BAB I
PENDAHULUAN
A. Gambaran Kondisi Ekonomi Indonesia di Tahun 2013
Tahun 2013 merupakan tahun yang cukup krusial bagi Indonesia, karena tahun
ini adalah masa transisi menjelang Pemilu tahun 2014 di tengah intaian krisis global
yang terjadi di negara lain, yang dampaknya sewaktu-waktu dapat menerpa
perekonomian Indonesia. Apalagi pada tahun yang “sibuk” ini barangkali banyak
pihak penggerak ekonomi dan pemerintahan negara Indonesia yang tidak fokus dalam
menjalankan tugasnya dalam menstabilkan roda perekonomian Indonesia, dan lebih
mengutamakan kepentingan politik untuk meraih jabatan di tahun 2014.
Indonesia sudah beberapa kali mengalami guncangan dalam perekonomian
nasional, yakni tahun 1998 dan 2008. Kini, mulai terasa kembali guncangan terhadap
stabilitas ekonomi dalam negeri. Ingatan masyarakat tidak lepas saat guncangan
melanda perekonomian Indonesia pada krisis 1998. Itu diakui sebagai guncangan
paling dahsyat dan menjadi masa gelap dalam perekonomian nasional. Ada
kekhawatiran, guncangan serupa akan terjadi kembali tahun ini.
Krisis ekonomi global ini adalah salah satu dilema yang sedang dihadapi
Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Dan ini adalah dinamika kehidupan ekonomi
yang tidak tetap perubahannya. Kadang sistem ekonomi dunia naik, kadang sistem
ekonomi dunia merosot drastis. Ini menyebabkan gejolak besar bagi kehidupan
ekonomi seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Akibat langsungnya adalah
meledaknya harga kebutuhan pokok di Indonesia. Yang mana sebelumnya saja sudah
menjepit dompet masyarakat dan kini semakin menekan sektor-sektor usaha yang
menyediakan kebutuhan tersebut. Misalnya, petani yang menyediakan sayur mayur
kini kesulitan dalam mencari pupuk yang murah, padi menjadi kurang subur dan
pasokan yang terbatas membuat harga beras melonjak. Ini adalah satu dari ribuan
keluhan masyarakat dalam merasakan dampak buruk dari krisis global ini.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 1
Sejak Juni 2013, nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Hal yang sama juga
dialami oleh mata uang beberapa negara emerging markets (negara berkembang yang
sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat) lainnya. Selama Juni-
Agustus 2013, nilai tukar Lira Turki jatuh sebesar 10 persen; nilai tukar Rupee India
jatuh sebesar 20 persen; dan nilai tukar Rupiah serta Real Brazil jatuh sekitar 15
persen. Trend melemahnya nilai tukar mata uang beberapa negara emerging
markets selama Juni-Agustus 2013 bisa dilihat dalam grafik di bawah ini :
Grafik 1
Nilai Tukar Mata Uang Emerging Markets vs. Dollar AS, Januari-Agustus 2013
Indeks, 15 Mei 2013 = 100
Sumber: Wells Fargo Securities Economics Group, LLC, Weekly Economic &
Financial Commentary, 30 Agustus 2013, hlm.4
https://www.wellsfargo.com/downloads/pdf/com/insights/economics/weekly-
commentary/WeeklyEconomicFinancialCommentary_08302013.pdf.
B. Perbedaan Krisis Ekonomi tahun 1998, 2008, dan saat ini
Krisis ekonomi global adalah peristiwa di mana seluruh sektor ekonomi pasar
dunia mengalami keruntuhan atau degresi dan mempengaruhi sektor lainnya di
seluruh dunia. Sebagai contoh bahwa negara adidaya yang memegang kendali
ekonomi pasar dunia yang mengalami keruntuhan besar dari sektor ekonominya.
Peristiwa ini mengakibatkan rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di
Negeri Paman Sam satu per satu. Bangkrutnya Lehman Brothers langsung
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 2
mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia seperti di
Jepang, Hongkong, China, Australia, Singapura, India, Taiwan dan Korea Selatan,
mengalami penurunan drastis 7-10%. Termasuk bursa saham di kawasan Timur
Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak terkecuali di AS
sendiri, para investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian besar.
Sebelum masa krisis moneter 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat
pesat, kurs rupiah cenderung relatif stabil. Demikian pula iklim investasi baik
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun penanaman Modal asing (PMA)
meningkat terus menerus. Stabilnya nilai rupiah ini membuat para investor dan
pemerintah selaku pihak yang berperan besar dalam pembangunan ekonomi
cenderung mengabaikan pinjaman terhadap mata uang asing, khususnya Dollar
Amerika Serikat. Dengan tidak adanya perlindungan terhadap rupiah itu, belakangan
membawa dampak yang kurang baik pada saat terjadinya resesi ekonomi secara
global pada tahun 1998. Permasalahan krisis moneter ini bermula dari gonjang-
ganjing krisis di sejumlah negara-negara Asia, seperti Jepang, Thailand, Malaysia dan
sebagainya, termasuk Indonesia.
Krisis di negara-negara maju dan berkembang pada masa itu diawali
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat. Gejolak ini
membuat banyak bank-bank di Indonesia mengalami kerugian, terutama yang
mempunyai pinjaman uang dalam bentuk mata uang asing. Kerugian ini di dukung
pula oleh kurang tanggapnya pemerintah dalam mengantisipasi resesi ekonomi yang
ditambah dengan memburuknya arus kas (cash flow) bank-bank selaku penyimpan
dana masyarakat. Kenyataan ini berakibat pada sulitnya bank-bank untuk melakukan
likuidasi, sehingga mendorong sejumlah nasabah menarik dananya dari bank secara
bersama-sama. Kepercayaan masyarakat terhadap bank pun menjadi suatu pertanyaan
besar, khususnya Bank Indonesia selaku Bank Sentral yang bertugas melakukan
pengawasan terhadap bank-bank konvensional maupun bank perkreditan,
sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 Jo. UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan .
Ada perbedaan gejolak ekonomi di tahun 1998, 2008 dan saat ini menurut
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Difi Ahmad Johansyah.
Menurutnya, pada waktu pengembalian dana investasi asing di tahun 1998, baik BI
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 3
dan pemerintah tidak punya statistik yang lengkap atas utang luar negeri, dan ternyata
jumlah utang luar negeri sangat besar sehingga saat itu Bank Indonesia harus
melakukan intervensi besar-besaran, sebab nilai tukar Rupiah anjlok dari yang dipatok
pemerintah di angka tertentu.
Permasalahan krisis moneter pada tahun 1998 itu memang tidak mudah untuk
diatasi oleh pemerintah, mengingat bahwa pemerintah pada saat yang bersamaan
harus pula memikirkan permasalahan lain yang menjadi tuntutan perubahan
masyarakat, seperti : reformasi hukum, sosial, kesejahteraan, dan sebagainya.
Sedangkan saat krisis ekonomi kembali menghantam di 2008, ini dikenal
sebagai krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Di mana kredit perumahan di
AS diberikan kepada debitur-debitur yang memiliki portofolio kredit yang buruk.
Menurut Difi Ahmad, sumber masalahnya ada di negara lain tapi Indonesia terkena
imbasnya, jadi disebut sebagai krisis sektor keuangan. Akan tetapi, kondisi perbankan
Indonesia sudah kuat pada saat itu, sehingga secara umum di tahun 2008
perekonomian Indonesia selamat.
Sedangkan saat ini, yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia
sedang sangat cepat, namun di saat yang sama impor meningkat. Akibatnya, defisit
neraca perdagangan dan neraca berjalan makin lebar dan tak terkendali.
C. Dampak Kebangkitan Ekonomi Raksasa Republik Rakyat China terhadap
Perekonomian Indonesia serta Keterlambatan Implementasi MP3EI
Pasca krisis, ekonomi nasional bergerak stagnan selama dua hingga tiga tahun
berikutnya, hingga pada awal tahun 2000-an terdapat satu peristiwa global penting
yang tampak sebagai peluang bagi Indonesia: Kebangkitan Tiongkok. Sejak awal
tahun 2000-an, RRC mencatat pertumbuhan ekonomi yang luar biasa tinggi, yang
terutama didorong oleh kemajuan berbagai macam industri manufakturnya. Negara ini
mampu membuat apa saja, semuanya, mulai dari jepitan rambut, baut sepeda motor,
hingga smartphone yang tidak kalah canggihnya dengan iPhone maupun Android.
Produk-produk buatan RRC ini kemudian dijual tersebar ke seluruh dunia, dan bisa
dengan mudah ditemukan di negara manapun. Saking banyaknya jenis produk yang
dibuat oleh RRC ini, termasuk produk-produk imitasi dari merk-merk terkenal,
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 4
sampai-sampai ada anekdot “God made Heaven and Earth, and the rest was made in
China.”
Pertumbuhan industri di RRC hanya bisa ditopang oleh dua hal: pasokan besi
dan baja, dan pasokan bahan bakar, dalam hal ini batubara. Besi dan baja dan produk
turunannya diperlukan untuk membuat mesin-mesin industri, konstruksi bangunan,
hingga untuk bahan baku pembuatan barang-barang elektronik dan otomotif.
Sementara batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik, di mana listrik itu sendiri
tentunya sangat dibutuhkan bagi segala jenis industri. RRC sebenarnya memiliki
batubaranya sendiri, namun karena berbagai macam industrinya berkembang lebih
cepat dari kemampuan perusahaan-perusahaan tambang setempat dalam menggali
batubara, maka jadilah RRC perlu juga mengimpor batubara dari luar, salah satunya
tentu saja dari Indonesia.
Karena itulah, di Indonesia pada awal tahun 2000-an mulai booming bisnis
batubara, di mana kemudian banyak orang yang menjadi sangat sukses dari bisnis ini.
Beberapa grup usaha kakap, seperti Grup Bakrie dan Saratoga, bisa kembali menjadi
konglomerat seperti sekarang ini karena kejelian mereka pada awal tahun 2000-an
untuk segera masuk ke bisnis batubara, di mana Bakrie masuk ke Arutmin dan Kaltim
Prima Coal/KPC, yang kemudian diletakkan di bawah Bumi Resources (BUMI),
sementara Saratoga masuk ke Adaro Energy (ADRO).
Booming batubara segera membawa pengaruh positif terhadap pertumbuhan
perekonomian nasional. Pada tahun 2000 Indonesia mencatat rekor surplus
perdagangan (ekspor impor) sebesar nyaris US$ 3 milyar, yang terutama karena
meningkatnya nilai ekspor batubara, di mana surplus tersebut kemudian berlanjut
hingga tahun-tahun berikutnya.
Sebenarnya selain batubara, peluang lainnya yang juga dihasilkan oleh
kemajuan perekonomian Tiongkok adalah meningkatnya permintaan akan besi dan
baja. Sayangnya karena belum ada perusahaan di Indonesia yang mampu
memproduksi besi dan baja dalam jumlah besar, maka peluang tersebut kemudian
ditangkap oleh India, salah satunya oleh perusahaan yang kemudian tumbuh menjadi
perusahaan baja terbesar di dunia, Arcelor Mittal. Berkat industri besi dan baja ini
pula, India kemudian sukses mencatat pertumbuhan ekonomi signifikan.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 5
Akan tetapi, meski Indonesia dan India sama-sama mencatat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dalam sepuluh tahun terakhir ini, namun tidak pernah sampai
menyentuh rekor 13% per tahun seperti yang pernah dicapai RRC. Wajar, karena
Indonesia dan India sebenarnya hanya kecipratan rezeki dari negara RRC tersebut, di
mana industri di dua negara ini sejatinya belum benar-benar berkembang, terutama di
Indonesia yang para pelaku ekonominya justru terlena dengan mudahnya mengambil
keuntungan dari mengeruk batubara, sehingga lupa untuk mengembangkan industri.
Sesungguhnya ketika Indonesia sempat dihantam efek krisis global pada tahun
2008, mulai timbul kesadaran bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa
selamanya bergantung pada ekspor sumber daya alam, dalam hal ini batubara,
melainkan para pelaku ekonominya harus pula mendorong pengembangan industri
untuk menciptakan hilirisasi, untuk menciptakan produk yang memiliki nilai tambah.
Kesadaran ini pula yang kemudian melahirkan Masterplan Percepatan & Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dengan tujuan utamanya yaitu untuk
mengembangkan infrastruktur, dimana infrastruktur tersebut, baik dalam bentuk fisik
maupun kebijakan pemerintah, memang sangat diperlukan untuk mengembangkan
industri dan pada akhirnya menumbuhkan ekonomi. Ide mengenai MP3EI ini pertama
kali dicetuskan oleh Presiden SBY pada tahun 2008, ketika krisis global mencapai
puncaknya.
Sayangnya, sebelum MP3EI tersebut benar-benar diselesaikan perencanaanya,
pada awal tahun 2010, harga crude palm oil (CPO) alias minyak sawit mentah mulai
melejit, dan hal ini segera memberikan peningkatan keuntungan yang besar bagi
perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit. Karena bisnis batubara sendiri pada
saat itu juga belum meredup, maka jadilah pertumbuhan ekonomi Indonesia melaju
kencang lagi, menyebabkan Pemerintah maupun para pelaku ekonomi kembali
terlena, dan tidak mengimplementasi kebijakan tersebut.
Sebagai hasilnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sempat turun menjadi
4.1% pada tahun 2009 karena pengaruh krisis global, pada tahun 2010 kembali
meningkat cukup tinggi, dan mencapai puncaknya pada awal tahun 2011 di mana
pertumbuhan ekonomi nasional sempat menyentuh rekor 6.9% secara year on
year, berkat booming dua komoditas sekaligus, yakni batubara dan CPO. Pada tahun
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 6
2011 ini, Indonesia sempat mencatat surplus ekspor impor hingga lebih dari US$ 3
milyar, berkat tingginya nilai ekspor batubara dan CPO.
Namun pasca tahun 2011, keadaan seketika berbalik arah ketika harga-harga
komoditas dunia, termasuk CPO dan batubara sebagai andalan utama ekspor
Indonesia, menurun. Nilai ekspor Indonesia kemudian tertekan, dan karena ditambah
oleh meningkatnya arus impor, neraca pedagangan nasional akhirnya menjadi defisit,
dan hal ini perlahan tapi pasti menggerus pertumbuhan ekonomi hingga terakhir
menjadi hanya 5.8% pada Kuartal I 2013. Sebenarnya sejak tahun 2011, draft MP3EI
resmi disahkan sekaligus menjadi penanda bahwa Pemerintah bersama-sama BUMN
dan pihak swasta mulai membangun infrastruktur dan lain-lain. Namun sebelum
beberapa infrastruktur tersebut selesai dibangun dan mulai memberikan kontribusi
positif terhadap perkembangan industri dan perekonomian itu sendiri, ekonomi
Indonesia telanjur tertekan.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nilai Tukar Rupiah
Untuk dapat memahami fenomena merosotnya nilai tukar Rupiah, perlu
memiliki pengertian yang benar tentang apa sebenarnya yang digambarkan oleh nilai
tukar Rupiah USD-IDR. Nilai tukar sebuah mata uang ditentukan oleh relasi
penawaran-permintaan (supply-demand) atas mata uang tersebut. Jika permintaan atas
sebuah mata uang meningkat, sementara penawarannya tetap atau menurun, maka
nilai tukar mata uang itu akan naik. Kalau penawaran sebuah mata uang meningkat,
sementara permintaannya tetap atau menurun, maka nilai tukar mata uang itu akan
melemah. Dengan demikian, Rupiah melemah karena penawaran atasnya tinggi,
sementara permintaan atasnya rendah.
Keadaan ekonomi sebuah negara, pemerintah dan rakyat dan kebijakan
moneter bank sentral adalah sebuah sistem yang sangat rumit. Walaupun berbagai
cabang ilmu ekonomi berusaha memberikan penjelasan yang mungkin lebih baik,
tetapi penjelasan seperti itu sulit dimengerti oleh rakyat pada umumnya. Untuk dapat
menjelaskan keadaan ekonomi dan moneter kepada rakyat perlu dibuat idealisasi yang
lebih sederhana atas negara, rakyat, pemerintah, kepala pemerintahan, dan bank
sentral. Walaupun hanya dengan menggunakan logika sederhana, kita dapat mengerti
bahwa sebuah negara dapat dimodelkan menjadi sama dengan sebuah perusahan
publik yaitu yang sahamnya diperdagangkan dengan bebas di pasar saham. Rakyat
sebuah negara dapat dimodelkan sama dengan para pekerja sebuah perusahan publik
yang dipimpin oleh jajaran manajemen perusahan yaitu pemerintah dan bank sentral.
Kemudian, kepala pemerintahan sebuah negara dapat dimodelkan sama dengan
seorang CEO perusahanpublik. Dari konsep seperti ini negara, rakyat, pemerintah
Indonesia dan Bank Indonesia (selanjutnya disebut BI) dapat dimodelkan sebagai
sebuah perusahan publik katakanlah bernama ‘PT Indonesia Tbk’.
Cara yang paling sederhana untuk mengevaluasi kinerja sebuah perusahan
publik adalah dengan mengevaluasi harga sahamnya yang diperdagangkan di pasar
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 8
saham. Metode ini didasarkan atas prinsip bahwa harga saham telah menggambarkan
keadaan keuangan dan faktor fundamental lainnya yang dimiliki perusahan pada suatu
saat tertentu. Dengan cara yang sama, keadaan ekonomi negara, pemerintah dan
rakyat Indonesia dan kebijakan moneter BI secara sederhana digambarkan oleh harga
saham ‘PT Indonesia Tbk’ yaitu mata uang Rupiah yang nilai tukarnya terhadap dolar
Amerika dinyatakan oleh USD-IDR.
Dengan pengertian yang sama, nilai mata uang USD menggambarkan keadaan
ekonomi negara, pemerintah dan rakyat Amerika Serikat (AS) dan kebijakan moneter
Bank Sentral, the Fed. Dengan demikian BI dan pemerintah RI tidak bisa
mempengaruhi nilai USD dan sebaliknya pemerintah AS dan the Fed tidak dapat
menentukan nilai Rupiah. Nilai tukar Rupiah dikatakan melemah atau USD-IDR naik
hanya terjadi bilamana nilai Rupiah tetap dan USD menguat, atau Rupiah melemah
dan USD tetap atau Rupiah melemah melebihi USD yang juga melemah atau Rupiah
melemah dan USD menguat.
B. Pasar Valuta Asing Dollar Amerikat Serikat dengan Rupiah Indonesia (USD-
IDR) dan Peranan BI
Mata uang sebuah negara diperdagangkan atau lebih tepat dipertukarkan pada
apa yang umum disebut Pasar Valuta Asing atau Foreign Exchange Market
(selanjutnya disebut FX Market). FX Market tidak memiliki lokasi fisik seperti pasar
tradisional, tetapi sebuah sistem perdagangan melalui jaringan komputer antarbank
dan broker dealer. Selain itu FX Market beroperasi secara bebas hampir 24 jam setiap
hari, dan tidak ada satupun otoritas di dunia yang melakukan kontrol dan regulasi.
Khusus untuk Rupiah, sejak 1997 otoritas Indonesia melarang Rupiah diperdagangkan
secara bebas di luar negeri sehingga FX Market untuk USD-IDR hanya ada antarbank
di Indonesia sepanjang siang hari waktu kerja perbankan Indonesia.
Pada umumnya ada empat tujuan Rupiah dipertukarkan yang dilakukan
oleh empat kelompok berbeda. Kelompok ke-1 terdiri dari korporasi, perusahan
asing dan pemerintah untuk keperluan bisnis ril. Perusahan eksportir menukar
hasil ekspor dalam USD menjadi Rupiah untuk dibelanjakan di dalam negeri
sedangkan perusahan importir menukar Rupiah menjadi USD untuk dibelanjakan di
luar negeri. Perusahan asing menukar USD menjadi Rupiah untuk melakukan bisnis
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 9
ril di Indonesia. Pemerintah menukar USD menjadi Rupiah bilamana hasil penjualan
Surat Utang dalam USD atau pinjaman luar negeri akan dibelanjakan di dalam negeri.
Bilamana utang USD itu jatuh tempo, pada umumnya pemerintah membuat utang
baru dalam USD sehingga tidak perlu menukar Rupiah menjadi USD untuk
membayar utang dalam bentuk USD yang jatuh tempo itu.
Kelompok ke-2 adalah para investor asing menukar USD menjadi
Rupiah untuk membeli instrumen investasi portofolio di Indonesia dalam bentuk
saham dan obligasi. Sebaliknya mereka akan menukar kembali Rupiah menjadi USD
bilamana mereka menjual kembali saham dan obligasi dan berhenti melakukan
investasi portofolio di Indonesia.
Kelompok ke-3 adalah individu atau korporasi yang memiliki kelebihan
dana Rupiah dan menyimpannya dalam bentuk USD atau mata uang asing lainnya
dengan tujuan untuk menjaga purchasing power uang mereka. Kegiatan ini umum
disebut ‘lindung nilai’ atau hedging.
Kelompok ke-4 adalah para trader sebut saja para ‘spekulan’ yang
membeli atau menjual USD-IDR dengan tujuan memperoleh keuntungan dari
pergerakannya. Bilamana seorang trader berpendapat bahwa USD-IDR akan naik,
mereka akan membeli dan bilamana sebaliknya mereka akan menjual.
Keempat kelompok ini yang berpartisipasi secara teratur di FX Market dan
karena memiliki tujuan berbeda maka mereka menciptakan situasi supply dan demand
atas USD. Ketika demand USD melampaui supply, maka Rupiah melemah atau nilai
USD-IDR akan naik. Pada situasi ini BI ikut melibatkan diri menjadi pelaku pasar
dengan menjadi pemasok kekurangan USD ke FX Market melalui kegiatan yang
umum disebut ‘intervensi’ yaitu menjual USD yang diambil dari cadangan devisa.
Tetapi karena BI melakukannya terlalu sering, maka BI dapat dikatakan sebagai
Kelompok ke-5 pelaku FX Market di Indonesia. Dengan demikian nilai USD-IDR
ditentukan oleh situasi supply dan demand oleh kelima kelompok itu. Demand USD
akan meningkat tajam bilamana Kelompok ke-2 yaitu investor asing melikuidasi
portofolio mereka dan menukar Rupiah kembali menjadi USD.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 10
C. Manajemen Risiko Investor Asing
Ketika datang ke Indonesia menukarkan USD menjadi Rupiah dan membeli
instrumen investasi di Indonesia, investor asing sangat menyadari bahwa investasi di
emerging market seperti Indonesia risikonya sangat tinggi dan mereka menerapkan
manajemen risiko yang sangat ketat.
Ada tiga pedoman atau kriteria yang umum diterapkan dalam
manajemen risiko investor asing:
Pertama, bilamana terjadi peristiwa-peristiwa global maupun domestik yang
memiliki potensi mempengaruhi nilai investasi, ‘GET OUT’.
Kedua, bilamana nilai USD-IDR mencapai harga tertentu, ‘GET OUT’.
Ketiga, jangan membiarkan ‘profit’ berubah menjadi ‘loss’. Maksudnya bilamana
investor pernah mengalami potensi profit dari harga saham dan obligasi, maka mereka
harus menjaga agar profit itu tidak hilang bilamana harga saham atau obligasi turun.
Umumnya investor asing menetapkan angka antara 30-50% sebagai batas. Maksudnya
mereka hanya bisa membiarkan profit turun 30-50% dari potensi profit yang pernah
terlihat dan bilamana melampaui batas itu ‘GET OUT’.
Ketiga kriteria itu sama dengan ‘garis di atas pasir di pantai dalam permainan
anak-anak tempo doeloe di pulau Siau sebelah utara Manado’ di mana kalau garis itu
dilampaui maka menjadi pemicu sebuah tindakan. Investor asing mulai menjual
saham dan obligasi kemudian menukar Rupiah menjadi USD bilamana salah satu dari
kriteria itu mulai terjadi dan mereka akan menjual secara total bilamana ketiga-
tiganya telah terjadi.
D. Kondisi Ekonomi Global dan Pengaruhnya terhadap Praktik Manajemen Risiko
di Pasar Valuta Asing Indonesia
Sehubungan dengan Kriteria ke-1, ada beberapa peristiwa global dan domestik
yang telah dan sedang terjadi dan memiliki potensi mempengaruhi nilai investasi
mereka di Indonesia :
Pertama, ketika ekonomi China mulai melemah di awal 2013, mereka berpikir bahwa
akan mempengaruhi ekonomi Asia termasuk Indonesia.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 11
Kedua, sejak 2012 Indonesia mulai mengalami defisit perdagangan dengan partner
luar negeri yaitu impor melampaui ekspor.
Ketiga, dengan meningkatnya harga minyak mentah, maka akan menjadi ancaman
bagi ekonomi Indonesia.
Keempat, perang sipil di Syria yang berkelanjutan bisa menyeret Amerika Serikat
dan sekutunya melakukan intervensi militer yang akan mempengaruhi ekonomi
Indonesia melalui harga minyak yang tinggi dan sentimen anti-Amerika dalam negeri.
Kelima, mereka sangat khawatir kalau-kalau Bank Sentral Amerika Serikat (the Fed)
dalam FOMC meeting yang akan berlangsung pada 18 September 2013 membuat
keputusan menghentikan kebijakan stimulus yang sudah berlangsung sejak 2008 yang
lalu. Bilamana itu terjadi, suku bunga USD akan naik dan USD akan menguat
terhadap semua mata uang dunia termasuk Rupiah. Peristiwa-peristiwa ini menjadi
pemicu untuk mengambil tindakan sesuai dengan manajemen risiko pertama. Mereka
memilih mulai melikuidasi portofolio di Indonesia dan menukar Rupiah kembali
menjadi USD. Tindakan mereka menimbulkan demand USD meningkat dan BI harus
menguras lebih banyak cadangan devisa untuk memasok kekurangan supply USD.
Dapat ditaksir investor asing menukar USD pada harga USD-IDR antara 8.700
sampai 9.300 untuk membeli instrumen saham dan obligasi di Indonesia sejak
beberapa tahun lalu. Sebab itu kemungkinan besar mereka menetapkan angka 10.000
sampai 10.500 sebagai kriteria kedua. Setelah angka itu terjadi, mereka melikudasi
portfolio mereka lebih lanjut dan menimbulkan demand USD lebih meningkat lagi
dan BI mulai kewalahan melakukan intervensi.
Diperkirakan investor asing telah pernah mencapai potensi profit antara 50-
60% karena kenaikan harga saham di pasar saham Jakarta. Mereka akan menjaga agar
potensi profit itu tidak berubah menjadi loss.
Di lain pihak, dengan melemahnya Rupiah, mereka mengalami kerugian dari
sisi nilai tukar USD-IDR. Kemungkinan besar mereka menetapkan angka 11.500
sampai 12.000 sebagai kriteria ketiga, karena kalau Rupiah melemah lebih jauh,
mereka akan kehilangan profit yang pernah dilihatnya. Kriteria ketiga akan makin
cepat terpicu, bilamana harga saham turun sementara Rupiah terus melemah.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 12
Bilamana ini terjadi, maka mereka akan likuidasi secara total portofolio mereka dan
menukar Rupiah kembali menjadi USD. Tindakan ini menimbulkan demand USD
melonjak tajam dan BI tidak akan sanggup lagi menjadi pemasok dan akibatnya USD-
IDR naik tajam.
E. Penyebab Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah di Tahun 2013
Nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan terhadap dollar AS. Beberapa
faktor dari global dan domestik turut memberikan kontribusi penurunan mata uang
Indonesia tersebut. Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menyatakan, dari sisi
global, pelemahan nilai tukar rupiah dipicu oleh pembalikan dana asing (capital
reversal). Ekonomi global yang belum pulih membuat investor menukarkan produk
investasinya ke jenis investasi dengan risiko paling aman, yaitu dollar AS.
Sejak Agustus 2011 sampai awal Juli 2013, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar
Amerika (selanjutnya disingkat USD-IDR) melemah konsisten tetapi secara perlahan
dan teratur dari 8.500 menjadi 10.000 atau 17,6% dalam waktu dua tahun. Sebaliknya
pada hari Jumat 30 Agustus 2013 USD-IDR mencapai sekira 11.500, yang berarti
terjadi penurunan nilai Rupiah sebesar 15% dalam waktu kurang dari dua bulan.
Dapat dikatakan bahwa selama periode Juli sampai Agustus 2013 USD-IDR tidak
bergerak secara normal, perlahan dan teratur (moving gradually) tetapi meledak
(exploding). Nilai USD-IDR yang meledak dalam waktu relatif singkat itu
menunjukkan telah terjadi sejenis ‘pengekangan pergerakan USD-IDR’ selama
periode sebelumnya yang kemudian tidak sanggup lagi dikekang lebih jauh dan
akhirnya terlepas dan meledak.
Terdapat dua faktor penting yang menyebabkan Nilai Rupiah terus
menurun :
Pertama, keluarnya sejumlah besar investasi portofolio asing dari Indonesia.
Keluarnya investasi portofolio asing ini menurunkan nilai tukar Rupiah, karena dalam
proses ini, investor menukar Rupiah dengan mata uang negara lain untuk
diinvestasikan di negara lain. Artinya, terjadi peningkatan penawaran atas Rupiah.
Adapun indikasi dari keluarnya investasi portofolio asing ini bisa dilihat dari Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung menurun seiring dengan
kecenderungan menurun dari Rupiah. [1]
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 13
Dalam grafik di bawah, bisa dilihat bahwa IHSG mengalami kecenderungan
menurun sejak Juni 2013:
Grafik 2
IHSG April-Agustus 2013
Sumber: Bloomberg, http://www.bloomberg.com/quote/JCI:IND/chart.
Alasan yang memicu investasi portofolio asing ini keluar dari Indonesia
adalah karena rencana the Fed (bank sentral AS) untuk mengurangi Quantitative
Easing (QE). Rencana ini dinyatakan oleh Ketua the Fed, Ben Bernanke, di depan
Kongres AS pada 22 Mei 2013. Tidak lama setelah itu, mata uang di beberapa
negara emerging markets pun anjlok (lihat Grafik 1). Yang dimaksud dengan QE di
sini adalah program the Fed untuk mencetak uang dan membeli obligasi atau aset-aset
finansial lainnya dari bank-bank di AS. Program ini dilakukan untuk menyuntik uang
ke bank-bank di AS demi pemulihan diri pasca-krisis finansial 2008.
Rencana pengurangan QE memberikan pesan bahwa ekonomi AS menyehat.
Karenanya, nilai tukar obligasi dan aset-aset finansial lain di AS akan naik. Inilah
ekspektasi para investor portofolio yang mengeluarkan modalnya dari negara-
negara emerging markets. Pemerintah AS melihat bahwa di depan, investasi
portofolio di AS akan lebih menguntungkan daripada di negara-negara emerging
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 14
markets. Dalam tiga bulan terakhir, yield obligasi jangka panjang pemerintah AS
sendiri telah naik. Sebagai contoh, yield obligasi 10-tahun pemerintah AS yang
menjadi benchmark, naik sekitar 125 bps dalam tiga bulan terakhir.[2]
Faktor kedua, yang menyebabkan penawaran tinggi dan permintaan rendah
atas Rupiah adalah neraca nilai perdagangan Indonesia yang defisit. Artinya, ekspor
lebih kecil daripada impor. Dalam Tabel 1 di bawah, kita bisa lihat, defisit neraca
nilai perdagangan Indonesia selama Januari-Juli 2013 adalah -5,65 miliar Dollar AS.
Sektor nonmigas sebenarnya mengalami surplus 1,99 miliar Dollar AS. Namun,
surplus di sektor nonmigas tidak bisa mengimbangi defisit yang sangat besar di sektor
migas, yakni sebesar -7,64 miliar Dollar AS.
Tabel 1
Neraca Nilai Perdagangan Indonesia, Januari-Juli 2013
(Miliar US$)
Sumber: Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, No. 58/09/Th. XVI,
2 September 2013, hlm. 14, http://www.bps.go.id/brs_file/eksim_02sep13.pdf.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 15
Dinamika ekspor-impor memang bisa berdampak pada nilai tukar mata uang.
Ekspor meningkatkan permintaan atas mata uang negara eksportir, karena dalam
ekspor, biasanya terjadi pertukaran mata uang negara tujuan dengan mata uang negara
eksportir. Pertukaran ini terjadi karena si eksportir membutuhkan hasil akhir ekspor
dalam bentuk mata uang negerinya agar bisa ia pakai dalam usahanya. Sebaliknya,
impor meningkatkan penawaran atas mata uang negara importir, karena dalam impor,
biasanya terjadi pertukaran mata uang negara importir dengan mata uang negara asal.
Karena selama Januari-Juli 2013, impor Indonesia lebih kecil daripada ekspornya,
maka situasi ini telah melemahkan nilai tukar Rupiah.
F. Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah
Ketika nilai tukar sebuah mata uang melemah, maka yang biasanya mencolok
terkena dampaknya adalah harga komoditi impor, baik yang menjadi obyek konsumsi
maupun alat produksi (bahan baku dan barang modal). Karena harga komoditi impor
dipatok dengan mata uang negara asal, maka jika nilai mata uang negara tujuan jatuh,
harga komoditi impor akan naik. Misalnya, jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah jatuh
sebesar 10% dari 1 Dollar AS = 9.000 Rupiah menjadi 1 Dollar AS = 9.900 Rupiah,
maka harga komoditi impor pun akan naik sebesar 10%. Komoditi yang harganya
Rp1,5 juta akan naik Rp150 ribu menjadi Rp1,65 juta.
Dari data BPS, kita bisa lihat inflasi di bulan Juni adalah 1,03 persen, lalu
meningkat menjadi 3,29 persen pada Juli. Sementara, pada bulan Agustus, inflasi
menurun menjadi 1,12 persen. Inflasi tahun kalender (Januari-Agustus) 2013 adalah
7,94 persen dan ini merupakan inflasi tahunan tertinggi sejak 2009. Untuk barang
konsumsi, yang harganya akan naik bukan hanya barang-barang konsumsi impor,
namun juga barang-barang konsumsi yang diproduksi di dalam negeri, tetapi sebagian
besar alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor. Harga tahu tempe,
misalnya, naik 20-25 persen, karena bahan bakunya berupa kedelai diimpor.
Gambaran kasar mengenai perbandingan antara impor barang konsumsi,
bahan baku/penolong dan barang modal di Indonesia, bisa kita lihat di Tabel 2.
Proporsi impor terbesar pada Januari-Juli 2013 adalah impor bahan baku/penolong,
yakni 76,16% dari total impor. Kemudian urutan kedua ditempati oleh impor barang
modal (mesin-mesin, dan sebagainya), sebesar 16,87% dari total impor. Di urutan
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 16
terakhir adalah impor barang konsumsi dengan besaran 6,97% dari total impor. Dari
data ini, dapat ditarik dugaan bahwa penggunaan alat-alat produksi impor dalam
industri Indonesia cukup tinggi.
Tabel 2
Impor Indonesia Menurut Golongan Penggunaan Barang Januari-Juli 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, op. cit., hlm. 12.
Kenaikan harga komoditi impor ini tentu akan berdampak bagi bangsa
Indonesia. Pertama, konsumen, terutama konsumen kelas bawah, sejauh pendapatan
mereka tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang. Kedua, pihak-pihak dalam
rantai distribusi komoditi impor mulai dari importir sampai pengecer, karena mereka
menghadapi pasar dalam negeri yang menyusut. Misalnya, belakangan ini, para
importir bahan kebutuhan pokok di Batam sudah menghentikan aktivitas usahanya.
Ketiga, para usahawan yang berorientasi pasar dalam negeri, namun alat-alat
produksinya, terutama bahan bakunya, impor, seperti pengusaha tekstil, alas kaki,
kemasan, dan sebagainya. Keempat, rakyat pekerja yang sudah terpukul dari sisi
konsumsi akibat kenaikan harga barang, juga akan dijepit dari sisi upah oleh
pengusaha yang terjepit oleh kenaikan harga alat-alat produksi impor, kenaikan nilai
utang luar negeri, dan penyusutan pasar dalam negeri.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 17
Namun, anjloknya Rupiah bukan hanya berdampak pada kenaikan harga
komoditi impor saja. Dampak lainnya yang juga penting adalah kenaikan nominal
Rupiah dari utang luar negeri, karena utang luar negeri dipatok dengan mata uang
asing. Logikanya sama dengan dampak pelemahan Rupiah pada komoditi impor. Jika
di Indonesia, nilai tukar Rupiah berbanding Dollar AS jatuh sebesar 30%, maka
nominal Rupiah dari utang yang dipatok dalam Dollar AS akan naik sebesar 30%.
Sampai dengan Maret 2013, total utang luar negeri Indonesia adalah 254,295 miliar
Dollar AS, dengan utang pemerintah dan bank sentral sebesar 124,151 miliar Dollar
AS serta utang swasta sebesar 130,144 miliar Dollar AS.
Pihak mana saja yang akan terpukul oleh kenaikan nominal Rupiah dari
utang luar negeri Indonesia ini :
Pertama, untuk utang swasta :
(1) pengusaha yang berutang, dan
(2) para pekerjanya yang akan ditekan oleh pengusaha yang berutang
tersebut.
Kedua, untuk utang pemerintah :
(1) anggaran negara atau APBN, dimana ketika anggaran terjepit, rezim
neoliberal biasanya akan mengurangi atau mencabut subsidi untuk rakyat,
(2) rakyat secara umum juga akan terkena dampaknya.
Ketiga, pembayaran utang luar negeri cenderung akan meningkatkan penawaran atas
Rupiah, karena uang Rupiah yang dimiliki pengutang harus ditukar dengan mata uang
pembayaran utang. Akibatnya, nilai tukar Rupiah bisa semakin lemah.
Jika mata uang suatu negara melemah, maka yang diuntungkan adalah sektor
ekspor yang bahan bakunya (sebagian besar) berasal dari dalam negeri. Misalnya, PT
Energizer Indonesia yang memproduksi baterai Eveready yang sebagian besarnya
diekspor, eksportir udang, dan eksportir kakao di Sulawesi Selatan
Namun, ini tidak berarti seluruh sektor ekspor Indonesia untung, karena
banyak komoditi ekspor kita yang ditopang oleh bahan baku impor, sehingga
keuntungan yang didapat dari kenaikan harga barang ekspor itu “dibatalkan” oleh
harga bahan baku impornya yang mahal.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 18
G. Kebijakan Pemerintah dan BI dalam Mengatasi Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah
Dalam situasi seperti sekarang, tidak banyak cara yang dapat dilakukan BI dan
pemerintah, mungkin hanya tersedia 3 pilihan :
Pertama, menaikkan suku bunga Rupiah secara agresif. Maksudnya suku bunga
harus dinaikkan dengan besaran yang cukup sehingga dapat mempengaruhi keadaan
supply dan demand USD jangka pendek. Dengan suku bunga Rupiah yang tinggi akan
memaksa para eksportir yang menyimpan hasil ekspor di luar negeri membawanya ke
dalam negeri. Di lain pihak suku bunga tinggi akan mengurangi impor terutama impor
barang-barang konsumsi yang merupakan kebutuhan sekunder. Suku bunga Rupiah
yang tinggi juga akan mendorong para pemilik kelebihan dana (kelompok ke-3) untuk
menyimpan uangnya dalam Rupiah. Begitu juga Kelompok ke-4 para spekulan akan
berhenti membeli USD karena biayanya menjadi sangat tinggi. Menaikkan secara
agresif mungkin berarti sebesar 5-10%. Menaikkan suku bunga secara normal, 0,5-
1,0% tidak akan banyak menolong.
Kedua, BI tetap melakukan intervensi terbatas, yaitu menggunakan cadangan
devisa. Ketika cadangan devisa pada kondisi kritis maka BI akan membiarkan Rupiah
melemah terus dengan cepat hingga mencapai level di mana harga saham di pasar
saham Jakarta menjadi sangat murah dihitung dalam USD dan diharapkan investor
asing portofolio (Kelompok ke-2) tertarik kembali menukarkan USD dan membeli
saham.
Ketiga, melakukan reformasi ekonomi dan politik untuk dapat mempengaruhi
keadaan supply dan demand USD dalam jangka panjang. Dalam prakteknya,
kebijakan ekonomi dengan berbagai dampak positif dan negatif, telah diupayakan
pemerintah Indonesia, sekalipun implementasinya masih bisa dinilai kurang. Cara
mengatasi tekanan ekonomi nasional yaitu dengan melaksanakan kebijakan ekonomi,
baik makro maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijakan ekonomi pemerintah
sejak masa krisis global dimaksudkan memiliki dua sasaran strategis, yakni pertama,
mengurangi dampak negatif krisis terhadap masyarakat berpendapatan rendah dan
rentan, dan kedua, pemulihan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi ke jalur
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 19
semula. Hingga kini, banyak yang menilai paket-paket kebijakan ekonomi
pemerintah hanya berjalan di atas kertas, namun di lapangan tidak efektif.
H. Pandangan mengenai Intervensi Pemerintah Menaikkan BI RATE serta
Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Selama empat bulan terakhir, BI sudah menaikkan BI rate sebesar 150 bps, dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3
Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia April - Desember 2013
PERIODE BI RATE
11 April 2013 5.75 %
14 Mei 2013 5.75 %
13 Juni 2013 6.00 %
11 Juli 2013 6.50 %
15 Agustus 2013 6.50 %
29 Agustus 2013 7.00 %
12 September 2013 7.25%
08 Oktober 2013 7.25%
12 November 2013 7.50 %
12 Desember 2013 7.50 %
Sumber : http://www.bi.go.id/web/en/Moneter/BI+Rate/Data+BI+Rate/
Terakhir Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI Rate jadi 7,5
persen. Kenaikan suku bunga kali ini tampaknya tidak dimaksudkan untuk meredam
inflasi, seperti yang lazim dilakukan. Inflasi year on year Oktober 2013 cukup
terkendali 8,32 persen. Sedikit turun dari 8,4 persen pada bulan sebelumnya. Pesan
yang ingin disampaikan BI adalah, dengan kebijakan ini, mereka berupaya
mengurangi defisit transaksi berjalan yang masih 8,4 miliar dollar AS pada triwulan
III-2013, atau turun dari 9,9 miliar dollar AS pada triwulan II.
Terdapat transmisi yang erat di antara kedua variabel tersebut, yaitu jika suku
bunga naik, hasrat untuk berkonsumsi (propensity to consume) akan berkurang,
demikian pula hasrat investasi. Selanjutnya, melemahnya konsumsi (C) dan investasi
(I) akan mengurangi permintaan agregat (aggregate demand). Karena struktur industri
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 20
Indonesia sensitif terhadap barang dan jasa impor, selanjutnya impor barang dan jasa
akan berkurang. Pengurangan ini akan menurunkan defisit perdagangan dan defisit
transaksi berjalan.
Kebijakan ini bisa dinilai efektif, karena dalam situasi krisis ekonomi global
yang mulai dirasakan transmisinya ke Indonesia, tingkat kepercayaan para pelaku
ekonomi juga mulai goyah. Ekspresinya, para pelaku ekonomi mulai mengerem
konsumsi.
Dua industri yang biasanya bisa menjadi indikator bergairah atau
tidaknya perekonomian adalah industri otomotif dan properti.
Sejauh ini, pada industri otomotif belum ada tanda-tanda melemah.
Kemampuan para produsen melakukan inovasi, misalnya dengan produksi mobil yang
irit dan murah, serta sepeda motor yang hemat, berhasil menumbuhkan penjualan.
Penjualan mobil tahun ini diperkirakan 1,2 juta unit, sedangkan sepeda motor kembali
ke level 8 juta unit.
Namun, untuk sektor properti, mulai ada tanda-tanda melemah. Di beberapa
kota besar (terutama Jakarta dan Surabaya) mulai dikeluhkan gejala ”gelembung
properti”, harga properti melambung tinggi, tetapi kemudian pemilik kesulitan
menjualnya kembali jika diperlukan. Aset ini menjadi berkurang derajat likuiditasnya.
Meski demikian, asalkan para pengembang jeli mencari segmen pasar dan lokasi yang
tepat, sebenarnya industri properti masih terbuka ekspansi, mengingat masih banyak
keluarga yang belum memiliki rumah pertama.
Upaya mengerem pertumbuhan ekonomi tak hanya oleh Indonesia. China
mulai menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi hingga dua digit (periode 2001-
2008) membawa beberapa dampak negatif. Sektor properti terlalu menggelembung
sehingga rawan meletus. Upah buruh naik, harga tanah di kota-kota industri sepanjang
pantai timur naik drastis. Jika tidak dikendalikan, itu akan merusak daya saing China
di kemudian hari. Solusinya, pertumbuhan ekonomi diperlambat. Itulah sebabnya,
perekonomian China tahun ini diperkirakan tumbuh 7,6 persen-7,8 persen. Kendati
demikian, level pertumbuhan ini tetap yang tertinggi di dunia.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 21
Yang menarik, dua lembaga multilateral, Dana Moneter Internasional (IMF)
dan Bank Dunia, sejak Oktober 2013 meramal Indonesia akan mengalami koreksi
pertumbuhan ekonomi ke bawah. Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi 2013
hanya 5,6 persen dan tahun depan (2014) 5,4 persen. Sementara IMF meramal
pertumbuhan 5,3 persen (2013) dan 5,5 persen (2014).
Proyeksi itu rasanya terlalu rendah. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi masih
5,8 persen. Pada triwulan IV-2013, biasanya kementerian dan lembaga ngebut
mengejar target absorpsi anggaran. Hal yang sama juga pada perusahaan-perusahaan
swasta. Datangnya musim liburan akhir tahun dan Natal juga memberi energi belanja
yang lebih sehingga mendorong permintaan agregat.
Tahun 2014, tahun pemilu, akan menumbuhkan asa memiliki presiden dan
pemerintahan baru yang lebih kuat. Ujungnya, tumbuh sentimen positif yang bisa
memacu investasi. Ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Proyeksi Bank
Pembangunan Asia (ADB) lebih realistis. Mereka meramal pertumbuhan ekonomi 5,7
persen (2013) dan 6,0 persen (2014).
Proyeksi lembaga-lembaga finansial dunia cukup beragam, misalnya Goldman
Sachs 5,4 persen (2013) dan 5,5 persen (2014), HSBC (5,6 dan 5,5 persen), ING (5,9
dan 7 persen), DBS (5,8 dan 6 persen), Economist Intelligence Unit (5,1 dan 5,4
persen), Citigroup (5,7 dan 5,3 persen), Nomura (5,5 dan 5,7 persen), ANZ (5,5 dan 6
persen), Barclays Capital (5,4 dan 5,5 persen), Credit Suisse (5,7 dan 5,5 persen), dan
yang paling parah JP Morgan (5,5 dan 4,9 persen). Saya cenderung sependapat
dengan ADB dan DBS.
Apakah suku bunga masih akan naik lagi pada Desember 2013? Jawabannya
bisa “Ya” dan “Tidak”. Jika”Ya” artinya BI tidak melihat jalan lain untuk
menstabilkan rupiah yang saat ini di level Rp 11.600 per dollar AS. Stabilisasi rupiah
merupakan tujuan terpenting, melebihi prioritas lainnya. Di sisi lain, BI tetap harus
berhitung, kenaikan suku bunga lebih lanjut hanya akan memicu kenaikan suku bunga
kredit sehingga menyengsarakan dunia usaha.
Ada tanda kebijakan kenaikan suku bunga ini masih dilanjutkan. Alasannya,
mengantisipasi kenaikan suku bunga di AS. Jika suku bunga AS naik (kini suku
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 22
bunga acuan The Fed hanya 0,25 persen), akan rawan terjadinya aliran modal keluar
dari Indonesia.
Namun, tahun depan kita punya modal inflasi yang lebih rendah. Harga
minyak mentah dunia hingga tahun depan rasanya masih akan bergerak di antara 100
dollar AS per barrel (minyak West Texas Intermediate) hingga 110 dollar AS (Brent),
ditambah lagi pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM (mesti subsidi sudah di
atas Rp 300 triliun), maka inflasi pun akan turun ke level 5,5 hingga 6,5 persen.
Dalam kondisi ini, mestinya BI menurunkan BI Rate.
Keinginan BI agar penyaluran kredit pada industri perbankan hanya tumbuh
15-17 persen tahun depan, dirasa terlalu konservatif. Pertumbuhan kredit selevel itu
hanya akan memacu pertumbuhan ekonomi 5,5 persen. Jika ingin pertumbuhan
ekonomi sekitar 6 persen, pertumbuhan kredit seharusnya antara 18 hingga 20 persen.
Indonesia tidak harus mengikuti jejak China untuk mengerem pertumbuhan
ekonomi karena situasinya berbeda. Data pengangguran terakhir China adalah 4
persen, atau jauh lebih rendah daripada Indonesia yang sekitar 6 persen. Artinya, bagi
Indonesia masih lebih urgen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar tercipta
kesempatan kerja baru daripada menaikkan BI Rate terus-menerus.
I. Pandangan mengenai Intervensi BI untuk Menekan Penurunan Nilai Rupiah
melalui Penggunan Cadangan Devisa RI
Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa hingga akhir Juni 2013 sebesar
98,1 miliar dollar AS. Nilai tersebut merosot dari cadangan devisa di akhir bulan
sebelumnya yang masih 105,1 miliar dollar AS. Gubernur BI Agus Martowardojo
menyatakan bahwa penurunan cadangan devisa ini disebabkan oleh kenaikan dana
asing yang keluar dari Tanah Air. BI mencatat, ada dana asing yang keluar hingga
akhir Juni 2013 sebesar Rp 40,1 triliun.
Cadangan devisa selalu terkait dengan inflow dan outflow. Pada akhir Juni
2013, ada outflow sekitar 4,1 miliar dollar AS sehingga cadangan devisa Indonesia
menurun menjadi 98,1 miliar dollar AS. Namun, BI mencatat posisi cadangan devisa
saat ini masih bisa mencukupi untuk 5,4 bulan impor dan pembayaran utang luar
negeri.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 23
BI sebelumnya juga mencatat bahwa kondisi cadangan devisa RI yang berada
di bawah 100 miliar dollar AS tidak perlu dikhawatirkan. Sebab pada masa krisis
akhir 2008 lalu, cadangan devisa RI sempat berada di level 51 miliar dollar AS.
Namun pada Agustus 2011 melonjak menjadi 124 miliar dollar AS. Tapi di akhir
2011 lalu, cadangan devisa RI merosot kembali menjadi 110 miliar dollar AS. Hingga
akhir Juni 2013, cadangan devisa RI merosot menjadi 98,1 miliar dollar AS, merosot
dibanding akhir Mei 2013 yang masih 105,1 miliar dollar AS.
Tentu saja, BI tidak akan melakukan intervensi terus menerus selama-lamanya
karena akan menguras cadangan devisa. BI pasti memiliki ‘garis di atas pasir’ yang
tidak bisa dilampaui yaitu bilamana cadangan devisa turun dibawah angka tertentu, BI
pasti berhenti melakukan intervensi.
J. Kebijakan Stimulus dan Tapering Off The Fed serta Dampaknya bagi
Perekonomian Global pada Umumnya dan Perekonomian Indonesia pada
Khususnya
Pada tanggal 3 November 2010, the Federal Open Market Committee atau
FOMC memutuskan untuk mengucurkan stimulus sebesar 600 Milliar USD atau
setara dengan Rp 5,400 Triliun dengan tujuan untuk membiayai defisit anggaran AS.
Kebijakan the Fed yang dikenal dengan istilah Quantitative Easing (QE) tersebut
dilakukan melalui mekanisme pembelian surat berharga pemerintah atau lebih dikenal
dengan US Treasury yang dimiliki oleh berbagai Institusi di Amerika. Dalam
pelaksanaannya The Fed melakukan pembelian bertahap sebesar 75 Milliar USD
perbulan hingga bulan Juni 2011. Federal Reserve Chairman Ben Bernanke
mengatakan stimulus tambahan senilai 600 Milliar USD tersebut dibutuhkan karena
tingkat inflasi masih terlalu rendah dan tingkat pengangguran terlalu tinggi di
Amerika.
Kebijakan The Fed tersebut bukan yang pertama kalinya dilakukan, mengingat
sebelumnya pada tanggal 18 Maret 2009 the Fed telah melakukan quantitative
easing tahap pertama sebesar 1.7 trilliun USD, yang ditujukan untuk
membeli mortgage-backed securities default dalam rangka upaya penyelamatan
sektor properti di Amerika sebagai akibat dari krisisSubprime Mortgage. Program QE
tahap 1 dari the Fed tersebut berlangsung selama setahun hingga maret 2010.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 24
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa selama kurun waktu hampir 2 tahun
tersebut, The Fed telah mencetak dan mengucurkan uang miliaran USD kepasar dan
telah mendorong peningkatan terhadap harga instrumen-instrumen investasi seperti
obligasi, emas, saham, serta komoditas diseluruh dunia. Namun demikian, memasuki
pertengahan 2011 atau seiring dengan berakhirnya program Quantitative Easing,
Investor mulai was-was terhadap dampak dari berakhirnya program stimulus the Fed
tersebut. Kondisi tersebut mendorong Investor untuk menyesuaikan portofolio
investasinya dari instrumen jangka panjang ke instrumen jangka pendek guna
mengantisipasi dampak berkurangnya sumber likuiditas dipasar. Kekhawatiran
tersebut terlihat dari terus menurunnya bursa utama Amerika memasuki minggu
pertama bulan Juni dimana investor mulai bertanya-tanya “Apa yang akan terjadi
apabila the Fed tidak lagi membeli surat hutang negara AS?”
Seharusnya pasar menyadari tidak selamanya The Fed memberikan
stimulus likuiditas yang dampaknya membanjirnya likuiditas di negara
emerging market.
Setelah mengumumkan untuk memperpanjang stimulus pada September
2013, akhirnya pada tanggal 18 Desember kemarin Permerintah AS
mengumumkan keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (The FED), dalam
menarik dana stimulus (tapering off). Bank sentral AS akan menarik dana
stimulusnya US$ 10 miliar menjadi US$ 75 miliar pada Januari 2014. Kepastian
tapering yang diumumkan The FED pada tanggal 18 Desember 2013 bisa dinilai
positif dalam memberi kepastian dan bisa dilihat reaksi pasar keuangan global
terhadap tapering relatif stabil. Dengan demikian satu ketidakpastian yang
membayangi ekonomi global sudah hilang.
Bank Indonesia menilai pengumuman Bank Sentral Amerika Serikat (The
Fed) yang memastikan pengurangan stimulus (tapering) akan dimulai pada Januari
2014 memberikan kepastian kepada pasar keuangan global. Tapering memang sudah
diperkirakan sejak tahun lalu dan tinggal menunggu waktu solidnya pemulihan
ekonomi AS.
Sisi positif pengumuman tapering tersebut adalah dari trade channel, di mana
sebenarnya tapering menunjukkan solidnya pemulihan ekonomi Amerika yang
merupakan ekonomi terbesar di dunia dan pasar bagi ekspor negara berkembang.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 25
Pemulihan ekonomi Amerika tersebut juga akan mendorong ekspor negara
berkembang dan mendorong pemulihan ekonomi dunia bersama dengan pulihnya
ekonomi Eurozone, Cina dan Jepang.
Bagi Indonesia, hal ini memberikan dampak positif untuk meningkatkan
ekspor Indonesia dan Indonesia harus memanfaatkannya dengan strategi
meningkatkan dan diversifikasi ekspor, khususnya produk manufaktur.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tahun 2013 merupakan tahun yang cukup krusial bagi Indonesia, karena tahun
ini adalah masa transisi menjelang Pemilu tahun 2014 di tengah intaian krisis global
yang terjadi di negara lain. Indonesia memang sudah beberapa kali mengalami
guncangan dalam perekonomian nasional, yakni tahun 1998 dan 2008. Kini di tahun
2013, mulai terasa kembali guncangan terhadap stabilitas ekonomi dalam negeri.
Krisis ekonomi global ini adalah salah satu dilema yang sedang dihadapi Indonesia
sejak dahulu hingga sekarang. Dan ini adalah dinamika kehidupan ekonomi yang
tidak tetap perubahannya.
Sejak Juni 2013, nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Hal yang sama juga
dialami oleh mata uang beberapa negara emerging markets (negara berkembang yang
sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat) lainnya.
Sejak Agustus 2011 sampai awal Juli 2013, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar
Amerika (selanjutnya disingkat USD-IDR) melemah konsisten tetapi secara perlahan
dan teratur dari 8.500 menjadi 10.000 atau 17,6% dalam waktu dua tahun. Sebaliknya
pada hari Jumat 30 Agustus 2013 USD-IDR mencapai sekira 11.500, yang berarti
terjadi penurunan nilai Rupiah sebesar 15% dalam waktu kurang dari dua bulan.
Dapat dikatakan bahwa selama periode Juli sampai Agustus 2013 USD-IDR tidak
bergerak secara normal, perlahan dan teratur (moving gradually) tetapi meledak
(exploding). Nilai USD-IDR yang meledak dalam waktu relatif singkat itu
menunjukkan telah terjadi sejenis ‘pengekangan pergerakan USD-IDR’ selama
periode sebelumnya yang kemudian tidak sanggup lagi dikekang lebih jauh dan
akhirnya terlepas dan meledak.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan penyebab-penyebab melemah nilai
tukar rupiah terhadap Amerika Serikat (USD), yaitu :
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 27
Pertama, keluarnya sejumlah besar investasi portofolio asing dari Indonesia. Aliran
investasi asing “hot money” yang sering dijadikan andalan pemasukan valas mulai
ditarik kembali dari Indonesia ke negara asal.
Kedua, neraca perdagangan tahun 2013 defisit karena lebih besar impor daripada
ekspor.
Ketiga, neraca transaksi berjalan juga mengalami defisit karena pembayaran-
pembayaran utang luar negeri yang banyak jatuh tempo.
Keempat, ekspektasi pasar bahwa cadangan devisa yang menurun karena faktor-
faktor tersebut cenderung akan terus menurun sampai tahun depan.
Kelima, pasar yang membaca bahwa dengan akan di terapkannya tight money policy
atau penghentian stimulus (tapering) oleh Bank Sentral Amerika Serikat The FED,
kurs rupiah akan tidak dapat langsung menguat dan cenderung melemah selama
Indonesia belum mampu memperkuat keseimbangan perdagangan ekspor impornya.
Yang akan berakibat laju inflasi akan berlanjut.
Keenam, program MP3EI yang dinilai praktis tidak berjalan. Karena pertumbuhan
ekonomi di bawah target, sehingga sulit untuk mempercepat/akselerasi pertumbuhan
ekonomi.
Ketujuh, paket-paket kebijakan ekonomi pemerintah hanya berjalan di atas kertas,
namun di lapangan tidak efektif.
Kedelapan, pasar juga membaca secara jelas dan khawatir bahwa para petinggi
negeri yang bertanggung jawab atas ekonomi sibuk dengan urusannya masing-
masing. Hal ini dikarenakan para petinggi negara Indonesia saat ini, seperti Budiono
(Wakil Presiden RI dan Mantan Gubernur Bank Indonesia) sibuk menghadapi skandal
Bank Century, Hatta Rajasa (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian) sibuk
politik, Gita Wirjawan (Menteri Perdagangan) sibuk konvensi Partai Demokrat. Maka
pada 2014 roda perekonomian Indonesia semakin berada pada kondisi auto pilot.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 28
Kesembilan, akan berakibat pada defisit APBN, yang semakin besar defisitnya untuk
membayar utang luar negeri dan bunga yang bertambah hingga 25%, karena nilai
tukar rupiah yang turun.
Kesepuluh, prospek ekonomi pada tahun 2014 sebagai tahun politik dinilai suram
dan berisiko, sehingga diprediksi tidak ada investasi besar dan baru yang masuk ke
Indonesia.
Ketika nilai tukar sebuah mata uang melemah, maka yang biasanya mencolok
terkena dampaknya adalah harga komoditi impor, baik yang menjadi obyek konsumsi
maupun alat produksi (bahan baku dan barang modal). Karena harga komoditi impor
dipatok dengan mata uang negara asal, maka jika nilai mata uang negara tujuan jatuh,
harga komoditi impor akan naik.
Kenaikan harga komoditi impor ini tentu akan berdampak bagi bangsa
Indonesia, di antaranya bagi :
Pertama, konsumen, terutama konsumen kelas bawah, sejauh pendapatan mereka
tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang.
Kedua, pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi impor mulai dari importir
sampai pengecer, karena mereka menghadapi pasar dalam negeri yang menyusut.
Misalnya, belakangan ini, para importir bahan kebutuhan pokok di Batam sudah
menghentikan aktivitas usahanya.
Ketiga, para usahawan yang berorientasi pasar dalam negeri, namun alat-alat
produksinya, terutama bahan bakunya, impor, seperti pengusaha tekstil, alas kaki,
kemasan, dan sebagainya.
Keempat, rakyat pekerja yang sudah terpukul dari sisi konsumsi akibat kenaikan
harga barang, juga akan dijepit dari sisi upah oleh pengusaha yang terjepit oleh
kenaikan harga alat-alat produksi impor, kenaikan nilai utang luar negeri, dan
penyusutan pasar dalam negeri.
Dampak lainnya yang juga penting adalah kenaikan nominal Rupiah dari
utang luar negeri, karena utang luar negeri dipatok dengan mata uang asing.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 29
B. Saran
Setelah terjadi jatuhnya nilai rupiah secara drastis di penghujung tahun 2013
ini, serta penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), sudah seharusnya
Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan untuk menyelamatkan perekonomian
Indonesia. Paket kebijakan ini meliputi paket kebijakan fiskal, moneter, pasar modal
hingga industri. Paket kebijakan ini juga akan mendorong pertumbuhan perekonomian
Indonesia ke depan dan memastikan defisit transaksi berjalan bisa terjaga di level
aman.
Selama ini, Penulis menilai Pemerintah tidak serius dan tidak fokus
mengeksekusi kebijakan. Pemerintah dalam hal ini adalah Bank Sentral
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Kabinet Eksekutif dan
Legislatif. Mereka sekadar memproduksi kebijakan demi memuaskan publik
untuk sementara waktu dan tidak mengawal implementasinya secara bijak dan
terarah. Paket kebijakan moneter yang diambil Pemerintah dengan menaikkan
suku bunga BI dan intervensi dengan penggunaan cadangan devisa tidak dapat
serta merta menstabilkan perekonomian Indonesia. Harus ada kebijakan
fundamental yang dapat menopang arah perekonomian Indonesia untuk jangka
waktu yang lama.
Bauran kebijakan moneter dan fiskal yang tidak dijalankan secara serius
membuat kondisi perekonomian nasional tidak bisa berkembang optimal. Kondisi ini
membuat upaya mengurangi defisit neraca pembayaran yang sudah berjalan selama
delapan triwulan ini belum juga membuahkan hasil.
Contoh beberapa kebijakan bagus yang mandul karena tidak diawasi
pelaksanaannya antara lain hilirisasi industri komoditas primer, seperti perkebunan
dan pertambangan. Selain itu, juga kewajiban penggunaan biodiesel untuk
mengurangi impor dan subsidi bahan bakar minyak. Kebijakan hilirisasi industri
komoditas primer untuk menghentikan ekspor bahan mentah tahun 2014 tinggal
isapan jempol karena sejauh ini masih banyak investor yang belum membangun
industri pengolahan.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 30
Pemerintah seharusnya mendorong pengembangan industri penghasil bahan
baku untuk memasok kebutuhan industri pengolahan yang selama ini mengimpor.
Penyerapan bahan baku produksi domestik akan meningkatkan kinerja industri,
menekan impor, dan bisa mengurangi defisit neraca transaksi berjalan.
Strategi lain adalah dengan mewajibkan investor asing menyimpan
keuntungan usaha di Indonesia atau menginvestasikan lagi untuk ekspansi di dalam
negeri. Dengan demikian, pemerintah bisa mengoptimalkan neraca pendapatan
melalui pengaturan repatriasi dana asing menggunakan kewenangan yang dimiliki
secara transparan.
Implementasi kebijakan agar efektif berjalan dan berhasil sesuai sasaran
membutuhkan kepemimpinan dan kapasitas birokrasi yang serius mengeksekusi
kebijakan.
Baru akhir-akhir ini diumumkan oleh Hatta Rajasa, ada sejumlah Paket
Kebijakan yang dapat menyelamatkan perekonomian Indonesia di antaranya yakni:
1) Relaksasi pembatasan fasilitas kawasan berikat untuk penduduk
2) Penghapusan pajak penghasilan (PPn) untuk buku
3) Penghapusan pajak penghasilan barang mewah (PPn BM) untuk produk dasar
yang sudah tidak tergolong barang mewah
4) Pentingnya menjaga upah minimum provinsi (UMP) agar mencegah
pemutusan hubungan kerja
5) Pemberian skema kenaikan UMP mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL)
6) Pemberian insentif untuk pengembangan dan riset (research and development)
7) Mengoptimalkan penggunaan tax allowance untuk insentif investasi
8) Menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga tingkat inflasi
9) Mengubah tata niaga daging sapi dan hortikultura dari berbasis kuantitas
(kuota) menjadi berbasis harga
10) Mempercepat investasi dengan menyederhanakan perizinan dan
mengefektifkan layanan satu pintu
11) Mempercepat dan merampungkan Peraturan Presiden tentang Daftar Negatif
Investasi (DNI) yang lebih ramah terhadap investor
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 31
12) Mempercepat program investasi berbasis agro, CPO, kakao, rotan, mineral
logam, bauksit dan tembaga dengan memberi insentif berupa tax holiday dan
tax allowance
13) Mempercepat proses penyelesaian investasi yang sudah ada misalnya
pembangkit tenaga listrik, migas, pertambangan, mineral dan infrastruktur
Oleh karenanya, untuk sejumlah Paket Kebijakan yang telah diumumkan
Pemerintah RI ini, Penulis mendukung sepenuhnya agar dapat terealisasi dengan baik.
Jatuhnya Nilai Tukar Rupiah dan Merananya BI Rate di Akhir Tahun 2013 Page 32
Top Related