BAB I
PENDAHULUAN
Sistem saraf manusia adalah suatu jalinan jaringan saraf yang kompleks, sangat
khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistem saraf mengkoordinasi,
menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Sistem
tubuh yang penting ini juga mengatur kebanyakan aktivitas sistem-sistem tubuh lainnya.
Karena pengaturan saraf tersebut maka terjalin komunikasi antara berbagai sistem tubuh
hingga menyebabkan tubuh berfungsi sebagai unit yang dinamis. Dalam sistem inilah berasal
segala fenomena kesadaran, pikiran, ingatan, bahasa, sensasi dan gerakan. Jadi kemampuan
untuk dapat memahami, belajar dan memberi respon terhadap suatu rangsangan merupakan
hasil kerja integrasi dari sistem saraf yang puncaknya dalam bentuk kepribadian dan tingkah
laku individu.
Sistem saraf otonom adalah bagian dari sistem saraf yang bertanggung jawab terhadap
homeostasis. Sistem saraf memiliki dua divisi utama, sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis. Saraf simpatis dan parasimpatis mensekresikan hanya satu di antara substansi
neurotransmiter, asetilkoline atau norepinefrine. Serat yang mensekresikan asetilkoline
disebut kolinergik dan serat yang mensekresikan norepinefrine dikenal sebagai adrenergik.
Semua preganglion adalah kolinergik baik pada sistem saraf simpatis maupun parasimpatis.
Sedangkan pada postganglion saraf simpatik adalah adrenergik dan postganglion pada
parasimpatis adalah kolinergik.
Kolinergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat
menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena
melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP
adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya
berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai
keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan
dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl),
juga sekresi air mata, dan lain-lain, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi
kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah, memperlambat pernafasan,
antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot
mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat
lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek
memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP
setelah pada permulaan menstimulasinya (Tjay & Rahardja, 2007).
Efek kolinergis faal yang terpenting adalah sebagai berikut :
1. Stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltic dan sekresi kelenjar ludah dan
getah lambung (HCl), juga sekresi air mata dan lain-lain.
2. Memperlambat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi
dan penurunan tekanan darah.
3. Memperlambat pernapasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi
dahak diperbesar.
4. Kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan
intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata.
5. Kontraksi kandung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin .
6. Dilatasi pembuluh dan kontraksi otot kerangka.
7. Menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya.
BAB II
ISI
Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron
postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat
yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor
ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni:
1. Reseptor muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu
alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini
menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan study ikatan dan
panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti
M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan
organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara
khusus walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun
reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam
otot polos dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat
yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan
tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula.
2. Reseptor nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas
lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik,
namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat di
dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan
neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang
terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor
yang terdapat pada sambungan neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik
secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan
neuromuskular secara spesifik dihambat oleh turbokurarin. Stimulasi reseptor ini oleh
kolinergika menimbulkan efek yang menyerupai efek adrenergika, jadi bersifat
berlawanan sama sekali. Misalnya vasokonstriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan
kegiatan jantung, juga stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi otot
lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan blokade neuromuskuler.
Efek obat kolinergik dapat dicapai melalui dua jalan :
1. Rangsangan pada tempat reseptor khas dan bekerja secara langsung pada sel efektor saraf
parasimpatetik, menghasilkan efek yang serupa dengan efek yang dihasilkan oleh
rangsangan saraf post ganglionk parasimapatetik.
2. Penghambatan enzim asetilkolinesterase dan menimbulkan efek kolinergik secara tidak
langsung.
Obat kolinergik terutama digunakan untuk pengobatan gangguan saluran cerna dan
saluran seni. Beberapa diantaranya digukan untuk pengobatan glaukoma dan miastenia
gravis. Efek lain yang ditimbulkan antara lain miosis, berkeringat, air liur berlebih,
bradikardia dan penurunan tekanan darah.
Berdasarkan mekanisme kerjanya senyawa kolinergik dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu :
1. Senyawa kolinergik dengan efek langsung
Senyawa koinergik dengan efek langsung (kolinomimetik, parasimpatomimetik)
adalah obat yang mempunyai struktur kimia, jarak antara gugus-gugus polar dan
distribusi muatan serupa dengan asetilkolin sehingga dapat menimbulkan efek pada
transmiter kimia asetilkolin.
Obat golongan ini ada yang menunjukan efek muskarinik atau nikotinik saja tetapi
adapula yang menunjukkan kedua efek tersebut. Kolinomimetik yang menunjukkan efek
muskarinik biasanya mengandung rantai lima atom yang mengikat N-kuartener.
Banyak senyawa kolinomimetik dihasilkan oleh pergantian isosterik yang sistematik dari
atom atau gugus tertentu dalam molekul transmiter kimianya. Formula umum
kolinomimetik adalah garam onium sederhana : R-N+(CH3)3. Mekanisme kerjanya yaitu
kolinomimetik mempunyai struktur mirip denagn asetilkolin sehingga dapat membentuk
kompleks dengan reseptor asetilkolin. Reseptor tersebut terletak pada membran yang
peka. Asetilkolin dan kolinomimetik dapat mempengaruhi dan memningkatkan
keselektifan permeabilitas membran terhadap kation.
Efek obat dipengaruhi oleh dua elemen struktur yang berbeda yaitu protein reseptor ddan
ionofor. Ionofor bertanggungjawab terhadap translokasi selektif ion-ion. Interaksi obat
dengan protein reseptor menyebabkan transisi konformasi yang akan mengontrol interaksi
reseptor dan ionofor.
Contoh senyawa kolinergik :
a. Asetilkolin : aktif terhadap nikotinik dan muskarinik cepat terhidrolisis. Larutan 1 %
(dibuat baru) topikal pada interior chamber mata : 0,5-2 ml.
b. Metacholin : dihidrolisis lebih lambat karena efek halangan sterik oleh gugus β-metil
aktif terhadap muskarinik (jarang digunakan). Dosis : SC 10 mg, setelah 20 menit
dapat diberikan 25 mg.
c. Carbachol : dihidrolisis lambat (karena gugus karbamat). Digunakan pada glaukoma
untuk menurunkan tekanan intraokuler. Larutan 1 % topikal pada kongjutiva mata 1
tetes 2-3 dd.
d. Betanechol: Efek lebih lama (karena halangan sterik & karbamat). Digunakan untuk
stimulasi saluran cerna dan saluran urin pasca operasi. Dosis oral : 10-30 mg 3 dd dan
SC : 2,5 mg 3 dd.
Hubungan struktur dan aktivitas senyawa kolinergik :
a. Perubahan gugus amonium kuarterner
Salah satu metil dapat digantikan dengan gugus yang lebih besar tetapi modifikasi
seperti itu dapat menurunkan aktivitas secara drastis
Contoh : analog dimetiletil aktivitas hanya 25% dibanding Ach Substitusi dengan
gugus yang lebih besar atau terhadap lebih dari satu metil dapat meniadakan aktivitas.
Muatan juga penting untuk aktivitas, contoh: isoster karbon tak bermuatan (3,3-
dimetilbutilasetat) hanya punya aktivitas 0,003% tetapi amin tersier (pilokarpin,
arecolin) aktif karena pada pH fisiologis, amina-amina ini terprotonasi sehingga
bermuatan.
b. Perubahan rantai etilen
Bagian molekul ini menjamin jarak yang tepat antara gugus amonium dengan gugug
ester penting untuk pengikatan yang efektif dengan reseptor.Peningkatan panjang
rantai menghasilkan penurunan aktivitas yang bermakna. Percabangan rantai hanya
memungkinkan untuk substituen metil. Substitusi dengan β-metil (metacholin)
menunjukkan aktivitas muskarinik, substitusi dengan α-metil menunjukkan aktivitas
nikotinik.
c. Perubahan gugus ester
Ester aromatis yang besar menunjukkan efek antagonis. Penggantian yang paling
bermanfaat adalah dengan gugus karbamat (Carbachol) dapat membuat menjadi
sangat aktif karena mengurangi hidrolisis.
d. Pembentukan analog siklis
Analog siklik ACh dengan aktivitas muskarinik meliputi berbagai senyawa bahan
alam, seperti muscarine, pilocarpine, dan arecoline. Dioxolane juga menunjukkan
aktivitas kuat sebagai agonis muskarinik.
2. Senyawa kolinergik dengan efek tidak langsung
Senyawa kolinergik dengan efek tidak langsung (antikolinesterase) bekerja
menghambat enzim kolinesterase dengan cara mencegah enzim sehingga tidak
menghidrolisis asetilkolin. Akibatnya asetilkolin akan terkumpul pada tempat transmisi
kolinergik dan bekerja pada perifer, sinapsis ganglionik dan penghubung saraf otot
rangka. Mekanisme kerjanya : bekerja sebagai penghambat enzim kolinesterase dengan
cara berinteraksi membentuk kompleks dengan enzim tersebut, melalui berbagai ikatan
kimia termasuk ikatan elektrostatik, ikatan hidrogen dan ikatan kovalen.
a. Turunan karbamat
Studi hubungan struktur dan aktivitas turunan karbamat menunjukan bahwa gugus
yang berperan untuk aktivitas antikolinesterase adalah gugus amino yang tersubstitusi
dan gugus N,N-dimetil karbamat.
Contoh :
1) Fisostigmin salisilat