Bidang Unggulan : Budaya dan Pariwisata Kode/Nama Bidang Ilmu : 426/Teknik Arsitektur
LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
AREA-AREA SAKRAL DI DESA SAMBIRENTENG, KECAMATAN TEJAKULA, KABUPATEN BULELENG:
SebuahStudiKeruangantentangTinggalanKebudayaan Bali Aga
Tim Pengusul : 1. I Gusti Agung Bagus Suryada, S.T., M.T. 0030106606
2. I Nyoman Widya Paramadhyaksa, ST, MT, Ph.D 0011097401
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA PEBRUARI 2015
iii
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ....................................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii RINGKASAN ................................................................................................................. 1 BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 2 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 2 1.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 3 1.3 Urgensi Penelitian ................................................................................... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5 2.1 Ruang Sakral dan Profan ......................................................................... 5 2.2 Ruang Abstrak ......................................................................................... 5 2.3 Animisme dan Dinamisme ...................................................................... 6 2.4 Masyarakat Bali Aga ............................................................................... 6 2.5 Pola Desa Tradisional Bali Aga .............................................................. 7 BAB III METODE PENELITIAN .............................................................................. 8 3.1 Materi Penelitian ..................................................................................... 8 3.2 Lokasi Penelitian ..................................................................................... 8 3.3 Informan Penelitian ................................................................................. 9 3.4 Metode Penelitian .................................................................................... 12 3.5 Instrumen Penelitian dan Alat Bantu Penelitian ..................................... 14 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 15 4.1 Lokasi ...................................................................................................... 18 4.2 Sejarah Desa ...........................................................................................
4.3 Perkembangan Tata Ruang Desa………………………………………. 4.4 Objek-objek Bernilai Khusus Dalam Wilayah Desa ………………….. 4.5 Ritual-ritual……………………………………………………………..
21 23 21 26
4.6 Area dan Objek Keruangan yang Bernilai Sakral di Desa Sembiran…... 32 4.7 Deskripsi Singkat tentang Padma Agung di Pura Dulu, Sembiran…….. 36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 56 5.1 Simpulan……………………………………………………………….. 56 5.2 Saran……………………………………………………………………. 56 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 57
1
RINGKASAN
Desa Sambirenteng adalah sebuah desa peninggalan masa Bali Aga yang
berlokasi dalam wilayah Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Desa ini
memiliki karakteristik keruangan selayaknya sebuah desa pegunungan dari masa
Bali Kuno, yaitu menganut pola desa linear dengan sebuah jalan utama desa yang
membentang dari arah utara ke selatan desa. Sebagai sebuah Bali Aga yang
berbatasan langsng dengan Laut Bali, desa ini pada masa lalunya dikenal sebagai
desa hunian komunitas nelayan tradisional Bali. Selain berkenaan dengan
poladesanya, ada berbagai aspek Desa Sambirenteng yang juga menarik untuk
dijadikan bahan kajian keruangan, seperti pola rumah tinggal, zonasi
antartetangga, bangunan suci, dan zona-zona sakral desa.Bangunan suci dan zona-
zona suci di dalam wilayah Desa Sambirentengmemiliki karakteristik tersendiri
yang membedakannya dengan yang berlaku di desa-desa tradisional Bali dataran.
Sambirenteng tidak mengenal konsep Pura Kahyangan Tiga.
Desa ini juga memiliki beberapa zona sakral berlatar animisme, dinamisme,
dan Agama Hindu yang mendapat pengelolaan ritual secara turun temurun sejak
masa Bali Aga. Karakteristik desa yang semacam inilah yang selanjutnya
mendorong gagasan menjalankan sebuah studi mendalam tentang konsepsi dan
karakteristik tata ruang pura dan zona-zona sakral di Desa Sambirenteng.
Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif yang berbasis pada studi lapangan dan
wawancara. Penelitian ini dipastikan menghasilkan suatu temuan tentang konsep
keruangan tradisional yang relatif baru. Hal ini didasarkan pada minimnya studi
tentang Desa Sambirenteng yang telah dijalankan selama ini.
Kata kunci: Sambirenteng, Bali Aga, zona sakral, karakteristik.
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Desa Sambirenteng adalah sebuah desa tradisional Bali yang tergolong sebagai
desa kuno tinggalan masa Bali Aga. Desa ini berada di dalam wilayah Kecamatan
Tejakula, Kabupaten Buleleng yang berbatasan langsung dengan Laut Bali di
utara wilayah desa. Pada masa lalunya, Sambirenteng diyakini dihuni oleh
masyarakat yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan petani
perkebunan.
Secara tata ruang, Desa Sambirenteng memiliki pola desa selayaknya desa-desa
tradisional Bali pegunungan yang berlatar kebudayaan Bali Aga. Desa ini
menganut pola desa linear berkat adanya satu sumbu desa yang membentuk
sumbu aksis desa dari arah bukit ke arah perairan Laut Bali yang berada di utara
desa. Sistem tata ruang masing-masing persil rumah juga terlihat masih
menyisakan karakter masa lalunya. Sebagian besar petak pekarangan rumah tidak
terbatasi oleh tembok batas masif sebagai pembatas teritorinya, sesuatu yang tidak
lazim dalam tata ruang desa-desa tradisional Bali dataran.
Sambirenteng mengenal beragam tradisi dan ritual yang relatif berbeda dengan
tradisi yang dikenal komunitas masyarakat tradisional Bali pada umumnya.
Tradisi-tradisi tersebut dapat berupa tradisi sosial dan ritual keagamaan yang
keduanya telah ikut pula berperan membentuk pola meruang masyarakat secara
turun-temurun. Elemen-elemen seting area desa pun menjadi tertata sedemikian
rupa sesuai tradisi kebudayaan Bali Aga.
Desa Sambirenteng tidak menganut konsepsi Pura Kahyangan Tiga Desa. Desa ini
lebih mengenal beberapa pura, semacam Pura Pangulapan, Pura Bale Agung, dan
Pura Pungut. Dalam wilayah Desa Sambirenteng juga terdapat beberapa zona suci
tinggalan masa lalu berlatar pandangan animisme dan dinamisme yang terkelola
dengan baik hingga saat ini, seperti tepian sungai, bukit, persimpangan jalan, dan
pohon besar. Bangunan suci dan zona suci desa tersebut juga ditata dengan
3
menganut konsep “mandala” yang berbeda dengan yang dikenal pada umumnya
(hasil grand tour dan wawancara awal, 2015).
Gambaran awal yang diperoleh ini selanjutnya mendorong gagasan untuk
melakukan riset keruangan lebih lanjut tentang karakteristik bangunan dan area
suci Desa Sambirenteng. Hasil akhir temuan penelitian ini dipastikan akan sangat
bernilai dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan keruangan tradisional
Bali. Hal ini didasarkan pada keunikan objek studi dan minimnya studi dan
inventarisasi budaya keruangan yang pernah dilakukan berkenaan dengan Desa
Sambirenteng.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Ada beberapa teori yang rencananya dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu (1)
teori ruang sakral dan profan; (2) teori ruang abstrak; (3) konsep animisme dan
dinamisme; (4) konsep tentang masyarakat Bali Aga; serta (5) konsep pola desa
tradisional Bali Aga.
2.1 Ruang Sakral dan Profan
Eliade mengartikan ruang yang sakral sebagai ruang yang “nyata” yang dikelilingi
oleh satu area medan tanpa wujud. Ruang sakral pada umumnya menjadi arah
orientasi bagi ruang lainnya. Manusia menghuni area dunia tengah (midland) yang
berada di antara dunia luar yang “tidak terkendali” dan area dunia dalam yang
berkarakter sakral. Kedua ruang ini senantiasa memiliki kualitas kesucian yang
selalu diperbaharui melalui berbagai rangkaian kegiatan ritual sakral. Kegiatan
ritual mengambil suatu tempat dalam suatu ruang sakral ini, dan menjadi cara
tunggal untuk dapat partisipasi dalam wilayah kosmos sakral untuk dapat
membersihkan kembali dunia profan (2002: 14). Ruang yang berkarakter sakral
lebih kokoh dan bermakna, adapun ruang lainya yang profan bersifat kacau dan
tanpa makna. Manusia tradisional pada umumnya tidak mampu untuk hidup
nyaman dalam suasana dunia yang profan, karena mereka tidak mampu
mengoreintasikan dirinya sendiri.
2.2 Ruang Abstrak
Sesungguhnya ruang adalah bersifat abstrak dan tidak terbatas. Ketidakterbatasannya bersifat tiga
dimensional dari ruang universal yang berada di luar jangkauan konsepsi manusia dengan
delimitasi spasialnya yang dimilikinya. Para analis ruang sangat menyadari bahwa arsitektur
merupakan suatu manifestasi secara intelektual dari karakter ruang yang bersifat abstrak itu. Ruang
juga tidak berkarakter konkret, plastis, maupun kubis. Ruang adalah bersifat abstrak, tersebar, dan
terlarut sebagai bidang-bidang yang tidak wadaqi. (Ronald, 2008: 261)
2.3 Animisme dan Dinamisme
5
Animisme merupakan suatu pandangan kepercayaan suatu kelompok masyarakat
terhadap adanya kekuatan yang diberikan oleh nenek moyang atau leluhurnya.
Pandangan ini selanjutnya melahirkan adanya tradisi di kalangan masyarakat
tradisional tentang pemujaan dan kepercayaan terhadap kekuatan abstrak nenek
moyang. Pandangan dinamisme merupakan suatu bentuk kepercayaan berkenaan
dengan adanya mana atau suatu kekuatan abstrak yang diyakini dapat diperoleh
dari manusia lain, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, bahkan benda mati.
Pandangan ini melahirkan tradisi-tradisi dan ritual terhadap benda-beda keramat,
batu besar, dan tempat-tempat sakral lainnya di alam (Anonim, 1984: 7).
2.4 Masyarakat Bali Aga
Ada dua pendapat yang dikemukakan dua sarjana berkenaan dengan masyarakat
Bali Aga yang relevan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
1. Masyarakat Bali Aga merupakan masyarakat Bali asli yang masih
memegang teguh adat istiadat dan tradisi animisme dan dinamisme yang
diwarisi secara turun temurun (Prayitno, 2003). Masyarakat ini pada
umumnya tetap bertahan hidup di daerah pegunungan, seperti di Desa
Sukawana, Sembiran, Kintamani, dan Tenganan.
2. Masyarakat Bali Aga pada umumnya sangat kurang mendapat pengaruh
budaya Hindu Jawa dari Majapahit. (Suwidja dan Purna, 1991: 198).
Komunitas Bali Aga tidak mengenal sistem strata sosial masyarakat.
Adapun orang Hindu yang datang dari Jawa Timur ke Bali setelah masa
kejatuhan Majapahit disebut dengan Triwangsa yang terdiri dari
Brahmana, Ksatriya, dan Waisia (Shastri, 1963: 94). Komunitas
“pendatang” dikenal dengan nama Bali Arya yang menghuni wilayah
dataran Pulau Bali.
2.5 Pola Desa Tradisional Bali Aga
Pola desa tradisional masyarakat Bali Aga yang berlokasi di daerah pegunungan
cenderung berorientasi ke arah puncak gunung, lintasan-lintasan jalan yang
6
membentuk pola lingkungan disesuaikan dengan transis lokasi kemiringan dan
lereng-lereng alam. Desa Sukawana, Kintamani, Bangli dan beberapa desa di
pegunungan yang berlereng beberapa arah dengan beberapa punggung bukit
orientasinya ke arah yang lebih tinggi pada zona-zona masing-masing, atau
puncak tertinggi sebagai orientasi bersama. Tempat suci bersama dan tempat-
tempat suci pemujaan di masing-masing keluarga ditempatkan di bagian yang
lebih tinggi atau ke arah orientasi bersama. Lokasi yang berlereng ke beberapa
arah menjadikan orientasi tempat suci tidak hanya ke arah kaja dan kangin
(Anonim, 1986: 13-14). Pola desa tradisional masyarakat Bali Aga cenderung
mengambil bentuk pola sumbu aksis linear atau ada ruang plaza di tengah
permukiman.
7
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian yang ini memuat beberapa tujuan khusus sebagai berikut.
1. Menginventarisir serta menelusuri sejarah, latar konseptual, dan makna keruangan yang
termuat dalam perwujudan area dan zona-zona sakral di Desa tradisional Sambirenteng.
2. Menemukan pola aktivitas dan pola tradisi ritual yang dijalankan di area atau zona-
zona sakral di Desa Sambirenteng.
3. Mengkomparasikan wujud dan karakter keruangan dari zona-zona sakral di Desa
Sambirenteng sebagai desa tinggalan masa Bali Kuno dan pola yang berlaku di dalam
wilayah desa-desa Bali Pertengahan.
4. Menghasilkan produk akhir berupa materi ajar mengenai satu desa tradisional Bali
yang bercorak Bali Aga di Buleleng.
5. Menghasilkan sebuah artikel yang dipublikasikan dalam jurnal nasional terakreditasi
1.2 Urgensi Penelitian
Penelitian ini sangat layak dilaksanakan berdasarkan beberapa pertimbangan
berkenaan aspek keutamaan yang dimiliki topik dan objek penelitian ini.
1. Penelitian ini bertujuan menginventarisasi pengetahuan budaya lama
Penelitian ini pada dasarnya bertujuan menggali dan menemukan kembali
konsepsi dan nilai keruangan dari zona sakral di suatu desa yang berlatar
budaya Bali Kuno. Konsepsi yang diperoleh sangat berkaitan dengan
pandangan animisme dan dinamisme beserta sinkretisasinya dengan ajaran
Hindu Dharma.
2. Penelitian memuat topik orisinal
Penelitian tentang karakteristik zona-zona sakral di Desa Sambirenteng ini
belum pernah dilakukan secara mendalam oleh peneliti lain sebelumnya.
3. Penelitian untuk pengembangan imu pengetahuan
Hasil akhir penelitian ini akan memperkaya ilmu pengetahuan berkenaan
karakteristik keruangan di desa yang berlatar kebudayaan Bali Kuno.
8
4. Penelitian ini sejalan dengan arah kebijakan Universitas Udayana
Penelitian ini sesuai dengan arah kebijakan pengembangan Universitas
Udayana yang pada intinya berupaya untuk menjadikan Universitas Udayana
sebagai satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Bali yang dapat berperan
aktif dalam pengembangan dan pelestarian kebudayaan tradisional Bali.
9
BAB IV METODE PENELITIAN
Penelitian tentang karakteristik keruangan yzng termuat dalam area dan zona
sakral di Desa Sambirenteng ini tergolong sebagai sebuah penelitian kualitatif.
Pada bagian berikut ini dipaparkan secara berurutan aspek-aspek yang berkenaan
dengan: (1) materi penelitian; (2) informan penelitian; (3) metode penelitian; dan
(4) instrumen penelitian.
4.1 Materi Penelitian
Materi penelitian ini berupa pura, ruang, maupun zona-zona sakral yang berada di
area publik Desa Sambirenteng yang secara garis besarnya dapat diklasifikasikan
sebagai:
a. Kompleks bangunan pura lama tinggal budaya Bali kuno
b. Persimpangan jalan yang disakralkan
c. Wilayah sekitar tepian sungai
d. Zona sakral di dekat area tebing dan lereng bukit
e. Daerah di dekat hutan desa
f. Pohon besar yang disakralkan penduduk
4.2 Lokasi Penelitian
Penelitian yang akan dijalankan ini berlokasi di dalam wilayah Desa tradisional
Sambirenteng, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng.
10
Gambar 4. 1: Peta Lokasi Sambirenteng
Gambar 4. 2: Peta Area Sambirenteng
Pada peta Desa Sambirenteng di atas diperlihatkan juga persebaran beberapa
bangunan pura utama di dalam wilayah Desa Sambirenteng. Persebaran zona-zona
atau area-area sakral lainnya semacam pohon, tepian sungai, jurang, dan
sebagainya belum banyak teridentifikasikan.
11
Berikut ini diperlihatkan gambaran eksisting wilayah dan foto rekaman data
gambar Desa Sambirenteng berdasarkan hasil grand tour pada tanggal 5 Pebruari
2015.
Gambar 4.3: Sebuah Pura
Dadia Milik Keluarga
Gambar 4.4: Pura Pangulapan
di Ulu Desa Sambirenteng
Gambar 4.5: Pura Dadia di
Desa Sambirenteng
Gambar 4.6: Pura Pungut
sebagai Pura Segara Desa
Gambar 4.7: Pura Bale Agung
Desa Sambirenteng
Gambar 4.8: Area Pusat Desa
Sambirenteng
Gambar 4.8: Jalan Utama
Desa Sambirenteng
Gambar 4.9: Jalan Utama
Desa Sambirenteng
Gambar 4.10: Gang di Desa
Sambirenteng
12
Gambar 4.11: Gang di Desa
Sambirenteng
Gambar 4.12: Gang di Desa
Sambirenteng
Gambar 4.13: Relief Kedok
Wajah di Pura Sambirenteng
4.3 Informan Penelitian
Informan penelitian adalah subjek penelitian yang akan dimintai informasi dan
keterangan berkenaan dengan topik penelitian yang diajukan ini. Para informan
penelitian dipilih dan ditetapkan berdasarkan kompetensi pemahaman yang
dimilikinya berkenaan dengan materi dan fokus studi yang dilakukan ini. Para
informan yang ditetapkan sebagai narasumber dalam penelitian ini antara lain
berstatus sebagai: (a) pemuka adat Desa Sambirenteng; (b) pemuka agama Desa
Sambirenteng; (c) para tetua desa; dan (d) para akademisi maupun peneliti yang
memahami konsep keruangan sakral di Desa Sambirenteng.
4.4 Metode Penelitian
Penelitian ini secara umum akan dijalankan sesuai tahapan-tahapan sebagai
berikut.
4.4.1 Tahap Pengumpulan Data Awal
Dalam proses pengumpulan data awal, tim peneliti telah melakukan grand tour di
dalam area penelitian serta telah melakukan wawancara dengan beberapa
narasumber di lokasi. Kegiatan grand tour ini telah menghasilkan beberapa
gambaran berkenaan topik, materi, dan permasalahan penelitian yang selayaknya
13
dijadikan sebagai fokus amatan dan kajian dalam penelitian ini. Tim peneliti telah
menjalankan grand tour penelitian di wilayah desa tradisional Sambirenteng
tepatnya pada tanggal 5 Pebruari 2015. Fokus penelitian ini pada akhirnya
ditetapkan terfokus pada karakteristik keruangan yang termuat dalam tata ruang
dan zonasi ruang-ruang sakral di wilayah desa tradisional Sambirenteng.
4.4.2 Tahap Pengumpulan Data Lanjutan
Kegiatan pengumpulan data lanjutan dijalankan pascapengumuman resmi
berkenaan pembiayaan kegiatan penelitian ini. Dalam tahap pengumpulan data
lanjutan, tim peneliti selanjutnya akan menjalankan tiga macam tipe cara
pengkoleksian data berdasarkan sifat data yang ditargetkan seperti tabel berikut
ini.
No. Kegiatan Data/hasil target capaian Durasi
1. Pengumpulan
data lapangan
Data fisik tata ruang wilayah desa
Kuantitas dan persebaran objek studi
Varian perwujudan objek amatan
Kegiatan ritual yang dijalankan di objek
Elemen-elemen atribut objek amatan
tiga bulan
2. Pengumpulan
data secara oral/
wawancara
Tradisi dan sejarah kegiatan ritual
sekitar objek
Kepercayaan warga tentang objek
amatan
Rekonstruksi berkenaan pola prosesi
ritual yang dilakukan warga
tiga bulan
3. Pengumpulan
data instansional Data kependudukan Desa Sambirenteng
Data sosial-budaya dan ekonomi desa sebulan
4.4.3 Tahap Analisis
Analisis data pada intinya dilakukan dalam beberapa teknik studi, seperti (1)
analisis tipomorfologi dari wujud objek-objek studi; (2) analisis rekonstruksi
wujud objek dan ritual berdasarkan data oral yang diperoleh dari para informan;
(3) analisis komparatif antarobjek studi serta antara objek amatan dalam wilayah
14
studi dan objek yang setara di luar wilayah studi; dan (4) analisis rasionalis yang
menggunakan teori maupun konsep keruangan yang relevan dengan topik kajian.
Kegiatan analisis data ini ditargetkan akan dijalankan dalam empat bulan
kalender. Dalam tabel berikut ini dalam dilihat gambaran rangkaian kegiatan
analisis penelitian yang akan dijalankan dalam riset ini.
No. Kegiatan Objek studi/penjelasan Target hasil
1. Analisis
tipomorfologi
Wujud bangunan dan zona-zona
sakral desa
Tipologi objek
berdasarkan
perwujudannya
2. Analisis
rekonstruktif
Sejarah dan konsep masing-
masing bangunan dan zona-zona
sakral desa Gambaran
perkembangan
perwujudan objek
dan tradisi
ritualnya diperoleh
Prosesi kegiatan ritual warga di
zona-zona sakral desa
Gambaran wujud zona sakral
desa pada masa lalunya
Gambaran tradisi ritual di objek
amatan pada masa lalunya
3. Analisis
komparatif
Perwujudan zona sakral di lokasi
studi
Gambaran
karakteristik
keruangan dan
ritual antara objek
di lokasi dan
daerah lain
diperoleh
Perwujudan zona sakral di
daerah lain
Elemen-elemen keruangan di
zona sakral di lokasi studi
Wujud elemen keruangan di
zona sakral di daerah lain
Tradisi ritual di zona sakral
dalam area lokasi
Tradisi ritual di zona sakral di
daerah lain
4. Analisis rasionalis
Telaah berkenaan wujud objek
dan tradisi ritual yang
menyertainya dikaji berdasarkan
teori keruangan secara umum
dan konsep-konsep lokal
Korelasi antara
objek studi dan
teori/konsep lokal
4.4.4 Tahap Sintesis
Tahap sintesis data dalam penelitian ini dilakukan dengan fokus kegiatan
menemukan keterkaitan antarelemen keruangan yang telah diperoleh pada tahap-
tahap analisis data. Hasil kajian yang diperoleh dalam tahap ini tentunya belum
15
dapat tergambarkan secara pasti. Hal ini didasarkan pada gambaran hasil analisis
data yang akan dijalankan dalam tahap sebelumnya belum diperoleh. Tahap
sintesis data ini dapat diartikan pula sebagai suatu tahap pendialogan
antarkomponen hasil analisis sebelumnya yang saling berelasi atau berkaitan.
Pada bagian akhir dari tahap sintesis dalam penelitian ini akan dilakukan pula
beberapa kegiatan pendialogan antara hasil kajian objek dan fenomena lapangan
dan teori-teori keruangan umum serta konsep-konsep lokal yang relevan. Tahap
ini diperkirakan akan memakan waktu dua bulan kalender penelitian.
4.4.5 Tahap Penyimpulan
Tahap penyimpulan hasil penelitian adalah tahap terakhir dari seluruh rangkaian
kegiatan penelitian ini. Tahap ini akan berlangsung cukup singkat, yaitu kurang
dari sebulan kalender penelitian.
4.5 Instrumen Penelitian dan Alat Bantu Penelitian
Instrumen utama penelitian ini adalah instrumen manusia yang dalam hal ini adalah tim peneliti
sendiri. Tim peneliti secara bersama-sama berperan sebagai penelusur, pengamat, kolektor,
katalisator, serta analisator segala data yang diperoleh dalam rangkaian kegiatan penelitian ini.
Selain dari pada itu, masih ada pula beberapa alat bantu yang digunakan oleh tim peneliti dalam
penelitian ini, yaitu:
(a) Tiga unit komputer jinjing (laptop), serta dua unit komputer tablet sebagai sarana
penyimpan data, hasil analisis, serta sebagai alat penyusunan materi laporan-laporan
kegiatan penelitian ini. Komputer tablet memiliki fungsi lain sebagai alat perekaman
gambar, video, serta rekaman audio saat melakukan observasi dan wawancara di lapangan.
(b) Satu unit printer berwarna untuk mencetak laporan penelitian dan materi focus study tim.
(c) Satu unit video camera untuk kegiatan merekam data visual bergerak di lapangan.
(d) Dua unit digital camera untuk merekam gambar objek-objek diam di lapangan.
(e) Peralatan tulis dan gambar untuk kegiatan pencatatan data dan sketsa data lapangan secara
manual.
16
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Lokasi
Sambirenteng merupakan sebuah nama Desa yang terletak di KecamatanTejakula,
Kabupaten Buleleng, Bali. Jarak tempuh Desa Sambirenteng kurang lebih 40km
atau sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Singaraja.
Gambar 4.14: Peta Desa Sambirenteng
Luas wilayah Desa Sambirenteng : 940 Ha
Pemanfaatan wilayah
Area tegal / ladang : 545 Ha
17
Area pemukiman : 21 Ha
Area pekarangan : 15 Ha
Area kuburan : 2 Ha
Area perkantoran : 0,5 Ha
Lapangan olahraga : 0,8 Ha
Bangunan sekolah : 2,16 Ha
Hutan : 300 Ha
Lain-lain : 53,54 Ha
Batas-batas wilayah desa
Sebelah utara : Laut Bali
Sebelah selatan : Kecamatan Kintamani
Sebelah barat : Desa Pakraman Lespenurukan
Sebelah timur : Desa Gretek
Jarak pemerintahan desa
Ke Ibu Kota Kecamatan Tejakula : 6 km
Ke Ibu Kota Kabupaten Buleleng : 40 km
Ke Ibu Kota Provinsi Bali : 127 km
Desa Sambirenteng terdiri dari 4 dusun, yaitu :
- Dusun Sambirenteng
- Dusun Benben
- Dusun Gretek
- Dusun Sila Gading
5.2 Sejarah Desa
Desa Sambirenteng berasal dari kata sambi yang berarti semua dan renteng itu ringan. Jadi Desa
Sambirenteng arti katanya Semua Ringan. Terdapat suatu kerajaan yang letaknya di pinggir
kaldera Gunung Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli yang memiliki wilayah kerajaan
yang sangat luas, sampai batas batu sungu di bagian sebelah utara kerajaan. Kerajaan tersebut
bernama Bali-Ingkang, konon rajanya adalah keturunan Sri Aji Maya Denawa. Kerajaan Bali-
18
Ingkang dulunya pernah diserang oleh musuh, sehingga sang raja menyingkir ke suatu tempat di
suatu hutan yang lebat yang terletak di sebuah perbukitan yang ada di sebelah utara kerajaan
tersebut. Dan sekarang daerah hutan/perbukitan tersebut dikenal dengan Bukit Sari. Setelah
kerajaan dapat direbut kembali, maka raja kembali untuk menjalankan kekuasaannya.
Pada saat kerajaan Bali-Ingkang akan diserang oleh prajurit Sri Arya Gajah Para,
maka raja mengirim suatu pasukan atau Kanca yang berjumlah dua ratus orang
(Kanca Satak) yang mempunyai tugas menjaga keamanan yang ada disebelah
utara kerajaan. Pasukan atau Kanca Satak ini membangun sebuah benteng yang
berada di bagian timur laut kerajaan, yang sekarang bernama Desa Tembok.
Dengan pusat komando yang berpusat di suatu hutan yang sangat lebat yang
disebut Kayu Samah dengan menempatkan pasukan sebanyak seratus orang.
Pada saat pimpinan memberikan komando/perintah kepada anggotanya, Pimpinan
mengatakan Sami-Ranta (Bahasa Bali Kuno yang berarti Semua Siap), maka lama
kelamaan sebutan Sami-Ranta yang berasal dari perintah pimpinan tersebut,
berubah menjadi Sambirenteng yang merupakan nama desa sekarang.
Desa Sambirenteng terletak di kecamatan Tejakula, kabupaten Buleleng, provinsi Bali yang terdiri
dari 4 dusun yaitu: Dusun Samireteng, Dusun Benben, Dusun Gretek, Dusun Sila Gading.
Sebelum desa ini berada di tempatnya sekarang, desa Sambirenteng ini dulunya bernama desa
Kayu Teba/Samah saa yang berada di atas pegunungan (daerah kintamani). Perpindahan penduduk
dari daerah kintamani ke kaki gunung (yang dulu nya hutan lebat) hal tersebut dikarenakan pada
daerah tersebut penduduknya sudah cukup padat untuk menempati wilayah tersebut dan ingin
mencari sumber air terdekat (daerah desa sambirenteng sekarang).
Desa sambirenteng dikenal dengan rumah nya yang tidak menggunakan tembok pembatas atau
penyengker, tanah tempat warga mendirikian rumah sekarang ini merupakan tanah hak milik desa
sambirenteng yang luasnya kurang lebih sekitar 2 hektar, pembagian tanah pun menggunakan
sistem pembagian acak, sehingga belum tentu warga yang tinggal pada natah yang sama ada
hubungan keluarga atau bersaudara. Seiring perkembangan zaman, tidak semua rumah warga
disini tidak menggunakan tembok penyengker, ada beberapa rumah yang sudah menggunakan
tembok penyengker untuk menjaga privasi rumah mereka.
19
Gambar 4.15: Perbatasan rumah warga
tanpa tembok penyengker.
Gambar 4.16: Jalan utama pada desa Sambirenteng
5.3 Objek – Objek Bernilai Khusus dalam Wilayah Desa
Pura yang terdapat pada Desa Sambirenteng
20
Gambar 4.17: Pura di Desa Sambirenteng
Tidak seperti desa adat pada umumnya, desa adat Sambirenteng tidak memiliki
Pura Kahyangan 3, namun pada desa ini memiliki Pura yang fungsinya sama
dengan Kahyangan 3 yang disebut dengan Sanggah Desa, Selaindari pada itu,
desa ini juga terdapat Pura Sanghyang, Pura Bale Agung, Pura Pengulapan, Pura
Pegonjongan, dan Pura Pungud.
5. 4. Kuburan / Setra
Kuburan pada Desa Sambirenteng atau setra tempat warga yang sudah meninggal
akan dibentuk seperti gundukan/menggunung, jika warga yang meninggal adalah
laki-laki maka jenazah dari laki laki tersebut akan diletakkan tengkurap, namun
jika jenazah itu perempuan, maka jenazah tersebut akan diletakkan menengadah
ke atas.
5.5 Pantai
Desa Sambirenteng berada di Ujung pulau Bali yang berdekatan dengan pantai
dan berbatasan langsung dengan Laut Bali.
21
Gambar 4.18: Pantai dekat Pura
5.6 Peken / Pasar
Terdapat peken desa atau pasar desa yang fungsinya sama seperti pasar pada
umumnya. Pasar pada desa ini buka setiap hari dari pagi hingga malam hari
sehingga tidak ada hari yang mengkhusus untuk hari buka pasar tersebut.
Gambar 4.19: Pasar Desa
5.6 Perempatan Agung
Desa ini memiliki perempatan agung yang biasanya digunakan sebagai
tempat melaksanakan ritual mecagcagan, perempatan agung desa ini
sebenar nya bukan terletak tepat di depan desa, namun karena warga lebih
sering melaksanakan kegiatan keagamaan di perempatan ini, maka
perepmpatan yang terletak di depan desa ini ditetapkan sebagai
perempatan agung.
22
Gambar 4.20: Perempatan agung tempat
melaksanakan upacara keagamaan
Gambar 4.21: Fasilitas Umum Desa
Perempatan agung yang sebenarnya terletak dekat dengan Poskesdes yang brjarak tidak terlalu
jauh dengan perempatan agung yang digunakan untuk tempat pelaksaaan upacara keagamaan
sekarang.
23
5.7 Ritual – Ritual Khusus Pada Desa
1. Dewa Yadnya
Pura Sanggah Desa
Upacara besar atau biasa disebut odalan di Pura Sanggah Desa yang jatuh
pada Purnama Kelima.
Pura Sanghyang
Pura ini terletak diatas desa Sambirenteng, upacara besar Pura Sanghyang
ini jatuh pada Purnama Kasil
Pura Bale Agung
Pura Bale Agung atau biasa disebut Pura Desa ini memiliki upacara besar
yang jatuh pada Purnama Kapat
Pura Pengulapan
Pada saat dilaksanakan nya upacara besar, Pura Pengulapan ini digunakan
untuk “Ngemedalan” Ida Bhatara yang berada di daerah Bangli tepatnya
yang berada di Pura Dalem Belingkang. Odalan atau upacara besar di Pura
Belingkang jatuh pada Purnama Kelima. Pada saat Purnama Kelima
masyarakat Sambirenteng pergi untuk tangkil ke Pura Dalem Belingkang
yang berada di daerah Bangli, sehingga pada saat odalan di Pura Catu
yang jatuh pada Purnama Kelima masyarakat Sambirenteng tidak tangkil
ke pura Catu sehingga dicarilah penanggalan kenem. Penanggalam kenem
merupakan saat dimana stelah Purnama Kelima namun sebelum Purnama
Kenem. Jadi waktu penanggalan kenem berada di antara Purnama Kelima
dan Purnama Kenem.
Pura Catu
Odalan atau upacara besar di Pura Catu jatuh pada Purnama Kelima, tetapi
jika berbenturan denga Odalan di Pura Dalem Belingkang maka
dilaksanakan pada saat penanggal kaenem.
Pura Pengonjongan
Upacara besar pada Pura Pengonjongan jatuh pada Purnama Kenem
Pura Pungut
24
Pura ini terletak di pesisir pantai desa Sambirenteng, upacara besarnya
jatuh pada Purnama Kepitu
2. Manusa Yadnya
Desa Sambirenteng tidak memiliki istilah Ngaben dalam ritual manusa yadnya
nya. Jika ada yang meninggal maka jasad tersebut hanya dikuburkan dan
menunggu hari baik serta biaya terkumpul. Setelah 42 hari jasad tersebut akan
dibuatkan sebuah upacara yang disebut upacara Melain atau biasa disebut Metuun
sehingga tidak ada istilah mayat dibakar. Meskipun tidak ada yang namanya
Ngaben tetapi berbagai keperluan upacara seperti “banten” tidak ada bedanya
dengan upacara Ngaben.
Desa Sambirenteng juga memiliki adat yang unik mengenai posisi jasad yang
dikuburkan, jika yang meninggal berjenis kelamin perempuan maka saat dikubur
tubuhnya dihadapkan terlentang ke atas, tetapi jika yang meninggal laki-laki maka
posisi tubuhnya akan telungkup kebawah. Tempat yang digunakan untuk
mengangkat jasadnya disebut dengan Pepaga, pepaga ini disusun dari “tiing” yang
sederhana, tetapi karena jaman makin maju untuk saat ini jasad telah dibuatkan
peti yang digunakan untuk mengangkat jasad sampai di kuburan.
Ada 2 tipe orang yang meninggal di desa Sambirenteng, ada yang disebut Meliyeh
dan. Yang Meliyeh biasanya ada tirta khusus yang dipakai serta saat diangkat ke
kuburan diiringi dengan gendingan serta gambelan dan sebelum jasad tiba di
kuburan lubang kuburannya telah disiapkan. Sedangkan yang meninggal biasa
tidak ada iringan saat mengangkat jasad, dan lubang kuburannya baru disiapkan
saat jasad tiba di kuburan.
Terdapat perlakuan yang berbeda antara yang meninggal biasa dan meliyeh
dengan yang meninggal “salah pati”, yang berbeda adalah saat jasad diangkat ke
kuburan. Diangkatnya tidak menggunakan pepaga atau peti tetapi hanya
menggunakan 1 batang bambu, tangan dan kaki jasad tersebut di ikatkan di bambu
sehingga tubuh yang meninggal itu dibiarkan terseret di tanah. Perlakuan berbeda
25
ini dimaksudkan agar masyarakat yang masih hidup tidak melakukan hal yang
sama dan berpikir lebih jernih.
3. Butha Yadnya
Mecakcakan
Mecakcakan jatuh pada Tilem Kepitu, upacara ini diawali dengan menghaturkan
pejati di Pura Sanggah Desa pada saat hari raya Siwaratri, setelah itu diadakan
acara adu ayam yang wajib diikuti oleh semua masyarakat yang memiliki ayam
atau jika tidak memiliki ayam masyarakat wajib membayar iuran kepada desa.
Ayam yang kalah saat diadu tidak boleh dibawa pulang karena akan dimasak yang
kemudian akan dimakan bersama warga desa. Makan bersama ini biasa disebut
megibung, alas dari megibung ini menggunakan kelakat dimana 1 kelakat dipakai
megibung untuk 8 orang.
Ngerebeg
Upacara ini ditujukan untuk memohon pada para Butha agar selalu melindungi
desa, tiap tahun upacara ngerebeg ini dilaksanakan dengan meletakan daging sapi,
babi atau kambing di jalan sebagai persembahan untuk para butha.
Nyepi
Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari
ini jatuh pada Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian
dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air
hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan terhadap mereka dengan
tujuan utama untuk memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk
menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana
Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi dilaksakan,
terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di
daerah Bali.
26
4. Dokumentasi
Gambar 4.22: Pura Sanghyang
Gambar 4.23: Pura Bale Agung
27
Gambar 4.24: Sanggah Desa
Gambar 4.25: Pura Catu
28
Gambar 4.26: Pura Pegonjongan dan Pura Pungut
Gambar 4.27: Lingkungan di Sekitar Desa
29
Gambar 4.28: Pasar
5.8 Area dan Objek Keruangan yang Bernilai Sakral di Desa Sambirenteng
Berdasarkan hasil observasi lapangan ditemukan adanya beberapa area dan obejk
sakral yang disucikan oleh warga setempet secara pribadi, keluarga, maupun
kelompok masyarakat. Area dan objek sakral tersebut keberadaannya tersebar di
berbagai pelosok desa dalam berbagai ukuran, strata, dan fungsinya.
Pada bagian berikut ini diperlihatkan gambaran beberapa area sakral dan objek
sakral yang terdapat di wilayah Desa Sambirenteng.
1. Area Sakral
Area sakral dalam wilayah Desa Sambirenteng secara garis besarnya dapat
didefinisikan sebagai suatu area ruang terbuka atau lanskap yang dimaknai
sebagai area yang disucikan atau memiliki makna ritual dan simbolis bagi
30
masyarakat setempat. Beberapa jenis area yang tergolong sebagai area semacam
ini di Desa Sambirenteng antara lain: (a) area tepi pantai; (b) area daerah aliran
sungai; (c) area hutan; (d) mata air; dan (e) persimpangan jalan. Lazimnya, area
tepian pantai yang dimaknai sebagai area sakral di Desa Sambirenteng merupakan
area yang berkaitan dengan tradisi upacara terhadap penguasa laut (Pura Segara),
area melasti, maupun area bersejarah yang terkait dengan kedatangan kaum Cina
di wilayah ini pada masa lalunya (area tepian pantai di Pura Pagonjongan).
Berikut ini diperlihatkan foto-foto area sakral di Desa Sambirenteng.
Area sakral yang tergolong kelompok ini memiliki karakteristik radius
kesuciannya yang bervariasi tergantung pemaknaan dari civitas yang dalam hal ini
adalah masyarakat Hindu setempat. Sebagai contoh, area sakral tepian pantai ada
kalanya dimaknai hanya sebatas radius di mana lokasi perletakan sesajen upacara
ditempatkan. Pada bagian lainnya, masyarakat lainnya juga ada kalanya
memaknai area sakral wilayah pantai itu sebagai area sepanjang pantai wilayah
desanya (wawancara dengan bendesa adat, 2015). Pantai di wilayah Sambirenteng
diartikan sebagai area sakral yang menjadi transisi wilayah daratan dan lautan.
Hal semacam ini juga berlaku bagi area-area terbuka yang disakralkan di wilayah
ini, seperti area hutan, mata air, persimpangan jalan, dan sungai.
Gambaran lebih jelasnya tentang paparan tersebut dapat dilihat pada gambar-
gambar berikut ini.
Gambar 4.29 Area
Sakral Tepian Pantai
Gambar 4.30 Area
Sakral Tepi Sungai
Gambar 4.31 Area Sakral
Persimpangan Jalan
31
Di beberapa bagian wilayah area sakral tersebut lazimnya terdapat suatu area yang
menjadi titik penempatan sesajen upacara keagamaan di wilayah tersebut.
Masyarakat Hindu setempat lazimnya tidak hanya memaknai wilayah sakral
tersebut secara fisik saja, akan tetapi juga memaknai nilai sakralitasnya terhadap
perilaku mereka. Komunitas Hindu di Desa Sambirenteng lazimnya akan tidak
bersikap atau berbicara sembarangan di wilayah-wilayah yang diyakini sebagai
area-area sakral tersebut.
2. Objek Sakral
Di dalam wilayah Desa Sambirenteng terdapat beberapa jenis objek sakral atau
objek keruangan yang benilai suci bagi masyarakat Hindu di desa itu. Objek-objek
tersebut secara fisik dapat dikelompokkan sebagai berikut.
a. Objek bangunan pura
b. Objek batu besar yang disakralkan tinggalan masa megalitik
c. Objek pohon besar yang disakralkan
Objek-objek sakral tersebut lazimnya secara rutin masih tetap diupcarai oleh
masyarakat setempat hingga saat ini. Objek bangunan suci pura dapat
digolongkan sebagai objek bangunan pura tingkatan Kahyangan Desa, seperti
Pura Puseh lan Desa, Pura Bale Agung, Pura Segara, dan Pura Melanting. Adapun
pura yang tergolong pura keluarga antara lain pura dadia dan pura ibu yang
berjumlah sekitar 16 buah. Adapun beberapa jenis bagunan suci berstatus pribadi
antara lain pura catu dan pelinggih yang sangat banyak jumlahnya. Beberapa jenis
pura di wilayah Desa Sambirenteng bercikal bakal dari area sakral tempat
pemujaan berwujud tinggalan masa megalitik. Di dalam area inti pura ini
lazimnya terdapat objek tinggalan batu besar dari masa megalitik, seperti Pura
Pagonjongan dan Pura ...
Pura Kahyangan Desa yang terdapat dalam area desa adalah Pura Puseh, Pura
Desa, dan Pura Segara. Pura yang tergolong kelompok ini dibangun atau
ditetapkan berdasarkan pertimbangan penyetaraan terhadap desa-desa tradisional
bercorak Hindu di Bali pada umumnya yang lazimnya menganut sistem pura
32
kahyangan desa tersebut. Keberadaan Pura Kahyangan Desa di wilayah Desa
Sambirenteng pada umumnya mulai ditetapkan pada tahun 1960-an atau 1970-an
sebagai upaya menyetarakan kedudukan desa ini dengan desa-desa lain di Bali
pada umumnya.
Bangunan-bangunan suci di wilayah Desa Sambirenteng memiliki radius kesucian
yang dapat digambarkan sebagai adanya ruang kosong sempit “secukupnya”
antara tembok penyengker pura dan tembok bangunan profan lain yang
bersebelahannya dengannya. Keberadaan ruang kosong sempit ini untuk
menetralisir efek negatif yang berupa “aura panas” dari pura yang dapat
berdampak buruk bagi penghuni bangunan profan di sebelah pura. Di lapangan
diperoleh gambaran bahwa dimensi lebar ruang sempit antara tembok pura dan
tembok bangunan profan tersebut adalah bervariasi antara 0,5-2 meter saja.
Objek batu besar yang disakralkan merupakan batu tinggalan tradisi megalitik.
Pada masa sekarang, batu-batu tersebut tetap diupacarai dan dijadikan sebagai
lokasi peletakan sesajen untuk kekuatan abstrak penjaga wilayah setempat yang
dinamai sebagai ancangan. Batu-batu besar tersebut ada kalanya dilengkapi
dengan atribut berupa kain saput poleng, payung tedung agung, maupun pagar
dari bambu non permanen. Batu-batu sakral ini tidak pernah dipindahkan dari
tempatnya semula.
Hal serupa juga berlaku pada objek-objek pohon besar yang disakralkan.
Beberapa jenis pohon besar dari spesies setempat semacam Bekul (Chinese
Apple), Ketapang, Don Intaran, dan Beringin, mendapat perlakukan sebagai
pohon-pohon yang disakralkan. Pohon-pohon ini menjadi lokasi sesajen upacara
dan dilengkapi atribut kain saput poleng. Masyarakat Hindu setempat lazimnya
tidak akan sembarangan menyentuh, memotong, maupun menebang pokok utama
maupun dahan-dahan pohon sakral ini. Umat lazimnya akan terlebih dahulu
melakukan upacara khusus sebelum melakukan kegiatan tertentu yang berkaitan
dengan pohon sakral ini.
Objek sakral yang berupa batu besar dan pohon besar digambarkan hanya
memiliki radius kesakralan yang hanya sebatas objek tersebut. Orang-orang tidak
33
boleh secara sembarangan menyentuh maupun berbuat seenaknya yang mengenai
secara langsung fisik objek-objek sakral ini.
Berikut ini adalah empat gambaran radius kesucian area sekitar pura, batu besar,
pelinggih ladang, dan pohon besar di Desa Sambirenteng.
Gambar 4.32
Area Pura
Gambar
4.33 Batu Besar
Gambar 4.34
Pelinggih Catu
Gambar 4.35 Pohon
Besar
5.9 Kajian Khusus tentang Pura Pagonjongan
Di dalam wilayah Desa Sambirenteng terdapat sebuah pura kuno yang memiliki
catatan sejarah yang sangat penting terkait kedatangan kaum Cina yang
selanjutnya mendiami wilayah Kintamani, Bangli. Pada bagian berikut ini
dipaparkan tentang kajian sejarah dan wujud fisik bangunan Pura Pagonjongan di
wilayah Desa Pakraman Gretek, Desa Sambirenteng.
5.9.1 Gambaran Umum Pura Pagonjongan
1. Sejarah Pura Pegonjongan
Sejarah pendirian Pura Pegonjongan ini terkait dengan sejarah kedatangan kaum
saudagar dari Tiongkok yang datang ke Bali dalam misi perdagangannya. Pada
masa lalu, wilayah sekitar Sambirenteng hingga ke Bukit Sari dan Batur,
34
Kintamani merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Bangli. Sambirenteng ketika
itu memang dikenal sebagai satu daerah penghasil gula aren yang berkualitas baik.
Para pedagang dari berbagai daerah Nusantara seperti Jawa juga banyak
menjadikan daerah sekitar Pura Pegonjongan ini sebagai dermaga menambatkan
perahu-perahu layarnya.
Kaum pedagang Tiongkok juga banyak menjadikan daerah dermaga yang
kini telah menjadi lokasi Pura Pegonjongan itu sebagai tempat menitipkan barang-
barang bawaannya sebelum mendaki Bukit Sari untuk berjalan menuju daerah
Kintamani, Bangli. Di daerah Kintamani ini, pedagang dari Tiongkok ini ada yang
menetap dan keturunannya telah membentuk berbagai daerah permukiman yang
dikenal sebagai desa warga keturunan Tiongkok hingga kini, seperti Desa
Pinggan, Siakin, Lampu, dan sebagainya.
Lambat laun, lokasi penambatan perahu layar dan penitipan barang dagangan dan
bawaan para saudagar asing tersebut berkembang menjadi sebuah dermaga
perdagangan utama pada masanya. Di tempat tersebut juga dibangun dua
kompleks pura pemujaan bagi dewa perdagangan, yaitu Ratu Ngurah Subandar
dan Ratu Ayu Subandar. Kedua kompleks pura tersebut selanjutnya dikenal
dengan nama Puri Kawanan dan Puri Kanginan. Kedua pura selanjutnya dikenal
dengan nama Pura Pagonjongan yang berlokasi di satu area yang berdekatan di
tepi pantai di wilayah Desa Pekraman Gretek, Desa Sambirenteng. Pada masa
sekarang, Pura Pagonjongan dikenal sebagai pura segara bagi Desa Pekraman
Gretek.
Hasil informasi yang diperoleh, menyebutkan bahwa Pura Pagonjongan di
samping memiliki kaitan dengan masyarakat Batur, Kintamani, juga memiliki
relasi yang kuat dengan keberadaan Kerajaan Balingkang.
2. Arti Pura Pagonjongan secara Etimologi
Berdasarkan informasi yang diperoleh nama Pura Pagonjongan, diperkirakan
berasal dari kata ngojog yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
'kunjung'. Kata ngojog ini tentunya berkenaan dengan sejarah lokasi Pura
35
Pagonjongan sebagai tempat yang pertama kali disinggahi atau dikunjungi oleh
para pedagang Tiongkok pada saat mendaratkan perahunya di Pulau Bali. Kata
ngojog tersebut lambat laun berkembang menjadi kata pagonjongan yang
selanjutnya menjadi nama kompleks pura pemujaan pasangan dewa perdagangan
dan pelabuhan laut, yaitu Pura Pagonjongan.
3. Kedudukan Pura Pagonjongan
Pura Pagonjongan yang berlokasi di Jalan Raya Singaraja-Gilimanuk ini
berkedudukan sebagai pura segara bagi wilayah Desa Pekraman Gretek, Desa
Sambirenteng. Hari piodalan pura ini jatuh pada Sasih Kanem dan dilaksanakan
secara bersama-sama oleh lima desa pakraman pengemponnya, yaitu Pinggan,
Siakin, Tembok, Gretek, dan Sambirenteng.
Gambar 4.36 Peta Lokasi Pura
Selain sebagai pura segara, Pagonjongan juga menjadi sebuah pura utama bagi
komunitas warga Bali Aga yang bermukim di wilayah Batur, Kintamani dan di
Desa Blandingan serta Desa Petak di wilayah Gianyar. Sebuah tradisi budaya
yang dapat dilihat sebagai buktinya adalah berkaitan dengan upacara melasti
36
(mekiis) bagi masyarakat di wilayah Batur, Kintamani dan sekitarnya adalah
dilakukan di wilayah pantai Pura Pagonjongan hingga saat ini.
4. Wujud Fisik Kompleks Pura Pagonjongan
Pura Pagonjongan tercatat telah memperoleh bantuan dana perbaikan fisik
bangunan pura dari pihak Kabupaten Buleleng pada tahun 2010-2011. Dana
tersebut dipergunakan untuk pembuatan bangunan pelinggih dalam kompleks Puri
Kanginan dan Puri Kawanan, pembangunan tembok penyengker, bale gong,
wantilan, bangunan suci batu kerug, jembatan di atas sungai kecil, dan senderan
tepi sungai serta pantai.
Kompleks Pura Pagonjongan secara fisik terdiri dari dua kompleks bangunan suci
utama yang masing-masing bernama Puri Kanginan di area timur tapak dan Puri
Kawanan di area barat tapak. Kedua area tapak pura dengan dua kompleks
bangunan sucinya ini dipisahkan oleh satu ruas aliran sungai sempit yang telah
dilengkapi dengan sebuah jembatan kecil yang diperuntukkan bagi umat yang
bersembahyang dan pengelola pura.
Selain dua kompleks bangunan itu, Pura Pagonjongan juga memiliki dua
bangunan suci lainnya yang bernama Pura Beji dan Pelinggih Batu Kerug.
Elemen-elemen sakral lainnya yang terdapat dalam area tapak adalah berwujud
sebuah mata air, beberapa pohon besar, dan sebongkah batu besar yang
disakralkan sebagai tempat melinggih satu "tokoh" patih utama dan para
ancangan pura ini.
37
Gambar 4.37: Denah Pura Pagonjongan
a. Tata Ruang Terbuka
Area ruang terbuka Pura Pagonjongan memiliki karakteristik selayaknya sebuah
area pura yang berlokasi di tepi pantai. Tanah tapak pura berkarakter berpasir
hitam dan berbatu. Tapak ini memiliki kemiringan rendah ke arah utara, yaitu ke
arah pantai. Pada tapak juga terdapat satu aliran sungai kecil yang memisahkan
area tapak Puri Kanginan dan Puri Kawanan. Sungai kecil ini hanya dialiri air
pada musim penghujan saja. Area tapak Puri Kanginan lebih tinggi dari pada area
tapak Puri Kawanan yang berada di seberang aliran sungai sempit itu. Kedua area
ini dihubungkan dengan sebuah jembatan dari bahan beton bertulang yang
dibangun sekitar tahun 2011 (gambar 4).
Tata ruang terbuka kompleks pura ini belum tertata dengan baik, beberapa jenis
tanaman liar dan rerumputan tumbuh di beberapa bagian tapak. Dalam area tapak
juga tumbuh beberapa batang pohon besar yang disakralkan. Tata ruang terbuka
38
Pura Pagonjongan secara umum masih tetap memuat pancaran suasana sakral
selayaknya tapak sebuah pura yang sangat disucikan umat Hindu.
Gambar 4.37 Daerah Tepian
Pantai Pura Pagonjongan
Gambar 4.38:
Kompleks Pura Kawanan
Gambar 4.39: Jembatan
Menuju Kompleks Pura
Kanginan
sumber: survey, 2015
b. Tata Bangunan Sakral
Ada dua buah kompleks bangunan suci utama dalam area tapak Pura
Pagonjongan, yaitu Puri Kanginan dan Puri Kawanan. Keduanya memiliki wujud
dan fungsi masing-masing.
5. Puri Kanginan
Sesuai dengan namanya, kompleks bangunan Puri Kanginan ('istana timur')
memang berada di bagian timur tapak pura. Kompleks bangunan pura ini tersusun
atas tiga buah bangunan suci yang berada di atas satu bataran lantai dengan tinggi
sekitar 80 cm dari permukaan tanah asal. Ketiga bangunan suci tersebut terbuat
dari material bias melela dan masing-masing berwujud sebuah bangunan padma
sebagai bangunan utamanya, sebuah bangunan pelinggih berbentuk gedong, serta
sebuah bangunan pendukung yang berwujud bale piyasan. Puri Kanginan diyakini
sebagai tempat pemujaan terhadap Ratu Ayu Subandar yang diposisikan sebagai
aspek feminin dari dewa pengatur segala kegiatan perdagangan, pelayaran, dan
pelabuhan laut di Bali. Kompleks Puri Kanginan belum dilengkapi tembok
39
penyengker dan kori agung. Kedua bangunan utama di Puri Kanginan dibangun
menghadap ke arah barat, ke arah halaman kompleks puri yang diperuntukkan
sebagai tempat umat melakukan persembahyangannya (gambar 5).
Pada bagian depan puri ini terdapat sebatang pohon besar dan sebongkah batu
besar yang disakralkan dan diyakini sebagai tempat melinggih ancangan Ratu
Ayu Subandar. Umat yang akan melakukan persembahyangan ke dalam area inti
puri lazimnya akan melakukan persembahan di area pohon besar ini terlebih
dahulu.
Dalam suatu penggalan informasi disebutkan bahwa Puri Kanginan dimaknai juga
sebagai bangunan suci untuk tempat pasangan dewa-dewi Ratu Bagus Subandar
dan Ratu Ayu Subandar melakukan meditasi (Bali: mayoga).
6. Puri Kawanan
Kata kawanan dalam bahasa Bali berasal dari kata kauh ('barat'). Sesuai dengan
namanya, Puri Kawanan ('istana barat') memang berlokasi di barat tapak
kompleks Pura Pagonjongan. Puri ini memiliki wujud fisik bangunan yang sudah
lebih lengkap dari pada Puri Kanginan. Kompleks bangunan suci ini telah
memiliki tembok penyengker yang jelas, sebuah bangunan kori agung, serta dua
buah pintu margi ngranjing ('jalan masuk') dan margi medal ('jalan keluar') yang
mengapitnya. Semua bangunan yang berhias ornamen dan elemen dekorasi ini
berdiri megah dari material bias melela. Pada bagian tengah kori agung terdapat
sepasang daun pintu dari bahan kayu yang telah dicat berwarna biru laut.
Di dalam area ini Puri Kawanan terdapat satu halaman datar yang diperuntukkan
sebagai tempat umat melakukan persembahyangannya ke arah dua bangunan suci
utama yang berada di sisi timur area inti Puri Kawanan. Selayaknya dua bangunan
suci di Puri Kanginan, dalam area inti Puri Kawanan juga terdapat tiga bangunan
suci utama yang masing-masing berwujud bangunan sebuah bangunan padma
sebagai bangunan utamanya, sebuah bangunan pelinggih gedong, serta sebuah
bangunan suci pendukung yang berwujud bale piyasan (gambar 7).
40
Kompleks bangunan Puri Kawanan disebut-sebut sebagai tempat melinggih Ratu
Bagus Subandar sebagai aspek maskulin dari dewa pengatur segala kegiatan
perdagangan, pelayaran, dan pelabuhan laut di Bali. Kompleks puri ini juga
diyakini sebagai tempat resmi sang dewa dalam menerima segala tamu yang
berkunjung.
Selain sebagai tempat memuja Ratu Ngurah Subandar, Puri Kawanan juga
dimaknai sebagai tempat melinggih atau tempat pemujaan terhadap beberapa
tokoh dewa lainnya, seperti Ida Bhatara Lingsir, Ratu Gede, dan Ratu Ngurah
Lanang. Tokoh dewa yang disebutkan terakhir diyakini sebagai putra dari tokoh
bhatara utama yang melinggih di Pura Dalem Ped di Nusa Penida.
Gambar 4:40
Puri Kanginan
Gambar 4.41:
Puri Kawanan
Gambar 4.42:
Bangunan Suci dalam Puri
Kawanan
sumber: survey, 2015
5.10 Posisi Area dan Elemen Sakral dalam Tapak
Dalam area tapak juga terdapat beberapa area dan elemen sakral yang dapat
dipaparkan sebagai berikut.
1. Pelinggih Batu Kerug
Pelinggih Batu Kerug berlokasi di daerah tepian pantai. Pelinggih ini menurut
penuturan Bapak Bendesa Adat Desa Gretek, akan ditata kembali menjadi
bangunan suci yang lebih representatif. Batu Kerug ini diyakini sangat berperan
dalam terjadinya fenomena alam kilat di langit. Dalam bahasa Bali, kata kerug
memang dapat diartikan sebagai 'kilat'. Tradisi penyucian terhadap Batu Kerug ini
41
diperkirakan berasal dari tradisi masa megalitikum (gambar 8). Keberadaan Batu
Kerug di Pura Pagonjongan disebutkan oleh narasumber memiliki keterkaitan
dengan keberadaan batu serupa di Pura Lingsar dan di Gunung Rinjani, Lombok.
Dalam dunia pelayaran laut, ilmu perbintangan, arah, kecepatan angin, cuaca,
musim, dan badai memang menjadi pedoman yang sangat utama demi
keselamatan dan ketepatan mencapai tujuan. Sekiranya hal inilah yang menjadi
latar penyebab keberadaan pelinggih batu Kerug ('bangunan suci batu kilat') di
Pura Pagonjongan yang dahulunya juga menjadi lokasi sebuah dermaga besar
pada masanya.
2. Pura Beji
Di area dekat aliran sungai kecil pada tapak terdapat sebuah pura Beji yang sangat
disakralkan. Pura tersebut terdiri dari dua mandala yang terdiri dari jaba mandala
yang berisikan sebentuk bangunan sumur air tawar yang sangat disucikan; dan
jeroan mandala yang menjadi area utama yang dilengkapi sebuah pelinggih
berbentuk gedong dari bahan beton cetak (gambar 9).
Berdasarkan informasi yang dihimpun, sumber air di Pura Beji ini semula
berwujud dasar kotak persegi panjang seperti sumber air tawar yang ada di dalam
tapak lainnya. Material perkerasannya terbuat dari susunan bahan batu paras yang
disusun berlapis. Sumber air tawar ini konon dibuat oleh Kebo Iwa, seorang patih
Bali yang tersohor itu. Cukup disayangkan, atas gagasan seorang warga, wujud
sumber air peninggalan masa lalu tersebut selanjutnya diubah menjadi selayaknya
sebuah sumur masa sekarang yang terbuat dari susun buis beton (gambar 18).
Sumur air sakral ini tidak difungsikan untuk keperluan umum. Air tawar yang
terdapat didalaminya hanya diambil umat untuk keperluan upacara dan ritual saja.
42
Gambar 4.43:
Pelinggih Batu Kerug
Gambar 4.44:
Pura Beji
Gambar 4.45:
Mata Air Tawar untuk Umum
sumber: survey, 2015
3. Mata air tawar
Selain sumber air suci tawar dalam area Pura Beji, dalam area tapak Pura
Pagonjongan juga terdapat sebuah mata air tawar yang dapat difungsikan oleh
masyarakat setempat untuk keperluan sewajarnya. Mata air tersebut saat ini secara
fisik berwujud dasar denah kotak persegi panjang dan terbuat dari material beton.
Umat juga secara rutin mengahaturkan banten pada sumber air tawar ini. Air
tawar yang keluar, difungsikan untuk keperluan minum ternak sapi (gambar 10).
4. Area konsentrasi temuan benda sakral
Pada sisi barat tembok penyengker Puri Kawanan, terdapat suatu area yang
dibatasi dinding setinggi sekitar 90 cm, terbuat dari pasangan bata merah yang
belum difinishing. Di dalam area seluas sekitar 3x3 meter persegi tersebut
terdapat dua batu yang disakralkan (gambar 11). Area ini tidak memiliki nama
khusus, akan tetapi disucikan oleh warga sebagai tempat ditemukannya berbagai
macam benda kuno dari logam, seperti rantai, genta, dan lain sebagainya. Benda-
benda tersebut diyakini sebagai due atau 'kepunyaan' Pura Pagonjongan. Pada saat
sekarang, seluruh due itemuan tersebut masih disimpan dalam sebuah bangunan
suci di Pura Desa di Desa Pakraman Sambirenteng.
43
Gambar 4.46:
Area Suci Temuan Benda Sakral
Gambar 4.47:
Batu dan Pohon Pelinggih Patih
Gambar 4.48:
Pohon Sakral Lainnya
sumber: survey, 2015
5. Pohon besar dan batu besar pelinggih patih
Di dekat area jalan masuk utama Pura Pagonjongan yang berada di sisi tenggara
Puri Kawanan, terdapat sebatang pohon don intaran yang disakralkan. Di
dekatnya juga terdapat sebongkah batu besar yang juga disakralkan warga. Kedua
elemen sakral ini dimaknai sebagai tempat melinggih tokoh gaib patih di Pura
Pagonjongan ini (gambar 12). Umat yang bersembahyang, lazimnya akan
memulai rangkaian kegiatan persembahyangannya dengan bersembahyang
melakukan permohonan izin masuk area pohon don intaran dan batu besar sakral
pelinggih sang patih ini.
6. Pohon-pohon besar sakral lainnya
Dalam area tapak Pura Pagonjongan juga terdapat beberapa pohon besar yang
disakralkan umat dan warga setempat. Pohon-pohon tersebut diyakini sebagai
pelinggih para ancangan atau 'abdi' gaib Pura Pagonjongan. Pohon-pohon sakral
tersebut berasal dari beberapa spesies seperti don intaran, asem, dan bekul. Secara
fisik, pohon-pohon sakral tersebut dilengkapi dengan penanda yang bersifat non
fixed element, seperti kain saput poleng (gambar 13).
7. Loloan
Loloan adalah sebutan warga setempat terhadap area tepian pantai yang
berbatasan langsung dengan aliran sungai kecil yang melintasi tapak pura. Di area
44
ini terdapat suatu area kubangan air yang cukup disakralkan warga (gambar 14).
Pada area ini tidak terbangun pelinggih apapun, akan tetapi warga setempat
meyakini area ini sebagai "tempat tinggal" beberapa ekor ikan gaib yang berwujud
makhluk hibrid.
Gambar 4.49:
Loloan
Gambar 4.50: Bale Gong
untuk Pinggan dan Siyakin
Gambar 4.51: Bale Gong
untuk Gretek dan
Sambirenteng
sumber: survey, 2015
5.11 Tata Bangunan Profan
Dalam area tapak Pura Pagonjongan juga terdapat beberapa bangunan yang
bersifat profan yang difungsikan pada saat pelaksanaan kegiatan upacara piodalan
di pura ini. Bangunan tersebut adalah berupa bangunan wantilan yang berlokasi di
sisi barat tapak pura, dan lima buah bale gong di sisi barat dan barat laut tapak
yang diperuntukkan bagi sekaa gong dari kelima desa pakraman pengempon Pura
Pagonjongan, yaitu Desa Pakraman Pinggan, Siyakin, Tembok, Gretek, dan
Sambirenteng (gambar 15 dan gambar 16).
1. Kepercayaan Lain berkenaan Tapak Pura Pagonjongan
Berdasarkan penuturan narasumber yang ditemui di lapangan, diperoleh
setidaknya dua buah informasi berkenaan dengan kepercayaan warga setempat
terhadap area tapak Pura Pagonjongan.
45
2. Keberadaan sebelas mata air suci di sekitar muara sungai
Di sekitar daerah muara sungai kecil yang melintasi tapak pada masa lalunya
terdapat beberapa mata air tawar yang umum digunakan oleh warga setempat
sebagai air suci pengobatan (Bali: tamba). Air suci tersebut konon sangat mudah
diperoleh pada masa lalunya. Akan tetapi, dalam perkembangannya pada masa
sekarang mata air tersebut mulai seperti menghilang dan tertutup oleh kotoran
limbah yang melalui aliran sungai kecil tersebut (gambar 17). Berdasarkan
petunjuk gaib yang diperoleh pemuka agama setempat, di sekitar daerah muara
aliran sungai tersebut sesungguhnya terdapat sebelas mata air suci yang pada
saatnya akan muncul kembali apabila ritual penyucian dan pengelolaan tata ruang
tapak pura telah dijalankan dengan baik.
Gambar 4.52:
Lokasi Sebelas Mata Air Suci
Gambar 4.53:
Mata Air Suci di Pura Beji
Gambar 4.54:
Daerah Tepian Pantai Pura
sumber: survey, 2015
3. Tapak Pura Pagonjongan sebagai dermaga secara niskala
Tapak Pura Pegonjongan diyakini warga sebagai tapak sebuah dermaga yang
difungsikan secara niskala hingga saat ini. Kepercayaan ini didasarkan pada
pengalaman beberapa orang yang pernah "melihat" adanya beberapa perahu besar
gaib yang indah merapat di daerah sekitar tepian pantai Pura Pagonjongan.
46
5.12. Kajian tentang karakteristik Pura Pagonjongan
Berdasarkan data sejarah, fungsi, dan gambaran wujud elemen-elemen sakral yang
terdapat dalam area Pura Pagonjongan, maka dapat ditelaah bahwa Pura
Pagonjongan ini termasuk pura dengan karakteristik sebagai berikut.
1. Pura Pagonjongan sebagai sebuah tinggalan tradisi megalitik
Pura Pagonjongan dapat dikelompokkan sebagai sebuah pura tinggalan tradisi
megalitik. Tradisi megalitik dikenal sebagai suatu masa kebudayaan yang banyak
memfungsikan batu-batu besar sebagai sarana ritual pemujaan. Dalam area Pura
Pagonjongan memang terdapat beberapa elemen sakral berwujud batu yang
difungsikan sebagai elemen pemujaan dan ritual, diantaranya pelinggih Batu
Kerug yang berada di tepian pantai dan pelinggih Batu Patih yang berada di area
jalan masuk pura.
2. Pura Pagonjongan sebagai sebuah pura bernilai sejarah
Pura Pagonjongan juga dapat dikelompokkan sebagai sebuah pura bernilai
sejarah. Hal ini didasarkan pada adanya keterkaitan antara Pura Pagonjongan dan
sejarah perkembangan kebudayaan pada masa Bali Aga yang menyebar di desa-
desa di wilayah Batur dan Gianyar. Hingga saat ini pun komunitas dari beberapa
desa yang yang bercorak Bali Aga masih menjadikan Pura Pagonjongan ini
sebagai salah satu pura utama dalam kegiatan ritualnya. Selain dari pada itu, Pura
Pagonjongan juga berkaitan dengan catatan sejarah kedatangan kaum saudagar
Tiongkok pada abad ... yang selanjutnya menetap dan membentuk pemukiman di
wilayah Batur, Kintamani hingga kini. Berkenaan dengan nilai kesejarahannya
yang kuat ini, pihak pengelola pura memang memiliki suatu rencana akan
membangun sebuah bangunan suci bercorak kultur Tiongkok dalam area Pura
Pagonjongan ini.
47
(c) Pura Pagonjongan sebagai sebuah pura segara
Pada masa sekarang, Pura Pagonjongan masih tetap difungsikan juga sebagai
sebuah pura segara bagi Desa Pakraman Gretek dan beberapa desa di wilayah
Batur Kintamani, Bangli. Pada saat hari melasti, pura ini akan dijadikan sebagai
pusat pelaksanaan kegiatan ritual oleh warga dari desa-desa tersebut.
7. Kajian tentang Hierarkhi Sakralitas Tapak Pura Pagonjongan
Suatu hal lain yang dapat dikaji berkenaan dengan aspek tata ruang tapak Pura
Pagonjongan adalah berkenaan hierarkhi sakralitas tapak pura. Kajian tersebut
dapat dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan sebagai berikut.
a. Kajian tentang rangkaian prosesi persembahyangan
Pada saat kegiatan persembahyangan pada hari-hari besar keagamaan di Pura
Pagonjongan dilakukan, umat yang datang diperkirakan berjumlah ribuan orang
dari berbagai wilayah. Mereka diarahkan memarkirkan kendaraannya di beberapa
ruang terbuka terdekat milik desa maupun warga setempat sesuai keputusan rapat
yang dilakukan warga setempat. Mengingat keterbatasan lahan pura, segala
aktivitas non-ritual yang berkenaan dengan kebutuhan umat seperti makan-
minum, berbelanja, dan toilet dilakukan di perumahan penduduk sekitar wilayah
pura. Lalu lintas di Jalan Raya Singaraja-Gilimanuk pun diatur sedemikian rupa
oleh para pecalang dan polisi lalu lintas demi kenyamanan bersama dan
mencegah terjadinya kemacetan yang tidak terkendali.
Dalam area pura hanya diperuntukkan bagi kegiatan persembahyangan dan segala
kegiatan pendukungnya. Prosesi persembahyangan setiap umat lazimnya akan
diawali dari area di depan batu pelinggih Patih yang berada di dekat entrance
tapak itu. Tahap selanjutnya, umat akan melakukan persembahyangan atau
persembahan ke pelinggih Batu Kerug yang berada di tepi pantai. Prosesi ketiga
dilanjutkan ke Pura Beji yang berada di dekat aliran sungai kecil. Setelah itu,
umat akan melintasi jembatan kecil di atas sungai untuk menuju area Puri
Kanginan. Di depan puri ini, umat akan terlebih dahulu akan menghaturkan
48
banten di depan pohon besar tempat melinggih salah satu ancangan Puri
Kanginan. Kegiatan upacara persembahyangan akan dilanjutkan di dalam area
Puri Kanginan sebelum akhirnya ditutup dengan persembahyangan dalam area
Puri Kawanan. Beberapa umat ada kalanya juga melakukan ritual persembahan
pada area dan elemen sakral lain pada tapak, seperti pada pohon-pohon sakral
pelinggih ancangan, pada area temuan due-due pura, pada tepi aliran sungai, dan
pada sumber air tawar yang terdapat dalam tapak.
Pola prosesi persembahyangan semacam itu juga berlaku pada saat
persembahyangan secara pribadi yang dilakukan umat saat kunjungan pada hari-
hari biasanya. Gambaran pola prosesi persembahyangan tersebut dapat dilihat
dalam gambar peta perilaku berikut ini.
Gambar 45.9: Peta Perilaku
sumber: analisis, 2015
49
b. Kajian berkenaan tata nilai tapak secara tradisional Bali
Dengan mengacu pada pedoman tata nilai tapak tradisional Bali yang berlaku di
wilayah Bali Utara, maka tapak Pura Pagonjongan yang berada di tepian pantai
Laut Bali ini memiliki zona sakral-profan sebagai berikut.
1. Sesuai konsep sumbu kangin-kauh (arah matahari terbit-matahari terbenam),
zona tapak yang bernilai paling sakral adalah berada di bagian timur tapak
(lokasi Puri Kanginan). Adapun zona yang bernilai paling profan adalah
berada di tepi barat tapak yang berbatasan langsung dengan sebuah gang.
2. Sesuai konsep sumbu kaja-kelod (arah pengunungan-arah laut) yang dapat
disepadankan dengan arah selatan-utara pada tapak, zona utama tapak adalah
berada pada sisi selatan tapak yang berada dalam area jeroan masing-masing
kompleks puri. Hal ini diperkuat dengan keberadaan posisi bangunan padma
sebagai bangunan suci paling utama yang ditempatkan di bagian tenggara
area, baik pada area jeroan Puri Kanginan maupun Puri Kawanan.
Gambar 4.60: Tata Zonasi Tapak Pura
sumber: analisis, 2015
c. Kajian terhadap tata mandala pura
Tata mandala pura di Bali lazimnya terbagi atas tiga mandala utama yang masing-
masing memiliki tingkat kesakralan tertentu sesuai dengan fungsi dan
50
kedudukannya. Area terluar tapak pura yang bernama jaba sisi mandala yang
bernilai paling profan. Area peralihan dalam tapak pura disebut dengan jaba
tengah mandala yang bernilai menengah. Adapun area inti tapak pura yang
bernilai paling sakral dinamai dengan istilah jeroan.
Pada tapak Pura Pagonjongan, konsepsi ketiga mandala pura tersebut sangat
terlihat penerapannya sebagai berikut,
1. Area tapak pura yang berada di tepi jalan raya adalah jaba mandala pura
sebagai area penerima yang bernilai profan.
2. Area tapak pura yang bernilai paling sakral adalah terdapat dalam area inti
atau jeroan mandala kompleks Puri Kanginan dan Puri Kawanan.
3. Area tapak pura selebihnya adalah area peralihan yang bernilai menengah.
Area ini dimaknai sebagai jaba tengah mandala pura.
Gambar 4.61: Tata Nilai Tapak Berdasarkan Mandala Pura
sumber: analisis, 2015
51
d. Kajian terhadap hierarkhi tata ruang secara analogis
Tata ruang tapak Pura Pagonjongan juga dapat dikaji secara analogis berdasarkan
petunjuk adanya tiga zona yang memiliki fungsi khusus dalam area utama tapak.
1. Zona pertama adalah zona sekitar batu besar pelinggih Patih yang berada di
dekat jalan masuk area utama pura. Zona ini dianggap sebagai zona penerima
kunjungan umat yang akan bersembahyang ke dalam pura. Dalam konsep
rumah tinggal, posisi ini tentunya dapat disepadankan sebagai zona bernilai
semi publik, tempat penerimaan tamu yang baru memasuki suatu rumah.
2. Zona kedua adalah zona jeroan Puri Kawanan yang diyakini umat sebagai
tempat tokoh dewa yang bersemayam di Pura Pagonjongan melakukan
kegiatan penerimaan tamu. Zona ini tentunya dapat disetarakan dengan
keberadaan ruang tamu dalam konsep rumah tinggal masa kini.
3. Zona ketiga adalah zona jeroan Puri Kanginan yang berada di bagian timur
tapak. Zona ini dapat dimaknai sebagai zona paling privat dan paling utama
dalam area Pura Pagonjongan. Hal ini didasarkan pada fungsi Puri Kanginan
sendiri yang diyakini sebagai tempat Ratu Ngurah Subandar dan Ratu Ayu
Subandar melakukan meditasi. Selayaknya rumah tinggal manusia, ruang di
zona ini tentunya dirancang sangat tenang, privat, dan jauh dari gangguan dan
polusi.
52
Gambar 4.62: Tafsiran Tata Nilai Area Berdasarkan Hierarkhi Fungsi
sumber: analisis, 2015
Hasil keempat kajian tersebut apabila didialogkan, akan menghasilkan temuan
sebagai berikut.
a. Zona jaba sisi yang terdapat di tepi jalan raya adalah zona yang bernilai paling
profan dalam tapak Pura Pagonjongan.
b. Zona jalan masuk jaba tengah pura yang berada di dekat batu pelinggih Patih
merupakan zona penerima tempat umat memohon izin dan restu sebelum
memulai kegiatan persembahyangannya dalam area inti pura. Zona ini
tergolong zona peralihan atau zona madya.
c. Zona inti pura adalah zona utama mandala atau jeroan Puri Kawanan dan Puri
Kanginan. Puri Kanginan dapat dimaknai sebagai zona yang paling utama
pada tapak Pura Pagonjongan. Pendapat ini didasarkan pada posisi area Puri
Kanginan yang berada di zona timur tapak yang bernilai paling suci dalam tata
nilai tapak di wilayah Bali Utara. Secara fungsi, Puri Kanginan sebagai tempat
bermeditasi pasangan dewa-dewi juga bernilai lebih privat dari pada Puri
Kawanan yang berfungsi sebagai tempat pasangan dewa-dewi menerima
kunjungan tamu.
53
Titik paling sakral pada tapak terdapat di posisi berdirinya bangunan suci padma
dalam area Puri Kanginan dan Puri Kawanan. Pandangan ini tentunya sejalan
dengan konsep kaja-kangin sebagai arah paling utama yang disucikan yang
berposisi di arah tenggara, arah posisi tempat bangunan suci padma berdiri dalam
area Puri Kanginan dan Puri Kawanan
Rangkuman
Area dan objek sakral di Desa Sambirenteng juga memiliki corak masa Bali Aga
yang pra-Hindu Majapahit. Karakteristik ini terlihat dari adanya wujud-wujud
kepercayaan animisme dan dinamisme sebagai kepercayaan terdapat kekuatan
niskala yang menghuni batu besar, pohon besar, atau area-area tertentu. Pada
beberapa bagian juga termuat tradisi Hindu Majapahit melalui adanya kompleks
Pura Kahyangan Desa seperti yang berlaku di Bali dataran pada umumnya. Desa
Sambirenteng juga telah mendapat pengaruh kultur Hindu pertengahan yang
banyak dianut desa-desa di Bali pada umumnya.
Pada bagian lainnya, di wilayah Desa Sambirenteng juga terdapat satu kompleks
pura kuno dari masa Bali Aga yang terkait dengan kedatangan komunitas Cina ke
wilayah itu yang selanjutnya menetap di wilayah Kintamani, Bangli. Kompleks
pura ini dikenal dengan nama Pura Pagonjongan yang banyak menganut corak
kultur megalitik dan sinkretisasi kultur lama Bali-Cina.
54
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa Desa Sambirenteng
merupakan desa yang banyak memiliki tinggalan tradisi kebudayaan Bali Aga dan
Megalitik. Hal ini didasarkan dari adanya bukti tinggalan berupa pura, elemen
ritual, dan tradisi ritual yang masih difungsikan hingga saat ini yang masih
memuat sistem kepercayaan Animisme-Dinamisme, Megalitik, dan Hindu Bali
dari masa Pertengahan pascakedatangan ekspedisi Majapahit. Pada bagian lain
juga terdapat pengaruh kultur sinkretisasi Hindu Bali-Cina pada kompleks Pura
Pagonjongan.
Radius zonasi sakral di area dan objek sakral di wilayah Desa Sambirenteng
adalah bervariasi: (a) seluas area yang dimaknai sebagai area sakral; (b) pada titik
lokasi sesajen saja; (c) berjarak antara 0,5-2 meter untuk tembok penyengker pura;
dan (d) radius imajiner yang tidak bersinggungan dengan objek sakral yang
dimaksud, seperti pohon dan batu besar yang disakralkan itu.
6.2 Saran
Penelitian tentang aspek keruangan Desa Sambirenteng ini selanjutnya masih
dapat dikembangkan lagi untuk menggali pengetahuan tata ruang sakral Bali
untuk desa-desa di wilayah Bali Utara yang bercorak Bali Aga lainnya.
55
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1984. Sejarah Pendidikan Daerah Bali. Denpasar: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Anonim. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Eliade, Mircea. 2002. Sakral Dan Profan. Nuwanto (Terj.). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
Prayitno, Arohman, H. 2003. Etika Kemajemukan: Solusi Strategis Merenda Kebersamaan dalam
Bingkai Masyarakat Majemuk. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.
Ronald, Arya. 2008. Kekayaan & Kelenturan Arsitektur. Yogyakarta: Muhammadiyah University
Press.
Shastri, Narendra Dev Pandit. 1963. Sejarah Bali Dwipa. Denpasar: Bhuvana Saraswati.
Suwidja, Ida Bagus Mayun dan Purna, I Made. Rsi-Sasana-Catur-Yuga. Denpasar: Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
15
LAMPIRAN 1: JUSTIFIKASI ANGGARAN
1. HONOR O UTPUT KEGIATAN Item Honor Volume Satuan Honor/Jam (Rp) Honor per tahun
(Rp)
Thn 1 Honor Ketua 18 Jam/Minggu 5.000,00 3.024.000,00 Honor Anggota 14 Jam/Minggu 2.500,00 1.176.000,00 Honor Surveyor 1 6 Jam/Minggu 1.100,00 525.000,00 Honor Surveyor 2 6 Jam/Minggu 1.100,00 525.000,00
SUB TO TAL (Rp) 5.250.000,00
2. BELANJA BAHAN Item Bahan Volume Satuan Harga Satuan
(Rp) Harga Peralatan Penunjang (Rp)
Thn 1 Fotocopy 350 Lembar 100,00 35.000,00 Copy materi focus group discussion
4 Eks 50.000,00 2.000.000,00
Biaya konsumsi pertemuan
12 Paket 20.000,00 240.000,00
Biaya konsumsi ke lokasi
12 Paket 50.000,00 600.000,00
Catridge dan tinta printer
2 Paket 750.000,00 1.500.000,00
Potongan Pajak Penelitian 15%
3.750.000,00 2.625.000,00
SUB TO TAL (Rp) 7.000.000,00 3. BELANJA BAHAN NON OPERASIONAL LAINNYA
Item Bahan Volume Satuan Harga Satuan (Rp)
Harga Peralatan Penunjang (Rp)
Thn 1 Biaya pembuatan/presentasi makalah atau materi ajar (70%)
1 Paket 3.000.000,00 2.100.000,00
Biaya penyusunan dan penerbitan artikel di jurnal (70%)
1 Paket 2.000.000,00 1.400.000,00
SUB TO TAL (Rp) 3.500.000,00 4. BELANJA PERJALANAN LAINNYA
Item Honor Volume Satuan Harga BIAYA Satuan (Rp)
Biaya per tahun (Rp)
Thn 1 1. Biaya sewa dan
bensin mobil ke lokasi (3x)
3 Paket 250.000,00 750.000,00
2. Biaya sewa sepeda motor + bensin untuk survey di
4 Paket 200.000,00 800.000,00
16
lokasi terpencil
3. Biaya surat menyurat
1 Paket 100.000,00 100.000,00
4. Pejati + canang sari untuk survey ke pura
2 Paket 50.000,00 100.000,00
Sub Total (Rp) 1.750.000,00 TO TAL ANGGARAN YANG DIPERLUKAN (Rp) 17.500.000,00
Top Related