BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Teh
Pada umumnya tanaman teh berasal dari pegunungan antara Tibet dan Republik
Rakyat Cina (RRC) sebelah selatan, yaitu di daerah antara 25-53 derajat lintang utara,
dan antara garis katulistiwa 95-105 derajat. Hingga sekarang provinsi Szechwan
merupakan salah satu daerah teh yang terbesar di Asia Tenggara. (Spillane, 1992)
Ada beberapa versi cerita legenda tentang pertama kali ditemukannya tanaman
teh. Namun yang paling terkenal adalah legenda Khaisar Shen Nun di Cina pada tahun
2737 SM. Saat melakukan sebuah perjalanan di pinggiran kerajaan, Sang Kaisar
memasak air untuk minum seperti kebiasaannya. Kemudaian ada beberapa daun yang
terbang tertiup angin dan tanpa sengaja masuk ke dalam air yang dijerang.
Air pun berubah warna akibat masuknya dedaunan tersebut. Namun setelah
dicicipi ternyata punya ciri aroma dan rasa yang khas. Maka sejak itulah dikenal
minuman teh di Cina. Bahkan berkembang banyak teknik mengolah daun dan
menyeduhnya untuk mendapatkan aroma dan cita rasa terbaik. Selama Dinasti Sung
(937-1279) sajian teh adalah bentuk seni dan hanya dapat dinikmati oleh kaum
bangsawan dan elit saja. (Sujayanto, 2008).
Di negeri Jepang tanaman teh untuk pertama kali ditanam pada tahun 800,
diman bijinya di datangkan dari Tiongkok. Kemudian pada Abad VI pedagang-
pedagang Turki yang sudah mengadakan hubungan dengan Tiongkok, membawa teh
ke negerinya, dan pada Abad XVI, barulah hasil teh mulai dikenal orang di Eropa,
yaitu setelah pendeta-pendeta kristiani, yang datang kembali dari Tiongkok
Universitas Sumatera Utara
membawanya sebagai oleh-oleh. Pada tahun 1610 oleh pedagang bangsa Belanda
hasil teh dari tiongkok mulai diperdagangkan di negeri Belanda dan negeri-negeri lain
di Eropa dan pada Abad XVII orang Inggris pun mulai banyak yang mengkonsumsi
teh. (Spillane, 1992)
2.1.1. Nama Teh
Nama asli teh hampir sama. Penutur bahasa Hokkien asal Xiamen menyebutnya
sebagai te, sedangkan penutur bahasa Kantonis di Guangzhou dan Hong Kong
menyebutnya sebagai cha. Penutur dialek Wu di Shanghai dan sekitarnya
menyebutnya sebagai zoo.
Bahasa yang menyebut "teh" mengikuti sebutan te menurut bahasa Hokkien: bahasa
Afrikaans (tee), bahasa Armenia, bahasa Katalan (te), bahasa Denmark (te), bahasa
Belanda (thee), bahasa Inggris (tea), bahasa Esperanto (teo), bahasa Estonia (tee),
bahasa Faroe (te), bahasa Finlandia (tee), bahasa Perancis (th), bahasa Frisia (tee),
bahasa Galicia (t), bahasa Jerman (Tee), bahasa Hongaria (tea), bahasa Islandia (te),
bahasa Irlandia (tae), bahasa Italia (t), bahasa Latin (thea), bahasa Melayu (dan
bahasa Indonesia) (teh), bahasa Norwegia (te), bahasa Polandia (herbata dari bahasa
Latin herba thea), bahasa Gaelik-Skotlandia (t, teatha), bahasa Sinhala, bahasa
Spanyol (t), bahasa Swedia (te), bahasa Tamil (th), bahasa Wales (te), and bahasa
Yiddish (tei). (http://id.wikipedia.org/wiki/Teh.)
2.1.2. Perkembangan Teh Di Indonesia
Tanaman teh pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1686, berupa biji teh dari jepang
yang dibawa oleh seorang Belanda bernama Andreas Cleyer, dan ditanam sebagai
tanaman hias di Jakarta. Pada tahun 1694, seorang pendeta bernama F. Valentijn
Universitas Sumatera Utara
melaporkan melihat perdu teh muda berasal dari China tumbuh di Taman Istana
Gubernur Jendral Champhuys di Jakarta, setelah pada tahun 1824 Dr.Van Siebold
seorang ahli bedah tentara Hindia Belanda yang pernah melakukan penelitian alam di
Jepang mempromosikan usaha pembudidayaan dengan bibit teh dari Jepang.
Pada tahun 1826 tanaman teh berhasil ditanam melengkapi Kebun Raya Bogor, dan
pada tahun 1827 di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut, Jawa Barat. Usaha
perkebunan teh pertama dipelopori oleh Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson,
seorang ahli teh pada tahun 1828, yang kemudian digunakan sebagai dasar bagi usaha
perkebunan teh di Jawa dan sejak itu menjadi komoditas yang menguntungkan
pemerintah Hindia Belanda, sehingga pada masa pemerintahan Gubernur Van Den
Bosh, teh menjadi salah satu tanaman yang harus ditanam rakyat melalui politik
Tanam Paksa (Culture Stelsel). Pada masa kemerdekaan, usaha perkebunan dan
perdagangan teh diambil alih oleh pemerintah RI. Sekarang, perkebunan dan
perdagangan teh juga dilakukan oleh pihak swasta.
(http://travelogue.multiply.com/journal/item/6).
2.2. Taksonomi Teh
Kingdom : Plantae
Division : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Kelas : Dichotyledoneae
Ordo : Trantroemiaccae
Family : Theaceae
Genus : Camellia
Spesies : Camellia sinensis (L) (Fitri, 2009)
Universitas Sumatera Utara
2.2.1. Tanaman Teh
Tanaman teh umumnya telah dikenal penduduk Indonesia terutama sebagai penyegar
minuman, kata latinnya Camellia sinensis (L) O. Kuntze, termasuk familia theaceae.
Selain di Indonesia, tumbuh pula di India, Srilangka dan Cina.
Daun teh berbau khas aromatik rasanya agak sepat, tentang uraian
makroskopiknya adalah sebagai berikut :
1. Helai-helai daun dapat dikatakan cukup tebal, kaku berbentuk sudip melebar
sampai sudip memanjang, panjangnya tidak lebih dari 5 cm, bertangkai
pendek,
2. Permukaan daun bagian atas mengkilat, pada daun muda permukaan bawahnya
berambut sedangkan pada daun tua menjadi licin,
3. Tepi daun bergerigi, agak tergulung ke bawah, berkelenjar yang khas dan
terbenam. (Kartasapoetra, 1992)
2.3. Jenis dan Pengolahannya
Secara garis besar teh dibagi dalam tiga kelas yaitu,
1. teh hijau (green tea)
2. teh hitam (black tea) dan
3. teh oolong (teh setengah fermentasi)
Ketiga jenis teh di atas dapat dibuat dari daun teh yang sama tergantung pada
bagaimana daun teh diproses. Terjadi perbedaan yang sangat besar dari proses
oksidasi enzimatik dari komponen tanin di dalam daun teh. Jika enzim tersebut
dibiarkan bereaksi, enzim tersebut merubah hijau daun menjadi hitam, hal tesebut juga
terjadi pada buah apel segar yang dipotong atau dikupas dapat mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
penurunan kesegarannya. Jika enzim di dalam daun teh tersebut dinonaktifkan oleh
panas, misalnya pada proses pemutihan, sisa dari daun teh hijau.
Jika oksidasi parsial yang terjadi dengan pemanasan yang tertunda, akan
menghasilkan sebuah intermediat teh yaitu teh Oolong. Oksidasi enzimatis dari daun
teh disebut fermentasi. Fermentasi daun teh ini menghasilkan teh hitam, daun teh yang
difermentasi sebagian menghasilkan teh Oolong. Bersamaan dengan perbedaan warna
berbeda pula rasanya. (Potter, 1986)
a. Pengolahan Teh Hitam (Black Tea)
Sebelum menjadi teh hitam yang kering daun-daun teh tersebut telah melewati
berbagai macam proses yaitu :
1. Proses Pemetikan
Proses ini dilakukan dengan tangan agar lebih selektif. Kalau dengan alat
pemotong misalnya ani-ani yang digunakan untuk memanen padi, batang
keras pun kemungkinan besar akan ikut terpotong
2. Proses Pelayuan
Proses selanjutnya adalah pelayuan. Proses ini bertujuan untuk mengurangi
kadar air sehingga kandungan enzim dalam pucuk teh lebih kental. Proses
ini dilakukan pada tempat pelayuan (withering trough) berupa kotak
persegi panjang beralaskan kawat kasa. Di bawah kawat kasa ini terdapat
blower penghembus udara kearah kasa. Pucuk daun teh dibeberkan di atas
withering trough dengan ketebalan 30 cm, bagian permukaannya harus rata
agar pelayuan merata. Hembusan udara tadi dapat menerbangkan air dalam
daun teh. Proses pelayuan berlangsung 7-24 jam. Untuk mencapai kadar air
yang diinginkan maka dilakukan proes pembalikan. Langkah ini juga
supaya pucuk teh tidak terbang tertiup blower. Kemudian hamparan pucuk
Universitas Sumatera Utara
teh dibongkar untuk dimasukkan ke dalam conveyor (semacam corong
yang dihubungkan dengan alat penggiling). Lalu teh dimasukkan ke dalam
tong plastik lantas diletakkan ke ban berjalan untuk masuk ke ruang giling.
3. Proses Penggilingan
Setelah itu daun masuk ke mesin penggilingan. Yaitu Green Leaf Shifter,
pada proses ini pucuk teh masuk ke mesin getar. Dengan demikian pucuk
teh terpisahkan dari ulat, kerikil, pasir dan serpihan lain melalui perbedaan
berat jenisnya. Pucuk teh tersebut masuk ke conveyor untuk mengalami
proses penggilingan awal dengan mesin BLC (barbora leaf conditioner),
dimana pucuk teh dipotong menjadi serpihan kecil-kecil sebagai prakondisi
untuk proses penggilingan selanjutnya menggunakan mesin Crush Tear &
Curl (CTC) dan agar fermentasi dapat berlangsung dengan lancar. Out put
yang dihasilkan adalah berupa bubuk teh basah berwarna hijau.
4. Proses Fermentasi
Proses ini lebih tepat disebut oksidasi enzimatik. Mesin bekerja membeber
bubuk daun teh basah hingga terpapar oksigen sehingga terjadi perubahan
warna. Pada ujung fermentasi teh akan berwarna kecoklatan. Selain
perubahan warna juga terjadi perubahan aroma, dari bau daun menjadi
harum teh. Proses ini berlangsung selama 1-5 jam dengan suhu optimal 26-
27oC .
5. Proses Pengeringan
Tujuan dari proses ini adalah untuk menghentikan reaksi oksidasi
enzimatik pada daun teh. Selain itu juga untuk membunuh
mokroorganisme yang beresiko terhadap kesehatan. Pengeringan ini juga
dapat membuat teh tahan lama disimpan karena kadar air yang rendah
Universitas Sumatera Utara
dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Pengeringan dilakukan dengan
menggunakan oven besar Fluid Bed Dryer (FDB), dengan suhu masuk
100-120oC dan suhu keluarnya 80-105oC selama 15-20 menit. Sehingga
kadar airnya hanya 2,5-3 % saja di dalam teh, selanjutnya proses sortasi
dan pengemasan.
b. Pengolahan Teh Hijau (Green Tea)
Sebelum menjadi teh hijau yang kering, teh hijau ini juga mengalami beberapa
proses yaitu:
1. Proses Pemetikan
Proses ini dilakukan dengan tangan agar lebih selektif. Kalau dengan alat
pemotong misalnya ani-ani yang digunakan untuk memanen padi, batang
keras pun kemungkinan besar akan ikut terpotong..
2. Proses Pelayuan
Proses selanjutnya adalah pelayuan. Proses ini bertujuan untuk
inaktivasikan enzim polifenol oksidase dan mengurangi kadar air hingga
60-70 %. Proses ini dilakukan dengan system rotary panner dengan panas
80-100oC selama 2-4 menit
3. Proses Penggulungan
Proses peggulungan ini dilakukan dengan sistem open top roller selama
15-17 menit. Tujuannya adalah untuk memecah sel daun sehingga
menghasilkan rasa sepet. Tapi proses penggulungannya tidak sampai
hancur seperti pada proses teh hitam (pada bagian penggilingan)
4. Proses Pengeringan
Proses selanjutnya adalah pengeringan yang dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama dilakukan pada suhu 110-135oC selama 30 menit. Tahap
Universitas Sumatera Utara
berikutnya pemanasan 70-90o C dalam waktu 60-90 menit, selanjutnya
proses sortasi dan pengemasan. (Sujayanto, 2008)
c. Teh Oolong
Sebelum menjadi teh oolong yang kering dan dapat dikonsumsi secara praktis,
teh tersebut mengalami beberapa tahapan proses yaitu :
1. Proses Pemetikan
Proses ini dilakukan dengan tangan agar lebih selektif. Kalau dengan alat
pemotong misalnya ani-ani yang digunakan untuk memanen padi, batang
keras pun kemungkinan besar akan ikut terpotong.
2. Proses Pelayuan
Proses pelayuan ini dilakukan dengan menggunakan sinar matahari selama
90 menit. Kemudian dipaparkan di dalam ruangan untuk dilakukan
kembali proses pelayuan selama 4-8 jam
3. Proses Pengeringan
Pada proses pengeringan dilakukan dengan Panning System, hal ini
bertujuan untuk inaktivasi enzim agar fermentasi tidak sempurna atau
fermentasinya parsial.
4. Proses Penggulungan
Proses peggulungan ini dilakukan dengan sistem open top roller selama 5-
12 menit. Tujuannya adalah untuk memecah sel daun sehingga
menghasilkan rasa sepat. Tapi proses penggulungannya tidak sampai
hancur seperti pada proses teh hitam (pada bagian penggilingan)
Universitas Sumatera Utara
5. Proses Pengeringan
Dilakukan proses pengeringan kembali sampai kadar air di dalam daun teh
yang sudah digulung dan dipotong tersisa 3-5%. Kemudian dilanjutkan
dengan proses sortasi dan pengemasan. (Tambunan, 2010)
2.4. Komposisi Kimia Teh
Teh mengandung sejenis antioksidan yang bernama katekin. Pada daun teh segar,
kadar katekin bisa mencapai 30% dari berat kering. Teh hijau mengandung katekin
yang tinggi, sedangkan teh hitam mengandung lebih sedikit katekin karena katekin
hilang pada saat proses oksidasi. Teh juga mengandung kafein (sekitar 3% dari berat
kering atau sekitar 40 mg per cangkir), teofilin dan teobromin dalam jumlah sedikit.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Teh).
Menurut Kartasapoetra (1992) kandungan zat pada daun-daunnya adalah 1%-
4% kafein, 7%-15% tanin dan sedikit minyak atsiri.
2.4.1. Tanin
Senyawa-senyawa tanin termasuk suatu golongan senyawa yang berasal dari
tumbuhan yang sejak dahulu kala digunakan untuk merubah kulit hewan menjadi
kedap air, dan awet. Istilah tanin diperkenalkan oleh Seguil pada tahun 1796. Pada
waktu itu belum diketahui bahwa tanin tersusun dari campuran bermacam-macam
senyawa, bukan hanya satu golongan senyawa saja. Senyawa-senyawa tanin dapat
diartikan sebagai suatu senyawa-senyawa alami dengan bobot molekul antara 500 dan
3000, serta mempunyai sejumlah gugus hidroksi fenolik dan membentuk ikatan silang
Universitas Sumatera Utara
yang stabil dengan protein dan biopolimer lain, misalnya selulosa dan pektin.
(Manitto, 1992).
Tanin disebut juga asam tanat dan asam galotanat. Tanin dapat tidak berwarna
sampai berwarna kuning atau coklat. Asam tanat yang dapat dibeli di pasaran
mempunyai BM 1701 dan kemungkinan besar terdiri dari sembilan molekul asam
galat dan sebuah molekul glukosa. Beberapa ahli pangan berpendapat bahwa tanin
terdiri dari katekin, leukoantosianin, dan asam hidroksi yang masing-masing dapat
menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam. (Winarno, 1992)
Tanin merupakan senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawaan
polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H, dan O serta sering membentuk
molekul besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000. (Risnasari, 2001)
2.4.2. Sifat Tanin
Sifat utama tanin tumbuh-tumbuhan tergantung pada gugusan phenolik-OH yang
terkandung dalam tanin, dan sifat tersebut secara garis besar dapat diuraikan sebagai
berikut:
Secara kimia tanin memiliki sifat sebagai berikut:
Tanin memiliki sifat umum, yaitu memiliki gugus phenol dan bersifat koloid.
Karena itu di dalam air bersifat koloid dan asam lemah
Semua jenis tanin dapat larut dalam air. Kelarutannya besar, dan akan
bertambah besar apabila dilarutkan dalam air panas. Begitu juga tanin akan
larut dalam pelarut organik seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik
lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Dengan garam besi memberikan reaksi warna. Reaksi ini digunakan untuk
menguji klasifikasi tanin, karena tanin dengan garam besi memberikan warna
hijau dan biru kehitaman. Tetapi uji ini kurang baik, karena selain tanin yang
dapat memberikan reaksi warna, zat-zat lain juga dapat memberikan warna
yang sama.
Tanin akan terurai menjadi pyrogallol, pyrocatechol dan phloroglucinol bila
dipanaskan sampai suhu (99oC-102oC)
Tanin dapat dihidrolisa oleh asam, basa dan enzim
Ikatan kimia yang terjadi antara tanin-protein atau polimer-polimer lainnya
terdiri dari ikatan hidrogen, ikatan ionik dan ikatan kovalen
Secara fisik tanin memiliki sifat sebagai berikut:
Umumnya tanin mempunyai berat molekul tinggi dan cenderung mudah dioksidasi
menjadi suatu polimer, sebagian besar tanin bentuknya amorf dan tidak
mempunyai titik leleh
Tanin berwarna putih kekuning-kuningan sampai coklat terang, tergantung dari
sumber tanin tersebut.
Tanin berbentuk serbuk atau berlapis-lapis seperti kulit kerang, berbau khas dan
mempunyai rasa sepat (astrigent)
Warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung atau dibiarkan di
udara terbuka
Tanin mempunyai sifat atau daya bakterostatik, fungistatik dan merupakan racun.
(Risnasari, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Prinsip kerja spektrofotometri adalah pada metoda spektrofotometris, sampel
menyerap radiasi (pemancaran) elektromagnetis, yang pada panjang gelombang
tertentu dapat terlihat. Sedangkan alat tersebut yang terdiri dari lampu dengan sinar
putih, sebuah kisi untuk memilih salah satu dari panjang gelombang (monokromator),
1 atau 2 sel sebagai tempat sampel dan blanko (jika 1 berarti alat memakai sinar
tunggal dan jika 2 berarti alat mamakai sinar ganda), sebuah fotosel yang peka
terhadap sinar cahaya yang menembus sel larutan serta elektronika yang digunakan
untuk membandingkan berapa energi sinar cahaya yang dapat menembus blanko dan
larutan berwarna. (Alaerts dan Santika, 1984).
2.5.1. Instrumentasi Speektrofotometer UV-Visibel
Keterangan :
SR = sumber radiasi D = detektor
M = monokromator A = amplifier
SK = sampel kompartemen VD = visual display
Setiap bagian peralatan optik dari spektrofotometer UV-Visibel memegang
fungsi dan peranan tersendiri yang saling terkait fungsi dan peranannya. (Mulja, 1995)
2.5.2. Hukum Lambert-Beer
Analisa dengan spektrofotometri UV-Visibel selalu melibatkan pembacaan absorban
radiasi elektromagnetik oleh molekul atau radiasi elektromagnetik yang diteruskan.
Keduanya dikenal sebagai absorban (A) dan transmitan dengan satuan persen (%T).
Apabila suatu radiasi elektromagnetik dikenakan kepada suatu larutan dengan
SR M SK D A VD
Universitas Sumatera Utara
intensitas radiasi semula (Io), maka sebagian radiasi tersebut akan diteruskan (It),
dipantulkan (Ir) dan diabsorpsikan (Ia) sehingga:
Io = Ir + Ia + It
karena harga Ir (=4%) dengan demikian dapat diabaikan karena pengerjaan dengan
metode spektrofotometri UV-Visibel dipakai larutan pembanding, maka :
Io = Ia + It
Bouguer dan Lambert menyatakan bahwa intensitas sinar yang diteruskan oleh
larutan zat penyerap secara eksponensial berbanding lurus dengan tebalnya sel atau
kuvet yang digunakan. Sedangkan Beer menyatakan bahwa hukum tersebut juga
berpengaruh pada konsentrasi, maka Beer menyimpulkan bahwa intensitas sinar yang
diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan konsentrasi larutan.
Sehingga dapat diambil suatu kombinasi dari kedua hukum tersebut yaitu : intensitas
sinar yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal sel dan
konsentrasi larutan. Dan dapat dinyatakan sebagai berikut :
T = It / Io = 10 c . b
A = log I / T = . c. b
Dimana :
A : absorban
b : tebal kuvet
c : konsentrasi
It : intensitas radiasi yang diteruskan
Io : intensitas radiasi yang datang
T : % transmitansi
: absorbansi molar (Mulja, 1995)
Universitas Sumatera Utara
Top Related