METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Disusun oleh:
M. Iqbalut Taufiq NIM: 109033100031
PROGRAM STUDI AQIDAH FALSAFAH
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H / 2014 M
Abstrak
Permasalahan tentang metafisika akan tetap berlanjut selama masih ada kehidupan di alam ini, karena permasalah ini tanpa disadari ternyata menjadikan sebuah kebutuhan bagi manusia untuk memahami dengan sungguh-sungguh hakikat yang ada. Perjalanan hidup seseorang dapat terarah, apabila dalam diri seseorang tersebut menyadari bahwa dalam metafisika terdapat sebuah ilmu pengetahuan yang merupakan usaha sistematis, reflektif, dan menyeluruh dalam mencari kebenaran yang ada yang terletak di belakang hal-hal yang fisik. Sehingga pembahasan yang dikhususkan mengenai metafisika di sini adalah kajian yang berhubungan dengan sifat kekekalan alam serta kajian yang berada di luar alam fisika (wujûd Tuhan). Seiring dengan perkembangan zaman, problem alam metafisika semakin luas pembahasannya, mulai dari filosof Yunani sampai filosof muslim mengeluarkan argumen dan pemikiran-pemikirannya yang bertujuan untuk dapat menjelaskan dan memahami dunia metafisika. Mayoritas para filosof, untuk memahami dan menjelaskan alam metafisika itu tidak dapat dipisahkan dengan yang namanya alam fisik karena adanya suatu yang berwujûd pasti ada yang menciptakan. Permasalahan wujûd yang akan dimunculkan yaitu penjelasan dan pembagian wujûd Tuhan menurut al-Fârâbî. Pandangan tentang wujûd menurut al-Fârâbî khususnya tentang pembuktian wujûd dengan membagi akal pertama sampai akal sepuluh, sama halnya dengan pandangan wujûd menurut Neo-Platonis yang menyatakan bahwa alam ini berasal dari wujûd yang perama yang dari wujûd pertama tersebut melahirkan wujûd-wujûd yang lainnya. Berbeda dengan tokoh yang diambil dalam penulisan ini, yaitu al-Ghazâlî seorang tokoh peletak dasar filosofis pertama kali teori iluminasionis (Pengetahuan tentang Tuhan) yang memberikan penjelasan dan gambaran bahwa wujûd Tuhan merupakan wujûd yang Esa (Tunggal) yang keberadaan wujûd nya tidak disebabkan oleh adanya wujûd yang lain, selain itu adanya wujûd Tuhan menjadikan sebab adanya wujûd yang lain. Hal ini dijelaskan dalam karya-karya al-Ghazâlî diantaranya yaitu; Tahâfut al-Falâsifah, Al-Munqîdz min al-Dlalâl dan Maqâsid al-falâsifah.
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN..............................................................................i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN..................................................................iii ABSTRAK.........................................................................................................iv PEDOMAN TRANSLITERASI......................................................................v KATA PENGANTAR.......................................................................................vi DAFTAR ISI......................................................................................................vii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................8
C. Tinjauan Pustaka....................................................................9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................10
E. Metode Penelitian.................................................................11
F. Sistematik Penulisan.............................................................12
BAB II BIOGRAFI AL-GHAZÂLÎ A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan..........................14
B. Karya Tulis..........................................................................20
C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran.............................22
BAB III METAFISIKA
A. Pengertian Metafisika..........................................................28
B. Sejarah Perkembangan Metafisika......................................29
C. Metafisika Dalam Pandangan Filosof................................37
BAB IV PANDANGAN AL-GHAZÂLÎ TENTANG METAFISIKA
DALAM KONSEP FALSAFAH
A. Penciptaan Alam..................................................................41
B. Wujûd Tuhan......................................................................49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................65
B. Saran....................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA PEDOMAN TRANSLITERASI
f = ف a = ا
q = ق b = ب
k = ك t = ت
l = ل ts = ث
m = م j = ج
n = ن ẖ = ح
w = و kh = خ
h = ه d = د
ˊ = ء dz = ذ
y = ى r = ر
z = ز
s Untuk Madd dan Diftong = س
â = آ sy = ش
î = ٳى s = ص
û = ٲو ḏ = ض
aw = ٲو ṯ = ط
ay = ٲى ẕ = ظ
ʻ = ع
gh = غ
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai sebuah disiplin filsafat, permasalahan metafisika telah dimulai
sejak zaman Yunani kuno, dari filosof-filosof yang membicarakan alam sampai
Aristoteles (284-322 SM). Aristoteles sendiri tidak pernah memakai istilah
”metafisika” tetapi, Aristoteles menyebutnya dengan sebutan filsafat pertama
yaitu suatu disiplin ilmu yang mengkaji hal-hal yang sifatnya di luar fisika, hal
tersebut bertujuan untuk membedakan antara ilmu metafisika dengan ilmu logika,
matematika, fisika, kimia dan lain-lain. Fisika merupakan ilmu yang membahas
berbagai fenomena alam yang memiliki sifat bergerak dan berubah.1 Sedangkan
istilah metafisika yang kita kenal sekarang, berasal dari bahasa Yunani yaitu ta
meta ta physika yang artinya “yang datang setelah fisika”, istilah tersebut
pertamakali diberikan oleh Andronikos dari Rhodos (70 SM) terhadap karya-
karya Aristoteles yang disusun sesudah (meta) buku fisika.2
Pada zaman modern ini, permasalahan tentang metafisika akan tetap
berlanjut, karena dalam diri manusia memiliki fitrah untuk mengetahui hakekat
yang ada di alam ini. Apabila dalam diri manusia tidak menyadari fitrahnya yaitu
sebagai ciptaan yang diciptakan oleh Tuhan, maka manusia tersebut tidak
memiliki keyakinan terhadap Tuhan, sehingga timbul dalam dirinya paham
1 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam: Memahami Alur
Perdebatan Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), h.6. 2 Loren Bagus, Matafisika (Jakarta: Gramedia, 1991), h. 18.
2
atheisme atau tidak percaya kepada adanya Tuhan. Paham tidak percaya terhadap
Tuhan akan menimbulkan keadaan jiwa yang tidak tetap, seperti kegundahan hati,
kebingungan, tidak tenang dan tidak mendapatkan kebahagian dalam hidup,
sehingga menyebabkan semakin jauhnya manusia dari Tuhannya. Selain itu,
penyebab kekeringan spritual seseorang antara lain dapat dideteksi melalui
fenomena kehidupan manusia yang terus dihadapkan pada situasi kepentingannya
sendiri.
Pandangan al-Ghazâlî terhadap metafiska sangatlah luas pembahasannya,
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam karya-karya al-Ghazâlî yang berjudul
Tahâfut al-Falâsifah dan Al-Munqîdz min al-Dlalâl. Di antara pembahasannya
yaitu mengenai pengetahuan Tuhan, bahwa pengetahuan tuhan hanya mengetahui
yang particular (juzˊiyyât), tentang jiwa yang mempersoalkan sifat jiwa itu sendiri,
apakah jiwa bersifat benda atau bukan, selain itu, membahas juga tentang
pembangkitan jasad di hari akhir dan lain-lain.3 Akan tetapi, mengenai pandangan
al-Ghazâlî tentang metafisika yang dijadikan judul dalam skripsi ini, penulis
hanya memfokuskan pembahasan kepada dua permasalahan yaitu:
1. Penciptaan Alam
Al-Ghazâlî memberikan pandangannya tentang metafisika, yang dimulai
dari sebuah keyakinan para filosof yang menyatakan bahwa adanya alam itu
bersifat kekal.4 Permasalahan yang muncul mengenai penciptaan alam adalah
pemikiran tentang sifat kekalnya alam yang berkaitan dengan pencipta, kehendak,
3 Al-Ghazâlî,Tahâfut al-Falâsifah (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), h 12. 4 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 83.
3
pengetahuan Tuhan tentang yang hanya mengetahui hal-hal terperinci (partikular)
serta hubungan alam dengan ruang dan waktu.
Menurut pandangan al-Ghazâlî bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada
yang bersifat hadîts atau tidak kekal yang mengharuskan adanya pencipta.5
Berbeda dengan filosof lain yang mendukung pernyataan bahwa alam kekal
seperti Ibn Sinâ. Menurut Ibn Sinâ alam ini kekal karena terpancar dari akal
pertama yang bersumber dari yang kekal yaitu Tuhan. Pernyataan tersebut
menjadi perbedaan pendapat dikalangan para filosof yang terdahulu maupun
kemudian, sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan bahwa apakah yang menjadi
alasan dan bukti bahwa alam itu kekal?,6 dan apakah ada pembuktian secara
rasional tentang kekekalan alam?. Kemudian yang menjadi alasan mengapa
kekekalan alam bukan hanya pembahasan fisika tetapi kepada metafisika, karena
pembahasan tentang alam yang dimulai dari masa Helenisme sejak 4 SM sampai
masa kebangkitan Islam 6-13 M, tidak lagi mempertanyakan asal mula terjadinya
alam berbentuk fisik, tetapi pembahasan alam telah berkembang pembahasannya
kearah non fisik. Artinya sebuah pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dengan
panca indera, seperti pertanyaan alam yang dikaitkan dengan pencipta, kehendak,
sifat dan lain-lain.7
Kemudian permasalahan lain mengenai alam yaitu berkaitan dengan
pengetahuan Tuhan, bahwa Tuhan hanya mengetahui perician dari apa-apa yang
5 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 84. 6 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, terj. Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka,1984), h.15. 7 Al-Ghazâlî, Al-Munqîdz min al-Dlalâl Setitik Cahaya Dalam Kegelapan (akhir
pergolakan Intelektual Sang Pencari Kebenaran), terj. Masyur Abadi, (Bairut: Dâr al-Kutub al-ʻImiyah , 2001), h. 135-140.
4
terjadi di alam. Usaha yang dilakukan oleh al-Ghazâlî dalam memberikan
penjelasan bahwa Tuhan mengetahui yang juzˊiyyât yang ada di alam ini, yaitu
dengan menghubungkan ayat al-Qurˊân yang terdapat dalam surat al-Hujurât ayat
16. Pembahasan selanjutnya yang dibahas oleh al-Ghazâlî ialah penciptaan alam
yang dihubungkan dengan ruang dan waktu. Dalam hal ini permasalahan yang
muncul adalah apakah adanya alam didahului dengan ruang dan waktu. Menurut
al-Ghazâlî zaman dan ruang adalah hasil imajinasi akal atau perbuatan yang hanya
menghasilkan sebuah khayalan saja, karena itu zaman dan ruang tidak merupakan
sesuatu yang pasti karena waktu dan ruang tidak memiliki wujûd sebelum alam
diciptakan.
2. Wujûd Tuhan
Pembahasan mengenai wujûd Tuhan, merupakan pembahasan yang dapat
menarik serta mendorong para filosof Yunani maupun filosof Islam untuk
mengkaji lebih dalam, karena pembahasan tentang wujûd Tuhan khususnya dalam
Islam, dijadikan sebagai dasar keyakinan (tauhîd) yang kuat untuk dapat
menjalankan ajaran-ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Di antara filosof Islam
yang mengkaji tentang wujûd Tuhan yaitu; Ibn Sinâ, Suhrawardi dan Mulla
Shadrā. Tetapi dalam hal ini, yang akan diangkat mengenai wujûd Tuhan yaitu
pandangan al-Fârâbî mengenai wujûd Tuhan itu sendiri, dengan alasan karena
penjelasan dan pandangan al-Fârâbî tentang wujûd Tuhan banyak dipertanyakan
dan diperdebatkan oleh al-Ghazâlî misalnya mengenai, apakah adanya wujûd
Tuhan disebabkan oleh wujûd yang lain?. Apa alasan al-Fârâbî membagi wujûd
kedalam dua bagian yaitu wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd?, serta
5
bagaimanakah cara al-Fârâbî membuktikan bahwa Tuhan itu memiliki wujûd yang
berbeda dengan wujûd yang lain?.
Al-Fârâbî lahir pada tahun 260-339 H di daerah Faraba, yang merupakan
daerah Persi perbatasan.8 Menurut al-Fârâbî, wujûd dan keberadaan Tuhan tidak
disebabkan oleh selain diriNya dan sifat Tuhan tidak menunjukkan adanya
bagian-bagian yang terpisah pada dzat Tuhan.9 Misalnya, seseorang boleh saja
menyebutkan nama-nama Tuhan yang terkandung dalam Asmâˊ al-Husnâ yang
diketahuinya, akan tetapi nama tersebut tidak menunjukkan bagian-bagian pada
dzat Tuhan dan sifat yang berbeda dalam diriNya. Melihat pernyataan mengenai
wujûd Tuhan menurut al-Fârâbî menimbulkan pertanyaan bagi al-Ghazâlî yaitu,
apakah antara sifat dan dzat memiliki kesamaan dalam hal eksitensi? dan apakah
dzat dalam wujûd Tuhan saling berhubungan?.
Untuk membedakan antara wujûd Tuhan dengan wujûd yang lain,
al-Fârâbî membagi wujûd dalam dua bagian yaitu, mumkin al-wujûd dan wâjib
al-wujûd. Yang dimaksud mumkin al-wujûd disini adalah alam ini yang tanpa diri
Tuhan tidak mungkin ada dalam bentuk fisik, sedangkan wâjib al-wujûd ialah jika
dilihat dari dzatNya, maka Dia wajib adanya, yakni Tuhan ada karena diriNya,
bukan karena sesuatu yang berada di luar diriNya.10 Dalam pembagian kedua
wujûd di atas, al-Ghazâlî memberikan sebuah pertanyaan, apakah antara wâjib
al-wujûd dengan mumkin al-wujûd berasal dari wujûdnya sendiri? dan apakah
8 Al-Ghazâlî, Al-Munqîdz min al-Dlalâl Setitik Cahaya Dalam Kegelapan Pergolakan
Intelektual Sang Pencari Kebenaran dalam Telaah Kritis Modern.terj. Masyhur Abadi, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2001), cet. I, h. 149.
9 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 36 10 Ahmad Syamsuddîn, Al-Fârâbî Hayâtuhu, Atsâruhu, Falsafatuhu (Bairut: Dâr al-
Kitâb al-ʻIlmiyyah, 1999), h. 132.
6
yang menjadi tujuan al-Fârâbî membagi wujûd kedalam dua bagian?. Al-Ghazâlî
memberikan pandangan bahwa, apabila wâjib al-wujûd itu berasal dari wujûd itu
sendiri, maka mumkin al-wujûd tidak memiliki arti lain kecuali wujûd itu
sendiri.11
Adapun persamaan mengenai masalah metafisika antara al-Ghazâlî dengan
al-Fârâbî yaitu terdapat dalam pembahasan yang berhubungan dengan dzat dan
sifat Tuhan yang sama-sama menggunakan dalil agama (syaʻrî) dan dalil akal
(naqli). Pernyataan dan permasalahan-permasalahan mengenai metafisika yang
telah dideskripsikan di atas, menjadi salah satu faktor terhadap diri al-Ghazâlî
untuk memberikan pandangan-pandangan dan argumennya.
Al-Ghazâlî menjelaskan pandangan-pandangan terhadap alam metafisika
melalui metode ilmu falsafah, kalam dan tasawuf dengan tujuan untuk menjaga
akidah ahlusunnah terhadap pemikiran ahli bid’ah yang sekiranya tidak sesuai
dengan syara atau pola pemikiran umat Islam yang bersumber kepada al-Qurˊân
dan hadîts.12 Selain itu, tujuan al-Ghazâlî juga ingin menetapkan bahwa hanya
Tuhanlah yang qadîm dan Esa, serta berkehendak mutlak yang wujûd dan keesaan
Tuhan, tidak disebabkan oleh wujûd yang lain. Sehingga, apabila ada sesuatu
wujûd yang menyebabkan adanya wujûd Tuhan, maka menjadi pertentangan
terhadap prinsip dan ajaran agama Islam.
Dari pernyataan di atas dapat digambarkan alasan dan tujuan mengapa
al-Ghazâlî memberikan pandangan mengenai metafisika. Adapun perbedaan dan
11 Al-Ghazâlî,Tahâfut al-Falâsifah, h. 79. 12 Abû Bakr A̒bd al-Razâq, Ma ʻa Al-Ghazâlî Fî Al-Munqîdz min al-Dlalâl (Mesir: Dâr
al-Qawmiyyah, litṯobbâ ʻah, 1948), h. 101-102.
7
persamaan mengenai permasalahan metafisika dapat disimpulkan bahwa
perbedaan tersebut terdapat dalam cara pandang yang digunakan oleh masing-
masing filosof untuk memeroleh kebenaran yang berhubungan dengan metafisika.
Dalam epistemologi Islam, cara memeroleh kebenaran metafisika berbeda-beda,
ada yang mengunakan metode perenungan (contemplation), pencerapan
(perception) dan pengalaman (experience/dzawq), penalaran (concept).
Sedangkan sarana atau alat yang digunakan adalah akal dan hati.13
Al-Fârâbî merupakan seorang filosof muslim yang mendapat sebutan
sebagai “guru kedua”.14 Alasan pernyataan tersebut karena al-Fârâbî merupakan
filosof Muslim yang pertamakali memperkenalkan ilmu logika dalam Islam.
Sehingga dalam epistemologinya, khususnya dalam menjelasakan wujûd Tuhan,
al-Fârâbî banyak menggunakan logika yang merupakan cabang ilmu falsafah yang
berpusat pada akal (pemikiran) serta lebih menggunakan metode taˊwîl.15
Berbeda dengan al-Ghazâlî yang menjelaskan metafisika bukan hanya
dengan metode falsafah akan tetapi dengan menggunakan metode tasawuf yang
berupa perenungan dan pengalaman yang khususnya berkaitan dengan proses
bagaimana menjelaskan wujûd Tuhan.16 Sebab menurut al-Ghazâlî, jalan tasawuf
merupakan ilmu yang mengandung kesempurnaan ilmu dan amal, memutuskan
jalannya nafsu, membersihkan dari akhlak yang tercela serta sifat yang jelek.
13 Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam.
(Jakarta: UI Press, 2006.), h.12. 14 Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam (jakarta: Bulan Bintang, 1964), h. 88. 15 Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, h. 46. 16 Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, h. 57.
8
Adapun alat untuk memeroleh kebenaran metafisika dalam metode tasawuf adalah
hati, karena dengan hati dapat memeroleh nilai-nilai tertinggi dalam agama.17
Dengan kata lain, letak perbedaan antara al-Ghazâlî dengan al-Fârâbî
tentang metafisika terdapat dalam metodologi yang tidak terlepas pada alat atau
sarana yang digunakan, apakah bersifat rasionalis atau empiris. Meskipun telah
terjadi sebuah perselisihan dan perbedaan ideologi di antara al-Ghazâlî dengan
al-Fârâbî, mereka tetap menemukan satu titik temu yang sama sebagai pencipta
dan sumber dari pengetahuan yaitu zat yang hakiki (Tuhan).
Pada pembahasan skripsi ini, penulis mencoba untuk mengambil judul
pandangan al-Ghazâlî tentang metafisika. Hal ini penulis lakukan karena belum
ada yang membahas secara rinci tentang judul tersebut, sehingga penulis tertarik
untuk membahasnya. Adapun dalam penulisan ini, yang menjadi alasan dalam
pengambilan judul tersebut yaitu untuk menambah nilai-nilai ketahuhidan serta
memberikan pengetahuan tentang alam metafisika.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami masalah yang dibahas,
penulis perlu mengadakan pembatasan dan perumusan masalah yang sesuai
dengan judul yang dimaksud. Dalam hal ini penulis membatasi permasalahan
disekitar pandangan al-Ghazâlî terhadap metafisika dalam konsep falsafah yang
berkaitan dengan penciptaan alam dan wujûd Tuhan. Adapun perumusan dalam
skripsi ini adalah:
17 Al-Ghazâlî, Iẖyâ ́ʻUlûm al -Dîn (Mesir: Haramayn, 1957), h. 21.
9
1. Bagaimana perspektif al-Ghazâlî tentang metafisika yang berhubungan
dengan penciptaan alam dan wujûd Tuhan?
2. Apakah yang menjadi alasan dan tujuan al-Ghazâlî memberikan pandangan
tentang hal tersebut?
3. Masalah apa saja yang muncul mengenai penciptaan alam dan wujûd Tuhan?
Dengan batasan tersebut penulis memfokuskan batasan dan rumusan
masalah, yaitu bagaimana al-Ghazâlî memandang permasalahan yang timbul
mengenai penciptaan alam dan wujûd Tuhan.
C. Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai pandangan al-Ghazâlî tentang metafisika
tampaknya sangat memberikan arti yang sangat besar bagi penulis dalam
menambah informasi dan pemahaman untuk melengkapi dan memperdalam kajian
dalam skripsi ini. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan tinjauan pustaka
terhadap karya-karya al-Ghazâlî, khususnya dalam kajian falsafah.
Berdasarkan data katalog Perpustakaan Umum dan Fakultas Ushuluddin
UIN Jakarta penulis hanya menemukan tiga karya yang penulis anggap
berhubungan dengan skripsi yang sedang penulis garap ini. Adapun tiga karya
tersebut yaitu:
Pertama. Disertasi yang berjudul Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat
Islam (Memahami Pergulatan Al-Ghazâlî Dengan Ibn Rusyd). Disertasi ini ditulis
oleh Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat
10
pada tahun 2004 M/1424 H. Tulisan itu membahas perdebatan antara al-Ghazâlî
dengan Ibn Rusyd dalam persoalan metafisika, perbedaan pandangan dan
pemikiran antara kedua tokoh tersebut terlihat jelas ketika masing-masing tokoh
tersebut memberikan pandangan dan argumennya yang berkaitan dengan
permasalahan metafisika. Adapun pembahasan metafiska dalam disertasi ini
diantaranya menjelaskan pengetahuan Tuhan tentang hal-hal terperinci, kekekalan
alam, kebangkitan jasad di akhirat, hukum kausalitas dan mukjizat dan lain-lain.
Kedua. Skripsi yang berjudul Epistemologi Menurut al-Kindî dan
al-Ghazâlî. Skripsi ini ditulis oleh Fauzi Fauzan El-Muhammady, Fakultas
Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat pada tahun 2003 M/1423 H yang isinya
membahas tentang pandangan al-Kindî dan al-Ghazâlî terhadap kebenaran dengan
pendekatan komperatif di antara tokoh tersebut. Selain itu, skripsi ini membahas
pemikiran al-Kindî dan al-Ghazâlî dalam menyikapi terjadinya proses
pengetahuan tentang hakekat kebenaran.
Ketiga. Skripsi yang berjudul Perenialisme Dalam Tasauf yang ditulis
oleh Taufik Ismail, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat pada tahun
2005 M/1426 H. Skripsi ini membahas tentang Tuhan yang dijadikan sebagai
wujûd absolut dan mutlak, selain itu skripsi ini membahas tentang pluralisme
agama serta usaha untuk menelusuri kesadaran religius.
Yang membedakan skripsi ini dengan skripsi yang lain diantaranya:
a. Dalam skripsi ini pembahasan lebih memfokuskan pandangan al-Ghazâlî
mengenai metafisika dalam hal penciptaan alam serta wujûd Tuhan
11
b. Memberikan perbedaan dan persamaan pemikiran antara al-Ghazâlî dan
filosof-filosof lain seperti al-Fârâbî dan Ibn Sinâ tentang permasalahan
mengenai metafisika dalam hal penciptaan alam serta wujûd Tuhan.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni tujuan umum dan khusus.
Secara umum penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan dan membahas
pandangan al-Ghazâlî tentang metafisika dalam konsep falsafah, dengan mengenal
lebih dalam sejarah kehidupan, pemikiran, dan karya-karya al-Ghazâlî. Sedangkan
tujuan khususnya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam rumusan masalah
adalah untuk mengetahui pandangan al-Ghazâlî terhadap permasalahan metafisika
yang berhubungan dengan penciptaan alam dan wujûd Tuhan. Penelitian ini
diharapkan memiliki nilai akademis yang dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu dalam bidang keagamaan sehingga dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Selain itu, penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Strata
Satu (S1), bagi penulis.
E. Metode Penelitian
Dalam membahas permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan,
penulis melakukan penelitian ini dengan menggunakan penelitian pustaka (library
research). Data-data yang dihimpun terdiri atas bahan-bahan tertulis yang telah
12
dipublikasikan dalam bentuk buku yang berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan penelitian ini. Sumber primer dari penelitan ini adalah kitab
Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn (Kairo: Ḥaramayn, 1957), Al-Munqîdz min al-Dlalâl (Kairo:
Dār al-Qawmiyyah,1948), dan Tahâfut al-Falâsifah, terj. Ahmadie Thaha
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985). Sedangkan buku-buku sekunder dari penelitian
ini adalah buku-buku yang membahas seluk beluk pemikiran dan sejarah
pengalaman al-Ghazâlî, di antaranya adalah: Ali Issa Otman, Manusia Menurut
al-Ghazâlî, terj. Johan Smith, Anas Mahyuddin dan Yusuf (Bandung: Pustaka,
1981), Prof, Yûsûf Qarḏawî, Al-Ghazâlî antara Pro dan Kontra (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1996); Ahmad Syamsuddîn, Al-Fârâbî Hayâtuhu, Atsâruhu,
Falsafatuhu. Bairut: Daar al-Kitab al- ̕̕ Ilmiayah, 1999, Al-Ghazâlî, Minhâj
al-‘Âbidîn, terj. Abul Hiyadh (Jakarta: Pustaka Amani, 1986); Harun Nasution,
Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2008) dan lain-lain.
Secara teknis, analisis data yang digunakan bersifat kualitatif dengan
teknik pembahasan deskriptif analitis yang bertujuan untuk menjelaskan
pandangan al-Ghazâlî terhadap metafisika dalam konsep falsafah yang berkaitan
dengan kekekalan alam dan wujûd Tuhan. Sementara teknik penulisan dalam
skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,
dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Devlopment and
Assurance UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
13
F. Sistematika Penulisan
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari lima bab, setiap bab terdiri dari
sub-sub yang disusun secara sistematis yaitu sebagai berikut:
Bab I, merupakan bab pendahuluan, dalam pendahuluan ini akan dibahas
mengenai sub-sub yaitu: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, membahas seputar biografi al-Ghazâlî. Bab ini dibagi menjadi
tiga sub bab yaitu: latar belakang keluarga dan pendidikan, karya-karyanya dan
perkembangan serta pengaruh pemikiran.
Bab III, membahas definisi metafiska. Bab ini menjelaskan tentang
pengertian metafisika, sejarah perkembangan metafisika, metafiska dalam
pandangan filosof
Bab IV, membahas pandangan al-Ghazâlî tentang metafisika dalam
konsep falsafah. Bab ini menjelaskan tentang: problematika metafisika
mengenai penciptaan alam, problematika tentang wujûd Tuhan dan hubungan
antara alam dengan wujûd Tuhan.
Bab V, Penutup. Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dan saran.
14
BAB II
BIOGRAFI AL-GHAZÂLÎ
A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Nama lengkap al-Ghazâlî adalah Abu Hamîd Ibn Muhammad Ibn
Muhammad Ibn Ahmad Al-Ghazâlî.18lahir pada pertengahan abad ke-5 H tahun
450 H/1059 M di desa Taberan Distrik Thus di Khurasan.19 Latar belakang
keluarga al-Ghazâlî memiliki ketaatan agama yang cukup baik, ayah al-Ghazâlî
bernama Muhammad, seorang muslim yang soleh dan ibu al-Ghazâlî bernama
Umm Khair Fatima seorang ibu yang baik dan taat dalam beribadah. Sekalipun
orang tua al-Ghazâlî bukan termasuk golongan orang kaya namun orang tua
al-Ghazâlî selalu meluangkan waktunya untuk menghadiri majelis-majelis
pengajian yang diselenggarakan oleh ulama-ulama.
Ayahnya memiliki semangat yang tinggi dalam mencari ilmu dan selalu
berdo’a agar puteranya menjadi seorang ulama yang pandai dan suka memberikan
nasehat. Ayah al-Ghazâlî bekerja sebagai seorang pemintal dan pedagang kain
wol. Selain al-Ghazâlî ayahnya mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama
Abu Al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-Tusî
Al-Ghazâlî yang dikenal dengan julukan Majuddîn (wafat pada tahun 520 H).
Keduanya kemudian menjadi ulama besar, dengan kecenderungan yang berbeda.
18 Abû Bakr A̒bd al-Razâq, Ma ʻa Al-Ghazâlî Fî Al-Munqîdz min al-Ḏalâl, h. 8. 19 Al-Ghazâlî, Kerancuan Filosof, terj. Ahmad Maimun (Yogyakarta: Islamika, 2003), Cet,
I, h. xxix.
14
15
Majuddîn lebih cenderung pada kegiatan da’wah dibanding al-Ghazâlî yang
menjadi penulis dan pemikir.20
Al-Ghazâlî mengawali pendidikannya di daerah kelahirannya. Pendidikan
yang ditanamkan oleh ayahnya sejak kecil yaitu mempelajari al-Qurˊân dan dasar-
dasar ilmu keagamaan yang lainnya. Oleh sebab itu, Imam al-Ghazâlî memiliki
ketinggian dalam memeroleh ilmu. Menjelang akhir hayat, ayah al-Ghazâlî
menitipkan kedua anaknya kepada karibnya, dengan pesan agar kedua anaknya
tersebut di berikan pendidikan dengan baik sampai harta peninggalannya habis.21
Setelah ayahnya wafat, al-Ghazâlî dan saudaranya diberikan pendidikan oleh
seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya, yaitu Ahmad bin Muhammad
al-Razîkanî al-Tusî, seorang ahli tasauf dan fiqih dari Tus. Pada awalnya, Ahmad
bin Muhammad al-Razîkanî al-Tusî mendidik mereka secara langsung. Namun,
setelah harta mereka habis, sementara itu sufi yang mendidik al-Ghazâlî pun
sudah tidak mampu lagi untuk memberikan bekal, sehingga sufi tersebut
menyarankan agar kedua anak tersebut tetap melanjutkan belajar dengan jalan
mengabdi pada sebuah sekolahan di dearah Thus. Kemudian sufi itu memberikan
nasihat kepada al-Ghazâlî bahwa tujuan menuntut ilmu bukanlah untuk mencari
penghidupan, melainkan semata-mata untuk memperoleh keridhaan Allah SWT
dan mencapai pengetahuan tentang Allah SWT secara benar.
Sekolah yang disarankan guru al-Ghazâlî, memberikan kepada para
pelajarnya pakaian, makanan, dan fasilitas yang disediakan secara gratis sehingga
20 Abuddin Nata, Pemikiran para tokoh Pendidikan Islam ( Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2000), h. 80. 21 As, Asmaran, Pengantar Studi Tasauf (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), h. 323.
16
menjadi tujuan al-Ghazâlî dalam menuntut ilmu. Di tempat ini yaitu daerah Thus
al-Ghazâlî mulai belajar dan dapat menguasai Bahasa Arab dengan fasih, di
tempat ini juga al-Ghazâlî memiliki seorang guru sufi yang terkenal yaitu Yusuf
al-Nassaj. Dikarenakan minatnya yang mendalam terhadap ilmu, al-Ghazâlî mulai
mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, falsafah dan usul fiqih dengan
mempelajari segala pendapat keeempat mazhab dalam ilmu fiqih. Kemudian
al-Ghazâlî melanjutkan menuntut ilmunya kepada Alî Nashr al-Ismâʻîl seorang
ulama terkenal di Thusi.22
Pada tahun 473 H, yang terletak di daerah Jarajan, al-Ghazâlî berguru
kepada Imam Harmayin serta al-Juwaynî, dari Imam Harmayin serta al-Juwaynî
al-Ghazâlî memperoleh ilmu, dialektika, ilmu alam, falsafah dan logika.23
Al-Juwaynî kemudian meminta al-Ghazâlî untuk mengajar di sana. Al-Ghazâlî
juga belajar tasauf dari al-Farmâdzî dengan mempelajari ajaran syiʻah taʻlimiyah
yang mengklaim dirinya sebagai pemilik otoritas atas kebenaran Tuhan. Ajaran
ini merupakan ajaran fundamental Syiʻah Ismâʻîliyah yang sudah lama mereka
anut sebelum al-Ghazâlî lahir.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa al-Ghazâlî mempunyai
pendidikan spiritual yang kuat, sehingga menjadi dasar pembentukan kepribadian
dalam perkembangan hidup selanjutnya. Al-Ghazâlî telah dilantik menjadi maha
guru di Madrasah Niẕamîah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana
menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijriyah. Al-Ghazâlî telah mengembara ke
22 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi
(Jakarta: PT Mizan Publika, 2003), h. 163. 23 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 225.
17
beberapa tempat seperti Mekkah, Madinah, Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa
dengan ulama-ulama, dengan tujuan untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang
ada. Setelah itu, sekitar tahun 489 H/1096 M, al-Ghazâlî meninggalkan Damaskus
menuju Jerusalem. Pada saat itu al-Ghazâlî sempat berziarah ke makam al-Khalîl
Ibrahîm sampai kemudian tergerak untuk melakukan ibadah haji. Sebelum
kembali ke Jerussalem dari ibadah haji al-Ghazâlî mampir terlebih dahulu ke
Baghdad karena rindu kepada keluarganya, namun di Baghdad kehidupan
spiritualnya terganggu dan segera al-Ghazâlî berkhalwat. Namun gurunya Abu
Nasr di Damaskus sudah meninggal dunia dan akhirnya ke Jerusalem.
Setelah melakukan perjalanan spiritual, al-Ghazâlî menjumpai realitas
masyarakat yang mengalami dekadensi moral, sosial dan krisis iman.24 Faktor
inilah yang menariknya kembali ke kancah penyebaran ilmu dan melepas baju
uzlahnya, akhirnya al-Ghazâlî menerima kembali ajakan penguasa Saljuk yang
baru yaitu Fakhr al-Muluk putra Niẕam al-Muluk untuk mengajar kembali di
madrasah Naisyapur. Dalam pengembaraannya, al-Ghazâlî menulis kitab Iẖyâ ˊ
ʻUlûm al -Dîn yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat Islam dan
pemikiran manusia dalam semua masalah.
Dari Nasyapur al-Ghazâlî pergi ke Mu’askar sebuah kota yang indah bagi
tempat tinggal keluarga Sultan Saljuk, terutama wazirnya yang terkenal adalah
Niẕam al-Mulk. Al-Ghazâlî mendapatkan sambutan dan respek yang istimewa
dari wazir tersebut. Selama enam tahun di kota itu al-Ghazâlî menghabiskan
waktunya dalam forum diskusi dan perdebatan ilmiyah serta merenungkan
24 HM. Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazâlî pendekatan metodologi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.), h, 66.
18
kembali ilmu-ilmu yang al-Ghazâlî dapatkan, juga menulis karya tentang ilmu
kalam.
Karena kehebatannya, Niẕâm al-Mulk mengangkat al-Ghazâlî menjadi
guru besar di bidang fiqh dan teologi sekaligus rektor Universitas Niẕamiyah di
Baghdad dalam usia yang relatif muda yaitu 34 tahun.25 Al-Ghazâlî menjadi
pengajar dan rektor di universitas tersebut selama kurang lebih 4,5 tahun. Pada
fase ini dikenal dengan fase Baghdad di mana al-Ghazâlî banyak menghabiskan
waktunya untuk belajar, menelaah buku-buku falsafah secara otodidak dan
menulis buku. Maka lahirlah beberapa karya al-Ghazâlî dalam berbagai bidang
ilmu, seperti fiqh, ushul fiqh, mantiq, falsafah dan tentang bathiniyah. Beberapa
karyanya tersebut tidak hanya bercorak deskriptif, tetapi juga argumentatif berupa
penolakan unsur-unsur tertentu.
Di Damaskus al-Ghazâlî merenung, membaca dan menulis, selama kurang
lebih dua tahun dengan tasauf yang dijadikan sebagai jalan hidupnya. Kemudian
melanjutkan pengembaraannya ke Palestina dan menunaikan haji disana,
sekembalinya dari ibadah haji al-Ghazâlî kembali ke Thus, selama rentang waktu
itulah al-Ghazâlî mengarang buku-buku seperti Al-Maʻârif al-ʻAqliyah, Miʻyâr
al-ʻIlm al-Mantiq dan lain-lain.26 Karena desakan penguasa di masanya,
al-Ghazâlî bersedia kembali mengajar di sekolah Nizam pada tahun 499 H. Akan
tetapi hal ini hanya berlangsung selama dua tahun, pada masa inilah, al-Ghazâlî
baru menemukan hakekat yang dicarinya, yaitu “Tarîqah Sufi”, jalan hidup abadi.
25 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h.29. 26 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 79.
19
Kemudian al-Ghazâlî mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqahâˊ dan sebuah
pondok untuk para mutasawwifîn.
Al-Ghazâlî dikenal bukan saja sebagai seorang intelektual, atau ahli Fiqh,
tapi juga seorang sufi. Al-Ghazâlî tidak hanya menguasai dan memahami ilmu
falsafah, namun juga ilmu pokok-pokok agama (ushûl al-dîn) serta menguasai
wacana-wacana mistik Islam (sufisme), yang hingga sekarang ini masih menjadi
warisan abadi kaum muslimin di berbagai belahan dunia. Petualangan ilmunya
membawa kepada keraguan epistemologi (skeptis) dalam jiwanya, karena semua
ilmu yang al-Ghazâlî pelajari tidak ada yang memuaskan kegelisahan intelektual
dan spiritualnya sehingga al-Ghazâlî mempelajari tasauf dengan membaca
literatur-literatur ilmu tasauf yang berhubungan dengan perbuatan dan hati seperti
karya al-Muhâsibî, al-Junaidi, al-Shiblî, al-Busthâmî dan lain-lain.27
Al-Ghazâlî kemudian pergi ke Damaskus. Di sana, al-Ghazâlî menemui
seorang guru sufi bernama Abu Fatah Nasr Ibn Ibrahîm al-Maqdisî al-Nablusî
(490 H/1097 M), seorang ulama terkemuka mazhab Syafiʻî, dengan tujuan ingin
mencurahkan sepenuhnya pada jalan sufi. Di tempat tersebut al-Ghazâlî tinggal
selama 2 tahun dan selama itu pula al-Ghazâlî melakukan uzlah, khalwat, riyâḏah
dan mujâhadah sebagaimana ajaran tasauf yang diperolehnya. Perilakunya itu
didedikasikan untuk menjernihkan batin agar mudah berdzikir kepada Allah.
Pada tahun 1110 M al-Ghazâlî kembali ke tanah kelahirannya, kemudian
mendirikan madrasah bagi para pengkaji ilmu-ilmu agama dan bagi para sufi,
ditempat inilah menghabiskan masa hidupnya sebagai pengajar dan guru sufi yang
27 Al-Ghazâlî, Al-Munqîzd min al-Ḏalâl, h. 184.
20
memiliki murid 150 orang. Al-Ghazâlî wafat pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/
Desember tahun 1111 M pada usia 55 tahun.28 Perjalanan intelektual dan spiritual
dalam menemukan ketenangan batin dan mengikut jalan sufi dicurahkan dalam
autobiografinya yang berjudul al-Munqîzd min al-Ḏalâl Pembebas daripada
Kesesatan).
B. Karya Tulis
Diantara karya-karya al-Ghazâlî dapat disebutkan disini sebagai mana
telah ditulis oleh Dr. Asmaran AS,MA. Dalam bukunya studi pengantar tasauf.
A. Dalam bidang falsafah, antara lain:
1. Maqâsid al-falâsifah
2. Tahâfut al-Falâsifah
3. Al-Maʻârif al-ʻAqliyah
4. Miʻyâr al-ʻIlm al-Mantiq
B. Dalam bidang ilmu kalam, antara lain:
1. Al-Iqtisâd al-Iʻtiqâd
2. Al-Risâlah al-Qudsiyyah
3. Ilgham al-ʻAwwan mâʻan ʻIlm al-Kalâm
C. Dalam bidang fiqih dan Ushul Fiqh, antara lain:
1. Al-Wajîz
2. Al-Wasît
3. Al-Basîth
28 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr Sampai Nashr dan Qardlawi
(Jakarta: PT Mizan Publika, 2003), h. 164.
21
Dalam bidang tasauf, antara lain:
1. Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn
2. Al-Munqîdz min al-Ḏalâl
3. Minhâj al-ʻÂbidîn
4. Mīzân al-ʻAmal
5. Kîmiyâ al-Saʻâdah
6. Miskat al-Anwâr
7. Ar-Risâlah al-Laduniyyah
8. Bidâyah al-Hidâyah
9. Al-ʻAdab fî al-Dîn
10. Kitâb al-Arbaʻîn.29
Itulah karya-karya al-Ghazâlî yang dapat memberikan pengaruh dan
dampak positif kepada agama Islam sehingga khazanah keilmuan Islam pun
menjadi berkembang. Dari sekian banyak karya al-Ghazâlî yang sudah disebut di
atas, bahwa tidak semua dari karya-karya al-Ghazâlî di atas memuat secara utuh
persoalan yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. Adapun karya-karya
yang memuat dan merupakan karya utama yang membahas masalah fisika dan
metafisika, antara lain:
1. Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn, kitab ini diterbitkan ribuan kali diantaranya diterbitkan
oleh Dārul Qalam daerah Bairut.30 Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn, merupakan bagian-bagian
utama dari pandangan al-Ghazâlî dalam usahanya dalam memeroleh kebenaran
dengan cara memadukan antara tasauf, logika, falsafah dan fiqih. Tetapi dalam
29 As, Asmaran, Pengantar Studi Tasauf, h. 328. 30 Al-Ghazâlî , Mutiara Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn, terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan,
1997), Cet.I, h. 50.
22
kitab ini cenderung lebih mengarah kepada ajaran tasauf yang bersifat rohani
seperti:
a. Membersihkan hati dari sifat iri hati, sombong, ria.
b. Mengkosongkan hati dari hawa nafsu.
c. Mengisi dan menghiasi hati dengan berdzikir.31
2. Al-Munqîdz min al-Ḏalâl,al-Ghazâlî dalam buku ini memberikan pandangan-
pandangan dan argumen terhadap failasuf-failasuf yang berkaitan dengan masalah
fisika dan metafisika. Selain itu, dalam buku ini al-Ghazâlî mengembangkan
pemikirannya serta mereflesikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta
menjelaskan jalan menuju Tuhan.32
3. Maqâsid al-falâsifah, sebagaimana yang dijelaskan dalam buku filsafat Islam
karangan Dr. Hasyimsyah Nasution, buku ini menjelaskan tentang cara al-Ghazâlî
menguraikan serta menjelaskan ajaran-ajaran para filosof yang menganut ajaran
Aristolianisme pada masa itu, terutama membahas tentang logika, ketuhanan, dan
kealaman.
C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran al-Ghazâlî
Perkembangan dan pengaruh pemikiran al-Ghazâlî dimulai ketika mencari
ilmu pengetahuan tentang kebenaran hakiki, khususnya mengenai epistemologi
yang berdasarkan cara-cara dan metode yang digunakan oleh empat kelompok
31 As, Asmaran, Pengantar Studi Tasauf, h. 332. 32 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 79.
23
yaitu ; Pertama, kelompok Mutakallimûn. Kedua, kelompok Bâṯiniyyah. Ketiga,
kelompok falâsifah. Keempat, kelompok sûfî.33
Pertama, al-Ghazâlî dalam pencarian kebenaran dan pengetahuannya
masuk dalam bagian Mutakallimûn (Kelompok ahli Teologia) yang didalamnya
terdapat ilmu kalam yang merupakan argumentasi-argumentasi dengan
menggunkan dalil-dalil rasional dan membuat penolakan terhadap kaum bid ̒ah
yang tidak sesuai dengan akidah Ahl al-Sunnah. Dalam kelompok ini al-Ghazâlî
menganut paham al-Asʻariyah yang berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban
yang dilakukan oleh manusia seperti mengerjakan perbuatan yang baik, itu
ditentukan dan diatur oleh wahyu yang pengetahuan tentang perbuatan baik
tersebut dapat diperoleh dengan akal.34 Kemudian kelompok ini menyatakan
dirinya sebagai eksponen dari pengetahuan dan pemikiran intelektual. Dalam
perjalanan selama kurang lebih dua bulan al-Ghazâlî belum marasakan kepuasan
dalam pencariannya, sebab al-Ghazâlî menemukan batasan akal yang dijadikan
oleh para teolog sebagai sumber kebenaran.
Kedua, al-Ghazâlî masuk kepada kelompok Bâṯiniyyah, merupakan
kelompok dari para pengajar (ta ̒ lîm) yang menyatakan bahwa hanya mereka
yang mendapatkan kebenaran dari seorang imam yang sempurna dan tersembunyi.
Ketiga, al-Ghazâlî masuk pada bagian Filsafat, yang menyatakan bahwa dirinya
sebagai eksponen dari logika (akal) yang digunakan dalam membuktikan
33 Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazâlî, terj. Johan Smith dari buku The
Concept of Man in Islam in The Writings of Al-Ghazâlî (Bandung: Pustaka, 1981), 35. 34 Harun Nasution, Teologi Islam Islam aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
(Jakarta: UI Press 2002), h. 84-85.
24
kebenaran, kemudian akal tersebut mampu mengangkat makna yang abstrak.35
Tetapi dalam keadaan ini timbul permasalahan tentang akal bahwa akal terdapat
batasan di dalamnya sehingga al-Ghazâlî merasa tidak mendapatkan kepuasan.
Keempat al-Ghazâlî masuk pada bagian Sufi (Tasawuf), kelompok ini
menyatakan bahwa hanya merekalah yang mencapai tingkat hadir dengan Allah
dan memiliki penglihatan serta pengertian secara Bâṯiniyah.36 Dalam perjalanan
pertama yaitu kelompok Mutakallimûn, al-Ghazâlî beranggapan bahwa
pengetahuan merupakan hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indera.37
Tetapi, setelah al-Ghazâlî menganalisa dan menyelidiki dengan pengetahuannya
melalui panca indera penglihatan ternyata terdapat kepalsuan dan kedustaan.
Maka al-Ghazâlî beranggapan bahwa dalam mencari kebenaran dengan kelompok
ini tidak bisa menemukan kebenaran yang sempurna, seperti bintang dan matahari
dalam pengetahuan melalui indera penglihatan memiliki bentuk yang kecil hanya
sebesar mata uang dinar, tetapi dengan menggunakan akal melalui perhitungan
geometris bahwa bintang dan matahari memiliki bentuk yang ukurannya lebih
besar dari bumi.
Dari penjelasan di atas dapat digambarkan bahwa pola pemikiran serta
cara pandang al-Ghazâlî tentang metafisika tidak terlepas dari cara dan metode
yang digunakan oleh empat kelompok tersebut yaitu: Pertama, al-Ghazâlî
menggunakan akal pikiran dan wahyu, kedua menggunakan panca indera, ketiga
menggunakan pengalaman (zawq), sedangkan untuk metodenya menggunakan
35 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 166. 36 Al-Ghazâlî, IẖyaˊʻUlûm al -Dîn (Mesir: Haramayn, 1957), h. 18. 37 Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, h. 80.
25
metode induksi (metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil
observasi yang disimpulkan dalam pernyataan yang lebih umum) dan deduksi
(metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam
pernyataan yang lebih runtut).
Al-Ghazâlî mengatakan dalam karyanya Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn tentang akal
bahwa akal pikiran tidak dapat berjalan tanpa pengetahuan, dan sebaliknya
pengetahuan tidak dapat berjalan tanpa akal. Oleh karena itu, orang yang
mendukung taqlid tanpa menggunakan ilmu intelektual adalah orang yang bodoh,
dan orang yang sombong adalah orang yang merasa puas dengan pengetahuan
yang dimilikinya tanpa adanya cahaya dari al-Qurˊân dan al-Sunnah.38 Dalam
buku yang berjudul Manusia Menurut Al-Ghazâlî yang ditulis oleh Ali Issa
Othman bahwa akal pikiran merupakan instrumen pengetahuan baik tentang
pengetahuan umum maupun pengetahuan tentang wahyu yang merupakan
pembimbing kebenaran agama sehingga antara akal pikiran dan pengetahuan
saling membutuhkan.
Ilmu teologi dan falsafah memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam ilmu-
ilmu pengetahuan sama halnya dengan al-Ghazâlî yang menempatkan ilmu
teologi sebagai sub divisi atau bagian-bagian dari pengetahuan yang spekulatif di
dalam suatu divisi ilmu pengetahuan umum serta menjadikannya sebagai sub
divisi dari ilmu-ilmu dasar (usûl) dari ilmu-ilmu keagamaan seperti; tauhid,
logika, al-Qurˊân, hadist termasuk didalamnya ilmu tasawuf. Dalam tasawuf,
al-Ghazâlî menggunakan metode perenungan, yaitu kegiatan dari akal pikiran
38 Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazâlî, h. 74.
26
yang mengandung sebuah pemikiran terdasar yang harus dibimbing serta dituntun
oleh kebenaran wahyu. Maka menurut teori al-Ghazâlî, pengetahuan dalam
mencari kebenaran tidak dapat dipisahkan dari seluruh kepribadian seseorang.39
Al-Ghazâlî memilih titik akhir dalam pencarian ilmu pengetahuannya pada
kelompok sufi, karena kebenaran yang ada dalam segala ilmu pengetahuan dapat
diyakini kebenarannya apabila sesuai antara pengetahuan dengan kenyataan
terutama kenyataan mengenai Tuhan. Kemudian dari pernyataan tersebut,
al-Ghazâlî mengungkapkan tujuannya dalam mencari ilmu pengetahuan yaitu
mendapatkan nilai-nilai tertinggi dalam agama.
Al-Ghazâlî menunjukkan sikap keraguan terhadap pengetahuan dan
kebenaran yang telah diperolehnya, sikap yang dimiliki al-Ghazâlî pada saat itu,
merupakan sikap yang menolak dari taqlîd (menerima begitu saja pengetahun
yang diajarkan oleh orang lain). Ketika al-Ghazâlî mengalami keraguan (Skeptis)
terhadap pengetahuan dan kebenaran, pertanyaan yang selalu timbul dalam
dirinya yaitu, Apakah kepercayaan kepada Allah dapat menjadikan pengetahuan
tertentu, jika Allah harus disembah, haruslah Allah diketahui dengan pasti
keberadaannya. Pertanyaan ini yang menjadikan perubahan pemikiran al-Ghazâlî,
sehingga al-Ghazâlî melakukan perenungan diantaranya, tentang manusia sebagai
insan yang serba tahu, sifat dan berbagai perkembangan manusia tentang
hubungan manusia dengan pihak luar, baik dengan alam maupun dengan
masyarakat serta hubungan manusia dengan Allah. Sampai pada akhir
pengetahuannya yang mendalam melalui tasawuf, al-Ghazâlî menemukan sebuah
39 Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazâlî, h. 83.
27
kepastian pemikiran-pemikiran fitri atau aksioma-aksioma yang merupakan satu-
satunya dasar bagi dalil-dalil yang benar yang menjadi prasyarat tercapainya suatu
keyakinan yang dipercayai oleh akal.40
Dalam skema yang disusun oleh al-Ghazâlî tentang ilmu pengetahuan,
al-Ghazâlî memberikan langkah-langkah untuk menjadikan berkembangnya
pengetahuan dalam diri manusia, yaitu: pertama, pengertian penuh tentang
al-Qurˊân, kedua, pengetahuan tentang kenyataan (Mukasyafah), ketiga, paham
sufi yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu, disiplin diri, pengetahuan praktis
(Mu’âmalah), dan bimbingan Ilahi, keempat, pengetahuan intelektual (ʻAqlî),
kelima. Pengetahuan keagamaan (Syarʻî) yang dibagi kedalam dua bagian yaitu,
cabang-cabang (Furuʻ) dan dasar-dasar (Usûl). 41
Dari pernyataan diatas, untuk mendapatkan pengetahuan memang
diperlukan akal pikiran, akan tetapi menurut al-Ghazâlî akal pikiran saja tidak
dapat berjalan tanpa pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan tidak dapat
berjalan tanpa akal. Oleh karena itu, al-Ghazâlî berpandangan bahwa orang yang
mendukung taqlîd tanpa menggunakan ilmu intelektual adalah orang yang bodoh,
dan orang yang sombong adalah orang yang merasa puas dengan pengetahuan
yang dimilikinya tanpa adanya cahaya dari al-Qurˊân dan al-Sunnah.
40 Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazâlî, h. 40. 41 Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazâlî, h.72.
28
BAB III
METAFISIKA
A. Pengertian Metafisika
Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani yaitu ta meta ta physika yang
artinya “yang datang setelah fisik”, istilah tersebut diberikan oleh Andronikos dari
Rhodos (70 SM).42 Metafisika merupakan bagian filsafat tentang hakikat yang ada
di balik fisika. Tegasnya tentang realitas kehidupan di alam ini, dengan
mempertanyakan yang Ada (being). Secara etimologi meta adalah tidak dapat
dilihat oleh panca indera, sedangkan fisika adalah fisik. Jadi, metafisika adalah
sesuatu yang tidak dapat dilihat secara fisik atau metafisika dapat diartikan juga
sebagai usaha sistematis, reflektif dan menyeluruh dalam mencari kebenaran yang
terletak di belakang hal-hal yang fisik.43
Menurut al-Ghazâlî metafisika adalah kajian yang berhubungan dengan
alam yang berada di luar alam fisik, seperti Tuhan dan sifat-sifatNya serta alam
akhirat.44 Kajian terhadap metafisika membutuhkan kajian yang lebih teliti dan
penuh kehati-hatian, karena apabila keliru memahaminya akan berakibat fatal,
oleh karena itu, untuk memahami metafisika menurut al-Ghazâlî haruslah
menggunakan akal yang sehat dengan dituntun oleh wahyu. Adapun pandangan
al-Ghazâlî tentang akal yaitu, bahwa di dalam akal terdapat batasan dalam
memahami dan menilai tentang pengetahuan Tuhan, sehingga untuk memahami
42 Loren Bagus, Matafisika, h. 18. 43 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h. 3. 44 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h. 7.
28
29
tentang sebuah kebenaran tidak cukup dengan akal saja akan tetapi harus
dihubungkan dengan ilmu-ilmu agama yang bersumber kepada al-Qurˊân dan
hadist.45 Dari kedua sumber di atas yaitu akal dan wahyu kebanyakan para filosof
hanya mengambil dari salah satu saja, tidak dapat menyatukan kedua sumber
tersebut, sehingga akan menimbulkan pertentangan.
B. Perkembangan Sejarah Metafisika
Perkembangan metafisika berawal dari pemikiran para filosof Yunani
yaitu pada masa periode Helenisme sekitar 4-6 SM. Pada masa itu, pemikiran
yang menjadi kajian khusus yaitu tentang asal usul alam. Salah satu filosof yang
pertama kali mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales yang hidup pada
tahun 624-546 SM.46 Thales mempertanyakan bahwa apa sebenarnya yang
menjadi asal usul alam ini. Dengan pertanyaan tersebut Thales mendapatkan
jawaban bahwa asal usul alam ini berasal dari air. Anaximenes (590-528)
mengungkapkan bahwa dasar pertama adanya alam ini adalah udara dengan
alasan bahwa udaralah yang meliputi seluruh alam serta udara yang menjadi dasar
hidup bagi manusia yang digunakan untuk bernafas. Sedangkan menurut
Anaximandros dan Heraklitos alam ini merupakan sesuatu yang selalu berubah,
sehingga dari pemikiran tersebut Anaximandros dan Heraklitos mengungkapkan
bahwa asal usul alam ini berasal dari api karena sifat api yang panas selalu
45 Yusuf Qarḏawi, Al-Ghazâlî Antara Pro dan Kontra (Surabaya: Pustaka Progresif, 1996),
h. 75. 46 Poedjawijatna, Pembimbing Ke arah Alam Filsafat (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986),
h. 23.
30
bergerak dan berubah-ubah, misalnya dalam satu sisi api dapat menggeraskan
adonan roti dan disisi yang lain api dapat melunakan bahan tembaga dan besi.47
Permasalahan alam berkembang dengan pesat di kalangan para filosof
Yunani, dengan semakin berkembangnya permasalahan tentang alam maka
semakin luas pula pertanyaan-pertanyaan yang timbul mengenai alam. Bukan
hanya dari filosof Yunani saja yang membicarakan asal usul alam melainkan
filosof Islam juga membicarakan tentang alam, hal itu terlihat pada masa
kebangkitan Islam (Abad 6-13 M) yang disebut sebagai Abad Pertengahan. Dalam
periode ini, usaha yang dilakukan adalah untuk mesistesiskan antara iman,
intelektual, falsafah dan sufisme. Sehingga sejumlah filosof muncul di masa ini,
seperti al-Kindî, al-Fârâbî, al-Ghazâlî, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, dan sebagainya.
Pada abad pertengahan ini, lahir yang namanya falsafah Islam yang merupakan
pemikiran-pemikiran filosof Islam yang bertujuan untuk menjawab tantangan
zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal serta agama dan
filsafat.48
Menurut Fuad al-Ahwanî salah seorang ahli falsafah Islam modern dari
Mesir, mengungkapkan bahwa falsafah Islam merupakan kajian yang membahas
tentang alam dan manusia yang disinari dengan ajaran-ajaran Islam.49
Berkembangnya pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan dalam alam,
dapat dilihat ketika filosof-filosof Yunani maupun Islam yang tidak hanya
membicarakan asal-usul alam, akan tetapi mempertanyakan apa yang
menyebabkan alam itu ada dan bagaimana sifat alam itu sendiri, apakah alam
47 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), h. 24-25. 48 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 3. 49 Ahmad Fuad al-Ahwanî, Filsafat Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 19885), Cet. I, h. 5.
31
kekal atau baru. Maka, dari pernyataan tersebut alam merupakan permasalahan
metafisika, karena permasalahan yang ada di dalamnya tidak hanya membahas
bentuk yang fisik saja tetapi dalam bentuk non fisik.50
Istilah metafisika mempunyai arti filosofis, karena metafisika merupakan
ilmu yang membahas tentang yang ada. Oleh karena itu, pembahasan metafiska
muncul sesudah fisika (post physicam et supraphysicam).51 Istilah sesudah yang
dimaksudkan di sini ialah bahwa objek metafisika sendiri berada pada sesuatu
yang abstrak. Tentang metafisika, Aristoteles mengemukakan beberapa
gagasannya tentang metafisika dalam bukunya yang berjudul Metaphysica antara
lain:
1. Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari
prinsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama.
2. Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada
(being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan.
3. Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan
sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh keadaan, yang mana ilmu ini sering
disebut dengan theologia.52
Dari ketiga keterangan Aristoteles tentang metafisika tersebut, sebenarnya
terdapat dua obyek yang menjadi metafisis Aristoteles yaitu, (a) yang ada sebagai
yang ada being qua being dan (b) Tuhan. Namun Aristoteles sendiri tidak
menjadikan dua obyek kajian tersebut sebagai obyek bagi dua disiplin ilmu yang
50 Al-Ghazâlî, Al-Munqīzd min al-Ḏalāl,h. 135. 51 Muhammad Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam (Bandung: Mizan IKAPI, 2003),
h.42. 52 Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h.154.
32
berbeda. Seorang filosof Jerman bernama Christian Wolff yang hidup pada abad
ke-18, berpendapat bahwa pembicaraan tentang yang ada sebagai yang ada dan
yang Ilahi harus dipisahkan dan tidak dapat dibicarakan bersama-sama. Oleh
karena itu, dalam metafisika Aristoteles, Wolff membagi metafisika menjadi dua
bagian yaitu, metaphysica generalis (metafisika umum) atau juga sering disebut
ontologi dan methapysica specialis (metafisika khusus).
Metafisika secara umum membahas mengenai yang ada, artinya prinsip-
prinsip umum yang menata realitas sejauh dapat diserap melalui indera sedang
metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap oleh
indera seperti realitas ketuhanan (teologi). Metafisika merupakan objek kajian
filsafat yang pada dasarnya tidak dapat terpisah dengan inderawi, karena menurut
Wolff sendiri pembahasan metafisika tentang realitas supra inderawi, terkait
dengan pembahasan ontologi atau tentang prinsip-prinsip umum yang menata
realitas inderawi.53 Permasalahan tentang metafisika menimbulkan pandangan dan
pemikiran yang berbeda-beda di kalangan filosof, sehingga timbul aliran-aliran
yang bertujuan untuk mencari kebenaran dalam metafisika itu sendiri, aliran
tersebut di antaranya yaitu:
1. Rasionalisme
Istilah rasionalisme berasal dari kata rasio yang berarti akal.54
Rasionalisme dapat diartikan sebagai suatu paham yang menekankan akal sebagai
sumber utama untuk mendapatkan pengetahuan dan titik akhir dalam mencari
hakekat kebenaran. Manusia dengan akalnya memiliki kemampuan untuk
53 Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat (Jakarta: Komunitas Bambu, 2001), h. 6. 54 Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 929.
33
mengetahui stuktur dasar alam dunia ini secara apriori (pengetahuan yang
diperoleh tanpa melalui pengalaman inderawi). Pandangan yang cenderung
rasionalis berkembang di Yunani, dengan tokoh yang pertamakali mengemukakan
paham ini adalah Plato.
Selain plato tokoh yang termasuk kepada paham rasionalis yaitu Renè
Descartes hidup di Perancis (1596-1650). Descartes mendapat pendidikannya
bukan di sebuah universitas tetapi di sebuah kolese Jesuit. Namun ini ternyata
bukan kerugian, sebab dia menerima suatu dasar yang lebih baik dalam
matematika daripada yang dapat diterimanya dari universitas lain pada masa itu.
Dalam usahanya mencari kehidupan yang menyenangkan, Descartes mulai
merintis karier di bidang militer. Descartes menganggap bahwa pengetahuan
dapat dihasilkan oleh indera, tetapi dalam indera Descart mengakui bahwa indera
itu bisa menyesatkan (seperti dalam mimpi atau khayalan), maka Descartes
mengambil kesimpulan bahwa data keinderaan tidak dapat digunakan dalam
mencari hakekat kebenaran dalam sebuah objek yang diteliti. Kemudian Descartes
menguji kepercayaannya kepada Tuhan yang Maha Kuasa, tetapi tentang hal
tersebut Descartes berpandangan, bahwa wujûd Tuhan tidak dapat dibayangkan,
sehingga, kemungkinan yang ada adalah penipuan-penipuan yang terdapat dalam
pemikiran manusia.
Dalam kesungguhannya mencari dasar yang mempunyai kepastian mutlak
ini, Descartes meragukan adanya alam metafisika. Satu-satunya hal yang tidak
dapat Descartes ragukan adalah eksistensi dirinya sendiri, Descartes tidak
meragukan lagi bahwa dirinya sedang mengalami keragu-raguan. Bahkan jika
34
kemudian dalam diri Descartes disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada, dia
berdalih bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang
sedang disesatkan. Pandangan Descartes seperti itu, diekspresikan dalam bahasa
Latin yaitu "Cogito ergo sum" artinya saya berpikir atau "menyadari".55
Pikiran memang merupakan salah satu bentuk kesadaran, dan dalam arti
itu kesangsian metodis tadi disebutnya "saya berpikir", dan karena saya berpikir,
jelaslah saya ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal, karena Descartes
mengerti permasalahan adanya dirinya dengan jelas dan terpilah-pilah. Dengan
demikian, Descartes berkeyakinan bahwa Descartes dengan aturan atau cara
tersebutlah seseorang dapat menentukan kebenaran.56
2. Empirisme
Kata empiris berasal dari kata yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut
aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan dengan cara pengalamannya.57
Apabila dilihat dari kata Yunani, pengalaman yang dimaksud disini yaitu
pengalaman yang diperoleh dengan inderawi. Dalam proses penginderaan, setiap
fungsi berdiri sendiri. Oleh sebab itu, setiap indera menghasilkan pengetahuan
sendiri.
Dalam pandangan Islam, indera manusia terdiri dari indera luar dan indera
dalam, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa: Pertama, indera
secara bersamaan (al-Hîss al-Musystarâk) yang bertempat di bagian depan otak
dan berfungsi untuk menerima kesan-kesan yang diperoleh dari panca indera luar
55 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 143. 56 Rene Descartes, Meditation on First Philosophy (Sidney: Cambridge University Press,
1986), h. xix 57 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,h. 98.
35
menuju indera batin. Kedua, Indera penggambar (al-Khayâl) terletak di bagian
depan otak. Ketiga, indera penggerak (al-Mutahayyilâh), yang bertempat dibagian
tengah otak yang berfungsi untuk mengatur gambar-gambar yang telah terlepas
dari materinya dengan memisahkan kemudian menghubungkan antara yang satu
dengan yang lainnya. Empat, indera penganggap (al-Wahmiâh) indera ini
bertepatan di bagian tengah otak yang berfungsi untuk menangkap arti atau makna
yang terkandung dalam gambar-gambar. Lima, indera pengingat (al-Hafzah)
bertempat di bagian belakang otak yang berfungsi untuk menyimpan arti-arti yang
ditanggap oleh indera penganggap.58
Pengetahuan inderawi bersifat persial yang akan menimbulkan pengertian
dan pemahaman yang berbeda-beda antara inderawi yang satu dengan yang
lainnya. Hal tersebut berhubungan dengan keadaan fisiologis indera dengan objek
yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Misalnya, pengetahuan tentang api,
dengan pertanyaan bagaimana seseorang dapat mengetahuai bahwa api itu panas?,
seorang yang berpaham empiris akan mengatakan “karena saya telah merasakan
hal itu, atau karena seorang filosof telah merasakan hal seperti itu. Tokoh yang
termasuk kepada paham empiris adalah John Locke (1632-1704) yang
mengemukakan teorinya tentang tabula rasa (buku catatan kosong), maksud
catatan kosong disini adalah bahwa manusia pada mulanya kosong dari
pengetahuan, kemudian pengalaman yang jiwa yang kosong tersebut, sehingga
manusia itu pun memiliki pengetahuan.59
58 Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam,h. 37-38. 59 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 99.
36
Memperoleh pengetahuan dengan cara pengalaman yang ada pada
manusia, diawali dengan indera yang masuk secara sederhana, selanjutnya
tersusun menjadi sebuah pengetahuan yang berarti. Untuk itu, dalam paham
empiris sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan
yang benar. Jadi, suatu pengetahuan dianggap benar apabila sesuai dengan
pengalaman indera. Selain John Locke, tokoh yang termasuk pada paham
empirisme yaitu Thomas yang lahir pada tahun 1225 dekat kota Aquino, oleh
sebab tempat kelahirannya di Aquino, nama julukan yang lebih dikenal yaitu
Thomas Aquinas.60
Thomas menjelaskan bahwa pengetahuan tentang alam metafisika tidak
dapat diperoleh dengan akal akan tetapi dengan pengalaman indera. Hal ini
terlihat ketika Thomas menjelaskan tentang adanya Tuhan dengan pernyataan
bahwa manusia tidak dapat secara langsung dapat mengenal Tuhan, karena Tuhan
tidak dapat secara langsung disentuh oleh indera. 61 Menurutnya manusia dapat
mengenal Tuhan setelah manusia tersebut menjalankan pemikirannya yang
didahului oleh indera. Sehingga berdasakan pernyataan tersebut, Thomas
memberikan patokan yang jelas yaitu, ʺNil in intellectu nisis prius in sensuʺ
artinya tidak ada sesuatu pun pada akal, jika tidak diawali dengan adanya indera.
60 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 98-102. 61 Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986),h.92.
37
C. Metafisika dalam Pandangan Filosof
Metafisika dibagi dalam dua segi pemikiran yaitu, pemikiran filosof Barat
dan pemikiran filosof Islam.62 Menurut pemikiran filosof barat, metafisika
merupakan suatu eksistensi yang cenderung memikirkan asal mula dunia dan
manusia yang kecenderungannya bersifat niscaya, yaitu keinginan untuk hidup
bahagia, senang, sedih, marah, benci, cinta dan berbuat baik.63 Sedangkan
metafisika menurut pemikiran filosof-filosof Islam adalah pembahasan yang
cenderung kepada wujûd yang abstrak dan bersifat mutlak yaitu Tuhan (Allah
Swt). Pandangan masing-masing filosof tentang metafiska berbeda-beda diantara
yaitu:
1. Al-Ghazâlî
Menurut al-Ghazâlî metafisika merupakan ilmu yang mengkaji tentang alam dan
wujûd Tuhan yang akan menyebabkan kesalahan dalam pemikiran filosof sebab
para filosof menggunakan metode demonstrasi (burhân) yang bersumber hanya
kepada akal.64
2. Al-Kindî
Al-Kindî merupakan seorang filosof muslim yang lahir di daerah Kufah pada
tahun 801 M/185 H. Dalam metafisika, al-Kindî menegaskan bahwa segala yang
ada berkaitan dengan hakikat Tuhan, Tuhan adalah wujûd yang hak (benar) yang
62 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 11. 63 Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat, h. 22. 64 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam: Memahami Alur
Perdebatan Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 29.
38
bukan asalnya tidak ada menjadi ada, Tuhan selalu mustahil tidak ada, jadi Tuhan
adalah wujûd yang sempurna yang tidak didahului oleh wujûd yang lain.65
3. Plato
Plato adalah salah satu filosof yang dilahirkan pada tahun 427 dari keluarga
bangsawan yang mengikuti ajaran Sokrates yang berpandangan bahwa dalam
metafisika lebih cenderung permasalahannya kepada manusia karena manusia
terdiri dari tubuh dan jiwa, dimana sifat tubuh adalah material, sedang sifat jiwa
adalah immaterial.66
4. Aristoteles
Aristoteles adalah seorang filosof yang dilahirkan di kota Stagira, Macedonia,
384 SM, kemudian pergi ke Athena selama dua puluh tahun dan menjadi
muridnya Plato. Aristoteles disebut sebagai ʺguru pertamaʺ karena peletak
pertama sebagai seorang yang menyusun dan mesistematisir logika. Pengikutnya
dikenal dengan sebutan ʺParipathetikʺ.67 Menurut Aristoteles metafisika adalah
cabang filsafat yang mengkaji yang ada sebagai yang ada, bahkan sesuatu yang
terbatas adanya haruslah ada unsur kesamaan dan ketidaksamaannya yang
menuntut adanya sebab yang menjadikan hal yang ada menjadi ada.68
Setelah mengetahui definisi yang telah dijelaskan oleh masing-masing
filosof di atas timbullah metafisika khusunya tentang Wujud Tuhan yang
menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat atau paham di antaranya yaitu
paham:
65 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 19. 66 Donny Gahral, Matinya Metafisika Barat, hal.12. 67 Al-Ghazâlî, Al-Munqîdz min al-Ḏalâl, h. 143. 68 Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat, h. 39.
39
1. Monoisme
Monoisme merupakan paham yang menganggap bahwa hakikat yang asal
dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu tidak mungkin dua. Hakekat yang satu
tersebut sebagai sumber yang asal, baik merupakan materi maupun brupa rohani.
Kemudian monoisme terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Materialisme
Materialisme merupakan paham yang menganggap bahwa sumber yang
asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini juga sering disebut dengan istilah
naturalisme, tetapi ada sedikit yang membedakan antara istilah materialisme dan
naturalisme. Materialisme menganggap bahwa nilai ruh dan benda adalah sama,
artinya tidak terpisah dari alam yang satu.69 Sedangkan naturalisme menganggap
bahwa alam dan ruh memiliki nilai tidak sama karena ruh merupakan kejadian
dari benda. Paham ini dipelopori oleh Thales (624-546 SM) yang mengaggap
bahwa unsur dasar kejadian alam dan kehidupan itu berasal dari air.
b. Idealisme
Idealisme berasal dari kata “Idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Aliran ini beranggapan bahwa hakekat kenyataan yang beraneka ragam semua
berasal dari ruh (sukma) atau sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang.
Materi atau dzat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan ruhani.70 Alasan paham
ini yang menyatakan bahwa hakekat benda adalah ruhani adalah:
a. Nilai ruh lebih tinggi dari badan dan lebih tinggi nilainya dari pada materi
bagi kehidupan manusia
69 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h.135 . 70 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 138.
40
b. Manusia lebih dapt memahami dirinya daipada dunia luar dirinya
c. Materi merupakan kumpulan energi yang menempati ruang sehingga yang
ada hanya berupa energi saja, sedangkan benda tidak ada.
Dalam perkembangannya , aliran atau paham ini sesuai dengan ajaran
Plato (428-348 SM) yaitu dengan teori idenya yang menyatakan bahwa
setiap yang ada di alam mesti ada idenya.
2. Dualisme
Di bagian atas telah dijelaskan bahwa hakekat itu hanya satu (Monisme)
baik materi maupun ruhani. Berbeda dengan paham dualisme yang mengatakan
bahwa hakekat sesuatu itu ada dua yaitu terdiri dari hakekat materi dan hakekat
ruhani artinya bahwa materi bukan muncul dari ruh dan ruh bukan muncul dari
benda karena kedua hakekat tersebut masing-masing berdiri sendiri.71 Paham ini
sesuai dengan pernyataan Descartes (1596-1560 M) yang menamakan kedua
hakekat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
71 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 141.
41
BAB IV
PANDANGAN AL-GHAZÂLÎ TENTANG METAFISIKA
DALAM KONSEP FALSAFAH
A. Problematika Tentang Kekekalan Alam
Berbagai pengertian alam secara filsafat telah dijelaskan dari berbagai
sumber, tetapi yang paling populer pembahasan tentang alam yaitu ketika masa
berkembangnya ilmu filsafat oleh bangsa Yunani dan Arab (Timur Tengah) yang
dimulai ketika dilakukan penerjemahan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu dalam
bidang filsafat, dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-
buku ke dalam bahasa Arab secara sistematis terjadi pada masa Khalifah
Al-Ma’mûn (813-833 M). Dengan dilaksanakannya penerjemahan tersebut,
muncullah filosof-filosof yang dapat memberikan pengaruh besar dalam mengisi
khazanah intelektual Islam seperti, al-Kindî, al-Fârâbî, Ibn Sînâ, al-Ghazâlî,
al-Râzî dan lain-lain. Mayoritas filosof Islam mengembangkan penelitian
mengenai filsafat alam yang dihubungkan dengan ketuhanan.72
Menurut para filosof Islam, pengertian alam adalah sesuatu yang
berkenaan dengan sesuatu selain Allah, sedangkan filsafat alam adalah sebuah
cabang ilmu yang mempelajari alam semesta secara keseluruhan. Mutakallimûn
mendefinisikan bahwa alam adalah segala yang ada selain Tuhan atau al-Laṯâ’if”
atau ‘âlam al-Syahâdah” (alam yang terindera). Sedangkan menurut Ibn Rusyd
72 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. xv.
41
42
alam adalah sesuatu yang mungkin ada dengan sendirinya, alam juga sesuatu yang
harus ada karena menjadi bagian dari ilmu Tuhan.73
Permasalahan yang muncul mengenai kekekalan alam adalah pemikiran
tentang sifat yaitu: pertama, kekalnya alam yang berkaitan dengan pencipta,
kehendak, pengetahuan Tuhan tentang yang partikular. Kedua, hubungan alam
dengan ruang dan waktu. Menurut pandangan al-Ghazâlî bahwa alam diciptakan
Tuhan dari tiada yang bersifat hadîst atau tidak kekal yang mengharuskan adanya
pencipta.74 Alasan al-Ghazâlî tersebut tidak hanya berdasarkan akal saja, tetapi
berdasarkan al-Qurˊân yang dijadikan dalil sehingga cara pandang yang
dikeluarkan oleh al-Ghazâlî menjadi lebih jelas dibandingkan dengan filosof
lain yang tidak memakai dalil al-Qurˊân. Kebanyakan dari para filosof seperti al-
Fârâbî, Ibn Sinâ memiliki kesalahan yang fatal dalam bagian epistimologi
(logika), yaitu ketika menganalogikan kehendak qadîm dengan kehendak baru.
Sebelum menciptakan alam ini, Tuhan yang berkehendak telah ada, dan
kehendak pun telah ada, bahkan hubungan kehendak dengan obyeknya pun telah
ada. Kehendak Tuhan tidak merupakan suatu yang temporal, karena tiap sesuatu
selalu berubah. Bagi al-Ghazâlî kehendak Tuhan tidak dapat disamakan dengan
kehendak yang lain, karena kehendak manusia didorong oleh faktor luar,
sedangkan kehendak Tuhan tidak didorong oleh faktor luar. 75 Karena itu, Tuhan
tidak mustahil menciptakan alam dalam waktu dengan kehendak qadîm.
Selain al-Ghazâlî, Plato juga berpendapat bahwa alam ini bersifat baru
(hadîst), akan tetapi di akhir hayatnya Plato cenderung bersifat netral, alasan Plato
73 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 70. 74 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 84. 75 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. 26-27.
43
mengungkapkan hal tersebut, karena Plato memiliki pandangan bahwa alam ini
mustahil untuk dikaji, bukan karena sifat yang kurang pada alam, melainkan
disebabkan karena lebih rumitnya masalah yang menjadi karekter dan ciri khas
alam itu sendiri, sehingga dapat memusingkan pemikiran.76 Adapun filosof-filosof
yang lainnya, seperti Ibn Sinâ dan Aristoteles, berpendapat alam ini kekal dengan
alasan bahwa tidak mungkin sesuatu yang temporal (hadîst) terjadi dari sesuatu
yang eternal kekal (qadîm), sebab menetapkan alam yang baru harus ada faktor
penuntun yang menyebabkan alam bersifat baru.77
Al-Ghazâlî memberikan penjelasannya mengenai pernyataan di atas,
bahwa adanya alam yaitu sesudah adanya yang kekal, hal itu bisa terjadi karena
kehendak Tuhan tidak dibatasi dengan sesuatu di luar diriNya. Selain itu, alasan
lain yang dikeluarkan oleh al-Ghazâlî menjelaskan bahwa sesuatu yang berasal
dari diri Tuhan ialah hadîst yang berasal dari ketiadaan (‘adam) dan tidak akan
ada sebelum adanya perbuatan Tuhan.78
Kemudian permasalahan lain mengenai alam yaitu berkaitan dengan
pengetahuan Tuhan, bahwa Tuhan hanya mengetahui yang terperinci dari apa-apa
yang terjadi di alam. Persoalan dan perdebatan tentang pengetahuan Tuhan,
memang sangat menghiasi khazanah keilmuan Islam. Perdebatan ini terjadi
di antara para filosof misalnya, Aristoteles dan Plato, al-Ghazâlî, Ibn Rusyd dan
Ibn Sînâ.
76 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h.42.
77Abu Wafa al-Taftazanî, TasawufIslamTelaah Historis dan Perkembangannya (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. 200.
78 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h.63.
44
Usaha yang dilakukan oleh al-Ghazâlî dalam memberikan penjelasan
bahwa Tuhan mengetahui yang juzˊiyyât yang ada di alam ini, yaitu dengan
menghubungkan ayat al-Qurˊân yang terdapat dalam surat al-Hujurât ayat 16:
Artinya: Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, Padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"
Kemudian di dalam surat Yunus Ayat 61:
Artinya: ʺkamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Qurˊân dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar Zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh al-Mahfuzh)ʺ.
Selain al-Ghazâlî, Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan tidaklah
mengetahui persoalan juzˊiyyât (partikular) dan Tuhan ibarat seorang kepala
negara yang tidak mengetahui persoalan-persoalan kecil di daerahnya. Tuhan
merupakan akal murni yang tidak berada dalam materi, bahkan merupakan akal
yang setinggi-tingginya. Karena itu pengetahuan dari akal yang tertinggi itu
45
haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara
yang mengetahui dan yang diketahui. Karena itu pula tidak mungkin Tuhan itu
mengetahui selain daripada zat-Nya sendiri., sebab tidak ada zat lain yang sama
luhurnya dengan zat Tuhan.79
Sementara Ibn Rusyd menyetujui pendapat Aristoteles dengan alasan
bahwa Tuhan haruslah berupa suatu akal yang tertinggi yang penciptaannya
berawal dari akal pertama, memerintahkan akal kedua untuk mencipta, dan
seterusnya hingga akal ke sepuluh. Yang dimaksud Tuhan hanya mengetahui
secara universal dan tidak mengetahui masalah juzˊiyyât atau hal-hal partikular
adalah, bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Tahu. Artinya, Tuhan telah
mengetahui segala perincian dari awal, ketika Tuhan menciptakan alam. Jadi,
apabila Tuhan mengetahui hal-hal partikular, maka Ia tidak layak disebut Tuhan,
yang disebabkan pengetahuanNya berubah-ubah dari proses tidak tahu menjadi
tahu. Sebaliknya, apabila Tuhan itu mengetahui hanya secara partikular, berarti
sebelumnya Tuhan tidak mengetahui hal partikular tersebut, kemudian setelah hal-
hal partikular terjadi, barulah Tuhan tahu. Jika akal Tuhan bergerak dari tidak tahu
menjadi tahu, maka Tuhan tidak memiliki kekuasaan dan tidak dapat dijadikan
sebagai Tuhan.80
Menurut Ibnu Rusyd, Tuhan haruslah sudah mengetahui segala bentuk
perincian (yang partikular) dari awal penciptaannya secara universal. Sesuatu
yang diketahui Tuhan itu menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi
apabila Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil-kecil (partikular), maka pengetahuan
79 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h.152. 80 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h.65.
46
Tuhan tersebut disebabkan hal-hal yang kurang sempurna daripadaNya. Selain Ibn
Rusyd, al-Ghazâlî juga memberikan argumennya mengenai pengetahuan Tuhan
bahwa pengetahuan Tuhan hanya memiliki satu pengetahuan tertentu dengan
memberikan contoh tentang terjadinya gerhana matahari yang terjadi dalam tiga
keadaan yaitu: pertama, pada saat sebelum terjadinya gerhana matahari atau dalam
tahap menunggu tetapi eksistensinya sudah ada (tergambar), kedua. Pada saat
sedang terjadi (benar-benar ada). Ketiga, pada saat setelah terjadinya gerhana
matahari.81
Dalam ketiga keadaan di atas memiliki pengertian yang berbeda-beda.
Pertama, mengetahui gerhana tidak ada karena belum terjadi gerhana matahari.
Kedua, mengetahui adanya gerhana matahari. Ketiga, ketiadaan atau
menghilangnya gerhana (setelah terjadinya matahari). Dari ilustrasi tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa menurut al-Ghazâlî pengetahuan Tuhan bersifat
universal yang tidak termasuk dan terkait pada waktu (proses terjadinya gerhana
matahari). Dengan alasan segala peristiwa yang terjadi di alam selalu berubah,
sedangkan ilmu selalu tergantung kepada yang diketahui atau dengan kata lain
perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Apabila ilmu
berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya berarti Tuhan
mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin
terjadi. Misalnya pada peristiwa gerhana matahari, sedangkan sebelumnya tidak
gerhana dan gerhana akan hilang. Sebelumnya kita mengetahui gerhana itu tidak
ada dan ketika terjadi gerhana pengetahuan kita berubah jadi mengetahui adanya
81 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h. 60.
47
gerhana, lalu ketika gerhana berlalu, pengetahuan kita berubah jadi mengetahui
tidak ada gerhana lagi. Dari contoh ini bisa menunjukkan pengetahuan yang satu
bisa menggantikan pengetahuan yang lain. Tuhan mengetahui gerhana dengan
segala sifat-sifatNya, pengetahuan yang azali, abadi dan tidak berubah-ubah
seperti hukum alam yang menguasai terjadi gerhana.82
Pendapat Ibn Sînâ tentang pengetahuan Tuhan yang terperinci melalui
suatu yang kullî (universal) ternyata dikritik oleh Ibn Rusyd dengan alasan bahwa
ilmu Tuhan tidak bisa dibagi menjadi juzˊî dan kullî karena ilmu kullî
mengandung arti bahwa adanya potensi pada ilmu Tuhan, sedangkan ilmu Tuhan
tidak mengandung potensi sama sekali. Tetapi apabila dikatakan bahwa
pengetahuan Tuhan adalah lewat yang juzˊî maka juzˊî tersebut tidak akan ada
putus-putusnya dan itu menjadi sesuatu yang mustahil bagi Allah.
Selanjutnya al-Ghazâlî memberikan argumennya tentang pengetahuan
Tuhan bahwa Tuhan dapat mengetahui tentang dirinya sendiri, di antara
argumennya yaitu: pertama, kaum Muslimin mengetahui dan meyakini bahwa
alam bermula karena kehendak Allah dan bukan karena adanya sebab akibat
dengan membuktikan kepada kehidupan dan kehendak, sehingga mereka
menyadari akan sebuah kehidupan yang ada dalam dirinya. Begitu pula dengan
Tuhan, karena Tuhan adalah yang Maha Hidup maka tentu Tuhan juga
mengetahui akan dirinya sendiri.83 Apabila Tuhan tidak mengetahui selain dirinya
sendiri, maka Tuhan juga tidak dapat mengetahui diriNya sendiri, kemudian
82 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h.60. 83 Harun Nasution. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 36.
48
apabila Tuhan tidak dapat mengetahui selain diriNya berarti Tuhan memilki
kekurangan, sedangkan Tuhan bebas dari sifat seperti itu.
Problem selanjutnya yang dibahas oleh al-Ghazâlî ialah penciptaan alam
yang dihubungkan dengan ruang dan waktu. Al-Râzî adalah seorang filosof
Muslim yang hidup pada pemerintahan Dinasti Saman pada tahun 204-395 H,
berpendapat bahwa sebelum adanya alam ada suatu kuantitas yang terbilang yaitu
zaman (waktu).84 Sedangkan Ibn Thufail yang hidup di daerah Quadix pada tahun
506-58H, berpendapat bahwa alam adalah ciptaan Tuhan, yang tidak terkait
dengan adanya permulaan waktu dan batas akhir.85 Alasan tersebut, oleh Ibn
Thufail dijelaskan kembali dengan menggunakan sebuah contoh yaitu, jika
seseorang menggenggam suatu benda di dalam tangan kemudian benda tersebut
digerakkan oleh tangan, benda tersebut akan ikut bergerak yang disebabkan oleh
adanya gerakan tangan. Gerakan suatu benda dan gerakan tangan tersebut
merupakan pandangan dari segi zat, tetapi dari segi waktu tidak ada yang
mendahului karena gerakan benda dan tangan terjadi dalam waktu yang
bersamaan. Tujuan Ibn Thufail tentang alam yaitu alam ini bukanlah sesuatu yang
lain dari Tuhan, tetapi alam merupakan penampakan diri dari esensi Tuhan.
Sedangkan Aristoteles berpendapat bahwa zaman (waktu) adalah ukuran gerak,
dan gerak bersifat qadîm.86
Permasalahan alam yang dihubungkan dengan waktu memang menjadi
perdebatan sengit dari mulai filosof Barat hingga filosof Muslim. Menurut
al-Ghazâlî apabila mengandaikan wujûd Tuhan dan alam keberadaannya
84 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h.12. 85 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 111. 86 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h. 43.
49
bersamaan dengan wujûd Nya, hal itu sesuatu yang tidak mungkin karena adanya
alam disebabkan karena adanya Allah dan Allah yang telah mendahului alam,
kemudian al-Ghazâlî kembali memberikan pandangannya melalui empat macam
yaitu:
a. Zaman bersifat hadîst (baru) dan makhluk (tercipta) serta sebelum zaman tidak
ada zaman.
b. Wujûd Tuhan telah ada sejak azali sedangkan alam tidak, Allah berdiri sendiri
dalam wujûd Nya tanpa disebabkan oleh yang lain.
c. Keterangan bahwa sebelum dan sesudah adalah dua jenis dugaan yang
berhubungan dengan diri manusia saja.
d. Apabila dikatakan bahwa alam ini hadîst dan Allah berkuasa menciptakan alam
beberapa tahun sebelumnya atau dalam tahun-tahun yang lebih lama lagi tanpa
batasnya, maka zaman itu tidak memiliki awal permulaannya.87
Dari pernyataan tentang alam yang dikaitkan dengan waktu, al-Ghazâlî
berkesimpulan bahwa zaman dan ruang adalah hasil imajinasi akal atau perbuatan
yang hanya menghasilkan sebuah khayalan saja, karena itu zaman dan ruang tidak
merupakan sesuatu yang pasti karena waktu dan ruang tidak memiliki wujûd
sebelum alam diciptakan.88
B. Problematika Metafisika Dalam Wujûd Tuhan
Di antara isi ajaran al-Qurˊân yang paling penting adalah seruan dan
himbauan kepada seluruh umat manusia untuk menyembah hanya kepada Allah
87 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. xxi. 88 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. xx.
50
dan tidak memperserikatkanNya dengan yang lain. Selain itu, dalam ajaran
al-Qurˊân mengajak kepada manusia untuk mempergunakan akalnya dengan
mengamati, merenungkan segala peristiwa-peristiwa perubahan, pergerakan, sifat
dan sebagainya tentang apa yang terjadi pada alam ini.
Dari beberapa permasalahan tema-tema metafisika yang paling banyak
melahirkan kontroversi filosofis adalah problema wujûd. Hal ini karena wujûd
merupakan sesuatu yang tidak mudah didefinisikan. Untuk dapat mendefinisikan
suatu “objek” dibutuhkan sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri,
sehingga objek yang belum jelas dapat terlihat jelas dan terang seperti terangnya
cahaya matahari yang dapat dilihat oleh mata manusia.89
Secara historis, tema wujûd menjadi tema fundamental metafisika yang
didiskusikan oleh seluruh filosof klasik sejak Aristoteles, karena itu dalam karya-
karya filosof muslim, hampir seluruh buku magnum opus falsafah, seperti al-Syifâ
karya Ibnu Sinâ, Hikmah al-Isyrâq karya Suhrawardi, bahkan buku-buku kalam
karya Khowajeh Nasiruddin Thusî menempatkan masalah itu sebagai tema yang
penting.
Pandangan al-Ghazâlî mengenai wujûd Tuhan terbagi menjadi dua bentuk,
yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Penggunaan dalil naqli yaitu melalui perenungan
terhadap ayat-ayat al-Qurˊân yang memperhatikan alam semesta sebagai ciptaan
Tuhan, dari perenungan ayat dan fenomena alam itu, manusia dapat mengantarkan
kepada pengakuan adanya wujûd Tuhan. Di antara dalil naqli yang di ungkapkan
oleh Al-Ghazâlî dalam Iẖyâˊ ʻUlûm al –Dîn yaitu:
89 Http://politik dan pemikiran.com/2014/02/09 Islam-dalam-pandangan-imam-akbar.
51
Artinya: ″Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan
tujuh langit bertingkat-tingkat dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai
cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita″.
Selanjutnya al-Ghazâlî menunjukkan wujûd Tuhan melalui dalil aqli
dengan mengungkapkan :
ʺ Jelaslah bagi orang-orang yang berakal, apabila dia sedikit saja berfikir tentang kandungan ayat-ayat al-Qurˊân lalu ia alihkan pandangannya terhadap keajaiban makhluk Allah di bumi dan di langit serta keindahan penciptaan hewan dan tumbuhan, jelaslah bahwa perkara yang mengagungkan ini serta ketertiban yang rapi teratur ini mesti ada baginya pencipta yang mengaturnya, pembuat dan mengendalikannyaʺ.90
Berdasarkan dalil aqli di atas al-Ghazâlî berkesimpulan bahwa wujûd
Tuhan adalah qadîm, sedangkan wujûd makhluk adalah hadîts (baru).91 Wujûd
yang hadîts menghendaki sebab gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak
yang mengadakannya. Sebab musabab ini tidak akan berakhir sebelum sampai
kepada yang qadîm yang tidak diciptakan dan digerakkan. Dalam buku yang
berjudul Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama, wujûd Tuhan di istilahkan dengan
sebutan penggerak yang menimbulkan semua gerakan alam semesta dengan
segala macam pengertiannya, di antaranya gerakan dalam arti berpindahnya satu
keadaan dengan keadaan yang lain atau gerakan dari gerakan potensi (bil-
quwwah) kepada lingkungan actuality (bil-Fi ̒l).92
90 Al-Ghazâlî, Iẖyâ ́ʻUlûm al -Dîn, h. 105. 91 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), cet, III, h. 107. 92 Abbas MahMoud al-‘Akkad, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama- Agama dan
Pemikiran Manusia. (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h.182.
52
Selanjutnya dalam masalah dzat dan sifat Tuhan, al-Ghazâlî membatasi
dirinya dengan mengemukakan hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang
manusia memikirkan dzat Allah SWT. Dari hadîst nabi tersebut al-Ghazâlî
menegaskan bahwa akal manusia tidak akan sampai mencapai dzat itu, yang dapat
dicapai oleh manusia hanya mengetahui sifat melalaui af ʻâlNya saja.93 Mengenai
sifat Tuhan, al-Ghazâlî membagi kedalam dua bagian yaitu sifat dzat dan sifat
ma ʻani. Sifat dzat atau disebut juga dengan istilah sifat salbiyah yaitu sifat-sifat
yang menafikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesempurnaan dzat Allah SWT
seperti, qidâm (tidak berpemulaan), baqâʻ (kekal), mukhâlafah li al-Hawâdits
(berlainan dengan yang baru), qiyâmuh bi nafsih (berdiri sendiri) dan
wahdâniyyah (esa). Apabila dzat Tuhan tidak memiliki sifat-sifat tersebut, maka
sifat-sifat sebaliknya akan menghilangkan kesempurnaannya, yaitu: baru,
berakhir, sama dengan makhluk lainnya, bergantung kepada yang lainnya.94
Adapun sifat maʻâni (sifat-sifat yang melekat pada dzat Allah SWT), bukanlah
dzatNya, tetapi adanya sifat ini bersamaan dengan adanya Allah SWT dan tidak
dapat dipisahkan dari dzatNya. Sifat maʻâni di bagi menjadi tujuh yaitu: qudrah
(Maha Kuasa), irâdah (Maha Berkehendak), ‘ilm (Maha Mengetahui), samaʻ
(Maha Mendengar), basar (Maha Melihat), kalâm (Maha Berbicara) dan hayât
(Maha Hidup).
Dari sifat-sifat di atas al-Ghazâlî menempatkan empat ciri khas yaitu
sebagai berikut:
93 Al-Ghazâlî, Iẖyâ ́ʻUlûm al -Dîn, h. 112 94 Al-Ghazâlî, Iẖyâ ́ʻUlûm al -Dîn, h. 109.
53
1. Sifat-sifat maʻâni bukan merupakan dzat, tetapi tambahan pada dzat (ziâdah
qâʻimah fî al-dzat)
2. Sifat-sifat tersebut adalah kekal seperti halnya dzat Allah.
3. Sifat-sifat tersebut juga tidak boleh terpisah dalam keadaan apapun dari dzat
Allah, karena terpisah-pisah bukan merupakan watak sifat, tetapi watak jism,
artinya sifat tidak berwujûd di laur jism.
4. Nama-nama Allah yang berasal dari sifat-sifat tersebut telah terwujûd padaNya
sejak azali yang memiliki kekuasaan, berkehendak, mendengar dan lain-lain.95
Selain Al-Ghazâlî, permasalahan mengenai wujûd Tuhan juga di bahas
oleh al-Fârâbî yang membicarakan tentang pembagian wujûd Tuhan, adanya
wujûd Tuhan yang tidak disebabkan oleh wujûd yang lain serta cara membuktikan
bahwa Tuhan itu memiliki wujûd yang berbeda dengan wujûd yang lain. Untuk
memudahkan pemahaman yang lebih jelas tentang pembahasan wujûd menurut
al-Fârâbî, diperlukan pandangan dari ahli mutakallimîn seperti Muʻtazilah dan
Asyʻariyyah yang mengambil sumber kepada ajaran umat Islam yaitu al-Qurˊân
yang dijadikan oleh kedua golongan tersebut sebagai pembimbing dan pegangan
dasar yang dikembangkan melalui perumusan kerangka berfikir yang sistematis.
Menurut pandangan kaum Muʻtazilah wujûd Tuhan memiliki sifat yang
identik dengan dzatNya, dengan tujuan untuk menghilangkan adanya kejamakan
dari dzat Allah, sesuatu yang tidak mungkin terjadi sekiranya sifat Allah di
tafsirkan berbeda dengan dzatNya. Sedangkan kaum Asyʻariyah berpandangan
bahwa sifat Allah bukanlah dari dzatNya, artinya bahwa sifat itu memang bukan
95 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, h. 109.
54
dzat karena pengertian dzat dan sifat itu berbeda. Selain itu, yang di maksud
dengan sifat bukanlah dzat disini ialah sifat tidak dapat berwujûd sendiri diluar
dzat, sehingga antara dzat dan sifat tidak dapat dipisahkan dan selalu saling
berkaitan. Dari perdebatan dua golongan tersebut dapat diambil titik
permasalahannya, yaitu tentang wujûd yang berkaitan dengan sifat dan dzat.96
Pemikiran al-Fârâbî tentang wujûd dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles.
Hal tersebut terlihat jelas ketika al-Fârâbî membahas mengenai yang ada, yang
ada dalam keadaannya yang wajar, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan
semacam ini berusaha untuk memahami yang ada dan dalam bentuk semurni-
murninya (natural). Dalam hal ini yang terpenting ialah bukan membicarakan
yang ada itu dapat terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak,
melainkan apakah sesuatu yang ada itu dapat dibuktikan keberadaannya. Jika
dilihat dari cara berpikir filosof Islam yang sandarannya adalah akal sehat dan
wahyu, para filosof Islamlah yang sampai pada pendapat bahwa hanya Tuhan
yang benar-benar diyakini keberadaaaNya, artinya yang tidak tergantung pada
hal-hal lain. Sehingga, kesimpulan akhir bahwa segala sesuatu yang lainnya selain
Allah, mempunyai nilai nisbi.97
Al-Fârâbî mengatakan bahwa wujûd dan keberadaan Tuhan yang
sempurna sebagai wujûd pertama, tidak disebabkan oleh wujûd selain diriNya dan
sifat-sifat Tuhan tidak dapat menunjukkan adanya bagian yang terpisah pada dzat
96 Harun Nasution, Teologi Islam Islam, h. 135-136. 97 Al-Ghazâlî, Iẖyâˊ ʻUlûm al –Dîn, h.19-20.
55
Tuhan.98 Dengan filsafat emanasinya, al-Fârâbî mencoba menjelaskan bagaimana
yang banyak bisa timbul dari Yang Esa, artinya Tuhan menjadi sebab dari segala
wujud yang lain. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah dari dzatnya, jauh dari
materi, Maha Sempurna dan tidak bergantung kepada sesuatupun.99
Al-Fârâbî menjelaskan hal tersebut dengan teori emanasinya (penjelasan
yang membuktikan adanya pencipta) dengan bersandar kepada dalil naqli yaitu
sebagai berikut:
Artinya: Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala
sesuatu).
Dari ayat tersebut al-Fârâbî menjelaskan bahwa seluruh rangkaian sesuatu yang
berwujud menjadi sebab dan akibat yang berakhir kepada wujûd Tuhan dengan
menganalogikan wujûd Tuhan sebagai akal, yang berpikir tentang diri-Nya, dan
dari pemikiran ini timbul satu maujûd lain.100 Al-Fârâbî memberikan argumenya
bahwa Tuhan merupakan wujûd pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujûd
kedua, hal itu disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi.
kemudian wujûd kedua berpikir tentang wujûd pertama dan dari pemikiran ini
timbullah wujûd ketiga, atau disebut Akal Kedua. Wujûd II atau Akal Pertama itu
juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama dan selanjutnya
dengan segala planet yang ada pada sistem tata surya.
98 Syamsuddin, Ahmad, Al-Fârâbî Hayātuhu, Atsāruhu, Falsafatuhu, h. 86. 99 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, h. 36. 100 Ahmad Syamsuddin, Al-Fârâbî Hayātuhu, Atsāruhu, Falsafatuhu, h. 132.
56
Wujûd III/Akal II —— Tuhan = Wujûd IV/Akal Ketiga
—— dirinya = Bintang-bintang
Wujûd IV/Akal III —— Tuhan = Wujûd V/Akal Keempat
—— dirinya=Saturnus
Wujûd V/Akal IV —— Tuhan =Wujûd VI/Akal Kelima
—— dirinya=Jupiter
Wujûd VI/Akal V —— Tuhan=Wujûd VII/Akal Keenam
—— dirinya=Mars
Wujûd VII/AkalVI —— Tuhan=Wujûd VIII/Akal Ketujuh
—— dirinya=Matahari
Wujûd VIII/Akal VII —— Tuhan=Wujûd IX/Akal Kedelapan
—— dirinya=Venus
Wujûd IX/AkalVIII —— Tuhan=Wujûd X/Akal Kesembilan
—— dirinya=Mercury
Wujûd X/Akal IX —— Tuhan=Wujûd XI/Akal Kesepuluh
—— dirinya=Bulan
Pada pemikiran wujûd IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya
akal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi
pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah. Sepuluh
lingkaran geosentris yang disusun oleh al-Fârâbî berdasarkan sistem Ptolomeus.101
Kemudian al-Fârâbî membuktikan adanya wujûd Tuhan melalui pembagain wujûd
itu sendiri yaitu wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd. Wâjib al-wujûd ialah suatu
101 Ahmad Syamsuddin, Al-Fârâbî Hayâtuhu, Atsâruhu, Falsafatuhu, h. 132-133.
57
dzat yang wajib adanya serta wujûdNya ada karena diriNya, bukan karena sesuatu
yang berada di luar diriNya.102 Mumkin al-wujûd merupakan alam yang tanpa
adanya wujûd Tuhan tidak mungkin ada dalam kenyataan. Dalam pembagian
kedua wujûd di atas, al-Ghazâlî memberikan sebuah pertanyaan, apakah antara
wâjib al-wujûd dengan mumkin al-wujûd berasal dari wujûdnya sendiri?, dan
apakah yang menjadi tujuan al-Fârâbî membagi wujûd kedalam dua bagian?.
Al-Ghazâlî memberikan pandangan tentang wâjib al-wujûd dan Mumkin
al-wujûd bahwa, apabila wajib al-wujûd itu berasal dari wujûd itu sendiri, maka
mumkin al-wujûd tidak memiliki arti lain kecuali wujûd itu sendiri.103 Dari
pandangan al-Fârâbî terlihat adanya pemisah antara wâjib al-wujûd dengan
mumkin al-wujûd. Hal ini dapat diketahui ketika al-Fârâbî mengklasifikasikan
yang wujûd kedalam dua bagian yaitu:
1. Bagian wujûd yang esensinya tidak berfisik
Keadaan yang tidak berfisik ini memiliki dua keadaan, pertama, keadaan yang
tidak berfisik namun tidak menempati sesuatu yang fisik yaitu Allah, kedua,
keadaan yang tidak berfisik namun menempati sesuatu yang fisik di antaranya
yaitu, jiwa, bentuk dan materi.
2. Bagian wujûd yang berfisik
Bagian wujûd yang berfisik di antaranya yaitu, benda-benda langit,
manusia hewan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda tambang, dan unsur air, udara,
tanah serta api.104 Menurut pandangan al-Ghazâlî mengenai pembagian wujûd
tersebut akan menimbulkan kerancuan dalam pemikiran. Apabila dikatakan bahwa
102 Ahmad Syamsuddin, Al-Fârâbî Hayâtuhu, Atsâruhu, Falsafatuhu, h.136. 103 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h.79. 104 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 38.
58
kemungkinan wujûd misalnya air, tanah, udara dan api tidak identik dengan
eksistensi dari yang mungkin, dengan kata lain yang mumkin itu diciptakan dari
wujûd yang mumkin.105 Maka peran wâjib al-wujûd tidak lagi berhubungan
dengan mumkin al-wujûd, dan ini akan menimbulkan pernyataan bahwa mumkin
al-wujûd tidak berasal dari dzat yang wâjib al-wujûd. Untuk memahami hal
seperti itu, Al-Ghazâlî menganalogikan dengan pengetahuan Tuhan. Pengetahuan
yang disebabkan oleh wâjib al-wujûd harus identik dengan eksistensi dirinya
sendiri. Tetapi apabila pengetahuan wâjib al-wujûd tidak identik dengan
eksistensinya sendiri, maka pengetahuan wâjib al-wujûd terdapat kekurangan,
sedangkan dalam wâjib al-wujûd tidak terkait dari hal tersebut, karena wâjib
al-wujûd dapat mengetahui diriNya sendiri dan di luar selain dari diriNya.
Al-Ghazâlî membuktikan adanya wujûd Tuhan dengan menggunakan
metode kosmologi yang memiliki dalil bahwa yang berwujûd harus ada penyebab
bagi adanya wujûd yang lain, metode epistemologi yang merupakan cabang
filsafat yang meneliti asal, sifat, batasan pengetahuan manusia dan metode teologi
yang bersandar kepada akal dan wahyu. Sehingga, pandangan al-Ghazâlî
mengenai metafisika khususnya tentang kekekalan alam dan wujûd Tuhan lebih
kuat dan sejalan dengan ajaran agama Islam.
Pandangan al-Ghazâlî dalam membuktikan adanya wujûd Tuhan dengan
kosmologi yaitu bahwa semua yang maujûdât (makhluk yang terwujûd) di dalam
alam ini mempunyai suatu sebab, yang sebab tersebut tidak menjadikan sebab dari
yang lain (tanpa sebab). Karena menurut al-Ghazâlî apabila dikatakan bahwa
105 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. 80.
59
suatu sebab tidak ada batas akhir maka hal tersebut dinamakan tasalsul, artinya
tidak akan menemukan titik akhir mengenai pencipta dan ciptaannya, sehingga
dalam permasalahan ini banyak filosof yang terjebak kepada paham atheisme
yaitu paham yang tidak meyakini adanya pencipta.
Kemudian al-Ghazâlî membuktikan adanya wujûd Tuhan dengan
epistimologinya berdasarkan kelemahan dalam indera, yaitu tentang bayangan
sebuah tongkat yang terkena oleh sinar matahari, kemudian bayangan tersebut
bergerak dengan perlahan-lahan dan akhirnya bayangan tersebut akan hilang
dalam satu titik.106 Melihat hal seperti itu, al-Ghazâlî berpandangan bahwa
gerakan bayangan tongkat tersebut, ada yang menciptakan yaitu Allah. Pandangan
al-Ghazâlî tersebut, semata-mata bukan hanya dari pemikirannya sendiri tetapi
berdasarkan pemikiran ahli teologi yang bersandar berdasarkan al-Qurˊân surat
al-Rûm ayat 25 yaitu:
Artinya: ʺDan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit
dan bumi dengan perintahnyaNyaʺ.
Selain ayat di atas, pandangan al-Ghazâlî diperkuat kembali oleh
al-Qurˊân surat al-Baqarah ayat 162 yang menjelaskan bahwa Allah adalah
sebagai pencipta sekaligus penggerak atas ciptaannya yaitu sebagai berikut:
106 Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazâlî, h.31.
60
Artinya: ʺSesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkanʺ.
Adapun persamaan mengenai masalah metafisika antara al-Ghazâlî dengan
al-Fârâbî yaitu terdapat dalam pembahasan yang berhubungan dengan zat Tuhan
dengan sama-sama menggunakan dalil agama (dalîl syarʻî) dan dalil akal (dalîl
naqli), selain itu, al-Ghazâlî dan al-Fârâbî memiliki persamaan mengenai
keberadaan Tuhan yang tidak disebabkan selain diriNya. Menurut al-Fârâbî sifat-
sifat Tuhan tidak menunjukkan adanya bagian-bagian yang terpisah pada dzat
Tuhan dan sifat-sifat yang ada pada diri Tuhan tidak berbeda dengan dzatNya.107
Misalnya, seseorang boleh saja menyebutkan nama-nama Tuhan yang terkandung
dalam Asmâˊ al-Husnâ yang diketahuinya, akan tetapi nama tersebut tidak
menunjukkan bagian-bagian pada dzat Tuhan dan sifat yang berbeda dalam
diriNya.
Adapun perbedaan antara al-Ghazâlî dan al-Fârâbî mengenai wujûd Tuhan
yaitu berhubungan dengan keesaan Tuhan. Hakekat keesaan Tuhan menurut
107 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 36.
61
al-Fârâbî sempurna, maksudnya adalah yang ada tanpa sebab, karena jika Tuhan
bersebab, maka Tuhan tidak sempurna dan tergantung pada sesuatu yang
menyebabkannya itu. Tuhan memiliki wujûd yang paling dahulu dan mulia,
karena itu Tuhan wujûd zat yang Azali. ZatNya sendiri sudah menjadi cukup
untuk wujûdnya sendiri. Karena kesempurnaan itu, maka tidak ada yang lain yang
lebih sempurna dibandingkanNya, dan menyendiri dalam kesempurnaanNya.108
Jika ada dua, maka Tuhan tidak dapat disebut sempurna karena nilai sempurna
hanya pada satu. Selain itu, apabila Tuhan ada dua, maka Tuhan saling
melengkapi, dan jika saling melengkapi, maka Tuhan akan sama seperti
makhluknya yang tidak dapat berdiri sendiri. Karena itu, Tuhan yang Esa tidaklah
tergantung dengan yang lain, jadi tidak perlu ada dua Tuhan, karena Tuhan
sempurna. Jika Tuhan ada dua berarti Tuhan bergantung dengan Tuhan yang
lainnya, seperti halnya manusia yang saling bergantungan karena manusia banyak
kekurangan, maka manusia harus berbaur dalam menjalani hidup dan bergantung
pada orang lain. Pandangan al-Fârâbî, wujûd pertama ini bersifat sempurna, bebas
dari segala kekurangan, kesalahan dan tidak terdahului, abadi, contingensi dan
potensialitas, bukan gabungan dari bentuk atau materi dan juga tidak
bergantung.109
Al-Fârâbî berpendapat tentang keesaan Tuhan yaitu, Tuhan tidak dapat
dibatasi (definite) oleh sesuatu penyusunan. Sehingga berdasarkan pandangan
tersebut, seseorang tidak dapat menguraikan sifat-sifat Tuhan, seperti cahaya yang
menyilaukan mata, yang tidak dapat menguraikan warna-warna penyusun cahaya
108 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 36. 109 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h.100.
62
tersebut, karena sinarnya sangat menyilaukan mata. Selain itu, adanya
keterbatasan pengetahuan tentang Tuhan.
Penegasan mengenai keesaan Tuhan menurut al-Fârâbî nampak jelas,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnnya yaitu ketika al-Fârâbî membagi dua
jenis dalam wujûd yaitu: jenis wujûd yang eksistensinya tidak berfisik dan jenis
wujûd yang berfisik. Berdasarkan klasifikasi wujûd tersebut al-Fârâbî
mengemukakan, bahwasannya Yang Esa tidak mungkin berhubungan dengan
yang tidak esa, sehingga akan mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang
tidak sempurna dan itu akan menodai keesaan Tuhan.110
Al-Fârâbî dalam buku Musykilah al-Uluhiyyah mengungkapkan
bahwasannya Tuhan bersifat Esa dengan dalil al-Qurˊân yang terdapat dalam surat
al-Ihklas ayat pertama yaitu:
Artinya: Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
Selain itu Tuhan bersifat suci dari segala sifat kekurangan, dan bebas dari sekutu
Tuhan yang lain. Eksistensi Tuhan adalah wâjib al-wujûd, jika Tuhan lain yang
menandingi Tuhan yang Satu ini, maka tidak ada dualisme yang tidak
terealisasikan kecuali dengan membedakan hal tertentu. Dan tidak akan terealisasi
partisipasi keduanya dalam hal keniscayaan wujûd.111
Sedangkan keesaan menurut al-Ghazâlî terkenal dengan paham yang
sangat melawan segala sesuatu yang berbau syirik atau bertentangan dengan
110 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 38. 111 Muhammad Gholab, Musykilah al-̕ Uluhiyyah, (Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-`Arabiyah,
1951), h. 50-56.
63
Islam, istilah wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd menurut al-Ghazâlî apabila
istilah tersebut digunakan akan menimbulkan kerancuan dalam pemikiran,
sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa akan timbul pemikiran adanya
pemisah antara pencipta dan ciptaannya. Bahkan akan menimbulkan pandangan
yang mumkin itu diciptakan dari wujûd yang mumkin.112
Menurut Al-Ghazâlî yang dijelaskan dalam karyanya yang berjudul Iẖyâˊ
ʻUlûm al -Dîn Tuhan merupakan suatu dzat yang ada dan Esa, yang mana akan
dapat rasakan kehadirannya apabila seseorang benar-benar dapat mengetahui
hakikat sebenarnya dari dirinya sendiri. Bukan berarti menjadi satu, tetapi lebih
menghadirkan sifat-sifat Tuhan, atau berusaha menerapkan sifat-sifat Tuhan
dalam diri kita. Misalnya, al-Rahmân, al-Rahîm, berarti kita berusaha menjadi
penyayang, sehingga dengan cara seperti ini kita mendekatkan diri kepada Sang
Khaliq, dan merasakan sifat-Nya ada dalam diri kita.113
Pencapaian atas adanya wujûd Allah, dapat menjadikan seseorang mampu
menumbuhkan sifat-sifat yang mirip dengan sifat-sifat Allah yang ada didalam
dirinya. Diketahui eksistensinya dengan akal, terlihat zatNya dengan matahati
sebagai kenikmatan dari-Nya, kasih sayang bagi orang-orang yang berbuat baik di
negeri keabadian, dan penyempurnaan dariNya bagi kenikmatan yang
memandangNya yang mulia. Hal tersebut diatur dalam ilmu tasawufnya
al-Ghazâlî yang bercorak sunni yaitu pemikiran dan ajaran Tasawuf yang lebih
mengedepankan ẕahir dari al-Qurˊân dan hadîts, membatasi dan memberikan
112 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h.115. 113 Http://politik dan pemikiran.com/2014/02/09 Islam-dalam-pandangan- Imam akbar.
64
aturan-aturan yang ketat terhadap pengunaan makna-makna alegoris, serta
menyatukan antara ajaran Islam yang bersifat eksternal dengan ajaran internal.
Selanjutnya, dalam hal mengesakan Allah al-Ghazâlî membagi tauhid menjadi
empat tingkatan :
1. Tauhid orang munafik yakni, mengucapkan Lâilâhaillallâh dengan lisan, tetapi
hatinya lalai terhadap makna kalimat tauhid yang diucapkannya itu.
2. Hatinya membenarkan ucapan lisan, dan inilah tauhid mayoritas umat Islam.
3. Sesungguhnya menyaksikan apa-apa yang diucapkan dan dibenarkan oleh
hatinya dengan jalan kasyf melalui Nûr al-Haq, dan ini lebih dekat daripada
Muqorrobîn.
4. Seseorang tidak melihat dalam kewujudan ini kecuali Yang Esa. Dan hal ini,
terdapat dalam derajat musyahadah shiddîq.114
114 Al-Ghazâlî, Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn, h. 15.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metafisika adalah ilmu filosofis tertinggi karena materi subyeknya berupa
wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam persoalan dasar
yang harus diketahui. Inti dalam metafisika yaitu alam secara menyeluruh berada
di bawah kekuasaan pencipta (Allah), semua wujud yang ada di alam ini tidak
bergerak dengan sendirinya, tetapi digerakkan oleh penciptanya. Wujud dalam arti
bahasa religius, merupakan wujud non fisik yang mengacu kepada Tuhan dan
malaikat. Sedangkan dalam terminologi filosofis, wujud merujuk pada Sebab
Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.
Permasalahan mengenai metafisika adalah penciptaan alam yang di
dalamnya mempertanyakan tentang apakah alam baru atau kekal, tentang Tuhan
yang hanya mengetahui hal-hal yang terperinci (partikular) serta hubungan alam
dengan ruang dan waktu. Pandangan al-Ghazâlî tentang alam yaitu alam
diciptakan Tuhan dari tiada yang bersifat hadist atau tidak kekal yang
mengharuskan adanya pencipta. Berbeda dengan filosof lain yang mendukung
pernyataan bahwa alam kekal seperti Ibn Sinâ yang berpendapat bahwa alam ini
kekal karena terpancar dari akal pertama yang bersumber dari yang kekal yaitu
Tuhan. Dalam hal pengetahuan Tuhan al-Ghazâlî berpendapat bahwa Tuhan
mengetahui yang juzˊiyyât yang ada di alam ini dengan menghubungkan
65
66
penjelasannya terhadap ayat al-Qurˊân yang terdapat dalam surat al-Hujurât ayat
16.
Kemudian mengenai alam yang dikaitkan dengan ruang dan waktu,
al-Ghazâlî berkesimpulan bahwa zaman dan ruang adalah hasil imajinasi akal atau
perbuatan yang hanya menghasilkan sebuah khayalan saja, karena itu zaman dan
ruang tidak merupakan sesuatu yang pasti karena waktu dan ruang tidak memiliki
wujûd sebelum alam diciptakan.
Apapun dan bagaimanapun pandangan yang ditujukan kepada al-Ghazâlî,
ia tetap diakui sebagai seorang tokoh yang amat berjasa dalam menstabilkan
pemahaman umat terhadap ajaran agama Islam. Dalam hal wujûd, al-Fārābī
membuktikannya melalui pembagian wujûd itu sendiri yang disebut dengan
konsep wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd . Wâjib al-wujûd ialah suatu dzat
yang wajib adanya serta wujûdNya ada karena diriNya, bukan karena sesuatu
yang berada di luar diriNya sedangkan mumkin al-wujûd merupakan alam yang
tanpa adanya wujûd Tuhan tidak mungkin ada dalam kenyataan.
Al-Ghazâlî mengungkapkan tujuannya mengenai metafisika yaitu untuk
menyampaikan aspek-aspek realitas yang dapat dijangkau oleh indera dan
menganalisis dengan akal-pikiran menuju Tuhan. Selain itu, al-Ghazâlî juga
mendeskripsikan secara jelas tentang jalan menuju Tuhan sejak permulaan dalam
bentuk latihan jiwa lalu menempuh fase pencapaian rohaniah dalam bentuk
maqâmât dan ahwâl, yang akhirnya sampai pada fanâ, tauhîd, maʻrifât, dan
saʻâdah. Oleh sebab itu, al-Ghazâlî dikenal dengan sebagai peletak dasar teori
illuminasion (maʻrifât).
67
A. Saran
Penulis menyadarai bahwa masih banyak kekurangan yang harus
diperbaiki khususnya permasalahan mengenai metafisika yang membahas tentang
peciptaan alam dan wujûd Tuhan. Oleh karena itu, untuk penelitian lanjutan
disarankan hal-hal sebagai berikut:
a). Meneliti secara lebih komprehensif konsep-konsep yang digunakan
oleh al-Ghazâlî mengenai permasalahan-permasalahan dalam metafisika.
b). Menggunakan referensi berbahasa Inggris dan Arab, guna menghindari
kesalahan istilah, kemudian apabila menggunakan teks terjemahan, maka
gunakanlah teks terjemahan oleh pihak yang memiliki otoritas dibidangnya,
jadikan keduanya sebagai perbandingan.
Sebenarnya permasalahan dalam metafisika itu diawali oleh masalah
adanya kesadaran dalam diri manusia, dengan meyakini wujûd dirinya dan
hakekat dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia tidak kosong dari kesadaran
yang meyakini adanya wujûd terbesar dan hakekat alam semesta. Maka untuk
dapat mengetahui wujûd Tuhan, pertama kita harus memiliki kesadaran dan
keyakinan terhadap adanya wujûd Tuhan melalui ciptaannya yang ada di dalam
alam semesta, karena alam semesta bersandar kepada wujûd Tuhan.
Untuk menguatkan adanya wujûd Tuhan diperlukan pembuktian antara
dalil dan bukti yang dipegang oleh orang-orang yang percaya kepada al-Qurˊân
serta dalil atau bukti yang dipegang oleh orang yang ingkar terhadap al-Qurˊân.
68
Daftar Pustaka
Al-Ghazâlî, Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn. Mesir: Haramayn, 1957.
, Al-Munqîzd min al-Ḏalâl. Bairut: Daar al-Andalus, 1967. , Al-Munqîdz min al-Ḏalâl Setitik Cahaya Dalam Kegelapan Pergolakan Intelektual Sang Pencari Kebenaran dalam Telaah Kritis Modern. Surabaya: Pustaka Progressif, 2001.
, Iẖyâˊ ʻUlûm al –Dîn. Jilid VIII. Semarang: CV. Asy Syfa, 2003.
, Tahâfut al-Falâsifah, terj. Ahmadie Thaha. Jakarta: Pustaka, 1985.
Ash-Shiddieqy, Hasbi Muhammad, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhîd/
Kalâm. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999. Abid, M. Bisri, Minhâj al-‘Âbidîn. Jakarta: Pustaka Amani, 1986.
Abdu al-Razâq, Abû Bakr, Maʻa Al-Ghazâlî Fî Al-Munqîdz min al-Dlalâl. Mesir: Dâr al-Qawmiyyah, litṯobbʻâh, 1948.
al-‘Akkad, Abbas Mahmoud, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama- Agama
dan Pemikiran Manusia. Jakarta: Bulan Bintang, 1967. al-Taftazanî, Abu Wafa’ al-Ghanimî, Tasawuf Islam Telaah Historis dan
Perkembangannya. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008. Amin, Miska Muhammad, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat
Pengetahuan Islam. Jakarta: UI Press, 2006. As, Asmaran, Pengantar Studi Tasauf. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam. Jakart: UIN Jakarta Press, 2004.
Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1975.
C, Verhaak dan Imam, Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989.
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
69
Http://politik dan pemikiran.com/2014/02/09 Islam-dalam-pandangan- Imam akbar. Jahja, HM. Zurkani, Teologi al-Ghazâlî pendekatan metodologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1984.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang 2008.
Nasution, Harun, Teologi Islam Islam aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Jakarta: UI Press 2002. Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2006.
, Pemikiran para tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat. Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1986.
Othman, Allisa, Manusia Menurut Al-Ghazâlî. Bandung : Pustaka, 1981.
Qarḏawî, Yusuf, Al-Ghazâlî Antara Pro dan Kontra. Surabaya: Pustaka Progresif, 1996.
Sucipto, Hery, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr Sampai Nashr dan
Qarḏawî. Jakarta: PT Mizan Publika, 2003. Syamsuddîn, Ahmad, Al-Fârâbî Hayâtuhu, Atsâruhu, Falsafatuhu. Bairut:
Dâr al-Kitâb al-̕̕ Ilmiayah, 1999. Siregar, Rivay, Tasauf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta:
RajaGrafindoPersada, 2002. Sucipton, Hery, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Nasr Qarḏawî. Jakarta:
Hikmah, 2003.
Ya’qub, Hamzah, Filsafat Agama Titik Temu Akal Dengan Wahyu. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
69
Top Related