KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL TERHADAP ISU
KONFLIK SYIAH DAN SUNI SAMPANG PADA MAJALAH
SINDO WEEKLY
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi (S.Kom.I)
Oleh :
Nurul Fadhilla
NIM. 108051100039
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 M/1434 H
ABSTRAK
KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL TERHADAP ISU KONFLIK SYIAH
DAN SUNI SAMPANG PADA MAJALAH SINDO WEEKLY
NAMA: NURUL FADHILLA
Sepanjang dua bulan Agustus hingga September 2012, media di Indonesia
baik cetak maupun elektronik ramai mengangkat pemberitaan mengenai peristiwa
kekerasan yang disebut-sebut sebagai tragedi berdarah Sampang. Peristiwa yang
terjadi pada tanggal 26 Agustus 2012 ini diduga melibatkan dua perkumpulan
warga yang berbeda aliran mazhab dalam Islam. Sebagaimana yang ditulis dalam
satu media, peristiwa ini terjadi akibat terbitnya fatwa sesat terhadap Syiah yang
diterbitkan oleh dua perkumpulan ulama lokal.
Pertanyaannya adalah bagaimanakah majalah Sindo Weekly
mengkonstruksi realitas sosial dengan cara membingkai isu konflik Syiah dan
Suni Sampang? dan bagaimanakah isu konflik Syiah dan Suni Sampang
diproduksi oleh majalah Sindo Weekly?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriftif yang bertujuan
untuk membuat deskriftif secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta
dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu.Sumber utama kajian ini adalah teks
pemberitaan konflik pada majalah Sindo Weekly versi Salah apa Syiah. Karena
penelitian ini menggunakan analisis framing, yaitu analisis yang melihat wacana
sebagai hasil dari konstruksi realitas sosial, maka penelitian ini termasuk ke dalam
kategori paradigma konstruktivis.
Untuk menganalisis bingkai berita ini, peneliti menggunakan analisis
framing Robert N. Entman yang melihat Framing dalam dua dimensi dasar:
seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu.
Kerangka analisis framing yang terdiri dari ProblemsIdentification (pendefinisian
masalah), Causal Interpretation (memperkirakan penyebab masalah), Moral
Evolution (membuat pilihan moral), dan Treatment Recomendations (menekankan
penyelesaian).
Hasil penelitian ini menemukan adanya kepentingan ideologi, politik serta
agama pada majalah Sindo Weekly dalam mengkonstruksi isu konflik Syiah dan
Suni Sampang . Penelitian ini juga menemukan bahwa majalah Sindo Weekly
melakukan bias keberpihakan dengan cenderung berafeksi negatif terhadap
kelompok Suni terutama dalam menentukan penyebab masalah (Causal
Interpretation) dan pemilihan narasumber.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang
Maha Esa, Tuhan dan pencipta dan pemelihara alam semesta. Sholawat serta
salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta
sahabat-sahabat serta umatnya yang setia kepada agamanya hingga akhir zaman.
Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi persyaratan dalam
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Jurnalistik, Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini berkat dukungan dan
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Arif Subhan, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh
pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembantu Dekan I Bidang
Akademik Bapak Drs. Wahidin Saputra, M.A., Pembantu Dekan II Bidang
Administrasi Umum Bapak Drs. Mahmud Jalal, M.A., serta Pembantu
Dekan III Bidang Kemahasiswaan bapak Drs. Study Rizal, L.K, M.A.
2. Rubiyanah, M.A., Ketua Prodi Jurnalistik yang senantiasa memberikan
saya pengarahan serta bimbingan dan telah memberikan kesempatan untuk
memberikan pendidikan di UIN Syarif Hidayatulla Jakarta. Ibu Ade Rida
Farida, M.Si. Sekertaris Prodi Jurnalistik yang telah memberikan
iii
pelayanan terbaik, terimakasih Bu atas semua pengarahan dan
bimbingannya.
3. Ibu Bintan Humeira, M.Si. Dosen Pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan, saran serta nasehat yang penulis butuhkan
selama pembuatan skripsi ini dan bantuan yang telah banyak diberikan
selama penulis menempuh studi di Fakultas ini.
4. Dosen Penguji I, Bapak Rachmat Baihaki, MA beserta Dosen Penguji II
Ibu Fita Fathurokhmah, SS, M.Si yang telah memberikan kritik, saran
serta bimbingannya. Trimakasih banyak, tentunya semua itu membangun
saya menjadi lebih baik lagi.
5. Seluruh Dosen dan Asisten Dosen FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah membimbing dan mendidik penulis dengan
memberikan bekal ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat.
6. Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah beserta stafnya, yang telah
memberikan pelayanan dalam penyediaan buku-buku yang diperlukan
penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi .
7. Teristimewa, my beloved Ayahanda (Alm) dan Ibunda yang telah
mendidik penulis dengan penuh kesabaran dan perhatian. Terima kasih
banyak atas kesabarannya, ketulusan dan perjuangan ayaha dan ibunda
tercinta. Semoga Allah selalu memberikan balasan yang lebih atas semua
yang telah ayah dan ibunda berikan untuk penulis. Skripsi ini untuk
Kalian..
iv
8. Bapak Sururi Alfaruq Pemimpin redaksi Majalah Sindo Weekly beserta
Bapak Asep Saefullah, Redaksi Pelaksana majalah Sindo Weekly yang
telah memperkenankan penulis mengadakan penelitian dan terima kasih
atas bantuan dan kesediannya memberikan data guna melengkapi
penelitian ini.
9. Ke Sembilan kaka tersayang (kita adalah kesebalasan SUJUD),
Dra.Rohaniatussa‟diah, Sulhah S.Ag, Badru Tamam S.Ag., Farihah S.Pd.,
Fatihah S.Sos., Fasohah SH.I, Mussofa SH.I, Badru Zaman, dan
Komaruzaman, yang selalu membimbing dan memberikan limpahan
perhatian juga kasih sayang. Buat my beloved brother Sofa Arafat,
makasih ya Dek buat semangatnya walopun kadang suka nyebelin.
10. Tidak lupa semua keponakanku sayang Azkia Farhah Mazdina, Reva
Fiqra Al‟Izza, Dhia Fadhli Al- Maqdisi, Nazmi Fadhel Muhammad, Adli ,
Erin Zahrina Firzah, Dava Naftali Salsabila, Zaki, Yuan Danu Akbar,
Hably Syauqi Billah Tamam, Osama Ladun, Adiva Aulia Salma, Adiba
Aulia Salwa, Adiya Aulia , Ma‟mun Isya, Aliya Faqihah, Faris Mumtaz
„Amal, Gina „Izzatal „Ilmi, Dede Gusti Siroj Al-farizi, aa Neil Alam Al-
hafidzhi, Zaid Zidan Al-hafidzhi, dan kedua calon keponakanku yang
belum lahir..segeralah warnai dunia ini dengan tangis dan tawamu.
11. Buat keluarga besar “Bani Halim” Om dan Tante tercinta ( Nanang Haroni
M.Si dan Qorry Widianty S.Sos.i), my cousin...Aufa Maftuhah S.pd
Soulmate yang menjadi inspirasi kesuksesan untukku, Ervi Nur Azizah si
cantik yang udah mau sering direpotin, Raisa Tahfata Nada yang lucu dan
v
selalu memberikan tawa dalam canda selama penulisan skripsi, Irham
Mudzakir, Faisal Fikri, serta Sirot Qudratullah SE.I yang jago berikan
petuah baik untuk penulis.
12. Sahabat-sahabat Cememeh. Dyas Mulyani Benazir si nenk”Ndut‟Q”,
Dian, Hida, Lia, Cyntia. For all the joys bring, for all your love, but must
of all, for the wonderful friend you are. Thanks for being there by my side.
13. Teman Jurnalistik 2008. Bang Tohir, teh Elly, Bunda Nissaa, Fadlun,
Faraby, Marlin, Uci, Misca, Bp, Rini, Maaf ya kalau enggak disebutin
semuanya. Senang bertemen sama kalian semua. Sukses buat kita semua.
14. Hari Elfarezi, Good Luck for U...thanks untuk semuanya.
15. Sahabat dan keluarga KKN BBM yang penuh kebersamaan. Sukses untuk
kita semua.
16. Serta segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih
atas bantuan dan motivasinya kepada penulis dalam penyusunan skripsi
ini.
Semoga segala kebaikan tersebut mendapat balasan yang setimpal dari
Allah SWT. Semoga rahmat, taufiq dan hidayah-Nya selalu dilimpahkan pada kita
semua sepanjang kehidupan kita.Amiin.
Jakarta, 2 agustus 2012
Penulis
Nurul Fadhilla
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR……………………………………………………………ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………......vi
DAFTAR TABEL……………………………………………………………...viii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN.............………………………………………………….x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah…………………………………………………...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………………..5
C. Tujuan dan Manfaat penelitian…………………………………………....6
D. Tinjauan Pustaka………………………………………………………......7
E. Kerangka Pemikiran…………………………………………………….....9
F. Metodologi Penelitian……………………………………………………..9
G. Sistematika Penulisan…………………………………………………….15
BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Tinjauan Teoritis
1. Teori Konstruksi Sosial……...……………………………….......17
2. Konstruksi Realitas Sosial Media........………………………......23
3. Framing Robert N Entman..........…………...…………………...25
B. Kerangka Konseptual
1. Konflik Pada Media......……………………………………….....38
2. Ideologi Media.................................…………………………......45
3. Keberpihakan Media......................................................................51
vii
BAB III PROFIL MEDIA CETAK
A. Profil Media Cetak
1. Sejarah Singkat Majalah Sindo Weekly………………………....59
2. Visi dan Misi Majalah Sindo Weekly………………….…...........61
3. Struktur Redaksional Majalah Sindo weekly………………........61
4. Kepemilikan Media........................................................................63
BAB IV ANALISIS FRAMING TERHADAP KONFLIK ISU SYIAH
SUNI SAMPANG
A. Analisis Framing Robert N Entman..........................................................64
a. Problem Identification (Identifikasi Masalah).....................................66
b. Causal Interpretation (Penyebab Masalah).........................................69
c. Moral Evalution (Penilaian Moral).....................................................75
d. Treatment Recomendation (Penyelesaian Masalah)............................78
B. Konstruksi Media Masa “Sindo Weekly” atas Isu Konflik Syiah-Sunni,
Sampang ....................................................................................................80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………....92
B. Saran-Saran……………………………………………………………....94
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................95
LAMPIRAN-LAMPIRAN...................................................................................
viii
DAFTAR TABEL
TABEL 1.1 Dimensi Framing Model Robert N Entman...................................33
TABEL 1.2 Konsep Framing Robert N Entman................................................35
TABEL 1.3 Perangkat Framing Robert N Entman............................................65
TABEL 1.4 Problem Identification...................................................................66
TABEL 1.5 Causal Interpretation.....................................................................69
TABEL 1.6 Moral Evolution.............................................................................75
TABEL 1.7 Treatmen Recomendation...............................................................78
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran.............................................................9
Gambar 1.2 Proses Konstruksi Sosial Media Massa..............................25
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1 Berita Wawancarara………………………...…………..
2. Lampiran 2 Surat Pengajuan Proposal Skripsi………………………
3. Lampiran 3 Surat Permohonan Pembimbing Skripsi……………..…
4. Lampiran 4 Surat Permohonan Penelitian…………………………...
5. Lampiran 5 Surat Selesai Penelitian……………………………..…..
6. Lampiran 7 Berita Isu Syiah Suni Sampang Pada Majalah Sindo
Weekly………………………………………………………..
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Alex Sobur, dalam bukunya “Analisis teks Media; Suatu
Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis
Framing” Pekerjaan media masa pada hakikatnya adalah mengkonstruksi
realitas. Sedangkan isi media adalah hasil para pekerja media
mengontruksi berbagai realitas yang dipilihnya. Hal ini disebabkan adanya
sifat dan fakta bahwa pekerjaan media masa adalah menceritakan
peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah
dikonstruksikan. Isi media merupakan hasil konstruksi realitas dengan
bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai
alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti
apa yang diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya,
media masa mempunyai peluang yang sangat besar untuk memengaruhi
makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang
dikonstruksikannya.1
Media masa memiliki kekuatan untuk memilih isu apa yang
seharusnya menjadi pembicaraan publik. Sementara khalayak seringkali
tidak sadar bahwa informasi yang diperoleh dari media masa adalah
sesuatu yang sudah dipilih dan disaring dari kacamata media. Khalayak
1Alex Sobur, Analisis tks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotika dan Analisis Framing, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2006) h.91
2
memang memiliki kehendak bebas untuk tidak menerima apa yang
disajikan oleh media. Namun khalayak sama sekali tidak memiliki
kebebasan untuk memilih apa yang akan diwacanakan atau tidak oleh
media. Karena penting atau tidaknya suatu peristiwa untuk diberitakan
adalah pilihan dan hak media masa.
Khalayak aktif akan mengkritisi dengan melakukan perbandingan
dengan media lain atau berdasarkan unsur subjektifitas, pengalaman dan
latar belakang khalayak tersebut. Namun, berbeda dengan khalayak tidak
aktif, mereka cenderung menerima wacana yang dihadirkan di media
tersebut. Hal ini menjadi peluang bagi media untuk mengkonstruksi suatu
peristiwa sesuai pemahaman yang dimiliki oleh media yang bersangkutan.
Salah satu peristiwa menarik yang banyak diangkat media adalah
peristiwa yang berbau konflik, terutama konflik horizontal yang terjadi
antar manusia baik individu maupun kelompok, misalnya antar partai
politik, antar suku dan ras, juga konflik antar aliran keagamaan atau
konflik berbau SARA. Belakangan ini banyak sekali konflik yang terjadi
di negeri ini mengatasnamakan agama. Isu Agama seolah-olah menjadi
komoditi media yang laku keras untuk disajikan ke khalayak publik.
Terlepas benar atau tidaknya berita tersebut.
. Lebih dari itu, persitwa-peristiwa konflik pun seringkali dijadikan
alat peralihan isu untuk mengalihkan perhatian publik teradap isu-isu
tertentu. Ketika terjadi letupan-letupan tersebut di daerah yang awalnya
bisa jadi hanyalah masalah biasa, kemudian diangkat media sehingga
3
menjadi masalah yang besar dan terkesan menjadi prioritas utama.
Misalnya, kasus korupsi salah satu bendahara partai ternama yang sempat
kabur keluar negeri. Ketika sedang hangat-hangatnya pemberitaan media,
tiba-tiba ada pengalihan isu ke konflik warga dengan penganut aliran sesat
Ahmadiyah.
Jika kita analisa secara mendalam, terdapat konspirasi besar yang
ditutup-tutupi khalayak ramai. Suku merupakan area sensitif yang sangat
mudah dijadikan latar untuk mengalihkan perhatian publik.
Sejatinya, dalam memberitakan sebuah wacana mediapun harus
bersikap netral. Karena saat ini media memiliki dampak yang cukup besar
dalam memengaruhi opini publik. Para pembacapun harus pintar-pintar
menganalisa setiap berita yang muncul. Jangan mudah terprovokasi, atau
mudah menerima begitu saja pemberitaan sebelum meneliti lebih dalam.
Besarnya peluang media dalam mengkonstruksi peristiwa-peristiwa
tersebut sesuai dengan ideologi media itu sendiri. Faktor inilah yang kerap
memunculkan perbedaan antar media karena meliputi subjektifitas
individu yang bekerja dibelakang media, konteks historis, sosial kultural di
mana media massa tersebut berasal, visi dan misi organisasi media yang
bersangkutan.
Secara normatif, media massa seharusnya bersikap netral karena ia
adalah cermin realitas sosial yang hanya bertugas mereflesikan seadanya
apa yang terjadi dalam kehidupan sosial. Dalam praktiknya asas ini tidak
pernah dilakukan secara penuh. Media massa senantiasa terlibat dengan
4
upaya mengkonstruksikan realitas sosial tersebut. Kepentingan-
kepentingan ideologis, agama dan keyakinan sering tak terhindarkan
memengaruhi dalam penyajian berita. Dalam kondisi seperti inilah media
massa memberikan peluang masuknya berbagai kepentingan sang
komunikator.
Misalnya, Isu konflik mengatasnamakan agama yang disebut-sebut
sebagai konflik antara penganut aliran Syiah dan Sunni di Sampang
Madura yang beredar di media masa di Indonesia, dapat dengan mudahnya
dibentuk di media massa karena media berperan besar dalam meletakkan
makna di benak publik. Media adalah subjek yang melakukan konstruksi
realitas atas suatu peristiwa.
Hal yang sangat parah adalah, konflik yang mengatasnamakan
agama terkadang oleh sekelompok orang dimanfaatkan untuk
memperkeruh suasana, atau untuk menyerang lawan politiknya. Konflik
tidak hanya menimbulkan kekacauan, pertumpahan darah, mengganggu
keamanan dan kenyamanan, sehingga memunculkan ketakutan bagi orang-
orang yang tidak bersalah, dan permusuhan yang berkepanjangan.
Melalui framing atau pembingkaian yang dilakukan atas suatu
peristiwa, media dapat memilih dengan cara apa ia akan menyampaikan
realitas kepada publik. Majalah Sindo Weekly salah satu majalah yang
memberitakan isu tersebut. Dengan memberikan judul “Salah Apa Syiah”
pada cover, majalah Sindo Weekly menyajikan pemberitaan seputar isu
5
Syiah Sampang lengkap dengan gambaran data penganut Syiah diseluruh
dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa majalah Sindo Weekly jelas
menganggap peristiwa tersebut layak dan penting untuk ditonjolkan.
Dengan sebuah analisis framing, akan diketahui bagaimana majalah Sindo
Weekly membingkai suatu peristiwa yang terfokuskan pada isu yang
disebut-sebut sebagai konflik Syiah Sampang dan konstruksi apa yang
hendak ditonjolkan oleh media ini terhadap isu konflik horizontal yang
terjadi di Sampang, Madura.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Majalah Sindo Weekly bukanlah model majalah yang sama sekali
baru mengusung konsep keberimbangan berita. Jauh sebelumnya GATRA
melalui rumah produksinya sudah mengeluarkan majalah dengan
contentnya secara umum kurang lebih sama yakni mengeksplorasi isu-isu
terhangat dan akurat baik informasi nasional maupun global.
Penelitian ini akan dikhususkan salah satu dari ratusan isu yang
diangkat dalam pemberitaan majalah Sindo Weekly yakni isu konflik Syiah
Sampang versi “Salah Apa Syiah”. Dengan menggunakan analisis
framing, majalah Sindo Weekly, sebagaimana diakui penggagasnya,
berusaha mengangkat konsep keseimbangan, netral, dan akurat dalam
setiap pemberitaannya. Secara sederhana, informasi mengenai konflik
pada pemberitaan media Sindo Weekly dikemas dengan tujuan pesan dapat
6
tersampaikan dengan sebaik mungkin kepada khalayak tanpa ada
manipulasi data dan fakta sebenarnya.
Dari permasalahan tersebut yang akan diteliti disini adalah:
1. Bagaimanakah majalah Sindo Weekly mengkonstruksi realitas
sosial dengan cara membingkai isu konflik Syiah Suni Sampang?
2. Bagaimanakah isu konflik Syiah Suni Sampang diproduksi oleh
majalah Sindo Weekly?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana majalah Sindo Weekly
meengkonstruksi realitas sosial dengan cara membingkai
isu konflik isu Syiah Suni Sampang.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses produksi majalah
Sindo Weekly dalam mengkonstruksi realitas sosial isu
konflik Syiah Suni Sampang.
b. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi pada pengembangan keilmuan komunikasi,
khususnya bagi penelitian yang bersifat framing dengan
model Robet N Entman.
7
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah
diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh praktisi di
bidang jurnalistik, khususnya penelitian yang terkait
dengan telaah berita-berita konflik horizontal,
keberimbangan, netralisasi serta mengenai bias
keberpihakan dan ideologi suatu media.
Penelitian ini juga diharapkan memberikan inspirasi
media (industri percetakan khususnya) maupun industri
media lainnya untuk menciptakan keberimbangan,
netralisasi, dan akulturasi tanpa ada bias keberpihakan
secara lebih baik, proporsional, profesional dan bermanfaat
bagi orang banyak.
D. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian terdahulu yang penulis telaah untuk
mendapat gambaran umum, perbandingan dan upaya mengisi dimensi
yang relatif belum tersentuh. penelitian-penelitian tersebut memiliki
keterkaitan baik dalam objek penelitian maupun basic teorinya. Sekedar
menyebut tiga dari banyak penelitian dimaksud adalah:
1. Skripsi karya Eti Rustiah2 berjudul Konstruksi Media Cetak Atas
Berita Meninggalnya Soeharto (Analisis Framing pada Koran
Republika). Skripsi tersebut menjelaskan dan mengkritisi praktek
2
Eti Rustiah, Konstruksi Media cetak Atas Berita Meninggalnya Soeharto (Analisis
Framing pada Koran Republika), UIN, 2009.
8
konstruksi media cetak atas berita meninggalnya Soeharto dan
mengungkap motif tersembunyi dibalik argumentasi media.
2. Kedua, skripsi karya Ulul Azmi3 berjudulKonstruksi Atas Realita
Islam di Media Massa: Analisis Framing Konflik Palestina Israel
di Harian Kompas dan Republika, skripsi ini menjelaskan
bagaimana representasi sebuah realita islam pada media. Skripsi ini
membongkar bagaimana konflik Palestina dan Israel di dua harian
yakni Kompas dan Republika. Uluk Azmi secara khusus memfokuskan
telaah konstruksi atas realitas islam yang berbeda pada dua proses
produksi yang berbeda dari harian Kompas dan Republika.
3. Kemudian, skripsi karya Darwis4 berjudulAnalisis Framing
Konstruksi Berita Ahmadiyah di Surat Kabar Republika, Darwis
menjelaskan konstruksi pemberitaan mengenai Ahmadiyah pada surat
kabar Republika. Darwis menjelaskn praktik-praktik pergulatan
ideologi media yang dalam hal ini harian Republika dalam isu-isu
konflik yang berkaitan dengan isu keagamaan.
3Ulul Azmi, Konstruksi Atas realitas islam di Media Massa: Analisis Framing Konflik
Palestina Israel di Harian Kompas dan republika, UIN, 2010.
4Darwis, Analisis Framing Konstruksi Berita Ahmadiyah di Surat Kabar Republika, UIN,
2010
9
E. Kerangka Pemikiran
Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran
F. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Karena penelitian ini menggunakan analisis framing, yaitu
analisis yang melihat wacana sebagai hasil dari konstruksi realitas
sosial, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori paradigma
konstruktivis.
Paradigma menurut Bogdan dan Biklen sebagaimana
dikutip Moleong5 adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi
5Nanang Haroni, Kerelawanan dalam Televisi Indonesia, Universitas Indonesia, h. 44
Teks berita majalah Sindo Weekly
mengenai isu konflik Syiah Sampang
Proses produksi Sindo Weekly
Bingkai/Frame berita mengenai isu
konflik Syiah Sampang:
Konflik Syiah Sampang
Model Robert N Entman
1. Define problem
2. Diagnose Causes
3. Make Moral
judgemen
4. Treatmen
Recomendation
10
yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan
cara berpikir dan penelitian. Menurut pemikiran Guba dan Lincoln
sebagaimana dikutip Dedy Nur Hidayat,paradigma ilmu
pengetahuan (komunikasi) terbagi ke dalam 3 bagian, (1)
paradigmma klasik (classical paradigm )yang terdiri dari positive
dan post positivis, (2) paradigm kritis (critical paradigm )dan (3)
paradigma konstruktivisme (constructivismparadigm).6
Di sisi lain Eriyanto7 mengatakan bahwa paradigma
mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan
teks berita yang dihasilkannya.Konstruksionis memandang realitas
kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil
konstruksi. Karenanya konsentrasi analisis pada paradigma
konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau
realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu
dibentuk.Paradigma konstruktivis memandang bahwa untuk
mengetahui “dunia arti” (word meaning) mereka harus
mengartikannya. Mereka juga harus menyelidiki proses
pembentukan arti yang muncul dalam bahasa atau aksi-aksi sosial
para aktor.8
6Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, Ideologi dan Diskursus
Teknologi Komunikasi Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2007), h.237. 7Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKIS,
2007), h. 13. 8Thomas A. Scwandt, Construktivis, Interpretivist Aproach to Human Inquiry,
dalamNorman K Denzim dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research (London:
Sage Publication, 1994), h.118.
11
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk dalam penelitian ini adalah metode
analisis kualitatif. Penelitian dengan jenis kualitatif ini memiliki
karakteristik yang berbeda dengan kuantitatif yang berbasis pada
paradigma positivistik (positivisme-empiris).9 Metode kualitatif ini
bertujuan untuk mendapatkan pemahaman bersifat umum yang
diperoleh setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial
yang menjadi fokus penelitian, kemudian ditarik kesimpulan
berupa pemahaman umum tentang kenyataan-kenyataan tersebut.10
Penelitian ini menggunakan analisis Framing dengan
model yang digunakan berasal dari Robert N. Entman yang melihat
Framing dalam dua dimensi dasar: seleksi isu dan penekanan atau
penonjolanaspek-aspek tertentu dari realitas/isu.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriftif yang
bertujuan membuat deskriftif secara sistematis, faktual dan akurat
tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu.11
4. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah redaksi Majalah Sindo
Weekly, sedangkan yang menjadi objek penelitian ini adalah teks
pemberitaan isu konflik Syiah Suni Sampang pada majalah Sindo
9Antonious Birowo, Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta:
GITANYALI, 2004), h. 184
10
Rosady Ruslan, Metodologi Penelitian Publik Relation dan Komunikasi, (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2003), h.215
11
Rachmat Kriyantoro, Teknis Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2007), h.69
12
Weekly edisi No.27 tahun 1, terbitan 6-12 September 2012 versi
Salah Apa Syiah.
5. Tahapan Penelitian
a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara-cara
yang digunakan periset untuk mengumpulkan data. Teknik
pengumpulan data dibedakan dengan metodologi dari riset yang
digunakan para periset, yakni riset kualitatif dan kuantitafif.
Pada riset kualitatif yang peneliti pakai pada riset ini ialah
wawancara, dan juga dokumentasi. Ide penelitian kualitatif
adalah dengan sengaja memilih informan (atau dokumen atau
bahan-bahan visual lain) yang dapat memberikan jawaban
terbaik pertanyaan penelitian.12
Data dalam penelitian kualitatif umumnya berupa informasi
kategori substantif yang sulit dinumerisasikan. Sebagaimana
yang dikutip Haroni dalam tesisnya, menurut Neuman teknik
pengumpulan data dalam paradigma konstruktivis menggunakan
sejumlah teknik pengamatan terlibat, wawancara mendalam dan
analisis teks. Sedangkan dalam melaporkan hasil penelitiannya,
peneliti berupaya menunjukkan kenyataan yang diperkirakan
mampu membangkitkan kesadaran pembaca tentang suatu hal
yang sedang dibahas.
12
John W. Creswell, Desain Penelitian: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: KIK Press, 2003) h. 143.
13
Dalam hal ini peneliti menelaah teks berita yang menjadi
objek penelitian yang tertulis pada majalah Sindo Weekly.
Adapun teks berita yang peneliti telaah sebagai pendukung
analisis adalah Edisi No. 27 tahun 1 terbit tanggal 6-12
September 2012 versi Salah Apa Syiah.
Disamping itu, peneliti juga membaca sejumlah teks
berita mengenai isu yang sama pada media-media berbeda untuk
melengkapi, memperkuat dan sebagai perbandingan dalam
menganalisis.
Untuk mengetahui lebih detail mengenai data yang
dianalisis, peneliti melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Wawancara mendalam (in-depth interview) dengan orang-
orang yang terlibat langsung dengan proses pencarian berita,
penulis, yakni wartawan, staf redaksi, redaktur. Beberapa hal
yang diekplorasi dalam wawancara antara lain dengan
konsep awal materi berita, perkembangannya, proses
penulisan, proses konstruksi dan motivasi dibalik bingkai
berita tersebut dan hal-hal lain.
2. Dokumentasi, yakni penulis mengumpulkan dan
mempelajari data melalui literature dan sumber bacaan,
seperti buku-buku yang relevan dengan masalah yang
dibahas dan mendukung penelitian.
14
b. Teknik Analisis Data
Sebagai penelitian data kualitatif, maka penelitian ini
menggunakan teknik analisis data kualitatif deskriftif. Data yang
berhasil diperoleh akan dianalisis dan diinterpretasikan secara
bertahap seperti urutan dibawah ini:
1. Teks berita dianalisis berdasarkan data permulaan yang
dapat diperoleh melalui berbagai sumber publikasi dan
wawancara. Data diseleksi berdasarkan karakter pesan yang
akan dikaji.
2. Analisis selanjutnya terkait dengan teks berita dari edisi dan
isu yang kemudian ditentukan berdasarkan pada mekanisme
analisis yang ditawarkan Entman terkait Framing
pemberitaan media cetak meliputi problem identification,
causal interpretation, treatmen recomendation dan moral
evalution.
3. Analisis juga diperkaya dengan studi pustaka dan sumber-
sumber terkait.
4. Setelah data dianalisis dan diinterpretasikan, ditarik
kesimpulan.
c. Unit analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah teks berita tentang
isu SyiahSampang pada majalahSindo Weekly edisi no 27
tanggal 6-12 September 2012 versi Salah Apa Syiah.
15
d. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian akan akan dilakuakan di High and
Building, Lantai 2nd fl, Jalan Kebon Sirih No.17-19,
Jakarta 10340, Telepon: 021 314-6061, Faks. 021 314-
6411. E-mail: [email protected], website:
www.Sindoweekly-magz.com
G. Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
Merupakan babyang menjadi titik pijak masalah. Dalam bab ini
akan dieksplorasi masalah yang akan diangkat, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat baik secara akademis maupun praktis, serta
metodologi penelitian.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
Secara umum bab ini merupakan penjelajahan teori yang kelak
menjadi dasar dari pembahasan tentang konstruksi realitas di media massa,
dan Framing khususnya dalam kajian media cetak (majalah) serta teori
mengenai konflik horizontal pada pemberitaan media. Bab ini juga
berusaha mengeksplorasi teori tentang majalah sebagai media masa cetak
dan kekuatan pengaruhnya terhadap publik serta perannya dalam
sosialisasi nilai-nilai, juga ideologi dibalik itu.
BAB III
16
GAMBARAN UMUM MAJALAH SINDO WEEKLY
Berisi gambaran umum objek kajian yakni majalah Sindo weekly,
mendeskripsikan konsep pemberitaan, proses produksi, mulai dari provil,
visi dan misi juga struktur organisasinya serta format beritanya. Selain itu
digambarkan pula tentang sejarah Syiah.
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Merupakan analisis dan interpretasi peneliti serta
pembahasan temuan data penelitian terkait dengan nilai-nilai
keberimbangan, netralisasi dan akulturasi pemberitaan konflik horizontal
menggunakan sudut pandang Framing sebagaimana dititiktekankan oleh
Robert N Entman.
Dalam bab ini juga dibahas bagaimana konflik realitas sebuah
konflik horizontal dikemas juga dibahas bagaimana idelogi media massa
mengambil peran tertingginya dibalik teks-teks berita dalam majalah
khususnya terkait objek kajian.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Merupakan bagian akhir dari skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan
atas temuan-temuan yang dihasilkan dari penelitian dan saran-saran yang
dapat diambil manfaatnya atas hasil temuan tersebut serta daftar pustaka
17
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Teori Konstruksi Sosial
Bagi banyak orang media merupakan sumber untuk mengetahui
suatu kenyataan atau realitas yang terjadi, bagi masyarakat biasa,
pesan dari sebuah media akan dinilai apa adanya. Apa kata media dan
bagaimana penggambaran media mengenai sesuatu, begitulah realitas
yang mereka tangkap.13
Bagi masyarakat umum, berita dari sebuah media dipandang
sebagai barang suci yang penuh obyektifitas. Namun, berbeda dengan
kalangan tertentu yang memahami betul gerak pers. Mereka akan
menilai lebih dalam terhadap pemberitaan.Kenyataan ini seperti
mengamini bahwa media berhasil dalam tugasnya merekonstruksi
realitas dari peristiwa itu sendiri, sehingga pada akhirnya pembaca
terpengaruh dan memilki pandangan seperti yang diinginkan media
dalam menilai suatu peristiwa.
Melalui berbagai instrumen yang dimiliki, media berperan
membentuk realitas yang tersaji dalam berita.Konstruksi terhadap
realitas yang tersaji dalam berita. Konstruksi terhadap realitas
dipahami sebagai upaya „menceritakan‟ sebuah peristiwa, keadaan,
benda, fakta atau realitas diproduksi dan dikonstruksi dengan
13
Zulkarnaen Nasution, Sosiologi Komunikasi Massa, Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional, 2004,h. 1-10.
18
menggunakan persfektif tertentu yang akan dijadikan bahan berita
oleh wartawan. Maka tidak mengherankan jika media memberitakan
berbeda sebuah persitiwa yang sama karena masing-masing media
memiliki pemahaman dan pemaknaan sendiri.14
Sering kali sebuah peristiwa dalam media masa yang kita akses
berbeda dengan peristiwa yang terjadi dilapangan.Tanpa disadari,
ternyata berita yang kita konsumsi setiap harinya dari media masa,
baik cetak maupun elektronik adalah berita dimana fakta-faktanya
sudah mengalami proses penciptaan atau pembangunan ulang
(konstruksi) oleh media itu sendiri. Bukan merupakan fakta mentah
sebenarnya yang diperoleh dari narasumber suatu persitiwa.
Media mengkonstruksi fakta peristiwa disesuaikan dengan
ideologi, kepentingan, keberpihakan media dalam memandang sebuah
berita. Wacana atau peritiwa yang akan diberitakan tidak akan terlepas
dari pertimbangan menguntungkan tidaknya pemberitaan tersebut
terhadap media yang bersangkutan.
Isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai
dasarnya, sedangkan bahasa bukan saja alat mempersentasikan
realitas, tetapi juga menentukan relief seperti apa yang hendak
diciptakan bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya media masa
14
Fahri Firdusi, Artikel: Berita sebagai Konstruksi Media, artikel diakses pada 12
November 2012 dari http:fahri99.worldpress.com/2012/po2.html
19
mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna
dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya.15
Teori dan pendekatan konstruksi atas realitas terjadi secara
simultan melalui tiga proses sosial, yakni eksternalisasi, obyektivasi,
internalisasi. Proses ini terjadi antara individu satu dengan yang
lainnya di dalam masyarakat. bangunan realitas yang tercipta karena
proses sosial adalah objektif, subjektif, dan simbolis atau
intersubjektif.16
Menurut Peter L. Berger17
dan Thomas luckman dalam teorinya
“The Social Construction Theory of Reality” proses mengkonstruksi
berlangsung melalui interaksi sosial dialektis dari tiga bentuk realitas,
yakni symbolic reality, objective reality, dan subjective reality yang
berlangsung dalm suatu proses dengan tiga momen simultan.
Eksternalisasi (penyesuaian diri), adalah sebagaimana yang
dikatakan Berger dan Luckman adalah usaha ekspresi diri manusia ke
dalam dunia luar, keberadaan manusia tak mungkin berlangsung
dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa
gerak.Moment ini bersifat kodrati manusia.Ia selalu mencurahkan diri
ke tempat di mana ia berada. Manusia harus terus menerus
mengeksternalisasi dirinya dalam aktifitas.
15Ibnu Hamad, Muhammad Qadari dan agus Sudibyo, Kabar-Kabar Kebencian, Institut
Studi Arus Informasi, PT. Sembrani Akasara Nusantara, Jakarta: 2001, h. 74-75.
16Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi,Sosiologi Komunikasi, Teori Pradigma dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat,h.202. 17
Dedy N. Hidayat, Konstruksi Sosial Industri Penyiaran, Jakarta: Pascasarjana Ilmu
Komunikasi UI, 2003,h. 7-8.
20
Objektivasi, tahap ini merupakan produksi sosial yang terjadi
dalam dunia intersubyektif masyarakat yang dilembagakan. Pada
tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi,
sedangkan individu oleh Berger dan Luckman, dikatakan
memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang
tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain
sebagai unsur dari dunia bersama. Obyektivasi ini bertahan lama
sampai melampaui batas tatap muka dimana mereka dapat dipahami
secara langsung.18
Internalisasi, adalah penyerapan kembali dunia objektif ke
dalam kesadaran subyektif sedemikian rupa sehingga individu
dipengaruhi oleh struktur sosial atau dunia sosial.Salah satu wujud
internalisasi adalah sosialisasi bagaimana suatu generasi
menyampaikan nilai-nilai norma-norma sosial (termasuk budaya)
yang ada dikepala generasi berikutnya.19
Dalam realitas obyektif yang merupakan hasil dari kegiatan
eksternalisasi manusia baik mental maupun fisik, menurut Berger
realitas obyektif berbeda dengan kenyataan subyektif perorangan ,
bahwa realitas obyektif bersifat eksternal, berada di luar dan tidak
dapat kita tiadakan dari angan-angan. Kemampuan ekspresi diri dalam
produk-produk kegiatan manusia yang tersedia baik bagi produsen-
18
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Teori Pradigma dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat, h. 197-198.
19
Masnur Muslich, Kekuasaan Media Massa Mrekonstruksi realitas, Sebuah Kajian,
artikel diakses pada 10 November 2012 di www.kabmalang.go.id/10/11/2012.
21
produsenya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia
bersama ini, dan dalam realitas subyektif kehidupan ini menyangkut
makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan obyek.20
Menurut Berger dan Luckman21
, kehidupan sehari-hari terutama
adalah kehidupan melalui dan dengan bahasa, bahasa tidak hanya
mampu membangun simbol-simbol yang diabstraksikan dari
pengalaman-pengalaman sehari-hari, melainkan juga
„mengembalikan‟ simbol-simbol itu dan menghadirkannya sebagai
unsur yang obyektif dalam kehidupan sehari-hari, sehingga yang
menjadi titik perhatian dalam pandangan konstruksionis bukanlah
pesan tetapi maknanya yang ditimbulkan dari pembuatan simbol-
simbol.22
Karena itu, Berger melihat bahasa mampu mentransendensikan
kenyataan hidup sehari-hari secara keseluruhan dengan mengacu
pengalaman yang menyangkut wilayah kenyataan yang berlainan.
Bahasa disini didefinisikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari,
tanda-tanda suara, gerakan (ekspresi) tulisan, yang dengan mudah
dapat dilepaskan. Inilah yang menurut Berger dan Luckman sebagai
20Peter L. Berger, Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan; Sebuah Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan.Penerjemah hasan Basri (Jakarta: LP3S, 1990), h. 49-50. 21
Peter L. Berger, Thomas Luckman, The Social Construction Theory of Reality, dalam
eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi Ideologi, dan Politik Media. (Yogyakarta: LkiS, 2002),h.
39-41.
22 Ibid h. 39-41
22
kenyataan yang dipahami melalui bahasa simbolik (kenyataan
simbolik).23
Lebih jauh Peter Berger24
berpendapat, realitas sosial tidak
dibentuk secara ilmiah tidak juga sesuatu yang diturunkan Tuhan
tetapi sebaliknya realitas dibentuk semacam ini, realitas berwajah
ganda atau prulal. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-
beda atas suatu realitas. Setiap orang mempunyai pengalaman,
preferensi pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau sosial
tertentu dan menafsirkan sosial itu dengan konstruksinya masing-
masing.25
Media masa cenderung melakukan konstruksi realitas atas
peristiwa yang diterimanya sebagai sumber berita. Tujuannya agar
pembaca memiliki pandangan hingga akhirnya menciptakan opini
publik setidaknya diharapkan sesuai dengan pandangan frame media
itu.
Itulah tujuan media, menciptakan agar khalayak memilki opini
yang sama dan sesuai dengan pandangan media terhadap suatu
persistiwa. Sadar atau tidak pembaca telah terperangkap oleh pola
konstruksi media.
23Peter L. Berger, Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan; Sebuah Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan.Penerjemah hasan Basri (Jakarta: LP3S, 1990), h. 49-50. 24
Peter L. Berger, Thomas Luckman, The Social Construction Theory of Reality, dalam
eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi Ideologi, dan Politik Media. (Yogyakarta: LkiS, 2002),h.
39-41.
25Ibid h. 39-41
23
1. Konstruksi Realitas Sosial Media Massa
Susbtansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas
dari Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi
secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada
sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Basis teori sosial dalam
pendekatan ini adalah transisi-modern di Amerika pada tahun 1960-
an, di mana media masa belum menjadi sebuah fenomena yang
menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian Berger dan Luckmann
tidak memasukan media masa sebagai variabel atau fenomena
yangberpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas.
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L
Berger dan Luckmann telah direvisi dengan melihat fenomena
mediamassa sangat substantif dalam proses eksternalisasi,
subyektivasi dan internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai
“konstruksi sosial media massa”. Menurut perspektif ini tahapan-
tahapan dalam proses konstruksi sosial media masa itu terjadi melalui:
tahap menyiapkanmateri konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap
pembentukan kosntruksi; tahap konfirmasi.26
Penjelasannya adalah
sebagai berikut:
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi : Ada tiga hal pentingdalam
tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepadakapitalisme,
26
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan DiskursusTeknologi
Komunikasi di Masyarakat,( Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 188-189
24
keberpihakan semu kepada masyarakat,keberpihakan kepada
kepentingan umum.
2. Tahap sebaran konstruksi : prinsip dasar dari sebaran
konstruksisosial media massa adalah semua informasi harus sampai
padakhalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa
yangdipandang penting oleh media, menjadi penting pula
bagipembaca.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukankonstruksi
berlangsung melalui: (1) konstruksi realitaspembenaran; (2) kedua
kesediaan dikonstruksi oleh mediamasa ; (3) sebagai pilihan
konsumtif.
4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika mediamassa
maupun penonton memberi argumentasi danakuntabilitas terhadap
pilihannya untuk terlibat dalampembetukan konstruksi.27
Pada
kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpakehadiran
individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut.Realitas
sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksidan
dimaknai secara subyektif oleh individu lain sehinggamemantapkan
realitas itu secara obyektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial,
dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas
27Ibid, h. 14
25
itu berdasarkan suyektivitas individu lain dalam institusi
sosialnya.28
Gambar 1.2
Proses Konstruksi Sosial Media Massa29
2. Framing Robert N Entman
Analisa Framing adalah analisis yang digunakan untuk
mengetahui bagaimana realitas (aktor, kelompok, atau apa saja)
dikonstruksi oleh media30
. Analisa framing memiliki dua konsep
yakni konsep pskiologis dan sosiologis. Konsep psikologis lebih
28Ibid, h. 188-189
29 Ibid
30 Eriyanto Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan politik Media.....h.67
P r o s e s S o s i a l S i m u l t a n
Eksternalisa
si
Objektivasi
Internalisasi
M
E
D
I
A
M
A
S
S
A
Realitas Terkonstruksi:
Lebih Cepat
Lebih Luas
Sebaran Merata
Membentuk Opini
Massa
Massa Cenderung
Terkonstruksi
- Opini Massa
Cenderung
Apriori
- Opini Massa
Cenderung
Sinis
Source Message Channel Receiver Effect
- Objektif
- Subjetif
- Inter
Subjektif
26
menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi pada
dirinya, sedangkan konsep sosiologis lebih melihat pada bagaimana
konstruksi sosial atas realitas. Analisis Framing sendiri juga
merupakan bagian dari analisis isi yang melakukan penilaian tentang
wacana persaingan antar kelompok yang muncul atau tampak di
media.
Analisis Framing juga dikenal sebagai konsep bingkai, yaitu
gagasan sentral yang terorganisasi, dan dapat dianalisis melalui dua
turunannya, yaitu simbol berupa Framing device dan reasoning
device. Framing device menunjuk pada penyebutan istilah tertentu
yang menunjukkan “julukan” pada satu wacana, sedangkan reasoning
device menunjuk pada analisis sebab-akibat.
Framing adalah bagaimana untuk mengetahui persfektif
atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika
menyeleksi isu dan menulis berita. Konsep ini telah digunakan
secara luas dalam literatur ilmu komuikasi untuk menggambarkan
proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah
realita oleh media.
Gagasan mengenai Framing, pertama kali dilontarkan oleh
Baterson tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur
konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir
pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta yang menyediakan
kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini
27
kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada1974, yang
mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of
behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas.31
Terdapat banayk definisi mengenai Framing yang
dikemukakan oleh para ahli. Todd Gitlin32
( mendefinisikan
Framing sebagai: “strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk
dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada
khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam
pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian
khalayak.Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan,
dan persentasi aspek tertentu dari realitas”.
Menurut Gitlin, frame adalah bagaian yang pasti hadir
dalam praktik jurnalistik. Dengan farme, jurnalis memproses
berbagai informasi yang tersedia dengan jalan mengemas
sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan
kepada khalayak.33
Robert N. Entman34
memberikan definisi mengenai
Framing, yakni: “Proses seleksi dari berbagai aspek realitas
sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol
dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan
31
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006),h.162,cet. IV. 32
Todd Gitlin dalam Darwis, Analisis Framing Konstruksi Berita Ahmadiyah di Surat
Kabar Republika, Skripsi S1, FIDKOM, UIN, Jakarta, 2008 33
Ibid 34
Ibid
28
informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu
mendapatkan alokasi lebih besar dari pada sisi yang lain”.
Sementara itu, G. J. Aditjondro35
mendefinisikan Framing
sebagai: “Metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang
suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan
secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek
tertentu saja, dengan menggunakan istilah-istilah yang punya
konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat
ilustrasi lainnya”.
Pada dasarnya, framing adalah metode untuk melihat cara
berita (story telling) media atas peristiwa, cara bercerita itu
tergambar pada “cara melihat” terhadap realitas yang dijadikan
berita. “cara melihat” ini berpengaruh pada hasil akhir dari
konstruksi realitas. Analisis Framing adalah analisa yang dipakai
untuk melihat bagaimana peristiwa dipahami dan dibingkai oleh
media.36
Frame berita timbul dalam dua level.37
Pertama, konsepsi
mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai
karakteristik dari teks berita.Kedua, perangkat sepsifik dari narasi
berita yang dipakai untuk membangun pengertian mengenai
35
Ibid 36
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing...,h. 10.
37
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media....,h. 68.
29
peristiwa, Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora,
konsep.Simbol, citra yang ada dalam narasi berita.
Analisis Framing merupakan versi terbaru dari pendekatan
analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media.Analisis
ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke
dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau
lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai
persfektifnya.
Dengan kata lain, “Framing adalah pendekatan untuk
mengetahui bagaimana persfektif atau cara pandang yang
digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis
berita”. Cara pandang atau persfektif itu pada akhirnya menentukan
fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan
dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut.
Berita yang muncul di media seringkali diandaikan sebagai
suatu kebenaran yang faktual karena harus berdasarkan
fakta.Padahal, setiap media mengemas (Framing) realitas suatu
peristiwa, tidak terlepas dari bias-bias kepentingan yang dianut
media tersebut.Baik yang berkaitan dengan ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya bahkan agama.Tidak satupun media yang
memiliki sikap indenpendensi dan objektifitas yang absolut.38
38
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing....,h. V.
30
Gans, Shomaker dan Reeses39
seperti dikutip Darmanto,
menyarankan paling sedikit harus ada tiga pengaruh potensial
dalam memframing berita, yaitu:
a. Faktor Pertama, yaitu pengaruh wartawan. Wartawan akan lebih
sering membuat konstruksi analisis untuk membuat perasaan
memiliki akan kedatangan informasi. Wartawan dalam menulis
dipengaruhi oleh variabel-variabel seperti ideologi, perilaku,
norma-norma profesional dan akhirnya lebih mencirikan jalan
wartawan dalam penulisan berita sebagai mengulas berita.
b. Faktor Kedua, yang mempengaruhi penulisan berita adalah
pemilihan pendekatan yang digunakan wartawan dalam
penulisan berita sebagai konsekuensi dari tipe dan orientasi
politik atau yang disebut ”rutinitas organisasi”.
c. Faktor Ketiga, yaitu pengaruh dari sumber-sumber eksternal
misalnya, aktor politik dan otoritas.
Eriyanto menyebutkan ada dua dimensi yang mempengaruhi
konsep Framing, yaitu:40
a. Dimensi Psikologis, Framing adalah upaya atau strategi
wartawan untuk menekankan dan membuat pesan menjadi
bermakna, lebih mencolok dan diperhatikan publik. Secara
psikologis, orang cenderung menyederhanakan realitas dan
39
Darmanto, Makalah: Membongkar Ideologi di Balik Penulisan Berita dengan Analisa
Faraming (T.tp: Universitas Brawijaya-Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin, 2004),h.3.
40Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media....,h. 71-80.
31
dunia yang kompleks bukan hanya agar lebih sederhana dan
dapat dipahami, tetapi juga agar lebih mempunyai
persfektif/dimensi tertentu, karenanya realitas yang sama bisa
jadi digambarkan secara berbeda oleh orang yang berbeda
karena mempunyai pandangan atau persfektif yang berbeda
pula.
b. Dimensi Sosiologis, pada level ini frame dilihat terutama untuk
menjelaskan bagaimana organisasi dari ruang berita dan
pembuat berita membentuk berita secara berasama-sama. Berita
adalah produk dari intistusi lainnya. Berita adalah produk dari
profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap
hari dibentuk dan dikonstruk.
Dalam praktiknya framing dijalankan oleh media dengan
menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain dan menonjolkan
aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi
wacana pengulangan, pemakaian gambar untuk mendukung dan
memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika
menggambarkan seseorang atau peristiwa yang diberitakan,
saosiasi terhadap simbol budaya , generalisasi, simplifikasi dll.
Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari
konstruksi berita bermakna dan diingat oleh khalayak.
Media harus melihat dua aspek penting dalam mem-
framing sebuah berita, yang menjadi dasar bagaimanasebuah
32
realitas dari peristiwa itu dibangun dan akhirnya ditulis sesuai
denganframe/bingkai yang dianutnya, seperti yang dijelaskan oleh
Eriyanto sebagai berikut:41
a. Memilih fakta/realitas, fakta dipilih berdasarkan asumsi bahwa
tidak mungkin melihat peristiwa tanpa persfektif. Dalam melihat
fakta selalu terkandung dua kemungkina; apa yang dipilih
(included) dan apa yang dibuang (exluded). Bagian aman yang
ditekankan dalam realitas, bagaimana dari realitas yang
diberitakan dan bagaimana yang tidak diberitakan. Penekanan
aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu,
memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain hingga
peristiwa itu dilihat dari sisi tertentu, akibatnya bisa jadi
berbeda antar satu media dengan media yang lain.
b. Menulis fakta, berhubungan dengan bagaimana fakta yang
dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan
dengan kata, kalimat dan proposisi apa dengan bantuan
aksentuasi foto dan gambaran apa dan sebagainya. Bagaimana
fakta yang dipilih ditekankan dengan pemakaian perangkat
tertentu seperti: penempatan yang mencolok (headline, bagian
belakang) pengulangan. Label tertentu ketika menggambarkan
orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol
budaya, generalisasi, simplifikasi dan pemakaian kata yang
41
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media....,h. 69-70.
33
mencolok, gambar dan sebagainya. Elemen penulisan fakta ini
berhubungan dengan penonjolan realitas.
Entman melihat Framing dalam dua dimensi dasar : seleksi
isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari
realitas/isu. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi
lebih bermakna , lebih menarik, berarti, atau lebih diingat oleh
khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan
mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.42
Tabel 1.1
Dimensi Framing Model Robert N. Entman
Seleksi Isu
Aspek ini berhubungan dengan
pemilihan fakta.dari realitas yang
kompleks dan beragam itu, aspek mana
yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari
proses ini selalu terkandung di
dalamnya ada bagian berita yang
dimasukkan (Iinclude), tetapi ada juga
berita yang dikeluarkan (exlude). Tidak
semua aspek atau bagian isu
ditampilkan, wartawan memilih aspek
tertentu dari suatu isu.
42Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media...,h.186.
34
Penonjolan Aspek Tertentu
dari Isu
Aspek ini berhubungan dengan
penulisan fakta. Ketika aspek tertentu
dari suatu peristiwa/isu tersebut telah
dipilih, bagaimana aspek tersebut
ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan
pemakaian kata, kalimat, gambar, dan
citra tertentu untuk ditampilkan kepada
khalayak.
Dalam praktiknya, Framing dijalankan oleh media dengan
menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain; dan
menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai
strategi wacana-penempatan yang mencolok (menempatkan di
Headline depan atau bagian belakang), pengulangan pemakaian grafis
untuk mendukung dan memperkuat penojolan, pemakaian label
tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan,
asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan lain-
lain.
Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari
konstruksi berita menjadi bernmakna dan diingat oleh khalayak. Cara
pandang atau persfektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang
diambil, apayang akanditonjolkan dan dihilangkan dan hendak
dibawa kemana berita tersebut.
35
Tabel 1.2
Konsep Framing Model Robert N. Entman
Define Problems
(Pendefinisian Masalah)
Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat?
Sebagai apa? Atau sebagai masalah
apa?
Diagnoses Causes
(memperkirakan masalah
atau sumber masalah)
Peristiwa itu disebabkan oleh apa? Apa
peristiwa yang dianggap sebagai
penyebab dari suatu masalah? Siapa
(aktor) yang dianggap sebagai penyebab
masalah?
Make Moral Judgement
(membuat keputusan
moral)
Nilai moral apa yang disajikan untuk
menjelaskan masalah? Nilai moral apa
yang dipakai untuk melegitimasi atau
mendelgitimasi suatu tindakan?
Treatmen
Recommendation
(menekankan
penyelesaian)
Penyelesaian apa yang ditawarkan
untuk mengatasi masalah/isu? Jalan apa
yang ditawarkan dan harus ditempuh
untuk mengatasi masalah?
Menurut konsepsi Entman43
, Framing pada dasarnya
merujukpada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan
43
Ibid
36
rekomendasi dalam suatu wacanauntuk menekankan kerangka
berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.
Define Problems (pendefinisian maslah) adalah elemen
yang pertamakali dapat kita lihat mengenai Framing. Elemen ini
merupakan master frame/bingkai yang paling utama. Ia menekankan
bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan ketika terjadi
peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebutdipahami. Peristiwa
yang sama dapat dipahami secara berbeda. Dan dibingkai yang
berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda pula.
Diagnoses causes (memperkirakan penyebab masalah),
merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap
sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa
(what), tapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa
dipahami, tentu saja tergantungapa dan siapa yang dianggap sebagai
sumber masalah. Karena itu, jika masalah-masalah yang dipahami
berbeda, maka penyebab masalah secara tidak langsung akan
dipahami secara berbeda pula.
Make Moral Judgement (membuat pilihan moral) adalah
elemen Framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberi
argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika
masalah sudah didefinisikan dan penyebanya sudah ditentukan,
dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung
37
gagasan tersebut.Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu
yang familiar dan dikenal oleh khalayak.
Elemen lainnya adalah Treatment Recommendation
(menekankan penyelesaiannya). Elemen ini dipakai untuk menilai
apa yang dikehendaki wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk
menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat
bergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang
dipandang sebagai penyebab masalah.44
Konsepsi mengenai Framing dari Entman tersebut
menggambarkan secara luas bagaiman peristiwa dimaknai dan
ditandakan oleh wartawan.Ada dua konsep framing yang saling
berkaitan, yaitu konsep psikologis dan sosiologis yaitu :
1. Dalam konsep psikologis, framing dilihat sebagai penempatan
informasi dalam suatu konteks khusus dan menempatkan elemen
tertentu dari suatu isu dengan penempatan lebih menonjol dalam
kognisi seseorang. Elemen-elemen yang diseleksi itu menjadi
lebih penting dalam mempengaruhi pertimbangan seseorang saat
membuat keputusan tentang realitas.
2. Sedangkan konsep sosiologis framing dipahami sebagai proses
bagaimana seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan dan
menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan
44
Ibid.,h.186-191.
38
realitas diluar dirinya Dalam Zhondhang Pan Dan Gerald M
Kosicki, kedua konsep tersebut diintegrasikan.
Secara umum konsepsi psikologis melihat frame sebagai
persoalan internal pikiran seseorang, dan konsepsi sosiologis melihat
frame dari sisi lingkungan sosial yang dikontruksi seseorang. Dalam
model ini, perangkat framing yang digunakan dibagi dalam empat
struktur besar, yaitu sintaksis (penyusunan peristiwa dalam bentuk
susunan umum berita), struktur skrip (bagaimana wartawan
menceritakan peristiwa ke dalam berita), struktur tematik (bagaimana
wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam
proposisi, kalimat, atau antar hubungan hubungan kalimat yang
membentuk teks secara keseluruhan), dan struktur retoris
(bagaimanamenekankan arti tententu dalam berita).
3. Konflik Pada Media
Idealnya suatu berita yang baik adalah berita yang ditulis
berdasarkan fakta.Tidak dikotori oleh kepentingan segelintir orang
sehingga mendistorsi fakta tersebut. Namun dalam realita media
sebagai ruang publik kerap tidak bisa memerankan diri sebagai pihak
yang netral. Media senantiasa terlibat dengan upaya merekonstruksi
realitas sosial. Dengan berbagai alasan teknis, ekonomis, maupun
ideologis, media massa selalu terlibat dalam penyajian realitas yang
sudah diatur sedemikian rupa sehingga tidak mencerminkan realita
sesungguhnya.
39
Keterbatasan ruang dan waktu juga turut mendukung kebiasaan
media untuk meringkaskan realitas berdasarkan “nilai berita”. Prinsip
berita yang berorientasi pada hal-hal yang menyimpang menyebabkan
liputan peristiwa jarang bersifat utuh, melainkan hanya mencakup hal-
hal yang menarik perhatian saja yang ditonjolkan.45
Liputan media masa dan laporan resmi pemerintah tentang
konflik umumnya juga sangat bias,tidak seimbang, dan tidak propor-
sional.Mereka cenderung hanya meliput fakta dan gejalakonflik
sebagai peristiwa penyimpangan atau kecelakaan biasa.
Selain hanya menonjolkanyang sensasional dan dramatis
kebanyakan konflik kekerasan hanya diliput sekalisebagai sebagai
peristiwa sepotong-potong terlepas dari peristiwa konflik secara
lengkap.Konflik seolah-olah hanya dilihat sebagai perititwa
kecelakaan yang tragis, kesalahan proseduratau efek samping dari
suatu kebijakan, bukannya sebagai peristiwa sengaja yang
secarasistematis melekat dalam bekerjanya suatu sistem politik,
sebagai suatu gejala yang memilikibanyak aspek dan dimensi, dan
punya akar penyebab dan pola tertentu yang bisa dicegah dandiatasi.
Kalevi J. Holsti46
mengatakan bahwa konflik timbul akibat
ketidaksamaan posisi atau suatu isu, adanya tingkah laku suatu
permusuhan, serta diperkuat oleh aksi-aksi militer antara pihak-pihak
yang bertikai.
45http://www.esaunggul.ac.id/article/konflik-dalam-pemberitaan-media-massa/
46J. Holsti, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik, Jakarta, Granit, 2007,h.12.
40
Sementara Louise Kriesberg47
mendefinisikan konflik sebagai
sebuah situasi dimana dua atau lebih pihak mempercayai
mempercayai bahwa mereka mempunyai tujuan yang berbeda (a
conflict is asituation in which two or more parties, or their
representative, belives they have incompatible objective).
Secara sempit, konflik memiliki pengertian perilaku
(behavior) atau aksi (action) yang tidak bersahabat antara pihak-pihak
yang bertikai.48
Dengan pengertian seperti ini, dapat disimpulkan
bahwa konflik berakhir bila perilaku demikian juga berakhir.Namun
pendapat ini masih bisa dipertanyakan, karena penghentian perilaku
tidak bersahabat tidak selalu berarti selesainya konflik. Genjatan
senjata, penghentian pernyataan verbal yang offensif
(propaganda/hasutan), mobilisasi, petisi, demonstrasi, boikot, dan
sanksi, hanya merupakan indikasi kearah penyelesaian konflik.
Namun dengan demikian perlu ditarik batasan antara perilaku tidak
bersahabat yang dimaksud dalam konflik, yaitu kekerasan
politik/militer (politic/military violance), dengan kejahatan biasa oleh
individu atau kelompok (sheer banditary, mutinies and other form of
collective violance).49
Dalam sebuah negara yang tingkat kedewasaan politiknya masih
rendah, perbedaan kepentingan dan artikulasi politik menjadi rawan
47
Louis Kriesberg, The Sociology of social Conflict, New York, Prantice Hall, 1973,h.65.
48Peter Wallensteen, Understanding Conflict Resolution: war, Peace, and the Global
System, London, Sage Publiction, 1997,h. 13.
49
Ibid.,h.25.
41
konflik.Masyarakat belum terbiasa menghargai perbedaan dan
keberagaman pandangan politik,dan tingkat toleransi terhadap
perbedaan tadi masih sangat rendah.Maka minimnya toleransi ini yang
pada nantinya menjadi pemicu berbagai peristiwa konflik yang terjadi
di dalam masyarakat.
Jurnalisme konvensional menjadikan konflik sebagai tumpuan
nilai berita. Seluruh fakta sosial yang dilihat dari perspektif konflik,
memiliki nilai tinggi dalam standar kelayakan berita (news-
worthiness).Dari sini pula lahir kaidah yang paling dijunjung dalam
etika jurnalisme, yaitu asas ketidakberpihakan (impartiality) yang
mengandung aspek keseimbangan dan netralitas.
Konflik adalah sesuatu yang alamiah, ketika terjadi sesuatu
yang tidak sejalan, baik pemikiran, dan segala sesuatu yang dianggap
tabu oleh masyarakat. Dalam kondisi ini, sejatinya musyawarah
menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah.Di sinilah letak sikap
belajar untuk saling menghargai, memahami berbagai macam
perbedaan yang ada. Belajar menjadi manusia yang bijak,
menyelesaikan segala sesuatu dengan kepala dingin, dan sikap saling
menghargai perbedaan yang ada.
Dalam perspektif konflik, fakta adalah interaksi dua pihak yang
berbeda kepentingan dalam ruang sosial.Di sini fakta hanya
menyajikan dua pihak yang bertentangan dan saling
berhadapan.Dinamika konflik seperti ini pada dasarnya dapat dilihat
42
sebagai upaya satu pihak mengalahkan pihak yang lainnya.Posisi
media masa dalam konteks ini idealnya tidak terlibat dan tidak ambil
bagian dalam konflik tersebut.Profesionalitas media dapat terlihat
ketika dia bersikap netral dalam pemberitaan konflik dan kekerasan
bahkan dalam ranah yang politis sekalipun.
Ketika media massa dianggap sebagai refleksi kenyataan, maka
wajah dari masyarakat Indonesia adalah wajah yang penuh dengan
konflik dan kekerasan, sehigga konflik seakan-akan merupakan
fenomena yang hadir dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Berita bernuansa konflik merupakan berita yang sering
disajikan.Berita konflik menjadi informasi yang paling disenangi
konsumen media.Ketika terjadi konflik, media perlu menjadikan
konflik tersebut sebagai prioritas, sehingga konflik mendapat tempat
yang menonjol di media cetak ataupun media elektronik, bukan karena
nilai jualnya, namun karena dengan begitu, masyarakat menyadari
adanya persoalan yang harus diselesaikan.
Melihat peran media sebagai penyaji fakta, media seharusnya
tidak menyajikan konflik dan penindasan hak asasi manusia (HAM)
sebagai rangkaian yang terpisah-pisah.Masyarakat sering lupa bahwa
dalam konflik ada manusia biasa yang tidak memiliki kepentingan
apa-apa justru menjadi korban.
Oleh karena itu, wartawan mempunyai tanggung jawab untuk
menyampaikan berita kebenaran berdasarkan fakta yang ada dan
43
bertolak pada kepeentingan masyarakat, bukan kepentingan media
agar perdamaian diantara masyarakat tetap terjaga.
Andreas Harsono50
mengungkapkan, “seorang wartawan harus
mendahulukan jurnalisme dari segala kepentingan.Agamanya,
kewarganegaraannya, kebangsaannya, ideologinya, latar belakang
sosial, etnik, suku dan sebagainya, harus dia tinggalkan di rumah
begitu dia keluar dari pintu rumah dan jadi wartawan”.Maksud dari
pernyataan tersebut adalah penting untuk menjamin penyajian berita
yang berimbang. Dia mencontohkan, ketika meliput konflik agama,
wartawan yang terbawa dengan agamanya tentu akan menyajikan
berita yang memihak kepada agamanya tersebut. Publik akhirnya
tidak mendapatkan informasi yang berimbang.
Kegiatan jurnalisme bukan hanya pada kegiatan penulisan,
tetapi juga berkaitan dengan pemilihan fakta-fakta yang akandijadikan
informasi. Salah satu kekuatan pers adalah melakukan pembingkaian (
framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, dan
pemilihan angle. Dengan kemampuan seperti itu, pers mempunyai
potensi untuk meredam konflik. Namun disisi lain, kekuatan
membingkai fakta dengan mengemas sedemikian rupa, juga dapat
menyebabkan pecahnya konflik.
Untuk peliputan konflik yang berbau SARA harus
mempertimbangkan posisi sebagai pekerja pers yang menjadi penyaji
50
Andreas Harsono dalamhttp://jurnalmussoffa.comWawartawan, jurnalisme dan
kepentingan diakses pada 18 Desember 2012
44
dan peredam masalah.Keberpihakan tidak membenarkan pemberitaan
yang tidak benar dan akurat.Jurnalis tidak bisa menjadi sumber yang
menyebarkan kabar bohong atau membangun kesan yang
menyesatkan.Selain itu,kepentingan-kepentingan yang menekan
wartawan dalam produksi beritan begitu kuat. Maka,sebaiknya
wartawan mempertimbangkan nurani sebagai keputusan terakhir. Hati
nurani membawa kepada fakta yang diyakini benar.
Sebenarnya media massa memiliki dua pilihan tujuan ketika
memuat berita, yaitu untuk memenuhi tujuan politik keredaksian
media itu sendiri atau memenui kebutuhan khalayak pembacanya.
Media masa yang mementingkan tercapainya tujuan ekonomis
biasanya akan memilih berita yang bernilai jual tinggi.
Satu sisi ada media masa yang menginginkan agar informasi
yang disampaikan bermanfaat bagi pembaca, sehingga media tersebut
akan memuat berita-berita yang berguna bagi khalayak. Ada pula
media masa yang menganggap informasi hanya sebagai alat untuk
mencapai tujuan ideologis. Informasi disampaikan untuk
mempengaruhi dan membujuk khalayak agar berbuat dan bersikap
sesuai dengan tujuan ideologis yang hendak dicapai oleh media masa
tersebut.
Tak dapat dipungkiri bahwa setiap media pasti mempunyai
ideologinya masing-masing. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang ada disekitarnya. Dengan menggunakan
45
ideologinya sendiri-sendiri dalam mengemas dan menyampaikan
berita ternyata berpengaruh sangat besar bagi khalayaknya. Masing-
masing media dengan ideologi institusinya mampu mengemas suatu
peristiwa menjadi realitas baru untuk dikonsumsi khalayak
pembacanya.
4. Ideologi Media
Secara umum dapat dikatakan bahwa ideologi memiliki dua
pengertian yang berbeda. Pengertian dalam tataran positif menyatakan
bahwa ideologi dipersepsikan sebagai realitas pandangan dunia (world
view, welltanschaung) yang menyatakan nilai sistem kelompok atau
komunitas sosial tertentu untuk melegitimasikan kepentingannya.
Sementara pengertian dalam tataran negatif menyatakan bahwa
ideologi dipersepsikan sebagai realitas kesadaran palsu. Dalam arti
bahwa ideologi merupakan sarana manipulatif dan deceptive
pemahaman manusia terhadap realitas sosial.51
Ada sejumlah definisi terkait ideologi. Raymond Williams52
menemukan tiga penggunaan utama. Pertama, suatu sistem keyakinan
yang menandai kelompok atau kelas tertentu.Kedua, ideologi
merupakan suatu sistem keyakinan ilusioner-gagasan palsu- yang bisa
dikontraskan dengan pengetahuan sejati atau pengetahuan ilmiah.
51
Karl Manheim, Ideologi and Utopia An introduction to the sociologi of
knowledge,(London, Rouledge, 1979),h. 24. 52
Raymond William dalam Haroni Kerelawanan dalam Televisi Indonesia. Jakarta:FISIP
UI, 2009.
46
Ketiga, ideologi seringkali digunakan untuk sebuah proses umum
produksi makan dan gagasan.
Dalam perkembangan ilmu sosial, terminologi ideologi
mengalami banyak pemaknaan. Tapi secara ringkas, ideologi juga
dapat dilihat dalam tiga ranah acuan pokok:
Pertama, ideologi sebagai realitas yang bermakna
netral.Artinya, ideologi dimaknai sebagai keseluruhan sistem berpikir,
nilai dan sikap dasar rohani suatu kelompok sosial dan komunitas
kebudayaan tertentu.
Kedua, ideologi sebagai sebuah kesadaran palsu (false
consciousness).Pengertian ideologi sebagai sebuah kesadaran palsu
menyatakan bahwa ideologi merupakan sistem berfikir yang sudah
terdistorsi, baik secara sengaja maupun tidak disengaja.Ideologi dalam
pengertian ini adalah sarana kelas atau kelompok sosial tertentu untuk
mensahkan atau melegitimasikan asal sumber dan praksis kekuasaan
secara tidak wajar. Dalam pengertian ini, makna ideologi justeru
bernilai negatif.Artinya ideologi merupakan perangkat claim yang
tidak wajar atau sebuah teori yang tidak berorientasi pada nilai
kebenaran (meskipun kategori kebenaran sangat bernilai relatif),
melainkan sudah mengambil sikap berpihak pada kepentingan
tertentu.Objektifitaskebenaran merupakan jalinan dan rangkaian
kenbenaran subjektif yang disepakati bersama sebagai kebenaran
objektif.
47
Ketiga, ideologi sebagai sistem keyakinan yang tidak
rasional. Artinya, bahwa ideologi hanya sekedar rangkaian sistem
kepercayaan dan keyakinan subjektif (believe system).
Konsekuensinya adalah ideologi tidak membuka kemungkinan
pertanggung jawaban rasional dan objektif.53
Ideologi berkaitan dengan konsep seperti “pandangan dunia”,
sistem kepercayaan, dan nilai-nilai, namun ruang lingkup ideologi
lebih luas daripada konsep-konsep tersebut. Ideologi tidak hanya
berkaitan dengan kepercayaan yang terkandung mengenai dunia, tapi
juga cara yang mendasari definisi dunia. Oleh sebab itu, ideologi tidak
hanya tentang politik.Ideologi memiliki cakupan yang lebih luas lagi
dan mengandung makna konotasi.54
Ideologi merupakan sarana yang digunakan untuk ide-ide
kelas yang berkuasa sehingga bisa diterima oleh keseluruhan
masyarakat sebagai sesuatu yang alami dan wajar.55
Menurut Antonio Gramsci56
mengenai hegemoni media masa
adalah alat yang digunakan elit berkuasa untuk “melestarikan
kekuasaan, kekayaan, dan status mereka (dengan mempopulerkan)
falsafah, kebudayaan dan moralitas mereka sendiri.57
Di satu
53
Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Jakarta, Kanisius, 1992,h. 230-231.
54
Ulul Azmi, “Konstruksi Realitas Islam Di Media Massa: Analisis framing; Konflik
Palestina Israel Di Harian Kompas Dan Republika,” (skripsi S 1 Fakultas Dakwah Dan
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta,2008).
55
John Fiske, Cultural and Communication Stidiest, Sebuah Pengantar paling
Komprehensif, Jalan Sutera,h. 239. 56
James Lull, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan, Jakarta, Global,
1998,h.34
48
pihakmedia masa merupakan sebuah medium penyampai informasi
dan dipihak lain media masa dapat pula dijadikan sebagai alat
penyebar luasan ideologi golongan tertentu. Oleh karena itu, media
mssa seringkalimemiliki kepentingan tertentu.
Kekuatan yang bermain di dalam dan di luar media diyakini
memiliki pengaruh terhadap proses komunikasi yang dilakukan media
masa tersebut. Dalam beberapa kasus, pemberitaan media melibatkan
dominasi kelompok-kelompok dominan. Sebagai medium
penyampaian pesan, media memang tidak bisa bersifat netral.Begitu
pula pesan-pesan yang terkandung di dalamnya juga tidak bisa
dikatakan bebas nilai karena pesan-pesan tersebut mengandung
makna-makna tertentu dan seringkali mengandung pesan yang sarat
dengan muatan ideologis.
Teori-teori klasik ideologi diantaranya mengatakan bahwa
ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujauan untuk
memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka.58
Pengaruh media
masa yang begitu besar terhadap masyarakat membuat media masa
dijadikan alat oleh kelompok-kelompok tertentu dalam
mengomunikasikan ideologi-ideologi demi kepentingan mereka.
Shoemaker dan Reese59
melihat ideologi sebagai salah satu
faktor yang dapat memengaruhi isi media.Ideologi diartikan sebagai
58
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis teks Media,h. 13. 59
Shoemacker dan Roses dalam Ulul Azmi, “Konstruksi Realitas Islam Di Media Massa:
Analisis framing; Konflik Palestina Israel Di Harian Kompas Dan Republika,” (skripsi S 1
Fakultas Dakwah Dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta,2008).
49
suatu mekanisme simbolok yang berperan sebagai kekuatan pengikat
dalam masyarakat.Tingkat ideologi menekankan pada kepentingan
siapakah seluruh rutinitas dan organisasi media itu bekerja.
Hal ini tidak lepas dari unsur nilai, kepentingan dan kekuatan
atau kekuasaan apa yang ada dalam media tersebut. Kekuasaan
tersebut berusaha dijalankan dan disebarkan melalui media sehingga
media tidak lagi bersifat netral. Media bukanlah ranah netral dimana
berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan
mendapat perlakuan yang sama dan seimbang.60
Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa media seringkali
dijadikan alat oleh kelompok pemegang kekuasaan dan kekuatan
dalam masyarakat. Nilai yang dianggap penting bagi pemegang
kekuasaan disebarkan melalui media, sehingga isi media
mencerminkan apa yang diinginkan oleh pemilik kekuasaan tersebut.
Ideologi bekerja melalui bahasa dan bahasa adalah medium
tindakan sosial.61
Dalam media massa, aspek-aspek ideologi dapat
dilihat dari bagaiman mereka menyampaikan pesan kepada
khalayaknya. Dalam hal ini pesan-pesan disampaikan melalui simbol-
simbol baik verbal maupun non verbal. Simbol-simbol itu dapat
mewakili ide, perasaan, pikiran serta ideologi.Ideologi secara verbal
dapat diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur bahasa yang
dipakai.
60Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana,h. 55.
61
John b Thompson, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia,
(Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005),h. 19.
50
Bahasa yang akan dipakai dalam media massa ditentukan
oleh awak media itu sendiri, dalam hal ini wartawan dan editor
memiliki pengaruh besar dalam menentukan pilihan dan struktur
bahasa. Wartawan dan editor memilik kewenangan untuk menentukan
pilihan kata yang akan dipergunakan. Wartawan memutuskan apa
yang akan ia beritakan, apa yang akan diliput dan apa yang harus
disembunyikan kepada khalayak.62
Proses-proses tersebut menunjukan adanya kegiatan
penyeleksian berita. Proses penyeleksian akan menentukan berita
yang akan dimuat selanjutnya, sehiingga untuk memproduksi sebuah
berita banyak pihak-pihak dan faktor-faktor yang terlibat dan bermain
di dalamnya.
Ketika masyarakat digiring oleh pemahaman tentang sesuatu,
maka sesungguhnya itu adalah sebuah ideologi yang ditentukan oleh
berbagai pengaruh yang seringkali sangat halus. Media sangat
pentingkarena mereka langsung menampilkan sebuah cara untuk
memandang realita. Meskipun media menggambarkan ideologi secara
eksplisit dan langsung, suara-suara menentang akan selalu ada sebagai
bagian dari perjuangan dialektis antara kelompok-kelompok
masyarakat.
Media tetap saja didominasi oleh ideologi penguasa dan oleh
sebab itu mereka menghadapi suara-suara yang menentang dari dalam
62
Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans sudaris, Politik Media Mengemas Berita, (Jakarta: Arus
Stusi Informasi),h.21.
51
kerangka ideologi yang dominan, yang memberikan pengaruh pada
pendefinisian kelompok-kelompok sebagai “batas”. Ironi dari
mediaadalah bahwa mereka menampilkan ilusi keberimbangan dan
obyektivitas. Sementara dalam kenyataannya mereka merupkan
instrumen yang jelas dari tatanan yang dominan.
Tak dapat dipungkiri bahwa setiap media pasti mempunyai
ideologi atau bisa disebut doktrin-doktrin tertentu yang dipegang erat
dalam menjalankan tugasnya. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang ada disekitarnya. Masing-masing media dengan
ideologi institusinya mampu mengemas suatu peristiwa menjadi
realitas baru untuk dikonsumsi khalayak pembacanya.
5. Bias Keberpihakan Pada Media
Menurut Tichenor63
dalam bukunya “Community Conflict and
the Press” bagaimanapun kecilnya sebuah kontroversi, jika diliput dan
diberitakan oleh media massa akan berubah menjadi konflik yang
lebih besar. Paling tidak keberadaannya akan memiliki
legitimasi.Tanpa media massa, konflik akan menjadi berita kecil yang
terbatas daya jangkaunya.
Lebih lanjut Tichenor menilai, efek psikologis pemberitaan
konflik jauh melebihi apa yang bisa dicapai oleh konflik itu sendiri.
Dalam konteks inilah media menjadi sarana percepatan sebuah topik
63
Thinechor dalam Iwan Awaluddin“Judul Artikel”http://bincangmedia.wordpress.com
tanggal akses 21 Desember 2012
52
menuju kesadaran dan kepentingan masyarakat yang lebih tinggi dan
lebih luas64
Realitas media memberitakan konflik bukanlah persoalan
sederahana. Efek pemberitaan konflik melalui media massa memiliki
dua sisi ambivalen: mempertajam atau sebaliknya, mereduksi konflik.
Setidaknya ada tiga posisi media dalam memberitakan konflik.
Pertama, media sebagai issue intensifier: media berposisi
memunculkan konflik kemudian mempertajamnya. Dalam posisi ini,
media mengangkat realitas menjadi isu sehingga seluruh dimensi
konflik menjadi transparan.
Kedua, media sebagai conflict diminisher,yakni
menenggelamkan suatu isu atau konflik. Secara sengaja media
meniadakan isu tersebut, terutama bila menyangkut kepentingan
media bersangkutan, entah kepentingan ideologis atau pragmatis.
Ketiga, media berfungsi sebagai pengarah konflik (conflict
resolution), yakni menjadi mediator dengan menampilkan isu dari
berbagai perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai pada
penyelesaian konflik.Lewat pemberitaan di media, pihak yang terlibat
diharapkan memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka
dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap apriori yang semula
terbentuk.
64
Ibid
53
Menurut konsepsi “baku” etika jurnalisme, dalam pemberitaan
konflik, media yang diwakili oleh jurnalis dituntut berada dalam
“situasi tengah” antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Beberapa
pandangan meneguhkan bahwa tugas jurnalis yang utama adalah
menjalankan profesi secara independen dengan mengikuti kaidah-
kaidah jurnalistik. Jurnalis tidak boleh memihak salah satu pihak atau
hanya menyuarakan pihak tertentu dan menafikan keberadaan pihak
lain. Karena itu jurnalis tidak boleh membawa kepentingan salah satu
pihak yang bertikai. Semua pihak memiliki hak yang sama atas akses
informasi.65
Artinya, peran ideal seorang jurnalis dalam memberitakan
konflik adalah menjalankan tugas profesional. Saat bertugas, jurnalis
memiliki komitmen untuk mencari berita dan menginformasikannya
kepada pembaca sesuai standar teknis dan etika jurnalistik. Untuk
memenuhi tuntutan profesionalisme itu, jurnalis harus selalu menjaga
sikap netral, objektif, berimbang, akurat, dan benar sehingga jurnalis
harus berada dalam posisi independen dan tidak memihak.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Kovach66
bahwa, komitmen
kepada warga (citizen) yang dimiliki jurnalis seharusnya lebih besar
ketimbang egoisme profesional. Artinya, tugas utama seorang jurnalis
adalah bertanggung jawab kepada kepentingan warga. Kesetiaan pada
65Ibid,
66Kovach & Rosenthiel,_____________ 2004, h.59.
54
warga ini disebut Kovach sebagai independensi jurnalistik yang
sesungguhnya.
Dalam ranah kesadaran moral yang lebih luas, jurnalis
diharapkan memiliki kepekaan sosial sehingga mendorong terciptanya
arah penyelesaian konflik melalui berita yang ditulisnya. Jurnalis
bekerja tidak sekadar memberitakan tanpa memberi alternatif bagi
penyelesaian persoalan yang terjadi di ruang publik.
Sebaliknya, dengan tegas Subiakto67
menyatakan, dalam kondisi
apapun jurnalis harus tetap berpegang pada objektivitas, tidak boleh
memihak siapapun, kecuali kepada kebenaran. Jika prinsip
objektivitas berita dilakukan dengan benar, tanpa berpihak pun
pemberitaan pers akan menguntungkan publik atau rakyat.
Sebaliknya, jika jurnalis berpihak, pasti akan memunculkan persoalan.
Jurnalis akan menjadi lawan dari salah satu pihak yang yang
diberitakan. Jurnalis dianggap memusuhi suatu pihak dan membantu
pihak lain.68
Dua perspektif di atas seakan mempertajam perbedaan konsep
antara jurnalisme fakta dan jurnalisme makna, jurnalisme
konvensional dan jurnalisme modern. Ketika sebuah konflik
berkecamuk, kemanakah jurnalis harus berpihak, haruskah jurnalis
tetap menjaga dalil-dalil keseimbangan berita, sementara di satu sisi ia
punya kewajiban moral untuk aktif mereduksi konflik. Apakah tidak
67
Subiakto dalam http.MediaWatch.com diakses pada 11 Oktober 2012.
68Ibid
55
terkesan berlebihan jika jurnalis dibebani misi sebagai “juru damai”
bagi pihak-pihak yang bertikai, Ataukah jurnalis harus konsisten
bersikap netral dengan menegaskan posisinya sebagai pelapor fakta.
Harus disadari bahwa di level meso institusi sendiri, media
bukanlah lembaga yang terbebas dari prasangka, subjektivitas ataupun
kepentingan-kepentingan tertentu. Pemilik media berhak menentukan
kebijaksanaan terhadap suatu berita. Akibatnya, sebagai produk akhir
(mikro), berita bisa dibuat berdasarkan ragam kepentingan, terutama
berkaitan dengan ekonomi dan politik media.
Senada dengan konsep ini, Emka69
menilai, di tengah hiruk-
pikuk pertarungan kepentingan yang ada dalam masyarakat, media
selalu memiliki kepentingan sendiri. Bisa jadi sekadar kepentingan
bisnis untuk menaikkan tiras dengan menjual isu-isu panas mengenai
konflik yang terjadi di masyarakat atau kepentingan yang lebih
bersifat ideologis, termasuk kepentingan politik. Kepentingan
semacam ini mendorong wartawan menomorduakan kontrol
profesinya sehingga kemudian lahir liputan-liputan yang bias, tidak
berimbang, tidak adil, bahkan memperparah situasi konflik. Dalam
kondisi ketika pers sudah masuk dalam keberpihakan, tindakan
menyembunyikan atau memelintir fakta kebenaran—karena
dipandang tidak menguntungkan media—menjadi jamak dilakukan.
69
Ibid
56
Kenyataan demikian juga berangkat dari fungsi media yang
disadari maupun tidak, mampu menentukan pemikiran, persepsi,
opini, dan bahkan perilaku masyarakat. Pada saat itu media dipandang
sebagai penyampai imaji. Imaji ini tidak terbatas pada sesuatu yang
konkret-visual (kasat mata), melainkan juga sesuatu yang “tampak”
dan hadir pada batin sebagaimana yang sering disebut-sebut Horowitz
dengan “teori imajinasi”70
Media massa memiliki keterbatasan dalam menyajikan seluruh
realitas sosial sehingga ada proses seleksi saat para editor sebagai
gatekeeper memilih berita-berita mana saja yang akan dimuat atau
tidak. Pemilihan ini jelas sangat subjektif dan bergantung pada misi,
visi, nilai, atau ideologi yang ingin disampaikan media masa. Ketika
media menyelekasi pemuatan berita, media itu telah berpihak kepada
suatu nilai. Dalam kaitan ini, posisi media akan berada dalam tiga
kemungkinan keberpihakan, yaitu apakah media cenderung berafeksi
positif, netral,ataunegatif.
Keberpihakan yang paling mendasar terhadap suatu objek
menurut Berkowitz71
adalah perasaan mendukung (favourable)
maupun perasaan tidak mendukung (unfavourable). Lebih spesifik
lagi Thurstone mendefinisikan sikap berpihak sebagai derajat afeksi
positif atau afeksi negatif terhadap suatu objek psikologis.
70
Sobur dalam Ulul Azmi Konstruksi Realitas Islam Di Media Massa: Analisis framing;
Konflik Palestina Israel Di Harian Kompas Dan Republika, Skripsi S1, FIDKOM, UIN,
Jakarta,2008 71
Prakoso dalam Haroni Kerelawanan dalam Televisi Indonesia. Jakarta:FISIP UI,2009
57
Lalu dengan melihat perbedaan dasar paradigma dan perspektif
jurnalisme, bagaimana seharusnya wartawan bersikap dan berpihak
dalam meliput dan memberitakan konflik. Dimulai dari kewajiban
wartawan memahami dan mempraktikkan jurnalisme profesional
dengan menepati prinsip objektivitas pemberitaan. Kemudian setelah
standar dasar jurnalisme tersebut terpenuhi, wartawan hendaknya
menerapkan jurnalisme damai dalam setiap pemberitaan konflik yang
ditulisnya sehingga kontroversi tidak berlangsung berlarut-larut tanpa
arah penyelesaian.
Selanjutnya, agar berita yang disajikan kepada pembaca mampu
mengungkap realitas konflik secara komprehensif, wartawan juga
perlu bereksperimen kreatif dengan teknik peliputan ala jurnalisme
investigasi. Dan sebagai titik puncak dari “perjalanan menentukan
keberpihakan” ini, terutama dalam pemberitaan mengenai kasus-kasus
yang melibatkan kepentingan masyarakat luas, jurnalis berkewajiban
menerapkan jurnalisme publik sebagai bentuk pertanggungjawaban
kepada masyarakat.
Banyak pakar yang menyadari hal ini. Gordon Shield72
menegaskan betapa sulitnya keluar dari pengaruh pandangan ataupun
kepentingan komunitas tempat seseorang hidup, pengaruh strata
sosial, serta ideologi yang dipegang. Bahkan bahasa sebagai media
formal komunikasi tidak dapat digunakan secara obyektif, karena
7272
Andi Rosadi, Problematika Keberpihakan,mizanis.wordpress.com, diakses pada 21
Desember 2012
58
bahasa adalah bagian dari ekpresi budaya suatu komunitas tertentu,
yang mengandung banyak makna tersirat. Edward Car sudah
mengingatkan sejak dini bahwa penggunaan bahasa menghalangi
seseorang untuk berlaku netral.73
73Ibid
59
BAB III
PROFIL MEDIA CETAK
A. Profil Media Cetak
1. Sejarah Singkat Majalah Sindo Weekly
Di dalam tatanan negara maju, pers telah menjadi bagian yang
sangat penting, karena pers memiliki kekuatan dan peranan strategis
dalam mewarnai kehidupan ketatanegaraan.Pers berperan sebagai
penyeimbang dan kontrol terhadap jalannya pemerintahan/pilar
keempat dalam komunikasi (the fourth estate).Kekuatan inilah yang
mengantarkan pers pada urutan keempat setelah eksekutif, legislatif,
dan yudikatif.
Oleh karenanya, agar kekuatan dan peran pers yang sangat
besar itu tidak disalah artikan, pers dituntut untuk menggunakan
fungsinya dengan tepat sesuai dengan standar jurnalisme yang
benar.Pers juga harus memiliki peran penyeimbang agar tidak
menjurus ke arah trial by press. Inilah amanat yang akan dan harus
diemban majalah Sindo Weekly. Sebagai majalah pendatang baru
yang lahir di tengah ketatnya persaingan industri media masa di tanah
air.
Majalah Sindo Weekly menjadi surat kabar nasional terbesar
kedu yang mengalami pertumbuhan signifikan dalam waktu singkat.
Terbit perdana pada 30 Juni 2005. Dilahirkan oleh PT. Media
Nusantara Informasi (MNI), sub-sidiary dari PT. Media Citra (MNC)
60
yang menaungi RCTI, MNC TV, Global TV, dan Trijaya Network.
PT. MNC
Sebagai pendatang baru, Sindo Weekly memiliki
karakteristik tersendiri dalam pemilihan narasumber.Yaitu
kredibilitas, kualifikasi keilmuan, dan kompetensi.Ketiganya dianggap
syarat bagi tersampainya informasi yang akurat dan berimbang.Sajian
berita yang bersahabat, karena pemanfaatan bahasa dan image yang
ramah, aktual dan informatif, karena berita terkini disajikan dengan
ringkas dan jelas serta didukung dengan topik-topik yang hangat.
Majalah yang bersifat Young and Friendly Newspaper,
tercermin dari penggunaan bahasa yang renyah dan sarat dengan unsur
partisipasi publik, dan mampu menyajikan gaya hidup yang meliputi
in depthnews, lifestyle, sport, dan entertainment. Terbit selama 1 kali
selama 1 minggu, dengan format ukuran majalah pada umumnya.
Target pembaca adalah masyarakat kelas menengah ke atas,
pendidikan Sarjana, segmentasi usia 18 tahun ke atas. Dengan
diferensiasi pembaca laki-laki sebanyak 52% dan pembaca wanita
sebanyak 48%. Target distribusi Koran Seputar Indonesia adalah kota-
kota besar di seluruh Indonesia dengan jumlah pembaca sebesar 1 juta
orang.
61
2. Visidan Misi Majalah Sindo Weekly
a. Visi
Sindo Weekly ingin menjadikan berita yang disuguhkan tak
hanya menjadi berita biasa, tetapi juga dijadikan sebagai sumber
referensi terpercaya.Membuat Sindo weekly sesuai dengan
motonya yaitu “Satu Majalah Segala Berita”.
Sindo juga berusaha untuk menjadikan majalahnya tidak
hanya masuk pada kalangan tertentu saja, tapi bisa masuk ke
berbagai kalangan di masyarakat baik dari pekerja kantoran,
pengusaha, ibu rumah tangga, maupun pelajar.
b. Misi
Dengan konsep sebagai majalah berita utama, Sindo
senantiasa memberi berita yang ekslusif, aktual, akurat dan
mendalam. Namun, tetap bergaya dan penuh warna.
3. Struktur Redaksional
Pemimpin Umum: Hary Tanoesoedibjo
Wakil Pemimpin Umum/Pemimpin Perusahaan: Syafril Nasution
Wakil Pemimpin Perusahaan:Henry Suparman, Priscilla Diana Airin
- Pemimpin Redaksi: Sururi Alfaruq
- Redaktur Eksekutif: Andi Reza Rohadian
- Redaktur Senior: A. Margana Wiratma
- Redaktur Pelaksana: Asep Saefullah
62
- Kordinator Kompartemen: Alfian Hamzah, Asep Saefullah,
Miftah H. Yusufati, Riza Sofyat.
- Staf Redaksi: Irman Abdurrahman, Junaidi P, Hasibuan, M.
Sujai Farid, Nusantara Mulkam, Ranap Simanjuntak, Syafrizal
Arifin, Windarto.
- Reporter: Aji Nur Bramantio, Andi Panca Prasetya, Bona
Ventura, Debi Abdullah, I. Husni Isnaini, M. Restu wijaya, Oki
Akbar, Priyanto Sukandar,Wahyu Arifin, Siti Nurhayati,
Sukron Faisal, Tulus Santoso, Yohanes Tohap, Hotman
Tobing.
- Pengembangan Redaksi: Usman
- Kepala Sekertariat: Nila Kurniawati
- Redaktur Visual: Mulyawan
- Desain Grafis: Ghalih P. Wichaksono, Yoseph Mario Ricardo
- Ilustrator: Rangga Diyarto
- Pracetak: Iyet A. Hidayat, Habel Juza w, rudi Hidayat
- Fotografer: Mulyana (kordinator), Sutikno, Dimas Ramachdan,
Tatang Muchtar (riset)
- Penyunting Bahsa: Y Wahyu, Rasdi Dharma
- Dokumentasi dan riset: M. Hidayat, Saleh Suhaedi
- Teknologi Informasi: R. Yanuar Adnansyah, Slamet Gunawan
63
4. Kepemilikan Media
Dilahirkan oleh PT. Media Nusantara Informasi (MNI), dari PT.
Media Citra (MNC) yang menaungi RCTI, MNC TV, Global TV, dan
Trijaya Network. Dan PT. MNC
64
BAB IV
TEMUAN dan ANALISIS PENELITIAN
A. Analisis Framing Robert N Entman
Majalah Sindo Weekly (Seputar Indonesia) adalah majalah yang
terbit tiap satu kali dalam seminggu atau mingguan. Majalah ini adalah
perkembangan dari surat kabar Sindo yang terbit harian. Majalah Sindo
Weekly adalah majalah nasional satu-satunya yang terbit di daerah dengan
penyajian berita lokal yang dominan dan selalu dimuat sebagai headline
yaitu berita yang dianggap memilki syarat-syarat untuk disebut sebagai
berita terkuat juga berita-berita lainnya (bukan berupa sisipan). Berita local
majalah SindoWeekly diliput dari narasumber/ kejadian langsung secara
cepat dan akurat oleh wartawan-wartawan yang berkompeten. Majalah
Sindo Weekly memiliki sudut pandang tersendiri dalam membingkai suatu
realitas menjadi layak untuk dijadikan sebuah berita.
Disini majalah Sindo edisi No 27 tanggal 6-12 September 2012
mengangkat pemberitaan peristiwa yang berkaitan dengan aksi kekerasan
yang mengatasnamakan Agama. Salah satunya adalah yang telah terjadi
pada tanggal 26 agustus 2012, yaitu berupa aksi penyerangan terhadap
warga penganut Syiah di Sampang, Jawa Timur.
Penelitian ini menggunakan teori Framing model Robert N.
Entman. Berdasarkan pada data yang telah diperoleh dari berita-berita
majalah Sindo Weekly, maka selanjutnya yaitu melakukan analisis data
65
berdasarkan analisis Framing model Robert N. Entman, memuat empat
kerangka analisis yang terdiri dari empat konsep yaitu Define Problem
(definisi masalah), Diagnose Causes (memperkirakan masalah/sumber
masalah), Make Moral Judgemen (membuat keputusan moral), Treatmen
Recomendation (menekankan penyelesaian).74
Tabel 1.3
Framing Konflik Syiah Sampang pada Majalah Sindo Weekly
Problem identification
1) Tindakkekerasan warga Sunni
terhadap Warga Syiah Sampang
mengatasnamakan agama
Causal interpretasion
1) Dua fatwa sesat dari MUI Jawa
Timur dan Pengurus Cabang
Nahdlatul Ulama Sampang ,
2) wacana pemurnian agama
3) agitasi dari kalangan
penceramah dimajelis taklim.
Moral evalution
1) Warga negara harus menghargai
setiap perbedaan keyakinan
karena setiap individu/warga
negara dilindungi haknya dalam
konstitusi untuk memeluk agama
74Ibid h. 186
66
sesuai dengan keyakiannya
masing-masing.
Treatmen recomendation
1) MUI dan Kemenag dapat
mensosialisasikan tentang
ketiadaan fatwa sesat terhadap
Syiah.
(Majalah SindoWeekly No 27, Tahun 1, 6-12 September 2012)
a. Problem Identification.
Robert N Entman merumuskan cara bagaimana dan dari sudut
mana media melihat suatu kasus, dan hal itu dapat dikemukakan
dalam Problem Identification atau identifikasi masalah. Dengan
demikian, peneliti dapat mengetahui setiap masalah atau isu dikemas
dan dibingkai oleh media tersebut.
Tabel 1.4
Problem Identification
Aspek Entman Kutipan Teks
Problem Identification
1) Tragedi berdarah Sampang”
2) “Teror dan Penyerangan pada warga
Syiah”
3) “Sasaran teror berdarah”
Tabel 1.4 diatas menunjukkan bahwa Sindo Weekly pertama-
tama mengidentifikasi isu Syiah Sampang sebagai konflik yang
67
melibatkan dua aliran mazhab dalam Islam. Aksi Sampang ini
dipandang Sindo weekly sebagai aksi penyerangan dan teror berdarah
yang menjadikan warga Syiah Sampang sebagai korbannya. Sindo
Weekly pada paragraf ke dua dengan tegas menyatakan bahwa konflik
tersebut adalah “Tragedi berdarah Sampang”.
Kemudian hal itu dipertegas dengan pernyataan Sindo Weekly
pada paragraf ke empat sebagai berikut.
“ Lelaki itu adalah Muhsin labib, doktor Filsafat Universitas
Islam Negri Jakarta. Suaranya nampaknya mewakili sekitar satu juta
warga Syiah di Indonesia. Ia juga sekaligus menyuarakan keprihatinan
banyak kalangan atas teror dan penyeranganpada warga Syiah yang
hidup di tiga dusun udik di Kecamatan Omben, Sampang”. (Paragraf
4)
Pernyataan diatas menyatakan bahwa keberadaan warga
Syiah di Sampang selama ini terpojok, dan akhir-akhir ini menjadi
sasaran teror . Dengan demikian, Sindo Weekly mengidentifikasi isu
tersebut sebagai masalah aliran Mazhab Syiah yang menjadi korban
teror hingga penyerangan.
Sindo menggunakan kata “Lama” pada Lama Terpojok telah
memberikan pernyataan yang kurang akurat,. Penggunaan kata „lama‟
menunjukan tidak ada pengukuran yang jelas atas kurun waktu
tertentu. Kata lama diatas menggambarkan seakan-akan teror berdarah
di Sampang sudah berlangsung sejak lalu an masih terjadi hingga kini.
sebaiknyaSindo dapat menggunakan data objektif dalam bentuk
68
penjelasan tahun dan kurun waktu yang dapat diukur. Hal ini tampak
pada lead artikel seperti dibawah ini :
“Lama terpojok, warga Syiah di Sampang belakangan jadi
sasaran teror berdarah.” (Lead)
Pemilihan kata teror dalam kamus bahasa Indonesia75
perbuatan yang sewenang-wenang (kejam, bengis dan sebagainya)
bermakna suatu kondisi yang tidaklah baik bahkan sangat parah
karena kata teror merupakan kata yang berkonotasi negatif. Kata teror
sendiri dapat diartikan sebagai perbuatan yang terus menerus dalam
berbagai cara dan perilaku untuk menyakiti orang lain baik secara
fisik maupun sikologinya. Kata teror ini disandingkan dengan kata
berdarah yang membuat makna teror menjadi lebih kuat dan terkesan
mengandung aksi kekerasan yang menelan korban.
Penggunaan kata berdarah pada teks diatas juga mencoba
mengarahkan pembaca pada situasi dan kondisi yang sangat parah dan
sangat mengerikan. Meskipun pada peristiwa tersebut terdapat korban
jiwa dan korban luka-luka, namun Sindo hanya menggambarkan data
korban dari pihak Syiah, tanpa menyebutkan korban dari pihak Sunni.
Selain itu Sindo Weekly melihat isu ini sebagai aksi kekerasan
yang dilakukan berulang-ulang. Penggunaan istilah tragedi
penyerangan, terpojok, dan sasaran teror berdarah dalam satu artikel
sebanyak tiga kali mencoba mengarahkan pembaca pada fakta bahwa
75
Suharto, Tata Iryanto Kamus Besar Bahasa Indonesia Terbaru, Surabaya: PT. INDAH
Surabaya (Anggota IKAPI).
69
penyerangan, dan teror berdarah itu benar-benar terjadi dan warga
Syiah sebagai sasarannya. Hal ini memunculkan citra negatif tentang
kelompok Sunni khususnya di Sampang. Seakan-akan telah ada fakta
dan penyerangan terhadap warga Syiah.
b. Causal Interpretation
Selain merumuskan sudut pandang media dalam melihat suatu
isu, Robert N Entman juga memberikan rumusan pada level mana
suatu media dalam melihat, mencari dan mengemukakan suatu
penyebab permasalahan yaitu dalam Causal Interpretation atau
penyebab masalah.
Tabel 1.5
Causal Interpretation
Aspek Framing Entman Kutipan Teks
Causal Interpretation 1) “ terbitnya dua fatwa sesat”
2) “agitasi dari kalangan
penceramah yang
menjadikan majlis taklim
dan tabligh akbar tak
ubahnya forum
pengkafiran Syiah”
3) “Fitnah pada Syiah”
4) “pisau cukur pemurnian
agama”
70
5) “cap sesat”
Pada tabel 1.5 diatas menunjukkan bagaimanaSindo Weekly
mengutip beberapa pernyataan dari narasumber yang mengungkapkan
penyebab dari terjadinya konflik tersebut sebagai landasan
pernyataannya dalam menentukan penyebab permasalahan.
Sebagaimana dikutip Sindo weekly dari pernyataan narasumber,
Muhsin Labib, dibawah ini;
“Pangkal dari semua ini adalah terbitnya fatwa sesat”. (p.7)
“Fatwa sesat dari ulama lokal disebut-sebut sebagai pemicunya.
Banyak yang lupa bahwa Syiah bukan mazhab kemarin sore”. (Lead)
Kutipan dan pernyataan diatas menyebutkan penyebab
permasalahan atas kasus konflik Syiah Sampang. Beberapa pernyataan
tersebut menunjukkan penyebab yang paling kuat disebutkan Sindo
Weekly adalah lahirnya fatwa sesat terhadap Syiah yang ditelurkan
oleh dua perkumpulan ulama lokal sebagai pemicunya. Kemudian
ditambah dengan adanya tudingan pekatnya agitasi dari kalangan
penceramah yang menjadikan majlis taklim dan tabligh akbar tak
ubahnya sebagai forum pengkafiran Syiah.
Penyebutan adanya fatwa sesat dari dua perkumpulan ulama
lokal sebagai pemicu tidak didukung oleh data hasil riset atau dengan
kata lainpenyebab ini kurang akurat. Akan tetapi Sindo Weekly tetap
mengulang-ngulang pernyataan tersebut. Penyebutan fatwa sesat dari
71
dua kumpulan ulama lokal sebagai penyebab dan penyebutan nama
dua aliran dalam Islam tersebut bagaimanapun dapat menimbulkan
prasangka negatif terhadap orang Islam, khususnya pada ulama-ulama
aliran mazhab Sunni yang disebut sebagai penyebab munculnya
masalah. Tampak ada pandangan stereotipes bahwa orang Sunni
melakukan aksi fitnah sebagaimana tampak pada teks dibawah ini:
“dalam draft buku mazhab Syiah yang diterima redaksi Sindo
Weekly pekan ini, intelektual dan ulama Syiah di Indonesia
menghabiskan 130 halaman lebih untuk menjawab apa yang mereka
gambarkan sebagai Fitnah pada Syiah”(paragraf 15)
Pada kutipan selanjutnya juga terdapat kata forum pengkafiran
Syiah yang bermakna sebagai perkumpulan orang yang menganggap
penganut Syiah adalah orang-orang kafir. Sementara Sindo Weekly
tidak menuliskan bukti kongkrit mengenai keberadaan forum itu
seperti bentuknya bagaimana, siapa tokohnya, dimana forum itu
dilakukan, dan sebagainya. Hal ini nampak pada teks dibawah ini:
“berbagai kalangan menuding pekatnya agitasi dari kalangan
penceramah yang menjadikan majlis-majlis taklim dan tabligh akbar
tak ubahnya forum pengkafiran Syiah” (paragraf 14)
Teks selanjutnya yakni pada paragraf ke 12, tertulis kata‟ pisau
cukur‟ pemurnian agama. Kata pisau merupakan nama benda yang
dalam kamus bahasa Indonesia76
berarti benda tajam atau alat
pemotong, alat pencukur, alat pencacah yang dapat melukai dan
menyakiti siapa saja yang menggunakannya dengan tidak hati-hati dan
76
Ibid
72
benda tersebut merupakan benda berbahaya. Sindo Weekly mencoba
mengarahkan pembaca bahwa bahwa apa yang dilakukan terhadap
warga penganut Syiah merupakan perbuatan berbahaya yang dapat
melukai dan menyakiti warga Syiah.
Penggunaan kata „pemurnian‟ dapat diartikan sebagai
pembersihan, pengembalian sesuatu hal yang sudah keluar dari jalur
yang sebenarnya. Dengan kata lain, Sindo Weekly kembali
mengarahkan pembaca bahwa aliran Sunni menilai Syiah sebagai
aliran atau mazhab yang harus dibersihkan atau dikembalikan kembali
kepada jalur yang sebenarnya agar tidak sesat atau dengan kata lain
kembali menjadi Sunni. Hal ini ditunjukkan pada teks dibawah ini:
.“khususnya di Madura dalam beberapa tahun terakhir, orang-
orang Syiah menjadi pisau cukur ’pemurnian agama’. (paragraf 12)
Kesan ini semakin kuat ketika Sindo weekly menuliskan
kutipan-kutipan orasi dari Muhsin Labib, seorang Doktor Filsafat
Universitas Islam Negri Jakarta yang ditulis dengan tambahan istilah
“sinis” sebagai bentuk ekspresi dari Muhsin Labib. Pemilihan kata
“sinis” dapat memberikan makna bahwa Muhsin Labib mengucapkan
orasi tersebut dengan emosi, antipati dan kemarahan terhadap pelaku
kekerasan tersebut, yang diarahkan pada kelompok Sunni. Berikut
kutipan orasi dan penambahan istilah “Sinis” tersebut.
“menjadi non-muslim saja dibolehkan oleh konstitusi, apalagi
untuk menjadi tidak Sunni” Katanya sinis.(paragraf 2)
73
“ini negara dibangun oleh jasa para pahlawan dari berbagai
agama dan ras. Tidak ada orang yang berhak menganggap negara ini
properti milik satu agama atau satu mazhab. Ini negara pancasila, ini
negara Bhineka Tunggal Ika”(paragraf 3)
Kutipan orasi dari Muhsin Labib diatas juga menjelaskan bahwa
di negeri ini, menjadi tidak muslim atau beragama selain muslim saja
diperbolehkan oleh konstitusi, terlebih untuk menjadi tidak Sunni atau
menjadi penganut aliran mazhab Islam lainnya. Dengan kata lain,
memeluk aliran Syiah adalah perbuatan yang sesuai dengan UU dan
peraturan sehingga tidak ada warga negara yang berhak untuk
melarang. Pihak Sunni maupun agama dan aliran lain tidak ada hak
untuk memaksakan kehendaknya pada kelompok lain untuk menganut
keyakinan mereka.
Pada penentuan penyebab masalah ini, tampak bagaimana sudut
pandang Sindo weekly melihat isu Syiah Sampang. Sementara itu pada
beberapa bagian teks, Sindo Weekly menuliskan beberapa alasan atau
penyebab penyerangan yang dilakukan oleh warga Sunni terhadap
warga syiah Sampang. Penyebab lainnya adalah cap sesat kejaksaan
terhadap mahzab Syiah, yang ditunjukkan pada teks dibawah ini:
“laporan Kejaksaan memberi cap sesat terhadap mazhab Syiah
yang dianut warga Sampang, sebab mereka punya rukun Iman dan
rukun Islam yang berbeda dari kalangan sunni. Syiah juga disebutkan
punya cara shalat yang berbeda, kalimat adzan yang berbeda, dan
bahkan al‟qur‟an yang „tidak Orisinil‟.” (paragraf 12)
Kutipan diatas menggambarkan bahwa kesesatan Syiah didasari
alasan yang kuat yakni adanya perbedaan rukun Iman dan Islam, cara
74
shalat, adzan dan kitab suci. Bahkan Sindo Weekly memperkuat
argumen sesat ini dengan menggunakan kata “Al‟qur‟an yang tidak
orisinil” sebagai tuduhan adanya pemalsuan pada kitab suci Al‟qur‟an
yang digunakan oleh kaum Syiah.
Penyebab konflik Syiah dan Sunni yang terjadi di Sampang juga
terdapat pada paragraf ke tiga belas. Pada kutipan itu, terdapat
ungkapan bahwa kehadiran Syiah merupakan biang kerok keresahan
warga. Selain itu adanya ajaran dari seorang tokoh, Tajul Muluk, yang
disebut pinpinan warga Syiah di Sampang dan dianggap sebagai
penista dan penoda agama oleh kaum Sunni. Hal ini ditunjukkan pada
kutipan dibawah ini:
“MUI Jawa Timur menyebutkan kehadiran Syiah Sampang
sesat dan menyesatkan, biang kerok keresahan warga masyarakat.
Ajaran tajul Muluk menyesatkan, terbilang penistaan dan penodaan
terhadap agama Islam” (paragraf 13)
Pemilihan kata penista dan penoda agama memiliki makna
yang dalam. Dimana penista dalam kamus bahasa Indonesia 77
berarti
suatu perilaku yang buruk karena bisa juga diartikan sebagai
penghinaan dan penghianatan, sementara kata penodaan juga memiliki
makna mengotori, merusak, dan mencemarkan (agama Islam).
Sementara itu, pada teks diatas disebutkan nama MUI Jawa Timur
yang menyebutkan kehadiran Syiah Sampang sebagai biang kerok,
namun Sindo Weekly tidak memberikan sumber data narasumber yang
77
Suharto, Tata Iryanto Kamus Besar Bahasa Indonesia Terbaru, Surabaya: PT. INDAH
Surabaya (Anggota IKAPI).
75
jelas tentang siapa nama anggota MUI Jawa Timur yang
mengungkapkan pernyataan tersebut. Penggunaan kutipan dari MUI
Jawa Timur oleh Sindo Weekly ingin mengarahkan pembaca bahwa
kutipan itu adalah pernyataan resmi dari MUI sebagai lembaga yang
memiliki kewenangan untuk melahirkan fatwa di Indonesia. Dengan
tidak ada data narasumber yang jelas maka Sindo telah melakukan
klaim tanpa fakta.
c. Moral Evalution
Selanjutnya, Robert N Entman merumuskan Moral Evolution
atau tindakan moral. Pada aspek ini, kita dapat melihat pesan moral
apa yang disajikan media terhadap penyajian dan pengemasan suatu
isu dalam pemberitaannya. Kutipan mengenai Moral Evolution
tersebut dapat dirumuskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.6
Moral Evolution
Aspek Framing Entman
Moral Evolution
Kutipan Teks
1) “menjadi non-Muslim saja
dibolehkan oleh konstitusi
negara, apalagi untuk
menjadi tidak Sunni
2) “ Warga Negara Indonesia
memiliki hak, dijamin
konstitusi dan harus
76
dilindungi tanpa
diskriminasi”
Majalah Sindo Weekly menilai tragedi kekerasan yang terjadi di
Sampang merupakan bukti bahwa kesadaran dan toleransi dalam
beragama di negeri ini masih patut dipertanyakan. Pertikaian yang
terjadi disampang sebagai pertikaian antar dua aliran mazhab ini
disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Majalah Sindo Weekly mengutip beberapa pernyataan Muhsin
Labib dalam orasinya mengenai aksi kekerasan di Sampangbahwa
negeri ini menjamin hak setiap warganya dalam memeluk agama.
“menjadi non-Muslim saja dibolehkan oleh konstitusi negara,
apalagi untuk menjadi tidak Sunni” kata Muhsin Labib (paragraf 2)
Kekuatan hak asasi itu kemudian diperkuat oleh pernyataan
dari sekelompok intelektual dan tokoh lintas agama yang menyatakan
penyesalannya. Sebagaimana diungkapkan H. Achmad Zaini, ketua
Umum Forum Intelektual 45 jawa Timur:
“warga penganut Syiah di Sampang adalah warga Negara
Indonesia yang memiliki hak, dijamin konstitusi, dan harus
dilindungi tanpa diskriminasi” (paragraf 5)
Dalam kutipan pada paragraf lima, Sindo Weekly tampak
membuat penilaian moral kepada pembaca tentang bertoleransi dalam
perbedaan dan bagaimana seharusnya hidup berdampingan secara
77
rukun, damai dan sejahtera dalam perbedaan. Sindo Weekly
menegaskan bahwa penyerangan yang dilakukan oleh warga Sunni
terhadap warga Syiah Sampang merupakan pelanggaran hak asasi
manusia karena UU telah menjamin setiap warga negara untuk
memeluk agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Pada akhir
kutipan tersebut diatas juga terdapat kata „tanpa diskriminasi‟ yang
artinya tanpa ada membeda-bedakan dan memilih warga negara hanya
karena perbedaan keyakinan, suku, adat, budaya dan sebagainya.
Pada kutipan selanjutnya dibawah ini, Sindo Weekly juga
mengutip pernyataan dari Ketua Pengurus Besar NU, K.H. Said Aqil
Siroj yang memberikan penjelasan bahwasanya Universitas-
universitas Timur Tengah mengakui Syiah adalah mazhab sah dalam
Islam , meskipun berbeda dengan Sunnah. Ditambahkan lagi dalam
pernyataan K. H . Said Aqil Siroj bahwa Islam tidak pernah
memaksakan kehendak setiap individu dalam beragama. Pernyataan
tersebut terdapat pada teks berikut.
“Islam tak pernah menolelir pemaksaan dalam beragama. Laa
Iqraha Fiddin”
Sindo Weekly juga menyebutkan bahwa tragedi Syiah Sampang
ini merupakan tragedi nasional yang memprihatinkan dan menyisakan
duka umumnya bagi seluruh warga Indonesia, khususnya bagi warga
Syiah sampang yang disebut-sebut sebagai korban. Pada aspek diatas,
Sindo mencoba memberikan nilai atau pesan moral kepada pembaca
bahwa perbuatan kekerasan tersebut bukanlah perbuatan yang positif ,
78
namu justru berdampak buruk bagi siapapun khususnya warga Syiah
sebagai korban dan seluruh warga negara Indonesia. Peristiwa konflik
Sampang ini pada akhirnya hanya menyisakan rasa keprihatinan bagi
keluarga korban dan menimbulkan kerugian materil yang tidak
sedikit. Hal tersebut tampak pada teks berikut.
“Tragedi Syiah sampang ini merupakan tragedi Nasional yang
memprihatinkan. Dimana anak-anak diyatimkan, para istri dijandakan,
puluhan rumah dan segala macam hasil ternak dibumi hanguskan
seolah pelakunya tak berprikemanusiaan” (paragraf 17)
“keprihatinan baru menggema setelah ada anak diyatimkan, ada
perempuan dijandakan, puluhan rumah dibakar” (paragraf 17)
d. Treatmen Recomendation
Aspek terakhir pada model Entman adalah Treatment
recomendation atau penyelesaian yang dikemukakan suatu media
dalam penyelesaian masalah yang ada. Pada bagian ini media
memberikan penyelesaian dari permasalahan yang diberitakan. Hal ini
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1.7
Treatmen Recomendation
Aspek Framing Entman
Treatmen Recomendation
Kutipan Teks
1) “Majelis Ulama Indonesia
dan Kementrian Agama
menanggung tugas
menjelaskan ke
79
masyarakat bahwa Syiah
tidak‟sesat‟ , merupakan
bagian dari Islam”
Solusi yang ditawarkan oleh Sindo Weekly ditunjukkan pada
teks dibawah ini yang mengutip pendapat Ketua DPR Marzuki Ali:
“Majelis Ulama Indonesia dan Kementrian Agama menanggung
tugas menjelaskan ke masyarakat bahwa Syiah tidak‟sesat‟ dan
merupakan bagian dari Islam” (paragraf 5)
Teks diatas menyimpulkan bahwa menurut Sindo Weekly
penyelesaian konflik Syiah di Sampang adalah tugas dari Majelis
Ulama Indonesia dan Kementrian Agama.Sindo Weekly tidak
memberikan ungkapan lain mengenai bagaimana langkah
penyelesaian terhadap masalah Syiah Sampang tersebut, melainkan
hanya memuat kutipan-kutipan dari narasumber yang bersangkutan.
Solusi terbatas yang ditawarkan oleh Sindo Weekly
diasumsikan karena pada teks berita mengenai isu Syiah Sampang ini,
Sindo Weekly tidak mencari akar penyebab masalah secara mendetail.
Hal itu juga diungkapkan secara langsung oleh Asep saefullah
Redaktur Pelaksana Sindo Weeklydalam wawancara:
” Simpel saja, kami tidak mengangkat akar permasalahan dari konflik
karena itu sudah diangkat media lain. Hal tak kalah penting, kita
sering lupa bahwa banyak orang yang bahkan tidak pernah tahu dan
mengerti apa dan siapa syiah itu sebenarnya. Hanya ingin menjelaskan
itu saja”.
80
Dengan demikian, pada penyelesaian masalah yang ditawarkanpun
Sindo Weekly hanya sebatas memuat kutipan dari narasumber yang
telah ditentukan seperti kutipan dari Ketua DPR Marzuki Ali.
B. Konstruksi Media Masa “Sindo Weekly” atas Isu Konflik Syiah-Sunni,
Sampang
Di dalam industri pers terdapat banyak unsur dan faktor yang
terlibat dan berpengaruh pada sistem kerja dan produk yang dihasilkan.
Lalu bagaimana industri pers tadi menjalankan peran dan fungsinya dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, terutama informasi
terkait sebuah peristiwa konflik.
Peran media massa dalam situasi konflik seperti ini menjadi sangat
penting. Dari tiga peranan media massa dalam kasus konflik, hanya dua
peran yang diambil, yakni sebagai pemertajam konflik dan sebagai
penyembunyi konflik. Tidak satupun yang menempatkan dirinya sebagai
bagian dari proses penyelesai konflik.78
Bagi masyarakat umum, berita dari sebuah media dipandang sebagai
barang suci yang penuh obyektifitas. Namun, berbeda dengan kalangan
tertentu yang memahami betul gerak pers. Mereka akan menilai lebih
dalam terhadap pemberitaan.Kenyataan ini seperti mengamini bahwa
media berhasil dalam tugasnya merekonstruksi realitas dari peristiwa itu
sendiri, sehingga pada akhirnya pembaca terpengaruh dan memilki
pandangan seperti yang diinginkan media dalam menilai suatu peristiwa.
78 Sumartono, Konflik Disajikan dalam Isi Media, http://SumartonoEsaUnggul.com
81
Isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai
dasarnya, sedangkan bahasa bukan saja alat mempersentasikan realitas,
tetapi juga menentukan relief seperti apa yang hendak diciptakan bahasa
tentang realitas tersebut. Akibatnya media masa mempunyai peluang yang
sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan
dari realitas yang dikonstruksinya.79
Framing adalah bagaimana untuk mengetahui persfektif atau cara
pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan
menulis berita. Konsep ini telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu
komuikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan
aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media. Berita yang muncul di
media seringkali diandaikan sebagai suatu kebenaran yang faktual karena
harus berdasarkan fakta.
Disinilah seorang jurnalis (wartawan) dituntut oleh masyarakat agar
dapat memberikan informasi yang cepat, akurat,seimbang dan sesuai
dengan fakta yang ada. Sehingga seorang wartawan harus mampu bersikap
obyektif dalam menjalankan tugasnya. Jika tidak demikian, maka bias
keberpihakan pada media akan nampak terlihat jelas.
Idealisme seorang jurnalis menjadi taruhannya ketika ia harus
melawan nuraninya sendiri. Di antara tuntutan profesi dan kepentingan
bisnis (keuntungan perusahaan tempat ia bekerja) yang mengharuskannya
membidik suatu peristiwa yang layak dijual. Dalam konteks ini,
79Ibnu Hamad, Muhammad Qadari dan agus Sudibyo, Kabar-Kabar Kebencian, Institut
Studi Arus Informasi, PT. Sembrani Akasara Nusantara, Jakarta: 2001, h. 74-75.
82
bagaimana seorang jurnalis membidik suatu peritiwa konflik akan
berpengaruh pula pada peran institusi media tempat ia bekerja.
Banyak hal yang dapat menimbulkan berbagai perspektif tentang
bias keberpihakan media. Meskipun wartawan bekerja secara profesional
dengan mencari berita sesuai fakta dan data yang ada, namun tingkat
produksi tidak dapat dihindari sebagai proses konstruksi realitas yang
sebenarnya. Hal tersebut diliputi berbagai faktor seperti adanya
kepentingan politik media dan faktor ideologi media tersebut.
Media mengkonstruksi fakta peristiwa disesuaikan dengan ideologi,
kepentingan, keberpihakan media dalam memandang sebuah berita.
Wacana atau peritiwa yang akan diberitakan tidak akan terlepas dari
pertimbangan menguntungkan tidaknya pemberitaan tersebut terhadap
media yang bersangkutan.80
Disaat krisis, pers seharusnya memberikan informasi yang seimbang,
sehat, dan menenangkan suasana, dan bukan memprovokasi publik.
Secara ideal pers atau media seharusnya menyediakan informasi yang
jujur, jernih dan seluas mungkin mengenai apa yang layak dan perlu
diketahui oleh masyarakat sehingga dapat membantu meredakan dan
menyelesaikan krisis.
Pemberitaan media yang berisi konflik dapat membawa pengaruh
pada dua hal. Pertama pemberitaan media justru memperluas eskalasi
konflik dan kedua, dapat membantu meredakan dan menyelesaikan
80
Ibid
83
konflik81
. Pendapat yang saling bertentangan diharapkan akan bermuara
pada satu kesepakatan penyelesaian. Pendapat seperti ini walaupun masuk
akal namun belum terbukti secara empiris yang dapat dijadikan pegangan
untuk membenarkan asumsi tersebut.
Berdasarkan pengalaman dari berbagai peristiwa konflik yang terjadi
di Indonesia , peran media banyak dikaburkan oleh institusi media itu
sendiri dalam meliput dan menyampaikan beritanya. Sebut saja konflik
Syiah Sampang yang terjadi di Madura, berita mengenai konflik agama
tersebut cukup banyak dimuat di media masa. Setiap media mempunyai
bingkai yang berbeda dalam melihat, mengemas hingga menyajikan suatu
peritiwa.
Konflik Syiah Suni yang digambarkan dalam pemberitaan majalah
Sindo Weekly merujuk pada asumsi yang menyatakan bahwa konflik
tersebut merupakan konflik antar dua aliran mazhab yang berbeda dalam
Islam. Di mana konflik tersebut melibatkan dua kelompok yang memiliki
pandangan berbeda terhadap sesuatu yang sama-sama mereka akui
kebenarannya.
Salah satu bukti majalah Sindo Weekly melakukan konstruksi
media terhadap realitas konflik Syiah-Sunni Sampang, yaitu majalah
tersebut tidak mengembangkan permasalahan hingga akarnya. Ditambah
lagi, konstruksi yang dilakukan majalah Sindo Weekly adalah bahwa
majalah tersebut lebih fokus menghadirkan informasi mengenai apa itu
81Sieber dalam Sumartono, Konflik Disajikan dalam Isi Media,
http://SumartonoEsaUnggul.com
84
Syiah beserta konstribusi Syiah khususnya dalam perkembangan dunia
Islam lengkap dengan digambarkannya informasi tingkat penganut Syiah
di seluruh dunia.
Untuk membuktikan adanya konstruksi majalah Sindo Weekly
tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara penulis dengan Asep Saefullah
seorang Redaktur Pelaksana majalah Sindo Weekly. Pemilihan topik, judul
berita dan narasumber memang telah memalui proses panjang yang
sebelumnya dirapatkan oleh para tim redaksi yang menurutnya kompeten.
Diangkatnya orasi Muhsin Labib dikarenakan dua alasan yakni pertama,
isi dari orasi tersebut menyuarakan aspirasi seseorang yang merasa
prihatin terhadap warga Syiah yang menjadi korban penyerangan. Kedua,
dipilihnya narasumber Muhsin Labib seorang doktor Filsafat Universitas
Islam Negeri Jakarta yang menurut tim redaksi Sindo Weekly memiliki
kredibilitas, di mana Muhsin Labib memiliki kepedulian terhadap warga
Syiah Sampang. Selain itu, Muhsin Labib sendiri merupakan narasumber
yang sudah beberapakali menulis artikel di majalah Sindo Weekly.
Kutipan orasi Muhsin Labib diatas menurut Asep Saefullah
memang sengaja diekspos. Menurutnya,” isi orasi tersebut mewakili tim
produksi untuk mempermudah menjelaskan kepada pembaca kemana arah
topik berita yang disajikan majalah Sindo Weekly, yang memang lebih
menonjolkan profil Syiah dan ingin memberitahu khalayak apa dan siapa
Syiah itu sebenarnya, di sini majalah Sindo Weekly tidak mengangkat
berita mengenai konflik Syiah Sampang itu sendiri secara detail”.
85
Beberapa pernyataan dari Asep Saefullah tersebut terlihat begitu
kontras dengan apa yang ditulis pada pemberitaan majalah Sindo Weekly
mengenai isu konflik Syiah Suni Sampang. Pada lead majalah Sindo
Weekly menjelaskan kondisi warga Syiah yang menjadi korban
penyerangan dan teror berdarah, hal ini telah menggambarkan bahwa ada
konflik yang terjadi di Sampang, sementara Asep Saefullah selaku
Redaktur Pelaksana majalah Sindo Weekly menyatakan bahwa “mereka
tidak mengeksplor berita mengenai konflik melainkan lebih mengeksplor
info mengenai profil dan sejarah Syiah saja”. Dua hal yang terlihat sangat
bertolak belakang.
Pada halaman delapan belas dan sembilan belas majalah Sindo
weekly memuat kutipan wawancara dari dua narasumber. Pemilihan
narasumber tersebut adalah Hassan Alaydrus, Ketua Umum Ahlul Bait
Indonesia yang merupakan organisasi Syiah terbesar di Indonesia dan
K.H. Amidhan Ketua Majelis Ulama Indonesia. Dapat dilihat dari siapa
tokoh yang menjadi narasumber tersebut bahwasanya majalah Sindo
Weekly melakukan ketimpangan karena tidak memberikan hak suara
kepada pihak Sunni seperti yang dilakukan kepada pihak Syiah. Adapun
cuplikan wawancara dengan Ketua MUI itu bukanlah hak bicara dari pihak
Sunni karena MUI sendiri merupakan wadah untuk mengeluarkan fatwa
bagi seluruh warga pemeluk Islam di Indonesia secara umum. Jadi disini
nampak jelas adanya bias keberpihakan pihak media majalah Sindo Weekly
86
dalam mengemas dan menyampaikan hingga membingkai berita mengenai
konflik Syiah Suni Sampang.
Dari pernyataan redaktur pelaksana majalah Sindo Weekly diatas,
dalam memproduksi dan mengkonstruksi realitas sosial majalah Sindo
Weekly tentunya memiliki beberapa faktor. Pertama adanya kepentingan
ideologi baik dari penulis maupun ideologi media (majalah Sindo Weekly),
kemudian, adanya kepentingan politik yang ada dalam ruang lingkup
lingkungan konflik tersebut. Dimana para aktor politik senantiasa
menjadikan konflik sebagai bentuk pengalihan isu-isu politik yang telah
ada sebelumnya. Terahir adalah faktor agama dan keyakinan. Kedua,
mengenai peran wartawan dan penulis teks berita konflik Syiah Suni
tersebut. Wartawan dan penulis memberikan pengaruh terhadap
menentukkan realitas apa yang akan diangkat kepada kahalayak. Hal
tersebut nampak pada pemilihan kata, sudut pandang dan alur
penceritaannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wartawan
dan penulis berita tersebut adalah seorang penganut aliran Syiah atau
bukan.
Media massa majalah Sindo Weekly telah melakukan konstruksi
realitas atas konflik Syiah-Sunni seolah Syiahlah yang benar, hal tersebut
disampaikan kepada khalayak/pembaca dengan keberpihakannya.
Tujuannya agar pembaca memiliki pandangan hingga akhirnya
menciptakan opini publik setidaknya diharapkan sesuai dengan pandangan
frame majalah Sindo Weekly itu.
87
Itulah tujuan media, menciptakan agar khalayak memiliki opini
yang sama dan sesuai dengan pandangan media terhadap suatu peristiwa
berdasarkan ideologi dan kepentingan media majalah Sindo Weekly itu.
Sadar atau tidak pembaca telah terperangkap oleh pola konstruksi media.
Mencermati dua kemungkinan tersebut, tampaknya kemungkinan
pertama lebih terbuka terjadi melalui pemberitaan suatu konflik oleh
media massa. Hal ini nampak dan dapat dicermati, misalnya pada konflik
Ambon. Konflik yang semula adalah perkelahian antara pemuda Mardika
(kampung Kristen) dengan pemuda Batumerah (kampung Muslim) dalam
memperebutkan sumber daya ekonomi akhirnya berkembang menjadi
sentimen antar kelompok agama. Perkembangan selanjutnya konflik
meluas hingga ke kepulauan Maluku. Perluasan eskalasi konflik ini
kemudian meluas lagi menjadi isu nasional dan internasional.
Konflik banyak kita temukan di media massa. Tetapi dari segi
kualitas hal itu belum menjamin perbaikan situasi konflik dan krisis yang
berlangsung. Kebanyakan informasi tentang konflik yang tersaji di media
masa hanya bersifat permukaan, parsial, sepotong-potong, tidak
proporsional, sebagian besar hanya menekankan aspek kekerasan dan
konflik terbuka saja, bukan pada aspek situasi, akar masalah yang bisa
mendukung perbaikan situasi dan perdamaian.
Indonesia merupakan negara multi etnis yang memiliki aneka
ragam suku, budaya, bahasa, dan agama bersatu di bawah semboyan
Bhineka Tunggal Ika, namun tidak demikian halnya pada kenyataan.
88
Keaneka-ragaman dan perbedaan itu merupakan potensi terpendam
pemicu konflik. Pakar studi konflik dari Universitas Oxford, France,
Steward82
menyebutkan empat kategori negara yang berpotensi konflik.
Keempat kategori adalah negara dengan tingkat pendapatan dan
pembangunan manusianya rendah, negara yang pernah terlibat konflik
serius dalam 30 tahun sebelumnya, negara dengan tingkat horizontal yang
tinggi, dan negara yang rezim politiknya berada dalam transisi rezim
represif menuju rezim demokratis.
Indonesia bisa masuk dalam keempat kategori tersebut sekaligus.
Dalam kungkungan rezim Orde Baru, media massa kita dipaksa untuk
berhati-hati dalam pemberitaan mereka atas kasus-kasus yang ber-nuansa
Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA). Wacana tentang etnis, ras
dan agama selama ini menjadi hal yang selalu ditutup-tutupi dan tabu di
kalangan masyarakat. Di era Reformasi, kebebasan pers telah
menghadirkan segala kekacauan yang selama era Orde Baru selalu ditutup-
tutupi.
Pemberitaan media atas sejumlah isu memperlihatkan munculnya
keberanian dan kejujuran dalam menentukan sikap. Pada era Orde Baru,
tuntutan itu coba dipenuhi dengan meman-faatkan media masa. Dalam
konteks ini media masa sebagai salah satu pilar terbentuknya negara
demokratis dan masyarakat madani. Media massa menjadi wadah
82http://Kompas.com’03 diakses pada 16 Desember 2012
89
perbedaan pendapat yang sehat; tidak bertendensi memojokan kelompok
yang berseberangan dengan dirinya.83
Pada Era Reformasi krisis, dan konflik menjadi lebih tajam dan
tampak semakin dramatis diberitakan melalui liputan pers. Konflik Ambon
dan Maluku Utara yang bernuansa agama memperlihatkan dengan jelas
sikap dan posisi yang diambil oleh media massa tertentu dalam pemberi-
taannya. Dibandingkan dengan topik-topik lain para wartawan
menganggap krisis, konflik, dan perang sebagai hal yang memenuhi
banyak kriteria jurna-listik untuk membuat peristiwa menjadi berita.
Karena menarik perha-tian tentu saja peristiwa konflik tidak akan luput
dari perhatian dan pem-beritaan media massa. Konflik adalah hubungan
antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok), yang memiliki atau
merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan84
Menurut Soerjono Soekanto85
pertentangan atau konflik
merupakan proses disosiasi yang agak tajam dalam membawa akibat
positif maupun negatif. Dalam kondisi ini terdapat kecenderungan untuk
menye-suaikan kembali pada norma-norma hubungan sosial dalam
kelompok etnis kultur. Terutama apabila individu-individu berada pada
kualitas interaksi frekuensi tinggi, maka kemungkinan konflik sangat
83Sudibyo dalam dalam Sumartono, Konflik disajikan dalam Isis Media,
http://SumartonoEsaUnggul.com
84
Fisherdalam Sumartono, Konflik disajikan dalam Isis Media,
http://SumartonoEsaUnggul.com
85
Oerjono Soekanto dalam Sumartono, Konflik disajikan dalam Isis Media,
http://SumartonoEsaUnggul.com
90
terbuka yaitu karena sikap toleran yang tidak mengem-bangkan “emotional
intelegence” atau kepekaan cita rasa.
Pakar studi konflik dari Universitas Oxford, France Steward86
menyebutkan empat kategori negara yang berpotensi konflik. Keempat
kategori adalah negara dengan tingkat pendapatan dan pembangunan
manusianya rendah, negara yang pernah terlibat konflik serius dalam 30
tahun sebelumnya, negara dengan tingkat horizontal yang tinggi, dan
negara yang rezim politiknya berada dalam transisi rezim represif menuju
rezim demokratis. Indonesia serta merta bisa masuk dalam keempat
kategori tersebut sekaligus.
Dari analisis konstruksi realitas sosial bahwa media berperan
membentuk realitas yang tersaji dalam berita. Konstruksi terhadap realitas
dipahami sebagai upaya „menceritakan‟ sebuah peristiwa, keadaan, benda,
atau apapun, fakta atau realitas diproduksi dan dikonstruksi dengan
menggunakan persfektif tertentu yang akan dijadikan bahan berita oleh
wartawan. Maka tidak mengherankan jika media memberitakan berbeda
sebuah persitiwa yang sama karena masing-masing media memiliki
pemahaman dan pemaknaan sendiri.87
Menurut Peter Berger88
realitas
sosial tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan
Tuhan. Tetapi sebaliknya realitas dibentuk semacam realitas berwajah
86 Ibid
87Fahri Firdusi, Artikel: Berita sebagai Konstruksi Media, artikel diakses pada 12
November 2012 dari http:fahri99.worldpress.com/2012/po2.html 88
Peter L. Berger, Thomas Luckman, The Social Construction Theory of Reality, dalam
eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi Ideologi, dan Politik Media. (Yogyakarta: LkiS, 2002),h.
39-41.
91
ganda atau prulal. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda
atas suatu realitas. Setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi
pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu dan
menafsirkan sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.
Menurut Peter L. Berger dan Thomas luckman89
dalam teorinya
“The Social Construction Theory of Reality” proses mengkonstruksi
berlangsung melalui interaksi sosial dialektis dari tiga bentuk realitas,
yakni symbolic reality, objective reality, dan subjective reality yang
berlangsung dalm suatu proses dengan tiga momen simultan.
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L Berger
dan Luckmann telah direvisi dengan melihat fenomena media massa
sangat substantif dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan
internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial
media massa”. Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses
konstruksi sosial media masa itu terjadi melalui: tahap menyiapkanmateri
konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap
konfirmasi.90
89
Dedy N. Hidayat, Konstruksi Sosial Industri Penyiaran, Jakarta: Pascasarjana Ilmu
Komunikasi UI, 2003,h. 7-8.
90Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan DiskursusTeknologi
Komunikasi di Masyarakat,( Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 188-189
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan mengenai bagaimana majalah Sindo Weekly
membingkai isu konflik Syiah-Sunni Sampang melalui framing Robert N
Entman, majalah Sindo Weekly membingkai isu konflik Syiah sampang
sebagai isu konflik antar warga Sunni dan Syiah Sampang, yang diarahkan
untuk menempatkan konflik ini sebagai aksi teror dan kekerasan terhadap
warga Syiah tanpa menyelididki dan mencari tahu alasan dan sejarah
konflik itu terjadi.
Nilai keberimbangan dan objektifitas yang direpresentasikan dalam
pemberitaan majalah Sindo weekly hanya menyentuh bagian permukaan.
Majalah Sindo Weekly tampak memposisikan dirinya untuk bersifat netral
diantara kelompok Sunni dan Syiah, akan tetapi bias keberpihakan majalah
Sindo Weekly pada kelompok Syiah banyak ditemukan dalam teks.
Dengan demikian majalah Sindo Weekly dalam membingkai isu konflik
Sunni-Syiah di Sampang menempatkan Sunni sebagai pelaku kekerasan
dalam konflik dan Syiah sebagai korban. Majalah Sindo Weekly merasa
prihatin terhadap warga Syiah yang menjadi korban penyerangan Sunni.
Kemudian majalh Sindo Weekly memilih narasumber konflik Syiah-Sunni
ini, media tersebut memilih narasumber yang jelas beraliran Syiah dan pro
terhadap Syiah juga memiliki kedekatan terhadap majalah Sindo Weekly.
93
Sementara itu, hasil penelitian mengenai bagaimana proses
produksi majalah Sindo Weekly mengemas dan mengkonstruksi isu konflik
Syiah Sampang, yaitu Pertama, cara majalah Sindo Weekly menyeleksi
isu cenderung memilih fakta dan realitas yang memihak kepada Syiah,
seperti pada pemilihan judul, Lead hingga pada pemilihan istilah dan kata
hingga pemilihan narasumber.Kedua, penonjolan isu yang dilakukan oleh
redaksi lebih dominan ke pihak Sunni sebagai kelompok yang melanggar
HAM yang telah diatur oleh konstitusi. Ketiga, adalah pada penilaian
sikap-sikap moral yang dijatuhkan kepada pihak Sunni, Sindo Weekly
cenderung memberikan dalih moral bahwa apa yang dilakukan oleh warga
Sunni adalah sesuatu yang memang sengaja dilakukan karena ingin
melakukan pemurnian agama sementara warga Syiah disebutkan telah
lama terpojok dan menjadi sasaran teror berdarah.
Ideologi tidak hanya berkaitan dengan kepercayaan yang
terkandung mengenai dunia, tapi juga cara yang mendasari definisi dunia.
Oleh sebab itu, ideologi tidak hanya tentang politik. Ideologi memiliki
cakupan yang lebih luas lagi dan mengandung makna konotasi.
Dalam kaitan ini posisi media akan berada dalam tiga
kemungkinan keberpihakan, yaitu apakah media cenderung berafeksi
positif, netral atau negatif. Dalam mengkonstruksi realitas social terhadap
isu konflik Syiah Suni Sampang, keberpihakan Majalah Sindo Weekly
cenderung berafeksi negative terhadapa kelompok Sunni dan memihak
kelompok Syiah.
94
B. Saran
Penelitian ini hendaknya bisa dilanjutkan kepada penelitian yang
lebih mendalam seperti menggunakan analisis wacana kritis atau
menggunakan analisis sosiologi media.
Sindo Weekly hendaknya memberikan informasi yang benar,
objektif, tidak menimbulkan polemik dengan keberpihakan pada kelompok
tertentu khususnya terkait dengan isu konflik.Sindo Weekly hendaknya
menjalankan perannya sebagai kontrol sosial dan memberikan solusi
positif kepada pemerintah dan masyarakat dalam menyelesaikan kasus
yang terjadi di Indonesia.Sindo Weekly hendaknya terus berkomitmen
mengungkap kasus dengan tuntas dan jujur agar konflik horizontal yang
terjadi tidak terulang kembali.
95
Daftar Pustaka
Buku
Al hasyimi, Muhammad Iqbal, Islam Syiah, Jakarta:Pustaka Ibahdah,
2003.
Anwar, Mohammad, Irfan Zidny, dkk, Mengapa Kita Menolak
Syiah,Jakarta:LPPI,2002.
Al-Musawi, Syarafudin Dialog sunnah dan Syiah, terj. Al-baqir, Bandung:
Mizan, 1983.
Berger, Peter L. Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan; Sebuah
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan.Jakarta: LP3S, 1990.
Bungin, Burhan.Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, Ideologi dan
Diskursus Teknologi Komunikasi Masyarakat. Jakarta: Kencana, 2007
Birowo,Antonious.Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: GITANYALI, 2004.
Creswell, John W. Desain Penelitian: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Jakarta: KIK Press, 2003.
Eriyanto.Analisis Framing: Konstruksi Ideologi, dan Politik Media,
Yogyakarta: LKIS, 2007.
Fathoni, Mushlih Faham Mahdi syiah dan Ahmadiyah dalam Perspektif,
Jakarata:PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Fiske, John Cultural and Communication Studis, Sebuah Pengantar paling
Komprehensif, Jalan Sutera:
Hamad, Ibnu .Muhammad Qadari dan agus Sudibyo, Kabar-Kabar
Kebencian, Jakarta:PT. Sembrani Akasara Nusantara, 2001.
Holsti, K.J. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa: Sebuah Studi
Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik, Jakarta:Granit, 2007.
Jafri, S Husain M Islam Syiah:Awal dan Sejarah Perkembangan,Pustaka
Hidayah: 1976.
Kriyantoro, Rachmat. Teknis Praktis Riset Komunikasi.Jakarta: Kencana,
2007.
96
Kriesberg, Louis.The Sociology of social Conflict, New York:Prantice
Hall, 1973.
Litlejohn, Steven W. Teoris of Human Comunication. USA: Wadsworth
Publishing Company,2001.
Lull, James.Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan,
Jakarta:Global, 1998.
Manheim, Karl.Ideologi and Utopia. An introduction to the sociologi of
knowledge, London:Rouledge, 1979.
Nasution, Zulkarnaen.Sosiologi Komunikasi Massa.Jakarta: Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional, 2004.
Nugroho, Bimo. Eriyanto dan Frans sudaris, Politik Media Mengemas
Berita, Jakarta: Arus Stusi Informasi,
Prakoso, Jurnal ISKI, 1999.
Ruslan, Rosady.Metodologi Penelitian Publik Relation dan Komunikasi.
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003.
Scwandt,Thomas A., Construktivis, Interpretivist Aproach to Human
Inquiry, dalamNorman K Denzim dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of
Qualitative Research. London: Sage Publication, 1994.
Sobur,Alex.Analisis tks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotika dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya,2006.
Suseno, Franz Magnis.Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Jakarta:Kanisius,
1992.
Sudibyo, AgusPolitik Media dan Pertarungan Wacana,
Thompson, John B.Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi
Dunia,Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Wallensteen, Peter.Understanding Conflict Resolution: war, Peace, and
the Global System, London:Sage Publiction, 1997.
Zainuddin, Rahman Afdhal. M Hamdan Basyar, dkk, Syiah dan Politik di
Indonesia,Mizan: Bandung, 2000.
Zahrah, Muhammad Abu.Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
Jakarta:Gaya Media Pratama, 2011.
97
Zahrah, Muhammad Abu Tarikhul Mazahibul Islamiah, vol.1
Tesis dan skripsi
Azmi, Ulul Konstruksi Realitas Islam Di Media Massa: Analisis framing;
Konflik Palestina Israel Di Harian Kompas Dan Republika, FIDKOM, UIN,
Jakarta,2008.
Haroni, Nanang. Kerelawanan dalam Televisi Indonesia. Jakarta:FISIP
UI,2009.
Hidayat, Dedy N. Konstruksi Sosial Industri Penyiaran, Jakarta:
Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI, 2003.
Darmanto, Membongkar Ideologi di Balik Penulisan Berita dengan
Analisa Faraming, Universitas Brawijaya-Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin,
2004.
Internet/Media On Line
http://mizanis.wordpress.com /Problematika Keberpihakan,2012
http://bincangmedia.wordpress.com/2012/
www.kabmalang.go.id/10/11/2012 Kekuasaan Media Massa Merekonstruksi
realitas, Sebuah Kajian.
http://fahri99.worldpress.com/2012/Berita sebagai Konstruksi Media.
http://massofa.wordpress.com /2008/Metode Penelitain Komunikasi.
http://shindohjourney.wordpress.com/2010/ Metodologi Komunikasi, 2010.
http://MediaWatch.comEdisi 21, tahun III, Mei 2002.
http://SumartonoEsaUnggul.com Konflik Disajikan Dalam Isi Media
http://Kompas.com‟, 2003
Lampiran 6
BERITA WAWANCARA
Wawancara : Penelitian Skripsi
Hari/tanggal : Kamis 20 Desember 2012
Tempat wawancara : Kantor Majalah Sindo Weekly
Informan : Asep Saefullah (RedPel Majalah Sindo Weekly)
1. Bagaimana Sindo Weekly menentukan topik dan pemilihan isu yang akan
diangkat menjadi berita?
Yaa..standar pembuatan berita, melalui proses sesuai prosedur. Ada isu, ada
peirtiwa, ada bagian yang meliput, kemudian kita juga ada rapat redaksi,
disanalah topik biasanya ditentukan.
2. Menurut anda, bagaimana dengan pemberitaan media mengenai isu-isu
konflik di Indonesi akhir-akhir ini?
Saya merasa lelah dan terkadang jenuh dengan hal-hal berbau konflik. Tapi
dalam berita justru isu-isu konflik itu memiliki daya tarik dan daya jual.
Mengenai pemberitaan di media, sejauh ini masih normal yah, ada isu,
kemudian media mem-blow up,
3. Apakah pemilihan kata atau memproduksi teks berita diserahkan
sepenuhnya kepada penulis, atau melalui beberapa proses editing?
Kami memberikan kesempatan kepada pemburu berita, wartawan yang
mereport. Namun naskah biasanya melalui proses editing terlebih dahulu
sebelum naik,
4. Bagaimana media membingkai konflik yang terjadi di sampang yang
diduga melibatkan dua aliran keagamaan?
Hasil analisis framingnya?Pointnya, kami ingin menunjukkan bahwa
sebenarnya konflik itu bukan konflik antara Suni dan Syiah, komunitas di
Komben tersebut sudah muncul tahun 1983-an dan mereka semuanya baik-baik
saja, ini muncul setelah ada pihak-pihak lain luar yang masuk. Dan ini juga ada
berbagai aspek politik.jadi bukan hanya konflik Syiah-Sunni, ketika kasus ini
muncul, makanya kita membuat laporan ini agak panjang, tapi kalo dilihat dari
silssilah mereka, disana mereka keluarga dan baik-baik saja. Kalo kita lihat
konteks, disana juga ada pilkada dan dan kepentingan lain seperti bisnis.
5. Bagaimana dugaan penyerangan warga Sunni terhadap warga Syiah di
Sampang dipahami dan dimaknai oleh media?
Sebagaimana yang terjadi pada kasus-kasus lain, headline kami sengaja,
orang sedang membicarakan ini ko Syiah-Suni, Syiah Sunni,apa sih Syiah
itu? pagenya memang konflik itu, tapi page itu kita tidak mengakulturasi ini
syiah, ini Sunni, sebenarnya kami ingin menunjukan bahwa Apa sih Syiah
itu? dan ada masalah. Sama seperti kasus Ahmadiyah, selama ini mereka itu
baik-baik saja ,tapi ketika ada pihak luar yang masuk, inikan bukan murni
masalah keyakinan, tapi banyak unsur lain.
6. Dari sudut pandang manakah media memahami konflik tersebut?
Kami titak mengangkat konfiknya, Kami tidak mengakulturasi pihak Syiah
ataupun Sunni, kami ingin menunjukan apa sih Syiah itu? dan sama seperti
kasus Ahmadiyah, dimana ini bukan murni masalah keyakinan, tapi banyak
unsur dan berbagai kepentingan lain.
7. Apakah ada satu bagian dari isu yang ditekankan media pada
pemberitaan mengenai isu konflik Syiah Sampang tersebut?
Kami bukan ingin mengakulturasi, tapi kami ingin memberitahu apa sih Syiah
itu? makanya kami lebih memberikan ruang perhatian kepada teman-teman
disana. Kalo berbicara masalah balance atau keberimbangan, berarti kita bicara
konflik. Karena kami tidak melihat konfliknya tapi akar masalahnya. Dan itu
juga sudah diangkat media lain, jadi kami menunjukkan ini loh wajah Syiah
itu, jadi ketika banyak sumber dari pihak Syiah karena kami ingin menggali
lebih banyak perspektif dari orang itu.
8. Penyelesaian macam apa yang ditawarkan media untuk mengatasi suatu
masalah atau isu khususnya isu konflik Syiah Sampang?
Sebenarnya gampang, pemerintah kalo mau tegas dan berimbang, bisa selesai
permasalahan. Kalo kita lihat akar permasalahannya, ada kecenderungan
memihak dan kalo teman-teman lihat, pelakunya itu adalah dari kalangan
pemerintah dengan berbagai kepentingan politik seperti itu. dan kalo selama
salah satu dari pihak yang berkonflik itu adalah bagian pemerintah, yaa gak
bakalan selesai, karena orang yang harusnya menyelesaikan konflik itu ya
bagian dari konflik tersebut. Harusnya, ini yaa sudah tidak ada masalah, tapi
memang sengaja dibungkus seperti itu biar rame, sebuah keluarga, punya sudut
pandang dan apiliasi politik yang berbeda, ya..biasa aja terjadi seperti itu,
cuman ingin mendapat perhatian lebih, jadilah dibawa keranah publik.
9. Menurut Sindo, dari kasus ini siapasih yang pantas dipersalahkan atau
siapa penyebab terjadinya konflik tersebut?
Akar permasalahannya bukan siapa yang pantas untuk dipermasalahkan, tapi
lebih ke aspek pidananya saja, siapa yang menyerang dan siapa yang jadi
korban penyerangan. Kalo bicara siapa yang salah, ini dulu atau ini dulu itu
sudah bukan wewenang kita, faktanya saja siapa yang menyerang dan siapa
yang diserang. Sebenranya sesederhana contoh di Uin, ada pengelola mesjid
Uin orang Muhamadiyah, lalu ada yang nyolong sendal orang Syiah, ada yang
nyolong sendal orang NU, ada yang nyolong sendal orang Muhammadiyah.
Sesederhana itu saja.
10. Saya melihat Sindo disini memberikan sudut pandang yang berbeda,
mengapa lebih mengedepankan mengangkat profil Syiah dibanding
mencari akar permasalahannya?
Selama ini kita selalui disuguhi berita-berita konflik, dan saat ini konflik
Syiah Sampang. Konflik Ahmadiyah dan sebagainya. Simpel saja, kami tidak
mengangkat akar permasalahan dari konflik karena itu sudah diangkat media
lain. hal tak kalah penting, kita sering lupa bahwa banyak orang yang bahkan
tidak pernah tahu dan mengerti apa dan siapa syiah itu sebenarnya? Hanya
ingin menjelaskan itu saja.
11. Mengapa hanya profil dan gambaran tentang konstribusi Syiah dan
tidak demikian dengan Sunni?
Dari awal sasaran utama kami adalah mengangkat profil Syiah, terlepas dari
peristiwa itu Syiah disebut sebagai korban.
12. Dalam pemilihan narasumber, apakah ada kriteria tertentu? Dan
mengapa memilih mengangkat orasi Muhsin Labib?
Kredibilitas tinggi, terpercaya dan faham betul seluk-beluk permasalahannya.
isi orasi tersebut mewakili para tim produksi untuk mempermudah menjelaskan
kepada pembaca kemana arah topik berita yang disajikan Sindo Weekly yang
dalam hal ini memang lebih menonjolkan profil Syiah dan ingin memberitahu
khalayak apa dan siapa syiah itu sebenarnya, di sini Sindo Weekly tidak
mengangkat berita mengenai konflik Syiah Sampang itu sendiri secara detail
sebagaimana diberitakan oleh media-media lainnya
13. Jadi, tidak ada bias keberpihakan dari media ini mengenai kasus
tersebut?
Coba aja baca, disana lebih banyak mengangkat tentang siapa Syiah itu. itu
tidak bermaksud untuk berpihak, selama ini orang melihat di televisi, atau
dikoran seperti ini, tapi tidak banyak tau apa sih Syiah itu sebenarnya? Berapa
banyak penganutnya? meskipun Sindo Weekly tidak menyebutkan secara jelas
bahwa hal itu dimaksudkan terhadap warga sunni, namun asumsi publik seolah
dibentuk pada pandangan bahwa penganut Sunni lah yang melakukan hal
demikian. Namun sebenarnya, Sindo Weekly hanya ingin membuka pikiran
masyarakat akan kesadaran bahwasannya di negri ini kebebasan beragama
memang dilindungi hak-haknya oleh konstitusi negara sebagaimana yang
selama ini kita tahu
14. Menurut media, apakah baik pihak pemerintah pusat maupun daerah
sudah maksimal dalam menawarkan penyelesaian konflik tersebut? Dan
bagaimana media memandangnya?
Ya pemerintah harus tegas. Sementara kita harus mengadvokasi, akar
permasalahannya seperti apa? Daripada mencari siapa yang salah dan siapa
yang benarkan waktunya panjang, sementara ada keluarga yang jadi korban,
dan itu manusia gitu loh, kalo dibiarin nanti bagaimana? kalo urusan APBD
dan sebagainya itu sudah bukan urusan kita lagi. Tapi kita memberitahu bahwa
nih ada orang dipengungsian, kelaparan.
BERITA WAWANCARA
Wawancara : Penelitian Skripsi
Hari/tanggal : Sabtu 26 januari 2013
Tempat wawancara : -
Responden : Irman Abdurrahman
(Staf Redaksi/Penulis di Majalah Sindo Weekly)
1. Berapa lama anda bergabung dengan majalah Sindo Weekly?
Sudah lumayan lama yah, karena sebelumnya Sindo Weekly itu
namanya Trus. Jadi saya mengikuti waktu perubahan tersebut dan saya
juga tidak langsung menjadi staf redaksi, semua melalui proses
tahapan.
2. Bagaimana proses kerja anda di Sindo Weekly? Apakah anda
langsung menjadi staf redaksi atau bermula menjadi seorang
reporter?
Seperti yang saya bilang tadi, saya mengikuti alur atau proses
sesuai prosedur. ya saya juga pengalaman menjadi wartawan atau
reporter biasa sebelum seperti saat ini. Itu pekerjaan yang saya
nikmatilah.
3. Menurut anda, sebagai staf redaksi Sindo Weekly, sejauh mana
keterlibatan anda dalam proses penentuan topik dan pemilihan
isu untuk diberitakan?
Kami biasa melakukannya dalam rapat redaksi majalah. Saya
tidak dapat menentukan semuanya sendiri meskipun saya memang
terlibat didalamnya. Proses penentuan topik, pemilihan isu itu melalui
dialog yang cukup alot. Karena kami harus benar-benar mengemas
semua dengan matang, tentunya melalui perencanaan dan persiapan
yang matang pula.
4. Sebagai seorang warga negara dan beragama, bagaimana anda
melihat konflik Syiah Sampang?
Bukan hal yang baru isu-isu konflik berbau agama dan berbau
sara begitu. Kasus Ahmadiyah, bom natal, dan konflik vertikalnya
seperti konflik di Bogor, Depok . Semuanya hampir sama, hanya
bagaimana kita menanggapi setiap konflik tersebut dengan kepala
sehat saja. Konflik itu karena adanya perbedaan, apapu macamnya
perbedaan tersebut.
5. Sebagai penulis teks berita, apakah penulisan anda dipengaruhi
oleh faktor ideologi dan kepentingan media lainnya? Atau murni
menulis atas dasar apa yang anda temukan dilapangan sesuai
fakta?
Saya menulis apa yang diriport, sesuai fakta dan data tentunya.
Bicara soal balance, itu hal yang sulit dihindari. Namun sebagai awak
media dan sebagai pekerja yang menulis, kita tidak boleh melakukan
pembohongan publik, bahaya itu lagipula ada etikanya juga. Memang
berbagai kepentingan terkadang menjadi masalah dalam diri sendiri
maupun media tempat saya bekerja, karena kita juga bekerja dalam
satu wadah, tidak bisa menentukan segalanya sendiri. Tapi selalu
diusahakan profesional dan tidak terjebak dalam berbagai
kepentingan. Saya bisa katakan murni, tapi kembali lagi pada
penialaian pembaca.
6. Secara pribadi, apakah anda menilai penulisan teks berita
mengenai isu Syiah Sampang benar-benar sesuai dengan fakta
atau terdapat proses konstruksi?
Saya menulis, apa yang sya temukan dilapangan ya saya tulis.
Tapi tulisan saya melalui berbagai proses editing dan berbagai
pertimbangan juga. Setiap media mempunyai sudut pandang dan
penceritaan yang berbeda toh, seperti analisismu itu, beda media, beda
bingkai, beda konstruksinya.
7. Apakah anda sering menemukan perbedaan ideologi antara diri
anda dengan media yang menaungi anda bekerja?
Tentu, tentu saja. Saya juga punya pemikiran sendiri yang
terkadang terbawa dalam pekerjaan saya namun itu yang sering saya
hindari. Misalnya, saya menulis berita tentang politik, sementara saya
tidak minat pada satu tokoh atau partai politik tertentu, itu terkadang
membuat emosi saya ikut terbawa dalam proses penulisan teks. Tapi
sekarang sudah lebih terarah dan terkendali. Karena saya juga tidak
mungkin mempertaruhkan media ini.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Top Related