, yaitu Sosialisasi AEIP (P4) juga perlu diperhatikan karena
memiliki daya dorong yang lebih kuat dibandingkan dengan sub-elemen program
lainnya.
Daya Dorong
Ketergantungan
Sektor IV
Sektor I Sektor II
Sektor III
115
12 14 15
16
23
13 17 18 19 20 21 22
7 8 10 11
6 9
1 5
4
2 3
Gambar 6.9. Diagram Model Struktural elemen Implementasi AEIP Prioritas
(E). Elemen Kunci dari Implementasi AEIP Prioritas
Hasil analisis menunjukkan bahwa elemen-elemen kunci dari program
Implementasi AEIP Prioritas adalah:
1. Penyusunan masterplan kawasan industri.
2. Pembentukan POKJA pengembangan AEIP Bitung.
Hasil kajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa model prioritas
adalah Model AEIP yang terdiri atas aktivitas industri manufaktur yang didukung
oleh kegiatan-kegiatan pertukaran material dan limbah, industri agro-kompleks
seperti penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan (RPH), dan
pengolahan limbah cair, dan fasilitas pembangkit listrik energi terbarukan.
Pembahasan selanjutnya mengenai Perancangan Model Dinamik AEIP Bitung
merupakan penjabaran dari model ini.
(F). Tahapan Pelaksanaan Implementasi AEIP Prioritas
Berdasarkan hasil analisis terhadap sub-sub elemen Implementasi AEIP
Prioritas maka urutan tahapan program yang perlu dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Penyusunan masterplan kawasan industri.
2. Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP.
116 3. Sosialisasi AEIP.
4. Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau
penyertaan sebagai pemegang saham.
5. Pendirian perusahan pengelola kawasan industri.
6. Perumusan tata tertib kawasan industri.
7. Penetapan pola harga kapling industri.
8. Perumusan sistem kerjasama pertukaran materi dan limbah secara sukarela.
9. Penyiapan sistem rekruitmen tenant.
10. Pembangunan infrastruktur kawasan industri.
11. Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan.
12. Pembangunan fasilitas daur ulang.
13. Pembangunan fasilitas riset.
14. Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa.
15. Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian.
16. Pembangunan fasilitas training.
17. Pembangunan pusat promosi dan bisnis.
18. Penyiapan sistem transportasi bersama.
19. Penyusunan Program CSR.
20. Pembangunan klinik kesehatan.
21. Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat.
22. Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk.
23. Pembangunan perumahan karyawan.
6.1.4. Rangkuman
Rangkuman dari hasil bahasan di atas adalah sebagai berikut:
1. Sub-sub elemen kunci Tujuan Pengembangan AEIP adalah: (a)
Membangkitkan energi listrik dengan sumber terbarukan, (b) Meningkatkan
kerjasama antar industri secara sukarela.
2. Sub-sub elemen kunci Kendala Utama Pengembangan AEIP adalah: (a)
Konsep AEIP belum dipahami dengan baik, (b) Rencana lokasi kawasan
industri adalah lahan pertanian subur.
3. Hasil analisis menunjukkan bahwa Model AEIP yang meliputi kegiatan-
kegiatan: industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi dan limbah,
penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan (RPH),
pengomposan, pembangkitan listrik sumber energi terbarukan, dan fasilitas
117
pengolahan limbah cair merupakan alternatif model AEIP prioritas yang
dapat dikembangkan di Kota Bitung.
4. Hasil analisis menunjukkan bahwa elemen-elemen kunci dari Implementasi
AEIP Prioritas adalah: (a) Penyusunan masterplan kawasan industri, (b)
Pembentukan POKJA pengembangan AEIP.
6.2. Perancangan Model Dinamik Program Pengembangan AEIP Bitung
6.2.1. Penyusunan Model Dinamik Model dinamik Pengembangan AEIP Bitung disusun dengan
mempertimbangkan kondisi pasokan bahan baku, kondisi aktual industri
manufaktur, persepsi masyarakat terhadap aktivitas industri manufaktur, pola
keterkaitan antar industri, kondisi lingkungan, dan tahapan Implementasi AEIP
Prioritas. Dalam membangun model, parameter-parameter tersebut di atas
didekati dengan variabel-variabel, yaitu: limbah cair dan bahan ikutan, bahan
baku, jumlah industri manufaktur/industri agro, tenaga kerja, nilai produksi, dan
pembangkitan energi terbarukan. Penerapan prinsip-prinsip ekologi industri
dilakukan dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara industri
(simbiosis) dan pola jaringan tertutup (closed loop), seperti di dalam Gambar
6.10.
Model dibangun dengan asumsi bahwa bahan baku, baik perikanan laut
maupun kelapa, tersedia secara lokal dan atau tersedia melalui pasokan impor
dari lokasi/daerah lain, dan adanya Kebijakan Pemerintah Daerah yang
menjamin pasokan bahan baku (misalnya melalui penegakan hukum terhadap
penjualan ikan di tengah laut secara ilegal dan atau pemberantasan praktek
illegal fishing).
Model dibangun dengan mempertimbangkan “kawasan” sebagai faktor
pembatas sehingga yang menjadi komponen penyusun aliran informasi dalam
setiap “flow” adalah jumlah industri, kapasitas produksi, dan akumulasi produksi.
Dengan demikian maka kebutuhan bahan baku dalam model ini diketahui
melalui pendekatan produksi.
118
IndustriBerbasis
Perikanan Laut IndustriBerbasisKelapa
LimbahPadat
LimbahCair
BahanIkutan
TPA
kaleng
ProdHortikultura
Minyakkedelai
PusatPengolahanLimbah Cair
IndustriBiodiesel
IndustriNata de
CocoInd Pakan Pengara
Tempu
INPUTLINGKUNGAN
AGRO-EIP
PenyerapanTK
Pembangkit Tenaga Su
Pembangkit Tenaga An
PenggemukanSapi
PeternakanAyam
ProdukIndustriKelapa
Produk IndustriPerikanan Laut
NilaiProduksi
ArmadaPenangkap
Ikan
PengomposanBhn Organik
Taman/RTH
PusatPenyimpanan
dingin
RPH
IndVCO
Industturunakelapalainnya
Gambar 6.10. Parameter-parameter dalam Model AEIP Bitung
Keterangan: Struktur Model AEIP Bitungterdiri atas variabel-variabel yang terdapat di dalam kotak dengan garis terputus, sedangkan variabel-variabel di luarnya merupakan input lingkungan.
119 Berdasarkan hasil analisis terhadap status industri manufaktur/agro yang
meliputi kinerja industri agro, persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas
industri agro, pola keterkaitan antar industri, dan model alternatif prioritas, maka
disusun Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park Bitung (AEIP Bitung),
Provinsi Sulawesi Utara yang disingkat MP-AEIP Bitung. Model tersebut terdiri
atas sub-sub model, yaitu: (1) Sub-model Industri Berbasis Perikanan Laut, (2)
Sub-model Industri Berbasis Kelapa, (3) Sub-model Industri Agro-Kompleks, dan
(4) Sub-model Sumber Energi Terbarukan (5) Sub-Model Limbah dan Bahan
Ikutan (Gambar 6.13 s/d Gambar 6.20.). Struktur Model MP-AEIP Bitung
disajikan di dalam Lampiran 10, sedangkan Koefisien dan Persamaan masing-
masing variabel disajikan di dalam Lampiran 12.
Di dalam model ini, kegiatan-kegiatan industri seperti peternakan ayam,
penggemukan sapi, pengomposan, dan pengarangan tempurung, secara
optional dapat terletak di sekitar atau di luar kawasan AEIP Bitung, tapi secara
legal formal menjadi bagian dari AEIP Bitung. Tujuan utama dibangunnya model
adalah untuk menunjukkan output berkaitan dengan waktu dari Kawasan AEIP
Bitung, baik dalam bentuk Nilai Produksi, Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja, dan
Pengelolaan Lingkungan khususnya terhadap penurunan limbah industri dan
peningkatan penggunaan bahan ikutan perikanan laut dan kelapa.
Data dasar yang digunakan untuk mendeskripsikan Sub-Model Industri
Berbasis Perikanan Laut diperlihatkan dalam Tabel 6.2. Penjumlahan dari semua
Kebutuhan Bahan Baku dari semua jenis industri berbasis Perikanan Laut
memberikan informasi mengenai Kebutuhan Bahan Baku (Ikan Segar) dari AEIP
Bitung. Kebutuhan bahan baku tersebut selanjutnya dibandingkan dengan
Potensi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara. Apabila nilainya adalah positif
maka terdapat peluang untuk mengekspor, sebaliknya bila nilainya adalah
negatif maka untuk memenuhi kebutuhan industri perlu dilakukan upaya pasokan
bahan baku melalui import dari daerah lain, khususnya dari wilayah Indonesia
Bagian Timur.
120 Tabel 6.2. Data Dasar Industri Berbasis Perikanan Laut yang Digunakan dalam
Pemodelan
No Peubah Data Dasar Sumber Data Keterangan
1 Rendemen dari ikan segar (%) - Ikan Kaleng - Ikan Beku - Ikan Kayu - Ikan Asap
0,6 0,6 0,2 0,6
Pajow (2009)
Industri Besar Ind Besar, Sedang, Kecil Industri Besar Industri Kecil
1) Idem Idem Idem
2 Rendemen Tepung Ikan dari ikan segar,%
0,15 Data Prediksi Diturunkan dari data bahwa berat bersih ikan (fillet) adalah 60% dr berat ikan segar (dengan kadar air 60%), kemudian dikeringkan menjadi tepung dengan kadar air 10%.
2 Kapasitas Produksi (kg/unit/hari) - Ikan Kaleng - Ikan Beku - Ikan Kayu - Tepung Ikan
9.585 5.838 14.771 4.054
Disperindag Kota Bitung (2008)
- Total produksi dibagi jumlah industri per hari (jumlah hari dalam setahun: 360 HOK)
- Total 5 unit usaha existing - Total 20 unit usaha existing - Total 5 unit usaha existing - Total 2 unit usaha existing
3 Harga Produk (Rp/kg): - Ikan Kaleng - Ikan Beku - Ikan Asap - Ikan Kayu - Tepung Ikan
15000 12000 12500 25000 6.250
Pajow (2009)
1)
Idem Idem Idem Idem
4 Isi Ikan per Kaleng (kg) 1,298 PT. Deho Canning Co. (2009)
Nilai rata-rata dari 10 kode kaleng ukuran ∅ 603 inch
5 Air Tawar (kg) 0,386 PT. Deho Canning Co. (2009)
Nilai rata-rata dari 5 kode kaleng ukuran ∅ 603 inch
6 Minyak Kedelai (kg) 0,325 PT. Deho Canning Co. (2009)
Nilai rata-rata dari 5 kode kaleng ukuran ∅ 603 inch
7 Air Garam (kg) 0,0035 PT. Deho Canning Co. (2009)
Nilai rata-rata dari 10 kode kaleng ukuran ∅ 603 inch dengan prediksi konsentrasi garam sebanyak 2%.
8 Potensi Perikanan Laut Provinsi Sulut (kg)
181.451.000 Sulut Dalam Angka 2008
Y = -0,845x6 + 31,526x5 – 388,76x4 + 1355,8x3 + 4960,6x2 - 21270x + 127195 R2
9 = 0,9422
Rasio Tenaga Kerja IB 13.349 kg/ TK/Thn
Dinas Perindag Kota Bitung (2008)
-
Keterangan: 1)
Grafik produksi perikanan laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007
diperlihatkan di dalam Gambar 6.11. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui
bahwa persamaan fungsi produksi perikanan laut adalah Y= -0,845x
Komunikasi pribadi (2009).
6+31,526x5-
388,76x4+1355,8x3+4960,6x2-21270x+127195 dengan koefisien determinasi (R2)
121 adalah 0,9422. Grafik menunjukkan bahwa produksi perikanan laut di Provinsi
Sulawesi Utara tumbuh secara polinomial, yaitu mengalami peningkatan dan
penurunan produksi secara gradual.
Produksi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007
y = -0.845x6 + 31.526x5 - 388.76x4 + 1355.8x3 + 4960.6x2 - 21270x + 127195
R2 = 0.9422
0
50000
100000
150000
200000
250000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tahun
Prod
uksi
(ton
)
Series1Poly. (Series1)
Ket: tanda baca titik pada penulisan angka dibaca koma.
Gambar 6.11. Grafik Produksi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007
Grafik produksi kelapa (setara kopra) Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-
2007 disajikan dalam Gambar 6.12. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui
bahwa persamaan fungsi produksi kelapa adalah Y=-1,1229x6 +54,399x5-
981,5x4+8275,5x3-4621x2+68849x+251736 dengan nilai koefisien determinasi
(R2) adalah 0,801. Grafik menunjukkan bahwa produksi kelapa di Provinsi
Sulawesi Utara tumbuh secara polinomial, yaitu mengalami peningkatan dan
penurunan produksi secara gradual.
Pembangunan jenis-jenis industri dan kegiatan lainnya di AEIP Bitung
dilakukan secara bertahap, sebagaimana yang diperlihatkan di dalam Tabel 6.3.
Waktu keseluruhan pembangunan diasumsikan selama 15 tahun dengan
beberapa pertimbangan, yaitu: lama waktu realisasi investasi, ketersediaan
bahan baku, selesai dibangunnya dan beroperasinya industri pemasok bahan
baku, ketersediaan pasar, dan faktor lainnya.
122
Produksi Kelapa (Setara Kopra) Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007
y = -1.1229x6 + 54.399x5 - 981.5x4 + 8275.5x3 - 34621x2 + 68849x + 251736
R2 = 0.801
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tahun
Prod
uksi
(ton
)
Series1Poly. (Series1)Poly. (Series1)
Ket: tanda baca titik pada penulisan angka dibaca koma.
Gambar 6.12. Grafik Produksi Kelapa Setara Kopra Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007
6.2.1.1. Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut
Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut terdiri atas Produksi Ikan
Kaleng; Ikan Beku, Ikan Kayu, Ikan Asap, Tepung Ikan, dan Pakan Ternak.
“Flow” dari ikan kaleng, ikan beku, dan ikan asap terdiri atas jumlah industri,
kapasitas produksi setiap unit industri, pertumbuhan produksi, dan akumulasi
produk. Sedangkan ”flow” dari ikan asap, tepung ikan, dan pakan ternak terdiri
atas tambahan industri, pertumbuhan industri, dan jumlah industri, yang mana
informasi jumlah industri tersebut bersama-sama dengan kapasitas produksi
industri menentukan pertumbuhan produksi, yang akhirnya menentukan
akumulasi (level) dari produksi. Untuk mengantisipasi adanya keterbatasan
pasokan bahan baku maka pembangunan industri untuk jenis produk industri
tertentu dilakukan secara bertahap dengan selang waktu sekitar satu sampai
lima belas tahun. Dalam model yang dibangun, pentahapan tersebut dinyatakan
dalam bentuk Fungsi DELAYPPL, IF, dan PULSE.
123
Tabel 6.3. Tahapan Pembangunan Industri Agro dan Fasilitas AEIP Bitung
No Jenis Industri Tahun Pembangunan (20..) Jumlah (Unit) 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
1 Ikan Kaleng x 1 2 Ikan Beku x 1 3 Ikan Kayu x 1 4 Minyak Kelapa x 1 5 Kelapa Parut
Kering (KPK) x 1
6 Arang Aktif x 1 7 Ikan Asap x x x x 4 8 Tepung Ikan xx xx 4 9 Pakan Ternak xx
x xx
x 6
10 Minyak Kelapa dari Paring
x x x x 4
11 Biodiesel x 1 12 VCO x x x x 4 13 Arang Tempurung x x x x 4 14 Nata de Coco x x x x x 5 15 Coco Vinegar x x x x x x 6 16 Kecap Kelapa x x x x x x 6 17 Minuman Ringan x x x 3 18 Santan x x 2 19 Bahan Kosmetik x x 2 20 Peternakan Ayam x 1 21 Penggemukan Sapi x 1 22 RPH x 1 23 Pengomposan x x 2 24 Pembangkit Listrik
Tenaga Angin x 1
25 Pembangkit Listrik Tenaga Surya
x 1
Jumlah 64
Produksi Ikan Kaleng, Ikan Beku, dan Ikan Kayu dalam sub-model Industri
Berbasis Perikanan Laut dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai
berikut:
PPpl = KPpl*JIpl PIpl = PPpl *Waktu
Dimana: PPpl = Pertumbuhan produksi Ikan Kaleng; Ikan Beku; Ikan Asap; atau
Ikan Kayu (kg/hari) PIpl = Produksi industri Ikan Kaleng; Ikan Beku; Ikan Asap; atau Ikan Kayu
(kg) KPpl = Kapasitas produksi industri Ikan Kaleng; Ikan Beku; Ikan Asap; atau
Ikan Kayu (kg/unit/hari). JIpl
Dari setiap ”level” yang merupakan akumulasi produksi dari masing-masing
industri akan diperoleh nilai produksi, dengan persamaan:
= Jumlah industri Ikan Kaleng; Ikan Beku; Ikan Asap; atau Ikan Kayu (unit).
124 Nilai Produksipl = Produksipl*Harga Produk Industripl
Dimana: pl = jenis-jenis industri perikanan laut
Satuan-satuan: Nilai produksi = Rp Produksi = kg Harga Produk Industri = Rp/kg
Produksi Ikan Asap, Tepung Ikan, dan Pakan Ternak dalam sub-model
Industri Berbasis Perikanan Laut dibangun berdasarkan persamaan matematik
sebagai berikut:
Pertumbuhan Indpl = PULSE(Tambahan Industripl, STARTTIME+ Waktu Dimulai <<hari>>, Interval Waktu<<hari>>)
Dimana:
Pertumbuhan Indpl = pertumbuhan industri perikanan laut.
STARTTIME+Waktu dimulai = Saat dimana pertambahan industri pertama kali terjadi (hari)
Interval waktu = jarak waktu tambahan jumlah industri (hari)
Tambahan Jlh Indpl = IF(TIME-STARTTIME<Batas waktu terakhir penambahan jumlah industripl <<hari>>, penambahan jumlah Industripl <<unit>>, 0<<unit>> )
Dimana: Tambahan Jlh Indpl = tambahan jumlah industri perikanan laut
Selanjutnya, merujuk pada akumulasi produksi untuk setiap jenis industri
akan diketahui jumlah bahan baku yang dibutuhkan oleh setiap aliran masa dari
setiap jenis industri, dengan mempertimbangkan rendemen dari masing-masing
produk industri. Rendemen merupakan nilai persentasi yang menyatakan jumlah
bahan baku yang diperlukan untuk memproduksi produk dari jenis industri
tertentu dalam berat tertentu.
Kebutuhan Bahan Bakupl = 1/(Produksipl*Rendemenx)
Dimana: Kebutuhan Bahan Bakupl = kg Rendemenpl
= % (angka pecahan positif).
Dinamika yang terbentuk sebagai hasil integrasi berbagai elemen tersebut
di atas direpresentasikan dalam Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis
Perikanan Laut, seperti Gambar 6.15.
125 6.2.1.2. Sub-Model Industri Berbasis Kelapa
Sub-Model Industri Berbasis Kelapa terdiri atas Produksi Minyak Kelapa;
Kelapa Parut Kering (KPK), Arang Aktif, Biodiesel, Arang Tempurung, VCO,
Minyak dari Paring, Coco Vinegar, Kecap Kelapa, Minuman Ringan, Bahan
Kosmetik, dan Santan. Aliran masa dari produksi Minyak Kelapa, KPK, dan
Arang Aktif terdiri atas jumlah industri, kapasitas produksi setiap unit industri,
pertumbuhan produksi, dan akumulasi produk. Aliran masa dari Biodiesel, Arang
Tempurung, VCO, Minyak dari Paring, Coco Vinegar, Kecap Kelapa, Minuman
Ringan, Bahan Kosmetik, dan Santan terdiri atas: Tambahan Industri,
Pertumbuhan Industri, Jumlah Industri, Kapasitas Produksi, Pertumbuhan
Produksi, dan Akumulasi Produksi.
Untuk mengantisipasi adanya keterbatasan pasokan bahan baku maka
pembangunan industri untuk jenis produk industri tertentu dilakukan secara
bertahap dengan selang waktu sekitar satu sampai lima belas tahun. Dalam
model yang dibangun, pentahapan tersebut dinyatakan dalam bentuk adanya
DELAYPPL , IF, dan PULSE.
Produksi Minyak Kelapa, KPK, dan Arang Aktif dalam sub-model Industri
Berbasis Kelapa dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut:
PPk = KPk*JIk PIk = PPk *Waktu
Dimana:
PPk= Pertumbuhan produksi minyak kelapa; produksi KPK; atau arang aktif (kg/hari)
PIk = Produksi industri minyak kelapa; produksi KPK; atau arang aktif (kg)
KPk = Kapasitas produksi minyak kelapa; produksi KPK; atau arang aktif (kg/unit/hari).
JIk = Jumlah industri minyak kelapa; produksi KPK; atau arang aktif (unit).
Dari setiap ”level” yang merupakan akumulasi produksi dari masing-masing
industri akan diperoleh nilai produksi, dengan persamaan:
Nilai Produksik = Produksik*Harga Produk Industrik
Dimana: k = jenis-jenis industri berbasis kelapa
Satuan-satuan: Nilai produksi = Rp Produksi = kg Harga Produk Industri = Rp/kg
126
Produksi Biodiesel, Arang Tempurung, VCO, Minyak dari Paring, Coco
Vinegar, Kecap Kelapa, Minuman Ringan, Bahan Kosmetik, dan Santan dalam
sub-model Industri Berbasis Kelapa dibangun berdasarkan persamaan
matematik sebagai berikut:
Pertumbuhan Indk = PULSE(Tambahan Industrik, STARTTIME+ Waktu Dimulai <<hari>>, Interval Waktu<<hari>>)
Dimana:
k = jenis-jenis industri berbasis kelapa.
Pertumbuhan Indk = pertumbuhan industri kelapa.
STARTTIME+Waktu dimulai = Saat dimana pertambahan industri pertama kali terjadi (hari)
Interval waktu = jarak waktu tambahan jumlah industri (hari)
Tambahan Jlh Indk = IF(TIME-STARTTIME<Batas waktu terakhir penambahan jumlah industrik <<hari>>, penambahan jumlah Industrik <<unit>>, 0<<unit>> )
Dimana:
Tambahan Jlh Indk = tambahan jumlah industri kelapa.
Selanjutnya, merujuk pada akumulasi produksi untuk setiap jenis industri
akan diketahui jumlah bahan baku yang dibutuhkan oleh setiap aliran massa dari
setiap jenis industri, dengan mempertimbangkan rendemen dari masing-masing
produk industri. Rendemen merupakan nilai persentasi yang menyatakan jumlah
bahan baku yang diperlukan untuk memproduksi produk dari jenis industri
tertentu dalam berat tertentu.
Kebutuhan Bahan Bakuk = 1/(Produksik*Rendemenk)
Dimana: Kebutuhan Bahan Bakuk = kg Rendemenk = % (angka pecahan positif).
Data dasar yang digunakan dalam penyusunan model industri berbasis
kelapa adalah seperti pada Tabel 6.4. Dinamika yang terbentuk sebagai hasil
integrasi berbagai elemen tersebut di atas direpresentasikan dalam Diagram Alir
Sub-Model Industri Berbasis Kelapa (Gambar 6.16.).
127 Tabel 6.4. Data Dasar Industri Berbasis Kelapa yang Digunakan dalam
Pemodelan No Peubah Data Dasar Sumber Data Keterangan 1 Potensi Kelapa
(Setara Kopra) Provinsi Sulut
229.613.000 (kg)
Sulut Dalam Angka 2008
Y= -1,1229x6 + 54,399x5-981,5x4 + 8275,5x3 - 4621x2 + 68849x + 251736 R2 = 0,801
2 Rasio Tenaga Kerja IB
199.500 kg produk kelapa/TK/ tahun
Dinas Perindag Kota Bitung (2008)
Rasio diperoleh dengan membandingkan kapasitas produksi total dengan jumlah tenaga kerja
3 Rendemen: Arang aktif 75% PT. Mapalus
Makawanua (2009) Terhadap arang tempurung
Arang Tempurung
30% Patandung (2009) Terhadap batok kelapa 1)
Biodiesel 90% Wikipedia (2010) Terhadap minyak kelapa Bungkil Kopra 58,4% Dinas Perindag Kota
Bitung (2008) Terhadap kopra
KPK 20% Pojoh dkk. (2000) Terhadap kelapa segar Bahan Kosmetik 20% Data prediksi
dibandingkan dengan rendemen minyak kelapa
Terhadap kelapa segar
Minyak Kelapa 60% Dinas Perindag Kota Bitung (2008)
Terhadap kopra
Minyak dari Paring
25% Lumingkewas (2009) Terhadap paring 2)
Paring dari KPK 25% Pojoh dkk. (2000) Terhadap kelapa segar Santan 30% Lumingkewas (2009) Terhadap kelapa segar 2) VCO 15% Lumingkewas (2009) Terhadap kelapa segar 2)
Keterangan: 1) 2)
Aliran masa dari Industri Penggemukan Sapi; Peternakan Ayam, dan
Rumah Potong Hewan (RPH) dalam Sub-Model Agro-Kompleks dibangun
berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut:
Komunikasi Pribadi (2009).
6.2.1.3. Sub-Model Industri Agro-Kompleks
Sub-Model Industri Agro-Kompleks terdiri atas Penggemukan Sapi;
Peternakan Ayam, Rumah Potong Hewan (RPH), dan Pengomposan. Aliran
masa industri Penggemukan Sapi; Peternakan Ayam, dan Rumah Potong
Hewan (RPH) terdiri atas jumlah industri, kapasitas produksi setiap unit industri,
pertumbuhan produksi, dan akumulasi produk. Untuk mengantisipasi adanya
keterbatasan pasokan bahan baku maka pembangunan industri untuk jenis ini
dilakukan secara bertahap. Dalam model yang dibangun, pentahapan tersebut
dinyatakan dalam bentuk adanya “DELAYPPL.”
128
Prod Ikan Kaleng
Prod Ikan Beku
PProd Ikan Kaleng
PProd Ikan Beku
Prod Ikan Kayu
PProd Ikan Kayu
Kebut Ikan SegarAgro-EIP
KP Ikan Kaleng
Jlh Ind Ikan Kaleng
Jlh Ind Ikan Beku
KP Ikan Beku
Kebut Kaleng
Isi per KalengKebut Minyak kedelaiMinyak Kedelai perkaleng
BB Ikan Kaleng
BB Ikan Beku
BB Ikan Asap
Bahan Baku Ikan Kayu
Rend Ikan Kaleng
Rendemen Ikan BekuRendemen IkanAsap
Rendemen Ikan Kayu
NP Pakan Ternak
Harga Pakan
Harga Ikan Kaleng
NP Ikan Kaleng
Harga Ikan BekuNP Ikan Beku
Harga Ik Asap
NP Ikan Asap
Harga Ikan Kayu
NP Ikan Kayu
Prod Ind Tepung Ikan
PProd Tepung Ikan
KP Ind Tepung Ikan
NP Ind Tepung Ikan
Harga Tepung Ikan
Potensi PerikananLaut Provinsi
Sulawesi Utara
Kebut Total Ikan Segar
Eksport Ikan SegarSecara Langsung
Import Ikan Segardari Luar Sulut
Kebut Air TawarPengisi Ikan KalengAir Tawar per
Kaleng
Kebut Garam
Garam per Kaleng
Kebut Eksisting dariInd Perikanan Laut
Rendemen Rata-rata Ind Perikanan
Laut
Prod Eksisting IndPerikanan Laut
Jlh Ind Ikan Asap
Tambahan Ind IkanAsap
KP Ikan Asap
Pertmb Ind IkanAsap
Prod Ind Ikan Asap
PProd Ikan Asap
Prod Pakan Ternak
PProd Pakan Ternak
Jlh Ind Pakan Ternak
Pertmb Ind PakanTernak
Jlh Ind Tepung Ikan
Pertmb Ind TepungIkan
Tambahan Jlh IndTepung Ikan
Jlh TK Ind Ikan Asap
Jlh TK per Ind IkanAsap
Jlh TK Ind TepungIkan
Jlh TK per IndTepung Ikan
N B
Gambar 6.13. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut
129
Gambar 6.14. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Kelapa
130
Gambar 6.15. Diagram Alir Sub-Model Industri Agro-Kompleks
131
Gambar 6.16. Sub-Model Sumber Energi Terbarukan Gambar 6.17. Luasan Lahan yang Dibutuhkan
132
Gambar 6.18. Diagram Alir Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan
133
Gambar 6.19. Diagram Alir Penyerapan Tenaga Kerja Gambar 6.20. Diagram Alir Nilai Produksi AEIP Bitung
.
134
PPak = KPak*JIak PIak = PPak *Waktu
Dimana:
PPak= Pertumbuhan produksi penggemukan sapi; peternakan ayam; atau RPH (ekor/hari)
PIak = Produksi penggemukan sapi; peternakan ayam; atau RPH (ekor) KPak = Kapasitas produksi penggemukan sapi; peternakan ayam; atau RPH (kg/unit/hari).
JIak = Jumlah industri penggemukan sapi; peternakan ayam; atau RPH (unit).
Dari setiap ”level” yang merupakan akumulasi produksi dari masing-masing
industri akan diperoleh nilai produksi, dengan persamaan:
Nilai Produksiak = Produksiak*Harga Produk Industriak
Dimana: ak = jenis-jenis industri agro kompleks Satuan-satuan: Nilai produksi = Rp Produksi = kg Harga Produk Industri = Rp/kg
Produksi Kompos dalam Sub-model Industri Agro-Kompleks dibangun
berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut:
Pertumbuhan Indak = PULSE(Tambahan Industriak, STARTTIME+ Waktu Dimulai <<hari>>, Interval Waktu<<hari>>)
Dimana:
Pertumbuhan Indak = pertumbuhan industri agro-kompleks.
STARTTIME+Waktu dimulai = Saat dimana pertambahan industri pertama kali terjadi (hari)
Interval waktu = jarak waktu tambahan jumlah industri (hari)
Tambahan Jlh Indak = IF(TIME-STARTTIME<Batas waktu terakhir penambahan jumlah industriak <<hari>>, penambahan jumlah Industriak <<unit>>, 0<<unit>> )
Dimana:
Tambahan Jlh Indak = tambahan jumlah industri agro-kompleks
135
Selanjutnya, merujuk pada akumulasi produksi untuk setiap jenis industri
akan diketahui jumlah bahan baku yang dibutuhkan oleh setiap aliran massa dari
setiap jenis industri, dengan mempertimbangkan rendemen dari masing-masing
produk industri. Rendemen merupakan nilai persentasi yang menyatakan jumlah
bahan baku yang diperlukan untuk menghasilkan produk dari jenis industri
tertentu dalam berat tertentu.
Kebutuhan Bahan Bakuak= 1/(Produksiak*Rendemenn)
Dimana: Kebutuhan Bahan Bakuak = kg
Rendemenak
No
= % (angka pecahan positif).
Data dasar yang digunakan dalam penyusunan Sub-model Industri Agro-
Kompleks adalah seperti pada Tabel 6.5.
Tabel 6.5. Data Dasar Industri Agro-Kompleks yang Digunakan dalam Pemodelan
Peubah Data Dasar Sumber Data Keterangan Rendemen 1 Kompos 75% Data asumsi Terhadap feces, urine
dan darah ikan 2 Urine sapi 5 ltr/ekor/hari Suharyanto dan
Rinaldy (2009) -
3 Air cuci kandang 25 ltr/ekor/hari Data asumsi - 4 Feces ternak sapi 10 kg/ekor/hari Nugroho (2008) - 5 Feces ayam 0,01 kg/ekor/hari Suharyanto dan
Rinaldy (2009) -
Dinamika yang terbentuk sebagai hasil integrasi berbagai elemen tersebut di
atas direpresentasikan dalam Diagram alir Sub-Model Industri Agro-Kompleks
(Gambar 6.15.).
6.2.1.4. Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan
Sub-model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan dibangun
berdasarkan hasil kajian mengenai potensi sumber energi terbarukan dan
keterkaitan beberapa elemen. Struktur Sub-Model adalah seperti pada Gambar
6.16., sedangkan koefisien dan persamaan masing-masing disajikan dalam
Lampiran12.
Dalam Sub-Model ini, pembangunan kedua jenis pembangkit listrik ini
dilakukan pada tahun ke-sebelas setelah kawasan industri dibangun. Dalam
model yang dibangun, pentahapan tersebut dinyatakan dalam bentuk adanya
DELAYPPL.
136
Potensi sumber energi terbarukan terdiri atas tenaga angin dan radiasi
matahari yang diprediksi secara kumulatif menggunakan data dasar rata-rata
tahunan menjadi tenaga alam, total produksi listrik, serta nilai produksi listrik.
Data dasar yang digunakan dalam Sub-Model Pembangkit Listrik Energi
Terbarukan disajikan pada Tabel 6.6.
Tabel 6.6. Data Dasar Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan No Peubah Data Dasar Sumber Data Ket 1 Intensitas radiasi
matahari (w/m2800
) Rostyono, 1988 -
2 Konversi tenaga angin 4000 w/knots Rostyono, 1988 - 3 Simpul angin 5 1) Data asumsi - 4 Kecepatan angin rata-rata 19,85 knots BPS Bitung (2008) - 5 Lama Penyinaran 64,5% BPS Bitung (2008) -
Ket: 1)Tempat pemusatan angin yang berpotensi menggerakkan turbin
Sub-Model Sumber Energi Terbarukan dibangun berdasarkan persamaan
matematik sebagai berikut:
TA = KA*KTA*JSA
Dimana:
TA = Tenaga angin KA = Kecepatan angin KTA = Konversi Tenaga Angin JSA = Jumlah simpul angin
TM = LP*IRM
Dimana:
TM = Tenaga matahari LP = Lama penyinaran IRM = Intensitas radiasi matahari
6.2.1.5. Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan
Sub-model Limbah dan Bahan Ikutan merupakan salah satu pokok
perhatian di dalam MP-AEIP Bitung, karena tujuan dari model ini adalah untuk
meningkatkan nilai tambah dari bahan ikutan dan limbah dengan cara
memanfaatkannya menjadi produk yang bernilai ekonomis. Pemanfaatan
tersebut berpotensi menguntungkan dari sisi ekonomi dan dari sisi berkurangnya
beban limbah yang harus diolah. Berkurangnya beban limbah yang harus diolah
berarti menurunkan biaya perlakuan terhadap limbah serta mengurangi biaya
lingkungan dan sosial dari limbah cair industri.
137 Limbah dan Bahan Ikutan yang dihasilkan oleh semua jenis industri adalah:
limbah air cucian bahan baku serta alat dan mesin, darah ikan, darah ternak,
urine, feces ternak, dan air pemasakan ikan. Bahan ikutan yang dihasilkan oleh
semua jenis industri adalah: air kelapa, tempurung kelapa, paring kelapa, kepala
ikan, sirip, ekor, daging coklat, dan isi perut.
Dari keseluruhan limbah dan bahan ikutan tersebut di atas, hanya limbah
air cucian bahan baku serta alat dan mesin saja yang belum diolah lebih lanjut
menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis. Di dalam AEIP Bitung, limbah air
cucian ini dikumpulkan secara terpusat dan diolah di Pusat Pengolahan Limbah
Cair Terpusat, yang selanjutnya dibuang ke lingkungan atau dimanfaatkan oleh
petani tambak ikan.
Sub-model Limbah dan Bahan Ikutan merupakan kesatuan yang utuh
dengan sub-model lainnya. Parameter-parameter penyusun sub-model ini
adalah:
1. Limbah Padat Industri = Merupakan penjumlahan dari limbah padat semua
jenis industri.
2. Air Cucian Alat dan Mesin= Merupakan penjumlahan dari semua air cucian
alat dan mesin dari semua jenis industri
3. Limbah Cair Ikan= Merupakan hasil perkalian dari jumlah ikan segar yang
dibutuhkan dengan pemakaian air bersih dari industri perikanan laut.
4. Bahan Ikutan Air Kelapa= Merupakan hasil perkalian dari jumlah air kelapa
per butir kelapa segar dengan jumlah kelapa segar yang dibutuhkan.
5. Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut= Merupakan hasil perkalian dari
kebutuhan bahan ikutan dengan rendemen bahan ikutan ikan.
6. Paring Kelapa= Merupakan hasil perkalian dari jumlah kelapa segar yang
dibutuhkan dengan rendemen paring kelapa dalam industri KPK.
7. Tempurung Kelapa= Merupakan perkalian antara jumlah kelapa segar yang
dibutuhkan dengan rendemen tempurung kelapa.
8. Limbah Cair Industri Total= Merupakan hasil penjumlahan dari limbah cair
industri kelapa, industri perikanan laut, dan industri agro-kompleks.
Data dasar yang digunakan dalam Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan
disajikan pada Tabel 6.7.
138
Tabel 6.7. Data Dasar Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan No Peubah Data Dasar Sumber Data Keterangan 1 Kandungan darah ikan 1% Data asumsi Terhadap berat
ikan segar 2 Konversi limbah padat
industri berbasis kelapa 5000kg/m Data asumsi 3 -
3 Konversi limbah padat industri berbasis perikanan laut
1500kg/m Data asumsi 3 -
4 Konversi limbah padat industri agro-kompleks
1500kg/m Data asumsi 3 -
5 Konversi ternak sapi potong ke ternak ayam potong
50 ekor ayam/1 ekor sapi
Data asumsi Dari sisi tingkat kesulitan pemotongan ternak
6 Faktor air cucian Ind KPK 2 ltr/kg kelapa Data asumsi - 7 Faktor air cucian Ind
lainnya 0.1 ltr/kg bahan
-
Struktur Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan adalah seperti pada Gambar
6.18., sedangkan koefisien dan persamaan masing-masing disajikan dalam
Lampiran 12.
6.2.1.6. Penyerapan Tenaga Kerja
Penyerapan Tenaga Kerja merupakan satu kesatuan dengan parameter-
parameter lainnya dari Model AEIP Bitung. Dengan demikian, penyerapan
tenaga kerja merupakan penjumlahan dari tenaga kerja masing-masing jenis
industri yang terdapat di dalam AEIP Bitung.
Salah satu komponen penting dari Parameter Penyerapan Tenaga Kerja
adalah Variabel Pola Keterkaitan Antar Industri, yang nilainya sebesar 23,64%.
Datum persentasi ini merupakan hasil analisis terhadap pola keterkaitan antar
industri eksisting berdasarkan data survei lapangan yang telah dilakukan.
Berdasarkan datum ini maka apabila pola keterkaitan antar industri adalah ≤
23,64% maka jumlah penyerapan tenaga kerja merupakan gabungan dari:
'Jumlah Tenaga Kerja Industri Arang Aktif'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Asap'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Beku'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Kaleng'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Kayu'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri KPK'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Minyak Kelapa'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Tepung Ikan'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Pakan Ternak.
Apabila pola keterkaitan antar industri > 23.64% maka jumlah penyerapan
tenaga kerja merupakan gabungan dari:
139
'Jumlah Tenaga Kerja Industri Arang Aktif'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Beku'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Kaleng'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Kayu'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri KPK'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Minyak Kelapa'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Nata'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Penggemukan Sapi'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Peternakan Ayam'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Pakan Ternak'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Tepung Ikan'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri VCO'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Arang Tempurung'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Biodiesel'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Minyak dari Paring'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Minuman Ringan'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Coco Vinegar'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Kecap Kelapa'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Bhn Kosmetik'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Santan.'
Diagram alir dari Penyerapan Tenaga Kerja AEIP Bitung diperlihatkan
dalam Gambar 6.19. Terkait dengan adanya pentahapan pembangunan dari
jenis-jenis industri, maka pentahapan tersebut juga berdampak terhadap
penyerapan tenaga kerja. Di dalam diagram alir dari Penyerapan Tenaga Kerja,
pentahapan tersebut dinyatakan dalam bentuk Fungsi Delay, yang secara visual
terlihat dalam bentuk tanda pagar pada ”link” yang menghubungkan ”auxiliary,”
dan Fungsi IF dan PULSE.
6.2.1.7. Nilai Produksi AEIP Bitung
Nilai Produksi merupakan satu kesatuan dengan parameter-parameter
lainnya dari Model AEIP Bitung. Dengan demikian, Nilai Produksi merupakan
penjumlahan dari nilai produksi masing-masing jenis industri yang terdapat di
dalam AEIP Bitung.
Salah satu komponen penting dari Parameter Nilai Produksi adalah
Variabel Pola Keterkaitan Antar Industri, yang nilainya sebesar 23,64%. Datum
persentasi ini merupakan hasil analisis terhadap pola keterkaitan antar industri
berdasarkan data survei lapangan yang telah dilakukan. Berdasarkan datum ini
maka apabila pola keterkaitan antar industri adalah ≤ 23,64% maka jumlah Nilai
Produksi merupakan gabungan dari:
'Nilai Produksi Arang Aktif'+' Nilai Produksi Industri Ikan Asap'+' Nilai Produksi Industri Ikan Beku'+' Nilai Produksi Industri Ikan Kaleng'+' Nilai Produksi Industri Ikan Kayu'+' Nilai Produksi Industri KPK'+' Nilai Produksi Industri Minyak Kelapa'+' Nilai Produksi Industri Tepung Ikan'+' Nilai Produksi Industri Pakan Ternak
Apabila pola keterkaitan antar industri > 23.64% maka Nilai Produksi
merupakan gabungan dari:
140
”Nilai Produksi Industri Arang Aktif'+''Nilai Produksi Industri Ikan Beku'+''Nilai Produksi Industri Ikan Kaleng'+''Nilai Produksi Industri Ikan Kayu'+''Nilai Produksi Industri KPK'+''Nilai Produksi Industri Minyak Kelapa'+''Nilai Produksi Industri Nata'+''Nilai Produksi Industri Penggemukan Sapi'+''Nilai Produksi Industri Peternakan Ayam'+''Nilai Produksi Industri Pakan Ternak'+''Nilai Produksi Industri Tepung Ikan'+''Nilai Produksi Industri VCO'+''Nilai Produksi Industri Arang Tempurung'+''Nilai Produksi Industri Biodiesel'+''Nilai Produksi Industri Minyak dari Paring'+''Nilai Produksi Industri Minuman Ringan'+''Nilai Produksi Industri Coco Vinegar'+''Nilai Produksi Industri Kecap Kelapa'+''Nilai Produksi Industri Bhn Kosmetik'+''Nilai Produksi Industri Santan.'
Diagram alir dari Nilai Produksi AEIP Bitung diperlihatkan dalam Gambar
6.20. Terkait dengan adanya pentahapan pembangunan dari jenis-jenis industri,
maka pentahapan tersebut juga berdampak terhadap Nilai Produksi AEIP Bitung.
Di dalam diagram alir dari Nilai Produksi, pentahapan tersebut dinyatakan dalam
Fungsi Delay, yang secara visual terlihat dalam bentuk tanda pagar pada ”link”
yang menghubungkan ”auxiliary,” dan Fungsi IF dan PULSE.
6.2.1.8. Pengujian Model
Pengujian model dilakukan untuk mengetahui tingkat keakuratan dari
model yang dibangun. Mengingat bahwa model AEIP Bitung yang akan
dibangun merupakan model yang belum nyata atau belum ada realitas di
lapangan, khususnya di Kota Bitung, maka pengujian model hanya akan
dilakukan dengan cara melakukan pengujian kesesuaian model, yaitu: (a)
apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar dan (b) apakah
prosedur perhitungan sudah sesuai. a. Apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar.
Persamaan-persamaan fungsi yang digunakan dalam membangun model
antara lain adalah persamaan fungsi potensi perikanan laut dan persamaan
fungsi potensi kelapa Provinsi Sulawesi Utara. Kedua persamaan adalah fungsi
polinominal, yaitu:
a.1. Hasil Tangkapan Perikanan Laut
Persamaan fungsi hasil tangkapan perikanan laut Provinsi Sulut adalah Y=
-0,845x6+31,526x5-388,76x4+1355,8x3+4960,6x2-21270x+127195 dengan koefi-
sien determinasi (R2) adalah 0,9422. Ploting fungsi hasil tangkapan dan hasil
simulasi diperlihatkan pada Gambar 6.21.
141
0
50000
100000
150000
200000
250000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tahun
Prod
uksi
(ton
)
Series1 Series2
Gambar 6.21. Perbandingan data faktual dan hasil simulasi potensi perikanan laut Provinsi Sulawesi Utara secara grafis
Ket: Series 1: Potensi faktual; Series 2: Hasil Simulasi
Hasil plotting dalam grafik menunjukkan bahwa secara visual hasil simulasi
produksi perikanan laut memiliki trend yang sama dengan nilai potensi faktual.
Hal ini didukung oleh nilai koefisien determinasi yang tinggi, yaitu 0,9442.
a.2. Produksi Kelapa
Persamaan fungsi potensi kelapa Provinsi Sulut: adalah Y= -1,1229x6 +
54,399x5-981.5x4 + 8275,5x3 - 4621x2 + 68849x + 251736 dengan koefisien
determinasi (R2
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tahun
Prod
uksi
(ton
)
Series1 Series2
)= 0,801.
Gambar 6.22. Perbandingan data faktual dan hasil simulasi potensi kelapa
Provinsi Sulawesi Utara secara grafis Ket: Series 1: Potensi faktual; Series 2: Hasil Simulasi
142 Hasil plotting dalam grafik menunjukkan bahwa secara visual hasil simulasi
produksi kelapa memiliki trend yang sama dengan nilai potensi faktualnya. Hal
ini didukung oleh nilai koefisien determinasi yang tinggi, yaitu 0,801.
b. Apakah prosedur perhitungan sudah sesuai
Prosedur-prosedur perhitungan yang digunakan dalam menyusun model
diperlihatkan dalam Koefisien dan Persamaan-persamaan Model AEIP Bitung
(Lampiran 12). Koefisien dan persamaan yang digunakan telah disesuaikan
dengan kebutuhan realistis penyusunan model dan cara-cara perumusan model
yang sesuai dengan program komputer yang digunakan. Sebagai contoh,
apabila pendirian unit industri tertentu dilakukan pada tahun tertentu setelah
AEIP Bitung dibangun maka persamaannya menggunakan Fungsi Delay
(tenggat waktu). Jika pendirian suatu unit industri tertentu dilakukan pada
kondisi tertentu maka digunakan Fungsi IF. Selanjutnya, model telah dibangun
dengan menggunakan data dasar yang merujuk pada referensi dan atau
informasi dari pakar dalam bidang yang bersesuaian.
6.2.2. Pola Keterkaitan Antar Industri di dalam AEIP Bitung Hasil analisis terhadap Pola Keterkaitan Antar Industri Agro (C) di dalam
Model Pengembangan AEIP Bitung yang dibangun dicantumkan pada Lampiran
11. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai C dari MP-AEIP Bitung adalah
0,3667 atau 36,67%. Sedangkan nilai keterkaitan antar industri Manufaktur/Agro
yang saat ini sedang beroperasi di Kota Bitung adalah C=0,2364 atau 23,64%
atau dengan kenaikan sebesar 13,03%. Walaupun terjadi peningkatan, namun
nilai C ini masih di bawah Nilai C Median, yaitu 42,3% (Hardy dan Graedel
2002). Nilai C dari MP-AEIP Bitung diduga akan meningkat apabila pola
keterkaitan antar industri manufaktur/agro di dalam kawasan industri semakin
diperkuat dan atau keterkaitan dengan industri yang berada di luar AEIP
dibentuk.
Beberapa pola keterkaitan antar industri agro di dalam MP-AEIP Bitung
maupun dengan industri lain di luar AEIP Bitung potensial untuk dibangun.
Pertama, air rebusan ikan (pre-cooking) yang kaya akan nilai gizi mempunyai
peluang untuk dibeli oleh perusahan lain untuk diolah lebih lanjut, atau langsung
di ekspor. Peluang keterkaitan lain adalah dalam memanfaatkan karbon cair
yang dihasilkan oleh industri pembuatan arang tempurung, pemanfaatan daging
ikan berwarna coklat, kepala ikan untuk pasar lokal, dan lain-lain.
143 6.2.3. Simulasi Model Simulasi model ditujukan untuk melakukan proyeksi terhadap variabel yang
merupakan indikator utama dalam Model Pengembangan AEIP Bitung sesuai
dengan dinamika model. Berikut ini dikemukakan hasil proyeksi pengembangan
AEIP Bitung untuk kurun waktu lima belas tahun kedepan, yaitu Tahun 2009 s/d
Tahun 2024.
6.2.3.1. Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut
Jumlah unit usaha dan waktu pembangunan industri berbasis perikanan
laut disajikan dalam Tabel 6.8. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah unit
usaha yang dirancang untuk didirikan dalam AEIP Bitung dalah sejumlah tujuh
belas unit usaha. Kurun waktu yang diperlukan untuk membangun jenis industri
ini adalah tiga belas tahun. Lamanya waktu tersebut dirancang untuk
mengantisipasi kelangkaan dana investasi dan ketersediaan bahan baku
perikanan laut.
Tabel 6.8. Jumlah Industri Berbasis Perikanan Laut Tahun Industri Besar
Perikanan Laut (unit)
Industri Menengah dan Kecil Perikanan Laut (unit)
Jumlah Industri Perikanan Laut (unit)
2010 0 0 0 2011 0 0 0 2012 0 1 1 2013 1 1 2 2014 1 1 2 2015 1 7 8 2016 1 7 8 2017 1 7 8 2018 2 8 10 2019 2 8 10 2020 2 10 12 2021 2 14 16 2022 2 14 16 2023 3 14 17 2024 3 14 17
Hasil simulasi yang dilakukan dengan kondisi jumlah unit usaha dan
kapasitas produksi sesuai dengan model yang dibangun menunjukkan bahwa
total kebutuhan bahan baku sudah berada dalam kategori kekurangan pasokan
dengan kisaran angka ± 240.000 ton s/d 297.000 ton per tahun (Tabel 6.9.).
Kondisi ini tentu saja akan semakin buruk bilamana industri-industri berbasis
perikanan laut yang baru didirikan di kawasan AEIP Bitung. Ada beberapa upaya
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, seperti pemberantasan
illegal fishing, penegakan hukum penjualan ikan di tengah laut, dan lain-lain.
Upaya-upaya tersebut akan didiskusikan secara detail pada bagian akhir bab ini.
144
Tabel 6.9. Hasil Simulasi Kondisi Ketersediaan dan Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut
Tahun Produksi Perikanan
Laut Provinsi Sulut (kg)
Kebutuhan Terkini
Provinsi Sulut (kg)
Kebutuhan AEIP
Bitung(kg)
Kebutuhan Total (kg)
Potensi Impor (kg)
2010 127.195.000 412.301.400 0 412.301.400 285.106.400 2011 111.883.321 412.301.400 0 412.301.400 300.418.079 2012 110.078.392 412.301.400 7.180 412.308.580 302.230.188 2013 120.192.253 412.301.400 14.380 412.315.780 292.123.527 2014 137.554.744 412.301.400 3.216.580 415.517.980 277.963.236 2015 156.675.625 412.301.400 6.425.960 418.727.360 252.051.735 2016 172.898.296 412.301.400 9.635.360 421.936.760 249.038.464 2017 183.445.117 412.301.400 12.844.760 425.146.160 241.701.043 2018 187.854.328 412.301.400 16.061.340 428.362.740 240.508.412 2019 187.808.569 412.301.400 19.763.940 432.065.340 244.256.771 2020 186.355.000 412.301.400 23.466.540 435.767.940 249.412.940 2021 186.517.021 412.301.400 27.176.320 439.477.720 252.960.699 2022 189.297.592 412.301.400 30.886.120 443.187.520 253.889.928 2023 191.074.153 412.301.400 34.595.920 446.897.320 255.823.167 2024 180.385.144 412.301.400 64.893.520 477.194.920 296.809.776
Data menunjukkan bahwa persentasi kebutuhan bahan baku hasil
tangkapan perikanan laut untuk AEIP Bitung terkait dengan jumlah unit industri
dalam bangun Model AEIP Bitung adalah relatif kecil (Tabel 6.10.). Data
menunjukkan bahwa persentasi tersebut berkisar antara 0% s/d 13,60%. Ini
mengindikasikan bahwa selama ini industri kelapa di Provinsi Sulawesi Utara
sudah mengalami kendala pasokan bahan baku. Kekurangan kebutuhan
tersebut selama ini dipasok dari luar Kota Bitung, seperti Kabupaten
Tabel 6.10. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut Terhadap Kebutuhan Total dari AEIP Bitung
Tahun Kebutuhan Ikan Laut dari AEIP
Bitung
Kebutuhan Total Ikan Laut Segar dari Industri
Berbasis Perikanan Laut di Provinsi Sulawesi Utara
Persentasi Kolom 2
Terhadap Kolom 3
1 2 3 4 2010 0 412.301.400 0 2011 0 412.301.400 0 2012 7.180 412.308.580 0,002 2013 14.380 412.315.780 0,035 2014 3.216.580 415.517.980 0,77 2015 6.425.960 418.727.360 1,53 2016 9.635.360 421.936.760 2,28 2017 12.844.760 425.146.160 3,02 2018 16.061.340 428.362.740 3,75 2019 19.763.940 432.065.340 4,57 2020 23.466.540 435.767.940 5,39 2021 27.176.320 439.477.720 6,18 2022 30.886.120 443.187.520 6,97 2023 34.595.920 446.897.320 7,74 2024 64.893.520 477.194.920 13,60
Sitaro, Kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud, dan Provinsi Maluku Utara.
Adanya peningkatan persentasi dari tahun ke tahun disebabkan oleh
bertambahnya jumlah unit usaha industri berbasis perikanan laut yang dibangun
dan beroperasi.
145
Tabel 6.11. Hasil Simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Perikanan Laut Tahun Industri Besar
Perikanan Laut (Rp) Industri Menengah
dan Kecil Perikanan Laut (Rp)
Jumlah Industri Perikanan Laut (Rp)
2010 0 0 0 2011 0 0 0 2012 0 44.875.000 44.875.000 2013 0 89.875.000 89.875.000 2014 28.755.000.000 134.875.000 28.889.875.000 2015 57.510.000.000 2.468.500.000 59.978.500.000 2016 86.265.000.000 4.808.500.000 91.073.500.000 2017 115.020.000.000 7.148.500.000 122.168.500.000 2018 143.775.000.000 9.533.375.000 153.308.375.000 2019 176.029.200.000 11.918.375.000 187.947.575.000 2020 208.283.400.000 15.200.875.000 223.484.275.000 2021 240.537.600.000 19.877.000.000 260.414.600.000 2022 272.791.800.000 24.557.000.000 297.348.800.000 2023 305.046.000.000 29.237.000.000 334.283.000.000 2024 470.239.200.000 33.917.000.000 504.156.200.000
Hasil simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Perikanan Laut dicantumkan
dalam Tabel 6.11. Hasil simulasi menunjukkan bahwa industri berbasis
perikanan laut mulai memberikan hasil tahun ke-4 setelah Kawasan AEIP Bitung
selesai dibangun. Pada tahun ke-15 setelah selesainya pembangunan Kawasan
AEIP Bitung, nilai produksi dari industri ini berjumlah Rp 504.156.200.000.
6.2.2.2. Sub-Model Industri Berbasis Kelapa
Jumlah unit usaha dan waktu pembangunan unit usaha industri berbasis
kelapa disajikan dalam Tabel 6.12. Unit usaha yang akan dibangun di dalam
AEIP Bitung berjumlah 40 unit usaha dan dibangun dalam kurun waktu 15 tahun.
Kurun waktu yang cukup panjang tersebut dirancang untuk mengantisipasi
kelangkaan dana investasi dan ketersediaan bahan baku kelapa.
Tabel 6.12. Jumlah dan Waktu Pembangunan Industri Berbasis Kelapa Tahun Industri Besar
Kelapa (unit)
Industri Menengah Kecil Kelapa (unit)
Jumlah Industri Kelapa (unit)
2010 0 4 4 2011 0 4 4 2012 1 5 6 2013 1 5 6 2014 1 7 8 2015 2 13 15 2016 3 14 17 2017 3 18 21 2018 3 21 24 2019 3 24 27 2020 3 25 28 2021 3 30 33 2022 3 30 33 2023 3 35 38 2024 3 37 40
Hasil simulasi menunjukan bahwa total kebutuhan bahan baku sudah
berada dalam kategori kekurangan pasokan dengan kisaran antara 184.724 ton
s/d 269.089 ton per tahun (Tabel 6.13.). Kondisi ini tentu saja akan semakin
146 buruk bilamana industri-industri berbasis kelapa yang baru mulai didirikan di
kawasan AEIP Bitung. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
Tabel 6.13. Hasil Simulasi Ketersediaan dan Kebutuhan Kelapa (Setara Kopra) Tahun Produksi Kelapa
Provinsi Sulut (kg) Kebutuhan
Terkini Provinsi Sulut
(kg)
Kebutuhan AEIP
Bitung (kg)
Kebutuhan Total (kg)
Import Kelapa Provinsi Sulut
(kg)
2010 251.736.000 486.791.667 0 486.791.667 235.055.666 2011 293.311.276 486.791.667 18.000 486.809.667 193.498.390 2012 303.118.902 486.791.667 40.787 486.832.453 183.713.550 2013 303.031.363 486.791.667 963.587 487.755.253 184.723.890 2014 302.669.178 486.791.667 2.006.053 488.797.720 186.128.542 2015 303.907.563 486.791.667 3.053.640 489.845.307 185.937.744 2016 304.574.602 486.791.667 4.101.240 490.892.907 186.318.305 2017 301.340.931 486.791.667 5.688.840 492.480.507 191.139.575 2018 291.800.934 486.791.667 7.281.227 494.072.893 202.271.958 2019 275.745.452 486.791.667 8.873.627 495.665.293 219.919.841 2020 255.626.000 486.791.667 10.466.027 497.257.693 241.631.693 2021 236.210.502 486.791.667 12.063.213 498.854.880 262.644.377 2022 223.430.534 486.791.667 13.660.413 500.452.080 277.021.545 2023 222.420.081 486.791.667 15.275.563 502.067.230 279.647.149 2024 234.745.802 486.791.667 17.042.830 503.834.497 269.088.695
mengatasi masalah tersebut yang akan didiskusikan secara detail pada bagian
akhir dari bab ini.
Data menunjukkan bahwa persentasi kebutuhan bahan baku kelapa untuk
AEIP Bitung terkait dengan jumlah unit industri dalam bangun Model AEIP Bitung
adalah relatif kecil (Tabel 6.14). Persentasi tersebut berkisar antara 0,0037 s/d
3,38%. Ini mengindikasikan bahwa selama ini industri kelapa di Provinsi
Tabel 6.14. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Kelapa AEIP Bitung Terhadap Kebutuhan Total Provinsi Sulut
Tahun Kebutuhan Bahan Baku Kelapa dari AEIP Bitung(ton)
Kebutuhan Bahan BakuTotal dari Industri Berbasis Kelapa di
Provinsi Sulawesi Utara (ton)
Persentasi Kolom 2 Terhadap Kolom 3
1 2 3 4 2010 0 486.791.667 0 2011 18.000 486.809.667 0,0037 2012 40.787 486.832.453 0,0084 2013 963.587 487.755.253 0,20 2014 2.006.053 488.797.720 0,41 2015 3.053.040 489.845.307 0,62 2016 4.101.240 490.892.907 0,84 2017 5.688.840 492.480.507 1,16 2018 7.281.227 494.072.893 1,47 2019 8.873.627 495.665.293 1,79 2020 10.466.027 497.257.693 2,10 2021 12.063.213 498.854.880 2,42 2022 13.660.413 500.452.080 2,73 2023 15.275.563 502.067.230 3,04 2024 17.042.830 503.834.497 3,38
Sulawesi Utara sudah mengalami kendala pasokan bahan baku. Kekurangan
kebutuhan tersebut selama ini dipasok dari luar daerah, seperti Provinsi
147 Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Adanya peningkatan persentasi simulasi
dari tahun ke tahun disebabkan oleh bertambahnya jumlah unit usaha industri
berbasis kelapa yang dibangun dan yang selanjutnya beraktivitas.
Hasil simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Kelapa dicantumkan dalam
Tabel 6.15. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai produksi industri berbasis
kelapa mengalami peningkatan yang siknifkan pada tahun ke-empat setelah
Kawasan AEIP Bitung selesai dibangun. Pada tahun ke-10 setelah selesainya
pembangunan Kawasan AEIP Bitung, nilai produksi dari industri ini berjumlah Rp
2.908.342.279.100,-
Tabel 6.15. Nilai Produksi Industri Berbasis Kelapa Tahun Jumlah Industri
Kelapa (unit) Nilai Produksi
Industri Kelapa (Rp)
2010 4 0 2011 4 0 2012 6 0 2013 6 6.300.000.000 2014 8 12.600.000.000 2015 15 18.900.000.000 2016 17 28.800.000.000 2017 21 52.725.600.000 2018 24 76.651.200.000 2019 27 100.576.800.000 2020 28 124.502.400.000 2021 33 148.428.000.000 2022 33 172.353.600.000 2023 38 196.279.200.000 2024 40 220.204.800.000
6.2.2.3. Sub-Model Industri Berbasis Agro-Kompleks
Unit usaha agro-kompleks yang akan dibangun di dalam AEIP Bitung
berjumlah 3 buah, yakni industri peternakan ayam, industri penggemukan sapi,
dan RPH yang dibangun pada tahun ke-8 setelah AEIP Bitung dibangun.
Pentahapan pembangunan dilakukan sebagai antisipasi terhadap ketersediaan
pakan yang dihasilkan oleh industri pakan ternak. Hasil simulasi terhadap
jumlah ternak ayam, ternak sapi (setara ayam), dan RPH diperlihatkan pada
Tabel 6.16.
148
Tabel 6.16. Jumlah Ternak Ayam, Sapi, RPH Tahun Penggemukan
Sapi (ekor) Peternakan
Ayam (ekor) Produksi
RPH (ekor)
Sisa Ternak Tersedia (ekor)
2010 0 0 0 0 2011 0 0 0 0 2012 0 0 0 0 2013 0 0 0 0 2014 0 0 0 0 2015 0 0 0 296.250 2016 0 0 0 539.250 2017 360 7.200 25.200 355.650 2018 720 14.400 50.400 172.050 2019 1.080 21.600 75.600 -11.550 2020 1.440 28.800 100.800 -195.150 2021 1.800 36.000 126.000 -109.500 2022 2.160 43.200 151.200 -23.100 2023 2.520 50.400 176.400 63.300 2024 2.880 57.600 201.600 149.700
Hasil simulasi terhadap kebutuhan total pakan industri agro-kompleks per
tahun diperlihatkan pada Tabel 6.17. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada
Tabel 6.17. Hasil Simulasi Kebutuhan Pakan Industri Agro-Kompleks Tahun Kebutuhan
Total Pakan (kg)
Produksi Pakan (kg)
Sisa Pakan Tersedia (kg)
2010 0 0 0 2011 0 0 0 2012 0 0 0 2013 0 0 0 2014 0 0 0 2015 0 269.250 269.250 2016 0 539.250 539.250 2017 453.600 809.250 355.650 2018 907.200 1.079.250 172.050 2019 1.360.800 1.349.250 -11.550 2020 1.814.400 1.619.250 -195.150 2021 2.268.000 2.158.500 -109.500 2022 2.721.600 2.698.500 -23.100 2023 3.175.200 3.238.500 63.300 2024 3.628.800 3.778.500 149.700
Tahun 2019 s/d 2022 kebutuhan pakan tidak dapat dipasok secara penuh oleh
industri pakan yang ada di dalam AEIP Bitung. Sejak tahun 2023 pasokan
pakan menjadi positif (surplus) sehingga industri pakan dapat mengekspor ke
luar AEIP Bitung. Surplus pasokan pakan ternak juga dapat diantisipasi dengan
cara meningkatkan jumlah ternak pada industri agro-kompleks.
Hasil simulasi Nilai Produksi Industri Agro-Kompleks dicantumkan dalam
Tabel 6.18. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pendapatan industri tersebut
mulai terealisasi sejak tahun 2017 atau tujuh tahun setelah Kawasan AEIP
Bitung selesai dibangun. Pada tahun ke-lima belas setelah selesainya
149 pembangunan Kawasan AEIP Bitung, nilai produksi dari industri ini berjumlah Rp
6.951.500.000.,-
Tabel 6.18. Nilai Produksi Industri Berbasis Agro-Kompleks Tahun Peternakan
Ayam (Rp) Penggemukan
Sapi (Rp) RPH (Rp) Industri
Pengomposan (Rp)
Industri Agro-Kompleks (Rp)
2010 0 0 0 0 0 2011 0 0 0 0 0 2012 0 0 0 0 0 2013 0 0 0 0 0 2014 0 0 0 0 0 2015 0 0 0 0 0 2016 0 0 0 0 0 2017 90.000.000 720.000.000 25.200.000 17.950.000 853.150.000 2018 180.000.000 1.440.000.000 50.400.000 53.900.000 1.724.300.000 2019 270.000.000 2.160.000.000 75.600.000 89.900.000 2.595.500.000 2020 360.000.000 2.880.000.000 100.800.000 125.900.000 3.466.700.000 2021 450.000.000 3.600.000.000 126.000.000 161.900.000 4.337.000.000 2022 540.000.000 4.320.000.000 151.200.000 19.900.000 5.209.000.000 2023 630.000.000 5.040.000.000 176.400.000 233.900.000 6.080.300.000 2024 720.000.000 5.760.000.000 201.600.000 269.900.000 6.951.500.000
6.2.2.4. Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan
Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan yang direncanakan untuk
dibangun di dalam AEIP Bitungberjumlah 2 unit, yakni satu unit Pembangkit
Listrik Tenaga Angin dan satu unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Kedua
pembangkit listrik tersebut direncanakan dibangun pada tahun ke-11 setelah
AEIP Bitung dibangun. Pentahapan pembangunan dilakukan sebagai antisipasi
terhadap ketersediaan dana untuk membangun fasilitas tersebut.
Tabel 6.19. Potensi Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan Tahun Potensi
Tenaga Angin (watt)
Potensi Tenaga
Surya (watt)
Produksi Listrik Tenaga Angin
(watt)
Produksi Listrik Tenaga Surya
(watt)
Produksi Listrik Total
(watt) 2010 396.600 516.000 0 0 0 2011 396.600 516.000 0 0 0 2012 396.600 516.000 0 0 0 2013 396.600 516.000 0 0 0 2014 396.600 516.000 0 0 0 2015 396.600 516.000 0 0 0 2016 396.600 516.000 0 0 0 2017 396.600 516.000 0 0 0 2018 396.600 516.000 0 0 0 2019 396.600 516.000 0 0 0 2020 396.600 516.000 28.555.200 0 28.555.200 2021 396.600 516.000 28.555.200 7.523.280 36.078.480 2022 396.600 516.000 28.555.200 15.046.560 43.601.760 2023 396.600 516.000 28.555.200 22.569.840 51.125.040 2024 396.600 516.000 28.555.200 30.093.120 58.648.320
Hasil simulasi Produksi Total Listrik dari kedua pembangkit listrik tersebut
dicantumkan dalam Tabel 6.19. Hasil simulasi menunjukkan bahwa produksi
150 pembangkit listrik dimulai pada Tahun 2020 dan meningkat terus pada tahun-
tahun selanjutnya.
Hasil simulasi terhadap total produksi listrik tenaga angin dan tenaga surya
pada Tahun 2024 adalah sebesar 58.648.320 watt. Bila dibandingkan, total
kapasitas produksi tersebut hanya sekitar 0,36% dari penggunaan energi listrik
oleh industri manufaktur yang saat ini beroperasi di Kota Bitung. Angkanya
masih sangat kecil, namun hal ini lebih disebabkan oleh kapasitas
pembangkitan listrik yang dibangun yang masih kecil (merujuk pada yang sudah
dibangun di P. Nusa Penida, Bali). Studi terhadap penerapan EIN (Eco-industrial
Networks) di Vancouver, Canada memprediksi adanya penghematan konsumsi
daya listrik dan sekaligus biaya listrik sebesar 37,40% (Anonim 2002).
Peluang untuk membangun pembangkit listrik dengan kapasitas produksi
lebih besar sangat terbuka karena dukungan potensi radiasi sinar matahari dan
tenaga angin yang memadai. Juga, terdapat peluang untuk membangun
pembangkit listrik energi gelombang seperti yang telah dibangun di Pantai
Parang Rucuk Tanjungsari Gunung Kidul (Nugrohoadi 2007).
Hasil simulasi terhadap Nilai Produksi listrik sumber energi terbarukan
diperlihatkan dalam Tabel 6.20. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai produksi
pembangkit listrik sumber energi terbarukan mulai terealisasi sejak tahun 2020
atau sebelas tahun setelah Kawasan AEIP Bitung selesai dibangun. Pada tahun
ke-15 setelah selesainya pembangunan Kawasan AEIP Bitung, nilai produksi
dari pembangkit listrik ini berjumlah Rp 56.888.870,-
Tabel 6.20. Nilai Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan Tahun Nilai Produksi Listrik
(Rp) 2010 0 2011 0 2012 0 2013 0 2014 0 2015 0 2016 0 2017 0 2018 0 2019 0 2020 27.698.544 2021 34.996.126 2022 42.293.707 2023 49.591.289 2024 56.888.870
151 6.2.2.5. Sub-Model Bahan Ikutan, Limbah Padat, Limbah Cair, dan Kompos (A). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan
Laut Bahan ikutan industri perikanan laut berupa kepala, sirip, ekor, tulang, isi
perut, dan daging coklat dimanfaatkan oleh industri pembuatan tepung ikan dan
industri pakan ternak. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa ada industri
tertentu yang menjual bahan ikutan tersebut, namun ada juga yang
memberikannya secara cuma-cuma kepada industri pengguna.
Data hasil simulasi di dalam Tabel 6.21. menunjukkan bahwa pada tahun
2011, 2012, 2013 dan tahun 2022 dan 2023 terjadi kekurangan pasokan bahan
ikutan industri perikanan laut. Kekurangan pasokan tersebut dapat diatasi
dengan beberapa cara seperti import ikan segar dari daerah lain, pembangunan
cold storage skala besar untuk mengantisipasi musim panen besar, penegakan
hukum atas illegal fishing dan penjualan ikan di tengah laut kepada nelayan
asing.
Tabel 6.21. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut
Tahun Bahan Ikutan Industri
Perikanan Laut (kg)
Penggunaan Bahan Ikutan
Perikanan Laut (kg)
Sisa Tersedia Bahan Ikutan
Perikanan Laut (kg)
2010 0 0 0 2011 0 0 0 2012 2.872 0 2.872 2013 5.752 0 5.752 2014 1.286.632 0 1.286.632 2015 2.570.384 1.705.250 865.134 2016 3.854.144 3.415.250 438.894 2017 5.137.904 5.125.250 12.654 2018 6.424.536 6.835.250 -410.714 2019 7.905.576 8.545.250 -639.674 2020 9.386.616 10.614.250 -1.227.634 2021 10.870.528 14.030.500 -3.159.972 2022 12.354.448 17.450.500 -5.096.052 2023 13.838.368 20.870.500 -7.032.132 2024 25.957.408 24.290.500 1.666.908
(B). Limbah Cair Kelapa dan Perikanan Laut Serta Limbah Padat
Hasil simulasi kuantitas limbah cair dan limbah padat dari AEIP Bitung
diperlihatkan dalam Tabel 6.22. Limbah cair Industri Kelapa merupakan
akumulasi dari air cucian alat dan mesin (yang merupakan bagian yang
dominan) dan sisa air kelapa yang tidak termanfaatkan oleh industri pengguna
bahan ikutan air kelapa. Pada tahun 2024, limbah padat industri kelapa dan
perikanan laut berjumlah 27.433 m3.
152
Tabel 6.22. Hasil Simulasi Limbah Cair dan Limbah Padat AEIP Bitung Tahun Limbah Cair dari
Industri Kelapa (ltr) Limbah Cair dari
Industri Perikanan Laut (ltr)
Limbah Cair Total (ltr)
Limbah Padat (m3)
2010 0 0 0 0 2011 -57.300 0 -93.300 126 2012 -109.095 143.600 -37.136 255 2013 2.539.125 287.600 2.719.444 564 2014 5.379.045 64.331.600 69.727.474 2.151 2015 7.958.809 128.519.200 136.619.307 3.852 2016 10.537.849 192.707.200 203.510.817 5.552 2017 12.926.869 256.895.200 270.257.307 7.507 2018 15.320.614 321.226.800 337.116.581 9.489 2019 17.463.514 395.278.800 413.469.611 11.680 2020 19.619.994 469.330.800 489.836.221 13.967 2021 21.501.999 543.526.400 566.072.315 16.271 2022 23.520.855 617.722.400 642.445.661 18.612 2023 25.279.820 691.918.400 719.405.116 21.143 2024 27.433.396 1.297.870.400 1.329.844.572 27.234
Limbah cair Industri Perikanan Laut merupakan akumulasi dari air bersih
yang digunakan untuk mencuci ikan, memasak, dan mencuci alat dan mesin,
sebesar 20 liter/kg ikan segar. Data menunjukkan bahwa kuantitas limbah cair
tersebut sangat besar, dimana pada tahun 2024 berjumlah 1.297.870 m3 atau
dengan jumlah aliran materi sebesar sekitar 3.605 m3/hari. Dengan kata lain,
jenis industri ini memerlukan pasokan air bersih per hari sekurang-kurangnya
sebesar jumlah di atas. Bila dibandingkan dengan pasokan air bersih Kota
Bitung Tahun 2005 sebesar 8.021.537 m3
Untuk mengurangi biaya pengolahan limbah cair dan sekaligus
meningkatkan nilai tambah produk perikanan laut maka dapat dilakukan upaya
penampungan terhadap air pemasakan ikan, yang memiliki kandungan protein
yang tinggi. Hasil survei lapangan tahun 2009 menunjukkan bahwa telah ada
industri perikanan laut di Kota Bitung yang mengekspor air sisa pemasakan ikan
ke Jepang, namun belum dilakukan secara kontinu. Disamping dengan cara
mengekspor ke luar negeri, air sisa pemasakan ikan tersebut dapat digunakan
sebagai bahan baku oleh industri pakan ternak yang berada di dalam AEIP
Bitung.
, jumlah tersebut merupakan 16,17%
dari pasokan air bersih Kota tersebut. Data ini menunjukkan bahwa industri
berbasis perikanan laut mengkonsumsi air bersih dalam jumlah yang besar.
Limbah cair dalam Model AEIP Bitung, yaitu darah ikan serta urine dan
feces ternak sapi, dan feces di RPH merupakan faktor input Industri Pakan
Ternak. Ketersediaan faktor input dan penggunaannya tersebut disajikan pada
Tabel 6.23.
153
Tabel 6.23. Ketersediaan dan Penggunaan Darah Ikan, Feces Ayam dan Sapi dan Urine Sapi
Tahun Darah Ikan (kg)
Penggunaan Darah Ikan
(kg)
Feces Ayam
(kg)
Feces Sapi (kg)
Feces di
RPH (kg)
Penggunaan Feces (kg)
Urine Sapi (kg)
Penggunaan Urine Sapi
(kg)
2010 0 0 0 0 0 0 0 0
2011 0 0 0 0 0 96.000 0 0
2012 72 0 0 0 0 192.000 0 0
2013 144 0 0 0 0 288.000 0 0
2014 32.166 0 0 0 0 384.000 0 0
2015 64.260 0 0 0 0 480.000 0 0
2016 96.354 0 0 0 0 576.000 0 0
2017 128.448 18.000 72.000 194.400 504 672.000 324.000 18.000
2018 160.613 36.000 144.000 388.800 1.008 863.733 648.000 36.000
2019 197.639 54.000 216.000 583.200 1.512 1.055.733 972.000 54.000
2020 234.665 72.000 288.000 777.600 2.016 1.247.733 1.296.000 72.000
2021 271.763 90.000 360.000 972.000 2.520 1.439.733 1.620.000 90.000
2022 308.861 108.000 432.000 1.166.400 3.024 1.631.733 1.944.000 108.000
2023 345.959 126.000 504.000 1.360.800 3.528 1.823.733 2.268.000 126.000
2024 648.935 161.950 576.000 1.555.200 4.032 2.015.733 2.592.000 161.950
Akumulasi dari limbah cair industri berbasis kelapa dan limbah cair industri
berbasis perikanan laut sebesar 3.681 m3/hari di dalam AEIP Bitung akan diolah
secara tersentral pada Pusat Pengolahan Limbah Cair sebelum dibuang ke
lingkungan. Pada kondisi eksisting, industri perikanan laut yang beroperasi di
Kota Bitung diduga membuang limbah cair ke lingkungan dalam jumlah yang
jauh lebih besar dibanding jumlah di atas. Hasil survei lapangan dan
penelusuran literatur menunjukkan bahwa setiap industri perikanan laut memiliki
fasilitas pengolahan limbah cair, namun dari informasi yang diperoleh diketahui
bahwa pengolahan tersebut sedang dilakukan secara tidak optimal. Bahkan,
ada pihak industriawan tertentu yang beranggapan bahwa membuang limbah
cair industri perikanan ke laut akan berkontribusi secara positif pada
perkembangbiakan biota laut.
(C). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa
Data dalam Tabel 6.24. menunjukkan bahwa dengan beroperasinya
industri pengguna bahan ikutan air kelapa, yaitu: nata de coco, coco vinegar,
kecap kelapa, dan minuman ringan maka bahan ikutan air kelapa yang saat ini
hampir semuanya dibuang ke ingkungan, dapat termanfaatkan dengan baik.
154
Tabel 6.24. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa
Tahun Bahan Ikutan Air Kelapa (ltr)
Penggunaan Bahan Ikutan Air Kelapa (ltr)
Sisa Tersedia Bahan Ikutan Air Kelapa (ltr)
2010 0 0 0 2011 18.000 144.000 -126.000 2012 40.787 288.000 -247.213 2013 963.587 432.000 531.587 2014 2.006.053 647.000 1.358.253 2015 3.053.640 1.151.000 1.902.640 2016 4.101.240 1.655.000 2.446.240 2017 5.148.840 2.446.200 2.702.640 2018 6.201.227 3.238.200 2.963.027 2019 7.253.627 4.317.400 2.936.227 2020 8.306.027 5.469.200 2.836.827 2021 9.363.213 6.908.400 2.454.813 2022 10.420.413 8.348.400 2.072.013 2023 11.495.563 10.075.600 1.419.963 2024 12.690.430 11.803.600 886.830
Pemanfaatan bahan ikutan air kelapa tersebut disamping akan meningkatkan
nilai tambah kelapa dan menciptakan lapangan kerja, juga akan berkontribusi
pada penurunan biaya pengolahan dan peningkatan kualitas lingkungan.
(D). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Paring Kelapa
Data dalam Tabel 6.25. menunjukkan bahwa hampir di semua tahun
simulasi setelah industri pembuatan minyak kelapa dari paring daging kelapa
didirikan, ada kelebihan bahan ikutan yang berkisar antara 225.000-693.600 kg.
Pada Tahun 2024, keberadaan industri minyak kelapa dari paring daging kelapa
dapat memanfaatkan bahan ikutan sampai dengan 90,64%.
Tabel 6.25. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Paring Kelapa
Tahun Paring Kelapa (kg) Penggunaan Paring Kelapa (kg)
Sisa Tersedia Paring Kelapa (kg)
2010 0 0 0 2011 0 0 0 2012 0 0 0 2013 225.000 0 225.000 2014 450.000 0 450.000 2015 675.000 71.800 603.200 2016 900.000 215.600 684.400 2017 1.125.000 431.400 693.600 2018 1.350.000 719.200 630.800 2019 1.575.000 1.007.200 567.800 2020 1.800.000 1.295.200 504.800 2021 2.025.000 1.583.200 441.800 2022 2.250.000 1.871.200 378.800 2023 2.475.000 2.159.200 315.800 2024 2.700.000 2.447.200 252.800
155 (E). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Tempurung Kelapa
Data dalam Tabel 6.26. menunjukkan bahwa sejak tahun 2016, jumlah
pasokan tempurung kelapa (setara arang tempurung) tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku arang tempurung untuk industri arang aktif.
Misalnya, di tahun 2024, kekurangan pasokan tempurung kelapa (setara arang
tempurung) adalah sebesar 1.512 ton.
Kekurangan pasokan tersebut dapat diatasi dengan beberapa cara.
Pertama, seperti yang diusulkan oleh pelaku usaha industri arang aktif di Kota
Bitung (Wawancara pribadi dengan Perera 2009), untuk meningkatkan pasokan
arang tempurung maka Pemerintah dapat membuat regulasi yang melarang atau
menetapkan pungutan yang mahal terhadap ekspor bahan baku arang
tempurung keluar daerah/ke luar negeri. Ekspor bahan baku arang tempurung
berpotensi menghilangkan nilai tambah produk dalam jumlah yang relatif besar.
Sebagai pembanding, nilai ekspor bahan baku arang tempurung di awal tahun
2009 adalah US $ 250-300/ton, sedangkan nilai ekspor arang aktif adalah sekitar
US $ 900/ton (Perera 2009).
Tabel 6.26. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Tempurung Kelapa
Tahun Tempurung Kelapa (setara arang
tempurung kelapa) (kg)
Penggunaan untuk Industri
Arang Aktif (kg)
Sisa Tempurung Setara arang
tempurung kelapa (kg)
2010 0 0 0 2011 0 0 0 2012 0 0 0 2013 54.000 0 54.000 2014 108.000 0 108.000 2015 162.000 0 162.000 2016 216.000 240.000 -24.000 2017 270.000 480.000 -210.000 2018 324.000 720.000 -396.000 2019 378.000 960.000 -582.000 2020 432.000 1.200.000 -768.000 2021 486.000 1.440.000 -954.000 2022 540.000 1.680.000 -1.140.000 2023 594.000 1.920.000 -1.326.000 2024 648.000 2.160.000 -1.512.000
Cara lainnya untuk meningkatkan pasokan arang tempurung adalah
dengan melakukan sosialisasi secara luas dan kontinu kepada petani kelapa
tentang cara-cara memproduksi arang tempurung kelapa yang berkualitas dan
jaminan pembelian produk dengan harga yang kompetitif oleh produsen arang
aktif. Sosialisasi dapat diperluas ke wilayah-wilayah penghasil kelapa yang
156 selama ini belum menjadi pemasok arang tempurung kelapa, seperti Kabupaten
Sitaro, Kabupaten Sangihe, dan Kabupaten Talaud.
(E). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Darah Ikan dan Feces Ternak
Ketersediaan, penggunaan, dan sisa feces dan urine ternak sapi serta
darah ikan disajikan dalam Tabel 6.27. Data menunjukkan bahwa ketersediaan
feces dan urine ternak adalah 4.861.508 kg sedangkan yang dimanfaatkan oleh
industri pengomposan adalah 2.771.633 kg. Sisa feces dan urine ternak sebesar
1.511.800 kg merupakan peluang untuk meningkatkan kapasitas produksi
kompos.
Tabel 6.27. Ketersediaan dan Penggunaan Feces dan Urine Ternak, Darah Ikan, dan Produksi Kompos
Tahun Ketersediaan Feces, Urine,
dan Darah (kg)
Penggunaan Feces, Urine,
dan Darah Ikan (kg)
Produksi Kompos
(kg)
2010 0 0 0 2011 0 96.000 72.000 2012 359 192.000 144.000 2013 719 288.000 216.000 2014 160.829 384.000 288.000 2015 321.298 480.000 360.000 2016 481.768 576.000 432.000 2017 909.646 708.000 504.000 2018 1.337.883 935.733 647.800 2019 1.790.421 1.163.733 791.800 2020 2.242.959 1.391.733 935.800 2021 2.695.856 1.619.733 1.079.800 2022 3.148.754 1.847.733 1.223.800 2023 3.601.652 2.075.733 1.367.800 2024 5.383.940 2.339.633 1.511.800
6.2.2.6. Luas Lahan yang Dibutuhkan
Hasil simulasi perkiraan kebutuhan lahan AEIP Bitung diperlihatkan pada
Tabel 6.28. Data menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2024, dimana telah
dibangun sejumlah enam unit industri besar dan 56 unit industri menengah dan
kecil, kebutuhan lahan industri adalah 260.000 m2. Luas lahan industri apabila
ditambah dengan lahan fasilitas pendukung akan menjadi 520.000 m2.
Selanjutnya, ditambah dengan lahan untuk 2 (dua) unit pembangkit listrik tenaga
angin dan surya yang masing-masing diasumsikan membutuhkan lahan seluas
5000 m2 maka luas keseluruhan lahan yang dibutuhkan adalah 530.000 m2
.
157
Tabel 6.28. Hasil Simulasi Perkiraan Kebutuhan Lahan AEIP Bitung Tahun Jumlah Industri
Besar (unit) Jumlah Industri Menengah dan
Kecil (unit)
Kebutuhan lahan Industri Besar dan Industri Menengah
dan Kecil (m3
Luas lahan yang Dibutuhkan (lahan
industri+ fasilitas pendukng) (m) 2)
2010 0 5 12.500 25.000 2011 0 5 12.500 25.000 2012 1 7 37.500 75.000 2013 2 7 57.500 115.000 2014 2 9 62.500 125.000 2015 3 21 112.500 225.000 2016 4 24 140.000 280.000 2017 4 28 150.000 300.000 2018 5 33 182.500 365.000 2019 5 36 190.000 380.000 2020 5 39 197.500 395.000 2021 5 48 220,000 440.000 2022 5 49 222.500 445.000 2023 6 54 255.000 510.000 2024 6 56 260.000 520.000
Keterangan: Belum termasuk lahan untuk pembangkit listrik tenaga angin dan surya.
Karena alokasi lahan untuk Kawasan Industri di Kota Bitung (yang
diasumsikan sebagai cikal bakal AEIP Bitung) adalah seluas 980.000 m2 (98 ha)
maka sisa lahan yang masih tersedia pada tahun 2024 adalah seluas 450.000
m2
Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut
menunjukkan bahwa konsumsi bahan baku bagi 3(tiga) unit industri besar dan
14 unit industri menengah dan kecil berbasis perikanan laut hanya merupakan
. Dengan demikian, sampai dengan tahun 2024, masih terbuka kemungkinan
untuk melakukan perluasan industri atau mendirikan jenis industri baru, terutama
untuk jenis industri yang tidak mengandalkan bahan baku perikanan laut dan
kelapa lokal karena adanya keterbatasan pasokan bahan baku tersebut.
6.2.2.7. Penyerapan Tenaga Kerja AEIP Bitung
Penyerapan tenaga kerja AEIP Bitung meningkat dari tahun ke tahun
dimana jumlah maksimum tercapai pada tahun 2024 sebanyak 1.526 orang
(Tabel 6. 29). Jumlah tenaga kerja maksimum tercapai pada saat semua unit
industri telah terbangun di kawasan industri tersebut. Trend penyerapan tenaga
kerja dalam bentuk grafik dicantumkan di dalam Gambar 6.23. Data hasil
simulasi tersebut menunjukkan bahwa tingkat penyerapan tenaga kerja hasil
simulasi relatif rendah dan relatif tidak sebanding dengan luasan lahan yang
digunakan. Ketimpangan ini terjadi oleh karena kecilnya skala usaha industri
besar perikanan laut dan kelapa di dalam simulasi model karena masalah
pasokan bahan baku.
158 ±13,60 persen dari total kebutuhan bahan baku. Selanjutnya, hasil kajian
terhadap Sub-Model Industri Berbasis Kelapa menunjukkan bahwa konsumsi
Tabel 6.29. Penyerapan Tenaga Kerja MP AEIP Bitung
Tahun Penyerapan Tenaga Kerja MP AEIP Bitung
2010 70 2011 70 2012 176 2013 376 2014 416 2015 564 2016 714 2017 760 2018 836 2019 872 2020 910 2021 980 2022 1.020 2023 1.496 2024 1.526
bahan baku bagi 3 (tiga) unit industri besar dan 37 unit industri menengah dan
kecil berbasis kelapa hanya merupakan ±3,38 persen dari total kebutuhan bahan
baku. Dengan demikian maka rata-rata penyerapan bahan baku adalah 8,49%.
Bila data rata-rata penyerapan bahan baku ini diproyeksikan kepada tingkat
penyerapan tenaga kerja eksisting oleh industri manufaktur di Kota Bitung yang
berjumlah 22.545 orang, maka diprediksi penyerapan tenaga kerja pada tingkat
kapasitas produksi tersebut berjumlah sekitar 1.913 orang. Jumlah ini lebih tinggi
dibandingkan dengan angka penyerapan tenaga kerja hasil simulasi sebanyak
1.526 orang.
Rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja ini diduga disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, data dasar penyerapan tenaga kerja didasarkan pada
data statistik penyerapan tenaga kerja dari beberapa industri yang diduga tidak
mencantumkan penyerapan tenaga kerja harian lepas yang jumlahnya cukup
siknifikan. Kedua, penggunaan pendekatan prediksi berdasarkan data dasar
tingkat produksi mengandung kelemahan karena tanpa berproduksipun,
perusahan harus mempekerjakan sejumlah tenaga kerja.
159
Penyerapan Tenaga Kerja
500
1,000
1,500
orang
Pe
nye
rap
an
Te
na
ga
Ke
rja
Gambar 6.23. Grafik Penyerapan Tenaga Kerja MP AEIP Bitung
6.2.2.8. Nilai Produksi MP AEIP Bitung
Nilai Produksi MP AEIP Bitung diperlihatkan pada kolom 2 dari Tabel 6.30.
Nilai produksi MP AEIP Bitung meningkat sejalan dengan bertambahnya tahun.
Bila dibandingkan maka peningkatan Nilai Produksi dari MP AEIP Bitung dan
kuantitas pemanfaatan air kelapa, tempurung kelapa/arang tempurung, paring,
feces dan urine (ternak ayam dan sapi), dan darah ikan berkorelasi secara
positif.
Tabel 6.30. Keterkaitan Nilai Produksi MP AEIP Bitung dengan Pemanfaatan Bahan Ikutan dan Limbah Industri
Tahun Nilai Produksi MP AEIP Bitung
Pemanfaat-an Air
Kelapa (ltr)
Pemanfaatan Arang
Tempurung (kg)
Pemanfaatan Paring
Kelapa (kg)
Pemanfaatan Feces dan
Urine (Ayam dan Sapi)
(kg)
Pemanfaatan Darah Ikan
(ltr)
2010 0 0 0 0 0 0 2011 1.332.000.000 144.000 0 96.000 0 0 2012 2.709.593.000 288.000 0 192.000 0 0 2013 10.387.313.000 288.000 0 288.000 0 0 2014 49.903.833.000 432.000 0 384.000 0 0 2015 93.660.483.500 647.000 0 480.000 71.800 0 2016 140.525.523.500 1.151.000 240.000 576.000 215.600 0 2017 203.105.913.500 1.655.000 480.000 708.000 431.400 18.000 2018 265.948.946.500 2.446.200 720.000 935.000 719.200 36.000 2019 332.861.056.500 3.238.000 960.000 1.163.733 1.007.200 54.000 2020 400.681.865.044 4.317.400 1.200.000 1.391.733 1.295.200 72.000 2021 471.550.403.125 5.469.200 1.440.000 1.619.733 1.583.200 90.000 2022 542.427.480.707 6.908.400 1.680.000 1.847.733 1.871.200 108.000 2023 614.722.608.288 8.348.400 1.920.000 2.075.733 2.159.200 126.000 2024 825.617.565.870 10.075.600 2.160.000 2.339.633 2.447.200 161.950
160
VII. IMPLIKASI DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai Perancangan Model
Pengembangan ”Agro-Eco-Industrial Park” (MP-AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi
Utara. Hasil yang diperoleh berupa diagram alir model dan simulasi terhadap
variabel-variabel dominan dari model. Berdasarkan informasi yang diperoleh
tersebut, pada bab ini akan dibahas secara deskriptif implikasi dan rekomendasi
kebijakan dalam rangka penerapan model.
7.1. Implikasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP Bitung Diasumsikan bahwa MP-AEIP Bitung merupakan pengembangan dari
Kawasan Industri Bitung yang saat ini sedang dalam tahapan perencanaan.
Apabila industri yang akan dibangun di Kawasan Industri tersebut adalah industri
berbasis perikanan laut dan kelapa maka dengan berdirinya MP-AEIP Bitung
kondisi kekurangan pasokan bahan baku kedua komoditas tersebut akan
semakin besar. Tetapi, karena MP-AEIP Bitung merupakan pengembangan dari
Kawasan Industri tersebut maka dapat diasumsikan bahwa hal itu tidak akan
memperparah kondisi pasokan bahan baku.
MP-AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara yang terdiri atas sub-model
industri berbasis perikanan laut, sub-model industri berbasis kelapa, sub-model
industri berbasis agro-kompleks, sub-model pembangkit listrik sumber energi
terbarukan, dan sub-model limbah dan bahan ikutan, dibangun dalam rangka
memberikan gambaran tentang prospek pengembangan industri agro dalam
kerangka ekologi-industri, yaitu suatu konsep yang mengintegrasikan aspek
ekonomi, ekologi dan sosial dalam pengembangan industri. Model ini dibangun
dengan tujuan untuk memperlihatkan potensinya dalam rangka menurunkan
limbah industri dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan.
Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut
menunjukkan bahwa dengan dibangunnya 3(tiga) unit industri besar dan 14 unit
industri menengah dan kecil berbasis perikanan laut maka kekurangan pasokan
bahan baku ikan segar di Provinsi Sulawesi Utara akan menjadi ±240.000 s/d
297.000 ton per tahun. Jumlah ini terbilang sangat besar, namun kontribusi yang
diberikan oleh MP-AEIP Bitung pada kondisi tersebut relatif kecil, yaitu sekitar
±13,60 persen. Data di atas menunjukkan bahwa selama ini sebagian besar
kebutuhan bahan baku perikanan laut dipasok dari luar provinsi.
161
Bentuk antisipasi yang sementara dilakukan oleh industri berbasis
perikanan laut adalah dengan berproduksi pada level di bawah kapasitas
produksi. Kondisi juga terjadi di hampir semua industri berbasis perikanan laut di
Indonesia (Nikijuluw 2008). Diperkirakan bahwa saat ini industri berbasis
perikanan laut sedang beroperasi pada level 70% dari kapasitas produksi
(Komunikasi pribadi dengan Pajow 2009). Hal ini mengundang keprihatinan
pihak-pihak yang terkait karena sangat menghambat investasi dalam bidang
usaha tersebut.
Fakta ini tidak sejalan dengan karakteristik Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP)-714 yang meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau
Halmahera, yang merupakan wilayah tangkap yang kaya akan jenis ikan pelagis
besar sehingga termasuk ke dalam wilayah yang banyak disebut sebagai golden
fishing ground (Anonim 2009). Sebagai contoh, pada tahun 2008, produksi
tangkap perikanan laut Sulawesi Utara adalah 204.169,9 ton atau meningkat
5,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Lalu, Harian Manado Post 29
Januari 2009). Dari jumlah tersebut, yang diekspor ke luar negeri adalah 17,53%
dengan nilai US $ 94,68, selebihnya dikonsumsi secara lokal dan dalam negeri.
Untuk Kota Bitung sendiri, produksi perikanan tangkap tahun 2000 adalah
119.896 ton dengan nilai Rp 692,7 juta atau merupakan 60 persen dari produksi
Provinsi Sulawesi Utara (Anonim 2001). Potensi hasil tangkap tersebut di atas
dapat diupayakan untuk ditingkatkan.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil tangkap
perikanan laut adalah menekan aktivitas perikanan IUU (illegal, unreported,
unregulated) (Nikijuluw 2008) dan sekaligus penegakan hukum terhadap
penjualan ikan ditengah laut kepada nelayan asing. Aktivitas perikanan IUU
menyebabkan kehilangan produksi tangkapan perikanan laut yang sangat besar.
Handoko (2004) dalam Nikijuluw (2008) menduga jumlah devisa yang hilang
akibat perikanan IUU di Indonesia berkisar Rp 19 trilyun/tahun. Karena jumlah
kerugian tersebut sangat besar maka pengorbanan besar yang harus
dikeluarkan untuk mengatasinya mendapat legitimasi yang kuat.
Nikijuluw (2008) menulis bahwa ada tujuh strategi yang dapat dilakukan
untuk memerangi perikanan IUU, yaitu: (1) pengembangan perikanan rakyat, (2)
pengembangan industri perikanan terpadu, (3) kerjasama internasional, (4)
regionalisasi pengelolaan perikanan, (5) perbaikan sistem perizinan, (6)
pengembangan sistem pengawasan, dan (7) pengembangan sistem peradilan
162
perikanan. Pengembangan perikanan rakyat dimaksudkan agar nelayan lokal
memiliki kemampuan perkapalan penangkap ikan yang lebih baik sehingga
aktivitasnya dapat sekaligus berperan sebagai pengawas laut dari illegal fishing.
Pengembangan industri perikanan terpadu dimaksudkan untuk melawan
sistem yang sama tapi yang dipasok dengan bahan baku dari perikanan IUU.
Melalui sistem ini maka harga produk perikanan laut legal akan menjadi semakin
kompetitif sehingga dapat mengurangi pangsa pasar produk perikanan dari
perikanan IUU.
Kerjasama internasional harus dilakukan mengingat IUU merupakan
kejahatan lintas negara. Hal ini tidak dapat dilakukan sendiri dan efektif oleh
Indonesia. Kerjasama tersebut terutama perlu dilakukan dengan negara
tetangga yang memiliki kesamaan visi dan kepentingan. Dilain pihak,
regionalisasi pengelolaan perikanan diperlukan mengingat luasnya wilayah
perairan Indonesia. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah juga perlu berperan dalam
menekan perikanan IUU yang sangat merugikan keberlanjutan aktivitas sektor
industri manufaktur di daerah.
Fakta menunjukkan bahwa selama ini, orientasi pemberian izin
penangkapan ikan adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. Sistem
perizinan tersebut perlu dirubah sehingga sesuai dengan tujuan pembangunan
dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.
Sistem pengawasan terhadap IUU sangat tergantung pada dua hal utama,
yaitu peralatan pengawasan dan manusia sebagai pengawas. Peralatan
pengawasan dapat berupa kapal patroli atau pengawasan melalui sarana satelit
dan elektronik yang dikenal dengan vessel monitoring system (VMS).
Pengawasan juga dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat nelayan.
Dalam rangka mengefektifkan peradilan terhadap pelaku IUU maka sesuai
dengan UU No. 31/2004 tentang Perikanan maka peradilan khusus perikanan
telah dibangun di lima tempat, yaitu: Belawan, Jakarta Utara, Pontianak, Bitung,
dan Tual. Salah satu sasaran dari peradian ini adalah peradilan yang cepat dan
sanksi hukum yang tegas sehingga dapat memberikan efek jera.
Penerapan Sertifikasi Hasil Tangkapan (Catch Certification) dari
Masyarakat Uni Eropa sejak 1 Januari 2010 perlu mendapat dukungan semua
pihak. Regulasi ini menguntungkan dan memperkuat upaya Indonesia dalam
memerangi praktek “IUU Fishing” (Nikijuluw 2008). Mekanisme yang dibangun
163
dalam Regulasi tersebut adalah dengan melarang masuknya produk perikanan
yang berasal dari kegiatan “IUU Fishing” ke pasar Uni Eropa.
Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Kelapa menunjukkan
bahwa dengan dibangunnya 3 (tiga) unit industri besar berbasis kelapa dan 37
unit industri menengah dan kecil berbasis kelapa maka kekurangan pasokan
bahan baku kelapa (setara kopra) di Provinsi Sulawesi Utara akan berkisar
antara 184.724 ton s/d 269.089 ton per tahun. Jumlah ini terbilang sangat besar,
namun kontribusi yang diberikan oleh MP-AEIP Bitung pada kondisi tersebut
relatif kecil, yaitu sekitar ±3,38 persen. Dengan kata lain, kondisi kekurangan
pasokan bahan baku juga sedang dialami oleh industri berbasis kelapa yang
sedang beraktivitas di Provinsi Sulawesi Utara dan selama ini sebagian besar
kebutuhan bahan baku dipasok dari luar provinsi.
Bentuk antisipasi yang sementara dilakukan oleh industri berbasis
perikanan laut adalah dengan berproduksi pada level di bawah kapasitas
produksi. Sama seperti pada industri berbasis perikanan laut, diperkirakan
bahwa saat ini industri berbasis kelapa sedang beroperasi pada level 70% dari
kapasitas produksi (Komunikasi pribadi dengan Pajow 2009).
Tidak seperti sektor perikanan laut yang dapat meningkatkan ketersediaan
bahan baku ikan segar dengan mengimport dan atau menekan IUU dan
penjualan ikan di tengah laut, kekurangan pasokan kelapa secara siknifikan
hanya dapat diatasi dengan cara mengimpor kelapa dari luar Provinsi. Upaya-
upaya lainnya seperti intensifikasi produksi dapat dilakukan tapi hanya akan
memberikan peningkatan produksi yang tidak siknifikan. Upaya ekstensifikasi
usaha sulit dilakukan karena keterbatasan lahan yang dapat dikonversi menjadi
perkebunan. Kontradiktif, saat ini banyak lahan perkebunan kelapa yang
mengalami konversi penggunaan menjadi permukiman dan bisnis karena
tuntuan kebutuhan.
Karena pertimbangan kondisi pasokan bahan baku kelapa tersebut maka
orientasi industri berbasis kelapa perlu diubah ke arah industri produk non-
konvensional, yaitu industri yang dapat memanfaatkan produk turunan kelapa
menjadi produk kesehatan atau perawatan tubuh. Jenis industri ini tidak
mengandalkan pasokan bahan baku dalam jumlah besar. Produk-produk
demikian dapat meningkatkan nilai tambah kelapa beberapa kali lipat. Sebagai
contoh, konversi arang tempurung menjadi arang aktif memberikan peningkatan
164
nilai tambah tiga sampai empat kali lipat (Wawancara pribadi dengan Perera
2009).
Dari hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Agro-Kompleks diketahui
bahwa Industri Peternakan Ayam dan Penggemukan Sapi menyerap pakan
ternak yang dipasok oleh industri pakan ternak yang terdapat di dalam MP-AEIP.
Keterkaitan ini potensial menguntungkan kedua pihak industri karena
berkurangnya biaya transportasi dan biaya sosial terhadap lingkungan karena
dimanfaatkannya bahan-bahan ikutan di dalam pembuatan pakan ternak.
Sebagai pembanding, studi tentang penerapan Eco-Industrial Networks (konsep
yang sama seperti EIP) di Vancouver, Canada memprediksi bahwa lalu lalang
kendaraan untuk semua keperluan kawasan industri (angkutan produk, peralatan
dan mesin, tenaga kerja, dan lain lain) akan berkurang sebesar 25% (Anonim
2002). Penurunan lalu lalang kendaraan tersebut akan meningkatkan efisiensi
kawasan industri dan kualitas lingkungan secara keseluruhan. Selanjutnya,
eksistensi Rumah Potong Hewan (RPH) sangat potensial meningkatkan nilai
tambah produk dan jaminan atas tingkat keamanan ternak potong serta dapat
menciptakan peluang ekspor.
Industri pengomposan juga memberikan kontribusi pada pemeliharaan
lingkungan karena pemanfaatannya terhadap kotoran dan urin yang dihasilkan
oleh Industri Peternakan Ayam, Industri Penggemukan Sapi, serta limbah cair,
yaitu darah ikan yang dihasilkan oleh Industri Berbasis Perikanan Laut. Kompos
yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pemeliharaan Ruang Terbuka Hijau
dan Taman yang terdapat di dalam kawasan industri. Kelebihan pasokan
kompos yang diproduksi dapat dijual kepada petani palawija, hortikultura, atau
kepada rumah tangga-rumah tangga untuk budidaya dan atau pemeliharaan
tanaman pekarangan. Industri pengomposan memiliki prospek yang cerah
karena meningkatnya kecenderungan penggunaan pupuk organik, sebagai
susbtitusi terhadap pupuk sintetis yang telah terbukti kurang ramah lingkungan.
Hasil kajian terhadap Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi
Terbarukan menunjukkan bahwa potensi alam, seperti tenaga angin dan tenaga
surya di Kota Bitung, dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik
terbarukan yang ramah lingkungan. Namun demikian, beberapa kajian terakhir
menunjukkan bahwa pembangkitan energi tersebut belum menguntungkan
secara finansial, seperti yang dilaporkan oleh Ardana (2009) yang meneliti
pembangkit listrik tenaga angin dan surya di Nusa Penida, Bali. Juga, Negara
165
China yang sementara membangun beberapa pembangkit dengan kapasitas 1,5
MW per kincir angin mengalami hal yang sama (Prabowo 2009). Walaupun saat
ini belum menguntungkan namun dalam jangka panjang, prospek pembangkit
listrik tenaga angin dan surya akan menjadi lebih baik. Ini akan terjadi pada saat
bahan bakar fosil menjadi langka sehingga akan memicu peningkatan harganya.
Disamping itu, pembangunan pembangkit listrik terbarukan merupakan
pernyataan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan karena secara nyata
akan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), seperti NOx, COx, dan SOx
Hasil simulasi terhadap ketersediaan, penggunaan, dan sisa bahan ikutan
tempurung kelapa menunjukkan bahwa sejak tahun 2016, jumlah pasokan
.
Hasil simulasi terhadap Sub-model Limbah dan Bahan Ikutan memberikan
beberapa informasi penting yang terkait dengan pemanfaatan limbah dan bahan
ikutan serta potensi manfaat lingkungan yang dihasilkan. Hasil simulasi terhadap
Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut
menunjukkan bahwa bahan ikutan yang dihasilkan oleh Industri Berbasis
Perikanan Laut dapat memenuhi hampir semua kebutuhan untuk pembuatan
tepung ikan dan pakan ternak. Bahkan, di tahun 2024 ketika semua industri
berbasis perikanan laut telah selesai dibangun, sisa pasokan bahan ikutan yang
tidak terserap oleh industri pengguna adalah sekitar 11 ribu ton. Informasi ini
menunjukkan bahwa pada tahun itu, kapasitas produksi industri tepung ikan dan
pakan ternak dapat ditingkatkan.
Hasil simulasi terhadap produksi darah ikan dan urine ternak sapi
menunjukkan bahwa tingkat penggunaannya masih rendah. Hal ini dapat diatasi
dengan cara meningkatkan penggunaannya pada Industri Pakan Ternak. Namun
jumlah penggunaannya pada Industri Pakan Ternak sangat tergantung pada
kuantitas bahan ikutan yang dihasilkan oleh industri berbasis perikanan laut dan
industri berbasis kelapa. Darah dan urine yang tidak termanfaatkan harus diolah
terlebih dahulu di Pusat Pengolahan Limbah Cair sebelum dibuang ke
lingkungan.
Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air
Kelapa menunjukkan bahwa di tahun-tahun akhir dari simulasi, penggunaan
bahan ikutan air kelapa melampaui ketersediaan air kelapa yang dihasilkan oleh
industri Kelapa Parut Kering (KPK). Namun, kekurangan pasokan ini dapat
disuplai oleh industri KPK yang terletak di sekitar MP-AEIP Bitung yang belum
memanfaatkan bahan ikutan air kelapa secara optimal.
166
tempurung kelapa (setara arang tempurung) tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku arang tempurung untuk industri arang aktif. Misalnya, di
tahun 2024, kekurangan pasokan tempurung kelapa (setara arang tempurung)
adalah sebesar 1.512 ton. Namun, kekurangan pasokan tersebut dapat diatasi
dengan cara melakukan sosialisasi yang lebih luas dan intensif kepada petani
kelapa untuk memasok tempurung kelapa. Sosialisasi yang baik yang disertai
dengan jaminan pembelian bahan baku dengan harga yang kompetitif akan
meningkatkan secara siknifikan pasokan bahan baku dari petani kelapa.
Hasil simulasi terhadap ketersediaan, penggunaan, dan sisa feces ternak
sapi dan ayam dan urine ternak sapi menunjukkan bahwa pasokannya untuk
industri pengomposan lebih kecil dari kebutuhan, dengan kisaran antara 132 ton
s/d 395,3 ton per tahun. Sisa feces dan urine ternak untuk produksi kompos
menjadi positif mulai tahun 2023. Kekurangan pasokan feces dan urine tersebut
dapat diatasi dengan cara menyesuaikan kapasitas produksi kompos atau
mendatangkannya dari luar MP-AEIP Bitung. Pemanfaatan limbah tersebut
secara siknifikan akan menurunkan biaya penanganan limbah dan sekaligus
meningkatkan kualitas lingkungan.
Secara keseluruhan penerapan MP-AEIP Bitung akan menurunkan limbah
dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan seperti yang tercantum pada Tabel
7.1.
Tabel 7.1. Hasil Simulasi Penurunan Limbah dan Peningkatan Penggunaan Bahan Ikutan di dalam MP-AEIP
No Komponen Peningkatan Penggunaan bahan ikutan
Penurunan limbah cair
Ket
1 Darah ikan - 161.950 ltr (24,96%)
-
2 Urine ternak sapi - 161.950 ltr (6,25%) - 3 Feces ternak sapi dan
ayam - 2.015.733 kg
(94,40%) -
4 Limbah cair total - 12.127.500 liter (1% dari limbah cair total)
-
5 Bahan ikutan perikanan laut
24.290.500 kg (93,59%)
- -
6 Bahan ikutan air kelapa 11.803.600 liter (93,01%)
- -
7 Bahan ikutan tempurung kelapa
2.160.000 kg (>100%)
- Perlu pasokan dari luar
167
Data di dalam Tabel 7.1. menunjukkan bahwa walaupun penurunan limbah
cair dan peningkatan penggunaan bahan ikutan cukup siknifikan namun secara
keseluruhan hanya berkontribusi pada penurunan limbah cair total sebesar 1%
dari kuantitas limbah cair yang dihasilkan oleh kawasan industri. Kecilnya
persentasi penurunan limbah cair tersebut disebabkan oleh sangat besarnya
kuantitas limbah cair yang dihasilkan terutama oleh industri perikanan laut.
Sebagai contoh, setiap kilogram ikan segar membutuhkan air cuci sebanyak 20
liter.
Data hasil simulasi Tahun 2024 menunjukkan bahwa total limbah cair yang
dihasilkan oleh kawasan industri adalah 1.329.844 m3 atau sebesar 3.594
m3/hari. Data ini hampir dua kali lipat dibandingkan dengan limbah cair yang
dihasilkan Eco-industrial networks (EIN) di Vancouver, Canada, yaitu sebesar
740.915 m3
Sesuai dengan prinsp-prinsip ekologi industri maka keberlanjutan aktivitas
industri dapat diupayakan dengan beberapa cara. Pertama, kerjasama antar
perusahan dalam hal pertukaran materi dan limbah sehingga produksi limbah
industri dan bahan ikutan dapat diupayakan seminimal mungkin. Hasil simulasi
MP-AEIP Bitung menunjukkan bahwa kerjasama antar industri berpotensi
menurunkan limbah dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan secara
siknifikan. Kedua, sistem produksi industri di dalam MP-AEIP Bitung yang
mempertimbangkan tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan juga akan
/tahun (Anonim 2002). Limbah cair di EIN tersebut diprediksi dapat
diturunkan sampai sebesar 25% atau jauh lebih besar dibandingkan dengan
hasil simulasi dalam MP-AEIP Bitung. Ini berarti perlu dilakukan upaya untuk
menurunkan penggunaan air cuci atau memanfaatkan limbah cair sebelum atau
sesudah diolah di Pusat Pengolahan Limbah Cair. Upaya tersebut dapat berupa
inovasi teknologi untuk menurunkan penggunaan air per satuan berat bahan
baku dan atau pemanfaatannya untuk tujuan-tujuan tertentu.
7.2. Implikasi terhadap Keberlanjutan Aktivitas Industri Agro Tingkat keberlanjutan aktivitas industri agro di Kota Bitung dapat dilihat dari
beberapa segi. Dari segi pasokan bahan baku dapat dinilai bahwa aktivitas
industri agro sedang beroperasi pada kondisi kekurangan pasokan bahan baku.
Hal itu ditunjukkan oleh hasil simulasi MP-AEIP Bitung. Untuk industri eksisting,
kekurangan pasokan bahan baku tersebut diantisipasi dengan cara menurunkan
kapasitas produksi dan atau mendatangkan bahan baku dari luar wilayah
Provinsi Sulawesi Utara.
168
berperan bagi keberlanjutan aktivitas industri. Dari sisi ekonomi, aktivitas industri
menguntungkan, dari segi sosial mendapatkan dukungan masyarakat sekitar
karena melibatkan masyarakat secara siknifikan, dan dari segi lingkungan
memberikan kontribusi pada pemeliharaan kualitas lingkungan.
7.3. Rekomendasi Kebijakan
7.3.1. Implementasi MP-AEIP Bitung Berdasarkan hasil kajian mengenai keterkaitan antara sub-sub elemen
tujuan program, maka prioritas tujuan program adalah Membangkitkan energi
listrik dengan sumber terbarukan (T10) dan Meningkatkan kerjasama antar
industri secara sukarela (T13). Berdasarkan tujuan tersebut, serta dengan
mempertimbangkan adanya kendala kunci berupa: Pemahaman terhadap
konsep AEIP yang masih kurang (K3) dan Rencana lokasi kawasan industri
adalah lahan pertanian subur (K5), maka implementasi AEIP Bitung dapat
dicapai melalui tahapan-tahapan program sebagai berikut:
A. Program Persiapan: (1) Penyusunan master plan kawasan industri; (2)
Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP; (3) Sosialisasi AEIP; (4)
Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau
penyertaan sebagai pemegang saham; (5) Pendirian perusahan pengelola
kawasan industri; (6) Perumusan tata tertib kawasan industri; (7) Penetapan
pola harga kapling industri; dan (8) Penyiapan sistem rekruitmen tenant.
B. Program Penyiapan Fasilitas Pendukung: (9) Pembangunan infrastruktur
kawasan industri; (10) Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber
energi terbarukan; (11) Pembangunan fasilitas daur ulang; (12)
Pembangunan fasilitas riset; (13) Pembangunan fasilitas perbaikan dan
rekayasa; (14) Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian; (15)
Pembangunan fasilitas training; (16) Pembangunan pusat promosi dan
bisnis; (17) Penyiapan sistem transportasi bersama; (18) Pembangunan
klinik kesehatan; (19) Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat; (20)
Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk; dan (21) Pembangunan
perumahan karyawan.
C. Keterkaitan antar industri: (22) Program kerjasama pertukaran materi dan
limbah.
D. Keterkaitan dengan masyarakat sekitar: (23) Program pengembangan
masyarakat (CSR).
169
7.3.2. Percepatan Implementasi MP-AEIP Bitung Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mempercepat penerapan MP-AEIP
Bitung, Provinsi Sulawesi Utara adalah:
1. Realisasi pembangunan Kawasan Industri (KI) di Kelurahan Tanjung Merah,
Kota Bitung. Saat ini (pada saat survei lapangan), rencana pembangunan
tersebut sudah sampai pada tahap Penyiapan Masterplan dan Studi AMDAL
yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Industri,
Kementerian Perindustrian. Tahapan selanjutnya dari rencana tersebut akan
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Pihak Pengembang. Pada tahapan
ini, peran aktif dari Pemerintah Daerah sangat krusial. Hal itu dapat
dinyatakan dalam bentuk alokasi dana dalam APBD dan segenap daya dan
upaya untuk merealisasikan KI tersebut, melalui sosialisasi program.
Langkah strategis yang perlu ditempuh Pemda adalah mewujudkan KI pada
lahan 98 ha terlebih dahulu, sehingga perluasan KI menjadi sekitar 512 ha
akan menjadi relatif lebih mudah. Cara ideal untuk menyiapkan lahan
industri di wilayah ini, dengan tipikal adanya kelangkaan lahan, adalah
dengan menyertakan pemilik lahan sebagai pemegang saham KI, seperti
yang diamanatkan oleh PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri.
2. Penetapan Kota Bitung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yang saat
ini sedang diperjuangkan di tingkat Pemerintah Pusat. Salah satu
persyaratan bagi suatu wilayah untuk ditetapkan sebagai KEK adalah
tersedianya lahan seluas minimal 500 ha. Penetapan sebagai KEK akan
memberi insentif yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan lahan
tersebut.
3. Peningkatan kesadaran lingkungan dari pelaku industri dan pemberian
tekanan untuk meningkatkan kinerja lingkungan KI baik dari Pemerintah
maupun masyarakat. Juga, meningkatkan kerjasama antar industri secara
sukarela, yang saat ini tergolong masih rendah, yaitu 23,64% menjadi
sekurang-kurangnya 42,3%, sesuai dengan nilai median kerjasama antar
industri yang disarankan oleh Hardy dan Graedel (2002). Hal ini sejalan
dengan yang disampaikan oleh Li (2005) yang menulis bahwa konsep EIP
dapat membantu meningkatkan keuntungan kompetitif KI apabila kendala-
kendala seperti kurangnya kesadaran lingkungan dari pelaku industri serta
lemahnya kerjasama antar industri dapat dihilangkan.
170
4. Fasilitasi oleh Badan Pemerintah yang sengaja dibentuk untuk itu. Badan
Pemerintah tersebut dapat diisi oleh para pakar dalam bidang
pengembangan industri manufaktur, pelaku industri yang berpengalaman,
ahli hukum, dan tenaga ahli bidang lainnya yang relevan. Badan ini dapat
bekerja sama secara harmonis dengan Perusahan Kawasan Industri atau
Perusahan Pengelola Kawasan Industri yang memiliki fungsi operasional di
dalam kawasan industri.
5. Pemberian kesempatan dan insentif dari Perusahan Pengelola AEIP Bitung
kepada tenan untuk bertindak seirama (Ayres and Ayres 2002). Tindakan
seirama tersebut terdiri atas dua hal, yaitu:
(a) Perencanaan Kawasan Industri (KI) yang merangsang kinerja lingkungan
yang lebih baik bagi KI secara keseluruhan. Ini menyangkut lay out fisik
yang harmonis dengan bentang alam, perencanaan infrastruktur untuk
pengangkutan dan penyimpanan bahan kimia, pendirian bangunan-
bangunan yang hemat energi, penyediaan sumber energi yang tepat
(termasuk energi yang terbarukan), perencanaan posisi dari perusahan-
perusahan yang memudahkan pertukaran kelebihan energi dan limbah,
pembangunan pusat daur ulang, dan menyisakan lahan kosong untuk
habitat alami;
(b) Mempromosikan prosedur organisasi untuk memfasilitasi manajemen
lingkungan yang lebih baik pada level pabrik, membangun mekanisme
untuk pertukaran kelebihan energi dan limbah, dan membangun sistem
informasi dan komunikasi untuk perusahan sehingga mereka dapat
menemukan penyelesaian masalah lingkungan sendiri. Fasilitas ini
dibangun untuk mempercepat terjadinya sinergi antara pabrik-pabrik,
didasarkan pada kerjasama sukarela bukan karena tekanan. Tanpa
mekanisme tersebut maka pengaturan sinergi dan simbiotik akan lambat
terjadi. Percepatan adopsi MP-AEIP Bitung dapat digambarkan sebagai
berikut (Gambar 7.1.).
171
Gambar 7.1. Percepatan adopsi konsep ekologi industri (Ayres dan Ayres 2002).
Gambar 7.1. menunjukkan keterkaitan antar perencanaan KI dengan
prosedur kawasan industri yang dapat menghasilkan kerjasama antar perusahan
secara sukarela sehingga adopsi terhadap konsep ekologi industri dapat terjadi
bagi peningkatan kinerja lingkungan yang lebih baik bagi KI secara keseluruhan.
7.3.3. Rekruitmen Tenan Jenis dan karakteristik tenan yang akan direkrut perlu direncanakan secara
matang terlebih dahulu. Proses perencanaan melibatkan Badan Pemerintah
(point 4 di atas), Perguruan Tinggi dan atau Lembaga Litbang. Tenan yang
direkrut akan memberikan “warna” bagi kawasan industri. Sebagai contoh,
mengingat mulai terkendalanya pasokan bahan baku, terutama pada industri
berbasis kelapa, rekruitmen dapat dilakukan terhadap tenan yang menguasai
teknologi modern dari industri kelapa. Kriteria yang dapat digunakan untuk
proses rekruitmen adalah: (1) rekrut tenan yang mempraktekan produksi bersih,
PERENCANAAN KAWASAN INDUSTRI:
(1) Lay out yang harmonis dengan bentang alam
(2) Infrastruktur untuk pengangkutan dan penyimpanan bahan kimia dan bahan baku serta bahan penolong
(3) Bangunan yang di desain hemat energi
(4) Sumber energi terbarukan
(5) Posisi pabrik yang memudahkan pertukaran kelebihan energi dan limbah
(6) Fasilitas umum (daur ulang, penanganan limbah, kantin, pusat kesehatan, pusat penyimpanan, pusat pendidikan/pelatihan)
(7) Habitat alami
PROSEDUR KAWASAN INDUSTRI: (1) Fasilitasi
manajemen lingkungan yang lebih baik pada level pabrik
(2) Membangun mekanisme pertukaran kelebihan energi dan limbah
(3) Membangun sistem informasi dan komunikasi
Adopsi konsep Ekologi Industri
Memba-
ngun
kerjasama
antara
perusahan
secara
sukarela
bukan
karena
tekanan
atau
intimidasi
Kinerja lingkungan yang lebih baik bagi KI secara
keseluruhan
172
HACCP, atau ISO (2) rekrut tenant yang mau bekerjasama di dalam program
pemanfaatan bahan ikutan/limbah industri, (3) bangun visi menciptakan
keberagaman industri supaya dapat saling terkait dalam memanfaatkan bahan
ikutan dan limbah industri, (4) selaraskan sumberdaya alam (pasokan bahan
baku, energi, air, dan ketersediaan lahan industri) dengan jumlah tenan dan
jumlah produksi.
7.3.4. Kelembagaan Penerapan MP-AEIP Bitung Kelembagaan atau institusi merupakan “batasan-batasan buatan manusia
yang memberi struktur pada interaksi politik, ekonomi dan sosial“ (North 1991).
Institusi yang efektif, menurut North, adalah institusi yang “meningkatkan faedah
bagi solusi-solusi kooperatif atau meningkatkan biaya dari tidak-bekerja-sama
(defection).” Sesuai dengan bahasan sebelumnya maka kelembagaan yang
diperlukan untuk menerapkan MP-AEIP Bitung adalah:
1. Pokja AEIP Bitung atau Badan Khusus yang dibentuk oleh
Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk mempromosikan penerapan MP-AEIP.
2. Perusahan Pengelola AEIP.
3. Tata tertib AEIP.
4. Sistem kerjasama antar industri dalam pemanfaatan materi dan limbah.
5. Sistem rekruitmen tenan, dan
6. Program pengembangan masyarakat (CSR).
7.3.5. Kebijakan Strategis dan Operasional Penerapan MP-AEIP Bitung
A. Kebijakan Strategis
1. Konsistensi penerapan peraturan perundangan dalam bidang
pengembangan industri dan lingkungan, seperti Peraturan Pemerintah
tentang Kawasan Industri atau AMDAL.
2. Penegakan hukum yang konsekuen bagi perikanan IUU (illegal,
unreported, unregulated) seperti illegal fishing, penangkapan ikan dengan
teknologi yang tidak sah, dan penjualan ikan ditengah laut kepada
nelayan asing.
3. Mendorong dan atau mendukung penerapan ketentuan Uni Eropa bagi
Sertifikasi Tangkapan Ikan (Catch Certification) untuk memerangi IUU.
4. Menerapkan hambatan ekspor bahan baku ikan laut segar dan kelapa.
5. Pengembangan industri turunan kelapa non-konvensional.
173
B. Kebijakan Operasional
1. Program insentif bagi tenan Agro-Eco-Industrial Park (AEIP), yang dapat
berupa keringanan pajak, harga lahan industri yang terjangkau,
penyediaan sarana dan prasarana penunjang, dan kemudahan
pengurusan dokumen usaha industri.
2. Pengembangan budidaya perikanan laut, seperti pertambakan dan
budidaya rumput laut.
3. Menghilangkan hambatan-hambatan investasi dan menerapkan sistem
investasi terpadu, yang dapat menjamin bahwa prosedur investasi tidak
dilakukan secara berbelit-belit, misalnya dengan menerapkan sistem
investasi satu atap/terpadu.
4. Mempertahankan dan atau meningkatkan tingkat produksi Kelapa Dalam.
5. Penetapan ”ceiling price” yang logis dari lahan industri untuk merangsang
investasi.
6. Penetapan sistem sewa lahan industri atau pelibatan pemilik lahan
pertanian sebagai pemegang saham kawasan industri.
7. Pengkajian tentang penurunan penggunaan air bersih pada industri
perikanan laut dan kelapa untuk menurunkan beban limbah cair yang
harus diolah pada pusat pengolahan limbah cair.
174
VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan
Dari segi produksi dan pengelolaan lingkungan, kinerja industri agro di Kota
Bitung dinilai cukup baik. Dengan demikian aktivitas industri agro dan rencana
pembangunan kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah mendapat
penilaian positif dari pemangku kepentingan. Analisis terhadap kerangka kinerja
lingkungan dari rencana lokasi kawasan industri dimaksud memberikan
legitimasi terhadap penilaian positif tersebut.
Pola keterkaitan antar industri di Kota Bitung yang terwujud dalam bentuk
kerjasama antar industri dalam hal pertukaran materi dan limbah masih rendah
sehingga perlu ditingkatkan. Peningkatannya potensial terjadi di dalam MP-AEIP
Bitung.
Variabel-variabel dominan dari MP-AEIP Bitung adalah: Sub-Model Industri
Berbasis Perikanan Laut, Sub-Model Industri Berbasis Kelapa, Sub-Model
Industri Agro-Kompleks, Sub-Model Pembangkit Listrik Energi Terbarukan, dan
Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa
penerapan model potensial menurunkan limbah industri dan meningkatkan
penggunaan bahan ikutan. Disamping itu, terdapat korelasi positif antara
meningkatnya nilai produksi dengan pemanfaatan limbah cair dan bahan ikutan
di dalam model. Dengan demikian maka model yang dibangun dapat
berkontribusi pada pembangunan industri yang berkelanjutan. Potensi
penurunan limbah dan peningkatan nilai produksi yang sejalan dengan
peningkatan pemanfaatan limbah tersebut di atas dapat berkontribusi pada
perubahan paradigma berpikir untuk melihat limbah industri dan bahan ikutan
bukan sebagai beban tapi sebagai peluang usaha.
Faktor-faktor eksternal yang dapat mempercepat penerapan MP-AEIP
adalah upaya mengatasi masalah kekurangan pasokan bahan baku, realisasi
pembangunan Kawasan Industri Bitung di Kelurahan Tanjung Merah, penetapan
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kota Bitung, dan penyiapan kelembagaan
eksternal pendukung. Sedangkan faktor-faktor internal berupa percepatan
adopsi konsep ekologi industri, rekruitmen tenan dengan jenis dan karakteristik
sesuai perencanaan, dan penyiapan kelembagaan internal pendukung.
175
8.2. Saran Model Pengembangan AEIP Bitung yang dibangun masih mengandung
kelemahan sehingga terbuka untuk dikembangkan dan atau disesuaikan dengan
dinamika kondisi lapangan. Pertama, apabila kawasan industri yang legal formal
telah dibangun di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung maka model yang
dibangun akan semakin absah. Kedua, apabila industri manufaktur di lokasi
tersebut mulai beroperasi maka akan diperoleh data yang semakin akurat
sebagai masukan bagi pemodelan. Ketiga, pelibatan tenan secara aktif dalam
perumusan kerjasama pertukaran materi dan limbah secara sukarela akan
memberikan informasi yang akurat tentang kegiatan-kegiatan yang disepakati
untuk dilakukan secara bersama, yang nantinya merupakan elemen penyusun
dalam pemodelan.
176
DAFTAR PUSTAKA Anex R. 2004. Something New Under the Sun? [Editorial]. Journal of Industrial
Ecology Volume 7, Number 3-4.
Anonim. December 2002.. Mark Jeffrey Consultants and Eco-industrial Solutions Ltd. Identification of Eco-industrial Networking Opportunities in Greater Vancouver. Demand Side Management Benefits. Submitted to GVRD, Policy and Planning Division.
----------. 1998. Metode FaST (facility synergy tool). Industrial Economics, Inc., Cambridge, MA.
----------. 2001. Kota Bitung. [email protected]. Aug 31, 2001.
----------. Kalundborg. Business and Sustainable Development: A Global Guide. BSD.Global. Com. http://www.bsdglobal.com/viewcasestudy.asp?id=77. Diakses tanggal 29 Januari 2010 jam 15:28.
----------. 2009. Rencana Penerapan Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan (Catch Certification) oleh Uni Eropa. Direktorat Pemasaran Luar Negeri. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. http://home.speedbit.com/search.aspx?q= sertifikasi +hasil+tangkap+perikanan+laut&site=web&aff=107&btn=Search. [9 Januari 2010].
Ardana IK. 2009. Model Pengelolaan Energi Berwawasan Lingkungan di Pulau-
Pulau Kecil. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor.
Ayres RU and Ayres LW. 2002. A Handbook of Industrial Ecology. Cheltenham, UK. Edward Elgar.
Berkel RV. 1996. Cleaner Production in Practice: Methodology Development for Environmental Improvement of Industrial Production and Evaluation of Practical Experience. [Abstract of Dissertation]. University of Amsterdam, the Netherlands. International Society for Industrial Ecology. [Diakses tanggal 23 Maret 2007].
Bitung Dalam Angka Tahun 2007. Kantor Statistik Kota Bitung. Bitung.
Bourgeois R. dan F Jesus. 2004. Participatory Prospective Analysis. Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. UNESCAP-CAPSA. Bogor.
Breeze P. 2005. Power Generation Technologies, Newnes, Great Britain.
Brundtland, GH. 1987. Our Common Future: Report of the World Commission on Environment and Development. United Nations. http://www.un-documents. net/ocf-cf.htm
Buen J. 2001. Industrial Ecology-only needed in the north? International Journal of Economic Development. 3, 2.
Chertow 1988. Eco-industrial park model reconsidered. Journal of Industrial Ecology 2 (3), 8-10.
177
Chertow MC. 2007. Uncovering Industrial Symbiosis. Journal of Industrial Ecology Volume 11, number 1.
Chiu ASF. 2002. Ecology, Systems, and Networking. Walking the Talk in Asia. Journal of Industrial Ecology Volume 5, Number 2.
Chiu ASF dan Yong G. 2004. On the Ecology Potential in Asian Developing Countries. Journal of Cleaner Production 12;1037-1045.
Cote RP and Cohen-Rosenthal E. 1998. Designing Eco-Industrial Park: a synthesis of some experiences. Journal of Cleaner Production 6;181-188.
Cunningham R and Lamberton G. Industrial Ecology and the development of Eco-Industrial Estate. [artikel tidak dipublikasikan, diakses dari internet].
[Depkimpraswil] Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau Sulawesi.
[Deperind] Departemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. Jakarta.
Desrochers P. Winter 2001. Eco-Industrial Parks: the Case of Private Planning. The Independence Review, volume V, nomor 3, pp 345-371.
Deutz P and Gibbs D. 2004. Eco-Industrial Development and Economic Development: Industrial Ecology or Place Promotion? Business Strategy and the Environment 13, 347-362.
[Dinas Capil dan Kependudukan Kota Bitung]. 2008. Data Kependudukan Kota Bitung.
[Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulut]. 2009. Mengelola Ikan Secara Bertanggung Jawab. Website Dinas Perikanan dan Kelautan Prov Sulut.
Dirdjojuwono RW. 2004. Kawasan Industri Indonesia. Sebuah Konsep Perencanaan dan Aplikasinya. Penerbit Pustaka Wirausaha Muda, Bogor.
Ehrenfeld J. 2004. Industrial Ecology: a New Field or only a Metaphor? Journal of Cleaner Production, 12;825-831.
Ehrenfeld JR. 2006. Advocacy and Objectivity in Industrial Ecology. Journal of Industrial Ecology. Volume 10, Number 4.
Eriyatno dan Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor.
Frosch RA dan Gallopoulos NE. 1989. Strategies for Manufacturing. Scientific American, 261:3, pp 144-152.
Gibbs D. August 2003. Trust and Networking in inter-firm relations: the Case of Eco-Industrial Development. Local Economy vol 18, no. 3, 222-236.
Gibbs D dan Deutz P. 2005. Implementing Industrial Ecology? Planning for Eco-Industrial Park in the USA. Geoforum 36;452-464.
178
Hardy C and Graedel TE. 2002. Industrial Ecosystems as Food Webs. Journal of Industrial Ecology volume 6, Number 1.
Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik. Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor.
Hayward T. 1994. Ecological Thought: An Introduction. Polity Press. Cambridge.
Heeres RR, Vermeulen WJV and Walle de FB. 2004. Eco-Industrial Park initiatives in the USA and the Netherlands: first lessons. Journal of Cleaner Production 12;985-995.
Hewes AK. 2005. The Role of Championss in Establishing Eco Industrial Parks. [Abstract of Dissertation]. Antioch New England Graduate School. International Society for Industrial Ecology. [23 Maret 2007].
[IEI] Industrial Economics, Incorporated. March 1998. Applying Decision Support Tools for Eco-Industrial Park Planning: a Case Study in Burlington, Vermont. Cambridge, MA.
[In-Cites]. An Interview with Dr. David Tilman. 2001. http://www.in-cites.com/scientists/dr-david-tilman.html
[ID] Indigo Development. 2005. Defining Industrial Ecology. [Diakses pada Juli 2007].
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. Climate Change 2001. The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Edited by Houghton, J.T. et al. Cambridge University Press. Cambridge. UK. 2001.
Jelinski LW, Graedel TE, Landise RE, McCall DW and Patel CKN. February 2002. Industrial Ecology: Concepts and Approaches. Proceeding of National Academy of Science Volume 89, pp 793-797.
Kassinis GI. 1997. Industrial Reorganization and Inter-Firm Networking: In Search of Environmental Co-location Economies. [Abstract of Dissertation]. Princeton University. International Society for Industrial Ecology. [Diakses 23 Maret 2007].
Kates RW, Parris TM, dan Leiserowitz AA. What is Sustainable Development? Goals, Indicators, and Practice. Environment: Science and Policy for Sustainable Development, Vol 47, Number 3, pages 8-21.
Kim KS and Gallent N. 2002. Industrial Park Development and Planning in South Korea. Regional Studies.
Kodrat KF. 2006. Analisis Sistem Pengembangan Kawasan Industri Terpadu Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus: PT. Kawasan Industri Medan). [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Koenig A. 2005. Quo Vadis Eco-Industrial Park? How Eco-Industrial Parks are Evolving. Journal of Industrial Ecology volume 9, number 3.
179
Korhonen J. Industrial Ecology in the Strategic Sustainable Development Model: Strategic Application of Industrial Ecology. Journal of Cleaner Production, 12 (2004), 809-823.
Korhonen J, Huisingh D and Chiu ASF. 2004. Introduction: Application of Industrial Ecology - an Overview of the Special Issues. Journal of Cleaner Production 12;803-807.
Korhonen J. 2001. Regional industrial ecology: examples from regional economic systems of forest industry and energy supply in Finland. Journal of Environmental Management 63;367-375.
-----------------. 2001. Two paths to Industrial Ecology: Applying the Product-based and Geographical Approach. Journal of Environmental Planning and Management 45 (1), 39-57.
-----------------. 2002. Industrial Ecosystem-Using the Material and Energy Flow Model of an Ecosystem in an Industrial System. [Abstract of Dissertation]. University of Jyvaskyla, Finland. International Society for Industrial Ecology. [Diakses 23 Maret 2007].
Kristanto P. Ekologi Industri. Penerbit ANDI. Yogyakarta. 2002.
Lambert AJD and Boons FA. 2002. Eco-Industrial Parks: Stimulating Sustainable Development in Mixed Industrial Parks. Technovation 22;471-484.
Lowe EA. 2001. Eco-Industrial Park Handbook for Asia Developing Countries. August 2001.
Lowe EA and Evans LK. 1995. Industrial Ecology and Industrial Ecosystem. Journal of Cleaner Production, volume 3, number 1-2, pp 47-53.
Manetsch TJ and Park GL. 1977. System Analysis and Simulations with Application to Economic and Social System Science. Michigan State University.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Martin SA. et al. October 1996. Eco-Industrial Parks: A Case Study and Analysis of Economic, Environmental, Technical, and Regulatory Issues. Final Report.
Mitchel B, Setiawan B dan Rahmi DH. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press.Yogjakarta.
Nadin V. Environmental Suatainability and Spatial Planning Systems. Center for Environment and Planning. University of the West of England, Bristol, UK. http://www.uwe.ac.uk/fbe/ spectra/publication.html [23 Februari 2007].
Nikijuluw VPH. 2008. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal. Blue Water Crime. Cetakan Pertama. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.
North, DC. 1991. Institutions. Journal of Economic Perspectives 5 (1).
180
Nugroho. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Nugrohoadi. 2 Juli 2007. Listrik Energi Gelombang. http://www.ristek.go.id/ index.php? mod= News&conf=v&id=1961
Odom S. 2001. The Sustainable Systems Analysis Algorithm: A Decision-Support and Evaluation Methodology Applied to Promote Sustainable Industrial Development. [Abstract of Dissertation]. University of South Carolina. International Society for Industrial Ecology. [Diakses 23 Maret 2007].
Park HS and Won JY. 2007. Ulsan Eco-Industrial Park. Challenges and Opportunities. Journal of Industrial Ecology volume 11, number 3.
Peck S. 2002. When is an Eco-Industrial Park not an Eco-Industrial Park? Journal of Industrial Ecology Volume 5, number 3.
Peck SW. 1996. Industrial Ecology: From Theory to Practice. http://newcity.ca/Pges/industrial_ ecology.html. [22 Maret 2007]. This paper was originally presented at the Environmental Studies Association of Canada meeting at the 1996 Learned Societies Conference in St. Catherines, Ontario.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri.
Pereira AA. March 2004. State Enterpreneurship and Regional Development: Singapore Industrial Park in Batam and Suzhou. Enterpreneurship and Regional Development 16;129-144.
Pojoh B., dkk. 2000. Pengembangan Pembuatan Tepung Kelapa (Dessiccated Coconut). Komunikasi. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Manado.
Roberts BH. 2004. The Application of Industrial Ecology Principles and Planning Guidelines for the Develoment of Eco-Industrial Parks: an Australian Case Study. Journal of Cleaner Production 12;997-1010.
Sagala A., et al. 2004. Penyusunan Rencana Pengembangan Kawasan Industri. Penerbit BPPT Jakarta.
Saaty TL. 1983. Decision Making for Leaders: the Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. RWS Publication, Pittsburgh.
Shi H, Moriguichi Y and Yang J. 2003. Industrial Ecology in China, Part I. Research. Journal of Industrial Ecology, Volume 6, Number 3-4.
Sinclair P, Papathanasopoulou E, Mellon W, and Jackson T. 2005. Towards and Integrated Regional Material Flow Accounting Model. Journal of Industrial Ecology Volume 9, Number 1-2.
Singhal S and Kapur A. 2002. Industrial Estates Planning and Management in India-an Integrated Approach Towards Industrial Ecology. Journal of Environmental Management 66;19-29.
181
[SSBGW] Sustainable South Bronx and Green Worker Cooperatives with David M. Muchnick, Stephen A. Hammer, Joan Byron, and E. Gail Suchman Esq. 2007. The Oak Point Eco-Industrial Park: A Sustainable Economic Development Proposal for the South Bronx.
Suharyanto dan Rinaldy J. Estimasi Potensi dan Nilai Ekonomis Pupuk Kandang di Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(18)%20soca-suharyanto%20dkk-estimasi %20potensi(1).pdf . [8 Januari 2010].
Undang-undang No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
Ditetapkan pada tanggl 14 Oktober 2009. Bogor. http://www.bktrn.org/peraturan /file/UU_No_39_Tahun_2009_Tentang_KEK.pdf
[UN] United Nations. Indonesia: Environment and Development. 1994. A World
Bank Country Study. Washington, D.C.
Turangan DJ. 1999. Konversi Lahan Pertanian ke Penggunaan Lain di Kota Bitung. Thesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
[Wikipedia]. Biodiesel. http://en.wikipedia.org/wiki/Biodiesel#Technical_stand-ards. [5 Januari 2010].
Wei L. 2005. Managing and Facilitating Eco-Industrial Development of an Industrial Park: A Case Study of Dalian DD Port, China. [Thesis]. University of Waterloo, Waterloo, Ontario, Canada.
Yarime M. 2007. Promoting Green Innovation or Prolonging the Existing Technology. Regulation and Technical Change in the Chlor-Alkali Industry in Japan and Europe. Journal of Industrial Ecology Volume 11, Number 4.
Yiping F, Cote RP and Rong Q. 2007. Industrial Sustainability in China: Practice and Prospects for Eco-Industrial Development. Journal of Environmental Management 83;315-328.
Yong G. 2004. Integrated Water Resources Planning and Management at the Industrial Park Level. [Abstract of Dissertation]. Dalhousie University, Canada. International Society for Industrial Ecology. [Diakses tanggal 23 Maret 2007].
Zhu Q, Lowe EA., Wei Y and Barnes D. 2007. Industrial Symbiosis in China. A Case Study of the Guitang Group. Journal of Industrial Ecology Volume 11, Number 1.
219
Lampiran 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian dan Penulisan Disertasi
No Kegiatan 2007 2008 2009 2010 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6
1 Draft Proposal Disertasi
2 Sidang Komisi I 3 Perbaikan proposal 4 Ujian kualifikasi
Doktor
5 Kolokium 6 Pengesahan
proposal
7 Pengumpulan data 8 Kompilasi data dan
informasi
9 Analisis dan interpretasi data
10 Draft Disertasi I 11 Sidang Komisi II 12 Draft Disertasi II 13 Seminar 14 Sidang Komisi III 15 Draft Disertasi III 16 Ujian Tertutup 17 Draft Disertasi IV 18 Ujian Terbuka 19 Final Touch Disertasi
183
Lampiran 2. Foto-foto Pengambilan Sampel Air di Lokasi Rencana Kawasan Industri
Kali yang melintasi lokasi rencana Kawasan Industri yang menjadi tempat pengambilan sampel air
Pengukuran pH air kali
Sumur warga tempat pengukuran dan pengambilan sampel air
184
Lampiran 3. Foto-foto Survei Lapangan
Surat Izin Penelitian yang dicap oleh Kantor Bappeda dan Dinas Perindag Kota Bitung, Dinas Perindag Provinsi Sulut, dan BP-KAPET Manado-Bitung
Konsultasi dengan aparat Dinas Perindag Provinsi Sulawesi Utara
185
Maket Kota Bitung
Kantor Bappeda Kota Bitung
Gerbang Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung
186
Konsultasi dengan Kepsek SMA Negeri 1 Kota Bitung
Konsultasi dan pengumpulan data dengan Lurah Tanjung Merah, Kota Bitung
Pengisian Kuisioner oleh warga masyarakat
Pengisian Kuisioner oleh warga masyarakat
187
Lampiran 4. Hasil Analisis Sampel Air Sumur dan Sungai di Rencana Lokasi Kawasan Industri Kelurahan Tanjung Merah
188
Sambungan Lampiran 4.
189
Sambungan Lampiran 4.
190
Sambungan Lampiran 4:
191
Lampiran 5a. Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil
Pengolahan ISM VAXO) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 2 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 3 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 4 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 6 1 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 9 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 10 1 0 1 1 1 0 1 0 0 1 0 0 0 11 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 12 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 0 13 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 No. Sub Elemen 1 Merangsang tumbuhnya jenis usaha industri baru 2 Meningkatkan peluang kerja 3 Meningkatkan daya saing usaha industri 4 Meningkatkan pendapatan industri 5 Melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan 6 Meningkatkan nilai tambah bahan baku dan produk industri 7 Menurunkan jumlah limbah industri 8 Meningkatkan kesejahteraan masyarakat 9 Mengupayakan keberlanjutan pasokan bahan baku, air, dan energi 10 Memasok energi dari sumber terbarukan 11 Meningkatkan hubungan yang harmonis antara industri dan masyarakat 12 Meningkatkan efisiensi usaha dan lingkungan secara keseluruhan 13 Meningkatkan kerjasama antara industri secara sukarela
192
Lampiran 5b. Hasil Reachability Matrix Final Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO)
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Drv 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 2 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 3 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 4 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 5 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 10 6 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 11 8 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 9 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 10 10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 12 11 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 7 12 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 10 13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 12 Dep 13 13 13 13 6 13 3 13 6 1 13 6 1 Keterangan: Drv = driver power Dep = dependence
193
Lampiran 6a. Hubungan Konstekstual Antar Sub-elemen Kendala Utama
Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO)
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 7 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 8 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 No. Sub Elemen 1 Belum tersedianya instrumen pembangunan kawasan industri 2 Keterbatasan modal untuk mendirikan kawasan industri 3 Kurangnya pemahaman terhadap konsep Agro-EIP 4 Terbatasnya luasan lahan untuk pembangunan kawasan industri 5 Rencana tapak proyek kawasan industri adalah lahan pertanian subur 6 Meroketnya harga lahan bila terindikasi adanya rencana pembangunan kawasan industri 7 Dukungan kebijakan pemerintah yang masih lemah dan cenderung kurang konsisten 8 Kurangnya pasokan tenaga kerja terampil 9 Biaya tenaga kerja relatif mahal dibandingkan dengan di Pulau Jawa 10 Pertumbuhan jumlah dan jenis industri baru yang relatif rendah 11 Belum adanya jenis industri yang dapat menjadi industri jangkar 12 Pasokan energi listrik mulai terkendala 13 Pasar di sekitar wilayah rencana kawasan industri relatif kecil
194
Lampiran 6b. Hasil Reachability Matrix Final Antar Sub-elemen Kendala Utama
Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO)
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Drv 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 10 4 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 6 5 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 7 6 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 5 7 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9 8 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 4 9 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 4 10 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 4 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 12 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 5 13 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 5 Dep 3 1 1 2 1 5 2 10 10 10 11 3 3 Keterangan:
Drv = driver power Dep = dependence
195
Lampiran 7a. Hubungan kontekstual antara sub-elemen Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO)
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 3 0 0 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 7 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 0 21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 1 23 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1
Keterangan: No. Sub Elemen 1 Program penyiapan lahan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau penyertaan sebagai
pemegang saham 2 Penyusunan Master Plan kawasan industri 3 Penyiapan desain "green building" untuk pabrik, kantor, dan bangunan lainnya 4 Pembentukan POKJA Pengembangan Agro-EIP 5 Sosialisasi Agro-EIP 6 Pendirian perusahan pengelola kawasan industri 7 Pembangunan Pusat Informasi Lingkungan 8 Perumusan tata tertib kawasan industri 9 Perumusan sistem kerjasama pertukaran materi dan limbah secara sukarela 10 Penyiapan sistem rekruitmen tenant 11 Penetapan pola harga kapling industri 12 Pembangunan infrastruktur kawasan industri 13 Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan 14 Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat 15 Pembangunan fasilitas daur ulang 16 Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk 17 Pembangunan perumahan karyawan 18 Pembangunan klinik kesehatan 19 Pembangunan fasilitas riset 20 Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa 21 Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian 22 Pembangunan fasilitas training 23 Pembangunan pusat promosi dan bisnis 24 Penyiapan sistem transportasi masal 25 Penyusunan program CSR (Corporate social responsibility)
196
Lampiran 7b. Hasil Reachability Matrix Final Antar Sub-elemen Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO)
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Drv 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 7 2 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 23 3 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 21 4 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 9 5 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 8 6 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 20 7 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 14 8 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 14 9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 13 10 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 13 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 6 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 5 13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 12 14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 11 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 2 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 11 20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 11 21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 11 22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 11 23 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 11 24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 4 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 3 Dep 5 1 2 1 4 1 4 4 7 7 7 8 3 15 14 15 23 22 14 14 14 14 14 9 21 Keterangan: Drv = driver power Dep = dependence
197
Lampiran 8. Kuisioner untuk memilih Alternatif AEIP Prioritas
Struktur AHP Alternatif AEIP Bitung
Keterangan:
A. Model AEIP dengan konsentrasi pada pertukaran materi dan limbah industria
(merujuk pada Model Kalundborg, Denmark)
B. Model AEIP yang meliputi industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi
dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan
(RPH), pengomposan, pembangkitan listrik sumber energi terbarukan, dan
fasilitas pengolahan limbah cair (merujuk pada Fujisawa Factory EIP).
C. Model AEIP dengan konsentrasi pada upaya penyediaan informasi
khususnya menyangkut teknologi pengelolaan lingkungan (merujuk pada
Model Burnside, Nova Scotia, Kanada).
D. Model AEIP dengan konsentrasi pada pemenuhan manajemen lingkungan
dari kawasan industri. Persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa menjadi
tenant di kawasan industri ini sangat ketat (merujuk pada Model PALME,
Perancis).
E. Model AEIP dengan konsentrasi pada kerjasama dalam bidang fasilitas
bangunan, transportasi, serta penyimpanan dan penjualan. Di kawasan
industri ini, sinergi dibangun secara efektif pada produk akhir dan siklus
industri, bukan pada limbah akhir (merujuk pada Model Value Park, Dow
Chemical, Jerman).
Alternatif AEIP Bitung
Membangkitkan energi listrik dari
sumber terbarukan
Meningkatkan kerjasama
antar industri secara
sukarela
Kurangnya pemahaman
terhadap Konsep Agro-
EIP
Rencana lokasi KI
adalah lahan pertanian
subur
A C D B E
Sasaran
Kriteria
Alternatif
198
----------------------Memilih prioritas dari Kriteria Penilaian-------------------------- Bapak/Ibu dimohon untuk memberikan penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing KRITERIA dengan skor penilaian seperti pada Tabel berikut:
Nilai Skor Keterangan
1 Kriteria yang satu dengan yang lainnya sama penting
3 Kriteria yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Kriteria yang lainnya.
5 Kriteria yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding Kriteria yang lainnya
7 Kriteria yang satu sangat penting dibanding Kriteria yang lainnya
9 Kriteria yang satu ekstrim pentingnya dibanding Kriteria yang lainnya
2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas
Dari segi sasaran, Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing kriteria pada tabel berikut:
Kolom kiri
Diisi jika kriteria di kolom kiri lebih penting dibanding kriteria
di kolom kanan
Diisi bila
sama penting
Diisi jika kriteria di kolom kanan lebih penting dibanding kriteria
di kolom kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 K1 v K2
K1 v K3
K1 v K4
K2 v K3
K2 v K4
K3 v K4
Keterangan: K1. Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan K2. Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela K3. Kurangnya pemahaman terhadap Konsep AEIP K4. Rencana lokasi KI adalah lahan pertanian subur
----------------------Memilih prioritas dari Alternatif Agro-EIP--------------------------- Bapak/Ibu dimohon untuk memberikan penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing ALTERNATIF dengan skor penilaian seperti pada Tabel berikut:
Nilai Skor Keterangan
1 Alternatif yang satu dengan yang lainnya sama penting
3 Alternatif yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Alternatif yang lainnya.
5 Alternatif yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding Alternatif yang lainnya
7 Alternatif yang satu sangat penting dibanding Alternatif yang lainnya
9 Alternatif yang satu ekstrim pentingnya dibanding Alternatif yang lainnya
2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas
199
1. Dari segi kriteria “Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan,” Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap Alternatif Agro-EIP pada tabel berikut:
2. Dari segi kriteria “Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela,” Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap Alternatif Agro-EIP pada tabel berikut:
3. Dari segi Kriteria “Kurangnya pemahaman terhadap Konsep Agro-EIP.” Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap Alternatif Agro-EIP pada tabel berikut:
Kolom kiri
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kiri lebih penting dibanding
Alternatif di kolom kanan
Diisi bila
sama penting
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kanan lebih penting dibanding
Alternatif di kolom kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A v B A v C A v D A v E B v C B v D B v E C v D C v E D v E
Kolom kiri
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kiri lebih penting
dibanding Alternatif di kolom kanan
Diisi bila
sama penting
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kanan lebih penting
dibanding Alternatif di kolom kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A v B A v C A v D A v E B v C B v D B v E C v D C v E D v E
Kolom kiri
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kiri lebih penting
dibanding Alternatif di kolom kanan
Diisi bila
sama penting
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kanan lebih penting dibanding
Alternatif di kolom kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A v B A v C A v D A v E B v C B v D B v E C v D C v E D v E
200
4. Dari segi Kriteria “Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur.” Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap Alternatif Agro-EIP pada tabel berikut:
Kolom kiri
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kiri lebih penting dibanding
Alternatif di kolom kanan
Diisi bila
sama penting
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kanan lebih penting
dibanding Alternatif di kolom kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A v B A v C A v D A v E B v C B v D B v E C v D C v E D v E
201
Lampiran 9. Biodata Tenaga Ahli yang berpartisipasi di dalam Expert Survey
A. Nama Lengkap : Ir. James Philip Alan Rompas, MSi Jabatan : Kepala Bappeda Kota Bitung Pendidikan : S1 : Teknik Sipil dan Perencanaan Unsrat, 1988.
S2 : Pasca Sarjana Manajemen Perkotaan, Unsrat Manado/2003
Training: 1. Kursus Manual Pendapatan Daerah di Bitung thn 1990 2. Kursus Pemimpin Proyek di Manado thn 1990 3. Kursus Penyusunan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu di
Ujung Pandang thn 1990 4. Pelatihan Tenaga Pelatih (TOT) Penyuluh Bidang Perumahan dan
Permukiman di Manado thn 1991 5. Kursus Project Management System di Manado thn. 1992. 6. Kursus Planning of Regional Development Program (PRDP) thn 1995 di
Manado 7. Kursus TOT of PRDP di Ujung Pandang thn 1996. 8. Kursus Manajement Proyek Kabupaten/Kota Master Trainning Program
(KRMTP) –I di Manado thn 1996. 9. Kursus Manajemen Proyek KRMTP-II di Manado thn 1996 10. Kursus Manajemen Proyek KRMTP-III di Manado thn 1997 11. Kursus Adminitrasi Bantuan Luar Negeri di Manado thn 1997 12. Diklat Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan tingkat Dasar
(TMPP-D) di Ujung Pandang thn 1998 13. Penataran P- 4 (Pola B2) di Bitung thn 1997 14. Kursus Bimbingan Teknis bidang Kecipta karyaan di Manado thn 1998 15. Pendidikan Komputer TMPP di Ujung Pandang thn 1998 16. Diklat Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan tingkat
Lanjutan di Ujung Pandang thn 1999 17. Pelatihan Administrasi Bantuan Luar Negeri (ABLN) IISP-II Loan ADB
1296-INO di Manado thn 1999. 18. Pelatihan Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam di Manado thn 2000 19. Pelatihan Manajemen Perkotaan di Sanur Bali thn 2000 20. Kursus English for Academic purposes course for Urban Development
staff di Manado thn 2000 21. Pelatihan Urban Environmental Management di Kuta Bali thn 2001 22. Diklat Manajemen Pengadaan Barang dan Jasa, di Jakarta thn 2003. 23. Pelatihan Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah
(RIPPDA) di Yogyakarta thn 2004. 24. Diklat Kepemimpinan Bagi Eselon II dengan Pendekatan “System
Thinking” di Jakarta thn 2004 25. Latihan MARPOLEX (Marine Polution Exercise) di Cebu Philippina thn
1995 26. Kursus Method and Tehnique of Project Planning (MTPP) dan TOT of
MTPP di Berlin Jerman thn 1997 27. Field Study of Urban Management Program di Urban Development
Authority (URA) Singapore thn 2000 28. Short Term Trainning in Tourism Development Planning di Nagoya
Jepang thn 2000 29. Professional Technical of Urban Management Assistance di Coos Bay,
Oregon USA. thn 2001
202
30. Reducing the Cost of Conflict in Local Government di Philadelphia, Pensylvania, USA. thn 2002.
31. Study Democratic Principle and Urban Management Development, di Coos Bay, Oregon, USA thn 2003
32. Study Humanitarianism Understanding, di Coos Bay, Oregon USA.thn 2003
33. Study Ecotourism development, US Forest Service, Business Development Center, di Oregon USA. thn 2004.
34. Local Government & Higher Education Development Training, di Southwestern Oregon Community College, Coos Bay OR, USA,thn 2004.
Seminar: 1. Apresiasi Penataan Ruang Propinsi Sulawesi Utara di Manado tgl 5-6
Desember 2000 2. Revitalisasi Pembangunan Sulawesi Utara Menuju Indonesia Baru di
Manado tgl 29 Pebruari 2000 3. Revitalisasi Kawasan dan Rencana Induk Sistem Air Bersih di Manado tgl
12-14 Juni 2001. 4. Seminar Nasional Pembangunan Perkeretaapian Sulawesi di Manado tgl
15 Juli 2002 5. Seminar Nasional Pengelolaan Pelabuhan laut dalam era Otonomi
Daerah, di Jakarta tgl 12 Pebruari 2003 6. Konferensi Nasional Praktek Inovatif Program Kemitraan Sumberdaya
Kota Indonesia-Amerika di Jakarta 1 – 2 Juli 2003
B. Nama : Prof. Dr. Ir. Jen Tatuh, MS. Kelamin : Pria Umur : 59 Thn
Pendidikan akademik(1) Doktor, Ekonomi Institusional, IPB-Bogor.
:
(2) Magister Sains, Ekonomi Pertanian, IPB, Bogor.
Jabatan fungsional/profesional (sedang berjalan(1) Guru Besar dalam Manajemen Agribisnis, Unsrat Manado
):
(2) Dosen Fakultas Pertanian dan Pascasarjana Unsrat Manado.
(3) Pembantu Dekan Fakultas Pertanian Unsrat Manado Bidang “Kerja Sama, Perencanaan, dan Evaluasi Kinerja”
(4) Sekretaris Tim Penyelenggara Program Tridharma PT Terpadu, Fakultas Pertanian Unsrat Manado.
(5) Ketua Pokja Ahli, Badan Ketahanan Pangan, Provinsi Sulawesi Utara.
(6) Ketua Komisi Penyuluhan, Provinsi Sulawesi Utara.
203
Lampiran 10. Struktur MP-AEIP Bitung
Lampiran 11. Pola Keterkaitan Antar Industri dalam MP-AEIP Bitung Industri 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Jumlah
204
1 - 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 2 0 - 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 3 0 0 - 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 4 0 0 0 - 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 5 0 0 0 0 - 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 5 6 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 4 7 0 0 0 0 0 1 - 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 7 8 0 0 0 0 0 1 1 - 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 12 9 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 1 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 6 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 14 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 1 1 19 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 - 0 0 0 0 0 1 3 20 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 - 0 1 1 1 1 24 21 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 - 1 1 1 1 24 22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 0 1 1 2 23 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 1 1 2 24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 - 1 1 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 - 1 Jumlah 110
Ket: 1=Ikan Kaleng; 2=Ikan Asap; 3=Ikan Beku; 4=Ikan Kayu; 5=Tepung Ikan; 6=Pakan Ternak; 7=Minyak Kelapa; 8=Kelapa Parut Kering; 9=Arang Aktif; 10=VCO; 11=Biodiesel; 12=Nata de Coco; 13=Arang Tempurung; 14=Minyak dari Paring; 15=Coco Vinegar; 16=Kecap Kelapa; 17=Minuman Ringan; 18=Bahan Kosmetik; 19=Santan Kelapa; 20=Pembangkit Listrik Tenaga Surya; 21=Pembangkit Listrik Tenaga Bayu; 22=Peternakan Ayam; 23=Penggemukan Sapi; 24=RPH; dan 25=Pengomposan. Simbol: 1 = ada keterkaitan antar ke-dua industri;
0 = tidak ada keterkaitan antar ke-dua industri. Nilai keterkaitan antar industri (C) = (2x110) / [25x(25-1)] = 220 / 600 = 0,3667 atau 36,67%.
205
Lampiran 12. Koefisien dan Persamaan-persamaan dari MP-AEIP Bitung
206
Sambungan Lampiran 12
207
Sambungan Lampiran 12
208
Sambungan Lampiran 12
209
Sambungan Lampiran 12
210
Sambungan Lampiran 12
211
Sambungan Lampiran 12
Sambungan Lampiran 12
212
213
Sambungan Lampiran 12
214
Sambungan Lampiran 12
215
Sambungan Lampiran 12
216
Sambungan Lampiran 12
217
Sambungan Lampiran 12
218
Sambungan Lampiran 12
Top Related