MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN DILEMA ETIK
SECARA BERTANGGUNG JAWAB
Nilai-nilai, keyakinan dan filosofi individu memainkan peranan penting
pada pengambilan keputusan etik yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Peran
perawat ditantang ketika harus berhadapan dengan masalah dilema etik, untuk
memutuskan mana yang benar dan salah; apa yang dilakukannya jika tak ada
jawaban benar atau salah; dan apa yang dilakukan jika semua solusi tampak salah.
Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema sulit dipecahkan
bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis.
Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus membuang yang lain
menjadi sulit karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan
keburukan apalagi jika tak satupun keputusan memenuhi semua kriteria.
Berhadapan dengan dilema etis bertambah pelik dengan adanya dampak
emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan
keputusan rasional.
Pada pasien dengan kasus-kasus terminal sering ditemui dilema etik,
misalnya kematian batang otak, penyakit terminal misalnya gagal ginjal. Pada
tulisan ini akan dibahas mengenai dilema etik pada kasus pasien dengan gagal
ginjal terimnal yang menuntut haknya untuk dilakukan transplantasi ginjal.
Prinsip-prinsip moral yang harus diterapkan oleh perawat dalam
pendekatan penyelesaian masalah / dilema etis adalah :
a. Otonomi
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir
logis dan memutuskan. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki
kekuatan membuat keputusan sendiri, memilih dan memiliki berbagai
keputusan atau pilihan yang dihargai. Prinsip otonomi ini adalah bentuk
respek terhadap seseorang, juga dipandang sebagai persetujuan tidak
memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak
kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri.
Praktek profesioanal merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak
hak pasien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
b. Benefisiensi
Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan
kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain.
Kadang-kadang dalam situasi pelayanan kesehatan kebaikan menjadi
konflik dengan otonomi.
c. Keadilan (justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang
lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai
ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika perawat bekerja untuk
terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar
untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan
d. Nonmalefisien
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya / cedera secara fisik dan
psikologik. Segala tindakan yang dilakukan pada klien.
e. Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh
pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap
pasien dan untuk meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip
veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan
kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat komprehensif dan
objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada,
dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani perawatan.
Walaupun demikian terdapat beberapa argument mengatakan adanya
batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis
pasien untuk pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor
knows best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk
mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran adalah dasar
dalam membangun hubungan saling percaya
f. Fidelity
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan
menepati janji serta menyimpan rahasia pasien. Ketaatan, kesetiaan adalah
kewajiban seeorang untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya.
Kesetiaan itu menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang
menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan
meminimalkan penderitaan.
g. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang klien
harus dijaga privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan
kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tak ada
satu orangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijin kan
oleh klien dengan bukti persetujuannya. Diskusi tentang klien diluar area
pelayanan, menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang klien
dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah.
.
Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen (2005) adalah :
a. Pengkajian
Hal pertama yang perlu diketahui perawat adalah “adakah saya terlibat
langsung dalam dilema?”. Perawat perlu mendengar kedua sisi dengan
menjadi pendengar yang berempati. Target tahap ini adalah terkumpulnya
data dari seluruh pengambil keputusan, dengan bantuan pertanyaan yaitu :
1. Apa yang menjadi fakta medik ?
2. Apa yang menjadi fakta psikososial ?
3. Apa yang menjadi keinginan klien ?
4. Apa nilai yang menjadi konflik ?
b. Perencanaan
Untuk merencanakan dengan tepat dan berhasil, setiap orang yang terlibat
dalam pengambilan keputusan harus masuk dalam proses. Thomson and
Thomson (1985) mendaftarkan 3 (tiga) hal yang sangat spesifik namun
terintegrasi dalam perencanaan, yaitu :
1. Tentukan tujuan dari treatment.
2. Identifikasi pembuat keputusan
3. Daftarkan dan beri bobot seluruh opsi / pilihan.
c. Implementasi
Selama implementasi, klien/keluarganya yang menjadi pengambil keputusan
beserta anggota tim kesehatan terlibat mencari kesepakatan putusan yang
dapat diterima dan saling menguntungkan. Harus terjadi komunikasi terbuka
dan kadang diperlukan bernegosiasi. Peran perawat selama implementasi
adalah menjaga agar komunikasi tak memburuk, karena dilema etis
seringkali menimbulkan efek emosional seperti rasa bersalah, sedih / berduka,
marah, dan emosi kuat yang lain. Pengaruh perasaan ini dapat menyebabkan
kegagalan komunikasi pada para pengambil keputusan. Perawat harus ingat
“Saya disini untuk melakukan yang terbaik bagi klien”. Perawat harus
menyadari bahwa dalam dilema etik tak selalu ada 2 (dua) alternatif yang
menarik, tetapi kadang terdapat alternatif tak menarik, bahkan tak
mengenakkan. Sekali tercapai kesepakatan, pengambil keputusan harus
menjalankannya. Kadangkala kesepakatan tak tercapai karena semua pihak
tak dapat didamaikan dari konflik sistem dan nilai. Atau lain waktu, perawat
tak dapat menangkap perhatian utama klien. Seringkali klien / keluarga
mengajukan permintaan yang sulit dipenuhi, dan di dalam situasi lain
permintaan klien dapat dihormati.
d. Evaluasi
Tujuan dari evaluasi adalah terselesaikannya dilema etis seperti yang
ditentukan sebagai outcome-nya. Perubahan status klien, kemungkinan
treatment medik, dan fakta sosial dapat dipakai untuk mengevaluasi ulang
situasi dan akibat treatment perlu untuk dirubah. Komunikasi diantara para
pengambil keputusan masih harus dipelihara.
Dilema etik yang sering ditemukan dalam praktek keperawatan dapat bersifat
personal ataupun profesional. Dilema menjadi sulit dipecahkan bila
memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis.
Sebagai tenaga profesional perawat kadang sulit karena keputusan yang akan
diambil keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan. Pada saat
berhadapan dengan dilema etis juga terdapat dampak emosional seperti rasa
marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional yang
harus dihadapi, ini membutuhkan kemampuan interaksi dan
komunikasi yang baik dari seorang perawat. Masalah pengambilan
keputusan dalam pemberian transplantasi ginjal juga sering menimbulkan
dilema etis karena sangat berhubungan dengan hak asasi manusia,
pertimbangan tingkat keberhasilan tindakan dan keterbatasan sumber-sumber
organ tubuh yang dapat didonorkan kepada orang lain sehingga memerlukan
pertimbangan yang matang. Oleh karena itu sebagai perawat yang berperan
sebagai konselor dan pendamping harus dapat meyakinkan klien bahwa
keputusan akhir dari komite merupakan keputusan yang terbaik.
OTONOMI PASIEN
Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) sudah diterapkan, sudah memakan 'korban' dan membawa
kasus ini sebagai kasus yang memperoleh perhatian luar biasa mulai dari
kelompok wartawan, ibu-ibu rumah tangga, kelompok pemuda, remaja bahkan
ketiga bakal capres, semuanya memberikan komentar dan opini sehingga
menjadikan kasus ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian publik dari
segala lapisan. Kali ini terjadi pada seorang ibu rumah tangga bernama Prita
Mulyasari, mantan pasien Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra
Tangerang. Pihak rumah sakit tidak memberikan keterangan yang pasti mengenai
penyakit serta rekam medis yang diperlukan pasien. Kemudian Prita Mulyasari
mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut lewat surat elektronik yang
kemudian menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak
Rumah Sakit Omni Internasional berang dan marah, dan merasa dicemarkan. Lalu
RS Omni International mengadukan Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya
Prita Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata. Kejaksaan
Negeri Tangerang telah menahan Prita Mulyasari di Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Tangerang sejak selama 21 hari karena dijerat pasal pencemaran nama
baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE). Banyak pihak yang menyayangkan penahanan Prita Mulyasari yang
dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE), karena akan mengancam kebebasan
berekspresi.
Pasal ini menyebutkan : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Beberapa pakar hukum menilai: bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah
lentur dan bersifat keranjang sampah dan multi intrepretasi. Rumusan tersebut
tidak hanya menjangkau pembuat muatan tetapi juga penyebar dan para moderator
milis, maupun individu yang melakukan forward ke alamat tertentu. Kasus ini
juga akan membawa preseden buruk dan membuat masyarakat takut
menyampaikan pendapat atau komentarnya di ranah dunia maya. Pasal 27 ayat 3
ini yang juga sering disebut pasal karet, memiliki sanksi denda hingga Rp. 1
miliar dan penjara hingga enam tahun. Banyak masyarakat kemudian mulai
ketakutan mengemukakan pendapat dan tulisan mereka di dunia maya, karena
pada kasus Prita Mulyasari ini yang semula niatnya hanya curhat malah kemudian
digugat. Padahal setiap warga Negara berhak berserikat berkumpul dan
mengeluarkan pendapat diatur dalam UUD 45, dan sebagai konsumen dilindungi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Namun demikian tidak banyak yang membicarakan tentang kedalaman
perspektif etik dan hukum kesehatan kasus Prita Mulyasari ini. Apakah ada
perspektif yang lain bila kasus ini dibedah dari kacamata etik dan hukum
kesehatan?
Hubungan antara dokter sebagai professional dengan pasien sebagai klien,
dari pendekatan hukum adalah hubungan kontraktual dimana keterikatannya
dinamakan kontrak terapetik atau kontrak medis. Dalam kontrak terapetik ini
medikpun tidak tertulis dokter berjanji akan memberikan asuhan medis kepada
pasiennya dan pasien akan berjanji mematuhi instruksi medis dari dokter. Kontrak
terapetik ini membawa konsekwensi pengakuan hak, kewajiban, dan tanggung
jawab masing-masing pihak oleh pihak yang lain.
Di Indonesia hak-hak pasien ditetapkan dalam Undang-Undang No.23
Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang itu berbunyi "
Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi dan menghormati hak pasien" . Penjelasan pasal itu mengatakan,
bahwa yang dimaksud dengan hak pasien adalah: hak informasi, hak untuk
memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat
kedua. Dokter mempunyai kewajiban hukum untuk membuka informasi kepada
pasiennya, sehingga pihak pasien dapat melakukan pilihan pengobatan dan
persetujuan yang tepat. Hubungan dokter pasien sekarang ini sudah mulai
mengalami pergeseran. Sejak awal pertengahan kedua abad ke-20, mulai terjadi
banyak perubahan dalam pola hubungan dokter pasien. Paternalisme dokter mulai
menurun, sedangkan sebaliknya otonomi pasien makin meningkat. Otonomi
pasien adalah hak untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri tentang
masalah yang menyangkut kesehatannya sehingga pasien mempunyai hak
memperoleh informasi yang sejujur-jujurnya dari dokter yang merawat Dalam hal
memberikan informasi kepada pasien terdapat standar umum yang dapat
digunakan oleh dokter untuk menentukan seberapa jauh suatu informasi wajib
dibuka kepada pasiennya misalnya berdasarkan pada standar professional yaitu
apa yang sebenarnya ingin dokter sampaikan kepada pasien, kedua adalah standar
objektif yaitu apa yang pasien ingin ketahui tentang penyakitnya, dan ketiga
adalah standar subjektif yaitu apa yang orang banyak ingin ketahui tentang
penyakit tersebut.
Pada kasus Prita Mulyasari ini pasien merasa tidak mendapat informasi
yang jelas dan jujur dari dokter yang merawatnya, ini dilihat ketika Prita
Mulyasari meminta hasil laboratorium tentang trombosit yang dikatakan oleh
dokter sebanyak 27.000 tersebut, yang pada kenyataannya hasil tersebut tidak
pernah ada karena tidak pernah di print out, sedangkan dokter jaga sudah terlanjur
melepas hasil tersebut kepada pasien walaupun belum diperoleh hasil yang
sebenarnya. Pihak rumah sakit mengatakan bahwa darah Prita menggumpal
sehingga hasil laboratorium trombositnya tidak valid, sehingga keesokan harinya
diulang kembali dan didapatkan hasil trombosit 118.000.
Masalahnya rumah sakit tidak pernah jujur dan terbuka dalam memberikan
informasi kepada pasiennya hingga disalahartikan oleh pasien bahwa rumah sakit
tidak mau memberikan hasil laboratorium darahnya, seperti diketahui bahwa hasil
laboratorium yang berasal dari cairan biologis pasien adalah hak pasien 100% dan
pasien berhak memperoleh hasilnya. Keesokan harinya, dokter berinisial H yang
merawat Prita menginformasikan ada revisi hasil laboratorium. Yaitu jumlah
trombosit 181 ribu, bukan 27 ribu. Prita kaget dan menanyakan soal revisi. Tapi,
dokter malah menginstruksikan perawat memberi sejumlah suntikan. Selama
beberapa hari diberi berbagai suntikan, badan prita membengkak. Prita akhirnya
diberitahukan terkena virus udara dan kembali disuntik meski kedua tangannya
bengkak. Tapi, pihak rumah sakit tak juga menjelaskan nama penyakit yang
diderita Prita. Prita pun kesal dan menceritakan pengalaman buruknya itu pada
temannya di milis dan kemudian menyebar dengan cepat dan terbaca oleh pihak
rumah sakit yang merawatnya, sementara pihak rumah sakit beserta dokter
menganggap bahwa keluhan prita sebagai pencemaran nama baik sesuai dengan
pasal 310 dan 311 KUHP tentang Penghinaan, ditambah lagi dengan adanya UU
ITE maka Prita Mulyasari dijerat dengan pasal 27 ayat 3 sebagaimana tertulis
diatas.
Kembali ke pokok permasalahan tentang hubungan dokter pasien, apakah
ketika Prita Mulyasari dipanggil dan diberi penjelasan tentang keluhannya terjadi
komunikasi yang baik antara dokter dan pasien? Siapa sebenarnya yang
menerangkan kepada pasien bahwa keluhannya sudah ditanggapi? Dokter yang
bersangkutan atau dari pihak humas rumah sakit, dan apakah kemudian informasi
yang diberikan sudah sejujur-jujurnya dan telah membuat pasien merasa puas?
Maka timbul pertanyaan lagi bila pasien merasa puas mengapa harus menulis
keluhannya di milis? Dapat ditarik kesimpulan bahwa ada gap yang lebar antara
hubungan dokter dan pasien terutama dalam pelepasan informasi yang menjadi
hak pasien dan adanya kesalahan dalam manajemen keluhan pelanggan dalam hal
ini adalah pasien, sehingga keluhan pasien yang seharusnya ditanggapi dengan
positif malah dianggap sebagi pencemaran nama baik. Dengan kata lain RS Omni
International gagal menangani keluhan pasiennya dengan elegan.
Soal dokter tidak memberikan keterangan obat yang disuntikan merupakan
etika komunikasi yang kerap menjadi bagian terlemah staf medis kepada pasien.
Dalam PERMENKES NOMOR 290/MENKES/PER/III/2008 Persetujuan
tindakan kedokteran dalam pasal 1 ditulis bahwa Persetujuan tindakan kedokteran
adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah
mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Sedangkan di dalam pasal 3
ayat 1, setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan, dan ayat 2, tindakan kedokteran yang tidak termasuk
dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan
persetujuan lisan. Juga pasal 7 ayat 1, penjelasan tentang tindakan kedokteran
harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta
maupun tidak diminta.
Patient Safety atau Keselamatan Pasien adalah visi dan misi dari banyak
rumah sakit yang ada sekarang ini. Keselamatan pasien ini mempunyai fokus
mendorong terbentuknya kepemimpinan dan budaya RS yang mencakup
keselamatan pasien dan peningkatan mutu pelayanan, mengembangkan standar
pedoman keselamatan pasien berbasis riset dan pengetahuan, dan bekerja sama
dengan berbagai lembaga yang bertujuan meningkatkan keselamatan pasien dan
mutu pelayanan RS. Secara mudah dikatakan bahwa bila dokter atau rumah sakit
ingin selamat maka pasien harus diselamatkan lebih dahulu. Penelitian di Amerika
Serikat menunjukkan 180.000 pasien meninggal setiap tahunnya sebagai akibat
medical errors, ini setara dengan 3 pesawat Jumbo jet mengalami kecelakaan
setiap tahunnya. Data dokter yang lalai dan menyebabkan kerugian digugat
sebanyak 3 dari 100 orang dokter sedangkan dokter yang tidak lalai dan digugat
adalah 113 dari 10.000 orang. Menurut data 28% dikarenakan diagnose yang
salah, 27 % adalah surgical errors dan 26% untuk penanganan perawatan medis
(obat reaksi, kesalahan anestesi, kelahiran cedera), hampir semua kesalahan ini
disebabkan oleh hubungan dokter pasien yang tidak baik.
Kasus Prita Mulyasari bukanlah kasus dimana pasien menuntut dokter
akan tetapi adalah kasus pertama di Indonesia dimana dokter menuntut kepada
pasiennya. Masalah yang timbul adalah apakah etik seorang dokter menuntut
pasien yang seharusnya ditolong? Apakah ada problem etik dan disiplin pada
kasus ini? Seperti diketahui Pasal 2 KODEKI: Seorang dokter harus senantiasa
melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi, Pasal 7 KODEKI: Seorang
dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yg telah dibuktikan
kebenarannya, maka pada kasus Prita Mulyasari ini dimana dokter memberikan
hasil laboratorium yang belum pasti itu dapat dikenakan pelanggaran KODEKI
pasal 2, dan 7.
Apa kemudian dampaknya bila kasus ini dimenangkan oleh pihak dokter
dan rumah sakit? Maka rumah sakit hanya menang di mata pengadilan dan akan
kalah dimata publik sehingga pasien tidak akan berobat ke rumah sakit yang akan
memenjarakan pasiennya. Seharusnya keluhan pasien ini ditanggapi positif dan
diselesaikan secara bijak oleh dokter dan rumah sakit dengan cerdas hukum dan
pendekatan yang baik kepada pasien. Bisa dibayangkan bila semua rumah sakit di
Indonesia seperti RS Omni International ini maka tidak dapat disalahkan bila
pasien kita berobat ke Ponari, Singapore atau Malaysia.
SIKAP TERHADAP KEMATIAN
Perawat dituntut untuk bertanggung jawab dalam setiap tindakannya
khususnya selama melaksanakan tugas di rumah sakit, puskesmas, panti, klinik
atau masyarakat. Meskipun tidakdalam rangka tugas atau tidak sedang
meklaksanakan dinas, perawat dituntut untuk bertangungjawab dalam tugas-tugas
yang melekat dalam diri perawat. Perawat memiliki peran dan fungsiyang sudah
disepakati. Perawat sudah berjanji dengan sumpah perawat bahwa ia akan
senantiasamelaksanakan tugas-tugasnya. Contoh bentuk tanggung jawab perawat
selama dinas; mengenal kondisi kliennya,melakukan operan, memberikan
perawatan selama jam dinas, tanggung jawab dalammendokumentasikan,
bertanggungjawab dalam menjaga keselamatan klien, jumlah klien yangsesuai
dengan catatan dan pengawasannya, kadang-kadang ada klien pulang paksa atau
pulangtanpa pemberitahuan, bertanggung jawab bila ada klien tiba-tiba tensinya
drop tanpa sepengetahuan perawat.
Tanggung jawab perawat erat kaitanya dengan tugas-tugas perawat. Tugas
perawat secara umum adalah memenuhi kebutuhan dasar. Peran penting perawat
adalah memberikan pelayananperawatan (care) atau memberikan perawatan
(caring). Tugas perawat bukan untuk mengobati(cure). Dalam pelaksanaan tugas
di lapangan adakalanya perawat melakukan tugas dari profesi lain seperti dokter,
farmasi, ahli gizi, atau fisioterapi. Untuk tugas-tugas yang bukan tugas
perwatseperti pemberian obat maka tanggung jawab tersebut seringkali dikaitkan
dengan siapa yang memberikan tugas tersebut atau dengan siapa ia berkolaborasi.
Dalam kasus kesalahan pemberian obat maka perawat harus turut bertanggung-
jawab, meskipun tanggung jawab utama ada pada pemberi tugas atau atasan
perawat, dalam istilah etika dikenal dengan Respondeath Superior.Istilah tersebut
merujuk pada tanggung jawab atasan terhadap perilaku salah yang dibuat
bawahannya sebagai akibat dari kesalahan dalam pendelegasian. Sebelum
melakukan pendelegasian seorang pimpinan atau ketua tim yang ditunjuk
misalnya dokter harus melihat pendidikan, skill, loyalitas, pengalaman dan
kompetensi perawat agar tidak melakukan kesalahan dan bisa bertanggung jawab
bila salah melaksanakan pendelegasian.
Dalam pandangan Etika penting sekali memahami tugas perawat agar
mampu memahamitanggung jawabnya. Perawat perlu memahami konsep
kebutuhan dasar manusia. Konsep Kebutuhan dasar yang paling terkenal salah
satunya menurut Maslow sebagai berikut : etika keperawatan perawat memilki
tanggung jawab (responsibility) terhadap-tugas tugasnya terutama keharusan
memandang manusia sebagai mahluk yang utuh dan unik. Utuh artinya memiliki
kebutuhan dasar yang kompleks dan saling berkaitan antara kebutuhan satu
dengan lainnya, unik artinya setiap individu bersipat khas dan tidak bisa
disamakan dengan individu lainnya sehingga memerlukan pendekatan khusus
kasus per kasus, karena klien memiliki riwayat kelahiran, riwayat masa anak,
pendidikan, hobby, pola asuh, lingkungan, pengalaman traumatik, dan cita-cita
yang berbeda. Kemampuan perawat memahami riwayat hidup klien yang berbeda-
beda dikenal dengan Ability to know Life span History dan kemampuan perawat
dalam memandang individu dalam rentang yang panjang dan berlainan dikenal
dengan Holistic.
TANGGUNG GUGAT (ACCOUNTABILITY)
Akontabiliti dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam
membuat suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu konsekuensi-
konsekunsinya. Perawat hendaknya memiliki tanggung gugat artinya bila ada
pihak yang menggugat ia menyatakan siap dan berani menghadapinya. Terutama
yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan profesinya. Perawat harus.
1. Determination of clinical death (perkiraan kematian klinis)
Masalah etik yang sering terjadi adalah penentuan meninggalnya
seseorang secara klinis. Banyak kontroversi cirri-ciri dalam menentukan mati
klinis. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan organorgan klien yang dianggap
sudah meninggal secra klinis. Menurut rosdahl (1999), kriteria kematian
klinis (brain death) di beberapa Negara Amerika ditentukan sebagai berikut :
a. Penghentian nafas setlah berhentinya pernafasan artifisalselama 3 menit
(inspirasi-ekspiorsai)
b. Berhentinya denyut jantung tanpa stikulus eksternal
c. Tidak ada respon verbal dan non verbal terhadap sti,ulus eksternal
d. Hilangnya refleks-refleks (cephalic reflexes)
e. Pupil dilatasi
f. Hilangnya fungsi seluruh otak yang bisa dibuktikan dengan EEG
2. Quality of Life (kualitas dalam kehidupan)
Masalah kulitas kehidupan sering kali menjadi masalah etik. Hal ini
mendasari tim kesehtan untuk mengambil keputusan etis. Apakah seorang
klien harus mendapatkan intervensi atau tidak. Sebagai contoh bagaiamana
bila di suatu tempat tidak ada donor yang bersedia dan tidak ada tenaga ahli
yang dapat memberikan tindakan tertentu? Siapa yang berhak memutuskan
tindakan keperawatan pada klien yang mengalami koma. Siapa boleh
memutuskan untuk menghentikan resusitasi? Beberapa hal berikut dapat
dijadikan pertimbngan misalnya apabila klien sudah memapu untk bekerja,
apabila klien sudah berfungsi secra fisik, berdasarkan usia, berdasarkan
mafaat terhadap masyarakat, berdasarkan kepuasaan atau kegembiraan klien,
kemaampuan untuk menolong dirinya sendiri, pendapat keluarga klien
terdekat atau penaggung jawab klien.
Contoh kasus apakah klien TBC tetap klita Bantu untuk minum obat
padahal ia masih mampu untuk bekerja? kalau ada dua klien bersamaan yang
membutuhkan satu alat siapa yang didahulukan ? Apabila banyak klien lain
membutuhkan alat tetapi alat tersebut sedang digunakan oleh klien orang
kaya yang tidak ada harapan sembuh apa yang harus dilakukan perawat ?
apabila klien kanker merasa gembira untuk tidak meneruskan pengobatan
bagaiaman sikap perawat? Bila klien harus segera amputasi tetapi klien tidak
sadar siapakah yang harus memutuskan?
3. Ethical issues in treatment (isu masalah etik dalam tindakan keperawatan)
Apabila ada tindakan yang membutuhkan biaya besar apakah tindakan
tersebut tetap dilakukan meslipun klien tersebut tidak mampu dan tidak mau ?
apabila tim kesehatan yang memutuskan maka hal ini dikenal dengan mencari
keuntungan atau berbuat kerusakan (Beneficience), Apabila klien yang
memutuskan maka hal ini mungkin termasuk hak otonomi klien (autonomy),
dapatkah klien menolak sesuatu. Masalah-masalah etik yang sering muncul
seperti :
a. Klien menolak pengobatan atau tindakan yang direkomendasikan (refusal
of treatment) misalnya menolak fototerapi, menolak operasi, menolak
NGT, menolak dipasang kateter
b. Klien menghentikan pengobatan yang sedang berlangsung (withdrawl of
treatment)misalnya DO berobat pada TBC, DO kemoterapi pada kanker
c. Witholding treatment misalnya menunda pengobatan karena tidak akada
donor atau keluarga menolak misalnya transplantasi ginjal aatau cangkok
jantung.
Euthanasia (masalah mengakhiri kehidupan dengan maksud menolong)
Euthanasia sering disebut dengan “Mercy Killing” yang diartikan sebagai
sutu cara mengambil kehidupan klien untuk menghentikan penderitaan yang
dihadapi klien tersebut. Hal ini dapat pula diartikan sebagai proses pengunduran
diri atau menghentikan intervensi tertentu dalam keadaan kritis dengan maksud
untuk mengurangi penderitaan klien. Terminology lain yang digunakan adalah
“assited suicide” dimana pandangan hokum di Negara barat terhadap kasus ini
berbeda-beda. Di Indonesia euthanasia Killing mutlak tidak diperbolehkan dengan
alas an apapun. Sebenaranya dalam pandangan etika normatif, kelahiran,
kematian, jodoh, rezeki adalah ketetapan Allah. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-Baqarah (2) : 28 “Mengapa kamu ingkar kepada Allah,
padahal kamu tadinya benda mati, lalu Allah menghidupkanmu, kemudian kamu
dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, selanjutnya kepada-Nya lah kamu
dikembalikan”
As-Sajdah (32) : 9 “Lalu disempurnakan-Nya kejadiannya, ditiupkan-Nya
ruh ciptaan-Nya kepada tubuh dan dilengkapi-Nya kamu dengan pendengaran,
penglihatan dan pemikiran. Namun sedikit sekali kamu yang bersyukur”
Dalam pandangan etika normative, Masalah kematian dan hidup manusia
telah diprogram oleh Allah. Manusia asalnya segumpal darah kemudian berubah
sebagai janin hidup dalam kandungan ibu sampai mencapai waktu lahir (36/37
minggu). Kemudian Allah menetapkan kelahirannya.Selanjutnya dipelihara dan
dibesarkan (diberi rizki) oleh Allah, ditetapkan jodohnya menjadi orang tua
menuju kematian. Melakukan bunuh diri atau mengakhiri hidup di luar ketentuan
Allah adalah dosa besar yang bertentangan dengan etika formal dan etika
normatif.
PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIK DALAM KEMAJUAN
BIOTEKNOLOGI
Akhir tahun 2002 dunia kesehatan dan ilmu pengetahuan dihebohkan oleh
klaim Clonaid, badan usaha milik kelompok keagamaan Raelian di Kanada bahwa
mereka berhasil melakukan klon seorang manusia.
Bayi yang sudah dilahirkan oleh ibunya itu diberi nama kode Eve, diklaim
berasal dari inti sel kulit sang ibu. Jadi, inti sel ibunya diisolasi, lalu dimasukkan
ke sel telur sang ibu yang inti selnya sudah diambil. Di dalam inti sel terletak
semua informasi genetik makhluk hidup. Proses selanjutnya adalah seperti proses
bayi tabung yang sudah lebih dari tiga puluh tahun dilakukan. Sel telur yang
sudah berisi informasi genetik itu dimasukkan ke dalam rahim dan tumbuh besar
menjadi janin di dalam rahim ibunya. Bayi Eve akan menjadi sangat mirip seperti
ibunya.
Itu yang akan terjadi bila klaim yang diajukan CEO Clonaid Brigitte
Boisselier bukan sekadar sensasi. Masalahnya, pemimpin kelompok Raelian yang
menyebut dirinya Rael, sampai akhir pekan lalu menolak melakukan tes DNA
(asam deoksiribonukleat yang merupakan penyusun materi genetik) pada bayi Eve
untuk membuktikan bahwa Eve adalah benar kopi dari ibunya.
Dalam acara Crossfire di jaringan televisi kabel CNN Rael mengatakan dia
telah berbicara dengan Boisselier bahwa bila ada risiko bayi Eve akan diambil
dari keluarganya, lebih baik Boisselier kehilangan kredibilitas (dengan tidak
melakukan tes DNA). Rael mengatakan, dia mengambil keputusan itu setelah
hakim di Florida menandatangani surat yang mengharuskan bayi Eve diambil dari
keluarganya, dari ibunya, untuk membuktikan klaim bahwa Eve lahir melalui
proses kloning. Clonaid mengadakan jumpa pers di Hollywood, Florida,
mengumumkan kelahiran Eve dan seorang pengacara dari Florida, Bernard F
Siegel, meminta Pengadilan Florida agar memerintahkan bayi itu diserahkan
kepada negara bila ada indikasi keselamatannya terancam.
Clonaid yang didirikan anggota gerakan Raelian yang mempercayai bahwa
manusia adalah ciptaan makhluk di luar Bumi (extraterrestrial) mengatakan Eve
lahir tanggal 26 Desember di luar Amerika, dan akan tiba di Amerika Serikat pada
hari Senin pekan lalu. Clonaid mengatakan bahwa Eve lahir dari seorang ibu
Amerika berusia 31 tahun yang baik sang ibu maupun suaminya tidak subur.
Apakah bayi Eve benar-benar ada atau hanya karangan gerakan Raelian,
sampai sekarang masih belum bisa dibuktikan. Tetapi, hal ini membangkitkan
kembali perdebatan mengenai masalah etik yang sudah dipicu sejak kelahiran
domba Dolly tahun 1997.
Bila proses kloning pada tanaman sudah berpuluh tahun lebih awal
berhasil dilakukan dan telah mencapai tahapan komersial, kloning pada hewan
menimbulkan pertanyaan etis akan sampai di mana batas penggunaan ilmu
pengetahuan bila kemudian kloning terjadi pada manusia. Persoalannya, bila
ternyata bayi kloning mengalami cacat atau kekurangan yang disebabkan proses
kloning, apa yang akan dilakukan pada bayi manusia itu. Bila terjadi pada
tanaman, tanaman yang tidak memiliki sifat seperti yang diinginkan, akan dengan
mudah dimusnahkan.
Dalam dunia ilmiah, terdapat dua jenis kloning yang berbeda secara
mendasar yaitu kloning reproduktif dan kloning pengobatan.
Kloning reproduktif adalah kreasi embrio dengan menggunakan teknik
yang disebut transfer sel somatik. Dalam proses ini inti sel dari orang dewasa
dipindahkan ke sel telur yang intinya sudah diambil dengan tujuan embrio ini
akan tumbuh dan lahir menjadi bayi. Sedangkan pada kloning pengobatan, embrio
dikreasikan sama seperti proses kloning reproduktif tetapi tujuannya adalah
mengambil sel-sel tunas dari janin ini dan menghasilkan terapi medis baru untuk
penyakit-penyakit tertentu seperti parkinson.
Selain Clonaid, seorang dokter di AS dan seorang lagi dari Italia, juga
mengklaim bahwa mereka memiliki pasien yang menunggu kelahiran bayi yang
berasal dari teknik kloning.
Dr Antinori dari Italia mendapatkan reputasi internasionalnya ketika pada
tahun 1993 dia berhasil menolong seorang perempuan berusia 62 tahun hamil
melalui teknik inseminasi buatan. Sedangkan dr Panos Zavos dari AS yang tahun
lalu bersaksi di depan DPR AS menyebut bahwa kloning reproduktif adalah
sebuah teknologi yang sangat baik untuk menolong pasangan tidak subur
"menyelesaikan siklus kehidupan biologis" mereka.
Berbeda dari Clonaid yang terdaftar di Bahamas, dan yang tidak memiliki
sejarah tentang penelitian kloning yang telah mereka lakukan sebelumnya
sehingga menimbulkan rasa skeptis tentang klaim mereka, Antinori dianggap
memiliki kemampuan teknis melakukan kloning reproduktif.
Lalu dimana posisi perempuan dalam perkembangan bioteknologi yang
begitu cepat? Ibarat sebuah perjalanan, pencapaian sekarang barulah titik awal.
Hanya membicarakan kloning reproduktif saja dan mendengar klaim Clonaid,
sangat banyak kemungkinan perkembangan dan penggunaan kloning reproduktif
ini.
Menurut washingtonpost.com tanggal 28 Desember 2002, Boisselier
mengatakan bahwa sebetulnya ada 10 perempuan yang hamil melalui teknik
kloning, namun separuhnya mengalami keguguran spontan pada usia kehamilan
tiga minggu. Kelima kehamilan ini melalui metode kloning yang berbeda-beda,
dengan dua di antaranya menggunakan DNA yang berasal dari anak-anak yang
sudah meninggal. Keempat perempuan itu akan melahirkan bayi mereka pada
akhir bulan Januari ini atau awal Februari.
Hal yang paling menyangkut kepentingan perempuan dalam hal ini adalah
kenyataan bahwa perkembangan bioteknologi akan memungkinkan perempuan
hamil tanpa sperma. Bila klaim gerakan Raelian benar, bayi Eve sepenuhnya
berasal dari sang ibu. Materi genetik DNA diambil dari sang ibu dan sel telurnya
berasal dari ibu yang sama. Dalam sejarah gerakan perempuan, para filsuf
perempuan telah memainkan peran penting dalam pembuatan peraturan yang
berpihak kepada perempuan di banyak negara yaitu antara lain dibolehkannya
aborsi aman dengan alasan medis yang jelas.
Mereka, demikian Sophia Poca dan Rebeca Wright, juga dengan aktif ikut
dalam wacana etika yang paling penting dan menentukan saat ini yaitu penentuan
biologis, perbedaan jender, hak-hak anak-anak, etika lingkungan, etika ilmu
pengetahuan, dan embriologi.
Mereka mempertanyakan apakah seorang perempuan yang telah memasuki
usia post-menopaus memiliki hak untuk hamil, seperti yang dialami oleh
perempuan berusia 62 tahun yang berhasil hamil melalui inseminasi buatan
dengan bentuan dr Antinori.
Pertanyaan-pertanyaan lain pun menyusul bermunculan seperti apakah
sebaiknya perempuan memiliki hak untuk mengklon dirinya sendiri bila dia dan
pasangan hidupnya tidak subur. Sejauh ini sudah 12 negara yang melarang proses
kloning reproduktif, sementara Amerika Serikat masih berdebat soal ini. Usulan
untuk melarang kloning reproduktif ditolak Senat dan klaim Clonaid
membangkitkan lagi desakan kepada Senat untuk menyetujui usulan pelarangan
kloning reproduktif yang pasti akan berseberangan dengan kepentingan industri
bioteknologi yang investasinya jutaan dollar AS.
Pertanyaan paling penting berikutnya adalah apakah konsekuensi kloning
berarti sperma tidak lagi diperlukan untuk prokreasi melahirkan manusia baru.
Hal ini pada akhirnya akan membuat tamatnya spesies laki-laki di dalam proses
evolusi.
Pada masa mendatang-yang sudah tidak terlalu lama lagi-tuntutan filosofi
untuk menjawab dilema etis akan semakin bertambah, seiring dengan masuknya
rekayasa genetika dalam kehidupan kita sehari-hari. Hambatan biologis pada
perempuan untuk terjadinya prokreasi sudah berbeda, dan kini etika fertilisasi dan
kloning manusia telah menjadi perdebatan ideologis dan moral. PERSOALAN
yang sebenarnya juga telah muncul dalam gerakan perempuan dan telah
menimbulkan perbedaan pandangan di antara para aktivis maupun filsuf
perempuan adalah apakah menjadi ibu adalah sebuah tugas seorang perempuan
ataukah seorang perempuan merasa hidupnya belum sempurna bila belum
melahirkan anak sebagai sebuah konstruksi sosial. Perdebatan lebih lanjut adalah
apakah seorang perempuan yang hamil dan melahirkan seorang anak wajib
mengasuh anak yang dia lahirkan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut lahir sejalan dengan berkembangnya
teknologi kedokteran yang melahirkan bayi tabung yang kemudian memunculkan
perempuan-perempuan yang bersedia memberikan rahimnya untuk ditempati sel
telur yang telah dibuahi milik pasangan suami-istri yang tidak dia ketahui
identitasnya. Bahkan, pertanyaan yang lebih kritis lagi adalah apakah etis seorang
perempuan menyewakan rahimnya secara komersial?
Namun, kemampuan perempuan untuk hamil dengan rahimnya yang
kompleks dan memiliki segala peralatan untuk membesarkan seorang bakal
manusia dari sel telur yang telah memiliki inti sel dewasa, juga dipandang sebagai
sebuah kekuatan perempuan.
Adrienne Rich, misalnya, seperti dikutip Rosemarie Putnam Tong
(Feminist Thought, A More Comprehensive Introduction, 1988) ada beda besar
antara seorang perempuan yang membuat keputusan independen tentang siapa
yang akan menjadi sumber materi genetik anak yang akan dilahirkannya,
bagaimana, kapan, dan di mana dia akan menjadi ibu, dibandingkan bila
keputusan itu bukan ditentukan oleh dirinya secara sadar dan independen.
Meskipun pada satu sisi teknologi kedokteran akan memberi perempuan
kebebasan untuk menentukan tujuan biologisnya, namun hal ini bukan tidak
mungkin akan membuat perempuan menjadi semacam bagian dari alat produksi
yang kontrolnya bukan di tangan perempuan. Genea Corea, misalnya,
membayangkan seorang perempuan yang secara genetika superior akan menjadi
donor bayi tabung, seorang perempuan lain yang kuat akan membesarkan embrio
tersebut di dalam rahimnya, dan perempuan yang dipandang memiliki
temperamen penyabar akan disewa untuk mengasuh bayi yang dilahirkan.
Di sini, sekali lagi terjadi pembagian kerja. Bedanya dengan pembagian
kerja berdasarkan teori Marx, pembagian kerja ini berdasarkan "kelas" biologis
perempuan. Sungguh sebuah tantangan ilmu pengetahuan yang harus dijawab, dan
perempuan bisa memberikan sumbangan pemikirannya karena dia adalah pemilik
rahim yang menyemai kehidupa
DAFTAR PUSTAKA
Jaringan Epidemiologi Nasional. (1995). AIDS dan Hukum / Etika. Seri
Monogragi No:05. Jakarta : Jaringan Epidemi Nasional bekerja sama
dengan The Ford Foundation.
Jaringan Epidemiologi Nasional. (1995). AIDS dan Hukum / Etika. Seri 3
Barbara kozier, 1983, Fundamental of nursing.
Cholil Uman, 1994, Agama menjawab tentang berbagai masalah Abad modern,
Surabaya : Ampel Suci