BAB I
PENDAHULUAN
I.I. Latar Belakang
Pre Eklamsi Berat (PEB) merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai
dengan timbulnya hipertensi ≥160/110 disertai protein urine dan atau edema, pada
kehamilan 20 minggu atau lebih (Abadi et al, 2008; Coppage & Sibai, 2007).
Kurang lebih 50.000 ibu meninggal karena preeklampsia tiap tahun diseluruh
dunia dan hipertensi pada kehamilan menyebabkan 15%-20% kematian ibu dan
kurang lebih 30% bayi yang dilahirkan mengalami asfiksia selama persalinan dan
IUFD (intrauterine fetal death sebesar 12% kematian perinatal terjadi karena
asfiksia. (Wijayanto, 2012)
Penyulit yang sering terjadi pada anestesi dalam penatalaksanaan operasi
SC adalah keluhan penderita dengan adanya tanda-tanda PEB, sehingga perlu
evaluasi klinis lebih lanjut apakah anastesi yang akan digunakan aman bagi ibu
dan janin dengan PEB, karena sebagian besar penggunaan obat anastesi akan
meningkatkan tekanan darah. Hal tersebut dapat menjadi penyulit jika
anestesiologist tidak tepat dalam menentukan penggunaan teknik anestesi yang
akan dilakukan.
Penderita bedah obstetric ginekologi seperti SC merupakan indikasi
penggunaan teknik spinal anastesi, namun teknik spinal anastesi juga memiliki
efek samping yaitu hipotensi sehingga mempengaruhi aliran darah ke
uteroplacental yang dapat meningkatkan kejadian asfiksia pada janin.
Penggunaan general anastesi juga dapat digunakan pada pasien SC
dengan PEB dimana efeknya terjadi peningkatan tekanan arteri sistemik atau
pulmoner saat induksi sehingga menyebabkan muncul penyulit pada operasi. Oleh
karena itu, perlu adanya pertimbangan dan evaluasi klinis yang cukup untuk
menentukan penggunaan teknik anastesi yang efektif digunakan dan memiliki
penyulit yang lebih minimal.
1
General anestesi merupakan teknik yang paling banyak dilakukan pada
berbagai macam prosedur pembedahan. Teknik ini menghilangkan kesadaran
yang bersifat pulih kembali (reversible) dan meniadakan nyeri secara sentral.
Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi. Induksi anestesi merupakan
peralihan dari keadaan sadar dengan reflek perlindungan masih utuh sampai
dengan hilangnya kesadaran (ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata) akibat
pemberian obat–obat anestesi (Wijayanto, 2012). Berbagai teknik anestesi umum
yang sering dilakukan adalah inhalasi dengan respirasi spontan menggunakan
sungkup wajah, intubasi endotrakeal dan Laryngeal mask airway (LMA) (Latief,
2010).
Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang
dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang
subarachnoid untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatoma tertentu.
Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di
regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, untuk menghasilkan onset anestesi
yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi.
Kontra indikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi di
daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan tekanan
intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan
kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati
seperti penyakit demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi pada katup jantung serta
kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga menyebutkan kontraindikasi
kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada tempat penusukan,
ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi yang
meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang banyak.
Sectio caesaria berarti bahwa bayi dikeluarkan dari uterus yang utuh
melalui operasi abdomen. Di negara-negara maju, angka sectio caesaria
meningkat dari 5 % pada 25 tahun yang lalu menjadi 15 %. Peningkatan ini
sebagian disebabkan oleh “mode”, sebagian karena ketakutan timbul perkara jika
tidak dilahirkan bayi yang sempurna, sebagian lagi karena pola kehamilan, wanita
menunda kehamilan anak pertama dan membatasi jumlah anak.
2
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah tingkat keefektifan penggunaan anestesi umum dengan
inhalasi?
b. Bagaimanakah tingkat keefektifan penggunaan anestesi spinal?
I.3. Tujuan
Tujuan dari pembuatan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui
perbedaan efektivitas teknik anestesi inhalasi dengan anestesi spinal pada pasien
preeklamsia berat yang dilakukan sectio caesaria.
1.4 Metode Penulisan
Penulis menggunakan metode ilustrasi kasus dengan pencarian literatur
yang sesuai. Teknik yang digunakan penulis dalam pengumpulan data adalah:
1. Studi Pustaka
Studi pustaka adalah cara penelitian dengan mengumpulkan data secara
komprehensif untuk mendapatkan data/ teori yang berhubungan dengan tindakan
sectio caesaria pada pasien PEB dan perbandingan efikasi anestesi inhalasi
dengan anestesi spinal melalui buku, makalah penelitian dan berbagai literatur
sebagai referensi.
2. Ilustratif
Penulis memberikan gambaran antara keadaan pasien dengan gambaran
teori yang ada pada penelitian dan literatur sebelumnya.
I.5 Kerangka Konsep
Anestesi Inhalasi
Pre Eklampsia
Berat Sectio Caesaria
Anestesi Spinal
Gambar 1. Kerangka konsep
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 ANESTESI INHALASI
Anestesi inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum. Anestesi
umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum (NU).
Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien. (Dobson, 2009)
II.1.1. Teknik Anestesi Inhalasi
II.1.1.1. Inhalasi dengan Respirasi Spontan (Latief, 2009)
a. Sungkup wajah
Anestesi dengan menggunakan sungkup wajah dianjurkan apabila
pembedahan singkat yaitu antara setengah sampai satu jam tanpa
membuka peritoneum, bukan operasi daerah kepala atau leher,
lambung kosong, ASA 1 – 2. Berikut penjelasan tentang anestesi
inhalasi dengan sungkup wajah (Katzung, B.G., Miller, R.D., 2009):
Indikasi
1. Pada operasi kecil dan sedang di daerah permukaan tubuh dan
berlangsung singkat dengan posisi terlentang tanpa membuka
rongga perut
2. Keadaan umum pasien cukup baik
3. Lambung dalam keadaan kosong
Kontraindikasi
1. Operasi di daerah kepala dan jalan napas
2. Operasi dengan posisi miring atau tertelungkup
Prosedur
1. Pasien telah disiapkan sesuai dengan pedoman
2. Pasang alat pantau yang diperlukan
3. Siapkan alat-alat dan obat resusitasi
4
4. Siapkan mesin anestesi dengan system sirkuitnya dan gas anestesi
yang digunakan
5. Induksi dengan penthotal atau dengan obat hipnotik yang lain
6. Berikan salah satu kombinasi obat inhalasi
7. Awasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi
berikan nafas bantuan intermiten secara sinkron sesuai dengan
irama napas pasien
8. Pantau denyut nadi dan tekanan darah
9. Bila operasi sudah selesai, henitikan aliran gas/obat anestesi
inhalasi dan berikan oksigen 100% (4-8 liter/menit) selama 2-5
menit.
b. Intubasi endotrakeal
Indikasi dalam penggunaan intubasi endotrakeal adalah bila
pembedahan lama lebih dari 1 jam, dan jika pembedahan dilakukan
dalam daerah kepala dan leher. Intubasi endotrakeal dapat dilakukan
dengan bantuan pelemas otot ataupun tanpa pelemas otot. Pelemas
otot yang dapat digunakan antara lain suksinil kolin, atrakurium,
vekuronium, pankuronium, mivakurium, dan rokuronium. Tiap-tiap
obat pelemas otot memiliki kelebihan dan kekurangan serta memiliki
mula kerja (onset of action) dan durasi kerja (duration of action) yang
berbeda. Sehingga penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan.
c. Laryngeal mask airway (LMA)
LMA hanya dianjurkan pada pasien yang puasanya cukup (lambung
kosong). Operasi yang dilakukan sangat singkat.
II.1.1.2. Anestesi dengan Endoktraeal
Intubasi dengan pipa endotrakeal adalah tindakan memasukan pipa ke
dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan
dikendalikan. Tujuan dilakukannya tindakan intubasi dengan pipa endotrakhea
adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan
nafas agar tetap paten, mempermudah pemberian anestesi, serta mempermudah
pemberian ventilasi dan oksigenasi pada pasien operasi.
5
Indikasi
1. Infant dan anak muda
2. Dewasa yang memilih anestesi umum
3. Pembedahannya luas/ekstensif
4. Penderita sakit mental
5. Operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru
6. Sebagai patensi jalan nafas
7. Adanya penyakit atau kelainan jalan nafas atas
Kontraindikasi
1. Trauma jalan nafas berat atau obstruksi yang tidak memberikan
pemasangan ET yang aman.
2. Trauma servikal, dimana membutuhkan immobilisasi komplit
II.1.1.3 Laryngeal Mask Airway
Laryngeal Mask Airway (LMA) merupakan salah satu alat bantu bantu
napas yang telah dipergunakan secara luas. LMA mempunyai keunggulan yaitu
terdapat pipa ke saluran pernapasan dan saluran pencernaan serta memiliki
anatomi yang melengkung sehingga mudah untuk dimasukkan atau disisipkan
pada laring.
Indikasi
1. Untuk menghasilkan jalan nafas yang lancar tanpa penggunaan sungkup
wajah
2. Untuk menghindari penggunaan ET
3. Dilakukan pada kasus kesulitan intubasi
4. Dilakukan bila gagal menggunan ET
Kontraindikasi
1. Ketidakmampuan menggerakkan kepala atau membuka mulut > 1,5 cm.
2. Kelainan di sekitar faring (abses, hematom)
3. Obstruksi jalan nafas pada atas atau bawah laring
4. Meningkatnya resiko regurgitasi
5. Keadaan dimana daerah pembedahan akan terhalang oleh kap dari LMA.
6
II.1.2. Cara pemberian anestesi inhalasi:
II.1.2.1. Open drop method
Pada open drop method, zat anestesi diteteskan pada kapas yang
diletakkan di depan hidung pasien sehingga kadar zat anestesi yang dihisap tidak
diketahui. Dalam penggunaan open drop method pemakaiannya boros karena zat
anestesi menguap ke udara terbuka.
II.1.2.2. Semi open drop method
Cara ini hampir sama dengan open drop method, perbedaannya hanya
untuk mengurangi terbuangnya zat anestesi maka digunakan masker.
II.1.2.3. Semi closed method
Dalam semiclosed method, udara yang dihisap diberikan bersamaan
dengan oksigen yang dapat ditentukan kadarnya. Keuntungan cara ini adalah
dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan zat anestesi dalam kadar
tertentu dan hipoksia dapat dihindari dengan pemberian O2.
II.1.2.4. Closed method
Cara ini hampir sama seperti semiclosed, hanya saja udara yang
dikeluarkan saat ekspirasi dialirkan melalui NaOH yang dapat mengikat CO2,
sehingga udara yang mengandung anestesi dapat digunakan lagi. Cara ini lebih
hemat, aman, dan lebih mudah, tetapi harga alatnya cukup mahal.
II.1.3. Obat Anestesi Inhalasi
Syarat obat anestesi yang ideal:
1. Berbau enak, tidak merangsang nafas, sehingga induksi cepat dan
lancar.
2. Mempunyai daya kelarutan gas rendah, pulih sadar dan cepat.
3. Stabil dalam penyimpanan, tidak terpengaruh pada bahan/sirkuit
anestesi dan absorber.
4. Tidak mudah terbakar/meledak
5. Harus mampu menghilangkan kesadaran, menghasilkan anelgesi dan
relaksasi otot.
6. Harus cukup kuat sehingga bisa diberikan dengan kadar O2 tinggi
7
7. Harus tidak dimetabolisme tubuh, tidak toksis, tidak menimbulkan
reaksi alergi.
8. Harus menghasilkan depresi minimal pada KV dan sistem respirasi,
tidak saling mempengaruhi dengan obat lain yang sering digunakan
dalam anestesi ( misalnya adrenalin).
9. Harus bersifat inert yaitu tidak mempunyai bagian yang aktif, disekresi
lengkap dan cepat, tanpa perubahan bentuk melalui paru.
Kecepatan induksi anestesi inhalasi ditentukan dari; titik kenaikan PA
(tekanan parsial alveolar) sebanding dengan Pa (tekanan darah arteri) sebanding
dengan P Br (tekanan darah otak). Tekanan parsial alveolar ditentukan oleh Input
anestesi inhalasi dan Up take. (Chitilian, H.V, et al., 2013)
Menurut Chitilian, H.V (2013) Input anestesi tergantung pada:
1. Tekanan partial obat inhalasi.
2. Ventilasi alveolar.
3. Karakteristik sistem pernafasan.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi Up take adalah (Chitilian, H.V
2013):
1. Kelarutan dalam darah.
2. Aliran darah alveolar
3. Perbedaan tekanan partial antara gas alveolar dan darah vena.
Ambilan obat anestesi dipengaruhi 3 faktor yaitu (Chitilian, H.V 2013)
1. Daya kelarutan dalam darah.
2. Aliran darah alveolar.
3. Perbedaan tekanan partial antara gas alveolar dan darah vena.
Proses pulih sadar dari pengaruh obat anestesi tergantung pada rendahnya
kadar obat di otak. Pengeluaran obat anestesi di tubuh melalui: biotransformasi,
hilang melalui kulit, hilang melalui hawa ekspirasi (alveolus). Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan induksi dapat pula mempercepat pengeluaran.
(Chitilian, H.V 2013)
II.1.4. Beberapa Jenis Agent Anestesi Inhalasi
II.1.4.1. N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoxida)
8
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair,
dalam silinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau
50 atm. Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini
bersifat anestesi lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Jarang digunakan sendirian, tetapi
dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain. Pada akhir anestesia setelah
N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi
pegenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, berikan O2
100% selama 5-10 menit.
II.1.4.2. Halotan
Merupakan turunan etan, berbau enak dan tak merangsang jalan nafas.
Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak dirusak oleh
cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%. Selain untuk induksi dapat juga untuk
laringoskopi intubasi.
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas
kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis
pasien. Halotan menyebbakan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah
otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak
disukai untuk bedah otak.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan
inhibisi reflex baroreseptor. Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah,
anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada
kontraindikasi
Kombinasi dengan adrenalin sering menyababkan disritmia, sehingga
penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin dianjurkan dengan pengenceran
1:200.000 (5ug/ml) dan maksimal penggunaannya 2 ug/kg.
Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi
uterus akan menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat pelepasan insulin,
meninggikan kadar gula darah.
9
Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara oksidatif
menjadi komponen bromine, klorin, dan asam trikoloro asetat. Secara reduktif
menjadi komponen fluoride dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin.
Metabolisme reduktif ini menyebabkan hepar kerja keras, sehingga merupakan
indikasi kontra pada penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu
kurang tiga bulan atau pada pasien kegemukan. Pasca pemberian halotan sering
menyebabkan pasien menggigil.
II.1.4.3. Enfluran
Merupakan halogenasi eter dan cepat poluer setelah ada kecurigaan
gangguan fungsi hepar setelah pengunaan ulang oleh halotan. Pada EEG
menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia. Kombinasi
dengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding halotan. Di metabolisme hanya 2-
8% oleh hepar menjadi produk non volatil yang dikeluarkan lewat urin. Sisanya
dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat
dibandingkan halotan. Efek depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi
lebih kuat, dan lebih iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.
II.1.4.4. Isoflurane
Merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau sub anestetik
dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan
aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat dikurangi dengan
teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
dengan gangguan koroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus
hamil menyebabkan relaksasi dan kurang responsive jika diantisipasi dengan
oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis
pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan
isofluran.
10
II.1.4.5. Sevoflurane
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang
jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping
halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia.
Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan
oleh badan. Belum ada laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia.
II.2 Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal
yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang
intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-
5, untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang
tinggi. Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal
yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang
intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-
5, untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang
tinggi. Penggunaan obat anestesi lokal pada anestesi spinal bertujuan untuk
mendapatkan blok yang adekuat. Pemilihan obat anestesi lokal yang akan
digunakan pada umumnya berdasar kepada perkiraan durasi dari pembedahan
yang akan dilakukan dan kebutuhan untuk segera pulih dan mobilisasi.
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam
ruang subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam cairan
serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi
tempat kerja yang utama adalah serabut preganglionik karena mereka
meninggalkan korda spinal pada rami anterior. Karena serabut sistem saraf
simpatis preganglionik terblokade dengan konsentrasi anestesi lokal yang tidak
memadai untuk mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi
sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira sekitar dua segmen
11
spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama, tingkat
anestesi motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.
Gambar 2. Tempat pemberian anestesi spinal
II.2.1. Obat Anestesi Spinal
Jenis dan cara pemberian obat anestesi spinal :
1. Lidokain
Lidokain merupakan obat anestesi yang digunakan untuk mencegah
depolarisasi pada membran sel melalui penghambatan masuknya ion natrium pada
kanal natrium. Efek samping lidokain bersifat toksik pada susunan saraf. Efek
yang terjadi akibat toksisitas dapat berupa kejang, disorientasi, pandangan kabur,
dan mengantuk.
2. Bupivakain
Bupivakain merupakan anestesi yang mempunyai masa kerja yang panjang
dengan efek blockade terhadap sensorik lebih besar daripada motorik. Efek
bupivakain lebih popular digunakan untuk memperpanjang analgesia selama
persalinan dan masa pasca pembedahan.
12
3. Tetrakain
Tetrakain digunakan untuk segala macam anestesi, pada anestesi spinal
tetrakain memerlukan dosis yang besar dan mula kerjanya lambat, dimetabolisme
lambat sehingga berpotensi toksik.
Obat
Dosis (mg) Durasi (menit)
Perineum,
tungkai
bawah
Abdomen
bawah
Blok
setinggi T4
Anestetik
murni
Ditambah
epinefrin
Tetrakain 6-8 8-14 14-20 90 120-150
Lidokain 25 50-75 75-100 60 60-90
Bupivakain 4-6 8-12 12-20 120-150 120-150
Tabel 1. Daftar dan dosis obat anestesi spinal
II.2.2. Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai
bawah, panggul dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus
seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul,
bedah obstetrik dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil
dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.
II.2.3. Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi di
daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan tekanan
intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan
kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati
seperti penyakit demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi pada katup jantung serta
kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga menyebutkan kontraindikasi
kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada tempat penusukan,
ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi yang
meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang banyak.
13
Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek
fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi
anestesi lokal di ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan
mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal.
II.2.4. Kelebihan
Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan
yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal
dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas,
serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, ekonomis dan dapat
dipercaya serta sering di pergunakan pada tindakan anestesi sehari-hari.
Spinal anestesi mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan
metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, komplikasi terhadap
jantung, otak, paru dapat minimal, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah
yang terblok sementara pasien dalam keadaan sadar. Selain keuntungan ada juga
kerugian dari cara ini yaitu berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual dan
muntah, PDPH, nyeri pinggang dan lainnya.
II.2.5. Teknik Anestesi Spinal
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi
termudah, pasien duduk di meja operasi dengan posisi duduk tegak dan
kepala menunduk. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring
dengan salah satu sisi tubuh berada di meja operasi.
2. Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara
vertebra lumbalis (interlumbal).
3. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit pada daerah punggung
pasien.
4. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang
medial dengan sudut 10˚-30˚ terhadap bidang horizontal ke arah cranial.
14
Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan
subarakhnoid.
5. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.
6. Suntikkan obat anestesi lokal yang telah disiapkan ke dalam ruang
subarakhnoid.
II.2.6. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari tindakan anestesi spinal
adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala, retensi
urin, meningitis, cedera pembuluh darah dan saraf serta anestesi spinal total.
II.3. PREEKLAMPSIA BERAT
II.3.1. Definisi
Hipertensi (tekanan darah tinggi) di dalam kehamilan terbagi atas pre
eklampsia ringan, pre-eklampsia berat, eklampsia, serta superimposed hipertensi
(ibu hamil yang sebelum kehamilannya sudah memiliki hipertensi dan hipertensi
berlanjut selama kehamilan). Preeklampsia adalah salah satu kasus gangguan
kehamilan yang bisa menjadi penyebab kematian ibu. Kelainan ini terjadi selama
masa kelamilan, persalinan, dan masa nifas yang akan berdampak pada ibu dan
bayi.
Preeklampsia merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari hipertensi
dan proteinuria setelah kehamilan berumur 20 minggu. lstilah eklampsia
digunakan bila sindrom preeklampsia melibatkan system saraf pusat sehingga
berakibat kejang, yang juga dapat disertai koma. Istilah Hemolysis Elevated Liver
Enzymes and Low Platelet (HELLP) Syndrome digunakan pada preeklampsia
yang ditandai dengan hemolisis sel darah merah, meningkatnya enzim hepar, dan
menurunnya angka trombosit, meskipun kaitan antara preeklampsia dengan
HELLP syndrome tidak jelas.
15
II.3.2. Epidemiologi
Preeklampsia terjadi pada 5% sampai 9% dari semua kehamilan meskipun
prevalensi berbeda-beda ditiap Negara. Di Amerika Serikat 7%-10% wanita
menderita preeklampsia, di Singapura 0,13-6,6%, sedangkan di Indonesia 3,4-
8,5% dan ini menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas ibu dan
neonatus.
II.3.3. Faktor Risiko :
1. Kehamilan pertama
2. Riwayat keluarga dengan pre-eklampsia atau eklampsia
3. Pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya
4. Ibu hamil dengan usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
5. Wanita dengan gangguan fungsi organ (diabetes, penyakit ginjal,
migraine, dan tekanan darah
6. tinggi)
7. Kehamilan kembar
II.3.4. Etiologi
Penyebab preeklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini
dianggap sebagai maladaptation syndrome akibat penyempitan pembuluh darah
secara umum yang mengakibatkan iskemia plasenta sehingga berakibat kurangnya
pasokan darah yang membawa nutrisi ke janin. Terdapat banyak teori yang
menjelaskan tentang penyebab preeklampsia serta banyak faktor yang berperan.
II.3.4.1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dijumpai kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga
sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang,
sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan
oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi
aldosteron menurun. Perubahan aktivitas tromboksan memegang peranan sentral
terhadap ketidakseimbangan prostasiklin dan tromboksan.Hal ini mengakibatkan
pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi, dan penurunan volume
plasma.
16
II.3.4.2. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada
kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen
plasenta tidak sempurna. Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan
aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan
proteinuria.
II.3.4.3 Peran Faktor Genetik
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada penderita
preeklampsia adalah peningkatan Human leukocyte antigen (HLA). Menurut
beberapa peneliti,wanita hamil yang mempunyai HLA dengan haplotipe A 23/29,
B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi menderita preeklampsia dan
pertumbuhan janin terhambat.
II.3.4.4. Disfungsi endotel
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan pada terjadinya
preeklampsia. Kerusakan endotel vaskular pada preeklampsia dapat menyebabkan
penurunan produksi prostasiklin, peningkatan aktivitas agregasi trombosit dan
fibrinolisis, kemudian diganti oleh trombin dan plasmin. Trombin akan
mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivitas trombosit
menyebabkan pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga terjadi
vasospasme dan kerusakan endotel.
II.4.5. Patofisiologi
Preeklampsia adalah kelainan malafungsi endotel pembuluh darah atau
vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan
20 minggu, mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan
endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi, edema nondependen, dan
dijumpai proteinuria 300mg per 24 jam atau 30mg/dl (+1 pada dipstick) dengan
nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu (Brooks MD, 2011).
II.4.6. Klasifikasi Preeklampsia
17
Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan
dan preeklampsia berat. Preeklampsia berat dibagi menjadi preeklampsia berat
tanpa impending eclampsia dan preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
II.4.6.1. Kriteria preeklampsia ringan
a. Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg, sedikitnya enam
jam pada dua kali pemeriksaan tanpa kerusakan organ.
b. Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1 + dipstik.
c. Edema generalisata yaitu pada lengan, muka, dan perut.
II.4.6.2. Kriteria preeklampsia berat
a. Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg sedikitnya enam jam
pada dua kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun
ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan telah menjalani tirah baring.
b. Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin
sewaktu yang dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali.
c. Oliguria < 400 ml / 24 jam.
d. Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl.
e. Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala
persisten, skotoma, dan pandangan kabur.
f. Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen akibat
teregangnya kapsula glisson.
g. Edema paru dan sianosis.
h. Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat
dehidrogenase.
i. Trombositopenia ( trombosit < 100.000 mm3).
j. Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio
plasenta.
k. Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar enzim ALT dan AST.
II.4.7. Gejala dan tanda Preeklampsia
II.4.7.1 Hipertensi
Hipertensi merupakan kriteria paling penting dalam diagnosa penyakit
preeklampsia. Hipertensi ini sering terjadi sangat tiba-tiba. Banyak primigravida
18
dengan usia muda memiliki tekanan darah sekitar 100-110/60-70 mmHg selama
trimester kedua. Peningkatan diastolik sebesar 15 mmHg atau peningkatan sistolik
sebesar 30 mmHg harus dipertimbangkan (William obstetri, 2010).
II.4.7.2 Hasil pemeriksaan laboratorium
Proteinuria merupakan gejala terakhir timbul. Proteinuria berarti
konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3 gr/liter dalam urin 24 jam atau
pemeriksaan kualitatif menunjukan (+1 sampai 2+ dengan metode dipstik) atau >
1 gr/liter melalui proses urinalisis dengan menggunakan kateter atau midstream
yang diambil urin sewaktu minimal dua kali dengan jarak waktu 6 jam.
Hemoglobin dan hematokrit meningkat akibat hemokonsentrasi.
Trombositopenia biasanya terjadi. Terjadi peningkatan FDP, fibronektin dan
penurunan antitrombin III. Asam urat biasanya meningkat diatas 6 mg/dl.
Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada preeklampsia berat.
Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat dehidrogenase bisa
sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan elektrolit pada
pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal. Urinalisis ditemukan
proteinuria dan beberapa kasus ditemukan hyaline cast.
II.4.7.3. Edema
Edema pada kehamilan normal dapat ditemukan edema dependen, tetapi
jika terdapat edema independen yang djumpai di tangan dan wajah yang
meningkat saat bangun pagi merupakan edema yang patologis. Kriteria edema lain
dari pemeriksaan fisik yaitu: penambahan berat badan > 2 pon/minggu dan
penumpukan cairan didalam jaringan secara generalisata yang disebut pitting
edema > +1 setelah tirah baring 1 jam.
19
II.4.8. Diagnosis
Alur Penilaian klinik
Tekanan darah
Meningkat (TD > 140/90) Normal
Gejala/tanda lain
- Nyeri kepala, dan/atau
- Gangguan penglihatan
- Hiperrefleksia
- Proteinuria
- Koma
Hamil < 20 minggu Hamil > 20 minggu
Hipertensi Superimposed Kejang (-) Kejang(+)
Kronik preeklampsia
Hipertensi Preeklampsia ringan Preeklampsia berat Eklampsia
Gambar 3. Alur Diagnosis PEB
II.4.9. Penatalaksanaan Preeklampsia
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya
eklampsia, melahirkan bayi tanpa asfiksia dengan skor APGAR baik, dan
mencegah mortalitas maternal dan perinatal.
II.4.9.1. Preeklampsia ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan
preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan
20
aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada
ekstremitas bawah menurun dan reabsorpsi cairan bertambah.Selain itu dengan
istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar dan
juga dapat menurunkan tekanan darah. Apabila preeklampsia tersebut tidak
membaik dengan penanganan konservatif, dalam hal ini kehamilan harus
diterminasi jika mengancam nyawa maternal.
II.4.9.2 Preeklampsia berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi obat sedatif kuat untuk
mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12 – 24 jam bahaya akut sudah
diatasi, tindakan terbaik adalah menghentikan kehamilan.
Sebagai pengobatan mencegah timbulnya kejang, dapat diberikan larutan
magnesium sulfat (MgSO4) 20% dengan dosis 4 gram secara intravena loading
dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 12
gram dalam 500 cc ringer laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Tambahan
magnesium sulfat hanya dapat diberikan jika diuresis pasien baik, refleks patella
positif dan frekuensi pernafasan lebih dari 16 kali/menit. Obat ini memiliki efek
menenangkan, menurunkan tekanan darah dan meningkatkan diuresis. Selain
magnesium sulfat, pasien dengan preeklampsia dapat juga diberikan klorpromazin
dengan dosis 50 mg secara intramuskular ataupun diazepam 20 mg secara
intramuskular.
II.4. SECTIO CAESARIA
II.4.1. Definisi
Sectio caesaria merupakan metode untuk melahirkan bayi melalui irisan
pada abdomen dan uterus. Berdasarkan Center for Disease Control and
Prevention (CDC) lebih dari 700.000 orang menjalani sectio caesaria yang
pertama dan 400.000 wanita menjalani sectio caesaria berulang tiap tahun.
Jumlah total sectio caesaria adalah 29% selama tahun 2004. Wanita dengan
preeklampsia menunjukkan peningkatan untuk dilakukan pengakhiran kehamilan
dengan sectio caesaria, dalam satu penelitian didapat 83% yang didiagnosis
preeklampsia menjalani sectio caesaria.
21
II.4.2. Anatomi dan Fisiologi
1. Alat Genetalia Eksterna
Gambar 4. Anatomi alat genitalia eksterna (Sumber : Elaine N. Marrieb)
2. Alat Genetalia Interna
Gambar 5. Anatomi alat genitalia interna (Sumber : Winkjosastro)
22
II.4.3. Jenis-Jenis Sectio Caesaria
Sectio Caesaria terbagi menjadi dua yaitu sectio caesaria transperitonealis
dan sectio caesaria ekstraperitonealis.
II.4.2.1. Sectio Caesaria transperitonealis
a. Sectio caesaria klasik
Pembedahan ini dilakukan dengan sayatan memanjang pada korpus
uteri kira-kira sepanjang 10 cm. Keuntungan tindakan ini adalah
mengeluarkan janin lebih cepat, tidak mengakibatkan komplikasi kandung
kemih tertarik dan sayatan bisa diperpanjang proksimal dan distal.
Kerugian yang dapat muncul adalah infeksi mudah menyebar secara
intraabdominal dan lebih sering terjadi ruptura uteri spontan pada
persalinan berikutnya
b. Sectio caesaria profunda
Dikenal juga dengan sebutan low cervical, yaitu sayatan pada
segmen bawah rahim. Insisi melintang dilakukan pada segmen bawah
uterus. Segmen bawah uterus tidak begitu banyak mengandung pembuluh
darah dibandingkan segmen atas, sehingga risiko perdarahan lebih kecil.
Karena segmen bawah terletak di bawah cavum pertionei, kemungkinan
infeksi pasca bedah juga tidak begitu besar. Selain itu, risiko ruptura uteri
pada kehamilan dan persalinan berikutnya akan lebih kecil bilamana
jaringan parut hanya terbatas pada segmen bawah uterus. Kesembuhan
luka biasanya baik karena segmen bawah merupakan bagian uterus yang
tidak begitu aktif.
II.4.2.2. Sectio Caesaria ekstraperitonealis
Sectio caesaria berulang pada seorang pasien yang pernah melakukan
sectio caesaria sebelumnya. Biasanya dilakukan di atas bekas luka yang lama
(Dewi, 2007). Tindakan ini dilakukan dengan insisi dinding dan fasia abdomen
sementara peritoneu, dipotong ke arah kepala untuk memaparkan segmen bawah
uterus sehingga uterus dapat dibuka secara ekstraperitoneum. Pada saat ini
23
pembedahan ini tidak banyak digunakan lagi untuk mengurangi bahaya infeksi
puerperal
II.4.4. Indikasi Sectio Caesarea
Para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lain menganjurkan
sectio caesarea apabila kelahiran melalui vagina mungkin membawa resiko pada
ibu dan janin. Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :
a. Power
Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya
mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang
mempengaruhi tenaga.
b. Passanger
Diantaranya, anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak
lintang, primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak
tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal
distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah).
c. Passage
Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada
jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa
menular ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis),
condyloma lota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma
acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang kol
di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan hepatitis C.
Indikasi untuk sectsio caesarea antara lain meliputi:
II.4.4.1. Indikasi Ibu
a. Panggul Sempit Absolut
Pada panggul ukuran normal, apapun jenisnya, yaitu panggul
ginekoid, anthropoid, android, dan platipelloid. Kelahiran pervaginam
janin dengan berat badan normal tidak akan mengalami gangguan. Panggul
sempit absolut adalah ukuran konjungata vera kurang dari 10 cm dan
diameter transversa kurang dari 12 cm.
24
Oleh karena panggul sempit, kemungkinan kepala tertahan di pintu
atas panggul lebih besar, maka dalam hal ini serviks uteri kurang
mengalami tekanan kepala. Hal ini dapat mengakibatkan inersia uteri serta
lambatnya pembukaan serviks (Prawirohardjo, 2009).
b. Tumor yang dapat mengakibatkan Obstruksi
Tumor dapat merupakan rintangan bagi lahirnya janin pervaginam.
Tumor yang dapat dijumpai berupa mioma uteri, tumor ovarium, dan
kanker rahim. Adanya tumor bisa juga menyebabkan resiko persalinan
pervaginam menjadi lebih besar. Tergantung dari jenis dan besarnya
tumor, perlu dipertimbangkan apakah persalinan dapat berlangsung
melalui vagina atau harus dilakukan tindakan sectio caesarea.
Pada kasus mioma uteri, dapat bertambah besar karena pengaruh
hormon estrogen yang meningkat dalam kehamilan. Dapat pula terjadi
gangguan sirkulasi dan menyebabkan perdarahan. Mioma subserosum
yang bertangkai dapat terjadi torsi atau terpelintir sehingga menyebabkan
rasa nyeri hebat pada ibu hamil (abdomen akut). Selain itu, distosia tumor
juga dapat menghalangi jalan lahir.
Tumor ovarium mempunyai arti obstetrik yang lebih penting.
Ovarium merupakan tempat yang paling banyak ditumbuhi tumor. Tumor
yang besar dapat menghambat pertumbuhan janin sehingga menyebabkan
abortus dan bayi prematur, selain itu juga dapat terjadi torsi. Tumor seperti
ini harus diangkat pada usia kehamilan 16-20 minggu.
Adapun kanker rahim, terbagi menjadi dua; kanker leher rahim dan
kanker korpus rahim. Pengaruh kanker rahim pada persalinan antara lain
dapat menyebabkan abortus, menghambat pertumbuhan janin, serta
perdarahan dan infeksi.
c. Plasenta Previa
Perdarahan obstetrik yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga
dan yang terjadi setelah anak atau plasenta lahir pada umumnya adalah
perdarahan yang berat, dan jika tidak mendapat penanganan yang cepat
25
bisa mengakibatkan syok yang fatal. Salah satu penyebabnya adalah
plasenta previa.
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada
segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal plasenta terdapat di bagian
atas uterus. Sejalan dengan bertambah besarnya rahim dan meluasnya
segmen bawah rahim ke arah proksimal memungkinkan plasenta
mengikuti perluasan segmen bawah rahim.
Klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan
plasenta melalui pembukaan jalan lahir. Disebut plasenta previa komplit
apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta. Plasenta previa
parsialis apabila sebagian permukaan tertutup oleh jaringan. Dan disebut
plasenta previa marginalis apabila pinggir plasenta berada tepat pada
pinggir pembukaan.
d. Ruptura Uteri
Ruptura uteri baik yang terjadi dalam masa hamil atau dalam proses
persalinan merupakan suatu malapetaka besar bagi wanita dan janin yang
dikandungnya. Dalam kejadian ini boleh dikatakan sejumlah besar janin
atau bahkan hampir tidak ada janin yang dapat diselamatkan, dan sebagian
besar dari wanita tersebut meninggal akibat perdarahan, infeksi, atau
menderita kecacatan dan tidak mungkin bisa menjadi hamil kembali
karena terpaksa harus menjalani histerektomi. (Prawirohardjo, 2009).
Ruptura uteri adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah
terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dengan rongga
peritoneum.
Kausa tersering ruptur uteri adalah terpisahnya jaringan parut bekas
sectio caesarea sebelumnya. Selain itu, ruptur uteri juga dapat disebabkan
trauma atau operasi traumatik, serta stimulus berlebihan. Namun
kejadiannya relatif lebih kecil.
26
e. Disfungsi Uterus
Mencakup kerja uterus yang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan
tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim. Dan ini
membuat kemajuan persalinan terhenti sehingga perlu penanganan dengan
sectio caesarea (Prawirohardjo, 2009)
f. Solutio Plasenta
Disebut juga abrupsio plasenta, adalah terlepasnya sebagian atau
seluruh plasenta sebelum janin lahir. Ketika plasenta terpisah, akan diikuti
pendarahan maternal yang parah. Bahkan dapat menyebabkan kematian
janin. Plasenta yang terlepas seluruhnya disebut solutio plasenta totalis,
bila hanya sebagian disebut solutio plasenta parsialis, dan jika hanya
sebagian kecil pinggiran plasenta yang terpisah disebut ruptura sinus
marginalis.
Frekuensi terjadinya solutio plasenta di Amerika Serikat sekitar 1% dan
solutio plasenta yang berat mengarah pada kematian janin dengan angka kejadian
sekitar 0,12% kehamilan atau 1:830.
Gambar 6. Abruptio & Plasenta Previa (Sumber: Obgyn.net)
27
II.4.4.2. Indikasi Janin
a. Kelainan Letak
1. Letak Lintang
Pada letak lintang, biasanya bahu berada di atas pintu atas panggul
sedangkan kepala berada di salah satu fossa iliaka dan bokong pada sisi
yang lain. Pada pemeriksaan inspeksi dan palpasi didapati abdomen
biasanya melebar dan fundus uteri membentang hingga sedikit di atas
umbilikus. Tidak ditemukan bagian bayi di fundus, dan balotemen kepala
teraba pada salah satu fossa iliaka.
Penyebab utama presentasi ini adalah relaksasi berlebihan dinding
abdomen akibat multiparitas yang tinggi. Selain itu bisa juga disebabkan
janin prematur, plasenta previa, uterus abnormal, cairan amnion berlebih,
dan panggul sempit.
2. Presentasi Bokong
Presentasi bokong adalah janin letak memanjang dengan bagian
terendahnya bokong, kaki, atau kombinasi keduanya. Dengan insidensi 3 –
4% dari seluruh persalinan aterm. Presentasi bokong adalah malpresentasi
yang paling sering ditemui. Sebelum usia kehamilan 28 minggu, kejadian
presentasi bokong berkisar antara 25 – 30%.
Faktor resiko terjadinya presentasi bokong ini antara lain prematuritas,
abnormalitas uterus, polihidamnion, plasenta previa, multiparitas, dan
riwayat presentasi bokong sebelumnya.
3. Presentasi Ganda atau Majemuk
Presentasi ini disebabkan terjadinya prolaps satu atau lebih
ekstremitas pada presentasi kepala ataupun bokong. Kepala memasuki
panggul bersamaan dengan kaki dan atau tangan. Faktor yang
meningkatkan kejadian presentasi ini antara lain prematuritas, multiparitas,
panggul sempit, kehamilan ganda (Prawirohardjo, 2009).
b. Gawat Janin
Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung
janin (DJJ) dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium di dalam
28
cairan amnion. Untuk keperluan klinik perlu ditetapkan kriteria yang
termasuk keadaan gawat janin.
Disebut gawat janin, bila ditemukan denyut jantung janin di atas
160/menit atau di bawah 100/menit, denyut jantung tak teratur, atau
keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan. (Prawirohardjo,
2009).
Keadaan gawat janin pada tahap persalinan memungkinkan dokter
memutuskan untuk melakukan operasi. Terlebih apabila ditunjang kondisi
ibu yang kurang mendukung. Sebagai contoh, bila ibu menderita hipertensi
atau kejang pada rahim yang dapat mengakibatkan gangguan pada plasenta
dan tali pusar. Sehingga aliran darah dan oksigen kepada janin menjadi
terganggu.
Kondisi ini dapat mengakibatkan janin mengalami gangguan seperti
kerusakan otak. Bila tidak segera ditanggulangi, maka dapat menyebabkan
kematian janin.
c. Ukuran Janin
Berat bayi lahir sekitar 4000 gram atau lebih (giant baby),
menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir. Umumnya pertumbuhan
janin yang berlebihan disebabkan sang ibu menderita kencing manis
(diabetes mellitus). Bayi yang lahir dengan ukuran yang besar dapat
mengalami kemungkinan komplikasi persalinan 4 kali lebih besar daripada
bayi dengan ukuran normal.
Menentukan apakah bayi besar atau tidak terkadang sulit. Hal ini
dapat diperkirakan dengan cara :
1. Adanya riwayat melahirkan bayi dengan ukuran besar, sulit
dilahirkan atau ada riwayat diabetes melitus.
2. Kenaikan berat badan yang berlebihan tidak oleh sebab lainnya
(edema, dll).
3. Pemeriksaan disproporsi sefalo atau feto-pelvik.
II.4.4.3. Indikasi Ibu dan Janin
a. Gemelli atau Bayi Kembar
29
Kehamilan kembar atau multipel adalah suatu kehamilan dengan
dua janin atau lebih. Kehamilan multipel dapat berupa kehamilan ganda (2
janin), triplet (3 janin), kuadruplet (4 janin), quintuplet (5 janin) dan
seterusnya sesuai dengan hukum Hellin.
Morbiditas dan mortalitas mengalami peningkatan yang nyata pada
kehamilan dengan janin ganda. Oleh karena itu, mempertimbangkan
kehamilan ganda sebagai kehamilan dengan komplikasi bukanlah hal yang
berlebihan. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain anemia pada ibu,
durasi kehamilan yang memendek, abortus atau kematian janin baik salah
satu atau keduanya, gawat janin, dan komplikasi lainnya. Demi mencegah
komplikasi – komplikasi tersebut, perlu penanganan persalinan dengan
sectio caesarea untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayi – bayinya.
(Prawirohardjo, 2009).
b. Riwayat Sectio Caesarea
Sectio caesarea ulangan adalah persalinan dengan sectio caesarea
yang dilakukan pada seorang pasien yang pernah mengalami sectio
caesarea pada persalinan sebelumnya, elektif maupun emergency. Hal ini
perlu dilakukan jika ditemui hal – hal seperti :
1. Indikasi yang menetap pada persalinan sebelumnya seperti kasus
panggul sempit.
2. Adanya kekhawatiran ruptur uteri pada bekas operasi sebelumnya.
c. Preeklampsia dan Eklampsia
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan
atau edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan. Bila tekanan darah mencapai 160/110 atau lebih, disebut
preeklampsia berat. Sedangkan eklampsia adalah kelainan akut pada
wanita hamil, dalam persalinan atau masa nifas yang ditandai dengan
timbulnya kejang (bukan karena kelainan neurologi) dan atau koma
dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala preeklampsia.
Janin yang dikandung ibu dapat mengalami kekurangan nutrisi dan
oksigen sehingga dapat terjadi gawat janin. Terkadang kasus preeklampsia
30
dan eklampsia dapat menimbulkan kematian bagi ibu, janin, bahkan
keduanya.
II.4.4.4. Indikasi Sosial
Menurut Mackenzie et al (1996) dalam Mukherjee (2006), permintaan
ibu merupakan suatu faktor yang berperan dalam angka kejadian sectio caesarea
yaitu mencapai 23%. Di samping itu, selain untuk menghindari sakit, alasan untuk
melakukan sectio caesarea adalah untuk menjaga tonus otot vagina, dan bayi
dapat lahir sesuai dengan waktu yang diinginkan. Walaupun begitu, menurut
FIGO (1999) dalam Mukherjee (2006), pelaksanaan sectio caesarea tanpa
indikasi medis tidak dibenarkan secara etik.
II.4.5. Penyulit Pascaoperasi
Morbiditas setelah sectio caesarea dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
ketika prosedur tersebut dilakukan. Penyulit yang dapat terjadi mencakup
histerektomi, cedera operatif pada struktur panggul, serta infeksi dan perlunya
transfusi.
Rajasekar dan Hall (1997) secara spesifik meneliti laserasi kandung kemih
dan cedera uretra. Insidensi laserasi kandung kemih pada saat operasi sesarea
adalah 1,4 per 1000 prosedur, dan untuk cedera uretra adalah 0,3 per 1000. Cedera
kandung kemih cepat terdiagnosis. Sebaliknya diagnosis cedera uretra sering
terlambat terdiagnosis.
II.4.6. Komplikasi
a. Infeksi Puerperal (nifas)
1. Ringan, kenaikan suhu beberapa hari saja
2. Sedang, kenaikan suhu disertai dehidrasi dan perut kembung
3. Berat, dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik.
b. Perdarahan, karena :
1. Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
2. Atonia Uteri
3. Perdarahan pada plasenta
c. Luka kandung kemih, emboli paru dan komplikasi lainnya yang jarang
terjadi.
31
d. Kemungkinan ruptura uteri atau terbukanya jahitan pada uterus karena
operasi sebelumnya.
II.4.5. Kontraindikasi
Pada umumnya Sectio Caesaria tidak dilakukan pada Intra Uterine Fetal
Death, syok, anemia berat, dan kelainan kongenital berat.
II.4.6. Hubungan Sectio Caesaria dengan Preeklampsia berat
Tindakan sectio caesaria harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa
ibu dan janin. Preeklampsia berat bukan merupakan indikasi absolut dilakukannya
tindakan sectio caesaria untuk mengakhiri kehamilan. Tindakan sectio caeasaria
dilakukan pada penderita preeklampsia berat yang dalam waktu dalam 24 jam
persalnan tidak dapat diselesaikan, serviks yang belum matang dengan janin yang
masih hidup, serta terdapat tanda-tanda gawat janin seperti fetal distress, yaitu
jika DJJ < 110x/menit atau > 180x/menit.
32
BAB III
ILUSTRASI KASUS
III.1. Ilustrasi Kasus I
III.1.1. Identitas Pasien
Nama : Ny. DS
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 36 tahun
Agama : Islam
Alamat : Masaran, Sragen
III.1.2. Anamnesis
Seorang wanita 36 tahun G3P2A0 usia kehamilan 31 minggu datang ke
IGD dengan keluhan perut kenceng-kenceng pada tanggal 1 April 2014 pukul
13.30 WIB. Kenceng-kenceng pertama kali dirasakan sejak tanggal 31 Maret
2014 pukul 23.00 WIB. Kenceng-kenceng sering dirasakan sejak tanngal 1 April
2014 pukul 10.30 WIB. Gerak anak (+). Pasien belum merasakan adanya air
merembes dari jalan lahir.
III.1.3. Pemeriksaan Fisik
KU : Baik
GCS : E4V5M6
Tekanan Darah : 174/122 mmHg
Nadi : 85x/menit
Suhu : 36,5°C
Pernafasan : 22x/menit
TB/BB : 155cm/75kg
1. Status Generalis
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Leher : Inspeksi : Tidak terdapat jejas
33
Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid. Tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening.
2. Pemeriksaan Thorax
- Jantung
Inspeksi : Tampak ictus cordis 2 cm di bawah papila mamae sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur
- Paru
Inspeksi : Dinding dada sejajar dinding perut, tidak ditemukan retraksi dan
ketertinggalan gerak
Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak
terdapat ketertinggalan gerak
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo. Tidak terdengar
suara wheezing.
- Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut tampak membucit dan membujur
Palpasi : LI : teraba bagian besar lunak
LII : teraba bagian keras panjang sebelah kanan
teraba bagian kecil-kecil janin kiri
LIII : teraba bagian keras
LIV : Divergen
Fundus Uteri : 34 cm
Taksiran Berat Janin : 3565 gram
His : 3x/10 menit, durasi 40 detik
Osborne test : (-)
Auskultasi : DJJ (+), reguler, 12/12/12
Perkusi : pekak alih (-), pekak sisi (-)
34
Pemeriksaan dalam :
Pembukaan 4 cm, KK (+), efficement 40%
UUK kiri depan
- Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik, dan akral hangat
Oedem (+) pada kedua kaki
III.1.4. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Hemoglobin 14,7 12,2-18,1 g/dL
Leukosit 13.10 4,6-10,2 ribu/mL
Hematokrit 42,3 37,7-53,7%
Eritrosit 5,24 4,0-6,13x106/mL
Trombosit 260 150000-450000/mL
CT 3.00 1-3 menit
BT 2,30 1-6 menit
Gol. Darah AB
SGOT 22 <37 U/L
SGPT 10 <42 U/L
Ureum 25,9 10-50 mg/Dl
Kreatinin 1 0,60-1,1 mg/dL
GDS 125 ≤ 200 mg/dL
Protein Urine +3 Negatif
HbsAg Negatif Negatif
2. Pemeriksaan Foto Rontgen
35
Foto Thorax Proyeksi PA, posisi erect, simetris, inspirasi dan kondisi cukup,
hasil:
- Corakan bronchovaskuler normal
- Kedua sinus costofrenicus lancip
- Kedua diafragma licin
- Cor: CTR <0,5
Kesan: Pulmo dan besar cor normal
3. Pemeriksaan Elektrokardiografi
Kesan : Normal EKG
4. Pemeriksaan Ultrasonografi
Kesan :
Janin tunggal hidup intrauterin, DJJ (+), KK(+)
Plasenta di corpus meluas ke belakang tidak menutup OUI
Ukuran Kehamilan 31 minggu, TBJ 23565 gram
Air ketuban cukup, Presentasi kepala.
III.1.5. Diagnosis
G3P2A0 36 tahun hamil 31 minggu
Janin tunggal hidup intrauterin
Presentasi kepala punggung kanan
Inpartu Kala I Fase aktif 3 jam
Pre Eklampsia Berat
III.1.6. Kesan Anestesi
Wanita 36 tahun G3P2A0 dengan Pre Eklampsia Berat ASA II
III.1.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien yaitu :
a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm saat di bangsal
b. Informed Consent Operasi
36
c. Konsul ke Bagian Anestesi
d. Informed Consent Pembiusan.
Dilakukan operasi dengan anestesi regional dengan status ASA II
III.1.7. Laporan Anestesi
1. Diagnosis Pra Bedah
G3P2A0 dengan Pre Eklampsia Berat
2. Diagnosis Pasca Bedah
P3A0 dengan Pre Eklampsia Berat
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 500 cc.
4. Penatalaksanaan Anestesi :
a. Jenis Pembedahan : Sectio Caesaria
b. Jenis Anestesi : Regional Anestesi
c. Teknik Anestesi : Spinal Anestesi
d. Mulai Anestesi : 2 April 2014, pukul 09.25 WIB
e. Mulai Operasi : 2 April 2014, pukul 09.35 WIB
f. Premedikasi : Ondansetron 4 mg
g. Induksi : Decain 20 mg
h. Intubasi : -
i. Medikasi tambahan : Methylergometrine, Oxytocin
i. Maintanance : O2
j. Repirasi : Spontan Respirasi
k. Posisi : Supine
l. Cairan Durante Operasi : RL 500 ml, koloid 500 ml
m. Pemantauan HR : Terlampir
n. Selesai operasi : 10.40 WIB
Pada tanggal 2 April 2014, pukul 09.15 WIB, Ny.DS, 36 tahun tiba di
ruang operasi dengan terpasang infuse RL 20 tpm. Dilakukan pemasangan manset
dan pemasangan pulse oxymetri dengan tekanan darah awal 155/85 mmHg Nadi
37
86 x/menit, dan SpO2 99%. Pukul 09.25 diberikan premedikasi dengan injeksi
ondansetron 4 mg secara intravena. Setelah diberikan premedikasi dilakukan
induksi dengan injeksi decain 1 ampul secara intratekal. Setelah itu dipasang
kanul nasal oksigen untuk pemeliharaan respirasi dan juga menunggu kerja dari
obat.
Setelah pasien terinduksi dengan tanda-tanda seperti kesemutan, kaki terasa
berat dan tidak bisa digerakkan, maka operasi dapat dimulai. Selama operasi
berlangsung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen di monitor setiap 5 menit
dengan hasil:
- Jam 09.25 : TD 155/85 mmHg, nadi 90 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 09.30 : TD 149/85 mmHg, nadi 86 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 09.35 : TD 135/86 mmHg, nadi 88 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 09.40 : TD 128/78 mmHg, nadi 78 x/menit, SpO2 97%.
- Jam 09.45 : TD 118/76 mmHg, nadi 70 x/menit, SpO2 97%.
- Jam 09.50 : TD 110/75 mmHg, nadi 68 x/menit, SpO2 97%.
- Jam 09.55 : TD 96/74 mmHg, nadi 58 x/menit, SpO2 97%.
- Jam 10.00 : TD 134/85 mmHg, nadi 62 x/menit, SpO2 98%.
- Jam 10.05 : TD 125/78 mmHg, nadi 68 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 10.10 : TD 112/77 mmHg, nadi 68 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 10.15 : TD 105/76 mmHg, nadi 68 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 10.20 : TD 90/70 mmHg, nadi 61 x/menit, SpO2 98%.
- Jam 10.25 : TD 115/75 mmHg, nadi 61 x/menit, SpO2 100%.
- Jam 10.30 : TD 120/77 mmHg, nadi 63 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 10.35 : TD 128/75 mmHg, nadi 63 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 10.40 : TD 121/74 mmHg, nadi 63 x/menit, SpO2 99%.
Bayi lahir jam 09.45 WIB dengan Apgar score 8-9-10. Digunakan efedrine
1-2 cc tiap terjadi hipotensi. Perdarahan pada saat operasi adalah ± 100 ml, urine
output yang terpantau pada urine bag selama operasi adalah ± 150 ml.
Pembedahan berlangsung selama 65 menit. Setelah operasi pasien dipindahkan
dari ruang OK ke recovery room. Di dalam recovery room pasien diberikan
38
oksigen 2 liter/menit dan infus RL. Selain itu juga dilakukan penilaian Bromage
score merupakan salah satu indikator respon motorik pasca anestesi spinal.
Bernilai 0 : Jika terdapat gerakan penuh tungkai
Bernilai 1 : Jika hanya bisa menggerakkan lutut
Bernilai 2 : Jika dapat menggerakkan kaki
Bernilai 3 : Jika tak mampu menggerakkan tungkai dan lutut
Gambar 7. Bromage score (Sumber: Morgan G Edward, Mikhail, Maged S)
Jika nilai bromage score ≤ 2, pasien boleh pindah ke ruangan. Pada pasien
ini sudah diperbolehkan pindah ke ruang perawatan dengan nilai bromage 2.
39
III.2. Ilustrasi Kasus II
III.2.1. Identitas Pasien
Nama : Ny. WPK
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 34 tahun
Agama : Islam
Alamat : Karangmalang, Sragen
III.2.2. Anamnesis
Seorang wanita 34 tahun G3P2A0 usia kehamilan 30 minggu datang ke
IGD dengan kenceng-kenceng pada tanggal 3 April 2014 pukul 09:00 WIB.
Kenceng-kenceng pertama kali dirasakan sejak tanggal 3 April 2014 pada pukul
01:00 WIB. Kenceng-kenceng sering dirasakan sejak tanggal 3 April 2013 pukul
05:00 WIB. Gerak anak (+). Pasien belum mengeluhkan adanya air merembes
dari jalan lahir.
III.2.3. Pemeriksaan Fisik
KU : Baik
GCS : E4V5M6
Tekanan Darah : 200/120 mmHg
Nadi : 88x/menit
Suhu : 36,7°C
Pernafasan : 26x/menit
TB/BB : 155cm/ 79kg
1. Status Generalis
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Leher : Inspeksi : Tidak terdapat jejas
Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid. Tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening.
40
2. Pemeriksaan Thorax
- Jantung
Inspeksi : Tampak ictus cordis 2 cm di bawah papila mamae sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur
- Paru
Inspeksi : Dinding dada sejajar dinding perut, tidak ditemukan retraksi dan
ketertinggalan gerak
Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak
terdapat ketertinggalan gerak
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo. Tidak terdengar
suara wheezing.
- Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut tampak membucit dan membujur
Palpasi : LI : teraba bagian besar lunak
LII : teraba bagian keras panjang sebelah kiri
teraba bagian kecil-kecil janin kanan
LIII : teraba bagian keras
LIV : Divergen
Fundus Uteri : 31 cm
Taksiran Berat Janin : 3100 gram
His : 3x/10 menit, durasi 40 detik
Osborne test : (-)
Auskultasi : DJJ (+), reguler, 12/12/12
Perkusi : pekak alih (-), pekak sisi (-)
Pemeriksaan dalam :
Pembukaan 4 cm, KK (+), efficement 40%
UUK kiri depan
41
- Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik, dan akral hangat
Oedem (+) pada kedua kaki
III.3.4. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Hemoglobin 12,5 12,2-18,1 g/dL
Leukosit 14.50 4,6-10,2 ribu/mL
Hematokrit 38,1 37,7-53,7%
Eritrosit 4,34 4,0-6,13x106/mL
Trombosit 258 150000-450000/mL
CT 3.00 1-3 menit
BT 2.00 1-6 menit
Gol. Darah A
SGOT 20 <37 U/L
SGPT 15 <42 U/L
Ureum 26 10-50 mg/Dl
Kreatinin 0,80 0,60-1,1 mg/dL
GDS 130 ≤ 200 mg/dL
Protein Urine +3 Negatif
HbsAg Negatif Negatif
2. Pemeriksaan Foto Rontgen
Foto Thorax Proyeksi PA, posisi erect, simetris, inspirasi dan kondisi cukup,
hasil:
- Corakan bronchovaskuler normal
- Kedua sinus costofrenicus lancip
42
- Kedua diafragma licin
- Cor: CTR <0,5
Kesan: Pulmo dan besar cor normal
3. Pemeriksaan Elektrokardiografi
Kesan : Normal EKG
4. Pemeriksaan Ultrasonografi
Kesan :
Janin tunggal hidup intrauterin, DJJ (+), KK(+)
Plasenta di corpus meluas ke belakang tidak menutup OUI
Ukuran Kehamilan 30 minggu, TBJ 3100 gram
Air ketuban cukup, Presentasi kepala.
III.1.5. Diagnosis
G3P2A0 34 tahun hamil 30 minggu
Janin tunggal hidup intrauterin
Presentasi kepala punggung kiri
Inpartu Kala I Fase aktif 4 jam
Pre Eklampsia Berat
III.1.6. Kesan Anestesi
Wanita 34 tahun G3P2A0 dengan Pre Eklampsia Berat ASA II
III.1.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien yaitu :
a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm saat di bangsal
b. Informed Consent Operasi
c. Konsul ke Bagian Anestesi
d. Informed Consent Pembiusan.
Dilakukan operasi dengan anestesi general dengan status ASA II
III.1.7. Laporan Anestesi
43
1. Diagnosis Pra Bedah
G3P2A0 dengan Pre Eklampsia Berat
2. Diagnosis Pasca Bedah
P3A0 dengan Pre Eklampsia Berat
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 500 cc.
4. Penatalaksanaan Anestesi :
a. Jenis Pembedahan : Sectio Caesaria
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Teknik Anestesi : Inhalasi Anestesi
d. Mulai Anestesi : 4 April 2014, pukul 03.25 WIB
e. Mulai Operasi : 4 April 2014, pukul 03.35 WIB
f. Premedikasi : Sulfas Atropin 0,25 mg
Fentanyl 50-100 µg
g. Induksi : Recofol 100 mg
h. Intubasi : Endotracheal Tube
i. Medikasi tambahan : Methylergometrine, Oxytocin
i. Maintanance : Sevoflurane 2 V%, N₂O 3 liter/menit,
O2 3 liter/menit
j. Respirasi : Respirasi Spontan
k. Posisi : Supine
l. Cairan Durante Operasi : RL 500 ml, koloid 500 ml
m. Pemantauan HR : Terlampir
n. Selesai operasi : 14.40 WIB
Pada tanggal 4 April 2014, pukul 03.15 WIB, Ny.WPK, 34 tahun tiba di
ruang operasi dengan terpasang infuse RL 20 tpm. Dilakukan pemasangan manset
dan pemasangan pulse oxymetri dengan tekanan darah awal 165/90 mmHg, Nadi
88 x/menit, dan SpO2 99%. Pukul 09.25 diberikan premedikasi dengan injeksi
sulfas atropin, fentanyl, dan midazolam secara intravena. Setelah diberikan
premedikasi dilakukan induksi dengan injeksi recofol 100 mg secara intravena.
44
Setelah itu dipasang kanul nasal oksigen untuk pemeliharaan respirasi dan juga
menunggu kerja dari obat.
Setelah pasien terinduksi maka operasi dapat dimulai. Selama operasi
berlangsung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen di monitor setiap 5
menit.dengan hasil:
- Jam 04.25 : TD 155/85 mmHg, nadi 90 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 04.30 : TD 149/85 mmHg, nadi 86 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 04.35 : TD 135/86 mmHg, nadi 88 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 04.40 : TD 128/78 mmHg, nadi 78 x/menit, SpO2 97%.
- Jam 04.45 : TD 128/78 mmHg, nadi 70 x/menit, SpO2 97%.
- Jam 04.50 : TD 128/78 mmHg, nadi 68 x/menit, SpO2 97%.
- Jam 04.55 : TD 129/82 mmHg, nadi 58 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 05.00 : TD 129/85 mmHg, nadi 62 x/menit, SpO2 98%.
- Jam 05.05 : TD 129/88 mmHg, nadi 68 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 05.10 : TD 126/78 mmHg, nadi 68 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 05.15 : TD 128/76 mmHg, nadi 68 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 05.20 : TD 131/70 mmHg, nadi 61 x/menit, SpO2 98%.
- Jam 05.25 : TD 125/75 mmHg, nadi 61 x/menit, SpO2 100%.
- Jam 05.30 : TD 138/75 mmHg, nadi 63 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 05.35 : TD 135/75 mmHg, nadi 63 x/menit, SpO2 99%.
- Jam 05.40 : TD 135/75 mmHg, nadi 63 x/menit, SpO2 99%.
Bayi lahir jam 09.45 WIB dengan Apgar score 7-8-9. Perdarahan pada
saat operasi adalah ± 100 ml, urine output yang terpantau pada urine bag selama
operasi adalah ± 150 ml. Pembedahan berlangsung selama 65 menit. Setelah
operasi pasien dipindahkan dari ruang OK ke recovery room. Di dalam recovery
room pasien diberikan oksigen 2 liter/menit dan infus RL.
45
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada ilustrasi kasus 1, pasien dengan pre eklamsia berat yang akan
dilakukan tindakan sectio caesaria dengan teknik anestesi spinal. Pada pasien ini,
tidak terdapat kontraindikasi untuk dilakukannya sectio caesaria dengan teknik
anestesi spinal antara lain adanya peningkatan tekanan intrakranial, penurunan
kadar trombosit dan kelainan fungsi pembekuan darah.
Sebelum operasi, dilakukan persiapan terlebih dahulu pada pasien. Perlu
dilakukan pemeriksaan pada pasien secara menyeluruh karena pada proses operasi
harus terlebih dahulu menilai kondisi pasien agar dapat mengetahui kondisi pasien
mana yang beresiko untuk dilakukan operasi dan yang aman untuk dilakukan
operasi sehingga dokter dapat menentukan tindakan yang paling aman bagi
pasien. Pada pasien ini, kondisi fisik dari keadaan umum, kesadaran, dan vital
sign terjadi peningkatan tekanan darah. Terjadinya peningkatan tekanan darah ini
merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu pemantauan ketat dari
sebelum, selama dan setelah operasi berlangsung.
Sebelum dilakukan operasi maka pasien dilakukan puasa terlebih dahulu
yaitu 6 jam. Tujuan puasa disini adalah untuk mengosongkan saluran pencernaan
agar tidak terjadi resiko regurgitasi isi lambung saat dilakukannya operasi. Saat
puasa maka kita membutuhkan cairan pengganti untuk pasien tersebut sesuai
dengan berat badannya dimana kebutuhan perhari preoperasi adalah
2cc/kgBB/jam sehingga dengan berat badan 75 kg maka dibutuhkan cairan 150
cc/kgbb/jam sehingga jika puasa 6 jam maka butuh cairan pengganti sebanyak 900
cc/6 jam yang diberikan selama pasien berpuasa.
Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah dengan Ondansetron
dengan dosis 2-4 mg, pemberian obat ini bertujuan untuk mengurangi rasa mual
dan muntah saat operasi dan post operasi. Karena pada jika tidak diberikan obat
premedikasi ini akan meningkatkan risiko untuk tejadinya aspirasi.
46
Induksi pada teknik anestesi spinal dapat diberikan obat anestetik lokal
antara lain yang sering digunakan adalah Bupivakain 0,5 % dengan volume 4-5
ml. Obat ini keuntungan lama kerjanya yang lama hingga 8 jam, namun onset
jerka dari obat ini lebih lambat dibandingkan dengan obat abestetik lokal lainnya.
Obat ini diberikan melalui tempat penyuntikan yang sudah dipilih yaitu di antara
lumbal 4-5 atau lumbal 3-4. Obat ini juga memiliki efek samping yang lebih
minimal daripada efek samping obat lainnya, salah satu efek samping minimal
yang terjadi adalah nyeri pada tempat penyuntikan dan nyeri punggung.
Setelah dilakukan induksi dengan anestesi lokal, terlebih dahulu perlu
dilakukan pengecekan apakah anestesi telah berhasil atau belum dengan cara
meminta pasien untuk mengangkat kedua tungkainya. Indikasi keberhasilan
anestesi spinal adalah apabila pasien merasa tidak mampu mengangkat tungkai
dan melawan gravitasi. Serta perlu diperiksa dengan diberikan rangsangan nyeri
apakah pasien masih dapat merasakan nyeri atau tidak. Bila anestesi dinilai telah
berhasil maka operasi dapat segera dimulai.
Saat operasi berlangsung, hal yang perlu dilakukan adalah memantau
tekanan darah, nadi dan saturasi oksigen pasien. Kejadian tersering yang muncul
pada teknik anestesi spinal adalah terjadinya penurunan tekanan darah, apabila itu
terjadi maka ahli anestesi perlu mempersiapkan Ephedrine Hcl 50mg/ml yang
diencerkan dengan aquades 1 : 10. Berikan 1-2 ml Ephedrine Hcl apabila terjadi
penurunan 10-15% dari tekanan darah awal.
Setelah bayi lahir, berikan medikasi tambahan yang dibutuhkan antara lain
Methylergometrine dan Oxytoxin. Kedua obat ini dapat diberikan dengan
pemberian intravena dan drip. Obat ini diberikan bertujuan untuk membantu
kontraksi uterus dan menghentikan perdarahan post partum. Namun pada
beberapa literatur menyebutkan bahwa pemberian Methylergometrine pada pasien
dengan PEB perlu perhatian karena efek samping dari pemberian obat tersebut
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Setelah operasi selesai, berikan obat analgetik antara lain dengan
Ketorolac 30 mg yang diberikan per 8 jam sejak setelah operasi. Pemberian
analgetik ini bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri yang muncul saat efek
47
anestesi yang telah hilang. Setelah operasi selesai dan pasien sudah dibersihkan,
pasien dipindahkan pada ruang recovery room untuk dilakukan monitoring
lanjutan.
Monitoring di recovery room berupa monitoring tanda vital, saturasi
oksigen setiap 15 menit, kedalaman anestesi, cairan dan perdarahan. Pada pasien
pertama saturasinya baik yaitu 99. Pada post anestesi spinal tidak banyak
komplikasi yang terjadi, hanya saja jika efek anestesinya hilang pasien akan
segera merasaka kesakitan sehingga perlu juga diberikan analgetik pada pasien.
Pada ilustrasi kasus 2, pasien dengan pre eklamsia berat yang akan
dilakukan tindakan sectio caesaria dengan teknik anestesi inhalasi dengan
menggunakan intubasi endotracheal tube. Pada pasien ini, tidak terdapat
kontraindikasi untuk dilakukannya peamasangan endotracheal tube antara lain
adanya trauma atau obstruksi jalan nafas berat dan trauma servikal yang
membutuhkan immobilisasi komplit.
Sebelum operasi, dilakukan persiapan terlebih dahulu pada pasien. Perlu
dilakukan pemeriksaan pada pasien secara menyeluruh seperti pasien yang
diberikan anestesi dengan teknik spinal. Pada pasien ini juga terjadi peningkatan
tekanan darah. Terjadinya peningkatan tekanan darah ini merupakan salah satu hal
yang perlu diperhatikan dan perlu pemantauan ketat dari sebelum, selama dan
setelah operasi berlangsung.
Pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi dengan teknik inhalasi juga
diharuskan untuk berpuasa. Kebutuhan cairan dasar yang diperlukan tidak berbeda
dengan teknik spinal yaitu 2cc/kgBB/jam sehingga dengan berat badan 79 kg
maka dibutuhkan cairan 158 cc/kgbb/jam sehingga jika puasa 6 jam maka butuh
cairan pengganti sebanyak 900 cc/6 jam yang diberikan selama pasien berpuasa.
Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah dengan Sulfas Atropin
dengan dosis 0,25 mg da Fentanyl 50-100 µg. Tujuan diberikannya premedikasi
adalah untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi
anestesi, meminimalkan jumlah obat anestesi, dan mengurangi mual-muntah
pasca bedah.
48
Induksi pada teknik anestesi inhalasi dapat diberikan Recofol 100 mg.
Obat ini diberikan secara intravena. Obat ini memiliki waktu paruh berkisar antara
2-24 jam dan didistribusikan secara cepat ke jaringan. Dosis induksi cepat
menyebabkan sedasi (rata-rata 30-45 detik) dan kecepatan untuk pulih juga relatif
singkat. Recofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun
relaksasi otot.
Setelah dilakukan induksi, selanjutnya dilakukan intubasi dengan
menggunakan endotracheal tube. Sebelumnya pasitkan terlebih dahulu bahwa
pasien sudah tertidur karena induksi. Intubasi merupakan salah satu usaha untuk
menjaga jalan napas pasien selama dilakukannya operasi. Intubasi dengan
menggunakan endotracheal tube yaitu suatu teknik intubasi dengan memasukkan
suatu pipa ke dalam saluran napas. Ukuran pipa harus disesuaikan dengan kondisi
pasien. Untuk pasien dewasa wanita biasanya digunakan pipa dengan diameter
internal 7,5-8,5 mm.
Saat operasi berlangsung, hal yang perlu dilakukan adalah memantau
tekanan darah, nadi dan saturasi oksigen pasien. Selain itu perlu juga diperhatikan
agent yang merupakan obat maintenance. Untuk anestesi general dapat diberikan
Sevoflurane 2V%, O2 3 liter/menit, dan N2O 3 liter/menit. Efek Sevoflurane
terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Setelah
pemberian dihentikan, sevofluran dapat dengan cepat dikeluarkan oleh badan
Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%.
Setelah bayi lahir, berikan medikasi tambahan yang dibutuhkan antara lain
Methylergometrine secara intravena dan Oxytoxin drip. Obat ini diberikan
bertujuan untuk membantu kontraksi uterus dan menghentikan perdarahan post
partum. Namun pada beberapa literatur menyebutkan bahwa pemberian
Methylergometrine pada pasien dengan PEB perlu perhatian karena efek samping
dari pemberian obat tersebut dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Setelah operasi selesai, berikan obat analgetik antara lain dengan
Ketorolac 30 mg yang diberikan per 8 jam sejak setelah operasi. Pemberian
analgetik ini bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri yang muncul saat efek
anestesi yang telah hilang. Setelah operasi selesai dan pasien sudah dibersihkan,
49
pasien dipindahkan pada ruang recovery room untuk dilakukan monitoring
lanjutan. Monitoring di recovery room berupa monitoring tanda vital, saturasi
oksigen setiap 15 menit, kedalaman anestesi, cairan dan perdarahan. Pada pasien
pertama saturasinya baik yaitu 99.
Perencanaan tindakan anestesi pada sectio caesaria harus senantiasa
memperhatikan keselamatan ibu maupun anak. Anestesi umum maupun anestesi
regional, dapat dilakukan pada pasien yang akan menjalani sectio caesaria.
Sebagian besar operasi sectio caesaria yang dilakukan di Amerika Serikat
menggunakan anestesi regional, dan anestesi regional yang sering digunakan
adalah anestesi spinal.
Pertanyaan mengenai seberapa besar pengaruh anesesi umum
dibandingkan anestesi regional terhadap Apgar score bayi baru lahir merupakan
satu hal yang menarik, bahkan hal ini telah diteliti oleh beberapa peneliti, dan
umumnya merupakan penelitian retrospektif terutama pada operasi-operasi elektif.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa tidak ada perbedaan antara anestesi umum
dan anestesi regional namun beberapa peneliti melaporkan bahwa Apgar score
yang rendah telah terjadi pada pasien sectio caesaria dengan anestesi umum.
Tabel 2. Rerata Nilai Apgar Score pada Sectio Caesaria dengan Preeklampsia Berat
APGAR SCORETEKNIK ANESTESI
Inhalasi Spinal
Menit ke-1 7,00 8,63
Menit ke-5 7,88 9,50
Menit ke-10 9,00 9,88
Dari penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto et al (2012) tentang
pengaruh anastesi regional dan general pada sectio caesaria dengan preeklampsia
berat terhadap Apgar score, didapatkan hasil yaitu insidensi hipotensi lebih tinggi
pada kelompok yang mendapat anestesi spinal yaitu sebesar 37,5% dibanding
50
kelompok yang mendapatkan anestesi umum yaitu sebesar 12,5%. Walaupun
insidensi hipotensinya lebih tinggi namun Apgar score pada kelompok anestesi
spinal lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anastesi regional. Hal ini
diduga karena durasi hipotensinya hanya singkat, penatalaksanaannya lebih
mudah, serta bayi mempunyai mekanisme kompensasi untuk tetap
mempertahankan kecukupan oksigennya yaitu dengan meningkatkan laju nadi
bayi sehingga anestesi spinal aman untuk diberikan pada ibu dengan
preeklampsia.
Gambar 8. Grafik Insidensi Hipotensi pada Sectio Caesaria dengan Preeklampsia Berat
(Kelompok I = Anestesi Umum, Kelompok II = Anestesi Spinal)
Apgar score pada menit pertama dengan anestesi spinal pada preeklampsia
berat menunjukkan rerata yang lebih tinggi dibandingkan dengan anestesi umum
dan menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan p=0,007 (p<0,05). Demikian
juga pada menit kelima maupun menit kesepuluh, apgar score pada pasien
preeklamasia berat yang mendapatkan anestesi spinal mempunyai rerata yang
lebih tinggi daripada anestesi umum dan terdapat perbedaan yang bermakna
antara kedua kelompok (Wijayanto et al, 2012).
Berdasarkan ketegori klinis, pada kelompok anestesi general apgar score
menit ke -1 ada sampel yang masuk kategori asfiksia ringan sebanyak 3 sampel,
sedangkan pada menit ke -5 dan 10 semua sampel masuk dalam kategori normal.
51
Pada kelompok anestesi spinal semua sampel adalah normal, baik pada menit ke-
1, menit ke -5, maupun menit ke -10. Namun tidak terdapat perbedaan bermakna
antara dua kelompok sehinggabedasarkan kategori klinis kedua kelompok sama
(Wijayanto et al, 2012).
Dyer et al (2009) meneliti hal yang sama yaitu membandingkan teknik
anestesi general dengan anestesi spinal untuk sectio caesaria pada pasien
preeklampsia. Hasil utama yang diperkirakan adalah rerata defisit basa arteri
umbilikus neonatus. Anastesi spinal dihubungkan dengan rerata defisit basa arteri
umbilikus neonatus dan median pH arteri umbilikus yang lebih rendah
dibandingkan dengan anestesi general.
Penelitian sebelumnya telah menyatakan peningkatan kejadian asidosis
neonatus (pH arteri umbilikus) pada pasien yang menerima anestesi spinal
dibandingkan dengan anestesi general. Asidosis tersebut terjadi karena
peningkatan PaCO₂ yang disebabkan oleh hiperventilasi maternal selama anestesi
regional. Terdapat juga insidensi hipotensi maternal yang lebih tinggi pada pasien
yang menerima anestesi spinal. Rendahnya PaCO₂ pada pasien yang menerima
anestesi spinal mungkin disebabkan oleh respon kompensasi respirasi pada pasien
dengan asidosis metabolik. Hipokapnia mungkin mempengaruhi perfusi uterus.
Peningkatan insidensi asidosis dihubungkan dengan hipotensi dan kebutuhan akan
vasopressor (Dyer et al, 2009).
Secara signifikan, efedrine lebih jarang digunakan pada pasien yang
menerima anestesi general. Beberapa investigasi tentang efedrine sebagai
vasopresor pada anestesi spinal untuk sectio caesaria telah menyimpulkan bahwa
efedrine mungkin dihubungkan dengan kejadian asidosis neonatus (Dyer et al,
2009).
52
BAB V
KESIMPULAN
Apgar score bayi yang lahir dari pasien sectio caesaria karena
preeklampsia berat dengan anestesi spinal lebih tinggi daripada anestesi general,
tetapi berdasarkan kategori Apgar score kedua teknik sama. Namun insidensi
hipotensi pada pasien dengan teknik anestesi spinal lebih tinggi dibandingkan
dengan anestesi general.
53
DAFTAR PUSTAKA
Chitilian, H.V, Et Al., 2013. Anasthetic Drug Development: Novel Drug And New
Approaches. San Fransisco: Journal Of Surgical Neurology.
Dyer, R. A., et al. 2009. Prospective, Randomized Trial Comparing General with
Spinal Anesthesia for Cesarean Delivery in Preeclamptic Patients with a
Nonreassuring Fetal Heart Trace. American Society of Anesthesiologists
Fassoulaki A, Staikou C, Melemeni A, Kottis G, Petropoulos G. Anaesthesia
preference, neuraxial vs general, and outcome after caesarean section. J
Obstet Gynaecol. 2010;30:818–21
Katzung, B.G., Miller, R.D., 2009.Farmakologi Dasar Dan Klinik(8th ed).
Jakarta : Salemba Medika.
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, M. R., 2010. Petunjuk praktis
Anestesiologi, Cetakan kedua, Bagian anestesiologi dan Terapi intensif.
FKUI. Jakarta.
Mancuso A, De Vivo A, Giacobbe A, Priola V, Maggio Savasta L,Guzzo M, De
Vivo D, Mancuso A. General versus spinal anaesthesia for elective
caesarean sections: effects on neonatal short-term outcome. A prospective
randomised study. J Matern Fetal Neonatal Med. 2010;23:1114–8.
Palanisamy A, Mitani AA, Tsen LC. General anesthesia for cesarean delivery at
a tertiary care hospital from 2000 to 2005: a retrospective analysis and 10-
year update. Int J Obstet Anesth. 2011;20:10–6.
Tsai PS, Hsu CS, Fan YC, Huang CJ. General anaesthesia is associated with
increased risk of surgical site infection after Caesarean delivery compared
with neuraxial anaesthesia: a population-based study. Br J Anaesth.
2011;107:757–61.
Tsen LC. Anesthesia for cesarean delivery. In: Chestnut DH, editor. Obstetric
anesthesia principles and practice. Philadelphia: Elsevier Inc.; 2009. p.
521.
Soenarjo., Jatmiko H.D., 2010. Anestesiologi. Semarang. IDSAI
54
Wijayanto, N., Et al. 2012. Pengaruh Anestesi Regional dan General pada Sectio
Caesaria pada Ibu dengan Pre Eklampsia Berat terhadap Apgar Score.
Semarang.
Wiknjosastro, 2009. Ilmu Kebidanan. Yayasan bina pustaka. Jakarta
55
Top Related