i
LAPORAN HASIL PENELITIAN
ANALISIS DUGAAN MONEY POLITICS TERHADAP
PARTISIPASI PEMILIH
(Studi Penelitian Pemilihan Umum Tahun 2014
Di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali)
Peneliti :
Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani, S.Sos.,M.AP.
Yudistira Adnyana, SE.,M.Si.
Gede Wirata, S.Sos., SH.,M.AP.
I Made Artayasa, S.Sos.,M.AP.
Drs. I Wayan Astawa, M.AP.
Drs. Ida Bagus Suteja, M.AP.
Ni Luh Putu Suastini, SE.,M.Si
UNIVERSITAS NGURAH RAI
DENPASAR
2015
ii
UNIVERSITAS NGURAH RAI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK Status : Terakreditasi BAN – PT
No. 039/BAN-PT/Ak-XIV/S1/XI/2011
HALAMAN PENGESAHAN
1 Judul : Analisis Dugaan Money Politics Terhadap
Partisipasi Pemilih (Studi Penelitian
Pemilihan Umum Tahun 2014 Di
Kabupaten Gianyar Provinsi Bali).
2 Peneliti
a. Nama : Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani,
S.Sos.,M.AP
b. NIDN : 0029067504
c. Jabatan Fungsional : Lektor III/b
d. Program Studi : Ilmu Administrasi Publik
e. No HP : 08124675413
f. Alamat Surat / Email : [email protected]
g. Lembaga : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Ngurah Rai Denpasar
3 Anggota Tim Peneliti (6) :
Yudistira Adnyana, SE.,M.Si
Gede Wirata, S.Sos.,SH.,M.AP
I Made Artayasa, S.Sos., M.AP
Drs. I Wayan Astawa, M.AP
Drs. Ida Bagus Suteja, M.AP
Ni Luh Putu Suastini, M.Si
3 Lama Penelitian Keseluruhan : 3 Bulan
Biaya Penelitian :
a. Dari DIPA KPU Kab. Gianyar : Rp. 10.000.000,-
Denpasar, Agustus 2015
Mengetahui Ketua Tim Pengusul
Dekan Fisip
Gede Wirata, S.Sos.,SH.,M.AP Dr. IAP. Sri Widnyani, S.Sos.,M.AP
NIDN. 0810076301 NIDN. 0029067504
Mengetahui
Ketua LPPM Universitas Ngurah Rai
Yudistira Adnyana, SE.,M.Si
NIDN. 0811037301
SEKRETARIAT : Jalan Padma, Penatih Telp / Fax.468349 Denpasar – Website : www.unr.ac.id – Email :
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia
beliau maka penelitian dengan judul “Analisis Dugaan Money Politics Terhadap
Partisipasi Pemilih (Studi Penelitian Pemilihan Umum Tahun 2014 Di Kabupaten
Gianyar Provinsi Bali)”, dapat terselesaikan.
Disadari bahwa penelitian ini karena keterbatasan sumber daya, maka
diperlukan sumbang saran dan pemikiran bagi para pembaca yang bersifat
konstruktif. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
stakehoders pemilu baik dalam penyelenggaraan maupun dalam merumuskan
kebijakan manajemen pemilu selanjutnya.
Denpasar, Agustus 2015
Tim Peneliti
iv
ABSTRAK
Untuk memperoleh kedudukan dan berhasil memenagkan suara dalam
pemilu tahun 2014 di Kabupaten Gianyar ada terindikasi money politics. Dan bahkan
di duga adanya partisipasi masyarakat disebabkan oleh money politics. Atas dasar
Prasangka tersebut maka dilakukan penelitian dengan rumusan masalah seperti: 1)
Bagaimanakah proses terjadinya money politics dalam pemilu tahun 2014 di
Kabupaten Gianyar? 2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya money
politics dan kaitannya dengan partisipasi masyarakat dalam pemilu 2014 di
Kabupaten Gianyar? Dengan tujuan penelitian adalah: 1) untuk mengetahui dan
menganalisis proses terjadinya money politics dan untuk mengetahui faktor penyebab
terjadinya money politics dan kaitannya dengan partisipasi masyarakat.
Landasan teori untuk membedah kedua permasalahan tersebut adalah
Teori Maslow dan beberapa konsep seperti politik uang. Metode yang dipakai dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis deskriptif. Untuk memperoleh
hasil penelitian dilakukan dengan metode pengumpulan data melalui dokumentasi,
penelusuran data on line dan wawancara secara survey kepada beberapa informan.
Cara penentuan informan adalah dengan metode purposive sampling yaitu para calon,
tim sukses, dan masyarakat pemilih.
Hasil penelitian dan pembahasan yang dianalisis menggunakan metode
Miles Huberman menghasilkan simpulan: 1) Dugaan adanya money politics
berdasarkan pernyataan informan dapat disimpulkan memang benar ada. Dengan
proses dilakukan secara langsung oleh calon dan dilakukan oleh perpanjangan tangan
calon yaitu melalui tim sukses serta melalui calo suara. 2) Faktor penyebab terjadinya
money politics adalah a) adanya motivasi akan kebutuhan penghargaan dan
aktualisasi diri dari para calon, b) adanya motivasi akan kebutuhan fisiologis dari para
tim sukses dan para calo suara. c) Adanya partisipasi pemilih dalam pemilu tahun
2014 bukan didasarkan atas money politics akan tetapi karena adanya motivasi akan
kebutuhan rasa aman dan kebutuhan sosial dari masyarakat pemilih.
Saran dapat disampaikan adalah: 1) Untuk meminimalisir terjadinya
money politics, untuk mereformasi peraturan tentang pemberian dan menerima
sumbangan, janji-janji dalam bentuk apapun kepada masyarakat dalam kaitannya
memperoleh dukungan suara selama tahapan pemilu, mematuhi secara konsisten
peraturan yang ditetapkan oleh stakeholders pemilu legislatif, menindak dengan tegas
pelanggar. 2) Kepada calon peserta pemilu agar tidak membagikan uang untuk
membeli suara. Jangan memberikan harapan dan mempercayai orang yang
memberikan janji akan memberikan kemenangan dan memperoleh suara yang
diinginkan. 3) Kepada masyarakat agar diberikan pendidikan politik secara intens,
seperti pemahaman akan hak dalam memilih, dampak dan implikasi terhadap
partisipasi dalam pemilu serta dampak dan implikasi apabila terjadi money politics.
Kata Kunci : Pemilihan Umum, money politics, dan partisipasi pemilih
v
DAFTAR ISI
Contents LAPORAN HASIL PENELITIAN ................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................. iii
ABSTRAK ................................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ......................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 5
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 6
2.1 Landasan Teori ................................................................................................ 6
2.1.1 Politik Uang ......................................................................................... 6
2.1.2 Motivasi ............................................................................................. 12
2.2 Kerangka pemikiran ...................................................................................... 15
BAB III METODE PENELITIAN............................................................................. 16
3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian .................................................................... 16
3.2 Sumber Data .................................................................................................. 16
3.3 Metode Pengumpulan Data ........................................................................... 16
3.4 Metode Penentuan Informan ......................................................................... 17
3.5 Metode Analisis Data .................................................................................... 18
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................... 19
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Gianyar .......................................................... 19
vi
4.2 Hasil Penelitian .............................................................................................. 25
4.2.1 Proses terjadinya money politics di Kabupaten Gianyar ................... 26
4.2.1 Faktor Penyebab terjadinya Money Politics dan kaitannya terhadap
partisipasi pemilih di Kabupaten Gianyar ......................................... 30
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................................... 35
4.3.1 Proses terjadinya Money Politics di Kabupaten Gianyar .................. 35
4.3.2 Faktor Penyebab terjadinya Money Politics dan kaitannya terhadap
partisipasi pemilih di Kabupaten Gianyar ......................................... 37
BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 41
5.1 Simpulan ........................................................................................................ 41
5.2 Saran .............................................................................................................. 41
5.3 Rekomendasi Kebijakan ................................................................................ 42
5.4 Keterbatasan penelitian .................................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 40
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 4.1 Peta Kabupaten Gianyar
Gambar 4.2 Luas Lahan Di Kabupaten Gianyar Menurut Kecamatan (Ha)
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2 Penerapan Teori Hirarkhi Kebutuhan dari Maslow
Tabel 4.1 Luas Wilayah Daerah Kabupaten Gianyar Per Kecamatan
Tabel 4.2 Jumlah DPT dan Jumlah Pengguna dalam Pemilu 2009 s/d 2014
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem demokrasi di Indonesia dewasa ini menjadi pilihan dalam
menentukan kepemimpinan, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten. Sistem
ini dianggap mampu menjamin kebebasan bagi para warga negara untuk menyalurkan
aspirasinya/suaranya yang diwakilkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah, melalui Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD. Sedangkan untuk
menentukan pimpinan Nasional dilaksanakan Pemilu Presiden yang pada tahun 2019
akan dilaksanakan secara serentak.
Adapun untuk menentukan pemilihan kepala daerah secara demokratis,
maka dilaksanakan pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati Wakil Bupati,
Walikota dan Wakil Walikota, yang kesemuanya dilaksanakan penyelenggaraannya
oleh KPU sesuai tingkatan. Pesertanya adalah Partai Politik dan untuk calon Kepala
Daerah dapat dari calon perseorangan.
Konsekwensi pilihan melalui sistem demokrasi di Indonesia menuntut
peserta pemilu untuk bersaing baik secara internal partai, maupun antar partai, sebab
di antara mereka sungguh ingin menjadi yang terbaik dan pemenangnya. Sehingga
dalam pelaksanaan pemilu apapun, tidak heran jika dijumpai partai-partai politik di
awal pencalonan mesra, mau saling berpelukan, siap kalah dan menang, tetapi begitu
sudah selesai pemilu saling cemooh dan saling gugat.
2
Fakta seperti ini menunjukkan adanya persaingan untuk meraih
kemenangan, makanya terjadi perang baliho, perang opini, bahkan tidak jarang
didengar adanya politik uang (money poliyics) demi kemenangan. Tetapi demokrasi
ini sudah menjadi pilihan di Indonesia. Demokrasi melalui pemilihan umum secara
langsung, yang memerlukan biaya yang sangat tinggi, baik oleh Penyelenggara dan
Peserta Pemilu. Hal ini pula yang menjadi keluhan para peserta pemilu, di mana para
peserta harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapat dukungan pemilih, atau
bahkan tidak segan-segan pemilih aktif meminta imbalan dari dukungan yang
diberikannya. Sehingga fenomena ini menjadikan demokrasi dianggap tidak sehat.
Beberapa issue terjadinya politik uang adalah karena adanya transaksi
bila memilih aku dapat apa? Issue kalau mereka terpilih menjadi pejabat Bupati,
DPR, DPD, DPRD misalnya, paling-paling nanti juga tidak ingat, sehingga aji
mumpung dia mau calon, pemilih tak segan-segan ada yang memanfaatkan moment
ini. Atau bahkan ada semacam calo pemilu, seseorang yang merasa memiliki
ketokohan merasa mampu mendulang suara atau bahkan siap membagikan uang
untuk para pemilih, dan sebagainya. Issue ngebom (istilah umum dimasyarakat)
artinya di daerah tertentu hampir semuanya dibayar untuk memilih salah satu
pasangan calon. Issue membeli penyelenggara pemilu, agar memenangkan calon
tertentu dan isuue-issue lainnya.
Faktanya politik uang memang terjadi, meskipun pembuktiannya sulit,
ini merupakan salah satu praktik busuk yang dikhawatirkan banyak pihak dapat
mengancam pelaksanaan pemilihan secara langsung. Begitu berbahayanya praktik
3
politik uang tersebut tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap kemurnian dari
proses pelaksanaan pemilu. Lalu benarkah praktik politik uang mewarnai perjalanan
pesta pemilu? Mengingat isu-isu tentang praktik politik uang dalam setiap pesta
demokrasi, di negeri ini selalu saja hampir terjadi.
Pertanyaan di atas patut dicermati, untuk dianalisis dan mencari jalan
keluar terbaik menghindari politik uang, sebab jika dibiarkan dapat mengancam
proses demokrasi yang sedang berlangsung. Wacana tentang politik uang pada setiap
pesta politik di Indonesia memang selalu menjadi topik menarik untuk di bicarakan.
Sebab permainan politik uang sulit dideteksi, meski ramai terjadi, dari laporan dan
dari mulut ke mulut, akan tetapi pembuktiannya sulit dan hampir tidak ada.
Dari segi hasil jika pelaksanaan pemilu diwarnai politik uang, maka
terkesan hasilnya kurang bahkan tidak mempunyai legitimasi bagi suatu
pembentukan pemerintahan yang kuat dan dicintai rakyat. Di samping itu, politik
uang jelas akan menghancurkan sistem demokrasi yang sedang giat-giatnya kita
bangun. Lalu apakah yang dimaksud dengan politik uang tersebut? Sehingga begitu
hebat sekali pengaruhnya dalam membunuh kehidupan demokrasi. Sampai saat ini
memang tidak ada definisi yang khusus mengenai apa itu politik uang. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah politik uang juga tidak ditemukan,
sehingga kejahatan ini sangat sulit dibuktikan untuk kemudian diselesaikan secara
hukum.
Buktinya sampai sekarang belum ada seorang pun yang diajukan ke
meja hijau karena terlibat praktik politik uang. Dibutuhkan bukti-bukti yang sangat
4
konkret untuk membuktikan kejahatan ini. Permasalahan tersebut di atas terindikasi
terjadi di wilayah Kabupaten Gianyar, di mana ketika pemilihan DPRD, DPD,
DPRD, Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014, disinyalir terjadi praktek politik
uang, dan khusus untuk Pemilu Presiden menjadi salah satu Kabupaten yang digugat
di MK tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Mendasari yang demikian, maka perlu dilakukan kajian/penelitian secara
mendalam untuk mengetahui terjadinya politik uang dan selanjutnya dicarikan solusi
untuk mengatasi terjadinya politik uang. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian
ini mengangkat judul” “Analisis Dugaan Money Politics terhadap Partisipasi Pemilih
(Studi penelitian Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kabupaten Gianyar Provinsi
Bali)”.
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah berikut ini.
1.2.1 Bagaimanakah proses terjadinya money politics dalam pemilu tahun 2014 di
Kabupaten Gianyar?
1.2.2 Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya money politics dan
kaitannya dengan partisipasi masyarakat dalam pemilu 2014 di Kabupaten
Gianyar?
5
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab ketiga
permasalahan di atas adalah berikut ini.
1.3.1 Untuk mengetahui dan menganalisis proses terjadinya money politics dalam
pemilu tahun 2014 di Kabupaten Gianyar.
1.3.2 Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadi money politics dan
kaitannya dengan partisipasi masyarakat dalam Pemilu tahun 2014 di
Kabupaten Gianyar.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan input terhadap
implementasi penyelenggaraan pemilu oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu
dan juga oleh masyarakat sebagai pemilih, serta sebagai bahan untuk perumusan
kebijakan manajemen pemilu di masa mendatang oleh KPU RI, KPU Provinsi dan
khususnya oleh KPU Kabupaten Gianyar demi terwujudnya Pemilu yang bersih dari
money politics.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Landasan teori untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ini
adalah Teori Motivasi dari Maslow termasuk pula diuraikan konsep politik uang.
2.1.1 Politik Uang
Uang Politik adalah, uang yang diperlukan secara wajar untuk
mendukung operasionalisasi aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan oleh peserta
pemilu. Besarannya ditetapkan dengan Undang-Undang dan Perturan Pemerintah.
Contohnya biaya administrasi pendaftaran pasangan kandidat, biaya operasional
kampanye pasangan kandidat, pembelian spanduk dan stiker, dan lain sebagainya.
Sumbernya bisa berasal dari simpatisan dengan tidak memiliki kepentingan khusus
dan besarannya ditentukan dalam peraturan.
Adapun yang dimaksud dengan politik uang atau yang sering
diistilahkan dengan money politics adalah, uang yang ditujukan dengan maksud-
maksud tertentu seperti contohnya untuk melindungi kepentingan bisnis dan
kepentingan politik tertentu. Politik uang bisa juga terjadi ketika seorang kandidat
membeli dukungan parpol tertentu atau membeli suara dari pemilih untuk
memilihnya dengan iming-iming imbalan yang bersifat finansial. Politik uang bisa
7
juga terjadi ketika pihak penyandang dana berkepentingan bisnis maupun politik
tertentu. Bentuknya bisa berupa uang, namun bisa pula berupa bantuan-bantuan
sarana fisik pendukung kampanye pasangan kandidat tertentu (Teddy Lesmana,
2011). Sumbangan politik uang terhadap kebutuhan dana dalam jumlah besar,
terutama untuk komponen tidak resmi yang harus dikeluarkan kandidat, signifikan.
Ini setidaknya dapat dilihat dari pendapat Hanta Yuda AR. Menurutnya, biaya besar
yang karena pilkada kerap disertai dengan praktek politik uang dan pemakelaran
pencalonan kepala daerah. Politik uang dan pemakelaran inilah yang menyebabkan
biaya pilkada semakin menggelembung dan ongkos demokrasi semakin tinggi (Koran
Tempo, 23 November 2010).
Menurut Wahyudi Kumorotomo (2009) ada beragam cara untuk
melakukan politik uang dalam pilkada langsung, yakni: (1) Politik uang secara
langsung bisa berbentuk pembayaran tunai dari "tim sukses" calon tertentu kepada
konstituen yang potensial, (2) sumbangan dari para bakal calon kepada parpol yang
telah mendukungnya, atau (3) "sumbangan wajib" yang disyaratkan oleh suatu parpol
kepada para kader partai atau bakal calon yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati
atau walikota. Adapun politik uang secara tidak langsung bisa berbentuk pembagian
hadiah atau doorprize, pembagian sembako kepada konstituen, pembagian semen di
daerah pemilihan tertentu, dan sebagainya. Para calon bahkan tidak bisa menghitung
secara persis berapa yang mereka telah habiskan untuk sumbangan, hadiah, spanduk,
dan sebagainya, disamping biaya resmi untuk pendaftaran keanggotaan, membayar
saksi, dan kebutuhan administratif lainnya. Ramlan Surbakti (Kompas, 2 April 2005),
8
mencatat bahwa peluang munculnya politik uang dalam pilkada dapat diidentifikasi
sejak awal, yakni pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik
yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah
sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh melampaui batas sumbangan
dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi tidak diketahui dengan
pasti karena berlangsung di balik layar.
Kedua, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya
incumbent , akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang
memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi
batas sumbangan yang ditetapkan undang-undang. Karena berlangsung di balik layar,
maka sukar mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya dana
yang diterima. Ketiga, untuk kabupaten/kota yang jumlah pemilihnya sekitar 10.000
sampai dengan 100.000 pemilih, tetapi wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang
tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan
dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah
dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat memengaruhi para pemilih
memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui "perantara politik" yang
ditunjuknya di setiap desa. Keempat , untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan
calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 25 persen dapat mengantarkan
satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam
situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui "perantara politik"
di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon”.
9
Jika Ramlan Surbakti masih melihat potensi politik uang dalam Pilkada,
Didik Supriyanto mengangkatnya dari fakta empiris. Menurutnya, berdasarkan aktor
dan wilayah operasinya, politik uang dalam pilkada bisa dibedakan menjadi empat
lingkaran sebagai berikut: (1) Lingkaran satu, adalah transaksi antara elit ekonomi
(pemilik uang) dengan pasangan calon kepala daerah yang akan menjadi pengambil
kebijakan/keputusan politik pasca pilkada; (2) Lingkaran dua, adalah transaksi
antara pasangan calon kepala daerah dengan partai politik yang mempunyai hak
untuk mencalonkan; (3) Lingkaran tiga, adalah transaksi antara pasangan calon dan
tim kampanye dengan petugas-petugas pilkada yang mempunyai wewenang untuk
menghitung perolehan suara; dan (4) Lingkaran empat,adalah transaksi antara calon
dan tim kampanye dengan massa pemilih (pembelian suara) (Transkrip Diskusi
Publik Terbatas, ijrsh.files.wordpress.com/2008/06/politik-uang-dalam-pilkada.pdf,
diunduh tgl. 24 Desember 2011).
Menurut Didik Supriyanto, politik uang lingkaran empat ini biasa
disebut dengan political buying, atau pembelian suara langsung kepada pemilih.
Lebih lanjut dikatakannya, ada banyak macam bentuk political buying , yakni
pemberian ongkos transportasi kampanye, janji membagi uang/barang, pembagian
sembako atau semen untuk membangun tempat ibadah, ”serangan fajar”, dan lain-
lain. Modus politik uang tersebut berlangsung dari pemilu ke pemilu, tidak terkecuali
dalam pilkada dan praktik-praktik jual beli suara ini bukan semata-mata didasari oleh
kebutuhan ekonomi sebagian besar pemilih, tetapi juga karena hal tersebut sudah
lama berlangsung setiap kali ada pemilihan (misalnya pilkades) sehingga masyarakat
10
menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah, meski mereka tahu bahwa hal itu
melanggar ketentuan.
Namun berbagai kejadian politik uang dalam pilkada langsung
seringkali tidak tersentuh oleh penegakan hukum karena sulitnya pembuktian akibat
tidak adanya batasan yang jelas mengenai politik uang, disamping sebagian
masyarakat menganggap sebagai sesuatu yang lumrah. Bahkan, yang lebih
memprihatinkan adalah masyarakat kian permisif dengan praktek politik uang dalam
pemilu. Hasil polling Litbang Harian Kompas, menemukan bahwa sebagian besar
publik tidak menolak kegiatan bagi-bagi uang yang dilakukan caleg/parpol (Kompas,
16 Maret 2009). Terkait politik uang yang makin menguat, Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) pernah membuat survei khusus untuk mengukur tingkat skala politik
uang dalam pilkada. Survei tersebut dilakukan dengan populasi nasional pada bulan
Oktober 2005 dan Oktober 2010. Survei menggunakan metode penarikan sampel
Multistage Random Sampling (MRS). Jumlah sampel sebanyak 1.000 orang
responden dengan tingkat kesalahan sampel (sampling error ) sebesar plus minus 4%.
Hasil survey menunjukkan publik yang menyatakan akan menerima uang yang
diberikan oleh kandidat mengalami kenaikan. Pada tahun 2005, sebanyak 27,5%
publik menyatakan akan menerima uang yang diberikan calon dan memilih calon
yang memberi uang. Angka ini naik menjadi 37,5% di tahun 2010. Demikian pula
Publik yang mempersepsi bahwa politik uang akan mempengaruhi pilihan atas
kandidat, juga mengalami kenaikan dari 53,9% di tahun 2005 menjadi 63% di tahun
11
2010 (suarapublik.co.id/index/index.php?...politik-uang.. diunduh tgl. 24 Desember
2011).
Situasi ini tidak lepas dari adanya perubahan radikal terhadap karakter
dan perilaku pemilih pasca reformasi, khususnya setelah Pemilu 1999. Kacung
Marijan (Kompas, 7 Agustus 2008) menyebut keikutsertaan pemilih dalam pemilu
1999 sebagai pemilih bercorak sukarela (voluntary). Di mana terjadi keterlibatan
yang intens dari pemilih selama proses pemilu. Hal ini tidak lepas dari euforia
reformasi yang masih dirasakan masyarakat serta harapan yang besar terhadap
perubahan. Pemilu 2004 menunjukkan perilaku pemilih yang berbeda. Antusiasme
pemilih mulai menurun dan perilakunya sudah mulai bercorak rasional. Bahkan
menurut Kacung Marijan sudah tergolong rasional pragmatis dengan melakukan
praktik-praktik transaksional (jual beli suara) di mana pemilih mulai menghitung
imbalan dari suara yang diberikan. Perilaku ini tidak lepas dari penilaian bahwa
wakil-wakil rakyat hasil pemilu 1999 yang mereka harapkan ternyata tak mampu
berbuat banyak dan tidak memberikan perubahan berarti (Marijan dalam
Taufiqurrahman, 2010). Survei LSI juga menemukan kecenderungan yang sama,
bahwa ada rasionalitas pragmatis pemilih, meski selain rasionalitas pragmatis,
muncul juga semangat kedaerahan, etnisitas, agama dan kelompok dalam preferensi
pemilih (www.lsi.or.id ). Kebutuhan dana yang semakin besar mendorong politisi
menggali dana dari berbagai sumber, fenomena ini tidaklah khas Indonesia. Sebagai
gambaran, sebagaimana yang ditulis Denny JA (2006) tentang “Uang dan Politik”, di
12
negara Amerika Serikat yang kaya sekalipun seorang calon tidak dapat membiayai
pengeluaran pemilu sendirian.
2.1.2 Motivasi
Teori Maslow yang dibangun atas dasar asumsi bahwa orang
mempunyai kebutuhan untuk maju dan berkembang. Menurut Ali Faried (2011, 104),
“asumsi ini mengandung arti bahwa program motivasi akan lebih besar
kemungkinannya berhasil, Jika kebutuhan tingkat atas dapat terpenuhi”. Teori
Motivasi oleh Maslow dalam Ali Faried adalah:
Teori pemenuhan secara bertingkat, yang artinya ada kebutuhan yang
paling tinggi disebut kebutuhan realisasi diri (self actualization), yaitu
kebutuhan untuk memenuhi diri sendiri dengan penggunaan kemampuan
maksimum, keterampilan dan potensi, diikuti dengan kebutuhan
penghargaan (exteems) yaitu kebutuhan akan penghargaan diri, dan
penghargaan dari orang lain. Dilanjutkan dengan kebutuhan rasa
memiliki (belongings), social dan cinta, berikut kebutuhan keselamatan
dan keamanan (safety and security) yaitu kebutuhan akan kebebasan
dari ancaman, yakni aman akan ancaman kejadian/ atau lingkungan dan
yang paling di bawah adalah kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan akan
makan, minum, tempat tinggal dan bebas dari sakit. Jadi kebutuhan
fisiologis adalah kebutuhan yang paling mendasar dan yang paling
primer harus dipenuhi dalam kegiatan kerja sama.
Lebih lanjut peneliti uraikan teori hierarkhi kebutuhan dari Maslow
yang dikutip dari literaturnya Gitosudarmo dalam bentuk tabel berupa penerapan teori
hierarkhi kebutuhan dari Maslow :
13
Tabel 2.2
Penerapan Teori Hirarkhi Kebutuhan dari Maslow
No Hierarkhi Kebutuhan Faktor-Faktor Umum Faktor-Faktor
Organisasi
1 Kebutuhan fisiologis a. Makanan
b. Minuman
c. Perumahan
d. Sex
a. Gaji
b. Kondisi kerja
yang
menyenangkan
c. kafetaria
2 Kebutuhan akan rasa
aman
a. Keamanan
b. Stabilitas
c. Perlindungan
d. Jaminan
a. Kondisi kerja
yang aman
b. Jaminan social
c. Keamanan kerja
d. Pensiun
3 Kebutuhan sosial a. Persahabatan
b. Kasih sayang
c. Rasa saling
memiliki
a. Mutu supervise
b. Kelompok kerja
yang erat
c. Perkumpulan
olah raga
4 Kebutuhan penghargaan a. Penghargaan
b. Status
c. Pengakuan
d. Dihormati
a. Bonus
b. Piagam
penghargaan
c. Jabatan
d. Tanggung jawab
e. Pekerjaan itu
sendiri
5 Kebutuhan aktualisasi
diri
a. Perkembangan
b. Prestasi
c. Kemajuan
a. Prestasi dalam
pekerjaan
b. Kesempatan
untuk berkreasi
c. Tantangan tugas
d. Kemajuan dalam
organisasi
Sumber : Gitosudarmo, 2000 hal. 33
Selanjutnya teori motivasi diungkapkan oleh ilmuan Herzberg yang
diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg.
Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi,
14
yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”. Menurut teori ini
yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong seseorang
berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang,
sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-
faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut
menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara
lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh,
kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene
atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan
seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan
sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan
organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan
yang berlaku. Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg
ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam
kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
Dari beberapa teori motivasi yang peneliti deskripsikan di atas, maka
untuk menganalisis hasil penelitian ini peneliti menggunakan teori hierarkhi
kebutuhan dari Maslow. Alasan tersebut sangat tepat dengan data dari hasil
wawancara.
15
2.2 Kerangka pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian dapat dapat dideskripsikan bahwa
penyelenggaraan pemilu yang berdasarkan peraturan KPU mengalami beberapa
permasalahan terkait dengan topik penelitian ini adalah adanya dugaan money
politics terhadap parrisipasi masyarakat dalam pemilu tahun 2014 di Kabupaten
Gianyar. Dari topik tersebut peneliti jabarkan ke dalam dua rumusan masalah yaitu
bagaimanakah proses terjadinya money politics terhadap partisipasi pemilih dan
faktor-faktor penyebab terjadinya money politics. Dari kedua permasalahan, peneliti
pergunakan teori motivasi untuk memecahkan permasalahan ini. Sehingga dari
penelitian ini diharapkan proses pemilu yang bersih dan bebas money politics.
Kerangka pemikiran penelitian digambarkan seperti dibawah ini.
Gambar 3.1
Kerangka Pemikiran Penelitian
1. Proses Money Politics
2. Faktor Penyebab Money
Politics dan kaitannya
dengan partisipasi pemilih
Teori Motivasi
Maslow
Pemilu Bersih Money Politics
Pemilu 2014
16
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis dan pendekatan penelitian deskriptif
kualitatif. Alasan penentuan pendekatan kualitatif berdasarkan pendapat Staruss dan
Corbin yaitu “Metode kualitatif dapat memberi rincian yang kompleks tentang
fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif” (Strauss dan Corbin,
2009; 5).
3.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah pertama, data primer berupa data
yang diperoleh melalui observasi seperti isu-isu daerah yang berkembang money
politics dan hasil wawancara secara mendalam terhadap informan yang telah
ditetapkan. Kedua adalah data sekunder berupa data yang diperoleh dari dokumen
hasil pemilu tahun 2014 di KPU Kabupaten Gianyar, seperti gambaran umum
Kabupaten Gianyar.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan pendapat Bungin (2012:110) metode pengumpulan data
dalam penelitian kualitatif terdiri dari Observasi atau pengamatan langsung,
dokumentasi, wawancara dan penelusuran data on line. Dalam penelitian ini
menggunakan metode pengumpulan data seperti dokumentasi, wawancara dan
penelusuran data on line. Oleh karena penelitian ini dilakukan setelah pelaksanaan
17
pemilu sehingga untuk metode observasi tidak mungkin dilakukan sehingga peneliti
melakukan survey untuk mencari informan ke lokus penelitian. Adapun uraian
metode penelitian yang peneliti pergunakan adalah:
1. Dokumentasi atau dokumenter menurut Bungin (2012: 124), metode yang
digunakan untuk menelusuri data historis, atau data yang diperoleh karena
keterkaitan dengan penelitian yang berbentuk dokumentasi”.
2. Wawancara mendalam secara survei, menurut Bungin (2012: 111) wawancara
adalah “proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan dengan atau tanpa
pedoman wawancara”.
3. Penelusuran Data On Line, menurut Bungin (2012: 128) adalah tata cara
melakukan penelusuran data melalui media on line seperti internet atau media
jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas on line, sehingga memungkinkan
peneliti dapat memanfaatkan data informasi on line yang berupa data maupun
informasi teori, secepat atau semudah mungkin, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis”.
3.4 Metode Penentuan Informan
Menurut Bungin ( 2012: 107) bahwa “ Purposive adalah salah satu
strategi menentukan informan yang paling umum di dalam penelitian kualitatif, yaitu
menentukan kelompok peserta yang menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih
yang relevan dengan masalah tertentu”. Dengan mengacu pendapat Bungin bahwa
penentuan informan penelitian ini adalah purposive sampling. Dimana informan
18
yang peneliti tentukan dianggap mengetahui tentang dugaan money politics. Informan
tersebut dari masyarakat pemilih, tim sukses dan peserta pemilu (calon anggota
DPRD).
3.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data, peneliti pergunakan metode analisis dari Miles and
Huberman dengan tahapan seperti berikut ini:
1. Data Reduction (reduksi data), yaitu merangkum data, memilih hal-hal pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, di cari tema dan polanya, untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk
pengumpulan data selanjutnya.
2. Data Display (penyajian Data), setelah data direduksi selanjutnya adalah
mendisplay data supaya data lebih terorganisasi, tersusun dalam pola
hubungan sehingga akan semakin mudah dipahami.
3. Conclusion Drawing/ verification, selanjutnya langkah penarikan kesimpulan
dan verifikasi.
19
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab IV dari laporan hasil penelitian ini terdiri dari gambaran umum
daerah penelitian yaitu Kabupaten Gianyar, hasil penelitian berdasarkan hasil
wawancara dan pembahasan hasil penelitian dengan teori seperti dalam landasan
teori.
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Gianyar
Luas wilayah Kabupaten Gianyar 368 Km2 atau 6,53 % dari luas
wilayah Provinsi Bali secara keseluruhan. Kabupaten Gianyar terdiri dari 7
Kecamatan yaitu :
Tabel 4.1
Luas Wilayah Daerah Kabupaten Gianyar Per Kecamatan
No. Kecamatan Luas Wilayah
(Km2 )
% Dari Luas
Gianyar
% Dari Luas
Bali
(1) (2) (3) (4) (5)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sukawati
Blahbatuh
Gianyar
Tampaksiring
Ubud
Tegallalang
55,02 Km2
39,70 Km2
50,59 Km2
42,63 Km2
42,38 Km2
61,80 Km2
14,95
10,79
13,75
11,58
11,52
16,79
0,98
0,70
0,90
0,75
0,75
1,10
20
7. Payangan 75,88 Km2 20,62 1,35
Sumber : Gianyar Dalam Angka, BPS Tahun 2014
Tabel di atas menunjukkan bahwa Kecamatan Payangan memiliki luas
terbesar mencapai 75,88 Km2
atau 20,62 % dari luas Kabupaten Gianyar dan luas
wilayah terkecil yakni Kecamatan Blahbatuh dengan luas mencapai 39,70 Km2
atau
10,79 % dari luas Kabupaten Gianyar.
Topografi Kabupaten Gianyar terdiri dari daerah pantai, sungai dan
perbukitan. Kemiringan wilayah Kabupaten Gianyar diklasifikasikan menjadi empat
kategori, yaitu:
a) Wilayah datar (wilayah kemiringan 0-20) = 41,00 %;
b) Wilayah landai (kemiringan 3-150) = 28,50 %;
c) Wilayah miring (kemiringan 16-400) = 15,50 %; dan
d) Wilayah terjal (kemiringan>400)=15 %
Kabupaten Gianyar merupakan salah satu dari sembilan Kabupaten/Kota
di Provinsi Bali, dengan batas-batas wilayah administrasi di sebelah utara Kabupaten
Bangli, sebelah timur Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Bangli, sebelah selatan
Kota Denpasar dan sebelah barat Kabupaten Badung.
Dibandingkan kabupaten lain, Gianyar tidak memiliki danau maupun
gunung berapi, beberapa bagian daratan memang agak tinggi letaknya namun lebih
merupakan tanah perbukitan. Meskipun demikian, kondisi alam yang dimilikinya
21
cukup menguntungkan. Sebab dengan tanah-tanah datar yang ada dimanfaatkan lahan
secara maksimal oleh masyarakat.
Gambar 4.1 Peta Kabupaten Gianyar
Sumber : Gianyar Dalam Angka, BPS Tahun 2014
22
Sesuai dengan data yang tercatat, keadaan Kabupaten Gianyar sampai
dengan akhir Tahun 2013 menunjukkan luas lahan sawah 14,732 Ha, Tanah/Lahan
Kering 21,879 Ha, dan tanah lainnya berupa rawa-rawa, tambak, kolam/dan lain-lain
luasnya 171 Ha. Berikut penggunaan lahan di Kabupaten Gianyar Tahun 2011 dan
Tahun 2012 :
1. Tanah Sawah Tahun 2011 seluas 14, 732 Ha dan Tahun 2012 seluas 14,729 Ha.
2. Tanah/Lahan Kering Tahun 2011 seluas 21,897 Ha dan Tahun 2012 seluas
21,900 Ha.
3. Pekarangan Rumah Tahun 2011 seluas 5,250 Ha dan Tahun 2012 seluas 5,253
Ha.
4. Tegalan Tahun 2011 dan Tahun 2012 masih sama seluas 11,248 Ha.
5. Tanaman Hutan Rakyat Tahun 2011 dan Tahun 2012 masih sama seluas 1,116
Ha.
6. Lahan lainnya Tahun 2011 dan Tahun 2012 juga masih sama seluas 171 Ha.
Berdasarkan keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa penggunaan
lahan di Kabupaten lebih banyak dipergunakan sebagai Lahan sawah seluas 14,729
Hektar atau sebesar 40,19% dari luas lahan di Kabupaten Gianyar. Sedangkan yang
paling sempit adalah penggunaan lahan lainnya seperti tambak dan kolam atau
tebat/empang yakni 171 Hektar atau sebesar 0,46% dari luas lahan di Kabupaten
Gianyar.
Dengan membandingkan antara penggunaan lahan antara Tahun 2011
dengan Tahun 2012, dapat pula kita ketahui bahwa adanya kecenderungan
23
berkurangnya luas lahan persawahan dan meluasnya lahan/tanah kering terlihat dari
data Tahun 2011 dimana sebelumnya penggunaan lahan sawah seluas 14,732 Hektar
menurun pada Tahun 2012 menjadi 14,729 Hektar. Ini berarti terjadi penyusutan
lahan sawah seluas 3 Hektar. Sedangkan penggunaan lahan bukan sawah atau
tanah/lahan kering terjadi peningkatan yang sebelumnya pada Tahun 2011 seluas
21,897 Hektar meningkat pada Tahun 2012 menjadi 21,900 Hektar dimana
peningkatan tersebut diperoleh dari meningkatnya penggunaan lahan untuk
pekarangan rumah dan sekitarnya yakni dari sebelumnya seluas 5, 250 Hektar
menjadi 5,253 Hektar.
Tentunya tidak dapat kita prediksi kemungkinan-kemungkinan yang
menyebabkan hal tersebut terjadi. Peningkatan penggunaan lahan untuk pekarangan
rumah sangat berhubungan erat dengan adanya peningkatan jumlah mobilisasi
penduduk atau kepadatan penduduk dimana kebutuhan akan lahan tempat tinggal
menjadi kebutuhan utama didalam menunjang hal lainnya.
Luas lahan sawah dan lahan bukan sawah di wilayah Kabupaten Gianyar
per Kecamatan tidaklah sama dimana Kecamatan Sukawati merupakan kecamatan
yang memiliki lahan persawahan terluas yakni 2,705 Hektar hampir sebanding
dengan luas lahan bukan sawahnya yakni 2,797 Hektar. Sedangkan Kecamatan
Payangan merupakan Kecamatan dengan luas lahan bukan sawah yang terluas yakni
5,613 Hektar sangat berbeda jauh dengan luas persawahannya yang hanya tersisa
1,975 Hektar. Untuk lebih jelasnya luas lahan di Kabupaten Gianyar menurut
Kecamatan (Ha) pada Gambar di bawah ini :
24
Gambar 4.2 Luas Lahan Di Kabupaten Gianyar
Menurut Kecamatan (Ha)
Sumber : Gianyar Dalam Angka, BPS Tahun 2014
Partisipasi masyarakat Kabupaten Gianyar dalam pemilihan umum
mulai tahun 2009 sampai pemilihan umum tahun 2014 dapat dilihat dalam tabel
berikut.
25
Tabel 4.2
Jumlah DPT dan Jumlah Pengguna dalam Pemilu 2009 s/d 2014
NO Pemilu Jumlah DPT Jumlah
Pengguna surat
suara
Prosentase
partisipasi
1 Pemilu Legislatif 2009 330.345 273.181 82,70%
2 Pemilu Presiden dan
Wapres tahun 2009
331.606 263.995 79,61%
3 Pemilukada 2012 349.650 285.122 81,54%
4 Pilgub Bali 2013 355.736 287.552 80,83%
5 Pemilu Legislatif 2014 361.279 302.911 83,84%
6 Pilpres 2014 361.705 290.399 80,29%
Sumber: Dokumen KPU Gianyar tahun 2014
Tabel 4.2 menunjukkan tingkat partisipasi dalam bentuk prosentase
secara umum termasuk tinggi dan berfluktuasi. Apabila dibandingkan antara pemilu
legislative tahun 2009 dengan pemilu legislative tahun 2014 partisipasi masyarakat
mengalami peningkatan 1,14%. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden juga mengalami
peningkatan sebesar 0,68%.
4.2 Hasil Penelitian
Hasil penelitian berdasarkan hasil wawancara dari beberapa informan
terkait dua rumusan masalah tentang dugaan money politics dan kaitannya dengan
partisipasi pemilih dalam pemilihan umum tahun 2014, peneliti uraikan berdasarkan
26
metode penelitian dengan jenis deskriptif dan pendekatan kualitatif, seperti peneliti
deskripsikan berikut ini.
4.2.1 Proses terjadinya money politics di Kabupaten Gianyar
Setiap ajang pemilihan umum dari periode ke periode tidak terlepas
dalam pemilihan secara langsung termasuk pemilihan umum tahun 2014, baik itu
pemilihan DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang digelar
tanggal 9 April 2014 dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Mulai dari
sebelum pencalonan sampai menjelang hari pemungutan suara dini hari memang
tidak terlepas dari adanya indikasi pembagian amplop yang sering dikenal dengan
serangan fajar. Dugaan money politics atau di kenal politik uang yang beredar selama
ini, setelah dilakukan klarifikasi ke beberapa informan di beberapa kecamatan di
wilayah Kabupaten Gianyar memang banyak terjadi. Seperti pernyataan yang di
sampaikan oleh beberapa informan. Perlu peneliti sampaikan bahwa dalam penelitian
ini semua identitas informan disamarkan karena untuk menjaga keselamatan dan
keamanan para informan, namun identitas informan secara lengkap ada di peneliti.
Dan hal seperti ini dibenarkan dalam penelitian.
Proses pembagian uang, seperti sumbangan berupa uang kepada pemilih
ataupun kelompok masyarakat sering terjadi dan prosesnya dapat secara langsung
diberikan kepada masyarakat maupun melalui tim sukses. Seperti yang disampaikan
oleh informan TW. Informan TW sebagai calon anggota DPRD dari dapil Gianyar,
menyatakan:
27
“Indikasi money politics memang banyak terjadi, tidak saja di kabupaten
Gianyar, tetapi diseluruh daerah yang menyelenggarakan pemilu terjadi.
Hanya saja caranya yang berbeda-beda. Politik uang itu menurut saya
adalah memberikan sesuatu berupa uang ataupun barang ketika
penyelenggaraan pemilu oleh calon maupun oleh tim sukses calon
tersebut, kepada masyarakat pemilih agar ketika pemilihan suaranya
diberikan kepada calon yang bersangkutan. Benda baik barang ataupun
uang tersebut gencar diberikan selama menjadi bakal calon, setelah
ditetapkan menjadi calon dan bahkan sampai hari pemungutan suara.
Para calon akan mendatangi kelompok masyarakat melalui istilah
dharmasuaka ke pura, banjar, desa. Biasanya kalau sudah melakukan
seperti itu dan memberikan sumbangan, masyarakat akan sepakat
memilih calon tersebut”. (Wawancara, tanggal 12 Juli 2014).
Pernyataan TW senada dengan pernyataan ST juga dari daerah yang
sama. Dengan pendapat berikut ini.
“Pemberian bantuan saat pemilihan DPR, DPD, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten ada diberikan ke banjar, ke pura desa dan juga ke
sekaa teruna. Setelah calon itu menjadi anggota DPRD, waktu ada
ngaben massal juga diberikan bantuan ke desa dan ke masing-masing
kepala keluarga diberikan Rp.1.000.000,- Karena bantuan sudah
diberikan ke banjar, sehingga masyarakat sepakat untuk memberikan
pilihan ke calon tersebut. Pemberian bantuan ke desa saya, calon
langsung yang memberikan”. (Wawancara, tanggal 14 Juli 2015)
Pernyataan TW dan ST dibenarkan oleh informan GE yang berasal dari
Kecamatan Sukawati , dengan pendapat berikut ini.
“Menjelang pemilu tahun 2014 ada calon yang memberikan bantuan
untuk pembangunan balai banjar, pernah juga ada yang memberikan
amplop ke pemilih. untuk saya dan keluarga tidak mau mengambilnya
karena sudah kesepakatan banjar untuk memberikan pilihan ke calon
yang memberikan bantuan (maaf saya tidak sebutkan namanya)”.
(Wawancara tanggal 20 Juli 2015).
Demikian pula GM dari Kecamatan yang sama juga mengatakan hal
yang sama dengan informan di atas, bahwa:
28
“Pemilu 2014 ada yang memberikan saya dan tetangga amplop dari tim
sukses calon (maaf tidak saya sebutkan namanya), ya amplopnya saya
ambil saja kan diberikan tidak boleh menolak rejeki. Tetapi untuk
memilih saya pilih calon yang disepakati banjar. Tetapi kalaupun tidak
ada kesepakatan saya tetap akan memilih, karena siapapun yang menjadi
pemimpin kehidupan saya tetap seperti ini mekuli dengan imbalan kecil,
belanja dengan harga beras yang mahal. Ya…. kalau kewajiban memilih
ya memilih”. (Wawancara tanggal 20 Juli 2015).
Informan KS selaku saksi kandidat memiliki pendapat tentang proses
politik uang dalam petikan wawancara berikut ini.
”Saya didatangi ke rumah oleh tim sukses calon yang berbeda, diberikan
uang karena dirumah ada tiga orang pemilih diberikan masing-masing
sejumlah 100 ribu rupiah dan dari tim sukses yang satunya lagi
memberikan 200 ribu rupiah. Di berikan uang saya ambil dan bagikan
kepada keluarga yang memilih”. (Wawancara tanggal 1 Agustus 2015).
Wawancara dengan informan KB menyatakan proses terjadinya money
politics seperti kutipan hasil wawancara berikut.
“Saya sebagai sukarelawan dari salah satu calon. Saya rela melakukan
apapun demi suksesnya calon yang saya usung ke DPRD Gianyar.
Pemilihan saya dengan suka rela pagi sore siang malam membantu calon
yang saya usung untuk memasang baliho di seputaran kecamatan
Sukawati. Ini saya lakukan karena saya merasa jengah adanya semacam
pengeledekan terhadap calon yang saya dukung karena gagal pada
pemilu tahun 2009 lalu. Berbagai cara kami lakukan untuk
memenangkan calon. Menjelang pemilihan kami dikumpulkan oleh
calon untuk diberikan pengarahan teknis pada saat pelaksanaan pemilu.
Salah satu tugas kami adalah mencari orang-orang yang bisa membantu
penambahan suara dengan memberikan sesuatu kepada yang
bersangkutan kalu bersedia memberikan suara. Nampaknya usaha itu
perlu kerja keras, karena di banjar kami sebelum pelaksanaan pemilu
ada acara medharma suaka dari salah satu calon yang lain untuk dibantu
di dalam pemenangan pemilu. Melihat keadaan yang demikian saya
memilih-milih orang yang kiranya bisa diajak kerjasama untuk
perolehan suara. Banyak diantara mereka yang menolak, karena takut
29
terhadap kesepakatan antara banjar dengan calon yang bersangkutan.
Tetapi saya tidak kalah semangat, dan berusaha terus, untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saya berusaha untuk mencari
nomor hp dari orang-orang di sekeliling banjar atau desa untuk minta
bantuan. Ada sekitar 50 orang yang saya hubungi. Diantara mereka
banyak juga yang bisa diajak kerjasama, dan saya pastikan kalau sudah
memilih calon yang saya usung, besoknya pasti ada sesuatu untuk yang
bersangkutan. Sehari sebelum pelaksanaan pemilihan saya selalu
memantau yang bersangkutan untuk tidak dipengaruhi oleh orang lain
dan tetap memilih calon saya. Setelah hari pemilihan dan penghitungan
suara, suara yang saya dapat mendekati usaha saya, ada juga yang tidak
tepat janji. Tapi karena sulit untuk dibuktikan, besoknya saya tetap
memberikan sesuatu sebagai balasa jasa. Tetapi saya sedikit kecewa
karena calon yang saya usung belum bisa duduk di kursi DPRD
Kabupaten Gianyar. Yang penting saya sudah berusaha”. (Wawancara
tanggal 2 Agustus 2015).
Wawancara dengan MY mengenai proses terjadinya money politics
terurai dalam petikan hasil wawancara berikut ini.
“Saya selaku relawan dari partai X, saat ada pertemuan di rumah calon,
kami diberikan pengarahan dan sekaligus menentukan saksi di masing-
masing TPS di Desa Batuan. Karena dapat honor saya lakukan tugas
dengan sebaik-baiknya. Ada beberpa teman saat itu ditugaskan untuk
mengedarkan uang sebagai balas jasa atas suara yang diberikan. Saat itu
saksi disuruh mgnecek suara terhadap orang yang diminta bantuan,
sebelum hari H saksi dikasi nama orang-orang yang diminta bantuan,
apakah dia memilih atau tidak”. (Wawancara tanggal 29 Juli 2015).
Demikian pernyataan dari beberapa informan bahwa kenyataannya
memang terdapat money politics dengan kemasan lain mencari kelompok masyarakat
seperti banjar, perkumpulan yang sudah solid di masyarakat. Sehingga peluang untuk
memperoleh suara cukup signifikan. Proses money politics ada dua yaitu melalui
calon sendiri dan melalui tim sukses baik tim sukses diminta oleh calon maupun
30
sekelompok orang yang menawarkan diri menjadi tim sukses dengan meminta
sejumlah biaya dan menjanjikan suara yang mencukupi perolehan suara di Gianyar.
Walaupun demikian ada juga pemilih yang memanfaatkan kesempatan untuk
menerima serangan fajar, namun tetap konsisten memilih yang menjadi kesepakatan
banjar.
4.2.1 Faktor Penyebab terjadinya Money Politics dan kaitannya terhadap
partisipasi pemilih di Kabupaten Gianyar
Setelah mengetahui tentang proses terjadinya money politics dari hasil
wawancara dengan para informan serta menghasilkan temuan. Berikut hasil
penelitian dari metode wawancara dengan informan terkait penyebab terjadinya
money politics, dapat peneliti narasikan berikut ini.
Menurut informan TW selaku calon anggota DPRD dapil Gianyar dalam
Pemilu 2014, menyatakan penyebab terjadinya money politics diuraikan dalam
petikan wawancara berikut ini.
“Money politics terjadi awalnya bukan bersumber dari pemilih, artinya
bukan pemilih yang meminta akan tetapi pemilih diberikan sesuatu
berupa barang ataupun uang baik dalam bentuk sumbangan melalui
dharma suaka maupun ke rumah-rumah. Pelakunya oleh si calon
ataupun oleh tim sukses yang direkrut. Tujuan pemberian tersebut ya..
agar pemilih memberikan suaranya sehingga berhasil menjadi
pemenang. Kemenangan tersebut kan merupakan kebanggaan bagi diri
dan keluarga dapat menjadi anggota DPRD ingin membantu masyarakat
menyampaikan aspirasinya, sangat bangga menjadi wakil rakyat. Perlu
saya sampaikan juga apa yang saya alami juga dialami oleh rekan-rekan
saya sesama calon ketika kami saling bertukar pengalaman. Pemberian
ini akan menjadi kebiasaan dan pada akhirnya akan menjadi budaya
yang tidak baik bagi kehidupan demokrasi selanjutnya”. (Wawancara
tanggal 12 Juli 2015).
31
Hal senada juga disampaikan oleh AR salah seorang calon anggota
DPRD dari dapil Gianyar, dengan petikan wawancara berikut ini.
“Penyebab dari adanya pemberian atau sumbangan berupa uang atau
barang kepada pemilih dalam pemilu karena besar keinginan untuk
mendapatkan simpati masyarakat agar dipilih saat pemungutan suara
dan dapat berhasil menjadi anggota dewan. Menjadi anggota dewan
adalah sebuah kehormatan yang sangat tinggi, sebuah prestise dan
pengalaman hidup yang sangat membanggakan. Ternyata untuk
memperoleh kedudukan sangat sulit, harus mengorbankan segala hal
baik waktu, tenaga, dan materi. Bahkan banyak rekan saya sampai
menjual tanah sebagai modal”. (Wawancara tanggal 13 Juli 2015).
Kutipan hasil wawancara antara TW dan AR mengatakan bahwa inisiatif
pemberian bantuan menjelang pemilu memang ada penyebabnya yaitu keinginan
untuk menang. Semua calon ketika itu memiliki keinginan menjadi pemenang. Dan
kemenangan tersebut adalah kebanggaan atau sebuah prestise.
Ketika peneliti melakukan wawancara kepada masyarakat sebagai
pemilih untuk memastikan apakah keinginan memilih karena adanya sumbangan atau
ada alasan lain. Berikut petikan wawancara dengan informan GE.
“Adanya sumbangan ke banjar oleh calon anggota DPRD bukan karena
permintaan masyarakat. Itu karena calon yang datang ke banjar kami
menyampaikan sumbangan dan permohonan agar dipilih. Dan anggota
banjar kami sepakat untuk memilih calon tersebut. Dan sekarang
berhasil menjadi anggota DPRD. Walaupun ada calon selain dia datang,
kami tidak berani memilih yag lain diluar yang disepakati karena takut
digunjingkan dan takut kasepekang”. (Wawancara tanggal 20 Juli 2015).
Hal senada disampaikan oleh informan GM dengan petikan wawancara
berikut ini.
“Walaupun kami tidak diberikan sumbangan, saya akan tetap memilih
dalam pemilu. Karena siapapun yang menang toh juga kehidupan saya
32
tetap seperti ini. Bahkan harga menjadi semakin mahal. Karena sudah
disepakati oleh anggota banjar saya ya ikut saja. Supaya nanti tidak
menjadi masalah seandainya saya tidak ikut keputusan banjar”.
(Wawancara tanggal 20 Juli 2015).
Kutipan hasil wawancara GE dan GM bahwa masyarakat tidak meminta
sumbangan, tetapi calon yang mendatangi masyarakat. Itu artinya bahwa memang
calon yang berinisiatif untuk mencari dukungan. Sedangkan keinginan pemilih tetap
melakukan kewajibannya sebagai warga yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih
untuk memberikan pilihan walaupun tidak diberikan sumbangan. Namun dari kutipan
wawancara tersebut adanya penggiringan untuk memilih calon yang disepakati
kelompoknya karena menjaga keamanan dan agar tidak menimbulkan masalah.
Informan GP pun berpendapat mirip dengan GM dengan kutipan
pernyataan berikut ini.
“Pemilu tahun 2014 apalagi pemilu DPR, DPD, DPRD ramai sekali
yang memberikan amplop. Lumayan ada yang berisi 150 ribu, ada 100
ribu. Pemberian itu dilakukan oleh tim sukses secara sembunyi-
sembunyi. Bahkan saya pernah juga disuruh mengedarkan untuk
membantu mencari suara. Karena di lingkungan saya pilihannya sudah
disepakati. Yaa.. saya ikuti yang disepakati saja. Supaya tidak mencari
masalah. Walaupun sebenarnya tidak diberikan uangpun saya tetap
memilih. Berbeda dengan ibu saya, walaupun sudah tua dia punya
pendirian. Walaupun yang lain sepakat memilih A tetapi kalau ibu saya
tidak sreg, dia tetap saja memilih calon yang lain yang dianggapnya
cocok dengan hatinya”. (Wawancara tanggal 1 Agustus 2015).
Demikian pula dengan informan ST memilih calon yang disepakati
kelompoknya, dengan petikan wawancara berikut ini.
“Daripada saya memilih orang yang belum tentu bagus. Lebih baik saya
memilih orang yang telah disepakati dan sekaa teruna banjar saya
diberikan sumbangan dan apalagi kakak saya dibantu dicarikan
33
pekerjaan, jadi pilih yang pasti pasti saja, Bu…”. (Wawancara tanggal
20 Juli 2015).
Wawancara dengan informan KB menyatakan proses terjadinya money
politics seperti kutipan hasil wawancara berikut.
“Saya sebagai sukarelawan dari salah satu calon. Saya rela melakukan
apapun demi sukesenya calon yang saya usung ke DPRD Gianyar.
Pemilihan saya dengan suka rela pagi sore siang malam membantu calon
yang saya usung untuk memasang baliho di seputaran kecamatan
sukawati. Ini saya lakukan karena saya merasa jengah adanya semacam
pengeledekan terhadap calon yang saya dukung karena gagal pada
pemilu tahun 2009 lalu. Berbagai cara kami lakukan untuk
memenangkan calon. Menjelang pemilihan kami dikumpulkan oleh
calon untuk diberikan pengarahan teknis pada saat pelaksanaan pemilu.
Salah satu tugas kami adalah mencari orang-orang yang bisa membantu
penambahan suara dengan memberikan sesuatu kepada yang
bersangkutan kalu bersedia memberikan suara. Nampaknya usaha itu
perlu kerja keras, karena di banjar kami sebelum pelaksanaan pemilu
ada acara medarma suaka dari salah satu calon yang lain untuk dibantu
di dalam pemenangan pemilu. Melihat keadaan yang demikian saya
memilih-milih orang yang kiranya bisa diajak kerjasama untuk
perolehan suara. Banyak diantara mereka yang menolak, karena takut
terhadap kesepakatan antara banjar dengan calon yang bersangkutan.
Tetapi saya tidak kalah semangat, dan berusaha terus, untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saya berusaha untuk mencari
nomor hp dari orrang-orang di sekeliling banjar atau desa untuk minta
bantuan. Ada sekitar 50 orang yang saya hubungi. Diantara mereka
banyak juga yang bisa diajak kerjasama, dan saya pastikan kalau sudah
memilih calon yang saya usung, besoknya pasti ada sesuatu untuk yang
bersangkutan. Sehari sebelum pelaksanaan pemilihan saya selalu
memantau yang bersangkutan untuk tidak dipengaruhi oleh orang lain
dan tetap memilih calon saya. Setelah hari pemilihan dan penghitungan
suara, suara yang saya dapat mendekati usaha saya, ada juga yang tidak
tepat janji. Tapi karena sulit untuk dibuktikan, besoknya saya tetap
memberikan sesuatu sebagai balasa jasa. Tetapi saya sedikit kecewa
karena calon yang saya usung belum bisa duduk di kursi DPRD
34
Kabupaten Gianyar. Yang penting saya sudah berusaha”. (Wawancara
tanggal 2 Agustus 2015).
Pernyataan EB mengenai politics uang dan hubungannya dengan
partisipasinya dalam pemilu seperti kutipan wawancara berikut.
“Sebagai pemilih saya sangat senang kalau sering ada pesta demokrasi
seperti pemilu, pemilukada. Karena bagi saya ini merupakan ajang
bisnis. Saya bisa meraup keuntungan yang lumayan karena biasanya
saya mendapat perhatian dari calon-calon dalam pemilu karena saya
memiliki banyak teman dan saudara. Mereka biasanya memberikan
sejumlah uang untuk memilih suara tertentu. Mengenai besaran uang
ada bermacam-macam. Saya tidak perduli, kalau ada yang ngasi uang
saya terima saja. Dan biasanya orang yang memberikan uang itu selalu
menginginkan untuk memilih calon yang mereka usung. Saya iyakan
saja. Pada saat pemilihan kan tidak ada yang tau saya dan teman-teman
yang saya rekrut itu memilih siapa. Siapapun yang ngasi uang saya
terima saja. Biasanya saya ditanya berapa bisa merekrut orang untuk
memilih calon. Saya lebihkan saja, saya kan dapat untung, kalau yang
bisa saya rekrut umpamanya 15 orang, saya minta dana untuk 20 orang
kan saya dapat untung. Saya tidak perduli siapa yang menang-siapa
yang kalah. Yang penting saya dapat uang”. (Wawancara tanggal 1
Agustus 2015).
Pernyataan senada juga disampaikan oleh KS dengan petikan
wawancara berikut.
“Walaupun ada banyak yang memberikan saya uang, saya ambil saja.
Semakin banyak yang memberi uang dan semakin sering ada pemilu kan
banyak rejeki jadi semakin untung. Biarkan saja mereka memberikan
uang, yang penting saya tetap memilih calon pilihan saya”. (Wawancara
tanggal 1 Agustus 2015).
Informan Iwan pun berpendapat senada bahwa money politics tidak
berpengaruh terhadap pilihannya. Petikan wawancara berikut ini.
“Disini orang sudah punya pilihan, kalau dikasi uang akan diterima saja.
Siapapun ngasi uang. Semakin banyak orang ngasi uang akan semakin
bagus, makin tebal dompetnya. Uang itu tidak berpengaruh terhadap
35
pilihan mereka, karena mereka sangat loyal dengan partainya. Yang
dipilih di sini adalah orang partainya, bukan pribadinya. Pada pemilu
2014 ada yang ngasi saya uang sebesar 100.000 dengan syarat memilih
salah satu calon, saya jawab iya, tetapi saat pemilihan saya tetap
memilih calon partai saya. Kenapa mau menerima uang karena memang
butuh uang, siapa yang tidak butuh uang”. (Wawancara tanggal 29 Juli
2015).
Faktor penyebab money politics berdasarkan hasil wawancara adalah
karena adanya keinginan untuk menang dalam pemilu, dan juga desakan dan janji
dari orang yang mengaku memiliki massa. Hubungan antara money politics dengan
partisipasi masyarakat untuk memilih bukan menjadi faktor utama namun yang
menjadi faktor partisipasi pemilih adanya kesepakatan kelompok untuk menghindari
konflik dan terciptanya rasa aman dan nyaman di masyarakat.
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian
Sub pembahasan hasil penelitian berdasarkan temuan yang
terdeskripsikan dalam sub 5.1 peneliti akan sandingkan dengan teori motivasi dan
teori partisipasi seperti berikut ini.
4.3.1 Proses terjadinya Money Politics di Kabupaten Gianyar
Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa informan seperti TW, ST,
GE, GM, dan yang lainnya. Bahwa memang terjadi money politics dengan cara
memberikan bantuan kepada masyarakat melalui kelompok masyarakat seperti
banjar, sekaa teruna, pura yang dilakukan langsung oleh calon yang dikemas dalam
acara dharma suaka. Pemberian bantuan atau sumbangan berupa uang tujuannya agar
calon mendapat simpati dukungan dan dipilih oleh anggota masyarakat ketika
36
pemungutan suara. Dalam proses ini, tergambar strategi perilaku calon adalah
melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat. Karena di daerah Gianyar dari
aspek historis ketokohan seseorang masih sangat kental terjadi di masyarakat.
Sehingga orang yang ditokohkan sangat berpengaruh di mata warga masyarakat.
Cara lain dalam proses money politics adalah pemberian amplop yang di
dalamnya berisi uang dibagikan oleh tim sukses. Pemberian tersebut dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Ada yang mengedarkan sebelum pemungutan suara dan bahkan
ada tim sukses mengedarkan dini hari pemungutan suara yang disebut dengan
serangan fajar.
Kedua cara tersebut di atas, apabila disandingkan dengan pendapat
Teddy Lesmana (2011) politik uang atau yang sering diistilahkan dengan money
politics adalah “uang yang ditujukan dengan maksud-maksud tertentu seperti
contohnya untuk melindungi kepentingan bisnis dan kepentingan politik tertentu.
Politik uang bisa juga terjadi ketika seorang kandidat membeli dukungan parpol
tertentu atau membeli suara dari pemilih untuk memilihnya dengan iming-iming
imbalan yang bersifat finansial”. Pendapat Teddy Lesmana sesuai dengan hasil
penelitian berdasarkan hasil wawancara dari beberapa informan, dimana pemberian
sumbangan kepada kelompok masyarakat dan juga pemberian amplop untuk tujuan
mendapatkan imbalan suara ketika pemilihan umum di sebut money politics.
Pendapat Teddy Lesmana juga dibenarkan oleh Undang-Undang No 8
Tahun 2012 pasal 86 point j bahwa tidak dibenarkan menjanjikan atau memberikan
uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu. Walaupun bunyi pasal
37
tersebut masih bersifat abu-abu yaitu larangan janji tersebut kepada hanya peserta
kampanye bukan secara door to door ke pemilih dan ke organisasi. Seharusnya,
apabila menginginkan pemilu yang bersih bebas money politics, peraturan harus tegas
mengatur secara detail pelarangan bagi peserta pemilu baik persorangan maupun
partai menjanjikan memberikan uang atau materi baik yang dikemas dalam bentuk
sumbangan selama tahapan pemilu.
Apabila dilihat dari perspektif teori berdasarkan apa yang terjadi di
sejumlah wilayah Kabupaten Gianyar dapat dikatakan bahwa di Kabupaten Gianyar
dalam pemilu tahun 2014 memang terjadi money politics.
4.3.2 Faktor Penyebab terjadinya Money Politics dan kaitannya terhadap
partisipasi pemilih di Kabupaten Gianyar
Faktor penyebab money politics berdasarkan hasil wawancara adalah
karena adanya keinginan untuk menang dalam pemilu, dan juga desakan dan janji
dari orang yang mengaku memiliki massa. Hubungan antara money politics dengan
partisipasi masyarakat untuk memilih bukan menjadi faktor utama namun yang
menjadi faktor partisipasi pemilih adanya kesepakatan kelompok untuk menghindari
konflik dan terciptanya rasa aman dan nyaman di masyarakat.
Hasil wawancara dari sejumlah informan menyatakan sebagai penyebab
money politics adalah keinginan untuk menjadi anggota DPRD baik tingkat Provinsi
Bali maupun Kabupaten Gianyar. Apalagi ada sejumlah orang yang memiliki
maksud tertentu demi keuntungan dirinya, memanfaatkan kesempatan mengais rejeki
38
dengan menawarkan jasa sanggup mendulang suara dikarenakan memiliki banyak
teman dan keluarga. Ternyata memang benar rumor ada calo suara sebagai salah satu
aktor penyebab terjadinya money politics. Karena adanya keinginan akan menduduki
jabatan yang penting, sehingga menjadi kebanggaan bagi diri dan keluarganya adalah
merupakan penghargaan yang sangat diinginkan.
Faktor rasa bangga karena memperoleh penghargaan sebagai anggota
DPRD merupakan motivasi dari diri para calon. Motivasi berdasarkan teori hierarkhi
kebutuhan dari Maslow adalah “kebutuhan akan penghargaan dengan unsur-unsur
pendukungnya adalah penghargaan, status, pengakuan dan dihormati. Serta unsur-
unsur dari organisasi berupa bonus, piagam penghargaan, jabatan, tanggungjawab dan
pekerjaan itu sendiri”. (Maslow dalam Gitosudarmo, 2000: 33).
Selain faktor motivasi karena kebutuhan akan penghargaan juga karena
kebutuhan akan aktualisasi diri. Di mana menurut Maslow, “unsur-unsur umum yang
mendorongnya adalah perkembangan, prestasi dan kemajuan. Sedangkan unsur-unsur
organisasi yang mendorong adalah prestasi dalam pekerjaan, kesempatan untuk
berkreasi, tantangan tugas dan kemajuan dalam organisasi”. (Maslow dalam
Gitosudarmo, 2000: 33).
Perilaku money politics terjadi karena faktor motivasi dari kebutuhan
akan penghargaan dan aktualisasi diri. Sedangkan motivasi dari tim sukses yang
memberikan janji kepada para calon akan sanggup memperoleh suara sesuai yang
diinginkan, apabila dikaitkan dengan teori hierkhi kebutuhan dari Maslow adalah
“kebutuhan Fisiologis dengan unsur-unsur umum yang mendorong adalah kebutuhan
39
akan makanan, minuman, perumahan dan sex. Unsur organisasi yang mendorong
adalah gaji, kondisi kerja yang menyenangkan dan kafetaria”. (Maslow dalam
Gitosudarmo, 2000: 33). Mengapa kebutuhan fisiologis yang memotivasi para tim
sukses. Di lihat dari identitas para informan yang menjadi tim sukses rata-rata tidak
memiliki pekerjaan yang tetap, pendidikan yang kurang. Dengan demikian untuk
memperoleh penghasilan dan memiliki peluang dan kesempatan sehingga menjadi
tim sukses untuk memperoleh penghasilan.
Hasil wawancara menyimpulkan tentang hubungan money politics
terhadap partisipasi masyarakat adalah tidak berhubungan signifikan, dapat dikatakan
berhubungan secara parsial. Karena hasil wawancara dengan informan sebagai
pemilih menyatakan walaupun tidak ada sumbangan atau money politics, masyarakat
sebagai pemilih akan tetap memberikan pilihan dalam pemilu. Namun karena adanya
kesepakatan secara berkelompok dalam hal ini adalah banjar, maka pemilih
memberikan pilihan sesuai dengan yang disepakati hal ini demi menjaga keamanan,
kenyamanan dan kedamaian. Hal ini apabila dikaitkan dengan teori Motivasi Maslow,
bahwa motivasi pemilih berpartisipasi dalam pemilu karena “kebutuhan akan rasa
aman dengan unsur-unsur pendukungnya adalah keamanan, stabilitas, perlindungan
dan jaminan. Dan kebutuhan soisal dengan unsur pendukungnya persahabatan, kasih
sayang dan rasa saling memiliki”. (Maslow dalam Gitosudarmo, 2000: 33).
Kebutuhan akan rasa aman, stabilitas dan perlindungan lebih
diutamakan oleh masyarakat pemilih karena adanya ketakutan akan kasepekang
(dikucilkan), digunjingkan. Apabila terjadi hal seperti itu maka akan timbul rasa tidak
40
nyaman dengan kehidupannya sepanjang hari. Demikian pula halnya dengan
kebutuhan sosial, karena adanya rasa persahabatan yang sangat kental, rasa saling
memiliki di internal banjar.
41
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Simpulan yang dapat disampaikan dari hasil penelitian terdeskripsikan
seperti berikut.
5.1.1 Dugaan adanya money politics berdasarkan pernyataan informan dapat
disimpulkan memang benar ada. Dengan proses dilakukan secara
langsung oleh calon dan dilakukan oleh perpanjangan tangan calon yaitu
melalui tim sukses serta melalui calo suara.
5.1.2 Faktor penyebab terjadinya money politics adalah 1) adanya motivasi
akan kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri dari para calon, 2)
adanya motivasi akan kebutuhan fisiologis dari para tim sukses dan para
calo suara.
5.1.3 Adanya partisipasi pemilih dalam pemilu tahun 2014 bukan didasarkan
atas money politics akan tetapi karena adanya motivasi akan kebutuhan
rasa aman dan kebutuhan sosial dari masyarakat pemilih sehingga
partisipasi pemilih menjadi tersumbat bukan dari keinginan hati nurani
dalam memilih calon kandidat.
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan hasil penelitian di atas, maka saran dapat
disampaikan seperti berikut ini.
42
5.2.1 Untuk meminimalisir terjadinya money politics, disarankan untuk
mereformasi peraturan tentang pemberian dan menerima sumbangan,
janji-janji dalam bentuk apapun kepada masyarakat dalam kaitannya
memperoleh dukungan suara selama tahapan pemilu. Semua stakeholders
pemilu legislatif konsisten mematuhi peraturan yang ditetapkan serta
menindak dengan tegas pelanggar peraturan.
5.2.2 Kepada para calon peserta pemilu agar mengendalikan diri dalam
memperoleh dukungan masyarakat tidak dengan membagikan uang.
Jangan memberikan harapan dan mempercayai orang yang memberikan
janji akan memberikan kemenangan dan memperoleh suara yang
diinginkan.
5.2.3 Kepada masyarakat agar diberikan pendidikan politik secara intens, seperti
memberikan pemahaman akan hak dalam memberikan suara, dampak dan
implikasi terhadap partisipasi dalam pemilu serta dampak dan implikasi
terjadinya money politics.
5.3 Rekomendasi Kebijakan
Hasil penelitian ini dapat merekomendasikan agar mereformasi
peraturan tentang pemberian dan menerima sumbangan, janji-janji dalam bentuk
apapun seperti barang ataupun uang kepada masyarakat dalam kaitannya memperoleh
dukungan suara selama tahapan pemilu. Khusus dalam Undang-Undang No 8 Tahun
43
2012 pasal 86 point j. pelarangan tidak saja mengatur pelarangan dalam tahapan
kampanye tetapi selama mulainya tahapan pemilu.
5.4 Keterbatasan penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan seperti keterbatasan waktu, biaya
sehingga masih ada faktor atau unsur lain yang bisa di kaji dari penelitian sejenis ini.
Dengan demikian diharapkan kepada peneliti yang lain untuk dapat melakukan
penelitian dari aspek yang belum sempat dikaji dalam penelitian ini. Sehingga
menghasilkan penelitian di bidang kepemiluan yang lebih bervariasi demi perbaikan
demokrasi melalui pemilu.
40
DAFTAR PUSTAKA
Ali Faried, 2011. Teori dan Konsep Administrasi dari Pemiliran Paradigmatik
Menuju Redefinisi.PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ali, Danny Januar, 2006. Politik Yang Mencari Bentuk: Kolom di Majalah Gatra,:
LKiS, Yogyakarta.
Bungin, Burhan. 2012. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekoomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial lainnya, Edisi ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup.
Gitosudarmo Indriyo, 2000. Perilaku Keorganisasian. Fakultas Ekonomi UGM,
Yogyakarta.
Kumorotomo Wahyudi, 2002. Etika Administrasi Negara. PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Kumorotomo Wahyudi, “Intervensi Parpol, Politik Uang Dan Korupsi: Tantangan
Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”, Makalah, disajikan dalam
Konferensi Administrasi Negara, Surabaya, 15 Mei
2009http://r.search.yahoo.com/_ylt.
Fitriyah,http://www.academia.edu/5254598/FENOMENA_POLITIK_UANG_DALA
M_PILKADA
Lesmana,Teddy, “Politik Uang Dalam Pilkada”(elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index
.php/searchkatalog/.../9009.pdf , diunduh tgl. 2 Desember 2011).
Lingkaran Survey Indonesia dalam artikelnya di Kajian Bulanan Edisi 09-Januari
2008 dan Edisi 10 -Februari 2008 ( dapatdiunduh di www.lsi.or.id ).
Sugiyono, 2009.Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta, Bandung.
Strauss and Corbin, 2009.Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
41
Taufiqurrahman, Rasionale Pilihan Pemilih Pada Pemilu Kepala Daerah Kabupaten
Sijunjung Tahun 2010” (pasca.unand.ac.id/id/wp-
content/uploads/2011/09/Artikel-tesis.pdf, diunduh tgl. 1 Desember 2011).
Gatra, 19 Pebruari 2009
Kompas tanggal 2 April 2005
Kompas, 16 Maret 2009
Top Related