METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF...

76
METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Disusun oleh: M. Iqbalut Taufiq NIM: 109033100031 PROGRAM STUDI AQIDAH FALSAFAH FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M

Transcript of METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF...

Page 1: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Disusun oleh:

M. Iqbalut Taufiq NIM: 109033100031

PROGRAM STUDI AQIDAH FALSAFAH

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1435 H / 2014 M

Page 2: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi
Page 3: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi
Page 4: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi
Page 5: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

Abstrak

Permasalahan tentang metafisika akan tetap berlanjut selama masih ada kehidupan di alam ini, karena permasalah ini tanpa disadari ternyata menjadikan sebuah kebutuhan bagi manusia untuk memahami dengan sungguh-sungguh hakikat yang ada. Perjalanan hidup seseorang dapat terarah, apabila dalam diri seseorang tersebut menyadari bahwa dalam metafisika terdapat sebuah ilmu pengetahuan yang merupakan usaha sistematis, reflektif, dan menyeluruh dalam mencari kebenaran yang ada yang terletak di belakang hal-hal yang fisik. Sehingga pembahasan yang dikhususkan mengenai metafisika di sini adalah kajian yang berhubungan dengan sifat kekekalan alam serta kajian yang berada di luar alam fisika (wujûd Tuhan). Seiring dengan perkembangan zaman, problem alam metafisika semakin luas pembahasannya, mulai dari filosof Yunani sampai filosof muslim mengeluarkan argumen dan pemikiran-pemikirannya yang bertujuan untuk dapat menjelaskan dan memahami dunia metafisika. Mayoritas para filosof, untuk memahami dan menjelaskan alam metafisika itu tidak dapat dipisahkan dengan yang namanya alam fisik karena adanya suatu yang berwujûd pasti ada yang menciptakan. Permasalahan wujûd yang akan dimunculkan yaitu penjelasan dan pembagian wujûd Tuhan menurut al-Fârâbî. Pandangan tentang wujûd menurut al-Fârâbî khususnya tentang pembuktian wujûd dengan membagi akal pertama sampai akal sepuluh, sama halnya dengan pandangan wujûd menurut Neo-Platonis yang menyatakan bahwa alam ini berasal dari wujûd yang perama yang dari wujûd pertama tersebut melahirkan wujûd-wujûd yang lainnya. Berbeda dengan tokoh yang diambil dalam penulisan ini, yaitu al-Ghazâlî seorang tokoh peletak dasar filosofis pertama kali teori iluminasionis (Pengetahuan tentang Tuhan) yang memberikan penjelasan dan gambaran bahwa wujûd Tuhan merupakan wujûd yang Esa (Tunggal) yang keberadaan wujûd nya tidak disebabkan oleh adanya wujûd yang lain, selain itu adanya wujûd Tuhan menjadikan sebab adanya wujûd yang lain. Hal ini dijelaskan dalam karya-karya al-Ghazâlî diantaranya yaitu; Tahâfut al-Falâsifah, Al-Munqîdz min al-Dlalâl dan Maqâsid al-falâsifah.

Page 6: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN..............................................................................i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN..................................................................iii ABSTRAK.........................................................................................................iv PEDOMAN TRANSLITERASI......................................................................v KATA PENGANTAR.......................................................................................vi DAFTAR ISI......................................................................................................vii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................8

C. Tinjauan Pustaka....................................................................9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................10

E. Metode Penelitian.................................................................11

F. Sistematik Penulisan.............................................................12

BAB II BIOGRAFI AL-GHAZÂLÎ A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan..........................14

B. Karya Tulis..........................................................................20

C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran.............................22

BAB III METAFISIKA

A. Pengertian Metafisika..........................................................28

B. Sejarah Perkembangan Metafisika......................................29

C. Metafisika Dalam Pandangan Filosof................................37

BAB IV PANDANGAN AL-GHAZÂLÎ TENTANG METAFISIKA

DALAM KONSEP FALSAFAH

A. Penciptaan Alam..................................................................41

B. Wujûd Tuhan......................................................................49

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................65

B. Saran....................................................................................67

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................68

Page 7: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

DAFTAR PUSTAKA PEDOMAN TRANSLITERASI

f = ف a = ا

q = ق b = ب

k = ك t = ت

l = ل ts = ث

m = م j = ج

n = ن ẖ = ح

w = و kh = خ

h = ه d = د

ˊ = ء dz = ذ

y = ى r = ر

z = ز

s Untuk Madd dan Diftong = س

â = آ sy = ش

î = ٳى s = ص

û = ٲو ḏ = ض

aw = ٲو ṯ = ط

ay = ٲى ẕ = ظ

ʻ = ع

gh = غ

Page 8: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai sebuah disiplin filsafat, permasalahan metafisika telah dimulai

sejak zaman Yunani kuno, dari filosof-filosof yang membicarakan alam sampai

Aristoteles (284-322 SM). Aristoteles sendiri tidak pernah memakai istilah

”metafisika” tetapi, Aristoteles menyebutnya dengan sebutan filsafat pertama

yaitu suatu disiplin ilmu yang mengkaji hal-hal yang sifatnya di luar fisika, hal

tersebut bertujuan untuk membedakan antara ilmu metafisika dengan ilmu logika,

matematika, fisika, kimia dan lain-lain. Fisika merupakan ilmu yang membahas

berbagai fenomena alam yang memiliki sifat bergerak dan berubah.1 Sedangkan

istilah metafisika yang kita kenal sekarang, berasal dari bahasa Yunani yaitu ta

meta ta physika yang artinya “yang datang setelah fisika”, istilah tersebut

pertamakali diberikan oleh Andronikos dari Rhodos (70 SM) terhadap karya-

karya Aristoteles yang disusun sesudah (meta) buku fisika.2

Pada zaman modern ini, permasalahan tentang metafisika akan tetap

berlanjut, karena dalam diri manusia memiliki fitrah untuk mengetahui hakekat

yang ada di alam ini. Apabila dalam diri manusia tidak menyadari fitrahnya yaitu

sebagai ciptaan yang diciptakan oleh Tuhan, maka manusia tersebut tidak

memiliki keyakinan terhadap Tuhan, sehingga timbul dalam dirinya paham

1 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam: Memahami Alur

Perdebatan Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), h.6. 2 Loren Bagus, Matafisika (Jakarta: Gramedia, 1991), h. 18.

Page 9: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

2

atheisme atau tidak percaya kepada adanya Tuhan. Paham tidak percaya terhadap

Tuhan akan menimbulkan keadaan jiwa yang tidak tetap, seperti kegundahan hati,

kebingungan, tidak tenang dan tidak mendapatkan kebahagian dalam hidup,

sehingga menyebabkan semakin jauhnya manusia dari Tuhannya. Selain itu,

penyebab kekeringan spritual seseorang antara lain dapat dideteksi melalui

fenomena kehidupan manusia yang terus dihadapkan pada situasi kepentingannya

sendiri.

Pandangan al-Ghazâlî terhadap metafiska sangatlah luas pembahasannya,

sebagaimana yang telah dijelaskan dalam karya-karya al-Ghazâlî yang berjudul

Tahâfut al-Falâsifah dan Al-Munqîdz min al-Dlalâl. Di antara pembahasannya

yaitu mengenai pengetahuan Tuhan, bahwa pengetahuan tuhan hanya mengetahui

yang particular (juzˊiyyât), tentang jiwa yang mempersoalkan sifat jiwa itu sendiri,

apakah jiwa bersifat benda atau bukan, selain itu, membahas juga tentang

pembangkitan jasad di hari akhir dan lain-lain.3 Akan tetapi, mengenai pandangan

al-Ghazâlî tentang metafisika yang dijadikan judul dalam skripsi ini, penulis

hanya memfokuskan pembahasan kepada dua permasalahan yaitu:

1. Penciptaan Alam

Al-Ghazâlî memberikan pandangannya tentang metafisika, yang dimulai

dari sebuah keyakinan para filosof yang menyatakan bahwa adanya alam itu

bersifat kekal.4 Permasalahan yang muncul mengenai penciptaan alam adalah

pemikiran tentang sifat kekalnya alam yang berkaitan dengan pencipta, kehendak,

3 Al-Ghazâlî,Tahâfut al-Falâsifah (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), h 12. 4 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 83.

Page 10: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

3

pengetahuan Tuhan tentang yang hanya mengetahui hal-hal terperinci (partikular)

serta hubungan alam dengan ruang dan waktu.

Menurut pandangan al-Ghazâlî bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada

yang bersifat hadîts atau tidak kekal yang mengharuskan adanya pencipta.5

Berbeda dengan filosof lain yang mendukung pernyataan bahwa alam kekal

seperti Ibn Sinâ. Menurut Ibn Sinâ alam ini kekal karena terpancar dari akal

pertama yang bersumber dari yang kekal yaitu Tuhan. Pernyataan tersebut

menjadi perbedaan pendapat dikalangan para filosof yang terdahulu maupun

kemudian, sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan bahwa apakah yang menjadi

alasan dan bukti bahwa alam itu kekal?,6 dan apakah ada pembuktian secara

rasional tentang kekekalan alam?. Kemudian yang menjadi alasan mengapa

kekekalan alam bukan hanya pembahasan fisika tetapi kepada metafisika, karena

pembahasan tentang alam yang dimulai dari masa Helenisme sejak 4 SM sampai

masa kebangkitan Islam 6-13 M, tidak lagi mempertanyakan asal mula terjadinya

alam berbentuk fisik, tetapi pembahasan alam telah berkembang pembahasannya

kearah non fisik. Artinya sebuah pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dengan

panca indera, seperti pertanyaan alam yang dikaitkan dengan pencipta, kehendak,

sifat dan lain-lain.7

Kemudian permasalahan lain mengenai alam yaitu berkaitan dengan

pengetahuan Tuhan, bahwa Tuhan hanya mengetahui perician dari apa-apa yang

5 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 84. 6 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, terj. Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka,1984), h.15. 7 Al-Ghazâlî, Al-Munqîdz min al-Dlalâl Setitik Cahaya Dalam Kegelapan (akhir

pergolakan Intelektual Sang Pencari Kebenaran), terj. Masyur Abadi, (Bairut: Dâr al-Kutub al-ʻImiyah , 2001), h. 135-140.

Page 11: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

4

terjadi di alam. Usaha yang dilakukan oleh al-Ghazâlî dalam memberikan

penjelasan bahwa Tuhan mengetahui yang juzˊiyyât yang ada di alam ini, yaitu

dengan menghubungkan ayat al-Qurˊân yang terdapat dalam surat al-Hujurât ayat

16. Pembahasan selanjutnya yang dibahas oleh al-Ghazâlî ialah penciptaan alam

yang dihubungkan dengan ruang dan waktu. Dalam hal ini permasalahan yang

muncul adalah apakah adanya alam didahului dengan ruang dan waktu. Menurut

al-Ghazâlî zaman dan ruang adalah hasil imajinasi akal atau perbuatan yang hanya

menghasilkan sebuah khayalan saja, karena itu zaman dan ruang tidak merupakan

sesuatu yang pasti karena waktu dan ruang tidak memiliki wujûd sebelum alam

diciptakan.

2. Wujûd Tuhan

Pembahasan mengenai wujûd Tuhan, merupakan pembahasan yang dapat

menarik serta mendorong para filosof Yunani maupun filosof Islam untuk

mengkaji lebih dalam, karena pembahasan tentang wujûd Tuhan khususnya dalam

Islam, dijadikan sebagai dasar keyakinan (tauhîd) yang kuat untuk dapat

menjalankan ajaran-ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Di antara filosof Islam

yang mengkaji tentang wujûd Tuhan yaitu; Ibn Sinâ, Suhrawardi dan Mulla

Shadrā. Tetapi dalam hal ini, yang akan diangkat mengenai wujûd Tuhan yaitu

pandangan al-Fârâbî mengenai wujûd Tuhan itu sendiri, dengan alasan karena

penjelasan dan pandangan al-Fârâbî tentang wujûd Tuhan banyak dipertanyakan

dan diperdebatkan oleh al-Ghazâlî misalnya mengenai, apakah adanya wujûd

Tuhan disebabkan oleh wujûd yang lain?. Apa alasan al-Fârâbî membagi wujûd

kedalam dua bagian yaitu wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd?, serta

Page 12: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

5

bagaimanakah cara al-Fârâbî membuktikan bahwa Tuhan itu memiliki wujûd yang

berbeda dengan wujûd yang lain?.

Al-Fârâbî lahir pada tahun 260-339 H di daerah Faraba, yang merupakan

daerah Persi perbatasan.8 Menurut al-Fârâbî, wujûd dan keberadaan Tuhan tidak

disebabkan oleh selain diriNya dan sifat Tuhan tidak menunjukkan adanya

bagian-bagian yang terpisah pada dzat Tuhan.9 Misalnya, seseorang boleh saja

menyebutkan nama-nama Tuhan yang terkandung dalam Asmâˊ al-Husnâ yang

diketahuinya, akan tetapi nama tersebut tidak menunjukkan bagian-bagian pada

dzat Tuhan dan sifat yang berbeda dalam diriNya. Melihat pernyataan mengenai

wujûd Tuhan menurut al-Fârâbî menimbulkan pertanyaan bagi al-Ghazâlî yaitu,

apakah antara sifat dan dzat memiliki kesamaan dalam hal eksitensi? dan apakah

dzat dalam wujûd Tuhan saling berhubungan?.

Untuk membedakan antara wujûd Tuhan dengan wujûd yang lain,

al-Fârâbî membagi wujûd dalam dua bagian yaitu, mumkin al-wujûd dan wâjib

al-wujûd. Yang dimaksud mumkin al-wujûd disini adalah alam ini yang tanpa diri

Tuhan tidak mungkin ada dalam bentuk fisik, sedangkan wâjib al-wujûd ialah jika

dilihat dari dzatNya, maka Dia wajib adanya, yakni Tuhan ada karena diriNya,

bukan karena sesuatu yang berada di luar diriNya.10 Dalam pembagian kedua

wujûd di atas, al-Ghazâlî memberikan sebuah pertanyaan, apakah antara wâjib

al-wujûd dengan mumkin al-wujûd berasal dari wujûdnya sendiri? dan apakah

8 Al-Ghazâlî, Al-Munqîdz min al-Dlalâl Setitik Cahaya Dalam Kegelapan Pergolakan

Intelektual Sang Pencari Kebenaran dalam Telaah Kritis Modern.terj. Masyhur Abadi, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2001), cet. I, h. 149.

9 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 36 10 Ahmad Syamsuddîn, Al-Fârâbî Hayâtuhu, Atsâruhu, Falsafatuhu (Bairut: Dâr al-

Kitâb al-ʻIlmiyyah, 1999), h. 132.

Page 13: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

6

yang menjadi tujuan al-Fârâbî membagi wujûd kedalam dua bagian?. Al-Ghazâlî

memberikan pandangan bahwa, apabila wâjib al-wujûd itu berasal dari wujûd itu

sendiri, maka mumkin al-wujûd tidak memiliki arti lain kecuali wujûd itu

sendiri.11

Adapun persamaan mengenai masalah metafisika antara al-Ghazâlî dengan

al-Fârâbî yaitu terdapat dalam pembahasan yang berhubungan dengan dzat dan

sifat Tuhan yang sama-sama menggunakan dalil agama (syaʻrî) dan dalil akal

(naqli). Pernyataan dan permasalahan-permasalahan mengenai metafisika yang

telah dideskripsikan di atas, menjadi salah satu faktor terhadap diri al-Ghazâlî

untuk memberikan pandangan-pandangan dan argumennya.

Al-Ghazâlî menjelaskan pandangan-pandangan terhadap alam metafisika

melalui metode ilmu falsafah, kalam dan tasawuf dengan tujuan untuk menjaga

akidah ahlusunnah terhadap pemikiran ahli bid’ah yang sekiranya tidak sesuai

dengan syara atau pola pemikiran umat Islam yang bersumber kepada al-Qurˊân

dan hadîts.12 Selain itu, tujuan al-Ghazâlî juga ingin menetapkan bahwa hanya

Tuhanlah yang qadîm dan Esa, serta berkehendak mutlak yang wujûd dan keesaan

Tuhan, tidak disebabkan oleh wujûd yang lain. Sehingga, apabila ada sesuatu

wujûd yang menyebabkan adanya wujûd Tuhan, maka menjadi pertentangan

terhadap prinsip dan ajaran agama Islam.

Dari pernyataan di atas dapat digambarkan alasan dan tujuan mengapa

al-Ghazâlî memberikan pandangan mengenai metafisika. Adapun perbedaan dan

11 Al-Ghazâlî,Tahâfut al-Falâsifah, h. 79. 12 Abû Bakr A̒bd al-Razâq, Ma ʻa Al-Ghazâlî Fî Al-Munqîdz min al-Dlalâl (Mesir: Dâr

al-Qawmiyyah, litṯobbâ ʻah, 1948), h. 101-102.

Page 14: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

7

persamaan mengenai permasalahan metafisika dapat disimpulkan bahwa

perbedaan tersebut terdapat dalam cara pandang yang digunakan oleh masing-

masing filosof untuk memeroleh kebenaran yang berhubungan dengan metafisika.

Dalam epistemologi Islam, cara memeroleh kebenaran metafisika berbeda-beda,

ada yang mengunakan metode perenungan (contemplation), pencerapan

(perception) dan pengalaman (experience/dzawq), penalaran (concept).

Sedangkan sarana atau alat yang digunakan adalah akal dan hati.13

Al-Fârâbî merupakan seorang filosof muslim yang mendapat sebutan

sebagai “guru kedua”.14 Alasan pernyataan tersebut karena al-Fârâbî merupakan

filosof Muslim yang pertamakali memperkenalkan ilmu logika dalam Islam.

Sehingga dalam epistemologinya, khususnya dalam menjelasakan wujûd Tuhan,

al-Fârâbî banyak menggunakan logika yang merupakan cabang ilmu falsafah yang

berpusat pada akal (pemikiran) serta lebih menggunakan metode taˊwîl.15

Berbeda dengan al-Ghazâlî yang menjelaskan metafisika bukan hanya

dengan metode falsafah akan tetapi dengan menggunakan metode tasawuf yang

berupa perenungan dan pengalaman yang khususnya berkaitan dengan proses

bagaimana menjelaskan wujûd Tuhan.16 Sebab menurut al-Ghazâlî, jalan tasawuf

merupakan ilmu yang mengandung kesempurnaan ilmu dan amal, memutuskan

jalannya nafsu, membersihkan dari akhlak yang tercela serta sifat yang jelek.

13 Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam.

(Jakarta: UI Press, 2006.), h.12. 14 Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam (jakarta: Bulan Bintang, 1964), h. 88. 15 Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, h. 46. 16 Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, h. 57.

Page 15: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

8

Adapun alat untuk memeroleh kebenaran metafisika dalam metode tasawuf adalah

hati, karena dengan hati dapat memeroleh nilai-nilai tertinggi dalam agama.17

Dengan kata lain, letak perbedaan antara al-Ghazâlî dengan al-Fârâbî

tentang metafisika terdapat dalam metodologi yang tidak terlepas pada alat atau

sarana yang digunakan, apakah bersifat rasionalis atau empiris. Meskipun telah

terjadi sebuah perselisihan dan perbedaan ideologi di antara al-Ghazâlî dengan

al-Fârâbî, mereka tetap menemukan satu titik temu yang sama sebagai pencipta

dan sumber dari pengetahuan yaitu zat yang hakiki (Tuhan).

Pada pembahasan skripsi ini, penulis mencoba untuk mengambil judul

pandangan al-Ghazâlî tentang metafisika. Hal ini penulis lakukan karena belum

ada yang membahas secara rinci tentang judul tersebut, sehingga penulis tertarik

untuk membahasnya. Adapun dalam penulisan ini, yang menjadi alasan dalam

pengambilan judul tersebut yaitu untuk menambah nilai-nilai ketahuhidan serta

memberikan pengetahuan tentang alam metafisika.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami masalah yang dibahas,

penulis perlu mengadakan pembatasan dan perumusan masalah yang sesuai

dengan judul yang dimaksud. Dalam hal ini penulis membatasi permasalahan

disekitar pandangan al-Ghazâlî terhadap metafisika dalam konsep falsafah yang

berkaitan dengan penciptaan alam dan wujûd Tuhan. Adapun perumusan dalam

skripsi ini adalah:

17 Al-Ghazâlî, Iẖyâ ́ʻUlûm al -Dîn (Mesir: Haramayn, 1957), h. 21.

Page 16: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

9

1. Bagaimana perspektif al-Ghazâlî tentang metafisika yang berhubungan

dengan penciptaan alam dan wujûd Tuhan?

2. Apakah yang menjadi alasan dan tujuan al-Ghazâlî memberikan pandangan

tentang hal tersebut?

3. Masalah apa saja yang muncul mengenai penciptaan alam dan wujûd Tuhan?

Dengan batasan tersebut penulis memfokuskan batasan dan rumusan

masalah, yaitu bagaimana al-Ghazâlî memandang permasalahan yang timbul

mengenai penciptaan alam dan wujûd Tuhan.

C. Tinjauan Pustaka

Pembahasan mengenai pandangan al-Ghazâlî tentang metafisika

tampaknya sangat memberikan arti yang sangat besar bagi penulis dalam

menambah informasi dan pemahaman untuk melengkapi dan memperdalam kajian

dalam skripsi ini. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan tinjauan pustaka

terhadap karya-karya al-Ghazâlî, khususnya dalam kajian falsafah.

Berdasarkan data katalog Perpustakaan Umum dan Fakultas Ushuluddin

UIN Jakarta penulis hanya menemukan tiga karya yang penulis anggap

berhubungan dengan skripsi yang sedang penulis garap ini. Adapun tiga karya

tersebut yaitu:

Pertama. Disertasi yang berjudul Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat

Islam (Memahami Pergulatan Al-Ghazâlî Dengan Ibn Rusyd). Disertasi ini ditulis

oleh Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat

Page 17: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

10

pada tahun 2004 M/1424 H. Tulisan itu membahas perdebatan antara al-Ghazâlî

dengan Ibn Rusyd dalam persoalan metafisika, perbedaan pandangan dan

pemikiran antara kedua tokoh tersebut terlihat jelas ketika masing-masing tokoh

tersebut memberikan pandangan dan argumennya yang berkaitan dengan

permasalahan metafisika. Adapun pembahasan metafiska dalam disertasi ini

diantaranya menjelaskan pengetahuan Tuhan tentang hal-hal terperinci, kekekalan

alam, kebangkitan jasad di akhirat, hukum kausalitas dan mukjizat dan lain-lain.

Kedua. Skripsi yang berjudul Epistemologi Menurut al-Kindî dan

al-Ghazâlî. Skripsi ini ditulis oleh Fauzi Fauzan El-Muhammady, Fakultas

Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat pada tahun 2003 M/1423 H yang isinya

membahas tentang pandangan al-Kindî dan al-Ghazâlî terhadap kebenaran dengan

pendekatan komperatif di antara tokoh tersebut. Selain itu, skripsi ini membahas

pemikiran al-Kindî dan al-Ghazâlî dalam menyikapi terjadinya proses

pengetahuan tentang hakekat kebenaran.

Ketiga. Skripsi yang berjudul Perenialisme Dalam Tasauf yang ditulis

oleh Taufik Ismail, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat pada tahun

2005 M/1426 H. Skripsi ini membahas tentang Tuhan yang dijadikan sebagai

wujûd absolut dan mutlak, selain itu skripsi ini membahas tentang pluralisme

agama serta usaha untuk menelusuri kesadaran religius.

Yang membedakan skripsi ini dengan skripsi yang lain diantaranya:

a. Dalam skripsi ini pembahasan lebih memfokuskan pandangan al-Ghazâlî

mengenai metafisika dalam hal penciptaan alam serta wujûd Tuhan

Page 18: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

11

b. Memberikan perbedaan dan persamaan pemikiran antara al-Ghazâlî dan

filosof-filosof lain seperti al-Fârâbî dan Ibn Sinâ tentang permasalahan

mengenai metafisika dalam hal penciptaan alam serta wujûd Tuhan.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni tujuan umum dan khusus.

Secara umum penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan dan membahas

pandangan al-Ghazâlî tentang metafisika dalam konsep falsafah, dengan mengenal

lebih dalam sejarah kehidupan, pemikiran, dan karya-karya al-Ghazâlî. Sedangkan

tujuan khususnya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam rumusan masalah

adalah untuk mengetahui pandangan al-Ghazâlî terhadap permasalahan metafisika

yang berhubungan dengan penciptaan alam dan wujûd Tuhan. Penelitian ini

diharapkan memiliki nilai akademis yang dapat memberikan kontribusi bagi

pengembangan ilmu dalam bidang keagamaan sehingga dapat menambah

khazanah ilmu pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Selain itu, penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Strata

Satu (S1), bagi penulis.

E. Metode Penelitian

Dalam membahas permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan,

penulis melakukan penelitian ini dengan menggunakan penelitian pustaka (library

research). Data-data yang dihimpun terdiri atas bahan-bahan tertulis yang telah

Page 19: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

12

dipublikasikan dalam bentuk buku yang berkaitan langsung maupun tidak

langsung dengan penelitian ini. Sumber primer dari penelitan ini adalah kitab

Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn (Kairo: Ḥaramayn, 1957), Al-Munqîdz min al-Dlalâl (Kairo:

Dār al-Qawmiyyah,1948), dan Tahâfut al-Falâsifah, terj. Ahmadie Thaha

(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985). Sedangkan buku-buku sekunder dari penelitian

ini adalah buku-buku yang membahas seluk beluk pemikiran dan sejarah

pengalaman al-Ghazâlî, di antaranya adalah: Ali Issa Otman, Manusia Menurut

al-Ghazâlî, terj. Johan Smith, Anas Mahyuddin dan Yusuf (Bandung: Pustaka,

1981), Prof, Yûsûf Qarḏawî, Al-Ghazâlî antara Pro dan Kontra (Surabaya:

Pustaka Progresif, 1996); Ahmad Syamsuddîn, Al-Fârâbî Hayâtuhu, Atsâruhu,

Falsafatuhu. Bairut: Daar al-Kitab al- ̕̕ Ilmiayah, 1999, Al-Ghazâlî, Minhâj

al-‘Âbidîn, terj. Abul Hiyadh (Jakarta: Pustaka Amani, 1986); Harun Nasution,

Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2008) dan lain-lain.

Secara teknis, analisis data yang digunakan bersifat kualitatif dengan

teknik pembahasan deskriptif analitis yang bertujuan untuk menjelaskan

pandangan al-Ghazâlî terhadap metafisika dalam konsep falsafah yang berkaitan

dengan kekekalan alam dan wujûd Tuhan. Sementara teknik penulisan dalam

skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,

dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Devlopment and

Assurance UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Page 20: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

13

F. Sistematika Penulisan

Secara garis besar skripsi ini terdiri dari lima bab, setiap bab terdiri dari

sub-sub yang disusun secara sistematis yaitu sebagai berikut:

Bab I, merupakan bab pendahuluan, dalam pendahuluan ini akan dibahas

mengenai sub-sub yaitu: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II, membahas seputar biografi al-Ghazâlî. Bab ini dibagi menjadi

tiga sub bab yaitu: latar belakang keluarga dan pendidikan, karya-karyanya dan

perkembangan serta pengaruh pemikiran.

Bab III, membahas definisi metafiska. Bab ini menjelaskan tentang

pengertian metafisika, sejarah perkembangan metafisika, metafiska dalam

pandangan filosof

Bab IV, membahas pandangan al-Ghazâlî tentang metafisika dalam

konsep falsafah. Bab ini menjelaskan tentang: problematika metafisika

mengenai penciptaan alam, problematika tentang wujûd Tuhan dan hubungan

antara alam dengan wujûd Tuhan.

Bab V, Penutup. Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dan saran.

Page 21: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

14

BAB II

BIOGRAFI AL-GHAZÂLÎ

A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

Nama lengkap al-Ghazâlî adalah Abu Hamîd Ibn Muhammad Ibn

Muhammad Ibn Ahmad Al-Ghazâlî.18lahir pada pertengahan abad ke-5 H tahun

450 H/1059 M di desa Taberan Distrik Thus di Khurasan.19 Latar belakang

keluarga al-Ghazâlî memiliki ketaatan agama yang cukup baik, ayah al-Ghazâlî

bernama Muhammad, seorang muslim yang soleh dan ibu al-Ghazâlî bernama

Umm Khair Fatima seorang ibu yang baik dan taat dalam beribadah. Sekalipun

orang tua al-Ghazâlî bukan termasuk golongan orang kaya namun orang tua

al-Ghazâlî selalu meluangkan waktunya untuk menghadiri majelis-majelis

pengajian yang diselenggarakan oleh ulama-ulama.

Ayahnya memiliki semangat yang tinggi dalam mencari ilmu dan selalu

berdo’a agar puteranya menjadi seorang ulama yang pandai dan suka memberikan

nasehat. Ayah al-Ghazâlî bekerja sebagai seorang pemintal dan pedagang kain

wol. Selain al-Ghazâlî ayahnya mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama

Abu Al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-Tusî

Al-Ghazâlî yang dikenal dengan julukan Majuddîn (wafat pada tahun 520 H).

Keduanya kemudian menjadi ulama besar, dengan kecenderungan yang berbeda.

18 Abû Bakr A̒bd al-Razâq, Ma ʻa Al-Ghazâlî Fî Al-Munqîdz min al-Ḏalâl, h. 8. 19 Al-Ghazâlî, Kerancuan Filosof, terj. Ahmad Maimun (Yogyakarta: Islamika, 2003), Cet,

I, h. xxix.

14

Page 22: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

15

Majuddîn lebih cenderung pada kegiatan da’wah dibanding al-Ghazâlî yang

menjadi penulis dan pemikir.20

Al-Ghazâlî mengawali pendidikannya di daerah kelahirannya. Pendidikan

yang ditanamkan oleh ayahnya sejak kecil yaitu mempelajari al-Qurˊân dan dasar-

dasar ilmu keagamaan yang lainnya. Oleh sebab itu, Imam al-Ghazâlî memiliki

ketinggian dalam memeroleh ilmu. Menjelang akhir hayat, ayah al-Ghazâlî

menitipkan kedua anaknya kepada karibnya, dengan pesan agar kedua anaknya

tersebut di berikan pendidikan dengan baik sampai harta peninggalannya habis.21

Setelah ayahnya wafat, al-Ghazâlî dan saudaranya diberikan pendidikan oleh

seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya, yaitu Ahmad bin Muhammad

al-Razîkanî al-Tusî, seorang ahli tasauf dan fiqih dari Tus. Pada awalnya, Ahmad

bin Muhammad al-Razîkanî al-Tusî mendidik mereka secara langsung. Namun,

setelah harta mereka habis, sementara itu sufi yang mendidik al-Ghazâlî pun

sudah tidak mampu lagi untuk memberikan bekal, sehingga sufi tersebut

menyarankan agar kedua anak tersebut tetap melanjutkan belajar dengan jalan

mengabdi pada sebuah sekolahan di dearah Thus. Kemudian sufi itu memberikan

nasihat kepada al-Ghazâlî bahwa tujuan menuntut ilmu bukanlah untuk mencari

penghidupan, melainkan semata-mata untuk memperoleh keridhaan Allah SWT

dan mencapai pengetahuan tentang Allah SWT secara benar.

Sekolah yang disarankan guru al-Ghazâlî, memberikan kepada para

pelajarnya pakaian, makanan, dan fasilitas yang disediakan secara gratis sehingga

20 Abuddin Nata, Pemikiran para tokoh Pendidikan Islam ( Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada, 2000), h. 80. 21 As, Asmaran, Pengantar Studi Tasauf (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), h. 323.

Page 23: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

16

menjadi tujuan al-Ghazâlî dalam menuntut ilmu. Di tempat ini yaitu daerah Thus

al-Ghazâlî mulai belajar dan dapat menguasai Bahasa Arab dengan fasih, di

tempat ini juga al-Ghazâlî memiliki seorang guru sufi yang terkenal yaitu Yusuf

al-Nassaj. Dikarenakan minatnya yang mendalam terhadap ilmu, al-Ghazâlî mulai

mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, falsafah dan usul fiqih dengan

mempelajari segala pendapat keeempat mazhab dalam ilmu fiqih. Kemudian

al-Ghazâlî melanjutkan menuntut ilmunya kepada Alî Nashr al-Ismâʻîl seorang

ulama terkenal di Thusi.22

Pada tahun 473 H, yang terletak di daerah Jarajan, al-Ghazâlî berguru

kepada Imam Harmayin serta al-Juwaynî, dari Imam Harmayin serta al-Juwaynî

al-Ghazâlî memperoleh ilmu, dialektika, ilmu alam, falsafah dan logika.23

Al-Juwaynî kemudian meminta al-Ghazâlî untuk mengajar di sana. Al-Ghazâlî

juga belajar tasauf dari al-Farmâdzî dengan mempelajari ajaran syiʻah taʻlimiyah

yang mengklaim dirinya sebagai pemilik otoritas atas kebenaran Tuhan. Ajaran

ini merupakan ajaran fundamental Syiʻah Ismâʻîliyah yang sudah lama mereka

anut sebelum al-Ghazâlî lahir.

Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa al-Ghazâlî mempunyai

pendidikan spiritual yang kuat, sehingga menjadi dasar pembentukan kepribadian

dalam perkembangan hidup selanjutnya. Al-Ghazâlî telah dilantik menjadi maha

guru di Madrasah Niẕamîah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana

menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijriyah. Al-Ghazâlî telah mengembara ke

22 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi

(Jakarta: PT Mizan Publika, 2003), h. 163. 23 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 225.

Page 24: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

17

beberapa tempat seperti Mekkah, Madinah, Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa

dengan ulama-ulama, dengan tujuan untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang

ada. Setelah itu, sekitar tahun 489 H/1096 M, al-Ghazâlî meninggalkan Damaskus

menuju Jerusalem. Pada saat itu al-Ghazâlî sempat berziarah ke makam al-Khalîl

Ibrahîm sampai kemudian tergerak untuk melakukan ibadah haji. Sebelum

kembali ke Jerussalem dari ibadah haji al-Ghazâlî mampir terlebih dahulu ke

Baghdad karena rindu kepada keluarganya, namun di Baghdad kehidupan

spiritualnya terganggu dan segera al-Ghazâlî berkhalwat. Namun gurunya Abu

Nasr di Damaskus sudah meninggal dunia dan akhirnya ke Jerusalem.

Setelah melakukan perjalanan spiritual, al-Ghazâlî menjumpai realitas

masyarakat yang mengalami dekadensi moral, sosial dan krisis iman.24 Faktor

inilah yang menariknya kembali ke kancah penyebaran ilmu dan melepas baju

uzlahnya, akhirnya al-Ghazâlî menerima kembali ajakan penguasa Saljuk yang

baru yaitu Fakhr al-Muluk putra Niẕam al-Muluk untuk mengajar kembali di

madrasah Naisyapur. Dalam pengembaraannya, al-Ghazâlî menulis kitab Iẖyâ ˊ

ʻUlûm al -Dîn yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat Islam dan

pemikiran manusia dalam semua masalah.

Dari Nasyapur al-Ghazâlî pergi ke Mu’askar sebuah kota yang indah bagi

tempat tinggal keluarga Sultan Saljuk, terutama wazirnya yang terkenal adalah

Niẕam al-Mulk. Al-Ghazâlî mendapatkan sambutan dan respek yang istimewa

dari wazir tersebut. Selama enam tahun di kota itu al-Ghazâlî menghabiskan

waktunya dalam forum diskusi dan perdebatan ilmiyah serta merenungkan

24 HM. Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazâlî pendekatan metodologi (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1996.), h, 66.

Page 25: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

18

kembali ilmu-ilmu yang al-Ghazâlî dapatkan, juga menulis karya tentang ilmu

kalam.

Karena kehebatannya, Niẕâm al-Mulk mengangkat al-Ghazâlî menjadi

guru besar di bidang fiqh dan teologi sekaligus rektor Universitas Niẕamiyah di

Baghdad dalam usia yang relatif muda yaitu 34 tahun.25 Al-Ghazâlî menjadi

pengajar dan rektor di universitas tersebut selama kurang lebih 4,5 tahun. Pada

fase ini dikenal dengan fase Baghdad di mana al-Ghazâlî banyak menghabiskan

waktunya untuk belajar, menelaah buku-buku falsafah secara otodidak dan

menulis buku. Maka lahirlah beberapa karya al-Ghazâlî dalam berbagai bidang

ilmu, seperti fiqh, ushul fiqh, mantiq, falsafah dan tentang bathiniyah. Beberapa

karyanya tersebut tidak hanya bercorak deskriptif, tetapi juga argumentatif berupa

penolakan unsur-unsur tertentu.

Di Damaskus al-Ghazâlî merenung, membaca dan menulis, selama kurang

lebih dua tahun dengan tasauf yang dijadikan sebagai jalan hidupnya. Kemudian

melanjutkan pengembaraannya ke Palestina dan menunaikan haji disana,

sekembalinya dari ibadah haji al-Ghazâlî kembali ke Thus, selama rentang waktu

itulah al-Ghazâlî mengarang buku-buku seperti Al-Maʻârif al-ʻAqliyah, Miʻyâr

al-ʻIlm al-Mantiq dan lain-lain.26 Karena desakan penguasa di masanya,

al-Ghazâlî bersedia kembali mengajar di sekolah Nizam pada tahun 499 H. Akan

tetapi hal ini hanya berlangsung selama dua tahun, pada masa inilah, al-Ghazâlî

baru menemukan hakekat yang dicarinya, yaitu “Tarîqah Sufi”, jalan hidup abadi.

25 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h.29. 26 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 79.

Page 26: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

19

Kemudian al-Ghazâlî mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqahâˊ dan sebuah

pondok untuk para mutasawwifîn.

Al-Ghazâlî dikenal bukan saja sebagai seorang intelektual, atau ahli Fiqh,

tapi juga seorang sufi. Al-Ghazâlî tidak hanya menguasai dan memahami ilmu

falsafah, namun juga ilmu pokok-pokok agama (ushûl al-dîn) serta menguasai

wacana-wacana mistik Islam (sufisme), yang hingga sekarang ini masih menjadi

warisan abadi kaum muslimin di berbagai belahan dunia. Petualangan ilmunya

membawa kepada keraguan epistemologi (skeptis) dalam jiwanya, karena semua

ilmu yang al-Ghazâlî pelajari tidak ada yang memuaskan kegelisahan intelektual

dan spiritualnya sehingga al-Ghazâlî mempelajari tasauf dengan membaca

literatur-literatur ilmu tasauf yang berhubungan dengan perbuatan dan hati seperti

karya al-Muhâsibî, al-Junaidi, al-Shiblî, al-Busthâmî dan lain-lain.27

Al-Ghazâlî kemudian pergi ke Damaskus. Di sana, al-Ghazâlî menemui

seorang guru sufi bernama Abu Fatah Nasr Ibn Ibrahîm al-Maqdisî al-Nablusî

(490 H/1097 M), seorang ulama terkemuka mazhab Syafiʻî, dengan tujuan ingin

mencurahkan sepenuhnya pada jalan sufi. Di tempat tersebut al-Ghazâlî tinggal

selama 2 tahun dan selama itu pula al-Ghazâlî melakukan uzlah, khalwat, riyâḏah

dan mujâhadah sebagaimana ajaran tasauf yang diperolehnya. Perilakunya itu

didedikasikan untuk menjernihkan batin agar mudah berdzikir kepada Allah.

Pada tahun 1110 M al-Ghazâlî kembali ke tanah kelahirannya, kemudian

mendirikan madrasah bagi para pengkaji ilmu-ilmu agama dan bagi para sufi,

ditempat inilah menghabiskan masa hidupnya sebagai pengajar dan guru sufi yang

27 Al-Ghazâlî, Al-Munqîzd min al-Ḏalâl, h. 184.

Page 27: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

20

memiliki murid 150 orang. Al-Ghazâlî wafat pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/

Desember tahun 1111 M pada usia 55 tahun.28 Perjalanan intelektual dan spiritual

dalam menemukan ketenangan batin dan mengikut jalan sufi dicurahkan dalam

autobiografinya yang berjudul al-Munqîzd min al-Ḏalâl Pembebas daripada

Kesesatan).

B. Karya Tulis

Diantara karya-karya al-Ghazâlî dapat disebutkan disini sebagai mana

telah ditulis oleh Dr. Asmaran AS,MA. Dalam bukunya studi pengantar tasauf.

A. Dalam bidang falsafah, antara lain:

1. Maqâsid al-falâsifah

2. Tahâfut al-Falâsifah

3. Al-Maʻârif al-ʻAqliyah

4. Miʻyâr al-ʻIlm al-Mantiq

B. Dalam bidang ilmu kalam, antara lain:

1. Al-Iqtisâd al-Iʻtiqâd

2. Al-Risâlah al-Qudsiyyah

3. Ilgham al-ʻAwwan mâʻan ʻIlm al-Kalâm

C. Dalam bidang fiqih dan Ushul Fiqh, antara lain:

1. Al-Wajîz

2. Al-Wasît

3. Al-Basîth

28 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr Sampai Nashr dan Qardlawi

(Jakarta: PT Mizan Publika, 2003), h. 164.

Page 28: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

21

Dalam bidang tasauf, antara lain:

1. Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn

2. Al-Munqîdz min al-Ḏalâl

3. Minhâj al-ʻÂbidîn

4. Mīzân al-ʻAmal

5. Kîmiyâ al-Saʻâdah

6. Miskat al-Anwâr

7. Ar-Risâlah al-Laduniyyah

8. Bidâyah al-Hidâyah

9. Al-ʻAdab fî al-Dîn

10. Kitâb al-Arbaʻîn.29

Itulah karya-karya al-Ghazâlî yang dapat memberikan pengaruh dan

dampak positif kepada agama Islam sehingga khazanah keilmuan Islam pun

menjadi berkembang. Dari sekian banyak karya al-Ghazâlî yang sudah disebut di

atas, bahwa tidak semua dari karya-karya al-Ghazâlî di atas memuat secara utuh

persoalan yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. Adapun karya-karya

yang memuat dan merupakan karya utama yang membahas masalah fisika dan

metafisika, antara lain:

1. Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn, kitab ini diterbitkan ribuan kali diantaranya diterbitkan

oleh Dārul Qalam daerah Bairut.30 Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn, merupakan bagian-bagian

utama dari pandangan al-Ghazâlî dalam usahanya dalam memeroleh kebenaran

dengan cara memadukan antara tasauf, logika, falsafah dan fiqih. Tetapi dalam

29 As, Asmaran, Pengantar Studi Tasauf, h. 328. 30 Al-Ghazâlî , Mutiara Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn, terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan,

1997), Cet.I, h. 50.

Page 29: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

22

kitab ini cenderung lebih mengarah kepada ajaran tasauf yang bersifat rohani

seperti:

a. Membersihkan hati dari sifat iri hati, sombong, ria.

b. Mengkosongkan hati dari hawa nafsu.

c. Mengisi dan menghiasi hati dengan berdzikir.31

2. Al-Munqîdz min al-Ḏalâl,al-Ghazâlî dalam buku ini memberikan pandangan-

pandangan dan argumen terhadap failasuf-failasuf yang berkaitan dengan masalah

fisika dan metafisika. Selain itu, dalam buku ini al-Ghazâlî mengembangkan

pemikirannya serta mereflesikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta

menjelaskan jalan menuju Tuhan.32

3. Maqâsid al-falâsifah, sebagaimana yang dijelaskan dalam buku filsafat Islam

karangan Dr. Hasyimsyah Nasution, buku ini menjelaskan tentang cara al-Ghazâlî

menguraikan serta menjelaskan ajaran-ajaran para filosof yang menganut ajaran

Aristolianisme pada masa itu, terutama membahas tentang logika, ketuhanan, dan

kealaman.

C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran al-Ghazâlî

Perkembangan dan pengaruh pemikiran al-Ghazâlî dimulai ketika mencari

ilmu pengetahuan tentang kebenaran hakiki, khususnya mengenai epistemologi

yang berdasarkan cara-cara dan metode yang digunakan oleh empat kelompok

31 As, Asmaran, Pengantar Studi Tasauf, h. 332. 32 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 79.

Page 30: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

23

yaitu ; Pertama, kelompok Mutakallimûn. Kedua, kelompok Bâṯiniyyah. Ketiga,

kelompok falâsifah. Keempat, kelompok sûfî.33

Pertama, al-Ghazâlî dalam pencarian kebenaran dan pengetahuannya

masuk dalam bagian Mutakallimûn (Kelompok ahli Teologia) yang didalamnya

terdapat ilmu kalam yang merupakan argumentasi-argumentasi dengan

menggunkan dalil-dalil rasional dan membuat penolakan terhadap kaum bid ̒ah

yang tidak sesuai dengan akidah Ahl al-Sunnah. Dalam kelompok ini al-Ghazâlî

menganut paham al-Asʻariyah yang berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban

yang dilakukan oleh manusia seperti mengerjakan perbuatan yang baik, itu

ditentukan dan diatur oleh wahyu yang pengetahuan tentang perbuatan baik

tersebut dapat diperoleh dengan akal.34 Kemudian kelompok ini menyatakan

dirinya sebagai eksponen dari pengetahuan dan pemikiran intelektual. Dalam

perjalanan selama kurang lebih dua bulan al-Ghazâlî belum marasakan kepuasan

dalam pencariannya, sebab al-Ghazâlî menemukan batasan akal yang dijadikan

oleh para teolog sebagai sumber kebenaran.

Kedua, al-Ghazâlî masuk kepada kelompok Bâṯiniyyah, merupakan

kelompok dari para pengajar (ta ̒ lîm) yang menyatakan bahwa hanya mereka

yang mendapatkan kebenaran dari seorang imam yang sempurna dan tersembunyi.

Ketiga, al-Ghazâlî masuk pada bagian Filsafat, yang menyatakan bahwa dirinya

sebagai eksponen dari logika (akal) yang digunakan dalam membuktikan

33 Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazâlî, terj. Johan Smith dari buku The

Concept of Man in Islam in The Writings of Al-Ghazâlî (Bandung: Pustaka, 1981), 35. 34 Harun Nasution, Teologi Islam Islam aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.

(Jakarta: UI Press 2002), h. 84-85.

Page 31: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

24

kebenaran, kemudian akal tersebut mampu mengangkat makna yang abstrak.35

Tetapi dalam keadaan ini timbul permasalahan tentang akal bahwa akal terdapat

batasan di dalamnya sehingga al-Ghazâlî merasa tidak mendapatkan kepuasan.

Keempat al-Ghazâlî masuk pada bagian Sufi (Tasawuf), kelompok ini

menyatakan bahwa hanya merekalah yang mencapai tingkat hadir dengan Allah

dan memiliki penglihatan serta pengertian secara Bâṯiniyah.36 Dalam perjalanan

pertama yaitu kelompok Mutakallimûn, al-Ghazâlî beranggapan bahwa

pengetahuan merupakan hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indera.37

Tetapi, setelah al-Ghazâlî menganalisa dan menyelidiki dengan pengetahuannya

melalui panca indera penglihatan ternyata terdapat kepalsuan dan kedustaan.

Maka al-Ghazâlî beranggapan bahwa dalam mencari kebenaran dengan kelompok

ini tidak bisa menemukan kebenaran yang sempurna, seperti bintang dan matahari

dalam pengetahuan melalui indera penglihatan memiliki bentuk yang kecil hanya

sebesar mata uang dinar, tetapi dengan menggunakan akal melalui perhitungan

geometris bahwa bintang dan matahari memiliki bentuk yang ukurannya lebih

besar dari bumi.

Dari penjelasan di atas dapat digambarkan bahwa pola pemikiran serta

cara pandang al-Ghazâlî tentang metafisika tidak terlepas dari cara dan metode

yang digunakan oleh empat kelompok tersebut yaitu: Pertama, al-Ghazâlî

menggunakan akal pikiran dan wahyu, kedua menggunakan panca indera, ketiga

menggunakan pengalaman (zawq), sedangkan untuk metodenya menggunakan

35 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 166. 36 Al-Ghazâlî, IẖyaˊʻUlûm al -Dîn (Mesir: Haramayn, 1957), h. 18. 37 Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, h. 80.

Page 32: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

25

metode induksi (metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil

observasi yang disimpulkan dalam pernyataan yang lebih umum) dan deduksi

(metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam

pernyataan yang lebih runtut).

Al-Ghazâlî mengatakan dalam karyanya Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn tentang akal

bahwa akal pikiran tidak dapat berjalan tanpa pengetahuan, dan sebaliknya

pengetahuan tidak dapat berjalan tanpa akal. Oleh karena itu, orang yang

mendukung taqlid tanpa menggunakan ilmu intelektual adalah orang yang bodoh,

dan orang yang sombong adalah orang yang merasa puas dengan pengetahuan

yang dimilikinya tanpa adanya cahaya dari al-Qurˊân dan al-Sunnah.38 Dalam

buku yang berjudul Manusia Menurut Al-Ghazâlî yang ditulis oleh Ali Issa

Othman bahwa akal pikiran merupakan instrumen pengetahuan baik tentang

pengetahuan umum maupun pengetahuan tentang wahyu yang merupakan

pembimbing kebenaran agama sehingga antara akal pikiran dan pengetahuan

saling membutuhkan.

Ilmu teologi dan falsafah memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam ilmu-

ilmu pengetahuan sama halnya dengan al-Ghazâlî yang menempatkan ilmu

teologi sebagai sub divisi atau bagian-bagian dari pengetahuan yang spekulatif di

dalam suatu divisi ilmu pengetahuan umum serta menjadikannya sebagai sub

divisi dari ilmu-ilmu dasar (usûl) dari ilmu-ilmu keagamaan seperti; tauhid,

logika, al-Qurˊân, hadist termasuk didalamnya ilmu tasawuf. Dalam tasawuf,

al-Ghazâlî menggunakan metode perenungan, yaitu kegiatan dari akal pikiran

38 Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazâlî, h. 74.

Page 33: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

26

yang mengandung sebuah pemikiran terdasar yang harus dibimbing serta dituntun

oleh kebenaran wahyu. Maka menurut teori al-Ghazâlî, pengetahuan dalam

mencari kebenaran tidak dapat dipisahkan dari seluruh kepribadian seseorang.39

Al-Ghazâlî memilih titik akhir dalam pencarian ilmu pengetahuannya pada

kelompok sufi, karena kebenaran yang ada dalam segala ilmu pengetahuan dapat

diyakini kebenarannya apabila sesuai antara pengetahuan dengan kenyataan

terutama kenyataan mengenai Tuhan. Kemudian dari pernyataan tersebut,

al-Ghazâlî mengungkapkan tujuannya dalam mencari ilmu pengetahuan yaitu

mendapatkan nilai-nilai tertinggi dalam agama.

Al-Ghazâlî menunjukkan sikap keraguan terhadap pengetahuan dan

kebenaran yang telah diperolehnya, sikap yang dimiliki al-Ghazâlî pada saat itu,

merupakan sikap yang menolak dari taqlîd (menerima begitu saja pengetahun

yang diajarkan oleh orang lain). Ketika al-Ghazâlî mengalami keraguan (Skeptis)

terhadap pengetahuan dan kebenaran, pertanyaan yang selalu timbul dalam

dirinya yaitu, Apakah kepercayaan kepada Allah dapat menjadikan pengetahuan

tertentu, jika Allah harus disembah, haruslah Allah diketahui dengan pasti

keberadaannya. Pertanyaan ini yang menjadikan perubahan pemikiran al-Ghazâlî,

sehingga al-Ghazâlî melakukan perenungan diantaranya, tentang manusia sebagai

insan yang serba tahu, sifat dan berbagai perkembangan manusia tentang

hubungan manusia dengan pihak luar, baik dengan alam maupun dengan

masyarakat serta hubungan manusia dengan Allah. Sampai pada akhir

pengetahuannya yang mendalam melalui tasawuf, al-Ghazâlî menemukan sebuah

39 Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazâlî, h. 83.

Page 34: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

27

kepastian pemikiran-pemikiran fitri atau aksioma-aksioma yang merupakan satu-

satunya dasar bagi dalil-dalil yang benar yang menjadi prasyarat tercapainya suatu

keyakinan yang dipercayai oleh akal.40

Dalam skema yang disusun oleh al-Ghazâlî tentang ilmu pengetahuan,

al-Ghazâlî memberikan langkah-langkah untuk menjadikan berkembangnya

pengetahuan dalam diri manusia, yaitu: pertama, pengertian penuh tentang

al-Qurˊân, kedua, pengetahuan tentang kenyataan (Mukasyafah), ketiga, paham

sufi yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu, disiplin diri, pengetahuan praktis

(Mu’âmalah), dan bimbingan Ilahi, keempat, pengetahuan intelektual (ʻAqlî),

kelima. Pengetahuan keagamaan (Syarʻî) yang dibagi kedalam dua bagian yaitu,

cabang-cabang (Furuʻ) dan dasar-dasar (Usûl). 41

Dari pernyataan diatas, untuk mendapatkan pengetahuan memang

diperlukan akal pikiran, akan tetapi menurut al-Ghazâlî akal pikiran saja tidak

dapat berjalan tanpa pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan tidak dapat

berjalan tanpa akal. Oleh karena itu, al-Ghazâlî berpandangan bahwa orang yang

mendukung taqlîd tanpa menggunakan ilmu intelektual adalah orang yang bodoh,

dan orang yang sombong adalah orang yang merasa puas dengan pengetahuan

yang dimilikinya tanpa adanya cahaya dari al-Qurˊân dan al-Sunnah.

40 Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazâlî, h. 40. 41 Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazâlî, h.72.

Page 35: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

28

BAB III

METAFISIKA

A. Pengertian Metafisika

Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani yaitu ta meta ta physika yang

artinya “yang datang setelah fisik”, istilah tersebut diberikan oleh Andronikos dari

Rhodos (70 SM).42 Metafisika merupakan bagian filsafat tentang hakikat yang ada

di balik fisika. Tegasnya tentang realitas kehidupan di alam ini, dengan

mempertanyakan yang Ada (being). Secara etimologi meta adalah tidak dapat

dilihat oleh panca indera, sedangkan fisika adalah fisik. Jadi, metafisika adalah

sesuatu yang tidak dapat dilihat secara fisik atau metafisika dapat diartikan juga

sebagai usaha sistematis, reflektif dan menyeluruh dalam mencari kebenaran yang

terletak di belakang hal-hal yang fisik.43

Menurut al-Ghazâlî metafisika adalah kajian yang berhubungan dengan

alam yang berada di luar alam fisik, seperti Tuhan dan sifat-sifatNya serta alam

akhirat.44 Kajian terhadap metafisika membutuhkan kajian yang lebih teliti dan

penuh kehati-hatian, karena apabila keliru memahaminya akan berakibat fatal,

oleh karena itu, untuk memahami metafisika menurut al-Ghazâlî haruslah

menggunakan akal yang sehat dengan dituntun oleh wahyu. Adapun pandangan

al-Ghazâlî tentang akal yaitu, bahwa di dalam akal terdapat batasan dalam

memahami dan menilai tentang pengetahuan Tuhan, sehingga untuk memahami

42 Loren Bagus, Matafisika, h. 18. 43 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h. 3. 44 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h. 7.

28

Page 36: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

29

tentang sebuah kebenaran tidak cukup dengan akal saja akan tetapi harus

dihubungkan dengan ilmu-ilmu agama yang bersumber kepada al-Qurˊân dan

hadist.45 Dari kedua sumber di atas yaitu akal dan wahyu kebanyakan para filosof

hanya mengambil dari salah satu saja, tidak dapat menyatukan kedua sumber

tersebut, sehingga akan menimbulkan pertentangan.

B. Perkembangan Sejarah Metafisika

Perkembangan metafisika berawal dari pemikiran para filosof Yunani

yaitu pada masa periode Helenisme sekitar 4-6 SM. Pada masa itu, pemikiran

yang menjadi kajian khusus yaitu tentang asal usul alam. Salah satu filosof yang

pertama kali mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales yang hidup pada

tahun 624-546 SM.46 Thales mempertanyakan bahwa apa sebenarnya yang

menjadi asal usul alam ini. Dengan pertanyaan tersebut Thales mendapatkan

jawaban bahwa asal usul alam ini berasal dari air. Anaximenes (590-528)

mengungkapkan bahwa dasar pertama adanya alam ini adalah udara dengan

alasan bahwa udaralah yang meliputi seluruh alam serta udara yang menjadi dasar

hidup bagi manusia yang digunakan untuk bernafas. Sedangkan menurut

Anaximandros dan Heraklitos alam ini merupakan sesuatu yang selalu berubah,

sehingga dari pemikiran tersebut Anaximandros dan Heraklitos mengungkapkan

bahwa asal usul alam ini berasal dari api karena sifat api yang panas selalu

45 Yusuf Qarḏawi, Al-Ghazâlî Antara Pro dan Kontra (Surabaya: Pustaka Progresif, 1996),

h. 75. 46 Poedjawijatna, Pembimbing Ke arah Alam Filsafat (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986),

h. 23.

Page 37: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

30

bergerak dan berubah-ubah, misalnya dalam satu sisi api dapat menggeraskan

adonan roti dan disisi yang lain api dapat melunakan bahan tembaga dan besi.47

Permasalahan alam berkembang dengan pesat di kalangan para filosof

Yunani, dengan semakin berkembangnya permasalahan tentang alam maka

semakin luas pula pertanyaan-pertanyaan yang timbul mengenai alam. Bukan

hanya dari filosof Yunani saja yang membicarakan asal usul alam melainkan

filosof Islam juga membicarakan tentang alam, hal itu terlihat pada masa

kebangkitan Islam (Abad 6-13 M) yang disebut sebagai Abad Pertengahan. Dalam

periode ini, usaha yang dilakukan adalah untuk mesistesiskan antara iman,

intelektual, falsafah dan sufisme. Sehingga sejumlah filosof muncul di masa ini,

seperti al-Kindî, al-Fârâbî, al-Ghazâlî, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, dan sebagainya.

Pada abad pertengahan ini, lahir yang namanya falsafah Islam yang merupakan

pemikiran-pemikiran filosof Islam yang bertujuan untuk menjawab tantangan

zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal serta agama dan

filsafat.48

Menurut Fuad al-Ahwanî salah seorang ahli falsafah Islam modern dari

Mesir, mengungkapkan bahwa falsafah Islam merupakan kajian yang membahas

tentang alam dan manusia yang disinari dengan ajaran-ajaran Islam.49

Berkembangnya pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan dalam alam,

dapat dilihat ketika filosof-filosof Yunani maupun Islam yang tidak hanya

membicarakan asal-usul alam, akan tetapi mempertanyakan apa yang

menyebabkan alam itu ada dan bagaimana sifat alam itu sendiri, apakah alam

47 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), h. 24-25. 48 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 3. 49 Ahmad Fuad al-Ahwanî, Filsafat Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 19885), Cet. I, h. 5.

Page 38: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

31

kekal atau baru. Maka, dari pernyataan tersebut alam merupakan permasalahan

metafisika, karena permasalahan yang ada di dalamnya tidak hanya membahas

bentuk yang fisik saja tetapi dalam bentuk non fisik.50

Istilah metafisika mempunyai arti filosofis, karena metafisika merupakan

ilmu yang membahas tentang yang ada. Oleh karena itu, pembahasan metafiska

muncul sesudah fisika (post physicam et supraphysicam).51 Istilah sesudah yang

dimaksudkan di sini ialah bahwa objek metafisika sendiri berada pada sesuatu

yang abstrak. Tentang metafisika, Aristoteles mengemukakan beberapa

gagasannya tentang metafisika dalam bukunya yang berjudul Metaphysica antara

lain:

1. Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari

prinsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama.

2. Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada

(being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan.

3. Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan

sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh keadaan, yang mana ilmu ini sering

disebut dengan theologia.52

Dari ketiga keterangan Aristoteles tentang metafisika tersebut, sebenarnya

terdapat dua obyek yang menjadi metafisis Aristoteles yaitu, (a) yang ada sebagai

yang ada being qua being dan (b) Tuhan. Namun Aristoteles sendiri tidak

menjadikan dua obyek kajian tersebut sebagai obyek bagi dua disiplin ilmu yang

50 Al-Ghazâlî, Al-Munqīzd min al-Ḏalāl,h. 135. 51 Muhammad Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam (Bandung: Mizan IKAPI, 2003),

h.42. 52 Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h.154.

Page 39: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

32

berbeda. Seorang filosof Jerman bernama Christian Wolff yang hidup pada abad

ke-18, berpendapat bahwa pembicaraan tentang yang ada sebagai yang ada dan

yang Ilahi harus dipisahkan dan tidak dapat dibicarakan bersama-sama. Oleh

karena itu, dalam metafisika Aristoteles, Wolff membagi metafisika menjadi dua

bagian yaitu, metaphysica generalis (metafisika umum) atau juga sering disebut

ontologi dan methapysica specialis (metafisika khusus).

Metafisika secara umum membahas mengenai yang ada, artinya prinsip-

prinsip umum yang menata realitas sejauh dapat diserap melalui indera sedang

metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap oleh

indera seperti realitas ketuhanan (teologi). Metafisika merupakan objek kajian

filsafat yang pada dasarnya tidak dapat terpisah dengan inderawi, karena menurut

Wolff sendiri pembahasan metafisika tentang realitas supra inderawi, terkait

dengan pembahasan ontologi atau tentang prinsip-prinsip umum yang menata

realitas inderawi.53 Permasalahan tentang metafisika menimbulkan pandangan dan

pemikiran yang berbeda-beda di kalangan filosof, sehingga timbul aliran-aliran

yang bertujuan untuk mencari kebenaran dalam metafisika itu sendiri, aliran

tersebut di antaranya yaitu:

1. Rasionalisme

Istilah rasionalisme berasal dari kata rasio yang berarti akal.54

Rasionalisme dapat diartikan sebagai suatu paham yang menekankan akal sebagai

sumber utama untuk mendapatkan pengetahuan dan titik akhir dalam mencari

hakekat kebenaran. Manusia dengan akalnya memiliki kemampuan untuk

53 Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat (Jakarta: Komunitas Bambu, 2001), h. 6. 54 Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 929.

Page 40: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

33

mengetahui stuktur dasar alam dunia ini secara apriori (pengetahuan yang

diperoleh tanpa melalui pengalaman inderawi). Pandangan yang cenderung

rasionalis berkembang di Yunani, dengan tokoh yang pertamakali mengemukakan

paham ini adalah Plato.

Selain plato tokoh yang termasuk kepada paham rasionalis yaitu Renè

Descartes hidup di Perancis (1596-1650). Descartes mendapat pendidikannya

bukan di sebuah universitas tetapi di sebuah kolese Jesuit. Namun ini ternyata

bukan kerugian, sebab dia menerima suatu dasar yang lebih baik dalam

matematika daripada yang dapat diterimanya dari universitas lain pada masa itu.

Dalam usahanya mencari kehidupan yang menyenangkan, Descartes mulai

merintis karier di bidang militer. Descartes menganggap bahwa pengetahuan

dapat dihasilkan oleh indera, tetapi dalam indera Descart mengakui bahwa indera

itu bisa menyesatkan (seperti dalam mimpi atau khayalan), maka Descartes

mengambil kesimpulan bahwa data keinderaan tidak dapat digunakan dalam

mencari hakekat kebenaran dalam sebuah objek yang diteliti. Kemudian Descartes

menguji kepercayaannya kepada Tuhan yang Maha Kuasa, tetapi tentang hal

tersebut Descartes berpandangan, bahwa wujûd Tuhan tidak dapat dibayangkan,

sehingga, kemungkinan yang ada adalah penipuan-penipuan yang terdapat dalam

pemikiran manusia.

Dalam kesungguhannya mencari dasar yang mempunyai kepastian mutlak

ini, Descartes meragukan adanya alam metafisika. Satu-satunya hal yang tidak

dapat Descartes ragukan adalah eksistensi dirinya sendiri, Descartes tidak

meragukan lagi bahwa dirinya sedang mengalami keragu-raguan. Bahkan jika

Page 41: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

34

kemudian dalam diri Descartes disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada, dia

berdalih bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang

sedang disesatkan. Pandangan Descartes seperti itu, diekspresikan dalam bahasa

Latin yaitu "Cogito ergo sum" artinya saya berpikir atau "menyadari".55

Pikiran memang merupakan salah satu bentuk kesadaran, dan dalam arti

itu kesangsian metodis tadi disebutnya "saya berpikir", dan karena saya berpikir,

jelaslah saya ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal, karena Descartes

mengerti permasalahan adanya dirinya dengan jelas dan terpilah-pilah. Dengan

demikian, Descartes berkeyakinan bahwa Descartes dengan aturan atau cara

tersebutlah seseorang dapat menentukan kebenaran.56

2. Empirisme

Kata empiris berasal dari kata yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut

aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan dengan cara pengalamannya.57

Apabila dilihat dari kata Yunani, pengalaman yang dimaksud disini yaitu

pengalaman yang diperoleh dengan inderawi. Dalam proses penginderaan, setiap

fungsi berdiri sendiri. Oleh sebab itu, setiap indera menghasilkan pengetahuan

sendiri.

Dalam pandangan Islam, indera manusia terdiri dari indera luar dan indera

dalam, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa: Pertama, indera

secara bersamaan (al-Hîss al-Musystarâk) yang bertempat di bagian depan otak

dan berfungsi untuk menerima kesan-kesan yang diperoleh dari panca indera luar

55 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 143. 56 Rene Descartes, Meditation on First Philosophy (Sidney: Cambridge University Press,

1986), h. xix 57 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,h. 98.

Page 42: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

35

menuju indera batin. Kedua, Indera penggambar (al-Khayâl) terletak di bagian

depan otak. Ketiga, indera penggerak (al-Mutahayyilâh), yang bertempat dibagian

tengah otak yang berfungsi untuk mengatur gambar-gambar yang telah terlepas

dari materinya dengan memisahkan kemudian menghubungkan antara yang satu

dengan yang lainnya. Empat, indera penganggap (al-Wahmiâh) indera ini

bertepatan di bagian tengah otak yang berfungsi untuk menangkap arti atau makna

yang terkandung dalam gambar-gambar. Lima, indera pengingat (al-Hafzah)

bertempat di bagian belakang otak yang berfungsi untuk menyimpan arti-arti yang

ditanggap oleh indera penganggap.58

Pengetahuan inderawi bersifat persial yang akan menimbulkan pengertian

dan pemahaman yang berbeda-beda antara inderawi yang satu dengan yang

lainnya. Hal tersebut berhubungan dengan keadaan fisiologis indera dengan objek

yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Misalnya, pengetahuan tentang api,

dengan pertanyaan bagaimana seseorang dapat mengetahuai bahwa api itu panas?,

seorang yang berpaham empiris akan mengatakan “karena saya telah merasakan

hal itu, atau karena seorang filosof telah merasakan hal seperti itu. Tokoh yang

termasuk kepada paham empiris adalah John Locke (1632-1704) yang

mengemukakan teorinya tentang tabula rasa (buku catatan kosong), maksud

catatan kosong disini adalah bahwa manusia pada mulanya kosong dari

pengetahuan, kemudian pengalaman yang jiwa yang kosong tersebut, sehingga

manusia itu pun memiliki pengetahuan.59

58 Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam,h. 37-38. 59 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 99.

Page 43: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

36

Memperoleh pengetahuan dengan cara pengalaman yang ada pada

manusia, diawali dengan indera yang masuk secara sederhana, selanjutnya

tersusun menjadi sebuah pengetahuan yang berarti. Untuk itu, dalam paham

empiris sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan

yang benar. Jadi, suatu pengetahuan dianggap benar apabila sesuai dengan

pengalaman indera. Selain John Locke, tokoh yang termasuk pada paham

empirisme yaitu Thomas yang lahir pada tahun 1225 dekat kota Aquino, oleh

sebab tempat kelahirannya di Aquino, nama julukan yang lebih dikenal yaitu

Thomas Aquinas.60

Thomas menjelaskan bahwa pengetahuan tentang alam metafisika tidak

dapat diperoleh dengan akal akan tetapi dengan pengalaman indera. Hal ini

terlihat ketika Thomas menjelaskan tentang adanya Tuhan dengan pernyataan

bahwa manusia tidak dapat secara langsung dapat mengenal Tuhan, karena Tuhan

tidak dapat secara langsung disentuh oleh indera. 61 Menurutnya manusia dapat

mengenal Tuhan setelah manusia tersebut menjalankan pemikirannya yang

didahului oleh indera. Sehingga berdasakan pernyataan tersebut, Thomas

memberikan patokan yang jelas yaitu, ʺNil in intellectu nisis prius in sensuʺ

artinya tidak ada sesuatu pun pada akal, jika tidak diawali dengan adanya indera.

60 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 98-102. 61 Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986),h.92.

Page 44: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

37

C. Metafisika dalam Pandangan Filosof

Metafisika dibagi dalam dua segi pemikiran yaitu, pemikiran filosof Barat

dan pemikiran filosof Islam.62 Menurut pemikiran filosof barat, metafisika

merupakan suatu eksistensi yang cenderung memikirkan asal mula dunia dan

manusia yang kecenderungannya bersifat niscaya, yaitu keinginan untuk hidup

bahagia, senang, sedih, marah, benci, cinta dan berbuat baik.63 Sedangkan

metafisika menurut pemikiran filosof-filosof Islam adalah pembahasan yang

cenderung kepada wujûd yang abstrak dan bersifat mutlak yaitu Tuhan (Allah

Swt). Pandangan masing-masing filosof tentang metafiska berbeda-beda diantara

yaitu:

1. Al-Ghazâlî

Menurut al-Ghazâlî metafisika merupakan ilmu yang mengkaji tentang alam dan

wujûd Tuhan yang akan menyebabkan kesalahan dalam pemikiran filosof sebab

para filosof menggunakan metode demonstrasi (burhân) yang bersumber hanya

kepada akal.64

2. Al-Kindî

Al-Kindî merupakan seorang filosof muslim yang lahir di daerah Kufah pada

tahun 801 M/185 H. Dalam metafisika, al-Kindî menegaskan bahwa segala yang

ada berkaitan dengan hakikat Tuhan, Tuhan adalah wujûd yang hak (benar) yang

62 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 11. 63 Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat, h. 22. 64 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam: Memahami Alur

Perdebatan Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 29.

Page 45: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

38

bukan asalnya tidak ada menjadi ada, Tuhan selalu mustahil tidak ada, jadi Tuhan

adalah wujûd yang sempurna yang tidak didahului oleh wujûd yang lain.65

3. Plato

Plato adalah salah satu filosof yang dilahirkan pada tahun 427 dari keluarga

bangsawan yang mengikuti ajaran Sokrates yang berpandangan bahwa dalam

metafisika lebih cenderung permasalahannya kepada manusia karena manusia

terdiri dari tubuh dan jiwa, dimana sifat tubuh adalah material, sedang sifat jiwa

adalah immaterial.66

4. Aristoteles

Aristoteles adalah seorang filosof yang dilahirkan di kota Stagira, Macedonia,

384 SM, kemudian pergi ke Athena selama dua puluh tahun dan menjadi

muridnya Plato. Aristoteles disebut sebagai ʺguru pertamaʺ karena peletak

pertama sebagai seorang yang menyusun dan mesistematisir logika. Pengikutnya

dikenal dengan sebutan ʺParipathetikʺ.67 Menurut Aristoteles metafisika adalah

cabang filsafat yang mengkaji yang ada sebagai yang ada, bahkan sesuatu yang

terbatas adanya haruslah ada unsur kesamaan dan ketidaksamaannya yang

menuntut adanya sebab yang menjadikan hal yang ada menjadi ada.68

Setelah mengetahui definisi yang telah dijelaskan oleh masing-masing

filosof di atas timbullah metafisika khusunya tentang Wujud Tuhan yang

menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat atau paham di antaranya yaitu

paham:

65 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 19. 66 Donny Gahral, Matinya Metafisika Barat, hal.12. 67 Al-Ghazâlî, Al-Munqîdz min al-Ḏalâl, h. 143. 68 Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat, h. 39.

Page 46: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

39

1. Monoisme

Monoisme merupakan paham yang menganggap bahwa hakikat yang asal

dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu tidak mungkin dua. Hakekat yang satu

tersebut sebagai sumber yang asal, baik merupakan materi maupun brupa rohani.

Kemudian monoisme terbagi menjadi dua bagian yaitu:

a. Materialisme

Materialisme merupakan paham yang menganggap bahwa sumber yang

asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini juga sering disebut dengan istilah

naturalisme, tetapi ada sedikit yang membedakan antara istilah materialisme dan

naturalisme. Materialisme menganggap bahwa nilai ruh dan benda adalah sama,

artinya tidak terpisah dari alam yang satu.69 Sedangkan naturalisme menganggap

bahwa alam dan ruh memiliki nilai tidak sama karena ruh merupakan kejadian

dari benda. Paham ini dipelopori oleh Thales (624-546 SM) yang mengaggap

bahwa unsur dasar kejadian alam dan kehidupan itu berasal dari air.

b. Idealisme

Idealisme berasal dari kata “Idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.

Aliran ini beranggapan bahwa hakekat kenyataan yang beraneka ragam semua

berasal dari ruh (sukma) atau sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang.

Materi atau dzat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan ruhani.70 Alasan paham

ini yang menyatakan bahwa hakekat benda adalah ruhani adalah:

a. Nilai ruh lebih tinggi dari badan dan lebih tinggi nilainya dari pada materi

bagi kehidupan manusia

69 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h.135 . 70 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 138.

Page 47: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

40

b. Manusia lebih dapt memahami dirinya daipada dunia luar dirinya

c. Materi merupakan kumpulan energi yang menempati ruang sehingga yang

ada hanya berupa energi saja, sedangkan benda tidak ada.

Dalam perkembangannya , aliran atau paham ini sesuai dengan ajaran

Plato (428-348 SM) yaitu dengan teori idenya yang menyatakan bahwa

setiap yang ada di alam mesti ada idenya.

2. Dualisme

Di bagian atas telah dijelaskan bahwa hakekat itu hanya satu (Monisme)

baik materi maupun ruhani. Berbeda dengan paham dualisme yang mengatakan

bahwa hakekat sesuatu itu ada dua yaitu terdiri dari hakekat materi dan hakekat

ruhani artinya bahwa materi bukan muncul dari ruh dan ruh bukan muncul dari

benda karena kedua hakekat tersebut masing-masing berdiri sendiri.71 Paham ini

sesuai dengan pernyataan Descartes (1596-1560 M) yang menamakan kedua

hakekat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).

71 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 141.

Page 48: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

41

BAB IV

PANDANGAN AL-GHAZÂLÎ TENTANG METAFISIKA

DALAM KONSEP FALSAFAH

A. Problematika Tentang Kekekalan Alam

Berbagai pengertian alam secara filsafat telah dijelaskan dari berbagai

sumber, tetapi yang paling populer pembahasan tentang alam yaitu ketika masa

berkembangnya ilmu filsafat oleh bangsa Yunani dan Arab (Timur Tengah) yang

dimulai ketika dilakukan penerjemahan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu dalam

bidang filsafat, dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-

buku ke dalam bahasa Arab secara sistematis terjadi pada masa Khalifah

Al-Ma’mûn (813-833 M). Dengan dilaksanakannya penerjemahan tersebut,

muncullah filosof-filosof yang dapat memberikan pengaruh besar dalam mengisi

khazanah intelektual Islam seperti, al-Kindî, al-Fârâbî, Ibn Sînâ, al-Ghazâlî,

al-Râzî dan lain-lain. Mayoritas filosof Islam mengembangkan penelitian

mengenai filsafat alam yang dihubungkan dengan ketuhanan.72

Menurut para filosof Islam, pengertian alam adalah sesuatu yang

berkenaan dengan sesuatu selain Allah, sedangkan filsafat alam adalah sebuah

cabang ilmu yang mempelajari alam semesta secara keseluruhan. Mutakallimûn

mendefinisikan bahwa alam adalah segala yang ada selain Tuhan atau al-Laṯâ’if”

atau ‘âlam al-Syahâdah” (alam yang terindera). Sedangkan menurut Ibn Rusyd

72 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. xv.

41

Page 49: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

42

alam adalah sesuatu yang mungkin ada dengan sendirinya, alam juga sesuatu yang

harus ada karena menjadi bagian dari ilmu Tuhan.73

Permasalahan yang muncul mengenai kekekalan alam adalah pemikiran

tentang sifat yaitu: pertama, kekalnya alam yang berkaitan dengan pencipta,

kehendak, pengetahuan Tuhan tentang yang partikular. Kedua, hubungan alam

dengan ruang dan waktu. Menurut pandangan al-Ghazâlî bahwa alam diciptakan

Tuhan dari tiada yang bersifat hadîst atau tidak kekal yang mengharuskan adanya

pencipta.74 Alasan al-Ghazâlî tersebut tidak hanya berdasarkan akal saja, tetapi

berdasarkan al-Qurˊân yang dijadikan dalil sehingga cara pandang yang

dikeluarkan oleh al-Ghazâlî menjadi lebih jelas dibandingkan dengan filosof

lain yang tidak memakai dalil al-Qurˊân. Kebanyakan dari para filosof seperti al-

Fârâbî, Ibn Sinâ memiliki kesalahan yang fatal dalam bagian epistimologi

(logika), yaitu ketika menganalogikan kehendak qadîm dengan kehendak baru.

Sebelum menciptakan alam ini, Tuhan yang berkehendak telah ada, dan

kehendak pun telah ada, bahkan hubungan kehendak dengan obyeknya pun telah

ada. Kehendak Tuhan tidak merupakan suatu yang temporal, karena tiap sesuatu

selalu berubah. Bagi al-Ghazâlî kehendak Tuhan tidak dapat disamakan dengan

kehendak yang lain, karena kehendak manusia didorong oleh faktor luar,

sedangkan kehendak Tuhan tidak didorong oleh faktor luar. 75 Karena itu, Tuhan

tidak mustahil menciptakan alam dalam waktu dengan kehendak qadîm.

Selain al-Ghazâlî, Plato juga berpendapat bahwa alam ini bersifat baru

(hadîst), akan tetapi di akhir hayatnya Plato cenderung bersifat netral, alasan Plato

73 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 70. 74 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 84. 75 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. 26-27.

Page 50: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

43

mengungkapkan hal tersebut, karena Plato memiliki pandangan bahwa alam ini

mustahil untuk dikaji, bukan karena sifat yang kurang pada alam, melainkan

disebabkan karena lebih rumitnya masalah yang menjadi karekter dan ciri khas

alam itu sendiri, sehingga dapat memusingkan pemikiran.76 Adapun filosof-filosof

yang lainnya, seperti Ibn Sinâ dan Aristoteles, berpendapat alam ini kekal dengan

alasan bahwa tidak mungkin sesuatu yang temporal (hadîst) terjadi dari sesuatu

yang eternal kekal (qadîm), sebab menetapkan alam yang baru harus ada faktor

penuntun yang menyebabkan alam bersifat baru.77

Al-Ghazâlî memberikan penjelasannya mengenai pernyataan di atas,

bahwa adanya alam yaitu sesudah adanya yang kekal, hal itu bisa terjadi karena

kehendak Tuhan tidak dibatasi dengan sesuatu di luar diriNya. Selain itu, alasan

lain yang dikeluarkan oleh al-Ghazâlî menjelaskan bahwa sesuatu yang berasal

dari diri Tuhan ialah hadîst yang berasal dari ketiadaan (‘adam) dan tidak akan

ada sebelum adanya perbuatan Tuhan.78

Kemudian permasalahan lain mengenai alam yaitu berkaitan dengan

pengetahuan Tuhan, bahwa Tuhan hanya mengetahui yang terperinci dari apa-apa

yang terjadi di alam. Persoalan dan perdebatan tentang pengetahuan Tuhan,

memang sangat menghiasi khazanah keilmuan Islam. Perdebatan ini terjadi

di antara para filosof misalnya, Aristoteles dan Plato, al-Ghazâlî, Ibn Rusyd dan

Ibn Sînâ.

76 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h.42.

77Abu Wafa al-Taftazanî, TasawufIslamTelaah Historis dan Perkembangannya (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. 200.

78 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h.63.

Page 51: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

44

Usaha yang dilakukan oleh al-Ghazâlî dalam memberikan penjelasan

bahwa Tuhan mengetahui yang juzˊiyyât yang ada di alam ini, yaitu dengan

menghubungkan ayat al-Qurˊân yang terdapat dalam surat al-Hujurât ayat 16:

Artinya: Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, Padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"

Kemudian di dalam surat Yunus Ayat 61:

Artinya: ʺkamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Qurˊân dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar Zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh al-Mahfuzh)ʺ.

Selain al-Ghazâlî, Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan tidaklah

mengetahui persoalan juzˊiyyât (partikular) dan Tuhan ibarat seorang kepala

negara yang tidak mengetahui persoalan-persoalan kecil di daerahnya. Tuhan

merupakan akal murni yang tidak berada dalam materi, bahkan merupakan akal

yang setinggi-tingginya. Karena itu pengetahuan dari akal yang tertinggi itu

Page 52: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

45

haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara

yang mengetahui dan yang diketahui. Karena itu pula tidak mungkin Tuhan itu

mengetahui selain daripada zat-Nya sendiri., sebab tidak ada zat lain yang sama

luhurnya dengan zat Tuhan.79

Sementara Ibn Rusyd menyetujui pendapat Aristoteles dengan alasan

bahwa Tuhan haruslah berupa suatu akal yang tertinggi yang penciptaannya

berawal dari akal pertama, memerintahkan akal kedua untuk mencipta, dan

seterusnya hingga akal ke sepuluh. Yang dimaksud Tuhan hanya mengetahui

secara universal dan tidak mengetahui masalah juzˊiyyât atau hal-hal partikular

adalah, bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Tahu. Artinya, Tuhan telah

mengetahui segala perincian dari awal, ketika Tuhan menciptakan alam. Jadi,

apabila Tuhan mengetahui hal-hal partikular, maka Ia tidak layak disebut Tuhan,

yang disebabkan pengetahuanNya berubah-ubah dari proses tidak tahu menjadi

tahu. Sebaliknya, apabila Tuhan itu mengetahui hanya secara partikular, berarti

sebelumnya Tuhan tidak mengetahui hal partikular tersebut, kemudian setelah hal-

hal partikular terjadi, barulah Tuhan tahu. Jika akal Tuhan bergerak dari tidak tahu

menjadi tahu, maka Tuhan tidak memiliki kekuasaan dan tidak dapat dijadikan

sebagai Tuhan.80

Menurut Ibnu Rusyd, Tuhan haruslah sudah mengetahui segala bentuk

perincian (yang partikular) dari awal penciptaannya secara universal. Sesuatu

yang diketahui Tuhan itu menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi

apabila Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil-kecil (partikular), maka pengetahuan

79 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h.152. 80 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h.65.

Page 53: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

46

Tuhan tersebut disebabkan hal-hal yang kurang sempurna daripadaNya. Selain Ibn

Rusyd, al-Ghazâlî juga memberikan argumennya mengenai pengetahuan Tuhan

bahwa pengetahuan Tuhan hanya memiliki satu pengetahuan tertentu dengan

memberikan contoh tentang terjadinya gerhana matahari yang terjadi dalam tiga

keadaan yaitu: pertama, pada saat sebelum terjadinya gerhana matahari atau dalam

tahap menunggu tetapi eksistensinya sudah ada (tergambar), kedua. Pada saat

sedang terjadi (benar-benar ada). Ketiga, pada saat setelah terjadinya gerhana

matahari.81

Dalam ketiga keadaan di atas memiliki pengertian yang berbeda-beda.

Pertama, mengetahui gerhana tidak ada karena belum terjadi gerhana matahari.

Kedua, mengetahui adanya gerhana matahari. Ketiga, ketiadaan atau

menghilangnya gerhana (setelah terjadinya matahari). Dari ilustrasi tersebut dapat

diambil kesimpulan bahwa menurut al-Ghazâlî pengetahuan Tuhan bersifat

universal yang tidak termasuk dan terkait pada waktu (proses terjadinya gerhana

matahari). Dengan alasan segala peristiwa yang terjadi di alam selalu berubah,

sedangkan ilmu selalu tergantung kepada yang diketahui atau dengan kata lain

perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Apabila ilmu

berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya berarti Tuhan

mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin

terjadi. Misalnya pada peristiwa gerhana matahari, sedangkan sebelumnya tidak

gerhana dan gerhana akan hilang. Sebelumnya kita mengetahui gerhana itu tidak

ada dan ketika terjadi gerhana pengetahuan kita berubah jadi mengetahui adanya

81 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h. 60.

Page 54: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

47

gerhana, lalu ketika gerhana berlalu, pengetahuan kita berubah jadi mengetahui

tidak ada gerhana lagi. Dari contoh ini bisa menunjukkan pengetahuan yang satu

bisa menggantikan pengetahuan yang lain. Tuhan mengetahui gerhana dengan

segala sifat-sifatNya, pengetahuan yang azali, abadi dan tidak berubah-ubah

seperti hukum alam yang menguasai terjadi gerhana.82

Pendapat Ibn Sînâ tentang pengetahuan Tuhan yang terperinci melalui

suatu yang kullî (universal) ternyata dikritik oleh Ibn Rusyd dengan alasan bahwa

ilmu Tuhan tidak bisa dibagi menjadi juzˊî dan kullî karena ilmu kullî

mengandung arti bahwa adanya potensi pada ilmu Tuhan, sedangkan ilmu Tuhan

tidak mengandung potensi sama sekali. Tetapi apabila dikatakan bahwa

pengetahuan Tuhan adalah lewat yang juzˊî maka juzˊî tersebut tidak akan ada

putus-putusnya dan itu menjadi sesuatu yang mustahil bagi Allah.

Selanjutnya al-Ghazâlî memberikan argumennya tentang pengetahuan

Tuhan bahwa Tuhan dapat mengetahui tentang dirinya sendiri, di antara

argumennya yaitu: pertama, kaum Muslimin mengetahui dan meyakini bahwa

alam bermula karena kehendak Allah dan bukan karena adanya sebab akibat

dengan membuktikan kepada kehidupan dan kehendak, sehingga mereka

menyadari akan sebuah kehidupan yang ada dalam dirinya. Begitu pula dengan

Tuhan, karena Tuhan adalah yang Maha Hidup maka tentu Tuhan juga

mengetahui akan dirinya sendiri.83 Apabila Tuhan tidak mengetahui selain dirinya

sendiri, maka Tuhan juga tidak dapat mengetahui diriNya sendiri, kemudian

82 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h.60. 83 Harun Nasution. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 36.

Page 55: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

48

apabila Tuhan tidak dapat mengetahui selain diriNya berarti Tuhan memilki

kekurangan, sedangkan Tuhan bebas dari sifat seperti itu.

Problem selanjutnya yang dibahas oleh al-Ghazâlî ialah penciptaan alam

yang dihubungkan dengan ruang dan waktu. Al-Râzî adalah seorang filosof

Muslim yang hidup pada pemerintahan Dinasti Saman pada tahun 204-395 H,

berpendapat bahwa sebelum adanya alam ada suatu kuantitas yang terbilang yaitu

zaman (waktu).84 Sedangkan Ibn Thufail yang hidup di daerah Quadix pada tahun

506-58H, berpendapat bahwa alam adalah ciptaan Tuhan, yang tidak terkait

dengan adanya permulaan waktu dan batas akhir.85 Alasan tersebut, oleh Ibn

Thufail dijelaskan kembali dengan menggunakan sebuah contoh yaitu, jika

seseorang menggenggam suatu benda di dalam tangan kemudian benda tersebut

digerakkan oleh tangan, benda tersebut akan ikut bergerak yang disebabkan oleh

adanya gerakan tangan. Gerakan suatu benda dan gerakan tangan tersebut

merupakan pandangan dari segi zat, tetapi dari segi waktu tidak ada yang

mendahului karena gerakan benda dan tangan terjadi dalam waktu yang

bersamaan. Tujuan Ibn Thufail tentang alam yaitu alam ini bukanlah sesuatu yang

lain dari Tuhan, tetapi alam merupakan penampakan diri dari esensi Tuhan.

Sedangkan Aristoteles berpendapat bahwa zaman (waktu) adalah ukuran gerak,

dan gerak bersifat qadîm.86

Permasalahan alam yang dihubungkan dengan waktu memang menjadi

perdebatan sengit dari mulai filosof Barat hingga filosof Muslim. Menurut

al-Ghazâlî apabila mengandaikan wujûd Tuhan dan alam keberadaannya

84 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h.12. 85 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 111. 86 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam, h. 43.

Page 56: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

49

bersamaan dengan wujûd Nya, hal itu sesuatu yang tidak mungkin karena adanya

alam disebabkan karena adanya Allah dan Allah yang telah mendahului alam,

kemudian al-Ghazâlî kembali memberikan pandangannya melalui empat macam

yaitu:

a. Zaman bersifat hadîst (baru) dan makhluk (tercipta) serta sebelum zaman tidak

ada zaman.

b. Wujûd Tuhan telah ada sejak azali sedangkan alam tidak, Allah berdiri sendiri

dalam wujûd Nya tanpa disebabkan oleh yang lain.

c. Keterangan bahwa sebelum dan sesudah adalah dua jenis dugaan yang

berhubungan dengan diri manusia saja.

d. Apabila dikatakan bahwa alam ini hadîst dan Allah berkuasa menciptakan alam

beberapa tahun sebelumnya atau dalam tahun-tahun yang lebih lama lagi tanpa

batasnya, maka zaman itu tidak memiliki awal permulaannya.87

Dari pernyataan tentang alam yang dikaitkan dengan waktu, al-Ghazâlî

berkesimpulan bahwa zaman dan ruang adalah hasil imajinasi akal atau perbuatan

yang hanya menghasilkan sebuah khayalan saja, karena itu zaman dan ruang tidak

merupakan sesuatu yang pasti karena waktu dan ruang tidak memiliki wujûd

sebelum alam diciptakan.88

B. Problematika Metafisika Dalam Wujûd Tuhan

Di antara isi ajaran al-Qurˊân yang paling penting adalah seruan dan

himbauan kepada seluruh umat manusia untuk menyembah hanya kepada Allah

87 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. xxi. 88 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. xx.

Page 57: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

50

dan tidak memperserikatkanNya dengan yang lain. Selain itu, dalam ajaran

al-Qurˊân mengajak kepada manusia untuk mempergunakan akalnya dengan

mengamati, merenungkan segala peristiwa-peristiwa perubahan, pergerakan, sifat

dan sebagainya tentang apa yang terjadi pada alam ini.

Dari beberapa permasalahan tema-tema metafisika yang paling banyak

melahirkan kontroversi filosofis adalah problema wujûd. Hal ini karena wujûd

merupakan sesuatu yang tidak mudah didefinisikan. Untuk dapat mendefinisikan

suatu “objek” dibutuhkan sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri,

sehingga objek yang belum jelas dapat terlihat jelas dan terang seperti terangnya

cahaya matahari yang dapat dilihat oleh mata manusia.89

Secara historis, tema wujûd menjadi tema fundamental metafisika yang

didiskusikan oleh seluruh filosof klasik sejak Aristoteles, karena itu dalam karya-

karya filosof muslim, hampir seluruh buku magnum opus falsafah, seperti al-Syifâ

karya Ibnu Sinâ, Hikmah al-Isyrâq karya Suhrawardi, bahkan buku-buku kalam

karya Khowajeh Nasiruddin Thusî menempatkan masalah itu sebagai tema yang

penting.

Pandangan al-Ghazâlî mengenai wujûd Tuhan terbagi menjadi dua bentuk,

yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Penggunaan dalil naqli yaitu melalui perenungan

terhadap ayat-ayat al-Qurˊân yang memperhatikan alam semesta sebagai ciptaan

Tuhan, dari perenungan ayat dan fenomena alam itu, manusia dapat mengantarkan

kepada pengakuan adanya wujûd Tuhan. Di antara dalil naqli yang di ungkapkan

oleh Al-Ghazâlî dalam Iẖyâˊ ʻUlûm al –Dîn yaitu:

89 Http://politik dan pemikiran.com/2014/02/09 Islam-dalam-pandangan-imam-akbar.

Page 58: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

51

Artinya: ″Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan

tujuh langit bertingkat-tingkat dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai

cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita″.

Selanjutnya al-Ghazâlî menunjukkan wujûd Tuhan melalui dalil aqli

dengan mengungkapkan :

ʺ Jelaslah bagi orang-orang yang berakal, apabila dia sedikit saja berfikir tentang kandungan ayat-ayat al-Qurˊân lalu ia alihkan pandangannya terhadap keajaiban makhluk Allah di bumi dan di langit serta keindahan penciptaan hewan dan tumbuhan, jelaslah bahwa perkara yang mengagungkan ini serta ketertiban yang rapi teratur ini mesti ada baginya pencipta yang mengaturnya, pembuat dan mengendalikannyaʺ.90

Berdasarkan dalil aqli di atas al-Ghazâlî berkesimpulan bahwa wujûd

Tuhan adalah qadîm, sedangkan wujûd makhluk adalah hadîts (baru).91 Wujûd

yang hadîts menghendaki sebab gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak

yang mengadakannya. Sebab musabab ini tidak akan berakhir sebelum sampai

kepada yang qadîm yang tidak diciptakan dan digerakkan. Dalam buku yang

berjudul Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama, wujûd Tuhan di istilahkan dengan

sebutan penggerak yang menimbulkan semua gerakan alam semesta dengan

segala macam pengertiannya, di antaranya gerakan dalam arti berpindahnya satu

keadaan dengan keadaan yang lain atau gerakan dari gerakan potensi (bil-

quwwah) kepada lingkungan actuality (bil-Fi ̒l).92

90 Al-Ghazâlî, Iẖyâ ́ʻUlûm al -Dîn, h. 105. 91 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), cet, III, h. 107. 92 Abbas MahMoud al-‘Akkad, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama- Agama dan

Pemikiran Manusia. (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h.182.

Page 59: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

52

Selanjutnya dalam masalah dzat dan sifat Tuhan, al-Ghazâlî membatasi

dirinya dengan mengemukakan hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang

manusia memikirkan dzat Allah SWT. Dari hadîst nabi tersebut al-Ghazâlî

menegaskan bahwa akal manusia tidak akan sampai mencapai dzat itu, yang dapat

dicapai oleh manusia hanya mengetahui sifat melalaui af ʻâlNya saja.93 Mengenai

sifat Tuhan, al-Ghazâlî membagi kedalam dua bagian yaitu sifat dzat dan sifat

ma ʻani. Sifat dzat atau disebut juga dengan istilah sifat salbiyah yaitu sifat-sifat

yang menafikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesempurnaan dzat Allah SWT

seperti, qidâm (tidak berpemulaan), baqâʻ (kekal), mukhâlafah li al-Hawâdits

(berlainan dengan yang baru), qiyâmuh bi nafsih (berdiri sendiri) dan

wahdâniyyah (esa). Apabila dzat Tuhan tidak memiliki sifat-sifat tersebut, maka

sifat-sifat sebaliknya akan menghilangkan kesempurnaannya, yaitu: baru,

berakhir, sama dengan makhluk lainnya, bergantung kepada yang lainnya.94

Adapun sifat maʻâni (sifat-sifat yang melekat pada dzat Allah SWT), bukanlah

dzatNya, tetapi adanya sifat ini bersamaan dengan adanya Allah SWT dan tidak

dapat dipisahkan dari dzatNya. Sifat maʻâni di bagi menjadi tujuh yaitu: qudrah

(Maha Kuasa), irâdah (Maha Berkehendak), ‘ilm (Maha Mengetahui), samaʻ

(Maha Mendengar), basar (Maha Melihat), kalâm (Maha Berbicara) dan hayât

(Maha Hidup).

Dari sifat-sifat di atas al-Ghazâlî menempatkan empat ciri khas yaitu

sebagai berikut:

93 Al-Ghazâlî, Iẖyâ ́ʻUlûm al -Dîn, h. 112 94 Al-Ghazâlî, Iẖyâ ́ʻUlûm al -Dîn, h. 109.

Page 60: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

53

1. Sifat-sifat maʻâni bukan merupakan dzat, tetapi tambahan pada dzat (ziâdah

qâʻimah fî al-dzat)

2. Sifat-sifat tersebut adalah kekal seperti halnya dzat Allah.

3. Sifat-sifat tersebut juga tidak boleh terpisah dalam keadaan apapun dari dzat

Allah, karena terpisah-pisah bukan merupakan watak sifat, tetapi watak jism,

artinya sifat tidak berwujûd di laur jism.

4. Nama-nama Allah yang berasal dari sifat-sifat tersebut telah terwujûd padaNya

sejak azali yang memiliki kekuasaan, berkehendak, mendengar dan lain-lain.95

Selain Al-Ghazâlî, permasalahan mengenai wujûd Tuhan juga di bahas

oleh al-Fârâbî yang membicarakan tentang pembagian wujûd Tuhan, adanya

wujûd Tuhan yang tidak disebabkan oleh wujûd yang lain serta cara membuktikan

bahwa Tuhan itu memiliki wujûd yang berbeda dengan wujûd yang lain. Untuk

memudahkan pemahaman yang lebih jelas tentang pembahasan wujûd menurut

al-Fârâbî, diperlukan pandangan dari ahli mutakallimîn seperti Muʻtazilah dan

Asyʻariyyah yang mengambil sumber kepada ajaran umat Islam yaitu al-Qurˊân

yang dijadikan oleh kedua golongan tersebut sebagai pembimbing dan pegangan

dasar yang dikembangkan melalui perumusan kerangka berfikir yang sistematis.

Menurut pandangan kaum Muʻtazilah wujûd Tuhan memiliki sifat yang

identik dengan dzatNya, dengan tujuan untuk menghilangkan adanya kejamakan

dari dzat Allah, sesuatu yang tidak mungkin terjadi sekiranya sifat Allah di

tafsirkan berbeda dengan dzatNya. Sedangkan kaum Asyʻariyah berpandangan

bahwa sifat Allah bukanlah dari dzatNya, artinya bahwa sifat itu memang bukan

95 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, h. 109.

Page 61: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

54

dzat karena pengertian dzat dan sifat itu berbeda. Selain itu, yang di maksud

dengan sifat bukanlah dzat disini ialah sifat tidak dapat berwujûd sendiri diluar

dzat, sehingga antara dzat dan sifat tidak dapat dipisahkan dan selalu saling

berkaitan. Dari perdebatan dua golongan tersebut dapat diambil titik

permasalahannya, yaitu tentang wujûd yang berkaitan dengan sifat dan dzat.96

Pemikiran al-Fârâbî tentang wujûd dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles.

Hal tersebut terlihat jelas ketika al-Fârâbî membahas mengenai yang ada, yang

ada dalam keadaannya yang wajar, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan

semacam ini berusaha untuk memahami yang ada dan dalam bentuk semurni-

murninya (natural). Dalam hal ini yang terpenting ialah bukan membicarakan

yang ada itu dapat terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak,

melainkan apakah sesuatu yang ada itu dapat dibuktikan keberadaannya. Jika

dilihat dari cara berpikir filosof Islam yang sandarannya adalah akal sehat dan

wahyu, para filosof Islamlah yang sampai pada pendapat bahwa hanya Tuhan

yang benar-benar diyakini keberadaaaNya, artinya yang tidak tergantung pada

hal-hal lain. Sehingga, kesimpulan akhir bahwa segala sesuatu yang lainnya selain

Allah, mempunyai nilai nisbi.97

Al-Fârâbî mengatakan bahwa wujûd dan keberadaan Tuhan yang

sempurna sebagai wujûd pertama, tidak disebabkan oleh wujûd selain diriNya dan

sifat-sifat Tuhan tidak dapat menunjukkan adanya bagian yang terpisah pada dzat

96 Harun Nasution, Teologi Islam Islam, h. 135-136. 97 Al-Ghazâlî, Iẖyâˊ ʻUlûm al –Dîn, h.19-20.

Page 62: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

55

Tuhan.98 Dengan filsafat emanasinya, al-Fârâbî mencoba menjelaskan bagaimana

yang banyak bisa timbul dari Yang Esa, artinya Tuhan menjadi sebab dari segala

wujud yang lain. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah dari dzatnya, jauh dari

materi, Maha Sempurna dan tidak bergantung kepada sesuatupun.99

Al-Fârâbî menjelaskan hal tersebut dengan teori emanasinya (penjelasan

yang membuktikan adanya pencipta) dengan bersandar kepada dalil naqli yaitu

sebagai berikut:

Artinya: Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala

sesuatu).

Dari ayat tersebut al-Fârâbî menjelaskan bahwa seluruh rangkaian sesuatu yang

berwujud menjadi sebab dan akibat yang berakhir kepada wujûd Tuhan dengan

menganalogikan wujûd Tuhan sebagai akal, yang berpikir tentang diri-Nya, dan

dari pemikiran ini timbul satu maujûd lain.100 Al-Fârâbî memberikan argumenya

bahwa Tuhan merupakan wujûd pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujûd

kedua, hal itu disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi.

kemudian wujûd kedua berpikir tentang wujûd pertama dan dari pemikiran ini

timbullah wujûd ketiga, atau disebut Akal Kedua. Wujûd II atau Akal Pertama itu

juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama dan selanjutnya

dengan segala planet yang ada pada sistem tata surya.

98 Syamsuddin, Ahmad, Al-Fârâbî Hayātuhu, Atsāruhu, Falsafatuhu, h. 86. 99 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, h. 36. 100 Ahmad Syamsuddin, Al-Fârâbî Hayātuhu, Atsāruhu, Falsafatuhu, h. 132.

Page 63: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

56

Wujûd III/Akal II —— Tuhan = Wujûd IV/Akal Ketiga

—— dirinya = Bintang-bintang

Wujûd IV/Akal III —— Tuhan = Wujûd V/Akal Keempat

—— dirinya=Saturnus

Wujûd V/Akal IV —— Tuhan =Wujûd VI/Akal Kelima

—— dirinya=Jupiter

Wujûd VI/Akal V —— Tuhan=Wujûd VII/Akal Keenam

—— dirinya=Mars

Wujûd VII/AkalVI —— Tuhan=Wujûd VIII/Akal Ketujuh

—— dirinya=Matahari

Wujûd VIII/Akal VII —— Tuhan=Wujûd IX/Akal Kedelapan

—— dirinya=Venus

Wujûd IX/AkalVIII —— Tuhan=Wujûd X/Akal Kesembilan

—— dirinya=Mercury

Wujûd X/Akal IX —— Tuhan=Wujûd XI/Akal Kesepuluh

—— dirinya=Bulan

Pada pemikiran wujûd IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya

akal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi

pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah. Sepuluh

lingkaran geosentris yang disusun oleh al-Fârâbî berdasarkan sistem Ptolomeus.101

Kemudian al-Fârâbî membuktikan adanya wujûd Tuhan melalui pembagain wujûd

itu sendiri yaitu wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd. Wâjib al-wujûd ialah suatu

101 Ahmad Syamsuddin, Al-Fârâbî Hayâtuhu, Atsâruhu, Falsafatuhu, h. 132-133.

Page 64: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

57

dzat yang wajib adanya serta wujûdNya ada karena diriNya, bukan karena sesuatu

yang berada di luar diriNya.102 Mumkin al-wujûd merupakan alam yang tanpa

adanya wujûd Tuhan tidak mungkin ada dalam kenyataan. Dalam pembagian

kedua wujûd di atas, al-Ghazâlî memberikan sebuah pertanyaan, apakah antara

wâjib al-wujûd dengan mumkin al-wujûd berasal dari wujûdnya sendiri?, dan

apakah yang menjadi tujuan al-Fârâbî membagi wujûd kedalam dua bagian?.

Al-Ghazâlî memberikan pandangan tentang wâjib al-wujûd dan Mumkin

al-wujûd bahwa, apabila wajib al-wujûd itu berasal dari wujûd itu sendiri, maka

mumkin al-wujûd tidak memiliki arti lain kecuali wujûd itu sendiri.103 Dari

pandangan al-Fârâbî terlihat adanya pemisah antara wâjib al-wujûd dengan

mumkin al-wujûd. Hal ini dapat diketahui ketika al-Fârâbî mengklasifikasikan

yang wujûd kedalam dua bagian yaitu:

1. Bagian wujûd yang esensinya tidak berfisik

Keadaan yang tidak berfisik ini memiliki dua keadaan, pertama, keadaan yang

tidak berfisik namun tidak menempati sesuatu yang fisik yaitu Allah, kedua,

keadaan yang tidak berfisik namun menempati sesuatu yang fisik di antaranya

yaitu, jiwa, bentuk dan materi.

2. Bagian wujûd yang berfisik

Bagian wujûd yang berfisik di antaranya yaitu, benda-benda langit,

manusia hewan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda tambang, dan unsur air, udara,

tanah serta api.104 Menurut pandangan al-Ghazâlî mengenai pembagian wujûd

tersebut akan menimbulkan kerancuan dalam pemikiran. Apabila dikatakan bahwa

102 Ahmad Syamsuddin, Al-Fârâbî Hayâtuhu, Atsâruhu, Falsafatuhu, h.136. 103 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h.79. 104 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 38.

Page 65: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

58

kemungkinan wujûd misalnya air, tanah, udara dan api tidak identik dengan

eksistensi dari yang mungkin, dengan kata lain yang mumkin itu diciptakan dari

wujûd yang mumkin.105 Maka peran wâjib al-wujûd tidak lagi berhubungan

dengan mumkin al-wujûd, dan ini akan menimbulkan pernyataan bahwa mumkin

al-wujûd tidak berasal dari dzat yang wâjib al-wujûd. Untuk memahami hal

seperti itu, Al-Ghazâlî menganalogikan dengan pengetahuan Tuhan. Pengetahuan

yang disebabkan oleh wâjib al-wujûd harus identik dengan eksistensi dirinya

sendiri. Tetapi apabila pengetahuan wâjib al-wujûd tidak identik dengan

eksistensinya sendiri, maka pengetahuan wâjib al-wujûd terdapat kekurangan,

sedangkan dalam wâjib al-wujûd tidak terkait dari hal tersebut, karena wâjib

al-wujûd dapat mengetahui diriNya sendiri dan di luar selain dari diriNya.

Al-Ghazâlî membuktikan adanya wujûd Tuhan dengan menggunakan

metode kosmologi yang memiliki dalil bahwa yang berwujûd harus ada penyebab

bagi adanya wujûd yang lain, metode epistemologi yang merupakan cabang

filsafat yang meneliti asal, sifat, batasan pengetahuan manusia dan metode teologi

yang bersandar kepada akal dan wahyu. Sehingga, pandangan al-Ghazâlî

mengenai metafisika khususnya tentang kekekalan alam dan wujûd Tuhan lebih

kuat dan sejalan dengan ajaran agama Islam.

Pandangan al-Ghazâlî dalam membuktikan adanya wujûd Tuhan dengan

kosmologi yaitu bahwa semua yang maujûdât (makhluk yang terwujûd) di dalam

alam ini mempunyai suatu sebab, yang sebab tersebut tidak menjadikan sebab dari

yang lain (tanpa sebab). Karena menurut al-Ghazâlî apabila dikatakan bahwa

105 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. 80.

Page 66: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

59

suatu sebab tidak ada batas akhir maka hal tersebut dinamakan tasalsul, artinya

tidak akan menemukan titik akhir mengenai pencipta dan ciptaannya, sehingga

dalam permasalahan ini banyak filosof yang terjebak kepada paham atheisme

yaitu paham yang tidak meyakini adanya pencipta.

Kemudian al-Ghazâlî membuktikan adanya wujûd Tuhan dengan

epistimologinya berdasarkan kelemahan dalam indera, yaitu tentang bayangan

sebuah tongkat yang terkena oleh sinar matahari, kemudian bayangan tersebut

bergerak dengan perlahan-lahan dan akhirnya bayangan tersebut akan hilang

dalam satu titik.106 Melihat hal seperti itu, al-Ghazâlî berpandangan bahwa

gerakan bayangan tongkat tersebut, ada yang menciptakan yaitu Allah. Pandangan

al-Ghazâlî tersebut, semata-mata bukan hanya dari pemikirannya sendiri tetapi

berdasarkan pemikiran ahli teologi yang bersandar berdasarkan al-Qurˊân surat

al-Rûm ayat 25 yaitu:

Artinya: ʺDan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit

dan bumi dengan perintahnyaNyaʺ.

Selain ayat di atas, pandangan al-Ghazâlî diperkuat kembali oleh

al-Qurˊân surat al-Baqarah ayat 162 yang menjelaskan bahwa Allah adalah

sebagai pencipta sekaligus penggerak atas ciptaannya yaitu sebagai berikut:

106 Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazâlî, h.31.

Page 67: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

60

Artinya: ʺSesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkanʺ.

Adapun persamaan mengenai masalah metafisika antara al-Ghazâlî dengan

al-Fârâbî yaitu terdapat dalam pembahasan yang berhubungan dengan zat Tuhan

dengan sama-sama menggunakan dalil agama (dalîl syarʻî) dan dalil akal (dalîl

naqli), selain itu, al-Ghazâlî dan al-Fârâbî memiliki persamaan mengenai

keberadaan Tuhan yang tidak disebabkan selain diriNya. Menurut al-Fârâbî sifat-

sifat Tuhan tidak menunjukkan adanya bagian-bagian yang terpisah pada dzat

Tuhan dan sifat-sifat yang ada pada diri Tuhan tidak berbeda dengan dzatNya.107

Misalnya, seseorang boleh saja menyebutkan nama-nama Tuhan yang terkandung

dalam Asmâˊ al-Husnâ yang diketahuinya, akan tetapi nama tersebut tidak

menunjukkan bagian-bagian pada dzat Tuhan dan sifat yang berbeda dalam

diriNya.

Adapun perbedaan antara al-Ghazâlî dan al-Fârâbî mengenai wujûd Tuhan

yaitu berhubungan dengan keesaan Tuhan. Hakekat keesaan Tuhan menurut

107 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 36.

Page 68: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

61

al-Fârâbî sempurna, maksudnya adalah yang ada tanpa sebab, karena jika Tuhan

bersebab, maka Tuhan tidak sempurna dan tergantung pada sesuatu yang

menyebabkannya itu. Tuhan memiliki wujûd yang paling dahulu dan mulia,

karena itu Tuhan wujûd zat yang Azali. ZatNya sendiri sudah menjadi cukup

untuk wujûdnya sendiri. Karena kesempurnaan itu, maka tidak ada yang lain yang

lebih sempurna dibandingkanNya, dan menyendiri dalam kesempurnaanNya.108

Jika ada dua, maka Tuhan tidak dapat disebut sempurna karena nilai sempurna

hanya pada satu. Selain itu, apabila Tuhan ada dua, maka Tuhan saling

melengkapi, dan jika saling melengkapi, maka Tuhan akan sama seperti

makhluknya yang tidak dapat berdiri sendiri. Karena itu, Tuhan yang Esa tidaklah

tergantung dengan yang lain, jadi tidak perlu ada dua Tuhan, karena Tuhan

sempurna. Jika Tuhan ada dua berarti Tuhan bergantung dengan Tuhan yang

lainnya, seperti halnya manusia yang saling bergantungan karena manusia banyak

kekurangan, maka manusia harus berbaur dalam menjalani hidup dan bergantung

pada orang lain. Pandangan al-Fârâbî, wujûd pertama ini bersifat sempurna, bebas

dari segala kekurangan, kesalahan dan tidak terdahului, abadi, contingensi dan

potensialitas, bukan gabungan dari bentuk atau materi dan juga tidak

bergantung.109

Al-Fârâbî berpendapat tentang keesaan Tuhan yaitu, Tuhan tidak dapat

dibatasi (definite) oleh sesuatu penyusunan. Sehingga berdasarkan pandangan

tersebut, seseorang tidak dapat menguraikan sifat-sifat Tuhan, seperti cahaya yang

menyilaukan mata, yang tidak dapat menguraikan warna-warna penyusun cahaya

108 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 36. 109 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h.100.

Page 69: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

62

tersebut, karena sinarnya sangat menyilaukan mata. Selain itu, adanya

keterbatasan pengetahuan tentang Tuhan.

Penegasan mengenai keesaan Tuhan menurut al-Fârâbî nampak jelas,

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnnya yaitu ketika al-Fârâbî membagi dua

jenis dalam wujûd yaitu: jenis wujûd yang eksistensinya tidak berfisik dan jenis

wujûd yang berfisik. Berdasarkan klasifikasi wujûd tersebut al-Fârâbî

mengemukakan, bahwasannya Yang Esa tidak mungkin berhubungan dengan

yang tidak esa, sehingga akan mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang

tidak sempurna dan itu akan menodai keesaan Tuhan.110

Al-Fârâbî dalam buku Musykilah al-Uluhiyyah mengungkapkan

bahwasannya Tuhan bersifat Esa dengan dalil al-Qurˊân yang terdapat dalam surat

al-Ihklas ayat pertama yaitu:

Artinya: Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.

Selain itu Tuhan bersifat suci dari segala sifat kekurangan, dan bebas dari sekutu

Tuhan yang lain. Eksistensi Tuhan adalah wâjib al-wujûd, jika Tuhan lain yang

menandingi Tuhan yang Satu ini, maka tidak ada dualisme yang tidak

terealisasikan kecuali dengan membedakan hal tertentu. Dan tidak akan terealisasi

partisipasi keduanya dalam hal keniscayaan wujûd.111

Sedangkan keesaan menurut al-Ghazâlî terkenal dengan paham yang

sangat melawan segala sesuatu yang berbau syirik atau bertentangan dengan

110 Hasyimsyah Nasution , Filsafat Islam, h. 38. 111 Muhammad Gholab, Musykilah al-̕ Uluhiyyah, (Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-`Arabiyah,

1951), h. 50-56.

Page 70: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

63

Islam, istilah wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd menurut al-Ghazâlî apabila

istilah tersebut digunakan akan menimbulkan kerancuan dalam pemikiran,

sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa akan timbul pemikiran adanya

pemisah antara pencipta dan ciptaannya. Bahkan akan menimbulkan pandangan

yang mumkin itu diciptakan dari wujûd yang mumkin.112

Menurut Al-Ghazâlî yang dijelaskan dalam karyanya yang berjudul Iẖyâˊ

ʻUlûm al -Dîn Tuhan merupakan suatu dzat yang ada dan Esa, yang mana akan

dapat rasakan kehadirannya apabila seseorang benar-benar dapat mengetahui

hakikat sebenarnya dari dirinya sendiri. Bukan berarti menjadi satu, tetapi lebih

menghadirkan sifat-sifat Tuhan, atau berusaha menerapkan sifat-sifat Tuhan

dalam diri kita. Misalnya, al-Rahmân, al-Rahîm, berarti kita berusaha menjadi

penyayang, sehingga dengan cara seperti ini kita mendekatkan diri kepada Sang

Khaliq, dan merasakan sifat-Nya ada dalam diri kita.113

Pencapaian atas adanya wujûd Allah, dapat menjadikan seseorang mampu

menumbuhkan sifat-sifat yang mirip dengan sifat-sifat Allah yang ada didalam

dirinya. Diketahui eksistensinya dengan akal, terlihat zatNya dengan matahati

sebagai kenikmatan dari-Nya, kasih sayang bagi orang-orang yang berbuat baik di

negeri keabadian, dan penyempurnaan dariNya bagi kenikmatan yang

memandangNya yang mulia. Hal tersebut diatur dalam ilmu tasawufnya

al-Ghazâlî yang bercorak sunni yaitu pemikiran dan ajaran Tasawuf yang lebih

mengedepankan ẕahir dari al-Qurˊân dan hadîts, membatasi dan memberikan

112 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h.115. 113 Http://politik dan pemikiran.com/2014/02/09 Islam-dalam-pandangan- Imam akbar.

Page 71: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

64

aturan-aturan yang ketat terhadap pengunaan makna-makna alegoris, serta

menyatukan antara ajaran Islam yang bersifat eksternal dengan ajaran internal.

Selanjutnya, dalam hal mengesakan Allah al-Ghazâlî membagi tauhid menjadi

empat tingkatan :

1. Tauhid orang munafik yakni, mengucapkan Lâilâhaillallâh dengan lisan, tetapi

hatinya lalai terhadap makna kalimat tauhid yang diucapkannya itu.

2. Hatinya membenarkan ucapan lisan, dan inilah tauhid mayoritas umat Islam.

3. Sesungguhnya menyaksikan apa-apa yang diucapkan dan dibenarkan oleh

hatinya dengan jalan kasyf melalui Nûr al-Haq, dan ini lebih dekat daripada

Muqorrobîn.

4. Seseorang tidak melihat dalam kewujudan ini kecuali Yang Esa. Dan hal ini,

terdapat dalam derajat musyahadah shiddîq.114

114 Al-Ghazâlî, Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn, h. 15.

Page 72: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Metafisika adalah ilmu filosofis tertinggi karena materi subyeknya berupa

wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam persoalan dasar

yang harus diketahui. Inti dalam metafisika yaitu alam secara menyeluruh berada

di bawah kekuasaan pencipta (Allah), semua wujud yang ada di alam ini tidak

bergerak dengan sendirinya, tetapi digerakkan oleh penciptanya. Wujud dalam arti

bahasa religius, merupakan wujud non fisik yang mengacu kepada Tuhan dan

malaikat. Sedangkan dalam terminologi filosofis, wujud merujuk pada Sebab

Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.

Permasalahan mengenai metafisika adalah penciptaan alam yang di

dalamnya mempertanyakan tentang apakah alam baru atau kekal, tentang Tuhan

yang hanya mengetahui hal-hal yang terperinci (partikular) serta hubungan alam

dengan ruang dan waktu. Pandangan al-Ghazâlî tentang alam yaitu alam

diciptakan Tuhan dari tiada yang bersifat hadist atau tidak kekal yang

mengharuskan adanya pencipta. Berbeda dengan filosof lain yang mendukung

pernyataan bahwa alam kekal seperti Ibn Sinâ yang berpendapat bahwa alam ini

kekal karena terpancar dari akal pertama yang bersumber dari yang kekal yaitu

Tuhan. Dalam hal pengetahuan Tuhan al-Ghazâlî berpendapat bahwa Tuhan

mengetahui yang juzˊiyyât yang ada di alam ini dengan menghubungkan

65

Page 73: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

66

penjelasannya terhadap ayat al-Qurˊân yang terdapat dalam surat al-Hujurât ayat

16.

Kemudian mengenai alam yang dikaitkan dengan ruang dan waktu,

al-Ghazâlî berkesimpulan bahwa zaman dan ruang adalah hasil imajinasi akal atau

perbuatan yang hanya menghasilkan sebuah khayalan saja, karena itu zaman dan

ruang tidak merupakan sesuatu yang pasti karena waktu dan ruang tidak memiliki

wujûd sebelum alam diciptakan.

Apapun dan bagaimanapun pandangan yang ditujukan kepada al-Ghazâlî,

ia tetap diakui sebagai seorang tokoh yang amat berjasa dalam menstabilkan

pemahaman umat terhadap ajaran agama Islam. Dalam hal wujûd, al-Fārābī

membuktikannya melalui pembagian wujûd itu sendiri yang disebut dengan

konsep wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd . Wâjib al-wujûd ialah suatu dzat

yang wajib adanya serta wujûdNya ada karena diriNya, bukan karena sesuatu

yang berada di luar diriNya sedangkan mumkin al-wujûd merupakan alam yang

tanpa adanya wujûd Tuhan tidak mungkin ada dalam kenyataan.

Al-Ghazâlî mengungkapkan tujuannya mengenai metafisika yaitu untuk

menyampaikan aspek-aspek realitas yang dapat dijangkau oleh indera dan

menganalisis dengan akal-pikiran menuju Tuhan. Selain itu, al-Ghazâlî juga

mendeskripsikan secara jelas tentang jalan menuju Tuhan sejak permulaan dalam

bentuk latihan jiwa lalu menempuh fase pencapaian rohaniah dalam bentuk

maqâmât dan ahwâl, yang akhirnya sampai pada fanâ, tauhîd, maʻrifât, dan

saʻâdah. Oleh sebab itu, al-Ghazâlî dikenal dengan sebagai peletak dasar teori

illuminasion (maʻrifât).

Page 74: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

67

A. Saran

Penulis menyadarai bahwa masih banyak kekurangan yang harus

diperbaiki khususnya permasalahan mengenai metafisika yang membahas tentang

peciptaan alam dan wujûd Tuhan. Oleh karena itu, untuk penelitian lanjutan

disarankan hal-hal sebagai berikut:

a). Meneliti secara lebih komprehensif konsep-konsep yang digunakan

oleh al-Ghazâlî mengenai permasalahan-permasalahan dalam metafisika.

b). Menggunakan referensi berbahasa Inggris dan Arab, guna menghindari

kesalahan istilah, kemudian apabila menggunakan teks terjemahan, maka

gunakanlah teks terjemahan oleh pihak yang memiliki otoritas dibidangnya,

jadikan keduanya sebagai perbandingan.

Sebenarnya permasalahan dalam metafisika itu diawali oleh masalah

adanya kesadaran dalam diri manusia, dengan meyakini wujûd dirinya dan

hakekat dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia tidak kosong dari kesadaran

yang meyakini adanya wujûd terbesar dan hakekat alam semesta. Maka untuk

dapat mengetahui wujûd Tuhan, pertama kita harus memiliki kesadaran dan

keyakinan terhadap adanya wujûd Tuhan melalui ciptaannya yang ada di dalam

alam semesta, karena alam semesta bersandar kepada wujûd Tuhan.

Untuk menguatkan adanya wujûd Tuhan diperlukan pembuktian antara

dalil dan bukti yang dipegang oleh orang-orang yang percaya kepada al-Qurˊân

serta dalil atau bukti yang dipegang oleh orang yang ingkar terhadap al-Qurˊân.

Page 75: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

68

Daftar Pustaka

Al-Ghazâlî, Iẖyâˊ ʻUlûm al -Dîn. Mesir: Haramayn, 1957.

, Al-Munqîzd min al-Ḏalâl. Bairut: Daar al-Andalus, 1967. , Al-Munqîdz min al-Ḏalâl Setitik Cahaya Dalam Kegelapan Pergolakan Intelektual Sang Pencari Kebenaran dalam Telaah Kritis Modern. Surabaya: Pustaka Progressif, 2001.

, Iẖyâˊ ʻUlûm al –Dîn. Jilid VIII. Semarang: CV. Asy Syfa, 2003.

, Tahâfut al-Falâsifah, terj. Ahmadie Thaha. Jakarta: Pustaka, 1985.

Ash-Shiddieqy, Hasbi Muhammad, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhîd/

Kalâm. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999. Abid, M. Bisri, Minhâj al-‘Âbidîn. Jakarta: Pustaka Amani, 1986.

Abdu al-Razâq, Abû Bakr, Maʻa Al-Ghazâlî Fî Al-Munqîdz min al-Dlalâl. Mesir: Dâr al-Qawmiyyah, litṯobbʻâh, 1948.

al-‘Akkad, Abbas Mahmoud, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama- Agama

dan Pemikiran Manusia. Jakarta: Bulan Bintang, 1967. al-Taftazanî, Abu Wafa’ al-Ghanimî, Tasawuf Islam Telaah Historis dan

Perkembangannya. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008. Amin, Miska Muhammad, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat

Pengetahuan Islam. Jakarta: UI Press, 2006. As, Asmaran, Pengantar Studi Tasauf. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam. Jakart: UIN Jakarta Press, 2004.

Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1975.

C, Verhaak dan Imam, Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989.

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Page 76: METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25365/1/M... · METAFISIKA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

69

Http://politik dan pemikiran.com/2014/02/09 Islam-dalam-pandangan- Imam akbar. Jahja, HM. Zurkani, Teologi al-Ghazâlî pendekatan metodologi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

1984.

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang 2008.

Nasution, Harun, Teologi Islam Islam aliran-aliran Sejarah Analisa

Perbandingan. Jakarta: UI Press 2002. Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2006.

, Pemikiran para tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat. Jakarta: PT. Bina

Aksara, 1986.

Othman, Allisa, Manusia Menurut Al-Ghazâlî. Bandung : Pustaka, 1981.

Qarḏawî, Yusuf, Al-Ghazâlî Antara Pro dan Kontra. Surabaya: Pustaka Progresif, 1996.

Sucipto, Hery, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr Sampai Nashr dan

Qarḏawî. Jakarta: PT Mizan Publika, 2003. Syamsuddîn, Ahmad, Al-Fârâbî Hayâtuhu, Atsâruhu, Falsafatuhu. Bairut:

Dâr al-Kitâb al-̕̕ Ilmiayah, 1999. Siregar, Rivay, Tasauf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta:

RajaGrafindoPersada, 2002. Sucipton, Hery, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Nasr Qarḏawî. Jakarta:

Hikmah, 2003.

Ya’qub, Hamzah, Filsafat Agama Titik Temu Akal Dengan Wahyu. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.

69