Madu dan
DarahMadura, engkaulah darahku. Pulau kecil yang dikelilingi lautan
itu merupakan mutiara yang terpendam. Madura kaya akan obyek
wisata berupa pemandangan alam yang menarik dan mengagumkan.
Selain itu Madura juga kaya akan kebudayaan dan kesenian yang unik.
Namun hanya sebagian orang saja yang mengatakan demikian.
Mendengar kata “Madura”, maka yang terbayang adalah sebuah
pulau yang gersang dan kering di ujung timur pulau Jawa. Terlintas
dibenak kita sebuah celurit, kerapan sapi, dan adat yang keras seperti
carok. Selain itu kata Madura juga akrab dengan makanan khasnya
yaitu sate dan soto. Begitulah, gambaran umum orang lain yang tidak
pernah mengunjungi pulau ini.
Kebudayaan Madura menghadapi tantangan dahsyat dewasa ini.
Tantangan paling utama adalah bagaimana menghapus anggapan-
anggapan buruk yang sudah terlanjur lengket dibenak orang tentang
masyarakat Madura yang identik dengan sikap keras. Padahal tidak ada
bukti konkret yang dapat menjelaskan secara gamblang bagaimana
sebenarnya watak orang Madura. Banyak hal yang mempengaruhi
pandangan orang tentang masyarakat Madura.
Pertama karena Madura terkenal dengan “Carok”. Carok dan
celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak dapat dipisahkan.
Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor
tebu ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun
untuk mengawasi para pekerja. Munculnya budaya carok di pulau
Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-
18 M. Karena provokasi Belanda itulah, golongan bawah seringkali
melakukan carok pada masa itu. Setelah pak Sakera tertangkap dan
dihukum gantung , orang- orang bawah mulai berani melakukan
perlawanan dengan senjata celurit. Carok sebenarnya berasal dari
kebiasaan yang disalah tafsirkan oleh orang-orang sebagai budaya
Madura. Carok dipicu oleh permasalahan yang bersangkutan dengan
“harga diri”, “masalah harta terutama tanah”, dan “istri”. Jika ada salah
satu dari ketiga hal ini dialami oleh orang Madura “kuno”, maka
meletuslah carok. Seperti pepatah orang Madura yang menyatakan “
Oreng lake’ mate acarok,oreng bine’ mate arembi’ “ yang berarti,
laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan.
Carok pada dasarnya berkelahi menggunakan senjata tradisional
Madura yaitu ”celurit”. Celurit ini merupakan senjata yang setia. Kedua
orang saling bersaing untuk saling melukai, dan pada saat ada yang
terluka maka selesailah carok tersebut. Mereka tidak melanjutkan
carok saat ada yang terluka. Namun sebagian besar orang yang terluka
karena carok akan mati.Bagi orang Madura, kehormatan adalah
masalah prinsip yang tidak dapat ditawar lagi. Harga diri atau martabat
adalah nilai yang sangat mendasar dalam masyarakat Madura. Bagi
mereka lebih baik mati daripada harus menanggung malu, maka
berlakulah ungkapan yang menyatakan “angoan potena tolang
etembeng potena mata”.
Selain itu, karena Madura merupakan daerah yang panas dengan
alam yang gersang dan kering sehingga menyebabkan orang-orang
Madura mempunyai type pekerja keras, sederhana, dan tidak menyia-
nyiakan kesempatan. Hal ini menyebabkan orang-orang Madura marah
ketika ada sumberdaya alam yang terbuang percuma dan mereka
sungguh sangat menyesal ketika tidak dapat memanfaatkan
kesempatan yang ada dengan baik.
Namun, pada saat ini carok sudah jarang dan bahkan sudah tidak
diketemukan lagi di Madura, sehingga sudah tidak benar apabila
masyarakat Madura masih diidentikkan atau terkenal dengan caroknya.
“ Saya tidak setuju, kalau masyarakat Madura ini dikenal sebagai
masyarakat yang keras oleh orang yang tinggal diluar Madura. Karena
tidak akan ada asap jika tidak ada api, artinya orang Madura tidak akan
menjadi keras bila tidak ada penyebabnya. Orang Madura juga akan
memperlakukan orang lain dengan baik asalkan mereka dapat
menghargainya. Dan saat ini carok sudah jarang diketemukan lagi,
hanya orang-orang yang berada di pedesaan yang tidak memiliki
pendidikan saja yang masih melakukan carok untuk mengakhiri
permasalahannya.” tutur seorang guru senior Budaya Madura di SMAN
1 Sumenep.
Kekerasan seakan-akan menjadi atribut yang melekat dalam jati
diri masyarakat Madura. Banyak orang mencitrakan masyarakat dan
kebudayaan Madura dengan sikap serba sangar, mudah menggunakan
senjata dalam penyelesaian masalahnya, pendendam dan tidak mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Namun, dibalik kesan
sikapnya yang keras, pulau Madura terkenal sangat menjunjung tinggi
kehormatan dan agama. Dalam hal penghormatan, orang Madura tidak
mau diremehkan maupun meremehkan orang. Sifat demikian dapat
diungkapkan dalam ungkapan “Madu dan Darah”, yang berarti bila
orang Madura diperlakukan secara baik, sopan dan penghormatan,
maka balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya, bila diperlakukan
secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka balasannya jauh lebih
berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
Bagi orang Madura, agama Islam seakan sudah menjadi bagian
tak terpisahkan dari jati dirinya. Dan hebatnya lagi, orang Madura
sangat terbuka dan menghargai perbedaan identitas keagamaan.
Perbedaan agama tidak menjadi penghalang bagi masyarakat Madura
untuk tetap menjalin kerja sama ataupun bersilaturrahmi dengan orang
lain. Hingga tidak pernah terjadi kerusuhan ataupun pertengkaran
antar agama di Madura. Seperti pembakaran tempat-tempat ibadah
atau yang lainnya.
Orang yang pernah tinggal di Pulau Madura ini akan lebih
menerima bila anggapan yang dimaksud keras menjurus dalam konteks
pekerja keras. Namun, ini bukan hanya rekayasa semata, ini merupakan
kenyataan yang sebenarnya bahwasannya orang Madura memiliki etos
kerja yang tinggi. Orang Madura memiliki semangat yang menggebu-
gebu pula dalam urusan bekerja. Hingga banyak masyarakat asli
Madura yang rela meninggalkan kota kelahirannya dan sanak family
hanya untuk menghidupi keluarganya. Itu juga merupakan bukti bahwa
orang Madura memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi pula. Tak
heran bila masyarakat Madura banyak kita temui di pulau-pulau besar
lainnya di Indonesia hingga di luar negeri sekalipun.
Orang Madura memiliki prinsip “Kar-karkar colpek ajem”.
Maksudnya, karakter seperti ayam yang mencakar-cakar rezeki sedikit
demi sedikit dan bila dikumpulkan akan menjadi banyak. Prinsip
tersebut memang dipegang teguh oleh masyarakat Madura sebagai
dorongan untuk tetap bekerja keras. Hingga ada kecenderungan orang
Madura sukses di perantauan, karena adanya desakan dari lingkungan
internal untuk selalu berhasil. Orang-orang Madura ditanah rantau
adalah saksi hidup dari semangat itu. Mereka berani melakukan
pekerjaan apapu demi kehidupannya.
Pada umumnya, masyarakat Madura di perantauan akan tetap
menjunjung tinggi kebudayaan yang dimilikinya. Seperti menggunakan
bahasa Madura dalam berkomunikasi dengan perantau-perantau lain
yang juga berasal dari Madura. Hingga bahasa Madura ini dapat
dikenal oleh masyarakat di seluruh Indonesia. Tak heran lagi bila saat
ini bahasa Madura berada diperingkat ke 3 diantara bahasa-bahasa
daerah lain yang ada di Indonesia. Jadi, untuk mengubah anggapan-
angapan buruk tentang Pulau ini, orang Madura harus mampu melawan
kebodohan dan ketertinggalan. Saya bangga menjadi orang Madura.
Madura engkaulah inspirasiku.
By: Aprilia Rasidah
XI IIA-1/02
Top Related