BAB IIKAJIAN TEORI
A. Pengertian Wacana
Menurut pendapat Chaer (1994:267) pengertian wacana adalah satuan
bahasa yang lengkap sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan
gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Jenis wacana diantaranya wacana lisan
dan tulis. Dalam wacana tulis sebagai satuan gramatikal tertinggi dan terbesar,
berarti wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan
gramtikal dan persyaratan kewacanaan yang lain.
Pendapat lain yaitu Halim (1984: 70) mendefinisikan wacana sebagai
sebagai seperangkat kalimat yang karena pertalian semantiknya diterima sebagai
suatu keseluruhan yang relarif lengkap oleh pemakai bahasa (baik penutur atau
pembaca).
Dalam pandangan Kridalaksana (dalam Rejeki, 2004: 7), wacana diartikan
sebagai satuan bahasa yang terlengkap dan dalam hierarki gramarikal merupakan
satuan gramatikal tertinggi. Pendapat tersebut sejalan dengan Tarigan (dalam
Rejeki, 2004: 7), wacana sebagai kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi diatas
kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi yang tinggi, berkesinambungan
dan mempunyai awal dan akhir yang nyata. Bentuk wacana diantaranya dapat
berupa drama, puisi, prosa.
Moeliono (1988: 334), mendeskripsikan wacana sebagai rentetan kalimat
yang berkaitan, menghubungkan proposisi satu dengan yang lain membentuk
kesatuan maknsa. Selanjutnya, dikatakan bahwa bahasa dalam realisasinya
sebagai alat komunikasi tidak berupa unsur-unsur yang lepas, tidak lagi berwujud
bunyinya, frasenya, kalimat yang terpisah, tetapi hadir sebagai satu kesatuan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan terbesar dan dalam hierarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi yang terdiri dari seperangkat
kalimat yang berkaitan satu dengan yang lain, dan membentuk suatu jaringan atau
tekstur yang berupa pertalian semantik dan dilengkapi dengan kohesi dan
koherensi.
B. Aspek Keutuhan Wacana
Bahasa yang lengkap bukanlah kata atau kalimat, melainkan wacana.
Halliday dan Hasan (dalam Wedhawati, 1979: 3) menyatakan bahwa struktur
wacana bukan struktur sintaktik, melainkan merupakan struktur semantik. Suatu
rentetan kalimat barulah dapat membentuk suatu wacana apabila antarkalimat tadi
saling berkaitan secara serasi, padu dan utuh.
Keutuhan wacana merupakan aspek yang sangat penting untuk
menentukan yang dihadapi itu sebagai sebuah wacana atau hanya kumpulan
kalimat yang acak-acakan. Kridalaksana (1978:37), menyatakan bahwa keutuhan
wacana bersangkutan dengan hubungan antarunsur wacana. Keutuhan juga
menjadi ciri dari satuan gramatikal lain, saperti morfem, kata, frasa, klausa,
kalimat, dan paragraf.
Paragraf merupakan satuan informasi dengan ide pokok sebagai
pengendalinya. Informasi yang dinyatakan dalam sebuah kalimat yang
membentuk paragraf itu berhubungan erat dan sangat padu. Kepaduan itu
merupakan syarat keberhasilan suatu paragraf. Tanpa adanya kepaduan informasi,
tidak akan menghasilkan sebuah paragraf. Kepaduan informasi ini disebut juga
kepaduan dibidang makna (koherensi). Adapun kepaduan lain disebut kohesi atau
kepaduan di bidang bentuk Ramlan (dalam Rejeki, 2004: 8). Senada dengan
pendapat tersebut, Tarigan (1987: 96) menjelaskan bahwa kepaduan (kohesi) dan
kerapian (koherensi) merupakan unsur hakikat wacana, dan unsur yang turut
menentukan keutuhan wacana.
C. Kohesi dan Koherensi
Sebuah wacana terdiri dari dua bagian, yaitu bentuk dan makna Rejeki
(2004: 9). Kepaduan makna dan kerapian merupakan faktor penting untuk
menentukan tingkat keterbacaan dan keterpahaman wacana. Salah satu unsur
penting wacana adalah kohesi dan koherensi. Kehadiran kohesi dan koherensi
juga akan membantu menciptakan keutuhan wacana.
Beberapa tokoh menganggap pengertian kohesi dan koherensi seolah
hampir tidak ada bedanya, bahkan ada yang menyamakan keduanya. Namun,
sebenarnya keduanya berbeda. Kohesi berkaitan dengan aspek formal kebahasaan
(language) yang melukiskan bagaimana cara proposisi-proposisi saling
berhubungan dalam membentuk teks, sedangkan koherensi cenderung pada ujaran
(speeech) yang menggambarkan bagaimana cara proposisi yang ada atau yang
tersembunyi itu disimpulkan untuk menafsirkan tindak ilokusi dalam wacana
Widdoson (dalam Rejeki, 2004: 9).
D. Cerpen
Karya sastra prosa merupakan salah satu genre sastra. Karya sastra jenis
prosa terdiri dari novel, roman, dan cerita pendek (cerpen) yang dalam bahasa
Jawa biasa disebut dengan cerkak. Cerpen sesuai dengan namanya adalah serita
pendek. Namun, berapa ukuran panjang pendeknya memang tidak ada ukutannya,
tidak ada kesepakatan diantara para pengarang maupun para ahli Nurgiyantoro
(1998: 7).
Kependekan memang merupakan ciri pertama sebuah cerpen. Orang
langsung dapat mengenali suatu karya fiksi itu adalah sebuah cerpen hanya
dengan mengetahui berapa halaman yang ada dalam cerita tersebut. Cerita fiksi
yang menghabiskan berpuluh-puluh halaman, bahkan sampai ratusan halaman
tidak akan disebut dengan cerpen. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa ada
cerpen yang panjang atau disebut long short story, ada cerpen yang pendek atau
short short story dan adapula cerpen yang panjangnya sedang atau middle short
story Nurgiyantoro (1998: 10).
Kependekan cerpen tidak berarti bahwa hanya merupakan sebuah cerita
yang dangkal kandungan isinya, akan tetapi kependekan cerpen merupakan
sebuah kesatuan, yaitu kesatuan kesan dan impresi. Hal ini akan memberikan
gambaran yang jelas dan tajam, sehingga cerpen dalam bentuk yang tunggal dan
utuh akan mencapai efek yang tunggal dan utuh pula kepada pembacanya. Sebuah
cerpen agar dapat mencapai kesan yang tunggal dan utuh, harus mengandung
unsur-unsur : (1) ceritanya pendek, mengandung interpretasi pengarang tentang
konsepsinya mengenai penghidupan baik secara langsung maupun tidak langsung,
(2) sebuah cerpen harus menimbulkan suatu hempasan dalam pikiran pembaca,
(3) cerpen harus menimbulkan perasaan pada pembaca, bahwa pembaca merasa
terbawa oleh jalan cerita dan cerpen pertama harus menarik perasaan kemudian
menarik pikiran, (4) cerpen mengandung perincian dan insiden-insiden yang
dipilih dengan sengaja, dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam
pikiran pembaca, Lubis (dalam Rejeki 2004: 22).
Selain itu, sebuah cerpen harus mengandung (1) sebuah insiden utama
yang menguasai jalan cerita, (2) seorang pelaku utama, (3) jumlah cerita yang
padat, (4) mencerminkan yang ketiga di atas hingga tercipta satu efek atau kesan
(impressie) Lubis (dalam Rejeki, 2004: 22).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian dilakukan
dengan pengumpulan data, pengklasifikasian data dan kemudian analisis data
dengan tujuan mendeskripsikan jenis kohesi antarkalimat dan jenis koherensi
antarkalimat yang digunakan dalam Cerkak ............
B. Data dan Sumber Penelitian
Data penelitian berupa kumpulan kalimat yang mengandung jenis kohesi
dan koherensi yang tepat diketahui dari adanya penanda kedua hubungan tersebut.
Data diperoleh dari ........
C. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode baca dan catat. Artinya, data
dalam penelitian ini diperoleh dengan cara membaca dengan cermat dan teliti
terhadap semua sampel penelitian, dan kemudian mencatatnya dalam kartu data.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini menggunakan alat bantu berupa kartu data.
Kartu data berfungsi untuk mencatat semua data yang berhubungan dengan
masalah yang akan dicari jawabannya melalui penelitian ini. Selanjutnya, data dan
hasil analisisnya dari kartu data dipindahkan dan disimpan dalam komputer.
E. Teknik Analisis Data
Data yang dikumpulkan dan dicatat dalam kartu data yang selanjutnya
dianalisis. Cerkak yang dijadikan sebagai subjek penelitian digunakan untuk
mendapatkan data yang menjadi bahan analisis. Data yang diambil harus relevan
dengan masalah yang akan diteliti. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif
dengan metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis wacana.
Adapun teknik analisis data yang digunakan antara lain teknik lesap, ganti, sisio
dan balik.
Kegiatan yang dilakukan selama tahap analisis data meliputi langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Penyajian Data
Penelitian ini berjenis deskriptif sehingga data disajikan secara deskriptif. Data
diperoleh kemudian dideskripsikan secara keseluruhan.
2. Kategorisasi
Data penelitian yang ditentukan, dianalisis dan dikelompokkan berdasarkan
kategori yang telah ditentukan, yaitu kohesi antarkalimat dan jenis koherensi
antarkalimat.
3. Tabulasi
Penyajian data dilakukan dengan menggunakan tabel-tabel rangkuman
berdasarkan hasil temuannya yang meliputi dan jenis kohesi antarkalimat dan
jenis koherensi antarkalimat.
4. Inferensi
Bersadarkan hasil penelitian yang ada, akhirnya dilakukan penyimpulan-
penyimpulan terhadap aspek yang mengandung permasalahan yang diteliti.
Penyimpulan tersebut dijabarkan dengan rinci dalam analisis yang jelas.
F. Keabsahan Data
Keabsahan data meliputi validitas dan reliablitas data. Validitas dalam
penelitian ini berorientasi pada proses (validitas konstruk) menilai seberapa besar
suatu model prosedur analisis secara fungsional menunjuk hubungan dengan
konteks data. Bentuk validitas ini secara prinsip dikaitkan dengan penerimaan atau
penolakan konstruk analisis atas dasar hubungan struktural-fungsional proses dan
kategori analisis yang ditunjukkan dengan teori model dan pengetahuan mengenai
konteks data. Disamping itu, untuk memperkuat hasil penelitian digunakan juga
valid expert judgment artinya data yang ada dikonsultasikan dengan para ahli
yang bersangkutan, dalam peneltian ini dilakukan dengan Dosen Pembimbing.
Reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas interpenilai (intrarater
reliability) dan antarpenilai (interrater reliability). Reliabiliatas interpenilai
artinya penelitian dilakukan dengan tekun dan berulang-ulang membaca dan
dengan kemampuannya sendiri memecahkan masalah yang dihadapi. Jika terdapat
data yang meragukan, maka peneliti mendiskusikan data tersebut dengan
pengamat lain yang mampu memberi pendapat, inilah yang dimaksud reliabilitas
antar penilai.
Top Related