LAPORAN KASUS
MANAJEMEN ANESTESI
PADA DEBRIDEMENT DAN BACK SLAB
Disusun Oleh :
Aditya Airlangga
0810713002
Pembimbing:
dr. Andyk Asmoro, Sp.An
LABORATORIUM ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR
MALANG
2013
1
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : Nn. S
Usia : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Gadang Gg VIII/no. 230 Sukun Malang
Pekerjaan : Swasta
Status Perkawinan : Belum kawin
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 60 kg
Register : 1211xxx
Dirawat di : di R. 13
Tanggal dilakukan anestesi : 6 Juni 21013
Diagnosa pra bedah : OF Femur (D) + OF head middle phalanx
(D) R Ring Finger + OF Base phalank R
second toe
Jenis pembedahan : Debridement + Backslab
Jenis anestesi : General Anestesi - Intubasi
2. Preoperatif
2.1 Anamnesis (6 Juni 2013)
A : Pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat. Didapatkan ada alergi
udang dan tongkol.
M : Tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu.
P : Selama ini pasien tidak pernah mengalami sakit berat yang
Mengharuskan dirawat di rumah sakit. Riwayat hipertensi (-),
Diabetes mellitus (-).
L : Pasien mulai puasa pada rabu pagi , kira-kira 1 hari yang lalu.
E : Pasien merupakan rujukan dari RS Babtis Batu, dan dirujuk karena
keterbatasan alat. Pasien mengalami kecelakaan dan terjatuh dari
sepeda motor, mengeluh pusing , sempat pingsan, dan tidak ingat
kejadian. Pasien mengalami luka pada paha kanan, jari kaki kanan.
2
2.2 Pemeriksaan Fisik (6 Juni 2013)
B1: Airway paten, nafas spontan simetris, reguler, 16x/menit, Rhonki
(-), wheezing (-)
B2 : Akral hangat, kering, kemerahan, TD 90/60, nadi 80x/menit,
CRT<2 detik, S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
B3 : Compos mentis, GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm, refleks
cahaya +/+
B4 : BAK spontan, warna urine kekuningan jernih, 3 kali sehari
B5 : Flat, soefl, BU (+) N, mual (-), muntah (-)
B6 : Mobilias (+), edema (-), kifosis (-), skloliosis (-), lordosis (-)
2.3 Pemeriksaan Lab (6 Juni 2013)
Darah Lengkap
Hb : 12.00 gr/dl (N : 11 – 16,5 gr/dl)
Leukosit : 15.59 /µl (N : 3.500 – 10.000 /µl)
Trombosit : 221.000 /µl (N : 150.000 – 390.000 /µl)
PCV : 37.00 % (N : 35,0 – 50,0 %)
Serum Elektrolit
Natrium : 136 mmol/l (N : 136 – 145 mmol/l)
Kalium : 3,5 mmol/l (N : 3,5 – 5,0 mmol/l)
Chlorida : 111 mmol/l (N : 98 – 106 mmol/l)
Kimia Darah
GDA : 72 mg/dl (N : < 200 mg/dl)
Ureum : 17,9 mg/dl (N : 10 – 50 mg/dl)
Creatinine : 0,63 mg/dl (N : 0,7 – 1,5 mg/dl)
SGOT : 14 U/L (N : 11 – 41 U/L)
SGPT : 15 U/L (N : 10 – 41 U/L)
Albumin : 4,21 g/dl
Faal Hemostasis
PPT : 13 detik (Kontrol 12,3 detik)
APTT : 39,5 detik (Kontrol 27,9 detik)
EKG : Sinus Rhythm HR 85x/menit
Foto Thorax PA : dalam batas normal
3
2.4 Laporan Anestesi Preoperatif
Assessment: ASA II CKR 456, leukositosis (15,590)
Diagnosa pra bedah: OF Femur (D)
OF head middle phalanx (D) R Ring Finger
OF Base phalank R second toe
Keadaan pra bedah (6 Juni 2013)
TB 150 cm, BB 60 kg
TD 120/90mmHg, nadi 100x/menit, suhu 37,5°C
Puasa + 8 jam sebelum operasi
Jenis pembedahan: Debridement, back slab
2.5 Persiapan Preoperatif
2.5.1 Di UGD
Surat ijin operasi + surat ijin tindakan anestesi
Puasa 8 jam pre op
IVFD RL 100 cc/jam sejak puasa
Premedikasi : 6 Juni 2013
Inj. Metoclopramide 10 mg iv
Inj. Ranitidin iv
Sedia PRC 2 labu
2.5.2 Di Kamar Operasi
Scope stetoskop, laringoskop
Tubes ETT (cuffed) size 7,5
Airway orotracheal airway
Tape plaster untuk fiksasi
Introducer untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
Connector penyambung antara pipa dan alat anestesi
Suction memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
Obat emergensi: sulfas atropin, lidokain, adrenalin, efedrin
4
3. Durante Operatif
3.1 Laporan Anestesi Durante Operatif
Jenis anestesi : General Anestesi – Intubasi
Teknik anestesi : Intubasi Oral Sleep Apneu, ETT size 7,5 cuff (+),
oropharyngeal airway (+)
3.2 Tindakan Anestesi Umum Dengan Intubasi
• Pasien diposisikan pada posisi supine, head up 30º
• Pemberian oksigen (preoksigenasi) 100% 10 liter dilanjutkan dengan
metode face mask selama 5 menit
• Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal
• Obat fentanyl 100 µg dan propofol 100 mg dimasukkan secara intravena
untuk tujuan induksi
• Pasien diberi oksigen 100% 7 liter dengan metode over face mask
sehingga pasien tidak sadar
• Dipastikan apakah airway pasien paten
• Dimasukkan muscle relaxant atracurium 25 mg intravena dan diberi
bantuan nafas dengan ventilasi mekanik + lidokain 60 mg
• Dipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan reflek
jalan nafas (-) untuk dilakukan intubasi ETT
• Dilakukan intubasi ETT dilakukan ventilasi dengan oksigenasi
• Cuff dikembangkan, lalu cek suara nafas pada semua lapang paru
dengan stetoskop, dipastikan suara nafas dan dada mengembang secara
simetris ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan
ventilator
• Maintenance dengan inhalasi O2 4 lpm + N2O 3 lpm dan isofluran MAC ±
0,8%
• Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen, tanda-
tanda komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas)
• Dilakukan ekstubasi apabila pasien mulai sadar, nafas spontan dan ada
reflek menelan. Oksigenasi diberikan 2 lpm nasal kanul.
5
3.3 Pemberian Cairan
Jam ke I : 460 cc (M+O)
Jam ke II : 460 cc (M+O)
Cairan masuk:
Pre operatif : RL 3000 cc
Durante operatif : NS 1000 cc
HaES 100 cc
Transfusi PRC 400 cc
Cairan keluar:
Pre operatif : ± 600 cc (dower catheter)
Durante operatif : ±1200 cc
EBV = 7 x 60 = 4200 cc
ABL = 20% x EBV = 840 cc
M = 40 + 20 + 40 = 100 cc/jam
O6 = 6 x 60 = 360 cc
4. Postoperatif
4.1 Laporan Anestesi Postoperatif di Ruang Pulih Sadar
Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1: airway paten, napas spontan, RR18x/menit, Rh (-), Wh(-)
B2: akral hangat, kering, kemerahan, nadi 90x/menit, TD 110/70
mmHg,dengan nasal kanul 2 lpm
B3: compos mentis, GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya
+/+
B4: terpasang kateter 16 fr
B5: soefl, BU(+) N,
B6: mobilitas (-), edema (-)
Terapi Pasca Bedah
O2 2 lpm
Infus: NS 100cc/jam
Antibiotika: sesuai TS Bedah
Inj. Metoclopramid 3x10mg iv
6
Inj. Ranitidin 2x50mg iv
Bila mual/muntah: -Inj. Ondansetron 4 mg
-Kepala dimiringkan, head down, suction aktif
Analgesik: inj. Ketorolac 30 mg
4.2 Monitoring
Cek vital sign tiap 5 menit selama 1 jam
Bila RR ≤10 x/mnt berikan O2 10 L/mnt dengan NRBM
Bila nadi ≤50, berikan sulfas atropin 0,5 mg iv
Jika tekanan darah sistole <90 mmHg berikan RL/NS 500 cc dalam 30
menit efedrin 5-10 mg iv
Pindah ruangan jika aldrete score > 8
Cek DL, albumin, SE, post operasi
Bila albumin <2,5 g/dl, tranfusi albumin 20% 100 cc sampai albumin >
2,5g/dl
Bila Hb < 8g/dl tranfusi PRC sampai Hb > 8g/dl
7
PEMBAHASAN
1. Penanganan Awal pada Trauma
Pada pasien trauma dilakukan penilaian kesadaran dengan AVPU (alert,
verbal, pain, unresponsive), primary survey serta resusitasi. Primary survey
meliputi pemeriksaan ABCDE yaitu airway, breathing, circulation, disability,
exposure yang diperiksan secara berurutan (David et al, 2011). Pada pasien ini
kondisi kesadarannya penuh (alert).
Jalan nafas merupakan prioritas pertama yang diakses dengan
menentukan kemampuan udara untuk melalui jalan nafas, tanpa obstruksi,
sampai ke paru. Jika pada saat pemeriksaan kesadaran pasien dapat menjawab
dengan lancar, maka dapat dipastikan saat itu jalan nafas pasien tersebut paten.
Masalah yang dapat ditemukan antara lain obstruksi karena trauma langsung,
edema, benda asing, atau ketidakmampuan untuk mempertahankan patensi
jalan nafas karena penurunan kesadaran. Terapi disesuaikan dengan penyebab
yang mendasari seperti suction cairan, pengambilan benda asing,
cricothyroidotomy, tracheostomy, triple airway maneuver jika tidak terdapat
cedera cervical ataupun pemasangan alat-alat seperti nasopharyngeal atau
nasopharyngeal tube sampai ETT (David et al, 2011). Pada pasien ini jalan
nafasnya paten sehingga tidak memerlukan penatalaksaan khusus.
Lalu evaluasi breathing untuk menilai kemampuan pasien untuk
melakukan ventilasi dan oksigenasi. Penilaian dilakukan dengan inspeksi,
auskultasi, palpasi dan perkusi. Masalah yang dapat ditemukan antara lain
hilangnya ventilasi spontan, suara nafas tambahan, kelainan bentuk dan
pengembangan dinding dada serta kelainan saat perkusi. Pada pasien yang
tidak memiliki pernafasan yang adekuat, perlu diberikan bantuan nafas.
Penatalaksaan berikutnya berdasarkan pada penyebab dasar serta pemberian
oksigen. (David et al, 2011). Pada pasien ini gerakan dada simetris dan pola
pernafasan normal sehingga penatalaksanaan diberikan oksigen 10 lpm dengan
NRBM.
Evaluasi sirkulasi dengan melakukan pemeriksaan tensi, nadi, capillary
refill time serta suhu akral untuk mengetahui status cairan pasien. Perlu dicari
tanda-tanda hipovolemik, tamponade jantung, ataupun sumber perdarahan
eksternal. Terapi awal pada kasus hipovolemik adalah mengontrol sumber
perdarahan, memposisikan pasien serta resusitasi cairan dengan double IV line
jarum besar sampai tercapai keadaan hemodinamik yang stabil. RL merupakan
pilihan pertama untuk resusitasi cairan dan diberikan 2-4x EBL, jika belum
adekuat maka dapat diberikan cairan dengan rumus berikut (David et al, 2011;
Morgan, 2006)
20% EBL dengan crystalloid
20% EBL dengan colloid
10% EBL dengan darah
Perkiraan jumlah volume cairan yang hilang dapat dilihat pada tabel
berikut (Barash, 2009):
Tabel 1. ATLS Classification of Haemorrhagic Shock
Table Advanced Trauma Life Support Classification of Hemorrhagic Shock Class I Class II Class III Class IVBlood loss (mL) ≤750 750–1500 1500–2000 >2000Blood loss (% of blood volume)
≤15 15–30 20–40 >40
Heart rate (bpm) <100 >100 >120 >140Systemic blood pressure
Normal Normal Decreased Decreased
Pulse pressure increased
Normal or Decreased Decreased Decreased
Capillary refill test Normal Positive Positive PositiveRespiratory rate (breaths/min)
14–20 20–30 30–40 <35
Urine output (mL/hr) >30 20–30 5–15 NegligibleMental status Slightly
anxiousMildly anxious Anxious and
confusedConfused and lethargic
Fluid replacement Crystalloid Crystalloid and blood
Crystalloid and blood
Crystalloid (3:1 rule)
Pada saat pasien datang di IGD didapatkan GCS 456, tensi 110/70, nadi
105x/ menit, RR 24x/menit, produksi urin setelah terpasang kateter + 100 cc,
namun tidak didapatkan data tentang akral, CRT, dan membran mukosa pasien
sehingga sulit untuk menentukan apakah pasien dalam kondisi shock ataupun
tidak. Pasien ini mendapat terapi cairan RL namun tidak diketahui kecepatan
tetesannya. Pada pasien ini diperkirakan masuk kedalam keadaan syok derajat 1
dimana perkiraan kehilangan darahnya sekitar 15% EBV (60 x 70cc = 4200cc)
yaitu 630 cc. Untuk kehilangan darah sebesar 10-20% diberikan ringer laktat
2000 ml selama 15 menit pada dewasa atau 20 ml/kg pada anak-anak untuk
menormalkan tekanan darah (Barash, 2009).
Evaluasi disability dengan melakukan pemeriksaan kesadaran pasien
dengan Glasgow Coma Scale. Pemeriksaan pupil dilakukan meliputi ukuran,
simetris atau tidak, serta respon terhadap cahaya. Asimetris pupil, hilangnya
reflex cahaya, hemiplegi atau paresis menunjukan sedang terjadinya herniasi
otak. Pada pasien ini didapatkan nilai GCS 456. Pada pemeriksaan ekstremitas,
pada cruris sinistra didapatkan vulnus regio anterior cruris ± 10 cm x 5 cm, bone
ekspose, deformitas, nyeri, krepitasi +, arteri dorsalis pedis lemah, limited
movement (+).
Terakhir exposure dilakukan dengan melepas semua pakaian pasien agar
dapat melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Hipotermi merupakan
kondisi yang harus dihindari, dan dapat dilakukan dengan pemakaian selimut,
cairan IV yang dihangatkan, ataupun lampu penghangat (David et al, 2011).
2. Preoperatif
2.1 Penilaian Preoperatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan preoperasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan
anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan
sehingga dapat mengetahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan
dioperasi, menentukan jenis operasi yang akan digunakan, melihat kelainan yang
berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi,
atau dekompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien
secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan
obat yang tepat pada pasien. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa
menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi (Latief, 2009).
Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus
dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang
elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi
medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan
mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan
dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent (Latief, 2009).
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi
terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash)
harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi
gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali, begitu
juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi
interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya
bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review
sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis
lain yang belum terdiagnosa (Latief, 2009).
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul
pada history taking, sedangkan history taking membantu memfokuskan
pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik
setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate,
suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan sistem muskuloskeletal.
Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga
bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional
(Miller, 2010).
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan
gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada
pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek
antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia,
Range of Motion yang terbatas dari temporomandibular Joint atau vertebrae
servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk
dilakukan intubasi trakeal (Miller, 2010).
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien
yang sehat dan asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal
mendeteksi adanya abnormalitas. Namun, karena legitimasi hukum banyak
dokter yang tetap memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum
elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua
pasien (Miller, 2010).
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat prakiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA
secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena
underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap
komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak
sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam
perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring (Barash, 2009).
Tabel 2. Klasifikasi ASA (Twersky RS dan Phillip BK, 2008)
Class Definition
P1 A normal healthy patient
P2 A patient with mild systemic disease (no functional limitations)
P3 A patient with severe systemic disease (some functional limitations)
P4 A patient with severe systemic disease that is a constant threat to life (functionality incapacitated)
P5 A moribund patient who is not expected to survive without the operation
P6 A brain-dead patient whose organs are being removed for donor purposes
E If the procedure is an emergency, the physical status is followed by "E" (for example, "2E")
Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent.
Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat
melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan
bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan
dilakukan dan resikonya. Tujuan kunjungan preoperasi bukan hanya untuk
mengumpulkan informasi yang penting dan inform consent, tetapi juga
membantu membentuk hubungan dokter-pasien. Bahkan pada interview yang
dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan penting serta membiarkan
pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal tersebut setidaknya dapat
membantu mengurangi kecemasan yang efektivitasnya sama dengan regimen
obat premedikasi.
Dari anamnesis terdapat riwayat cedera kepala, tidak ada riwayat
hipertensi, penyakit ginjal, paru, diabetes melitus, maupun alergi. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium, didapatkan anemia (Hb : 6,4 g/dl) dan pemanjangan
APTT 1,3 kali. Hasil pemeriksaan foto thoraks dalam batas normal. Berdasarkan
data-data tersebut, pasien diklasifikasikan sebagai ASA 2 dengan anemia, CKR,
dan pemanjangan APTT 1,3x.
2.2 Persiapan Preoperatif
2.2.1 Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat, air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anestesi (Latief, 2009). Pada pasien, puasa dilakukan sejak 8 jam
sebelum operasi, dan untuk minum obat, pasien minum air putih 3 jam sebelum
operasi.
2.2.2 Terapi Cairan
Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi
cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat, dan
insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan
maintenance normal dapat diperkirakan, yakni (Latief, 2009):
4 cc/kg/jam untuk berat badan 10kg pertama
2 cc/kg/jam untuk berat badan 10kg kedua
1 cc/kg/jam untuk tiap kg atas 20kg .
Defisit cairan bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan
maintenance dengan waktu puasa. Pada pasien ini, berat badan pasien adalah
60 kg dimana kebutuhan cairan maintenance adalah 100cc/jam dan pasien ini
dipuasakan selama 8 jam sebelum operasi. Jadi defisit cairan pasien ini secara
total adalah 800cc. Pada pasien, diberikan cairan maintenance sebanyak ± 1000
cc cairan RL sebelum operasi.
2.2.3 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. metoclopramide 10
mg, ranitidin iv untuk profilaksis dari PONV.
2.3 Pertimbangan Anestesi pada Bedah Ortopedi
Banyak prosedur bedah ortopedi yang membutuhkan teknik anestesi
regional karena tempat operasi di perifer dan terlokalisir. Struktur saraf dapat
diblokir pada saraf perifer, pleksus, atau tingkat neuraxial. Anestesi regional
menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan anestesi umum,
termasuk rehabilitasi yang lebih cepat, keluar dari rumah sakit lebih cepat,
analgesia pasca operasi lebih baik, penurunan kejadian mual dan muntah,
kurangnya depresi pernapasan dan jantung, meningkatnya perfusi melalui blok
simpatik, menurunnya kehilangan darah, dan penurunan risiko tromboemboli.
Penting untuk menjelaskan manfaat anestesi regional saat yang tepat. Teknik
regional yang spesifik dan larutan anestesi yang digunakan tergantung pada
berbagai faktor, termasuk durasi operasi, durasi analgesia pasca operasi, tingkat
blok sensorik atau motorik diperlukan untuk memungkinkan rehabilitasi atau
ambulasi, dan indikasi untuk simpatektomi pasca operasi. Demikian juga, setiap
pasien yang memiliki kontraindikasi mutlak untuk anestesi regional (penolakan
pasien, infeksi di lokasi penempatan jarum, koagulopati sistemik) merupakan
kandidat untuk anestesi umum. Yang penting, kontraindikasi sering mungkin ada
untuk blokade neuraxial, tetapi teknik perifer lebih distal tetap sesuai.
Pada pasien ini digunakan teknik anestesia umum dengan intubasi.
Karena pada pasien ini terdapat kontrindikasi anestesi regional, yaitu kecurigaan
adanya edema serebri yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial karena pasien memiliki riwayat trauma kepala.
2.4 Durante Operasi
2.4.1 Pemakaian Obat Anestesi
Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol 100 mg dan
analgesik fentanyl 100 µg. Dosis propofol untuk induksi adalah 2-2,5 mg/kgBB.
Dapat dicampur dengan lidocain untuk mengurangi nyeri induksi dengan dosis
0,1 mg/kgBB. Dosis fentanyl untuk analgesik adalah 1 - 3 µg/kgBB. Propofol
dikenal baik dan aman untuk digunakan sebagai obat induksi anestesi. Propofol
mempunyai mula kerja cepat, bangun dari anestesi yang cepat dan sedikit efek
mual-muntah. Kerugian propofol untuk induksi anestesi adalah efek penurunan
tekanan darah arteri rerata (MAP) dan curah jantung. Pengurangan dosis
propofol dengan penggunaan kombinasi fentanyl mempunyai efek hemodinamik
yang stabil setelah induksi anestesi, hal ini karena propofol dan fentanyl bekerja
secara sinergis dalam induksi anestesi.
Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat
yang bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu dipertahankan kadarnya
selama waktu yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang
sama baik pada anestesi yang dicapai dengan anestesi inhalasi, obat intravena,
atau keduanya.
Dengan menggunakan anestesi inhalasi, bisa diketahui minimum alveolar
concentration (MAC) nya dan dapat dicapai dengan relatif cepat (biasanya
diberikan konsentrasi yang besar daripada konsentrasi yang diinginkan di otak)
dan kemudian keseimbangan antara gas anestesi yang diinspirasi dan
diekspirasi bisa terjadi. Maintenance anestesi inhalasi dicapai dengan terus
menerus memberikan obat anestesi inhalasi pada keseimbangan ini. Sedangkan
untuk maintenance menggunakan anestesi inhalasi dilakukan dengan cara
inconstant infusion (intermittent bolus) atau dengan constant fixed / dose infusion
yang jarang bisa mencapai keseimbangan antara darah dengan otak.
Pemberian obat anestesi intravena secara intermiten dan bukan dengan
continuous infusion adalah tidak rasional. Idealnya, infusion rate akan ditentukan
oleh farmakokinetik obat untuk mencapai kadar yang konstan dalam darah-otak.
Masalahnya, dengan teknik bolus terjadi variasi kadar obat dalam darah yang
besar, yang menyebabkan anestesi menjadi terlalu dalam setelah pemberian
bolus dan kemudian menjadi terlalu dangkal sebelum bolus berikutnya.
Pemberian bolus yang diulang juga akan menghasilkan akumulasi obat pada
pasien, sehingga menyebabkan pasien menjadi lebih sulit dirangsang setelah
operasi selesai dilakukan.
Oleh karena itu pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan
anestesi inhalasi. Obat anestesi inhalasi yang dipakai adalah isoflurane.
Isoflurane tidak memiliki kontraindikasi khusus. Isofluran juga dapat
mempotensiasi NMBA.
Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi
dengan intubasi. Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant
sehingga proses intubasi lebih mudah dilakukan.
Tidak ada nondepolarizing muscle relaxants yang sekarang tersedia
menyamai onset yang cepat dan durasi pendek dari succinyl choline; tetapi
meskipun begitu onset dari nondepolarizing relaxants bisa dipercepat dengan
menggunakan baik dosis yang lebih besar atau dengan priming dosis. ED95
adalah dosis efektif obat pada 95% individu. Satu kali datau dua kali lipat ED95
biasanya digunakan untuk intubasi. Meskipun dosis untuk intubasi yang lebih
besar dapat mempercepat onset, dosis ini dapat mengeksaserbasi efek samping
dan memperlama durasi. Prinsip umumnya adalah semakin besar potensi
nondepolarizing muscle relaxant semakin lama kecepatan onsetnya.
Pengenalan agen short- dan intermediate-acting telah menghasilkan
penggunaan priming dosis yang lebih besar. Secara teoritis, pemberian 10–15%
dosis intubasi 5 menit sebelum induksi akan menempati cukup reseptor sehingga
paralisis akan cepat mengikuti ketika keseimbangan relaxant sudah diberikan.
Penggunaan priming dosis bisa menghasilkan kondisi yang sesuai untuk intubasi
segera setelah 60 detik bila menggunakan rocuronium dan 90 detik
menggunakan agen intermediate-acting nondepolarizers seperti atracurium.
Setelah intubasi, paraslisis otot mungkin perlu diteruskan untuk
memfasilitasi operasi misal operasi abdominal atau untuk manajemen anestesi
atau untuk kebutuhan mengontrol ventilasi. Dosis maintenance bisa dicapai
dengan intermittent bolus atau continuous infusion, diberikan dengan monitor
menggunakan nerve stimulator atau tanda klinis (usaha atau gerakan nafas
spontan). Pada kasus ini atracurium diulang setelah ± 45 menit pemberian
atracurium yang pertama karena operasi masih dalam proses, sehigga intubasi
masih tetap dipertahankan (supaya ventilasi terkontrol).
Tabel 3. Dosis Atracurium
Drug ED95 for Adductor
Pollicis During
N2/O2 Anesthesia
(mg/kg)
Intubation
Dose
(mg/kg)
Onset of
Action for
Intubating
Dose
(min)
Duration of
Intubating
Dose (min)
Maintenance
Dosing by
Boluses
(mg/kg)
Maintenance
Dosing by
Infusion (
g/kg/min)
Atracurium 0.2 0.5 2.5–
3.0
30–45 0.1 5–12
2.4.2 Terapi Cairan Perioperatif
Terapi cairan perioperatif termasuk:
penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan
luka operasi seperti jumlah darah yang hilang dan hilangnya cairan
akibat evaporasi dan distribusi internal. (Morgan, 2006)
Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi
cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan
insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan
maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel di bawah:
Tabel 4. Kebutuhan rumatan cairan (Morgan, 2006)
Weight Rate
For the first 10 kg 4 mL/kg/h
For the next 10–20 kg Add 2 mL/kg/h
For each kg above 20 kg Add 1 mL/kg/h
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
Pasien ini mempunyai berat badan 60 kg sehingga kebutuhan cairan per
jamnya adalah: (4x10) + (2x10) + (1x40) = 100 cc/jam.
Oleh karena pasien telah puasa selama 2 jam selama operasi berlangsung
maka kebutuhan cairan yang dibutuhkan pada pasien ini selama perioperatif
adalah 2 x 100 cc = 200 cc.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat
menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika
spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.
Pada pasien ini jumlah darah yang hilang diperkirakan 100 cc. Kehilangan
cairan intraoperatif juga dapat terjadi akibat evaporasi dan distribusi ke ruang
ketiga (contoh akibat luka bakar, inflamasi, infeksi, dll). Kehilangan cairan dalam
bentuk ini dapat diperkirakan berdasarkan jenis operasinya.
Tabel 5. Jumlah Cairan yang hilang Secara Distribusi ke ruang ketiga dan
Evaporasi (Morgan, 2006)
Degree of Tissue Trauma Additional Fluid Requirement
Minimal (eg, herniorrhaphy) 0–2 mL/kg
Moderate (eg, cholecystectomy) 2–4 mL/kg
Severe (eg, bowel resection) 4–8 mL/kg
Pasien ini menjalani operasi debridement fraktur terbuka, jenis operasi ini
termasuk operasi dengan derajat trauma jaringan yang berat sehingga cairan
yang hilang adalah:
4-8 ml/kg BB x 60 kg 480 cc. Sehingga hilangnya cairan sekitar 240 –
480 cc/jam.
Oleh karena operasi berlangsung selama 2 jam, maka kebutuhan cairan
selama operasi adalah:
Kebutuhan cairan maintanance : 100 cc/jam x 2 jam = 200 cc
Kebutuhan cairan lain : 300 cc/jam x 2 jam = 600 cc
Estimasi jumlah darah yang hilang : 100 cc/jam x 2 jam = 200 cc
Produksi urine : 100 cc/jam x 2 jam = 200 cc
= 1200 cc+
Pada pasien ini, estimated blood volume adalah sebanyak 4200 ml.
Allowable Blood Loss (ABL) diperkirakan sebanyak 840 mL (20% dari EBV
pasien). Selain itu, pasien ini membutuhkan cairan maintenance sebanyak 100
cc/jam. Selama durante operasi, pasien telah diberikan cairan sebanyak 460
cc/jam (M=100 cc + O6 = 460cc). Karena jumlah cairan yang hilang selama
operasi lebih besar daripada ABL maka diberikan transfusi PRC 400 cc.
2.4.3 Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut ini adalah standard
minimal monitoring) :
Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard ini
ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu
komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak
lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan
(2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk
mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya.
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general
anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien tidak
pernah < 95%, tekanan darah pasien dalam batas normal (S 100-120, D 60-80),
nadi 90-110x/menit, frekuensi nafas 12x/ menit (dengan ventilator).
2.5 Postoperatif
2.5.1 Recovery dari General Anestesi
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa
tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus
dimonitor terus menerus pada pasien yang masih berada dalam proses recovery
dari general anestesi, paling tidak sampai pasien mulai sadar. Fungsi
neuromuskuler juga harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring
tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak
mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan
perdarahan.
Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus
mendapatkan oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hypoksemia pada
pasien yang sehat sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada pasien-pasien
yang menjalani operasi di daerah upper abdomninal adau toraks, sehingga harus
terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan mungkin memerlukan oksigenasi
dalam waktu yang lebih lama. Keputusan rasional untuk meneruskan
suplementasi oksigen ketika mengeluarkan pasien dari Post Anesthesia Care
Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien
dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.
Pada kasus ini, pasien mulai sadar ± 10 menit setelah operasi selesai
dilakukan. Pasien mulai berada dalam proses recovery, mulai timbul kesadaran,
pasien mulai bisa bernafas dalam dan tidak didapatkan mual atau muntah.
Tanda vital : tekanan darah 110/70, nadi 90x/menit, frekuensi nafas 18x/menit
dengan oksigen via nasal canule 2 lpm.
2.5.2 Kriteria Discharge dari PACU
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU
berdasarkan criteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah
Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke
Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.
Tabel 6. Aldrete Score
Postanesthetic Aldrete Recovery Score
Original Criteria Modified Criteria Point
Value
Color Oxygenation
Pink SpO2 > 92% on room air
2
Pale or dusky SpO2 > 90% on oxygen
1
Cyanotic SpO2 < 90% on oxygen
0
Respiration
Can breathe deeply and
cough
Breathes deeply and
coughs freely
2
Shallow but adequate
exchange
Dyspneic, shallow or
limited breathing
1
Apnea or obstruction Apnea 0
Circulation
Blood pressure within 20%
of normal
Blood pressure ± 20 mm
Hg of normal
2
Blood pressure within 20–
50% of normal
Blood pressure ± 20–50
mm Hg of normal
1
Blood pressure deviating >
50% from normal
Blood pressure more
than ± 50 mm Hg of
normal
0
Consciousness
Awake, alert, and oriented Fully awake 2
Arousable but readily drifts
back to sleep
Arousable on calling 1
No response Not responsive 0
Activity
Moves all extremities Same 2
Moves two extremities Same 1
No movement Same 0
Based on Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924
and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.
Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9.
Sebelum di-discharge, pasien diobservasi apakah ada depresi nafas
selama minimal 20-30 menit setelah pemberian dosis perenteral narkotik terakhir.
Kriteria minimal lain untuk discharge pasien yang telah recovery dari general
anestesi biasanya meliputi hal-hal berikut ini:
Mudah terrespon
Orientasi penuh
Mampu mempertahankan dan melindungi airway
Tanda vital stabil selama paling tidak 15–30 menit
Mampu untuk meminta bantuan bila ia membutuhkan
Tidak ada komplikasi operasi yang bermakna (seperti perdarahan
aktif).
Kontrol nyeri postoperative, mual dan muntah, dan mempertahankan
normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem scoring
untuk discharge digunakan secara luas. Kebanyakan kriteria yang dinilai adalah
SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik.
Kebanykan pasien memenuhi criteria discharge dalam waktu ± 60 menit di
PACU. Sebagai tambahan dari kriteria di atas, pasien dengan general anestesi
seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan
motoris.
Pada kasus ini, setelah 1 jam di PACU pasien di-assest dengan Aldrete
Score 10 karena pasien sudah sadar penuh, tekanan darah relatif tetap
dibanding preoperatif, pasien mampu bernafas dalam dan batuk, SpO2 96%
dengan udara ruangan, dan pasien mampu menggerakkan ektremitasnya kecuali
ekstremitas bawah bagian sinistra. Oleh karena itu, pasien kemudian dipindah ke
ruangan biasa.
2.5.3 Kontrol Nyeri dan PONV
Pemberian NSAID preoperatif saja atau bersamaan dengan asetaminofen
bisa mengurangi kebutuhan terhadap opioid secara signifikan untuk prosedur
operasi tertentu. Penggunaan inhibitor selektif siklooksigenase-2 (seperti
celecoxib) dapat mengurangi potential adverse effect terhadap fungsi platelet
dan komplikasi gastrointestinal.
Nyeri ringan hingga sedang (mild to moderate) bisa diterapi dengan
asetaminofen dan kodein oral. Sebagai alternatif bisa digunakan opioid agonis-
antagonis (butarphanol 1-2mg atau nalbuphine 5-10mg) atau ketorolac 30 mg iv.
Obat tersebut sering digunakan untuk operasi ortopedi dan ginekologi.
Nyeri sedang-berat (moderate to severe) di PACU bisa diterapi dengan
opioid parenteral atau intraspinal, anestesi regional, atau blok saraf spesifik. Bila
digunakan opioid, pemberian yang aman diberikan dalam titrasi dosis kecil
intravena. Opioid yang umum digunakan opioid intermediate-long duration seperti
meperidine 10-20 mg (0.25-0.5 mg/kg pada anak-anak), atau morfin 2-4mg
(0.025-0.05 mg/kg pada anak-anak). Efek analgesik mencapai peak dalam waktu
4-5 menit.
Sedangkan Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan
masalah yang sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada
sekitar 20-30% pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam
setelah discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya
multifaktorial bisa melibatkan agen anestesi, tipe atau jenis anestesi dan faktor
pasien sendiri.
Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama
anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan
operasi strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya
tonus vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali
mendahului atau bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan
insiden PONV. Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3)
antagonis seperti ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak), granisetron
0.01–0.04 mg/kg, dan dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak-anak) juga
sangat efektif untuk mencegah PONV dan menerapi PONV yang sudah terjadi.
Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan
alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi
akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh
metoclopramide atau phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 4–10 mg
(0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan dengan antiemetic lainnya biasanya
efektif untuk mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam
sehingga bisa digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis
non farmakologis untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20
mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan).
Pada kasus ini, tidak didapatkan mual muntah postoperatif, tetapi untuk
pencegahan tetap diberikan metoclopramid 3x10mg dan ranitidine 2x50mg
intravena untuk mencegah PONV di ruangan. Jika terjadi muntah diberikan
ondansetron 4 mg, kepala dimiringkan, dan suction aktif. Dan untuk mengatasi
nyeri pasca operasi diberikan ketorolac 30 mg.
Ketorolac mempunyai sifat analgetik yang setara dengan oipioid, yaitu 30
mg ketorolac = 6-12 mg morfin = 100 mg petidin, walaupun diberikan dengan
rute yang sama. Ketorolac mempunyai efek samping yang minimal terhadap
sistem saraf pusat, tidak menyebabkan depresi napas, sedasi, atau mual dan
muntah, serta tidak menembus blood-brain barrier. Penggunaan ketorolac sangat
menguntungkan pada pasien yang mempunyai risiko besar untuk mengalami
depresi napas post operasi (Morgan, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Barash GP, et.al. 2009. Handbook of Clinical Anesthesia 6th Ed. Wolters Kluwer
Lippincott Williams & Wilkins
David, et al. 2011. Initial Evaluation of the Trauma Patient. Diakses dari
www.emedicine.medscape.com pada 19 April 2012.
Latief SA, Suryadi KA, dan Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Ed. 2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Miller RD. 2000. Anesthesia 5th Ed .Churcill Livingstone Philadelphia.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Clinical Anesthesiology 4th Ed. USA :
McGraw-Hill Companies, Inc.
Twersky RS dan Phillip BK. 2008. Handbook of Ambulatory Anesthesia. New
York: Springer.