MAKALAH FARMAKOTERAPI 1
STUDI KASUS KANKER
Oleh :
I Gst. Agung Pt. Deddy Mahardika (0708505032)
Putu Yuri Candra Dewi (0908505013)
I Gst. Agung Ayu Devi Yanti (0908505015)
Ni Nyoman Sri Prami Utari (0908505041)
Ni Wayan Ginna Astarina (0908505060)
Ni Wayan Deniariasih (0908505065)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker merupakan suatu kelompok penyakit yang dikarakterisasi dengan adanya
pertumbuhan sel yang tidak terkontrol, invasi lokal pada jaringan, dan metastatis (DiPiro, 2005).
Dewasa ini penyakit kanker menduduki peringkat teratas penyebab kematian manusia. Di negara
maju kanker merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit kardiovaskular (Perwitasari,
2006). Leukimia akut merupakan salah satu jenis kanker yang ganas pada anak-anak dan
menyebabkan kematian pada pasien dengan usia dibawah 35 tahun (DiPiro, 2005). Leukemia
akut terbagi lagi menjadi Leukemia Mieloid Akut/AML dan Leukemia Limfatik Akut/ALL
(Wagener et al., 1996). Pada tahun 2007, sekitar 18.610 kasus leukemia akut terjadi di Amerika
dimana 13.410 merupakan kasus AML dan 5.200 merupakan kasus ALL, bila dikalkulasi sekitar
1,3% dari total kejadian kanker. Kejadian tersebut sabil selama dua dekade. Sekitar 10.410 orang
meninggal setiap tahun dan dilaporkan 2%-nya disebabkan oleh leukemia akut (DiPiro, 2005).
Leukemia terjadi karena adanya proliferasi dan pendewasaan salah satu sel induk sumsum tulang
atau sel pendahulu yang tidak terkontrol. Sel induk yang mengalami transformasi maligna ini
menimbulkan berbagai kelainan. Dalam perjalanan penyakit sel-sel ini mengganggu
pembentukan sel darah normal sehingga menyebabkan kekurangan darah, granulositopenia dan
trombositopenia (Wagener et al., 1996).
Terapi yang digunakan dalam kanker yaitu kemoterapi dengan sinar dan penggunaan obat
sitostatika. Obat sitostatika merupakan yang digunakan dalam kemoterapi dimana merupakan
terapi sistematik untuk menghambat pertumbuhan kanker atau untuk membunuh sel-sel kanker
(Perwitasari, 2006). Obat-obat tersebut sebagian besar bekerja pada sintesis protein dan DNA.
Obat sitostatiska yang umumnya digunakan yaitu antimetabolit seperti fluorinated pyrymidines,
analog cytidine, purin dan antimetabolit purin; vinca alkaloid (vincristine dan vinblastine);
inhibitor topoisomerase; alkylating agent; komponen logam berat; terapi endokrin (L-
asparaginase); monoklonal antibodi. Dalam setiap kasus pada terapi pasien kanker sering
digunakan kombinasi berbagai macam obat tersebut sehingga perlu ditelusuri fungsi dari setiap
obat dalam terapi dan interaksi yang mungkin terjadi.
Berdasarkan hal diatas maka dalam makalah ini akan dibahas suatu kasus mengenai pasien
yang mengalami ALL dengan terapi yang diberikan yaitu filtered platelet, PRBC, dektrosa dalam
NaCl dan NaHCO3 untuk hari pertama dan pada hari kedua diberi vincristine, dexamethasone,
PEG asparaginase, serta methotrexate. Pasien kanker biasanya ditandai dengan rambut rontok
dan mual/muntah. Hubungan mual muntah dengan kanker juga belum dijelskan secara pasti
sehingga hal ini perlu dibahas apakah respon tersebut merupakan ciri khas penyakit atau akibat
terapi. Selain itu perlu diketahui juga tujuan dari terapi dan hasil yang diharapkan dari terapi
yang diberikan kepada pasien.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Mengapa pasien mengalami mual muntah selama terapi dan apakah perlu terapi
tambahan untuk kondisi tersebut?
1.2.2 Apa fungsi dari masing-masing obat yang diterima oleh pasien dan KIE apa yang
diberikan?
1.2.3 Apa yang harus diamati sehubungan dengan pemberian vincristine dan methotrexate
intrathecal secara bersama?
1.2.4 Apa tujuan terapi dan hasil yang diharapkan kepada pasien setelah terapi?
1.3 Tujuan
1.3.1 Dapat mengetahui penyebab pasien mengalami mual muntah dan diperlukan terapi
atau tidak untuk menangani kondisi tersebut.
1.3.2 Mengetahui fungsi dari masing-masing obat yang diterima oleh pasien dan dapat
memberikan KIE untuk meningkatkan efektifitas obat.
1.3.3 Mengetahui hubungan pemberian vincristine dan methorexate intrathecal secara
bersamaan.
1.3.4 Dapat mengetahui tujuan dari terapi yang diberikan dan hasil yang diharapkan dari
pengobatan yang diperoleh pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumor
Pertumbuhan merupakan salah satu ciri makhluk hidup. Pertumbuhan seharusnya terjadi
menurut aturan. Normalnya, pada organisme dewasa secara fisiologik tidak ditemukan lagi
pertumbuhan sel dalam artian terbentuknya sel baru berada dalam kondisi seimbang dengan sel
yang hilang. Sedangkan pada tumor dapat dikatakan terjadi gangguan pertumbuhan sel dimana
otonom meningkat dan tidak bereaksi adekuat terhadap mekanisme pengaturan pertumbuhan
yang mengatur jaringan lain (Wagener et al., 1996).
Tumor terjadi sebagai akibat perubahan sel sehingga sel dapat melepaskan diri dari
meknisme pengaturan pertumbuhan normal. Perubahan sel ini disebutkan dengan istilah
transformasi. Sebagai dasar transformasi adalah gangguan kelainan (mutasi) di dalam genom dari
sel yang mengalami transformasi itu. Jadi kanker dapat dipandang sebagai suatu gangguan atau
kelainan genetik. Proses terjadinya tumor pada umumnya dinamakan dengan istilah onkogenesis.
Pada umumnya tumor adalah monoklonal, artinya bahwa sel-sel yang mengisi tumor semuanya
terdiri dari satu sel yang mengalami transformasi yaitu sel induk (Wagener et al., 1996).
Dianggap bahwa kebanyakan tumor terjadi karena faktor lingkungan. Sejumlah yang jauh
lebih kecil merupakan akibat dari kelainan yang diwariskan di dalam genom, tetapi selanjutnya
terdapat hubunganyang jelas antara kedua mekanisme itu. Faktor-faktor lingkungan yang
berperan pada terjadinya tumor disebut faktor karsinogen. Karena kelainan ini bekerja di dalam
genom maka faktor karsinogen tanpa kecuali juga bersifat mutagen. Ternyata dibutuhkan tidak
hanya satu melainkan beberapa mutasi untuk menimbulkan transformasi suatu sel. Jadi
karsinogenesis adalah suatu proses bertingkat atau beberapa langkah yang kompleks.
Pertumbuhan sel yang bertransformasi menjadi satu tumor di samping itu juga dimodulasi oleh
faktor-faktor hospes misalnya faktor hormonal atau imunologik (Wagener et al., 1996).
Tumor dapat menimbulkan gejala lokal dan sistemik. Gejala lokal antara lain timbulnya
pembengkakan, obstruksi (pembuluh darah atau organ berongga), ulserasi (kulit arau selaput
lendir), dan kehilangan darah (manifest atau okult). Sedangkan untuk gejala sistemik antara lain
berat badan menurun dan gejala-gejala (Wagener et al., 1996).
Karsinogenesis merupakan proses yang berlangsung sangat lama. Hal ini sebagian karena
dibutuhkan sejumlah banyak pembelahan sel untuk menjadikan suatu tumor yang manifest klinis
dari suatu sel yang mengalami transformasi. Tergantung pada frekuensi pembelahannya, hal ini
dapat berlangsung 5-10 tahun. Juga proses transformasi sel sendiri dapat berlangsung lama,
karena di dalam sel kanker harus berakumulasi banyak mutasi (Wagener et al., 1996).
Secara umum, tumor dibagi menjadi 2 jenis yaitu tumor jinak (benigna) dan tumor ganas
(maligna). Adapun perbedaan dari kedua jenis tumor ini adalah sebagai berikut :
Ciri Benigna Maligna
Batas Tajam Tidak tajam, tak teratur
(Pseudo) kapsel Frekuen Jarang
Cara pertumbuhan Ekspansif Infiltrated
Kecepatan
pertumbuhan
Rendah Tinggi
Nekrosis Jarang Frekuen
Diferensiasi Tinggi Sedang sampai buruk
Atipi sel/inti Sedikit Keras
Aktivitas mitotik Sedikit Tinggi
(Wagener et al., 1996)
Tumor tidak tumbuh sebagai masa sel tanpa struktur, tetapi seringkali menunjukkan
arsitektur yang karakteristik yang memungkinkan mengklasifikasikan tumornya dan dengan itu
membuat suatu ramalan mengenai sifat biologik yang diharapkan. Penting untuk disadari, bahwa
tumor tidak hanya terdiri atas sel-sel tumor melainkan juga atas sel-sel hospes, misalnya sel
dinding saluran darah dan pada tumor epithelial (karsinomata) sel jaringan ikat (stroma)
(Wagener et al., 1996).
Salah satu sifat terpenting kanker adalah kemampuan untuk tumbuh infiltratif ke dalam
jaringan sekitarnya. Karena kemampuan ini, sel-sel kanker dapat menembus ke dalam saluran
limfe dan dibawa ke kelenjar limfe atau ke dalam saluran darah dan dibawa ke organ-organ lain.
Pertumbuhan dalam kelenjar limfe dan organ-organ yang berjarak dinamakan pembentukan
metastasis. Kemampuan pertumbuhan infiltrative dapat juga menyebabkan pertumbuhan ke
dalam organ yang ada di dekatnya atau ke dalam rongga tubuh dan di dalam bagian tubuh itu
dapat juga timbul metastasis. Pembentukan metastasis klinis merupakan sifat terpenting dari
pertumbuhan kanker karena metastasis ini biasanya tidak dapat ditangani dan menentukan
prognosis (Wagener et al., 1996).
2.2 Leukemia
Sel darah terbentuk dari pembelahan dan pendewasaan sel induk yang mampu
memperbaharui diri yang berada pada sumsum tulang dan menumbuhkan sel-sel pendahulu
dengan tujuan mematangkan sel-sel pendahulut tersebut. Dengan cara ini, pada orang dewasa
tiap harinya dapat terbentuk rata-rata 1011 granulosit, 2x1011 trombosit dan 2x1011 eritrosit.
Produksi sel darah menunjukkan secara permanen besarnya aktivitas. Karena jangka hidup sel
darah terbatas, sumsum tulang harus bekerja secara maksimal (Wagener et al., 1996).
Leukemia merupakan salah satu jenis kanker dimana terjadi proliferasi dan pendewasaan
salah satu sel induk sumsum tulang atau sel pendahulu yang keluar dari aturan. Sel induk yang
mengalami transformasi maligna ini menumbuhkan keturunan sel dengan berbagai kelainan. Sel-
sel yang menumpuk ini menentukan ciri-ciri klinis leukemia. Dalam perjalanan penyakit sel-sel
ini mengganggu pembuatan sel darah normal, sehingga dapat menimbulkan kekurangan darah,
granulositopenia dan trombositopenia (Wagener et al., 1996).
Secara umum, ada 2 jenis leukemia yaitu leukemia kronis dan leukemia akut. Leukemia
akut terbagi lagi menjadi Leukemia Mieloid Akut/AML dan Leukemia Limfatik Akut/ALL
(Wagener et al., 1996).
Pada leukemia akut, terdapat peningkatan jumlah sel darah putih maupun defek dalam
pendewasaannya. Anamnesis tidak spesifik dan terutama menyatakan keluhan-keluhan malaise
sejak satu atau beberapa minggu. Adapun gejala-gejala klinik dapat merupakan akibat
insufisiensi sumsum tulang antara lain :
Pucat, lesu dan dispnoe karena kurang darah
Febris, infeksi saluran nafas bawah dan atas
Perdarahan spontan, purpura, perdarahan gusi, menoragia, epistaksis dan kadang-kadang
perdarahan dalam sebagai akibat dari trombositopenia.
Selanjutnya keluhan dapat timbul sabagai akibat infiltrasi organ oleh leukemia, kelainan
metabolik seperti hipokalemia, hiperkalsemia (terutama pada T-ALL), kenaikan kadar asam urat
dalam serum atau insufisiensi ginjal. Dalam hal jumlah sel darah putih yang sangat tinggi
(hiperleukositosis 100x109 per liter atau lebih) dapat timbul perdarahan retina dan dapat terjadi
thrombosis dalam saluran arterial sebagai akibat leukostasis, yang menyebabkan kejadian
cerebrovaskular dan infark (Wagener et al., 1996).
Tujuan utama terapi adalah perbaikan insufisiensi hemopoetik yang pada umumnya
terdapat dalam fase akut leukemia. Dalam hal ini diusahakan untu remisi komplit yaitu suatu
situasi yang tidak lagi dapat ditemukan sel-sel leukemia dalam aspirat sumsum tulang atau dalam
material biopsi sumsum tulang pada pemeriksaan mikroskopik. Hemopoesis dalam rongga
sumsum tulang kembali baik dan sel-sel darah perifer mengalami regenerasi sampai nilai-nilai
normal (Wagener et al., 1996).
Untuk menangani leukemia, adapaun terapi yang diberikan adalah dengan menggunakan
watchful waiting, chemotherapy, targeted therapy, biological therapy, radiation therapy, and
stem cell transplant (Anonim a, tt). Pada ALL ada digunakan vinkristin, prednisone dan
asparaginase. Masing-masing dari obat ini mempunyai aktivitas antileukemik dan mempunyai
tempat yang tetap dalam penanganannya (Wagener et al., 1996).
2.3 LLA pada Anak
Dari anak yang menderita kelainan maligna, 30-35% menderita salah satu bentuk leukemia,
proliferasi autonom sel darah putih, yang kebanyakan menampakkan diri dengan pertambahan
sel abnormal dalam darah perifer. Leukemia pada anak lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.
Pada bayi yang baru lahir dan menyusui juga dapat dijumpai leukemia namun biasanya berupa
tipe myeloid akut (Wagener et al., 1996).
Meskipun sebab leukemia tidak diketahui, namun beberapa faktor yang berperan dalam
terjadinya leukemia antara lain faktor lingkungan, virus, faktor genetik dan imunodefisiensi.
Anak-anak yang menderita leukemia, 95% merupakan bentuk akut dan 5% merupakan leukemia
kronik. Dan anak-anak penderita leukemia akut tersebut, 80% mempunyai bentuk limfatik
(Wagener et al., 1996).
Gejala klasik leukemia biasanya ditandai dengan timbulnya anemia, leucopenia dan
trombositopenia. Anak tampak pucat dan lelah. Periode-periode demam sering merupakan
manifestasi infeksi yang berulang. Inflamasi yang tidak sembuh dengan baik kadang-kadang
merupakan gejala pertama leukemia akut. Selain itu, pada rongga mulut dan tenggorokan juga
sering terjadi infeksi. Gejala fisik lain yang menjadi ciri dari leukemia akut adalah perdarahan,
gangguan pada tulang yaitu timbulnya rasa nyeri pada malam hari pada punggung, lengan dan
tungkai, pembengkakan kelenjar dan hepatosplenomegali (Wagener et al., 1996).
Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis. Dalam fase inisial
biasanya dijumpai sejumlah besar sel leukemia dalam preparat sumsum tulang. Selain itu,
pemeriksaan menggunakan metode May-Grunwald-Giemsa, pengecatan sitokimia dan
pemeriksaan imunologik dapat digunakan untuk menegakkan diferensiasi tipe leukemia
(Wagener et al., 1996).
Seperti yang telah disebutkan di atas, sebagian besar leukemia yang diderita oleh anak
merupakan LLA (Leukemia Limfoblastic Acute) maupun LMA (Leukemia Mieloid Acute),
namun kadang-kadang ada penderita yang sel leukemianya hanya mengalami sedikit diferensiasi
sehingga tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas (LLA atau LMA). Dalam hal
ini, dinamakan leukemia sel induk. Namun penderita seringkali dianggap mengalami leukemia
akut sehingga terapi yang diberikan adalah terapi leukemia limfatik akut. Namun bila terapi tidak
berhasil, maka terapi dirubah menjadi terapi leukemia mieloid akut (Wagener et al., 1996).
Di samping pemeriksaan gambaran darah lengkap, sumsum tulang dan likuor, perlu juga
dilakukan pemeriksaan fungsi organ dan ginjal dan mekanisme pembekuan. Pemeriksaan
rontgen tulang dapat menunjukkan prubahan osteolitik. Pada foto toraks dapat terlihat
pembesaran kelenjar hilus (Wagener et al., 1996).
2.4 Tata Laksana Terapi
Terapi untuk ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia) secara historis dibagi menjadi tiga fase
yaitu fase induksi remisi (remission induction), fase terapi konsolidasi (consolidation therapy),
dan terapi pemeliharaan (maintenance therapy). Profilaksis sistem saraf pusat (SSP) adalah
komponen wajib dari setiap rejimen pengobatan ALL dan diberikan longitudinal selama fase
induksi dan konsolidasi. Terapi pasca-remisi diperlukan untuk mengobati penyakit mikroskopis
dan termasuk terapi rawat inap intensif (konsolidasi atau terapi intensifikasi) diikuti dengan
terapi rawat jalan non-agresif (maintenance atau kelanjutan) (DiPiro, 2005).
Gambar 1. Algoritma terapi untuk ALL dan AML (DiPiro, 2005)
A. Induksi Remisi (Remission Induction)
Tujuan dari induksi remisi adalah untuk menimbulkan remisi klinis dan hematologi
lengkap secara cepat. Tingkat CR (complete remission) adalah 97% sampai 99% pada anak-
anak yang diobati dengan vincristine, Dexamethasone atau prednison, dan asparaginase atau
PEG-asparagase. Pada anak-anak dengan risiko tinggi ALL, daunorubisin ditambahkan ke
tiga standar jenis obat induksi. Remisi dicapai dalam 72% sampai 92% pada orang dewasa
dengan daunorubisin atau doxorubicin, vincristine, dan prednisone. Karena sebagian besar
orang dewasa dianggap berisiko tinggi, orang dewasa biasanya menerima induksi rejimen
remisi lebih intensif. Beberapa studi menunjukkan bahwa dosis tinggi Methotrexate dan
sitarabin bergantian dengan siklofosfamid difraksinasi ditambah vincristine, doxorubicin, dan
Dexamethasone (hiper-CVAD) dapat meningkatkan respon dan kelangsungan hidup pada
orang dewasa dengan ALL. Namun, pengobatan ini mungkin terkait dengan toksisitas
cerebellar signifikan. Dosis tinggi siklofosfamid dapat diindikasikan untuk pasien dengan
ALL T-cell (DiPiro, 2005).
Beberapa ahli menyarankan bahwa kegagalan pengobatan ALL di masa anak-anak
dikarenakan dari pengurangan awal klon leukemia tidak memadai dan akuisisi resistensi obat
oleh limpoblast residual. Ini adalah dasar banyak percobaan telah memasukkan empat-obat
(atau lebih) dalam rejimen induksi remisi dan intensifikasi agresif atau rejimen konsolidasi
dalam pengelolaan pasien berisiko tinggi. Protokol pengobatan kebanyakan menambah
daunorubisin untuk induksi pada ALL berisiko tinggi, dan beberapa juga menambahkan agen
lain, seperti siklofosfamid, methotrexate, sitarabin, dan teniposide. Tingkat klirens dari
pembelahan sel darah merupakan faktor prognostik yang penting. Anak-anak dengan tingkat
klirens pembelahan sel darah dari sumsum tulang lambat dalam terapi hari ke-7 pertama
(berisiko tinggi) atau hari ke-14 (resiko standar) memiliki hasil terapi yang lebih rendah
daripada mereka yang dengan klirens bentukan sel darah. Terapi tambahan secara signifikan
meningkatkan hasil terapi anak dengan respon awal lambat. Prednison merupakan
glukokortikoid utama yang digunakan dalam rejimen ALL pada pediatrik. Dexamethasone
sekarang sedang digunakan dalam beberapa protokol risiko standar karena durasi kerja yang
lebih lama dan penetrasi cairan serebrospinal lebih tinggi dibandingkan dengan prednisone.
Dexamethasone, bila digunakan untuk mengganti prednison selama fase induksi dan
pemeliharaan, juga meningkatkan event-free survival (EFS) dan menurunkan risiko relaps
SSP. Namun, Dexamethasone meningkatkan efek samping seperti nekrosis avascular,
miopati steroid, hiperglikemia, dan infeksi (DiPiro, 2005).
Ph + (Philadelphia chromosome) pada ALL dikaitkan dengan hasil terapi jangka
panjang yang buruk, meskipun ketersediaan imatinib mesilat, terapi bertarget molekuler,
telah mendorong banyak penelitian ke efek obat ini baru pada tingkat kelangsungan hidup
jangka panjang. Sementara respon dapat dilihat dengan imatinib mesilat sebagai monoterapi,
pendekatan ini tidak menghasilkan remisi tahan lama. Kombinasi hiper-CVAD dan imatinib
muncul untuk menghasilkan hasil terapi yang lebih baik dibandingkan dengan data kontrol
historis dengan hyper-CVAD saja, namun studi tambahan dan tindak lanjut jangka panjang
diperlukan untuk meyakinkan penentuan apakah strategi ini akan menjadi standar baru
perawatan di populasi berisiko tinggi (DiPiro, 2005).
B. Profilaksis Sistem Saraf Pusat (Central Nervous System Prophylaxis)
Profilaksis SSP (sistem saraf pusat) mungkin tumpang tindih dengan fase terapi atau
dimasukkan ke dalam fase induksi, konsolidasi, atau pemeliharaan. Alasan untuk
dilakukannya profilaksis SSP didasarkan pada dua pengamatan. Pertama, agen kemoterapi
banyak yang tidak mudah melintasi penghalang atau barrier darah-otak. Kedua, hasil dari uji
klinis awal ALL menunjukkan bahwa 50% sampai 75% dari
pasien dengan ALL dan tidak ada keterlibatan SSP saat diagnosa mengalami
tingkat relapse SSP terisolasi yang sangat tinggi. Observasi ini menunjukkan bahwa SSP
adalah tempat perlindungan potensial untuk sel leukemia dan sel-sel leukemia yang tidak
terdeteksi hadir dalam SSP di banyak pasien pada saat diagnosis. Terdeteksinya keterlibatan
SSP pada saat diagnosis relatif jarang (<10%) di kasus ALL (DiPiro, 2005).
Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko keterlibatan SSP di dalam
diagnosis pada anak-anak termasuk WBC count awal yang tinggi, T-sel
fenotipe, B-cell fenotipe dewasa, usia ≤ 1 tahun, trombositopenia, limfadenopati, dan
hepatomegali atau splenomegali. Pada orang dewasa, faktorresiko untuk penyakit SSP
termasuk B-sel ALL fenotipe matang dan tingginya proporsi sel dalam fase S (indikator
pergantian selular) (DiPiro, 2005).
Tujuan dari profilaksis SSP adalah untuk memberantas sel-sel leukemia tak terdeteksi
dari SSP. Meningitis leukemia lebih mudah dicegah daripada diobati. Setelah kekambuhan
SSP telah terjadi, pasien berada pada peningkatan risiko tinggi kekambuhan sumsum tulang
dan kematian dari refraktori leukemia. Uji coba awal pada ALL pedriatri tahun 1960
menetapkan iradiasi kraniospinal sebagai standar untuk pencegahan relapse (kekambuhan)
SSP. Namun, pendekatan ini dikaitkan dengan dampak jangka panjang termasuk gejala sisa
defisit neuropsikologi, pubertas prekoks, osteoporosis, tiroid disfungsi, peningkatan insiden
tumor otak, perawakan pendek (gangguan pertumbuhan), dan obesitas. Percobaan berikutnya
telah menunjukkan bahwa iradiasi dapat digantikan dengan pemberian kemoterapi intratekal
frekuensi tinggi pada anak-anak dengan ALL. Pemilihan rejimen profilaksis SSP harus
mempertimbangkan efektivitas, toksisitas, dan risiko penyakit SSP (DiPiro, 2005).
Kemoterapi intratekal, iradiasi kranial, dan methotrexate atau sitarabin dosis tinggi
secara intravena dapat digunakan untuk mengobati atau mencegah penyakit SSP. Pendekatan
pengobatan telah mengurangi kekambuhan SSP menjadi kurang dari 2% pada anak-anak.
Terapi intratekal terdiri dari Methotrexate dan sitarabin sendiri atau dalam kombinasi. Ketika
diberikan bersama-sama, hidrokortison biasanya ditambahkan untuk mengurangi kejadian
dari arachnoiditis. Dosis kemoterapi intratekal yang digunakan pada pasien ALLpediatrik
harus individual berdasarkan usia karena perbedaan volume cairan serebrospinal pada
berbagai usia. Karena dengan gejala sisa jangka panjang yang terkait dengan iradiasi kranial
atau craniospinal, hanya anak-anak di diagnosis dengan penyakit SSP atau yang berisiko
tinggi tertentu saja yang menerima terapi ini di Amerika Serikat (DiPiro, 2005).
C. Terapi Konsolidasi (Consolidation Therapy)
Konsolidasi (atau intensifikasi) terapi ALL dimulai setelah CR (complete remission)
telah dicapai, dan mengacu pada kemoterapi intensif dalam upaya untuk menangani penyakit
klinis yang tidak terdeteksi. Rejimen pengobatan biasanya menyertakan obat non-cross-
resisten yang berbeda dari rejimen induksi, atau penggunaan obat yang sama dengan dosis
lebih intensif. Percobaan acak menunjukkan bahwa terapi konsolidasi jelas meningkatkan
hasil terapi pasien anak-anak, namun manfaatnya pada orang dewasa kurang jelas. Manfaat
relatif dari masing-masing komponen rejimen pengobatan sulit untuk ditunjukkan karena
kompleksitas keseluruhan terapi pada ALL. Terapi konsolidasi dalam rejimen Jerman mirip
dengan rejimen induksi remisi, tapi menggunakan Dexamethasone untuk pengganti
prednison (karena lebih baik dalam penetrasi SSP untuk mencegah meningitis leukemia),
doxorubicin untuk daunorubisin, dan thioguanine untuk mercaptopurine. Kanker dan
Leukemia Grup B (CALGB) menggunakan rejimen konsolidasi jauh lebih rumit daripada
rejimen induksi. Yang terakhir ini termasuk obat yang berbeda dan dosis yang lebih tinggi,
setidaknya untuk dosis siklofosfamid (DiPiro, 2005).
Para peneliti Jerman menemukan durasi kelangsungan hidup pasien rata-rata 27,5
bulan dan diperkirakan 5 tahun. Dengan waktu tindak lanjut pendek (median : 43 bulan),
penelitian CALBG menunjukkan durasi bertahan hidup 36 bulan dan 3 tahun tingkat
kelangsungan hidup dari 39% mereka yang berusia 30 sampai 59 tahun. Hasil studi ini
menunjukkan bahwa fase konsolidasi dalam terapi ALL pasien dewasa diperlukan, meskipun
pertanyaan spesifik tetap tentang obat, durasi pemilihan terapi, dosis, dan waktu administrasi
(DiPiro, 2005).
Pada anak-anak, intensitas terapi konsolidasi didasarkan pada risiko klasifikasi anak
dan tingkat cytoreduction selama induksi. Pasien yang merespon perlahan ke terapi induksi
berada pada risiko yang lebih tinggi mengalami kekambuhan jika mereka tidak diperlakukan
pada rejimen yang lebih agresif. Salah satu strategi pengobatan adalah untuk memasukkan
satu atau dua fase intensifikasi tertunda yang dipisahkan oleh siklus interim pemeliharaan
intensitas rendah untuk mempertahankan remisi dan untuk mengurangi toksisitas kumulatif.
Strategi ini menghasilkan 6 tahun EFS dari 76% untuk intensifikasi tertunda tunggal dan
83% untukdua siklus dalam pasien berisiko menengah. Studi saat ini sedang menguji rejimen
yang sama dalam pasien berisiko standar. Rejimen berbasis antimetabolit mungkin memiliki
penurunan risiko toksisitas, tapi rejimen konsolidasi intensif menghasilkan kelangsungan
hidup yang lebih baik untuk beberapa pasien, khususnya mereka yang berisiko tinggi terkena
penyakit (DiPiro, 2005).
Studi saat ini dirancang untuk melanjutkan penilaian intensitas konsolidasi yang
dibutuhkan untuk pasien dengan berbagai tingkat risiko dan untuk menentukan apakah
methotrexate harus diberikan secara oral atau intramuskular karena masalah kepatuhan
pasien. Anak-anak dengan ALL Ph + atau bayi dengan t (4; 11) keturunan campuran
leukemia (MLL), atau anak yang hanya mencapai remisi parsial ditransplantasikan sumsum
tulang belakang di remisi pertama jika tersedia donor yang cocok. Pada orang dewasa,
indikasi untuk transplantasi kurang jelas, tetapi jika pasien tidak terlalu tua, dan donor yang
cocok (saudara alogenik) tersedia, banyak pusat pengobatan akan merekomendasikan
transplantasi alogenik hematopoietic stem cell (alloHSCT) di remisi pertama. Sel induk
autologous transplantasi hematopoietik (autoHSCT) belum terbukti lebih unggul daripada
kemoterapi. Haploidentical dan transplantasi darah plasenta sedang diselidiki karena banyak
pasien tidak memiliki donor saudara cocok yang tersedia (DiPiro, 2005).
D. Terapi Pemeliharaan (Maintenance Therapy)
Banyak pasien ALL dewasa kambuh sesaat setelah selesainya induksi remisi dan
terapi konsolidasi, mungkin karena penyakit sisa. Terapi pemeliharaan memungkinkan
paparan jangka panjang obat pada sel yang perlahan membagi, memungkinkan ada waktu
untuk sistem kekebalan tubuh untuk membasmi sel-sel leukemia, dan mempromosikan
apoptosis (kematian sel terprogram). Tujuan dari terapi pemeliharaan untuk lebih
memberantas sel leukemia residual dan memperpanjang durasi remisi. Meskipun terapi
pemeliharaan jelas menguntungkan di ALL masa anak-anak, manfaat yang mungkin pada
orang dewasa baru-baru ini telah ditunjukkan. Di beberapa kasus ALL pada dewasa,
percobaan yang melibatkan induksi dan konsolidasi, namun fase pemeliharaan dihilangkan,
DFS (disease-free survival) 2 tahun lebih rendah dibandingkan dengan uji coba yang
mengikutsertakan fase pemeliharaan. Terapi pemeliharaan biasanya terdiri dari
mercaptopurine dan methotrexate, pada dosis yang menghasilkan myelosupresi relatif
sedikit, dengan pengobatan intermiten dari vincristine dan steroid. Dalam upaya untuk
menentukan hasil jangka panjang dari durasi dan intensitas terapi pemeliharaan, Grup
Kolaborasi ALL Anak menerbitkan temuan dari meta-analisis yang melibatkan 12.000 anak
acak dari 42 percobaan dimulai sebelum 1987. Hasil analisis menunjukkan bahwa
pemeliharaan lebih lama, terapi vincristine dan prednisone, dan masuknya satu atau dua
program reinduction intensif secara signifikan mengurangi jumlah kematian atau
kekambuhan. Namun, hanya reinduction intensif meningkatkan kelangsungan hidup. Durasi
optimal terapi pemeliharaan pada orang dewasa tidak diketahui, namun sebagian besar
program pengobatan melanjutkan terapi pemeliharaan selama 24 sampai 36 bulan.
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan kecenderungan peningkatan kekambuhan
akhir antara anak-anak laki-laki dirawat selama 2 tahun dibandingkan 3 tahun, beberapa
pusat memperlakukan anak perempuan selama 2 tahun, sementara laki-laki menerima
perawatan selama 3 tahun. Keputusan tentang terapi pemeliharaan pada orang dewasa juga
didasarkan pada subtipe pasien ALL. Orang dewasa dengan ALL pra-B-sel umum mendapat
manfaat dari terapi pemeliharaan konvensional dengan Methotrexate dan mercaptopurine,
sementara mereka dengan ALL B-sel atau ALL Ph+ mungkin mendapatkan manfaat yang
lebih besar dari induksi intensif dan konsolidasi dan sedikit dari maintenance (pemeliharaan)
(DiPiro, 2005).
Variabilitas interpatient dalam farmakokinetik oral Methotrexate dan mercaptopurine
juga dapat menjadi penentu penting dari efektivitas dan toksisitas dari terapi pemeliharaan.
Pasien yang mendapat Methotrexate oral dan mercaptopurine pada malam hari dibandingkan
dengan pagi tampaknya memiliki outcome superior. Untuk menjelaskan variabilitas
interpatient, protokol yang penting pada pediatrik adalah titrasi dosis agen untuk
mempertahankan jumlah neutrofil mutlak 750 sampai 1.500 / mm3. Beberapa protokol
menghindari masalah bioavailabilitas dan kepatuhan dengan pemberian methotrexate
parenteral (DiPiro, 2005).
Polimorfisme genetik dapat mempengaruhi metabolisme obat, ekspresi reseptor,
transportasi obat, disposisi obat, dan respon farmakologi. Perubahan ini dapat berkontribusi
terhadap toksisitas akut dan kronis dari terapi ALL serta perbedaan dalam hasil pengobatan.
Polimorfisme paling banyak dipelajari melibatkan metabolisme thiopurine. Thiopurine yang
aktif oleh S-metilasi oleh thiopurine celular methyltransferase (TPMT). Sekitar 10% dari
populasi memiliki perantara TPMT karena polimorfisme heterozigot dalam pengkodean gen
aktivitas untuk TPMT, dan satu diantara 300 orang memiliki aktivitas yang sangat rendah
karena kehadiran polimorfisme homozigot ini. Defisiensi kegiatan TMPT mengakibatkan
myelosupresi berlebihan dari mercaptopurine dan thioguanine. Pasien dengan aktivitas
rendah (homozigot genotipe TPMT mutan) mungkin memerlukan 85% sampai 90%
penurunan dosis (DiPiro, 2005).
Tabel 1. Regimen Kemoterapi untuk ALL Pediatri (DiPiro, 2005)
2.5 Penggolongan Obat Kanker
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antitumor pada umumnya dibagi dalam
beberapa golongan sebagai berikut:
A. Alkilasi
Berkhasiat kuat terhadap sel-sel yang sedang membelah. Khasiat ini berdasarkan gugusan
alkilnya, yang sangat reaktif dan menyebabkan cross-linking (saling mengikat) antara rantai-
rantai DNA di dalam inti sel. Dengan demikian pergandaan DNA terganggu dan pembelahan
sel dirintangi. Efek sitotoksis dan mutagen ini terutama ditujukan terhadap sel yang
membelah dengan pesat, seperti sel-sel kanker di sistem limfe. Namun obat-obat ini juga
merugikan sumsum tulang, mukosa dari saluran lambung-usus, sel-sel kelamin dan janin
muda. Selain itu, obat-obat ini pada prinsipnya juga bersifat karsinogen dan dapat
mengakibatkan leukemia akut.
B. Antimetabolit
Obat-obat ini juga mengganggu sintesa DNA, tetapi dengan jalan antagonis saingan. Obat
menduduki tempat metabolit (asam folat, purin, dan pirimidin) dalam sistem enzim tanpa
mengambil alih fungsinya, sehingga sintesa DNA atau RNA gagal dan perbanyakan sel
terhenti. Obatnya sendiri tidak bersifat sitotoksis. Semua obat ini berkhasiat imunosupresif.
Semua obat ini merupakan pro-drug yang baru menjadi metabolit aktif setelah diubah dalam
hati.
C. Antimiotika
Zat-zat ini menghindari pembelahan sel pada metafase, jadi merintangi pembelahan inti.
Berlainan dengan zat alkilasi yang juga merintangi pembelahan inti dengan jalan
mengganggu pembelahan kromosom, antimiotika mencegah masuknya belahan kromosom
itu ke dalam anak inti.
D. Antibiotika Sitotoksis
Beberapa antibiotika yang berasal dari jenis jamur Streptomyces juga berkhasiat
sitostasis, disamping kerja antibakterinya. Zat-zat ini dapat mengikat DNA secara kompleks,
sehingga sintesanya terhenti.
E. Imunomodulansia
Zat-zat ini juga dinamakan Biological Response Modifiers (BRM) dan berdaya
mempengaruhi secara positif reaksi biologis dari tubuh terhadap tumor. Fungsi sistem imun
dapat distimulir dengan baik maupun ditekan olehnya.
F. Hormon dan Antihormon
Kortikosteroid antara lain berkhasiat melarutkan limfosit dan melarutkan limfosit dan
menekan mitosis di leukosit. Oleh karena itu, obat ini sangat penting pada terapi limfoma dan
leukemia akut pada anak-anak.
G. Obat-Obat Lainnya
Sitostatika lainnya yang digunakan pada kanker adalah enzim asparaginase, senyawa-
senyawa platina sisplatin dan karboplatin, hidroksiurea, procarbazin serta topotecan dan
irinotecan.
(Tjay dan Rahardja, 2007).
Untuk obat-obat yang digunakan untuk terapi pada kasus yaitu :
1. FILTERED PLATELET
Indikasi
Dengan pemberian dosis yang sesuai diharapkan dapat meningkatkan jumlah
trombosit 30,000 – 60,000/uL pada 70 kg pasien
Transfusi trombosit dapat diberikan untuk trombositopenia atau disfungsi trombosit
mengobati secara aktif platelet terkait dengan pendarahan atau sebagai profilaksis
pada mereka yang beresiko serius pendarahan.
Indikasi khas pada leukemia, myelodysplasia, anemia plastic, tumor padat, disfungsi
trombosit
Kontraindikasi
Pasien dengan trombotik thrombocytopenic purpura (TTP), Hemolytic Uremic
syndrome (HUS) atau Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT)
Pada pasien dengan kerusakan auto imun trombosit
Pada pasien dengan pos transfuse purpura, karena antibody spesifik terhadap antigen
platelet yang berfrekuensi tinggi yang bisa berakibat fatal.
Dosis dan Kegunaan
Dewasa
Dosis yang khas untuk orang dewasa adalah kumpulan 6 whole blood platelet.
Trombosit ditransfusikan memiliki jangka hidup 3-4 hari.
Anak kecil dan neonates
Transfuse 5-10 mL/kg menaikan jumlah trombosit 50,000-100,000/uL
Anak-anak > 10 kg
Transfuse 1 unit trombosit darah utuh per 10 kg harus menaikan jumlah trombosit
sebersar 50,000/uL
Efek Samping
Reaksi demam non hemolitik
Reaksi alergi mulai dari uritkaria ke anafilaksis
Cedera paru akut
Reaksi septic (Gerald et al,1988)
2. PRBC
indikasi : untuk menambah jumlah sel darah merah pada tubuh pasien
3. Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,2% + NaHCO3
a. Dekstrosa 5%
Komposisi :
Dextrose Monohydrate
Indikasi :
Rehidrasi, Penambahan kalori secara parenteral, sebagai Larutan dasar ( basic
solution )
Kontra Indikasi :
Dekstrosa 5% kontra indikasi pada pasien dengan kondisi Hiperhidrasi, Diabetes
Militus, Gangguan toleransi glukosa pasca operasi, Sindroma malabsorbsi glukosa-
galaktosa
Penggunaan :
Asidosis Laktat, Gangguan ginjal, Sepsis berat, Terapi fase awal pasca trauma
Efek Samping Obat :
Demam, iritasi atau infeksi local, thrombosis atau flebitis yang meluas dari tempat
injeksi, dan ekstravasasi, dan hiperglikemi pada bayi baru lahir.
b. Nacl 2%
Komposisi :
Nacl ( Natrium Klorida )
Indikasi :
Pengganti cairan plasma isotonik yang hilang, penggantian cairan pada kondisi
alkalosis hipokloremia.
Dosis :
Dosis bersifat individual
Dosis Lazim : 1000ml/70kgBB/hari dengan kecepatan infuse sampai dengan
7,7mL/kgBB/jam.
Kontra Indikasi :
Hipernatremia, Asidosis, hipokalemia.
Penggunaan :
Gagal jantung kongestif, Gagal fungsi ginjal, Edema perifer atau Edema paru,
Hipertensi, Toksemia pada kehamilan, Anak ( Pediatric ), Lansia ( Geriatric ),
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Efek Samping Obat :
Demam, Iritasi atau Infeksi pada tempat injeksi, Trombosis atau Flebitis yang meluas
dari tempat injeksi, dan Ekstravasasi,
c. Sodium Bicarbonat (NaHCO3)
Komposisi :
Na Bikarbonat
Indikasi :
Asidosis metabolik, keracunan barbiturate, salisilat, asam jengkolat, Hemodialisa
bikarbonat
Dosis :
Hanya digunakan sebagai tambahan pada larutan infuse, dosis disesuaikan dengan
nilai Laboratorium.
Kontra Indikasi :
NaCl Kontra indikasi pada pasien denganb kondisi Alkalosis, Hipernatremia
Pemakaian :
Monitor ionogram serum dan keseimbangan asam-basa
Interaksi Obat :
Jangan dicampur dengan larutan yang mengandung kalsium (Ca) ataupun Magnesium
(Mg) (Gerald et al,1988)
4. ALLOPURINOL
Farmakologi :
Merupakan analog struktural dari hipoksantin basa purin. Bekerja secara kompetitif
menghambat xantin oksidase. Hal ini akan mengurangi kadar asam urat di serum dan
urin dengan cara menghalangi konversi hipoksantin dan xantin ke asam urat dan
penurunan sintesis urin. (Anderson et al, 2002)
Farmakokinetik :
Hingga 90% dari dosis allopurinol diserap cepat di saluran cerna, waktu paruh di
plasma sekitar 1-2 jam. Metabolit utama dari allopurinol adalah oxipurinol
(alloxanthine). Yang juga merupakan inhibitor xantine oxidase dengan waktu paruh
sekitar 15 jam atau lebih pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Waktu paruh akan
menjadi lebih panjang pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Allopurinol dan
oxipuriinol tidak terikat diprotein plasma. Eksresi utamanya melalui ginjal. Tetapi
eksresi berlangsung lambat sejak oxipurinol mengalami reabsorbsi 70% dari dosis
harian pada tubular ginjal. Sisa dari dosis yang dieksresikan melalui ginjal akan di
eksresikan melalui kotoran.(Anderson,2002)
Indikasi :
Sebagai terapi hiperurikrmia sekunder yang mungkin muncul akibat terapi kanker,
dimana dilaporkan ada obat-obat cytostatika yang menyebabkan penumpukan Kristal
urea pada sendi dan tulang.
Rute pemberian dan dosis yang direkomendasikan :
Allopurinol diberikan secara PO dan IV untuk hyperuremia sekunder yang erat
kaitannya dengan pengobatan kanker atau kemoterapi kanker. Diberikan dengan dosis
600-800mg/hari disertai dengan asupan cairan tinggi. Kemudian dosis dikurangi
hingga 300mg/hari. Terapi diberikan setidaknya 2-3 hari ( paling baik 5 hari )
sebelum menerima terapi kanker. Hentikan penggunaan allopurinol jika kelebihan
asam urat tidak lagi terlihat.
Dosis untuk populasi khusus :
a. Dosis anak-anak :
Diberikan secara peroral untuk hyperuricemia sekunder yang terkait dengan kanker
atau kemoterapi kanker. Untuk umur dibawah 6 tahun (< 6tahun) 150mg/hari, (6 - 10
tahun) 300mg/hari, alternatifnya yaitu diberikan 2,5mg per 6jam, maksimun 600mg
perhari. Tetapi menurut (Sweetman,2009) dosis untuk anak dibawah usia 15tahun
dosisnya bervariasi mulai dari 10-20kg/kg sehari sampai dosis maksimumnya 400mg
sehari. Terapi allopurinol sebaiknya diberikan 2-3 hari sebelum dilakukannya terapi
kanker. Evaluasi setelah 48jam pemberian terapi kanker dan dilakukan penyesuaian
dosis. (Anderson et al,2002).
b. Dosis manula :
Dosis yang relative lebih rendah biasa digunakan untuk beberapa pasien karena
berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal yang dikarenakan faktor usia. Dosis pada
golongan geriatric disesuaikan pada kadar asam urat dalam serum. (Anderson et
al,2002)
KIE:
Pengguna allopurinol dapat memanfaatkan makanan, susu ataupun obat golongan
antasida untuk meminimalkan adanya gangguan lambung. Orang dewasa harus
meminum setidaknya 10-15 gelas air (masing-masing mengandung 8ons cairan).
Hindari alcohol dalam jumlah besar (karena alkohol bisa meningkatkan kadar asam
urat pada darah) serta hindari vit.C (dapat menyebabkan batu ginjal dan membuat
urin lebih asam). Laporkan bila terjadi ruam kulit atau nyeri saat buang air kecil,
terdapat darah pada urin, iritasi mata, pembengkakan pada bibir, gatal, demam,
menggigil, sakit tenggirokan,. Allopurinol merupkan obat yang menyebabkan kantuk,
gunakan hati-hati pada saat akan berkendara atau melakukan hal-hal yang
memerlukan tingkat kewaspadaan, koordinasi dan ketangkasan fisk. (Andersone et
al,2002)
Efek Samping Obat :
Ruam kulit ringan terjadi sekitar 20% pada keseluruhan pasien yang menerima terapi
allopurinol, namun presentasenya menjadi berkurang 20% setelah pemberian
bersamaan dengan terapi ampisilin. Ruam kulit ini tidak mungkin terjadi kembali saat
terapi allopurinol dihentikan atau saat diberikan dosis allopurinol yang lebih rendah
dari biasanya. Terjadinya urtikartia, purpura atau eritema dilaporkan sesekali terjadi
pada pengguna allopurinol. Reaksi-reaksi yang lebih parah seperti hipersensitivitas
berat seperti syndrome steven jhonson, gangguan ginjal dan kerusakan hati perlu
dilakukan penghentian terapi allopurinol segera. (Anderson et al,2002)
Kontraindikasi :
Pada kehamilan dan ibu menyusui, Gunakan hati-hati pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal. (Anderson et al,2002). Allopurinol tidak boleh digunakan untuk
serangan akut Asam urat (gout). Selain itu terapi allopurinol tidak boleh digunakan
untuk tujuan apapun selama serangan akut menyerang. (Sweetman,2009)
Interaksi obat :
Obat diuretik dianggap berpengaruh pada peningkatan toksisitas allopurinol,
walaupun penyebab dan hunbungannya belum ditetapkan. Allopurinol secara nyata
dapat meningkatkan toksisitas dari azathioprine mercaptopurine. Allopurinol dapat
meningkatkan resiko hipersensitifitas secara nyata dari captopril, ruam kulit,
penekanan sumsum tulang belakang oleh siklofosfamid. Neurotoksisitas dari
vidarabine dan toksisitas dari siklosporin. Allopurinol dapat meningkatkan efek
antikoagulan oral tetapi tidak berlaku pada warfarin. Allopurinol dalam dosis besar
(600mg/hari) bisa meningkatkan kadar teofilin pada serum.(Anderson et al,2002).
Obat-obat yang memiliki efek terapi meningkatkan konsentrasi asam urat dapat
mengurangi efek terapi dari allopurinol. Allopurinol meningkatkan resiko toksisitas
bagi beberapa obat termasuk beberapa obat antibakteri, beberapa antikoagulan dan
beberapa antineoplastic lainnya, misalnya cilosporin, teofilin dan vidarabine
(Sweetman,2009)
5. VINCRISTINE
Farmakologi Obat :
Vincristine merupakan salah satu bagian dari alkaloid vinca yang berasal dari
tanaman vinca rosea. Vincristine merupakan derivat agen antimititic, Aktivitas
sitotoksik dihasilkan oleh ikatan spesifik dengan mikrotubulus protein tubulin,
Karena adanya disolusi mikrotubulus. Kondisi berikatan ini yang diperlukan untuk
pembelahan sel mitosis. Alkaloid vinca ini mampu mematikan sel yang jumlahnya
berlebih. Golongan alkaloid vinca paling banyak di eliminasi melalui empedu,
dimana dosis vincristine akan berkurang menjadi 50-75% pada pasien gangguan
metabolisme hati parah. (Anderson et al,2002)
Farmakokinetik :
Adsorbsi jaringan pada awal administrasi berlangsung dengan cepat dan fase
terminalnya lama (>1 hari). Dengan adanya volume distribusi yang besar
menandakan bahwa ekstresi obat dari jaringan lambat. Golongan alkaloid vinca tidak
memiliki kemampuan untuk menembus ke system saraf pusat atau jaringan lemak
lainnya (Anderson et al,2002). Vincristine tidak terserap dengan baik di saluran
pencernaan. Namun setelah pemberian IV, vincristine mudah tereliminasi dari darah.
Hal ini secara ekstensif terikat pada protein dan dilaporkan terkonsentrasi pada
trombosit darah. Vincristine dimetabolisme dihati dan di eksresikan di empedu,
sekitar 70 hingga 80% dari doseis ditemukan dalam feses dalam bentuk metabolitnya
sedangkan 10 sampai 20% dieksresikan melalui urin. Waktu paruh sekitar 85 jam,
tetapi dapat berkisar 19-155 jam. Vincristine tidak dilaporkan mampu melingtasi
sawar otak. Vincrinstine sulfat biasanya digunakan untuk kombinasi kemoterapi
untuk leukemia akut dan kronis, limfoma, termasuk penyakit hodgin dan non-hodgin
limfoma dan multiple myleoma. Vincristine digunakan juga untuk tumor paru-paru,
payudara, kepala dan leher serta sarcoma jaringan lunak, serta untuk anak tumor
padat termasuk sarcoma Ewing, rhabdomyosarkoma, neuroblastoma, retinoblastoma
dan medulloblastoma (Sweetman,2009).
Rute Pemberian dan dosis yang direkomendasikan :
a. Pemberiannya : IV push
b. Dosis dewasa ; 0,4 – 1,4mg/m2/minggu ( 2,5 mg limit dosis tunggal )
c. Dosis anak-anak : 1,4-2mg/m2/minggu ( 2mg dosis limit tunggal)
d. Dosis manula : 0,4 – 1,4 mg/m2/minggu (2,5mg limit dosis tunggal) ((handbook of
clinical drug data)
Vincristine sulfat diberikan secara IV dengan dosis 1mg/ml. namun pedoman
inggris menyarankan untuk pasien berusia diatas 10 th, larutan vincristine harus
diencerkan hingga konsentrasi 100mikrogram/ml dengan volume minimal 10ml dan
hindari pemberian secara intratekal. Konsentrasi yang lebih tinggi dapat digunakan pada
usia dibawah 10 tahun. Perawatan yang dilakukan sebaiknya menghindari ekstravasasi
dan injeksi diberikan perlahan melalui infuse (biasanya natrium klorida 0,9%).
Pilihan dosis IV biasanya pada orang dewasa untuk Vincristine sulfat adalah 1,4-
1,5mg/m2 seminggu sekali, sampai dengan dosis maksimal 2mg. Untuk anak dengan
berat badan lebihdari 10 kg dosis yang disarankan adalah 1,4-2mg/m2 seminggu sekali
sampai dosis maksimal adalah 2mg/ml. bagi mereka yang memiliki berat badan kurang
dari 10 kg, dosis awal yang disarankan adalah 50 mikrogram/kg sekali seminggu.
Volume darah harus diketahui sebelum menentukan dosis. Dosis dapat dikurangi
untuk pasien yang mengalami gangguan hati. ( Sweetman,2009 )
Efek Samping Obat :
Potensi emetik lemah. Toksisitas utama dari vincristine adalah neuropati perifer
yang dimanifestasikan dalam beberapa gejala yaitu parestesia, sembelit, nyeri rahang,
penurunan reflex tendon dalam. (Anderson et al,2002) Kejang-kejang, alopecia dan
anatonia kandung kemih yang menyebabkan retensi urin , gangguan kemih sering
terjadi . gangguan motorik pada pergelangan tangan dan kaki hipotensi ortostatik,
dan jarang menyebabkan impotensi
Efek pada samping pada saraf cranial dapat menyebabkan ptosis, suara serak
karena kelumpuhan saraf laring atau neuropati optic. Efek pasa system saraf pusat
jarang, hal ini disebabkan karena adanya kemampuan terpenetrasi yang rendah pada
system saraf pusat, tetapi mencakup pengeluran hormon antidiuretik yang berlebih ,
efek pada indra penglihatan telah dilaporkan yaitu atrofi optic bilateral dan kebutaan,
serta gangguan pendengaran tetapi biasanya bersifat reversible begitu penggunaan
obat dihentikan. Karena dengan menggunaan vincristine sering menimbulkan
kemungkinan terjadinya sembelit serius dan impikasi feses. Sehingga pemberian obat
pencahar atau enema mungkin diperlukan untuk memastikan fungsi usus tetap baik.
(Sweetman,2009)
Kontra Indikasi :
Pemberian secara intratekal untuk setiap golongan alkaloid vinca dapat
menimbulkan efek samping yang fatal. Vincristine juga bisa menyebabkan gangguan
system saraf perifer, ileus paralitik, kesemutan dan menurunnya reflex tendon dalam.
(Anderson et al,2002)
Vincristine kontraindikasi pada kehamilan, gunakan secara hati-hati pada pasien
dengan gangguan neurologis atau penyakit hati. Pemberian terapi vincristine telah
dikaitkan dengan meningkatnya retensi selular dari metrotexate (meningkat bahkan di
jaringan system saraf pusat). Penggunaan vincristine dengan vincristine zalcitabine
dapat meningkatkan neuropati. (Anderson et al,2002)
KIE :
Simpan obat terlindung dari cahaya dan simpan di dalam kulkas. Tempat
penyimpanan dosis tunggal vincristine adalah dalam suatu overwrap (misalnya :
kantong plastic) yang diberi label ‘jangan dikeluarkan sampai sesaat sebelum
disuntukkan’. Fatal bila diberikan secara intratekal. Pemberian secara intra vena
biasanya digunakan untuk neoplasma hematologi. (Anderson et al,2002)
Toksisitas biasanya terkait dengan adanya dosis akumulatif pada individu. Pasien
biasanya menerima dosis vincristine total perharinya adalah 5-6 mg dan secara
signifikan bisa mencapai dosis komulatif 15-20mg. jika diberikan dosis terendah
yaitu kurang dari 2mg atau dengan interval yang lebih lama dari pemberian minggu
sebelumnya, mampu mentolerir kemungkinan terakumulasi obat .
Anak-anak mampu mentolerir vincristine lebih baik daripada orang dewasa,
namun lansia sangat rentan terhadap resiko neurotoksisk (Swetman,2009)
Interaksi obat:
a. Interaksi Vincristine
Penggunaan Vincristine dengan obat-obatan yang menghambat sitokrom
subfamily CYP3A menyebabkan penurunan metabolisme dari Vincristine sehingga
meningkatkan toksisitasnya. Jika Vincristine digunakan bersama asparaginase maka
Vincristine harus diberikan 12-24 jam sebelum penggunaan enzim tersebut. Jika
asparaginase diberikan bersama atau sebelum Vincristine maka menyebabkan
penurunan klierens Vincristine and meningkatkan efek toksik (Sweetman, 2009).
Kedua regimen obat tersebut umumnya digunakan untuk terapi leukemia ((Baxter,
2008).
b. Vincristine dengan golongan Azole
Itraconazole dapat meningkatkan toksisitas vincristine. Itraconazole menginhibisi
metabolisme vincristine oleh enzim sitokrom P450, sehingga klierensnya dari tubuh
menurun dengan cepat. Mekanisme lain yang dapat terjadi yaitu itraconazole
menginhibisi P-glycoprotein dan meningkatkan neurotoksisitas vincristine yang
dihasilkan karena inhibisi pompa dalam sel endotel dari barier darah otak (Baxter,
2008).
c. Vincristine dengan Antiepileptik
Carbamazepine and phenytoin mengurangi kadar vincristine dalam plasma darah
sehingga mengurangi efikasi dari obat tersebut. Suatu penelitian menunjukkan pasien
yang menerima phenytoin dan kemoterapi dengan vinca alkaloid menghasilkan
peningkatan klierens dari vincristine yang diinduksi oleh agen antiepileptik yang
mempunyai ikatan sama dengan reseptor. Induksi enzim oleh antiepiletik
meningkatkan metabolism dari vincristine oleh sitokrom P450 isoenzim CYP3A4
(Baxter, 2008).
d. Vincristine dengan Isoniazid
Suatu penelitian menunjukkan efek neurotoksik vincristine mungkin meningkat
karena adanya interaksi dengan isoniazid (Baxter, 2008).
e. Vincristine dengan Nifedipine
Nifedipine mengurangi klierens dari vinkristin sehingga kadar dalam plasma akan
tinggi dan menyebabkan toksisitas. Mekanisme kerjanya diduga dapat menghambat
metabolisme vincristine oleh enzim sitokrom P450, sehingga klierensnya dari tubuh
menurun (Baxter, 2008).
6. DEXAMETHASONE
Dexametason adalah glukokorticoid tanpa sodium yang bekerja long-acting yang
dengan dosis rendah sampai sedang sudah mampu mempertahankan aktivitas terapinya.
Farmakokinetik :
Diserap dengan mudah pada saluran cerna, tetapi biasa juga di serap secara lokal bila
diberikan secara topikal atau inhalasi. Golongan ini mudah didistribusikan keseluruh
system sistemik tubuh, mampu melewati plasenta, sebagian besar golongan
kortikosteroid dimetabolisme dihati, tetapi ada juga yang dimetabolisme diharingan
lain dan dieksresikan memalui urin (Swetman,2009)
Rute pemberian dan dosis yang disarankan :
Dosis harian yang diberikan bergantung pada gangguan klinis pasien serta respon
pasien. Tidak ada rekomendasi untuk pemberian altermatif harian karena panjangnya
durasi dari efek terapinya. Pemberian secara oral, intra muskular atau intravena hanya
untuk gejala akut.
Untuk terapi alergi atau eksaserbasi gangguan alergi kronis diberi terapi dengan
dosis 4-8mg pada hari pertama dalam satu dosis. Kemudian dosis dikurangi selama 5
hari, diberikan dosis dengan cara di tepering dibagi dalam 2 dosis selama 3 hari,
sekali sehari dalam 2 hari, kemudian dihentikan. (Anderson et al,2002)
Dexamethasone juga bisa dibeikan sebagai anti emetik pada pengobatan
kemoterapi yang biasanya diberikan secara peroral atau intravena biasanya
dikombinasikan dengan antiemetic lainnya. Dexamethasone dapat diberikan 10-20mg
segera sepelum terapi kemoterapi, hingga 40mg yang diberikan setelah terapi
kemoterapi.
Dosis Dexamethason pada populasi khusus :
Dosis pada anak-anak :
a. PO, IM, atau IV digunakan untuk edema saluran napas 0,25-0,5mg/kg/hari dibagi
6-12 jam.
b. PO, IM atau IV digunakan sebagai antiinflamasi dosis 4-6 dosis
c. Sebagai imunosupresan 0,03 – 0,15 mg/kg/ hari selama 5 hari kemudian di
runcingkan menjadi 4-6 jam selama 5 hari kemudian dihari, kemudian delama 5
hari berikutnya terapi dihentikan.
Dosis pada manula :
Diutamakan untuk menggunakan dosis terendah untuk manula dengan berat
badan yang rendah. (Anderson et al,2002)
Kontraindikasi :
Dexamethasone kontra indikasi pada kehamilan. Gunakan secara hati-hati pada
pasien diabetes mellitus, osteoporosis, ulkus peptic, esofagitis, tuberkolosis hipertensi
atau penyakit cardiovascular lainnya, hipotiroidisme, hipoalbuminemia, gagal
jantung, epilepsi, glaukoma, gagal hati.
Penggunaan dexametasone kontraindikadsi pada pasien Infeksi jamur sistemik
(kecuali sebagai terapi pemeliharaan dalam insufisiensi adrenal), pemberian vaksin
yang mengandung virus hidup untuk pasien yang mendapatkan terapi dexametason.
Pemberian secara IM pada pasien idiopatik thrombocytopenic purpura. (Anderson et
al,2002)
Efek Samping Obat:
Dosis dan durasi berhubungan dengan efek samping gangguan cairan tubuh dan
elektrolit (mungkin edema atau hipertensi). Penyebaran konjungtiva herpes, aktivasi
tuberculosis, osteoporosis, patah tulang, miopati, haid tidak teratur, penurunan
kemampuan penyembuhan luka, katarak, glaucoma, moonface, obesitas, mudah
memar, dan jerawat. Terapi jangka panjang dapat menyebabkan penekanan fungsi
adrenal dan pituitary. Pemberhentian terapi secara mendadak dapat menyebabkan
insufiensi adrenal akut (misal : demam, malgia, arthralgia dan malaise). Pasien yang
mengalami penekanan adrenalis maka akan kehilangan kemampuan untuk menerima
rangsang. (Anderson et al,2002)
Interaksi obat :
Dexamethasone dapat meningkatkan kadar glukosa serum sehingga peningkatan
dosis obat antidiabetes mungkin diperlukan. Dexamethason dapat menurunkan
isoniazid dan kadar salisilate serum. Dexamethason juga berinteraksi dengan
fenobarbital, phenitoin (paling baik dengan dexamethason) dan memungkinkan
aminoglutethimide meningkatkan metabolisme dari dexamethason (Anderson et
al,2002).
Golongan kortikosteroid yang dibarengi dengan terapi barbiturate, karbamazepin,
phenitoin, primidone dan rifampisin dapat meningkatkan metabolisme kortikosteroid
yang mengurangi efek sistemik kortikosteroid. Sebaliknya penggunaan kortikosteroid
bersamaan dengan obat kontrasepsi oral dan retinovir akan meningkatkan konsentrasi
plasma dari kortikosteroid. Penggunaan golongan kortikiosteroid bersama NSAID
meningkatkan resiko pendarahan gastrointestinal. ( Sweetman,2009 )
7. PEG Asparaginase (Pegaspargase)
Dosis dan Kegunaan
a. Dewasa
Merupakan bubuk injeksi 750 IU
2500 internasional unit/sq.meter IM (dianjurkan) atau IV q14hari
b. Anak-anak
Merupakan bubuk injeksi
750 IU
BSA > 0,6 sq.meter ( sama dengan dosis dewasa)
BSA < 0,6 sq.meter ( 82,5 internasional unit/kg IM atau IV q14hari
Indikasi
Sebagai bagian dari rejimen kemotrapi multi agen
Versi modif dari asparaginase dengan asparagin mampu membunuh sel-sel leukemia
Efek Samping
Edema
Demam, malaise
Nausea (mual), Vomoting (muntah)
Coagulopathy
Peningkatan ALT
Anafilaksis
Menggigil, sakit kepala, nyeri, kejang
Eritema
Kesulitan bernafas
Cenderung terjadi pendarahan
Memiliki Adverse Drug Reaction yang sering muncul berupa mual dan muntah
Kontraindikasi
Hipersensitivitas pada obat ini, Riwayat penyakit hemoragik, pancreatitis, Pada
kehamilan, positif beresiko pada janin manusia.
Peringatan
Tidak lebih dari 2 mL diberikan pada setiap satu tempat suntikan (Gerald et al,1988)
8. METHOTREXATE
Efek Samping Obat :
1. Depresi Sumsum Tulang
Depresi sumsum tulang dengan berbagai akibatnya merupakan salah satu efek samping
yang sering terjadi pada pengobatan dengan methotrexate. Manifestasi klinis yang
timbul akibat adanya depresi sumsum tulang adalah cepat lelah bahkan sampai pada
keadaan sesak nafas dan gagal jantung akibat dari anemia oleh karena produksi sel-sel
darah merah yang menurun. Pendarahan juga merupakan manifestasi klinis dari
depresi sumsum tulang akibat dari penurunan jumlah trombosit. Selain itu tubuh
menjadi lebih mudah terserang infeksi karena produksi sel darah putih menurun.
2. Kerusakan Mukosa
Kerusakan mukosa akan berakibatkan berbagai macam manifestasi klinis sesuai
dengan yang terkena stomatitis dan pendarahan saluran cerna. Bagi penderita peptic
ulcer dan kolitis ulserosa perlu mendapat perhatian khusus.
3.Gagal Ginjal Akut
Terutama pada penggunaan dosis tinggi dan penggunaan bersamaan obat kemoterapi
yang bersifat nefrotoksik untuk mencegah tejadinya gagal ginjal dibutuhkan hidrasi
cairan dan juga perlu dilakukan alkalinisasi urin untuk mengurangi keasaman urin
4. Fatigue atau kelelahan.
5. Gangguan Hati
Peningkatan enzim hati (transaminase) dam penyakit hati kronis (fibrosis atau
sirosis). Pemantauan fungsi hati harus dilakukan untuk mencegah kerusakan hati
lebih lanjut.
6. Gangguan sistem saraf, dapat terjadi kejang terutama pada pasien leukemia akut, pada
dosis tinggi/high dose dapat terjadi stroke–like encephalopathy. Pada penggunaan
secara intratekal dapat terjadiefek samping myelopati dan leukoensepalopati kronis.
7. Kerontokan Rambut
8. Penurunan nafsu makan
9. Diare
jika pasien mengalami diare selama masa pengobatan hal ini mengindikasikan bahwa
pemberian methotrexate bisa dihentikan sementara,
10. Efek samping yang mungkin terjadi namun yang masih jarang angka kejadiannya
antara lain anemia megaloblastik, osteoporosis, diabetes, arthralgia, nekrosis jaringan
lunak dan tulang serta syok anafilaksis. Methotrexate dapat menyebabkan cacat
oogenesis serta spermatogenesis dan kesuburan mungkin terganggu yang mungkin
bersifat reversible. (Sweetman,2009)
Kontra Indikasi :
Methotrexate harus digunakan dengan hati-hati pada pasien gangguan sumsum
tulang, gangguan hati, gangguan pencernaan dan ulcer dan gangguan ginjal, dosis
pemberian methotrexate juga perlu diperhatikan pada anak-anak (pediatric) dan
manula (geriatric). Pengobatan harus dihentikan jika terjadi myelosupresi, diare dan
stomatitis terjadi. Dyspnoea atau batuk merupa kan gejala terjadinya toksisitas paru.
Methotrexate tidak boleh diberikan pada untuk mengobati rheumatoid arthritis
atau psoriasis pada pasien yang alkohilsme, penyakit hati, pada pasien dengan
gangguan ginjal yang signifikan, gangguan system imun dan kelainan darah. Selain
itu pemberian dosis berlebih dapat menimbulkan kematian hal ini ditunjukkan dengan
adanya kasus pemberian dosis mungguang yang dijadikan dosis harian. Methotrexate
bersifat teratogen kuat dan harus dihindari pada kehamilan (Sweetman,2009).
Interaksi obat :
Efek terapi obat methotrexate mungkin ditingkatkan oleh yang dapat mengurangi
eksresi ginjalnya, seperti NSAID dan salisilat, probenesid dan beberapa penisilin.
Asam folat dan turunannya dapat menurunkan efek terapi dari methotrexate meskipun
mereka sering digunakan bersama untuk mengurangi efek toxic. (Anderson et
al,2002)
Farmakokinetik :
Ketika diberi dengan dosis rendah, methotrexate dapat dengan cepat diserap di
saluran cerna, tetapi dengan dosis tinggi kurang diserap dengan baik. Metotrexate
juga diserap dengan baik bila diberi secara IM. Konsentrasi puncak tercapai pada 1-2
jam pemberian oral, dan 30-60menit setelah pemberian IM . waktu paruh
methotrexate antara 3-10 jam setelah diberi dosis kurang dari 30mg/m2 atau 8-15 jam
setelah diberikan dosis terapi tinggi.
Methotrexate 50% terikat pada protein plasma. Obat masuk ke dalam sel memalui
transport aktif dan terikat sebagai konjugat polyglutamate, obat-obat terikat mungkin
masih ada didalam tubuh selama berbulan-bulan terutama di hati. Peningkatan dosis
yang signifikan didalam sirkulasi sistemik dapat dicapai dengan pemberian secara
intratekal. (swetman,2009)
Indikasi:
Methotrexate merupakan antineoplastik yang bertindak sebagai antimetabolit asam
folat, dimana obat ini memiliki efek imunosupresanmethotrexate kompetitif
menghambat enzim reduktase dihidrofolat dan mencegah pembentukan
tetrahydrofolate yang diperlukan untuk sintesis purin dan pirimidin untuk
pembentukan DNA dan RNA. Methotrexate dengan dosis tinggi diikuti dengan terapi
asam fenolinic dapat digunakan untuk beberapa penyakit ganas. Methotrexate banyak
digunakan untuk terapi lymphoblastic leukemia akut. Dosis dan regimen yang
digunakan sangat beragam dan disesuaikan dengan kondisi sumsum tulang belakang
dan resiko toksisitasnya . dosis yang umumnya digunakan untuk terapi pemeliharaan
lymphoblastic leukemia akut adalah 15mg/m2 sekali atau dua kali dalam 1 minggu.
Diberi melalui oral maupun intramuscular (Sweetman,2009)
Dosis yang disarankan :
Regimen lain yang disarankan untuk anak-anak berdasarkan usia, antara lain : anak-
anak dibawah usia 1 tahun diberikan 6 mg, sedangkan usia 1 tahun diberikan 8mg,
bagi anak-anak dengan usia 2 tahun diberikan dosis 10mg. dan diberikan dosis 12mg
untuk anak-anak dengan usia diatas 3 tahun. Dosis intratekal diberikan juga kadang-
kadang diberkan pada saat limphoblatic leukemia akut mengalami kekambuhan,
terapi methotrexate biasanya dikombinasi dengan sitarabin intratekal dan
hidrocortison. (Sweetman,2009).
BAB III
KASUS DAN PENYELESAIAN
3.1 Kasus
Seorang pasien dengan diagnosis acute lyphocytic leukemia menerima terapi sebagai berikut :
Hari pertama memperoleh :
1 Unit filtered platelet
1 Unit PRBC
Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,2% IV + 30 mEq NaHCO3/L pada 2000 mol/M2/hari
Alopurinol 50 mg, p.o, tid
Hari kedua memperoleh :
Vincristine 1 mg IV (pada hari ke 1, 8, 15, dan 22)
Dexamethasone 2 mg p.o pagi, 1,5 mg p.o malam selama 28 hari
PEG Asparaginase 1500 units IM pada kemoterapi hari ke-3
Methotrexate intrathecal therapy 12 mg pada hari ke-1 dan 15
Pertanyaan :
1. Pasien mengalami mual muntah selama terapi. Jelaskan penyebabnya? Perlukan terapi
tambahan untuk kondisi ini?
2. Jelaskan fungsi dari masing-masing obat yang diterima pasien dan bagaimana KIE yang
diberikan kepada pasien mengenai terapi yang diperoleh?
3. Jelaskan apa yang harus diamati sehubungan dengan pemberian vincristine dan
methotrexat IT secara bersama?
4. Jelaskan tujuan terapi dan hasil/ capaian yang diharapkan kepada pasien?
3.2 Penyelesaian
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan maka penyelesaian untuk kasus tersebut adalah :
1. Pada kasus diatas pasien mengalami mual muntah selama terapi disebabkan oleh pengaruh
efek samping obat yang dia terima selama menjalani terapi. Dimana pasien diberikan
Vincristine IV 1mg dan methotrexate 12 mg intratekal mg. Dimana menurut Anderson et al,
vincristine dan methotrexate memiliki efek samping berupa potensi emetik lemah, dimana
mual muntah yang dirasakan pasien didiagnosa karena teriritasinya mukosa usus sehingga
akan merangsang saraf-saraf tertentu yang akan mengaktivasi vomiting center dan
chemoreseptor trigger zone di otak. Dimana menurut Anderson et al, efek samping dari
kerja methotrexate adalah terbentuknya ulkus pada gangguan saluran cerna. Selain
vincristine dan methotrexate, Asparginase juga merupakan agen neoplastic yang di gunakan
pada kasus ini yang memiliki Adverse Drug Reaction yang sering muncul yaitu mual dan
muntah .
Untuk penambahan terapi antiemetik, dirasa tidak perlu karena pada terapi yang
diterima pasien telah diresepkan pula pemberian Dexamethasone, yang menurut
(Sweetman,2009) Dexamethasone juga bisa diberikan sebagai anti emetik pada pengobatan
kemoterapi yang biasanya diberikan secara peroral atau intravena biasanya dikombinasikan
dengan antiemetic lainnya. Dexamethasone dapat diberikan 10-20mg segera sepelum terapi
kemoterapi, hingga 40mg yang diberikan setelah terapi kemoterapi untuk mengurangi resiko
terjadinya mual dan muntah yang akan menghambat proses penyembuhan serta member
perasaan tidak nyaman pada pasien.
2. Terdapat berbagai macam obat yang digunakan dalam terapi ini antara lain :
a. 1 unit filtered platelet
b. 1 unit PRBC (Packed Red Blodd Cells)
c. Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,2% IV + 30 mEq NaHCO3/L pada 2000 mol/M2/hari
d. Alopurinol 50 mg, po, tid
e. Vincristine 1 mg IV
f. Dexamethasone 2 mg po pagi, 1,5 mg po malam
g. PEG Asparaginase 1500 units IM
h. Methotrexate intratekal 12 mg
Dimana fungsi dari masing-masing terapi tersebut adalah :
a. Filtered platelet dan Packed Red Blood Cells digunakan untuk menambahkan jumlah
platelet dan menambah jumlah sel darah merah pada tubuh pasien dimana hal ini
diperlukan karena kemoterapi yang diterima oleh pasien beresiko mengalami depresi
sumsum tulang, yang mana kita ketahui merupakan cairan yang berfungsi sebagai tempat
memproduksi sel darah merah, sel darah putih dan trombosit. Sehingga penurunan jumlah
sel darah dalam tubuh akibat kemoterapi sangat mungkin terjadi. Selain mengurangi
resiko anemia, Tujuan dari dijaganya jumlah trombosit didalam tubuh adalah menjaga
agar jumlah trombosit tetap stabil, dimana jika tubuh mengalami penurunan jumlah
trombosit sampai kurang dari 20.000 keping darah akan berpotensi menimbulkan
pendarahan spontan apabila kemoterapi tetap dilanjutkan.
b. Terapi dengan menggunakan infuse Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,2% IV + 30 mEq
NaHCO3/L pada 2000 mol/M2/har bertujuan untuk menjaga sekaligus menjadi tambahan
cairan tubuh. Penggunaan infuse dextrose ini sekaligus mendukung keberhasilan terapi
menggunakan allopurinol, karena menurut (Sweetman,2009) terapi kanker dengan
menggunakan allopurinol harus dibarengi dengan terapi cairan.
c. Fungsi Terapi menggunakan Allopurinol adalah sebagai terapi hiperurikemia sekunder
yang mungkin muncul pada terapi leukemia, dimana dilaporkan ada obat-obat cytostatika
yang menyebabkan penumpukan kristal urea pada sendi dan tulang. Dimana mekanisme
kerja dari Allopurinol adalah Bekerja secara kompetitif menghambat xantin oksidase,
yang akan berakibat berkurangnya kadar asam urat di serum dan urin dengan cara
menghalangi konversi hipoksantin dan xantin ke asam urat dan penurunan sintesis urin.
d. Fungsi terapi Vincristine adalah sebagai agen yang digunakan untuk kombinasi
kemoterapi pada penyakit acute lyphocytic leukemia. Dimana Aktivitas sitotoksik
dihasilkan oleh ikatan spesifik dengan mikrotubulus protein tubulin, Karena adanya
disolusi mikrotubulus. Kondisi berikatan ini yang diperlukan untuk pembelahan sel
mitosis. Alkaloid vinca ini mampu mematikan sel yang jumlahnya berlebih.
e. Fungsi terapi Dexamethasone adalah sebagai antiemetik pada pengobatan kemoterapi
yang biasanya diberikan secara peroral atau intravena biasanya dikombinasikan dengan
antiemetik lainnya. Dexamethasone dapat diberikan 10-20 mg segera sebelum terapi
kemoterapi, hingga 40 mg yang diberikan setelah terapi kemoterapi untuk mengurangi
resiko terjadinya mual dan muntah yang akan menghambat proses penyembuhan serta
memberi perasaan tidak nyaman pada pasien
f. Fungsi terapi PEG Asparaginase adalah sebagai bagian dari rejimen kemotrapi multi
agen yang mampu membunuh sel-sel leukemia
g. Fungsi Terapi Methotrexate adalah sebagai obat kemoterapi acute lyphocytic leukemia,
dimana methotrexate termasuk obat antimetabolit, merupakan salah satu oba kemoterapi
yang banyak digunakan, struktur methotrexate menyerupai struktur asam folat dengan
perbedaan yang sangat tipis sehingga disebut analog asam folat yang akan mengandung
enzim dihidrofolat reductase yang bertugas mensintesis DNA. Sebagai antimetabolit
methotrexate akan menghentikan proses replikasi DNA pada fase S. Sehingga
menghentikan pembelahan sel-sel kanker.
Selain mengetahui fungsi dari masing-masing obat tersebut, KIE juga penting
diberikan kepada pasien untuk meningkatkan efektifitas dari terapi yang diberikan. KIE
yang dapat diberikan yaitu :
Alopurinol
a) Hindari mengemudi atau aktivitas lain yang memerlukan kesiagaan mental atau yang
berpotensi membahayakan hingga respon terhadap obat diketahui.
b) Batasi asupan makanan dengan kandungan purin tinggi (hati atau daging organ lain,
salmon, dan sarden).
c) Minumlah banyak air (10-12 gelas perhari).
d) Tidak dianjurkan meminum vitamin C dalam jumlah banyak.
e) Hindari alkohol dan depresan saraf pusat lainnya seperti analgesik opiate dan sedative
(contoh diazepam) ketika meminum alopurinol.
f) Jangan makan garam iron selama meminum alopurinol.
g) Batasi asupan kafein dan alkohol (Ehrenpreis dan Ehrenpreis, 2001).
Vinkristin
Obat antineoplastik berefek kuat, dan beberapa efek samping bisa muncul selama
penggunaannya. Pastikan pasien mengerti manfaat dan resiko dari obat sebelum memulai
terapi. Obat ini dapat menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, maka
pasien diharapkan melaporkan tanda-tanda infeksi seperti demam, menggigil, radang
tenggorokan dengan segera. Juga laporkan pendarahan tak normal, pemendekan nafas,
atau rasa sakit atau panas saat berkemih. Hindari pemakaian produk mengandung aspirin,
dan hindari alkohol. Mual, muntah dan kerontokan rambut kadang-kadang muncul
selama pemakaian obat. Keparahan efek samping ini tergantung pada individu, dosis, dan
obat lain yang mungkin diberikan bersamaan. Obat ini dapat menimbulkan infertilitas
sementara atau terkadang permanen pada pria dan wanita (Anderson et al, 2002).
Dexamethasone
Obat ini dapat diminum bersamaan dengan makanan, susu, atau antasida untuk
mengurangi ketidaknyamanan pada perut. Minumlah dosis tunggal sehari atau dosis
alternative pada pagi hari sebelum jam 09.00 pagi. Minumlah dosis ganda dengan jeda
interval sepanjang hari. Laporkan apabila terjadi kenaikan berat badan yang tidak wajar,
kelelahan otot, muntah darah, pembengkakan wajah, pembengkakan anggota tubuh
bagian bawah, radang tenggorokan berkepanjangan, demam, flu, infeksi, cedera serius,
kelelahan, anoreksia, mual, muntah, diare, kehilangan berat badan, pusing, atau gula
darah rendah. Konsultasikan dengan dokter selama periode peningkatan stress. Jika
pasien menderita diabetes, pasien mungkin memerlukan peningkatan dosis insulin atau
hipoglikemik oral. Jangan menghentikan terapi tanpa persetujuan medis, beritahukan
petugas kesehatan bahwa anda mengonsumsi kortikosteroid. Hindari imunisasi dengan
vaksin hidup (Anderson et al, 2002).
PEG asparaginase
Asparaginase sering menimbulkan reaksi alergi yang dapat mengancam jiwa. Obat ini
juga mempengaruhi kadar glukosa darah dan dapat memperparah diabetes mellitus.
Pasien diharapkan melaporkan jika terjadi nyeri abdominal (nyeri perut) sesegera
mungkin karena hal ini dapat menjadi tanda terjadinya pancreatitis (Anderson et al,
2002).
Methotrexate
Sama seperti vinkristin, Methotrexate adalah obat antineoplastik berefek kuat, dan
beberapa efek samping bisa muncul selama penggunaannya. Pastikan pasien mengerti
manfaat dan resiko dari obat sebelum memulai terapi. Obat ini dapat menurunkan
kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, maka pasien diharapkan melaporkan tanda-
tanda infeksi seperti demam, menggigil, radang tenggorokan dengan segera. Juga
laporkan pendarahan tak normal, pemendekan nafas, atau rasa sakit atau panas saat
berkemih. Hindari pemakaian produk mengandung aspirin, dan hindari alkohol. Mual,
muntah dan kerontokan rambut kadang-kadang muncul selama pemakaian obat.
Keparahan efek samping ini tergantung pada individu, dosis, dan obat lain yang mungkin
diberikan bersamaan. Obat ini dapat menimbulkan infertilitas sementara atau terkadang
permanen pada pria dan wanita. Informasikan dengan segera pada dokter apabila muncul
gejala batuk kering, diare parah, atau luka (ulcer) pada mulut (Anderson et al, 2002).
3. Dalam terapi diberikan vincristine dan methotrexate IT secara bersama pada hari 1 dan 15.
Rejimen obat vincristine IV dan methotrexate IT dilaporkan efektif untuk leukemia dalam
membasmi sel-sel ganas diasingkan dalam barier darah otak (Woods, 2001). Hal yang perlu
diamati saat kedua obat tersebut diberikan bersama yaitu kedua obat ini memiliki interaksi
dimana vincistine dapat menurunkan eliminasi methotrexate dari CSF dan mengakibatkan
peningkatan toksisitas dari methotrexate. Selain itu juga disebutkan bahwa vincristine
berasosiasi dengan meningkatnya retensi selular dari methotrexate (yang dapat meningkat
sampai di jaringan sistem saraf pusat) (Anderson, 2002).
4. Tujuan jangka pendek dari pengobatan untuk leukemia akut adalah dengan cepat mencapai
remisi klinis dan hematologi lengkap. Remisi lengkap didefinisikan sebagai hilangnya semua
bukti sumsum tulang klinis dan (cellularity yang normal > 20% dengan < 5% blast)
leukemia, dengan restorasi hematopoiesis normal (neutrofil ≥ 1.500 / mm3 dan trombosit >
100.000 / mm3). Remisi parsial adalah pengobatan respon signifikan, meskipun bukti
penyakit sisa dalam sumsum tulang tetap (5% sampai 25% blast) dan dianggap sebagai
kegagalan pengobatan dan membutuhkan terapi tambahan. Setelah CR (complete remission)
tercapai, tujuannya adalah untuk menjaga pasien di CR terus menerus. Terjadinya
kekambuhan leukemia dalam sumsum tulang secara signifikan mengurangi kemungkinan
menyembuhkan penyakit. Kebanyakan pasien yang akan meninggal karena leukemia akut
dalam 6 tahun pertama, jika kurva survival (persentase hidup terhadap waktu) melampaui
tahun keenam setelah terapi tidak terus menurun, dan saat ini pasien dapat dianggap sembuh
(DiPiro, 2005).
BAB IV
KESIMPULAN
Dari makalah dengan kasus acute lyphocytic leukemia (ALL) dapat disimpulkan bahwa :
1. Mual muntah selama terapi disebabkan karena pengaruh efek samping obat yang dia terima
selama menjalani terapi. Untuk penambahan terapi antiemetik, dirasa tidak perlu karena pada
terapi yang diterima pasien telah diresepkan pula pemberian Dexamethasone.
2. Fungsi masing-masing obat yang diberikan yaitu : Filtered platelet dan Packed Red Blood
Cells digunakan untuk menambahkan jumlah platelet dan menambah jumlah sel darah merah,
Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,2% IV + 30 mEq NaHCO3/L pada 2000 mol/M2/hari bertujuan
untuk menjaga sekaligus menjadi tambahan cairan tubuh, Allopurinol adalah sebagai terapi
hiperurikemia sekunder, Vincristine, PEG Asparaginase , dan Methotrexate sebagai agen
kemoterapi yang dapat mematikan sel yang jumlahnya berlebih, Dexamethasone adalah
sebagai antiemetik,.
Konseling, Informasi dan Edukasi (KIE) yang diberikan pada pasien anatra lain:
a. Alopurinol 50 mg diminum 3 kali sehari atau setiap 8 jam. Setelah mengkonsumsi obat
ini hindari mengemudikan kendaraan, tidak dianjurkan meminum vitamin C dalam
jumlah banyak, hindari kafein dan alkohol , jangan makan garam iron, batasi asupan
makanan hati atau daging organ lain, salmon, dan sarden.
b. Dexamethasone 2 mg diminum saat pagi hari dan 1,5 mg diminum pada malam atau 12
jam setelah minum obat di pagi hari. Obat ini dapat diminum bersamaan dengan
makanan, susu, atau antasida untuk mengurangi ketidaknyamanan pada perut. Bila terjadi
peningkatan berat badan dan pem,bengkakan wajah segera hubungi dokter.
c. Pemakaian obat yang lainnya dapat menyebabkan rambut rontok, mual dan muntah.
Diharapkan pasien tidak khawatir dengan perubahan tersebut. Apabila terjadi demam
tinggi dan menggigil segera hubungi dokter.
3.Pemberian vincristine IV dan methotrexate IT secara bersamaan menunjukkan adanya interaksi
yang menyebabkan peningkatan toksisitas methotrexate.
4.Tujuan jangka pendek dari pengobatan untuk leukemia akut adalah dengan cepat mencapai
remisi klinis dan hematologi lengkap. Harapannya yaitu pasien dapat sembuh dan tidak
meluasnya penyebaran kanker.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Philip O, James E. Knoben, dan William G. Troutman. 2002. Handbook of Clinical Drug Data, Tenth Edition. New York : McGraw-Hill Medical Publishing Division.
Arlina, P., Evaria., dan R. Susantio. 2008. MIMS. Jakarta: PT. Info Master.
Baxter, K. 2008. Stockley’s Drug Interactions: A Source Book of Interactions, Their Mechanisms, Clinical Importance and Management Eighth Edition. London: Pharmaceutical Press.
DiPiro, J.T., R. L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B. G. Wells, and L. M. Posey. 2005. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Seventh Edition. New York: Mc Graw Hill Medical Publishing Division.
Ehrenpreis, Seymour dan E. D. Ehrenpreis. 2001. Clinician’s Handbook Of Prescription Drugs. New York : The McGraw-Hill Companies Inc.
Gerald, MC, O’Bannon. In. 1988. Nursing Pharmacology and Therapeutics 2nd ed. Englewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall Incorporated
Perwitasari, D. A. 2006. Kajian Penggunaan Antiemetika pada Pasien Kanker dengan Terapi Sitostatika di Rumah Sakit di Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia 17 (2), 91-97.
Sweetman, S.C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty Sixth Edition. London: Pharmaceutical Press.
Wagener, D. J. Th., et. al.1996. Onkologi. Yogyakarta : Panitia Kanker RSUP DR Sardjito.
Woods, K. 2001. The Prevention of Intrathecal Medication Errors: A report to the Chief Medical Officer. Departemen of Health.
Thay, T. H. dan K. Rahardjha. 2007. Obat-Obat Penting. Yakarta: PT. Elex Media Komputindo.