i
LAPORAN AKHIR
Program Kemitraan Masyarakat (PKM) Pengrajin Pajeng Tradisional
Desa Paksebali Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung
Oleh
Dr. A.A. Istri Agung Rai Sudiatmika, M.Pd., NIDN 0022066006 Ketua Tim Pengusul
Prof. Dr. I Wayan Sadia, M.Pd., NIDN 0005084901 Anggota Tim Pengusul
Dr. Ketut Sopir, M.Hum., NIDN 0031126320 Anggota Tim Pengusul
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
Oktober 2017
ii
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul : Ipteks Bagi Masyarakat (IbM) Pengrajin Pajeng Tradisional Desa
Paksebali Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung
2. Nama Mitra Program IbM (1):
Nama Mitra Program IbM (2):
3. Ketua Tim
a. Nama Lengkap : Dr. A.A. Istri Agung Rai Sudiatmika, M.Pd.
b. NIDN : 0022066006
c. Jabatan/Golongan : Lektor Kepala/ Gol. Iva
d. Program Studi : Pendidikan Fisika
e. Perguruan Tinggi : Universitas Pendidikan Ganesha
f. Bidang Keahlian : Kependikan
g. Alamat Kantor/ : Jl. Udayana Singaraja
Telp/Fax :
4. Anggota Tim Pengusul
a. Jumlah anggota : Dosen 2 orang
b. Nama Anggota1/Bidang Keahlian : Prof. Dr. I Wayan Sadia, M.Pd./ Kependidikan
c. Nama Anggota 2/Bidang Keahlian: Dr. Ketut Sopir, M.Hum./Senirupa-Desain
d. Mahasiswa yang terlibat: 3 orang
5. Lokasi Kegiatan/Mitra (1)
a. Wilayah Mitra (Desa/Kecamatan): desa Paksebali/Kecamatan Dawan
b. Kabupaten : Klungkung
c. Propinsi : Bali
d. Jarak PT ke Lokasi Mitra: 108 km
6. Lokasi Kegiatan Mitra (2)
a. Wilayah Mitra (Desa/Kecamatan): desa Paksebali/Kecamatan Dawan
b. Kabupaten : Klungkung
c. Propinsi : Bali
d. Jarak PT ke Lokasi Mitra: 108 km
7. Luaran yang dihasilkan: a. Peningkatan kuantitas dan kualitas produk Pajeng Tradisonal
b. Peningkatan keterampilan mitra
c. Peningkatan omzet penjualan
d. Keterampilan mitra dalam pemasaran produk secara on-line
8. Jangka waktu Pelaksanaan: 1 (satu) tahun
9. Biaya Total : Rp. 45.000.000 (empat puluh lima juta rupiah)
-DRPM : Rp. 45.000.000
-Sumber lain : -
iii
IDENTITAS DAN URAIAN UMUM
1. Judul Pengabdian kepada : Iptek bagi Masyarakat (IbM)Pengrajin Pajeng Tradisional
Masyarakat Desa Paksebali Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung
2. Tim Pelaksana
No Nama Jabatan Bidang Keahlian Instansi
Asal
Alokasi Waktu
(jam/minggu)
1 Dr.A.A.Istri Agung Rai
Sudiatmika, M.Pd.
Ketua Fisika/Listrik Undiksha 12
2 Prof. Dr. I Wayan
Sadia,M.Pd.
Anggota Fisika/Elektronika Undiksha 8
3 Dr. Ketut Sopir,M.Hum Anggota Seni Rupa/Desain Undiksha 8
3. Objek (khalayak sasaran) Pengabdian kepada Masyarakat: Pengusaha mikro kerajinan
Pajeng Tradisional
4. Masa Pelaksanaan
Mulai : April 2017
Berakhir : Nopember 2017
5. Usulan Biaya DRPM Ditjen Penguatan Risbang
Tahun ke-1 : Rp. 45.000.000
6. Lokasi Pengabdian kepada Masyarakat: Desa Paksebali Kecamatan Dawan-Klungkung
7. Mitra yang terlibat
1) Usaha mikro kerajinan Pajeng Tradisional “Tedung Agung” dengan ketua A.A.Gede
Alit Aridana.
2) Usaha mikro kerajinan Pajeng Tradisional “ Tedung Sari” dengan ketua A.A. Gede
Ngurah Upadana.
Masing-masing kelompok pengrajin berkontribusi dalam (1) penyediaan tempat
kegiatan IbM, (2) penyiapan bahan baku, (3) mengkoordinasi anggota kelompok, (4)
dan berkoordinasi dengan aparat desa (kepala dusun dan kepala desa)
8. Permasalahan yang ditemukan dan solusi yang ditawarkan
iv
1) Peralatan produksi masih tradisional, solusinya adalah bantuan peralatan teknologi
produksi (gergaji listrik, bor listrik, peralatan elektronik, dsb) dan diberi pelatihan
pengunaan dan pemeliharaan peralatan teknologi produksi.
2) Desainnya masih dikerjakan secara tradisional, belum menggunakan komputer untuk
mengembangkan desainnya. Solusinya adalah memberi bantuan berupa pelatihan dan
pendampingan dengan bantuan instruktur untuk mengembangkan desain motif secara
komputerisasi.
3) Permasalahan managemen usaha yang masih dikelola berdasarkan managemen
keluarga. Keuangan keluarga dan keuangan usaha bercampur sehingga tidak jelas.
Mereka belum memiliki pembukuan dan cash flow dari usaha mereka. Solusi yang
ditawarkan adalah melakukan pelatihan dan pendampingan tentang pengelolaan usaha
berdasarkan managemen bisnis dan tata kelola keuangan modern.
4) Pemasaran dilakukan secara tradisioal, produknya dipajang di tempat produksinya
(off line). Solusi yang ditawarkan adalah mengembangkan pemasaran produk secara
on-line berbasis web, melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan oleh instruktur
yang kompeten.
9. Kontribusi mendasar pada khalayak sasaran
Kontribusi dari kegiatan IbM ini adalah 1) terjadinya peningkatan kuantitas dan kualitas
produksi, 2) terjadinya peningkatan jumlah varians motif dan jenis pajeng tradisional, 3)
dimilikinya pengetahuan dan keterampilan mengelola usaha berdasarkan managemen
bisnis modern, dan 4) khalayak sasaran mampu memasarkan produknya baik secara off-
line maupun secara on-line. Keempat manfaat tersebut akan berujung pada peningkatan
omzet penjualan dan terjadi peningkatan kesejahteraan pengrajin.
10. Rencana luaran yang ditargetkan: 1) draft publikasi ilmiah di jurnal, 2) draft publikasi
media cetak, 3) peningkatan kuantitas dan kualitas produk, 4) pemahaman dan
keterampilan managemen usaha, 5) peningkatan kesejahteraan pengrajin.
v
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Pengesahan ii
Identitas dan Uraian Umum iii
Daftar Isi v
Ringkasan vi
BAB I Pendahuluan 1
1.1 Analisis Situasi 1
1.2 Permasalahan Mitra 5
BAB II Target dan Luaran 7
BAB III Metode Pelaksanaan 9
BAB IV Kelayakan Perguruan Tinggi 12
BAB V Hasil dan Luaran yang Dicapai 15
BAB VI Kesimpulan dan Saran 23
Daftar Pustaka 25
Lampiran
vi
RINGKASAN
Desa Paksebali merupakan desa pengrajin Pajeng (payung) tradisional yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat umat Hindu di Bali maupun yang berada di luar Bali dalam
jumlah yang sangat banyak. Pajeng selalu menghiasi setiap upacara keagamaan terutama
pada acara piodalan di pura. Ukuran, tipe dan warna pajeng berkaitan dengan fungsinya dan
makna masing-masing. Desa Paksebali merupakan sentra kerajinan pajeng di kabupaten
Klungkung yang letaknya di sebelah timur ibu kota kabupaten Klungkung yang jaraknya dari
Singaraja (Undiksha) sekitar 108 km. Permasalah mendasar yang dihadapi oleh para
pengrajin pajeng tradisional di desa Paksebali adalah 1) peralatan produksinya masih
tradisional dan belum mengalami sentuhan teknologi, 2) desain pajeng belum dikembangkan
melalui teknologi computer, proses menggambar desain motif produknya masih tradisional,
3) managemen usahanya masih dikelola berdasarkan managemen keluarga, keuangan
keluarga dan keuangan usaha bercampur sehingga tidak jelas, dan 4) pemasaran produknya
dilakukan secara tradisioal, produknya dipajang di tempat produksinya (off line). Untuk
memecahakan permasalahan yang dihadapi para pengrajin pajeng, program IbM ini
menawarkan solusi-solusi yaitu: 1) pemberian bantuan dan pelatihan peralatan teknologi
produksi, 2) pelatihan dan pendampingan pengembangan desain produk berbasis
komputerisasi, 3) pelatihan dan pendampingan tentang managemen bisnis baik yang
berkaitan dengan masalah managemen keuangan maupun masalah managemen organisasi,
dan 4) pelatihan pemasaran produksecara on-line berbasis web. Melalui solusi-solusi yang
ditawarkan diharapkan terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas produksi, bertambahnya
variasi tipe dan motif pajeng, bertambahnya pengetahuan dan keterampilan pengrajin dalam
bidang managemen usaha, dan pengrajin memiliki kemampuan dan keterampilan pemasaran
secara on-line. Kegiatan IbM yang dilakukan ini diharapkan memberikan dampak positif bagi
peningkatan kesejahteraan para pengusaha dan pekerja kerajinan pajeng tradisional.
Kata kunci: Iptek, kerajinan, pajeng tradisional
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Analisis Situasi
Desa Paksebali merupakan desa pengrajin Pajeng (payung) tradisional yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat umat Hindu di Bali maupun yang berada di luar Bali dalam
jumlah yang sangat banyak. Pajeng selalu menghiasi setiap upacara keagamaan terutama
pada acara piodalan di pura. Ukuran, tipe dan warna pajeng berkaitan dengan fungsinya dan
makna masing-masing. Desa Paksebali merupakan sentra kerajinan pajeng di kabupaten
Klungkung yang letaknya di sebelah timur ibu kota kabupaten Klungkung dengan jarak dari
pusat kota kabupaten Klungkung sekitar tiga kilometer. Jika dihitung jaraknya dari
Universitas Pendidikan Gamesha jaraknya sekitar 108 km.
Berdasarkan data statistik Desa Paksebali, desa Paksebali memiliki luas wilayah sekitar 26,8
km2 dengan jumlah penduduk 5541 orang (2475 laki-laki dan 2796 perempuan) dengan
jumlah KK sebanyak 1347. Mata pencaharaian penduduk desa Paksebali adalah pengrajin
pajeng tradisional (payung), pertanian lahan kering, pedagang, pegawai negeri sipil, dan
sebagainya. Di desa Paksebali terdapat kelompok-kelompok pengrajin pajeng (payung)
tradisional yang proses pembelajarannya berlangsung secara turun temurun berbasis kearifan
lokal. Pajeng yang diproduksi terfokus pada kebutuhan pajeng di pura maupun terhadap
berbagai kegiatan keagamaan, yang sesungguhnya jumlah kebutuhan akan pajeng di Bali
sangat banyak. Proses produksinya belum banyak tersentuh oleh teknologi dan masih
menggunakan peralatan-peralatan tradisional. Demikian juga pemasarannya hanya dilakukan
secara konvensional (off line) yakni dipajang disekitar tempat produksinya, dan pembeli pada
umunya datang dan memesannya secara langsung.
Penghasilan pengrajin pajeng tradisional (pekerja) sekitar Rp. 1.800.000 – 2.700.000 per
bulan yang boleh dikatakan masih jauh dari kebutuhan hidup mereka. Sedangkan penghasilan
2
pengusaha mikro kerajinan pajeng tradisional, yang dalam kegiatan IbM ini berperan sebagai
ketua kelompok pengrajin berpenghasilan sekitar Rp. 6.000.000. per bulan. Harga setiap
pajeng sangat bervariasi sesuai dengan ukuran, jenis bahan, dan kualitas produksi, mulai dari
harga Rp. 75.000 sampai Rp. 450.000. Kerajinan pajeng tradisional merupakan pekerjaan
andalan masyarakat desa Paksebali. Setiap pekerja (pengrajin) pajeng pada umumnya
ngerjakan masing-masing bagian dari pajeng. Ada yang mengerjakan rangka pajeng yang
terbuat dari bambu, ada yang mengerjakan tangkai pajeng yang terbuat dari kayu, ada yang
megerjakan bagian gonjer pajeng, ada yang melalukan pengecatan tangkai pajeng, ada
yang mengerjakan bagian kain pajeng (yang pada umumnya terbuat dari kain satin, kain
tetoron, kain bludru, dan sebaginya), ada yang mengerjakan desain motif, dan pekerja
(pengrajin) yang merangkai keseluruhan bagian dari pajeng menjadi pajeng yang siap
untuk dipasarkan. Berikut ini disajikan bagian-bagian dari pajeng dan pajeng yang sudah
dirangkai menjadi pajeng yang siap dipasarkan.
1
2
3
4
3
1. Bagian rangka pajeng 2. Bagian tangkai pajeng 3. Bagian gonjer pajeng
4. Bagian kain pajeng dengan berbagai desain motif
Tangkai pajeng
yang sudah di
finishing (sudah di
cat).
4
Ruang kerja
pengecatan
RUANG KERJA
PRODUKSI:
1. Desain motif
2. Finishing
prada
3. Pengecatan
4. Merangkai
pajeng
5
Di desa Paksebali terdapat sejumlah kelompok pengrajin pajeng tradisonal yang memproduksi
pajeng dengan berbagai tipe, jenis, motif serta ukuran yang berbeda. Dari seluruh kelompok
pengrajin pajeng tradisional, akan dilibatkan dua kelompok pengrajin sebagai mitra dalam
kegiatan program IbM, yang dipandang mengalami permasalahan yang cukup serius dan perlu
dibantu secara teknologi, baik yang berkenaan dengan peralatan teknis, desain, managemen dan
pemasaraannya, sehingga kelompok tersebut tetap eksis dan berkembang dengan baik. Kedua
kelompok tersebut adalah kelompok “Tedung Agung” dengan jumlah anggota 8 orang dan
ketuanya adalah A.A. Gede Alit Aridana, dan kelompok “Tedung Sari” dengan jumlah anggota 7
orang dan ketuanya adalah A.A. Gede Ngurah Upadana.
Kedua kelompok pengrajin pajeng tradisional yang akan digunakan sebagai mitra IbM ini,
kuantitas produksinya masih terbatas dan belum dapat memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini
disebabkan oleh karena keterbatasan peralatan produksinya dan belum menggunakan peralatan
teknologi yang lebih canggih seperti alat-alat pemotong elektrik, gergaji elektrik, bor listrik, dan
sebagainya. Demikian juga kualitas produksinya masih banyak perlu ditingkatkan, serta disain
motifnya masih kurang bervariasi. Dari aspek manajemen usaha, kedua kelompok mitra masih
menggunakan pola manajemen keluarga, pola pengelolaan keuangannya masih campur aduk
antara keuangan usaha dan keuangan keluarga, dan belum memiliki pembukuan keuangan yang
standar (cash-flow), pembukuannya rancu dan tidak jelas. Manajemen pemasarannya dilakukan
hanya dengan memajang produk di tempat kegiatan (of-line), dan jika ada pemesanan atau order,
pemesan harus datang ketempat usahanya. Bahkan sering terjadi pedagang atau pengepul yang
berkoordinasi dengan pemesan dan pedagang bersangkutan lalu melakukan pemesanan atau
order kepada pengrajin. Dengan demikian harga lebih banyak ditentukan oleh pedagang atau
pengepul.
1.2 Permasalahan Mitra
Berdasarkan analisis situasi dan kesepakatan antara tim pengusul IbM dan kelompok
pengrajin pajeng tradisional, maka permasalahan yang akan dicarikan solusinya adalah sebagai
berikut.
6
Pertama, permasalahan peralatan. Peralatan yang mereka gunakan masih tradisional dan belum
menggunakan teknologi. Mereka belum menggunakan peralatan elektrik yang dapat membantu
mereka bekerja lebih cepat dan lebih akurat. Demikian pula proses pengecatannya masih
tradisional. Dengan peralatan tradisional tersebut, jika ada order yang banyak mereka sangat sulit
untuk memenuhinya. Permasalah ini akan ditangani dengan member pelatihan dan bantuan
peralatan elektrik sesuai dengan kebutuhannya
Kedua, desainnya masih dikerjakan secara tradisional, belum menggunakan komputer untuk
mengembangkan desainnya. Kondisi tersebut menyebabkan perancangan sebuah desain atau
motif pajeng memerlukan waktu yang cukup lama. Permasalahan ini akan dibantu melalui
kegiatan IbM ini dengan bantuan instruktur untuk mengembangkan desain motif secara
komputerisasi, sehingga lebih sesuai dengan permintaan konsumen dan pilihan konsumen
menjadi lebih variatif.
Ketiga, permasalahan managemen yang masih dikelola berdasarkan managemen keluarga.
Keuangan keluarga dan keuangan usaha bercampur sehingga tidak jelas apakah usahanya
mengalami kemajuan secara financial atau tidak. Mereka belum memiliki pembukuan dan cash
flow dari usaha mereka. Kondisi ini perlu dikembangkan pengelolaannya berdasarkan
managemen bisnis, berdasarkan tatakelola keuangan modern.
Keempat, permasalahan pemasaran. Pemasaran dilakukan secara tradisioal, produknya dipajang
di tempat produksinya (off line). Kondisi demikian menyebabkan omzet penjualannya relatif
kecil karena produknya belum banyak dikenal oleh para konsumen. Pemasarannya akan dibantu
melalui pemasaran on-line, sehingga jangkauan pemasarannya menjadi lebih luas dan produk-
produknya mudah dikenal masyarakat luas., dan pemesanannya bisa dilakukan secara on-line.
7
BAB II
TARGET DAN LUARAN
Berdasarkan analisis situasi dan permasalahan pokok yang dihadapi mitra, maka solusi
yang ditawarkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi mitra adalah sebagai berikut.
Pertama, permasalahan peralatan produksi yang masih tradisional dan belum
menggunakan teknologi yang berdampak pada relatif rendahnya kuantitas dan kualitas produksi
sehingga kurang mampu memenuhi pesanan konsumen baik dari aspek kuantitas maupun
kualitasnya. Permasalahan ini akan dicari solusinya dengan jalan memberikan bantuan peralatan
dan teknologi serta memberi pelatihan penggunaan peralatan dan teknologi. Pemberian bantuan
peralatan dan pelatihan penggunaan peralatan dan teknologi tersebut diharapkan kuantitas
produksinya bisa meningkat secara signifikan. Demikian pula kualitas produksinya meningkat
sehingga konsumennya akan merasa lebih puas. Target luaran dari solusi yang ditawarkan ini
adalah terjadinya peningkatan kuantitas dan kualitas produk.
Kedua, permasalahan yang berkaitan dengan desain produk yang selama ini proses
perancangan dan desainnya masih menggunakan pola tradisional sehingga motif-motif pajeng
yang dihasilkan bersifat monoton dan kurang variatif. Permasalahan ini akan dicari solusinya
dengan jalan memberikan pelatihan desain produk oleh instruktur yang kompeten pada bidang
tersebut. Pengembangan disainnya akan dilakukan secara komputerisasi, sehingga berbagai pola
dan motif dapat dihasilkan lebih cepat dan lebih detail serta akurat. Hal ini akan menambah
pilihan-pilihan konsumen pajeng. Target luaran dari solusi ini adalah terjadinya peningkatan
variasi desain dan motif pajeng yang dihasilkan.
Ketiga, managemen keuangan maupun organisasi pengrajin pajeng tradisional di desa
Paksebali-Klungkung masih dikelola secara tradisional berbasis managemen keluarga. Keuangan
usaha dan keuangan keluarga masih menyatu dan tidak ada pembukuan keuangan secara jelas.
Solusi yang ditawarkan untuk permasalahan tersebut adalah memberikan pelatihan tentang
pengelolaan keuangan usaha berbasis managemen modern, sehingga mereka dapat mengelola
keuangan usaha dengan baik dan tidak lagi bercampur dengan keuangan keluarga. Mereka akan
memiliki aliran keuangan (cash-flow) secara detail dan akurat, sehingga mereka dapat
8
mengetahui kemajuan usahanya. Di samping itu, dengan dimilikinya pembukuan keuangan dan
cash-flow yang jelas, pengrajin pajeng ini akan dapat mengajukan kredit ke suatu bank guna
meningkatkan modal dan memperlancar usahanya. Target luaran utama dari solusi ini adalah
terjadinya peningkatan pemahaman dan keterampilan tata kelola keuangan dan organisasi usaha.
Keempat, masalah pemasaran produk yang dialami oleh kedua kelompok mitra
ditawarkan solusi melalui pengembangan pemasaran secara on-line. Selama ini pemasaran
produknya dilakukan melalui pemajangan produk di tempat usahanya (of-line), sehingga omzet
penjualannya masih terbatas. Melalui pemasaran on-line, maka detail produknya, variasi
motifnya, dan harga untuk setiap tipe atau jenis produknya dapat diakses oleh konsumen.
Pemasaran produk secara on-line dan pemasaran secara of-line juga masih tetap dilakukan,
sehingga omzet penjualannya akan meningkat. Target luaran dari solusi yang ditawarkan ini
adalah terjadinya peningkatan omzet penjualan sehingga berdampak pada meningkatnya
kesejahteraan pengrajin pajeng tradisional. Rencana target capaian luaran dari kegiatan IbM yang
diajukan ini, disajikan pada tabel beikut.
Tabel 01. Rencana Target Capaian Luaran
No. Jenis Luaran Indikator Capaian
1 Publikasi ilmiah di jurnal/prosiding draft
2 Publikasi pada media masa (cetak/elektronik) draft
3 Peningkatan omzet pada mitra ada
4 Peningkatan kuantitas dan kualitas produk ada
5 Peningkatan pemahaman dan keterampilan ada
6 Peningkatan ketenteraman/kesehatan masyarakat
(mitra masyarakat umum)
ada
7 Jasa, model, rekayasa sosial, sistem, produk/ barang ada
8 Hak kekayaan intelektual (paten, paten sederhana,
hak cipta, merek dagang, rahasia dagang, desain
produk industri, perlindungan varietas tanaman,
perlindungan topografi
Tidak ada
9 Buku ajar Tidak ada
9
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1 Metode Pelaksanaan Program IbM
1) Dalam upaya mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi mitra, merumuskan
masalah, dan dalam menetapkan solusi terhadap permasalahan, digunakan pendekatan
partisipatory rural appraisal yaitu dengan melibatkan mitra pada setiap prosesnya.
Penggunaan pendekatan partisipatory rural appraisal diharapkan akan: (1)
teridentifikasinya masalah mitra secara tepat sesuai dengan pesepsi, kehendak, dan
kebutuhan mereka, (2) tumbuhnya kekuatan (enpowering) masyarakat mitra sasaran
dalam merancang, melaksanakan, mengelola usaha mitra sebagai upaya peningkatan
pertumbuhan diri dan ekonominya, dan (3) terjadinya peningkatan efektifitas dan
efisiensi penggunaan sumber daya mitra atau kelompok masyarakat.
2) Model enthrepreneurship capasity building (ECB). Model ECB terkait erat dengan
kemampuan berwirausaha dari mitra. Dengan model ini diharapkan: (1) memberikan
wawasan, sikap, dan keterampilan usaha, (2) memfasilitasi pengembangan modal, dan
(3) memonitor dan mengevaluasi perkembangan usahanya, baik yang berkaitan dengan
produktivitasnya, omzet penjualan, perkembangan modal, maupun kesejahteraan
masdyarakat pengrajin pajeng tradisional. .
3) Dalam upaya meningkatkan omzet penjualan produk, maka digunakan model Technology
Transfer (TT). Model technology transfer dilakukan agar mitra atau kelompok
masyarakat pengrajin pajeng tradisional menguasai prinsip-prinsip penerapan teknologi
terutama yang berkaitan dengan program pemasaran on-line dan juga yang berkaitan
penggunaan berbagai teknologi produksi.
3.2 Rencana dan Pelaksanaan Program IbM
Rencana dan pelaksanaan Program IbM terdiri atas empat tahapan yaitu a) tahap persiapan,
b) tahap pelaksanaan, c) tahap pemantauan, dan d) tahap evaluasi.
10
1) Tahap persiapan
Tahap persiapan meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
(1) Sosialisasi program IbM kepada mitra.
(2) Penyusunan indikator capaian dan instrumen program IbM.
(3) Penetapan tim pelaksana program IbM sesuai dengan keahliannya.
(4) Kordinasi dengan fihak terkait( mitra pengrajin pajeng, kepala desa, LPM Undiksha)
2) Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
(1) Simulasi, pelatihan, dan pendampingan penggunaan berbagai peralatan teknologi
produksi (gergaji listrik, bor listrik, penghalus elektrik, pengecatan, dsb).
(2) Pelatihan dan pendampingan pengembangan desain dan motif pajeng tradisional
secara komputerisasi sesuai dengan kebutuhan pasar atau konsumen.
(3) Simulasi, pelatihan, dan pendampingan managemen keuangan usaha. Pembuatan
pembukuan keuangan berdasarkan tata kelola bisnis modern, serta pelatihan
organisasi usaha mikro.
(4) Simulasi, pelatihan dan pendampingan managemen pemasaran berbasis pemasaran
on-line.
Semua anggota kelompok pengrajin pajeng tradisional terlibat penuh dalam seluruh
kegiatan dan dikoordinasi oleh ketua kelompok. Tempat pelaksanaan kegiatan IbM
disiapkan oleh kelompok mitra.
3) Pemantauan
1) Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan simulasi, pelatihan, dan pendampingan
penggunaan berbagai peralatan teknologi produksi (gergaji listrik, bor listrik,
penghalus elektrik, pengecatan, dsb)
2) Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan pelatihan dan pendampingan
pengembangan desain dan motif pajeng tradisional secara komputerisasi sesuai
dengan kebutuhan pasar atau konsumen.
11
3) Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan simulasi, pelatihan, dan pendampingan
managemen keuangan usaha. Pembuatan pembukuan keuangan berdasarkan tata
kelola bisnis modern, serta pelatihan organisasi usaha mikro.
4) Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan simulasi, pelatihan dan pendampingan
managemen pemasaran berbasis pemasaran on-line.
4) Evaluasi
1) Evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan simulasi, pelatihan, dan pendampingan
penggunaan berbagai peralatan teknologi produksi (gergaji listrik, bor listrik,
penghalus elektrik, pengecatan, dsb). Evaluasi ditujukan untuk mengukur
ketercapaian indikator dan mengukur tingkat partisipasi ketua dan anggota kelompok
mitra. Seberapa terjadinya peningkatan pengetahuan dan keterampilan kelompok
mitra dalam penggunaan teknolgi produksi.
2) Evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan pelatihan dan pendampingan pengembangan
desain dan motif pajeng tradisional secara komputerisasi sesuai dengan kebutuhan
pasar atau konsumen. Evaluasi difokuskan pada capaian indikator yakni apakah
ketua bersama angota kelompok mitra telah memiliki kemampuan dan keterampilan
dalam pengembangan desain dan motif pajeng.
3) Evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan simulasi, pelatihan, dan pendampingan
managemen keuangan usaha berdasarkan tata kelola bisnis modern, serta pelatihan
organisasi usaha mikro. Evaluasi difokuskan pada capaian indikator yaitu apakah
kelompok mitra telah memiliki pemahaman dan keterampilan tata kelola bisnis
modern. Apakah mereka mampu membuat pembukuan keuangan usahanya (cash-
flow)
4) Evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan simulasi, pelatihan dan pendampingan
managemen pemasaran berbasis pemasaran on-line. Evaluasi difokuskan pada
ketercapaian indicator yaitu apakah kelompok mitra telah memiliki kemampuan dan
keterampilan dalam merancang pemasaran berbasis website (on-line).
Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan kegiatan IbW, akan disusun intrumen untuk
memantau keberlajutan dari kegiatan mitra pada tahun berikutnya.
12
BAB IV
KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI
Visi Universitas Pendidikan Ganesha adalah menjadi lembaga Pendidikan Tinggi yang
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni, dengan berlandaskan falsafah
Tri Hita Karana dan yang menghasilkan tenaga professional yang berkualitas dan berdaya
saing tinggi di bidang pendidikan dan nonpendidikan. Misi yang diemban oleh Universitas
Pendidikan Ganesha adalah: 1) Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, baik bidang akademik, profesi,
dan vokasi dalam bidang kependidikan, dan nonkependidikan; 2) Menyelenggarakan
penelitian untuk mengembangkan, dan penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni
dalam bidang kependidikan dan nonkependidikan; 3) Menyelenggarakan pengabdian kepada
masyarakat sebagai wujud penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni, dalam
rangka meningkatkan kontribusi Universitas Pendidikan Ganesha untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat; dan 4) Menyelenggarakan kerjasama dan kemitraan yang saling
menguntungkan dengan perguruan tinggi, instansi terkait, dan dunia usaha dan industri.
Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) Undiksha mengemban tugas khusus
yaitu menyelenggarakan dharma ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kinerja LPM
Undiksha satu tahun terakhir yaitu tahun 2015 berkatagori baik. Hal ini ditunjukkan oleh
kemampuan dosen Undiksha di bawah koordinasi LPM dalam memenangkan hibah
kompetitif DP2M DIKTI. Pada seleksi proposal tahun 2015 yang pendanaannya tahun 2016,
dosen Undiksha dibawah koordinasi LPM telah memenangkan 28 judul hibah kompetitif
DP2M DIKTI yang terdiri atas: 20 judul IbM, 1 judul IbIKK, 1 judul IbW, 3 judul IbPE, 1
judul Hi-Link, dan 2 judul KKN-PPM. Di samping itu, LPM Undiksha juga
menyelenggarakan kegiatan kepada masyarakat melalui dana DIPA Undiksha sebanyak 128
judul yang meliputi penerapan IPTEK sebanyak 111 judul, desa binaan sebanyak 7 judul,
pendidikan karakter sebanyak 5 judul, dan pusat-pusat layanan sebanyak 5 judul.
Tim pengusul IbM ini memiliki relevansi bidang keilmuan masing-masing dengan
permasalah mitra yang akan dicari solusinya. Dr. A.A. Istri Agung Rai Sudiatmika (ketua
tim) memiliki bidang keahlian kelistrikan yang berkaitan dengan berbagai peralatan elektrik
yang dibutuhkan mitra dalam rangka peningkatan kuantitas dan kualitas produksi. Prof. Dr. I
13
Wayan Sadia, M.Pd. (anggota tim) memiliki kompetensi peralatan elektronik (pengampu
mata kuliah elektronika) dan juga memiliki kemampuan untuk mengkoordinasi dan
memotivasi masa dalam upaya meningkatkan kinerja pengrajin pajeng dan peningkatan
produktivitas. Dr. Ketut Sopir, M.Hum. memiliki keahlian disain produk yang sangat
diperlukan oleh mitra dalam upaya mengembangkan berbagai desain dan motif pajeng
tradisional. Di samping itu, ia juga memiliki keahlian dalam bidang budaya yang sangat
diperlukan dalam rangka mengembangkan motif-motif dan tipe pajeng sesuai dengan budaya
lokal.
Nama tim pengusul IbM beserta kepakaran dan tugasnya dalam kegiatan IbM adalah
sebagai berikut.
Tabel 02. Nama Tim Pengusul, Kepakaran dan Tugas dalam Kegiatan IbM
Nama Tim Kepakaran Uraian Tugas
Dr. A.A. Istri Agung
Sudiatmika, M.Pd.
Bidang listrik-magnet Koordinasi semua kegiatan IbM,
instruktur managemen pemasaran
Prof. Dr. I Wayan Sadia, M.Pd Mekanika,
Elektronika dan
Sosial
Instruktur peralatan listrik-
elektronik, memotivasi dan
koordinasi masa untuk
meningkatkan kinerja pengrajin
Dr. Ketut Sopir, M.Hum. Desain dan
kebudayaan
Instruktur pengembangan desain,
dan motif pajeng
14
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Diversivikasi Produk
Melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan yang dilakukan secara intensif, pengrajin
pajeng tradisional telah mampu menghasilkan berbagai variasi produk baru. Pada produk baru,
lukisan pada pajeng tidak berbentuk karang bunga atau wayang yang biasanya digunakan di pura
atau tempat suci, ditetapi berupa lukisan burung, kupu-kupu, ikan dan sebagainya yang
sasarannya pemasarannya adalah hotel, restoran, dan tempat-tempat wisata. Satu model produk
baru yang sangat menarik yaitu pajeng setengah lingkaran dengan ukuran kecil yang sangat
cocok digunakan sebagai kap lampu tidur dengan target pemasaran adalah hotel. Hasil
diversivikasi produk tersebut adalah seperti pada gambar berikut.
KAP LAMPU
Untuk Lampu di
Kamar Tidur
Hotel, Dipasang
pada Dinding
15
Diversifikasi produk pajeng akan menambah pangsa pasar, jadi pemasaran pajeng tidak hanya
untuk keperluan upacara agama Hindu dan uacara adat lainnya, tetapi juga pemasarannya akan
PAJENG
BERTINGKAT
Untuk Hiasan
pada Acara
Seminar,
Mantenan,
Peresmian, dan
Acara Nasional
lainnya
KAP LAMPU
Untuk Lampu
Kamar Tidur
Hotel Dipasang
di Dinding
16
menyebar pada hotel, restoran dan tempat-tempat wisata lainnya. Jadi pangsa pasar pajeng
menjadi lebih luas.
5.2 Perhitungan Biaya Produksi dan Harga Jual Produk
Sebelum kegiatan IbM (PKM) ini dilaksanakan, para pengrajin pajeng tradisional di desa
Paksebali tidak pernah menghitung secara detail berapa biaya produksi dari setiap produknya.
Mereka hanya menggunakan perkiraan saja lalu menetapkan harga jualnya, sehingga mereka
tidak tahu persis berapa keuntungannya. Para pengrajin juga tidak memiliki pembukuan dari
usaha kerajinan yang digelutinya. Setelah dilakukan pelatihan dan pendampingan pengrajin
pajeng mampu melakukan perhitungan biaya produksi untuk setiap jenis produknya.
Berdasarkan biaya produksinya mereka menetapkan harga jual dari setiap jenis produknya.
Berikut ini disajikan biaya produksi dan harga jual dari setiap produknya.
Barang yang dibuat Mitra I
IDER-IDER PER METER DIJUAL Rp.35,000
No. Uraian Biaya (Rp)
1 Kain beludru 9,000
2 Prada 1,500
3 Pita 1,500
4 Benang jebug 1,000
5 Mute 1,500
6 Ongkos merada 2,500
7 Ongkos menyoder 2,500
8 Ongkos jarit 3,000
Modal 22,500
PAJENG/PAYUNG PRADA BLUDRU DIJUAL RP. 600,000
No. Uraian Biaya (Rp)
1 Kain beludru 1, 20 m 30,000
2 Rangka 50,000
3 Prada 10,000
4 Ongkos merada 25,000
5 Ongkos nyoder 25,000
6 Ongkos jarit pajeng 5,000
17
7 Nukub (asang kain ke rangka) 5,000
8 Mute 5,000
9 Benang jebug 4,000
10 Pita 3 m 4,500
11 Mudra 15,000
12 Pati/Batang Pajeng kamper panjang 3 m 90,000
13 Cat 10,000
14 Ongkos ngecat dan lukis Pati dan Mudra 50,000
15 Ongkos pasang oncer dan mute 5,000
Modal 333,500
TEMPAT LAMPU (tanpa bolam) DIJUAL RP. 225,000
No. Uraian Biaya (Rp)
1 Kain beludru/blacu 7,500
2 Kayu dengan ongkos ukir 75,000
3 Rotan 6,000
4 Pitingan 6,000
5 Colokan 5,500
6 Kabel 3,500
7 Mute 15,000
8 Cat pewarna/prada pada kain 7,000
9 Ongkos melukis kain dan mengecat 10,000
10 Prada untuk kayu 5,000
11 Triplek 3,000
12 Tempat gantungan lampu 3,000
13 Lem tembak untuk rangka 7,500
14 Sekrup dan paku 2,000
15 Pita 4,000
16 Ongkos ngerakit 15,000
Modal 175,000
18
Barang yang dibuat Mitra II
PAYUNG SABLON PRADA RANGKAP 3 DIJUAL RP. 125,000
No. Uraian Biaya (Rp)
1 Kain Satin 10,000
2 Sablon dan prada cetak 17,000
3 Pati dan mudra 12,500
4 Rangka 3 biji ( 1 stel) 22,500
5 Ongkos Jarit 3 pajeng 10,000
6 Benang wool 10,000
7 Ongkos pasang oncer 10,000
92,000
PAYUNG SABLON BERWARNA RANGKAP 3 DIJUAL RP. 350,000
No. Uraian Biaya (Rp)
1 Kain Blacu 3 m 60,000
2 Rangka 48,000
3 Sablon dan ngecat warna 100,000
4 Ongkos jarit 3 pajeng 10,000
5 Bahan oncer 25,000
6 Ongkos pasang oncer 10,000
7 Pati dan mudra sudah di cat 30,000
8 Pipa penyambung pati 5,000
9 Seng untuk penghias pati 5,000
Modal 293,000
PAYUNG BIASA DIJUAL RP. 40.000
No. Uraian Biaya (Rp)
1 Kain Peles 4,500
2 Pati dan mudra 11,000
3 Rangka 1 biji 7,500
4 Benang wool 2,000
5 Ongkos pasang oncer 4,500
Modal 29,500
19
Kegiatan PKM ini ternyata mampu meningkatkan keterampilan para pengrajin pajeng
dalam hal menghitung biaya produksi dan menentukan harga jualnya. Dengan menghitung
jumlah omzet penjualan, maka mereka dapat menentukan berapa besar penghasilan mereka per
bulannya. Penghasilan per bulan para pengrajin pajeng akan mendorong generasi penerus untuk
bisa tetap menekuni pekerjaan sebagai pengrajin pajeng. Kerajinan pajeng, di samping harus
dilihat dari aspek ekonomisnya juga harus dilihat dari aspek budaya.
5.3 Peningkatan Semangat dan Keterampilan Pengrajin Pajeng
Setelah dilakukan pelatihan dan pendampingan, ternyata terjadi peningkatan semangat,
ketekunan, dan keterampilan para pengrajin pajeng di desa Paksebali. Peningkatan semangat dan
ketekunan para pengrajin terlihat ketika tim pelaksana IbM (PKM) melakukan pendampingan
dan observasi, seperti yang terlihat pada gambar berikut.
20
21
22
Dari gambar di atas dapat dilihat betapa besarnya semangat para pengrajin untuk dapat
menyelesaikan pekerjaannya. Terlihat juga bahwa yang bekerja adalah orang tua dan generasi
muda. Pekerja yang sudah tua adalah pekerja full time, artinya mereka sehari-hari memang
bekerja sebagai pengrajin. Sedangkan pekerja yang muda adalah pekerja yang half time (paruh
waktu), mereka pada umumnya bekerja mulai jam 15.00 sampai jam 17.30. Mereka masih
sekolah, dan mereka bekerja setelah pulang sekolah. Hasil kerja mereka cukup untuk membiayai
sekolahnya. Diharapkan mereka ini bisa melanjutkan usaha kerajinan pajeng ini di masa datang.
5.4 Pemasaran Produk Berbasis On-Line
Pola pemasaran produk pajeng pada mulanya (sebelum kegiatan Program Kemitraan
Masyarakat) dilakukan oleh para pengrajin adalah pemasaran secara off-line. Produk-produk
pajeng dipajang di tempat produksi dan/atau dititipkan di pasar atau toko yang khusus menjual
pajeng dan perlengkapan upacara lainnya. Para pembeli biasanya datang langsung ke tempat
produksi atau membelinya di pasar atau di toko khusus. Melalui kegiatan pelatihan dan
pendampingan pemasaran secara on-line, maka saat ini para pengrajin pajeng telah
mengembangkan pola pemasaran produknya secara on-line. Jadi, pemasaran produk pajeng
tradisional dan pajeng hasil pengembangan desain dilakukan dengan dua pola yaitu pemasaran
secara off-line dan secara on-line. Para pembeli atau pemesan (buyer) pajeng tradisional maupun
non-tradisional dapat melakukan transaksi baik secara off-line maupun secara on-line. Kondisi
ini ternyata telah dapat meningkatkan jumlah omzet penjualan. Di samping itu, peningkatan
jumlah omzet penjualan juga disebabkan oleh adanya diversifikasi produk. Para pengrajin tidak
hanya memproduksi pajeng tradisional yaitu pajeng yang diperuntukkan pada upakara
keagamaan seperti piodalan di pura, tetapi juga memproduksi pajeng non-tradisional yaitu pajeng
yang diperuntukkan pada hotel, restoran, dan tempat-tempat wisata lainnya.
23
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan mitra dan hasil yang telah dicapai, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut.
1) Pengrajin pajeng tradisional di desa Paksebali Klungkung telah memiliki
kemampuan dan keterampilan dalam melakukan disversifikasi produk sesuai
dengan kebutuhan pasar.
2) Pengrajin pajeng tradisional di desa Paksebali Klungkung telah memiliki
keterampilan dalam menetapkan biaya produksi dan nilai jual produk secara
sederhana.
3) Pengrajin pajeng tradisional di desa Paksebali Klungkung memiliki semangat kerja
yang tinggi guna meningkatkan kuantitas dan kualitas produknya.
4) Strategi pemasaran produknya telah dilakukan secara of-line dan juga secara on-
line.
6.2 Saran
Beberapa saran yang diajukan adalah sebagai berikut.
1) Perlu dilakukan pelatihan kader-kader penerus kerajinan pajeng secara lebih intensif,
agar usaha kerajinan pajeng baik untuk kebutuhan upacara tradisional maupun untuk
keperluan dunia wisata dapat berlanjut dan berkembang.
2) Pola pemasaran pajeng perlu dilakukan secara of-line dan juga secara on-line guna
mempercepat perkembangan usaha yang digeluti oleh para pengrajain pajeng.
3) Para pengusaha kerajinan pajeng perlu memperbaiki system pembukuan usahanya
dengan pola pembukuan yang lebih modern.
24
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2012. Interventi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat Sebagai
Upaya Pemberdayaan Masyarakat. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Atmaja, Nengah Bawa (2010). Ajeg Bali, Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi.
Yogyakarta: LKiS
Covarrubias, Miguel. 2013. Pulau Bali: Temuan yang Menakjubkan. (Jiwa Atmaja, penyunting) .
Denpasar: Udayana University Press.
Djelantik, A.A.M. 1990. Balinese Paintings. Singapore: Oxford University Press.
Eisman, Jr, Fred, B. 1990. Bali sekala and Niskala, volume II. Singapore: Perplus Edition.
Holt, Calir. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. (R.M. Soedarsono, pent).
Bandung: arti.line berkerja sama dengan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Kam, Garet. 1993. Perceptions of Paradise: Images of Bali in Arts. Ubud: Yayasan Dharma
Seni Museum Neka.
Kurana (2008) Sukses Mengembangkan Wirausaha. Jakarta: Grasindo
Mc Clelland, D. (1987) Memacu Masyarakat Berprestasi mempercepat Laju Pertumbuhan
Melalui Peningkatan Motivasi Berprestasi (Penerjemah: S. Suyanto) Jakarta: Intermedia
Schwartz (2009) Berpikir dan Berjiwa Besar. Jakarta: Grasindo
25
LAMPIRAN
26
KOMODIFIKASI TEDUNG UPACARA MENJADI KAP LAMPU HIAS
A.A.Istri Agung Rai Sudiatmika1, I Wayan Sadia 2, I Ketut Supir3 1,2Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Undiksha; 3Jurusan Pendidikan Senirupa FBS Undiksha
Email: [email protected]
ABSTRAK
Tedung upacara merupakan produksi masyarakat pengerajin desa Paksebali, Klungkung.
Keterampilan membuat tedung telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Sangat disayangkan jika keterampilan tersebut hilang, mengingat persaingan pemasaran tedung
di Bali sangat ketat. Pengerajin tedung ada hampir di setiap kabupaten. Dengan pemasaran yang
terbatas hanya pada konsumen lokal Bali, maka beberapa pengerajin di desa Paksebali sudah
gulung tikar karena tidak mampu membiayai produksi. Untuk mengatasi persoalan tersebut dan
juga sebagai upaya pelestarian budaya lokal, maka pelatihan membuat lampu hias dengan
memodifikasi bentuk tedung diselenggarakan. Hasilnya berupa lampu hias yang digunakan di
hotel, restoran, maupun rumah. Berhasilnya pelatihan ini diharapkan pengerajin memiliki
kesempatan memasarkan produknya ke pasar yang lebih luas.
Kata Kunci: Paksebali, Tedung, Kap Lampu Hias, Komodifikasi.
PENDAHULUAN
Agama Hindu di Bali sering melaksanakan yadnya, baik Nitya Yadnya maupun
Naimitika Yadnya. Nitya Yadnya adalah ritual yang diadakan setiap hari secara teratur.
Naimitika Yadnya adalah ritual yang dilakukan pada waktu tertentu. Pada hari tertertu, Umat
Hindu melaksanakan upacara yang menggunakan pelengkap upakara, salah satunya tedung.
Tedung merupakan pelengkap upacara yang berbentuk seperti payung, sebagai salah satu jenis
perangkat upacara yadnya keagamaan yang khusus digunakan di Bali. Tedung memiliki
beberapa bentuk, ukuran, warna, fungsi dan istilah yang beragam. Tedung atau pajeng asal
muasalnya bukanlah payung biasa yang digunakan untuk keperluan sehari-hari untuk melindungi
diri dari air hujan atau melindungi diri dari panasnya sinah matarhari. Tedung atau pajeng yang
digunakan dalam upacara adat maupun keagamaan sebagai pelindung pelinggih-pelinggih di
merajan atau di pura. Tedung biasanya diletakkan di belakang pelinggih atau Padma seperti
bagaimana fungsinya yaitu sebagai pelindung.
Tedung digunakan sebagai perangkat dalam upacara agama Hindu memiliki beragam
ukuran sesuai dengan kegunaannya. Warna tedung pun beragam, tetapi beberapa tedung yang
27
digunakan pada pura ketika upacara menampilkan warna yang sesuai dengan warna dalam mata
angina tau dewata nawa sanga atau pengider-ider. Dewata Nawasanga adalah sembilan dewa
atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru
mata angin. Dewata Nawa Sanga adalah sembilan dewa yang menempati Sembilan arah mata
angin. Kesembilan dewa tersebut adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma,
Rudra, Mahadewa, Sangkara, dan Siwa (Dharmayudha, 1995: 54). Setiap arah mata angin
memiliki warna yang berkaitan dengan dewanya. Empat dari kesembilan warna tersebut
dijadikan acuan dalam menempatkan tedung di areal pura. Misalnya, arah Timur ditempatkan
tedung yang berwarna putih. Tedung yang berwarna merah ditempatkan di zona selatan, tedung
yang berwarna kuning ditempatkan di zona barat, dan tedung berwarna hitam ditempatkan di
zona utara.
Tiga Padmasana yang terdapat di areal suci Pura Besakih, Kabupaten Karangasem, selalu
dihiasi tiga tedung dengan warna yang berbeda. Padmasana sebagai stana Dewa Brahma dihiasi
dengan tedung berwarna merah. Padmasana sebagai stana Dewa Wisnu dihiasi dengan tedung
berwarna hitam, dan Padmasana sebagai stana Dewa Siwa dihiasi dengan tedung berwarna putih.
Tiga Padmasana tersebut merupakan stana dari dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa, yang disebhut
sebagai dewa Trimurti.
Jenis tedung berdasarkan bentuk dan hiasannya dapat dibedakan atas tedung agung dan
tedung robrob. Tedung agung dan robrob dibedakan oleh hiasan tepi atau ider-ider atap tedung.
Tedung agung memiliki hiasan tepi dengan kain berwarna atau prada. Kain yang berjuntai
tersebut terdiri dari dua lapis warna dengan ukuran kain paling depan lebih pendek daripada
kain di belakangnya, sehingga kedua kain akan tempak saling bersusun. Tedung robrob memiliki
hiasan tepi dari benang yang di sulam. Sulaman atau rajutan dibuat dari benang wol yang
berwarna, seperti hitam, putih, kuning merah maupun hijau.
Pengerajin tedung tersebar hampir di berbagai tempat di Bali. Di Klungkung terdapat
komunitas pengerajin tedung yaitu di desa Paksebali Kecamatan Dawan,Kabupaten Klungkung.
Produksi tedung Paksebali, secara umum, tidak menampilkan perbedaan dengan tedung buatan
pengerajin dari kabupaten lain. Akan tetapi beberapa tedung produksi Paksebali, Klungkung,
menampilkan motif hias yang agak berebda dengan tedung dari kabuaten lainnya. Pengerajin
tedung di desa Paksebali sekitar 20 orang dengan usia berkisar antara 10 sampai 50 tahun.
Kebanyakan pengerajinnya adalah wanita. Hal ini disebabkan karena proses member warna emas
28
atau merada kain dilakukan oleh wanita. Laki-laki bertugas menyiapkan sket motif di atas kain
dengan menggunakan alat solder. Jejak alat solder pada kain diberi warna emas yang dikerjakan
oleh kaum wanita.
Tedung telah ada dikenal di Bali sejak dahulu, diperkirakan tedung diperkenalkan oleh
penyebar agama Hindu ke Bali. Budaya dan kesenian Hindu diperkirakan masuk ke Bali abad ke
10, ketika Bali menjalin hubungan dnegan kerajaan Hindu di Jawa Timur. Pengaruh kesenian
Hindu Jawa semakin kuat tersebar di Bali setelah datangnya kaum imigran Majapahit yang
terdesak oleh kekuatan Islam di tanah Jawa (Raharjo, dkk., 1987: 20). Dalam budaya Hindu
Jawa, tedung atau payung, selain berfungsi melindungi pengguna dari hujan dan panasnya
cahaya matahari, juga sebagai lambang kebesaran dan setatus sosial. Di Jawa, hanya raja dan
kerabat raja yang boleh menggunakan payung. Dalam budaya Hindu, raja wakil dewa di dunia,
maka raja dan dewa yang menggunakan payung. Payung digunakan untuk memayungi pratima
dan benda sakral yang merupakan simbol dewa, juga sebagai bentuk pengagungan dewa sebagai
penguasa alam (Lombard, 2005: 60).
Tedung banyak dijumpai ketika upacara agama Hindu, baik di pura maupun di rumah.
Dalam upacara tersebut tedung, misalnya warna putih selalu ditempatkan di sanggar tawang
maupun Sanggar Surya. Sanggar Surya sebagai tempat stana Dewa Surya adalah manifestasi
Sang Hyang Widhi disimbolkan dengan warna putih. Karena itu tedung yang ditempatkan pada
sanggar surya selala berwarna putih.
Selain itu tedung dibuat dengan warna yang mengacu pada konsep arah mata angin atau
pengider-ider mengandung makna simbolis agama Hindu. Dengan demikian fungsi tedung
tersebut lebih mengutamakan use value (nilai guna). Nilai guna bagi kaum Marxisme
merepresentasikan hubungan alamiah objek dengan orang. Masing-masing objek terkait dengan
penggunaan unik dan telah ditentukan sebelumnya yang didasarkan pada kebutuhan alamiah dan
stabil (Lee, 2006: 36). Tedung dibuat lebih menekankan pada fungsi simbolik. Makna simbolik
yang menjadi tujuan tedung dibuat, maka pembuatan tedung bisa dilandasi oleh prinsip form
follows meaning (bentuk mengikuti makna) (Piliang, 2012: 157). Dengan demikian tedung
dengan warna yang mengcu pada warna para Dewa dapat dikategorikan sebagai tedung yang
mengandung makna simbolis.
Tedung yang yang berfungsi simbolis biasanya dihiasi dengan motif hias simbolik.
Motif-motif hias simbolik tersebut adalah bentuk senjata dewata naga sanga, motif wayang pra
29
dewa, warna yang sesuai dengan warna para dewa. Tedung dengan motif hias simbolis Hindu,
sementara ini hanya dikonsumsi oleh umat Hindu. Karena itu konsumen tedung tersebut sangat
terbatas. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan harga di pasaran, mengingat hampir semua
kabupaten di Bali memiliki kelompok pengerajin tedung. Masyarakat memebli tedung juga tidak
setiap hari, maka hal ini juga semakin sulitnya memasarkan tedung.
Tedung yang digunakan di pura
Sumber: http://id.beritasatu.com/home/tedung-dibuat-untuk-keperluan-pariwisata/17585,diakses Selasa, 10 Oktober 2017
Hal ini merupakan persoalan yang dihadapi oleh pengerajin tedung di desa Paksebali,
Kabupaten Klungkung. Mereka sulit bersaing dalam memasarkan produksi di pasaran. Persoalan
ini sangat mendesak dipecahkan agar keberadaan kerajinan tedung di Paksebali, Klungkung,
terus berkembang dan lestari. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memodifikasi
tedung dengan melebarkan fungsinya. Semula fungsi tedung produksi desa Paksebali hanya
menonjolkan prinsip form follows meaning kemudian dikembangkan berdasarkan prinsip form
follows function (bentuk mengikuti fungsi).
Prinsip form follows function merupakan diskursus yang dikembangkan oleh seni
modernisme untuk menolak keterkaitan seni dengan makna-makna ideologis atua spiritual. Seni
berupaya menolak makna-makna yang berasal dari luar seni itu sendiri. Oleh karena itu, seni
hanya estetika hanya dikembangkan dari permainan elemen-eemen seni itu sendiri (garis, bidang,
ruang, warna) (Piliang, 2012: 158). Berdasarkan atas konsep modernisme di atas, maka tedung
dikembangkan menjadi hiasan yang hanya dinikmati aspek estetisnya semata dan aspek
fungsinya. Pemodifikasian tedung sakral menjadi tedung sekuler yang berfungsi sebagai kap
lampu. Pengembangan tedung sakral menjadi tedung sebagai kap lampu dengan pertimbangan
30
bahwa Bali sebagai pusat pariwisata di Indonesia. Sebagai pusat pariwisata, Bali tidak cukup
hanya menjual lam dan kebudayaan yang unik, tetapi juga perlu disiapkan berbagai bentuk
souvenir bagi wisatan untuk dibawa ke negara asalnya. Sebagai daerah tujuan wisata, di Bali
dibangun sarana dan prasarana pariwisata, seperti hotel, restoran. Hotel dalam menjual jasanya
selalu mengunggulkan keunikan yang dimilikinya. Keunikan tersebut salah satunya adalah
penampilan lampu dindinnya. Karena itu pada kegiatan pengabdian pada masyarakat ini
dikembangkan bentuk lampu yang dimodifikasi dari betuk tedung. Kap lampu yang dibuat
berbendtuk setengah lingkaran, maka lapu ditempatkan menempel ke dinding.
METODE
Pengerajin tedung desa Paksebali, Klungkung dilatih teknik memodifikasi tedung yang
semula sebagai benda pelengkap upacara Hindu menjadi benda hiasan yang dikonsumsi oleh
wisatawan. Sebelum pelatihan terlebih dahulu penegrajin diberikan materi teori yang berkaitan
dengan alasan dan kriteria benda hias maupun benda pakai.
PEMBAHASAN
Seperti disinggung di atas, bahwa wisatawan berkunjung ke Bali karena Bali memiliki
beragam keunikan yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Bali memiliki kebudayaan unik
yang bersumber dari agama Hindu. Hampir semua aktivtas dan produksi benda budaya
menampilkan ciri kehinduan. Salah satu benda budaya yang menampilkan ciri Hindu adalah
tedung. Tedung dengan bentuk dan hiasannya yang khas tersebut adalah sumber inspirasi dalam
memodifikasi ke dalam bentu kap lampu.
4.1 Modifikasi Bentuk Tedung Menjadi Kap Lampu Hias.
Lampu hias merupakan jenis lampu yang memiliki bentuk dan desain yang unik dan
menarik. Lampu hias selain berfungsi sebagai penerangan juga sebagai elemen yang
memperindah ruangan. Lampu hias ada yang bentuknya rumit banyak menggunakan motif hias
sehingga kesannya klasik dan ada pula bentuknya minimalis sehingga memancarkan kesan
modern. Lampu hias dapat dibedakan dengan jenis lampu lainnya.
1. Lampu sebagai penerangan utama dan merupakan sumber utama
penerang ruangan (selain cahaya matahari di siang hari). Biasanya lampu ini diletakkan
31
langit-langit ditengah ruang dan memiliki daya cahaya yang cukup besar. Agar
penyebaran cahayanya merata, sumber titik lampu bisa dibagi menjadi beberapa titik
terutama jika ruangannya cukup besar.
2. Lampu sebagai pendukung aktivitas dalam ruang. Lampu jenis ini
seperti lampu baca atau lampu kerja yang biasanya diletakkan diatas meja, digantung
dilangit-langit, diletakkan diatas lantai (standing lamp/Wood Lamps) atau menempel
pada dinding.
3. Lampu sebagai penghias ruang atau lampu hias
berfungsi untuk menghiasi ruangan dan memberikan aksen sesuai tema rumah yang ingin
ditampilkan. Saat ini model-model Lampu Kerajinan sudah sangat variatif dengan
berbagai jenis dan ukuran. Lampu hias biasanya dipasang di sudut ruang atau berdiri di
lantai atau di atas meja sehingga
menghasilkan efek cahaya yang menambah kesan warm pada ruang. (https://domba-
bunting.blogspot.co.id/2009/03/fungsi-dan-kegunaan-lampu.html, diakses , Kamis, 12
Oktober 2017).
Kap lampu hias yang diproduksi di desa Paksebali, Klungkung, berbahan kain yang
menutupi rangka bambu dan kayu adalah benda fungsional. Karena itu beberapa kriteria yang
harus diperhatikan dalam memproduksi kap lampu hias, seperti aman, nyaman, dan higienis.
Aspek aman harus diperhatikan karena lampu hias tersebut selau dekat dengan aktivitas manusia.
Aman yang dimaksud adalah tidak membahayakan atau tidak melukai pisik penggunanya.
Lampu hias produksi desa Paksebali, Klungkung, yang berbentuk payung, dengan demikian,
aman digunakan. Kenyamanan pemakai juga merupakan aspek penting diperhatikan karena akan
memengaruhi ergonomi pemakainya.Kenyamanan bisa dilhat dari ukuran lampu. Lampu hias ini
dibuat dengan diameternya sekitar 30 cm dan bahannya dari kain, bambu, dan kayu, maka
sangat nyaman digunakan sebagai hiasan dinding. Aspek hiegenis belakang ini merupakan isu
yang banyak dikemukakan, karena aspek ini berkaitan langsung dengan kesehatan pemakainya.
Belakangan ini masyarakat dunia cenderung menghindari penggunaaan bahan-bahan sintetis,
terutama yang berasal dari unsur plastik, selain limbahnya susah terurai dalam tanah juga
ditengerai dapat menggagu kesehatan. Berkaitan dengan persoalan tersebut, maka lampu hias
produksi desa Paksebali, Klungkung menggunakan bahan alami seperti kayu dan bambu. Kain
sebagai penutup kap lampu meskipun bahan sintetis, tetapi mudah terurai dalam tanah.
Suatu benda fungsional, selain memenuhi kriteria aman, nyaman, dan hiegenis, juga
dituntut memiliki nilai estetis yang tinggi. Dalam dunia desain, nilai estetis bisa muncul jika
memperhatikan wujudnya. Wujud memiliki dua unsur yang penting, yaitu bentuk dan struktur
32
(Djelantik, 1999: 20). Lampu hias produksi desa Paksebali berbentuk setengah lingkaran.
Elemen rupa seperti garis, bidang, ruang, dan warna, disusun sedemikian rupa sehingga
menampilkan kesan unik.
Lampu hias berbentuk tedung ini adalah benda fungsional yang digunkan di ranah
sekuler, maka aspek-aspek makna dan simbolis mestinya dihilangkan. Aspek-aspek simbolis itu
tampak pada perilaku masyarakat Bali ketika mulai menggunkannya selalu melakukan ritual
seperti memerciki tirta dan mengikatkan sai atau sasap (daun janur yang dibentuk sedemikian
rupa sebagai penanda bahwa suatu benda telah disucikan). Namun ketika digunkan sebagai
benda sekuler, maka hal itu diabaikan. Hal yang paling diperhatikan ketika menjadi benda
sekuler adalah mengacu pada konsep modern, yaitu form follows function (bentuk mengikuti
fungsi). Pada kondisi ini benda dibuat hanya mempertimbangkan aspek efektifitas dan efisiensi.
Bentuk lampu hias setengah lingkaran sehingga lebih tepat dipajang di dinding. Bentuk
setengah lingkaran dan menggunakan bahan kain blacu yang berwarna putih untuk menampilkan
kesan natural, sedangkan warna merah untuk menampilkan kesan etnik. Bentuk lampu hias yang
meniru bentuk payung merupakan temuan baru, tetapi masih mengedepankan kesan natural dan
tradisional. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa era globalisasi yang melanda
dunia, saat ini, cenderung menyeragamkan budaya. Globalisasi dalam budaya sebagai bentuk
ekspansi trannasional dari ode-kode atau kebiasaan-kebiasaan umum (homogenitas) (Martono,
2011: 100). Akibat penyeragaman itu, maka keunikan etnik lokal akan tergerus dan hilang.
Yang tinggal adalah keseragaman. Oleh karena itu, lampu hias dengan bentuknya meniru bentuk
tedung menampilkan ciri etnik lokal Bali, sehingga tampak berbeda dengan jenis lampu hias
lainnya. Kehadiran lampu hias ini juga diniatkan untuk mengembangkan spirit local genius Bali
dalam rangka melawan keseragaman.
4.2 Motif Fauna dan Flora sebagai hiasan Lampu.
Sebagaimana disinggung di atas bahwa tedung untuk upacara biasanya dihias dengan
motif hias yang mengandung makna simbolis agama Hindu. Motif-motif tersebut, antara lain:
motif senjata nawa sanga, gambar dewata nawa sanga, dan ragam hias lainnya. Tedung dengan
hiasan yang mengandung makna simbolis Hindu layak dan etis jika hanya digunakan untuk
keperluan agama dan akan terasa ganjil bila digunakan di pantai sebagai peneduh para
wisatawan. Masyarakat Bali selalu membedakan penggunaan benda sakral dan profan secara
33
tegas. Misalnya ember yang digunakan sebagai sarana ritual agama Hindu selalu dibedakan
dengan ember yang digunakan untuk nyuci pakaian sehari-hari. Konsep desa kala patra telah
mengakar dalam kehidupan masyarakat Bali, maka dalam hal ini diupayakan membedakan
hiasan yang dikenakan pada payung upacara agama Hindu dengan hiasan lampu hias yang
befungsi sekuler.
Karena alasan tersebut, maka lampu has produksi desa Paksebali menggunakan hiasan
di luar motif hias agama Hindu. Motif hias yang dipilih adalah motif fauna dan flora yang
ditampilkan agak naturalis agar lebih akrab dengan budaya wisatawan. Teknik dan proses
member motif pada kap lampu sama dengan proses melukis motif fauna dan flora di desa
pengosekan Ubud.
Motif fauna yang dibuat, yaitu motif burung, kupu-kupu, kadal, cicak, dan sebagainya.
Sedangkan motif flora berupa bunga teratai, bunga lotus, bunga mawar, dan sebagainya. Motif-
motif hias tersebut disteilisasi sedemikian rupa, namun tetap menampilkan ciri benda aslinya.
Motif hias fauna dan flora ditampilkan dengan warna cemerlang sehingga tampak menarik. Cat
yang digunakan adalah cat akrelik sehingga pengerajin dengan mudah menggoresjkan warna.
Selain itu cat akrelik memiliki sifat cepat kering, sehingga produksi bisa lebih cepat.
Dipilihnya motif fauna dan flora yang ditampilkan agak naturalis dengan pertimbangan
bahwa pemasaran lampu hias ini tidak hanya untuk konsumen lokal bali saja, tetapi menjangkau
konsumen dari berbagai etnik. Oleh karena itu, motif hias yang dikenakan pada lampu hias ini
juga mempertimbangkan keinginan konsumen. Motif hias yang bisa diterima oleh berbagai etnik
yaitu motif hias fauna dan flora. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa motif yang dikenakan
pada kap lampu hias menggunakan motif fauna dan flora, bukan motif simbolis agama Hindu.
Berikut foto lampu hias produksi desa Paksebali, Klungkung
Lampu hias produksi desa Paksebali, Klungkung
Foto oleh I Ketut Supir
34
35
PENUTUP
Kap lampu hias yang diproduksi di desa Paksebali untuk menjawah keinginann
konsumen dari beragam etnis. Berkaitan dengan hal itu, maka hiasannya pun disesuaikan dengan
keinginan konsumen. Untuk memenuhi keinginan konsumen global, maka dibuat lampu hias
yang menampilkan ciri lokal, tetapi hiasannya menampilkan ciri global. Lampu hias juga
memenuhi kriteria aman, nyaman, hiegenis, serta yang lebih penting adalah ramah lingkungan.
Jika produknya sudah rusak akan tidak mengganggu lingkungan karena mudah hancur dan
terurai dalam tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Dharmayudha, I Made Suasthawa. 1995. Kebudayaan Bali: Pra hindu, Masa Hindu dan Pasca
Hindu. Denpasar: Kayumas Agung.
Djelantik. A.A.M. 1999. Estetika: Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia.
http://id.beritasatu.com/home/tedung-dibuat-untuk-keperluan-pariwisata/17585,diakses
Selasa, 10 Oktober 2017.
https://domba-bunting.blogspot.co.id/2009/03/fungsi-dan-kegunaan-lampu.html, diakses ,
Kamis, 12 Oktober 2017.
Lee, Martyn J. 2006. Budaya Konsumen Terlahir Kembali: Arah baru Mdernitas dalam kajian
Modal, Konsumsi, dan kebudayaan. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Martono, Nang. 2011. Sosisologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan
Poskolonial. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya & matinya Makna.
Bandung: Matahari.
36
Desain Produk Pajeng Tradisional
Top Related