Laporan Kasus

36
LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA DEBRIDEMENT DAN BACK SLAB Disusun Oleh : Aditya Airlangga 0810713002 Pembimbing: dr. Andyk Asmoro, Sp.An LABORATORIUM ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF 1

description

aaa

Transcript of Laporan Kasus

Page 1: Laporan Kasus

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN ANESTESI

PADA DEBRIDEMENT DAN BACK SLAB

Disusun Oleh :

Aditya Airlangga

0810713002

Pembimbing:

dr. Andyk Asmoro, Sp.An

LABORATORIUM ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR

MALANG

2013

1

Page 2: Laporan Kasus

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Nn. S

Usia : 19 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Gadang Gg VIII/no. 230 Sukun Malang

Pekerjaan : Swasta

Status Perkawinan : Belum kawin

Tinggi badan : 150 cm

Berat badan : 60 kg

Register : 1211xxx

Dirawat di : di R. 13

Tanggal dilakukan anestesi : 6 Juni 21013

Diagnosa pra bedah : OF Femur (D) + OF head middle phalanx

(D) R Ring Finger + OF Base phalank R

second toe

Jenis pembedahan : Debridement + Backslab

Jenis anestesi : General Anestesi - Intubasi

2. Preoperatif

2.1 Anamnesis (6 Juni 2013)

A : Pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat. Didapatkan ada alergi

udang dan tongkol.

M : Tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu.

P : Selama ini pasien tidak pernah mengalami sakit berat yang

Mengharuskan dirawat di rumah sakit. Riwayat hipertensi (-),

Diabetes mellitus (-).

L : Pasien mulai puasa pada rabu pagi , kira-kira 1 hari yang lalu.

E : Pasien merupakan rujukan dari RS Babtis Batu, dan dirujuk karena

keterbatasan alat. Pasien mengalami kecelakaan dan terjatuh dari

sepeda motor, mengeluh pusing , sempat pingsan, dan tidak ingat

kejadian. Pasien mengalami luka pada paha kanan, jari kaki kanan.

2

Page 3: Laporan Kasus

2.2 Pemeriksaan Fisik (6 Juni 2013)

B1: Airway paten, nafas spontan simetris, reguler, 16x/menit, Rhonki

(-), wheezing (-)

B2 : Akral hangat, kering, kemerahan, TD 90/60, nadi 80x/menit,

CRT<2 detik, S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

B3 : Compos mentis, GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm, refleks

cahaya +/+

B4 : BAK spontan, warna urine kekuningan jernih, 3 kali sehari

B5 : Flat, soefl, BU (+) N, mual (-), muntah (-)

B6 : Mobilias (+), edema (-), kifosis (-), skloliosis (-), lordosis (-)

2.3 Pemeriksaan Lab (6 Juni 2013)

Darah Lengkap

Hb : 12.00 gr/dl (N : 11 – 16,5 gr/dl)

Leukosit : 15.59 /µl (N : 3.500 – 10.000 /µl)

Trombosit : 221.000 /µl (N : 150.000 – 390.000 /µl)

PCV : 37.00 % (N : 35,0 – 50,0 %)

Serum Elektrolit

Natrium : 136 mmol/l (N : 136 – 145 mmol/l)

Kalium : 3,5 mmol/l (N : 3,5 – 5,0 mmol/l)

Chlorida : 111 mmol/l (N : 98 – 106 mmol/l)

Kimia Darah

GDA : 72 mg/dl (N : < 200 mg/dl)

Ureum : 17,9 mg/dl (N : 10 – 50 mg/dl)

Creatinine : 0,63 mg/dl (N : 0,7 – 1,5 mg/dl)

SGOT : 14 U/L (N : 11 – 41 U/L)

SGPT : 15 U/L (N : 10 – 41 U/L)

Albumin : 4,21 g/dl

Faal Hemostasis

PPT : 13 detik (Kontrol 12,3 detik)

APTT : 39,5 detik (Kontrol 27,9 detik)

EKG : Sinus Rhythm HR 85x/menit

Foto Thorax PA : dalam batas normal

3

Page 4: Laporan Kasus

2.4 Laporan Anestesi Preoperatif

Assessment: ASA II CKR 456, leukositosis (15,590)

Diagnosa pra bedah: OF Femur (D)

OF head middle phalanx (D) R Ring Finger

OF Base phalank R second toe

Keadaan pra bedah (6 Juni 2013)

TB 150 cm, BB 60 kg

TD 120/90mmHg, nadi 100x/menit, suhu 37,5°C

Puasa + 8 jam sebelum operasi

Jenis pembedahan: Debridement, back slab

2.5 Persiapan Preoperatif

2.5.1 Di UGD

Surat ijin operasi + surat ijin tindakan anestesi

Puasa 8 jam pre op

IVFD RL 100 cc/jam sejak puasa

Premedikasi : 6 Juni 2013

Inj. Metoclopramide 10 mg iv

Inj. Ranitidin iv

Sedia PRC 2 labu

2.5.2 Di Kamar Operasi

Scope stetoskop, laringoskop

Tubes ETT (cuffed) size 7,5

Airway orotracheal airway

Tape plaster untuk fiksasi

Introducer untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan

Connector penyambung antara pipa dan alat anestesi

Suction memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction

Obat emergensi: sulfas atropin, lidokain, adrenalin, efedrin

4

Page 5: Laporan Kasus

3. Durante Operatif

3.1 Laporan Anestesi Durante Operatif

Jenis anestesi : General Anestesi – Intubasi

Teknik anestesi : Intubasi Oral Sleep Apneu, ETT size 7,5 cuff (+),

oropharyngeal airway (+)

3.2 Tindakan Anestesi Umum Dengan Intubasi

• Pasien diposisikan pada posisi supine, head up 30º

• Pemberian oksigen (preoksigenasi) 100% 10 liter dilanjutkan dengan

metode face mask selama 5 menit

• Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal

• Obat fentanyl 100 µg dan propofol 100 mg dimasukkan secara intravena

untuk tujuan induksi

• Pasien diberi oksigen 100% 7 liter dengan metode over face mask

sehingga pasien tidak sadar

• Dipastikan apakah airway pasien paten

• Dimasukkan muscle relaxant atracurium 25 mg intravena dan diberi

bantuan nafas dengan ventilasi mekanik + lidokain 60 mg

• Dipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan reflek

jalan nafas (-) untuk dilakukan intubasi ETT

• Dilakukan intubasi ETT dilakukan ventilasi dengan oksigenasi

• Cuff dikembangkan, lalu cek suara nafas pada semua lapang paru

dengan stetoskop, dipastikan suara nafas dan dada mengembang secara

simetris ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan

ventilator

• Maintenance dengan inhalasi O2 4 lpm + N2O 3 lpm dan isofluran MAC ±

0,8%

• Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen, tanda-

tanda komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas)

• Dilakukan ekstubasi apabila pasien mulai sadar, nafas spontan dan ada

reflek menelan. Oksigenasi diberikan 2 lpm nasal kanul.

5

Page 6: Laporan Kasus

3.3 Pemberian Cairan

Jam ke I : 460 cc (M+O)

Jam ke II : 460 cc (M+O)

Cairan masuk:

Pre operatif : RL 3000 cc

Durante operatif : NS 1000 cc

HaES 100 cc

Transfusi PRC 400 cc

Cairan keluar:

Pre operatif : ± 600 cc (dower catheter)

Durante operatif : ±1200 cc

EBV = 7 x 60 = 4200 cc

ABL = 20% x EBV = 840 cc

M = 40 + 20 + 40 = 100 cc/jam

O6 = 6 x 60 = 360 cc

4. Postoperatif

4.1 Laporan Anestesi Postoperatif di Ruang Pulih Sadar

Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)

Pemeriksaan fisik:

B1: airway paten, napas spontan, RR18x/menit, Rh (-), Wh(-)

B2: akral hangat, kering, kemerahan, nadi 90x/menit, TD 110/70

mmHg,dengan nasal kanul 2 lpm

B3: compos mentis, GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya

+/+

B4: terpasang kateter 16 fr

B5: soefl, BU(+) N,

B6: mobilitas (-), edema (-)

Terapi Pasca Bedah

O2 2 lpm

Infus: NS 100cc/jam

Antibiotika: sesuai TS Bedah

Inj. Metoclopramid 3x10mg iv

6

Page 7: Laporan Kasus

Inj. Ranitidin 2x50mg iv

Bila mual/muntah: -Inj. Ondansetron 4 mg

-Kepala dimiringkan, head down, suction aktif

Analgesik: inj. Ketorolac 30 mg

4.2 Monitoring

Cek vital sign tiap 5 menit selama 1 jam

Bila RR ≤10 x/mnt berikan O2 10 L/mnt dengan NRBM

Bila nadi ≤50, berikan sulfas atropin 0,5 mg iv

Jika tekanan darah sistole <90 mmHg berikan RL/NS 500 cc dalam 30

menit efedrin 5-10 mg iv

Pindah ruangan jika aldrete score > 8

Cek DL, albumin, SE, post operasi

Bila albumin <2,5 g/dl, tranfusi albumin 20% 100 cc sampai albumin >

2,5g/dl

Bila Hb < 8g/dl tranfusi PRC sampai Hb > 8g/dl

7

Page 8: Laporan Kasus

PEMBAHASAN

1. Penanganan Awal pada Trauma

Pada pasien trauma dilakukan penilaian kesadaran dengan AVPU (alert,

verbal, pain, unresponsive), primary survey serta resusitasi. Primary survey

meliputi pemeriksaan ABCDE yaitu airway, breathing, circulation, disability,

exposure yang diperiksan secara berurutan (David et al, 2011). Pada pasien ini

kondisi kesadarannya penuh (alert).

Jalan nafas merupakan prioritas pertama yang diakses dengan

menentukan kemampuan udara untuk melalui jalan nafas, tanpa obstruksi,

sampai ke paru. Jika pada saat pemeriksaan kesadaran pasien dapat menjawab

dengan lancar, maka dapat dipastikan saat itu jalan nafas pasien tersebut paten.

Masalah yang dapat ditemukan antara lain obstruksi karena trauma langsung,

edema, benda asing, atau ketidakmampuan untuk mempertahankan patensi

jalan nafas karena penurunan kesadaran. Terapi disesuaikan dengan penyebab

yang mendasari seperti suction cairan, pengambilan benda asing,

cricothyroidotomy, tracheostomy, triple airway maneuver jika tidak terdapat

cedera cervical ataupun pemasangan alat-alat seperti nasopharyngeal atau

nasopharyngeal tube sampai ETT (David et al, 2011). Pada pasien ini jalan

nafasnya paten sehingga tidak memerlukan penatalaksaan khusus.

Lalu evaluasi breathing untuk menilai kemampuan pasien untuk

melakukan ventilasi dan oksigenasi. Penilaian dilakukan dengan inspeksi,

auskultasi, palpasi dan perkusi. Masalah yang dapat ditemukan antara lain

hilangnya ventilasi spontan, suara nafas tambahan, kelainan bentuk dan

pengembangan dinding dada serta kelainan saat perkusi. Pada pasien yang

tidak memiliki pernafasan yang adekuat, perlu diberikan bantuan nafas.

Penatalaksaan berikutnya berdasarkan pada penyebab dasar serta pemberian

oksigen. (David et al, 2011). Pada pasien ini gerakan dada simetris dan pola

pernafasan normal sehingga penatalaksanaan diberikan oksigen 10 lpm dengan

NRBM.

Evaluasi sirkulasi dengan melakukan pemeriksaan tensi, nadi, capillary

refill time serta suhu akral untuk mengetahui status cairan pasien. Perlu dicari

tanda-tanda hipovolemik, tamponade jantung, ataupun sumber perdarahan

eksternal. Terapi awal pada kasus hipovolemik adalah mengontrol sumber

perdarahan, memposisikan pasien serta resusitasi cairan dengan double IV line

Page 9: Laporan Kasus

jarum besar sampai tercapai keadaan hemodinamik yang stabil. RL merupakan

pilihan pertama untuk resusitasi cairan dan diberikan 2-4x EBL, jika belum

adekuat maka dapat diberikan cairan dengan rumus berikut (David et al, 2011;

Morgan, 2006)

20% EBL dengan crystalloid

20% EBL dengan colloid

10% EBL dengan darah

Perkiraan jumlah volume cairan yang hilang dapat dilihat pada tabel

berikut (Barash, 2009):

Tabel 1. ATLS Classification of Haemorrhagic Shock

Table Advanced Trauma Life Support Classification of Hemorrhagic Shock  Class I Class II Class III Class IVBlood loss (mL) ≤750 750–1500 1500–2000 >2000Blood loss (% of blood volume)

≤15 15–30 20–40 >40

Heart rate (bpm) <100 >100 >120 >140Systemic blood pressure

Normal Normal Decreased Decreased

Pulse pressure increased

Normal or Decreased Decreased Decreased

Capillary refill test Normal Positive Positive PositiveRespiratory rate (breaths/min)

14–20 20–30 30–40 <35

Urine output (mL/hr) >30 20–30 5–15 NegligibleMental status Slightly

anxiousMildly anxious Anxious and

confusedConfused and lethargic

Fluid replacement Crystalloid Crystalloid and blood

Crystalloid and blood

Crystalloid (3:1 rule)

Pada saat pasien datang di IGD didapatkan GCS 456, tensi 110/70, nadi

105x/ menit, RR 24x/menit, produksi urin setelah terpasang kateter + 100 cc,

namun tidak didapatkan data tentang akral, CRT, dan membran mukosa pasien

sehingga sulit untuk menentukan apakah pasien dalam kondisi shock ataupun

tidak. Pasien ini mendapat terapi cairan RL namun tidak diketahui kecepatan

tetesannya. Pada pasien ini diperkirakan masuk kedalam keadaan syok derajat 1

dimana perkiraan kehilangan darahnya sekitar 15% EBV (60 x 70cc = 4200cc)

yaitu 630 cc. Untuk kehilangan darah sebesar 10-20% diberikan ringer laktat

2000 ml selama 15 menit pada dewasa atau 20 ml/kg pada anak-anak untuk

menormalkan tekanan darah (Barash, 2009).

Page 10: Laporan Kasus

Evaluasi disability dengan melakukan pemeriksaan kesadaran pasien

dengan Glasgow Coma Scale. Pemeriksaan pupil dilakukan meliputi ukuran,

simetris atau tidak, serta respon terhadap cahaya. Asimetris pupil, hilangnya

reflex cahaya, hemiplegi atau paresis menunjukan sedang terjadinya herniasi

otak. Pada pasien ini didapatkan nilai GCS 456. Pada pemeriksaan ekstremitas,

pada cruris sinistra didapatkan vulnus regio anterior cruris ± 10 cm x 5 cm, bone

ekspose, deformitas, nyeri, krepitasi +, arteri dorsalis pedis lemah, limited

movement (+).

Terakhir exposure dilakukan dengan melepas semua pakaian pasien agar

dapat melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Hipotermi merupakan

kondisi yang harus dihindari, dan dapat dilakukan dengan pemakaian selimut,

cairan IV yang dihangatkan, ataupun lampu penghangat (David et al, 2011).

2. Preoperatif

2.1 Penilaian Preoperatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan

persiapan preoperasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan

anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan

sehingga dapat mengetahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan

dioperasi, menentukan jenis operasi yang akan digunakan, melihat kelainan yang

berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi,

atau dekompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien

secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan

obat yang tepat pada pasien. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa

menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi (Latief, 2009).

Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus

dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang

elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi

medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan

mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan

dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent (Latief, 2009).

History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi

terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash)

harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi

Page 11: Laporan Kasus

gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali, begitu

juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi

interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya

bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review

sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis

lain yang belum terdiagnosa (Latief, 2009).

Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.

Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul

pada history taking, sedangkan history taking membantu memfokuskan

pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti.

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik

setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate,

suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan sistem muskuloskeletal.

Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga

bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional

(Miller, 2010).

Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan

gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat

penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.

Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada

pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek

antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia,

Range of Motion yang terbatas dari temporomandibular Joint atau vertebrae

servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk

dilakukan intubasi trakeal (Miller, 2010).

Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien

yang sehat dan asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal

mendeteksi adanya abnormalitas. Namun, karena legitimasi hukum banyak

dokter yang tetap memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum

elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua

pasien (Miller, 2010).

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat prakiraan risiko anestesi, karena

efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.

Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya

ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA

Page 12: Laporan Kasus

secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena

underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap

komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak

sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam

perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring (Barash, 2009).

Tabel 2. Klasifikasi ASA (Twersky RS dan Phillip BK, 2008)

Class Definition

P1 A normal healthy patient

P2 A patient with mild systemic disease (no functional limitations)

P3 A patient with severe systemic disease (some functional limitations)

P4 A patient with severe systemic disease that is a constant threat to life (functionality incapacitated)

P5 A moribund patient who is not expected to survive without the operation

P6 A brain-dead patient whose organs are being removed for donor purposes

E If the procedure is an emergency, the physical status is followed by "E" (for example, "2E")

Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent.

Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat

melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan

bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan

dilakukan dan resikonya. Tujuan kunjungan preoperasi bukan hanya untuk

mengumpulkan informasi yang penting dan inform consent, tetapi juga

membantu membentuk hubungan dokter-pasien. Bahkan pada interview yang

dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan penting serta membiarkan

pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal tersebut setidaknya dapat

membantu mengurangi kecemasan yang efektivitasnya sama dengan regimen

obat premedikasi.

Dari anamnesis terdapat riwayat cedera kepala, tidak ada riwayat

hipertensi, penyakit ginjal, paru, diabetes melitus, maupun alergi. Dari hasil

pemeriksaan laboratorium, didapatkan anemia (Hb : 6,4 g/dl) dan pemanjangan

APTT 1,3 kali. Hasil pemeriksaan foto thoraks dalam batas normal. Berdasarkan

Page 13: Laporan Kasus

data-data tersebut, pasien diklasifikasikan sebagai ASA 2 dengan anemia, CKR,

dan pemanjangan APTT 1,3x.

2.2 Persiapan Preoperatif

2.2.1 Masukan oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama

pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,

semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus

dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum

induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6

jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum

induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk

keperluan minum obat, air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum

induksi anestesi (Latief, 2009). Pada pasien, puasa dilakukan sejak 8 jam

sebelum operasi, dan untuk minum obat, pasien minum air putih 3 jam sebelum

operasi.

2.2.2 Terapi Cairan

Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi

cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat, dan

insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan

maintenance normal dapat diperkirakan, yakni (Latief, 2009):

4 cc/kg/jam untuk berat badan 10kg pertama

2 cc/kg/jam untuk berat badan 10kg kedua

1 cc/kg/jam untuk tiap kg atas 20kg .

Defisit cairan bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan

maintenance dengan waktu puasa. Pada pasien ini, berat badan pasien adalah

60 kg dimana kebutuhan cairan maintenance adalah 100cc/jam dan pasien ini

dipuasakan selama 8 jam sebelum operasi. Jadi defisit cairan pasien ini secara

total adalah 800cc. Pada pasien, diberikan cairan maintenance sebanyak ± 1000

cc cairan RL sebelum operasi.

Page 14: Laporan Kasus

2.2.3 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi

dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi

diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anestesi

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestetik

Mengurangi mual muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. metoclopramide 10

mg, ranitidin iv untuk profilaksis dari PONV.

2.3 Pertimbangan Anestesi pada Bedah Ortopedi

Banyak prosedur bedah ortopedi yang membutuhkan teknik anestesi

regional karena tempat operasi di perifer dan terlokalisir. Struktur saraf dapat

diblokir pada saraf perifer, pleksus, atau tingkat neuraxial. Anestesi regional

menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan anestesi umum,

termasuk rehabilitasi yang lebih cepat, keluar dari rumah sakit lebih cepat,

analgesia pasca operasi lebih baik, penurunan kejadian mual dan muntah,

kurangnya depresi pernapasan dan jantung, meningkatnya perfusi melalui blok

simpatik, menurunnya kehilangan darah, dan penurunan risiko tromboemboli.

Penting untuk menjelaskan manfaat anestesi regional saat yang tepat. Teknik

regional yang spesifik dan larutan anestesi yang digunakan tergantung pada

berbagai faktor, termasuk durasi operasi, durasi analgesia pasca operasi, tingkat

blok sensorik atau motorik diperlukan untuk memungkinkan rehabilitasi atau

ambulasi, dan indikasi untuk simpatektomi pasca operasi. Demikian juga, setiap

pasien yang memiliki kontraindikasi mutlak untuk anestesi regional (penolakan

pasien, infeksi di lokasi penempatan jarum, koagulopati sistemik) merupakan

kandidat untuk anestesi umum. Yang penting, kontraindikasi sering mungkin ada

untuk blokade neuraxial, tetapi teknik perifer lebih distal tetap sesuai.

Page 15: Laporan Kasus

Pada pasien ini digunakan teknik anestesia umum dengan intubasi.

Karena pada pasien ini terdapat kontrindikasi anestesi regional, yaitu kecurigaan

adanya edema serebri yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial karena pasien memiliki riwayat trauma kepala.

2.4 Durante Operasi

2.4.1 Pemakaian Obat Anestesi

Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol 100 mg dan

analgesik fentanyl 100 µg. Dosis propofol untuk induksi adalah 2-2,5 mg/kgBB.

Dapat dicampur dengan lidocain untuk mengurangi nyeri induksi dengan dosis

0,1 mg/kgBB. Dosis fentanyl untuk analgesik adalah 1 - 3 µg/kgBB. Propofol

dikenal baik dan aman untuk digunakan sebagai obat induksi anestesi. Propofol

mempunyai mula kerja cepat, bangun dari anestesi yang cepat dan sedikit efek

mual-muntah. Kerugian propofol untuk induksi anestesi adalah efek penurunan

tekanan darah arteri rerata (MAP) dan curah jantung. Pengurangan dosis

propofol dengan penggunaan kombinasi fentanyl mempunyai efek hemodinamik

yang stabil setelah induksi anestesi, hal ini karena propofol dan fentanyl bekerja

secara sinergis dalam induksi anestesi.

Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat

yang bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu dipertahankan kadarnya

selama waktu yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang

sama baik pada anestesi yang dicapai dengan anestesi inhalasi, obat intravena,

atau keduanya.

Dengan menggunakan anestesi inhalasi, bisa diketahui minimum alveolar

concentration (MAC) nya dan dapat dicapai dengan relatif cepat (biasanya

diberikan konsentrasi yang besar daripada konsentrasi yang diinginkan di otak)

dan kemudian keseimbangan antara gas anestesi yang diinspirasi dan

diekspirasi bisa terjadi. Maintenance anestesi inhalasi dicapai dengan terus

menerus memberikan obat anestesi inhalasi pada keseimbangan ini. Sedangkan

untuk maintenance menggunakan anestesi inhalasi dilakukan dengan cara

inconstant infusion (intermittent bolus) atau dengan constant fixed / dose infusion

yang jarang bisa mencapai keseimbangan antara darah dengan otak.

Pemberian obat anestesi intravena secara intermiten dan bukan dengan

continuous infusion adalah tidak rasional. Idealnya, infusion rate akan ditentukan

oleh farmakokinetik obat untuk mencapai kadar yang konstan dalam darah-otak.

Page 16: Laporan Kasus

Masalahnya, dengan teknik bolus terjadi variasi kadar obat dalam darah yang

besar, yang menyebabkan anestesi menjadi terlalu dalam setelah pemberian

bolus dan kemudian menjadi terlalu dangkal sebelum bolus berikutnya.

Pemberian bolus yang diulang juga akan menghasilkan akumulasi obat pada

pasien, sehingga menyebabkan pasien menjadi lebih sulit dirangsang setelah

operasi selesai dilakukan.

Oleh karena itu pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan

anestesi inhalasi. Obat anestesi inhalasi yang dipakai adalah isoflurane.

Isoflurane tidak memiliki kontraindikasi khusus. Isofluran juga dapat

mempotensiasi NMBA.

Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi

dengan intubasi. Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant

sehingga proses intubasi lebih mudah dilakukan.

Tidak ada nondepolarizing muscle relaxants yang sekarang tersedia

menyamai onset yang cepat dan durasi pendek dari succinyl choline; tetapi

meskipun begitu onset dari nondepolarizing relaxants bisa dipercepat dengan

menggunakan baik dosis yang lebih besar atau dengan priming dosis. ED95

adalah dosis efektif obat pada 95% individu. Satu kali datau dua kali lipat ED95

biasanya digunakan untuk intubasi. Meskipun dosis untuk intubasi yang lebih

besar dapat mempercepat onset, dosis ini dapat mengeksaserbasi efek samping

dan memperlama durasi. Prinsip umumnya adalah semakin besar potensi

nondepolarizing muscle relaxant semakin lama kecepatan onsetnya.

Pengenalan agen short- dan intermediate-acting telah menghasilkan

penggunaan priming dosis yang lebih besar. Secara teoritis, pemberian 10–15%

dosis intubasi 5 menit sebelum induksi akan menempati cukup reseptor sehingga

paralisis akan cepat mengikuti ketika keseimbangan relaxant sudah diberikan.

Penggunaan priming dosis bisa menghasilkan kondisi yang sesuai untuk intubasi

segera setelah 60 detik bila menggunakan rocuronium dan 90 detik

menggunakan agen intermediate-acting nondepolarizers seperti atracurium.

Setelah intubasi, paraslisis otot mungkin perlu diteruskan untuk

memfasilitasi operasi misal operasi abdominal atau untuk manajemen anestesi

atau untuk kebutuhan mengontrol ventilasi. Dosis maintenance bisa dicapai

dengan intermittent bolus atau continuous infusion, diberikan dengan monitor

menggunakan nerve stimulator atau tanda klinis (usaha atau gerakan nafas

spontan). Pada kasus ini atracurium diulang setelah ± 45 menit pemberian

Page 17: Laporan Kasus

atracurium yang pertama karena operasi masih dalam proses, sehigga intubasi

masih tetap dipertahankan (supaya ventilasi terkontrol).

Tabel 3. Dosis Atracurium

Drug ED95 for Adductor

Pollicis During

N2/O2 Anesthesia

(mg/kg)

 

Intubation

Dose

(mg/kg)

Onset of

Action for

Intubating

Dose

(min)

Duration of

Intubating

Dose (min)

Maintenance

Dosing by

Boluses

(mg/kg)

Maintenance

Dosing by

Infusion (

g/kg/min)

Atracurium 0.2 0.5 2.5–

3.0

30–45 0.1 5–12

2.4.2 Terapi Cairan Perioperatif

Terapi cairan perioperatif termasuk:

penggantian defisit cairan sebelumnya,

kebutuhan maintenance dan

luka operasi seperti jumlah darah yang hilang dan hilangnya cairan

akibat evaporasi dan distribusi internal. (Morgan, 2006)

Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi

cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan

insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan

maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel di bawah:

Tabel 4. Kebutuhan rumatan cairan (Morgan, 2006)

Weight Rate

For the first 10 kg 4 mL/kg/h

For the next 10–20 kg Add 2 mL/kg/h

For each kg above 20 kg Add 1 mL/kg/h

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami

defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan

kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.

Pasien ini mempunyai berat badan 60 kg sehingga kebutuhan cairan per

jamnya adalah: (4x10) + (2x10) + (1x40) = 100 cc/jam.

Page 18: Laporan Kasus

Oleh karena pasien telah puasa selama 2 jam selama operasi berlangsung

maka kebutuhan cairan yang dibutuhkan pada pasien ini selama perioperatif

adalah 2 x 100 cc = 200 cc.

Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan

darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual

memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon

ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat

menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika

spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.

Pada pasien ini jumlah darah yang hilang diperkirakan 100 cc. Kehilangan

cairan intraoperatif juga dapat terjadi akibat evaporasi dan distribusi ke ruang

ketiga (contoh akibat luka bakar, inflamasi, infeksi, dll). Kehilangan cairan dalam

bentuk ini dapat diperkirakan berdasarkan jenis operasinya.

Tabel 5. Jumlah Cairan yang hilang Secara Distribusi ke ruang ketiga dan

Evaporasi (Morgan, 2006)

Degree of Tissue Trauma Additional Fluid Requirement

Minimal (eg, herniorrhaphy) 0–2 mL/kg

Moderate (eg, cholecystectomy) 2–4 mL/kg

Severe (eg, bowel resection) 4–8 mL/kg

Pasien ini menjalani operasi debridement fraktur terbuka, jenis operasi ini

termasuk operasi dengan derajat trauma jaringan yang berat sehingga cairan

yang hilang adalah:

4-8 ml/kg BB x 60 kg 480 cc. Sehingga hilangnya cairan sekitar 240 –

480 cc/jam.

Oleh karena operasi berlangsung selama 2 jam, maka kebutuhan cairan

selama operasi adalah:

Kebutuhan cairan maintanance : 100 cc/jam x 2 jam = 200 cc

Kebutuhan cairan lain : 300 cc/jam x 2 jam = 600 cc

Estimasi jumlah darah yang hilang : 100 cc/jam x 2 jam = 200 cc

Produksi urine : 100 cc/jam x 2 jam = 200 cc

= 1200 cc+

Page 19: Laporan Kasus

Pada pasien ini, estimated blood volume adalah sebanyak 4200 ml.

Allowable Blood Loss (ABL) diperkirakan sebanyak 840 mL (20% dari EBV

pasien). Selain itu, pasien ini membutuhkan cairan maintenance sebanyak 100

cc/jam. Selama durante operasi, pasien telah diberikan cairan sebanyak 460

cc/jam (M=100 cc + O6 = 460cc). Karena jumlah cairan yang hilang selama

operasi lebih besar daripada ABL maka diberikan transfusi PRC 400 cc.

2.4.3 Monitoring

Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang

dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam

mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring

intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut ini adalah standard

minimal monitoring) :

Standard Basic Anesthetic Monitoring

Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada

kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard ini

ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu

komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak

lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan

(2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk

mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya.

Standard I

Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general

anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.

Standard II

Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan

temperature pasien harus dievalusi terus menerus.

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi

adalah:

- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter

- Heart rate, nadi, dan kualitasnya

- Warna membran mukosa, dan capillary refill time

- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek

Page 20: Laporan Kasus

palpebra)

- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien tidak

pernah < 95%, tekanan darah pasien dalam batas normal (S 100-120, D 60-80),

nadi 90-110x/menit, frekuensi nafas 12x/ menit (dengan ventilator).

2.5 Postoperatif

2.5.1 Recovery dari General Anestesi

Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa

tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus

dimonitor terus menerus pada pasien yang masih berada dalam proses recovery

dari general anestesi, paling tidak sampai pasien mulai sadar. Fungsi

neuromuskuler juga harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring

tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak

mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan

perdarahan.

Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus

mendapatkan oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hypoksemia pada

pasien yang sehat sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada pasien-pasien

yang menjalani operasi di daerah upper abdomninal adau toraks, sehingga harus

terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan mungkin memerlukan oksigenasi

dalam waktu yang lebih lama. Keputusan rasional untuk meneruskan

suplementasi oksigen ketika mengeluarkan pasien dari Post Anesthesia Care

Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien

dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.

Pada kasus ini, pasien mulai sadar ± 10 menit setelah operasi selesai

dilakukan. Pasien mulai berada dalam proses recovery, mulai timbul kesadaran,

pasien mulai bisa bernafas dalam dan tidak didapatkan mual atau muntah.

Tanda vital : tekanan darah 110/70, nadi 90x/menit, frekuensi nafas 18x/menit

dengan oksigen via nasal canule 2 lpm.

Page 21: Laporan Kasus

2.5.2 Kriteria Discharge dari PACU

Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU

berdasarkan criteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah

Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke

Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.

Tabel 6. Aldrete Score

Postanesthetic Aldrete Recovery Score

Original Criteria Modified Criteria Point

Value

Color  Oxygenation   

  Pink SpO2 > 92% on room air

 

2

  Pale or dusky SpO2 > 90% on oxygen

 

1

  Cyanotic SpO2 < 90% on oxygen

 

0

Respiration     

  Can breathe deeply and

cough

Breathes deeply and

coughs freely

2

  Shallow but adequate

exchange

Dyspneic, shallow or

limited breathing

1

  Apnea or obstruction Apnea 0

Circulation     

  Blood pressure within 20%

of normal

Blood pressure ± 20 mm

Hg of normal

2

  Blood pressure within 20–

50% of normal

Blood pressure ± 20–50

mm Hg of normal

1

  Blood pressure  deviating >

50% from normal

Blood pressure more

than ± 50 mm Hg of

normal

0

Consciousness    

  Awake, alert, and oriented Fully awake 2

Page 22: Laporan Kasus

  Arousable but readily drifts

back to sleep

Arousable on calling 1

  No response Not responsive 0

Activity     

  Moves all extremities Same 2

  Moves two extremities Same 1

  No movement Same 0

Based on Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924

and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.

Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9.

Sebelum di-discharge, pasien diobservasi apakah ada depresi nafas

selama minimal 20-30 menit setelah pemberian dosis perenteral narkotik terakhir.

Kriteria minimal lain untuk discharge pasien yang telah recovery dari general

anestesi biasanya meliputi hal-hal berikut ini:

Mudah terrespon

Orientasi penuh

Mampu mempertahankan dan melindungi airway

Tanda vital stabil selama paling tidak 15–30 menit

Mampu untuk meminta bantuan bila ia membutuhkan

Tidak ada komplikasi operasi yang bermakna (seperti perdarahan

aktif).

Kontrol nyeri postoperative, mual dan muntah, dan mempertahankan

normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem scoring

untuk discharge digunakan secara luas. Kebanyakan kriteria yang dinilai adalah

SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik.

Kebanykan pasien memenuhi criteria discharge dalam waktu ± 60 menit di

PACU. Sebagai tambahan dari kriteria di atas, pasien dengan general anestesi

seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan

motoris.

Pada kasus ini, setelah 1 jam di PACU pasien di-assest dengan Aldrete

Score 10 karena pasien sudah sadar penuh, tekanan darah relatif tetap

dibanding preoperatif, pasien mampu bernafas dalam dan batuk, SpO2 96%

dengan udara ruangan, dan pasien mampu menggerakkan ektremitasnya kecuali

ekstremitas bawah bagian sinistra. Oleh karena itu, pasien kemudian dipindah ke

ruangan biasa.

Page 23: Laporan Kasus

2.5.3 Kontrol Nyeri dan PONV

Pemberian NSAID preoperatif saja atau bersamaan dengan asetaminofen

bisa mengurangi kebutuhan terhadap opioid secara signifikan untuk prosedur

operasi tertentu. Penggunaan inhibitor selektif siklooksigenase-2 (seperti

celecoxib) dapat mengurangi potential adverse effect terhadap fungsi platelet

dan komplikasi gastrointestinal.

Nyeri ringan hingga sedang (mild to moderate) bisa diterapi dengan

asetaminofen dan kodein oral. Sebagai alternatif bisa digunakan opioid agonis-

antagonis (butarphanol 1-2mg atau nalbuphine 5-10mg) atau ketorolac 30 mg iv.

Obat tersebut sering digunakan untuk operasi ortopedi dan ginekologi.

Nyeri sedang-berat (moderate to severe) di PACU bisa diterapi dengan

opioid parenteral atau intraspinal, anestesi regional, atau blok saraf spesifik. Bila

digunakan opioid, pemberian yang aman diberikan dalam titrasi dosis kecil

intravena. Opioid yang umum digunakan opioid intermediate-long duration seperti

meperidine 10-20 mg (0.25-0.5 mg/kg pada anak-anak), atau morfin 2-4mg

(0.025-0.05 mg/kg pada anak-anak). Efek analgesik mencapai peak dalam waktu

4-5 menit.

Sedangkan Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan

masalah yang sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada

sekitar 20-30% pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam

setelah discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya

multifaktorial bisa melibatkan agen anestesi, tipe atau jenis anestesi dan faktor

pasien sendiri.

Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama

anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan

operasi strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya

tonus vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali

mendahului atau bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan

insiden PONV. Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3)

antagonis seperti ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak), granisetron

0.01–0.04 mg/kg, dan dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak-anak) juga

sangat efektif untuk mencegah PONV dan menerapi PONV yang sudah terjadi.

Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan

Page 24: Laporan Kasus

alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi

akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh

metoclopramide atau phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 4–10 mg

(0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan dengan antiemetic lainnya biasanya

efektif untuk mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam

sehingga bisa digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis

non farmakologis untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20

mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan).

Pada kasus ini, tidak didapatkan mual muntah postoperatif, tetapi untuk

pencegahan tetap diberikan metoclopramid 3x10mg dan ranitidine 2x50mg

intravena untuk mencegah PONV di ruangan. Jika terjadi muntah diberikan

ondansetron 4 mg, kepala dimiringkan, dan suction aktif. Dan untuk mengatasi

nyeri pasca operasi diberikan ketorolac 30 mg.

Ketorolac mempunyai sifat analgetik yang setara dengan oipioid, yaitu 30

mg ketorolac = 6-12 mg morfin = 100 mg petidin, walaupun diberikan dengan

rute yang sama. Ketorolac mempunyai efek samping yang minimal terhadap

sistem saraf pusat, tidak menyebabkan depresi napas, sedasi, atau mual dan

muntah, serta tidak menembus blood-brain barrier. Penggunaan ketorolac sangat

menguntungkan pada pasien yang mempunyai risiko besar untuk mengalami

depresi napas post operasi (Morgan, 2006).

Page 25: Laporan Kasus

DAFTAR PUSTAKA

Barash GP, et.al. 2009. Handbook of Clinical Anesthesia 6th Ed. Wolters Kluwer

Lippincott Williams & Wilkins

David, et al. 2011. Initial Evaluation of the Trauma Patient. Diakses dari

www.emedicine.medscape.com pada 19 April 2012.

Latief SA, Suryadi KA, dan Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi

Ed. 2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Miller RD. 2000. Anesthesia 5th Ed .Churcill Livingstone Philadelphia.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Clinical Anesthesiology 4th Ed. USA :

McGraw-Hill Companies, Inc.

Twersky RS dan Phillip BK. 2008. Handbook of Ambulatory Anesthesia. New

York: Springer.