1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Insidensi Tuberculosis (TBC) dilaporkan meningkat secara drastis
pada dekade terakhir ini di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia.
Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada negara berkembang atau yang
mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah. Tuberculosis
(TBC) merupakan penyakit infeksi penyebab kematian dengan urutan atas
atau angka kematian (mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit
(morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama.
Di Indonesia TBC merupakan penyebab kematian utama dan
angka kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia
menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumlah penderita
TBC di dunia. Jumlah penderita TBC paru dari tahun ke tahun di
Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita
baru TBC paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru TBC
paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang
meninggal akibat TBC di Indonesia. Mengingat besarnya masalah TBC
serta luasnya masalah semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
2
Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. TBC terutama menyerang paru-paru
sebagai tempat infeksi primer. Selain itu, TBC dapat juga menyerang
kulit, kelenjar limfe, tulang, dan selaput otak. TBC menular melalui
droplet infeksius yang terinhalasi oleh orang sehat. Pada sedikit kasus,
TBC juga ditularkan melalui susu. Pada keadaan yang terakhir ini, bakteri
yang berperan adalah Mycobacterium bovis.
1.2. MANFAAT
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini agar kita sebagai
mahasiswa keperawatan mengetahui tuberculosis paru, penyebab
tuberculosis, dan cara penanganan pada klien dengan masalah sistem
pernapasan “Tuberculosis Paru”.
1.3. TUJUAN DAN SASARAN
Penulisan format ASKEP ini bermanfaat sebagai panduan atau
pedoman bagi mahasiswa keperawatan untuk melakukan penulisan
Asuhan Keperawatan secara baik dan benar tanpa mengalami kesulitan
terutama pada klien dengan masalah sistem pernapasan “Tuberculosis
Paru”.
3
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. PENGERTIAN
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculi dan biasanya menjangkiti paru (Patofisiologi
Aplikasi pada Praktek Perawat. 2006 : 193).
Tuberkulosis (TB) Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculi dengan gejala yang sangat bervariasi (Kapita
selekta Kedokteran edisi 3 jilid 2. 2001 : 472).
2.2. ETIOLOGI
Tuberculosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis.
Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat tahan asam pada perwarnaan.
Oleh karena itu, disebut sebagai basil tahan asam (Somantri, 2008 : 59).
2.3. PATOFISIOLOGI
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung
Mycobakterium tuberkulosis dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam.
Orang dapat terifeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernapasan. Setelah Mycobacterium tuberkulosis masuk ke dalam saluran
4
pernapasan, masuk ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai
memperbanyak diri. Basil juga secara sistemik melalui sistem limfe dan aliran
darah ke bagian tubuh lainnya (ginjal, tulang, korteks serebri), dan area paru-
paru lainnya (lobus atas).
Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit
(neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit melisis
(menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan
penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan bronkopneumonia. lnfeksi
awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah pemajanan.
Massa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan
gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag
yang membentuk dinding protektif. Granulomas diubah menjadi massa jaringan
fibrosa. Bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel Ghon. Bahan
(bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa
ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi
dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit
aktif karena gangguan atau respons yang inadekuat dari respons sistem imun.
Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri
dorman. Dalam kasus ini, tuberkel Ghon memecah, melepaskan bahan seperti
keju ke dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara,
mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah
5
menyembuh, membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih
membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut,
pembentukan tuberkel dan selanjutnya.
Kecuali proses tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan lambat
mengarah ke bawah ke hilum paru-paru dan kemudian meluas ke lobus yang
berdekatan. Proses mungkin berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika
penyakit dihentikan, hanya supaya diikuti dengan periode aktivitas yang
diperbaharui. Hanya sekitar 10% individu yang awalnya terinfeksi mengalami
penyakit aktif (Brunner dan Suddarth, 2002)
2.4. TANDA DAN GEJALA
Menurut Jhon Crofton (2002) gejala klinis yang timbul pada pasien
Tuberculosis berdasarkan adanya keluhan penderita adalah :
2.4.1. Batuk lebih dari 3 minggu
Batuk adalah reflek paru untuk mengeluarkan sekret dan hasil proses
destruksi paru. Mengingat Tuberculosis Paru adalah penyakit
menahun, keluhan ini dirasakan dengan kecenderungan progresif
walau agak lambat. Batuk pada Tuberculosis paru dapat kering
pada permulaan penyakit, karena sekret masih sedikit, tapi
kemudian menjadi produktif.
6
2.4.2. Dahak (Sputum)
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit,
kemudian berubah menjadi mukopurulen atau kuning, sampai purulen
(kuning hijau) dan menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan.
2.4.3. Batuk darah
Batuk darah yang terdapat dalam sputum dapat berupa titik darah
sampai berupa sejumlah besar darah yang keluar pada waktu batuk.
Penyebabnya adalah akibat peradangan pada pembuluh darah
paru dan bronchus sehingga pecahnya pembuluh darah.
2.4.4. Sesak nafas
Sesak napas berkaitan dengan penyakit yang luas di dalam paru.
Merupakan proses lanjut akibat retraksi dan obstruksi saluran
pernapasan.
2.4.5. Nyeri Dada
Rasa nyeri dada pada waktu mengambil napas dimana terjadi gesekan
pada dinding pleura dan paru. Rasa nyeri berkaitan dengan pleuritis dan
tegangan otot pada saat batuk.
2.4.6. Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen bronkus yang disebabkan
oleh sekret, peradangan jaringan granulasi dan ulserasi.
7
2.4.7. Demam dan menggigil
Peningkatan suhu tubuh pada saat malam, terjadi sebagai suatu reaksi
umum dari proses infeksi.
2.4.8. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan merupakan manisfestasi toksemia yang timbul
belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.
2.4.9. Rasa lelah dan lemah
Gejala ini disebabkan oleh kurang tidur akibat batuk.
2.4.10. Berkeringat Banyak Terutama Malam Hari
Keringat malam bukanlah gejala yang patogenesis untuk penyakit
Tuberculosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses
telah lanjut.
8
2.5. PEMERIKSAAN FISIK
2.5.1. Status keadaan umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan
pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan
anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana
mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan
pasien. Perlu juga dilakukan pengukuran tinggi badan berat badan
pasien.
2.5.2. Berdasarkan sistem-sistem tubuh
A. Sistem integumen
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun
B. Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai
1. inspeksi : adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma,
pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah.
(Purnawan Junadi DKK, th 1982, hal 213)
2. Palpasi : Fremitus suara meningkat. (Hood Alsogaff, 1995.
Hal 80)
3. Perkusi : Suara ketok redup. (Soeparman, DR. Dr. 1998.
Hal 718)
9
4. Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki
basah, kasar dan yang nyaring. (Purnawan. J. dkk, 1982, DR.
Dr. Soeparman, 1998. Hal 718)
C. Sistem pengindraan
Pada klien TB paru untuk pengindraan tidak ada kelainan
D. Sistem kordiovaskuler
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 syang mengeras.
(DR.Dr. Soeparman, 1998. Hal 718)
E. Sistem gastrointestinal
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun.
(DR.Dr. Soeparman, 1998. Hal 718)
F. Sistem muskuloskeletal
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur dan
keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan. (Hood Al Sagaff,
1995. Hal 87)
G. Sistem neurologis
Kesadaran penderita yaitu komposments dengan GCS : 456
H. Sistem genetalia
Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia
10
2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.6.1. Pemeriksaan Laboratorium
A. Kultur Sputum : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis pada
tahap aktif penyakit
B. Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan
cairan darah) : Positif untuk basil asam-cepat.
C. Tes kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Reaksi positif (area
indurasi 10 mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi
intradermal antigen) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya
antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif.
Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berani
bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan
oleh mikobakterium yang berbeda.
D. Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster;
urine dan cairan serebrospinal, biopsi kulit) : Positif untuk
Mycobacterium tuberculosis.
E. Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma TB;
adanya sel raksasa menunjukkan nekrosis.
11
F. Elektrolit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya
infeksi; contoh hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya
retensi air dapat ditemukan pada TB paru kronis luas.
G. Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital, peningkatan
rasio udara residu dan kapasitas paru total, dan penurunan saturasi
oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis,
kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (Tuberkulosis paru
kronis luas).
2.6.2. Pemeriksaan Radiologis
A. Foto thorak : Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area
paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer, atau effusi
cairan. Perubahan menunjukkan lebih luas TB dapat termasuk
rongga, area fibrosa.
B. Bronchografi : merupakan pemriksaan khusus untuk melihat
kerusakan bronchus atau kerusakan paru pada TB
2.7. PENATALAKSANAAN MEDIK
2.7.1. Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
A. Isoniazid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 %
populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Sangat
efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu
12
kuman yang sedang berkembang. Dosis harian 5 mg/kg berat
badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan.
B. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman semi dormant yang tidak
dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg berat badan. Dosis
sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali
seminggu.
C. Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian 25 mg/kg berat badan, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35
mg/kg berat badan.
D. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, dosis 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang
sama.
E. Etambutol (E)
13
Bersifat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Dosis
harian 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk intermiten 3 kali
seminggu diberikan dengan 30 mg/kg berat badan.
2.7.2. Tahap Pengobatan
Pengobatan Tuberculosis diberikan dalam 2 tahap yaitu
A. Tahap Intensif
Penderita mendapat obat setiap hari. Pengawasan berat/ketat untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua Obat Anti
Tuberculosis (OAT).
B. Tahap Lanjutan
Penderita mendapat jenis obat lebih sedikit dalam jangka waktu
yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persistem (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
2.7.3. Kategori Pemberian Obat Anti Tuberculosis
A.Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari isoniasid (H), Rifampisin (R),
Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obatan tersebut diberikan
setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE), kemudian teruskan dengan tahap
14
lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan
tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
1. Penderita baru TBC paru BTA positif
2. Penderita TBC paru BTA negatif, rontgen positif.
3. Penderita TBC ekstra paru berat.
B.Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3RE3)
Tahap intensif diberikan selama 3 (tiga) bulan, yang terdiri dari 2
bulan dengan isoniasid (H), Rifampisn, Pirazinamid (Z), Etambutol (E)
setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan
dengan Isoniasid (H),Rifampisin (R), Etambutol (E) yang diberikan 3
kali dalam seminggu.
Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah
penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk penderita kambuh, penderita gagal,
penderita dengan pengobatan setelah lalai.
C.Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R),
Pirazinamid (Z) diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ)
15
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari Isoniasid (H),
Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu
(4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
1. Penderita baru BTA negatif dan roentgen
positif sakit ringan
2. Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar
limfe (limfadenitis), pleuritis aksudativa unilateral,
TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang) sendi
dan kelenjar adrenal.
D.OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA
positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif
pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan
dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan Isoniasid (H),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) setiap hari selama
1 bulan.
16
2.7.4. Panduan Pemberian Oat Anti Tubekulosis (OAT) pada kategori 2
A. Panduan OAT Kategori 1
Tahap pengobatan
Lamanya pengobatan
Dosis per hari/kali Jumlah hari/kali menelan obat
Tablet Insoniasid
Kaplet Rifampisin
Tablet Pirasinamid
Tablet Etambutol
Tahap intensif (dosis harian)
2 bulan 1 1 3 3 60
Tahap lanjutan (dosis 3 x seminggu)
4 bulan 2 1 - - 54
B. Panduan OAT Kategori 2
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Strepto Jumlah
17
pengobatanpengobatan
Insoniasid
@ 300 mg
Rifampisin@ 450 mg
Pirasinamid
@ 500 mg
misin injeksi
hari/kali menelan obat
Tablet
@
250
mg
Tablet
@
500
mg
Tahap intensif (dosis harian)
2 bulan
1 bulan 1 3
3
3 3
3
-
0,75gr
-
60
30
Tahap lanjutan (dosis 3 x seminggu)
5 bulan 2 1 - 1 2 - 66
C. Panduan OAT kategori 3
Tahap pengobatanLama pengobatan
Tablet
Insoniasid
@ 300 mg
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg
Jumlah
hari/ kali
menelan
Tahap intensif (dosis harian)
2 bulan 1 1 3 60
Tahap lanjutan (dosis 3 x seminggu)
4 bulan 2 1 - 54
D. Panduan OAT sisipan
18
Tahap pengobatanLama pengobatan
Tablet
Insoniasid
@ 300 mg
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg
Tablet
etambutol
@ 250 mg
Jumlah
hari/ kali
menelan
Tahap intensif
(dosis harian)2 bulan 1 1 3 3 30
2.7.5. DOTS ( Directly Observe Treatment Shortcourse chemotherapy).
DOTS atau kependekan dari Directly Observed Treatment,
Short-course adalah strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan
pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan startegi DOTS,
maka proses penyembuhan TBC dapat secara cepat.
DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita
TBC agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai
dinyatakan sembuh. Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan
yang tinggi, bisa sampai 95 %. Startegi DOTS direkomendasikan oleh
WHO secara global untuk menanggulangi TBC.
Sejak tahun 1995 program pemberantasan penyakit TB
dilaksanakan dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh
WHO. Di Indonesia dituangkan dalam bentuk GERDUNAS-TB
(Gerakan Terpadu Nasional TB). Yang dimaksud dalam strategi
DOTS adalah :
19
A. Adanya komitmen pemerintah untuk menanggulangi tb
B. Penemuan kasus secara langsung dengan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis
C. Pemberian obat yang diawasi secara langsung (dot= directly
observe therapy)
D. Penyediaan obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu.
E. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan.
2.7.6. ISTC (International standart tuberculosis care) yang terdiri dari
Standard Untuk Diagnosis, yaitu :
A. STANDARD 1
1. Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau
lebih yang tidak jelas penyebabnya harus dievaluasi untuk
tuberkulosis
2. Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk diagnosis
adalah berat badan yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2
bulan terakhir atau gizi buruk
B. STANDARD 2
20
1. Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak yang dapat
mengeluarkan dahak) yangdiduga mengalami TB Paru harus
menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal 2 dan
sebaiknya 3 kali. Jika mungkin minimal satu spesimen harus
berasaldari dahak pagi hari
C. STANDARD 3
1. Pada semua pasien (dewasa, remaja, anak) yang diduga
mengalami TB Ekstra Paru, spesimen dari bagian tubuh yang
sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan
jika tersedia fasiliti dan sumber daya, dilakukan pemeriksaan
biakan dan histopatologi
2. Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk
mengetahui ada tidaknya TB Paru dan TB Milier. Pemeriksaan
dahak perlu dilakukan, bila mungkin juga pada anak
D. STANDARD 4
1. Semua orang dengan temuan foto toraks diduga TB seharusnya
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
E. STANDARD 5
1. Diagnosis TB Paru sediaan apus dahak Negatif harus didasarkan
kriteria berikut : minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali
negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari) ; temuan foto
toraks sesuai TB dan Tidak Ada Respons terhadap antibiotika
21
spektrum luas (Fluorokuinolon harus dihindari karena aktif
terhadap M. TB complex sehingga dapat menyebabkan
perbaikan sesaat pada pasien TB.
2. Untuk pasien ini, jika tersedia fasiliti, biakan dahak seharusnya
dilakukan. Pada pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi
diagnostik harus disegerakan.
F. STANDARD 6
1. Diagnosis TB Intratoraks (paru, pleura dan KBG hilus atau
mediastinum) pada Anak dengan gejala namun sediaan apus
dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi
toraks sesuai TB dan paparan pada kasus TB menular atau bukti
infeksi TB (uji kulit tuberkulis positif atau interferron gamma
release assay).
2. Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasiliti, bahan dahak
seharusnya diambil untuk biakan (dengan cara batuk, bilas
lambung atau induksi dahak).
3. (ADD) Untuk pelaksanaan di Indonesia, diagnosis TB
intratoraks pada anak didasarkan atas pajanan kepada kasus TB
yang menular atau bukti infeksi TB (uji kulit tuberkulin positif
atau interferon gamma release assay) dan kelainan radiografi
toraks sesuai TB.
22
23
2.8. WEB OF COUTION/PATHWAY
24
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM
PERNAPASAN “TUBERKULOSIS PARU”
3.1. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber
data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien
(Nursalam, 2001)
Data subyektif
Data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu
situasi dan kejadian (Nursalam, 2001)
Data objektif
Data yang dapat diobservasi dan diukur (Nursalam, 2001)
3.1.1. Pengumpulan data
Merupakan upaya untuk mendapatkan data sebagai informasi
tentatang pasien. Data yang dibutuhkan tersebut mencakup data
tentang biopsikososial dan spiritual atau data yang berhubungan
dengan masalah pasien serta data tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah pasien (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006)
25
A. Identitas pasien meliputi nama pasien, tempat dan tanggal lahir,
suku/bangsa, status perkawinan, agama, pendidikan, tanggal dan
waktu datang ke Rumah sakit (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006 )
B. Identitas penanggung jawab: nama, umur jenis kelamin, alamat,
pekerjaan, hubungan dengan klien.
3.1.2. Riwayat keperawatan
A. Riwayat keperawatan sekarang
Riwayat keperawatan sekarang adalah faktor-faktor yang
melatarbelakangi atau hal-hal mempengaruhi atau mendahului
keluhan.
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan
penyakit yang di rasakan saat ini. Dengan adanya sesak napas,
batuk, nyeri dada, keringat malam, nafsu makan menurun dan suhu
badan meningkat mendorong penderita untuk mencari pengobatan.
B. Keluhan utama
Keluhan utama, apa yang menyebabkan pasien berobat atau
gejala yang pertama timbul saat pasien datang ke Rumah sakit yaitu
keluhan mengenai adanya gangguan pada sistem pernafasan.
26
C. Lama keluhan
Lama keluhan, seberapa lama pasien merasakan keluhan.
D. Riwayat penyakit saat ini
Riwayat penyakit saat ini, merupakan penyakit yang dirasakan
pasien pada saat dikaji (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006).
E. Riwayat keperawatan sebelumnya
Riwayat keperawatan sebelumnya adalah riwayat atau
pengalaman masa lalu tentang kesehatan atau penyakit yang
pernah di alami (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006).
Seperti :
1. Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh sembuh.
2. Pernah berobat, tetapi tidak sembuh.
3. Pernah berobat tetapi tidak teratur (drop out).
F. Riwayat keperawatan keluarga
Riwayat keperawatan keluarga adalah riwayat kesehatan
atau keperawatan yang dimiliki oleh salah satu anggota keluarga,
apakah ada yang menderita penyakit yang seperti dialami pasien
(Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006).
Biasanya keluarga penderita ada yang mempunyai kesulitan
yang sama (penyakit yang sama). Mencari diantara anggota
keluarga pada tuberkulosis paru yang menderita penyakit tersebut
sehingga sehingga diteruskan penularannya.
27
G. Riwayat lingkungan
Apakah keadaan lingkungan keluarga / klien sudah
memenuhi syarat kesehatan.
Dalam kasus TB paru kemungkinan lingkungan tempat
tinggal klien kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman padat,
ventilasi rumah yang kurang, jumlah anggauta keluarga yang
banyak.
3.1.3. Pola-pola fungsi kesehatan (Doegoes, 2000)
A. Aktivitas /Istirahat
1. Kelemahan umum dan kelelahan.
2. Napas pendek dgn. Pengerahan tenaga.
3. Sulit tidur dgn. Demam/kerungat malam.
4. Mimpi buruk.
5. Takikardia, takipnea/dispnea.
6. Kelemahan otot, nyeri dan kaku.
B. Integritas Ego :
1. Perasaan tak berdaya/putus asa.
2. Faktor stress : baru/lama.
3. Perasaan butuh pertolongan
4. Denial.
5. Cemas, iritable.
28
C. Makanan/Cairan :
1. Kehilangan napsu makan.
2. Ketidaksanggupan mencerna.
3. Kehilangan BB.
4. Turgor kulit buruk, kering, kelemahan otot, lemak subkutan
tipis.
D. Nyaman/nyeri :
1. Nyeri dada saat batuk.
2. Memegang area yang sakit.
3. Perilaku distraksi.
E. Pernapasan :
1. Batuk (produktif/non produktif)
2. Napas pendek.
3. Riwayat tuberkulosis
4. Peningkatan jumlah pernapasan.
5. Gerakan pernapasan asimetri.
6. Perkusi : Dullness, penurunan fremitus pleura terisi cairan).
7. Suara napas : Ronkhi
8. Sputum : hijau/purulen, kekuningan, pink.
29
F. Kemanan/Keselamatan :
1. Adanya kondisi imunosupresi : kanker, AIDS, HIV positip.
2. Demam pada kondisi akut.
G. Interaksi Sosial :
Perasaan terisolasi/ditolak.
3.2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia (status kesehatan
atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat
secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara
pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah, dan
merubah (Nursalam, 2001)
3.5.1. Diagnosa masalah yang mungkin muncul (Nanda, 2005) :
A. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tak
adekuat.
B. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi
jalan napas.
C. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia.
D. Kurang pengetahuan (spesifik) berhubungan dengan keterbatasan
paparan dan tidak familiar dengan sumber informasi
30
E. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membrane kapiler-alveolar.
F. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolic
G. Cemas berhubungan dengan status peran dan status kesehatan.
H. Ganggguan pemenuhan kebutuhan tidur sehubungan daerah sesak
napas dan nyeri dada.
I. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan
menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan
dalam rongga pleura.
J. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan
dengan keletihan (keadaan fisik yang lemah).
3.5.2. Prioritas masalah :
A. Resiko infeksi
B. Bersihan jalan napas tidak efektif
C. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan
D. Kurang pengetahuan (spesifik)
E. Gangguan pertukaran gas
F. Hipertermi
G. Cemas
H. Kebutuhan Tidur
I. Pola Pernafasan
J. Kebutuhan Aktivitas
31
3.3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah,
mengurangi, atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada
diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa
keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi (Nursalam, 2001).
Rencana keperawatan (NIC) :
3.3.1. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder
tak adekuat.
Tujuan :
Infeksi dapat dicegah, ditandai dengan
Kriteria hasil :
1. Tidak ada tanda tanda dan gejala infeksi (rucatudolof).
2. Hygiene klien adekuat
3. Status gastrointestinal, pernapasan, genitourinaria, dan imun
dalam batas normal.
4. TTV dalam batas normal.
Rencana keperawatan :
1. Kaji TTV dan tanda-tanda serta gejala infeksi
R/ Mendeteksi dini infeksi pada pasien yang beresiko.
32
2. Pertahankan tehnik aseptik pada klien dengan penggunaan
antiseptik dan cucitangan sebelum dan sesudah tindakan.
R/ Mencegah infeksi silang dan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme penyebab infeksi.
3. Anjurkan keluarga untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan klien.
R/ Mencegah infeksi silang, apalagi keluarga klien mempunyai
intensitas serta frekwensi yang lebih banyak beada dekat dan
berhubungan dengan klien.
4. Anjurkan dan motivasi klien untuk mengingkatkan asupan
makanan yang bergizi
R/ Terpenihunya kebutuhan gizi akan menigkatkan status
imunitas tubuh.
5. Pantau hasil laboratorium (DPL, Hitung granulosit absolut,
protein serum, albumin, dan hasil-hasil yang berbeda).
R/ Segera dapat diketahui apabila terjadi infeksi.
6. Kolaborasi pemberian antibiotik
R/ Adanya indikasi yang jelas sehingga antibiotik yang
diberikan dapat mengatasi organisme penyebab infeksi.
33
3.3.2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan
napas.
Tujuan :
Jalan nafas efektif, ditandai dengan
Kriteria Hasil :
1. Stutus jalan napas baik ditandai dengan hasil GDA ( - ).
2. Ventilasi adekuat.
3. Klien tampak rileks.
4. CRT ≤ 2 detik.
5. Tidak ada sianosis.
6. Klien bernapas dengan rileks (tidak ada dispnea).
7. Temuan sinar-x dada pada rentang yang diharapkan.
8. Klien mengeluarkan sekresi secara efektif.
9. Klien mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan di
Rumah.
Rencana Keperawatan :
1. Kaji kondisi umum klien.
R/ untuk mengetahui efek penyakit terhadap bodi sistem.
34
2. Kaji fungsi pernapasan, bunyi napas, kecepatan, irama dan
kedalaman dan penggunaan otot aksesori.
R/ Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis.
3. Ajarkan klien tehnik napas dalam dan batuk efektif.
R/ Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan
meningkatkan gerakan ke dalam jalan napas besar untuk
dikeluarkan.
4. Ajarkan kepada klien dan keluarga tentang pentingnya perubahan
pada sputum, seperti warna, karakter, jumlah dan bau.
R/ Sangat penting untuk memantau prognosis penyakit klien,
sehingga informasi dari klien dapat mempercepat pemberi asuhan
keperawatan untuk bertindak.
5. Pantau kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif
dan catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
R/ Pengeluaran sulit bila sekret kental, sputum berdarah kental atau
cerah diakibatkan kerusakan (kavitasi) atau lukaan bronchial.
6. Atur posisi semi fowler dan anjurkan klien untuk menggunakan
posisi semi fowler jika merasa tidak nyaman.
R/ Memaksimalkan ekspansi paru.
35
7. Kolaborasi pemberian suction (oral, dan atau trakeal).
R/ Mencegah obstruksi atau aspirasi, pengisapan dapat
diperlukan apabila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
8. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali
kontra indikasi.
R/ Pengeluaran dahak, batuk dan ketidak adekuatan asupan
cairan akan beresioko pada dehidrasi.
9. Kolaborasi dengan ahli lab. Untuk pemantauan GDA.
R/ Untuk mengetahui efek terapi dan keadekuatan pemenuhan
gas.
3.3.3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi, ditandai dengan
Kriteria hasil :
1. Berat badan klien bertahan/bertambah dari keadaan sebelumya
2. Klien menyatakan keinginan mengikuti diet.
3. Klien menunjukkan toleransi terhadap diet yang dinajurkan
4. Nilai laboratoorium (misalnya: transferin, albumin, dan
elektrolit) dalam rentang normal.
36
5. Klien tampak segar dan tidak lemas.
Rencana keperawatan :
1. Kaji status nutrisi
R/ Mengetahui kondisi pasti status nutrisi
2. Kaji/catat pola dan pemasukan diet
R/ Kebiasaan makan klien sangat perlu untuk diketahui dalam
rangka penyesuaian dalam pemberian diet.
3. Motivasi klien untuk mengubah kebiasaan makan
R/ Dengan motivasi, diharapkan klien terpacu untuk
meningkatkan asupan makannya.
4. Berikan makanan sedikit tapi sering
R/ Sebagai antisipasi mual muntah yang dialami klien.
5. Berikan makanan dalam kondisi hangat
R/ Makanan yang hangat meningkatkan nadsu makan melalui
rangsangan indra penciuman dan pengecapan.
6. Berikan makanan sesuai kesukaan, kecuali jika kontra indikasi.
R/ Membantu meningkatkan asupan makanan.
7. Lakukan perawatan mulut, berikan penyegar mulut.
R/ Kebersihan mulut akan meningkatkan kenyamanan dan
mengguggah naffsu makan.
8. Timbang berat berat badan klien setiap hari.
37
R/ Sebagai monitor perkembangan status nutrisi dan efek
terapi yang telah diberikan.
9. Kolaborasi pemberian jenis diet dengan team gizi
R/ Masing-masing kondisi penyakit mempunnyai jenis
kebutuhan akan nutrisi yang berbeda-beda.
10. Kolaborasi pemberian terapi tambahan nutrici dan cairan
R/ Meningkatkan asupan kebutuhan cairan.
11. Kolaborasi pemantauan hasil biokimia status gizi dengan team
laboratorium
R/ Mengetahui perkembangan kebutuha gizi dari segi
biokimia.
12. Kolaborasi pemberikan obat sesuai indikasi : sediaan besi;
Kalsium; Vitamin D dan B kompleks; Antiemetik
R/ Penanganan penyebab gangguan nutrisi bermanfaat untuk
mengatasi/membatasi masalah yang muncul akibat kekurangan
asupan nutrisi.
38
3.3.4. Kurang pengetahuan (spesifik) berhubungan dengan keterbatasan
paparan dan tidak familiar dengan sumber informasi.
Tujuan :
Menunjukkan pengatahuan tuberculosis paru, ditandai dengan
Kriteria hasil :
Klien dan keluarga mengetahui mengenai
a. Tuberkulosis paru
b. Penyebab
c. Tanda dan gejala
d. Komplikasi
e. Penanganan (misal: peembedahan, kemoterapi, dll) dan
kondisi2 yang biasanya muncul pada setiap pemberian
penaganan
Rencana keperawatan :
1. Tentukan kebutuhan pengajaran klien dengan melakukan
penilaian tingkat pengetahuan klien dan pemahamannya.
R/ Untuk mengetahui kenbutuhan klien akan informasi/bahan
pembelajaran.
2. Tentukan kemampuan klien untuk mempelajari informasi
khusus (misalnya: tingkat perkembangan, status psikologis,
orientasi, nyeri, keletihan, keadaan emosional, dan adaptasi
terhadap sakit).
R/ Untuk menentukan tehnik pemberian bahan ajaran.
39
3. Bantu klien untuk memahami dan mengetahui secara mental
mengenai pembedahan serta periode pemulihan pascaoperasi.
R/ Mengurangi kecemasan.
4. Berikan pengajaran sesuai dengan tingkat pemahaman klien
R/ Ketidaksesuaian antara tingkat pemahaman dengan tehnik
pembelajaran akan menghambat transformasi ilmu.
5. Ulangi informasi jika dibutuhkan.
R/ Peningkatan intensitas pemaparan bahan ajaran akan
membantu kemampuan mengingat.
6. Gunakan alat bantu pembelajarran jika diperlukan (Misalnya:
leafflet, alat peraga, video, dll)
R/ Membantu pemahaman dan proses mengingat
7. Berinteraksi kepada klien dengan cara tidak menghakimi
untuk memfasilitasi pengajaran.
R/ Sikap menggurui dapat mengundang ketersinggungan
dan/atau rendah diri pada klien, sehingga akan menghambat
proses belajar.
8. Kaji feed back klien dan keluarga.
R/ Mengetahui sejauh mana penerimaan klien terhadap
informasi yang telah diberikan.
40
3.3.5. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan membran kapiler-
alveolar.
Tujuan :
Gangguan pertukaran gas terkurangi, ditandai dengan
Kriteria hasil :
a. Ventilasi tidak bermasalah
b. Klien dalam keadaan compos mentis
c. Dispnea pada saat istirahat dan aktivitas tidak ada
d. Tidak ada gelisah dan keletihan
e. Tidak ada sianosis
f. Hasil laboratorium PaCO2, PaO2, pH arteri dan saturasi O2
dalam batas normal
Rencana keperawatan :
1. Kaji keadaan umum
R/ untuk mengetahui efek penyakit terhadap body sistem.
2. Kaji bunyi paru
R/ untuk mengetahui kelainan atau kondisi paru serta efek
terapi.
3. Pantau saturasi O2 dengan oksimeter nadi
R/ memantau kondisi pemenuhan oksigen sesuai kebutuhan
oksigen
4. Pantau GDA (PaCO2, PaO2, dll)
41
R/ memantau kondisi jumlah oksigen dalam darah
5. Pantau status pernapasan dan O2 sesuai kebutuhan
R/ pemantauan status penapasan sangat bermanfaat untuk
menentukan penggunaan alat bantu napas (oksigen)
6. Ajarkan kepada klien teknik napas dalam dan relaksasi
R/ pemenuhan oksigen lebih efektif jika tidak digunakan
alat bantu napas.
7. Jelaskan kepada klien penggunaan alat bantu pernapasan
(O2, spirometer, suction).
R/ dengan pengetahuan yang baik diharapkan klien tidak
cemas
8. Kolaborasi pemberian obat-obatan (natrium, bikarbonat,
aerosol, dll), Oksigen.
R/ Pemberian obat sangat bermanfaat sebagai tindakan
invasive, untuk meminimalkan perluasan daerah kerusakan
paru oleh kuman Tuberkolosa.
42
3.3.6. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolik
Tujuan :
Pasien akan menunjukan termoregulasi setelah diberikan intervensi
selama (sebutkan jumlah waktu), ditandai dengan
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh dalam rentang normal
b. Nadi dan pernapasan dalam rentang nrmal
c. Tidak ada perubahan warna kulit
d. Klien tampak menggunakan sikap tubuh yang dapat
mengurangi panas
e. Klien menunjukan metode yang tepat untuk mengurangi
peningkatan suhu tubuh
Rencana keperawatan :
1. Observasi keadaan umum klien
R/ Mengetahui kondisi keseluruhan klien.
2. Pantau tanda-tanda vital tiap dua jam (dapat disesuaikan sesuai
kebutuhan)
R/ Mengetahui perkembangan kondisi fisik dan hasil intervensi
3. Untuk pasien bedah: Dapatkan riwayat pribadi dan keluarga
terhadap hipertermia.
43
R/ Sebagai tindakan antisipasi terhadap kemungkinan
komplikasi yang akan muncul oleh karena hipertermi, serta
riwayat masalalu mempunyai resiko untuk terulang kembali.
4. Berikan kompres hangat pada daerah axsila, lipatan paha,
kening, leher dan dahi.
R/ Kompres dapat membantu proses dilatasi vaskuler, sehingga
mempercepat proses penyesuaian suhu tubuh dengan suhu
lingkungan melalui transfer panas.
5. Anjurkan keluarga untuk menggunakan pakaian yang tipis dan
menyerap keringat.
R/ Meningkatkan rasa nyaman dan mempercepat proses
penyesuaian panas tubuh dnegan lingkungan.
6. Ajarkan kepada keluarga penanganan mandiri hipertermia
R/ Kemampuan mandiri keluarga sangat membantu perbaikan
kondisi klien oleh karena keadekuatan intervensi yang didapat
klien, selain dari perawat.
7. Anjurkan asupan oral
R/ Peningkatan asupan oral bertujuan mengganti cairan yang
keluar oleh kare peningkatan suhu serta dapat membantu
menurunkan suhu tubuh.
44
8. Untuk hipertermia maligna: lakukan perawatan kedaruratan
sesuai dengan protokol; pertahankan peralatan kedaruratan di
area operasi sesuai dengan protokol.
9. Ajarkan kepada keluarga dan klien mengenai cara mengenali
dan mencegah secara dini hipertermi (misalnya: sengatan
panas, dan keletihan karena panas).
R/ Sebagai tindakan mandiri klien dan keluarga dirumah.
10. Kolaborasi pemberian antipiretik
R/ Pemberian antipiretik dapat membantu menurunkan suhu.
3.3.7. Cemas berhubungan dengan situasi krisis dan status kesehatan
Tujuan :
Cemas berkurang, ditandai dengan
Kriteria hasil :
a. Kontrol agresi (tidak menunjukan perilaku agresif)
b. Kontrol cemas (klien mampu mengidentifikasi gejala yang
merupakan indikator kecemasan klien, melaporkan tidak ada
gangguan persepsi sensori, tidak ada manifestasi perilaku
akibat kecemasan, tidak adamanifestasi kecemasan secara
fisik).
c. Koping efektif (klien mengkomunikasikan kebutuhan dna
perasaan negatif secara tepat).
d. Keterampilan interaksi sosial efektif.
45
Rencana keperawatan :
1. Tentukan pengalaman klien sebelumnya terhadap penyakit
yang dideritanya.
R/ Data-data mengenai pengalaman klien sebelumnya akan
memberikan dasar untuk penyuluhan dan menghindari adanya
duplikasi.
2. Berikan informasi tentang prognosis secara akurat.
R/ Pemberian informasi dapat membantu klien dalam
memahami proses penyakitnya.
3. Beri kesempatan pada klien untuk mengekspresikan rasa
marah, takut, konfrontasi. Beri informasi dengan emosi wajar
dan ekspresi yang sesuai.
R/ Dapat menurunkan kecemasan klien.
4. Jelaskan pengobatan, tujuan dan efek samping. Bantu klien
mempersiapkan diri dalam pengobatan.
R/ Membantu klien dalam memahami kebutuhan untuk
pengobatan dan efek sampingnya.
5. Catat koping yang tidak efektif seperti kurang interaksi sosial,
ketidak berdayaan dll.
R/ Mengetahui dan menggali pola koping klien serta
mengatasinya/memberikan solusi dalam upaya meningkatkan
kekuatan dalam mengatasi kecemasan.
46
6. Anjurkan untuk mengembangkan interaksi dengan support system.
R/ Agar klien memperoleh dukungan dari orang yang
terdekat/keluarga.
7. Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.
R/ Memberikan kesempatan pada klien untuk berpikir /
merenung / istirahat.
8. Pertahankan kontak dengan klien, bicara dan sentuhlah dengan
wajar.
R/ Klien mendapatkan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa dia
benar-benar ditolong.
3.3.8. Ganggguan pemenuhan kebutuhan tidur sehubungan daerah sesak
napas dan nyeri dada.
Tujuan : kebutuhan tidur terpenuhi.
Kriteria hasil :
a. memahami faktor yang menyebabkan gangguan tidur
b. Dapat menangani penyebab tidur yang tidak adekuat
c. Tanda – tanda kurang tidur dan istirahat tidak ada.
Rencana tindakan
1. kaji kebiasaan tidur penderita sebelum sakit dan saat sakit
R/ Untuk mengetahui sejauh mana gangguan tidur penderita.
47
2. Observasi efek abot – obatan yang dapat di derita klien
R/ Gangguan psikis dapat terjadi bila dapat menggunakan
kartifosteroid temasuk perubahan mood dan uisomnia
3. Mengawasi aktivitas kebiasaan penderita
R/ Untuk mengetahui apa penyebab gangguan tidur penderita
4. Anjurkan klien untuk relaksasi pada waktu akan tidur.
R/ Memudahkan klien untuk bisa tidur
5. Ciptakan suasana dan lingkungan yang nyaman.
R/ Lingkungan dan suasana yang nyaman akan mempermudah
penderita untuk tidur.
3.3.9. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga
pleura.
Tujuan :
Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal
Kriteria hasil :
Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal,
pada pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi
cairan, bunyi nafas terdengar jelas.
48
Rencana tindakan :
1. Identifikasi faktor penyebab.
R/ Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat
menentukan jenis effusi pleura sehingga dapat mengambil
tindakan yang tepat.
2. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan
setiap perubahan yang terjadi.
R/ Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman
pernafasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan
kondisi pasien.
3. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi
duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.
R/ Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga
ekspansi paru bisa maksimal.
4. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan
respon pasien).
R/ Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru.
5. Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam.
R/ Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada
bagian paru-paru.
49
6. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang
efektif.
R/ Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam.
Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih
efektif.
7. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan
obat-obatan serta foto thorax.
R/ Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan
mencegah terjadinya sianosis akibat hipoxia. Dengan foto
thorax dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan
kembalinya daya kembang paru.
3.3.10. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan
keletihan (keadaan fisik yang lemah).
Tujuan :
Pasien mampu melaksanakan aktivitas seoptimal mungkin.
Kriteria hasil :
Terpenuhinya aktivitas secara optimal, pasien kelihatan segar dan
bersemangat, personel hygiene pasien cukup.
50
Rencana tindakan :
1. Evaluasi respon pasien saat beraktivitas, catat keluhan dan
tingkat aktivitas serta adanya perubahan tanda-tanda vital.
R/ Mengetahui sejauh mana kemampuan pasien dalam
melakukan aktivitas.
2. Bantu Px memenuhi kebutuhannya.
R/ Memacu pasien untuk berlatih secara aktif dan mandiri.
3. Awasi Px saat melakukan aktivitas.
R/ Memberi pendidikan pada Px dan keluarga dalam
perawatan selanjutnya.
4. Libatkan keluarga dalam perawatan pasien.
R/ Kelemahan suatu tanda Px belum mampu beraktivitas
secara penuh.
5. Jelaskan pada pasien tentang perlunya keseimbangan antara
aktivitas dan istirahat.
R/ Istirahat perlu untuk menurunkan kebutuhan metabolisme.
6. Motivasi dan awasi pasien untuk melakukan aktivitas secara
bertahap.
R/ Aktivitas yang teratur dan bertahap akan membantu
mengembalikan pasien pada kondisi normal
51
3.4. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang spesifik (Nursalam, 2001).
Pada tahap pelaksanaan ini, fase pelaksanaan terdiri dari berbagai kegiatan
yaitu
1. Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan
konsulidasi
2. Keterampilan interpersonal, intelektual, tehnical, dilakukan dengan
cermat dan efisien pada situasi yang tepat
3. Keamanan fisik dan psikologia dilindungi
4. Dokumentasi intervensi dan respon klien.
3.5. EVALUASI (NOC)
Hal hal yang perlu dievaluasi dalam pemberian asuhan keperawatan berfokus
pada criteria hasil dari tiap-tiap masalah keperawatan dengan pedoman
pembuatan SOAP, atau SOAPIE pada masalah yang tidak terselesaikan atau
teratasi sebagian.
3.5.1. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tak adekuat.
Kriteria hasil :
a. Tidak ada tanda tanda dan gejala infeksi (rucatudolof).
b. Hygiene klien adekuat
c. Status gastrointestinal, pernapasan, genitourinaria, dan imun
dalam batas normal.
52
d. TTV dalam batas normal.
3.5.2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan
napas.
Kriteria Hasil :
a. Status jalan napas baik ditandai dengan hasil GDA ( - ).
b. Ventilasi adekuat.
c. Klien tampak rileks.
d. CRT ≤ 2 detik.
e. Tidak ada sianosis.
f. Klien bernapas dengan rileks (tidak ada dispnea).
g. Temuan sinar-x dada pada rentang yang diharapkan.
h. Klien mengeluarkan sekresi secara efektif.
i. Klien mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan di
Rumah.
3.5.3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia.
Kriteria hasil :
a. Berat badan klien bertahan/bertambah dari keadaan sebelumya
53
b. Klien menyatakan keinginan mengikuti diet.
c. Klien menunjukkan toleransi terhadap diet yang dinajurkan
d. Nilai laboratoorium (misalnya: transferin, albumin, dan elektrolit)
dalam rentang normal.
e. Klien tampak segar dan tidak lemas.
3.5.4. Kurang pengetahuan (spesifik) berhubungan dengan keterbatasan
paparan dan tidak familiar dengan sumber informasi.
Kriteria hasil :
Klien dan keluarga mengetahui mengenai
a. Tuberkulosis paru
b. Penyebab
c. Tanda dan gejala
d. Komplikasi
e. Penanganan (misal: peembedahan, kemoterapi, dll) dan
kondisi2 yang biasanya muncul pada setiap pemberian
penaganan
3.5.5. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan membran kapiler-
alveolar.
Kriteria hasil :
a. Ventilasi tidak bermasalah
b. Klien dalam keadaan compos mentis
c. Dispnea pada saat istirahat dan aktivitas tidak ada
54
d. Tidak ada gelisah dan keletihan
e. Tidak ada sianosis
f. Hasil laboratorium PaCO2, PaO2, pH arteri dan saturasi O2 dalam
batas normal
3.5.6. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolic
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh dalam rentang normal
b. Nadi dan pernapasan dalam rentang nrmal
c. Tidak ada perubahan warna kulit
d. Klien tampak menggunakan sikap tubuh yang dapat mengurangi
panas
e. Klien menunjukan metode yang tepat untuk mengurangi
peningkatan suhu tubuh
3.5.7. Cemas berhubungan dengan situasi krisis dan status kesehatan
Kriteria hasil :
a. Kontrol agresi (tidak menunjukan perilaku agresif)
b. Kontrol cemas (klien mampu mengidentifikasi gejala yang
merupakan indikator kecemasan klien, melaporkan tidak ada
gangguan persepsi sensori, tidak ada manifestasi perilaku akibat
kecemasan, tidak adamanifestasi kecemasan secara fisik).
55
c. Koping efektif (klien mengkomunikasikan kebutuhan dna perasaan
negatif secara tepat).
d. Keterampilan interaksi sosial efektif.
3.5.8. Ganggguan pemenuhan kebutuhan tidur sehubungan daerah sesak
napas dan nyeri dada.
Kriteria hasil :
a. memahami faktor yang menyebabkan gangguan tidur
b. Dapat menangani penyebab tidur yang tidak adekuat
c. Tanda – tanda kurang tidur dan istirahat tidak ada.
3.5.9. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga
pleura.
Kriteria hasil :
Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada
pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan,
bunyi nafas terdengar jelas.
56
3.5.10. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan
keletihan (keadaan fisik yang lemah).
Kriteria hasil :
Terpenuhinya aktivitas secara optimal, pasien kelihatan segar dan
bersemangat, personel hygiene pasien cukup.
57
BAB 4
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculi dan biasanya menjangkiti paru (Patofisiologi
Aplikasi pada Praktek Perawat. 2006 : 193).
Tuberkulosis (TB) Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculi dengan gejala yang sangat bervariasi (Kapita selekta
Kedokteran edisi 3 jilid 2. 2001 : 472).
Tuberculosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis.
Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat tahan asam pada perwarnaan.
Oleh karena itu, disebut sebagai basil tahan asam (Somantri, 2008 : 59).
2. SARAN
Dalam melakukan tulisan dan menjelaskannya kepada orang lain harus
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda dari
seharusnya. Begitu juga dalam penulisan Asuhan keperawatan harus dapat
dimengerti dan menjelaskan secara lengkap apalagi menyangkut penyakit
yang berbahaya.
58
Tulisan yang baik harus didasari atas kemampuan intelektual dan jiwa
seni dalam menulis sehingga pembaca dapat mengerti dari maksud dan tujuan.
Semoga tulisan ini bermanffat bagi kita semua.
59
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner &
Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner &
Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.
Wilkinson, judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC. EGC : Jakarta
Santosa, Budi. 2005. Panduan Dignosa Keperawatan Nanda 2005-2006. Prima
Medika : Jakarta.
Masjoer, arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid II. Media Aesculapius :
Jakarta.
Chang, Ester. 2009. Patofisiologi Aplikasi pada Praktek Perawat. EGC : Jakarta.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
Top Related