Download - Kota di Persimpangan Jalan

Transcript
Page 1: Kota di Persimpangan Jalan
Page 2: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di Persimpangan Jalan: Pedoman Perancangan Strategi

Pengendalian Emisi dari Sektor Transportasi Jalan di Kawasan

Perkotaan

Diterbitkan oleh:

Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), 2009

ISBN 978-602-8358-23-1

Isi dan materi yang ada dalam buku ini dapat direproduksi dan disebarluaskan den-

gan tidak mengurangi isi dan arti dari dokumen ini. Diperbolehkan untuk mengutip isi

buku ini dengan menyebutkan sumbernya.

Pengarah : Mohd. Gempur Adnan

Penanggung Jawab : Ade Palguna Ruteka

Penyusun : M. Didin Khaerudin

Fitri Harwati

John H.P. Tambun Mulia

Dian Sugiarti

Tri Indriastuti

Shanty M.F. Syahril

Harya Setyaka Dillon

Editor : Armely Meiviana

Shanty M.F. Syahril

Fitri Harwati

Desain dan Tata Letak : www.hope-plus.com

Page 3: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan i

Pengantar

Saat ini sekitar setengah dari penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan.

Kombinasi tingginya konsentrasi dan aktivitas penduduk di kawasan perkotaan

tersebut berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara akibat emisi

dari aktivitas sektor transportasi jalan. Hal ini diakibatkan pemenuhan kebutuhan

pergerakan warga kota masih bertumpu pada kendaraan bermotor pribadi.

Di sisi lain, kenyataan memperlihatkan populasi sepeda motor dan mobil pribadi di

Indonesia meningkat begitu pesat. Kemacetan juga kian kerap teramati di berbagai

kota metropolitan dan kota besar. Ini berarti kota sudah semakin tergantung pada

kendaraan bermotor pribadi dan cepat atau lambat ancaman pencemaran udara

akan di depan mata. Beberapa kota metropolitan bahkan sudah pernah mengalami

hari-hari dengan udara tidak sehat.

Oleh karena itu untuk mendukung seluruh kota di Indonesia dalam menghadapi

persoalan pencemaran udara tersebut maka Kementerian Negara Lingkungan Hidup

(KNLH) menerbitkan buku “Kota di Persimpangan Jalan: Pedoman Perancangan

Strategi Pengendalian Emisi dari Sektor Transportasi Jalan di Kawasan

Perkotaan”. Lebih jauh buku ini diharapkan dapat membantu Pemerintah Kota untuk

berperan lebih strategis dalam program pengendalian pencemaran udara yang telah

dikenal secara nasional dengan nama Program Langit Biru sejak tahun 1996.

Bila sebelumnya peran Pemerintah Kota dalam Program Langit Biru lebih dititik

beratkan sebagai pelaksana kebijakan, maka kini sejalan dengan semangat otonomi

daerah, Pemerintah Kota juga diharapkan berperan aktif sebagai perancang

strategi pengendalian bagi kotanya masing-masing. Tentu diharapkan lahir

strategi pengendalian yang efektif, menyentuh akar persoalan serta sesuai dengan

karakteristik dan potensi lokal.

Page 4: Kota di Persimpangan Jalan

ii Kota di persimpangan Jalan

Buku ini disusun dengan sistematika sedemikian rupa agar dapat memberikan

pemahaman yang umum tapi menyeluruh bagi segenap jajaran Pemerintah Kota,

tidak terbatas pada instansi lingkungan, tapi juga instansi perencana pembangunan

dan sektoral. Bahkan buku ini diharapkan dapat bermanfaat pula bagi masyarakat

guna berpartisipasi mewujudkan udara bersih.

Buku ini menjelaskan mulai dari hal yang paling mendasar yakni proses terjadinya

pencemaran udara pada Bab 1, serta faktor-faktor yang mempengaruhi besar

kecilnya emisi dari sektor transportasi pada Bab 2. Hingga prinsip dan elemen

strategi pengendalian pada Bab 3 dan Bab 4. Pada Bab 5 disajikan pula ringkasan

peraturan perundang-undangan yang terkait.

Pemahaman menyeluruh ini diharapkan dapat membangkitkan kesadaran Pemerintah

Kota untuk bersinergi menyusun strategi pengendalian emisi sektor transportasi

jalan dengan melibatkan masyarakat. Nantinya dalam proses perumusan strategi,

Pemerintah Kota disarankan untuk menggali informasi lebih mendalam dari beragam

pustaka lainnya maupun para narasumber ahli.

Akhir kata, saya mengundang Saudara sekalian untuk melakukan uji coba sederhana

di kota masing-masing. Cobalah berjalan kaki di kota Saudara, cukup sekitar 15

menit saja. Apakah Saudara merasa keselamatan terancam atau terintimidasi oleh

kendaraan bermotor yang lalu lalang? Apakah Saudara merasa sesak saat bernafas?

Apakah Saudara masih menemukan taman untuk beristirahat atau justru semua

ruang kosong bahkan hingga trotoar dan sisi jalan sudah digunakan untuk parkir

kendaraan bermotor?

Bagaimana jawabannya?

Bila Saudara merasa aman dan nyaman, maka bayangkan apakah 5 atau 10 tahun

mendatang Saudara masih akan merasakan hal yang sama?

Page 5: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan iii

Sementara bila Saudara merasa tidak aman dan tidak nyaman, maka itu pertanda

awal bahwa sesuatu perlu dilakukan untuk mengendalikan kendaraan bermotor di

kota Saudara, karena sejatinya pembangunan kota ditujukan untuk kebahagiaan

manusianya dan bukan untuk mengakomodasi pertumbuhan kendaraan bermotor.

Jakarta, November 2009

Mohd. Gempur Adnan

Deputi MENLH Bidang Pengendalian

Pencemaran Lingkungan

Page 6: Kota di Persimpangan Jalan

iv Kota di persimpangan Jalan

Ucapan Terima Kasih

Kementerian Negara Lingkungan Hidup ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada para pakar dan segenap pemangku kepentingan berikut

yang telah berpartisipasi dan memberi masukan konstruktif dalam tiga forum

konsultasi yang diselenggarakan terkait dengan penyusunan buku ini.

Jakarta (9 Juli 2008) - Cecep Aminudin, Dollaris R. Suhadi, Ellen Tangkudung, Endra

Atmawidjaya, F. Trisbiantara, Marco Kusumawijaya, Mia Amalia, Sudarmanto B.N,

Tory Damantoro, Yayat Supriyatna, Wicaksono Sarosa.

Semarang (28-29 Agustus 2008) - Agus SMT, Brigida M., Budi, Cipto, Endang Pratiwi,

Harsoyo, Nurweni, Riri Fs.Indarlin, Sriwurni, Sujoko, WT. Nurindah, Yuni Hastut

(Bapedalda Kota); Lilin Budiarti, M. Farcha (Bappeda Kota); Busono W (BLH Provinsi);

Tuti Ekawati (Dinkes Kota); Imam Sukoco (Dishub Kota); Budi SR (Distaman Kota);

Hartono (DPKD kota); Rosid Hudoyo (DPU Kota); M. Sulistyowati (Infokom); Nuraeni

(Polwiltabes Kota); Catur Hadik S. (Patiro Semarang); Anita Ratnasari, Maryono, Okto

R.M, Indro Sumantri, Haryono S. Hodoyo (Universitas Diponegoro); Djoko Sutiyono

(UNIKA Soegiyopranoto); Sodang (Cakra TV); Herpin (Kompas); Adit (Radar Sema-

rang); Kowari (Sindo); Ariel (SMART FM); Anhar (Suara Merdeka) ; Restu (TVKU);

Berkah Wahyudi.

Surakarta (25-26 November 2008) – Triyanto (Bappeda Kota); Daliman (BLK);

Sutikno S. (DKK); Ari Wibowo, Judoyo (DLLAJ Kota); Saryanto (DPU Kota); Taviana

(DTK); Rusdan Aziz (Kecamatan Banjarsari); Dwi Apriliana S. (Kecamatan Jebres);

Haryati (Kecamatan Laweyan); Siswanto (Kecamatan Pasar Kliwon); Lukito, Diyah R.

(Kecamatan Serengan); Bambang W., Boni, Desi Elita, Edy S., M. Ndandung Kusumo,

Sultan N., Supono (KLH Surakarta); Choirul S. (YLIH); Pranoto, Syarif H.M. (PPLH

UNS); Suyatno (PT. KA. Solo); Novita Razak (Pusreg. Jawa); Djoko Sutiyono (Unika

Soegiyopranoto); J. Pramono; Suci Budiati.

Page 7: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan v

Daftar Isi

Pengantar i

Ucapan Terima Kasih iv

Daftar Isi v

Daftar Gambar, Tabel, dan Kotak viii

Daftar Istilah xi

1. Apa yang menjadi persoalan? 1

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara? 3

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar 6

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan 8

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat 10

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian 15

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara 18

2. Apa penyebab persoalan 23

2.1 Emisi per km kendaraan bermotor masih tinggi 26

A. Kualitas bahan bakar 26

B. Tingkat teknologi kendaraan bermotor 28

C. Perawatan dan pengujian emisi kendaraan bermotor 30

D. Kecepatan kendaraan bermotor 32

E. Perilaku mengemudi 34

2.2 Panjang perjalanan kendaraan bermotor terus meningkat 35

A. Urbanisasi 35

B. Jarak asal-tujuan 39

C. Tingkat aktivitas penduduk 42

D. Pilihan moda transportasi 42

3. Bagaimana mengendalikannya? 47

3.1 Pengendalian sebagai proses pembuatan keputusan menuju perbaikan 48

A. Pengendalian: proses berkesinambungan menuju perbaikan 50

Page 8: Kota di Persimpangan Jalan

vi Kota di persimpangan Jalan

B. Dasar pembuatan keputusan 54

C. Aktor pembuat keputusan 54

3.2 Lima prinsip dasar menyusun strategi pengendalian 58

A. Prinsip ke-1: membangun sinergi antar instansi pemerintah 61

B. Prinsip ke-2: melibatkan masyarakat 62

C. Prinsip ke-3: membangun visi bersama 64

D. Prinsip ke-4: menentukan target pengendalian 66

E. Prinsip ke-5: merumuskan strategi pengendalian yang menyentuh akar

persoalan dan mempertimbangkan karakteristik kota 68

4. Strategi pengendalian 73

4.1 Elemen ke-1: bahan bakar yang lebih bersih 77

4.2 Elemen ke-2: teknologi kendaraan bermotor yang lebih bersih 78

4.3 Elemen ke-3: pengujian dan perawatan emisi kendaraan bermotor 80

4.4 Elemen ke-4: manajemen kebutuhan transportasi 83

A. Penataan ruang berorientasi transit 87

B. Peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum berorientasi transit 92

C. Revitalisasi fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor 94

D. Pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi 95

E. Fasilitas parkir dan melaju (park and ride) 97

F. Contoh penerapan manajemen kebutuhan transportasi di beberapa kota 97

5. Tinjauan hukum 105

5.1 Undang-undang Dasar 1945 107

5.2 Perundang-undangan lingkungan 108

A. UU No. 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 108

B. PP No. 41/1999: Pengendalian Pencemaran Udara 109

5.3 Perundang-undangan perencanaan pembangunan dan sektoral 113

A. UU No. 5/1984: Perindustrian 113

B. UU No. 22/2001: Minyak dan Gas Bumi 114

C. UU No. 25/2004: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 114

Page 9: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan vii

D. UU No. 26/2007: Penataan Ruang 115

E. UU No. 22/2009: Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 116

5.4 Perundang-undangan pemerintahan daerah 117

Daftar Acuan 121

Rekomendasi Situs Terkait 125

Page 10: Kota di Persimpangan Jalan

viii Kota di persimpangan Jalan

Daftar Gambar, Tabel, dan Kotak

Gambar

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara 2

Gambar 1.2: Proses terjadinya pencemaran udara 4

Gambar 1.3: Urbanisasi di Indonesia (1975-2025) 9

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor 12

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007 13

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan 14

Gambar 1.7: Berbagai dampak akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor 19

Gambar 2.1: Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya beban pencemar dari

emisi gas buang kendaraan bermotor 25

Gambar 2.2: Perbandingan antara standar spesifikasi bensin dan solar yang berlaku

dengan yang dibutuhkan 27

Gambar 2.3: Perkembangan penurunan ambang batas emisi gas buang yang berlaku

di Negara Uni Eropa 29

Gambar 2.4: Tingkat kelulusan uji emisi gas buang mobil pribadi di jalan

tahun 2007 32

Gambar 2.5: Perilaku mengemudi yang agresif 34

Gambar 2.6: Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan moda transportasi 36

Gambar 2.7: Jumlah penduduk 10 kota terbesar di Indonesia tahun 2004 37

Gambar 2.8: Perbandingan suburbanisasi antara Jabodetabek dengan

kota-kota lain 40

Gambar 2.9: Perkembangan jumlah penduduk di DKI Jakarta dan Jabodetabek

tahun 1971-2000 41

Gambar 2.10: Perbandingan emisi CO2 antar moda transportasi 43

Gambar 2.11: Perbandingan kebutuhan ruang antar moda transportasi 44

Gambar 3.1: Pengendalian ketinggian muka air dalam bak 49

Gambar 3.2: Siklus pengendalian 51

Gambar 3.3: Skema proses pembuatan keputusan dalam pengendalian 54

Gambar 3.4: Aliran informasi antara pemerintah dan masyarakat 63

Gambar 3.5: Tata aliran kegiatan untuk menentukan target pengendalian 67

Gambar 4.1: Elemen pengendalian emisi sektor transportasi jalan 74

Page 11: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan ix

Gambar 4.2: Konsep manajemen kebutuhan transportasi dan beberapa

contohnya 86

Gambar 4.3: Perbandingan pola penataan ruang 87

Gambar 4.4: Konsep kota bebas kendaraan bermotor pribadi 91

Gambar 4.5: Transjakarta mendapat prioritas, sehingga tidak ikut terjebak dalam

kemacetan 98

Gambar 4.6: Hari Bebas Kendaraan Bermotor di ruas Jl. Sudirman 99

Gambar 4.7: Peluncuran Sego Segawe di Yogyakarta dihadiri ribuan pesepeda 100

Gambar 4.8: Transjogja menghubungkan pusat kota, bandara dan obyek wisata 100

Gambar 4.9: Jalur lambat khusus untuk sepeda dan pejalan kaki

di Jl. Slamet Riyadi 101

Gambar 4.10: Pusat kota di Eropa yang sebagian besar bebas kendaraan

bermotor pribadi 102

Gambar 4.11: Jalur khusus pejalan kaki dan pesepeda di Bogota 103

Gambar 4.12: Fasilitas parkir sepeda di Bogota 104

Gambar 5.1: Target pencapaian indikator SPM pengendalian pencemaran

udara 120

Tabel

Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008 8

Tabel 2.1: Hasil pemantauan kualitas bensin dan solar di Indonesia

tahun 2005-2008 28

Tabel 2.2: Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama berdasarkan

PermenLH No. 5/2006 31

Tabel 2.3: Kinerja lalu lintas di 12 kota tahun 2007 33

Tabel 2.4: Sebaran penduduk kota di Indonesia 37

Tabel 3.1: Indikator evaluasi perkembangan potensi emisi sektor

transportasi jalan 69

Tabel 4.1: Alternatif sistem uji emisi gas buang kendaraan bermotor lama 82

Tabel 5.1: Pembagian urusan pemerintahan subsubbidang pengelolaan kualitas

udara dan pengendalian pencemaran udara 118

Page 12: Kota di Persimpangan Jalan

x Kota di persimpangan Jalan

Kotak

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia 6

Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor 11

Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan bermotor 16

Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan pencemaran udara 21

Kotak 3.1: Tahapan perumusan kebijakan 52

Kotak 3.2: Stakeholder pengendalian emisi dari sektor transportasi jalan 56

Kotak 3.3: Hukum alam terkait dengan pengendalian pencemaran udara 59

Kotak 3.4: Tata pemerintahan yang baik (good governance) 60

Kotak 3.5: Peran instansi lingkungan 62

Kotak 4.1: Jaime Lerner, inovator pembangunan kota berkelanjutan 75

Kotak 4.2: Hirarki pengguna jalan 84

Kotak 4.3: Seoul, tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai

perubahan 88

Kotak 4.4: Sistem angkutan umum massal 93

Kotak 5.1: Peraturan perundang-undangan terkait dengan pengendalian

pencemaran udara 106

Kotak 5.2: Program Langit Biru 111

Page 13: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan xi

Daftar Istilah

Ambang batas emisi gas buang adalah batas kadar maksimum dan/atau beban emisimaksimum yang dihasilkan dari pipa gas buang kendaraan motor yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien.

Baku Mutu Udara Ambien atau BMUA adalah ukuran batas atau kadar zat yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.

BAPPEDA singkatan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

BAPPENAS singkatan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BBG singkatan dari Bahan Bakar Gas

BBM singkatan dari Bahan Bakar Minyak

Beban pencemar adalah zat yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai potensi mencemari udara ambien dalam suatu satuan waktu.

BRT singkatan dari Bus Rapid Transit, yakni angkutan umum massal berbasis bus yang beroperasi pada bidang jalan dengan jalur khusus dan prioritas.

CBD singkatan dari Central Business District atau pusat bisnis kota

CO adalah karbon monoksida

CO2 adalah karbon dioksida

Daya dukung udara ambien adalah kemampuan udara ambien untuk mendukungperikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.

Daya tampung udara ambien adalah kemampuan udara ambien untuk mengaturkeseimbangan zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya sehingga daya dukung udara ambien tidak terlampaui.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepadaGubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu (UU No. 32/2004, pasal 1).

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepadadaerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 32/2004, pasal 1).

Page 14: Kota di Persimpangan Jalan

xii Kota di persimpangan Jalan

Emisi adalah zat yang masuk ke dalam udara bebas yang mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.

ESDM singkatan dari Energi dan Sumber Daya Mineral

HC singkatan dari Hidrokarbon.

Hujan asam adalah hujan yang dianggap bersifat asam, menurut World MeteorologyOrganization (WMO) adalah jika rata-rata pH air hujan lebih rendah dari 5,6.

Instansi lingkungan adalah instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/atau pengendalian dampak lingkungan.

ISPU atau Indeks Standar Pencemar Udara adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan pada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya.

Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan tetapi akan diproduksi dengan perubahan desain mesin dan atau sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia.

Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan bermotor yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di wilayah Republik Indonesia.

Kepmen LH singkatan dari Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

Keppres singkatan dari Keputusan Presiden.

KLH singkatan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup

LRT singkatan dari Light Rapid Transit, yakni angkutan umum massal denganmenggunakan rel ringan atau biasa dikenal dengan monorel.

Manajemen Kebutuhan Transportasi atau Transport Demand Management adalahpendekatan untuk melayani kebutuhan transportasi dengan merekayasa agarkebutuhan transportasi tidak melebihi sumber daya yang dapat mendukungnya baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan.

MENLH singkatan dari Menteri Negara Lingkungan Hidup

Page 15: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan xiii

Model dispersi adalah metodologi atau teknik numerikal yang dikembangkan atas dasar-dasar hukum fisika untuk memperkirakan penyebaran konsentrasi pencemar udara dalam waktu dan ruang sebagai fungsi dari distribusi emisi dan parameter meteorologi serta keadaan geofisik. Model ini berguna bagi para pengambil keputusan dalam pengendalian pencemaran udara, perencanaan transportasi dan perencanaan tata ruang.

MRT singkatan dari Mass Rapid Transit atau angkutan umum massal

NOx atau oksida nitrogen yang dapat berbentuk NO dan NO2, adalah gas yangmenyebabkan gangguan pernafasan dalam kadar tinggi, terjadi akibatpembakaran pada kendaraan bermotor dan juga mesin berbagai industri.

O3 adalah ozon permukaan.

Pemerintah adalah termasuk di dalamnya eksekutif, legislatif dan yudikatif merupakan suatu organisasi yang dipercaya secara sah, untuk mengemban tugasmengendalikan dan mengatur tindakan masyarakat sehingga kesejahteraan kolektif masyarakat dapat dipromosikan sedangkan hak-hak istimewa individu tetap dilindungi.

Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (PP No. 41/1999, pasal 1).

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (UU No. 32/2009 Pasal 1).

Pengendalian adalah pengawasan atas kemajuan (tugas) dengan membandingkan hasil dan sasaran secara teratur serta menyesuaikan usaha (kegiatan) dengan hasil pengawasan.

Perangkat hukum adalah instrumen kebijakan, baik yang berbentuk hukum, peraturan maupun petunjuk.

Permen LH singkatan dari Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup

PM10 adalah partikel yang berukuran 10 mikron atau lebih kecil.

PP singkatan dari Peraturan Pemerintah

Renstra singkatan dari Rencana Strategis

Page 16: Kota di Persimpangan Jalan

xiv Kota di persimpangan Jalan

RPJM singkatan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah

SO2 atau sulfur dioksida adalah gas berbau yang dapat menyebabkan iritasi pernafasan terjadi akibat pembakaran batubara, bahan bakar minyak dan bahan bakar fosil lainnya yang mengandung sulfur. Selain itu dapat juga berasal dari sumber alami seperti gunung berapi.

Stakeholders adalah para pihak yang memiliki ketertarikan atau kepentingan terhadap suatu keputusan, baik sebagai individu maupun perwakilan suatu kelompok, termasuk pihak yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan tersebut.

Status Mutu Udara Ambien atau SMUA adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi.

Toksik adalah pencemar udara yang dapat menyebabkan kematian, gangguan kesehatan dan kerusakan janin pada makhluk hidup.

Total Suspended Particulates atau TSP adalah konsentrasi debu.

Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya (PP No. 41/1999, pasal 1).

Urbanisasi adalah persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan.

UU singkatan dari Undang-undang

Wewenang pemerintahan adalah hak atau kekuasaan yang sah berdasarkan kaidah-kaidah hukum publik untuk melakukan perbuatan pemerintahan dan menjalankan fungsifungsi jabatan dan/atau organ pemerintah dalam upaya penyelenggaraan pencapaian tujuan negara (Warlan, 2004).

WHO singkatan dari World Health Organization

Page 17: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 1

Persoalan?1. Apa yang Menjadi

entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah

dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas,

manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi

untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor,

memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain

sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia

juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil,

berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan

terjadinya pencemaran udara.

1

Page 18: Kota di Persimpangan Jalan

2 Apa yang menjadi persoalan?

Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang

berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya.

Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan

kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya

menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat.

Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun

pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi

di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun.

Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan

jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan

di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan

kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu

aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah

transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut

terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber

pencemar utama di kawasan perkotaan adalah

transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan

penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan

kendaraan bermotor.

Jumlah kendaraan meningkatAktivitas manusia Emisi meningkat

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara

Page 19: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 3

Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya

pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia

yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya

dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase

penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan

peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga

turut meningkat.

Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan

bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai

keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1

ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya

pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di

Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?

Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami

terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.

Dampak Pencemaran Udara :

. gangguan kesehatan

. pemanasan global

. kerugian ekonomi

Aktivitas manusia terganggu

Page 20: Kota di Persimpangan Jalan

4 Apa yang menjadi persoalan?

Gam

bar 1

.2 P

rose

s te

rjadi

nya

penc

emar

an u

dara

Page 21: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 5

Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat,

partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia.

Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada

pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia

beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3).

Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan

arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin

tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru

pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.

Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup

angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan

yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah

kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.

Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari

udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi

kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).

Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar

polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian

kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia

terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar

daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di

udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun.

Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang

berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam

mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah

pencemaran udara.

Page 22: Kota di Persimpangan Jalan

6 Apa yang menjadi persoalan?

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam

Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka

kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah

setempat.

ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil

pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida

(CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter

lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap

Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN).

Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005

ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya

pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di

lima kota tersebut tercemar.

Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara

langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak

langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia,

seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar

Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum

hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 2002-

2005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut.

Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di

beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.

Page 23: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 7

Kategori Medan Jakarta Bandung Semarang Surabaya

2002

Baik 55 22 62 179 44

Sedang 266 223 241 124 266

Tidak Sehat 22 95 4 4 11

Sangat tidak sehat 0 4 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 22 21 58 58 44

2003

Baik 128 18 76 82 49

Sedang 208 223 176 226 208

Tidak Sehat 0 67 11 1 2

Sangat Tidak Sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 29 57 102 56 106

2004

Baik 135 18 64 60 74

Sedang 148 264 54 239 132

Tidak sehat 6 12 0 0 6

Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 79 71 247 66 153

2005

Baik 24 29 40 229 21

Sedang 0 270 14 83 175

Tidak sehat 0 18 0 0 0

Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 341 48 311 53 165

Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

(tahun 2002 – 2005)

Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota

yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk

DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat,

2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi

atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar

matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar

udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.

Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).

Page 24: Kota di Persimpangan Jalan

8 Apa yang menjadi persoalan?

Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas

di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang

berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat

pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan

yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut.

Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor

demografi, ekonomi dan geografi.

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan

Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan

bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi

pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas

transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi

pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.

Keterangan :

Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Data tidak lengkap

Tidak diukur pada tahun 2007

Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)

Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

No Kota

CO HC NO2 SO2 PM10 TSP O3

2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2007 2007

1 Medan

2 Palembang x x x x x x x

3 Jakarta Utara

4 Jakarta Timur

5Jakarta Selatan

6 Jakarta Barat

7 Jakarta Pusat

8 Bekasi x x x x x x x

9 Depok x x x x x x x

10 Tangerang x x x x x x x

11 Bandung

12 Yogyakarta

13 Semarang

14 Surabaya o

15 Denpasar o

16 Makassar o o

Page 25: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 9

Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di

kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi

penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk

Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.

Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor

Potensi pencemaran udara di suatu kawasan

Jumlah pendudukTa

hun

Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)

Urbanisasi (%)

Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang

bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008).

Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan

perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya

transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat

perkotaan.

Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)

0 � 10� 20� 30� 40� 50� 60 � 70 � 80 � 90 � 100

2025

2020

2015

2010

2005

2000

1995

1990

1985

1980

1975

1970

Page 26: Kota di Persimpangan Jalan

10 Apa yang menjadi persoalan?

Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan

perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di

kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif

lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di

kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi

pada kota-kota lain di dunia.

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat

Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan

perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang

mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan

perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang

semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari

satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan

sebagai transportasi (Morlok, 1978).

Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki,

naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi

atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat

mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak

1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan

perkotaan.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin

dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering

dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota

besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti

diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan

kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.

Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan

bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total

Page 27: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 11

Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor

Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan

bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon

monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon

(HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida

nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi

menghasilkan oksidan fotokimia (O3).

Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti

timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya.

Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun,

kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang

berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan

bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata,

emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.

Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata

Page 28: Kota di Persimpangan Jalan

12 Apa yang menjadi persoalan?

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya

lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat

terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan

sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor

per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara

mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.

Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada

kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau

pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun

tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya,

justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti

ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih

besar.

2Kendaraan bermotor pribadi

terus bertambah

1Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas

3Sudah tergantung pada

kendaraan bermotor pribadi

Page 29: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 13

Bis Truk Mobil Sepeda Motor

Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor

ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan

jumlah penduduk di Indonesia.

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007

Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)

50

45

40

35

30

25

20

15

10

5

0

Jum

lah

(juta

uni

t)

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Tahun

Page 30: Kota di Persimpangan Jalan

14 Apa yang menjadi persoalan?

Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil

mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu

pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan

mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi

tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi

daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan

tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk.

Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan

Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006).

Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari

rata-rata nasional.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian

bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat.

Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali

lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian

BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM

Page 31: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 15

oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri,

rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990

masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai

56% (Christiono, 2008).

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian

Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien

dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum

dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi

pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis

pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya

bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.

Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi

akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu:

(i) zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui

daya tampung udara di sekitar.

(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga

ditemui adanya dampak kesehatan.

Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi

dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang

terdiagnosa menderita kanker.

Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di

Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200

kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan

(Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan

kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis

pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar

Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun

1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total

penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.

Page 32: Kota di Persimpangan Jalan

16 Apa yang menjadi persoalan?

Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan

bermotor

Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk

berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang

mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan

karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb

dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa

oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat

serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan

akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon

(PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan

merangsang terbentuknya sel-sel kanker.

Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia.

Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.

Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2

yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar

5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.

Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada

kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang

sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang

berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang

mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu

dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan

SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada

hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm

Page 33: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 17

selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing

dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon

berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala

pembengkakan paru (edema pulmonari).

Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada

ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron.

Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung

masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang

lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian

atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila

terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga.

Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin

akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus

pandang mata (visibility).

Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi

kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat

bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan

protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis

bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala,

anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan.

Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.

Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan

manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat

terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat

Page 34: Kota di Persimpangan Jalan

18 Apa yang menjadi persoalan?

asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat

asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak

kehidupan biota di badan air (sungai/danau).

Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya

berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan

banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan,

meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi

untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).

Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya

ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan

perekonomian di sebuah kota. Namun pada

akhirnya justru berbalik memberikan kerugian

ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.

Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat

kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78

milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi

yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun

per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya

operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor

dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik

memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara

Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan

Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara

mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004).

World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi

pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan

Page 35: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 19

Gam

bar

1.7

Ber

bag

ai d

amp

ak a

kib

at p

enin

gka

tan

jum

lah

kend

araa

n b

erm

oto

r

Page 36: Kota di Persimpangan Jalan

20 Apa yang menjadi persoalan?

ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan

kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota

di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara.

Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah,

justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara

yang ditimbulkannya?

Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya.

Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu

dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang

diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju.

Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara

meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara

maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve)

seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara

tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara

yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan

pengendalian pencemaran udara yang efektif.

Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang

saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat

perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara

ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada

yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus

menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi

yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.

Page 37: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 21

Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan

pencemaran udara

Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien

melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO

yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa

seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan

ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka

untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi

pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk

beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi

perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah

diberlakukannya kebijakan padat teknologi.

Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita

yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih

besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami

tingkat perkembangan ekonomi yang sama.

Gambar kurva lingkungan Kuznet

Sumber: Peters dan Murray (2004)

Ting

kat p

ence

mar

an u

dara

Tahap 0Mulai industrialisasi

Tahap 1Mulai pengendalian

Tahap 2Kualitas udara stabil

Tahap 3Perbaikan kualitas udara

Tahap 4implementasiteknologi bersih

RendahTingkat pembangunan

Tinggi

Panduan kualitas udara ambien WHO

Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar

hingga kualitas udara membaik terjadi karena:

(i) adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan

(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.

Page 38: Kota di Persimpangan Jalan

22 Apa yang menjadi persoalan?

Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga

terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban

uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki

kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya

kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam

melaksanakan suatu kebijakan.

Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus

disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa

jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian

besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak

pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi

karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di

Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati

keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.

Page 39: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 1

Persoalan?1. Apa yang Menjadi

entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah

dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas,

manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi

untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor,

memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain

sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia

juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil,

berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan

terjadinya pencemaran udara.

1

Page 40: Kota di Persimpangan Jalan

2 Apa yang menjadi persoalan?

Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang

berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya.

Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan

kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya

menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat.

Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun

pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi

di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun.

Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan

jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan

di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan

kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu

aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah

transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut

terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber

pencemar utama di kawasan perkotaan adalah

transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan

penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan

kendaraan bermotor.

Jumlah kendaraan meningkatAktivitas manusia Emisi meningkat

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara

Page 41: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 3

Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya

pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia

yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya

dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase

penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan

peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga

turut meningkat.

Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan

bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai

keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1

ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya

pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di

Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?

Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami

terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.

Dampak Pencemaran Udara :

. gangguan kesehatan

. pemanasan global

. kerugian ekonomi

Aktivitas manusia terganggu

Page 42: Kota di Persimpangan Jalan

4 Apa yang menjadi persoalan?

Gam

bar 1

.2 P

rose

s te

rjadi

nya

penc

emar

an u

dara

Page 43: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 5

Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat,

partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia.

Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada

pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia

beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3).

Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan

arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin

tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru

pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.

Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup

angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan

yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah

kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.

Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari

udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi

kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).

Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar

polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian

kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia

terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar

daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di

udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun.

Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang

berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam

mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah

pencemaran udara.

Page 44: Kota di Persimpangan Jalan

6 Apa yang menjadi persoalan?

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam

Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka

kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah

setempat.

ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil

pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida

(CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter

lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap

Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN).

Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005

ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya

pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di

lima kota tersebut tercemar.

Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara

langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak

langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia,

seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar

Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum

hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 2002-

2005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut.

Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di

beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.

Page 45: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 7

Kategori Medan Jakarta Bandung Semarang Surabaya

2002

Baik 55 22 62 179 44

Sedang 266 223 241 124 266

Tidak Sehat 22 95 4 4 11

Sangat tidak sehat 0 4 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 22 21 58 58 44

2003

Baik 128 18 76 82 49

Sedang 208 223 176 226 208

Tidak Sehat 0 67 11 1 2

Sangat Tidak Sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 29 57 102 56 106

2004

Baik 135 18 64 60 74

Sedang 148 264 54 239 132

Tidak sehat 6 12 0 0 6

Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 79 71 247 66 153

2005

Baik 24 29 40 229 21

Sedang 0 270 14 83 175

Tidak sehat 0 18 0 0 0

Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 341 48 311 53 165

Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

(tahun 2002 – 2005)

Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota

yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk

DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat,

2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi

atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar

matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar

udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.

Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).

Page 46: Kota di Persimpangan Jalan

8 Apa yang menjadi persoalan?

Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas

di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang

berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat

pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan

yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut.

Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor

demografi, ekonomi dan geografi.

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan

Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan

bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi

pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas

transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi

pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.

Keterangan :

Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Data tidak lengkap

Tidak diukur pada tahun 2007

Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)

Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

No Kota

CO HC NO2 SO2 PM10 TSP O3

2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2007 2007

1 Medan

2 Palembang x x x x x x x

3 Jakarta Utara

4 Jakarta Timur

5Jakarta Selatan

6 Jakarta Barat

7 Jakarta Pusat

8 Bekasi x x x x x x x

9 Depok x x x x x x x

10 Tangerang x x x x x x x

11 Bandung

12 Yogyakarta

13 Semarang

14 Surabaya o

15 Denpasar o

16 Makassar o o

Page 47: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 9

Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di

kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi

penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk

Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.

Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor

Potensi pencemaran udara di suatu kawasan

Jumlah pendudukTa

hun

Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)

Urbanisasi (%)

Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang

bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008).

Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan

perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya

transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat

perkotaan.

Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)

0 � 10� 20� 30� 40� 50� 60 � 70 � 80 � 90 � 100

2025

2020

2015

2010

2005

2000

1995

1990

1985

1980

1975

1970

Page 48: Kota di Persimpangan Jalan

10 Apa yang menjadi persoalan?

Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan

perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di

kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif

lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di

kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi

pada kota-kota lain di dunia.

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat

Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan

perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang

mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan

perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang

semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari

satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan

sebagai transportasi (Morlok, 1978).

Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki,

naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi

atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat

mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak

1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan

perkotaan.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin

dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering

dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota

besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti

diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan

kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.

Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan

bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total

Page 49: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 11

Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor

Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan

bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon

monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon

(HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida

nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi

menghasilkan oksidan fotokimia (O3).

Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti

timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya.

Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun,

kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang

berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan

bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata,

emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.

Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata

Page 50: Kota di Persimpangan Jalan

12 Apa yang menjadi persoalan?

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya

lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat

terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan

sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor

per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara

mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.

Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada

kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau

pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun

tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya,

justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti

ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih

besar.

2Kendaraan bermotor pribadi

terus bertambah

1Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas

3Sudah tergantung pada

kendaraan bermotor pribadi

Page 51: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 13

Bis Truk Mobil Sepeda Motor

Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor

ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan

jumlah penduduk di Indonesia.

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007

Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)

50

45

40

35

30

25

20

15

10

5

0

Jum

lah

(juta

uni

t)

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Tahun

Page 52: Kota di Persimpangan Jalan

14 Apa yang menjadi persoalan?

Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil

mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu

pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan

mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi

tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi

daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan

tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk.

Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan

Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006).

Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari

rata-rata nasional.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian

bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat.

Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali

lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian

BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM

Page 53: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 15

oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri,

rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990

masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai

56% (Christiono, 2008).

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian

Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien

dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum

dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi

pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis

pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya

bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.

Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi

akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu:

(i) zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui

daya tampung udara di sekitar.

(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga

ditemui adanya dampak kesehatan.

Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi

dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang

terdiagnosa menderita kanker.

Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di

Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200

kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan

(Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan

kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis

pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar

Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun

1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total

penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.

Page 54: Kota di Persimpangan Jalan

16 Apa yang menjadi persoalan?

Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan

bermotor

Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk

berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang

mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan

karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb

dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa

oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat

serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan

akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon

(PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan

merangsang terbentuknya sel-sel kanker.

Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia.

Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.

Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2

yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar

5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.

Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada

kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang

sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang

berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang

mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu

dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan

SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada

hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm

Page 55: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 17

selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing

dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon

berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala

pembengkakan paru (edema pulmonari).

Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada

ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron.

Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung

masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang

lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian

atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila

terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga.

Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin

akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus

pandang mata (visibility).

Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi

kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat

bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan

protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis

bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala,

anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan.

Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.

Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan

manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat

terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat

Page 56: Kota di Persimpangan Jalan

18 Apa yang menjadi persoalan?

asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat

asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak

kehidupan biota di badan air (sungai/danau).

Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya

berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan

banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan,

meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi

untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).

Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya

ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan

perekonomian di sebuah kota. Namun pada

akhirnya justru berbalik memberikan kerugian

ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.

Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat

kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78

milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi

yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun

per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya

operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor

dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik

memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara

Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan

Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara

mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004).

World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi

pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan

Page 57: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 19

Gam

bar

1.7

Ber

bag

ai d

amp

ak a

kib

at p

enin

gka

tan

jum

lah

kend

araa

n b

erm

oto

r

Page 58: Kota di Persimpangan Jalan

20 Apa yang menjadi persoalan?

ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan

kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota

di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara.

Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah,

justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara

yang ditimbulkannya?

Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya.

Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu

dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang

diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju.

Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara

meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara

maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve)

seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara

tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara

yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan

pengendalian pencemaran udara yang efektif.

Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang

saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat

perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara

ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada

yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus

menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi

yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.

Page 59: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 21

Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan

pencemaran udara

Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien

melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO

yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa

seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan

ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka

untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi

pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk

beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi

perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah

diberlakukannya kebijakan padat teknologi.

Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita

yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih

besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami

tingkat perkembangan ekonomi yang sama.

Gambar kurva lingkungan Kuznet

Sumber: Peters dan Murray (2004)

Ting

kat p

ence

mar

an u

dara

Tahap 0Mulai industrialisasi

Tahap 1Mulai pengendalian

Tahap 2Kualitas udara stabil

Tahap 3Perbaikan kualitas udara

Tahap 4implementasiteknologi bersih

RendahTingkat pembangunan

Tinggi

Panduan kualitas udara ambien WHO

Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar

hingga kualitas udara membaik terjadi karena:

(i) adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan

(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.

Page 60: Kota di Persimpangan Jalan

22 Apa yang menjadi persoalan?

Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga

terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban

uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki

kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya

kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam

melaksanakan suatu kebijakan.

Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus

disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa

jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian

besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak

pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi

karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di

Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati

keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.

Page 61: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 1

Persoalan?1. Apa yang Menjadi

entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah

dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas,

manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi

untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor,

memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain

sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia

juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil,

berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan

terjadinya pencemaran udara.

1

Page 62: Kota di Persimpangan Jalan

2 Apa yang menjadi persoalan?

Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang

berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya.

Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan

kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya

menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat.

Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun

pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi

di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun.

Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan

jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan

di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan

kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu

aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah

transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut

terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber

pencemar utama di kawasan perkotaan adalah

transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan

penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan

kendaraan bermotor.

Jumlah kendaraan meningkatAktivitas manusia Emisi meningkat

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara

Page 63: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 3

Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya

pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia

yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya

dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase

penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan

peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga

turut meningkat.

Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan

bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai

keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1

ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya

pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di

Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?

Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami

terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.

Dampak Pencemaran Udara :

. gangguan kesehatan

. pemanasan global

. kerugian ekonomi

Aktivitas manusia terganggu

Page 64: Kota di Persimpangan Jalan

4 Apa yang menjadi persoalan?

Gam

bar 1

.2 P

rose

s te

rjadi

nya

penc

emar

an u

dara

Page 65: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 5

Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat,

partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia.

Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada

pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia

beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3).

Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan

arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin

tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru

pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.

Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup

angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan

yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah

kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.

Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari

udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi

kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).

Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar

polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian

kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia

terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar

daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di

udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun.

Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang

berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam

mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah

pencemaran udara.

Page 66: Kota di Persimpangan Jalan

6 Apa yang menjadi persoalan?

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam

Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka

kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah

setempat.

ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil

pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida

(CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter

lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap

Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN).

Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005

ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya

pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di

lima kota tersebut tercemar.

Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara

langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak

langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia,

seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar

Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum

hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 2002-

2005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut.

Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di

beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.

Page 67: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 7

Kategori Medan Jakarta Bandung Semarang Surabaya

2002

Baik 55 22 62 179 44

Sedang 266 223 241 124 266

Tidak Sehat 22 95 4 4 11

Sangat tidak sehat 0 4 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 22 21 58 58 44

2003

Baik 128 18 76 82 49

Sedang 208 223 176 226 208

Tidak Sehat 0 67 11 1 2

Sangat Tidak Sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 29 57 102 56 106

2004

Baik 135 18 64 60 74

Sedang 148 264 54 239 132

Tidak sehat 6 12 0 0 6

Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 79 71 247 66 153

2005

Baik 24 29 40 229 21

Sedang 0 270 14 83 175

Tidak sehat 0 18 0 0 0

Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 341 48 311 53 165

Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

(tahun 2002 – 2005)

Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota

yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk

DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat,

2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi

atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar

matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar

udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.

Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).

Page 68: Kota di Persimpangan Jalan

8 Apa yang menjadi persoalan?

Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas

di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang

berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat

pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan

yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut.

Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor

demografi, ekonomi dan geografi.

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan

Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan

bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi

pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas

transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi

pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.

Keterangan :

Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Data tidak lengkap

Tidak diukur pada tahun 2007

Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)

Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

No Kota

CO HC NO2 SO2 PM10 TSP O3

2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2007 2007

1 Medan

2 Palembang x x x x x x x

3 Jakarta Utara

4 Jakarta Timur

5Jakarta Selatan

6 Jakarta Barat

7 Jakarta Pusat

8 Bekasi x x x x x x x

9 Depok x x x x x x x

10 Tangerang x x x x x x x

11 Bandung

12 Yogyakarta

13 Semarang

14 Surabaya o

15 Denpasar o

16 Makassar o o

Page 69: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 9

Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di

kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi

penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk

Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.

Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor

Potensi pencemaran udara di suatu kawasan

Jumlah pendudukTa

hun

Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)

Urbanisasi (%)

Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang

bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008).

Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan

perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya

transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat

perkotaan.

Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)

0 � 10� 20� 30� 40� 50� 60 � 70 � 80 � 90 � 100

2025

2020

2015

2010

2005

2000

1995

1990

1985

1980

1975

1970

Page 70: Kota di Persimpangan Jalan

10 Apa yang menjadi persoalan?

Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan

perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di

kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif

lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di

kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi

pada kota-kota lain di dunia.

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat

Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan

perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang

mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan

perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang

semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari

satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan

sebagai transportasi (Morlok, 1978).

Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki,

naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi

atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat

mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak

1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan

perkotaan.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin

dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering

dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota

besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti

diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan

kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.

Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan

bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total

Page 71: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 11

Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor

Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan

bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon

monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon

(HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida

nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi

menghasilkan oksidan fotokimia (O3).

Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti

timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya.

Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun,

kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang

berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan

bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata,

emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.

Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata

Page 72: Kota di Persimpangan Jalan

12 Apa yang menjadi persoalan?

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya

lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat

terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan

sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor

per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara

mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.

Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada

kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau

pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun

tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya,

justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti

ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih

besar.

2Kendaraan bermotor pribadi

terus bertambah

1Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas

3Sudah tergantung pada

kendaraan bermotor pribadi

Page 73: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 13

Bis Truk Mobil Sepeda Motor

Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor

ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan

jumlah penduduk di Indonesia.

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007

Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)

50

45

40

35

30

25

20

15

10

5

0

Jum

lah

(juta

uni

t)

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Tahun

Page 74: Kota di Persimpangan Jalan

14 Apa yang menjadi persoalan?

Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil

mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu

pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan

mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi

tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi

daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan

tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk.

Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan

Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006).

Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari

rata-rata nasional.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian

bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat.

Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali

lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian

BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM

Page 75: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 15

oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri,

rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990

masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai

56% (Christiono, 2008).

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian

Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien

dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum

dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi

pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis

pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya

bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.

Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi

akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu:

(i) zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui

daya tampung udara di sekitar.

(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga

ditemui adanya dampak kesehatan.

Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi

dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang

terdiagnosa menderita kanker.

Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di

Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200

kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan

(Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan

kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis

pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar

Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun

1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total

penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.

Page 76: Kota di Persimpangan Jalan

16 Apa yang menjadi persoalan?

Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan

bermotor

Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk

berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang

mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan

karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb

dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa

oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat

serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan

akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon

(PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan

merangsang terbentuknya sel-sel kanker.

Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia.

Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.

Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2

yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar

5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.

Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada

kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang

sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang

berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang

mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu

dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan

SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada

hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm

Page 77: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 17

selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing

dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon

berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala

pembengkakan paru (edema pulmonari).

Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada

ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron.

Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung

masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang

lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian

atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila

terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga.

Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin

akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus

pandang mata (visibility).

Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi

kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat

bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan

protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis

bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala,

anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan.

Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.

Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan

manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat

terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat

Page 78: Kota di Persimpangan Jalan

18 Apa yang menjadi persoalan?

asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat

asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak

kehidupan biota di badan air (sungai/danau).

Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya

berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan

banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan,

meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi

untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).

Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya

ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan

perekonomian di sebuah kota. Namun pada

akhirnya justru berbalik memberikan kerugian

ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.

Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat

kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78

milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi

yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun

per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya

operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor

dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik

memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara

Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan

Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara

mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004).

World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi

pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan

Page 79: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 19

Gam

bar

1.7

Ber

bag

ai d

amp

ak a

kib

at p

enin

gka

tan

jum

lah

kend

araa

n b

erm

oto

r

Page 80: Kota di Persimpangan Jalan

20 Apa yang menjadi persoalan?

ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan

kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota

di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara.

Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah,

justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara

yang ditimbulkannya?

Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya.

Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu

dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang

diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju.

Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara

meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara

maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve)

seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara

tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara

yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan

pengendalian pencemaran udara yang efektif.

Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang

saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat

perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara

ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada

yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus

menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi

yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.

Page 81: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 21

Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan

pencemaran udara

Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien

melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO

yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa

seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan

ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka

untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi

pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk

beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi

perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah

diberlakukannya kebijakan padat teknologi.

Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita

yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih

besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami

tingkat perkembangan ekonomi yang sama.

Gambar kurva lingkungan Kuznet

Sumber: Peters dan Murray (2004)

Ting

kat p

ence

mar

an u

dara

Tahap 0Mulai industrialisasi

Tahap 1Mulai pengendalian

Tahap 2Kualitas udara stabil

Tahap 3Perbaikan kualitas udara

Tahap 4implementasiteknologi bersih

RendahTingkat pembangunan

Tinggi

Panduan kualitas udara ambien WHO

Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar

hingga kualitas udara membaik terjadi karena:

(i) adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan

(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.

Page 82: Kota di Persimpangan Jalan

22 Apa yang menjadi persoalan?

Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga

terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban

uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki

kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya

kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam

melaksanakan suatu kebijakan.

Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus

disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa

jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian

besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak

pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi

karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di

Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati

keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.

Page 83: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 1

Persoalan?1. Apa yang Menjadi

entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah

dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas,

manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi

untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor,

memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain

sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia

juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil,

berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan

terjadinya pencemaran udara.

1

Page 84: Kota di Persimpangan Jalan

2 Apa yang menjadi persoalan?

Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang

berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya.

Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan

kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya

menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat.

Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun

pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi

di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun.

Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan

jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan

di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan

kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu

aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah

transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut

terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber

pencemar utama di kawasan perkotaan adalah

transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan

penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan

kendaraan bermotor.

Jumlah kendaraan meningkatAktivitas manusia Emisi meningkat

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara

Page 85: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 3

Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya

pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia

yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya

dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase

penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan

peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga

turut meningkat.

Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan

bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai

keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1

ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya

pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di

Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?

Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami

terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.

Dampak Pencemaran Udara :

. gangguan kesehatan

. pemanasan global

. kerugian ekonomi

Aktivitas manusia terganggu

Page 86: Kota di Persimpangan Jalan

4 Apa yang menjadi persoalan?

Gam

bar 1

.2 P

rose

s te

rjadi

nya

penc

emar

an u

dara

Page 87: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 5

Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat,

partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia.

Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada

pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia

beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3).

Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan

arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin

tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru

pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.

Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup

angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan

yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah

kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.

Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari

udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi

kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).

Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar

polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian

kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia

terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar

daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di

udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun.

Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang

berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam

mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah

pencemaran udara.

Page 88: Kota di Persimpangan Jalan

6 Apa yang menjadi persoalan?

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam

Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka

kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah

setempat.

ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil

pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida

(CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter

lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap

Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN).

Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005

ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya

pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di

lima kota tersebut tercemar.

Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara

langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak

langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia,

seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar

Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum

hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 2002-

2005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut.

Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di

beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.

Page 89: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 7

Kategori Medan Jakarta Bandung Semarang Surabaya

2002

Baik 55 22 62 179 44

Sedang 266 223 241 124 266

Tidak Sehat 22 95 4 4 11

Sangat tidak sehat 0 4 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 22 21 58 58 44

2003

Baik 128 18 76 82 49

Sedang 208 223 176 226 208

Tidak Sehat 0 67 11 1 2

Sangat Tidak Sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 29 57 102 56 106

2004

Baik 135 18 64 60 74

Sedang 148 264 54 239 132

Tidak sehat 6 12 0 0 6

Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 79 71 247 66 153

2005

Baik 24 29 40 229 21

Sedang 0 270 14 83 175

Tidak sehat 0 18 0 0 0

Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 341 48 311 53 165

Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

(tahun 2002 – 2005)

Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota

yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk

DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat,

2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi

atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar

matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar

udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.

Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).

Page 90: Kota di Persimpangan Jalan

8 Apa yang menjadi persoalan?

Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas

di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang

berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat

pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan

yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut.

Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor

demografi, ekonomi dan geografi.

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan

Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan

bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi

pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas

transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi

pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.

Keterangan :

Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Data tidak lengkap

Tidak diukur pada tahun 2007

Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)

Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

No Kota

CO HC NO2 SO2 PM10 TSP O3

2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2007 2007

1 Medan

2 Palembang x x x x x x x

3 Jakarta Utara

4 Jakarta Timur

5Jakarta Selatan

6 Jakarta Barat

7 Jakarta Pusat

8 Bekasi x x x x x x x

9 Depok x x x x x x x

10 Tangerang x x x x x x x

11 Bandung

12 Yogyakarta

13 Semarang

14 Surabaya o

15 Denpasar o

16 Makassar o o

Page 91: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 9

Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di

kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi

penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk

Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.

Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor

Potensi pencemaran udara di suatu kawasan

Jumlah pendudukTa

hun

Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)

Urbanisasi (%)

Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang

bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008).

Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan

perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya

transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat

perkotaan.

Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)

0 � 10� 20� 30� 40� 50� 60 � 70 � 80 � 90 � 100

2025

2020

2015

2010

2005

2000

1995

1990

1985

1980

1975

1970

Page 92: Kota di Persimpangan Jalan

10 Apa yang menjadi persoalan?

Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan

perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di

kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif

lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di

kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi

pada kota-kota lain di dunia.

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat

Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan

perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang

mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan

perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang

semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari

satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan

sebagai transportasi (Morlok, 1978).

Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki,

naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi

atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat

mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak

1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan

perkotaan.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin

dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering

dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota

besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti

diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan

kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.

Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan

bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total

Page 93: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 11

Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor

Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan

bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon

monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon

(HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida

nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi

menghasilkan oksidan fotokimia (O3).

Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti

timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya.

Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun,

kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang

berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan

bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata,

emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.

Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata

Page 94: Kota di Persimpangan Jalan

12 Apa yang menjadi persoalan?

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya

lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat

terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan

sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor

per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara

mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.

Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada

kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau

pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun

tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya,

justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti

ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih

besar.

2Kendaraan bermotor pribadi

terus bertambah

1Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas

3Sudah tergantung pada

kendaraan bermotor pribadi

Page 95: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 13

Bis Truk Mobil Sepeda Motor

Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor

ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan

jumlah penduduk di Indonesia.

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007

Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)

50

45

40

35

30

25

20

15

10

5

0

Jum

lah

(juta

uni

t)

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Tahun

Page 96: Kota di Persimpangan Jalan

14 Apa yang menjadi persoalan?

Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil

mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu

pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan

mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi

tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi

daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan

tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk.

Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan

Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006).

Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari

rata-rata nasional.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian

bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat.

Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali

lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian

BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM

Page 97: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 15

oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri,

rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990

masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai

56% (Christiono, 2008).

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian

Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien

dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum

dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi

pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis

pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya

bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.

Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi

akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu:

(i) zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui

daya tampung udara di sekitar.

(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga

ditemui adanya dampak kesehatan.

Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi

dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang

terdiagnosa menderita kanker.

Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di

Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200

kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan

(Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan

kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis

pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar

Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun

1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total

penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.

Page 98: Kota di Persimpangan Jalan

16 Apa yang menjadi persoalan?

Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan

bermotor

Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk

berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang

mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan

karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb

dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa

oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat

serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan

akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon

(PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan

merangsang terbentuknya sel-sel kanker.

Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia.

Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.

Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2

yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar

5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.

Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada

kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang

sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang

berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang

mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu

dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan

SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada

hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm

Page 99: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 17

selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing

dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon

berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala

pembengkakan paru (edema pulmonari).

Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada

ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron.

Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung

masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang

lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian

atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila

terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga.

Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin

akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus

pandang mata (visibility).

Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi

kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat

bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan

protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis

bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala,

anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan.

Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.

Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan

manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat

terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat

Page 100: Kota di Persimpangan Jalan

18 Apa yang menjadi persoalan?

asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat

asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak

kehidupan biota di badan air (sungai/danau).

Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya

berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan

banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan,

meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi

untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).

Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya

ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan

perekonomian di sebuah kota. Namun pada

akhirnya justru berbalik memberikan kerugian

ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.

Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat

kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78

milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi

yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun

per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya

operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor

dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik

memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara

Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan

Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara

mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004).

World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi

pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan

Page 101: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 19

Gam

bar

1.7

Ber

bag

ai d

amp

ak a

kib

at p

enin

gka

tan

jum

lah

kend

araa

n b

erm

oto

r

Page 102: Kota di Persimpangan Jalan

20 Apa yang menjadi persoalan?

ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan

kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota

di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara.

Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah,

justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara

yang ditimbulkannya?

Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya.

Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu

dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang

diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju.

Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara

meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara

maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve)

seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara

tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara

yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan

pengendalian pencemaran udara yang efektif.

Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang

saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat

perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara

ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada

yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus

menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi

yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.

Page 103: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 21

Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan

pencemaran udara

Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien

melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO

yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa

seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan

ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka

untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi

pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk

beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi

perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah

diberlakukannya kebijakan padat teknologi.

Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita

yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih

besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami

tingkat perkembangan ekonomi yang sama.

Gambar kurva lingkungan Kuznet

Sumber: Peters dan Murray (2004)

Ting

kat p

ence

mar

an u

dara

Tahap 0Mulai industrialisasi

Tahap 1Mulai pengendalian

Tahap 2Kualitas udara stabil

Tahap 3Perbaikan kualitas udara

Tahap 4implementasiteknologi bersih

RendahTingkat pembangunan

Tinggi

Panduan kualitas udara ambien WHO

Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar

hingga kualitas udara membaik terjadi karena:

(i) adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan

(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.

Page 104: Kota di Persimpangan Jalan

22 Apa yang menjadi persoalan?

Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga

terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban

uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki

kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya

kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam

melaksanakan suatu kebijakan.

Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus

disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa

jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian

besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak

pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi

karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di

Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati

keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.

Page 105: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 1

Persoalan?1. Apa yang Menjadi

entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah

dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas,

manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi

untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor,

memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain

sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia

juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil,

berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan

terjadinya pencemaran udara.

1

Page 106: Kota di Persimpangan Jalan

2 Apa yang menjadi persoalan?

Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang

berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya.

Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan

kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya

menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat.

Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun

pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi

di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun.

Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan

jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan

di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan

kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu

aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah

transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut

terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber

pencemar utama di kawasan perkotaan adalah

transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan

penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan

kendaraan bermotor.

Jumlah kendaraan meningkatAktivitas manusia Emisi meningkat

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara

Page 107: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 3

Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya

pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia

yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya

dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase

penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan

peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga

turut meningkat.

Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan

bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai

keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1

ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya

pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di

Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?

Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami

terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.

Dampak Pencemaran Udara :

. gangguan kesehatan

. pemanasan global

. kerugian ekonomi

Aktivitas manusia terganggu

Page 108: Kota di Persimpangan Jalan

4 Apa yang menjadi persoalan?

Gam

bar 1

.2 P

rose

s te

rjadi

nya

penc

emar

an u

dara

Page 109: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 5

Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat,

partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia.

Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada

pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia

beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3).

Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan

arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin

tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru

pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.

Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup

angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan

yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah

kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.

Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari

udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi

kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).

Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar

polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian

kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia

terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar

daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di

udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun.

Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang

berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam

mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah

pencemaran udara.

Page 110: Kota di Persimpangan Jalan

6 Apa yang menjadi persoalan?

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam

Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka

kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah

setempat.

ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil

pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida

(CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter

lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap

Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN).

Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005

ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya

pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di

lima kota tersebut tercemar.

Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara

langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak

langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia,

seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar

Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum

hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 2002-

2005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut.

Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di

beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.

Page 111: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 7

Kategori Medan Jakarta Bandung Semarang Surabaya

2002

Baik 55 22 62 179 44

Sedang 266 223 241 124 266

Tidak Sehat 22 95 4 4 11

Sangat tidak sehat 0 4 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 22 21 58 58 44

2003

Baik 128 18 76 82 49

Sedang 208 223 176 226 208

Tidak Sehat 0 67 11 1 2

Sangat Tidak Sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 29 57 102 56 106

2004

Baik 135 18 64 60 74

Sedang 148 264 54 239 132

Tidak sehat 6 12 0 0 6

Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 79 71 247 66 153

2005

Baik 24 29 40 229 21

Sedang 0 270 14 83 175

Tidak sehat 0 18 0 0 0

Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 341 48 311 53 165

Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

(tahun 2002 – 2005)

Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota

yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk

DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat,

2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi

atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar

matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar

udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.

Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).

Page 112: Kota di Persimpangan Jalan

8 Apa yang menjadi persoalan?

Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas

di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang

berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat

pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan

yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut.

Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor

demografi, ekonomi dan geografi.

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan

Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan

bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi

pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas

transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi

pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.

Keterangan :

Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Data tidak lengkap

Tidak diukur pada tahun 2007

Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)

Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

No Kota

CO HC NO2 SO2 PM10 TSP O3

2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2007 2007

1 Medan

2 Palembang x x x x x x x

3 Jakarta Utara

4 Jakarta Timur

5Jakarta Selatan

6 Jakarta Barat

7 Jakarta Pusat

8 Bekasi x x x x x x x

9 Depok x x x x x x x

10 Tangerang x x x x x x x

11 Bandung

12 Yogyakarta

13 Semarang

14 Surabaya o

15 Denpasar o

16 Makassar o o

Page 113: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 9

Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di

kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi

penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk

Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.

Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor

Potensi pencemaran udara di suatu kawasan

Jumlah pendudukTa

hun

Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)

Urbanisasi (%)

Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang

bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008).

Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan

perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya

transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat

perkotaan.

Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)

0 � 10� 20� 30� 40� 50� 60 � 70 � 80 � 90 � 100

2025

2020

2015

2010

2005

2000

1995

1990

1985

1980

1975

1970

Page 114: Kota di Persimpangan Jalan

10 Apa yang menjadi persoalan?

Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan

perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di

kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif

lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di

kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi

pada kota-kota lain di dunia.

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat

Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan

perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang

mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan

perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang

semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari

satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan

sebagai transportasi (Morlok, 1978).

Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki,

naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi

atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat

mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak

1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan

perkotaan.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin

dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering

dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota

besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti

diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan

kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.

Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan

bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total

Page 115: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 11

Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor

Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan

bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon

monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon

(HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida

nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi

menghasilkan oksidan fotokimia (O3).

Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti

timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya.

Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun,

kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang

berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan

bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata,

emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.

Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata

Page 116: Kota di Persimpangan Jalan

12 Apa yang menjadi persoalan?

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya

lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat

terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan

sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor

per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara

mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.

Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada

kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau

pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun

tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya,

justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti

ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih

besar.

2Kendaraan bermotor pribadi

terus bertambah

1Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas

3Sudah tergantung pada

kendaraan bermotor pribadi

Page 117: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 13

Bis Truk Mobil Sepeda Motor

Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor

ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan

jumlah penduduk di Indonesia.

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007

Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)

50

45

40

35

30

25

20

15

10

5

0

Jum

lah

(juta

uni

t)

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Tahun

Page 118: Kota di Persimpangan Jalan

14 Apa yang menjadi persoalan?

Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil

mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu

pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan

mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi

tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi

daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan

tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk.

Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan

Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006).

Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari

rata-rata nasional.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian

bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat.

Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali

lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian

BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM

Page 119: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 15

oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri,

rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990

masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai

56% (Christiono, 2008).

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian

Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien

dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum

dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi

pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis

pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya

bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.

Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi

akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu:

(i) zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui

daya tampung udara di sekitar.

(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga

ditemui adanya dampak kesehatan.

Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi

dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang

terdiagnosa menderita kanker.

Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di

Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200

kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan

(Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan

kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis

pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar

Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun

1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total

penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.

Page 120: Kota di Persimpangan Jalan

16 Apa yang menjadi persoalan?

Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan

bermotor

Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk

berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang

mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan

karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb

dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa

oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat

serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan

akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon

(PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan

merangsang terbentuknya sel-sel kanker.

Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia.

Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.

Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2

yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar

5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.

Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada

kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang

sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang

berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang

mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu

dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan

SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada

hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm

Page 121: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 17

selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing

dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon

berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala

pembengkakan paru (edema pulmonari).

Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada

ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron.

Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung

masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang

lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian

atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila

terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga.

Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin

akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus

pandang mata (visibility).

Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi

kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat

bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan

protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis

bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala,

anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan.

Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.

Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan

manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat

terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat

Page 122: Kota di Persimpangan Jalan

18 Apa yang menjadi persoalan?

asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat

asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak

kehidupan biota di badan air (sungai/danau).

Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya

berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan

banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan,

meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi

untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).

Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya

ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan

perekonomian di sebuah kota. Namun pada

akhirnya justru berbalik memberikan kerugian

ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.

Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat

kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78

milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi

yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun

per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya

operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor

dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik

memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara

Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan

Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara

mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004).

World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi

pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan

Page 123: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 19

Gam

bar

1.7

Ber

bag

ai d

amp

ak a

kib

at p

enin

gka

tan

jum

lah

kend

araa

n b

erm

oto

r

Page 124: Kota di Persimpangan Jalan

20 Apa yang menjadi persoalan?

ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan

kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota

di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara.

Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah,

justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara

yang ditimbulkannya?

Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya.

Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu

dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang

diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju.

Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara

meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara

maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve)

seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara

tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara

yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan

pengendalian pencemaran udara yang efektif.

Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang

saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat

perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara

ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada

yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus

menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi

yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.

Page 125: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 21

Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan

pencemaran udara

Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien

melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO

yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa

seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan

ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka

untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi

pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk

beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi

perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah

diberlakukannya kebijakan padat teknologi.

Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita

yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih

besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami

tingkat perkembangan ekonomi yang sama.

Gambar kurva lingkungan Kuznet

Sumber: Peters dan Murray (2004)

Ting

kat p

ence

mar

an u

dara

Tahap 0Mulai industrialisasi

Tahap 1Mulai pengendalian

Tahap 2Kualitas udara stabil

Tahap 3Perbaikan kualitas udara

Tahap 4implementasiteknologi bersih

RendahTingkat pembangunan

Tinggi

Panduan kualitas udara ambien WHO

Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar

hingga kualitas udara membaik terjadi karena:

(i) adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan

(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.

Page 126: Kota di Persimpangan Jalan

22 Apa yang menjadi persoalan?

Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga

terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban

uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki

kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya

kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam

melaksanakan suatu kebijakan.

Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus

disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa

jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian

besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak

pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi

karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di

Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati

keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.

Page 127: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 1

Persoalan?1. Apa yang Menjadi

entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah

dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas,

manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi

untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor,

memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain

sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia

juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil,

berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan

terjadinya pencemaran udara.

1

Page 128: Kota di Persimpangan Jalan

2 Apa yang menjadi persoalan?

Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang

berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya.

Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan

kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya

menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat.

Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun

pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi

di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun.

Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan

jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan

di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan

kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu

aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah

transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut

terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber

pencemar utama di kawasan perkotaan adalah

transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan

penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan

kendaraan bermotor.

Jumlah kendaraan meningkatAktivitas manusia Emisi meningkat

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara

Page 129: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 3

Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya

pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia

yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya

dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase

penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan

peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga

turut meningkat.

Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan

bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai

keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1

ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya

pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di

Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?

Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami

terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.

Dampak Pencemaran Udara :

. gangguan kesehatan

. pemanasan global

. kerugian ekonomi

Aktivitas manusia terganggu

Page 130: Kota di Persimpangan Jalan

4 Apa yang menjadi persoalan?

Gam

bar 1

.2 P

rose

s te

rjadi

nya

penc

emar

an u

dara

Page 131: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 5

Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat,

partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia.

Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada

pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia

beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3).

Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan

arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin

tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru

pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.

Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup

angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan

yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah

kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.

Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari

udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi

kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).

Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar

polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian

kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia

terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar

daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di

udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun.

Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang

berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam

mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah

pencemaran udara.

Page 132: Kota di Persimpangan Jalan

6 Apa yang menjadi persoalan?

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam

Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka

kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah

setempat.

ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil

pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida

(CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter

lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap

Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN).

Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005

ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya

pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di

lima kota tersebut tercemar.

Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara

langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak

langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia,

seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar

Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum

hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 2002-

2005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut.

Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di

beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.

Page 133: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 7

Kategori Medan Jakarta Bandung Semarang Surabaya

2002

Baik 55 22 62 179 44

Sedang 266 223 241 124 266

Tidak Sehat 22 95 4 4 11

Sangat tidak sehat 0 4 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 22 21 58 58 44

2003

Baik 128 18 76 82 49

Sedang 208 223 176 226 208

Tidak Sehat 0 67 11 1 2

Sangat Tidak Sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 29 57 102 56 106

2004

Baik 135 18 64 60 74

Sedang 148 264 54 239 132

Tidak sehat 6 12 0 0 6

Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 79 71 247 66 153

2005

Baik 24 29 40 229 21

Sedang 0 270 14 83 175

Tidak sehat 0 18 0 0 0

Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0

Berbahaya 0 0 0 0 0

Tidak ada data 341 48 311 53 165

Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

(tahun 2002 – 2005)

Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota

yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk

DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat,

2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi

atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar

matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar

udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.

Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).

Page 134: Kota di Persimpangan Jalan

8 Apa yang menjadi persoalan?

Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas

di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang

berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat

pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan

yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut.

Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor

demografi, ekonomi dan geografi.

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan

Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan

bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi

pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas

transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi

pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.

Keterangan :

Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Data tidak lengkap

Tidak diukur pada tahun 2007

Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)

Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

No Kota

CO HC NO2 SO2 PM10 TSP O3

2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2007 2007

1 Medan

2 Palembang x x x x x x x

3 Jakarta Utara

4 Jakarta Timur

5Jakarta Selatan

6 Jakarta Barat

7 Jakarta Pusat

8 Bekasi x x x x x x x

9 Depok x x x x x x x

10 Tangerang x x x x x x x

11 Bandung

12 Yogyakarta

13 Semarang

14 Surabaya o

15 Denpasar o

16 Makassar o o

Page 135: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 9

Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di

kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi

penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk

Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.

Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor

Potensi pencemaran udara di suatu kawasan

Jumlah pendudukTa

hun

Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)

Urbanisasi (%)

Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang

bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008).

Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan

perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya

transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat

perkotaan.

Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)

0 � 10� 20� 30� 40� 50� 60 � 70 � 80 � 90 � 100

2025

2020

2015

2010

2005

2000

1995

1990

1985

1980

1975

1970

Page 136: Kota di Persimpangan Jalan

10 Apa yang menjadi persoalan?

Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan

perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di

kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif

lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di

kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi

pada kota-kota lain di dunia.

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat

Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan

perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang

mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan

perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang

semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari

satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan

sebagai transportasi (Morlok, 1978).

Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki,

naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi

atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat

mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak

1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan

perkotaan.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin

dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering

dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota

besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti

diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan

kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.

Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan

bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total

Page 137: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 11

Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor

Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan

bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon

monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon

(HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida

nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi

menghasilkan oksidan fotokimia (O3).

Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti

timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya.

Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun,

kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang

berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan

bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata,

emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.

Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata

Page 138: Kota di Persimpangan Jalan

12 Apa yang menjadi persoalan?

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya

lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat

terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan

sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor

per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara

mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.

Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada

kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau

pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun

tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya,

justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti

ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih

besar.

2Kendaraan bermotor pribadi

terus bertambah

1Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas

3Sudah tergantung pada

kendaraan bermotor pribadi

Page 139: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 13

Bis Truk Mobil Sepeda Motor

Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor

ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan

jumlah penduduk di Indonesia.

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007

Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)

50

45

40

35

30

25

20

15

10

5

0

Jum

lah

(juta

uni

t)

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Tahun

Page 140: Kota di Persimpangan Jalan

14 Apa yang menjadi persoalan?

Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil

mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu

pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan

mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi

tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi

daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan

tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk.

Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan

Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006).

Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari

rata-rata nasional.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian

bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat.

Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali

lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian

BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM

Page 141: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 15

oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri,

rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990

masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai

56% (Christiono, 2008).

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian

Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien

dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum

dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi

pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis

pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya

bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.

Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi

akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu:

(i) zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui

daya tampung udara di sekitar.

(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga

ditemui adanya dampak kesehatan.

Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi

dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang

terdiagnosa menderita kanker.

Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di

Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200

kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan

(Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan

kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis

pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar

Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun

1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total

penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.

Page 142: Kota di Persimpangan Jalan

16 Apa yang menjadi persoalan?

Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan

bermotor

Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk

berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang

mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan

karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb

dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa

oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat

serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan

akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon

(PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan

merangsang terbentuknya sel-sel kanker.

Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia.

Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.

Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2

yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar

5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.

Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada

kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang

sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang

berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang

mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu

dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan

SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada

hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm

Page 143: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 17

selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing

dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon

berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala

pembengkakan paru (edema pulmonari).

Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada

ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron.

Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung

masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang

lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian

atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila

terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga.

Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin

akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus

pandang mata (visibility).

Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi

kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat

bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan

protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis

bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala,

anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan.

Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.

Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan

manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat

terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat

Page 144: Kota di Persimpangan Jalan

18 Apa yang menjadi persoalan?

asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat

asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak

kehidupan biota di badan air (sungai/danau).

Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya

berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan

banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan,

meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi

untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).

Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya

ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan

perekonomian di sebuah kota. Namun pada

akhirnya justru berbalik memberikan kerugian

ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.

Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat

kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78

milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi

yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun

per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya

operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor

dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik

memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara

Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan

Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara

mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004).

World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi

pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan

Page 145: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 19

Gam

bar

1.7

Ber

bag

ai d

amp

ak a

kib

at p

enin

gka

tan

jum

lah

kend

araa

n b

erm

oto

r

Page 146: Kota di Persimpangan Jalan

20 Apa yang menjadi persoalan?

ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan

kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota

di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara.

Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah,

justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara

yang ditimbulkannya?

Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya.

Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu

dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang

diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju.

Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara

meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara

maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve)

seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara

tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara

yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan

pengendalian pencemaran udara yang efektif.

Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang

saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat

perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara

ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada

yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus

menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi

yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.

Page 147: Kota di Persimpangan Jalan

Kota di persimpangan jalan 21

Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan

pencemaran udara

Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien

melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO

yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa

seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan

ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka

untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi

pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk

beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi

perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah

diberlakukannya kebijakan padat teknologi.

Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita

yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih

besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami

tingkat perkembangan ekonomi yang sama.

Gambar kurva lingkungan Kuznet

Sumber: Peters dan Murray (2004)

Ting

kat p

ence

mar

an u

dara

Tahap 0Mulai industrialisasi

Tahap 1Mulai pengendalian

Tahap 2Kualitas udara stabil

Tahap 3Perbaikan kualitas udara

Tahap 4implementasiteknologi bersih

RendahTingkat pembangunan

Tinggi

Panduan kualitas udara ambien WHO

Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar

hingga kualitas udara membaik terjadi karena:

(i) adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan

(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.

Page 148: Kota di Persimpangan Jalan

22 Apa yang menjadi persoalan?

Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga

terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban

uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki

kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya

kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam

melaksanakan suatu kebijakan.

Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus

disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa

jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian

besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak

pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi

karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di

Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati

keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.

Page 149: Kota di Persimpangan Jalan
Page 150: Kota di Persimpangan Jalan

xvi Kota di persimpangan Jalan

Kontak:

Asisten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Emisi Sumber Bergerak

Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran LingkunganKementerian Negara Lingkungan Hidup

Gedung B Lantai IVJl. D.I. Panjaitan Kav. 24 – Jakarta 13410

Telp: 021 – 8591 1207Fax: 021 - 8590 6678

Surel: [email protected]: http://www.menlh.go.id