ANALISA SISTEM PUSAT PERMUKIMAN DAN KOMPOSISI KERUANGAN

23
0 ANALISA SISTEM PUSAT PERMUKIMAN DAN KOMPOSISI KERUANGAN Analisa Lokasi dan Keruangan Oleh : I Putu Praditya Adi Pratama 3611100020 Laily Rochmatul Charky 3611100026 Eka Putri Anugrahing Widi 3611100012 Sashira Aisyandini 3611100043 Ni Luh Putu Sukma Dewi 3611100055 Ellen Deviana Arisadi 3611100071 Bagiar Adla Satria 3611100057 Akhmad Indra Prabowo 3611100076 PRODI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

description

Analisis Skalogram dan Gravity Model

Transcript of ANALISA SISTEM PUSAT PERMUKIMAN DAN KOMPOSISI KERUANGAN

  • 0

    ANALISA SISTEM PUSAT PERMUKIMAN DAN KOMPOSISI KERUANGAN

    Analisa Lokasi dan Keruangan

    Oleh :

    I Putu Praditya Adi Pratama 3611100020 Laily Rochmatul Charky 3611100026 Eka Putri Anugrahing Widi 3611100012 Sashira Aisyandini 3611100043 Ni Luh Putu Sukma Dewi 3611100055 Ellen Deviana Arisadi 3611100071 Bagiar Adla Satria 3611100057 Akhmad Indra Prabowo 3611100076

    PRODI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Kota merupakan suatu sistem jaringan kehidupan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen (Bintarto, 1983). Kota juga berarti suatu lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non agraris, misalnya ibukota kabupaten atau ibukota kecamatan yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan (Peraturan Mendagri RI No. 4 Tahun 1980 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota). Kota ibarat sebuah molekul yang selalu berkembang dari waktu ke waktu karena kota mengalami perkembangan baik secara fisik maupun non fisik. Kebutuhan kota akan selalu meningkat dari waktu ke waktu dan tidak jarang terjamah oleh hal-hal baru. Perkembangan pembangunan suatu kawasan akan berpengaruh pada meningkatnya kualitas dan kesejahteraan penduduk. Pada dasarnya, kota bagaikan makhluk hidup yang berasal dari lahir, tumbuh, berkembang, dan bila tidak dipelihara kota tersebut berpeluang untuk mati (Wijanarka, 2007). Perkembangan kota didasari oleh adanya aktivitas masyarakat yang selalu berkembang dan tuntutan kebutuhan yang selalu meningkat. Tetapi, tidak dapat disangkal perkembangan kota yang baik adalah perkembangan kota yang mampu memberikan kenangan tahapan pembangunan masa lampau sebagai cerminan budaya masyarakat dan pemberi tautan makna kultural pada generasi yang akan datang (Budihardjo, 1997).

    Salah satu faktor eksternal yang akan mempengaruhi perkembangan suatu kota adalah keterkaitannya dengan kota lain, baik dalam maupun luar negeri, serta keterkaitan dengan daerah belakangnya (hinterland) atau daerah pedesaan sekitarnya. Sering keterkaitan ini terwujud sebagai suatu bentuk sistem kota. Dalam suatu sistem kota, kota menjadi unsur utama dan merupakan simpul (node) dalam sistem ini. Keterkaitan ini memegang peranan penting dalam pembentukan pola dan struktur sistem perkotaan, dan dalam merangsang perkembangan kota (Soegijoko dalam Hestuadiputri, 2007).

    Pada hakekatnya faktor yang menyebabkan perkembangan kota umumnya sama sebagaimana yang berpengaruh pada perkembangan kota-kota di negara yang sedang berkembang lainnya yaitu pertambahan penduduk baik secara alami maupun karena migrasi desa-kota atau perubahan kegiatan usaha dan kehidupan penduduk yang berkembang (LPEM FE UI, 2003).

    Dalam suatu sistem kota terdapat pusat pertumbuhan. Menurut Tarigan (2005), pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha yang karena sifat hubungannya memiliki unsur unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar. Sedangkan secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang memiliki banyak fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di situ dan masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada di lokasi tersebut. Kriteria pusat pertumbuhan yaitu sebagai daerah cepat tumbuh, memiliki sektor unggulan dan memiliki interaksi ekonomi dengan daerah belakangnya. Pusat pertumbuhan kota tersebut lebih spesifik dijelaskan dalam makalah ini, antara lain membahas teori perkembangan kota dan analisa sistem pusat pelayanan.

  • 2

    1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana cara menentukan pusat permukiman dan komposisi keruangan.

    1.3. Tujuan dan Sasaran Makalah Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah mengetahui cara menentukan pusat pelayanan kota. Adapun sasaran dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui sistem pusat permukiman dan komposisi keruangan. 2. Mengetahui analisis penentuan pusat permukiman dan komposisi keruangan.

  • 3

    BAB II PEMBAHASAN

    2.1 Teori Perkembangan Kota 2.1.1 Pengertian Kota

    Dalam pengertian geografis, kota itu adalah suatu tempat yang penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok, dan mata pencaharian penduduknya bukan pertanian. Sementara menurut Bintarto (1987) kota dalam tinjauan geografi adalah suatu bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar, dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis di bandingkan dengan daerah di belakangnya. Tinjauan di atas merupakan batasan kota dari segi sosial. Dalam perkembangannya, konsep-konsep kota paling tidak dapat dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu segi fisik, administratif, sosial dan fungsional. Dengan banyaknya sudut pandang dalam membatasi kota, mengakibatkan pemahaman kota dapat berdimensi jamak dan selama ini tidak satupun batasan tolak ukur kota yang dapat berlaka secara umum.

    Kota dalam tinjauan fisik atau morfologi menekankan pada bentuk-bentuk kenampakan fisikal dari lingkungan kota. Smailes (1955) dalam Yunus (1994) memperkenalkan 3 unsur morfologi kota yaitu penggunaan lahan, pola-pola jalan dan tipe atau karakteristik bangunan. Sementara itu Conzen (1962) dalam Yunus (1994) juga mengemukakan unsur -unsur yang serupa dengan dikemukakan Smailes, yaitu plan, architectural style and land use.

    Berdasarkan pada berbagai macam unsur morfologi kota yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa secara umum unsur-unsur morfologi kota berkisar antara karakteristik bangunan, pola jalan dan penggunaan lahan. Unsur-unsur ini yang paling sering digunakan untuk mengenali suatu daerah secara, morfologis, kota atau bukan. Secara garis besar ada tiga macam proses perluasan areal kekotaan (urban sprawl) menurut Hadi Sabari Yunus, yaitu:

    1. Perembetan konsentris Tipe pertama ini dikemukakan oleh Haevey Clark. Jenis perembetan ini berlangsung paling lambat karena perembetan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian luar kenampakan fisik kota. Proses perembetan ini menghasilkan bentuk kota yang relatif kompak dan peran transportasi tidak begitu besar.

    2. Perembetan memanjang Tipe ini dikenal dengan ribbon development linear yang menunjukkan, ketidakmerataan perembetan areal perkotaan di semua bagian sisi luar dari kota utama. Perembetan paling cepal terlillat disepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari dari pusat kota.

    3. Perembetan yang meloncat Tipe ini dikenal sebagai leaf frog development dan dianggap paling merugikan. Hal ini karena perembetan ini tidak efisien dalam arti ekonomi, tidak mempunyai estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan terjadi berpencar secara sporadis dan menyulitkan pemerintah kota untuk membangun prasarana fasilitas kebutuhan hidup penduduknya. Tipe ini sangat cepat menimbulkan dampak negatif terhadap kegiatan pertanian, memunculkan kegiatan spekulasi lahan, dan menyulitkan upaya penataan ruang kota.

  • 4

    2.1.2 Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Perkembangan Kota Aspek perkembangan dan pengembangan wilayah tidak dapat lepas dari adanya ikatan-

    ikatan ruang perkembangan wilayah secara geografis. Chapin (dalam Soekonjono, 1998) mengemukakan ada 2 hal yang mempengaruhi tuntutan kebutuhan ruang yang selanjutnva menyebabkan perubahan penggunaan lahan yaitu

    1. Adanya perkembangan penduduk dan perekonomian, 2. Pengaruh sisterm aktivitas, sistem pengembangan, dan sistem lingkungan.

    Variabel yang berpengaruh dalam proses perkembangan kota menurut Raharjo (dalam Widyaningsih, 2001), adalah:

    1. Penduduk, keadaan penduduk, proses penduduk, lingkungan sosial penduduk 2. Lokasi yang strategis, sehingga aksesibilitasnya tinggi 3. Fungsi kawasan perkotaan, merupakan fungsi dorminan yang mampu menimbulkan 4. Kelengkapan fasilitas sosial ekonomi yang merupakan faktor utama timbulnya

    perkembangan dan pertumbuhan pusat kota 5. Kelengkapan sarana dan prasarana transportasi untuk meningkatkan aksesibilitas

    penduduk ke segala arah 6. Faktor kesesuaian lahan 7. Faktor kemajuan dan peningkatan bidang teknologi yang mempercepat proses pusat

    kota mendapatkan perubahan yang lebih maju 2.1.3 Struktur Tata Ruang Kota

    Struktur tata ruang kota dapat membantu dalam memberi pemahaman tentang perkembangan suatu kota. Ada 3 (tiga) teori struktur tata ruang kota yang berhubungan erat dengan perkembangain guna lahan kota dan perkembangan kota, yaitu (Chapin, 1979) : A. Teori Konsentrik (concentric zone concept) yang dikemukakan E.W.Burgess

    Para pemerhati ekologi pada Kota Chicago melihat adanya keteraturan pola penggunaan lahan yang tercipta sebagai produk dan sekaligus proses interrelasi antara elemen-elemen wilayah kotanya. Orang yang pertama kali menuangkan pengamatannya dalam suatu tesis adalah E.W. Burgess (1925). Menurut E.W. Burgess, Kota Chicago telah berkembang sedemikian rupa dan menunjukkan pola penggunaan lahan yang konsentris dimana masing-masing jenis penggunaan lahan ini dianalogikan sebagai konsep natural areas. Burgess membagi kota menjadi 5 bagian, antara lain daerah pusat bisnis, daerah transisi, daerah permukiman para pekerja, daerah tempat tinggal golongan kelas menengah, dan daerah para penglaju.

    Gambar 2.1 Teori Konsentrik Sumber: Yunus, 2000

  • 5

    Keterangan : 1) Daerah pusat bisnis atau The Central Business District (CBD) 2) Daerah Transisi atau The Zone of Transition 3) Daerah pemukiman para pekerja atau The Zone of Workkingmens homes 4) Daerah tempat tinggal golongan kelas menengah atau The Zone of Middle Class Develiers 5) Daerah para penglaju atau The Commuters Zone

    Menurut E.W. Burgess dalam Jayadinata (1999) karakteristik masing - masing zona

    dapat diuraikan sebagai berikut: Zona 1: Daerah Pusat Bisnis Zona ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: (1) Bagian paling inti disebut RBD (Retail Business District). Merupakan daerah paling dekat dengan pusat kota. Di daerah ini terdapat toko, hotel, restoran, gedung, bioskop dan sebagainya. Bagian di luarnya disebut sebagai WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan yang diperuntukkan kegiatan ekonomi dalam jumlah yang lebih besar antara lain seperti pasar, pergudangan dan gedung penyimpan barang supaya tahan lebih lama. Zona 2 : Daerah Transisi Adalah daerah yang mengitari pusat bisnis dan merupakan daerah yang mengalami penurunan kualitas lingkungan pemukiman yang terus menerus. Daerah ini banyak dihuni oleh lapisan bawah atau masyarakat berpenghasilan rendah. Zona 3 : Daerah pemukiman para pekerja Zona ini banyak ditempati oleh perumahan pekerja-pekerja pabrik industri. Kondisi pemukimanya sedikit lebih baik dibandingkan dengan daerah transisi. Para pekerja di sini berpenghasilan menengah sehingga memungkinkan untuk hidup sedikit lebih baik. Zona 4 : Daerah pemukiman yang lebih baik Daerah ini dihuni oleh kelas menengah yang terdiri dari orang-orang yang profesional, pemilik usaha/bisnis kecil-kecilan, manajer, para pegawai dan lain sebagainya. Fasilitas pemukiman terencana dengan baik sehingga kenyamanan tempat tinggal dapat dirasakan pada zona ini. Zona 5 : Daerah para penglaju Merupakan daerah terluar dari suatu kota, di daerah ini bermunculan perkembangan permukiman baru yang berkualitas tinggi. Daerah ini pada siang lengang, karena mayoritas masyarakatnya bekerja.

    Ciri khas utama teori ini adalah adanya kecenderungan, dalam perkembangan tiap daerah dalam memperluas dan masuk daerah berikutnya (sebelah luarnya). Prosesnya mengikuti sebuah urutan - urutan yang dikenal sebagai rangkaian invasi (invasion succesion). Cepatnya proses ini tergantung pada laju pertumbuhan ekonomi kota dan perkembangan penduduk. Sedangkan di pihak lain, jika jumlah penduduk sebuah kota besar cenderung menurun, maka daerah disebelah luar cenderung tetap sama sedangkan daerah transisi menyusut kedalam daerah pusat bisnis. Penyusutan daerah pusat bisnis ini akan menciptakan daerah kumuh dan perkampungan. Sedangkan interpretasi ekonomi dari teori konsentrik menekankan bahwa semakin dekat dengan pusat kota semakin mahal harga tanah. Teori konsentris memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai berikut : Kelebihan teori konsentris :

    1. Dapat mengkondisikan lingkungan sedemikian rupa sehingga kelangsungan hidup spesies sejenis dapat terjaga

  • 6

    2. Menyeragamkan sifat-sifat natural area karena zona yang terbentuk sebagai produk dan proses manifestasi ekologis

    3. Dapat menceritakan interelasi dan interaksi yang kompetitif antara manusia, tumbuhan, binatang, dan lingkungan

    Kelemahan teori konsentris : 1. Jarang ditemui bentuk sebuah kota yang menyerupai bentuk kota dalam teori

    konsentris 2. Komposisi keruangan pada kota-kota di dunia tidak se-ideal komposisi keruangan

    seperti yang dikemukakan Burgess dalam teori konsentris

    B. Teori sektor (sector concept) yang dikemukakan oleh Hommer Hoyt Munculnya ide untuk mempertimbangkan variabel sektor ini pertama kali

    dikemukakan oleh Hoyt (1939) bahwa persebaran pola sewa terlihat sejalan dengan sektor-sektor tertentu dengan kekhasan tertentu dalam tesisnya yang berjudul The Structure and Growth of Residential Neighbourhoods in American Cities. Dengan menuangkan hasil penelitiannya pada pola konsentris sebagaimana dikemukakan Burgess, ternyata pola sewa tempat tinggal pada kota-kota di Amerika cenderung terbentuk sebagai pattern of sectors (pola sektor-sektor) dan bukannya pola konsentris. Hal inilah yang menyebabkan terkenalnya teori Homer Hoyt sebagai teori sektor. Dalam teorinya ini, Hoyt membagi wilayah kota dalam beberapa zona, yaitu:

    1. Lingkaran pusat, terdapat pusat kota atau CBD 2. Sektor kedua terdapat kawasan perdagangan dan industri 3. Sektor ketiga terdapat kawasan tempat tinggal kelas rendah 4. Sektor keempat terdapat kawasan tempat tinggal kelas menengah 5. Sektor kelima terdapat kawasan tempat tinggal kelas atas.

    Gambar 2.2 Teori Sektor

    Sumber: Yunus, 2000

    Teori sektor memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai berikut : Kelebihan teori sektor :

    1. Elemen arah akan lebih menentukan penggunaan lahannya daripada elemen jarak 2. Jalur transportasi menghubungkan pusat kota ke bagian-bagian yang lebih jauh 3. Berkembang pada arah yang sama pada waktu yang lama 4. Persebaran rumah berdasarkan kualitas fisik mengikuti pola sektor 5. Merupakan teori yang melengkapi Teori Konsentris Burgess

  • 7

    Kekurangan teori sektor : 1. Sangat bergantung pada jalur transportasi yang menjari 2. Hanya dapat digunakan pada kota atau wilayah tertentu

    C. Teori inti berganda (multiple-nuclei concept) yang dikemukakan oleh Harris

    dan Ullman Teori pusat berganda (Harris dan Ullman, 1945) menyatakan bahwa Central Business

    District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu growing points. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti retailing distrik khusus perbankan, teater, dan lain-lain (Yunus, 2000). Namun ada perbedaan dengan teori konsentris dan sektor, yaitu bahwa pada teori pusat berganda terdapat banyak Central Business District dan letaknya tidak persis ditengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar.

    Pertumbuhan kota yang berawal dari suatu pusat menjadi bentuk yang kompleks. Bentuk yang kompleks ini disebabkan oleh munculnya nukleus-nukleus baru yang akan berkembang sesuai dengan penggunaan lahannya yang fungsional dan membentuk struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan.

    Nukleus kota dapat berupa perguruan tinggi, bandar udara, kompleks industri, pelabuhan laut, dan terminal bus. Keuntungan ekonomi menjadi dasar pertimbangan dalam penggunaan lahan secara mengelompok sehingga terbentuk nukleus. Misalnya, kompleks industri mencari lokal yang berdekatan dengan sarana transportasi. Perumahan baru mencari lokasi yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan dan fasilitas pendidikan.

    Harris dan Ullman berpendapat bahwa karakteristik penyebaran penggunaan lahan ditentukan oleh faktor-faktor yang unik seperti situs kota dan sejarahnya yang khas, sehingga tidak terdapat urutan-urutan yang teratur dari zona-zona kota seperti pada teori konsentris dan sektor. Teori dari Burgess dan Hoyt diaggap hanya menunjukkan contoh-contoh dari kenampakan nyata suatu kota.

    Gambar 2.3 Teori Inti Berganda Sumber: Yunus, 2000

    1. Pusat kota atau CBD 2. Kawasan perdagangan dan

    industri 3. Kawasan tempat tinggal kelas

    rendah 4. Kawasan tempat tinggal kelas

    menengah 5. Kawasan tempat tinggal kelas

    atas 6. Pusat industri berat 7. Pusat niaga/perbelanjaan lain

    di pinggiran 8. Kawasan tempat tinggal sub-

    urban 9. Kawasan industri suburban

  • 8

    Berikut penjelasan mengenai masing-masing zona dalam teori pusat kegiatan berganda : Zona 1 : Central Business District Zona ini berupa pusat kota yang menampung sebagian besar kegiatan kota. zona ini berupa pusat fasilitas transportasi dan didalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti distrik khusus perbankan, teater, dll. Zona 2 : Wholesale Light Manufacturing Oleh karena keberadaan fungsi sangat membutuhkan jasa angkutan besar maka fungsi ini banyak mengelompok sepanjang jalan kereta api dan dekat dengan Central Business District (CBD). Zona ini tidak berada di sekeliling zona 1, namun hanya berdekatan. Sebagaimana wholesale, yaitu transportasi yang baik, ruang yang memadai, dekat dengan pasar dan tenaga kerja. Zona 3 : Low Class Residential Permukiman memang membutuhkan persyaratan khusus. Dalam hal ini terdapat persaingan untuk mendapatkan lokasi yang nyaman antara golongan berpenghasilan tinggi dengan golongan berpenghasilan rendah. Hasilnya telah dapat diramalkan, yakni golongan tinggi akan mendapatkan daerah yang nyaman dan golongan rendah akan memperoleh daerah yang kurang baik. Zona ini mencerminkan daerah yang kurang baik untuk permukiman sehingga penghuninya dari masyarakat berpenghasilan rendah. Zona 4 : Medium Class Residential Zona ini tergolong lebih baik daripada zona 3 dari segi fisik maupun penyediaan fasilitas. Penduduk yang tinggal pada zona 4 umumnya berpenghasilan lebih tinggi daripada penduduk di zona 3. Zona 5 : High Class Residential Zona ini memiliki kondisi paling baik untuk permukiman dalam kondisi fisik maupun penyediaan fasilitas. Lingkungan alamnya pun menjanjikan kehidupan yang tenteram, aman, sehat, dan menyenangkan. Hanya golongan penduduk yang berpenghasilan tinggi yang mampu memiliki lahan dan rumah di zona 5. Lokasinya relatif jauh dari Central Business District, industri berat dan ringan, namun untuk memenuhi kebutan sehari-hari didekat zona 5 dibangun Business District baru yang fungsinya sama dengan CBD. Pusat-pusat baru seperti universitas, pusat rekreasi, dan taman-taman sangat menarik perkembangan permukiman menengah dan tinggi. Zona 6 : Heavy Manufacturing Zona ini merupakan konsentrasi pabrik-pabrik besar. berdekatan dengan zona ini biasanya mengalami permasalahan lingkungan, seperti pencemaran udara, kebisingan, kesemerawutan lalu lintas, dan sebagainya, sehingga untuk kenyamanan tempat tinggal kurang baik, namun di zona 6 terdapat berbagai lapangan perkerjaan yang bervariasi. Wajar apabila penduduk berpenghasilan rendah bertempat tinggal di zona 6. Zona 7 : Outlying Business District Zona ini muncul untuk memenuhi kebutuhan penduduk di zona 4 dan zona 5, serta sekaligus akan menarik fungsi-fungsi lain untuk berada di dekatnya. Sebagai saah satu pusat, zona ini akan menciptakan suatu pola tata ruang yang berbeda pula, sehingga tidak mungkin tercipta pola konsentris, namun membentuk sebaran cellular sesuai dengan karakteristik masing-masing. Zona 8 : Residential Suburb Zona ini membentuk komunitas tersendiri dalam artian lokasinya. Penduduk pada zona 8 sebagian besar berkerja di pusat-pusat kota dan zona 8 semata-mata digunakan untuk tempat

  • 9

    tinggal. Walaupun demikian, semakin lama zona 8 akan semakin berkembang dan menarik fungsi lain juga, seperti pusat perbelanjaan, perkantoran, dan lain-lain. Zona 9 : Industrial Suburb Sebagaimana perkembangan industri-industri lainnya, unsur transportasi selalu menjadi salah satu persyaratan untuk menghidupkan zona industri. Meskipun zona 9 terletak di pinggiran, namun zona ini dilalui oleh jalur transportasi yang memadai. Sebagai salah satu pusat, pada perkembangan selanjutnya dapat menciptakan pola-pola persebaran keruangannya sendiri dengan proses serupa.

    Teori inti berganda merupakan teori yang dikembangkan untuk menyempurnakan teori perkembangan kota sebelumnya, sehingga memiliki kelebihan, yakni menunjukkan kenampakan nyata suatu kota, dimana dalam perkembangannya sebuah kota memiliki lebih dari satu nucleus, dan pusat sebuah kota letaknya tidak persis ditengah kota, serta tidak selalu berbentuk bundar.

    2.2 Analisa Sistem Pusat Pelayanan

    Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain hidup, melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (UU No 26 Tahun 2007). Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana. Semua hal tersebut berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi yang secara hirarki berhubungan fungsional.

    Struktur ruang wilayah kota merupakan gambaran sistem pusat pelayanan kegiatan internal kota dan jaringan infrastruktur kota sampai akhir masa perencanaan, yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kota dan melayani fungsi kegiatan yang ada/direncanakan dalam wilayah kota pada skala kota, yang merupakan satu kesatuan dari sistem regional, provinsi, nasional bahkan internasional. Rencana sturktur ruang kota mencakup rencana pengembangan pusat pelayanan kegiatan kota, dan rencana sistem prasarana kota. Rencana pengembangan pusat pelayanan kegiatan kota menggambarkan lokasi pusat-pusat pelayanan kegiatan kota, hirarkinya, cakupan/skala layanannya, serta dominasi fungsi kegiatan yang diarahkan pada pusat pelayanan kegiatan tersebut. Sedangkan rencana sistem prasarana kota mencakup sistem prasarana yang mengintegrasikan kota dalam lingkup yang lebih luas maupun mengitegrasikan bagian wilayah kota serta memberikan layanan bagi fungsi kegiatan yang ada/direncakan dalam wilayah kota, sehingga kota dapat menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan tujuan penataan ruang kota yang ditetapkan.

    Alat analisa yang dapat digunakan untuk menentukan pusat pelayanan kota antara lain analisis skalogram dan metode gravitasi.

    2.2.1 Analisis Skalogram Analisis skalogram merupakan salah satu alat untuk mengidentifikasi pusat pertumbuhan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya. Dengan demikian dapat ditentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang akan menjadi daerah belakang (hinterland). Metode ini pertama kali dipaparkan oleh Louis Guttman (1950). Analisis Skalogram dilakukan untuk mengetahui pusat pelayanan berdasarkan jumlah dan jenis unit fasilitas pelayanan yang ada di dalam setiap daerah. Asumsi yang dipakai adalah bahwa wilayah yang memiliki ranking tertinggi adalah lokasi yang dapat ditetapkan menjadi

  • 10

    pusat pertumbuhan. Dalam analisis skalogram ini subjek diganti dengan pusat permukiman (settlement), sedangkan objek diganti dengan fungsi atau kegiatan. Indikator yang digunakan adalah jumlah penduduk, jenis dan jumlah unit serta kualitas fungsi pelayanan yang dimiliki masing-masing wilayah/kota. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam metode skalogram adalah:

    Bagian-bagian dari suatu wilayah disusun berdasarkan peringkat jumlah penduduk. Wilayah-wilayah tersebut disusun urutannya berdasarkan jumlah dan jenis fasilitas

    yang dimiliki. Fasilitas-fasilitas disusun urutannya berdasarkan jumlah wilayah yang memiliki fasilitas

    tersebut. Peringkat jenis fasilitas tersebut disusun urutannya berdasarkan jumlah total unit

    fasilitas.

    Dalam analisis ini, data yang digunakan untuk menganalisis meliputi data jumlah sarana dan sarana, misalnya pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan data penunjang lainnya. Teknik analisis yang digunakan dalam analisis skalogram ini dengan cara membuat sesuatu tabel yang mengurutkan ketersediaan fasilitas suatu wilayah yang diidentifikasi sebagai pusat pelayanan. Untuk menguji kelayakan skalogram digunakan persamaan Coeffisien of Reproducibility (COR). Apabila hasil perhitungan reproduksibilitas (COR)>90% maka hasil perhitungan skalogram tersebut dapat diterima dan digunakan untuk dasar analisis lebih lanjut. Adapun rumus Coeffisien of Reproducibility (COR) adalah sebagai berikut :

    COR = 1 - E

    N.K

    Keterangan : COR = Coeffisien of Reproducibility E = Jumlah kesalahan N = Jumlah fasilitas K = Jumlah kecamatan

    Metode skalogram memiliki beberapa kelebihan antara lain : 1. Metode paling sederhana yang dapat digunakan untuk melakukan analisis fungsi

    wilayah, karena hanya menunjukkan daftar dari komponen-komponen pendukungnya, seperti julah penduduk dan fasilitas pelayanan yang terdapat pada permukiman.

    2. Memperlihatkan hirarki permukiman atau wilayah. 3. Secara potensial dapat digunakan untuk merancang fasilitas baru.

    Sedangkan kelemahan dari analisis skalogram adalah dalam penggunaan skala (range) hanya terdapat angka 0 dan 1, maka suatu wilayah yang memiliki fasilitas banyak maupun sedikit terhitung 1, sehingga antara wilayah yang memiliki banyak fasilitas dan sedikit fasilitas perbedaannya tidak signifikan.

  • 11

    Secara sederhana proses analisis skalogram seperti gambar berikut :

    Gambar 2.4 Proses Analisis Skalogram

    Memilih jenis fasilitas yang digunakan sebagai

    variabel Matriks Sklalogram

    Konversi seluruh fasilitas yang ada ke dalam angka (1) dan fasilitas yang tidak

    ada ke angka (0)

    Jumlahkan seluruh fasilitas berdasarkan

    baris dan kolom, hitung jumlah kesalahan dan

    persentase

    Hitung jumlah orde

    Hitung jumlah range

    Hitung COR, koefisien 0,9 1,00, berarti

    analisis layak

    INPUT

    Fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan,

    fasilitas pemerintahan,

    fasilitas peribadatan, dan lain-lain

    PROSES

    OUTPUT

    Pembagian orde per wilayah, Orde I merupakan wilayah yang memiliki

    fasilitas paling tinggi (kutub pertumbuhan)

  • 12

    2.2.2 Studi Kasus Analisis Sistem Pusat Pelayanan Permukiman di Kabupaten Magelang dengan Skalogram

    Kabupaten Magelang merupakan kabupaten yang berbatasan dengan Kota Magelang. Kabupaten Magelang yang memiliki 21 Kecamatan merupakan suatu wilayah yang luas. Tiap kecamatan pada Kabupaten Magelang memiliki kebijakan pembangunan tersendiri sesuai dengan karakteristik daerah tersebut. Hal tersebut berdampak pada kelengkapan fasilitas dan pelayanan pada tiap daerahnya. Salah satunya Kecamatan Secang yang memiliki tingkat kelengkapan dan pelayanan fasilitas berbeda dengan Kecamatan Kaliangkrik. Hal tersebut dikarenakan Kecamatan Secang merupakan daerah yang dilalui jalan arteri primer yang memiliki status provinsi yang menghubungkan Provinsi Jawa Tengah dengan Provinsi DIY. Sedangkan Kecamatan Kaliangkrik merupakan Kecamatan yang berada di daerah pegunungan yang lebih bersifat perdesaan dimana karakteristik wilayahnya lebih cocok untuk dijadikan kawasan pertanian. Hal tersebut yang menjadi dasar menentukan analisis sistem pusat pelayanan permukiman Kabupaten Magelang. Secara Geografis Kabupaten Magelang terletak di antara 110 01 51 dan 110 26 58 Bujur Timur, 7 19 13 dan 7 42 16 Lintang Selatan, dengan luas wilayah 108.573 Ha. Ibukota Kabupaten Magelang adalah Kota Mungkid yang meliputi tiga kelurahan di Kecamatan Mertoyudan dan dua kelurahan di Kecamatan Mungkid. Dilihat dari peta orientasi Propinsi Jawa Tengah, wilayah Kabupaten Magelang memiliki posisi yang strategis karena keberadaannya terletak di tengah-tengah, sehingga mudah dicapai dari berbagai arah. Secara geoekonomis, Kabupaten Magelang merupakan daerah perlintasan, jalur kegiatan ekonomi, yaitu Semarang-Magelang-Purwokerto dan SemarangMagelangYogyakarta - Surakarta. Secara administratif pemerintahan, Kabupaten Magelang berbatasan dengan:

    Sebelah Utara : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang Sebelah Timur : Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali Sebelah Selatan : Provinsi DIY dan Kabupaten Purworejo Sebelah Barat : Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung, dan Kota

    Magelang yang berada di tengah-tengahnya.

    Analisis sistem pusat pelayanan permukiman Kabupaten Magelang dilakukan melalui metode analisis skalogram. Analisis Skalogram merupakan alat untuk mengidentifikasi pusat pertumbuhan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya, dengan demikian dapat ditentukan hierarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang akan menjadi daerah belakang (hinterland). Tahapan pertama dalam analisis ini adalah memilih jenis fasilitas yang digunakan sebagai variabel dalam matriks skalogram, berikut ini adalah tabel jenis fasilitas di Kabupaten Magelang.

    Tabel 2.1 Jenis Fasilitas di Kabupaten Magelang

    Kecamatan

    Jumlah Penduduk

    Fasilitas TK SD SMP SMA Puskesmas Pusat

    Rawat Inap

    RSU Puskesmas Pembantu

    Balai Pengobatan

    Pengobatan Tradisional

    Masjid Surau Jumlah

    Salaman 67.344 20 56 15 7 2 1 0 4 0 1 160 263 106 Borobudur 50.741 17 50 10 5 1 1 0 4 2 0 156 164 90 Ngluwar 29.208 10 27 6 3 1 0 0 3 1 3 81 121 54 Salam 42.452 18 33 8 5 1 0 0 3 2 4 98 167 74 Srumbung 38.318 18 45 7 1 1 0 0 3 0 0 145 97 75 Dukun 43.032 26 39 9 2 1 0 0 3 0 2 119 125 82 Muntilan 71.313 39 49 15 14 2 0 3 2 3 2 128 249 129 Mungkid 71.831 22 50 12 4 1 0 1 2 0 3 131 162 95 Sawangan 52.045 18 38 9 1 2 0 0 3 1 0 187 103 72

  • 13

    Candimulyo 44.014 21 41 5 2 1 0 0 3 0 0 104 136 73 Mertyudan 98.479 33 68 10 8 3 0 1 2 3 5 169 198 133 Tempuran 44.268 15 34 8 1 1 0 0 3 2 1 90 209 65 Kajoran 53.034 6 50 11 2 2 0 0 4 0 0 135 292 75 Kaliangkrik 53.822 16 52 6 4 1 0 0 3 1 0 160 253 83 Bandongan 54.409 9 44 8 3 1 0 0 3 1 0 103 242 69 Windusari 45.372 15 40 7 1 1 0 0 4 0 0 119 127 68 Secang 72.813 17 48 12 6 2 0 0 4 3 3 171 271 95 Tegalrejo 44.263 24 43 5 2 1 0 0 2 2 1 123 126 80 Pakis 33.475 18 40 5 1 1 0 0 3 0 0 146 89 68 Grabak 82.753 26 39 33 10 2 1 0 3 2 1 116 134 117 Ngablak 36.504 16 32 4 1 1 0 0 3 1 0 96 102 58 Jumlah 404 918 205 83 29 3 5 64 24 26 2.737 3.630 1.761

    sumber : Kabupaten Magelang Dalam Angka Tahun 2013

    Pada tabel di atas, terdapat 12 jenis fasilitas di Kabupaten Magelang yang telah dipilih, seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas peribadatan. Dapat dilihat bahwa kecamatan yang memiliki jumlah fasilitas tertinggi adalah Kecamatan Mertyudan dengan 133 fasilitas, dan kecamatan yang memiliki jumlah fasilitas terendah adalah Kecamatan Ngluwar dengan 54 fasilitas. Tahap selanjutnya dari analisis skalogram adalah mengkonversi seluruh fasilitas yang ada ke dalam angka (1) dan fasilitas yang tidak ada ke dalam angka (0), kemudian menjumlahkan seluruh fasilitas berdasarkan baris dan kolom.

    Tabel 2.2 Data Awal Perhitungan Analisis Skalogram

    Kecamatan

    Jumlah Penduduk

    Fasilitas TK SD SMP SMA Puskesmas Pusat

    Rawat Inap

    RSU Puskesmas Pembantu

    Balai Pengobatan

    Pengobatan Tradisional

    Masjid Surau Jumlah

    Salaman 67.344 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 10 Borobudur 50.741 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 10 Ngluwar 29.208 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 10 Salam 42.452 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 10 Srumbung 38.318 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 8 Dukun 43.032 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 9 Muntilan 71.313 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 11 Mungkid 71.831 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 10 Sawangan 52.045 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 9 Candimulyo 44.014 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 8 Mertyudan 98.479 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 11 Tempuran 44.268 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 10 Kajoran 53.034 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 8 Kaliangkrik 53.822 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 9 Bandongan 54.409 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 9 Windusari 45.372 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 8 Secang 72.813 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 10 Tegalrejo 44.263 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 10 Pakis 33.475 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 8 Grabak 82.753 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 11 Ngablak 36.504 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 9

    sumber : Hasil Analisis, 2014

    Tahapan selanjutnya adalah menentukan jumlah orde. Jumlah orde ditentukan dengan rumus :

    Jumlah Orde = 1 + 3,3 Log n

    Keterangan : n = jumlah kecamatan

    Perhitungan orde untuk Kabupaten Magelang adalah sebagai berikut :

    Jumlah Orde = 1 + 3,3 Log n Jumlah Orde = 1 + 3,3 Log 21 Jumlah Orde = 1 + 3,3 (1,322219) Jumlah Orde = 1 + 4,363324 Jumlah Orde = 5,363324

  • 14

    Berdasarkan perhitungan di atas, deidapatkan hasil bahwa terdapat 5 kelas (orde) pada Kabupaten Magelang. Sebelum menentukan urutan orde wilayah, perlu diketahui range untuk masing-masing orde. Perhitungan range orde dilakukan dengan cara :

    Range = Nilai Tertinggi Nilai Terendah

    Jumlah Orde

    Perhitungan range orde Kabupaten Magelang, adalah sebagai berikut:

    Range = 118

    5

    Range = 0,6

    Dari perhitungan di atas, didapatkan hasi range untuk masing-masing orde sebagai berikut :

    Tabel 2.3 Range Setiap Orde Orde Range

    Orde 1 10,5 Orde 2 9,9-10,4 Orde 3 9,1-9,8 Orde 4 8,5-9 Orde 5 8,4

    sumber : Hasil Analisis, 2014

    Tahapan terakhir dari Analisis Skalogram adalah perhitungan tingkat kesalahan yang disebut COR (Coefficient of Reducibility). COR dihitung dengan rumus :

    COR = 1 - E

    N.K

    Keterangan :

    COR = Coeffisien of Reproducibility E = Jumlah kesalahan N = Jumlah fasilitas K = Jumlah kecamatan

    Perhitungan COR dari Analisis Skalogram Kabupaten Magelang adalah sebagai berikut:

    COR = 1 - 12

    12 . 21

    COR = 1 0,047619 COR = 0,95238095

    Didapatkan kesimpulan bahwa analisis skalogram pada Kabupaten Magelang telah dianggap layak karena hasil perhitungan reproduksibilitas (COR)>90%. Pembagian orde dari hasil analisis skalogram di Kabupaten Magelang adalah sebagai berikut:

    Tabel 2.4 Hasil Analisis Skalogram Orde Kecamatan

    I Kecamatan Mertoyudan, Kecamatan Grabak, Kecamatan Muntilan II Kecamatan Secang, Kecamatan Mungkid, Kecamatan Salaman, Kecamatan

    Borobudur, Kecamatan Tempuran, Kecamatan Tegalrejo, Kecamatan Salam, Kecamatan Ngluwar

    III -

  • 15

    IV Kecamatan Bandongan, Kecamatan Kaliangkrik, Kecamatan Sawangan, Kecamatan Dukun, Kecamatan Ngablak

    V Kecamatan Kajoran, Kecamatan Windusari, Kecamatan Candimulyo, Kecamatan Srumbung, Kecamatan Pakis

    sumber : Hasil Analisis, 2014

    Gambar 2.5 Peta Analisis Skalogram Sistem Pusat Pelayanan Permukiman di Kabupaten

    Magelang sumber : Bapeda Kabupaten Magelang, 2010

    Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan, kecamatan yang tergolong ke dalam orde I memiliki jumlah fasilitas umum yang tinggi. Sebaliknya wilayah atau kecamatan yang tergolong ke dalam orde V memiliki jumlah fasilitas umum yang paling sedikit. Setelah melakukan analisis tersebut, kemudian dilakukan perbandingan antara hasil analisis dengan peruntukan kawasan pusat perkotaan dan permukiman Kabupaten Magelang yang tertuang dalam RTRW Kabupaten Magelang. Berdasarkan perbandingan tersebut, didapatkan hasil bahwa kecamatan-kecamatan yang diperuntukan sebagai pusat perkotaan dan permukiman yang ada di Kabupaten Magelang termasuk ke dalam orde atas atau orde yang memiliki fasilitas lengkap, salah satunya adalah Kecamatan Muntilan. Kecamatan Muntilan termasuk dalam kawasan pusat perkotaan dan permukiman pada RTRW Kabupaten Magelang Tahun 2010-2030 dan termasuk orde I pada hasil Analisis Skalogram. 2.2.3 Model Gravitasi

    Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat besarnya daya tarik suatu potensi yang berada pada suatu lokasi (Filindity dan Isnawi, 2011). Model ini sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut. Dalam perencanaan wilayah, model ini sering dijadikan alat untuk melihat apakah lokasi berbagai fasilitas kepentingan umum telah berada pada tempat yang benar. Selain itu, apabila suatu daerah hendak membangun suatu fasilitas yang baru maka model ini dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang optimal. Artinya, fasilitas itu akan digunakan sesuai dengan kapasitasnya.

  • 16

    Penerapan Gravity Model dalam ilmu perencanaan wilayah dan kota diawali dari hukum gravitasi yang ditemukan oleh Newton yang menyatakan bahwa dua benda akan saling tarik menarik dengan gaya yang besarnya berbanding lurus dengan perkalian massa kedua benda tersebut dan berbanding terbalik dengan jarak kuadrat. Teori gravitasi ini dapat juga digunakan untuk melihat interaksi keruangan antar kota. Dalam kaitannya dengan interaksi dalam transportasi, dalam hal ini juga dikaitkan dengan keberadaan jalan yang menghubungkan antar kota (Anggigeo, 2011). Dalam perspektif keruangan kota dan wilayah, Teori Gravitasi merupakan permodelan yang dapat digunakan dalam melakukan analisis terhadap pola interaksi atau keterkaitan antar daerah atau antar bagian wilayah dengan wilayah lainnya. Analisis ini dapat digunakan untuk membuat perencanaan-perencanaan untuk mengantisipasi keadaan yang terjadi di masa datang, meliputi penyediaan fasilitas umum, sarana transportasi, perumahan, pusat perbelanjaan dan sebagainya. Selain aspek penyediaan, Teori Gravitasi dapat digunakan untuk melihat atau menilai hubungan antar daerah, yang dalam hal ini daerah dianggap sebagai suatu massa, hubungan antar daerah dipersamakan dengan hubungan antar massa. Massa wilayah memiliki daya tarik, sehingga terjadi saling interaksi saling mempengaruhi antar daerah sebagai perwujudan kekuatan tarik menarik antar daerah. Seorang ahli geografi, W.J. Reilly (1929) melakukan sebuah penelitian untuk mengukur kekuatan interaksi keruangan antara dua wilayah atau lebih. Berdasarkan hasil penelitiannya, Reilly berpendapat bahwa kekuatan interaksi antara dua wilayah yang berbeda dapat diukur dengan memperhatikan beberapa faktor jumlah penduduk dan jarak antara kedua wilayah tersebut. Untuk mengukur kekuatan interaksi antar wilayah tersebut, Reilly menggunakan rumus dibawah ini:

    IA.B= k PA .PB

    (dAB)2

    Keterangan :

    IA.B = Kekuatan interaksi antara wilayah A dan B k = Angka konstanta empiris, nilainya sakti PA = Jumlah penduduk wilayah A PB = Jumlah penduduk wilayah B dAB = Jarak wilayah A dan wilayah B

    Perbandingan potensi interaksi antar wilayah dengan memanfaatkan rumus di atas ini

    dapat diterapkan jika kondisi wilayah-wilayah yang dibandingkan memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut antara lain, adalah:

    Kondisi sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, mata pencaharian, mobilitas, dan kondisi sosial-budaya penduduk setiap wilayah jika dibandingkan relatif memiliki kesamaan.

    Kondisi alam setiap wilayah relatif sama, terutama berkaitan dengan kondisi topografinya.

    Keadaan sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan wilayah-wilayah yang dibandingkan relatif sama.

    Teori Model Gravitasi dimodifikasi lagi menjadi Teori Titik Henti (Breaking Point Theory). Teori ini memberikan gambaran tentang perkiraan posisi garis batas yang memisahkan wilayah-wilayah perdagangan dari dua kota atau wilayah yang berbeda jumlah dan komposisi penduduknya. Teori Titik Henti juga dapat digunakan dalam memperkirakan

  • 17

    penempatan lokasi industri atau pusat pelayanan masyarakat. Penempatan dilakukan di antara dua wilayah yang berbeda jumlah penduduknya agar terjangkau oleh penduduk setiap wilayah. Menurut teori ini, jarak titik henti atau titik pisah dari lokasi pusat perdagangan atau pusat pelayanan sosial lainnya yang lebih kecil ukurannya adalah berbanding lurus dengan jarak antara kedua pusat perdagangan. Namun, berbanding terbalik dengan satu ditambah akar kuadrat jumlah total penduduk dari kota atau wilayah yang penduduknya lebih besar dibagi jumlah penduduk kota yang lebih sedikit penduduknya. Formulasi Teori Titik Henti antara lain adalah sebagai berikut:

    DA.B = dA.B

    1+ PAPB

    Keterangan :

    DA.B = Jarak lokasi titik henti, diukur dari kota atau wilayah yang jumlah penduduknya lebih kecil (dalam hal ini adalah Kota A) dA.B = Jarak antara Kota A dan B PA = Jumlah penduduk kota/wilayah yang penduduknya lebih sedikit (Kota A) PB = Jumlah penduduk kota/wilayah yang penduduknya lebih banyak (Kota B)

    Metode skalogram memiliki beberapa kelebihan antara lain : 1. Secara sederhana dapat digunakan untuk mengukur kekuatan interaksi keruangan

    antara dua wilayah atau lebih. 2. Model Gravitasi dan Teori Titik Henti dapat dimanfaatkan sebagai salah satu

    pertimbangan faktor lokasi dan merencanakan pusat-pusat pelayanan masyarakat, seperti pusat perdagangan (pasar, super market, bank), kantor pemerintahan, sarana pendidikan dan kesehatan, lokasi industri, ataupun fasilitas pelayanan jasa masyarakat lainnya.

    Sedangkan kelemahan dari model gravitasi adalah dalam perbandingan potensi interaksi antar wilayah hanya dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan tertentu, yakni wilayah-wilayah yang memiliki kondisi sosial ekonomi, kondisi alam, dan keadaan sarana dan prasarana transportasi yang relatif sama.

  • 18

    Secara sederhana proses penggunaan model gravitasi seperti gambar berikut :

    Gambar 2.6 Proses Penggunaan Model Gravitasi

    Pemasukkan variabel

    Penggunaan rumus Kekuatan Interaksi dan Titik Henti

    INPUT

    PROSES

    OUTPUT

    Ukuran kekuatan interaksi dan titik henti

    Memasukkan variabel yang akan digunakan dalam menghitung kekuatan interaksi antara beberapa

    wilayah, seperti :

    1. Luas wilayah 2. Jumlah penduduk 3. Jarak antar wilayah

    Rumus Kekuatan Interaksi digunakan untuk mengukur kekuatan interaksi keruangan antara dua wilayah atau lebih.

    IA.B= k PA .PB

    (dAB)2

    Rumus Titik Henti digunakan untuk memperkirakan penempatan lokasi pusat pelayanan masyarakat.

    DA.B = dA.B

    1+ PAPB

    Output yang dihasilkan :

    1. Perbandingan kekuatan interaksi wilayah 2. Titik henti lokasi yang cocok untuk dibangun

    pusat pelayanan masyarakat

  • 19

    2.2.4 Studi Kasus Analisis Interaksi Kegiatan Pendidikan di Kota Cilegon Menggunakan Model Gravitasi

    Kota Cilegon, memiliki luas wilayah sebesar 175,51 Km2, dengan jumlah kecamatan sebanyak sebanyak 8 kecamatan. Kemudian dipilih tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Jombang, Kecamatan Cilegon, dan Kecamatan Purwakarta untuk dianalisis interaksi terkait aspek pendidikan di ketiga kecamatan tersebut.

    Tabel 2.5 Luas dan Jumlah Penduduk 3 Kecamatan di Kota Cilegon

    Kecamatan Luas (km2) Jumlah Penduduk Jumlah Stakeholder Pendidikan Purwakarta 51,81 38.538 jiwa 838 Jombang 11,55 60.347 jiwa 976 Cilegon 9,15 39.465 jiwa 307

    sumber : Cilegon Dalam Angka, 2011

    Diketahui bahwa jarak antara Kecamatan Purwokerto ke Kecamatan Jombang adalah 5,2 km, sedangkan jarak antara Kecamatan Jombang ke Kecamatan Cilegon adalah 2,6 km. Maka dilakukan penghitungan terhadap wilayah yang memiliki interaksi yang lebih kuat dalam aspek pendidikan melalui model gravitasi.

    Diketahui : PP (Jumlah Penduduk Kecamatan Purwokerto) = 838 jiwa PC (Jumlah Penduduk Kecamatan Cilegon) = 307 jiwa PJ (Jumlah Penduduk Kecamatan Jombang) = 976 jiwa dP.J (Jarak Kecamatan Purworejo ke Jombang) = 5,2 km dJ.C (Jarak Kecamatan Purworejo ke Cilegon) = 2,6 km

    Perhitungan interaksi antar Kecamatan Purwakarta dan Kecamatan Jombang :

    IP.J = k .

    (.)2

    IP.J = 1 (838).(976)

    (5,2).(5,2)

    IP.J = 817888

    27,04 = 30.247

    Perhitungan interaksi antar Kecamatan Jombang dan Kecamatan Cilegon :

    IJ.C = k .

    (.)2

    IJ.C = 1 (976).(307)

    (2,6).(2,6)

    IJ.C = 299632

    6.76 = 44.324

    Perbandingan kekuatan interaksi wilayah Kecamatan Purwakarta dan Kecamatan

    Jombang dengan Kecamatan Jombang dan Kecamatan Cilegon adalah 30.247 : 44.324 atau 17 : 25. Berdasarkan perbandingan tersebut, potensi penduduk untuk mengadakan interaksi dalam aspek pendidikan terjadi lebih kuat antara Kecamatan Jombang dan Kecamatan Cilegon dibandingkan antara Kecamatan Purwakarta dan Kecamatan Jombang.

  • 20

    Titik henti lokasi yang cocok untuk dibangun infrastruktur pendidikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

    DA.B = dA.B

    1+ PAPB

    Titik henti antara Kecamatan Purwakarta dan Kecamatan Jombang :

    5,2

    1+976/838 = 2,5 km

    Titik henti antara Kecamatan Jombang dan Kecamatan Cilegon :

    2,6

    1+976/307 = 0,94 km

    Maka titik henti atau pola interaksi antara Kecamatan Purwakarta, Kecamatan

    Jombang, dan Kecamatan Cilegon berada pada jarak 2,5 km dari Kecamatan Purwakarta dan 0,94 km dari Kecamatan Cilegon.

    Gambar 2.5 Peta Interaksi Kegiatan Pendidikan di 3 Kecamatan di Kota

    Cilegon sumber : Hasil Analisa, 2014

    Gambar 2.6 Peta Titik Henti Lokasi Fasilitas Pendidikan di 3 Kecamatan

    di Kota Cilegon sumber : Hasil Analisa, 2014

  • 21

    BAB III KESIMPULAN

    Rencana sturktur ruang kota mencakup rencana pengembangan pusat pelayanan kegiatan kota, dan rencana sistem prasarana kota. Rencana pengembangan pusat pelayanan kegiatan kota menggambarkan lokasi pusat-pusat pelayanan kegiatan kota, hirarkinya, cakupan/skala layanannya, serta dominasi fungsi kegiatan yang diarahkan pada pusat pelayanan kegiatan tersebut. Sedangkan rencana sistem prasarana kota mencakup sistem prasarana yang mengintegrasikan kota dalam lingkup yang lebih luas maupun mengitegrasikan bagian wilayah kota serta memberikan layanan bagi fungsi kegiatan yang ada/direncakan dalam wilayah kota, sehingga kota dapat menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan tujuan penataan ruang kota yang ditetapkan. Alat analisa yang dapat digunakan untuk menentukan pusat pelayanan kota antara lain analisis skalogram dan model gravitasi. Analisis Skalogram digunakan untuk mengetahui pusat pelayanan berdasarkan jumlah dan jenis unit fasilitas pelayanan yang ada di dalam setiap daerah. Asumsi yang dipakai adalah bahwa wilayah yang memiliki ranking tertinggi adalah lokasi yang dapat ditetapkan menjadi pusat pertumbuhan. Dalam analisis skalogram ini subjek diganti dengan pusat permukiman (settlement), sedangkan objek diganti dengan fungsi atau kegiatan. Indikator yang digunakan adalah jumlah penduduk, jenis dan jumlah unit serta kualitas fungsi pelayanan yang dimiliki masing-masing wilayah/kota. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam metode skalogram adalah:

    Bagian-bagian dari suatu wilayah disusun berdasarkan peringkat jumlah penduduk. Wilayah-wilayah tersebut disusun urutannya berdasarkan jumlah dan jenis fasilitas

    yang dimiliki. Fasilitas-fasilitas disusun urutannya berdasarkan jumlah wilayah yang memiliki fasilitas

    tersebut. Peringkat jenis fasilitas tersebut disusun urutannya berdasarkan jumlah total unit

    fasilitas.

    Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat besarnya daya tarik suatu potensi yang berada pada suatu lokasi (Filindity dan Isnawi, 2011). Dalam perencanaan wilayah, model ini sering dijadikan alat untuk melihat apakah lokasi berbagai fasilitas kepentingan umum telah berada pada tempat yang benar. Selain itu, apabila suatu daerah hendak membangun suatu fasilitas yang baru maka model ini dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang optimal. Artinya, fasilitas itu akan digunakan sesuai dengan kapasitasnya.

    Berdasarkan paparan diatas maka dapat diketahui bahwa kedua analisa tersebut memiliki proses dan keluaran yang berbeda, namun keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni dapat digunakan untuk menentukan rencana pengembangan pusat pelayanan kegiatan kota.

  • 22

    DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang. 2013. Magelang Dalam Angka Tahun 2013 Bintarto. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Yogyakarta: Gmalia Budiharjo, Eko. 1997. Arsitektur Sebagai Wrisan Budaya. Semarang: Karya Unipress Burgess, E.W. 1925. The Growth of a City: An Introduction to a Research Project. Chicago:

    University of Chicago Chapin, F. Steward; Kaiser, Edward. 1979. Urban Land Use Planning. Chicago: University if

    Illnois Press Filindity dan Isnawi. 2011. Analisis Wilayah Pengembangan Perikanan Budidaya di Kabupaten Seram Bagian Barat. Tesis. Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon. Hestuadipiutri, Dita. 2007. Peran dan Fungsi Ibukota Kecamatan Lasem Sebagai Pusat di Kabupaten Rembang. Semarang: Eprints UNDIP Istikhomah dkk. 2013. Analisis Sistim Pusat Pelayanan Permukiman di Kabupaten Magelang Dengan Analisis Skalogram dan Indeks Sentralitas Marshall. Universitas Diponegoro, Semarang Nugroho, Iwan; Dahuri, Rohmin. 2004. Pembangunan Wilayah : Perspektif Ekonomi, Sosial,

    dan Lingkungan. Jakarta : LP3ES Wijanarka. 2007. Semarang Tempo Dulu. Yogyakarta: Ombak Yunus, Hadi Sabari. 1994, Teori dan Model Struktur Keruangan Kota. Fakultas Geografi UGM,

    Yogyakarta. Yunus, Hadi Sabari. 2000, Struktur Tata Ruang Kota. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Peraturan Mendagri RI No. 4 Tahun 1980 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang RTRW Kabupaten Magelang Tahun 2010-2030