3
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO A
BLOK 9
DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5
Tutor : Drs. Djoko Marwoto, MS.
Akbar Rizky Wicaksana 04011381320003
Aulia Alvianti Akbar 04011181320003
Chyntia Tiara Putri 04011181320047
Elisabeth Gerda Sitompul 04011181320011
Esty Risa Mubarani 04011181320033
Nabilla Faradilla Aryadinata 04011181320085
Nilam Siti Rahmah 04011181320083
Nurul Rizki Syafarina 04011181320105
Nyayu Aisyah 04011181320099
Rani Juliantika 04011181320089
Rikka Wijaya 04011281320037
Risti Maulani Sindih 04011181320097
Sherly Wahyuni 04011181320091
Tri Kurniati 04011181320065
PENDIDIKAN DOKTER UMUM
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan tugas tutorial
skenario A blok 9 ini dapat terselesaikan dengan baik.
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan laporan tugas tutorial ini terutama Drs. Djoko Marwoto, MS. selaku tutor.
Laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
sangat bermanfaat untuk perbaikan di kemudian hari.
Palembang, 28 Mei 2014
Penyusun
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................. 2
DAFTAR ISI................................................................................................................................. 3
HASIL TUTORIAL DAN BELAJAR MANDIRI
I. Skenario A Blok 9.................................................................................................................... 4
II. Klarifikasi Istilah .................................................................................................................... 4
III. Identifikasi Masalah................................................................................................................ 5
IV. Analisis Masalah..................................................................................................................... 6
V. Keterkaitan antarmasalah ....................................................................................................... 24
VI. Learning Issues....................................................................................................................... 25
VII. Sintesis................................................................................................................................... 26
- Kerangka konsep..................................................................................................................... 26
- Anatomi – Histologi Nasofaring............................................................................................. 27
- EBV .............................................................................................................................… … 29
- Central Dogma........................................................................................................................ 36
- Nutrigenomik.......................................................................................................................... 46
- Karsinogenesis........................................................................................................................ 49
- Polimorfisme........................................................................................................................... 55
- Karsinoma Nasofaring............................................................................................................ 58
- Tumor...................................................................................................................................... 68
- PCR-RFLP.............................................................................................................................. 71
- Pemeriksaan Serologi............................................................................................................. 76
VIII. Kesimpulan…………………...…………………………………………...…………………..79
Daftar Pustaka.........................................................................................................................….. 80
3
I. SKENARIO A BLOK 9
Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda, mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya. Dia datang ke Rumah Sakit
dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri sejak 6 bulan yang lalu.Kemudian dokter
melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di sebelah kiri. Untuk menegakkan
diagnosis dokter melakukan pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), pemeriksaan serologi serta
PCR-RFLP. Hasil pemeriksaan PA mengesankan sebagai karsinoma nasofaring, sedangkan
pada pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap EBV. Hasil
pemeriksaan PCR-RFLP menunjukkan adanya polimorfisme.
II. KLARIFIKASI ISTILAH
No Istilah Arti
1 Tumor pembengkakan atau pembesaran abnormal yang merupakan salah
satu tanda utama peradangan
2 Patologi anatomi spesialisasi medis yang berurusan dengan diagnosis penyakit
berdasarkan pada pemeriksaan mikroskopik dan molekuler atas
organ, jaringan dan sel
3 Serologi ilmu yang mempelajari reaksi antigen antibodi secara in vitro
4 PCR-RFLP tekhnik yang mengeksploitasi variasi sequence DNA yang homolog,
sample DNA dipecah sampai menjadi bagian- bagian kecil dengan
enzim restriksi dan nantinya akan menghasilkan fragmen resktriksi
lalu dipisahkan berdasarkan panjangnya masing-masing dengan gel
elektroforesis
5 Karsinoma nasofaring pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial nasofaring
yang cenderung menginflitrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan
metastasis
6 Titer antibody pengukuran tentang berapa banyak antibody pada organisme yang
3
telah diproduksi dan mengenali epitop tertentu
7 EBV Epstein-Barr Virus yang merupakan virus dsDNA penyebab
karsinoma nasofaring
8 Polimorfisme ketika dua atau beberapa fenotip yang berbeda ada dalam populasi
suatu spesies
III. IDENTIFIKASI MASALAH
No Masalah Konsen
1 Dia datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri
sejak 6 bulan yang lalu.
VVVV
2 Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda, mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya
VVV
3 Kemudian dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di
sebelah kiri.
VV
4 Hasil pemeriksaan PA mengesankan sebagai karsinoma nasofaring, sedangkan
pada pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap
EBV.
-
5 Hasil pemeriksaan PCR-RFLP menunjukkan adanya polimorfisme. -
3
IV. ANALISIS MASALAH
1. Dia datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri sejak 6 bulan
yang lalu.
a. Bagaimana anatomi dan histologi bagian leher?
a. Rongga Hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di
sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam
vestibulum merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis
(cavum nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior,
media, inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi
oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus
untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel
sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan
epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang
bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar
Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan
silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya
vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang
masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih jauh.
b. Sinus dan Nasofaring
Sinus paranasalis adalah rongga bilateral di tulang frontal, maksila, ethmoid,
dan sfenoid tengkorak. Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel respiratorik yang lebih tipis
dengan sedikit sel goblet. Lamina proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan
menyatu dengan periosteum di bawahnya.
Di bagian posterior rongga hidung, nasofaring adalah bagian pertama faring,
yang berlanjut sebagai orofaring ke arah kaudal yaitu bagian posterior rongga mulut.
Nasofaring terletak diantara basis cranial dan pallatum mole,menghubungkan rongga
hidung dan orofaring. Rongga nasofaring menyerupai sebuah kubus yang tidak
beraturan,diameter atas-bawah dan kiri-kanan masing masing sekitar 3 cm, diameter depan
belakang 2-3 cm,dapat dibagi menjadi dinding anterior,superior,inferior dan 2 dinding
lateral yang simetri bilateral.Dinding supero-posterior.Dinding superior dan posterior
3
bersambung dan miring membentuk lengkungan,diantara kedua dinding tidak terdapat batas
anatomis yang jelas. Nasofaring dilapisi oleh epitel respiratorik dan memiliki tonsila
pharyngealis di media dan muara bilateral tuba auditorius untuk setiap telinga tengah.
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-
macam, yaitu epitel kolumner simpleks bersilia, epitel kolumner berlapis, epitel kolumner
berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada ahun 1954, Ackerman
dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah mulut
akan berubah menjadi epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum
molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali.
Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi
keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat lain
di nasofaring.Keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada: dinding atas nasofaring atau
basis kranii dantempat di mana terdapat adenoid, di bagian depan nasofaring yaitu terdapat
di pinggir koana dan dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rossenmulleri sampai
dinding faring dan palatum molle.
c. Laring
Laring adalah saluran kaku yang pendek (4cm x 4cm) untuk udara antara faring
dengan trakea. Dindingnya diperkuat oleh kartilago hialin dan kartilago elastis yang lebih
kecil (di epiglotis, cuneiformis, cornikulatum, dan cartilago arytenoid superior), yang
kesemuanya dihubungkan oleh ligamen.
d. Epiglotis
Yang terjulur dari tepian laring, meluas ke dalam faring dan memiliki permukaan
lingual dan laringeal. Seluruh permukaan lingual dan bagian apikal permukaan laringeal
ditutupi oleh epitel berlapis gepeng. Pada beberapa titik permukaan laringeal epiglotis ,
epitelnya beralih menjadi epitel bertingkat silindris bersilia.
e. Trakea
Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat kelenjar serosa pada
lamina propria dan tulang rawan hialin berbentuk C (tapal kuda), yang mana ujung
bebasnya berada di bagian posterior trakea. Cairan mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet
dan sel kelenjar membentuk lapisan yang memungkinkan pergerakan silia untuk
3
mendorong partikel asing. Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi untuk menjaga lumen
trakea tetap terbuka. Pada ujung terbuka (ujung bebas) tulang rawan hialin yang berbentuk
tapal kuda tersebut terdapat ligamentum fibroelastis dan berkas otot polos yang
memungkinkan pengaturan lumen dan mencegah distensi berlebihan.
f. Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid yang berada di regio servikal di sebelah anterior laring, terdiri
atas dua lobus yang disatukan oleh isthmus. Pada masa embrionik tiroid berkembang dari
endoderm saluran cerna di dekat dasar bakal lidah. Parenkim tiroid yang terdiri atas jutaan
struktur epitel bulat yang disebut folikel tiroid. Setiap folikel terdiri atas selapis epitel
dengan lumen sentral yang terisi dengan suatu substansi gelatinosa yang disebut koloid.
Kelenjar tiroid dilapisi dan dari kapsula ini, septa terjulur ke dalam parenkim,
dan membaginya menjadi lobulus dan membawa pembuluh darah, saraf dan pembuluh
limfe. Folikel terkemas rapat, yang terpisah satu sama lain hanya oleh sebaran jaringan ikat
retikular. Sel folikel memiliki bentuk yang bervariasi dari skuamosa hingga kolumnar
rendah.
3
Histologi Kelenjar Tiroid
g. Kelenjar Paratiroid
Terdiri atas empat massa oval kecil masing-masing berukuran 3x6 mm dengan
berat total sekitar 0,4 gram. Kelenjar paratiroid terletak di belakang kelenjar tiroid, satu
pada masing-masing kutub atas dan bawah dan umumnya terbenam dalam simpai
kelenjar yang besar. Setiap kelenjar paratiroid terdapat dalam simpai yang menjulurkan
septa ke dalam kelenjar, tempat septa tersebut berbaur dengan serat retikuler.
h. Kelenjar Getah Bening
Kelenjar getah bening adalah struktur berbentuk buncis dan bersimpai, yang
umumnya berdiameter 2-10mm dan tersebar di seluruh tubuh sepanjang pembuluh
limfe. Kelenjar getah bening ini ditemukan pada ketiak dan selangkangan, di sepanjang
pembuluh besar leher, dan banyak dijumpai dalam toraks dan abdomen, khususnya
dalam mesenterium. Organ berbentuk ginjal ini merupakan tempat masuknya pembuluh
limfe dan lekukan konkaf, yakni hilum, tempat masuknya saraf dan keluarnya vena dan
pembuluh limfe dari organ. Suatu simpai jaringan ikat mengelilingi kelenjar getah
bening, dan menjulurkan trabekula ke bagian dalam organ. Sel terbanyak di kelenjar
getah bening adalah limfosit, makrofag, dan APC lain, sel plasma, dan sel retikular, sel
dendritik folikular terdapat di dalam nodul limfoid. Berbagai susunan sel dan stroma
serabut retikular yang menyangga sel membentuk korteks, medula, dan parakorteks
yang menyusup.
3
b. Bagaimana patofisiologi benjolan di leher sebelah kiri pada kasus?
Benjolan di leher sebelah kiri adalah bentuk dari neoplasma ganas,
pertumbuhannya cepat dan tidak terkendali, mengakibatkan penyebaran sel tumor ganas
atau anak sebar (metastasis) yang mekanisme pembentukannya karena infeksi virus
Epstein-Barr yang dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan
dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma
nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein
tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi yang mempetahankan kelangsungan
hidup virus di dalam sel host yaitu di daerah nasofaring yang merupakan lapisan
transisional.
c. Mengapa benjolan terjadi di sebelah kiri, bukan di sebelah kanan?
Benjolan yang merupakan gejala akut dapat ditandai dengan kelenjar getah
bening pada leher membesar. Terdapat benjolan padat pada leher kiri dan atau kanan.
d. Bagaimana manifestasi dari benjolan di leher?
Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utamasulitnya
menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran kekelenjar getah
beningsangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub
mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus
limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu NodusRouvier. Di dalam kelenjar ini
sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehinggakelenjar menjadi besar dan tampak
sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya
sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus
kelenjar dan mengenai otot dibawahnya.Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit
digerakkan. Keadaan ini merupakan gejalayang lebih lanjut lagi.
e. Bagaimana penatalaksanaan benjolan tersebut ?
Penatalaksanaan nya dapat dilakukan dengan bantuan CT Scan leher unrtuk melihat
batas area tumor, MRI dapat dilakukan dan lebih detail dibanding CT Scan , foto leher
untuk melihat deviasi tulang servical akibat desakan tumor . penatalaksanaan nya berupa
eksisi total merupakan pembedahan dengan mengambil keseluruhan massa kista, tetapi bila
tumor besar dan telah menyusup ke organ penting seperti trakea, esofagus atau pembuluh
darah ekstirpasi total sulit dilakukan . maka penanganan dengan pengambilan sebanyak-
banyaknya kista, kemudian pasca bedah dilakukan infiltrasi bleomisin subkutan untuk
3
mencegah kambuhan . pembedahan sebaiknya dilakukan setelah periode neonatus karena
mortalitas akibat pembedahan pada periode neonatus cukup tinggi .
2. Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda, mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya.
a. Apa saja kandungan yang terdapat dalam terasi, ikan asin dan produk awetan?
Kandungan gizi yang terdapat pada terasi, ikan bakar, ikan asin di satu sisi baik
karena mengandung protein, lemak, vitamin & mineral, serta garam namun disisi lain
makanan itu semua beserta produk-produk awetan lainnya banyak mengandung
nitrosamine yaitu senyawa yang berbahaya yang bersifat karsinogenik.
b. Apa dampak mengkonsumsi makanan tersebut pada kasus ini?
Hubungan antara kandungan makanan yang diawetkan dengan Ca-nasopharinx
berkaitan dengan suatu senyawa yaitu nitrosamine, terbentuknya nitrosamine dapat
terjadi pada saat proses pengolahan makanan (seperti ketika diawetkan), protein dapat
berubah menjadi asam amino bebas yang selanjutnya menjadi senyawa amin. Selain
senyawa amin yang berasal dari asam amino, terdapat juga senyawa amin yang berasal
dari ikan asin, yaitu alkilamin. Reaksi antara nitrit dan alkilamin akan membentuk
nitrosamine yang bersifat karsinogenik paling kuat antara karsinogenik kimiawi. Factor
konsumsi makanan yang diawetkan, difermentasi, dan diasapi dapat meningkatkan
kandungan xenobiotik nitrosamine yang berkaitan erat dengan KNF.
c. Bagaimana pengaruh usia, jenis kelamin dan etnis terhadap gejala dan penyakit
yang diderita Tn. Aam?
Berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi, Tn. Aam Syaroni menderita
karsinoma nosofaring. Pengaruh usia, jenis kelamin, etnis dan kebiasaan mengonsumsi
makanan tertentu merupakan faktor resiko dari karsinoma nasofaring. Karsinoma
nasofaring dapat terjadi pada segala usia, namun umumnya menyerang usia 30-60 tahun
dan lebih sering terjadi pada laki-laki (8:1). Latar belakang etnis dan paparan kepada
(Epstein-Barr Virus) EBV bisa mempengaruhi faktor risiko perkembangan karsinoma
nasofaring. Faktor risiko yang termasuk ke dalam halayak yang berisiko ini adalah:
Orang Cina atau keturunan Asia, Paparan EBV telah berkaitan dengan karsinoma
tertentu, termasuk karsinoma nasofaring dan beberapa lymphoma, dan terlalu banyak
minum alkohol (National Cancer Institute, 2011). Pada kasus ini tn. Aam Syaroni orang
asli Sunda mempunyai kebiasaan mengkonsumsi terasi, ikan asin, dan produk aweta.
3
Tingginya kadar nitrosamin diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang ada
di dalam kandungan ikan asin memicu terjadinya karsinoma nasofaring.
Peningkatan insidensi KNF dilaporkan berkaitan erat dengan faktor makanan
seperti makanan yang diawetkan (ikan asin), difermentasi, dan diasapi. Makanan-
makanan tersebut dapat meningkatkan kandungan nitrosamin, dapat mengaktivasi
Epstein-Barr virus (EBV) dan menginduksi perkembangan KNF. Selain itu, konsumsi
minuman beralkohol juga dapat meningkatkan risiko terkena KNF. Nitrosamin juga
disebut sebagai zatkarsinogenik karena nitrosamin dapat merusak rantai DNA.
Nitrosamin tersebut dapat mengubah pasangan basa pada rantai DNA, karena
nitrosamin dapat mentransfer gugus metil atau etil kepada ikatan fosfat atau basa pada
rantai DNA. Biasanya pasangan basa yang sering mendapat gugus metil atau etil
tersebut adalah Guanin sehingga terbentuk senyawa nitrosoguanin.
Asal daerah juga mempengaruhi, karena jenis makanan khas yang dikonsumsi.
Misalnya daerah sunda terkenal dengan makanan-makanan yang diasap atau dibakar,
dan juga ikan asin. Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan
rasio 2-3:1 kenapa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi
umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada
daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya
umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun,
puncaknya pada umur 40-59 tahun danmenurun setelahnya. Semakin tinggi usia
seseorang, maka pertahanan tubuh akan semakin melemah sehingga lebih mudah
mengalami gangguan
d. Bagaimana pengaruh nutrisi terhadap ekspresi gen?
Saat ini sekitar 30.000 genom manusia telah dikodekan, dan bertanggung jawab
secara fungsional terhadap 100.000 peran protein dalam tubuh. Komponen bioaktif dari
suatu makanan dapat mempengaruhi genom manusia, dengan mengubah transkriptome
ataupun profil dari ekspresi gen. Sederhananya dapat diartikan bahwa semua zat-zat gizi
memiliki peran masing-masing dan mempengaruhi ekspresi dari gen. Oleh karena itu
ekspresi gen dari masing-masing orang akan berbeda karena kebutuhan akan zat-zat gizi
dari masing-masing orang juga bervariasi.
3
3. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di sebelah kiri.
a. Apa perbedaan benjolan tumor dan benjolan lainnya?
Benjolan tumor berbeda dengan benjolan lainnya. Benjolan tumor strukturnya
mudah terlihat, pertumbuhannya lambat dan bisa berhenti bahkan menciut, tidak
menginfiltrasi jaringan sekitarnya sehingga tidak menyebar serta tidak bermetastasis.
b. Bagaimana patofisiologi tumor ?
Mekanisme pada tumor
Tumor tidak hanya terjadi akibat aktifasi onkogen yang berlebihan tetapi dapat
juga akibat hilangnnya atau tidak aktifnya gen yang bekerja menghambat pertumbuhan
sel yang disebut Anti-onkogen. Padapertumbuhan dan dan diferensiasi normal.anti-
onkogen bekerja menghambat pertumbuhan danmerangsang diferensiasi sel. Beberapa
anti-onkogen ialah gen p53,Rb(retinoblastoma), AP (adenomatous polyposis coli),
WT(wiliam’s Tumor), DCC dan NF-2. Dari beberapa antionkogen tadi,yang sering
ditemukan mengalami mutasi adalah p53 dan Rb yang akanmengakibatkan pembelahan
sel secara neoplastik.
Mekanisme kerja Anti-Onkogen/Tumor Supresor Gen
selama fase pertama sel yaitu G1,ada proses yang perlu dilalui oleh sel,yang
disebut check point. Pada check point ini bertujuan untuk mengecek, apakah sel
diinginkan untuk membelah atau tidak.Tumor supresor gen, berfungsi sebagai check
point untuk mengatur pembelahan sel. Beberapa yang sering mengalami mutasi Rb dan
p53.
Mekanisme kerja Rb dan p53
sebelum sel memasuki siklus sel fase S, pada fase G1 akan diadakan check
point.Pada siklus yang normal,Rb akan berikatan dengan faktor transkripsi yang disebut
E2F. faktor transkripsi ini berfungsi dalam mengaktifkan ekspresi gen dan member
sinyal bahwa pembelahan sel boleh dilanjutkan. jika E2F diikat oleh Rb,maka proses
siklus sel selanjutnya belum bisa dilakukan. Untuk melepaskan ikatan ini,diperlukan
CDKs yang telah diaktifkan oleh cycline, dan membuat Rbdifosforilisasi. fosforilisasi
Rb menyebabkan ikatan E2F dan Rb putus. dengan putusnya ikatan Rb dengan E2F,
maka E2F akan mengaktifkan ekspresi gen dan memberi sinyal agar siklus pembelahan
sel dilanjutkan. jika terjadi mutasi pada Rb, maka tidak ada yang mengikat E2F,
sehingga ekspresi gendan sinyal pembelahan sel akan diteruskan kepada S, yang akan
membawa ke pembelahan selneoplastik. selain Rb, tumor supresor gen yang bekerja
3
pada check point adalah p53.p53 ini bekerja untuk mengecek apakah terjadi kerusakan
DNA atau tidak.jika terdeteksi adanya kerusakanDNA,maka ada 2 hal yang
diperintahkan oleh p53,yaitu mengaktifkan DNA repair gen danpenghentian siklus sel
pada G1 sampai kerusakannya dapat diperbaiki.mekanisme penghentian siklus sel,yaitu
dengan mengaktifkan p21.p21 ini berfungsi untuk mencegah aktifasi CDKs oleh
cycline,sehingga CDKs tidak bisa memfosforilisasi Rb.Akibatnya E2F tetap terikat
dengan E2F. Jika terjadi mutasi pada p53. maka,kerusakan DNA tidak akan dapat
dideteksi,yang pada akhirnya akanmembawa kepada pertumbuhan sel neoplastik
- unsur penyebab onkogen : radiasi, senyawa kimia dan virus
- gejala-gejala pada tumor : munculnya benjolan yang bertambah dan membesar di
bagian tubuh
tertentu
- terjadinya penebalan jaringan
- pendarahan atau keluarnya zat cair dari tubuh
- nyeri haid yang rutin dan berkepanjangan pada wanita
- sakit atau luka berkepanjangan yang tidak sembuh-sembuh
- penurunan berat badan secara cepat
Dampaknya apabila tumor tidak di atasi dengan penanganan secara cepat, dan
jika dibiarkan akan terjadinya tumor ganas atau kanker sehingga mengalami kerusakan
jaringan-jaringan di tubuh dan dapat menyebabkan kematian
c. Apa hubungan gaya hidup dengan tumor pada kasus ?
Gaya hidup dapat berpengaruh tehadap tumor, salah satu nya pada tn.aam
syaroni kebiasaan makan makanan asin serta memakan makanan yang diawetkan dalam
musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine kebiasaan memasak
dengan bahan atau bumbu masak tertentu, selain dari faktor makanan dapat terjadi pada
faktor lingkungan seperti iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu. Selain iu
juga debu kayu, serta asap dupa (kemenyan) bisa merupakan faktor lingkungan,
tembakau, perokok berat dan hygiene mulut yang buruk telah dituduh sebagai faktor
penyebab .
3
4. Hasil pemeriksaan PA mengesankan sebagai karsinoma nasofaring, sedangkan pada
pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap EBV.
a. Bagaimana proses replikasi sel sehingga menyebabkan karsinoma? Kesalahannya
dimana?
Dalam kasus Tn. Aam Syaroni ketika RNA virus berhasil menginsersi DNA sel
normal, maka gen-gen laten yang ada pada virus seperti BCL2, LMP1 dan LMP2 akan
menyebabkan inaktivasi p53 dan antiapoptosis, yang berujung pada penurunan produksi
protein penghambat pembelahan sel. Selain itu ketika sel telah menjadi abnormal, maka
terkadang sel itu tidak membutuhkan faktor pertumbuhan agar bisa mengaktifkan
protein kinase melainkan sel itu seolah-olah bisa menghasilkan faktor pertumbuhan
sendiri sehingga sel yang telah terinfeksi (abnormal) menjadi immortal dan mampu
bereplikasi terus-menerus hingga akhirnya berkembang menjadi karsinoma.
b. Bagaimana anatomi dan histologi nasofaring?
Di bagian posterior rongga hidung, nasofaring adalah bagian pertama faring,
yang berlanjut sebagai orofaring ke arah kaudal yaitu bagian posterior rongga mulut.
Nasofaring terletak diantara basis cranial dan pallatum mole,menghubungkan rongga
hidung dan orofaring. Rongga nasofaring menyerupai sebuah kubus yang tidak
beraturan,diameter atas-bawah dan kiri-kanan masing masing sekitar 3 cm, diameter
depan belakang 2-3 cm,dapat dibagi menjadi dinding anterior,superior,inferior dan 2
dinding lateral yang simetri bilateral.Dinding supero-posterior.Dinding superior dan
posterior bersambung dan miring membentuk lengkungan,diantara kedua dinding tidak
terdapat batas anatomis yang jelas. Nasofaring dilapisi oleh epitel respiratorik dan
memiliki tonsila pharyngealis di media dan muara bilateral tuba auditorius untuk setiap
telinga tengah.
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-macam,
yaitu epitel kolumner simpleks bersilia, epitel kolumner berlapis, epitel kolumner
berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada ahun 1954, Ackerman
dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah mulut
akan berubah menjadi epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum
molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali.
Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi
keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat
lain di nasofaring.Keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada: dinding atas nasofaring
atau basis kranii dantempat di mana terdapat adenoid, di bagian depan nasofaring yaitu
3
terdapat di pinggir koana dan dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rossenmulleri
sampai dinding faring dan palatum molle.
c. Bagaimana patofisiologi karsinoma nasofaring?
Sudah hampir dipastikan karsinoma nasofaring disebabkan oleh virus Epstein-
Barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada
penderita karsinoma nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan
protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda
adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah
protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut
mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat
karsinogen yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak
terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal
inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama
pada fossa Rossenmuller.
Infeksi EBV terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam
limfosit B. Mula-mula, glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan
protein CD21 (reseptor virus) di permukaan limfosit B. Masuknya EBV ke dalam DNA
limfosit B menyebabkan limfosit B menjadi imortal. Namun, mekanisme masuknya
EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun
demikian, terdapat dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam
sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeris Imunoglobin Receptor).
Sel yang terinfeksi oleh EBV dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu
• Sel yang terinfeksi EBV akan mati dan virus akan bereplikasi.
• EBV yang menginfeksi sel akan mati sehingga sel menjadi normal kembali.
• Terjadi reaksi antara sel dan virus yang mengakibatkan transformasi/perubahan
sifat sel menjadi ganas sehingga terbentutlah sel kanker.
3
d. Bagaimana penatalaksaan karsinoma nasofaring?
Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu
pencegahan dan pengobatan.
1) Pencegahan
Karena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang
dilakukan hanya berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan timbulnya
karsinoma nasofaring tersebut. Usaha tersebut adalah penggunaan vaksin virus Epstein-
Barr, mengurangi dan menghindari bahan-bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi
timbulnya karsinoma nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.
2) Pengobatan
Dalam pengobatan kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau operasi,
penggunaan obat-obatan sitostatika dan hormon, radioterapi dan imunoterapi.
a. Pembedahan
Pembedahan dapat dilakukan dengan cara pembedahan transpalatal (Diefenbach,
Welson) maupun transmaksiler paranasal (Moure Ferguson), tetapi terapi bedah ini tidak
berkembang, dan hasilnya menjadi kurang efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan
pada tumor metastase dengan membuang kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk
membuang kelenjar limfe permukaan tetapi sulit untu membuang kelenjar di daerah
retrofaring dan parafaring.
b. Radioterapi
Radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya. Radioterapi
dikenal 2 macam, yaitu teleterapi dan brakiterapi. Teleterapi bila sumber sinar jauh dari
tumor dan di luar tubuh penderita. Sedangkan brakiterapi, sumber sinar dekat dengan
tumor dan dipasang dalam tubuh penderita. Teknik penyinaran dengan teleterapi
diberikan bila ada perluasan tumor ke depan yaitu daerah hidung dan sekitarnya serta
belum ada metastase ke kelenjar limfe leher.
c. Obat-obatan Sitostatika
Dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal
umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan sebagai
sitostatika tunggal adalah methotrexat, metomycine C, Endoxan, Bleocyne,
Fluorouracyne, dan Cisplastin. Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan
radiasi dan diberikan pada permulaan seri pemberian radiasi. Obat bisa juga diberikan
sebelum dan sesudah penyinaran sebagai sandwich terapy.
3
Obat kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta
penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak kombinasi obat ganda yang
dipakai antara lain kombinasi: BCMF (Adriamycin, Cyclophosphamide, Methotrexat
dan Fluoroacil), ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA
(Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin).
d. Imunoterapi
Dalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak dilakukan di klinik
onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan research dan trial. Untuk
karsinoma nasofaring telah dilakukan penelitian antara lain dengan menggunakan
interferon dan Poly ICLC.
e. Obat Antivirus
Acyclovir dapat menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat menghambat
pertumbuhan virus termasuk juga Virus Epstein Barr. Obat antivirus ini penting pada
karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan EBV carrying tumor dengan DNA
EBV positif .
e. Bagaimana metode pengukuran titer antibodi terhadap EBV?
1. Haemagglutination Inhibition (HI) test
Secara bahasa haemagglutination inhibition dapat diartikan sebagai hambatan
haemaglutinasi. Zat haemaglutinin yang terdapat dalam tubuh virus atau bakteri
tersebut bersifat antigenik yang dapat merangsang terbentuknya antibodi spesifik.
Antibodi yang terbentuk tersebut memiliki kemampuan mengambat terjadinya
aglutinasi darah yang disebabkan oleh haemaglutinin dari virus atau bakteri. Prinsip
kerja dari HI test ialah mereaksikan antigen dan serum dengan pengenceran tertentu
sehingga dapat diketahui sampai pengenceran berapa antibodi yang terkandung
dalam serum dapat menghambat terjadinya aglutinasi eritrosit. HI test merupakan
metode uji serologis yang mudah dilakukan dan hasilnya dapat diketahui dengan
cepat.
2. Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA sebagai salah satu metode uji serologis mempunyai satu kelebihan yaitu
mampu mendeteksi beberapa jenis antibodi dari 1 sampel serum (tergantung dari kit
ELISA yang digunakan). ELISA juga memiliki tingkat spesifikasi (yaitu
kemampuan mendeteksi ayam yang tidak terinfeksi atau ayam yang tidak terinfeksi
dinyatakan negatif) yang tinggi.
3
3. Agar Gel Precipitation (AGP)
Metode uji serologis ini termasuk metode yang sederhana untuk mendeteksi
antibodi terhadap berbagai virus berdasarkan reaksi positif (+) atau negatif (-).
Namun AGP akan mendeteksi semua strain virus tanpa memperhatikan serotipenya.
4. Rapid Plate Aglutination (RPA)
Cara metode uji ini juga sangat mudah, hanya dengan mencampur satu tetes
serum dengan satu tetes antigen kemudian dikocok selama 2 menit. Jika terjadi
aglutinasi (penggumpalan) maka reaksi dinyatakan positif dan sebaliknya jika tidak
terjadi aglutinasi hasil uji serologis dinyatakan negatif. Oleh karena itu, metode uji
serologis ini hanya menunjukkan ada tidaknya titer antibodi, namun tidak bisa
menentukan tinggi rendahnya (nilai) dari antibody.
5. Serum Neutralisation (SN) test Serum neutralisation
(SN) test merupakan metode uji serologis yang paling mahal diantara ke-4
metode uji sebelumnya. Metode uji ini membutuhkan peralatan yang mahal. Selain
itu, dalam metode ini diperlukan telur spesific pathogenic free (SPF) untuk persiapan
kultur jaringan atau kultur organ. Metode uji ini paling tepat digunakan untuk
mendeteksi antibodi terhadap serotipe yang berbeda dari virus yang diuji. Titer
antibodi yang dapat diuji dengan SN test antara lain IB dan FAV.
f. Apa pengaruh EBV terhadap ekspresi gen sehingga menyebabkan karsinoma
nasofaring?
Virus Ebstein Barr masuk ke dalam tubuh manusia kemudian bereplikasi dalam
sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus ini terjadi pada dua
tempat yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai menginfeksi
dengan cara berikatan dengan komplemen C3d (CD21 atau CR2).
LMP-1 terekspresi dalam fase laten maupun litik dari sel-B yang terinfeksi.
LMP-1 diperlukan untuk transformasi sel-B yang terinfeksi EBV. LMP-1 berfungsi
sebagai onkogen. Pada percobaan tikus transgenik yang mengekspresikan LMP-1 dalam
sel-B berkembang menjadi limfoma sel-B. Tikus transgenik yang mengekspresikan
LMP-1 di kulit berkembang menjadi hiperplasi epitel dengan meningkatnya ekspresi
dari keratin. LMP-1 merupakan analog fungsional dari CD40 yang merupakan anggota
reseptor TNF (tumor necrosisfactor). LMP-1 memiliki efek antiapoptotik pada sel.
3
g. Apa faktor resiko yang menyebabkan karsinoma nasofaring?
Beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain virus Epstein Barr, ikan
asin, kurang konsumsi buah dan sayuran segar, tembakau, asap lain, alkohol, obat
herbal, paparan pekerjaan, paparan lain, familial clustering, Human Leukocyte Antigen
Genes, dan variasi genetik lain.
a) Virus Epstein Barr
EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring. Sebagian besar infeksi EBV
tidak menimbulkan gejala. EBV menginfeksi dan menetap secara laten . Transmisi utama
melalui saliva, Limfosit B adalah target
b) Ikan asin
Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan risiko karsinoma
nasofaring adalah konsumsi ikan asin. Tingginya konsumsi nitrosamin dan nitrit dari
daging, ikan dan sayuran yang berpengawet selama masa kecil meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring.
c) Buah dan Sayuran Segar
Konsumsi buah dan sayuran segar karoten terutama pada saat anak-anak, menurunkan risiko
karsinoma nasofaring. Efek protektif ini berhubungan dengan efek antioksidan dan
pencegahan pembentukan nitrosamin.
d) Tembakau
Rokok mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk nitrosamin yang
meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring.
e) Alkohol
Konsumsi alkohol tidak berhubungan dengan peningkatan risiko karsinoma nasofaring.
f) Obat Herbal
Di Filipina, penggunaan obat herbal tradisional meningkatkan risiko karsinoma nasofaring,
terutama pada orang yang mempunyai titer antibodi anti-HBV tinggi.
g) Pajanan Pekerjaan
3
Stimulasi dan infl amasi jalan nafas kronik, berkurangnya pembersihan mukosiliar, dan
perubahan sel epitel mengikuti tertumpuknya debu kayu di nasofaring memicu karsinoma
nasofaring, paparan ke pelarut dan pengawet kayu, seperti klorofenol juga memicu
karsinoma nasofaring. Paparan debu katun yang hebat meningkatkan risiko karsinoma
nasofaring karena iritasi dan infl amasi nasofaring langsung atau melalui endotoksin bakteri.
h) Pajanan Lain
Riwayat infeksi kronik telinga, hidung, tenggorok dan saluran napas bawah meningkatkan
risiko karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Bakteri yang menginfeksi saluran nafas
dapat mengurai nitrat menjadi nitrit, kemudian dapat membentuk bahan N-nitroso yang
karsinogenik.
i) Familial Clustering
Kerabat pertama, kedua, ketiga pasien karsinoma nasofaring lebih berisiko terkena
karsinoma nasofaring. Kasus familial biasanya pada tipe II dan III, sedangkan tipe I non
familial.
j) Human Leukocyte Antigen Genes
Di Cina Selatan dan populasi Asia lain, Human Leukocyte Antigen-A2-B46 dan B-17
berhubungan dengan peningkatan dua sampai tiga kali lipat risiko karsinoma nasofaring.
Sebaliknya Human Leukocyte Antigen-A11 menurunkan 30%-50% risiko terkena karsinoma
nasofaring pada ras Kulit Putih dan Cina, B13 pada ras Cina, dan A2 pada ras Kulit Putih.
Sebuah meta analisis pada populasi di Cina Selatan menunjukkan peningkatan karsinoma
nasofaring pada HLAA2, B14 dan B46, dan penurunan karsinoma nasofaring pada HLA-
A11, B13 dan B22.
k) Variasi Genetik Lain
Polimorfi di sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) dan CYP2A6 dan ketiadaan Glutation S-
transferase M1 (GSTM1) dan atau GSTT1 berhubungan dengan peningkatan risiko dua
sampai lima kali lipat terkena karsinoma nasofaring. Di Thailand dan Cina, polimorfi pada
polymeric immunoglobulin receptor (PIGR), sebuah reseptor permukaan sel memudahkan
masuknya EBV masuk ke epitel hidung dan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.
3
h. Bagaimana cara EBV dapat menginvasi tubuh?
melalui hubungan langsung antara sel pada membrane bagian apical yang dengan
limfosit yang sudah terinfeksi virus
melalui membrane basolateral, yang dimediasi oleh adanya interaksi antara integrin
β1 atau α5B1 dengan EBV
melalui penyebaran virus secara langung melalui membrane lateral yang terjadi
setelah pertama kali terinfeksi EBV
5. Hasil pemeriksaan PCR-RFLP menunjukkan adanya polimorfisme.
a. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan PCR-RFLP untuk mengetahui adanya
polimorfisme?
Pada prinsipnya, RFLP merupakan semua mutasi yang menghilangkan atau
menciptakan sekuen rekognisi baru bagi enzim restriksi. Penyisipan
(inersi),penghilangan (delesi), maupun subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah
rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkan tidak lagi dikenalinya situs pemotongan
enzim restriksi dan terjadinya perbedaan pola pemotogan DNA. Teknik ini
dimanfaatkan untuk deteksi polimorfisme. Secara umum teknik ini menggunakan enzim
restriksi untuk mengetahui adanya polimorfisme (RFLP), dan produk hasil digesti
tersebut diamplifikasi dengan PCR (RFLP-PCR).
b. Bagaimana mekanisme terjadinya polimorfisme?
Polimorfisme suatu gen pada genom manusia disebabkan adanya mutasi pada
basanukleotida tunggal atau single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada gen tersebut.
SNPs merupakan varian genetic yang paling banyak dijumpai pada individu dalam suatu
spesies. Alel adalah suatu bentuk alternative sekuen DNA tertentu yang berbeda dengan
sekuenwild type (normal) pada suatu lokus gen dalam suatu kromosom. Apabila alel
tersebut ditemukan lebih dari 1% kromosom dalam suatu populasi maka keadaan ini
disebut sebagai polimorfisme genetic. Alel varian yang berlokasi pada ekson dapat
menghasilkan varian protein yang berbeda sehingga mungkin akan menghasilkan
perubahan fenotip yang nyata
c. Bagaimana hubungan polimorfisme dengan karsinoma?
Polimorfisme merupakan variasi urutan genetic yang terdapat dalam suatu
individu.polimorfisme pada gen CYP2E1 yang terlibat dalam kemampuan meninaktivasi
nitrosamine yang akan menyebabkan nitrosamine karsinogenikmtidak mampu diubah
3
menjadi produk non toksik sehingga dapat menyebabkan kerusakan DNA yang
berasosiasi dengan timbulnya kanker khususnya Karsinoma nasofaring.
d. Apakah ada hubungan antara etnis dengan polimorfisme yang terbaca dengan
metode PCR-RFLP pada kasus?
Ada 2 referensi yang digunakan, yang pertama penelitian yang membahas
tentang hubungan polimorfisme gen PIGR dengan insiden KNF pada populasi
Indonesia, sedangkan yang kedua penelitian tentang kaitan polimorfisme gen yang
mengkode reseptor B sel T (TCRB) dengan kasus KNF pada populasi Indonesia. Kedua
penelitian ini menyepakati bahwa angka prevalensi insiden KNF yang tinggi dapat
dijumpai di Cina, Afrika Utara, dan Asia Tenggara (termasuk Thailand, Malaysia, dan
Indonesia). Selain itu, telah diketahui pula bahwa berdasarkan sejarah, nenek moyang
bangsa Indonesia berasal dari ras Mongoloid yang bermigrasi dari Cina Selatan sehingga
dapat ditemukan sebuah korelasi positif mengenai penjelasan mengapa Indonesia
menjadi salah satu daerah endemik KNF.
Hasil penelitian pertama menyimpulkan bahwa pada populasi Indonesia gen
PIGR tidak berkontribusi pada patogenesis KNF baik pada orang Cina maupun orang
Indonesia asli. Orang Cina di Indonesia telah bertukar gen timbal balik secara bebas
dengan orang Indonesia asli selama beberapa generasi, sehingga memiliki karakter
genetik berbeda dengan orang Cina di Thailand. Hal ini akan berimplikasi pada
suseptibilitasnya terhadap KNF, dimana orang Cina Thailand lebih rentan terkena KNF
dan lebih suseptibel terhadap infeksi EBV dari pada orang Thailand asli.
Hasil penelitian kedua menyimpulkan bahwa etnis Cina di Indonesia punya
peluang yang sama dengan orang Indonesia pribumi karena tidak hambatan transmisi
gen antara kedua kelompok tersebut pada beberapa generasi. Prevalensi alel A pada
TCRB cenderung meningkat pada kasus KNF sehinga dianggap berpotensi menjadi
faktor predisposisi pada patologi KNF.
Selain itu, kedua penelitian menyepakati bahwa etnis Sunda menempati
peringkat teratas dalam insiden KNF. Dipercayai bahwa etnis Sunda yang gemar makan
ikan asin, sambal terasi, dan produk awetan misalnya ikan asap yang mengandung zat
nitrosamin (suatu karsinogen) dapat menjadi faktor pembantu terjadinya peningkatan
prevalensi KNF pada populasi tersebut. Polimorfisme pada suatu gen mungkin bukan
penyebab utama terjadinya peningkatan kasus KNF namun tidak menutup kemungkinan
bahwa kecenderungan terjadinya kasus KNF dapat dipicu oleh adanya alel A pada gen
TCRB.
Tn. Aam ,42 tahun, Sunda
Terbiasa makan terasi, ikan asin, dan produk awetan
Infeksi EBV
karsinogen
Sel kanker
Karsinoma Nasofaring
Benjolan di leher kiri
3
V. KETERKAITAN ANTAR MASALAH
3
VI. LEARNING ISSUES
Pokok
Bahasan
What I
know
What I don’t know What I have to
prove
How I will
learn
Anatomi dan
Histologi
Nasofaring
Definisi Struktur Kaitan pada
kasus
- Journal
- Text book
- Pakar
- Internet
EBV Definisi Karakteristik, akibat,
mekanisme invasi
Kaitan pada
kasus
Central Dogma Definisi Karakteristik,
mekanisme, fungsi
Kaitan pada
kasus
Nutrigenomik Definisi Mekanisme, akibat,
jenis
Kaitan pada
kasus
Karsinogenesis Definisi Mekanisme, akibat Kaitan pada
kasus
Polimorfisme Definisi Mekanisme, akibat Kaitan pada
kasus
Karsinoma
Nasofaring
Definisi Patofisiologi, akibat,
gejala, faktor resiko
Kaitan pada
kasus
Tumor Definisi Patofisiologi, akibat,
gejala, faktor resiko
Kaitan pada
kasus
PCR-RFLP Definisi Mekanisme, fungsi Kaitan pada
kasus
Pemeriksaan
Serologi
Definisi Mekanisme, fungsi,
jenis
Kaitan pada
kasus
3
VII. SINTESIS
KERANGKA KONSEP
Tn. Aam Syaroni
Faktor genetik (Sunda)
Faktor lingkungan
Terbiasa makan terasi, ikan asin
dan produk awetan
Terinfeksi EBVPolymorphism
gen TCR βInsersi RNA virus ke
DNA sel normal
Gen laten diekspresiPerubahan kodon
Perubahan produksi
asam amino
EBNA1 LMP1 dan LMP2
Pertahanan EBV ↑ Produksi
BCl2 (antiapopt
osis) ↑
Inaktivasi p53
Produksi protein
penghambat pembelahan
sel
Polymorphism gen CYP2E1
Potensi onkogenik
Poor metabolizer
Nitrosamin dalam tubuh
Virus capsid antigen dan
early antigen dalam serum
Titer antibodi ↑
Sel abnormal immortal bereplikasi
terus
Kanker
3
Learning Issues
Anatomi dan Histologi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang terletak di
belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat, sehingga dahulu disebut “rongga buntu
atau rongga tersembunyi”. Batas-batas rongga nasofaring, di sebelah depan adalah koana (nares
posterior). Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah belakang adalah
jaringan mukosa di depan vertebra servikal. Sebelah bawah adalah ismus faring dan palatum
mole, dan batas lainnya adalah dua sisi lateral.
Gambar 2.1 Anatomi Hidung dan Nasofaring Tampak Samping
Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring Tampak Belakang
3
Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah:
1. Adenoid atau Tonsila Lushka
Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada orang dewasa
struktur ini telah mengalami regresi.
2. Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring
Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma nasofaring
atau angiofibroma nasofaring.
3. Torus Tubarius
Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii (ostium tuba)
4. Fosa Rosenmulleri
Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus tubarius. Lekuk kecil
ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang disebut sulkus salfingo-faring. Fossa
Rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid
menjadi epitel pipih. Tempat pergantian ini dianggap merupakan predileksi terjadinya
keganasan nasofaring.
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-macam, yaitu
epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel kolumnar berlapis bersilia,
dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada tahun 1954, Ackerman dan Del Regato
berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah mulut akan berubah mejadi
epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum molle, batasnya akan tajam dan
jelas sekali. Yang terpenting di sini adalah pendapat umum bahwa asal tumor ganas nasofaring
itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-celah epitel yang masuk ke jaringan limfe di
bawahnya.
Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi
keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat lain di
nasofaring. Moch. Zaman mengemukakan bahwa keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada:
1. Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid.
2. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana.
3. Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring dan
palatum molle.
EBV
3
EBV merupakan virus dsDNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk dalam
famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma
Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan KNF. KNF tidak berdiferensiasi atau WHO tipe III
100% terkait dengan EBV.Hal ini didukung oleh temuan bahwa reseptor EBV terdapat pada sel
epitel di faring, dan bahwa virus mampu menginfeksi sel epitel nasofaring in vivo. KNFadalah
penyakit yang konsisten dengan infeksi EBV sehingga eksistensi DNA-EBV di dalam cairan
tubuh dapat dipakai sebagai penanda status patologi KNF dan/atau progresivitas tumor.
Terdapat dua fase infeksi EBV yaitu litik dan laten. EBV menginfeksi sel epitel di
orofaring dan rest sel limfosit B. Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase litik menghasilkan
replikasi virus dan pelepasan virion dari sel. Sebaliknya infeksi primer sel B biasanya
menghasilkan infeksi laten dengan ekspresi 8 protein tanpa produksi virion. Latensi dari sel B
terinfeksi ini dinamakan sel limfoblastoid yang bertransformasi atau immortal dan bereplikasi
tanpa batas.
Ebstein Barr Virus (EBV) adalah virus Penyebab Kanker Nasofaring
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus dsDNA yang memiliki capsid ichosahedral
termasuk dalam family Herpesviridae, merupakan salah satu penyebab karsinoma nasofaring.
Virus Epstein-Barr virus (EBV).yang paling sering dikaitkan dengan perkembangan KNF. EBV
merupakan virus utama yang menyebabkan infeksi mononucleosis, dan terutama ditemukan
dalam sel tumor nasofaring tapi tidak meliputi seluruh limfositnya. Kehadiran EBV pada KNF
dibuktikan dengan adanya serum antibodi terhadap Virus Caspid Antigen (VCA) dan Early
Antigen (EA), dimana peningkatan titer antibodi tersebut biasanya hanya terjadi pada KNF dan
tidak pada kanker lainnya serta pada individu normal.
Patogenesis Ebstein Barr Virus (EBV)
Virus Ebstein Barr masuk ke dalam tubuh manusia kemudian bereplikasi dalam sel-sel
epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus ini terjadi pada dua tempat yaitu sel
epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai menginfeksi dengan cara berikatan dengan
komplemen C3d (CD21 atau CR2). Mekanisme masuknya EBV dan terjanya infeksi
kemungkinan dengan cara: 1) melaui hubungan langsung antara sel pada membrane bagian
apical yang dengan limfosit yang sudah terifeksi virus, 2) melalui membrane basolateral, yang
dimediasi oleh adanya interaksi antara integrin β1 atau α5B1 dengan EBV, 3) melalui
penyebaran virus secara langung melalui membrane lateral yang terjadi setelah pertama kali
3
terinfeksi EBV (Tugizov at all cit Hariwiyanto). Infeksi virus pada limfosit B dimungkinkan
karena adanya ikatan antara reseptor membrane glikoprotein gp350/220 pada kapsul EBV
dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B sebagai targetnya. Setelah mengikat reseptor
CD21 pada limfisit B, EBV dalam waktu 1-2 jam akan masuk ke sitoplasma sel penjamu
kemudian terjadi fusi TR (Terminal Repeat), yang menyebabkan epitop berbentuk sirkuler,
partikel-partikel EBV akan terurai dan genom-genom EBV akan masuk ke dalam nucleus, yang
merupakan bentuk EBV infeksi laten, yang ditandai dengan proses aktivasi dan proliferasi sel
yang disebut sebagai pengabadian EBV pada sel limfosit B. Proses ini melibatkan interaksi
beberapa kompleks glikoprotein virus termasuk gH dan gL yang merupakan homolog dari
molekul gp42 dengan MHC kelas II pada limfosit B.
Pada kondisi normal infeksi EBV dapat terkontrol dan masuk ke fase latent, dimana hanya
sedikit sel B yang terinfeksi. Fase litik dapat terjadi baik di epitel rongga mulut maupun di sel B
yang terletak berdekatan dengan epitel rongga mulut sehingga menyebabkan EBV yang
infeksious banyak terdapat di rongga mulut sehingga dapat menular pada orang lain. Pada
keganasan yang berhubungan dengan EBV, genom EBV genom EBV muncul pada setiap sel
tumor dalam bentuk episom yang latent ( latent episomal) dan genom tersebut akan
mengadakan replikasi selama pembelaha sel. Ekspresi DNA pada EBV yang berbentuk latent
episomal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam mendeteksi funsi virus pada
perkembangan KNF.
Langkah awal infeksi litik EBV ditandai dengan aktivitas protein ZEBRA yang disandi oleh gen
BZLF1 yang terdapat pada sel epitel dan limfosit B. Beberapa produk yang berbeda-beda dari
gen yang mempuyai korelasi dengan tahapan siklus replikasi litik dapat diidentifikasi dan
dikategorikan menjadi: Early Membrane Antigen (EMA), Early Intra- Celulair Atigen (EA),
Viral capcid Antigen (VCA),Late Membrane Antigen (LMA). Pada infeksi latent terjadi
ekspresi dari beberapa protein antara lain: Epstein Barr Nucleus Antigen 2 & 5 (EBNA 2 & 5)
yang dapat diteksi 2-5 jam setelah infeksi, Latent Membrane Protein 1 & 2 (LMP 1&2) yang
dapat diteksi 5-7 jam setelah infeksi.
Infeksi laten yang bersifat diam dan tidak memproduksi partikel-partikel virus yang baru,
dikaitkan salah satunya dengan KNF. Bentuk laten infeksi EBV pada KNF termasuk tipe II
dengan karakteristik terekspresinya protein LMP disamping protein EBER dan EBNA1.
Mekanisme pasti bagaimana EBV dapat menginduksi terjadinya kanker masih belum bisa
3
dipastikan. Akan tetapi penelitian selanjutnya tentang ekspresi dari gen Latent Membrane
Protein (LMP) menunjukkan bisa mengubah sel epitel nasofaring in vitro, dan diperkirakan
bahwa LMP pada sel yang terinfeksi EBV memproteksi sel tersebut dari program kematian sel
atau apoptosis. Sedangkan pada penelitian lainnya ditemukan juga gen LMP ini terdapat pada
65% penderita KNF .
KNF dibagi berdasarkan stadium-stadium yang telah ditetapkan oleh The American Joint
Commission on Cancer (AJCC). Stadium tersebut nantinya dipakai sebagai diagnostik dan
terapi serta prognostik suatu penderita KNF.
Gejala awal KNF tidak khas bahkan lebih banyak mirip dengan gejala rhinitis ataupun sinusitis.
Keluhan penderita baru tampak jelas saat tumor sudah membesar dan sudah berada pada
stadium lanjut, ini disebabkan sulitnya pemeriksaan nasofaring karena letak anatomisnya yang
berada didaerah cekungan yng sulit untuk dijangkau.
Adapun gejala-gejala yang biasa dikeluhkan oleh penderita KNF antara lain adanya benjolan
dileher(76%), gangguan di hidung (73%), gangguan telinga (62%), sakit kepala (35%),
penglihatan ganda (11%), rasa kebas diwajah (8%), penurunan berat badan (7%) dan trismus
(3%). Biasanya tanda klinis yang didapatkan pada penderita KNF saat diagnosa ditegakkan
adalah pembesaran kelenjar getah bening leher (75%) dan kelainan saraf cranial (20%).
Diagnosa pasti suatu KNF diambil melalui biopsi nasofaring yang didukung oleh visualisasi
melalui endoskopi atau pencitraan dengan potongan melintang.
Terapi saat ini terhadap KNF masih berupa radioterapi dan kemoterapi. Sedangkan pembedahan
hanya sedikit berperan didalam penatalaksanaan KNF, dimana hanya terbatas pada diseksi leher
radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastase leher setelah radioterapi dan
pada pasien tertentu pembedahan penyelamatan dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring.
Infeksi Laten
3
Infeksi primer sel B biasanya menghasilkan infeksi laten dengan ekspresi 8 protein tanpa
produksi virion. Pada infeksi laten, hanya sedikit dari hampir 100 gen EBV yang diekspresikan.
Gen-gen laten tersebut yakni 6 EBNA, 2 LMP, 2 Eber, dan transkrip dari BamHI A region dari
genom. Hanya EBNA-1 dan LMP1 yang juga terekspresi pada fase litik. Penelitian selanjutnya
menunjukan bahwa 5 dari gen-gen di atas penting untuk transformasi sel B.
Contoh Protein fase laten infeksi EBV
Protein Dibutuhkan Untuk
Transformasi
Fungsi
EBNA-
1
Ya Maintenance episomal, Upregulasi gen virus
EBNA-
2
Ya Upregulasi gen virus dan seluler
EBNA-
3
A,C ya, B tidak Menghambat aktivitas EBNA-2, upregulasi
gen seluler
EBNA-
LP
Mungkin Augmentasi aktivitas EBNA-2
LMP1 Ya Signaling CD40, c-jun terminase kinase,
upregulasi multiple gen seluler, onkogen
LMP2 Tidak Mencegah reaktivasi EBV dari latensi
Singkatan : EBNA (Epstein–Barr nuclear antigen); EBNA-LP, (Epstein–Barr nuclear antigen leader protein);
LMP, (latent membrane protein).
EBNA-1
EBNA-1 diekspresikan selama infeksi laten dan litik dan selalu terlibat dalam semua infeksi
EBV terkait keganasan. EBNA-1 sangat penting untuk transformasi sel-B oleh infeksi EBV.
EBNA-1 berisi glisin-alanin repeat region yang berperan sebagai cis yang menghambat
degradasi protein jalur ubiquitin-proteosomal. Jalur ini penting dalam proses pembelahan
protein menjadi peptida kecil untuk mempresentasikan molekul MHC (major histocompatibility
complex)kelas I pada T-sel sitotoksik. Kemampuan EBNA-1 untuk menghambat degradasi
inilah yang menjadi dasar pemikiran kemungkinkan sel mengekspresikan protein untuk
menghindari perusakan oleh T-sel sitotoksik terbatas kelas I. Transfer glisin-alanin yang
terulang untuk protein lain memungkinkan protein lain menghindari degradasi di proteosom.
3
EBNA2
EBNA-2 diperlukan untuk transformai sel B oleh EBV. EBNA-2 berperan sebagai upregulator
ekspresi protein virus dan seluler. EBNA-2 juga merangsang ekspresi LMP1 dan LMP2.
EBNA-2 meregulasi ekspresi CD21 (cluster of differentiaton), CD23, c-FGR, dan c-myc. CD21
adalah reseptor dan CD23 akan diekspresikan pada permukaan sel B yang telah bertransformasi
karena EBV. Bentuk terlarut dari CD23 berperan sebagai faktor pertumbuhan pada sel yang
terinfeksi EBV dan CD23 akan berperan sebagai stimulator autokrin pertumbuhan sel, c-FGR
yang merupakan tirosin kinase penting untuk pertumbuhan sel B dandisregulasi c-myc
berhubungan dengan proliferasi sel B yang tidak terkendali.
EBNA-3A,3B,3C
Ada 3 jenis protein EBNA-3 : EBNA-3A, EBNA-3B, dan EBNA-3C yang hadir bersama-sama
dalam genus virus. Protein EBNA-3 meng-upregulasikan ekspresi gen seluler dan virus. EBNA-
3C meningkatkan ekspresi CD21 dan LMP- 1, dan EBNA-3B meregulasi ekspresi CD40 dan
bcl-2( B-cell lymphoma 2)
LMP-1
LMP-1 terekspresi dalam fase laten maupun litik dari sel-B yang terinfeksi. LMP-1 diperlukan
untuk transformasi sel-B yang terinfeksi EBV. LMP-1 berfungsi sebagai onkogen. Pada
percobaan tikus transgenik yang mengekspresikan LMP-1 dalam sel-B berkembang menjadi
limfoma sel-B. Tikus transgenik yang mengekspresikan LMP-1 di kulit berkembang menjadi
hiperplasi epitel dengan meningkatnya ekspresi dari keratin. LMP-1 merupakan analog
fungsional dari CD40 yang merupakan anggota reseptor TNF (tumor necrosisfactor). LMP-1
memiliki efek antiapoptotik pada sel.
LMP-2A, 2B
3
Fungsi LMP-2 yaitu untuk mencegah reaktivasi EBV dari fase laten sel B yang terinfeksi.
Ekspresi LMP-2 pada sel B dari seekor tikus transgenik memberikan kemungkinan bagi sel
untuk hidup dalam keadaan absennya sinyal receptor sel B yang normal. Ekspresi LMP-2 di sel
epitel menyebabkan transformasi sel tersebut
Infeksi Litik
EBV mengkodekan sekitar 90 protein yang diekspresikan selama replikasi pada fase litik.
Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase litik menghasilkan replikasi virus dan pelepasan
virion dari sel Seperti virus herpes lain protein ini diklasifikasikan menjadi immediate-early,
early, dan late proteins. Immediate- early protein, yang ditranskripsikan segera paska infeksi
dengan adanya penghambat sintesis protein. Early protein diekspresikan dengan adanya
penghambat sintesis DNA virus, sedangkan late protein tidak ditranskripsikan. Secara umum
gen Immediate-early penting untuk mengatur ekspresi gen dalam virus, Early protein
mengkodekan enzim yang penting untuk replikasi DNA virus, dan late protein mengkodekan
protein structural dari virion.
Contoh Protein Fase Litik pada Infeksi EBV
Protein Kelas
Ekspresi
Fungsi
BZLF1 IE Transkripsional aktivator
BRLF1 IE Transkripsional aktivator
BALF5 E DNA polymerase
BXLF1 E Thymidine kinase
BCLF1 L Viral capsid antigen
gp350 L Glikoprotein mayor virus
gp85 L Fusi virus ke limfosit B
gp42 L Terikat pada molekul MHC kelas II limfosit B
Diagnosa penyakit
Diagnosis tidak hanya berdasarkan gejala-gejala yang dialami, namun juga dengan
pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan darah memperkuat diagnosis bila ditemukan antibodi
3
terhadap virus EB. Tubuh juga biasanya menghasilkan limfosit B baru untuk menggantikan
limfosit yang terinfeksi dengan bentuk limfosit yang khas.
Pengobatan
Belum ada vaksin virus EB yang tersedia.
Acylovir dapat diberikan selama masa pengobatan, namun hanya mengurangi jumlah
pelepasan virus EB dari orofaring, tidak mempengaruhi pengekalan sel-sel B oleh virus EB,
tidak berefek pada gejala mononucleosis, dan tidak terbukti menguntungkan dalam
penatalaksanaan limfosa yang disebabkan oleh virus EB.
Untuk demam dan nyeri, diberikan asetaminofen atau aspirin. Tetapi pemakaian aspirin
dihindari untuk pasien anak-anak. Kebanyakan penderita akan sembuh sempuran. Lamanya
penyakit bervariasi. Fase akut berlangsung 2 minggu. Tetapi kelemahan bisa menetap sampai
beberapa minggu, bahkan lebih. Penyakit akibat virus EB ini bisa sampai pada kematian, bila
telah terjadi komplikasi, seperti peradangan, pecahnya limfa atau penyumbatansaluran
pernafasan.
Central Dogma
3
Yang dimaksud disini adalah Dogma central semua informasi yang terkandung dalam
DNA, kemudian akan digunakan untuk menghasilkan molekul RNA melalui transkripsi, dan
beberapa informasi pada RNA tersebut akan digunakan untuk menghasilkan protein melalui
proses yang disebut translasi.
Berikut adalah mekanisme prosesnya:
Sebenarnya dalam proses dogma central, ada beberapa referensi yang mencakup replikasi
DNA, dan ada yang tidak. Karena ada yang mengartikan dogma central adalah proses ekspresi
gen dari DNA –> RNA –> protein. Ada pula yang menyebutkan sebelum ekspresi gen
berlangsung, DNA harus dilipat gandakan dulu.
■Replikasi
Proses replikasi DNA adalah proses pengandaan DNA dimana proses ini diperlukan dalam
pembelahan sel. Sebelum proses ekspresi gen, biasanya DNA dilipatgandakan menjadi lebih
banyak. Proses replikasi DNA pada dasarnya adalah 1 double stranded DNA dicopy menjadi 2
buah, dari 2 buah akan dicopy menjadi 4 buah. Jadi berawal dari denaturasi DNA yang akan
membuka pilinan dari double stranded menjadi single stranded. Kemudian dengan bantuan
sebuah enzim yang disebut DNA polimerase, DNA akan terikat DNA polimerase kemudian
copy DNA terjadi. Melalui prinsip replikasi DNA ini lah PCR (Polymerase Chain Reaction)
dilakukan.
Replikasi DNA semi-konservatif
Replikasi DNA bersifat semi-koservatif, artinya satu molekul DNA untai ganda
bereplikasi untuk menghasilkan dua molekul DNA baru yang identik. Masing-masing molekul
DNA baru itu terdiri dari satu rantai DNA lama dan satu rantai DNA baru (Gambar 4.2). Pada
replikasi DNA, mula-mula kedua untai DNA terpisah, kemudian masing-masing untai berfungsi
sebagai templat untuk sintesis untai DNA yang baru, sehingga proses replikasi menghasilkan
dua molekul DNA baru, masing-masing memiliki satu rantai lama dan satu rantai baru.
3
Di dalam rantai DNA, titik awal dimulainya replikasi DNA disebut sebagai ori (‘origin
of replication”). Pada bakteri Escherichia coli, replikasi dimulai dari oriC, suatu urutan DNA
spesifik yang terikat pada membran sel bakteri. Replikasi DNA berlangsung ke dua arah.
Helikase merupakan enzim yang memisahkan kedua untai DNA pada proses replikasi DNA in
vitro. Dalam molekul DNA rantai panjang, replikasi terjadi pada potongan-potongan rantai
pendek dan kedua rantai DNA induk terpisah hanya pada titik awal replikasi membentuk
molekul seperti huruf Y yang biasa disebut ’fork’ replikasi. Rantai DNA baru tumbuh dalam
arah 5’→3’ dengan penambahan molekul deoksiribonukleotida pada gugus 3’-OH. Reaksi ini
dikatalisis oleh enzim DNA polimerase. Karena kedua rantai DNA adalah antiparalel, rantai
yang berperan sebagai templat dibaca dari ujung 3’ kearah 5’. Jika sintesis selalu berlangsung
dengan arah 5’→3’ bagaimana kedua rantai bisa disintesis secara serentak? Jika kedua rantai
disintesis secara kontinu selama fork replikasi bergerak, salah satu rantai akan mengalami
sintesis dengan arah 3’→5’. Masalah ini dijelaskan oleh Reiji Okazaki pada tahun 1960.
Okazaki menemukan bahwa satu rantai DNA baru disintesis dalam bentuk potongan-potongan
pendek yang disebut ”fragmen Okazaki”. Jadi satu rantai DNA baru disintesis secara kontinu,
dan rantai lain secara diskontinu. Rantai yang disintesis secara kontinu atau ’leading strand’
adalah rantai yang sintesis 5’→3’nya berlangsung dengan arah yang sama dengan pergerakan
fork replikasi, sedang rantai diskontinu atau ’lagging strand’ adalah rantai yang sintesis 5’→3’-
nya berlangsung berlawanan dengan arah pergerakan fork replikasi (Gambar 4.3). Panjang
fragmen Okazaki berkisar antara ratusan sampai ribuan nukleotida, tergantung pada tipe sel.
Fragmen Okazaki kemudian disambungkan oleh enzim DNA ligase.
■Transkripsi
Ini merupakan tahap awal dalam proses sintesis protein yang pada akhirnya proses ini akan
mengekspresi sifat-sifat genetik yang muncul sebagai fenotip. Dan untuk mempelajari biologi
molekuler tahap dasar yang perlu kita ketahui adalah bagaimana mekanisme sintesis protein
dapat dinyatakan sebagai sehingge fenotipe.
3
Transkripsi adalah sintesis molekul RNA dalam template DNA.Proses ini terjadi dalam inti
sel (nukleus) tepatnya pada kromosom.
Komponen yang terlibat dalam proses transkripsi yaitu: DNA template yang terdiri dari basa
nukleotida Adenin (A), Guanin (G), Timin (T), Sitosin (S); enzim polimerase RNA, faktor
transkripsi, prekursor (bahan yang ditambahkan sebagai diinduksi) .
Hasil dari proses sintesis tiga jenis RNA, yaitu mRNA messeger RNA), tRNA (transfer RNA),
rRNA (RNA ribosomal).
Sebelum itu saya akan menjelaskan terlebih dahulu bagian utama dari gen. Gen terdiri atas:
promoter, bagian struktural (terdiri dari gen yang mengkode sifat yang akan diekspresikan), dan
terminator.
Sedangkan struktur RNA polimerase terdiri atas: beta, beta-prime, alpha, sigma. Pada struktur
beta dan beta-prime bertindak sebagai katalisator dalam transkripsi. struktur Sigma untuk
polimerase RNA holoenzim berlangsung hanya menempel promotor.Bagian yang disebut enzim
inti terdiri dari alfa, beta, dan beta-prime.
Tahapan dalam proses transkripsi pada dasarnya terdiri dari 3 tahap:
1. Inisiasi
Transkripsi tidak dimulai di mana saja pada DNA, tapi di hulu (upstream) dari gen
promotor. Salah satu bagian terpenting dari promoter adalah kotak Pribnow (TATA
box). Inisiasi dimulai ketika holoenzim RNA polimerase menempel pada promotor. Tahapan
dimulai dari pembentukan kompleks promoter tertutup, pembentukan kompleks promoter
terbuka, penggabungan beberapa nukleotida awal, dan perubahan konformasi RNA polimerase
karena struktur sigma holoenzim kompleks dihapus.
2. Elongasi
Proses selanjutnya adalah perpanjangan. Berikut ini adalah pemanjangan nukleotida
perpanjangan. Setelah promotor RNA polimerase melekat pada enzim tersebut akan terus
bergerak sepanjang molekul DNA, mengurai dan meluruskan heliks tersebut. Dalam
pemanjangan, nukleotida ditambahkan secara kovalen pada ujung 3 ‘molekul RNA yang baru
dibentuk. Misalnya, DNA template nukleotida A, maka nukleotida RNA yang ditambahkan
adalah U, dan seterusnya. Pemanjangan maksimum tingkat molekul transkrip RNA berrkisar
antara 30-60 nukleotida per detik. Pemanjangan kecepatan tidak konstan.
3. Terminasi
Penghentian juga tidak terjadi di sembarang tempat. Transkripsi berakhir ketika sebuah
nukleotida spesifik melihat kodon STOP.Selain itu, terlepas dari template DNA RNA ribosom.
Ekspresi informasi genetik normalnya melibatkan produksi molekul RNA yang
ditranskripsi dari templat DNA. Rantai DNA dan RNA mungkin kelihatan sama, perbedaan
3
hanya terletak pada posisi 2’ pentosa dan penggantian Tymin menjadi Urasil. RNA merupakan
satu-satunya makromulekul yang berfungsi untuk menyimpan, mentransmisikan informasi
genetik, dan sebagai katalis. Penemuan katalis RNA atau ribozim telah merubah defenisi dari
enzim. Proses sintesis molekul RNA menggunakan DNA sebagai templat disebut transkripsi.
Molekul RNA yang disintesis mempunyai urutan basa yang kompelemen dengan salah satu
rantai DNA. Proses transkripsi menghasilkan tiga jenis molekul RNA, yaitu: mRNA, tRNA dan
rRNA. Messenger RNA (mRNA) merupakan blue print yang mengkode urutan asam amino dari
satu atau lebih polipeptida yang terdapat dalam satu gen atau sekumpulan gen. Transfer RNA
(tRNA) berfungsi membaca informasi yang dikode oleh mRNA dan mentransfer asam amino
tertentu ke rantai polipeptida yang sedang tumbuh selama proses sintesis protein. Molekul
ribosomal RNA (rRNA) merupakan komponen ribosom, yang berfungsi sebagai cetakan tempat
sintesis protein terjadi.
Selama proses replikasi keseluruhan kromosom di-copy, namun transkripsi bersifat
lebih selektif. Hanya gen tertentu atau sekumpulan gen tertentu yang ditranskripsi pada suatu
waktu tertentu, dan beberapa bagian DNA genom tidak pernah ditranskripsi. Sel membatasi
ekspresi informasi genetik untuk membentuk produk gen yang dibutuhkan pada waktu tertentu.
Terdapat urutan regulator spesifik yaitu promotor pada awal gen dan terminator pada akhir gen,
yang menandakan bagian DNA mana yang akan digunakan sebagai templat. Promotor
merupakan urutan pada awal gen yang dikenali oleh RNA polimerase untuk memulai
transkripsi, dan terminator merupakan urutan yang memberikan sinyal penghentian transkripsi.
Rantai DNA yang berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis RNA disebut rantai templat.
Rantai DNA yang komplemen dengan tempat disebut rantai non-templat atau rantai pengkode.
Rantai pengkode atau coding strand identik dengan rantai RNA yang ditranskripsi, kecuali basa
T diganti dengan basa U.
3
■Translasi
Tahap selanjutnya setelah transkripsi adalah terjemahan.Penerjemahan adalah suatu proses
penerjemahan urutan nukleotida molekul mRNA yang ada dalam rangkaian asam amino yang
menyusun suatu polipeptida atau protein.
Apa yang dibutuhkan dalam proses penerjemahan adalah: mRNA, ribosom, tRNA, dan asam
amino.
Sebelumnya, saya pertama akan menjelaskan tentang struktur ribosom. Ribosom terdiri atas
subunit besar dan kecil. Ketika dua subunit digabungkan untuk membentuk sebuah
monosom. subunit kecil berisi peptidil (P), dan Aminoasil (A). Sedangkan subunit besar
mengandung Exit (E), P, dan A. Kedua subunit mengandung satu atau lebih molekul
rRNA. rRNA sangat penting untuk mengidentifikasi bakteri pada tingkat biologi molekuler,
pada prokariotik dan eukariotik 16 S 18 S.
Seperti transkripsi, terjemahan ini juga dibagi menjadi tiga tahap:
1. Inisiasi
Pertama tRNA mengikat asam amino, dan ini menyebabkan acara diaktifkan atau tRNA disebut
asilasi-amino. Amino-asilasi proses dikatalisis oleh enzim tRNA sintetase. Kemudian ribosom
mengalami pemisahan menjadi subunit besar dan kecil.Selanjutnya molekul mRNA subunit
kecil menempel pada tongkat dengan kodon awal: 5 ‘- AGGAGG – 3′. Situs order dimana
subunit kecil disebut urutan Shine-Dalgarno. Subunit kecil dapat menempel pada mRNA bila
IF-3. IF-3/mRNA-fMet IF-2/tRNA-fMet pembentukan kompleks dan asam amino yang disebut
N-formylmethionine dan memerlukan banyak GTP sebagai sumber energi. tRNA-fMet, melekat
pada kodon pembuka P subunit kecil.Selanjutnya, subunit besar menempel pada subunit
kecil. Dalam proses ini IF-1 dan IF-2 dilepas dan GTP dihidrolisis terhadap GDP, dan siap
untuk perpanjangan.
2. Elongasi
3
Perbedaan dalam proses transkripsi, terjemahan dari asam amino diperpanjang. Langkah-
langkah yang diambil dalam proses perpanjangan, yang pertama adalah pengikatan tRNA ke
sisi A pada ribosom. Transportasi akan membentuk ikatan peptida.
3. Terminasi
Terjemahan akan berakhir pada satu waktu dari tiga kodon terminasi (UAA, UGA, UAG) yang
berada dalam posisi A pada mRNA mencapai ribosom. Pada E. coli ketiga sinyal penghentian
proses translasi diakui oleh protein yang disebut faktor rilis (RF).Anil RF pada kodon terminasi
mengaktifkan enzim transferase peptidil yang menghidrolisis ikatan antara polipeptida dng
tRNA pada P dan menyebabkan tRNA kosong translokasi ke sisi memiliki E (exit).
Itulah mekanisme transkripsi dan proses penerjemahan. Proses selanjutnya adalah protein
tersebut akan diekspresikan oleh tubuh kita dalam bentuk fenotipe
Mekanisme Terbentuknya Sel Kanker
Istilah kanker berasal dari bahasa latin yang artinya adalah kepiting. Penyakit keganasan,
kanker, diibaratkan seperti capit-capit lengan kepiting oleh seorang Hippocrates, yang
mengamati bahwa penyakit kanker dapat menyebar didalam tubuh dan biasanya berakhir pada
kematian. Apakah sel kanker itu? Secara umum sel kanker didefinisikan sebagai sel yang tidak
normal, yang tumbuh serta berkembang biak secara cepat dan tidak terkendali. Sel kanker tidak
perduli dengan keterbatasan zat makanan, ruang dan fakta kalau mereka harus berbagi dengan
sel-sel normal yang ada disekitarnya. Lebih jauh dari itu, mereka mengabaikan perintah untuk
berhenti berbiak oleh tubuh yang bersangkutan. Sel tubuh yang normal juga tumbuh, membelah
diri dan pada saat tertentu mereka akan mati. Akan tetapi pada sel kanker, mereka terus tumbuh,
memperbanyak diri dan berusaha menghindari kematiannya (apoptosis), lebih buruknya lagi
kecepatan pertumbuhan sel kanker jauh melebihi sel-sel yang normal.
Kanker atau Neoplasma ganas terbentuk atau berasal dari sel normal yang mengalami
displasia (kelainan pertumbuhan). Neoplasma itu sendiri terbagi menjadi dua yaitu:
Neoplasma jinak (benigna)
Yaitu neoplasma yang hanya terjadi di daerah lokal semata. Proliferasi sel cenderung
kohesif, perluasan terjadi secara sentrifugal dengan batas yang nyata. Neoplasma jinak tidak
menyebar ke tempat yang jauh dan pertumbuhannya lamban, ukurannya kurang lebih tetap pada
ukuran yang stabil selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Ciri-ciri :
3
1. batas tegas
2. berkapsul
3. pertumbuhan lambat
4. tidak menimbulkan kematian
Neoplasma ganas (maligna)
Neoplasma ini tumbuh secara cepat dan sangat progresif jika tidak dibuang. Pola
penyebarannya menjadi tidak teratur. Neoplasma ganas tidak memiliki kapsul sehingga sulit
dipisahkan dari sekitarnya. Sel-sel ini menyerang daerah sekitarnya dengan masuk ke daerah
sekitarnya bukan mendesak. Sel-sel neoplasma ganas ini mampu memisahkan diri dari sel induk
dan memasuki sirkulasi untuk menyebar ke daerah lain. Jika sel ini menyangkut suatu jaringan
atau organ mampu menembus pembuluh darah dan membentuk tumor sekunder (proliferasi
baru).
Ciri-ciri :
1. batas tidak tegas
2. tidak berkapsul
3. pertumbuhan cepat
4. metastase
5. menimbulkan kematian
Mekanisme pembentukan neoplasma atau tumor ganas disebut dengan Karsinogenesis.
Karsinogenesis merupakan suatu proses multi-tahap. Sebagian besar karsinogen sebenarnya
tidak reaktif (prokarsinogen atau karsinogen proximate), namun di dalam tubuh diubah menjadi
karsinogen awal (primary) atau menjadi karsinogen akhir (ultimate). SitokromP450 suatu
mono-oksidase dependen retikulum endoplasmik sering mengubah karsinogen proximate
menjadi intermediate defisien elektron yang reaktif (electrophils). Intermediate (zat perantara)
yang reaktif ini dapat berinteraksi dengan pusat-pusat di DNA yang kaya elektron (nucleophilic)
untuk menimbulkan mutasi. Interaksi antara karsinogen akhir dengan DNA semacam ini dalam
suatu sel diduga merupakan tahap awal terjadinya karsinogenesis kimiawi. DNA sel dapat pulih
kembali bila mekanisme perbaikannya normal, namun bila tidak sel yang mengalami perubahan
dapat tumbuh menjadi tumor yang akhirnya nampak secara klinis. Ko-karsinogen (promoter)
sendiri bukan karsinogen. Promoter berperan mempermudah pertumbuhan dan perkembangan
sel tumor dormant atau latent. Waktu yang diperlukan untuk terjadinya tumor dari fase awal
tergantung pada adanya promoter tersebut dan untuk kebanyakan tumor pada manusia periode
laten berkisar dari 15 sampai 45 tahun.
3
Proses transformasi sel normal menjadi sel ganas melalui displasi terjadi melalui mekanisme
yang sangat rumit, tetapi secara umum mekanisme karninogenesis ini terjadi melalui tiga tahap
yaitu:
Inisiasi
Adalah proses yang melibatkan mutasi genetik yang menjadi permanen dalam DNA sel. Dipicu
oleh insiator (bahan yg mampu menyebabkan mutasi gen) à initiated cells. Sel-sel masih mirip
dengan sel normal.
Promosi
Merupakan suatu tahap ketika sel mutan berproliferasi. Diakibatkan karena klon yang tidak
stabil dan mengalami inisiasi, dipaksa untuk berproliferasi dan menjalani mutasi tambahan
sehingga akhirnya berkembang menjadi tumaor ganas (neoplasma). Initiated cells dipicu oleh
promotor (terus menerus/berulang) à transformed cells. Perubahan informasi genetik, sintesis
DNA, replikasi meningkat à lesi insitu. Hormon sering menjadi promotor yang merangsang
pertumbuhan sel ganas.Misalnya Esterogen dapat merangsang pertumbuhan kanker pada
payudara dan ovarium.
Progresi
Sutau tahap ketika klon sel mutan mendapatkan satu atau lebih karakteristik neoplasma ganas
seiring berkembangnya tumor, sel menjadi lebih heterogen akibat mutasi tambahan terhadap
gen.
Perubahan Protoonkogen menjadi onkogen à onkoprotein
Perubahan fenotip: klinik terdpt benjolan (tumor). Contohnya Perubahan karyotip kromosom.
Beberapa subklon ini dapat memperlihatkan perilaku ganas yang lebih agresif atau lebih mampu
untuk menghindari seranganoleh sistem imun. Selama stadium ini, massa tumor yang meluas
mendapat lebih banyak perubahan yang memungkinkan tumor menginvasi jaringan yang
berdekatan, membentuk pasokan darahnya sendiri(angigenesis), atau masuk melalui pembuluh
darah dan bermigrasi ke bagian tubuh lainnya yang letaknya berjauhan untuk membentuk tumor
sekunder
Pertanyaannya adalah, bagaimana sel kanker ini dapat tumbuh dan berjalan lebih cepat dari
sel normal, yang pada akhirnya mereka akan mencari pembuluh- darah atau -lymph untuk
selanjutnya menyebar ke organ tertentu didalam tubuh (metastasis). Ada tiga tipe gen yang
bertanggung jawab atas proses seperti yang tersebut diatas, yaitu: gen-gen yang jahat
(oncogenes), gen-gen yang baik (tumor suppressor genes) dan gen-gen yang berfungsi
memperbaiki gen lain yang rusak (mismatch-repair genes).
3
Terbentuknya sel kanker dan kemampuannya untuk ‘berjalan’, metastasis, adalah suatu
proses yang sangat kompleks, yang melibatkan benyak gen didalamnya. Pada perjalanannya,
satu sel kanker harus melepaskan diri dari kelompoknya (primary tumor) untuk mengadakan
invasi kedaerah sekitarnya, berusaha menembus pembuluh lymph atau secara langsung mencari
pembuluh darah, berjuang melawan proses pertahanan tubuh (hos immune defense), berhenti
diorgan tujuannya dan memulai berkembang biak di lingkungan barunya (secondary tumor).
Metastasis tumor ganas dapat melalui bermacam-macam, yaitu :
1. Infiltratif
Adalah penyebaran ke jaringan sekitarnya, terjadi secara perlahan-lahan, sel-sel kanker
menyebuk ke dalam jaringan sehat sekitarnya atau di dalam ruang antara sel.
2. Limfogen
Yaitu sel-sel kanker masuk ke dalam pembuluh limfe dan merupakan embolus masuk ke dalam
kelenjar getah bening regional dan melekat pada simpainya.
3. Hematogen
Yaitu lewat pembuluh darah. Masuknya sel-sel kanker ke dalam pembuluh darah.
4. Implantasi
Biasanya terjadi di meja operasi, misal : jika alat telah digunakan untuk operasi dan dipakai
untuk operasi lagi tanpa disterilkan terlebih dahulu.
5. Perkontinuitatum
Yaitu kontak langsung, misalnya tumor gaster menjalar ke ovarium.
Dari sekian banyak oncogene yang berperan dalam proses metastasis, Ras-superfamily dari
small GTP-binding proteins merupakan yang paling banyak dipelajari. Ras-superfamily terdiri
dari 130 members diantaranya Ras, Rho, Arf/Sar 1 dan Rab/Ran-subfamilies. Semua aspek dari
sel berjalan, invasi, termasuk didalamnya polarisasi dari sel, remodeling cytoskeletal dan
penerimaan signal-signal keganasan dari luar sel dikendalikan oleh Rho-GTPases. Rho-
GTPases subfamily terdiri dari monomeric GTP-binding proteins dengan berat molekul
rendah, ~20-30 kilo-Dalton (kDa), yang pada sel fibroblast normal juga sangat dibutuhkan
untuk sel bermigrasi, akan tetapi over-ekspresi dari protein-protein ini akan merangsang sel-sel
epitel untuk bermigrasi pula. Ada tiga kelas Rho family yang paling banyak dipelajari, RhoA,
Rac1 dan CDC42, yang merupakan central dogma dari icon sel berjalan. Rho sendiri memiliki
tiga isoforms di dalam human genome: RhoA, RhoB dan RhoC, tetapi ketiganya memiliki
fungsi yang berbeda dalam keganasan. RhoA dan RhoC merupakan aktor utama dalam
proliferasi dan transformasi sel menjadi ganas, sementara itu RhoB merupakan tumor
3
suppressor gene yang akan menjadi balance dari kedua-rekannya yang lain.2Rho protein sangat
berperan dalam meregulasi perubahan bentuk sel, polaritas dan pergerakannya melalui
mekanisme kontraksi actin myosin, cell adhesion, dan microtubule dynamic. Layaknya seperti
manusia, sel kanker juga memiliki kerangka, otot dan indra peraba, yang kombinasi dari
semuanya akan membuat sel kanker dapat berjalan kearah yang dia inginkan
Hal yang paling nyata dari keterlibatan RhoA dan RhoC dalam membuat sel menjadi ganas
adalah apabila kita mempelajarinya langsung pada pasien dengan kanker ganas. Ekspresi
berlebihan dari RhoA dan RhoC kami temukan pada pasien kanker esophagus stadium lanjut,
dimana keberadaanya berhubungan dengan parameter klinis seperti: kedalaman invasi masa
tumor, distant metasta is, invasi ke pembuluh lymph dan pembuluh darah. Disamping itu
pasien-pasien yang positif memiliki ekspresi yang berlebihan dari RhoA ini akan memiliki
prognosis yang jauh lebih buruk.
Sementara itu RhoC diidentifikasikan oleh Merajver group (The University of Michigan
Cance Cente , Ann Arbo , MI, USA) sebagai marker keganasan bagi pasien kanker payudara.
flamatory breast cancer (IBC) adalah phenotype yang sangat invasive dan memiliki kemampuan
metastasis yang tinggi, Merajver et al., mendapatkan bahwa RhoC terekspresi pada lebih dari
90% penderita IBC dibandingkan yang non-IBC.
Uniknya dari kedua Rho protein ini, RhoA dan RhoC, tidak didapatkan kerusakan gen
(mutation) didalamnya. Ekspresi yang berlebihan dari Rho-family disebabkan karena regulasi
yang salah di Rho-regulatory proteinnya (yang perlu ATP untuk aktifitasnya).Secara
biomolekular, kedua jenis Rho protein ini memiliki 94% primary sequence yangidentik (hanya
berbeda 11 asam-amino saja), perbedaan dasarnya hanya terdapat di daerah C-terminal.
Sedangkan pada daerah N-terminal, mengandung banyak asamamino yang mengikat GTP
bersama dengan region swi ch-1 dan witch-2 untuk mengaktifkannya dari status GDP-bound
menjadi GTP-bound, dengan kata lain N-terminal adalah daerah yang penting untuk memulai
aktifitasnya.
Nutrigenomik
Nutrigenomik adalah ilmu yang mempelajari hubungan molekuler antara zat makanan
dan respon gen, yang bertujuan supaya dapat meramalkan bagaimana perubahan pada unsur-
unsur tersebut dapat mempengaruhi kesehatan manusia.Nutrigenomik merupakan ilmu
pengetahuan baru, sehingga memiliki beberapa definisi yang berbeda. Nutrigenomik
3
mempunyai fokus pada pengaruh zat gizi terhadap genome, proteome, dan metabolome,
sehingga nutrigenomik dihubungkan dengan gagasan mengenai kebutuhan zat gizi perseorangan
berdasarkan genotipnya.
Kaput dan Raymond L Rogriguez ( 2004), pakar biologi molekuler dan seluler
Universitas California, mengemukakan konsep dasar berkembangnya ilmu ini dilandasi oleh
fakta-fakta yang telah terdokumentasi dan dikenal sebagai 5 prinsip nutrigenomik, yaitu
pertama, zat-zat makanan, baik langsung maupun tak langsung, berpengaruh pada genom
manusia, yang dalam aksinya dapat mengubah ekspresi atau struktur gen. Kedua, pada kondisi
tertentu dan bagi beberapa individu, diet merupakan faktor risiko yang serius sebagai penyebab
munculnya sejumlah penyakit. Ketiga, besarnya pengaruh nutrien pangan dapat menyehatkan
atau menyebabkan sakit tergantung pada susunan genetik masing-masing individu. Keempat,
beberapa gen yang diregulasi oleh diet memainkan peranan dalam inisiasi, insiden, progresi,
dan atau keparahan suatu penyakit kronis. Kelima, konsumsi makanan yang didasarkan pada
pengetahuan akan kebutuhan gizi (nutrisi), status gizi, dan genotipe individu dapat digunakan
untuk mencegah, meredakan, atau menyembuhkan penyakit kronis.
Kaitan ini terlihat dalam pengaruh makanan terhadap alergi dan kegemukan (obesitas). Ada
orang yang memiliki alergi terhadap makanan tertentu dan ada yang tidak. Begitupula ada orang
yang mudah menjadi gemuk atau kurus dan ada pula yang tidak.
Saat ini para ilmuwan sudah menemukan gen-gen yang mempengaruhi obesitas yaitu LEP,
LEPR, PC1, MC4-R, NROB2, dan POMC. Sebuah terapi bisa jadi lebih efektif atau kurang
3
efektif pada seorang pasien obesitas bergantung pada profil genetiknya. Misalnya, terapi leptin
akan efektif pada pasien yang terdapat mutasi pada gen leptin. Nutrigenomik membantu dokter
untuk memilih pengobatan yang bersifat individu berdasarkan pada profil genetik pasien.
Contoh aplikasi lainnya adalah dalam bidang sport nutrition. Berbekal teknologi analisa
genetik, peneliti di bidang sport nutrition dapat mengetahui dengan pasti apa yang terjadi dalam
sel otot saat dan setelah olahraga intesif dan bagaimana performa dan pemulihannya dapat
diperbaiki. Bagian paling penting dalam bidang baru ini adalah pertumbuhan dan kekuatan otot.
Dengan bantuan teknik genetik molekuler, dokter dapat menentukan sumber protein dan
mikronutrien terbaik untuk membantu perkembangan otot.
Terapi Nutrigenomik Berbasis RNA
Pada tahun 2004, dr. Ami Yasko, Ph.D, N.D. seorang molecular biologist telah sukses
besar dalam menerapkan terapi nutrigenomik berbasis RNA untuk mengobati autisme. Dr. Yasko
telah menemukan bahwa toksin dari lingkungan, toksisitas logam berat, infeksi virus kronik,
radang dan defisiensi genetik sebagai penyebab utama autisme. Dia telah berhasil
menyembuhkan banyak anak autism dengan suplemen gizi berbasis RNA sehingga diberi nama
terapi nutrigenomik berbasis RNA.
Tahap-tahap terapi Autisme dr. Yasko meliputi pemetaan genetik untuk menentukan
program nutrisi, program pembersihan usus besar, detoksifikasi logam berat, pembuangan toksin
lingkungan, menghambat inflamasi, dan memanfaatkan dukungan nutrisi berbasis RNA untuk
mengkoreksi mutasi genetik dan memperbaiki tautan genetik yang lemah. Memperbaiki defek
DNA yang spesifik adalah target utama terapi gen tetapi ini tidak dipakai dalam aplikasi klinik.
Lebih masuk akal dan lebih mudah untuk mengkoreksi masalah pada tingkat RNA. Mengkoreksi
seluruh defek DNA tidak praktis secara klinik. Namun, memberikan pengganti nukleotida RNA
spesifik untuk memperbaiki defek cetakan asli DNA dapat dilakukan oleh terapi berbasis RNA
dr. Yasko.
Nutrigenomik yang sekarang sedang berkembang mengubah arah penelitian dan praktik
pengaturan nutrisi. Meskipun ahli nutrisi saat ini sudah dapat memberikan rekomendasi nutrisi
secara personal, namun di masa depan mereka akan menggunakan pengetahuan ini untuk
meningkatkan kualitas rekomendasi nutrisi untuk populasi.
Kajian nutrigenomik memberitahu makanan apa yang kita butuhkan dan makanan apa yang
harus kita hindari, apabila dikaji berdasarkan database gen yang berasosiasi dengan suatu
3
penyakit. Makanan yang kita makan tersusun atas molekul kimia yang mampu menginduksi
ekspresi gen. Komposisi kebutuhan gizi berbasis profil genotip akan memberian pengetahuan
tentang jenis-jenis pangan apa saja yang sesuai untuk dikonsumsi. Pengetahuan ini penting untuk
menjaga kesehatan dan menghindarkan dari potensi penyakit kronis yang mungkin menyerang
sehingga kebutuhan terhadap obat juga dapat dikurangi. Nutrigenomik adalah ilmu yang
mempelajari hubungan antara faktor genetik dengan nutrisi yang memiliki komposisi spesifik dan
yang mampu menginduksi ekspresi gen dalam tubuh. Nutrigenomik merupakan aplikasi genomik
dalam pengembangan teknologi baru, seperti transkriptomik, proteomik, metabolomik, dan
epigenomik berbasis pada analisis fungsi gen dan ekspresinya.
Efek dari variasi genetik ini dipengaruhi oleh lokasi gen tersebut dan ekspresi protein dari
gen tersebut dan berefek terhadap proses matobolisme gen-gen terkait (genes cascade).
Perubahan dalam gen juga memberikan dampak yang berbeda terhadap populasi (ras) yang
berbeda. Susunan DNA tertentu juga memiliki ketahanan terhadap penyakit tertentu. Oleh karena
itu, perkembangan ilmu nutrigenomik merupakan momen yang krusial untuk merevolusi
pemahaman manusia terhadap apa yang dimakannya. Beberapa komponen nutrisi essensial juga
dapat mempengaruhi perubahan aktivitas gen dan kesehatan, seperti karbohidrat, asam amino,
asam lemak, kalsium, zinc, selenium, folate dan Vitamin A, C & E, dan juga komponen bioaktif
non-essesial mempengaruhi secara signifikan terhadap kesehatan.
Karsinogenesis
Kanker terjadi karena ada kerusakan dan transformasi protoonkogen dan supressorgen
sehingga terjadi perubahan dalam cetakan protein dari yang telah diprogramkan semula yang
mengakibatkan timbulnya sel kanker. Karena itu terjadi kekeliruan transkripsi dan translasi gen
sehingga terbentuklah protein abnormal yang terlepas dari kendali normal pengaturan dan
3
koordinasi pertumbuhan dan diferensiasi sel. Proses karsinogenosis adalah proses bertahap suatu
multisteps proses, sedikitnya ada tiga tahapan yaitu inisiasi, promosi, dan progresi.
a. Inisiasi
Tahap permulaan dimana sel normal berubah menjadi premaligna. Karsinogen
harus merupakan mutagen yaitu zat yang dapat menimbulkan mutasi gen. Pada tahap
inisiasi karsinogen bereaksi dengan DNA menyebabkan amplifikasi gen dan produksi
copy multiple gen. Pada proses inisiasi ini karsinogen yang merupakan inisiator adalah
mutagen, cukup terkena sekali paparan karsinogen, keadaan ini permanen dan
irreversibel, proses ini tidak merubah ekspresi gen.
Fase ini berlangsung cepat. Karsinogen kimia misalnya golongan alkylating
dapat langsung menyerang tempat dalam molekul yang banyak elektronnya, disebut
karsinogen nukleofilik. Karsinogen golongan lain misalnya golongan polycyclic
aromatic hydrocarbon sebelum menyerang dikonversikan (diaktifkan) dulu secara
metabolic (kimiawi) menjadi bentuk defisit elektron yang disebut karsinogen elektrofilik
reaktif. Tempat yang diserang adalah asam nukleat (DNA/ RNA) atau protein dalam sel
terutama di atom nitrogen, oksigen dan sulfur. Air dan glutation juga diserang, dalam
beberapa kasus reaksi ini di-katalisasi oleh enzim seperti glutathione-S-transferase.
Ikatan karsinogen dengan DNA menghasilkan lesi di materi genetik. RNA yang berikatan
dengan karsinogen bermodifikasi menjadi DNA yang dimutasi. Karsinogen kimia yang
berikatan dengan DNA disebut genotoksik dan yang tidak berikatan dengan DNA disebut
epigenetik. Karsinogen genotoksik dapat juga mempunyai efek epigenetik.
Kokarsinogen dan promotor termasuk dalam karsinogen epigenetik yang menyebabkan
kerusakan jaringan kronis, perubahan system imun tubuh, perubahan hormon atau
berikatan dengan protein yang represif terhadap gen tertentu. Jadi karsinogen epigenetik
dapat mengubah kondisi lingkungan sehingga fungsi sebuah gen berubah, bukan
strukturnya. Waktu yang dibutuhkan dari pertama kali sel diserang karsinogen sampai
terbentuk lesi di materi genetik adalah beberapa menit. Sel berusaha mengoreksi lesi ini
dengan detoksifikasi kemudian diekskresi atau dapat terjadi kematian sel atau terjadi
reparasi DNA yang rusak tersebut oleh enzim sel menjadi sel normal kembali.
Karsinogen kimia dapat didetoksifikasi/ dinon-aktifkan kemudian diekskresi atau dapat
langsung diekskresi. Tetapi dari proses pengnon-aktifan ini dapat terbentuk metabolit
yang karsinogenik. Sebelum terjadi reparasi DNA dapat terjadi DNA yaitu satu siklus
proliferasi sel yang menyebabkan lesi DNA tersebut menjadi permanen disebut fiksasi
lesi. Waktu yang dibutuhkan dari pertama kali sel diserang karsinogen sampai terjadi
3
fiksasi lesi (terbentuk sel terinisiasi) adalah beberapa hari (1-2 hari). Replikasi DNA
terjadi karena terdapatnya sel nekrotik sebagai akibat karsinogen. Replikasi ini dapat
diinduksi oleh lain bahan kimia toksik, bakteri (misalnya colitis ulcerativa menjadi
kanker kolon, bronkitis kronis menjadi kanker paru pada perokok), virus, parasit
(schistosomiasis di Afrika menjadi kanker kandung kemih), defisiensi diet tertentu,
hormon dan prosedur percobaan seperti hepatektomi parsial. Pada jaringan yang
mengalami peradangan atau sedang berproliferasi (misalnya luka yang menyembuh)
atau jaringan yang berproliferasi terus menerus (misalnya sumsum tulang, epitel saluran
pencernaan) tanpa terangsang dari luarpun dapat terjadi replikasi DNA. Pada peradangan
belum diketahui apakah terjadi akibat peradangan membantu pertumbuhan sel atau
melemahnya daya tahan tubuh. Sel terinisiasi dapat mengalami kematia , bila tidak,
maka sel dapat masuk ke fase promosi. Pada akhir fase inisiasi belum terlihat perubahan
histologis dan biokimiawi hanya terlihat nekrosis sel dengan meningkatnya proliferasi
sel.
b. Promosi
Promotor adalah zat non mutagen tetapi dapat menaikkan reaksi karsinogen dan
dapat menimbulkan amplifikasi gen. Suatu promotor yang terkenal adalah esterphorbol
yang terdiri dari TPA (Tetradeconyl pharbol acetat) dan RPA (12-Retinoyl Phorbol
Acetat) yang terdapat dalam minyak kroton. Sifat-sifat promotor mengikuti kerja
inisiator, perlu paparan berkali-kali, keadaan dapat reversibel, dapat mengubah ekspresi
gen seperti hiperplasi, induksi enzym, induksi diferensiasi.
Sel terinisiasi dapat tetap tenang bila tidak dihidupkan oleh zat yang disebut
promotor. Promotor sendiri tidak dapat menginduksi perubahan kearah neoplasma
sebelum bekerja pada sel terinisiasi, hal ini telah dibuktikan pada percobaan binatang.
Bila promoter ditambahkan pada sel terinisiasi dalam kultur jaringan, sel ini akan
berproliferasi. Jadi promotor adalah zat proliferatif. Promosi adalah proses yang
menyebabkan sel terinisiasi berkembang menjadi sel preneoplasma oleh stimulus zat lain
(promotor). Pada percobaan binatang dibuktikan terdapat karsinogen kimia yang bekerja
sendiri sebagai inisiator dan promotor disebut karsinogen komplit. Dari penyelidikan
pada kultur jaringan diketahui fase ini berlangsung bertahun-tahun (10 tahun atau lebih)
dan reversibel sebelum terbentuknya sel tumor yang otonom. Alkohol adalah promotor
untuk kanker orofarings, larings, esofagus dan hati. Alkohol sebagai promotor pada
sirosis hepatis atau kerusakan hati lain dapat menimbulkan kanker hati. Promotor lain
yaitu DES (diethylstilbestrol) adalah estrogen sintetis nonsteroid yang pernah dipakai
3
untuk terapi osteoporosis, pada tahun 1950 menimbulkan epidemi kankerendometrium.
DES dosis tinggi pernah digunakan untuk terapi abortus pada tahun 1940-50
menimbulkan kanker vagina dan serviks pada anak wanita penderita. Suplemen estrogen
untuk terapi gejala menopause yang digunakan luas pada tahun 1960 an sampai
pertengahan tahun 1970 menimbulkan epidemic kanker endometrium. Penyelidikan
epidemiologi menunjukkan penurunan insidens kanker ini ke tingkat semula sesuai
dengan penurunan penggunaannya. Terapi estrogen masih digunakan pada umumnya
dengan periode lebih pendek sehingga timbulnya kanker endometrium banyak ber-
kurang. Terapi estrogen juga terbukti meningkatkan risiko terkena kanker payudara
tetapi tidak sejelas kanker endometrium. Terapi estrogen meningkatkan penyakit
kandung empedu yang merupakan risiko kanker kandung empedu.
Penyelidikan untuk risiko kanker ovarium mendapatkan hasil yang berlawanan.
Lemak adalah promotor untuk kanker payu dara, kolon, endometrium, serviks, ovarium,
prostat dan kandung empedu. Pada kanker payu dara, endometrium dan ovarium karena
lemak menaikkan kadar estrogen. Hasil penyelidikan epidemiologis dan percobaan
binatang tidak konsisten mengenai diet yang lebih banyak lemak tidak jenuh gandanya
dari lemak jenuh gandanya dapat menaikkan risiko terkena kanker. Obat imunosupresif
misalnya azathioprine dan prednison pada penerima transplantasi organ adalah promotor
untuk macam-macam kanker terutama kanker sumsum tulang, limfoma, kanker kulit dan
sarkoma Kaposi. Parasit misalnya Clonorchis sinensis adalah promotor untuk
cholangioma dan Schistosoma haematobium di Afrika untuk kanker kandung kemih.
Steroid anabolic yang biasa digunakan atlit adalah promotor untuk hepatoma. Obat
kontraseptif estrogen dosis tinggi tanpa progesteron merupakan promotor untuk
hamartoma (dapat menyebabkan perdarahan fatal), kanker endometrium atau adenoma
hati. Setelah dipakai estrogen dosis rendah dikombinasi dengan progesteron dosis
rendah, risiko kanker menurun. Penyelidikan epidemiologis menunjukkan obat
kontraseptif sekarang tidak menurunkan atau menaikkan risiko terkena kanker payu dara
dan serviks. Terdapat bukti obat kontraseptif dapat mencegah terjadinya kanker ovarium
karena obat ini mencegah ovulasi sebagai efek progesteron (anti estrogen). Teori
kelebihan androgen yang menimbulkan kanker prostat didukung data
epidemiologisbahwa penderita sirosis hepatis dan orang yang dikastrasi sedikit yang
terkena kanker prostat. Pada binatang percobaan testosteron sebagai promotor
menyebabkan kanker prostat. Esterforbol adalah promotor untuk kanker kulit, paru dan
hati. Kurangnya serat dalam makanan antara lain menyebabkan kontak dengan
karsinogen lebih lama, memudahkan seseorang terkena kanker kolon. Dari penyelidikan
3
didapatkan serat dalam makanan mungkin menurunkan insidens kanker kolon dengan
cara mencegah interaksi asam empedu dengan enzim bakteri (flora usus) dalam usus
besar, mencegah pengikatan asam empedu dengan lain bahan kimia yang karsinogenik
dalam feses, mengurangi waktu feses dalam usus besar dan menaikkan jumlah feses
sehingga menurunkan konsentrasi karsinogen dalam usus. Di Inggris ditemukan
hubungan terbalik antara serat pentosa dengan kematian karena kanker kolon tetapi tidak
terdapat hubungan dengan jenis serat lain atau dengankeseluruhan serat. Kurangnya
vitamin (A, C, beta-karoten dan E) dan mikronutrien selenium (Se) dalam makanan
memudahkan seseorang terkena kanker kulit, hati, orofarings, serviks, kandung kemih,
kolon, lambung, esofagus, larings dan paruKemungkinan vitamin-vitamin ini
memproteksi keganasan terutama dalam bentuk kombinasi. Dalam saluran pencernaan
vitamin E dan C dapat menghalangi terbentuknya nitrosamine. Defisiensi selenium
menaikkan efek karsinogenik karsinogen kimia pada tikus besar terutama bila diberi diet
tinggi lemak tidak jenuh ganda. Di Skandinavia Utara ditemukan hubungan defisiensi
zat besi dengan risiko tinggi terkena kanker farings dan esofagus. Insidens kanker
lambung 4-5 kali lebih tinggi di negara yang lebih banyak defisiensi zat besinya
daripada di Amerika Serikat. Pada binatang defisiensi seng mempunyai hubungan
dengan kanker esofagus dan defisiensi seng dapat berinteraksi dengan alkohol
membantu terbentuknya kanker esofagus. Suplemen asam folat mencegah terjadinya
kanker serviks pada wanita yang serviksnya abnormal karena kontraseptif oral.
Konsumsi tinggi kalsium meningkatkan risiko terkena kanker prostat terutama bila
dikonsumsi melebihi 2000 mg/ hari. Kalsium banyak terdapat dalam susu skim dan
rendah lemak. Sakarin adalah promotor untuk kanker kandung kemih pada tikus
terutama bila diberikan selama 2 generasi sedangkan pada manusia belum terbukti
promotor untuk kanker. Penyelidikan epidemiologis menunjukkan risiko terkena kanker
kandung kemih meningkat 60% pada pria tetapi penyelidikan lain gagal memastikan
kenaikan ini. Siklamat adalah promotor untuk kanker kandung kemih pada binatang
percobaan sehingga pada tahun 1969 dilarang peredarannya. Kopi dihubungkan dengan
kanker kandung kemih dan pankreas pada manusia. Percobaan kultur jaringan binatang
menunjukkan kafein dalam kopi menguatkan efek karsinogenik subtansi tertentu.
Sel preneoplasma dapat tumbuh terus pada kultur jaringan sedangkan sel normal
akan berhenti tumbuh. Sel preneoplasma lebih tahan terhadap lingkungan yang tidak
mendukung dan kemampuan kloningnya lebih besar. Kebanyakan sel-sel preneoplasma
beregresi menjadi sel berdiferensiasi normal tetapi sebagian kecil mengalami
3
perkembangan progresif menjadi sel-sel neoplasma yang ireversibel. Pada akhir fase
promosi terdapat gambaran histologis dan biokomiawi yang abnormal.
c. Progresi
Pada progresi ini terjadi aktifasi, mutasi. Pada progresi ini timbul perubahan
benigna menjadi premaligna dan maligna. Dalam proses karsinogenesis ada 3
mekanisme yang terlibat: 1. Onkogen yang dapat menginduksi timbulnya kanker. 2
Anti-Onkogen atau gen supressor yang dapat mencegah timbulnya sel kanker. 3 Gen
modulator yang dapat mempengaruhi penyebaran kanker.
Fase ini berlangsung berbulan-bulan. Pada awal fase ini, sel preneoplasma dalam
stadium metaplasia berkembang progresif menjadi stadium displasia sebelum menjadi
neoplasma. Terjadi ekspansi populasi selsel ini secara spontan dan ireversibel. Sel-sel
menjadi kurang responsif terhadap sistem imunitas tubuh dan regulasi sel. Pada
esophagus epitel berlapis gepeng berubah atau metaplasia menjadi epitel selapis torak
yang kemudian berkembang menjadi jaringan dalam keadaan displasia yang kemudian
berkembang menjadi neoplasma. Pada kolon, polip adalah bentuk metaplasia. Pada
tingkat metaplasia dan permulaan displasia (ringan sampai sedang) masih bisa terjadi
regresi atau remisi yang spontan ke tingkat lebih awal yang frekwensinya makin
menurun dengan bertambahnya progresivitas lesi tersebut. Belum banyak diketahui
perubahan yang terjadi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Batas yang pasti
perubahan lesi preneoplasma menjadi neoplasma sulit ditentukan. Pada akhir fase ini
gambaran histologis dan klinis menunjukkan keganasan. Penyelidikan terakhir
memperlihatkan terjadi aglutinasi pada permukaan sel kanker sehingga sel kanker
tumbuh terus meskipun terjadi kontak antar sel. Permukaan sel kanker mempunyai lebih
sedikit neksus (daerah kontak antar sel). Ini menunjukkan kurangnya metabolisme dan
pertukaran ion-ion antar sel yang juga menyebabkan sel kanker bertambah otonom. Hal
ini lebih nyata pada keadaan displasia yang progresif ke arah neoplasma. Semua
perubahan struktur, metabolik dan kelakuan sel ini terjadi karena mutasi yang mengenai
inti, mitokondria dan membrane endoplasma sel. Kebanyakan sel kanker mensekresi
enzim fibrinolitik yang melarutkan jaringan ikat di sekitarnya dan factor angiogenesis
yang menginduksi pembentukan kapilar darah baru di antara pembuluh darah yang
berdekatan dengan sel kanker untuk nutrisinya. Pada permukaan sel kanker terbentuk
antigen yang menimbulkan respons imun selular dan humoral untuk melawan sel kanker.
Antigen permukaan ini sering ditemukan di jaringan fetus, mempunyai hubungan
3
dengan derajat diferensiasi sel dan kekhasannya dipakai sebagai tambahan pada
diagnostik kanker.
Protoonkogen : Gen pada sel normal yg mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi
sel
Onkogen: Gen yg meningkatkan/memicu pertumbuhan autonom pd sel kanker
Onkoprotein : Protein produk dari onkogen, sama seperti protein yg dihasilkan
protoonkogen kecuali yg kehilangan elemen regulasi normal.
Polimorfisme
Polimorfisme genetik adalah adanya variasi genetik yang menyebabkan perbedaan
aktivitas dan kapasitas suatu enzim dalam menjalankan fungsinya. Adanya perbedaan ekspresi
3
genetik antara tiap individu akan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap nasib obat
dalam tubuh. Hal ini dapat kita tinjau terutama dari aspek metabolisme tubuh. Proses
metabolisme terjadi oleh adanya bantuan enzim. Enzim merupakan suatu protein yang
keberadaanya merupakan hasil dari ekspresi genetik (sintesis protein). Kapasitas enzim yang
dihasilkan tiap individu berbeda-beda. Hal inilah yang salah satunya yang memacu terhadap
perbedaan respon yang tubuh terhadap pemakaian obat yang sama.
Pengaruh terjadinya perbedaan variasi genetik dapat dilihat secara rinci dalam gambaran
berikut.
Dari gambaran diatas dapat diketahui bahwa terjadinya perbedaan ekspresi genetik, maupun
keberadaan varian genetik secara langsung dapat mempengaruhi respon yang berbeda-beda
terhadap pemakaian obat.
Dalam biologi, polimorfisme adalah ketika dua atau beberapa fenotip yang berbeda ada
dalam populasi suatu spesies - atau, dalam kata lain, kemunculan lebih dari satu bentuk. Agar
dapat disebut sebagai polimorfisme, bentuk-bentuk tersebut harus berada dalam habitat yang
sama pada waktu yang sama dan tergolong dalam populasi panmiktik (perkawinan acak).
Polimorfisme banyak muncul di alam dan terkait dengan biodiversitas, variasi genetik, serta
adaptasi. Fungsi lazimnya adalah untuk menjaga variasi bentuk dalam populasi yang berdiam di
lingkungan yang bervariasi. Contoh yang paling jelas adalah dimorfisme seksual dalam banyak
organisme. Contoh lain adalah golongan darah manusia.
Sebagai hasil dari proses evolusi, polimorfisme dapat diwariskan dan dimodifikasi oleh
seleksi alam. Dalam polifenisme, gen suatu individu memungkinkan berbagai macam bentuk, dan
lingkungan menentukan bentuk mana yang akan ditunjukkan. Dalam polimorfisme genetik, gen
menentukan bentuk. Semut menunjukkan kedua hal tersebut dalam suatu populasi.
Istilah polimorfisme genetic didefinisikan sebagai “adanya individu-individu dengan sifat
genetic yang berlainan tetapi hidup secara bersamaan dalam populasi, di mana frekuensi masing-
masing selalu tetap dan tidak berubah oleh karena adanya mutasi enetic”. Adanya perbedaan
enetic ini ene menyebabkan perbedaan fenotip (“penampilan”). Salah satunya adalah dalam hal
perbedaan respon seseorang terhadap penggunaan obat. Obat yang sama, dengan dosis yang
sama, ene memberikan efek yang berbeda pada orang yang memiliki enetic yang berbeda.
Sebagai contoh, sudah banyak informasi bahwa pada suatu ras tertentu, sekian persen
populasinya memiliki sifat asetilator lambat, sehingga obat yang mengalami proses asetilasi di
3
dalam tubuh akan lebih lambat prosesnya, dan obat akan berada dalam tubuh lebih lama,
sehingga efeknya meningkat. Informasi serupa dari populasi orang asli Indonesia masih sangat
jarang.
Polimorfisme adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkkan adanya
bentuk yang berbeda dari struktur dasar yang sama. Suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika
alelyang sering ditemukan frekuensinya tidak kurang dari 99% pada lokus yang
bersangkutan.Menurut hukum Hardy-Weinberg dikatakan polimorfisme bila frekuensi alel
polimorfik lebih dari 2%. Contohnya adalah golongan darah A merupakan suatu fenotip yang
mempunyai polimorfik alel IA, IO sehingga pasangan genotipnya adalah IAIA atau
IAIO (Nussbaum et al, 2001).
Polimorfisme suatu gen pada genom manusia disebabkan adanya mutasi pada
basanukleotida tunggal atau single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada gen tersebut. SNPs
merupakan varian genetic yang paling banyak dijumpai pada individu dalam suatu spesies. Alel
adalah suatu bentuk alternative sekuen DNA tertentu yang berbeda dengan sekuenwild type
(normal) pada suatu lokus gen dalam suatu kromosom. Apabila alel tersebut ditemukan lebih
dari 1% kromosom dalam suatu populasi maka keadaan ini disebut sebagai polimorfisme
genetic. Alel varian yang berlokasi pada ekson dapat menghasilkan varian protein yang berbeda
sehingga mungkin akan menghasilkan perubahan fenotip yang nyata (Nussbaum et al, 2001).
Polimorfisme ini diturunkan menurut hokum Mendel sehingga dapat digunakan untuk
menganalisis keturunan. Mutasi pada suatu gen yang menyandi enzim yangberperan dalam
metabolisme suatu substansi menyebabkan adanya variasi aktivitas enzim yang dapat lebih
tinggi atau lebih rendah atau pula tidak memberikan efek apapun. Dengan demikian individu
dengan potensi peningkatan aktivasi dan rendahnya kemampuan detoksifikasi menjadi lebih
rentan terhadap kanker. Polimorfisme genetic telah membuat populasi manusia terbagi menjadi
dua sub group yang mempunyai kemampuan memetabolisme yang berbeda. Sub group yang
mempunyai kemampuan metabolisme berkurang atau menurun disebut sebagai poor
metabolizer ataufenotip PM dan sub group dengan metabolisme normal yang disebut extensive
metabolizer atau fenotip EM. Polimorfisme pada CYP2E1 yang terlibat dalam kemampuan
menginaktivasi nitrosamin (fenotip PM) akan menyebabkan nitrosamine yang karsinogenik
tidak mampudiubah menjadi produk non toksik sehingga dapat menyebabkan kerusakan DNA
yang berasosiasi dengan timbulnya kanker khususnya KNF. Salah satu teknik yang secara
luas digunakan untuk mendeteksi variasi pada tingkat DNAadalah restriction fragment length
polymorphism (RFLP). Deteksi RFLP dilakukan berdasarkan perbedaan profil pita-pita DNA
suatu produk PCR yang dipotong dengan enzim restriksi endonuklease misalnya yang dapat
memotong DNA dengan sekuen DNA tertentu. Perbedaan panjang DNA ini dapat dilihat dengan
3
elektroforesis pada gel dan divisualisasi dengan sinar UV (Sambrook, 2003). Keunikan alel
CYP2E1 juga berkaitan dengan tingginya resiko KNF di beberapa kelompok etnis Asia
(Hildesheimet al, 1995). Gen yang menyandi enzim CYP2E1 terletak di kromosom 10q24.3-q.
Gen ini terdiri atas 9 ekson dan 8 intron yang regulasinya melibatkan mekanisme transkripsi
dan post transkripsi yang kompleks (Hildesheimet al, 1995). Gen CYP2E1 pada populasi
dijumpai dalam bentuk polimorfik yang bervariasi. Pada manusia gen CYP2E1 dipertahankan
dalam secarafungsional. Beberapa alel polimorfik yang telah diidentifikasi disebabkan adanya
mutasi-mutasi pada regio 5’UTR (substitusi C-1054T dan insersi 96 bp) dan intron. Substitusi
T7668A pada daerah intron 6 gen CYP2E1 yang dapat dideteksi dengan metode Restriction
Fragment Length Polymorphism (RFLP) dengan menggunakan enzim restriks dihubungkan dengan
kepekaan terjadinya KNF pada etnis Cina di Taiwan (Hildesheimet al,1995). Selain itu,
substitusi C-1054T pada 5’UTR (Promoter) gen CYP2E1 yang bersifat homozigot dapat
dideteksi dengan enzim restriksi Rsa (alel c2) juga mempunyai resiko tinggi untuk terkena KNF
(Hildesheimet al, 1995). Penelitian ini hanya membatasi untuk mengidentifikasi polimorfisme
pada situs restriksi saja karena alasan biaya. Uji serologi IgA karakter KNF EBNA1+VCA p-18
pada penderita keluhan kronis.
Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan
predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Keganasan ini termasuk 5 besar bersama
3
kanker mulut rahim, payudara, kulit dan getah bening sedangkan pada laki-laki merupak tumor
yang paling banyak ditemukan (Roezin, 2003).
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang mempunyai predisposisi rasial yang
sangat mencolok. Insidennya paling tinggi pada ras Mongoloid terutama pada penduduk di
daerah Cina bagian selatan, Hongkong, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia
penyakit ini ditemukan pertamakali oleh Banker pada tahun 1926, kemudian laporan kasus dalam
jumlah cukup banyak baru setelah tahun 1953. Keganasan ini ditemukan lebih banyak pada laki-
laki dari perempuan dalam perbandingan 2,5:1.
Nasofaring sendiri merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur
berbentuk kuboid. Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya. Banyak syaraf kranial
yang berada di dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai darah.
Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker tersebut.
Etiologi
Ada 3 faktor penyebab terjadinya kanker nasofaring, yaitu adanya infeksi Virus Epstein
Barr (EBV), faktor genetik, dan faktor lingkungan yang memungkinkan terjadinya insidens yang
tinggi pada kanker nasofaring di Cina.
a. Virus Epstein Barr (EBV)
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker
nasofaring dengan keberadaan virus ini. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi
sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa
penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker
nasofaring.
Virus ini seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi juga
dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Virus
tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan
dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi,
adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.
b. Faktor Genetik
Telah banyak ditemukan kasus herediter dari pasien karsinoma nasofaring. Penelitian
pertama menemukan adanya perubahan genetik pada ras Cina yang dihubungkan dengan
karsinoma nasofaring adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA). Perubahan
3
genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan
genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik.
Teori tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian dari
kanker nasofaring.
c. Faktor Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya kanker
nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi pada nelayan
tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton yang diasinkan dalam jumlah yang
besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar. Faktor lain yang diduga
berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu
bakar, asap dupa, serbuk kayu industri, dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas
antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat dijelaskan. Belakangan ini
penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (chinese herbal medicine atau CHB)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara terjadinya kanker nasofaring, infeksi
Virus Epstein Barr (EBV), dan penggunaan CHB. Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang
lama juga mempunyai resiko yang tinggi menderita kanker nasofaring.
Pada kelompok KNF ditemukan penderita laki-laki sebanyak 33 orang (60%) dan
perempuan sebanyak 17 orang (34%). Dalam hal ini laki-laki lebih berpotensi untuk menderita
KNF dua kali lebih besar daripada perempuan. Jumlah penderita KNF terbanyak pada usia 31-40
tahun sebesar 28% diikuti kelompok umur 41-50 tahun sebesar 26%. Lebih dari 80% penderita
KNF terdiagnosis antara usia 30-50 tahun. Rerata usia terdiagnosis adalah 45 tahun di daerah
endemik.
Epidemiologi
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga
sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia. Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, negara-negara Afrika
Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga
penyebabnya karena memakan makanan yang diawetkan dengan nitrosamin pada musim dingin.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia, jumlahnya mencapai 60% dari jumlah keseluruhan tumor ganas daerah
3
kepala dan leher. Di semua pusat pendidikan dokter di Indonesia dari tahun ke tahun, karsinoma
nasofaring selalu menempati urutan pertama di bidang THT. Frekuensinya hampir merata di
setiap daerah.
Patofisiologi
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama
pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi
dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses
apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen dan gen penekan tumor (TSGs) yang
menghambat penghentian proses siklus sel.
Gambar 2.2 Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan
Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur
oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila mengalami
mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel
secara patologis.
3
Manifestasi Klinis
Gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di leher, gejala mata dan
gejala saraf.
1. Gejala Hidung/Nasofaring
Harus dicurigai adanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala:
Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita usia lebih
dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.
Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih jika
terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus paranasal.
Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari hidung
(epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan pemeriksaan hidung tidak ada
kelainan.
2. Gejala Telinga
Gejala pada telinga umumnya berupa pendengaran yang berkurang, telinga terasa penuh
seperti terisi air, berdengung atau gemrebeg (tinitus) dan nyeri (otalgia). Gangguan pendengaran
yang terjadi biasanya berupa tuli hantaran dan terjadi bila ada perluasan tumor atau karsinoma
nasofaring ke sekitar tuba, sehingga terjadi sumbatan.
3. Gejala Tumor Leher
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari
karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Spesifitas tumor
leher sebagai metastase karsinoma nasofaring adalah letak tumor di ujung prosesus mastoid, di
belakang angulus mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan tidak mudah
bergerak. Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil,
hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.
4. Gejala Mata
Penderita akan mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan secara teliti,
penderita akan menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua atau dobel. Jelas yang
dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi karena kelumpuhan N.VI yang letaknya di atas
foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain yang dapat
memberikan gejala mata adalah karena kelumpuhan N.III dan N.IV, sehingga menyebabkan
kelumpuhan mata yang disebut dengan oftalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai kiasma
optikus dan N.II maka penderita dapat mengalami kebutaan.
3
5. Gejala Saraf
Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis biasanya didahului oleh beberapa gejala
subyektif yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita seperti nyeri kepala atau kepala terasa
berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan hidung, dan kadang mengeluh sulit menelan (disfagia).
Tidak jarang ditemukan gejala neuralgia trigeminal oleh ahli saraf saat belum ada keluhan yang
berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut akan mengenai N. IX, X, XI, dan XII jika perjalanan
melalui foramen jugulare. Gangguan ini disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai
seluruh saraf kranial disebut dengan sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi
tulang tengkorak dan bila sudah demikian prognosisnya menjadi buruk.
Klasifikasi
Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan gambaran
histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem TNM menurut
UICC (1992).3,10
T (Tumor Primer)
T0 = Tidak tampak tumor
T1= Tumor terbatas pada satu lokasi saja (lateral, porterosuperior, atap, dll)
T2= Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih di dalam
rongga nasofaring
T3= Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring
T4= Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau
mengenai saraf-saraf otak
Tx= Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
N (Pembesaran kelenjar getah bening regional)
N0= Tidak ada pembesaran KGB
N1= Terdapat pembesaran KGB homolateral dan masih bisa digerakkan
3
N2= Terdapat pembesaran KGB kontralateral/bilateral dan masih bias digerakkan
N3= Terdapat pembesaran baik homolateral/kontralateral/bilateral yang sudah
melekat pada jaringan sekitar
M (Metastasis jauh)
M0= Tidak ada metastasis jauh
M1= Terdapat metastasis jauh
Dari keterangan di atas, karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4 stadium, yaitu:
a. Stadium I : T1 N0 M0
b. Stadium II : T2 N0 M0
c. Stadium III : T1/2/3 N1 M0 atau T3 N0 M0
d. Stadium IV : T4 N0 M0 atau T1/2/3/4 N2/3 M0 atau T1/2/3/4 N0/1/2/3 M1
Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring dibedakan menjadi 3
tipe menurut WHO. Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan dengan mikroskop elektron di mana
karsinoma nasofaring adalah salah satu variasi dari karsinoma epidermoid. Pembagian ini
mendapat dukungan lebih dari 70% ahli patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.
a. Tipe WHO 1
Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1 mempunyai tipe
pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring, sel-sel kanker berdiferensiasi baik
sampai sedang dan menghasilkan cukup banyak keratin baik di dalam dan di luar sel.
b. Tipe WHO 2
Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2 ini paling
banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan sebagian sel berdiferensiasi baik,
sehingga gambaran yang didapatkan menyerupai karsinoma sel transisional.
c. Tipe WHO 3
3
Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel kanker paling
heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang dahulu disebut dengan limfoepitelioma,
karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma, dan variasi spindel.
Gejala Klinis
Gejala kanker nasofaring dikelompokkkan dari gejala telinga, gejala hidung, gejala
neurologik dan pembesaran getah bening leher. Gejala telinga berupa tinitus, rasa penuh sampai
tuli konduktif akibat otitis media serosa atau otitis media serosa kronis, seharusnya merupakan
gejala dini. Akan tetapi sering penderita datang ke dokter yang pertama memeriksa mengabaikan
keluhan ini sehingga baru disadari setelah timbul stadium yang lanjut berupa adanya pembesaran
getah bening leher. Gejala hidung dapat berupa sumbatan, epistaksis ringan dan pilek. Pada
keadaan lanjut kanker masuk ke hidung dan sinus paranasal dengan menimbulkan gejala
sumbatan yang lebih berat. Gejala neurologik terjadi karena infiltrasi tumor ke rongga tengkorak.
Gejala neurologik yang pertama timbul karena infiltrasi tumor ke intrakranial melalui foramen
laserum mengenai saraf otak Ke III, IV, V dan VI yang mempersyarafi otot-otot mata sehingga
terjadi diplopia dan rasa baal di daerah pipi. Pada keadaan lanjut tumor akan masuk ke foramen
jugulare, mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII dengan gejala paresis atau paralisis arkus
faring (kranial IX) , kelumpuhan otot bahu (paralisis kranial XI), sering tersedak (paralisis kranial
XII). Metastase jauh yang sering terjadi adalah ke tulang, paru dan hati dengan gejala khas nyeri
pada daerah tulang yang terkena, batuk-batuk atau gejala gangguan fungsi hati.
Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Ada sebuah patokan agar selalu ingat dan curiga akan adanya nasofaring, seperti di bawah
ini:
1) Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring. Lebih-lebih jika
tumor terletak di bawah prosesus mastoid dan di belakang angulus mandibula.
2) Dugaan karsinoma nasofaring akan lebih kuat jika:
Disertai gejala hidung dan telinga
Disertai gejala mata dan saraf
3) Dugaan karsinoma nasofaring hampir pasti bila ada gejala lengkap
Bila memakai pedoman yang berpatokan pada tumor leher ini maka kita sudah
mendapatkan stadium lanjut, sebab tumor leher merupakan perluasan atau metastase tumor induk.
3
b. Pemeriksaan Penunjang
1) CT scan kepala dan leher
Dengan pemeriksaan ini tumor primer yang tersembunyi pun tidak terlalu sulit ditemukan.
2) Pemeriksaan Serologi IgA untuk infeksi virus Epstein-Barr
Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan karenan
spesifisitasnya yang rendah. Titer yang didapat berkisar antara 80 hingga 1280 dan terbanyak
pada titer 160.
3) Biopsi
Ini merupakan diagnosis pasti untuk karsinoma nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan
2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya
(blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke
nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
Biopsi melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung
dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama dengan ujung
kateter yang berada di hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca
laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca tersebut atau dengan
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut dan massa tumor akan terlihat jelas.
Biopsi tumor dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.
4) Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dapat
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu pencegahan dan
pengobatan.
2) Pencegahan
Karena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang dilakukan hanya
berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan timbulnya karsinoma nasofaring
tersebut. Usaha tersebut adalah penggunaan vaksin virus Epstein-Barr, mengurangi dan
menghindari bahan-bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi timbulnya karsinoma
nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.
2) Pengobatan
3
Dalam pengobatan kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau operasi, penggunaan
obat-obatan sitostatika dan hormon, radioterapi dan imunoterapi.
a. Pembedahan
Pembedahan dapat dilakukan dengan cara pembedahan transpalatal (Diefenbach,
Welson) maupun transmaksiler paranasal (Moure Ferguson), tetapi terapi bedah ini tidak
berkembang, dan hasilnya menjadi kurang efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan pada tumor
metastase dengan membuang kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk membuang kelenjar limfe
permukaan tetapi sulit untu membuang kelenjar di daerah retrofaring dan parafaring.
b. Radioterapi
Radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya. Radioterapi
dikenal 2 macam, yaitu teleterapi dan brakiterapi. Teleterapi bila sumber sinar jauh dari tumor
dan di luar tubuh penderita. Sedangkan brakiterapi, sumber sinar dekat dengan tumor dan
dipasang dalam tubuh penderita. Teknik penyinaran dengan teleterapi diberikan bila ada
perluasan tumor ke depan yaitu daerah hidung dan sekitarnya serta belum ada metastase ke
kelenjar limfe leher.
c. Obat-obatan Sitostatika
Dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal
umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan sebagai sitostatika
tunggal adalah methotrexat, metomycine C, Endoxan, Bleocyne, Fluorouracyne, dan Cisplastin.
Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan diberikan pada permulaan
seri pemberian radiasi. Obat bisa juga diberikan sebelum dan sesudah penyinaran sebagai
sandwich terapy.
Obat kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta
penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak kombinasi obat ganda yang dipakai
antara lain kombinasi: BCMF (Adriamycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil),
ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA (Cyclophosphamide,
Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin).
d. Imunoterapi
Dalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak dilakukan di klinik onkologi,
tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan research dan trial. Untuk karsinoma
nasofaring telah dilakukan penelitian antara lain dengan menggunakan interferon dan Poly ICLC.
3
e. Obat Antivirus
Acyclovir dapat menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat menghambat pertumbuhan
virus termasuk juga Virus Epstein Barr. Obat antivirus ini penting pada karsinoma nasofaring
anaplastik yang merupakan EBV carrying tumor dengan DNA EBV positif .
Tumor
Tumor secara harfiah berarti “pembengkakan” atau “pengerasan”. Tumor adalah semua
jenis pembesaran atau pengerasan yang terbentuk dari neoplasma, massa jaringan yang
disebabkan oleh perkembangan abnormal sel-sel (neo = “baru”, plasma = “sel”). Pertumbuhan
3
sel-sel neoplasma melebihi dan tidak terkoordinasi dengan jaringan normal di sekitarnya
sehingga membentuk benjolan atau tumor.
Tumor atau neoplasma adalah pertumbuhan yang tidak normal dari jaringan tubuh. Tumor
terjadi ketika sel membelah berlebihan dalam tubuh. Tubuh selalu melakukan pembelahan sel
untuk menggantikan sel-sel yang lama dan sudah mati dengan sel-sel baru. Jika keseimbangan
pembelahan sel terganggu atau berjalan tidak normal maka disitulah tumor bisa terbentuk.
Tumor dikatakan jinak ukurannya di bawah 1-2 cm dan cenderung tidak mengalami
perkembangan dan lokasinya menetap dan tidak menyebar atau merusak jaringan lainnya.
Tapi bila dalam pengamatan ada kecenderungan membesar apalagi bila ukurannya sudah
melebihi 2 cm maka tumor bisa menjadi ganas (tumor ganas) karena bersifat menyebar, merusak
jaringan sekitarnya yang sering disebut kanker.
Penyebab.
Tumor biasanya disebabkan oleh adanya mutasi DNA di dalam sel, akumulasi dari mutasi-
mutasi ini menyebabkan timbulnya tumor. Tumor ini bisa dipicu oleh paparan bahan kimia,
paparan alkohol yang terlalu banyak, racun dari makanan atau lingkungan, paparan sinar
ultraviolet yang berlebihan, faktor genetika virus atau radiasi.
Gejala.
Gejala tumor tergantung dari lokasinya. Misalkan tumor pada paru-paru memiliki gejala
batuk, sesak napas, nyeri dada. Tumor di usus menyebabkan penurunan berat badan, diare,
sembelit, anemia dan ada darah dalam tinja.
3
Tapi kebanyakan tumor juga tidak menimbulkan gejala dan gejalanya baru muncul setelah
penyakitnya masuk stadium lanjut. Tapi gejala tumor yang paling umum adalah sering merasa
panas dingin (demam), mudah lelah, kehilangan nafsu makan, rasa tidak enak di badan, sering
berkeringat saat tidur malam hari, dan berat badan menyusut.
Pengobatan.
Jika tumor tidak membahayakan (tumor jinak) maka biasanya tidak diperlukan operasi dan
dokter tidak melakukan perawatan apa-apa. Tapi jika sudah ada kecenderungan tumbuh
membesar, pengangkatan atau operasi adalah jalan terbaik yang setelah itu dilanjutkan dengan
kemoterapi atau raditerapi untuk mematikan jaringan agar tidak menyebar dan aktif lagi.
Perbedaan Tumor dan Kanker
Tumor dan kanker mungkin diagnosis yang sama sekali tak ingin Anda dengar dari dokter
sebab kedua penyakit ini tak mudah untuk disembuhkan.
Beberapa orang juga akan segera panik ketika dokter memberitahu bahwa ada sejenis tumor
di dalam tubuhnya. Beberapa lainnya menganggap benjolan abnormal yang mereka rasakan
adalah hal biasa dan bukan kanker yang tak perlu mendapat perawatan intensif.
Sebagian orang menganggap tumor tidak ganas namun lainnya menyebutkan tumor bisa
saja ganas. Apa pun itu, yang jelas tumor dan kanker adalah dua hal yang sangat berbeda.
Namun, keduanya bisa saja terkait. Tumor adalah kondisi dimana pertumbuhan sel tidak
normal sehingga membentuk suatu lesi atau dalam banyak kasus, benjolan di tubuh.
Benjolan ini kadang keras dan kadang mengganggu fungsi bagian tubuh di mana tumor
berkembang. Sedangkan kanker merupakan suatu penyakit degeneratif yang terjadi karena
pertumbuhan kelompok sel yang tidak dapat dikontrol.
3
Harus dijelaskan bahwa tidak semua tumor bersifat kanker. Tumor dapat dibagi menjadi
dua yakni tumor jinak dan tumor ganas. Jika Anda atau seseorang menderita tumor jinak maka
tumor ini tidak akan menganggung aktivitas harian dan bisa diangkat melalui proses
operasi.Namun, jika jenis tumor yang berkembang adalah jenis yang ganas, maka bisa saja sel
kanker telah ditemukan pada pertumbuhan tumor tersebut.Ini berarti pertumbuhan primer telah
menjadi pertumbuhan sekunder sehingga beberapa diantaranya dapat menyerang bagian vital
tubuh (Metastatis).
Anda bisa mengetahui bahwa suatu bejolan adalah tumor atau kanker melalui pemeriksaan
biopsi, yakni mengambil contoh jaringan dari tubuh dan lalu melakukan serangkaian tes terhadap
contoh jaringan yang diambil.Jika memiliki tumor sebaiknya langsung menjalani pemeriksaan
biopsi untuk mengetahui apakah perkembangan tumor tersebut jinak atau ganas. Dalam hal
penanganan dan penyembuhan, tumor dan kanker sangat berbeda.
Tumor dapat diatasi dengan melakukan operasi pengangkatan tumor. Sebaliknya, kanker
membutuhkan waktu perawatan yang lama yang meliputi operasi, kemoterapi, terapi radiasi.
PCR-RFLP
Analisis PCR-RFLP pada daerah ITS1-ITS4 menggunakan enzim restriksi MspI sebagai
standar untuk identifikasi isolat klinis. Isolat yang dianalisis digunakan dari 6 spesies
Candidayang telah diketahui jenis spesiesnya. Penggunaan PCR dalam analisis RFLP adalah
untuk membatasi daerah yang polimorfis untuk dipotong menggunakan enzim restriksi. Jika tidak
menggunakan kombinasi PCR maka diperlukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui pita target
hasil pemotongan enzim restriksi pada daerah yang polimorfis yaitu dengan analisis southern blot
menggunakan probe tertentu. Analisis PCR-RFLP menggunakan sepasang primer universal pada
daerah ITS1-ITS4 rDNA dari berbagai strain Candida. Pemilihan daerah ITS1-ITS4 karena
mengandung beberapa daerah yang urutannya lestari, dapat digunakan sebagai alignmen urutan
secara tepat namun daerah tersebut juga mengandung variabilitas urutan yang cukup sehingga
3
urutan non-homolog dapat digunakan sebagai marker spesifik untuk identifikasi spesies
menggunakan PCR-RFLP.
Sebelum memotong hasil produk PCR, maka dilakukan uji restriksi menggunakan
program DNASIS untuk memprediksi produk restriksi dengan enzim restriksi tertentu. Urutan
DNA didaerah ITS1-ITS4 diperoleh dari genbank yang dapat diakses secara umum, kemudian
diprediksi ukuran fragmen jika dipotong menggunakan enzim restriksi tertentu. Analisis ini dapat
membantu dalam pemilihan enzim restriksi yang digunakan.
Pemeriksaan DNA tidak lepa dari PCR/Polymerase Chain Reaction. Proses yang
berlangsung secara in vitro dalam tabung reaksi sebesar 200 µl ini mampu menggandakan atau
mengkopi DNA hingga miliaran kali jumlah semula. Maka dengan berbekal DNA yang
terkandung dalam sampel yang hanya sedikit bisa diperoleh banyak sekali informasi sesuai
kebutuhan kita.
Reaksi PCR meniru reaksi penggandaan atau replikasi DNA yang terjadi dalam makhluk
hidup. Secara sederhana PCR merupakan reaksi penggandaan daerah tertentu dari DNA cetakan
(template) dengan batuan enzim DNA polymerase.
PCR terdiri atas beberapa siklus yang berulang-ulang, biasanya 20 sampai 40 siklus. Pada
setiap siklus DNA polymerase akan menggandakan DNA sebanyak 2 kali.
Komponen PCR
Selain DNA template yang akan digandakan dan enzim DNA polymerase, komponen lain
yang dibutuhkan adalah:
Primer
Primer adalah sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek yang menginisiasi
sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. PCR hanya mampu
menggandakan DNA pada daerah tertentu sepanjang maksimum 10000 bp saja, dan dengan
teknik tertentu bisa sampai 40000 bp. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen
dengan DNA template, jadi dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang kita
inginkan.
3
dNTP (deoxynucleoside triphosphate)
dNTP atau building blocks sebagai ‘batu bata’ penyusun DNA yang baru. dNTP terdiri atas
4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP.
Buffer
Buffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk mengkondisikan reaksi agar
berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase.
Ion Logam
Ion logam bivalen, umumnya Mg++, fungsinya sebagai kofaktor bagi enzim DNA
polymerase. Tanpa ion ini enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja.
Ion logam monovalen, kalsium (K+).
Tahapan Reaksi
Setiap siklus reaksi PCR terdiri atas tiga tahap, yaitu:
Denaturasi
Denaturasi dilakukan dengan pemanasan hingga 96oC selama 30-60 detik. Pada suhu ini
DNA utas ganda akan memisah menjadi utas tunggal.
Annealing
Setelah DNA menjadi utas tunggal, suhu diturukan ke kisaran 40-60oC selama 20-40 detik
untuk memberikan kesempatan bagi primer untuk menempel pada DNA template di tempat yang
komplemen dengan sekuen primer.
Ekstensi/elongasi
Dilakukan dengan menaikkan suhu ke kisaran suhu kerja optimum enzim DNA
polymerase, biasanya 70-72oC. Pada tahap ini DNA polymerase akan memasangkan dNTP yang
sesuai pada pasangannya, jika basa pada template adalah A, maka akan dipasang dNTP, begitu
seterusnya (ingat pasangan A adalah T, dan C dengan G, begitu pula sebaliknya). Enzim akan
3
memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung. Lamanya waktu ekstensi bergantung pada
panjang daerah yang akan diamplifikasi, secara kasarnya adalah 1 menit untuk setiap 1000 bp.
Selain ketiga proses tersebut biasanya PCR didahului dan diakhiri oleh tahapan berikut:
Pra-denaturasi
Dilakukan selama 1-9 menit di awal reaksi untuk memastikan kesempurnaan denaturasi dan
mengaktifasi DNA Polymerase (jenis hot-start alias baru aktif kalau dipanaskan terlebih dahulu).
Final Elongasi
Biasanya dilakukan pada suhu optimum enzim (70-72oC) selama 5-15 menit untuk
memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara sempurna. Proses
ini dilakukan setelah siklus PCR terakhir
PCR dilakukan dengan menggunakan mesin Thermal Cycler yang dapat menaikkan dan
menurunkan suhu dalam waktu cepat sesuai kebutuhan siklus PCR. Pada awalnya orang
menggunakan tiga penangas air (water bath) untuk melakukan denaturasi, annealing dan ekstensi
secara manual, berpindah dari satu suhu ke suhu lainnya menggunakan tangan. Tapi syukurlah
sekarang mesin Thermal Cycler sudah terotomatisasi dan dapat diprogram sesuai kebutuhan.
Aplikasi PCR dibidang klinis
Aplikasi PCR utama dibidang klinis adalah untuk diagnosis, dan kloning. Yang paling
sering dipakai di bidang klinis saat ini adalah untuk diagnosis, yaitu untuk deteksi patogen
infeksius dan identifikasi mutasi pada gen yang berkaitan dengan faktor resiko penyakit.
Untuk aplikasi PCR dibidang klinis tersebut, telah dikembangkan berbagai macam
teknis berbasis PCR, antara lain :
1. RFLP-PCR (restriction fragment lenght polymorphisms)
Pada prinsipnya, teknik ini dimanfaatkan untuk deteksi polimorfisme. Secara umum teknik
ini menggunakan enzim restriksi untuk mengetahui adanya polimorfisme (RFLP), dan produk
hasil digesti tersebut diamplifikasi dengan PCR (RFLP-PCR).
3
Teknik PCR yang mirip dengan teknik diatas AFLP-PCR (amplification fragment lenght
polymorphisme) yang digunakan untuk membedakan isolat atau spesies yang berbeda
berdasarkan daerah enzim restriksi (polimorfisme daerah restriksi)
PCR-RFLP merupakan teknik analsis lanjutan dari produk PCR. Teknik PCR
memanfaatkan perbedaan pola pemotongan enzim restriksi atau enzim pemotong yang berbeda
pada tiap-tiap mikroorganisme. Analisis RFLP sering digunakan untukmendeteksi lokasi genetik
dalam kromosom yang menyandikan penyakit yangditurunkan (Orita et al., 1989) ataupun untuk
mendeteksi adanya keragaman gen yang berhubungan dengan sifatekonomis, seperti produksi
dan pertumbuhan.
Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)a merupakan suatu teknik yang digunakan untuk
memperbanyak segmen DNA secara in vitro (Ausubel, 1995). Segmen DNAtersebut kemudian
dapat diketahui runutan nukleotidanya, salah satunya yaitudengan menggunakan enzim restriksi.
Enzim restriksi dapat memotong DNA secaraspesifik dan terbatas pada situs yang dikenalinya
(Lewin, 1994). Perbedaan polapemotongan DNA dari jenis gen yang sama antara beberapa ternak
disebut Restriction Fragment Length Polymorphism(RFLP).
Pada prinsipnya, RFLP merupakan semua mutasi yang menghilangkan atau menciptakan
sekuen rekognisi baru bagi enzim restriksi. Penyisipan (inersi),penghilangan (delesi), maupun
subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkan tidak
lagi dikenalinya situs pemotongan enzim restriksi dan terjadinya perbedaan pola pemotogan
DNA (Lewin,1994).
2. VNTR-PCR (variable number of tandem repeat sequence), dan STR-PCR (short
tandem repeats). Teknik ini sering digunakan untuk tujuan forensi. Dengan menggunakan primer
yang tepat, variasi sekuens pengulangan berurutan yang terdapat pada DNA sampel dapat
diketahui.
3. Skreening / deteksi mutasi berbasis PCR
Dahulu, skreening/ deteksi mutasi dapat dilakukan dengan PCR konvensional (misalnya
dengan BESS-T-Scan (Base Excision Sequence Scanning)) untuk mendeteksi mutasi T/A atau T /
A, atau Amplification refractory mutation system (ARMS) untuk mendeteksi point mutation
melalui priming oligonukleotida kompetitif.
4. PCR kuantitatif
3
Untuk keperluan diagnosis dan penilaian kemajuan tetapi kadang membutuhkan
pemeriksaan yang bersifat kuantitatif. PCR konvensional dapat digunakan untuk mendapatkan
data kuantitatif tersebut dengan menggunakan kompetitor (internal exogenous standard) atau
dengan housekeeping gene (internal endogenous standard). Namun saat ini, penggunaan PCR
konvensional untuk PCR kuantitatif telah digantikan real-time PCR.
Pemeriksaan Serologi
Serologi ialah ilmu yang mempelajari reaksi antigen antibody secara invitro
Untuk dapat menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi:kita harus dapat mengisolasi atau
menemukan kuman penyebabnya. Proses isolasi atau menemukan kuman tersebut memakan
waktu yang cukup lama dan sulit dalam pelaksanaannya. Apabila sebuah kuman masuk kedalam
tubuh kita maka kuman tersebut akan merupakan suatu antigen (benda asing)bagi tubuh kita dan
selanjutnya akan merangsang tubuh kitauntuk membentuk antibody terhadap kuman tersebut.
Dengan dapat ditemukannya antibody tersebut dalam tubuh kita, mka hal ini akan membantu kita
dalam menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi. Proses untuk menemukan atau mendeteksi
adanya antigen dan antibody tersebut yang selanjutnya kita kenal dengan pemeriksaan serologi.
3
Beberapa contoh pemeriksaan serologi adalah: Widal, VDRL, Toxoplasmosis, Hepatitis, AIDS,
dsb. Dalam kuliah ini akan dibahas pemeriksaan serologi untuk Widal dan Hepatitis A dan B.
WIDAL
Pemeriksaan widal adlah pemeriksaan serologi untuk memebantu menegakkan diagnosapenyakit
demam typoid. Dalam pemeriksaan ini dipakai suspensikuman Salmonella Typhosa dan
Salmonella Paatyphosa sebagai antigen untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kedua kuman
salmonella tersebut dalam serum penderita. Apabila terjadi pertemuan antara antigen dan
antibodynya yang sejenis, maka akna terjadi proses AGGLUTINASI.
Untuk pemeriksaaan Widal, dipakai antigen O dan antigen H, sedangkan antigen Vi biasanya
dipakai untuk mendeteksi adanya karrier.
Sifat dan cirri khas antigen O adalah:
• Merupakan lapisan luar dari kuman.
• Merupakan suatu lipopolisakharida.
• Bersifat sebagai endotoxin.
• Tahan terhadap pemanasan dan alcohol.
• Tidak tahan terhadap formalin.
Sifat dan diri khas antigen H adalah:
• Terdapat pada flagella/fimbriae.
• Merupakan suatu protein.
• Tahan terhadap formalin.
• Tidak tahan terhadap panas dan alcohol.
Sifat dan cirri khas antigen Vi adalah:
• Terdapat pada kapsul kuman.
• Berperan pada karier.
Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologiSerologi merupakan cabang imunologi yang mempelajari reaksi
antigen-antibodi secara invitro.Reaksi serologis dilakukan berdasarkan asumsi bahwa agen
3
infeksius memicu host untuk menghasilkanantibodi spesifik, yang akan bereaksi dengan agen
infeksius tersebut. Reaksi serologis dapat digunakanuntuk mengetahui respon tubuh terhadap
agen infeksius secara kualitatif maupun kuantitatif.Keuntungan melakukan pemeriksaan serologis
untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit antaralain karena reaksi serologis spesifik untuk
suatu agen infeksius, waktu yang diperlukanlebih singkat daripadape,eriksaan kultur/identifikasi
bakteri, dan pengambilan sampel relatif mudah yaitu darah.Beberapa uji serologi
Reaksi serologis untuk salmonella TypnosaPemeriksaan serologis yang digunakan untuk
diagnosa penyakit demam typhoid yang disebabkanoleh Salmonella disebut pemeriksaan Widal.
Uji Widal dirancang secara khusus untuk membantudiagnosis demam typhoid dengan cara
mengaglutinasikan basilus typhoid dengan serum penderita. Namun,istilah ini kadang-kadang
diterapkan secara tidak resmi pada uji aglutinasi lain yang menggunakan biakanorganisme yang
dimatikan dengan panas selain Salmonella.
Pemeriksaan Widal digunakan untuk :
Mengetahui diagnosa thypus abdominalis dan penyakit parathyposa A, B, C, D2.
Mengetahui prognosa penyakit3.
Mengetahui ada tidaknya aglutinin dalam serum penderitaSalmonela mempunyai 3 macam
antigen, yaitu antigen H, O, dan Vi. Dari hasil pemeriksaan Widaldapat diambil kesimpulan
Kenaikan titer O menunjukkan masih ada infeksi aktif 2.
Kenaikan titer H menunjukkan kemungkinan post vaksinasi atau infeksi telah berlalu3.
Kenaikan titer Vi menunjukkan kemungkinan “karier”
Reaksi serologi untuk treponema : Reaksi serologi untuk treponema dilakukan dalam
menegakkan diagnosa penyakit sifilis. Sifilisadalah suatu penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual, disebabkan oleh TreponemaPallidum.Infeksi treponema pallidum dalam
tubuh akan menimbulkan dua macam antibodi, yaitu1.
Antibodi non treponema (reagin)2.
3
Antibodi treponemaPemeriksaan serologi untuk treponema dibagi menjadi dua jenis yaitu1.
Non treponemal antigen test
reaksi flokulasi : Kahn, VDRL, Murata, Kline, Mazzini, Hintonpartikel antigen yang
berupa lipid akan mengalami flokulasi setelah dikocokdengan regain.
reaksi fiksasi komponen : Wasserman, Kolmerserum yang mengandung reagin dapat
mengikat komplemen jika ada cardiolipin sebagaiantigen.Oleh karena antigen yang digunakan
bukan antigen spesifik maka dapat terjadi BFPR (BiologicalFalse Positive Reaction). Penyakit
lain yang dapat menimbulkan BFPR pada test ini antara lainadalah malaria, lepra, relapsing fever,
lupus eritematosus, leptospirosis, rhemathoid arthritis.2.
Treponemal antigen test- reaksi aglutinasi : TPHA ( Treponema Pallidum Haem
Aglutination)- reaksi fiksasi komplemen : TPCF ( Treponema Pallidum Complement Fixation)-
imobilisasi : TPI (Treponema Pallidum Immobolization)- imunofluoresen : FTA ( Flouresan
Treponema Antibody)
VII. KESIMPULAN
Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda mengidap karsinoma nasofaring
akaibat terjadinya polimorfisme yang dipengaruhi oleh genetik dan didukung oleh faktor
kebiasaan mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung nitrosamin serta infeksi virus
EBV yang menyebabkan gen laten diekspresi sehingga sel abnormal immortal terus
bereplikasi yang menyebabkan kanker.
3
Daftar Pustaka
Guyton, Arthur C. ; Hall, John E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Jakarta : EGC.
Ward, Jeremy P. T. ; Clarke, Robert W. 2007. At a Glance Fisiologi. Jakarta : Erlangga.
Astrand PO Rodahl K. 1986. Texbook of Work Physiology, Physiological Basis of
Exercise. Third Edition. USA: Lea and McGraw Hill Book Company.
3
Snell, Richard S. 2006.Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC
Alberts, B. Johnson, A. Lewis. 2002. Molecular Biology of The Cell, 4th ed. New York:
Garland Science.
Glick, B.R., Pasternak, J.J. 2003. Molecular Biotechnology, Principles and Application of
Recombinant DNA, 3rd ed. Washington DC: ASM Press.
Smith, J.E. 1996. Biotechnology 3rd ed. Cambridge University Press.
Alberts , Johnson, Lewis ,Raff , Roberts , Walter. 2008. Molecular Biology of the Cell Fifth
Edition. New York: Garland Science.
Hariwiyanto B. 2009. Peran protein EBNA1, EBNA2, LMP1 dan LMP2 Virus Ebtein Barr
sebagai factor prognosis pada pengobatan Karsinoma Nasofaring. Program Doktor Ilmu
Kedokteran dan Kesahatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Murpy K, Travers P, Walport M, Janeway’s. 2008. Immunobiology, ED.VII. New York :
Garland Science.
http://eprints.undip.ac.id/37559/1/Irwan_N-G2A008099-LAPORAN_KTI.pdf
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa
Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
3
Eugene B. Kern. Et al. 1993. Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok, EGC, Jakarta. pp;371-
373
Kurniawan A. N., 1994. Nasopharynx dan Pharynx dalam Kumpulan kuliah Patologi,
FKUI, 1994,Jakarta.pp;151-152
Pelczar and Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press.
Budiani, Dyah Ratna. 2012. Petunjuk Praktikum ELISA. Surakarta: Laboratorium
Biomedik FakultasKedokteran Universitas Sebelas Maret.
Maryani, dkk. 2011.Buku Praktikum Serologi. Surakarta: Laboratorium Mikrobiologi
FakultasKedokteran Universitas Sebelas Maret.
Lequin, RM (2005). "Enzyme Immunoassay (EIA)/Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay(ELISA)".
Hammond EC. The epidemiological approach to the etiology of cancer. In: Kruse LC,
Reese JL, Hart LK, editors. Cancer pathophysiology, etiology and management. 4th ed. St
Louis: The C.V. Mosby Co.; 1975. p. 45-6.
Chyou PH. A prospective study of the attributable risk of cancer due to
cigarettesmoking. Am J Publ Health 1992;82 : 37-9.
Rauth AM. Radiation carcinogenesis. In: Tannock JF, Hill RP, editors. The basic
science of oncology. 2nd ed. New York: Mc Graw-Hill, Inc.; 1992. p. 119-34.
Archer MC. Chemical carcinogenesis. In: Tannock JF, Hill RP, editors. The basic
science of oncology. 2nd ed. New York: Mc Graw-Hill, Inc.;1992. p. 102-17.